DUKUNGAN MASYARAKAT TERHADAP PERAJIN “FITRO” DALAM MEMBANGUN SENI KERAJINAN PERAK DI MALANG Ida Siti Herawati * Abtrak “FITRO” adalah sebuah perusahaan kerajinan perhiasan aksesoris perak yang sudah berhasil mengembangkan usahanya selama 15 tahun. Keberhasilan yang saat ini dicapai bukanlah seperti benda turun dari langit akan tetapi karena faktor sosial dari berbagai struktur yang terlibat, model interaksi yang diciptakan, prospek kerajinan di masa mendatang, serta kreativitas dalam menciptakan desain yang sesuai dengan masyarakat dan individu. Masyarakat yang memberikan dukungan kepada perajin dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu (1) perusahaan, (2) keluarga, (3) masyarakat konsumen. Semua dukungan masyarakat dilakukan melalui model interaksi sosial. Model yang pertama disebut interaksi langsung, yaitu transaksi bisnis yang terjadi di lokasi usaha. Model yang kedua yaitu interaksi tidak langsung, peran pembeli (buyer) sebagai mediator sangat penting dan bahkan mendominasi transaksi bisnis. Model yang ketiga, yaitu interaksi melalui pameran. Saat ini perajin sudah dapat memahami gaya hidup, selera, sifat, dan minat masyarakat sehingga perajin mampu menciptakan desain eksklusif, perfect, dengan sentuhan etnik, serta desain yang mempribadi. Perkembangan desain aksesoris “FITRO” merupakan perwujudan konkret dari selera masyarakat. Kata-kata Kunci: dukungan sosial, kerajinan perak, aksesori, model interaksi, kreativitas desain. Pendahuluan Perusahaan kerajinan aksesoris perak “FITRO” didirikan pada tahun 1990 di kota Malang. Produk kerajinan yang dihasilkan adalah berbagai macam perhiasan aksesoris perempuan dan laki-laki yang terbuat dari bahan utama perak. Pada awalnya hasil kerajinan perusahaan ini sulit diterima masyarakat karena (1) bahan dasarnya perak sehingga tidak dapat dijadikan benda investasi, (2) desain yang “terlalu” eksklusif, dan (3) harga yang relatif mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat dari berbagai kelas. Setelah melalui proses pasang surut yang cukup lama, saat ini kerajinan aksesoris perak tersebut sudah dapat berkembang dan dapat diterima berbagai strata masyarakat. Selama lebih dari 10 tahun saat ini pemasarannya dapat menjangkau pemakai dari kota-ota besar di Indonesia, bahkan para buyer dari luar negeri pun sudah berminat dan bermitra dengan perusahaan kerajinan sksesoris perak “FITRO”. Keberhasilan yang saat ini dicapai bukanlah seperti benda yang turun dari langit atau karena sifat pewarisannya, melainkan karena dukungan faktor sosial dari berbagai struktur yang terlibat. Dukungan faktor sosial yang dimaksud adalah dukungan yang selama ini sudah diberikan. Tanpa dukungan faktor sosial tidak mungkin perajin yang bertindak sebagai pimpinan perusahaan dapat mencapai tujuan dengan sukses. * Penulis adalah dosen seni rupa Universitas Negeri Malang, sekarang sedang menyelesaikan studi program pascasarjana Pendidikan Seni. Berikut ini akan dipaparkan tentang fenomena perusahaan kerajinan aksesoris perak “FITRO” dalam membangun kerajinan perak di Malang. Paradigma struktural digunakan untuk menjelaskan gejala sosial budaya karena paradigma ini paling tepat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan struktural (Ahimsa-Putra 2001:3, 391). Pelopor strukturalisme Levi-Strauss menggunakan pendekatan struktural selain dalam dunia mitologi juga memanfaatkannya dalam memahami sastra dan seni. Ritzer (1992:25) menyatakan bahwa teori fungsionalisme struktural menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagianbagian atau unsur yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Teori ini cenderung melihat kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain sehingga semua peristiwa dan semua unsur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Penyelesaian terhadap masalah merupakan pusat perhatian teori fungsionalisme struktural sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan. Kerajinan Perak “FITRO” dan Prospeknya di Indonesia Sebagai salah satu bentuk kesenian, kerajinan merupakan ekspresi kesenian yang erat hubungannnya dengan sumber daya alam di lingkungan tempat manusia menjalani kehidupannya. Sejarah kerajinan diawali dengan dorongan kebutuhan manusia untuk membuat alat atau barang yang diperlukan dalam rangka menunjang kelangsungan hidupnya sendiri (seperti alat-alat rumah tangga), kemudian menjadi benda yang diperlukan untuk dipertukarkan dengan benda kebutuhan lain. Dewasa ini di Indonesia kerajinan berkembang dalam kelompok masyarakat yang menempati strata sosial tertentu, yag memiliki kemampuan untuk memanfaatkan dan menikmati sumber daya lingkungan dengan maksimal seperti para elit penguasa dan keluarganya (Rohidi 2000:198). Saat ini elit penguasa banyak dihubungkan dengan masyarakat pada tingkat sosial ekonomi di atas rata-rata (masyarakat papan atas). Kebutuhan hidup mereka meningkat di atas standar masyarakat kebanyakan. Kebutuhan hidup yang meningkat ditandai dengan kebutuhan akan aktualisasi diri (kerucut Maslow). Dalam konteks ini kemudian muncul antara lain karya kerajinan dalam bentuk berbagai aksesori untuk mempercantik penampilan diri. Hal ini dapat dilihat sebagai alasan mengapa di berbagai daerah karya-karya kerajinan yang bermutu termasuk salah satunya adalah kerajinan perak berada pada lingkungan elit masyarakat tertentu. Pada perkembangan berikutnya, orientasi kerajinan bukan semata-mata memenuhi kebutuhan estetis, melainkan untuk menegaskan simbol status; di samping itu juga mengarah kepada kepentingan yang bersifat ekonomi. Luqman, pendiri dan pemilik perusahaan kerajinan aksesoris perak “FITRO” dilahirkan dan dibesarkan di Malang, adalah keturunan keluarga Kalimantan Selatan. Keberadaan keluarga tersebut di pulau Jawa diawali dengan hijrahnya kaik dan ninik dari Kalimantan ke Bangil, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Untuk melanjutkan usaha di bidang emas dan berlian utamanya aksesori, beliau pindah ke kota Malang. Usaha ini berlangsung secara turun temurun dengan membangun tempat kerja di rumah. Lingkup pekerjaan di bidang emas ini dimulai dari pembelian bahan dasar (emas), peleburan, pemasakan, pembuatan aksesori, sampai dengan penjualan baik kepada pedagang maupun kepada pengguna. Rentetan usaha ini dialami oleh Luqman mulai dari usia 8 tahun hingga umur 20 tahun sampai akhirnya ia dapat membuka usaha sendiri bersama dengan seorang partner kerjanya. Kemampuan Luqman untuk membuka usaha di bidang aksesori logam merupakan fakta psikologis yang menurut Durkheim (dalam Ritzer 1992:18) disebut dengan inherited. Seiring dengan adanya krisis moneter ketika usaha di bidang aksesori emas lesu, Luqman mulai melirik pada usaha aksesori perak. Keinginan untuk beralih pada aksesori perak didasari dengan pemikiran bahwa kaum perempuan tidak pernah tidak berminat untuk berhias dan menggunakan aksesori, apa pun bahan dasarnya. Perhiasan aksesoris emas yang saat itu sangat mahal akan dapat tergantikan oleh aksesori perak yang relatif lebih murah. Usaha yang pertama dilakukan oleh Luqman pada tahun 1990 dengan membuat aksesoris dari perak dengan target (sasaran) masyarakat kalangan menengah ke atas. Perkembangan jaman yang ditandai dengan penemuan teknologi yang semakin tinggi yang menjanjikan kemudahan-kemudahan dalam hal efektivitas dan efisiensi, telah mendorong ditemukannya berbagai bahan dan cara yang lebih murah untuk menghasilkan karya kerajinan. Indonesia sebagai negara penghasil kerajinan mulai mempromosikan dan menjual hasil kerajinan semaksimal mungkin ke negara lain. Perkembangan kerajinan di Indonesia yang cukup pesat dengan prospek eksport ke negara lain juga dialami oleh perusahaan kerajinan perak “FITRO”. Saat ini perusahaan “FITRO” telah bermitra dengan perusahaan perak di New Zealand untuk bekerjasama dalam memproduksi aksesori perak untuk dikirim ke Jepang dan negaranegara di Eropa. Selain itu secar retail aksesori perak “FITRO” juga dibeli pedagang dari Swiss, Belanda, Malaysia, dan Singapura. Sementara itu bantuan yang diperoleh “FITRO” dari pemerintah masih belum berarti. Beberapa pameran yang diadakan oleh pemerintah kota tidak dapat diikuti karena target penyelenggaraan pameran tidak sesuai dengan target perusahaan “FITRO”. Pameran kerajinan Indonesia yang berskala nasional hanya diikuti oleh pengusaha kerajinan berskala besar. Ketika Pertamina menjalin mitra dengan “FITRO” maka bantuan dari Pertamina sangat membantu untuk go international karena beberapa pameran yang diadakan di luar negeri disponsori oleh pihak bapak angkat. Melihat prospek kerajinan di masa datang, sudah seharusnya pemerintah Indonesia saat ini memperhitungkan kerajinan menjadi industri rakyat yang potensial sehingga dapat menegaskan jatidiri budaya bangsa, meningkatkan peluang kerja, dan dapat memperoleh devisa untuk perbaikan ekonomi. Model Interaksi Sosial dalam Pemasaran Produk Kerajinan Aksesoris Perak “FITRO” Dalam menjalankan usahanya, pemilik perusahan mengembangkan hubungan antara unsur-unsur yang berperan di dalamnya. Pengembangan usaha kerajinan perak “FITRO” memiliki tiga model interaksi sosial. Sebagaimana yang disampaikan Wadiyo (tt.:4) bahwa interaksi sosial adalah saat hubungan sosial manusia, baik individu-individu dan kelompok-kelompok dan atau individu dengan kelompok dengan ditunjukkan adanya suatu ciri telah terjadi suatu aksi dan reaksi di antara mereka yang berhubungan. Tiga model interaksi sosial yang dikembangkan “FITRO” adalah sebagai berikut: Model pertama, yakni penetapan lokasi usaha sekaligus sebagai tempat pemasaran. Dalam hal ini lokasi usaha berfungsi sebagai tempat kerja (bengkel), showroom, tempat pemasaran dan transaksi. Model ini dapat disebut model hubungan timbal balik langsung. Keseluruhan aktivitas dalam pengertian interaksi baik fisik maupun nonfisik terjadi pada lokasi usaha. Para pemakai (user) langsung datang ke lokasi usaha untuk membuat transaksi. Pemakai berperan juga sebagai alat promosi tidak langsung, karena pemakai akan menyampaikan informasi kepada pemakai yang lain melalui proses penyebaran dari mulut ke mulut (Jawa: gethok tular). Karena uang merupakan suatu ukuran nilai yang obyektif, penggunaannya meningkatkan rasionalitas yang lebih tinggi dalam transaksi antar pribadi (Johnson 1986:285). Produsen Pemakai (user) Model Interaksi I Model yang kedua, yaitu model tidak langsung. Dalam model ini peran pembeli (buyer) sangat penting dan bahkan mendominasi transaksi bisnis. Simmel (dalam Johnson 1986:284) mengembangkan ide dalam suatu esei yang berjudul “The Philosophy of Money” mengatakan bahwa uang memungkinkan orang untuk mengatasi kebutuhannya yang langsung dalam transaksi ekonomi atau terlibat dalam transaksi tidak langsung dengan sejumlah orang ketika pertukaran yang langsung itu tidak mungkin dapat dilaksanakan. Usaha kerajinan perak “FITRO” mempunyai dua kelompok pembeli, taitu pembeli skala besar dan pembeli skala kecil yang sifatnya insidental. Pembeli skala besar yang bermitra dengan “FITRO” adalah sebuah perusahaan aksesori perak yang berdomisili di New Zealand. Perusahaan ini memasarkan aksesori ke Eropa, Jepang, dan Belanda. Hubungan antara produsen dengan pemakai tidak bersifat langsung, karena aksesori perak yang diproduksi diakui sebagai produk perusahaan New Zealand, sehingga yang dikenal oleh pemakai adalah pembeli. Transaksi yang dilakukan perajin dan pembeli bersifat langsung yaitu aksesori yang diambil oleh pembeli langsung dilunasi. Pembeli skala kecil ialah pembeli yang memasarkan produk “FITRO” pada event khusus atau komunitas tertentu. Misalnya seorang pembeli memasarkan produk “FITRO” ke luar kota pada acara bazaar di kantor atau mengikuti pameran kerajinan di Surabaya dan Jakarta. Hubungan antara produsen dan pembeli tidak mengikat, dalam arti pembeli tidak harus menyampaikan informasi keberadaan “FITRO” kepada pemakai. Berbeda dengan pembeli skala besar, pembeli skala kecil tidak dituntut oleh perajin untuk membayar di muka, karena pembayaran akan dilaksanakan sesuai dengan barang yang sudah terjual. Produsen - Owner - Designer - Craftman Pembeli Pemakai (user) Model Interaksi II Model yang ketiga, yaitu interaksi melalui pameran. Pameran dipandang sebagai media yang efektif dan efisien untuk mempromosikan sekaligus memasarkan aksesori perak pada pemakai secara langsung. Keuntungan dari pameran adalah (1) sarana promosi untuk jangka panjang, (2) menjangkau pengunjung dalam jumlah besar, (3) transaksi langsung (kontan), (4) pemakai langsung memperoleh informasi perihal keperakan dari perajin, (5) produsen dapat mengadakan tanya jawab dengan pemakai, (6) pameran selalu diadakan di tempat strategis. Produsen Pameran Pemakai Model Interaksi III Pada model yang ketiga ini, hubungan antar produsen dan pemakai adalah langsung pada saat pameran. Makin sering pameran diikuti semakin besar kemungkinan dari perajin untuk memasarkan produknya. Sukses tidaknya penyelenggaraan pameran sangat menentukan keberhasilan satu promosi, karena pameran pun merupakan satu organisasi independen yang memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Untuk mendapatkan keberhasilan dalam penyelenggaraan pameran setiap unsur dalam organisasi pameran harus berfungsi sesuai dengan perannya. Ketergantungan antar unsur dalam usaha kerajinan perak dengan unsur dalam pameran sangat tinggi. Kesuksesan produsen ditentukan oleh pameran, begitu pula kesuksesan pameran ditentukan oleh produsen itu sendiri. Perkembangan Desain Aksesori Perak “FITRO” Pada awal berdirinya, perusahaan kerajinan aksesori perak “FITRO” belum memiliki karakter khusus. Bentuk-bentuk alam seperti daun, bunga menjadi motif dalam desainnya. Desain ini berbeda dengan desain aksesori perak dari Bali maupun Kendari yang selama ini sudah dikenal masyarakat luas. Pada setiap desain terdapat lapisan emas muda (10 karat) yang berfungsi sebagai aksen pada desain tersebut. Harganya pun relatif mahal. Produk yang dibuat terdiri atas cincin, gelang, kalung, dan giwang. Produk cincin dengan permata seperti pirus, blue sapphire, black onix, kecubung, banyak diminati perempuan dan laki-laki. Desain yang dibuat memiliki karakter khas namun tanpa ada sentuhan tradisional. Ternyata desain minimalis tidak sepenuhnya diterima masyarakat luas karena itu perlu ada sentuhan-sentuhan yang lain. Kondisi demikian sesuai dengan pandangan Marx mengenai “fetisisme komoditi” yang mengemukakan bahwa produk materi yang dihasilkan oleh kegiatan kreatif manusia menjadi benda-benda yang kelihatannya mengikuti hukum pasar yang bersifat impersonal, yang jelas-jelas terlepas secara mutlak dari kemauan, maksud atau kebutuhan manusia yang menciptakannya (Johnson 1986:287). Pemahaman terhadap gaya hidup, selera, sifat dan minat masyarakat kelas ini dipelajari sedikit demi sedikit sehingga perkembangan berikutnya “FITRO” menambah karakter desain semula menjadi desain eksklusif, produk dibuat tangan (handmade) dengan sentuhan etnik. Desain yang dibuat jumlahnya terbatas, artinya untuk satu desain tidak diproduksi secar besar-besaran, melainkan satu desain hanya diproduksi dalam jumlah kecil bahkan untuk desain “super eksklusif” hanya diproduksi satu kali. Buatan tangan dimaksudkan agar seluruh pengerjaan dari produk aksesori “FITRO” dikerjakan dengan tangan dan tidak ada satu bagian pun yang menggunakan mesin. Jadi desain produk yang dibuat dengan teknik handmade tidak dapat diproduksi dengan alat mesin. Untuk peningkatan mutu karya aksesori perak dan dukungan kalangan elit atau masyarakat papan atas, berkembang keterampilan yang tinggi dan karya kerajinan yang memiliki nilai estetis yang unggul. Dengan dasar itu maka dituntut juga peningkatan kreativitas atas karya kerajinan yang mereka butuhkan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Simmel (dalam Johnson 1986:284) bahwa ”tragedi” kebudayaan sebagai hubungan timbal balik yang berbentuk dialektis antara proses kehidupan subyektif dan bentuk-bentuk budaya obyektif menghasilkan ide kreatif. Jenis produk ”FITRO” bertambah dengan benda-benda souvenir seperti gelang serbet, kotak obat (pil box), asbak saku dan lainnya atas permintaan pasar. Untuk aksesori ditambah dengan bros, hiasan rambut, bolo dan hiasan dasi. Desain Eropa dan Indian, Bali dan modern dengan sentuhan etnik menjadi bagian dari perkembangan desain ”FITRO”. Bentuk tumbuh-tumbuhan yang mula-mula menjadi andalan berkembang pula dengan bentuk binatang seperti kupu-kupu, capung dengan ragam hias meander geometris dan nongeometris, sulur-suluran dengan lengkung yang dinamis. Perkembangan desain aksesori ”FITRO” merupakan perwujudan konkret dari selera masyarakat. Hal itu tampak dalam perilaku warga masyarakat, cara-cara mereka berinteraksi atau berkomunikasi, pemilihan desain, dan dalam artefak-artefak yang dibutuhkan. Dalam hal ini kesenian baik dalam bentuk ekspresi perilaku maupun artifak seringkali dipandang sebagai salah satu ciri kuat dari identitas kebudayaan. Artinya, dalam karya seni terefleksikan sistem nilai, tradisi, sumber daya lingkungan, kebutuhan hidup dan perilaku atau pola perilaku manusia, di mana kesenian itu hidup. Lebih jauh lagi Rohidi (200:196) menyatakan bahwa di dalam pewujudan kesenian tampak dengan nyata keberagaman yang mencerminkan ciri-ciri yang khas setiap daerah tempat masyarakat pendukung kebudayaan tertentu menjalani kehidupan sehari-harinya. Inilah yang dipandang menjadi kekayaan budaya, sekaligus juga jatidiri bangsa Indonesia dengan kekayaan dan keanekaragaman ekspresi keindahan yang sering diungkapkan dalam kalimat metaforik ”untaian jamrud khatulistiwa nusantara”. Di lingkungan tertentu diselenggarakan berbagai usaha peningkatan mutu karya-karya kerajinan, dan di bawah perlindungan dan dukungan masyarakat papan atas itulah berkembang secara lebih khusus keterampilan yang tinggi dan karya kerajinan yang memiliki nilai estetis yang unggul. Di sini tampak bahwa keahlian membuat karya kerajinan mulai diperlukan seiring dengan perkembangan orientasi yang semakin beragam pula jenisnya. Setiap perkembangan dalam masyarakat senantiasa juga disertai dengan perkembangan yang berbeda dalam memanfaatkan atau menghasilkan karya kesenian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sedikit demi sedikit perlahan tetapi pasti, produk ”FITRO” mulai dikenal oleh masyarakat dan diminati. Bahkan dari penjelasan perajin diketahui bahwa terjadi persaingan antar pemakai. Persaingan yang dimaksud ialah pemilihan desain yang khas, unik, tidak digandakan, dan tidak dimiliki oleh pemakai lain, serta perfect.. Kondisi ini ”dimanfaatkan” oleh produsen untuk lebih meningkatkan pemasarannya. Sebagaimana yang dikatakan para antropolog dalam premisnya, bahwa kebutuhan-kebutuhan kolektif manusia relatif tak terbatas dalam kaitannya dengan sarana pemuasnya. Sebuah premis lain menyatakan bahwa pertimbangan etis, magis, atau religius tidak akan masuk dalam perhitungan ekonomis seseorang (Kaplan dan Manners, 1999). Perkembangan berikutnya, kebutuhan untuk menggunakan karya desain ”FITRO” yang ekslusif atau unggul juga merebak ke kalangan masyarakat yang lebih umum. Perluasan penyebaran atau pemilikan karya kerajinan yang bermutu ke wilayah masyarakat dan budaya yang lebih umum menuntut perajin ”FITRO” untuk meningkatkan kreativitas optimal serta harus selalu menciptakan desain yang baru. Dukungan Faktor Sosial terhadap Pimpinan Perusahaan Kerajinan Aksesori Perak ”FITRO” Eksistensi pemimpin dalam suatu organisasi terbentuk oleh dua hal, yaitu (1) kepribadian yang didukung oleh persepsi, kemampuan, kemauan yang ada sebagai faktor internal, dan (2) faktor sosial yang mendorong pemimpin menjadi tokoh. Untuk mengoptimalkan kerja yang demikian maka diperlukan seorang pemimpin yang dapat menjalankan organisasi secara maksimal. Menurut Dayati (1998:8-10) ciri kepemimpinan banyak tergantung pada kebudayaan suatu masyarakat dan pada periode waktu tertentu. Dalam era globalisasi dengan persaingan yang sudah semakin kompleks seperti sekarang ini, pemimpin diharapkan dapat berperan sebagai pemrakasa. Pemimpin diharapkan bersama-sama seluruh anggotanya merencanakan dan mengambil keputusan mengenai rencana yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang ada, serta berbagai kemudahan yang diperoleh dari sistem pendukungnya. Di samping itu pemimpin harus mampu menerjemahkan ide-ide yang datang dari luar untuk disesuaikan dengan tujuan, minat, kebutuhan, dan kemampuan organisasi. Ide yang berasal dari luar tersebut mungkin dirasa asing oleh anggotanya, maka pemimpin harus mampu menerjemahkan ide tersebut menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan oleh organisasinya. Dalam sebuah organisasi, kegiatan membangun adalah perubahan yang direncanakan. Dengan kata lain, membangun adalah suatu usaha manusia untuk memperbaiki kehidupannya. Oleh karena itu kerja membangun dipengaruhi oleh manusia (termasuk di dalamnya nilai, tradisi, kebiasaan, tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi) serta lingkungan sosial dan alam. Membangun dapat ditafsiran sebagai usaha suatu organisasi memperbaiki kondisi yang ”kurang manusiawi” menjadi kondisi yang ”lebih manusiawi”, yaitu kondisi yang mendukung eksistensi kehidupan manusia seutuhnya. Janssen (dalam Dayati 1998:16) menyatakan bahwa strategi membangun melalui 3 M yaitu melihat, menimbang-nimbang, dan melaksanakan. Artinya, untuk belajar mengenali nilai, citra diri, citra orang lain dan berbagai aspek lain dapat dilakukan melalui mengalami dan melaksanakan sendiri (learning by doing). Terdapat dua pendekatan yang dapat diakukan, yaitu (1) pendekatan mentalistik dan (2) pendekatan pengondisian (conditioning). Pendekatan mentalistik adalah usaha mempengaruhi dan mengubah seseorang secara langsung pada mental seseorang. Pendekatan ini terfokus pada pimpinan terhadap wawasan, pengetahuan, dan keterampilan anak buah secara langsung sehingga dapat mempengaruhi kemampuan dan motivasinya. Pada akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi perilaku anak buah. Pendekatan mentalistik ditempuh melalui berbagai cara misalnya diskusi, peragaan/demonstrasi, teguran, keteladanan. Melalui cara-cara tersebut dimasukkan pikiran, ide, gagasan, keterampilan baru dengan harapan akan berpengaruh pada wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan secara tidak langsung akan terjadi perubahan sikap pada kelompok bersangkutan. Pendekatan pengondisian adalah suatu usaha mempengaruhi dan mengubah perilaku melalui mengubah kondisi dan situasi yang mempunyai pengaruh langsung terhadap perilaku kelompoknya. Pendekatan ini menekankan bahwa perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara faktor individu dan lingkungan. Apabila kondisi lingkungan diubah, maka perubahan itu akan mempengaruhi perubahan persepsi, kognisi, dan penghayatan individu. Perubahan- perubahan itu pada gilirannya akan mengubah keyakinan jiwa seseorang. Selanjutnya perubahan keyakinan akan menimbulkan perubahan perilaku. Jadi, untuk menimbulkan perubahan perilaku seseorang dapat diupayakan melalui perubahan kondisi lingkungan yang mempunyai pengaruh langsung kepada kelompoknya. Kalau pendekatan mentalistik mempengaruhi faktor internal, pendekatan pengondisian mempengaruhi faktor-faktor eksternal individu, seperti memberi peluang dan kebebasan berinisiatif, berkarya, dan berkreasi untuk mengaktualisasikan diri. Asumsinya, membangun sebagai suatu proses pembentukan dan perubahan perilaku manusia dipengaruhi oleh dua determinan, yaitu determinan kultulral dan fungsional. Determinan kultural bersifat obyektif dan berasal dari lingkungan, determinan fungsional bersifat subyektif dan berasal dari diri seseorang seperti emosi, keinginan, kebutuhan atau tuntutan. Pada pandangan tersebut di atas seorang pemimpin diharapkan senantiasa (1) bersikap terbuka dan sensitif, (2) suka mengkaji berbagai masalah bidang kehidupan dalam segala kompleksitasnya, (3) memupuk sikap ”ingin tahu” (curiositu), dan (4) tidak hanya mampu. Agar dapat melakukan hal tersebut dengan baik, minimal mereka harus memiliki lima hal, yakni (1) kemampuan yang tinggi, (2) kreativitas yang tinggi, (3) kepemimpinan dan kerjasama tim yang baik, (4) empati yang tinggi, dan (5) penampilan yang menarik, khususnya penampilan psikologis. Seperti telah diuraikan di depan, dukungan sistem sosial yang diberikan kepada pimpinan suatu perusahaan / organisasi dalam menjalankan usaha / organisasinya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu (1) organisasi, (2) keluarga, (3) masyarakat. Sesuai dengan teori kepemimpinan, peran pemilik merupakan pimpinan yang menentukan roda perusahaan. Firth (dalam Kaplan dan Manners, 1999:144) menjelaskan bahwa (1) putusan individual secara sadar atau tidak, memunculkan modifikasi perilaku peran yang kemudian menghasilkan perubahan struktural, (2) bila sarana, watak, atau unsur-unsur budaya muncul dalam suatu struktur sosial atau mempengaruhi dari ”luar” maka alternatif-alternatif tertentu yang semula tidak ada, lalu menjadi ada. Demikian juga dukungan yang diperoleh pimpinan usaha kerajinan aksesori perak ”FITRO” dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Dukungan Organisasi Usaha kerajinan aksesori perak ”FITRO” berorientasi pada bisnis kerajinan sehingga semua unsur yang bekerja pada usaha kerajinan disebut ”perajin”. Pada kegiatan bisnis ini, terjadi hubungan kekeluargaan di mana fungsi satu unsur dengan unsur lain tidak mengikat dengan ketat, tetapi dikelola secara kekeluargaan. Unsurunsur yang dimaksud adalah (1) pemilik, (2) staf, (3) perancang, (4) tukang. Organisasi usaha kerajinan aksesori perak ”FITRO” ini dapat digambarkan sebagai berikut: Tukang ( craftman ) Pemilik ( owne ) Staf pembukuan pemasaran keuangan Perancang ( designer ) Hubungan Kekerabatan dalam Model Manajemen Kekeluargaan Hubungan tidak langsung Hubungan langsung Garis komando Sebagai sebuah perusahaan keluarga, struktur organisasi perusahaan tidak tersusun dengan ketat. Pemilik berfungsi sebagai manager, yang seringkali juga merangkap sebagai desainer dan yang melakukan pemasaran. Hubungan pemilik dengan tukang adalah hubungan hirarkhi di mana tukang mengerjakan order garapan yang diperoleh dari pemilik. Pemilik berhak memilih tukang sesuai dengan desain yang akan dikerjakan, serta pemilik juga berhak untuk mengembalikan hasil pekerjaan apabila tidak sesuai dengan harapannya. Kondisi ini terjadi karena desain diciptakan dan atau diseleksi oleh pemilik sendiri. Pemilik juga berperan sebagai quality control dari setiap hasil pekerjaan tukang yang akan dipasarkan. Perancang akan membuat desain sesuai dengan pesanan dari pemilik atau menciptakan model-model atas prakarsa sendiri. Pada awalnya perancang sulit menentukan desain yang memenuhi prinsip 3F (form, follow, function), karena perancang tidak menguasai teknik penggarapan perhiasan logam. Banyak desain yang sudah diciptakan tetapi tidak dapat dikerjakan. Seleksi desain dilakukan oleh pemilik yang sudah memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun pada bidang perhiasan logam. Seringkali tukang juga dapat mengoreksi desain, yang secara teknis tidak dapat dikerjakan yang diperoleh dari perancang. Staf terdiri dari seorang yang membawahi tukang untuk masalah keuangan dan oder kerja. Selain itu ia juga menyelesaikan pembukuan perusahaan. Seorang membantu pemasaran dan kegiatan-kegiatan yang berurusan dengan luar, misalnya mengirim barang, pendaftaran SIUP, membayar pajak, dan lainnya. Seorang ahli membantu operasional di dalam ruang pamer, seperti bertanggung jawab terhadap penataan ruang dan etalase, penjualan di tempat, kebersihan, dan lainnya. Sebagaimana diutarakan di depan, usaha ini dikelola dengan cara kekeluargaan, sehingga peran setiap unsur tetap dalam pola kerjasama. Demikian eratnya kerjasama ini sehingga roda perusahaan akan terganggu apabila salah satu unsur tidak berfungsi atau kurang maksimal dalam tugasnya. Pemilik (pemimpin) tidak dapat memasarkan produk kerajinan apabila tukang tidak menghasilkan produk-produknya. Pemilik tidak dapat membuat transaksi dengan pihak luar apabila staf, perancang, dan tukang tidak memberikan dukungan maksimal. Pimpinan percaya, bahwa usaha ini tidak dapat berjalan kalau tidak ada tukang, maka harus diciptakan satu bentuk hubungan kekeluargaan yang harmonis fungsional. Perusahaan ini memiliki tempat usaha yang terdiri dari ruang kerja tukang, ruang pamer, dan ruang tamu. Semua unsur bekerja di tempat kerja mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00, hari Minggu libur. Upah yang diterima tukang perancang, dan staf berbeda. Untuk perancang dan tukang upah diberikan sesuai dengan prestasi kerja, tingkat kesulitan produk, dan masa kerja. Pada tukang yang telah bekerja lebih dari 5 tahun, mendapat upah tambahan (bonus) dengan harpan agar ia betah bekerja pada perusahaan. Proposisi George Homan (dalam Ritzer 1992:93-94) menyatakan makin tinggi ganjaran (reward) yang diperoleh atau yang akan diperoleh makin besar kemungkinan sesuatu tingkah laku akan diulang. Proses ini akan memberikan keuntungan pada kedua belah pihak, dan keuntungan itu mengandung unsur psikologis. Jumlah tukang yang bekerja pada lokasi usaha 12 orang sedangkan yang berada di luar lokasi usaha berjumlah 6 orang. Ratarata seorang tukang dapat memperoleh upah sebesar satu juta setiap bulan. Sementara untuk perancang dan staf diberi upah bulanan. Perbedaan ini dapat dipahami oleh semua pihak sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial dalam organisasi. 2. Dukungan Keluarga Keluarga mempunyai andil yang cukup besar di dalam mendukung kemajuan perusahaan yang dikelola oleh seorang pemimpin. Sebagai sebuah perusahaan swasta yang menerapkan manajemen kekeluargaan, jam kerja dari pimpinan tidak pasti. Dalam 24 jam per hari transaksi dapat dilakukan meskipun di luar lokasi usaha. Artinya, pimpinan dapat melakukan transaksi di luar jam kerja yang disepakati bersama. Misalnya pada hari Minggu terdapat pelanggan yang datang dari luar kota, pimpinan dapat melakukan transaksi dengan membuka ruang pamer atas permintaan pelanggan. Kondisi yang demikian menuntut dukungan keluarga (isteri dan anak) untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan (kepala keluarga) dalam menjalankan usahanya. Demikian juga angota keluarga tukang, staf, dan perancang menjadi syarat mutlak terpenuhinya target usaha dan secara tidak langsung memberi dukungan pada peran dan fungsi pemilik / pimpinan. Dalam sosiologi modern, pranata sosial cenderung dipandang sebagai hubungan norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktivitas manusia. Pranata sosial yang dimaksudkan adalah keluarga di mana semua fungsi dan kedudukan anggota mempunyai fungsi yang saling berhubungan dan terikat satu dengan yang lainnya (Ritzer 1992:23). 3. Dukungan Masyarakat Pada awal berdirinya perusahaan kerajinan aksesori ”FITRO” di kota Malang tahun 1990, masyarakat masih belum memberikan dukungan. Perajin merasa sangat kesulitan dalan memasarkan produknya. Ada empat faktor penyebab sulitnya pemasaran, yakni (1) aksesori perak belum dikenal oleh masyarakat, (2) kurangnya promosi, (3) interaksi perajin dan pemakai belum terjalin, (4) perajin belum dapat ”membaca” desain yang diminati oleh masyarakat. Dalam perjalanan perusahaan, langkah awal dilakukan melalui promosi di dalam kota Malang dengan mengadakan pameran. Pameran dilaksanakan pada acara-acara yang diadakan oleh kelompok yang dianggap memiliki prospek positif dalam usaha bidang kerajinan, misalnya bazaar IDI, bazaar di sebuah Bank, dan acara pameran di hotel berbintang. Pemilihan tempat promosi disesuaikan dengan sasaran yang dipandang meminati kerajinan aksesori perak. Melalui promosi yang dilakukan secara tradisional maupun melalui pameran, aksesori perak ”FITRO” saat ini sudah dapat diterima oleh masyarakat pemakai dari berbagai kota di Indonesia dan bahkan luar negeri. Oleh sebab itu ketergantungan antara masyarakat dengan perajin ”FITRO” dan sebaliknya, merupakan kunci sukses sebuah perusahan kerajinan. Artinya, dukungan masyarakat terhadap produk ”FITRO” menjadi syarat mutlak untuk kelancaran sebuah kelompok usaha. Secara tidak langsung, peran dan fungsi pemimpin juga sangat dibantu oleh dukungan masyarakat baik pembeli maupun pemakai. Penutup Berdasarkan paparan di atas, dapat disampaikan bahwa dukungan masyarakat meliputi (1) dukungan organisasi, (2) dukungan keluarga, dan (3) dukungan masyarakat konsumen amat menentukan peran pimpinan dalam membawa perusahaan ”FITRO” kepada suatu kemajuan industri perak khususnya di kota Malang dan di Indonesia pada umumnya. Sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kerajinan, usaha ini seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah dalam kemudahan-kemudahan mendapatkan bahan baku, memasarkan produk, dan mengeksport ke luar negeri dalam rangka melestarikan hasil budaya Indonesia yang memiliki ciri khas Indonesia. Daftar Pustaka Dayati, U. 1998. Kontribusi Faktor-faktor Kepemimpinan Wanita dengan Keberhasilan Program pada Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang Dipimpinya. Laporan Penelitian, Jakarta DP3M. Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan Robert M.Z. Lawang. Jakarta: PT Gramedia. Manners, A. dan Kapan, D. 1999. Teori Budaya. Terjemahan Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ahimsa-Putra, S.H. 2001. Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Ritzer, G. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan Alimandan. Jakarta: CV Rajawali. Rohidi, T.R.. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: Penerbit STSI. Wadiyo. tt. Seni sebagai Sarana Interaksi Sosial. Draf artikel, belum diterbitkan.