dukungan masyarakat terhadap perajin “fitro” dalam

advertisement
DUKUNGAN MASYARAKAT TERHADAP PERAJIN
“FITRO” DALAM MEMBANGUN SENI KERAJINAN
PERAK DI MALANG
Ida Siti Herawati *
Abtrak
“FITRO” adalah sebuah perusahaan kerajinan perhiasan aksesoris perak yang sudah
berhasil mengembangkan usahanya selama 15 tahun. Keberhasilan yang saat ini
dicapai bukanlah seperti benda turun dari langit akan tetapi karena faktor sosial dari
berbagai struktur yang terlibat, model interaksi yang diciptakan, prospek kerajinan di
masa mendatang, serta kreativitas dalam menciptakan desain yang sesuai dengan
masyarakat dan individu. Masyarakat yang memberikan dukungan kepada perajin
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu (1) perusahaan, (2) keluarga, (3) masyarakat
konsumen. Semua dukungan masyarakat dilakukan melalui model interaksi sosial.
Model yang pertama disebut interaksi langsung, yaitu transaksi bisnis yang terjadi di
lokasi usaha. Model yang kedua yaitu interaksi tidak langsung, peran pembeli (buyer)
sebagai mediator sangat penting dan bahkan mendominasi transaksi bisnis. Model
yang ketiga, yaitu interaksi melalui pameran. Saat ini perajin sudah dapat memahami
gaya hidup, selera, sifat, dan minat masyarakat sehingga perajin mampu menciptakan
desain eksklusif, perfect, dengan sentuhan etnik, serta desain yang mempribadi.
Perkembangan desain aksesoris “FITRO” merupakan perwujudan konkret dari selera
masyarakat.
Kata-kata Kunci: dukungan sosial, kerajinan perak, aksesori, model interaksi,
kreativitas desain.
Pendahuluan
Perusahaan kerajinan aksesoris perak “FITRO” didirikan pada
tahun 1990 di kota Malang. Produk kerajinan yang dihasilkan adalah
berbagai macam perhiasan aksesoris perempuan dan laki-laki yang
terbuat dari bahan utama perak. Pada awalnya hasil kerajinan
perusahaan ini sulit diterima masyarakat karena (1) bahan dasarnya
perak sehingga tidak dapat dijadikan benda investasi, (2) desain yang
“terlalu” eksklusif, dan (3) harga yang relatif mahal sehingga tidak
terjangkau oleh masyarakat dari berbagai kelas. Setelah melalui proses
pasang surut yang cukup lama, saat ini kerajinan aksesoris perak
tersebut sudah dapat berkembang dan dapat diterima berbagai strata
masyarakat. Selama lebih dari 10 tahun saat ini pemasarannya dapat
menjangkau pemakai dari kota-ota besar di Indonesia, bahkan para
buyer dari luar negeri pun sudah berminat dan bermitra dengan
perusahaan kerajinan sksesoris perak “FITRO”.
Keberhasilan yang saat ini dicapai bukanlah seperti benda yang
turun dari langit atau karena sifat pewarisannya, melainkan karena
dukungan faktor sosial dari berbagai struktur yang terlibat. Dukungan
faktor sosial yang dimaksud adalah dukungan yang selama ini sudah
diberikan. Tanpa dukungan faktor sosial tidak mungkin perajin yang
bertindak sebagai pimpinan perusahaan dapat mencapai tujuan
dengan sukses.
*
Penulis adalah dosen seni rupa Universitas Negeri Malang, sekarang sedang
menyelesaikan studi program pascasarjana Pendidikan Seni.
Berikut ini akan dipaparkan tentang fenomena perusahaan
kerajinan aksesoris perak “FITRO” dalam membangun kerajinan perak
di Malang. Paradigma struktural digunakan untuk menjelaskan gejala
sosial budaya karena paradigma ini paling tepat digunakan untuk
menjawab persoalan-persoalan struktural (Ahimsa-Putra 2001:3, 391).
Pelopor strukturalisme Levi-Strauss menggunakan pendekatan
struktural selain dalam dunia mitologi juga memanfaatkannya dalam
memahami sastra dan seni. Ritzer (1992:25) menyatakan bahwa teori
fungsionalisme struktural menekankan kepada keteraturan dan
mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagianbagian atau unsur yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam
sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Teori ini cenderung
melihat kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem
yang lain sehingga semua peristiwa dan semua unsur adalah
fungsional bagi suatu masyarakat. Penyelesaian terhadap masalah
merupakan pusat perhatian teori fungsionalisme struktural sehingga
masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Kerajinan Perak “FITRO” dan
Prospeknya di Indonesia
Sebagai salah satu bentuk kesenian, kerajinan merupakan
ekspresi kesenian yang erat hubungannnya dengan sumber daya alam
di lingkungan tempat manusia menjalani kehidupannya. Sejarah
kerajinan diawali dengan dorongan kebutuhan manusia untuk membuat
alat atau barang yang diperlukan dalam rangka menunjang
kelangsungan hidupnya sendiri (seperti alat-alat rumah tangga),
kemudian menjadi benda yang diperlukan untuk dipertukarkan dengan
benda kebutuhan lain.
Dewasa ini di Indonesia kerajinan berkembang dalam kelompok
masyarakat yang menempati strata sosial tertentu, yag memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan dan menikmati sumber daya
lingkungan dengan maksimal seperti para elit penguasa dan
keluarganya (Rohidi 2000:198). Saat ini elit penguasa banyak
dihubungkan dengan masyarakat pada tingkat sosial ekonomi di atas
rata-rata (masyarakat papan atas). Kebutuhan hidup mereka meningkat
di atas standar masyarakat kebanyakan. Kebutuhan hidup yang
meningkat ditandai dengan kebutuhan akan aktualisasi diri (kerucut
Maslow). Dalam konteks ini kemudian muncul antara lain karya
kerajinan dalam bentuk berbagai aksesori untuk mempercantik
penampilan diri. Hal ini dapat dilihat sebagai alasan mengapa di
berbagai daerah karya-karya kerajinan yang bermutu termasuk salah
satunya adalah kerajinan perak berada pada lingkungan elit
masyarakat tertentu. Pada perkembangan berikutnya, orientasi
kerajinan bukan semata-mata memenuhi kebutuhan estetis, melainkan
untuk menegaskan simbol status; di samping itu juga mengarah
kepada kepentingan yang bersifat ekonomi.
Luqman, pendiri dan pemilik perusahaan kerajinan aksesoris
perak “FITRO” dilahirkan dan dibesarkan di Malang, adalah keturunan
keluarga Kalimantan Selatan. Keberadaan keluarga tersebut di pulau
Jawa diawali dengan hijrahnya kaik dan ninik dari Kalimantan ke
Bangil, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Untuk melanjutkan usaha di
bidang emas dan berlian utamanya aksesori, beliau pindah ke kota
Malang. Usaha ini berlangsung secara turun temurun dengan
membangun tempat kerja di rumah. Lingkup pekerjaan di bidang emas
ini dimulai dari pembelian bahan dasar (emas), peleburan, pemasakan,
pembuatan aksesori, sampai dengan penjualan baik kepada pedagang
maupun kepada pengguna. Rentetan usaha ini dialami oleh Luqman
mulai dari usia 8 tahun hingga umur 20 tahun sampai akhirnya ia dapat
membuka usaha sendiri bersama dengan seorang partner kerjanya.
Kemampuan Luqman untuk membuka usaha di bidang aksesori logam
merupakan fakta psikologis yang menurut Durkheim (dalam Ritzer
1992:18) disebut dengan inherited.
Seiring dengan adanya krisis moneter ketika usaha di bidang
aksesori emas lesu, Luqman mulai melirik pada usaha aksesori perak.
Keinginan untuk beralih pada aksesori perak didasari dengan pemikiran
bahwa kaum perempuan tidak pernah tidak berminat untuk berhias dan
menggunakan aksesori, apa pun bahan dasarnya. Perhiasan aksesoris
emas yang saat itu sangat mahal akan dapat tergantikan oleh aksesori
perak yang relatif lebih murah. Usaha yang pertama dilakukan oleh
Luqman pada tahun 1990 dengan membuat aksesoris dari perak
dengan target (sasaran) masyarakat kalangan menengah ke atas.
Perkembangan jaman yang ditandai dengan penemuan teknologi
yang semakin tinggi yang menjanjikan kemudahan-kemudahan dalam
hal efektivitas dan efisiensi, telah mendorong ditemukannya berbagai
bahan dan cara yang lebih murah untuk menghasilkan karya kerajinan.
Indonesia sebagai negara penghasil kerajinan mulai mempromosikan
dan menjual hasil kerajinan semaksimal mungkin ke negara lain.
Perkembangan kerajinan di Indonesia yang cukup pesat dengan
prospek eksport ke negara lain juga dialami oleh perusahaan kerajinan
perak “FITRO”. Saat ini perusahaan “FITRO” telah bermitra dengan
perusahaan perak di New Zealand untuk bekerjasama dalam
memproduksi aksesori perak untuk dikirim ke Jepang dan negaranegara di Eropa. Selain itu secar retail aksesori perak “FITRO” juga
dibeli pedagang dari Swiss, Belanda, Malaysia, dan Singapura.
Sementara itu bantuan yang diperoleh “FITRO” dari pemerintah
masih belum berarti. Beberapa pameran yang diadakan oleh
pemerintah kota tidak dapat diikuti karena target penyelenggaraan
pameran tidak sesuai dengan target perusahaan “FITRO”. Pameran
kerajinan Indonesia yang berskala nasional hanya diikuti oleh
pengusaha kerajinan berskala besar. Ketika Pertamina menjalin mitra
dengan “FITRO” maka bantuan dari Pertamina sangat membantu untuk
go international karena beberapa pameran yang diadakan di luar
negeri disponsori oleh pihak bapak angkat.
Melihat prospek kerajinan di masa datang, sudah seharusnya
pemerintah Indonesia saat ini memperhitungkan kerajinan menjadi
industri rakyat yang potensial sehingga dapat menegaskan jatidiri
budaya bangsa, meningkatkan peluang kerja, dan dapat memperoleh
devisa untuk perbaikan ekonomi.
Model Interaksi Sosial dalam
Pemasaran Produk Kerajinan
Aksesoris Perak “FITRO”
Dalam
menjalankan
usahanya,
pemilik
perusahan
mengembangkan hubungan antara unsur-unsur yang berperan di
dalamnya. Pengembangan usaha kerajinan perak “FITRO” memiliki
tiga model interaksi sosial. Sebagaimana yang disampaikan Wadiyo
(tt.:4) bahwa interaksi sosial adalah saat hubungan sosial manusia,
baik individu-individu dan kelompok-kelompok dan atau individu
dengan kelompok dengan ditunjukkan adanya suatu ciri telah terjadi
suatu aksi dan reaksi di antara mereka yang berhubungan. Tiga model
interaksi sosial yang dikembangkan “FITRO” adalah sebagai berikut:
Model pertama, yakni penetapan lokasi usaha sekaligus sebagai
tempat pemasaran. Dalam hal ini lokasi usaha berfungsi sebagai
tempat kerja (bengkel), showroom, tempat pemasaran dan transaksi.
Model ini dapat disebut model hubungan timbal balik langsung.
Keseluruhan aktivitas dalam pengertian interaksi baik fisik maupun
nonfisik terjadi pada lokasi usaha. Para pemakai (user) langsung
datang ke lokasi usaha untuk membuat transaksi. Pemakai berperan
juga sebagai alat promosi tidak langsung, karena pemakai akan
menyampaikan informasi kepada pemakai yang lain melalui proses
penyebaran dari mulut ke mulut (Jawa: gethok tular). Karena uang
merupakan suatu ukuran nilai yang obyektif, penggunaannya
meningkatkan rasionalitas yang lebih tinggi dalam transaksi antar
pribadi (Johnson 1986:285).
Produsen
Pemakai (user)
Model Interaksi I
Model yang kedua, yaitu model tidak langsung. Dalam model ini
peran pembeli (buyer) sangat penting dan bahkan mendominasi
transaksi bisnis. Simmel (dalam Johnson 1986:284) mengembangkan
ide dalam suatu esei yang berjudul “The Philosophy of Money”
mengatakan bahwa uang memungkinkan orang untuk mengatasi
kebutuhannya yang langsung dalam transaksi ekonomi atau terlibat
dalam transaksi tidak langsung dengan sejumlah orang ketika
pertukaran yang langsung itu tidak mungkin dapat dilaksanakan.
Usaha kerajinan perak “FITRO” mempunyai dua kelompok
pembeli, taitu pembeli skala besar dan pembeli skala kecil yang
sifatnya insidental. Pembeli skala besar yang bermitra dengan “FITRO”
adalah sebuah perusahaan aksesori perak yang berdomisili di New
Zealand. Perusahaan ini memasarkan aksesori ke Eropa, Jepang, dan
Belanda. Hubungan antara produsen dengan pemakai tidak bersifat
langsung, karena aksesori perak yang diproduksi diakui sebagai produk
perusahaan New Zealand, sehingga yang dikenal oleh pemakai adalah
pembeli. Transaksi yang dilakukan perajin dan pembeli bersifat
langsung yaitu aksesori yang diambil oleh pembeli langsung dilunasi.
Pembeli skala kecil ialah pembeli yang memasarkan produk “FITRO”
pada event khusus atau komunitas tertentu. Misalnya seorang pembeli
memasarkan produk “FITRO” ke luar kota pada acara bazaar di kantor
atau mengikuti pameran kerajinan di Surabaya dan Jakarta.
Hubungan antara produsen dan pembeli tidak mengikat, dalam
arti pembeli tidak harus menyampaikan informasi keberadaan “FITRO”
kepada pemakai. Berbeda dengan pembeli skala besar, pembeli skala
kecil tidak dituntut oleh perajin untuk membayar di muka, karena
pembayaran akan dilaksanakan sesuai dengan barang yang sudah
terjual.
Produsen
- Owner
- Designer
- Craftman
Pembeli
Pemakai (user)
Model Interaksi II
Model yang ketiga, yaitu interaksi melalui pameran. Pameran
dipandang sebagai media yang efektif dan efisien untuk
mempromosikan sekaligus memasarkan aksesori perak pada pemakai
secara langsung. Keuntungan dari pameran adalah (1) sarana promosi
untuk jangka panjang, (2) menjangkau pengunjung dalam jumlah
besar, (3) transaksi langsung (kontan), (4) pemakai langsung
memperoleh informasi perihal keperakan dari perajin, (5) produsen
dapat mengadakan tanya jawab dengan pemakai, (6) pameran selalu
diadakan di tempat strategis.
Produsen
Pameran
Pemakai
Model Interaksi III
Pada model yang ketiga ini, hubungan antar produsen dan
pemakai adalah langsung pada saat pameran. Makin sering pameran
diikuti semakin besar kemungkinan dari perajin untuk memasarkan
produknya. Sukses tidaknya penyelenggaraan pameran sangat
menentukan keberhasilan satu promosi, karena pameran pun
merupakan satu organisasi independen yang memiliki unsur-unsur
yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Untuk mendapatkan
keberhasilan dalam penyelenggaraan pameran setiap unsur dalam
organisasi pameran harus berfungsi sesuai dengan perannya.
Ketergantungan antar unsur dalam usaha kerajinan perak dengan
unsur dalam pameran sangat tinggi. Kesuksesan produsen ditentukan
oleh pameran, begitu pula kesuksesan pameran ditentukan oleh
produsen itu sendiri.
Perkembangan Desain Aksesori
Perak “FITRO”
Pada awal berdirinya, perusahaan kerajinan aksesori perak
“FITRO” belum memiliki karakter khusus. Bentuk-bentuk alam seperti
daun, bunga menjadi motif dalam desainnya. Desain ini berbeda
dengan desain aksesori perak dari Bali maupun Kendari yang selama
ini sudah dikenal masyarakat luas. Pada setiap desain terdapat lapisan
emas muda (10 karat) yang berfungsi sebagai aksen pada desain
tersebut. Harganya pun relatif mahal. Produk yang dibuat terdiri atas
cincin, gelang, kalung, dan giwang. Produk cincin dengan permata
seperti pirus, blue sapphire, black onix, kecubung, banyak diminati
perempuan dan laki-laki.
Desain yang dibuat memiliki karakter khas namun tanpa ada
sentuhan tradisional. Ternyata desain minimalis tidak sepenuhnya
diterima masyarakat luas karena itu perlu ada sentuhan-sentuhan yang
lain. Kondisi demikian sesuai dengan pandangan Marx mengenai
“fetisisme komoditi” yang mengemukakan bahwa produk materi yang
dihasilkan oleh kegiatan kreatif manusia menjadi benda-benda yang
kelihatannya mengikuti hukum pasar yang bersifat impersonal, yang
jelas-jelas terlepas secara mutlak dari kemauan, maksud atau
kebutuhan manusia yang menciptakannya (Johnson 1986:287).
Pemahaman terhadap gaya hidup, selera, sifat dan minat
masyarakat kelas ini dipelajari sedikit demi sedikit sehingga
perkembangan berikutnya “FITRO” menambah karakter desain semula
menjadi desain eksklusif, produk dibuat tangan (handmade) dengan
sentuhan etnik. Desain yang dibuat jumlahnya terbatas, artinya untuk
satu desain tidak diproduksi secar besar-besaran, melainkan satu
desain hanya diproduksi dalam jumlah kecil bahkan untuk desain
“super eksklusif” hanya diproduksi satu kali. Buatan tangan
dimaksudkan agar seluruh pengerjaan dari produk aksesori “FITRO”
dikerjakan dengan tangan dan tidak ada satu bagian pun yang
menggunakan mesin. Jadi desain produk yang dibuat dengan teknik
handmade tidak dapat diproduksi dengan alat mesin. Untuk
peningkatan mutu karya aksesori perak dan dukungan kalangan elit
atau masyarakat papan atas, berkembang keterampilan yang tinggi
dan karya kerajinan yang memiliki nilai estetis yang unggul. Dengan
dasar itu maka dituntut juga peningkatan kreativitas atas karya
kerajinan yang mereka butuhkan. Hal tersebut sesuai dengan
pandangan Simmel (dalam Johnson 1986:284) bahwa ”tragedi”
kebudayaan sebagai hubungan timbal balik yang berbentuk dialektis
antara proses kehidupan subyektif dan bentuk-bentuk budaya obyektif
menghasilkan ide kreatif.
Jenis produk ”FITRO” bertambah dengan benda-benda souvenir
seperti gelang serbet, kotak obat (pil box), asbak saku dan lainnya atas
permintaan pasar. Untuk aksesori ditambah dengan bros, hiasan
rambut, bolo dan hiasan dasi. Desain Eropa dan Indian, Bali dan
modern dengan sentuhan etnik menjadi bagian dari perkembangan
desain ”FITRO”. Bentuk tumbuh-tumbuhan yang mula-mula menjadi
andalan berkembang pula dengan bentuk binatang seperti kupu-kupu,
capung dengan ragam hias meander geometris dan nongeometris,
sulur-suluran dengan lengkung yang dinamis.
Perkembangan desain aksesori ”FITRO” merupakan perwujudan
konkret dari selera masyarakat. Hal itu tampak dalam perilaku warga
masyarakat, cara-cara mereka berinteraksi atau berkomunikasi,
pemilihan desain, dan dalam artefak-artefak yang dibutuhkan. Dalam
hal ini kesenian baik dalam bentuk ekspresi perilaku maupun artifak
seringkali dipandang sebagai salah satu ciri kuat dari identitas
kebudayaan. Artinya, dalam karya seni terefleksikan sistem nilai,
tradisi, sumber daya lingkungan, kebutuhan hidup dan perilaku atau
pola perilaku manusia, di mana kesenian itu hidup.
Lebih jauh lagi Rohidi (200:196) menyatakan bahwa di dalam
pewujudan kesenian tampak dengan nyata keberagaman yang
mencerminkan ciri-ciri yang khas setiap daerah tempat masyarakat
pendukung kebudayaan tertentu menjalani kehidupan sehari-harinya.
Inilah yang dipandang menjadi kekayaan budaya, sekaligus juga jatidiri
bangsa Indonesia dengan kekayaan dan keanekaragaman ekspresi
keindahan yang sering diungkapkan dalam kalimat metaforik ”untaian
jamrud khatulistiwa nusantara”.
Di lingkungan tertentu diselenggarakan berbagai usaha
peningkatan mutu karya-karya kerajinan, dan di bawah perlindungan
dan dukungan masyarakat papan atas itulah berkembang secara lebih
khusus keterampilan yang tinggi dan karya kerajinan yang memiliki nilai
estetis yang unggul. Di sini tampak bahwa keahlian membuat karya
kerajinan mulai diperlukan seiring dengan perkembangan orientasi
yang semakin beragam pula jenisnya. Setiap perkembangan dalam
masyarakat senantiasa juga disertai dengan perkembangan yang
berbeda dalam memanfaatkan atau menghasilkan karya kesenian
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Sedikit demi sedikit perlahan tetapi pasti, produk ”FITRO” mulai
dikenal oleh masyarakat dan diminati. Bahkan dari penjelasan perajin
diketahui bahwa terjadi persaingan antar pemakai. Persaingan yang
dimaksud ialah pemilihan desain yang khas, unik, tidak digandakan,
dan tidak dimiliki oleh pemakai lain, serta perfect.. Kondisi ini
”dimanfaatkan” oleh produsen untuk lebih meningkatkan pemasarannya. Sebagaimana yang dikatakan para antropolog dalam premisnya,
bahwa kebutuhan-kebutuhan kolektif manusia relatif tak terbatas dalam
kaitannya dengan sarana pemuasnya. Sebuah premis lain menyatakan
bahwa pertimbangan etis, magis, atau religius tidak akan masuk dalam
perhitungan ekonomis seseorang (Kaplan dan Manners, 1999).
Perkembangan berikutnya, kebutuhan untuk menggunakan karya
desain ”FITRO” yang ekslusif atau unggul juga merebak ke kalangan
masyarakat yang lebih umum. Perluasan penyebaran atau pemilikan
karya kerajinan yang bermutu ke wilayah masyarakat dan budaya yang
lebih umum menuntut perajin ”FITRO” untuk meningkatkan kreativitas
optimal serta harus selalu menciptakan desain yang baru.
Dukungan Faktor Sosial terhadap Pimpinan
Perusahaan Kerajinan Aksesori Perak ”FITRO”
Eksistensi pemimpin dalam suatu organisasi terbentuk oleh dua
hal, yaitu (1) kepribadian yang didukung oleh persepsi, kemampuan,
kemauan yang ada sebagai faktor internal, dan (2) faktor sosial yang
mendorong pemimpin menjadi tokoh. Untuk mengoptimalkan kerja
yang demikian maka diperlukan seorang pemimpin yang dapat
menjalankan organisasi secara maksimal.
Menurut Dayati (1998:8-10) ciri kepemimpinan banyak tergantung
pada kebudayaan suatu masyarakat dan pada periode waktu tertentu.
Dalam era globalisasi dengan persaingan yang sudah semakin
kompleks seperti sekarang ini, pemimpin diharapkan dapat berperan
sebagai pemrakasa. Pemimpin diharapkan bersama-sama seluruh
anggotanya merencanakan dan mengambil keputusan mengenai
rencana yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan
sumber daya yang ada, serta berbagai kemudahan yang diperoleh dari
sistem pendukungnya. Di samping itu pemimpin harus mampu
menerjemahkan ide-ide yang datang dari luar untuk disesuaikan
dengan tujuan, minat, kebutuhan, dan kemampuan organisasi. Ide
yang berasal dari luar tersebut mungkin dirasa asing oleh anggotanya,
maka pemimpin harus mampu menerjemahkan ide tersebut menjadi
suatu kebutuhan yang dirasakan oleh organisasinya.
Dalam sebuah organisasi, kegiatan membangun adalah
perubahan yang direncanakan. Dengan kata lain, membangun adalah
suatu usaha manusia untuk memperbaiki kehidupannya. Oleh karena
itu kerja membangun dipengaruhi oleh manusia (termasuk di dalamnya
nilai, tradisi, kebiasaan, tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi) serta
lingkungan sosial dan alam. Membangun dapat ditafsiran sebagai
usaha suatu organisasi memperbaiki kondisi yang ”kurang manusiawi”
menjadi kondisi yang ”lebih manusiawi”, yaitu kondisi yang mendukung
eksistensi kehidupan manusia seutuhnya.
Janssen (dalam Dayati 1998:16) menyatakan bahwa strategi
membangun melalui 3 M yaitu melihat, menimbang-nimbang, dan
melaksanakan. Artinya, untuk belajar mengenali nilai, citra diri, citra
orang lain dan berbagai aspek lain dapat dilakukan melalui mengalami
dan melaksanakan sendiri (learning by doing). Terdapat dua
pendekatan yang dapat diakukan, yaitu (1) pendekatan mentalistik dan
(2) pendekatan pengondisian (conditioning).
Pendekatan mentalistik adalah usaha mempengaruhi dan
mengubah seseorang secara langsung pada mental seseorang.
Pendekatan ini terfokus pada pimpinan terhadap wawasan,
pengetahuan, dan keterampilan anak buah secara langsung sehingga
dapat mempengaruhi kemampuan dan motivasinya. Pada akhirnya
diharapkan dapat mempengaruhi perilaku anak buah. Pendekatan
mentalistik ditempuh melalui berbagai cara misalnya diskusi,
peragaan/demonstrasi, teguran, keteladanan. Melalui cara-cara
tersebut dimasukkan pikiran, ide, gagasan, keterampilan baru dengan
harapan akan berpengaruh pada wawasan, pengetahuan,
keterampilan, dan secara tidak langsung akan terjadi perubahan sikap
pada kelompok bersangkutan.
Pendekatan pengondisian adalah suatu usaha mempengaruhi
dan mengubah perilaku melalui mengubah kondisi dan situasi yang
mempunyai pengaruh langsung terhadap perilaku kelompoknya.
Pendekatan ini menekankan bahwa perilaku seseorang merupakan
hasil interaksi antara faktor individu dan lingkungan. Apabila kondisi
lingkungan diubah, maka perubahan itu akan mempengaruhi
perubahan persepsi, kognisi, dan penghayatan individu. Perubahan-
perubahan itu pada gilirannya akan mengubah keyakinan jiwa
seseorang. Selanjutnya perubahan keyakinan akan menimbulkan
perubahan perilaku. Jadi, untuk menimbulkan perubahan perilaku
seseorang dapat diupayakan melalui perubahan kondisi lingkungan
yang mempunyai pengaruh langsung kepada kelompoknya. Kalau
pendekatan mentalistik mempengaruhi faktor internal, pendekatan
pengondisian mempengaruhi faktor-faktor eksternal individu, seperti
memberi peluang dan kebebasan berinisiatif, berkarya, dan berkreasi
untuk mengaktualisasikan diri.
Asumsinya, membangun sebagai suatu proses pembentukan dan
perubahan perilaku manusia dipengaruhi oleh dua determinan, yaitu
determinan kultulral dan fungsional. Determinan kultural bersifat
obyektif dan berasal dari lingkungan, determinan fungsional bersifat
subyektif dan berasal dari diri seseorang seperti emosi, keinginan,
kebutuhan atau tuntutan.
Pada pandangan tersebut di atas seorang pemimpin diharapkan
senantiasa (1) bersikap terbuka dan sensitif, (2) suka mengkaji
berbagai masalah bidang kehidupan dalam segala kompleksitasnya,
(3) memupuk sikap ”ingin tahu” (curiositu), dan (4) tidak hanya mampu.
Agar dapat melakukan hal tersebut dengan baik, minimal mereka harus
memiliki lima hal, yakni (1) kemampuan yang tinggi, (2) kreativitas yang
tinggi, (3) kepemimpinan dan kerjasama tim yang baik, (4) empati yang
tinggi, dan (5) penampilan yang menarik, khususnya penampilan
psikologis.
Seperti telah diuraikan di depan, dukungan sistem sosial yang
diberikan kepada pimpinan suatu perusahaan / organisasi dalam
menjalankan usaha / organisasinya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu (1)
organisasi, (2) keluarga, (3) masyarakat. Sesuai dengan teori
kepemimpinan, peran pemilik merupakan pimpinan yang menentukan
roda perusahaan. Firth (dalam Kaplan dan Manners, 1999:144)
menjelaskan bahwa (1) putusan individual secara sadar atau tidak,
memunculkan modifikasi perilaku peran yang kemudian menghasilkan
perubahan struktural, (2) bila sarana, watak, atau unsur-unsur budaya
muncul dalam suatu struktur sosial atau mempengaruhi dari ”luar”
maka alternatif-alternatif tertentu yang semula tidak ada, lalu menjadi
ada. Demikian juga dukungan yang diperoleh pimpinan usaha kerajinan
aksesori perak ”FITRO” dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dukungan Organisasi
Usaha kerajinan aksesori perak ”FITRO” berorientasi pada bisnis
kerajinan sehingga semua unsur yang bekerja pada usaha kerajinan
disebut ”perajin”. Pada kegiatan bisnis ini, terjadi hubungan
kekeluargaan di mana fungsi satu unsur dengan unsur lain tidak
mengikat dengan ketat, tetapi dikelola secara kekeluargaan. Unsurunsur yang dimaksud adalah (1) pemilik, (2) staf, (3) perancang, (4)
tukang. Organisasi usaha kerajinan aksesori perak ”FITRO” ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tukang
( craftman )
Pemilik
( owne )
Staf
pembukuan
pemasaran
keuangan
Perancang
( designer )
Hubungan Kekerabatan dalam Model Manajemen Kekeluargaan
Hubungan tidak langsung
Hubungan langsung
Garis komando
Sebagai sebuah perusahaan keluarga, struktur organisasi
perusahaan tidak tersusun dengan ketat. Pemilik berfungsi sebagai
manager, yang seringkali juga merangkap sebagai desainer dan yang
melakukan pemasaran. Hubungan pemilik dengan tukang adalah
hubungan hirarkhi di mana tukang mengerjakan order garapan yang
diperoleh dari pemilik. Pemilik berhak memilih tukang sesuai dengan
desain yang akan dikerjakan, serta pemilik juga berhak untuk
mengembalikan hasil pekerjaan apabila tidak sesuai dengan
harapannya. Kondisi ini terjadi karena desain diciptakan dan atau
diseleksi oleh pemilik sendiri. Pemilik juga berperan sebagai quality
control dari setiap hasil pekerjaan tukang yang akan dipasarkan.
Perancang akan membuat desain sesuai dengan pesanan dari
pemilik atau menciptakan model-model atas prakarsa sendiri. Pada
awalnya perancang sulit menentukan desain yang memenuhi prinsip
3F (form, follow, function), karena perancang tidak menguasai teknik
penggarapan perhiasan logam. Banyak desain yang sudah diciptakan
tetapi tidak dapat dikerjakan. Seleksi desain dilakukan oleh pemilik
yang sudah memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun pada bidang
perhiasan logam. Seringkali tukang juga dapat mengoreksi desain,
yang secara teknis tidak dapat dikerjakan yang diperoleh dari
perancang.
Staf terdiri dari seorang yang membawahi tukang untuk masalah
keuangan dan oder kerja. Selain itu ia juga menyelesaikan pembukuan
perusahaan. Seorang membantu pemasaran dan kegiatan-kegiatan
yang berurusan dengan luar, misalnya mengirim barang, pendaftaran
SIUP, membayar pajak, dan lainnya. Seorang ahli membantu
operasional di dalam ruang pamer, seperti bertanggung jawab terhadap
penataan ruang dan etalase, penjualan di tempat, kebersihan, dan
lainnya. Sebagaimana diutarakan di depan, usaha ini dikelola dengan
cara kekeluargaan, sehingga peran setiap unsur tetap dalam pola
kerjasama. Demikian eratnya kerjasama ini sehingga roda perusahaan
akan terganggu apabila salah satu unsur tidak berfungsi atau kurang
maksimal dalam tugasnya. Pemilik (pemimpin) tidak dapat
memasarkan produk kerajinan apabila tukang tidak menghasilkan
produk-produknya. Pemilik tidak dapat membuat transaksi dengan
pihak luar apabila staf, perancang, dan tukang tidak memberikan
dukungan maksimal. Pimpinan percaya, bahwa usaha ini tidak dapat
berjalan kalau tidak ada tukang, maka harus diciptakan satu bentuk
hubungan kekeluargaan yang harmonis fungsional.
Perusahaan ini memiliki tempat usaha yang terdiri dari ruang
kerja tukang, ruang pamer, dan ruang tamu. Semua unsur bekerja di
tempat kerja mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00, hari Minggu libur.
Upah yang diterima tukang perancang, dan staf berbeda. Untuk
perancang dan tukang upah diberikan sesuai dengan prestasi kerja,
tingkat kesulitan produk, dan masa kerja. Pada tukang yang telah
bekerja lebih dari 5 tahun, mendapat upah tambahan (bonus) dengan
harpan agar ia betah bekerja pada perusahaan. Proposisi George
Homan (dalam Ritzer 1992:93-94) menyatakan makin tinggi ganjaran
(reward) yang diperoleh atau yang akan diperoleh makin besar
kemungkinan sesuatu tingkah laku akan diulang. Proses ini akan
memberikan keuntungan pada kedua belah pihak, dan keuntungan itu
mengandung unsur psikologis.
Jumlah tukang yang bekerja pada lokasi usaha 12 orang
sedangkan yang berada di luar lokasi usaha berjumlah 6 orang. Ratarata seorang tukang dapat memperoleh upah sebesar satu juta setiap
bulan. Sementara untuk perancang dan staf diberi upah bulanan.
Perbedaan ini dapat dipahami oleh semua pihak sehingga tidak terjadi
kecemburuan sosial dalam organisasi.
2. Dukungan Keluarga
Keluarga mempunyai andil yang cukup besar di dalam
mendukung kemajuan perusahaan yang dikelola oleh seorang
pemimpin. Sebagai sebuah perusahaan swasta yang menerapkan
manajemen kekeluargaan, jam kerja dari pimpinan tidak pasti. Dalam
24 jam per hari transaksi dapat dilakukan meskipun di luar lokasi
usaha. Artinya, pimpinan dapat melakukan transaksi di luar jam kerja
yang disepakati bersama. Misalnya pada hari Minggu terdapat
pelanggan yang datang dari luar kota, pimpinan dapat melakukan
transaksi dengan membuka ruang pamer atas permintaan pelanggan.
Kondisi yang demikian menuntut dukungan keluarga (isteri dan anak)
untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan (kepala keluarga)
dalam menjalankan usahanya. Demikian juga angota keluarga tukang,
staf, dan perancang menjadi syarat mutlak terpenuhinya target usaha
dan secara tidak langsung memberi dukungan pada peran dan fungsi
pemilik / pimpinan.
Dalam sosiologi modern, pranata sosial cenderung dipandang
sebagai hubungan norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktivitas
manusia. Pranata sosial yang dimaksudkan adalah keluarga di mana
semua fungsi dan kedudukan anggota mempunyai fungsi yang saling
berhubungan dan terikat satu dengan yang lainnya (Ritzer 1992:23).
3. Dukungan Masyarakat
Pada awal berdirinya perusahaan kerajinan aksesori ”FITRO” di
kota Malang tahun 1990, masyarakat masih belum memberikan
dukungan. Perajin merasa sangat kesulitan dalan memasarkan
produknya. Ada empat faktor penyebab sulitnya pemasaran, yakni (1)
aksesori perak belum dikenal oleh masyarakat, (2) kurangnya promosi,
(3) interaksi perajin dan pemakai belum terjalin, (4) perajin belum dapat
”membaca” desain yang diminati oleh masyarakat.
Dalam perjalanan perusahaan, langkah awal dilakukan melalui
promosi di dalam kota Malang dengan mengadakan pameran.
Pameran dilaksanakan pada acara-acara yang diadakan oleh
kelompok yang dianggap memiliki prospek positif dalam usaha bidang
kerajinan, misalnya bazaar IDI, bazaar di sebuah Bank, dan acara
pameran di hotel berbintang. Pemilihan tempat promosi disesuaikan
dengan sasaran yang dipandang meminati kerajinan aksesori perak.
Melalui promosi yang dilakukan secara tradisional maupun melalui
pameran, aksesori perak ”FITRO” saat ini sudah dapat diterima oleh
masyarakat pemakai dari berbagai kota di Indonesia dan bahkan luar
negeri. Oleh sebab itu ketergantungan antara masyarakat dengan
perajin ”FITRO” dan sebaliknya, merupakan kunci sukses sebuah
perusahan kerajinan. Artinya, dukungan masyarakat terhadap produk
”FITRO” menjadi syarat mutlak untuk kelancaran sebuah kelompok
usaha. Secara tidak langsung, peran dan fungsi pemimpin juga sangat
dibantu oleh dukungan masyarakat baik pembeli maupun pemakai.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat disampaikan bahwa
dukungan masyarakat meliputi (1) dukungan organisasi, (2) dukungan
keluarga, dan (3) dukungan masyarakat konsumen amat menentukan
peran pimpinan dalam membawa perusahaan ”FITRO” kepada suatu
kemajuan industri perak khususnya di kota Malang dan di Indonesia
pada umumnya. Sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
kerajinan, usaha ini seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah
dalam kemudahan-kemudahan mendapatkan bahan baku,
memasarkan produk, dan mengeksport ke luar negeri dalam rangka
melestarikan hasil budaya Indonesia yang memiliki ciri khas Indonesia.
Daftar Pustaka
Dayati, U. 1998. Kontribusi Faktor-faktor Kepemimpinan Wanita
dengan Keberhasilan Program pada Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang Dipimpinya. Laporan Penelitian, Jakarta
DP3M.
Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan
Robert M.Z. Lawang. Jakarta: PT Gramedia.
Manners, A. dan Kapan, D. 1999. Teori Budaya. Terjemahan Landung
Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahimsa-Putra, S.H. 2001. Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya
Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Ritzer, G. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Terjemahan Alimandan. Jakarta: CV Rajawali.
Rohidi, T.R.. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan.
Bandung: Penerbit STSI.
Wadiyo. tt. Seni sebagai Sarana Interaksi Sosial. Draf artikel, belum
diterbitkan.
Download