ALMANAK REFORMASI SEKTOR KEAMANAN INDONESIA 2009 AH K SIKAP PIJA BI J A K AR Editor : Beni Sukadis DCAF LESPERSSI Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia The Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 ALMANAK REFORMASI SEKTOR KEAMANAN INDONESIA 2009 Editor : Beni Sukadis Asisten Editor : Maryam Dato & Henwira Halim September 2009 Foto sampul depan : - Majalah TEMPO, Hendri Ismail Hak Cipta © LESPERSSI dan DCAF, 2009 ISBN : 978-979-25-2036-1 Peringatan : Pandangan-pandangan yang ada di dalam buku ini merupakan tanggungjawab para penulisnya dan bukan merupakan pandangan resmi dari penerbit yaitu Lesperssi dan DCAF. ii Daftar Isi Daftar isi Kata pengantar Suripto, SH, Ketua Dewan Pendiri LESPERSSI Dr. Philipp Fluri, Deputi Direktur DCAF iii v vii Pendahuluan Beni Sukadis; editor 1 Presiden Dan Reformasi Sektor Keamanan Yuliah Qotimah 5 Otonomi Relatif, Interdependensi dan Transformasi Orientasi Departemen Pertahanan Kusnanto Anggoro 25 Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam Reformasi Sektor Keamanan Suryama M. Sastra dan Yusa Djuyandi 37 Jalan Panjang Reformasi TNI Al Araf 50 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Galih 76 Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Aris Santoso 91 Armada Republik Indonesia: Kini dan Ke Depan Alman H. Ali 104 Korps Marinir Fauzan Djamaluddin 114 BAIS Rizal Darmaputra 128 Reformasi Polri S. Yunanto 136 Brimob Polri Muradi 159 Quo Vadis Densus 88 Anti Teror Polri ? Eko Maryadi 174 iii Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan Edwin Partogi 188 Merajut Perdamaian Dan Keadilan Oslan Purba 211 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia Shiskha Prabawaningtyas 232 Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan Mufti Makaarim A 250 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Bhatara I.Reza. 267 Kontributor 300 Lampiran 304 Profil Intitusi 309 iv Kata Pengantar Kata Pengantar Suripto, SH Ketua Dewan Pendiri LESPERSSI Hingga saat ini reformasi sektor keamanan di Indonesia belum mengalami kemajuan yang berarti karena pihak yang berwenang di bidang pertahanan dan keamanan (Dephan dan TNI) masih saja belum transparan dan akuntabel dengan bersembunyi di dibalik 'rahasia negara'. Apabila RUU Rahasia Negara disahkan (tanpa perbaikan yang substansial), maka semakin sulit para pemangku kepentingan (stake holders) untuk melakukan fungsi pengawasannya. Artinya, jangankan pihak lembaga swadaya masyarakat atau media massa, bahkan DPR sekalipun akan kehilangan fungsinya untuk melakukan pengawasan terhadap mitra kerjanya yaitu Dephan dan Mabes TNI AD, TNI AL dan TNI AU serta lembaga intelijen (BIN). Dari semua peristiwa yang terjadi selama 2007 - 2009 yang dapat terekam dalam Almanak 2009 ini membuktikan bahwa fungsi pengawasan dapat dikatakan masih lemah. Maka tantangan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia ke depan adalah memberdayakan fungsi pengawasan oleh DPR, media cetak dan media elektronik, serta lembaga swadaya masyarakat. Bagaimana caranya? Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakteristik sendiri, dimana pembatasan akan mendapatkan perlawanan. Saat ini, Indonesia adalah salah satu negara yang tengah menjalankan proses reformasi sektor keamanan yang menjalin kerjasama dengan negara-negara lain yang peduli dengan persoalan reformasi sektor keamanan Indonesia. Bentuk kerjasama inilah yang perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan agar para stakeholder memiliki kemampuan teknis dan profesional dalam mengawasi isu atau masalah pertahanan dan keamanan. Dalam era globalisasi ini masalah transparansi dan akuntabilitas tidak bisa lagi “dipagari” lewat batas teritorial suatu negara, sehingga perangkat RUU rahasia negara tidak akan efektif untuk melumpuhkan semangat pengawasan. Oleh karena itu sekalipun seandainya akuntabilitas mau dibungkam di wilayah kedaulatan Indonesia, namun masyarakat internasional bakal tidak berdiam diri, karena garis kecenderungan dunia sekarang sedang menuju perubahan (reformasi) dan juga faktor interdependensi. Maka jika masih ada pihakpihak yang masih bermimpi untuk kembali ke masa Orde Baru, berarti mereka berlawanan dengan gerak jarum jam dan konsekuensinya mereka akan berhadapan dengan rakyat Indonesia yang mendambakan reformasi berjalan terus. Mereka harus menyadari bahwa dua kutub dinamika yaitu dinamika eksternal dan internal bakal menghapuskan mimpinya itu, sehingga akhirnya menyadari bahwa pilihan satusatunya adalah reformasi sektor keamanan terus berlanjut dengan tegaknya prinsip transparansi dan akuntabilitas. v Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Sebagai akhir kata, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para kontributor buku Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk menyumbangkan pemikirannya sesuai dengan minat dan keahliannya. Tanpa partisipasi dari para kontributor, tentunya buku ini tidak akan dapat dipublikasikan. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada pihak DCAF (Swiss) dan Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan dalam penulisan buku ini dan berbagai program reformasi sektor keamanan lainnya. Semoga buku ini dapat memberikan sumbangan dalam menata sejumlah persoalan di sektor keamanan Indonesia.¦ Jakarta September 2009. vi Kata Pengantar Kata Pengantar Philipp Fluri Deputi Direktur DCAF Almanak tentang Aktor-aktor dan Badan-badan Sektor Keamanan Indonesia bertujuan utama untuk memetakan kemajuan yang telah dibuat dalam mereformasi Sektor Keamanan di sepuluh tahun terakhir. Kedua, dengan cara menandakan status reformasi dan kebutuhan reformasi yang lebih jauh, Almanak ini bertujuan untuk menjadi sebuah fasilitas untuk diskusi dan referensi yang bisa membantu untuk memprioritaskan berbagai upaya reformasi sektor keamanan yang sedang berjalan untuk memastikan provisi keamanan publik yang lebih baik oleh para aktor sektor keamanan. Sejak awal era demokrasi di Indonesia, berbagai kebijakan dan praktek badan-badan keamanan negara telah menjadi isu penting yang secara spontan merefleksikan tidak hanya kebebasan dari rasa takut dan kebebasan berekspresi di Indonesia, tapi juga reputasi Indonesia pada tingkat internasional. Pada umumnya tidak adanya provisi keamanan publik telah menjadi katalis bagi protes, tidak adanya rasa percaya pada berbagai institusi publik dan berkurangnya keabsahan berbagai kebijakan dan praktek pemerintah. Setelah sepuluh tahun berlangsungnya reformasi, studi ini berupaya untuk menjelaskan kemajuan yang telah dibuat dalam reformasi sektor keamanan dengan cara menganalisa berbagai institusi sektor keamanan yang tetap eksis untuk memberikan pelayanan keamanan publik. Dengan munculnya tata kelola sektor keamanan sebagai suatu norma demokratis pada tingkat internasional, maka efektifitas berbagai program reformasi sektor keamanan, akses masyarakat umum kepada keamanan publik dan konsistensi kebijakan, praktek dan manajemen pemerintah di sektor keamanan telah memberikan pengaruh bagi persepsi kepatuhan HAM di berbagai negara dan wilayah. Dalam konteks umum demokratisasi, pembangunan dan tata pemerintahan yang baik, ide bahwa negara memberikan keamanan sebagai suatu public good telah mapan. Negara sekarang kembali memfokuskan untuk memberikan keamanan dan akses bagi para warga negara sampai dengan tingkat komunitas daripada memberikan keamanan bagi kepentingan politik atau ekonomi kelompok tertentu. Semenjak tahun 1998, perkembangan demokrasi di Indonesia dan munculnya sebagai aktor ekonomi penting di Asia telah menjadi latar belakang debat tentang reformasi sektor keamanan pada era pasca Soeharto. Dalam konteks umum reformasi sektor keamanan, telah banyak perhatian yang diberikan kepada Reformasi Pertahanan dan sekarang lebih banyak perhatian yang diberikan kepada agenda Reformasi Polisi dan Reformasi Intelijen terutama terkait dengan isu-isu seperti RUU Rahasia Negara. Inti dari berbagai perdebatan ini adalah kebutuhan atas transparansi dan akuntabilitas dalam hal kebijakan, praktek dan pendanaan. Sektor keamanan telah bekerjasama dengan berbagai platform reformasi dan hal tersebut tidak hanya melalui berbagai kewajiban reformasi demokratis, tapi juga berbagai kepentingannya yang saling menguntungkan di era reformasi. vii Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Pada saat yang sama telah banyak organisasi masyarakat sipil (OMS) yang telah mengembangkan kapasitas mereka untuk memonitor, melakukan riset dan menganalisa isuisu penting serta melakukan follow-up dengan berbagai rekomendasi untuk memperbaiki provisi keamanan publik melalui lobi, advokasi dan peningkatan kesadaran kepada para stakeholder. Oleh karena itu, untuk menginformasikan lebih jauh debat tentang transparansi dan akuntabilitas sektor keamanan di Indonesia dan mengidentifikasikan kebutuhan reformasi yang sedang berjalan kepada pihak-pihak seperti bidang pertahanan, polisi dan intelijen, maka Almanak ini merefleksikan sedikit upaya untuk memetakan sektor keamanan, berbagai tingkat provisi keamanan publik dan status berbagai upaya reformasi yang tengah berjalan. Dengan cara memetakan berbagai bidang masalah utama dan membagi berbagai aktor, badan dan isu tematis sektor keamanan yang relevan, Almanak ini memberikan suatu benchmark dari kontribusi-kontribusi berbagai badan bagi keamanan publik dan pada saat bersamaan memberikan berbagai solusi yang bisa membantu untuk menyelesaikan isu-isu penting yang teridentifikasi. Proses pemetaan ini ditujukan untuk bisa diulangi di masa mendatang dalam rangka memetakan sejauh mana kepatuhan pada HAM telah lebih baik di sektor keamanan. Selanjutnya studi ini juga merefleksikan kemajuan yang telah dilakukan dalam berbagai upaya reformasi serta analisa sejak Almanak Reformasi Sektor Keamanan yang terakhir dipublikasikan pada tahun 2007 1 yang mana merupakan upaya pertama untuk memetakan sektor keamanan Indonesia dan pelayanan publiknya. Lesperssi telah menjadikan pembuatan, implementasi dan publikasi Almanak ini sebagai suatu komponen dari kinerjanya yang berkesinambungan atas penataan sektor keamanan demokratis di Indonesia. Proyek ini adalah salah satu dari tiga proyek terkini antara Lesperssi dan Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) dan proyek lainnya memfokuskan untuk membangun kapasitas para staf parlemen dalam rangka membantu kinerja berbagai komisi parlemen dalam isu-isu pemantauan sektor keamanan; yang lainnya membangun kapasitas media untuk menganalisa isu-isu penataan sektor keamanan. Almanak ini merefleksikan kapasitas masyarakat sipil Indonesia dalam pemantauaan dan advokasi untuk menganalisa isu-isu pemantauan sektor keamanan dan mengadvokasi berbagai upaya reformasi berjangka lebih panjang. Oleh karena itu hal tersebut mengindikasikan sejauh mana faktor lokal telah menjadi pendorong fundamental bagi proses penataan sektor keamanan. 1 Beni Sukadis (ed.), Almanac on Indonesian Security Sector Reform 2007, (Jakarta: DCAF & Lesperssi, 2007). Available at http://www.dcaf.ch/publications/kms/details.cfm?ord279=title&q279=Beni%2BSukadis&lng=en&id=39772&nav1=5 viii Kata Pengantar Akhir kata, DCAF berterima kasih atas dukungan Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman yang membiayai proyek ini secara penuh sebagai bagian dari program dua tahun untuk membantu pengembangan kapasitas penataan sektor keamanan yang demokratis bagi berbagai institusi demokratis, masyarakat sipil, media massa dan sektor keamanan. Jenewa, September 2009 ix Pendahuluan Pendahuluan Almanak Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 2009 10 tahun Reformasi Sektor Keamanan Beni Sukadis 1 Pengantar Reformasi Sektor Keamanan (RSK) merupakan suatu komponen penting dalam gelombang reformasi politik di tanah air sejak 1998. RSK adalah tindak lanjut dari tuntutan mahasiswa dan kelompok-kelompok sipil lainnya di tanah air yang menghendaki aktor-aktor di bidang keamanan seperti TNI, Polri dan intelijen menjadi institusi profesional. Esensi dari reformasi sektor keamanan tersebut adalah transformasi struktur, legislasi dan budaya dari institusi yang tertutup dan penuh kerahasiaan menjadi suatu institusi yang transparan dan bertanggungjawab. Sejatinya para aktor keamanan baik TNI, Polri dan BIN merupakan institusi negara yang memberikan layanan publik di bidang keamanan pada masyarakat umum. Dengan pengertian tersebut sebenarnya mereka seharusnya memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk melindungi dan melayani masyarakat tanpa pamrih. Dalam kaitannya dengan layanan publik untuk memberikan rasa aman, maka Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia sangat relevan untuk terus digulirkan agar terjadi transformasi institusi menjadi suatu aktor keamanan yang handal dan profesional. Dalam rangka transformasi menuju suatu institusi yang bertanggungjawab dan transparan tentu diperlukan beberapa prasyarat dari segi landasan hukum dan landasan politik. Selama sepuluh terakhir ini telah banyak produk hukum yang dapat mengawasi kinerja dari para aktor keamanan. Dapat disebutkan bahwa TAP MPR No.VI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri dan Tap MPR No. VII/2000 tentang peran TNI dan Polri, merupakan landasan hukum utama agar kedua aktor keamanan tersebut dapat berperan. Tahun 2002 parlemen Indonesia mensahkan dua produk UU yaitu UU No. 2/2002 tentang Polri dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Kedua landasan hukum ini makin menguatkan bahwa kedua institusi yakni TNI dan Polri memiliki wewenang dan tugas yang berbeda. Pada tahun 2004, UU No.34 tentang TNI disahkan agar fungsi dan peran TNI bisa diatur secara lebih jelas. UU No.34/2004 ini makin menjelaskan bahwa fungsi TNI hanya sebagai pelaksana kebijakan yang dibuat oleh eksekutif (Presiden dan Menhan). Transformasi Institusi Perlu diketahui hingga saat ini, dari publik, masih saja ada pertanyaan tentang sejauh mana reformasi internal yang dilakukan masing-masing institusi baik TNI, Polri, maupun intelijen. Kedua institusi pertama bisa dikatakan lebih maju dalam melakukan reformasi internal yakni 1 Beni Sukadis adalah Koordinator Program Lesperssi, Jakarta 1 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 dengan melakukan sejumlah validasi organisasi dan reformasi legislasi. Sebagai contoh konkret, institusi TNI telah memiliki UU tersendiri pada tahun 2004, walaupun masih jauh dari tuntutan ideal dari masyarakat sipil. Paling tidak UU No. 34/2004 tentang TNI semakin menguatkan bahwa TNI hanya bertugas untuk mempertahankan Negara dari ancaman eksternal. Yang menarik dari proses reformasi di bidang keamanan adalah aktor-aktor tersebut harus beradaptasi dengan situasi nasional, regional dan internasional. Pada awalnya memang situasi nasional merupakan pendorong utama dari kebutuhan reformasi internalnya. Di mana situasi politik dan ekonomi yang memburuk mengakibatkan jatuhnya rezim Soeharto. Disinilah perubahan insitutional menjadi kebutuhan sebagai akibat desakan situasi nasional yang sedang mengalami krisis multidimensional. Dengan demikian untuk mengetahui sampai sejauh mana reformasi internal para aktor keamanan (TNI, Polri dan Intelijen) dan hubungannya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) seperti Dephan, DPR, organisasi masyarakat sipil, media massa, dll, maka Almanak RSK di Indonesia perlu dibuat. Reformasi internal akan sangat sulit dilihat jika para aktor keamanan belum memiliki keinginan kuat untuk berperan serta dalam proses transparansi terutama dalam kaitannya dengan perumusan dokumen-dokumen keamanan nasional, penyusunan anggaran belanja ataupun berbagai dokumen lainnya. Proses yang penting dalam RSK adalah sampai sejauh mana aktor keamanan melihat persepsi ancaman baik dari lingkungan internal dan eksternal. Persepsi ancaman ataupun penilaian terhadap ancaman sangat mempengaruhi force structure, kemampuan dan anggaran dari masing-masing aktor. Penilaian terhadap ancaman akan dirumuskan pada pembagian peran dan tugas yang lebih spesifik diantara aktor keamanan. Selain itu penilaian terhadap ancaman yang komprehensif maka dapat disusun suatu perencanaan dan penyusunan anggaran yang berorientasi kinerja. Proses ini tentunya harus melibatkan aktor-aktor pengawas (oversight actors) baik itu otoritas politik yang berasal dari eksekutif, legislatif maupun organisasi masyarakat sipil (CSO). Tugas pengawasan ini menjadi salah satu indikator bahwa aktor keamanan telah beradaptasi menjadi institusi yang bertanggungjawab dan terbuka. Salah satu tantangan yang dihadapi saat ini bagaimana implementasi dari UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang telah disahkan pada tahun 2008. Tugas-tugas pengawasan DPR dan masyarakat sipil dan lainnya melalui landasan UU ini, akan melengkapi dan menjadi dorongan bagi optimalisasi peran para aktor pengawas tersebut. Memang kebutuhan informasi yang valid dan akurat adalah bagian dari proses pengawasan. Tanpa informasi yang akurat agak sulit melakukan suatu pengawasan demokratis terhadap para aktor keamanan terutama aktor intelijen (BIN) yang sampai saat ini belum memiliki landasan hukum organisasi. Mengapa Almanak Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia perlu? Buku ini merupakan lanjutan dari buku pertama yang berjudul sama yaitu Almanak 2 Pendahuluan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia yang diterbitkan 2007. Diharapkan buku kedua ini dapat melengkapi kajian dan perkembangan RSK di Indonesia selama 2007 hingga 2009, walaupun mungkin disana sini terdapat pengulangan disejumlah isu dan masalah. Sebagaimana kita ketahui RSK adalah suatu upaya terus menerus dari para stakeholders dalam melakukan kontrol terhadap para aktor keamanan sehingga mereka bertanggungjawab terhadap otoritas politik dan masyarakat. Inti dari RSK adalah mengubah institusi yang tadinya tertutup menjadi terbuka dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam transformasi institusi terutama dalam perencanaan dan proses pembuatan keputusan sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis. Almanak RSK 2009 dimaksudkan juga untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang sejumlah isu, kebijakan ataupun praktek-praktek yang terkait dengan para aktor keamanan dan pemangku kepentingan di Indonesia. Beberapa isu atau praktek dari TNI – bisnis TNI dan koter - masih dibahas disini, tetapi dimasukkan dalam bab mengenai TNI. Beberapa bab tambahan baru yaitu deskripsi tentang reformasi kelembagaan dari Kopassus, Kostrad, Armada RI dan Marinir. Sedangkan dari Polri, yang diangkat adalah reformasi POLRI, serta tiga institusi dibawah Polri yakni Brigade Mobil (Brimob) dan Detasemen Khusus 88 (DENSUS 88) serta Badan Intelijen Keamanan (BIK/Baintelkam). Untuk masalah Intelijen di luar Intelijen Polisi hanya ada satu bab yakni dan organisasi intelijen militer (BAIS). Tulisan BAIS ini bukan tulisan baru, hanya ada beberapa revisi baik terkait struktur BAIS dengan penjelasan lebih detail. Sejumlah masalah yang tak kalah pentingnya dimasukkan dalam Almanak ini yakni reformasi legislasi (UU), manajemen perbatasan di Indonesia dan peran aktor keamanan di daerah konflik seperti Aceh dan Poso. Ketiga topik ini saling terkait erat dengan pembagian peran dan tugas diantara para aktor keamanan di Indonesia. Paling tidak ada dua regulasi yang terkait dengan aparat keamanan yang dibahas cukup intensif sejak tahun 2006 yaitu RUU Kamnas dan RUU Peradilan Militer. Kedua rancangan legislasi ini akan makin melengkapi aturan dan hukum bagi terlaksananya kerja yang profesional dari para aktor keamanan. Selain itu, Almanak RSK 2009 akan memaparkan lagi peran dan tugas dari sejumlah pemangku kepentingan dari pemerintah yaitu pihak eksekutif direpresentasikan oleh Presiden Departemen Pertahanan dan pihak legislatif yakni DPR RI. Dephan merupakan otoritas politik yang paling bertanggungjawab dalam menyusun kebijakan pertahanan negara (a.l Buku Putih Pertahanan, strategi pertahanan, dan postur pertahanan, dll) dan dokumen pertahanan lainnya, sedangkan tugas DPR RI adalah melakukan pengawasan terhadap para aktor keamanan baik dari segi akuntabilitas kinerja maupun anggaran. Peran mereka dapat dilihat sampai sejauh mana dalam melakukan tugas-tugas konstitusional tersebut. Kemudian dibahas pula pemangku kepentingan dalam reformasi sektor keamanan yang berasal dari masyarakat sipil yaitu LSM/akademisi. Institusi sipil ini bisa dikatakan sebagai pendapat dari masyarakat umum. Peran mereka sangatlah signifikan sebagai kelompok penekan dalam konteks reformasi sektor keamanan. Selama sepuluh tahun reformasi sektor keamanan, mereka secara konsisten mengkritik dan mengkaji sejumlah isu reformasi sektor keamanan. 3 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Almanak 2009 ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana relasi antara otoritas politik (Dephan, DPR) dan otoritas operasional keamanan (TNI, Polri, BIN), ataupun diantara para otoritas keamanan dalam menangani beberapa persoalan keamanan. Hubungan diantara para aktor keamanan seharusnya terkoordinir dan saling membantu, sehingga terjadi sinergi dalam mengelola persoalan keamanan. Kemudian juga relasi aktor keamanan dengan masyarakat – sebagai salah pihak berkepentingan - perlu dilihat dari perspektif yang lebih luas yaitu upaya meningkatkan transparansi dari para aktor keamanan. Tentunya dengan bentuk tulisan yang deskriptis, analitis dan berupaya seobyektif mungkin, maka penerbitan Almanak RSK di Indonesia 2009 diharapkan dapat pula memberikan kontribusi bagi masyarakat umum seperti pelajar, mahasiswa, pengusaha, dan lain-lain, selain bagi para stakeholders yaitu LSM, media massa, pejabat pemerintah, dan anggota DPR. Almanak ini dibuat untuk memberikan gambaran apa yang telah dilakukan dalam Reformasi Sektor Keamanan selama 2007-2009, apa saja hambatan yang masih merintangi dan apa atau bagaimana yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Almanak ini tidak ingin berpretensi untuk memberikan semua jawaban atas masalah-masalah yang ada dalam reformasi sektor keamanan. Reformasi Sektor Keamanan yang dialami Indonesia saat ini adalah proses yang penuh liku dan panjang, bisa dikatakan perlu waktu dan kesabaran untuk melihat hasil yang diinginkan. Proses ini memerlukan beberapa prasyarat penting yakni Pertama, kesadaran ataupun kesamaan pandangan diantara para stakeholders dalam melihat kepentingan nasional dan melihat persepsi ancaman nasional. Kedua, ada perubahan mindset atau paradigma untuk melihat peran dan tugas para aktor keamanan sesuai dengan mandatnya. Ketiga, perlu adanya kesadaran bersama bahwa semua pihak bertanggungjawab untuk mengoptimalkan perannya masing-masing. Keempat, yang tak kalah penting bahwa para aktor keamanan harus tunduk dan bertanggungjawab terhadap otoritas politik yang terpilih. Kami perlu ulangi disini bahwa proses reformasi sektor keamanan di Indonesia adalah proses yang tidak mudah. Seperti telah disebutkan diatas perlu kesabaran, konsistensi dan yang mungkin saja luput dari kita adalah soal stamina dari aktor pengawas baik pihak pemerintah maupun dari luar pemerintah (CSO, media massa dan lain-lain). Sehingga cita-cita awal reformasi yakni ingin mewujudkan aktor-aktor keamanan yang bertanggungjawab dan handal bukanlah sekedar suatu impian belaka. 4 Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan PRESIDEN DAN REFORMASI SEKTOR KEAMANAN Yuliah Qotimah 1 Pengantar Mengkaji tentang Presiden (Eksekutif ) dalam konteks Reformasi Sektor Keamanan (RSK) di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari bentuk sistem pemerintahan Indonesia dan tujuan RSK. Hal ini mempengaruhi bagaimana pemerintah mengelola sektor keamanan untuk menyediakan keamanan bagi warganya. Sejak awal, pendiri negara menghendaki pemerintahan negara Indonesia yang modern dengan sistem presidensiil seperti sistem demokrasi yang diterapkan di Amerika. Sistem ini menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif ). Menurut teori pemisahan kekuasaan Montesqiue yang menjadi acuan organisasi negara modern, kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan untuk menjalankan undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif dan tidak memiliki kekuasaan untuk mengadili yang merupakan otoritas kekuasaan yudikatif. Kekuasaan eksekutif harus terpisah dari kekuasaan legislatif karena dikhawatirkan pelaksana hukum akan memperbesar kekuasaannya sendiri. Sementara bila kekuasaan eksekutif digabungkan dengan kekuasaan yudikatif, akan terjadi tindakan kekerasan dan penindasan. Sementara itu berkaitan dengan RSK, pada hakekatnya adalah sejumlah perubahan dari segi pengaturan legislasi, perubahan orientasi kebijakan, strategi operasional maupun struktur organisasi dari instansi-instansi yang bertugas sebagai pelaksana fungsi pemerintahan di bidang keamanan. Tujuan utama dari RSK yaitu melakukan transformasi institusi-institusi keamanan sehingga mereka dapat menjalankan perannya secara efektif, berdasar hukum (legitimate) dan bertanggung gugat (accountable) dalam memberikan jaminan kepada 2 warga negaranya. RSK merupakan proses yang acapkali melelahkan khususnya di negaranegara yang sedang mengayuh transisi menuju demokrasi. Keharusan untuk melakukan RSK di Indonesia didasarkan pada adanya kebutuhan nyata yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam masa transisi.Tuntutan ini sepenuhnya merupakan tugas yang diemban oleh Presiden Indonesia di masa reformasi. Sebagai pemegang mandat otoritas sipil dan pelaksana undang-undang, dalam mengupayakan tercapainya tujuan RSK, Presiden tidak dapat dilihat hanya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, tetapi juga mempertimbangkan kedudukannya sebagai kepala negara. Pertanyaan mendasar yang akan dijawab dalam bab ini adalah bagaimanakah [ke depan] peran Presiden dalam Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia. Bab ini menggambarkan perkembangan pengelolaan sektor keamanan di Indonesia dan peranan Presiden dalam 1 Yuliah Qotimah, adalah peneliti di Propatria Institute, Jakarta Kusnanto Anggoro, “Reformasi Sektor Keamanan, Kewenangan Negara dan Partisipasi Publik,” Pengantar Ketiga dalam Tim Propatria, (Andi Widjajanto (ed.)), Reformasi Sektor Keamanan Indonesia (Jakarta: ProPatria, 2004) h. xviii 2 5 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 reformasi sektor keamanan. Selanjutnya pertanyaan masalah akah dijawab berdasarkan analisis terhadap lingkungan internal dan eksternal. Analisis lingkungan internal meliputi kelemahan dan kekuatan dalam proses pengelolaan sektor keamanan.Sementara analisis linkungan eksternal meliputi ancaman dan peluang bagi Presiden memainkan peranannya dalam RSK . Peran Ideal Presiden (Eksekutif) dalam Reformasi Sektor Keamanan Dalam konteks RSK, fungsi dari lembaga eksekutif (otoritas sipil) adalah untuk melaksanakan kontrol politik terhadap berbagai kebijakan, penganggaran dan operasi para aktor sektor keamanan. Eksekutif harus memastikan terlaksananya prinsip-prinsip good governance dalam RSK. Lingkup kegiatan RSK sendiri sangat luas yang meliputi pertanggung-gugatan (accountability) aktor sektor keamanan; ketaatan dan kepatuhan aktor sektor keamanan terhadap hukum baik domestik maupun internasional; transparansi perencanaan, penganggaran dan operasi para aktor sektor keamanan; supremasi sipil atas militer yang didasari penghormatan terhadap hak asasi manusia; pelibatan masyarakat sipil untuk mengawasi, mengatur dan berpartisipasi secara konstruktif dalam berbagai debat politik terkait dengan kebijakan, penganggaran dan operasi aktor sektor keamanan; dan terakhir adalah kesetaraan individu di depan hukum maupun dalam proses hukum berdasar tata cara 3 yang adil dan transparan. Berdasarkan lingkup kegiatan RSK di atas, maka programnya mencakup reformasi pertahanan, reformasi kepolisian, reformasi intelijen, reformasi hukum dan peradilan, pengawasan parlemen, penguatan masyarakat sipil serta akuntabilitas dan transparansi 4 anggaran dan keuangan aktor sektor keamanan. Pengertian RSK yang seperti ini melibatkan banyak aktor dan terlalu luas yang belum tentu aktivitas utamanya terkait dengan masalah keamanan. Oleh karenanya, bab ini memahami aktor RSK seperti yang didefinisikan oleh David Chuter, 'semua institusi yang memiliki peranan utama dalam menyediakan keamanan internal dan eksternal termasuk juga badan-badan yang bertanggung jawab dalam hal administrasi, penugasan dan kontrol terhadap institusi-institusi tersebut. Dalam prakteknya, institusi tersebut mencakup militer, polisi, intelijen, paramiliter dan badan-badan 5 pemerintahan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan mereka. Merujuk pada definisi Chuter, dengan demikian Presiden (Eksekutif) adalah institusi pemerintahan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan semua institusi keamanan. Sehingga program RSK tersebut mencakup program reformasi pertahanan, reformasi kepolisian dan reformasi intelijen. Dalam reformasi pertahanan, eksekutif mengawasi upaya agar militer menjadi tentara profesional dengan karakteristik : 1) tidak berpolitik dan 3 Anak Agung Banyu Perwita, Rekam Jejak Proses SSR Indonesia 2000-2005. Ann Fitzgerald, Security Sector Governance Modul, 7 Februari 2007, Cranfield University-ITB. Untuk daerah pasca konflik ditambah dengan program Disarmament, Demobilization and Rehabilitation (DDR)/ Small Arms and Light Weapons (SALW), sedangkan pada tingkatan solusi internasional atau regional juga mencakup UN 5 David Chuter, “Understanding Security Sector Reform” dalam Journal of Security Sector Management Volume 4 Number 2 – April 2006 4 6 Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan berniaga, 2) mempunyai keahlian, kesatuan profesi, kompetensi teknis, serta mengetahui secara persis etika-etika militer, etika-etika perang, dan 3)Ketika tentara digelar untuk digunakan, berhasil memenangkan perang.6 Sementara dalam reformasi kepolisian, Eksekutif berperan untuk mewujudkan Kepolisian sipil yang demokratik, profesional dan akuntabel dalam pelaksanaannya berpacu dengan tugasnya untuk penegakkan hukum dan mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Polisi Sipil mengedepankan pendekatan kemanusiaan sehingga pada Polisi Sipil melekat sikap budaya yang sopan, santun, ramah , tidak melakukan kekerasan dan mengedepankan persuasi.7 Terkait reformasi intelijen, eksekutif dituntut untuk memastikan lembaga-lembaga intelijen dapat diawasi untuk menjamin bahwa lembaga intelijen melaksanakan prioritas kebijakan pemerintah yang ditetapkan sesuai dengan tantangan keamanan nasional yang dihadapi. Idealnya, lembaga intelijen bersifat sipil, tunduk pada kendali demokratis, memiliki payung hukum setingkat undang-undang, merupakan bagian dari sistem keamanan nasional yang netral secara politik, akuntabel dan siaga. 8 Tinjauan Singkat : Peranan Presiden (Eksekutif) dalam Pengelolaan Sektor Keamanan Awal Kemerdekaan sampai Pra-Reformasi Sarana dan prasarana yang kurang mendukung penerapan sistem demokrasi ala Amerika berakibat pada rapuhnya kabinet presidensiil Soekarno yang dibentuk pada masa awal kemerdekaan. Soekarno pun berperan sebagai kepala pemerintahan (pemegang kekuasaan eksekutif ) hanya seumur jagung. Pada masa kabinet presidensiil ini, sektor militer (pertahanan) tidak menjadi perhatian utama kekuasaan eksekutif, dengan tidak dibentuknya kementerian pertahanan dalam kabinet Soekarno,9 walaupun PPKI membentuk sebuah Badan Penolong Keluarga Kurban Perang yang mencakup Badan Keamanan Rakyat (BKR pada 22 Agustus 1945. Seiring dengan perubahan BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, tuntutan dibentuknya Menteri Pertahanan semakin menguat. Akan tetapi realisasinya baru dapat terwujud pada masa kabinet pimpinan Perdana Menteri Sjahrir yang menjabat pada November 1945. Pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1957), seiring dengan menguatnya militer dan kementerian pertahanan, perdana menteri yang memimpin kabinet berupaya untuk menguasai tentara (militer) dengan jalan memecah-belah militer bahkan hingga mengurangi anggaran, memblokir dana, dan memperlambat gaji bagi militer bagi yang tidak tunduk pada kebijakan eksekutif.10 Namun penerapan demokrasi parlementer dengan 6 IDSPS, “Reformasi TNI,” Seri 4 Penjelasan Singkat, 5/2008 IDSPS, “Reformasi Kepolisian Republik Indonesia,” Seri 6 Penjelasan Singkat, 06/2008 8 IDSPS, “Reformasi Intelijen di Indonesia, “ Seri 5 Penjelasan Singkat, 06/2008 9 Yang dibentuk adalah Menteri Keamanan Rakyat dijabat oleh Soeprijadi, namun jabatan yang diberikan semata-mata jabatan kehormatan karena Soeprijadi tidak diketahui keberadaannya. Jabatan ini pun diisi oleh pejabat ad interim Soeljadikoesoemo pada 20 Oktober 1945 yang hanya bertugas selama sebulan. 10 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES,1986) h.121 7 7 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 model konsensus masa itu tidak menjamin terciptanya situasi yang aman untuk terlaksananya program pembangunan ekonomi demi memajukan kesejahteraan rakyat. Hal ini mengakibatkan tuntutan yang kuat dari militer untuk berperan dalam politik. Pada masa transisi dari Demokrasi Parlementer menuju Demokrasi Terpimpin (1957-1959), Presiden menjawab situasi yang berkembang tersebut, dengan melibatkan militer bidang politik dan ekonomi terkait dengan upaya nasionalisasi perkebunan dan perusahaan-perusahaan Belanda, dan juga penetapan SOB (negara dalam keadaan bahaya) akibat munculnya berbagai pemberontakan bersenjata. Ketika SOB diberlakukan, Polisi pun dimiliterisasikan dan dinyatakan bahwa kedudukannya adalah salah satu unsur dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dengan demikian, kedudukannya berada langsung di bawah Presiden bersama dengan angkatan perang AD, AL, dan AU. 11 Silih bergantinya kabinet yang berusia singkat sejak 1950, mendesak Soekarno untuk menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin sejak 10 Juli 1959 dengan kekuasaan eksekutif sepenuhnya berada di Presiden. Presiden membentuk kabinet yang mengakomodiir kepentingan militer, dengan mengangkat sejumlah petinggi militer sebagai Menteri. Presiden membentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) yang sepenuhnya berada di bawah arahan presiden, tetapi lembaga ini sulit berkoordinasi dengan intelijen militer sehingga kurang dapat berperan optimal. Ketika hubungan Presiden memburuk dengan militer terutama Angkatan Darat pada paruh kedua masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin, mendesak Presiden untuk mendirikan Badan Pusat Informasi (BPI) yang dipimpin Dr. Subandrio. Badan ini dibentuk untuk mengimbangi ancaman politik yang datang dari kelompok TNI Angkatan Darat.12 Nasib lembaga ini pun setali tiga uang dengan lembaga intelijen sebelumnya. Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno menggunakan kekuasaannya secara berlebihan dengan dalih hak prerogatif yang dimilikinya dalam pengelolaan sektor keamanan. Presiden pada paruh akhir demokrasi terpimpin sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga hal ini tidak disukai oleh militer terutama AD. Ketika terjadi upaya Kudeta yang dipimpin oleh Kol. Untung kemudian ditindaklanjuti dengan peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, AD dengan segera mengambil tindakan untuk pengalihan kekuasaan di bawah pimpinan Letjend. Soeharto. Dengan legitimasi Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto membubarkan PKI beserta seluruh organisasi di bawah naungannya, menangkapi anggota PKI termasuk beberapa orang menteri dan pembantu utama Presiden Soekarno, yang akhirnya berkuasa pada tahun 1967. 11 “Sejarah Polisi”, Tempointeraktif, 21 April 2004. Polisi pada awal masa kemerdekaan ditempatkan di bawah kementerian dalam negeri, dan kemudian pada 1 Juli 1946 berada langsung di bawah Perdana Menteri. Dengan kedudukan yang sama dengan angkatan perang, Polisi dimiliterisasikan karena menempuh pendidikan yang sama dengan angkatan perang di Magelang. 12 Hariyadi Wirawan, “Evolusi Intelijen Indonesia” dalam Andi Widjajanto (ed.), Reformasi Intelijen Negara,( Jakarta:Pacivis &FES, 2005) h. 24 8 Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan Pada masa Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru-nya, kekuasaan eksekutif begitu kuat dalam pemerintahan Indonesia. Hal ini berdampak pada pengelolaan sektor keamanan. Militer memegang peranan yang dominan dalam kehidupan sosial dan politik di masa Orde Baru dengan ideologi Dwi Fungsi-nya. Dalam struktur tersebut AD menjadi angkatan dominan dan mendapatkan perhatian yang lebih dari angkatan yang lainnya dalam hal pembiayaan dan pengadaan alutsista. Dapat dipastikan bahwa yang menjadi Menhankam pada masa Soeharto adalah para jenderal dari AD. Dengan dalih stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi, Soeharto mengelola sektor keamanan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Melalui pembentukan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di tahun 1965 yang digantikan dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) di tahun 1988, Soeharto juga menggunakan seluruh aset dan personalia sipil di Indonesia demi kepentingan apa yang disebut pemerintah Orde Baru sebagai mempertahankan pelaksanaan pembangunan yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. 13 Ketika Habibie menggantikan Soeharto 21 Mei 1998, tidak banyak perubahan yang dilakukannya terkait pengelolaan sektor keamanan meskipun tuntutan reformasi sektor keamanan diserukan. Salah satu kebijakan penting pada masa B.J. Habibie adalah pencabutan status Daerah Operasi Militer di Aceh tanggal 7 Agustus 1998, walaupun hal tersebut tidak mengurangi tingkat kekerasan di Aceh. Tuntutan reformasi ABRI dijawab oleh Habibie dengan mengeluarkan Inpres No.2/1999, tanggal 1 April 1999 yang mendukung pemisahan TNI-Polri namun hal tersebut belum terlaksana karena belum adanya pemisahan jabatan Menhankam dan Panglima TNI. Tuntutan tersebut baru dijawab ketika pada September 1999, ABRI menyatakan posisinya dalam buku Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran ABRI, termasuk pencabutan dwi fungsi ABRI dan peran sosial politik ABRI. Masa Awal Reformasi Seiring dengan gema reformasi pemerintahan pada tahun 1998 yang menuntut penerapan demokrasi untuk menjamin hak-hak asasi manusia, sektor keamanan pun tak luput dari perhatian. Pengalaman yang buruk pada era Orde Baru menghantarkan kesadaran untuk mewujudkan sektor keamanan yang dapat berfungsi sebagai penyedia keamanan bagi rakyat. Bersamaan dengan lengsernya Soeharto, konflik internal dengan kekerasan yang dinuansai dengan masalah ketidakadilan karena identitas etnik/agama merebak di Indonesia seperti di Poso, Ambon, dan Sampit. Hal ini merupakan tantangan keamanan bagi pemerintahan reformasi hasil pemilu 1999 di bawah Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di satu sisi, TNI harus menjauhkan dirinya dari persoalan keamanan internal sementara di sisi lain Polisi belum siap sepenuhnya menghadapi berbagai kerusuhan yang terjadi pada saat itu. Menghadapi hal ini, Gus Dur tidak memiliki pilihan lain kecuali membersihkan TNI dari kekuatan pro-status quo.14 Demi tegaknya supremasi sipil, Gus Dur mengeluarkan kebijakan 13 “Ketua Mahkamah Agung dari Kusumah Atmadja hingga Harifin A. Tumpa”, diakses dari http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21016&cl=Berita, pada 12 Mei 2009. 14 J. Sumardianta, “ Tonggak Supremasi Sipil” dalam Kompas, 4 Maret 2000 9 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 untuk memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dengan Panglima TNI. Untuk membersihkan pengaruh Orde Baru, Gus Dur pun melikuidasi Bakorstanas dan Litsus yang digunakan Presiden Soeharto untuk mengamankan kekuasaannya. Pada masanya, Gus Dur menandatangani sebuah keputusan (Keppres No. 89/2000) untuk melepas pengawasan kepolisian nasional dari departemen pertahanan ke pengawasan sipil.15 Dengan Keppres ini, Polri ditempatkan sebagai institusi utama penegakkan hukum dan penanganan keamanan dan ketertiban dalam negeri yang secara langsung berada di bawah kendali Presiden Penempatan institusi Polri terpisah dari TNI dan langsung di bawah Presiden mengharuskan pembenahan, peningkatan sekaligus pemberdayaan institusi ini.16 Untuk memperkuat hal tersebut Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden yang mengatur organisasi dan tata kerja kepolisian Republik Indonesia, dalam Keppres No. 54 2001 yang diperbarui dengan Keppres No. 77 Tahun 2001. Gus Dur juga mengubah nama BAKIN menjadi Badan Intelijen Negara pada 22 Januari 2001. Dengan reorganisasi ini unsur-unsur sipil dilibatkan dan paradigma intelijen berubah dari fokus pengawasan persoalan politik dalam negeri menjadi keamanan yang preventif. BIN pun diharuskan bertanggung jawab ke Parlemen dan Presiden. Sehingga parlemen dimungkinkan untuk memiliki fungsi pengawasan terhadap badan tersebut. 17 Ketika Megawati menjadi Presiden pasca peristiwa impeachment Gus Dur, Megawati mengesampingkan reformasi terhadap struktur komando teritorial, mencopot perwira yang kontroversi dan mengijinkan serangan militer di Aceh dan Papua.18 Pada masanya beberapa regulasi yang mendukung reformasi sektor keamanan berhasil diundangkan seperti UU Kepolisian No.2 Tahun 2002, UU Pertahanan No.3 Tahun 2002 dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pada masa pemerintahan Megawati, Indonesia menghadapi tantangan keamanan yang cukup serius dengan adanya dua peristiwa teror Bom Hotel JW Marriot dan Bom Bali pada tahun 2002. Untuk itu Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden No.5/2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara, untuk melakukan pengkoordinasian penyusunan perencanaan umum dan pengkoordinasian pelaksanaan operasional kegiatan intelijen seluruh instansi lainnya, yang menyelenggarakan fungsi tersebut sebagai bagian atau untuk mendukung penyelenggaraan tugas masing-masing. Kekuasaan Presiden di Sektor Keamanan Pada periode 1999-2004, MPR telah berhasil melakukan empat kali amandemen UUD 1945, termasuk Pasal yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Merujuk pada UUD 1945 pasca amandemen, kekuasaan Presiden 15 “Dari Rezim ke Rezim : Penegakkan HAM Jalan di Tempat” diakses dari http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2001_0102/05.html, pada 24 April 2009, 2.09 WIB 16 Tutut Herlina, “Mengasingkan Diri dari Panggung Politik” dalam Sinar Harapan, 29 Januari 2007, diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0701/29/nas08.html, 24 April 2009, 3.21 17 The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics and Power. Diakses dari.... 18 Marcus Mietzner, The Politics of Military Reform in Post- Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism and Institutional Resistance (Washington: East West Center, 2006) h.34 10 Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan sebagai kepala negara diatur dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Namun, seringkali kekuasaan sebagai kepala negara ini diidentikkan dengan kepemilikan atas hak prerogatif Presiden. Tetapi mengingat pengalaman sejarah masa lalu, hak ini dibatasi dan dapat dikontrol oleh lembaga negara lain. Sementara sebagai kepala pemerintahan diatur dalam Pasal 4 Ayat 1. Kekuasaan pemerintahan identik dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang terbatas sebagai pelaksana peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan politiknya, kekuasaan eksekutif ini mendapat pengawasan dari badan legislatif. Dalam UUD 1945, fungsi pengawasan ini dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).19 Pada periode yang sama, Presiden bersama DPR telah mengundangkan UU Pertahanan Negara, UU Kepolisian RI dan UU TNI yang menjadi dasar bagi pengelolaan sektor keamanan. Namun sayangnya, belum ada UU Intelijen yang menjadi dasar bagi pengelolaan lembaga intelijen terkait dengan program reformasi intelijen. Dalam tabel berikut, diuraikan mengenai landasan hukum kekuasaan Presiden dalam pengelolaan sektor keamanan di Indonesia dan kedudukan institusi keamanan dalam struktur kekuasaan negara yang diatur oleh UUD 1945 Pasca Amandemen, UU Pertahanan Negara, UU TNI dan UU Kepolisian. Tabel 1 Kekuasaan Presiden Indonesia di Sektor Keamanan Sumber Hukum UUD 1945 Pasca Amandemen Pasal 10 11 (1) 12 30(3) 30(4) UU Pertahanan Negara 10 (1) 13 (1) 13(2) 14(1) 14(2) 19 Isi Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pertahanan negara Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan sistem pertahanan negara. Presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia Dalam hal pengerahan kekuatan Tentara Nasional Indonesia untuk menghadapi ancaman bersenjata , kewenangan (Presiden) harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Inpres No. 5 Tahun 2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara 11 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 14(3) 14(4) 14(5) 15 (1) 16(2) 17(1) 17 (3) 17( 4) 18 (3) UU TNI 3(1) 3(2) 5 12(4) 13(2) 13(3) 14(2) 17(1) 17 (2) 18 (1) 18(2) 19(2) 33(1) 43(1) 59(1) 12 Dalam hal keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman bersenjata , Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia Pengerahan Kekuatan Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Presiden dalam waktu paling lambat 2 x 24 jam harus mengajukan persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan , sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Presiden menghentikan pengerahan operasi militer. Dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) , Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional. Menteri membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan umum pertahanan negara Presiden mengangkat dan memberhentikan Panglima setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Presiden mengangkat dan memberhentikan Kepala Staf Angkatan atas usul Panglima Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Panglima dan Kepala Staf Angkatan , sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan keputusan Presiden Panglima TNI bertanggung jawab kepada Presiden dalam penggu naan komponen pertahanan negara dan bekerja sama dengan Menteri dalam pemenuhan kebutuhan Tentara Nasional Indonesia Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden Dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara Susunan organisasi TNI sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Panglima diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat Pengangkatan dan pemberhentian Panglima dilakukan berdasar kan kepentingan organisasi TNI Kepala Staf Angkatan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Panglima Kewenangan dan Tanggung Jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata , Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI Dalam hal pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal penggunaan kekuatan TNI sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Panglima bertanggung jawab kepada Presiden Perwira diangkat oleh Presiden atas usul Panglima Kenaikan pangkat kolonel dan perwira tinggi ditetapkan oleh Presiden atas usul Panglima Prajurit berpangkat Kolonel dan Perwira Tinggi , diberhentikan dari Dinas Keprajuritan dengan Keputusan presiden Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan UU Kepolisian 5(1) 7 8(1) 8(2) 11(1) 11(2) 11(5) 11(7) 24(1) 24(2) 38(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya. Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikannya sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalani dinas keanggotaan dengan ikatan dinas Ketentuan mengenai ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam a yat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Komisi kepolisian Nasional bertugas untuk : a. membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia Berdasarkan tabel di atas, khususnya untuk sektor pertahanan, prinsip supremasi sipil telah tercermin. Presiden memiliki kekuasaan dan tanggung jawab yang begitu luas untuk pengelolaan sektor keamanan. Ini merefleksikan sistem presidensiil Indonesia. Namun demikian, kedudukan ini akan menjadi bermasalah bila Presiden yang berkuasa terlalu berlebihan dalam menggunakan hak prerogatifnya terutama dalam penggunaan kekuatan militer. Dikhawatirkan akan terulang rezim-rezim otoriter seperti sebelum reformasi. Oleh karenanya, berkembang wacana di Indonesia beberapa tahun terakhir untuk dibentuknya Dewan Keamanan Nasional (DKN), suatu mekanisme pengambilan keputusan oleh para pejabat eksekutif di bidang politik mengenai permasalahan keamanan nasional. Gagasan pembentukan DKN sendiri, telah diwacanakan pada masa pemerintahan Megawati di tahun 2002. Dewan ini akan membantu tugas-tugas presiden untuk memilih berbagai opsi yang ada serta mengambil keputusan berkaitan dengan isu-isu internasional yang berhubungan dengan keamanan negara.20 Melalui DKN, Presiden akan memiliki payung hukum untuk menyusun suatu kebijakan strategis Keamanan Nasional sehingga secara otomatis terbentuk suatu mekanisme koordinasi antara TNI, Polri dan Intelijen Negara. 21 20 “Dewan Keamanan Nasional Tangani Isu Internasional,” Tempointeraktif, 11 Oktober 2002 Hendrajit, “DPR Mendatang Harus Revisi UU Pertahanan No.3 / 2002,” diakses dari http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=188&type=8 , 18 Mei 2009, 11.01 WIB 21 13 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Tantangan dan Hambatan RSK di Masa Soesilo Bambang Yudhoyono Wacana tentang pembentukan DKN adalah salah satu wacana yang menghangat ketika Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi Presiden dalam Pemilihan Langsung tahun 2004 bersama Jusuf Kalla. Gagasan mengenai DKN ini menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan SBY terkait dengan Reformasi Sektor Keamanan. Tantangan lain yang dihadapi oleh SBY adalah regulasi RSK yang sangat penting untuk menjadi landasan hukum bagi proses reformasi sektor keamanan. Tantangan spesifik yang dihadapi oleh SBY terkait reformasi pertahanan adalah terkait penertiban bisnis TNI, anggaran pertahanan dan alutsista. Sementara untuk reformasi kepolisian khususnya adalah reformasi kultural dan untuk reformasi intelijen adalah RUU Intelijen dan koordinasi intelijen. Tantangan terkait Regulasi RSK, untuk sektor pertahanan sendiri, menurut Kusnanto Anggoro setidaknya diperlukan amandemen 7 Undang-undang (Pertahanan Negara, TNI, Mobilisasi Demobilisasi), pencabutan 1 UU (rakyat terlatih), dan menyusun 10 UU baru (Wajib Militer, Belanegara, Pendidikan Kewarganegaraan, Pelatihan Dasar Kemiliteran, Komponen Cadangan Pertahanan Negara, Tataruang Wilayah Pertahanan, Operasi Militer selain Perang, Perbantuan TNI, Intelijen Negara dan Rahasia Negara).22 Sementara itu, bila mengacu pada program legislasi nasional 2005-2009, terdapat 10 RUU terkait RSK yang menjadi perhatian DPR yakni RUU tentang Rahasia Negara, RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, RUU tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, RUU tentang Komponen Cadangan, RUU tentang Komponen Pendukung, RUU tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, RUU tentang Pelatihan Dasar Kemiliteran Secara Wajib, RUU tentang Pengabdian di Bidang Pertahanan Secara Profesi, RUU Perbantuan TNI kepada POLRI (Dalam Rangka Tugas Keamanan) dan RUU tentang Intelijen Negara.23 (Lihat Tabel 2) Tabel 2. RUU terkait RSK dalam PROLEGNAS 2005-2009 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Nama RUU RUU tentang Rahasia Negara RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik RUU tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer RUU tentang Komponen Cadangan RUU tentang Komponen Pendukung RUU tentang Pertahanan dan Keamanan Negara RUU tentang Pelatihan Dasar Kemiliteran secara Wajib RUU tentang Pengabdian di bidang Pertahanan secara profesi RUU tentang Perbantuan TNI kepada POLRI (Dalam Rangka Tugas Keamanan) RUU tentang Intelijen Negara Prioritas berdasarkan tahun anggaran 2009 24 Sedang dalam Pembahasan, Luncuran pembahasan tahun 2006 Sedang dalam Pembahasan, Luncuran pemba hasan tahun 2005 Draft RUU dan Naskah Akademik telah disiapkan oleh Pemerintah Draft RUU dan Naskah Akademik telah disiapkan oleh Pemerintah 22 Kusnanto Anggoro, “Menakar Reformasi Sektor Keamanan Masa Pemerintahan Yudhoyono” M. Najib Azca & Moch. Faried Cahyono (ed.), Konflik dan Reformasi TNI di Era SBY, (Yogyakarta: CSPS Books, 2004) h. 38 23 Program Legislasi Nasional, Tahun 2005-2009, diakses dari h t t p : / / w w w. d p r. g o. i d / a s s e t s / b e r k a s / b a d a n _ l e g i s l a t i f / p r o l e g n a s / P R O L E G N A S % 2 0 2 0 0 5 2009_Prolegnas%202005-2009.pdf, 27 Mei 2009, 19.23WIB 14 Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan Dalam perkembangannya, terdapat 1 RUU yang tidak masuk sebagai agenda Program Legislasi Nasional namun menjadi perhatian masyarakat yakni RUU Keamanan Nasional (RUU Kamnas). RUU Kamnas ini diusung oleh Departemen Pertahanan. Draft awal peraturan ini dibahas sejak tahun 2005. RUU ini mulai mengemuka pada awal 2007, namun keberadaannya mengundang kontroversi. RUU ini ditolak oleh Kepolisian RI karena akan dinilai akan mengembalikan paradigma lama karena mencampuradukkan pertahanan dan keamanan. RUU Kamnas dinilai akan mengerdilkan kewenangan Polri dan instansi lainnya yang mempunyai kewenangan di bidang keamanan sesuai dengan undang-undang yang mendasarinya.25 Tetapi yang luput dari kontroversi tersebut adalah bahwa RUU Kamnas digagas untuk membuat aturan tentang pembentukan DKN dan bagaimana dewan itu bekerja. RUU Kamnas juga dimaksudkan menjadi operasionalisasi Pasal 30 UUD 1945 untuk membedakan antara manajemen pertahanan negara dan manajemen keamanan negara.26 Menanggapi polemik RUU Kamnas tersebut, akhirnya Dephan menyerahkan pembahasannya pada Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam). Awal 2008, draft RUU Kamnas kemudian dilimpahkan ke Lemhanas. Lemhanas bertugas menyusun kajian akademik draft RUU Kamnas dan menetapkan parameter dasar tentang isu keamanan nasional. Tugas tersebut diselesaikan oleh Lemhanas pada Juli 2008 yang kemudian hasilnya diserahkan ke Menkopolhukam.27 Dephan memberikan respon dengan mengadakan pertemuan yang membahas kewenangan Menkominfo dan Polri dalam menetapkan keamanan dari segi ketertiban masyarakat dan mengenai spektrum Kamnas.28 Ini mencerminkan sikap Presiden SBY yang tetap ingin menghormati proses birokrasi yang telah dilakukan oleh Dephan dengan tidak mengintervensi pembahasan yang sedang berlangsung. Sementara itu, RUU yang juga dinilai lamban direspon oleh Presiden adalah RUU tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Perdebatan awalnya adalah mengenai keharusan anggota TNI yang melakukan tindakan pidana umum untuk diadili di pengadilan umum. Namun setelah perdebatan tersebut berhasil disepakati, RUU tersebut terganjal oleh perdebatan tentang penyidik yang akan menangani kasus pidana umum anggota TNI tersebut. Pemerintah menghendaki agar penyidiknya tetap polisi militer. Dalam perkembangannya terakhir sikap pemerintah ini didukung sebagian fraksi di DPR pada sidang 12 Februari 2009. Sehingga RUU Peradilan militer tetap menjadi agenda DPR untuk masa sidang IV yang berlangsung 13 April – 3 Juli 2009. Meski RUU Peradilan Militer disinggung Presiden dalam keterangan pers pasca Rapat Konsultasi Presiden dan DPR, 27 Mei 2009, Presiden lebih memberi perhatian pada proses RUU Tipikor daripada proses RUU Peradilan Militer . 24 Program Legislasi Nasional, Rancangan Undang-undang Prioritas Tahun Anggaran 2009, diakses dari http://www.dpr.go.id/assets/berkas/badan_legislatif/prolegnas/PROLEGNAS%20RUU%20PRIORITAS%20TAH UN%202009_Prolegnas%20Tahun%202009.pdf, 27 Mei 2009, 19.27WIB 25 “Polri Tolak Draf RUU Keamanan Nasional: Konsep Dephan Dinilai Menyimpang dari Amanat Reformasi,” Kompas, 6 Februari 2007 26 “Pemerintah Disarankan Tunda RUU Keamanan Nasional,” Kompas, 12 Februari 2007 27 “Bola Panas RUU Kamnas kembali ke Polhukham,” Kompas, 7 Juli 2008 28 “Dephan Kembali Jajaki Bahas RUU Kamnas,” Kompas, 10 Februari 2009 15 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Selain RUU Peradilan Militer, RUU terkait RSK yang masuk dalam daftar program legislasi nasional untuk masa Sidang IV adalah RUU Rahasia Negara. Presiden menunjuk Menhan sebagai mitra pembahas. Pro-kontra RUU ini mengacu pada masalah redaksional seperti definisi rahasia negara dan pengertian lembaga negara yang berakibat terlalu luas dan sangat rawan untuk disalahgunakan. Masalah yang mengemuka lainnya adalah mengenai maksud dari kalimat 'untuk tujuan keamanan nasional, dan klausul yang memasukkan gaji prajurit TNI sebagai informasi yang harus dirahasiakan. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi akuntabilitas serta transparansi perencanaan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mengamati perkembangan terakhir, kepentingan untuk mengundangkan RUU ini tidak hanya dari Presiden (pemerintah) tetapi juga datang dari DPR meski beberapa fraksi berharap pembahasan RUU ini ditunda hingga UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) diterapkan pada 2010. RUU terkait RSK yang juga ramai diperbincangkan di akhir masa kerja DPR adalah RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN). Draft RUU ini dibuat oleh Dephan sejak akhir tahun 2006, sementara materinya dibahas sejak tahun 2003.Kekhawatiran terkait dengan RUU ini adalah indikasi diberlakukannya Wamil bagi tiap warga negara. Tidak adanya klausul yang jelas mengenai pihak yang bertanggung jawab atas mobilisasi komponen cadangan dikhawatirkan akan berpotensi menghadapkan sesama warga negara yang akhirnya berujung pada konflik horizontal. Terhadap polemik ini pun, Presiden tidak melakukan intervensi. Proses RUU ini juga diserahkan oleh Presiden kepada proses birokrasi yang dipimpin oleh Dephan. Pengambilalihan Bisnis Militer Sebagai konsekuensi untuk terbentuknya militer yang profesional sebagaimana di maksud UU 34 Tahun 2004 tentang TNI , Pasal 2 (d), tentara tidak diperkenankan untuk berbisnis. Oleh karenanya, dalam UU yang disahkan pada 16 Oktober 2004 tersebut juga diamanatkan dalam Pasal 76 (1) : “Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini, Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung.” Aturan tersebut berarti bahwa seluruh aktivitas bisnis TNI harus diambil alih paling lambat 16 Oktober 2009. SBY sebagai Presiden terpilih pada Pemilu 2004 wajib menaati amanat tersebut. Namun, demikian proses pengambilalihan bisnis militer oleh Pemerintah belum terealisasi. Hal ini mendukung proposisi bahwa selama kepemimpinan SBY, reformasi TNI terkesan lamban dengan berlarutlarutnya penertiban bisnis TNI oleh Pemerintah. Dalam masalah pengambilalihan bisnis militer ini, ada kecenderungan bahwa pemerintah didukung petinggi militer dan Departemen Pertahanan mengulur waktu pengalihan semua bisnis hingga mendekati batas tenggat akhir. Pada awalnya, terlihat upaya serius pemerintah dengan membentuk Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI yang mulai bekerja tahun 2005. Namun Presiden membutuhkan waktu tiga tahun untuk mengeluarkan landasan hukum tentang Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI dengan Keppres No.7 Tahun 2008. Meski demikian, isi Keppres tidak sesuai dengan harapan masyarakat sipil. Tim yang 16 Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan terbentuk tidak memiliki wewenang untuk mengambil alih. Timnas hanya bertugas untuk menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengelompokkan semua aktivitas bisnis TNI yang dimiliki dan dikelola TNI, baik langsung maupun tidak. Selain itu Timnas ini ditugasi untuk merumuskan langkah kebijakan untuk kemudian merekomendasikannya kepada Presiden. Timnas ini menetapkan empat kategorisasi aktivitas bisnis TNI. Pertama, aktivitas bisnis yang dimiliki, dikuasai, dan dikelola langsung oleh prajurit/institusi TNI. Kedua, aktivitas bisnis TNI adalah aktivitas yang dimiliki, dikuasai, dan dikelola secara tidak langsung oleh prajurit/institusi TNI, melalui badan hukum atau bentuk lain. Aktivitas itu juga melibatkan dan mengikutsertakan prajurit aktif/institusi TNI dalam kegiatannya. Ketiga, aktivitas bisnis yang berpotensi menyebabkan benturan kepentingan, yang akan mengganggu jati diri TNI. Terakhir, aktivitas bisnis tersebut juga diketahui menggunakan, mengelola, menguasai, atau mengambil manfaat dari kekayaan negara. Berdasarkan kategorisasi tersebut, ditemukan aktivitas bisnis TNI meliputi 23 unit yayasan dengan 53 perseroan terbatas. Tim pelaksana mencatat, nilai total aset yang dimiliki seluruh yayasan tadi mencapai Rp 1,8 triliun. Selain itu, tercatat ada 1.098 koperasi dengan dua PT di dalamnya, yang terdapat mulai dari tingkat Markas Besar TNI dan ketiga matra angkatan, hingga tingkat kesatuan-kesatuan terbawah. Total nilai aset dari seluruh koperasi tersebut mencapai sekitar Rp 1,3 triliun dan mempekerjakan 8.493 orang, yang 3.523 orang di antara mereka adalah personel prajurit TNI. Timnas merumuskan beberapa rekomendasi kepada Presiden mengenai pengambilalihan bisnis TNI. Satu, pengalihan bisnis TNI dilakukan dengan penataan dan reposisi serta pelurusan atas semua yayasan dan koperasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk koperasi dan barang milik negara (BMN), kecuali koperasi primer. Kedua, peran primer koperasi (primkop TNI) digantikan oleh satuan kerja (satker) yang dibentuk oleh Dephan sehingga lebih berperan memberikan layanan kepada prajurit. Ketiga, reposisi dan penataan dilakukan dengan cara penggabungan yayasan TNI dengan yayasan sejenis di bawah Dephan dengan koperasi TNI di bawah Dephan. Namun diperlukan finansial audit dan legal audit yang menyeluruh terhadap yayasan dan koperasi TNI. Namun demikian, rekomendasi tersebut belum direalisasikan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan penertiban bisnis TNI terutama yang tengah menjalin kontrak dengan swasta terbentur hukum perdata karena mengacu pada UU Koperasi dan Yayasan. Anggaran Pertahanan dan Alutsista Saat ini Indonesia dihadapkan pada terbatasnya alutsista TNI. Tidak hanya jumlahnya yang terbatas tetapi juga kondisinya yang sebagian besar seharusnya sudah dinyatakan tidak laik. Situasi ini ditambah lagi dengan kecelakaan berbagai jenis alutsista TNI yang kian sering terjadi. Sejak pertengahan 2006 hingga pertengahan 2009 ini, terjadi 17 kecelakaan alutsista TNI termasuk kecelakaan Hercules C-130 di Magetan 20 Mei 2009, Helikopter Bolkow 105 di Cianjur, 8 Juni 2009 dan Heli Puma TNI AU di Bogor,12 Juni 2009. Keterbatasan anggaran pertahanan dianggap sebagai lemahnya kekuatan alutsista Indonesia. Untuk tahun 2009 ini, alokasi anggaran pertahanan adalah sebesar Rp.33,6 trilyun, urutan ketiga setelah anggaran pendidikan dan kesehatan. Jumlah anggaran ini sebenarnya tidak sesuai dengan rencana 17 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 anggaran yang diajukan Dephan sebesar Rp.127 trilyun. Anggaran yang disetujui pun lebih dari 70 persen-nya dialokasikan untuk belanja rutin sedangkan untuk perawatan dan pemeliharaan alutsista mendapatkan alokasi kurang dari 20 persen. Hingga saat ini fokus penggunaan anggaran terkait alutsista masih dialokasikan untuk merawat dan mengoptimalkan kemampuan alutsista. Meski demikian, Dephan sendiri belum berani menerapkan kebijakan drastis untuk mereduksi persenjataan yang berusia tua milik TNI seperti yang pernah tiga kali dilakukan sebelumnya pada era 1950-an, 1971-76 dan di era 1980-an. Alasan yang dikemukakan oleh Menhan adalah bila alutsista yang tua direduksi, dikhawatirkan ketika TNI tidak dapat menjalankan kewajibannya karena kekosongan alutsista dan juga terkait dengan masih tersedianya suku cadang alutsista di pasar dunia, tidak akan mudah meminta produsen untuk melakukan buy back. Presiden SBY mengakui bahwa anggaran pertahanan saat ini tidak mencukupi untuk membangun tentara yang bisa mempertahankan negara dan menjalankan tugas pertahanan, bahkan jauh dari memadai. Presiden juga menyatakan bahwa anggaran pertahanan yang dialokasikan diarahkan untuk menunda pembelian alutsista baru tetapi bukan berarti anggaran tersebut tidak cukup untuk pemeliharaan alutsista. Reformasi Kepolisian Memasuki tahun 2005, Polri berhasil menyusun rencana strategis (grand strategic) untuk 25 tahun. Jangka pendek (2005-2010) targetnya adalah membangun trust building. Untuk itu Polri berupaya memperbaiki budaya pelayanan, membangun kekuatan bantuan teknologi kepolisian, membudayakan tata hukum Indonesia dalam rangka supremasi hukum dan pembangunan aparat Polri sebagai penegak hukum terdepan. Pada jangka menengah, (2011-2015), Polri menargetkan untuk membangun partnership/networking, sedangkan untuk jangka panjang (2016 -2025) targetnya adalah membangun strive of excellence. Namun demikian yang paling menonjol dari perjalanan reformasi kepolisian adalah reformasi struktural dan instrumental, tetapi yang paling mengganjal adalah reformasi kultural. Menurut survey yang dilakukan oleh ProPatria Institute dan Indo Barometer pada tahun 2007, sebanyak 49,8% dari 1200 responden yang tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia menyatakan tidak setuju bahwa kinerja Polri saat ini sudah cukup baik. Permasalahan mendasar di tubuh Polri menurut publik adalah perilaku buruk aparat (anggota Polri) di lapangan (55,0%) dan sikap anggota kepolisian yang kurang bersahabat dan sewenangwenang kepada masyarakat (47,1%).Untuk mengoptimalkan kerja Polri yang menjadi prioritas adalah menertibkan anggota kepolisian yang berlaku buruk (45,3%) dan menghilangkan uang tidak resmi dalam berurusan dengan polisi (39,8%). Sementara itu, berdasarkan survey indeks suap yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) di 50 kota di Indonesia, pada awal 2009, indeks suap Polisi mencapai 48 persen dan menduduki peringkat tertinggi dengan tingkat transaksi mencapai Rp.2,273 juta per transaksi. Fakta-fakta pelanggaran tersebut diapresiasi oleh Polri dengan meluncurkan program 18 Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan reformasi birokrasi yang diberi label Quick Wins. Program tersebut diluncurkan oleh Presiden SBY yang juga menyaksikan penandatanganan kontrak kerja reformasi birokrasi dari seluruh Kapolda. Program ini mencakup empat perubahan mendasar. Pertama adalah quick response atau layanan reaksi cepat dalam menanggapi pengaduan dari masyarakat. Untuk program kedua adalah transparansi rekrutmen personel Polri. Semua proses rekrutmen anggota Polri dapat dipantau oleh masyarakat. Yang ketiga adalah transparansi penyidikan. Selain cepat, proses penyidikan juga akan transparan. Dan yang keempat adalah reformasi pelayanan. Pelayanan nantinya akan berjalan cepat dan tanpa tambahan biaya pungutan lagi, baik itu dalam penanganan tindak pidana maupun pelayanan administrasi. Namun demikian, dalam prakteknya program tersebut tidak begitu efektif mengingat di pelanggaran yang terjadi di lapangan semakin banyak. Salah satu kasus yang mencoreng institusi kepolisian adalah kasus pembunuhan Direktur PT.Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan perwira menengah Polri, Kombes Williardi Wizard dan seorang anggota Brimob berinisial HD. Kasus lainnya adalah kasus pemerasan, penipuan dan penyalahgunaan jabatan dua perwira menengah Polisi anggota reserse. Kasus-kasus ini menjadi pertanda kerja Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai pengawas Polisi tidak maksimal. Tugas dan wewenang Kompolnas terbatas sebagai pemberi saran terkait dengan kinerja Kepolisian kepada Presiden. Wewenang Kompolnas untuk menerima saran dan keluhan dari masyarakat untuk kemudian disampaikan kepada Presiden telah diupayakan untuk langsung disampaikan kepada institusi kepolisian yang bersangkutan.Wewenang ini didukung dengan penerbitan instruksi Kapolri tentang koordinasi dan kerja sama Polri dengan Kompolnas yang menginstruksikan agar Polisi segera menanggapi saran dan keluhan masyarakat yang disampaikan Kompolnas. Namun demikian faktanya hingga saat ini tanggapan dan penanganannya oleh Polri belum maksimal dan jauh dari efektif. Sejauh ini, saran Kompolnas yang diperhatikan oleh Presiden adalah terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Tugas pertama Kompolnas sejak terbentuknya terkait dengan rekomendasi tersebut adalah mengenai masa jabatan Jenderal Pol Sutanto selaku Kapolri yang berakhir 30 September 2008. Melalui mekanisme internal Kompolnas, rekomendasi yang akhirnya diberikan oleh Kompolnas hanya berupa pertimbanganpertimbangan jika masa jabatan Sutanto diperpanjang atau dihentikan. Kompolnas membuat rekomendasi tersebut dengan mempertimbangkan pro-kontra di masyarakat. Mengacu pada Perpres No.17 Tahun 2005, Kompolnas hanya berwenang untuk merekomendasikan tetapi pada akhirnya keputusan berada di tangan Presiden. Sehingga ketika Presiden memutuskan untuk tidak memperpanjang jabatan Sutanto dan mengajukan Bambang Hendarso Danuri sebagai pengganti, saran Kompolnas sebatas pada persetujuan saja terhadap keputusan Presiden. Reformasi Intelijen Seperti halnya pelaksanaan reformasi intelijen di dua pemerintahan sebelumnya, reformasi intelijen pada masa pemerintahan SBY berjalan lambat. Hal ini disebabkan belum adanya 19 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 dasar hukum yang jelas untuk mengatur lembaga intelijen seperti halnya UU TNI atau UU Kepolisian. Hingga akhir 2006 telah ada tiga versi rancangan undang-undang intelijen negara yang dikeluarkan oleh pemerintah dan satu draft alternatif yang dibuat oleh Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen, tetapi tidak ada tanda-tanda pasti kapan payung hukum tersebut akan diundangkan.Seharusnya RUU ini segera diundangkan mengingat UU Keterbukaan Informasi Publik sudah disahkan. Tetapi yang mengemuka dalam agenda Prolegnas DPR pada masa sidang IV justru RUU Rahasia Negara. Seperti halnya RUU Rahasia Negara Presiden membiarkan proses birokrasi RUU Intelijen. Presiden tidak berupaya untuk mengajukan RUU Intelijen sebagai RUU prioritas untuk diselesaikan oleh DPR . Sejauh ini regulasi hanya menyentuh pada struktur Badan Intelijen Negara melalui Perpres No.52 /2005. Ketiadaan regulasi ini menyebabkan lemahnya koordinasi antara lembaga intelijen yang menjadi permasalahan serius dari dahulu hingga sekarang. Kerja BIN untuk menyediakan informasi-informasi intelijen yang dapat memberikan dasar bagi kalkulasi kebijakan pertahanan dan keamanan negara sejauh ini dapat dikatakan tidak akurat dan tidak sesuai dengan kebutuhan. BIN seringkali membuat blunder dalam menganalisa situasi keamanan di Indonesia. Contoh pertama adalah pada bulan September 2006 ketika Kepala BIN, Syamsir Siregar menyatakan di media massa bahwa dalam pilkada Aceh, potensi konfliknya akan sangat besar. Namun pernyataan ini tidak terbukti dengan terselenggaranya Pilkada Aceh yang damai. Contoh berikutnya adalah pada Juni 2008, Kepala BIN menyatakan bahwa demo anti kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) didalangi oleh beberapa politisi (menteri dan anggota DPR). Menjelang Pemilu Legislatif 2009, Kepala BIN menyatakan bahwa ada ancaman hambatan terhadap pelaksanaan pesta demokrasi terkait dengan beberapa proses legislasi yang mungkin dapat menghambat pelaksanaan pemilu 2009. Hambatan legislasi itu terkait soal penetapan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak atau nomor urut. Kepala BIN kembali membuat pernyataan tentang situasi keamanan terkait pemilu 2009 bahwa pihaknya mewaspadai gerakan-gerakan politik di daerah meski dikatakan situasi keamanan saat itu terkendali. Pernyataan-pernyataan BIN tersebut menunjukkan lemahnya kontrol Presiden atas BIN. Seharusnya BIN menyampaikan informasi-informasi tersebut kepada Presiden untuk kemudian diambil kebijakan yang relevan. Ini juga memperlihatkan buruknya kinerja operasi intelijen, karena analisis terhadap permasalahan yang diungkapkan sangat lemah. Pernyataan-pernyataan Kepala BIN di depan publik meski ditujukan untuk transparansi dan akuntabilitas publik tidak pada tempatnya, terlebih pernyataan dibuat dengan bahasa yang provokatif. Dengan situasi seperti ini bukan tidak mungkin keberadaan BIN justru mengancam publik yang seharusnya mendapatkan jaminan keamanan dari negara. Kelemahan, Kekuatan, Ancaman dan Peluang Peran Presiden [ke Depan] dalam Reformasi Sektor Keamanan Indonesia Secara umum dapat disimpulkan bahwa peran Presiden dalam pengelolaan sektor keamanan Indonesia seiring dengan tuntutan reformasi di sektor tersebut belumlah komprehensif. Adalah hal yang tidak dapat dipungkiri, bila dikatakan bahwa Presiden belum 20 Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan memainkan peranannya secara maksimal untuk mencapai tujuan dari RSK. Transformasi instansi-instansi di sektor keamanan belum sepenuhnya efektif. Hambatan-hambatan pada RSK masih seputar pada permasalahan regulasi yang seharusnya bisa diwujudkan dengan segera sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden SBY pada 2009 ini. Regulasi yang belum menyeluruh hingga pada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis mengakibatkan ragamnya penafsiran terhadap induk regulasi. Ketiadaan turunan dari regulasi induk menyebabkan berlarut-larutnya permasalahan yang dihadapi di masing-masing instansi untuk mendukung RSK. Menganalisis dari lingkungan internal, hambatan tersebut berasal dari kelemahankelemahan yang berasal dari institusi keamanan sendiri dan juga dari Presiden (SBY). Kelemahan nyata adalah kurangnya komitmen dari institusi keamanan dan Presiden untuk melaksanakan amanat UU dan berupaya mencari pemecahan masalah yang terbaik yang dapat diterima semua pihak. Terkait dengan reformasi pertahanan, lambannya pengambilalihan bisnis militer justru disebabkan dari lambatnya Presiden mengeluarkan aturan (Keppres) ditambah lagi dalam Keppres tersebut wewenang yang diberikan kepada Timnas sangat terbatas. Setelah rekomendasi dihasilkan, hambatan justru datang dari Dephan dan TNI yang beralasan bahwa ambil alih akan memakan proses lama terkait dengan perkara perdata. Sementara itu berkenaan dengan masalah alutsista selalu anggaran pertahanan yang terbatas dijadikan alasan utama. Padahal, bila melihat secara komprehensif, permasalahan tersebut sebenarnya datang dari tidak adanya grand strategy yang menjadi kerangka desain besar untuk pemerintah menyusun postur pertahanan yang diharapkan dengan mempertimbangkan aspek kemampuan ekonomi. Sehingga dalam pengalokasian anggaran, pemerintah tidak lagi hanya mempertimbangkan dari rencana anggaran yang diajukan oleh Dephan dan TNI terkait alutsista. Pemerintah dalam memutuskan alokasi anggaran pertahanan seharusnya dapat merujuk pada cetak biru pertahanan yang menetapkan prioritas untuk alutsista. Masih banyaknya kasus pelanggaran oleh Polisi berdasarkan laporan yang diterima oleh Kompolnas menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal di dalam institusi Kepolisian. Selain itu tampak bahwa komitmen untuk reformasi birokrasi dan kultural di Kepolisian hanya sebatas komitmen elit tetapi tidak sampai pada ke pelaksana (aparat) di lapangan. Permasalahan tersebut menunjukkan pendidikan dan warisan kultur yang belum ada perubahan. Presiden sebagai penanggung jawab Polri bersama Kompolnas seharusnya bisa mengintervensi terhadap permasalahan ini sehingga reformasi kultural kepolisian bisa direalisasikan sesuai dengan amanat UU dan harapan dari masyarakat. Belum diundangkannya RUU Intelijen hingga saat ini dikhawatirkan akan berdampak pada lemahnya operasi intelijen. Penolakan BIN terhadap draft RUU Intelijen yang diajukan kalangan masyarakat sipil menunjukkan keengganan BIN untuk bertransformasi menjadi lembaga intelijen yang profesional. Sikap dan posisi Presiden yang membiarkan proses birokrasi terkait RUU tersebut merupakan salah satu kelemahan komitmen pemerintah. 21 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Kendatipun terdapat berbagai kelemahan, sejatinya Presiden memiliki kekuatan terkait dengan kekuasaannya yang begitu luas terhadap pengelolaan sektor keamanan. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif yang memiliki hak prerogatif sebagai kepala negara, seyogyanya Presiden dapat menginventarisir permasalahan yang ada terkait dengan reformasi sektor keamanan. Untuk membantu tugas tersebut, keberadaan DKN sangatlah diperlukan sehingga dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sektor keamanan, Presiden dapat memiliki analisis strategik terhadap kebijakan yang relevan. Peluang untuk Presiden berperan lebih besar dalam pengelolaan RSK sangat terbuka. Dengan dukungan dari masyarakat sipil, Presiden dapat mengintervensi proses birokrasi yang berjalan. Karena meskipun Presiden telah memberikan amanat kepada Departemen/Lembaga negara menjadi mitra pembahas untuk RUU bukan berarti Presiden tidak dapat menghentikan proses yang berlangsung. Dengan adanya tuntutan global transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan sektor keamanan, membuka peluang bagi Presiden untuk dapat mengelola RSK dengan baik sebagai bentuk komitmen Indonesia terhadap demokrasi. Hal yang harus diwaspadai oleh Presiden terkait dengan peranannya dalam RSK adalah ancaman dari pihak-pihak yang tidak menghendaki transformasi sektor keamanan sesuai dengan amanat demokrasi. Bisa saja pihak-pihak tersebut berasal dari lingkungan Presiden yang sesungguhnya antipati terhadap tuntutan RSK yang digulirkan oleh kalangan masyarakat sipil. Ancaman lainnya adalah Penutup Setidaknya ada dua area di mana Presiden diharapkan dapat memainkan peranannya secara optimal dalam upaya RSK yakni area strategi dan area operasional. Di area strategi, Presiden harus dapat merumuskan grand strategy pertahanan dan keamanan yang berdasarkan kepentingan dan tujuan negara serta memperhatikan tujuan yang hendak dicapai oleh RSK. Tujuannya adalah untuk melihat apakah kebijakan-kebijakan keamanan yang telah dihasilkan selama ini telah sesuai dengan kebutuhan Indonesia berdasarkan analisis lingkungan strategis. Hal ini kemudian berimplikasi pada perumusan kebijakan-kebijakan terkait RSK yang dibutuhkan di masa mendatang. Terkait dengan perumusan strategi ini, Presiden dapat membentuk Dewan Keamanan Nasional (DKN) dan melibatkan masyarakat sipil untuk melakukan analisis yang komprehensif mengenai kebutuhan tersebut. Selain analisis terhadap kebutuhan tersebut, Presiden dapat merumuskan contingency plan yang dibutuhkan berdasarkan skenario-skenario yang mungkin terjadi. Untuk melengkapi strategi tersebut, Presiden pun dapat merumuskan mekanisme evaluasi yang menerapkan target keberhasilan dan kontrol atas proses RSK. Di area operasional, paling tidak ada tiga tindakan yang tepat bagi Presiden untuk berperan sesuai dengan kekuasaan yang diamanatkan oleh konstitusi. Tiga tindakan ini menjadi prioritas Presiden ke depan untuk mewujudkan tujuan RSK. Pertama, melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan sektor keamanan yang ada saat ini. UU 22 Presiden dan Reformasi Sektor Keamanan yang belum dibuatkan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya harus segera diatur dalam Keppres atau Pepres sehingga tidak timbul beragam penafsiran atau regulasi induk. Sementara itu bila UU mengamanatkan dibutuhkannya Keppres untuk aturan-aturan spesifik, Presiden harus merespon lebih cepat. Terkait dengan regulasi yang masih dalam proses birokrasi, seyogyanya Presiden dapat melakukan review secara komprehensif sehingga dapat diambil langkah-langkah yang tepat. Misalnya saja RUU Intelijen, bila hambatan legislasinya justru datang dari lembaga pemerintah, hendaknya Presiden melakukan intervensi dan menganalisis langkah yang sesuai dengan asas-asas demokrasi. Kedua, menerapkan konsekuensi-konsekuensi yang logis dan tegas terhadap institusi-instusi keamanan untuk mengatasi keberatan-keberatan dan lemahnya komitmen dari institusiinstitusi tersebut. Konsekuensi logis dan tegas di sini merupakan hak prerogatif Presiden untuk menetapkan sanksi yang mengarah pada kemajuan proses RSK. Misalnya terkait dengan pengambilalihan bisnis militer, setelah ada rekomendasi dari Timnas, Presiden dapat berkoordinasi dengan Departemen Keuangan Kementerian BUMN dan Bank Indonesia terkait pengambilalihan aset. Keberatan TNI terkait dengan koperasi dapat diselesaikan dengan berbagai pilihan misalnya dengan tidak menempatkan prajurit dalam koperasi dan pengelolaan koperasi yang berdiri sendiri meskipun tujuan utamanya adalah untuk kesejahteraan anggota TNI. Ketiga, mengkaji ulang sistem dan kurikulum pendidikan baik formal maupun informal dalam institusi-institusi keamanan. Presiden dengan berpedoman pada asas-asas demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan HAM dapat melakukan pemeriksaan terhadap sistem dan kurikulum tersebut dengan tujuan untuk melihat apakah reformasi institusional dan struktural sudah menyentuh reformasi kultural. Upaya mengubah kultur institusi sangat terkait dengan rutinitas, kebiasaan, doktrin, ritual yang diperoleh dari lembaga pendidikan dan budaya korps, sehingga Presiden seyogyanya dapat mengawasi proses pewarisan kultur yang mendukung RSK.< Daftar Pustaka Tim Propatria, (Andi Widjajanto (ed.)), Reformasi Sektor Keamanan Indonesia (Jakarta: ProPatria, 2004) Tim ProPatria, Rekam Jejak Proses SSR Indonesia 2000-2005. David Chuter, “Understanding Security Sector Reform” dalam Journal of Security Sector Management Volume 4 Number 2 – April 2006 IDSPS, “Reformasi TNI,” Seri 4 Penjelasan Singkat, 5/2008 IDSPS, “Reformasi Kepolisian Republik Indonesia,” Seri 6 Penjelasan Singkat, 06/2008 IDSPS, “Reformasi Intelijen di Indonesia, “ Seri 5 Penjelasan Singkat, 06/2008 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES,1986) 23 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Andi Widjajanto (ed.), Reformasi Intelijen Negara,( Jakarta:Pacivis &FES, 2005) h. 24 M. Najib Azca & Moch. Faried Cahyono (ed.), Konflik dan Reformasi TNI di Era SBY, (Yogyakarta: CSPS Books, 2004) h. 38 NEWSLETTER: Media dan Reformasi Sektor Keamanan, Edisi VIII/11/2008 ProPatria Institute dan Indo Barometer, “Survei Nasional tentang Keamanan Nasional, TNI dan Polri”, Jakarta, 7 Agustus 2007 Kompas Antara Tempointeraktif The Jakarta Post Sinar Harapan Suara Pembaruan 24 Otonomi Relatif, Interdependensi dan Transformasi Orientasi Departemen Pertahanan Otonomi Relatif, Interdependensi dan Transformasi Orientasi Departemen Pertahanan Kusnanto Anggoro1 Pengantar UU 30/2002 tentang Pertahanan Negara tidak banyak mengatur tentang fungsi dan peran Departemen Pertahanan, sekalipun memberi beberapa kewenangan kepada menteri pertahanan sebagai pemimpin departemen itu. Tugas Departemen Pertahanan oleh sebab itu konsekuensial terhadap tugas menteri.2 Selain mewujudkan mandat seperti tertuang dalam UU, secara politik menteri pertahanan pada masa pasca-otoriter seperti Indonesia juga memiliki kewajiban demokratik untuk membangun prinsip, kaidah dan orientasi demokratik di lingkungan Departemen Pertahanan, baik dinilai dari segi orientasi kebijakan, proses kebijakan maupun siplilisasi birokrasi. Sesuai dengan semangat reformasi, dua benchmark penting keberhasilan reformasi TNI dan sekaligus tegaknya otoritas politik atas militer adalah pengalihan kewenangan peradilan umum atas prajurit yang melanggar pidana umum dan pengambilalihan seluruh aktifitas bisnis yang dikelola TNI secara langsung maupun tidak langsung, yang berturut-turut diatur dalam pasal 65 dan pasal 76 UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Di luar kedua persoalan itu, beberapa benchmark lain adalah pembentukan institusi, penyusunan perundangan, dan perubahan postur pertahanan. 3 Peradilan militer dan Yurisdiksi militer Peradilan militer merupakan salah satu tembok besar untuk melindungi prerogratif tentara. Selama puluhan tahun, UU Peradilan Militer telah menjadi benteng bagi impunitas militer. Komandan memiliki kewenangan besar untuk menentukan apakah seorang prajurit harus dihukum atau tidak dihukum. Bahkan bagi tentara aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil, peradilan militer menjadi benteng untuk menyelamatkan mereka dari berbagai tuduhan kejahatan, mulai dari korupsi, pelanggaran hak-hak asasi manusia sampai dengan pidana administrasi. Karena itu, lahirnya sebuah UU baru mengenai peradian militer yang lebih demokratik menjadi salah satu wujud dari keberhasilan kontrol sipil atas tentara. 1 Kusnanto Anggoro, adalah staf pengajar Pascasarjana Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia. Tugas-tugas tersebut adalah, antara lain, menyusun kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara, menyusun rencana pembangunan kekuatan pertahanan baik komponen utama maupun cadangan (pasal 16 ayat 6 dan ayat 7), dan merumuskan kebijakan diplomasi pertahanan (pasal 16 ayat 4) dalam UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Departemen Pertahanan memiliki otoritas mandiri pada kebijakan penyelenggaraan dan diplomasi pertahanan; sedang dalam pembangunan kekuatan, sebagian otoritas Departemen Pertahanan bersifat otoritas untuk berkoordinasi dengan, misalnya Panglima TNI dan Departemen Dalam Negeri maupun departemen teknis lainnya. 3 Namun UU No. 3 tidak menetapkan tenggat kapan, mislanya Dewan Pertahanan Negara harus dibentuk dan kapan kondisi geografis harus tercermin dalam postur pertahanan. 2 25 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Beberapa ketentuan perundangan yang muncul setelah tumbangya Suharto, misalnya amandemen konstitusi, UU Peradilan Hak-hak Asasi Manusia, maupun UU TNI sendiri memberi mandat tentang perlunya pengurangan yurisdiksi peradilan militer yang semula diatur secara eksklusif dalam UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer. Sejak akhir 2004, Mahkamah Agung sudah memiliki yurisdiksi atas peradilan militer. Sebuah RUU tentang peradilan militer sudah juga dibahas hampir 5 tahun. Dapat dipastikan bahwa prajurit yang melakukan tindak pelanggaran pidana umum akan diadili dalam peradilan non-militer. Namun kesepakatan itu agaknya tidak menyelesaikan seluruh persoalan. TNI dan Dephan tetap bersikukuh agar penyidikan dan sebagian proses pra-peradilan tetap menjadi kewenangan TNI. DPR dan masyarakat sipil pada umumnya menginginkan segenap proses menjadi bagian dari yurisdiksi peradilan umum. Sampai bulan Agustus 2009 tidak ada kemajuan yang berarti.4 Kedua kubu masih tetap bersikukuh dengan pendapatnya. RUU peradilan militer kemungkinan tidak akan berhasil diundangkan sampai berakhirnya masa kerja parlemen 2004-2009, sebagian diantaranya karena persidangan tidak pernah mencapai quorum. Dapat diperdebatkan apakah stagnasi itu merupakan keberhasilan TNI dan Dephan untuk mempertahankan privilege TNI atau, sebaliknya, kegagalan otoritas peradilan sipil untuk mengambil alih kewenangan militer. Sejak tiga tahun silam, tidak lagi muncul resistensi yang kuat dari TNI. Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso mengatakan tidak betul kalau TNI menolak peradilan umum bagi para prajurit… Semuanya tergantung pemerintah. TNI siap untuk menerapkan peradilan umum bagi anggotanya yang melakukan tindak pidana umum. Kami hanya menegaskan tentang perlunya penyesuaian aturan-aturan prosedural untuk melaksanakan peradilan tersebut. 5 Seperti diketahui, dalam KUHP memang tidak ada ketentuan yang memungkinkan seorang prajurit TNI dapat dituntut atau menjalani proses peradilan umum. Namun Panglima juga tidak menegaskan preferensinya pada institusi tertentu yang berhak melakukan proses penyidikan itu. Menarik untuk disimak bahwa gagasan tentang penerapan yurisdiksi peradilan umum terhadap prajurit TNI sudah muncul sejak awal pembahasan UU TNI. Dalam Draft RUU TNI yang disusun tahun 2002,6 kurang lebih bersamaan dengan pembahasan amandemen 4 Dua isu sentral dibahas sepanjang bulan Agustus 2009. Pertama, berkaitan proses penyidikan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melakukan perbuatan pidana. Departemen Pertahanan (Dephan) dan DPR masih berselisih pendapat apakah cukup Polisi Militer yang menggelar penyidikan atau diserahkan pada Polri. Kedua, menyangkut anggota TNI yang menjalani masa hukuman pidana, apakah masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) atau lembaga pembinaan militer. Lihat, Kompas, 26 Agustus 2009. 5 Antara , 14 Agustus 2006 6 Lihat Draft RUU TNI yang dibahsa di sepanjang tahun 2002. Penulis menyimpan hampir semua draft RUU TNI yang dibahas di lingkungan-lingkungan terbatas sejak tahun 2000 maupun yang pada akhirnya menjadi bahan pembahasan di DPR sejak pertengahan bulan Agustus 2004. 26 Otonomi Relatif, Interdependensi dan Transformasi Orientasi Departemen Pertahanan konstitusi, para penyusun draft telah menegaskan bahwa peradilan militer hanya akan diberlakukan jika peradilan umum tidak berfungsi, rumusan yang amat berbeda dengan sentimen psikologi dan kepentingan korporatif militer pada waktu itu yang menghendaki seluruh proses berlangsung di lingkungan militer. Dalam UU TNI yang kemudian diundangkan, rumusan itu berubah menjadi “tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang” (pasal 65 ayat 3). UU TNI tidak menyebut tentang bentuk peradilan koneksitas atau yang lain. Lebih dari itu, UU TNI tidak menentukan kapan UU itu harus diselesaikan. Barangkali isu peradilan militer memang tidak bisa melulu dipandang hanya dalam konteks supremasi sipil atas militer saja tetapi juga sebagai proses sekuensial yang terdiri dari praperadilan maupun peradilan. Stagnasi dalam pembahasan RUU Peradilan Militer telah menunjukkan pergeseran dari persoalan impunitas yang semata-mata disebabkan oleh independensi TNI menjadi impunitas karena kegagalan institusi politik sipil untuk mempersiapkan sejumlah peraturan yang diperlukan untuk menegakkan otoritas sipil. Ini bisa memerlukan waktu yang lebih lama, khususnya karena gugatan kepada Departemen Pertahanan dan/atau TNI tidak lagi dapat menggunakan politisasi. TNI dapat dengan mudah mengalihkan persoalan tersebut kepada peradilan umum, termasuk tentang tiadanya reformasi yang cukup memadai di kalangan para penegak hukum. Kalaupun pada akhirnya disepakati, bisa jadi kesepakatan itu terbatas pada usulan Presiden untuk, pertama, menetapkan masa transisi antara 3-5 tahun mendatang untuk menyesuaikan berbagai perundangan, baik KUHP, KUHM maupun KUHPM; atau, kedua, membentuk badan khusus yang mengawasi proses penyidikan anggota TNI yang terlibat pidana umum. 7 Solusi pertama bisa dipastikan memerlukan waktu yang lebih lama. DPR 2004-2009 tidak cukup berhasil memainkan peranannya sebagai lembaga legislasi. Dua bulan sebelum masa kerjanya berakhir masih terdapat lebih dari 20 RUU yang harus diselesaikan. Pilihan kedua mungkin saja lebih efisien, namun kurang memiliki legitimasi demokratik. Pilihan manapun yang akan diambil, TNI masih akan memiliki yurisdiksi menyeluruh atas pidana militer. Dengan kata lain, otoritas sipil belum berhasil menegakkan kontrol efektif atas institusi militer. Kemungkinan besar impunitas masih akan tetap menjadi salah satu ciri penting dalam penegakan hukum atas prajurit TNI. Beberapa pemangku kebijakan (stake holders), misalnya Lemhannas,8 agaknya condong pada kemandirian relatif dari TNI untuk tetap memiliki otoritas penyidikan; begitu pula halnya dengan beberapa ahli hukum yang merujuk pada jurisprudensi peradilan militer di negara-negara kontinental. Di DPR, kecuali Andreas Pareira, Ketua Panitia Kerja RUU Peradilan Militer, sebagian besar anggota juga cenderung konservatif. 9 7 Republika, 26 Agustus 2009) 8 Lihat pernyataan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Muladi, Antara, 28 Desember 2008 9 Lihat, Antara, 29 Juli 2008 27 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Menjadi pertanyaan penting apakah impunitas itu akan membawa implikasi hanya pada perlindungan TNI sebagai institusi militer profesional atau akan juga membawa implikasi ke bidang-bidang politik dan ekonomi. Potensi penyimpangan akan sangat mungkin terjadi di daerah, ketika institusi militer tetap merupakan institusi yang relatif independen dari kontrol sipil.10 Ujian bagi independensi itu akan terlihat, misalnya, dalam berbagai kasus penyelesaian sengketa agraria yang melibatkan institusi militer. Sebagaimana diketahui, sengketa tanah antara TNI dengan masyarakat merupakan salah satu masalah yang kerap mengarah pada tindak kekerasan. Kenyataan bahwa hanya 14% saja dari tanah yang dikuasai TNI telah memiliki sertifikat; dan lebih dari 3,76 miliar meter persegi yang tersebar di 2.644 lokasi belum memiliki sertifikat memperlihatkan besarnya potensi konflik antara TNI dengan masyarakat.11 Bisnis Militer dan Independensi TNI Pengambilalihan bisnis militer merupakan persoalan kontroversial yang lebih menegaskan semangat politik daripada substansial. Pasal 76 12 UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak pernah tercantum dalam draft-draft resmi RUU TNI sampai pertengahan bulan Agustus 2008. Pasal 76 UU TNI sesungguhnya bahkan baru muncul dalam draft resmi pertengahan Agustus 2004, dalam putaran akhir pembahasan, yang kemudian berhasil disepakati pada bulan Oktober 2004. Tuntutan atas pengambilalihan bisnis TNI, berbeda dari kasus peradilan militer, lebih mencerminkan keinginan masyarakat sipil dan beberapa anggota DPR pada waktu itu sebagai desakan politik untuk menghapus kebiasaan tentara niaga. Tindakan konkrit untuk mengambilalih aset TNI baru berlangsung dalam dua tahun ini saja, khususnya dengan terbentuknya Tim Sipervisi dan Tim Nasional Pengambilalihan Bisnis (PAB) TNI. Hampir dipastikan dalam waktu lima tahun telah terjadi berbagai perubahan, baik dari segi pemilikan modal, pola kegiatan, ataupun penguasaan aset. YKEP, misalnya, berhasil menjual 12 perusahaan dari 57 jenis usaha yang semula dimilikinya. Aset YKEP yang diserahkan kepada negara hanya beberapa ratrus juta saja. 13 Tidak diketahui dengan pasti besarnya aset yang berhasil dialihkan; dan soal itu mungkin juga tidak terlalu penting mengingat masalah bisnis militer tampaknya lebih merupakan psikologi ke[tidak]percayaan sipil kepada militer daripada persoalan seberapa besar dan untuk apa keuntungan dari usaha itu digunakan untuk kepentingan pertahanan negara pada umumnya atau kepentingan institusi TNI pada khususnya. Masih menjadi pertanyaan tentang bagaimana bentuk Keputusan Presiden mengenai pengambilalihan bisnis TNI itu pada akhirnya akan muncul, paling lambat pada tanggal 16 10 Lihat pembahasan secara lebih menyeluruh dalam Muhajir Effendi, “Pemahaman Profesionalisme Militer di tingkat Elit TNI-AD”, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya (2007) 11 Lihat, Antara, 17 Juli 2007 12 Masalah tersebut memperoleh perhatiankhusus di beberapa kalangan, misalnya Kelompok Kerja Propatria untuk Reformasi KeamananNasional. Draft RUU Alternatif yang disusun oleh Kelompok Kerja tersebut mulai mencatumkan penghapusan bisnis militer sejak bulan Desember 2001. 13 Jawa Pos, 5 Mei 2008 28 Otonomi Relatif, Interdependensi dan Transformasi Orientasi Departemen Pertahanan Oktober 2009. Timnas PAB menyarankan tiga alternatif skema pengambilalihan aset TNI,14 yaitu, pertama, pengembalian aset (barang milik negara) yang dikuasai, dikelola, dan dimanfaatkan oleh TNI kepada Menteri Keuangan; kedua, penggabungan beberapa unit usaha (yayasan maupun koperasi) menjadi usaha sejenis di lingkungan Departemen Pertahanan; dan ketiga penekanan tentang prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi pengelolaan. Pilihan kedua dan ketiga diterapkan untuk yayasan dan koperasi, meski belum ada kepastian apakah kemudian pengelolaan itu akan diberikan kepada Departemen Pertahanan atau pada sebuah Satuan Kerja berbentuk Badan Layanan Umum. Dalam Pidato Kenegaraan bulan Agustus 2009, Presiden SBY menjanjikan masalahnya akan tuntas sebelum akhir 2009.15 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berpendapat bahwa hampir bisa dipastikan ada tenggat antara kepastian hukum mengenai pengambilalihan dan realisasinya. Kemungkinan besar, TNI akan tetap memiliki bentuk-bentuk usaha berbentuk primer koperasi. Aset-aset TNI dari proses pengambilalihan akan dikelola Departemen Keuangan atau diaktifkan melalui Departemen Pertahanan. Aset yang sifatnya aset negara akan kembali ke Departemen Keuangan, sementara aset yang sifatnya masih dalam transisi akan dititipkan melalui Peraturan Menteri dengan tetap mengutamakan pemeliharaan. Koperasi dan yayasan di lingkungan TNI masih tetap diperbolehkan. Tidak mudah menilai seberapa besar capaian tersebut, lebih dari sekedar capaian simbolik. Terlalu lamanya waktu pembentukan tim nasional oleh presiden yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan penataan bisnis menyebabkan adanya gejala sebagian besar yayasan di bawah TNI melakukan upaya pengubahan aset yayasan, yang justru berpotensi merugikan negara. Tim yang disusun, baik untuk menindentifikasi bisnis militer maupun merancang skema pangambilalhan bisnis TNI, merupakan tim independen. Tim tersebut juga dipimpin oleh pejabat-pejabat di luar Departemen Pertahanan dan/atau TNI. Namun Departemen Pertahanan memiliki otoritas strategis, baik melalui Sekretaris Jendral Departemen Petahanan Letnan Jenderal Sjafrie Syamsuddin sebagai Ketua Supervisi dan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono sebagai Ketua Tim Pengarah PAB. Dari segi besaran sulit dinilai dengan pasti karena sejak semula memang hanya berdasarkan dugaan saja. Banyak yang beranggapan bahwa karena keterbatasan anggaran pertahanan, maka TNI memenuhi 70% kebutuhannya dengan anggaran di luar anggaran negara, termasuk sebagian diantaranya dari usaha bisnis TNI. Namun asumsi 30-70% tidak dengan sendirinya berarti pemenuhhan kebutuhan sendiri oleh tentara. Kemungkinan lain adalah terjadinya penyesuaian pada pemenuhan kebutuhan TNI. Angka 30-70% adalah angka arbitrer sekedar untuk menunjukkan bahwa TNI atau Departemen Pertahanan menyesuaikan sebagian besar programnya dengan ketersediaan anggaran. Terlepas dari kontroversi itu, besarnya keuntungan TNI dari pemanfaatan aset negara itu tidak cukup signifikan, baik dari segi proporsi APBN maupun untuk kontribusinya pada 14 Antara , 4 November 2008 15 Pidato Kenegaraan pada Rapat Paripurna DPR, 14 Agustus 2009 29 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 kesejahteraan prajurit TNI. Menurut temuan Tim PAB, total aset bersih yang selama ini dikuasai TNI, dalam berbagai bentuk kegiatan dan jenis usaha, mencapai Rp 2,23 trilyun.16 Jumlah itu tidak lebih dari hanya sekitar 8% saja dari anggaran pertahanan. Keuntungan yang bisa dinikmati dari aset tersebut mungkin tidak lebih dari 1% saja dari anggaran pertahanan, jumlah yang jauh lebih kecil dibanding peningkatan anggaran tahunan yang sejak 10 tahun terakhir sekitar 8-10%. Jumlah itu lebih kecil dibanding, mislanya dengan pagu anggaran untuk kontingensi yang besarnya sekitar 2.5% dari APBN. “Bisnis TNI” juga hanya mempekerjakan 2523 prajurit, sekitar 1.17% saja dari personel TNI. Sebab itu sesungguhnya tidak terlalu relevan mempersoalkan aset kekayaaan TNI dari sudut besarnya kontribusi kepada kesejahteraan prajurit; dan sebaliknya tidak terlalu sulit bagi negara untuk sepenuhnya mengambilalih usaha tersebut. Pengambilalihan bisnis TNI adalah isu politik yang diselesaikan dengan kalkulasi ekonomi. Kalau menghendaki, tidak terlalu sulit bagi pemerintah untuk menggambil alih seluruh kegiatan bisnis TNI. Nilai sebesar Rp 2.23 trilyun seperti ditemukan oleh Timnas PAB tersebut tidak lebih dari 30% saja dari bail-out negara dalam kasus Bank Century yang mencapai hampir Rp 7 trilyun. Stagnasi dalam Penguatan Kontrol Sipil Dalam Almanak sebelumnya ditegaskan bahwa supremasi sipil masih merupakan pertanyaan besar dalam hubungan antara Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI. Kalaupun ada, supremasi itu agaknya tidak berhasil menampilkan dalam bentuk kontrol yang efektif. Kelemahan kapasitas sipil, resistensi TNI, maupun jaminan yang tertulis dalam UU bagi TNI untuk dapat menempatkan jajarannya di lingkungan birokrasi sipil merupakan sebagian dari sebab-sebab yang mempersulit perluasan jangkauan maupun kedalamam rentangan sipilisasi di lingkungan Departemen Pertahanan. Pergantian personal, khususnya di eselon I, yang terjadi dalam dua tahun belakangan ini tidak menampilkan gejala baru. Markas Besar TNI tetap masih menikmati privilege untuk menggenggam jabatan strategis, khususnya di posisi penting seperti Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Kekuatan Pertahanan dan Perencanaan Pertahanan. Mereka yang memiliki latar belakang sipil hanya memegang jabatan yang relatif kurang strategis, misalnya Potensi Pertahanan dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan. Namun lebih dari apa yang telah terjadi di masa lalu, agaknnya kesenjangan antara kebutuhan dengan kebutuhan di masa-masa yang akan datang. Di satu sisi, desakan bagi TNI untuk menempatkan para perwira menengah dan tinggi di lingkungan departemen sipil, termasuk Departemen Pertahanan, bisa dipastikan akan menurun. Pada tahun 2014 saja sudah akan terjadi defisit perwira di Markas Besar TNI. Jabatan struktural yang tersedia jauh 16 Tim Pelaksana PAB TNI memverifikasi 23 unit Yayasan dengan 53 PT didalamnya, 1.098 unit Koperasi dengan 2 PT didalamnya dan pemanfaatan barang milik Negara (BMN) yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga : tanah : 1.618 bidang tanah seluas 16.544,54 hektar, tanah danbangunan : 3.470 bidang tanah dan bangunan seluas 8.435,81 hektar, gedung dan bangunan 6.699 unit seluas 37,57 hektar. Pada akhir 2007 yayasan dan koperasi memiliki aset kotor sebesar berturut-turut Rp 1.872.92 milyar dan Rp 1.320,55. 30 Otonomi Relatif, Interdependensi dan Transformasi Orientasi Departemen Pertahanan lebih besar dibanding dengan perwira yang tersedia.17 Di lain pihak, peningkatan kapasitas sipil di lingkungan Departemen Pertahanan masih terbatas. Beberapa lulusan pendidikan tinggi yang mengkhususkan diri di bidang pertahanan, salah satu diantaranya adalah Pascasarjana Manajemen Pertahanan ITB, tidak diserap sebagai tenaga profesional oleh Departemen Pertahanan. Secara teoretis, persoalan ini hanya dapat dijawab dengan secara serempak menerapkan peningkatan siklus pergantian elit (regenerasi), penyederhanaan organisasi di lingkungan TNI dan menyusun ketentuan rekrutmen baru yang lebih menegaskan afirmasi bagi kalangan sipil. Tidak satupun dari ketiga kemungkinan itu terlihat sampai pertengahan 2009. Sekalipun tidak terjadi penguatan dalam sipilisasi, reformasi di Departemen Pertahanan agaknya dipusatkan pada peningkatan kemampuan jajaran birokrasi, baik melalui berbagai latihan dan sosialisasi gagasan, kebijakan, maupun legislasi baru. Inspektorat Jendral melakukan berbagai sosialisasi internal, sedangkan Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) melaksanakan sosialisasi internal maupun eksternal. Kursus-kursus singkat yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Latihan itu menjangkau bukan hanya jajaran di lingkungan Departemen Pertahanan dan TNI tetapi juga dari berbagai departemen lain, pada tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, Menteri Pertahanan menerbitkan berbagai ketentuan internal, khususnya tentang mekanisme pengadaan barang. Transparansi dan akuntabilitas menjadi titik sentral dalam berbagai ketentuan internal itu. Berbeda dari masa awal reformasi, isu tentang pergantian pola komando, misalnya perubahan dari status Panglima TNI menjadi Kepala Staf Gabungan yang dimulai pada awal 2000 juga semakin jarang dibicarakan. Begitu pula halnya dengan upaya untuk menempatkan Markas Besar TNI di dalam Departemen Pertahanan dan Panglima TNI di bawah Menteri Pertahanan. Untuk waktu yang dapat diperkirakan ke depan agaknya hubungan Menteri Pertahanan-Panglima masih akan tetap bersifat koordinatif, khususnya mengenai “pemenuhan kebutuhan TNI” dan “penyusunan kebijakan dan strategi serta dukungan administrasi”.18 Markas Besar TNI tetap memiliki kewenangan besar untuk merencanakan validasi organisasi, menyusun kebutuhan TNI, maupun berbagai ketentuan internal. Otoritas Menteri Pertahanan tampaknya akan sangat ditentukan oleh kualitas personal atau hubungan interpersonal dengan Panglima, dan oleh karenanya, stabilitas, karakter, dan orientasi hubungan itu sangat rawan terhadap perubahan personil. Dipastikan tidak akan terjadi perubahan fundamental dalam waktu dekat, sekurangkurangnya sebelum ada amandemen UU Pertahanan Negara maupun UU TNI. Dan amandemen itu tidak mungkin terlepas dari suasana politik yang jauh lebih luas. Persoalan tidak saja terkait dalam konteks Presiden-Menteri Pertahanan-Panglima TNI tetapi juga struktur yang lain, misalnya Presiden dengan Kapolri. Akan terasa janggal menempatkan 17 Menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya di lingkungan Departemen Pertahanan, TNI hanya memiliki kurang dari 80 perwira tinggi dari sekitar 140 jabatan struktural yang diperlukan. 18 Lihat berturut-turut pasal 18 ayat 4 UU No. 3/2002 dan pasal 3 ayat 2 UU No. 34/2004 TNI 31 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Panglima di bawah menteri dan tidak memiliki pertautan langsung dengan Presiden, sebelum ada perubahan fundamental dalam pengelolaan fungsi kepolisian, misalnya dengan menempatkan POLRI di bawah departemen tertentu. Sebaliknya tidak terlalu mudah untuk menetapkan departemen mana yang harus memiliki pertangungjawaban politik untuk pelaksanaan POLRI. Dalam UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara, fungsi POLRI lebih dari sekedar aparat penegak hukum, tetapi juga memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat maupun beberapa fungsi lain yang pada prinsipnya merupakan kewenangan menteri yang bertanggungjawab di bidang keamanan di dalam negeri. Fungsi POLRI tersebar ke beberapa departemen, misalnya Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan dan Hukum dan Perundang-undangan. Seperti halnya dalam kasus peradilan militer maupun pengambilalihan aset bisnis militer, penegasan supremasi Departemen Pertahanan atas Markas Besar TNI agaknya memang baru mencapai tataran simbolik. Kecil kemungkinan simbolisme itu akan berhasil menampilkan dirinya secara signifikan ke dalam isu substansial. Betapapun yurisdiksi peradilan umum, pengambilalihan aset bisnis militer maupun penempatan Panglima dan Markas Besar TNI ke dalam Departemen Pertahanan merupakan instrumen-instrumen untuk menegakkan kontrol sipil terhadap TNI. Prinsip itu nyaris tidak lagi dipertentangkan secara signifikan. Persoalan utama adalah bagaimana mewujudkan prinsip itu ke dalam tataran operasional. Diplomasi Pertahanan Tak diragukan bahwa komitmen Indonesia sangat besar untuk mengutamakan diplomasi sebagai instrumen kepentingan nasional. Salah satu wujud pertahanan defensif aktif adalah dengan mengedepankan diplomasi sebagai garis terluar pertahanan negara.” Tak mengherankan jika diplomasi merupakan salah satu unsur yang memperoleh perhatian cukup signifikan dalam kebijakan umum penyelenggaraan pertahanan negara. Dalam Strategi Pertahanan Indonesia, istilah diplomasi muncul sama seringnya dengan istilah penangkalan (25 kali) – hanya sedikit terpaut dengan istilah perang (31 kali) yang lazimnya lebih mendominasi dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh otoritas pertahanan negara.19 Konon, diplomasi pertahanan juga dirumuskan sebagai upaya untuk, antara lain, membangun saling percaya antar bangsa dan meningkatkan kemampuan pertahanan melalui pengadaan alutsista yang strategis, transfer teknologi dan peningkatan profesionalitas prajurit TNI. 20 Persoalan lain apakah tujuan tersebut telah diperjuangkan secara efektif. Menggunakan jalur diplomasi untuk tujuan pertahanan negara bisa memiliki beberapa tujuan strategis, misalnya untuk menciptakan lingkungan strategis yang aman dan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Indonesia. Namun esensi dari diplomasi adalah tawar menawar (bargaining) bukan dengan tindakan sepihak untuk merusak diri (self-destruction). Kalaupun tidak 19 Buku Putih Pertahanan Indonesia (Departemen Pertahanan RI, 2008) 20 Strategi Pertahanan Indonesia (Jakarta: Departemen Pertahanan RI, 2008), hal. 120 32 Otonomi Relatif, Interdependensi dan Transformasi Orientasi Departemen Pertahanan ditopang oleh sumberdaya fisik, misalnya kekuatan militer, diplomasi dapat bersandar pada sumberdaya lain, misalnya manuver, prakarsa, dan determinasi untuk mewujudkan prakarsa itu. Khususnya yang terkait dengan diplomasi pertahanan (defence diplomacy), tercatat delapan puluh delapan kegiatan dalam lima tahun belakangan ini (2003-2008). Menurut Syawfi, sebagian besar (80 persen) dari kegiatan itu ditujukan untuk membina rasa saling percaya dalam kehidupan bernegara (confidence building measures). Hanya sebagian kecil yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan (11.4%) atau industri pertahanan (9%).21 Kegiatan diplomasi pertahanan Indonesia menitikberatkan kepada tujuan untuk peningkatan stabilitas regional melalui bina-saling percaya diri, tidak dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian pertahanan.22 Diplomasi pertahanan belum berhasil untuk meningkatkan independensi kemampuan pertahanan. Menjadi persoalan lain apakah substansi itu kemudian dapat ditafsirkan sebagai esensi diplomasi pertahanan untuk meningkatkan kemampuan nasional. Misalnya, melihat tingkat elaborasi Buku Putih Pertahanan Indonesia, dan membandingkannya dengan buku-buku putih Singapura, Thailand, dan Vietnam tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa Indonesia membuka terlalu banyak dari yang seharusnya. Paparan seperti itu mungkin saja berhasil membangun citra Indonesia sebagai negara yang cinta damai, namun pada saat yang sama juga mengetengahkan berbagai problema internal. Dilihat dari luar, Indonesia bukan hanya tidak memiliki kekuatan tempur tetapi juga tidak memiliki kemauan untuk menjadi kekuatan militer – sesuatu yang menyangkal esensi dari teori penangkalan. Pendek kata, berbeda dari beberapa negara yang menggunakan diplomasi pertahanan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan nasional dengan cara meningkatkan posisi tawar menawar maupun efektifitas penetrasi untuk mengubah persepsi pihak lain, diplomasi pertahanan Indonesia masih terbatas pada masalah pembangunan citra. Otoritas Politik dan Kebijakan Pertahanan Indonesia Menteri Pertahanan bukanlah satu-satunya pengelola kebijakan pertahanan negara. Selain menteri, UU 3/2002 juga menetapkan Presiden, Dewan Pertahanan Nasional dan TNI sebagai bagian dari institusi-institusi yang memegang peranan penting dalam kebijakan pertahanan Indonesia. Ruang otoritas Menteri Pertahanan pada prinsipnya terkait dengan pembangunan kekuatan pertahanan; Presiden dan Panglima bertanggungjawab untuk pengerahan kekuatan dan penggunaan kekuatan pertahanan. Dewan Pertahanan Negara, dengan Menteri Pertahanan sendiri sebagai salah satu anggotanya, bertugas untuk memberi masukan kepada Presiden tentang masalah-masalah krusial yang harus dijawab dengan pertahanan negara. Departemen Pertahanan, melalui Menteri Pertahanan, juga bertugas 21 Idil Syawfi, “Aktivitas Diplomasi Pertahanan Indonesia”, Thesis Master, Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009: hal 28-33. 22 Ibid . hal. 122 33 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 untuk menjalin koordinasi dengan beberapa instansi negara lainnya, seperti Departemen Dalam Negeri, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dan Dewan Ketahanan Nasional. UU Hanneg juga tidak memberi kepastian tentang kapan pembangunan institusi dan perundangan di bidang pertahanan negara harus diselesaikan. Pasal 27 UU Pertahanan Negara hanya menegaskan bahwa “badan dan perundangan yang ada tetap berlaku sampai terbentuk badan atau perundangan yang baru. Tidak ada tenggat tentang kapan harus terbentuk badan baru yang diwajibkan oleh UU, misalnya Dewan Pertahanan Nasional. Perubahan postur pertahanan hanya dirumuskan tanpa tenggat. Pasal 11 UU TNI tidak memastikan tentang kapan postur pertahanan Indonesia harus mencerminkan kenyataan geografis. Tanpa ada kepastian tersebut, Menteri Pertahanan atau Departemen Pertahanan mempunyai ruang yang amat besar untuk menetapkan apa yang dianggap sebagai agenda. Namun perlu juga digarisbawahi bahwa keberhasilan seorang menteri pertahanan di Indonesia ditentukan juga oleh instansi lain, khususnya Presiden yang menurut ketentuan dalam UU Pertahanan Negara harus menyusun tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Pada kenyataannya, Kebijakan Umum Pertahanan Negara pemerintahan Yudhoyono baru diumumkan akhir Januari 2008, melalui Peraturan Presiden No. 7/2008 -- 38 bulan setelah pemerintahan Yudhoyono dilantik (Oktober 2004). Menteri Pertahanan seakan-akan justru lebih memainkan peranan penting sebagai anggota Dewan Pertahanan Negara yang belum terbentuk daripada sebagai pembantu Presiden seperti dimaksud dalam UUD 1945. Sebagai pimpinan Departemen, Menteri Pertahanan memiliki kewenangan koordinatif dengan pimpinan instansi-instansi lainnya, baik pada tingkat ministerial seperti dengan Departemen Dalam Negeri, Kementerian Riset dan Teknologi dan Bappenas maupun instansional dengan Lemhannas dan Wantannas. Pola hubungan koordinatif di manapun juga memerlukan kejelasan pembagian kerja (division of labour) secara sektoral, pembagian kerja yang menitikberatkan pada bidang tertentu saja dari penyelenggaraan pemerintahan. Pada prakteknya, beberapa departemen/kementrian menyusun kebijakan yang langsung atau tidak terkait dengan pertahanan negara. Menteri Negara Urusan Riset danTeknologi, misalnya, juga menyusun sebuah buku putih tentang pengembangan teknologi pertahanan. Begitu juga Bappenas yang antara lain melampirkan kebijakan pertahanan dalam pidatopidato Presiden atau Badan Pembangunan Hukum Nasional (BPHN) yang mempersiapkan beberapa amandemen perundangan, misalnya mengenai mobilisasi dan demobilisasi. Menurut pengalaman, tidak ada koordinasi, apalagi sinergi, antara rancangan-rancangan yang disusun oleh instansi tersebut dengan pihak Departemen Pertahanan. Departemen Pertahanan sendiri tentu melakukan banyak hal dalam periode tiga setengah tahun pemertintahan Yudhoyono. Pada tahun 2007, Departemen Pertahanan menerbitkan empat dokumen penting: Buku Putih Pertahanan, Doktrin Pertahanan Negara, Strategi Pertahanan Negara dan Postur Pertahanan negara. Dokumen-dokumen tersebut menjadi landasan bagi kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara sampai tahun 2029. Konsep 34 Otonomi Relatif, Interdependensi dan Transformasi Orientasi Departemen Pertahanan pertahanan meliputi pertahanan militer maupun non-militer. Begitu pula halnya dengan strategi pertahanan yang dibedakan menjadi strategi pertahanan militer dan strategi nonmiliter. Pembangunan postur juga diarahkan untuk meningkatkan kemampuan komponen utama maupun komponen cadangan dan pendukung. DPR menilai dokumen-dokumen tersebut layak sebagai bagian dari transparansi Departemen Pertahanan maupun upaya untuk menegaskan beberapa perubahan dalam proses perencanaan kebijakan pertahanan. Namun DPR juga menangkap dua hal penting. Pertama adalah bahwa Departemen Pertahanan gagal merumuskan doktrin dan strategi pertahanan yang relevan dengan konteks ancaman yang dihadapi Indonesia. UUD 1945 dan doktrin pertahanan semesta menjiwai rumusan doktrin pertahanan tetapi tidak secara rinci menjadi ranah kebijakan yang langsung terkait dengan otoritas Departemen Pertahanan; kedua, sebagai konsekuensi yang pertama, dokumen yang diterbitkan Departemen Pertahanan membawa kesan kuat bahwa TNI akan memperluas kewenangan atau tugas utamanya untuk menghadapi ancaman non-militer.23 Penutup Stagnasi dalam pembahasan RUU Peradilan Militer, pengambilalihan aset bisnis TNI, maupun sipilisasi birokrasi di lingkungan Departemen Pertahanan merupakan kasus yang menunjukkan masih terdapatnya decisive independensi atau, jika dilihat dari sudut hubungan sipil-militer, otoritas relatif politik sipil. Menjadi pertanyaan tersendiri apakah relatifisasi otoritas politik sipil atas militer ini merupakan fenomena transisi atau akan menjadi permanen; begitu pula halnya apakah oleh karenanya akan membuka ruang independensi yang besar bagi militer. Di negara-negara Barat, independensi instansi militer dari pemegang otoritas politik menjadi isu krusial sebagai benchmark supremasi sipil karena independensi itu dikhawatirkan menyebabkan militer bisa melakukan banyak hal sesuai dengan pertimbangannya sendiri, misalnya akumulasi kekuatan koersif yang membahayakan lingkungan strategis, khususnya hubungan dengan negara lain. Di Indonesia, independensi itu agaknya terbatas pada masalah transparansi dan akuntabilitas. Hingga kini Indonesia tidak memiliki kekuatan yang cukup menimbulkan efek penangkalan terhadap negara-negara di sekitarnya. Agenda utama 2009-2014 oleh karenanya harus berpijak dari asumsi tentang perlunya ruang yang lebih besar bagi akses publik untuk melakukan pengawasan terhadap birokrasi pemerintahan. Berhasil atau tidaknya upaya untuk mengikis impunitas, penyalahgunaan aset negara, maupun akan sangat tergantung pada kemampuan politik sipil. Mengingat semakin lemahnya desakan politik yang dapat digunakan untuk mempercepat proses itu, masyarakat sipil harus dapat menciptakan momentum baru untuk membangun penyelenggaraan tatakelola pemerintahan yang baik. 23 Sumbangan pemikiran Komisi I DPR atas Draft Kebijakan umum dan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara, Jakarta, 14 Februari 2008. 35 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Keterbatasan diplomasi pertahanan maupun berbagai persoalan terkait dengan kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara bisa dipastikan merupakan persoalan transisional. Keandalan kebijakan di kelak kemudian hari masih ditentukan oleh beberapa hal, mulai dari penataan institusi yang bertanggungjawab mengenai bidang pertahanan nasional, reorientasi pemikiran di lingkungan para perencana kebijakan di Departemen Pertahanan, maupun pada kemampuan sumberdaya nasional untuk menopang kebijakan pertahanan. Departemen Pertahanan tidak mungkin secara sendirian berada dalam posisi menentukan. Hampir bisa dipastikan kedudukan Presiden akan sangat sentral bagi reformasi kebijakan terkait dengan pertahanan negara. Kewenangan Menteri Pertahanan agaknya hanya akan terbatas pada pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia. Terlepas dari substansi yang tercantum dalam dokumen yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan seperti telah disebutkan di atas, dokumen-dokumen tersebut dapat menjadi landasan bagi perencanaan pertahanan Indonesia masa depan. Secara politik, dokumendokumen itu juga bisa menjadi pijakan bagi proses checks and balances dalam politik kebijakan di Indonesia. Oleh karenanya, DPR maupun masyarakat sipil dapat menyusun agenda yang lebih terfokus pada beberapa hal yang dikerjakan oleh Departemen Pertahanan, tidak melulu pada beberapa hal ideal yang diinginkan oleh DPR maupun masyarakat sipil itu sendiri. Betapapun, terbitnya dokumen-dokumen seperti itu harus dianggap sebagai kemajuan dalam demokratisasi proses kebijakan, sekalipun tidak secara signifikan memiliki implikasi politik terhadap peran tentara dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Agenda kebijakan 2009-2014 harus dipusatkan pada program-program yang lebih membuka ruang untuk menempatkan konteks pertahanan Indonesia pada dimensi militer, dan oleh karenanya menjadikan Departemen Pertahanan sebagai departemen yang khusus merencanakan kebijakan terkait dengan pengembangan postur komponen utama pertahanan negara. Masyarakat sipil harus mulai memikirkan tentang transformasi pertahanan Indonesia, satu diantaranya dengan mengusulkan gagasan alternatif orientasi kebijakan pertahanan nasional, strategi pertahanan negara, dan operasionalisasinya ke dalam postur pertahanan militer.< 36 Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam Reformasi Sektor Keamanan PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) DALAM REFORMASI SEKTOR KEAMANAN Suryama M. Sastra1 dan Yusa Djuyandi 2 Pendahuluan Perjalanan reformasi sektor keamanan di Indonesia pada saat ini telah memasuki usia yang ke 10 (sepuluh), selama kurun waktu tersebut perjalanan reformasi sektor keamanan banyak mengalami pasang surut dan hal ini terlihat dari berbagai fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, sebagai contohnya masih adanya ego angkatan antara TNI dan Polri, penanganan dengan tindak kekerasan oleh aparat kepolisian, reformasi bisnis TNI yang belum selesai, terjadinya tindak kekerasan anggota TNI terhadap rakyat sipil sebagaimana yang pernah terjadi di Alas Tlogo, dan sebagainya. Reformasi sektor keamanan merupakan salah satu bagian penting dari pelaksanaan reformasi secara keseluruhan dan tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi sektor keamanan juga memiliki peranan penting dalam membawa perubahan bagi masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan, dan oleh karenanya reformasi sektor keamanan juga bertujuan untuk menciptakan terjaminnya perlindungan hak asasi manusia (HAM), menciptakan pemerintahan sipil yang berdaulat dalam konteks supremasi sipil, serta menciptakan aktor pertahanan dan keamanan yang handal dan profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di dalam setiap negara yang menganut sistem demokrasi, dimana kekuasaan diyakini berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh dan atas kehendak rakyat, keberadaan Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam melindungi kepentingan rakyat sangat dibutuhkan, dan dalam konteks reformasi sektor keamanan di Indonesia dimana reformasi sektor keamanan juga merupakan salah satu tuntutan rakyat yang harus dilaksanakan maka peranan DPR dalam mendukung pelaksanaan reformasi sektor keamanan juga sangat dibutuhkan. Sebagai lembaga perwakilan rakyat maka DPR mempunyai tanggungjawab untuk melindungi dan menjaga kepentingan rakyatnya agar terbebas dari rasa khawatir akan gagalnya cita-cita dan pelaksanaan reformasi sektor keamanan, dimana salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan berbagai fungsi yang dimilikinya seperti fungsi pengawasan, legislasi dan anggaran, dengan menggunakan beberapa fungsi tersebut seperti diantaranya fungsi pengawasan maka DPR dapat menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah ataupun unit-unit dari cabang pemerintahan lainnya,3 misalkan TNI dan Polri. Keberadaan DPR saat ini tentunya sangat jauh berbeda apabila dibandingkan dengan DPR pada massa pemerintahan Orde Baru dimana kekuasaan eksekutif sangat begitu kuat dari 1 Suryama M. Sastra, adalah Anggota Komisi I DPR-RI Periode 2004-2009, Fraksi PKS. 2 Yusa Djuyandi, adalah Staf Ahli Anggota Komisi I DPR-RI, dan Lulusan Magister Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung. 3 Peter Joyce, Politics, London: Teach Yourself, 2003, hlm. 204. 37 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 parlemen (DPR), sebab pemerintah orde baru pada saat itu banyak memanfaatkan keberadaan fraksi TNI/Polri (ABRI) dan Golkar di dalam DPR untuk mendukung kebijakan Presiden Soeharto,4 hal ini tentunya kemudian berdampak pada lemahnya sistem demokrasi di Indonesia dan juga mengakibatkan banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. DPR pada massa reformasi merupakan lembaga yang berbeda apabila dibandingkan dengan DPR pada massa pemerintahan orde baru dimana keberadaan DPR jauh lebih independen, terlepas dari kontrol dan pengaruh kekuasaan eksekutif, sehingga mampu menciptakan check and balances sebagai salah satu bentuk pewujudan demokrasi dan pelaksanaan konsep trias politica. Pada awal bergulirnya reformasi DPR telah berusaha untuk menjalankan peranannya secara maksimal sebagai lembaga perwakilan rakyat dan untuk memaksimalkan peranannya tersebut DPR mulai membenahi dirinya dengan salah satunya menghilangkan fraksi TNI/Polri 5 dan disamping itu DPR juga terlihat banyak memaksimalkan berbagai fungsi yang dimilikinya termasuk fungsi pengawasan. Sejalan dengan cita-cita reformasi sektor keamanan maka DPR juga mempunyai hak sekaligus kewajiban untuk mengawal cita-cita tersebut, diantaranya dengan terus mengawasi jalannya reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Badan Intelejen Negara (BIN), Departemen Pertahanan (Dephan), dan beberapa lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan sektor keamanan. Disamping itu DPR bersama-sama dengan pemerintah juga membuat undang-undang yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan reformasi di dalam sektor keamanan, serta menetapkan anggaran di bidang pertahanan dan keamanan dengan berdasarkan pada tingkat kebutuhannya, karena DPR pun menganggap anggaran juga mempunyai nilai strategis dalam membangun kekuatan pertahanan dan keamanan negara yang ideal sebagai salah satu bagian dari reformasi sektor keamanan. Tanpa bermaksud mengecilkan beberapa fungsi DPR lainnya, namun dalam kesempatan ini penulis hanya membahas bagaimana pelaksanaan fungsi pengawasan yang telah dilakukan oleh DPR periode 2004-2009 selama ini, komisi apa yang melakukan pengawasan dalam kaitannya dengan reformasi sektor keamanan, hal-hal apa saja yang sekiranya selama ini menjadi prioritas pengawasan DPR, dan beberapa hal lainnya yang sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan efektifitas pengawasan DPR. Aktivitas pengawasan DPR memang merupakan suatu hal yang memiliki keunikan sebab aktivitas ini memiliki dua tujuan dari dua sudut pandang yaitu organisasi dan politis, yaitu satu bertujuan agar suatu rencana dapat berjalan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan,6 dan kedua agar tercipta suatu mekanisme checks and balances antara lembaga-lembaga negara yang berkuasa.7 4 Keberadaan Golongan Karya (Golkar) ketika masa pemerintahan orde baru merupakan bentuk rekayasa ABRI, keberadaan Golkar diawali dengan munculnya Sekber Golkar yang dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan terhadap poros Pancasila. Berkat kerja keras Daryatmo, Ali Murtopo dan Soemitro, Jenderal Soeharto memasuki Pemilu 1971 dengan dukungan Golkar yang bersatu dan ABRI yang kompak. (Said, 2001: 104-105) 5 Hilangnya fraksi TNI/Polri sendiri baru tercapai pada tahun 2004 yaitu pada massa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Lihat Al Araf, “Tentara Nasional “ dalam Beni Sukadis (Ed.), Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, Jakarta: Lesperssi dan DCAF, 2008, hlm. 24. 6 Siswanto, H.B., Pengantar Manajemen, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007, hlm. 139. 7 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 153. 38 Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam Reformasi Sektor Keamanan 1. Komisi-komisi di DPR yang Terkait dengan Reformasi Sektor Keamanan Sebagai sebuah lembaga perwakilan rakyat yang mewakili ± 230.000.000 rakyat Indonesia, DPR mengurus banyak hal atau persoalan yang terkait dengan berbagai kepentingan rakyat Indonesia, untuk memudahkan tugas-tugasnya dalam hal melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran di berbagai sektor maka dibentuklah komisikomisi yang mempunyai ruang lingkup bidang atau sektor tertentu yang berbeda satu sama lainnya. Tentang pentingnya keberadaan komisi di dalam lembaga legislatif, Joyce (2003: 208) menjelaskan dan memberikan gambaran tentang peranan komisi. Menurut Joyce banyak pekerjaan yang dijalankan oleh lembaga legislatif pada saat ini di delegasikan ke komisi-komisi dan pada gilirannya badan ini dapat pula menyerahkan tanggungjawabnya ke sub-komisi, keberadaan komisi sangat penting dalam menunjang tugas-tugas parlemen sebab pada waktu yang bersamaan parlemen (DPR) dapat memikirkan sejumlah permasalahan-permasalahan yang lain. Terkait dengan pelaksanaan reformasi sektor keamanan, maka secara organisasional terdapat dua komisi yang menangani sektor tersebut, yaitu Komisi I (satu) yang diantaranya menangani bidang pertahanan dan intelejen dengan terdapatnya kelompok kerja (Pokja) pertahanan dan Pokja intelejen, serta Komisi III (tiga) yang diantaranya menangani bidang keamanan dalam negeri. Dalam bidang bertahanan dan intelejen Komisi I DPR bermitra dengan beberapa lembaga pemerintahan dan Negara, seperti Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Intelejen Negara (BIN), dan lain sebagainya, sedangkan untuk Komisi III dalam bidang keamanan maka DPR bermitra dengan Menteri Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukkam) serta dengan Polri. Berbeda halnya dengan Komisi I yang memiliki kelompok kerja (Pokja) pada Komisi III tidak terdapat adanya Pokja. a. Gambar Struktur Kelompok Kerja (Pokja) Komisi I DPR Komisi I DPR - RI Pokja Pertahanan Pokja Hubungan Luar Negeri Pokja Intelejen Pokja Informasi dan Komunikasi b. Gambar Struktur Bidang Kerja Komisi III DPR Komisi III DPR - RI Hukum dan Hak Asasi Manusia Kejaksaan Keamanan (Kepolisian) 39 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 2. Reformasi Legislasi dalam Memperkuat Reformasi Sektor Keamanan Reformasi sektor keamanan secara luas terbagi kedalam dua ranah, yaitu ranah keamanan (kedalam) dan ranah pertahanan (keluar), guna menjamin pelaksanaan reformasi sektor keamanan berjalan sesuai dengan cita-cita dan keinginan bangsa maka sebagai langkah awal pada tahun 2000 diadakan reformasi birokrasi pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang secara resmi memisahkan kedua institusi bersaudara, yaitu TNI dan Polri, melalui TAP MPR Nomor VI tentang Pemisahan TNI dan Polri yang kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Sebagai upaya untuk memperkuat ketetapan hukum yang telah ada, yaitu TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 dan TAP Nomor VII Tahun 2000, maka UUD 1945 hasil amandemen juga mulai mempertegas pemisahan antara ranah pertahanan dan keamanan,8 dimana TNI berfungsi sebagai alat negara yang bertugas menjaga pertahanan sedangkan Polri berfungsi sebagai alat negara yang mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.9 Reformasi sektor keamanan tidak dapat berjalan dengan baik kalau tidak didukung oleh reformasi legislasi sektor keamanan, oleh karena itu DPR bersama-sama dengan pemerintah berusaha mendorong lahirnya undang-undang sektor keamanan yang reformis seperti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sayangnya setelah lahir undang-undang TNI, sampai dengan saat ini DPR bersamasama dengan pemerintah belum mengeluarkan dan mengesahkan produk legislasi lainnya yang memperkuat pelaksanaan reformasi sektor keamanan dimana hal ini terlihat dari terhambat dan lambatnya pembahasan RUU Keamanan Nasional, RUU Rahasia Negara, dan RUU Intelejen. Pentingnya produk legislasi dalam reformasi sektor keamanan juga akan mempermudah pelaksanaan tugas dan fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya reformasi sektor keamanan secara menyeluruh, baik terhadap pemerintah maupun terhadap aktor-aktor pertahanan dan keamanan seperti TNI, Polri, maupun intelejen. Kebalikannya jika tidak ada produk hukum yang mengaturnya maka akan sulit bagi DPR untuk mengawasi jalannya kebijakan reformasi keamanan, sebab pada level yang paling penting yaitu pada tingkatan tertinggi yang diawasi oleh DPR adalah kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah dengan berdasarkan kepada undang-undang yang ada, jika tidak ada undang-undang praktis maka tidak akan ada banyak hal yang dapat diawasi oleh DPR. 2. Pengawasan DPR dalam Reformasi Sektor Keamanan Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR adalah dijamin dalam UUD 1945, merujuk pada Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Pasal 20A ayat (1) disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. 8 Lihat Bab XII, Pertahanan dan Keamanan Negara, UUD 1945 hasil amandemen ke dua, tahun 2000. 9 Lihat Pasal 30 ayat (3) dan (4) UUD 1945 hasil amandemen ke dua. 40 Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam Reformasi Sektor Keamanan Disamping itu terdapatnya fungsi pengawasan bagi DPR juga dilegalkan melalui Pasal 25 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sejauhmanakah pengawasan yang dilakukan oleh DPR periode 2004-2009 ini selama kurun waktu 2 tahun terakhir? berikut adalah beberapa hal yang masih menjadi fokus perhatian pengawasan DPR: a. Pengawasan Terhadap Penggunaan Anggaran Pertahanan dan Keamanan Perananan anggaran dalam reformasi sektor keamanan sangat besar, sebab dengan anggaran yang besar maka baik TNI, Polri dan BIN diharapkan mampu memenuhi standar minimum kebutuhan mereka dalam menjalankan tugas-tugasnya, mulai dari kesejahteraan para prajuritnya, pembelian peralatan ataupun persenjataan terbaru dan pemenuhan biaya operasional keseharian. Apabila dibandingkan dengan anggaran-angaran sebelumnya maka pada era reformasi jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kebutuhan di sektor keamanan banyak mengalami peningkatan,10 namun memang jumlah anggaran yang tersedia untuk masing-masing lembaga berbeda dan pemerintah pusat juga belum sepenuhnya bisa memenuhi semua kebutuhan anggaran yang diperlukan oleh masingmasing angkatan. Seperti halnya pada tahun 2008 dimana anggaran minimum pertahanan yang sebetulnya dibutuhkan oleh Dephan dan TNI adalah sebesar Rp. 100 triliun 11 sedangkan yang mampu dipenuhi oleh APBN 2008 hanya sebesar Rp. 33.9 triliun,12 yang berarti ada sekitar Rp. 66.1 triliun kebutuhan anggaran pertahanan yang tidak terpenuhi. Memang minimnya jumlah anggaran terkadang menjadi kendala bagi peningkatan profesionalisme institusi Polri dan TNI, misalnya seperti munculnya alasan bahwa TNI melakukan bisnis selama ini dikarenakan jumlah anggaran dari pemerintah yang minim sedangkan disisi lain para prajurit butuh mempertahankan standar hidup mereka, maka dari itu Rieffel dan Pramodhawardani memberikan pandangan tentang pentingnya mengurangi aktivitas bisnis TNI, khususnya yang illegal dengan cara menambah gaji dan tunjangan militer yang didanai dari anggaran, serta memberhentikan aktivitas bisnis secara berkala dan bukan tiba-tiba.13 Walaupun jumlah anggaran yang dibutuhkan dalam reformasi sektor keamanan masih belum memenuhi total kebutuhan Dephan, TNI, Polri dan BIN, namun pelaksanaan pengawasan terhadap penggunaan anggaran tetap harus dilakukan guna menghindari adanya penyalahgunaan kewenangan, disamping dana yang digunakan merupakan dana 10 Anggaran pertahanan pada tahun 2007 berada di angka Rp. 31,3 triliun, terbesar kedua setelah pendidikan, anggaran untuk Polisi sebesar Rp. 18,7 triliun, dimana secara keseluruhan anggaran pertahanan dan keamanan lebih besar dari anggaran pendidikan yang hanya sebesar Rp. 43,5 triliun. (Rieffel dan Pramodhawardani, 2007: 170) 11 http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6561&Itemid=695 12 Lihat jawaban Menteri Pertahanan dalam Rapat Kerja antara Menhan dengan Komisi I DPR-RI, tanggal 23 Februari 2009. 13 Lex Rieffel dan Jaleswari Pramodhawardani, Menggusur Bisnis Militer – Tantangan Pembiayaan Melalui APBN, Bandung: Mizan, 2007, hlm. 170. 41 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 APBN yang berasal dari rakyat sehingga wajib dipertanggungjawabkan. Pada awal-awal tahun 2009 dalam rangka melakukan pengawasan di bidang anggaran, maka DPR telah mengajukan pertanyaan kepada pemerintah tentang realisasi dan target pencapaian besaran anggaran untuk program kerja Dephan pada Triwulan IV (Oktober-Desember) TA. 2008 dan kendala yang dihadapi.14 a. Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia Polisi merupakan alat negara yang berfungsi untuk menjaga keamanan dalam negeri, sebagai alat negara yang berfungsi menjaga kemananan dalam negeri maka polisi lebih sering berinteraksi dengan masyarakat sebagai objek yang dilindunginya dalam rangka terciptanya keamanan dan ketertiban di masyarakat. Penggabungan Polri kedalam tubuh ABRI pada era orde baru telah menyebabkan perubahan karakter instansi dan aparat kepolisian yang lebih cenderung militeristik dan hal ini bagi sebagian besar masyarakat dianggap sebagai suatu kemunduran, banyak aparat kepolisian yang melakukan tindakan represif dalam menangani beberapa kasus seperti dalam menangani aksi demonstrasi. Pemisahan Polri dari tubuh ABRI/TNI pada 1 April 1999 melalui Inpres No. 2 Tahun 1999 yang kemudian dipertegas melalui TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri, serta TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang peran kedua lembaga tersebut telah membawa angin segar bagi terciptanya perubahan di tubuh kepolisian, dimana perubahan tersebut dalam rangka menciptakan polisi Indonesia yang dapat melindungi dan mengayomi masyarakat melalui konsep community policing. Untuk memperkuat arah reformasi di tubuh kepolisian maka DPR kemudian merancang dan mengesahkan suatu undang-undang tentang kepolisian yaitu UU No. 2 Tahun 2002, produk undang-undang ini dengan secara tegas menjelaskan tugas-tugas kepolisian dalam lingkup sektor keamanan dalam negeri dan juga mengarahkan Polri menjadi sebuah lembaga yang berorientasi pada konsep community policing. Pemisahan Polri dari ABRI/TNI juga bertujuan untuk mereformasi kepolisian secara menyeluruh dimana hal ini menyangkut pula masalah keterbukaan dan pengembangan demokrasi di tubuh kepolisian, keterbukaan dan demokrasi pada setiap lembaga negara dan pemerintahan merupakan suatu keharusan dikala masyarakat menuntut agar aparatur pemerintah dan negara lebih memperhatikan aspek-aspek yang terkandung dalam tuntutan reformasi, seperti pemeberantasan KKN, peningkatan kesejahteraan, dan keterbukaan. Maka dari itu Polri juga dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance seperti transparan, tanggap, berorientasi pada masyarakat, bertanggungjawab, berdasarkan pada kaidah hukum, dan lain sebagainya, sehingga Polri pun mau tidak mau harus siap bahwa setiap tindakannya akan selalu diawasi oleh masyarakat melalui sebuah lembaga perwakilan rakyat yaitu DPR. 14 Lihat jawaban Pemerintah atas Pertanyaan Tertulis Pada Rapat Kerja antara Menhan RI dengan Komisi I DPRRI, tanggal 23 Februari 2009. 42 Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam Reformasi Sektor Keamanan Berdasarkan pada hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPR maka sampai saat ini masih ditemukan berbagai kasus yang bertentangan dengan arah kebijakan Polri yang reformis dan berbasiskan pada community policing, seperti diantaranya masih ditemukan adanya beberapa personel polisi yang melakukan tindakan indisipliner, pelanggaran HAM, penyalahgunaan wewenang untuk melakukan korupsi atau menerima suap yang dimana semua tindakan ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Tindakan indisipliner anggota Polri pada umumnya menyangkut penyalahgunaan senjata api; melakukan beking terhadap tempat-tempat hiburan malam, prostitusi, dan perjudian; melakukan pemungutan liar kepada masyarakat melalui modus operandi tilang di tempat; pertikaian antara anggota Polri dan TNI, serta beberapa tindakan indisipliner lainnya. Sedangkan dalam konteks perlindungan HAM, berdasarkan hasil pengawasan Komisi III DPR bahwa hingga saat ini masih terdapat adanya beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota kepolisian, seperti seperti kasus penembakan aparat kepolisian terhadap warga masyarakat,15 penggunaan tindak kekerasan dalam pembubaran aksi massa demonstran. Dalam hal penyalahgunaan jabatan atau wewenang di dalam tubuh kepolisian maka dalam beberapa kasus, Komisi III DPR melihat masih adanya peristiwa penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian, seperti halnya praktek tindak KKN dan penerimaan sogok oleh aparat kepolisian baik pada level bawah maupun level atas, sebagai contoh: pembobolan Bank BNI yang melibatkan beberapa Perwira Tinggi (Pati) di tubuh kepolisian, dan juga penerimaan sogok di jalan raya yang hingga saat ini masih terjadi. c. Pengawasan Terhadap Reformasi Badan Intelijen Negara (BIN) BIN selama ini terkesan sebagai lembaga yang bebas bergerak dan memiliki otoritas penuh serta dapat menembus berbagai instansi dan kepentingan tanpa batas, melihat kenyataan ini seharusnya BIN tidak boleh dibiarkan sendirian tetapi harus ada mekanisme kontrol yang baik untuk mengawasi dan meminta pertanggungjawaban kinerja mereka. Selama ini kontrol dan pengawasan BIN dilakukan melalui komisi di DPR tetapi kenyataannya pengawasan tersebut tidak berjalan efektif, mekanisme pengawasan baru dilaksanakan oleh DPR ketika BIN sudah menyentuh kepentingan DPR bahkan dianggap bisa mengancam lembaga legislatif ini, berdasarkan kenyataan ini sudah sewajarnya jika kemudian mekanisme pengawasan DPR diefektifkan kembali untuk memantau kinerja BIN, yang salah satunya dapat dilakukan dengan memanggil dan meminta pertanggungjawaban kinerja BIN secara periodik. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR juga seharusnya bisa mengawasi netralitas BIN sebab ketidaknetralan BIN tentunya akan merusak tujuan dari reformasi sektor keamanan, contoh kasus pernyataan kepala BIN yang menyatakan bahwa: “menteri dan parpol sontoloyo adalah bentuk penghinaan politik kepada presiden karena menganggap presiden 15 Sebagai contoh: kasus penembakkan terhadap 14 warga Poso oleh Pasukan Detasemen 88 Antiteror Mabes Polri pada tanggal 22 Januari 2007, lihat http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=123067 dan http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=281697&kat_id=3 43 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 tidak mampu menilai kerja para menterinya,” 16 adalah suatu hal yang salah karena sudah masuk ke dalam ranah politik dan membawa BIN seolah-olah condong kepada salah satu kekuatan politik tertentu. Disamping mengawasi netralitas lembaga intelejen, DPR juga mempunyai kewajiban untuk mengawasi berbagai tindakan-tindakan BIN dalam kaitannya dengan perlindungan HAM, dalam kasus pembunuhan Munir yang melibatkan Muchdi PR maka DPR terus memantau jalannya perkembangan dalam pengusutan peristiwa ini yang salah satunya dengan cara meminta penjelasan dari BIN, selain itu dalam beberapa kesempatan DPR juga melakukan pengawasan terhadap perkembangan kasus orang hilang yang diduga melibatkan intelijen. Akan tetapi, pengawasan DPR terhadap dunia intelijen memang masih dirasakan belum maksimal dikarenakan adanya beberapa persoalan, seperti adanya sifat kerahasiaan yang mengakibatkan tidak semua informasi berhak dan dapat diperoleh oleh seluruh anggota Komisi I DPR, namun tentunya ada beberapa hal yang sebenarnya dapat dimaksimalkan oleh DPR dalam rangka melakukan pengawasan terhadap BIN seperti menggunakan mekanisme kontrol anggaran terhadap intelijen. DPR disisi lain juga dapat menggunakan laporan masyarakat yang mengadukan adanya indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh badan intelejen, sebagai sebuah contoh adalah adanya pelaporan beberapa kalangan atas kematian Munir yang diduga turut melibatkan aktor intelijen. d. Pengawasan Terhadap Jalannya Reformasi TNI Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI Reformasi bisnis TNI berupa pengalihan aktivitas bisnis TNI oleh pemerintah merupakan salah satu agenda terpenting dalam reformasi sektor keamanan, khususnya reformasi TNI, hal ini dikarenakan aktivitas bisnis yang dilakukan oleh TNI dipercaya dapat melemahkan TNI dalam menjalankan fungsi dan tugas utamanya sebagai garda terdepan bangsa dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disamping itu aktivitas bisnis TNI juga dipercaya dapat melemahkan kekuasaan pemerintahan yang berdaulat, karena dari aktivitas bisnisnya TNI merasa dapat mandiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri sedangkan pemerintah disisi lain tidak dapat memberikan banyak anggaran bagi kebutuhan TNI. Aktivitas bisnis TNI juga dapat mengakibatkan terjadinya distorsi dalam sistem perekonomian Indonesia dan memunculkan ketidakadilan dalam transaksi ekonomi, sebab disatu sisi pelaku ekonomi dari TNI memegang senjata sedangkan disisi lainya pelaku ekonomi kalangan sipil tidak bersenjata. Maka dari itu untuk menjamin bahwa reformasi bisnis TNI berjalan dengan baik maka DPR telah melakukan beberapa langkah pengawasan terhadap jalannya pengalihan aktivitas bisnis TNI oleh pemerintah, diantaranya dengan mempertanyakan sejauhmana langkahlangkah yang telah diambil Departemen Pertahanan dalam menjalankan amanah Pasal 76 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan sejauhmana kesiapan TNI untuk menghadapi tuntutan pengalihan aktivitas bisnis TNI. Pengawasan terhadap pengalihan aktivitas bisnis 16 Lihat http://www.detiknews.com/read/2008/06/28/154252/964024/10/bin-layak-direformasi [28/06/2008] 44 Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam Reformasi Sektor Keamanan TNI juga dilakukan melalui serangkaian mekanisme pengawasan seperti perdebatan dan pemanfaatan keberadaan komisi serta Pokja pertahanan yang ada di komisi I. Dalam beberapa hal pengawasan DPR dalam reformasi bisnis TNI masih dirasakan kurang karena: masih adanya kelemahan-kelemahan DPR dalam memanfaatkan fungsi pengawasan yang dimilikinya; disamping juga karena masih adanya ketidakkonsistenan sebagian anggota Komisi I DPR-RI dalam memperjuangkan reformasi bisnis TNI; adanya ambivalensi DPR dalam beberapa hal, seperti: disatu sisi meminta pengambilalihan bisnis TNI, disisi lain membicarakan dua hal, yaitu: peningkatan kesejahteraan TNI, dan mengakui bisnis TNI sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan prajurit; adanya beberapa oknum anggota yang disinyalir turut terlibat dalam aktivitas bisnis dalam sektor keamanan sebagai “perantara/calo”;17 serta rendahnya kontinuitas pengawasan yang dilakukan oleh anggota Komisi I DPR. Indisipliner Prajurit Kasus indisipliner parjurit masih menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan reformasi internal di tubuh TNI, seperti keributan anggota TNI-Polri baru-baru ini di depan Mapolres Bima, NTB,18 dan juga perkelahian antara seorang anggota TNI dan Polri di salah satu tempat hiburan malam akibat memperebutkan jatah “jasa keamanan”. Hal semacam ini merupakan hambatan internal yang dapat mengakibatkan jalannya reformasi TNI dan juga Polri menjadi rusak, dan karena itu Komisi I DPR juga merasa berkepentingan untuk terus mengawasi kasus-kasus yang mengarah pada tindakan indisipliner para prajurit TNI, walaupun memang sudah ada mekanisme internal di dalam tubuh TNI yang mengawasinya. Untuk beberapa kasus indisipiliner prajurit sebelumnya, DPR juga telah mengawasi jalannya perkembangan dan pengusutan kasus penembakan beberapa aparat TNI AL di Alas Tlogo yang mengakibatkan timbulnya korban dari kalangan sipil, selain itu DPR dalam beberapa kesempatan juga telah meminta kepada pihak TNI agar membenahi mental disiplin para prajurit TNI dimana salah satunya agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dan tidak melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat sipil jika terjadi konflik. Sedangkan dalam kasus pertikaian antara anggota TNI dan Polri maka DPR juga menekankan tentang pentingnya komunikasi dan saling pengertian antar kedua angkatan, memang semenjak dipisahkannya Polri dari ABRI kedua angkatan (TNI dan Polri) “kakak beradik” ini seringkali berkonflik dan beradu kepentingan, hal ini juga terlihat ketika pembahasan RUU Keamanan Nasional. 19 17 Lihat http://www.detiknews.com/read/2007/10/27/110102/845566/10/soal-calo-menhan-pertimbangkanundangan-komisi-i-dpr, [27/10/2007] 18 Seputar Indonesia Pagi, 16 April 2009. 19 Lihat juga, Indonesia Police Watch (IPW) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menghentikan pembahasan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) dan membatalkan naskah RUU yang dibuat Departemen Pertahanan RI itu, karena jika tetap dibiarkan, masalah ini berpotensi memicu konflik TNI-Polri. http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=7540, 45 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 TNI dan Netralitas Politik Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh salah satu media nasional pada akhir September 2008, berkenaan dengan peringatan hari ulang tahun TNI ke-63, tujuh dari sepuluh responden menyatakan bahwa setelah sepuluh tahun reformasi, TNI tidak benarbenar meninggalkan politik praktis, bahkan cenderung kembali berpolitik. Asumsi ini berdasarkan penyelenggaraan 176 pilkada tahun 2005-2006, sebanyak 3,4 persen kepala daerah yang terpilih berlatar belakang militer, belum termasuk yang mencalonkan diri pada pilkada 2007-2008, pencalonan Capres dan legislatif pada Pemilu 2009 mendatang.20 Dalam hal pengawasan terhadap netralitas TNI atau ketidakikutsertaan TNI dalam politik praktis, dalam beberapa kesempatan rapat dengan Menteri Pertahanan, Panglima TNI maupun para Kepala Staf Angkatan, DPR juga cukup sering mengingatkan akan pentingnya netralitas TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keikutsertaan TNI dalam politik praktis atau munculnya ketidaknetralan TNI hanya akan berakibat pada lemahnya sistem pemerintahan dan demokrasi yang sedang dibangun saat ini. Adapun waktu-waktu yang seringkali digunakan DPR dalam meningatkan TNI agar bersifat netral adalah pada saat menjelang pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, namun memang pengawasan yang dilakukan oleh DPR masih berdasarkan atas kasus atau kejadian-kejadian yang terungkap oleh media, seperti halnya dalam menanggapi isu ABS “Asal Bukan Capres S” dimana DPR memanggil perwakilan dari pemerintah saat rapat konsultasi mengenai pemilu, untuk mendapatkan kejelasan seputar isu ABS yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. 21 4. Efektifitas Fungsi Pengawasan DPR-RI dalam Reformasi Sektor Keamanan Agar pengawasan reformasi dalam sektor keamanan dapat berjalan dengan efektif maka mekanisme pengawasan DPR yang sudah ada, seperti adanya hak bertanya; berdebat; hak angket; hak interpelasi; dan pentingnya keberadaan komisi, harus didukung oleh sejumlah persyaratan pengawasan parlemen (DPR) yang efektif seperti adanya kekuasaan konstitusional dan legal yang dengan jelas dibatasi, kebiasan praktek-praktek pengawasan yang berlaku, adanya ketersediaan sumber-sumber informasi, keahlian serta adanya kemauan politik. Dalam hal adanya kekuasaan konstitusional dan legal, maka pengawasan yang dilakukan DPR dijamin oleh Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Ketersediaan Sumber-sumber Informasi Faktor ketersediaan informasi sangat penting bagi anggota DPR agar dapat melakukan pengawasan reformasi sektor keamanan dengan efektif, dengan informasi yang memadai maka anggota DPR dapat mengetahui sejauhmana perkembangan reformasi sektor keamanan dan dimana letak hambatan-hambatannya, disamping itu faktor ketersediaan informasi yang memadai harus pula didukung oleh ketepatan waktu dalam memperoleh 20 http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=tni-dan-politik-praktis&dn=20081007133047 [7/10/2008] 21 Lihat juga http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/03/sh02.html [3/02/2009] 46 Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam Reformasi Sektor Keamanan informasi tentang perkembangan pelaksanaan reformasi sektor keamanan sehingga dapat digunakan dalam menunjang pelaksanaan pengawasan. Dalam hal kecukupan memperoleh informasi yang memadai dan dalam hal ketepatan waktu memperoleh informasi yang memadai, maka hingga saat ini masih ada beberapa anggota DPR yang masih memiliki keterbatasan dalam memperoleh informasi tentang perkembangan reformasi sektor keamanan, disamping juga terkadang informasi yang dibutuhkan tidak diterima tepat pada waktunya sehingga menjadi hambatan bagi anggota Komisi I dan III dalam melakukan pengawasan sektor keamanan secara efektif. Kendala-kendala yang mengakibatkan anggota DPR memiliki keterbatasan dan keterlambatan dalam memperoleh informasi tentang sektor keamanan dapat disebababkan oleh beberapa hal, seperti: tidak adanya informasi yang diberikan oleh pemerintah tentang bagaimana pelaksanaan reformasi sektor keamanan, dan masih adanya keengganan dari sebagian anggota DPR untuk secara pro aktif memperoleh informasi yang mereka butuhkan dengan menggal informasi dari sumber-sumber lain. Permasalahan-permasalahan ini sebenarnya dapat diatasi apabila sesama anggota Komisi I dan III DPR mau saling bertukar informasi, mendesak pemerintah agar segera melaporkan perkembangan-perkembangan reformasi sektor keamanan, memanfaatkan informasi yang ada dari media, LSM dan lembaga-lembaga lain yang berkompeten dalam sektor keamanan. Kebiasaan Praktek Pengawasan yang Berlaku di DPR Kebiasaan praktek-praktek pengawasan yang berlaku di dalam DPR memiliki peranan dalam menciptakan pengawasan DPR yang efektif dalam reformasi sektor pertahanan khususnya reformasi bisnis TNI, dalam prasyarat ini tidak semua tingkah laku dan interaksi di dalam parlemen dapat diatur dengan hukum. Maka dari itu sangat penting bagi setiap anggota DPR untuk dapat mengembangkan dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek pengawasan parlemen yang didukung oleh norma-norma sosial, seperti saling menghormati dan saling percaya, tetapi kebiasaan praktek-praktek pengawasan di dalam DPR belum sepenuhnya didasarkan pada norma-norma sosial. Keadaan seperti di atas tentunya mengakibatkan kurangnya komunikasi dan jarangnya terjadi tukar informasi antar sesama anggota DPR, padahal dengan adanya praktek-praktek pengawasan yang didukung oleh norma-norma sosial akan memudahkan anggota DPR dalam melakukan pengawasan. Selama ini komunikasi antar sesama anggota DPR baru dilakukan disaat ada kesamaan kepentingan politik dan jarang didasarkan atas kepentingan bersama yang dilandasi dari kepentingan nasional akan tercapainya reformasi sektor keamanan, contoh kasus adanya perbedaan persepsi diantara sesama anggota Komisi I DPRRI tentang pelaksanaan reformasi bisnis militer. Keadaan ini tentunya bukanlah suatu kondisi yang ideal dan harus segera dipecahkan permasalahannya diantaranya dengan mencari benang merah dan kesamaan persepsi antar sesaman anggota DPR. Keberadaan Staf Ahli DPR dan Kinerjanya Saat ini salah satu aspek yang dapat membantu anggota Komisi I dan Komisi III DPR-RI dalam melakukan pengawasan yang efektif adalah tersedianya staf ahli yang mempunyai 47 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 keahlian yang memadai dalam sektor keamanan, dalam praktek dan mekanisme pengawasan parlemen sumber-sumber dan keahlian yang dimiliki staf ahli DPR sangat menunjang mekanisme pengawasan yang dilakukan DPR agar berjalan lebih efektif. Kendalanya adalah bagaimana agar para staf ahli dapat tetap terus memperoleh informasi dan pengetahuan di bidang pertahanan dan keamanan, kemudian bagaimana agar pengetahuan yang dimiliki oleh staf ahli dapat ditransfer ke para anggota DPR, serta bagaimana agar saran, rekomendasi dan informasi yang diberikan dapat diterima oleh para anggota DPR. Selama ini berbagai saran, informasi dan hasil penelitian beberapa staf ahli seringkali hanya menjadi hiasan dalam pembuatan suatu kebijakan baik dalam pembuatan undang-undang maupun dalam pembuatan kebijakan-kebijakan politik lainnya, terkadang kepentingan politik lebih banyak mendominasi berbagai kebijakan atau keputusan yang dihasilkan dalam bidang pertahanan dan keamanan. Dalam kenyataannya hanya beberapa anggota dewan saja yang masih memanfaatkan keberadaan para staf ahli untuk memberikan berbagai rekomendasi dalam rangka reformasi sektor keamanan, tentunya kondisi seperti ini harus segera diminimalisir sebab dapat menjadi penghambat jalannya reformasi sektor keamanan. Kemauan Politik dari Partai Politik dan Anggota DPR Kemauan politik dari partai politik dan anggota DPR juga sangat menentukan bagaimana pengawasan parlemen berlangsung, namun hal ini juga ditentukan oleh faktorfaktor lainnya seperti adanya disiplin partai politik dalam reformasi sektor keamanan yang dimana hal ini dapat diketahui melalui platform partai politik yang ada di DPR, adanya perhatian dari masyarakat di daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan tentang jalannya reformasi sektor keamanan, serta adanya pertimbangan-pertimbangan keamanan. Selama ini kemauan partai politik untuk mengurus masalah reformasi sektor keamanan mengalami kemunduran dan hal ini diakui oleh beberapa anggota Komisi I DPR-RI, bahkan kondisi ini semakin diperparah dengan lemahnya dukungan masyarakat sebab hanya sedikit masyarakat yang menyadari tentang pentingnya reformasi TNI. Kesimpulan Pengawasan parlemen (DPR) dalam reformasi sektor keamanan sangatlah penting untuk menjamin agar kepentingan rakyat dalam reformasi sektor keamanan tetap terlindungi, pengawasan DPR dalam sektor keamanan dilakukan terhadap aktor-aktor keamanan dan pertahanan seperti TNI, BIN dan Polri disamping juga mengawasi lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas pekerjaan. Dari pemaparan yang telah dijelaskan di atas maka dapat diketahui bahwa pengawasan yang dilakukan oleh DPR-RI dalam reformasi sektor keamanan masih belum efektif, hal ini terlihat masih banyaknya kelemahan-kelamahan atau kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan mekanisme dari fungsi pengawasan yang DPR miliki dan juga masih adanya beberapa persyaratan pengawasan parlemen yang efektif yang belum tercapai. Disisi lain juga terlihat bahwa rendahnya kemauan politik dan konsistensi anggota DPR menjadi hambatan dalam pelaksanaan pengawasan DPR di sektor keamanan.< 48 Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam Reformasi Sektor Keamanan Daftar Pustaka Rieffel, Lex dan Pramodhawardani. 2007. Menggusur Bisnis Militer – Tantangan Pembiayaan Melalui APBN, Bandung: Mizan. Siswanto, H.B. 2007. Pengantar Manajemen, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Joyce, Peter. 2003. Politics. London: Teach Yourself. Said, Salim. 2006. Militer Indonesia dan Politik (Dulu, Kini, dan Kelak). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Al Araf. 2008. “Tentara Nasional Indonesia“ dalam Beni Sukadis (ed.). Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007. Jakarta: Lesperssi dan DCAF. Partai Keadilan Sejahtera. 2008. Memperjuangkan Masyarakat Madani; Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera. Jakarta: Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera. Media (Cetak dan Internet) http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6561&Ite mid=695 http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=123067 http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=281697&kat_id=3 http://www.detiknews.com/read/2008/06/28/154252/964024/10/bin-layak-direformasi http://www.detiknews.com/read/2007/10/27/110102/845566/10/soal-calo-menhanpertimbangkan-undangan-komisi-i-dpr http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=7540, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=tni-dan-politikpraktis&dn=20081007133047 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/03/sh02.html Seputar Indonesia Pagi, 16 April 2009 Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Dokumentasi Persidangan Hasil Rapat Kerja antara Menhan dengan Komisi I DPR-RI, tanggal 23 Februari 2009 49 Jalan Panjang Reformasi TNI JALAN PANJANG REFORMASI TNI Al Araf 1 Pendahuluan “Bagi saya mereka adalah pahlawan karena yang terbunuh adalah pemberontak, atau pimpinan pemberontak”.2 ”Hukum mengatakan mereka bersalah. Okelah dia dihukum, tetapi bagi saya dia pahlawan,”. 3 Begitulah sikap Jenderal Ryamizard Ryacudu yang pada masa itu menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) dalam menyikapi keputusan hakim yang menjatuhkan vonis bersalah pada empat prajurit Kopassus yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay, ketua dewan presidium Papua. 4 Sikap mantan KSAD itu sangat memprihatinkan dan menjadi sebuah ironi. Sikap itu dapat diartikan bahwa tindakan pembunuhan oleh para prajurit TNI dapat dibenarkan dengan alasan untuk menghadapi pemberontak meski itu dalam situasi damai dan bukan pada situasi konflik bersenjata secara langsung. Ditengah arus deras demokratisasi adalah sangat menakutkan apabila seorang pimpinan tertinggi angkatan darat memiliki cara pandang yang eksesif dalam menyikapi perbedaan pandangan dari sekelompok warga negara. Padahal, sebagai negara hukum, apabila Theys memang dianggap melanggar hukum maka jawaban untuk penyelesaiannya bukanlah dibunuh tetapi diadili melalui mekanisme hukum yang ada. Dengan bercermin dari kasus Theys dan pernyataan mantan KSAD tersebut maka wajar bila timbul pertanyaan apakah makna dan arti dari reformasi TNI yang telah dilakukan selama ini? Apa arti paradigma baru TNI yang dicetuskan sejak awal reformasi? Lalu apa guna buku saku HAM yang telah di terbitkan TNI sejak tahun 2000? Mengapa cara pandang yang eksesif dan tidak menghormati mekanisme hukum masih terus terjadi? Dengan demikian apakah perbedaan cara pandang, metode kerja dan perilaku TNI dulu dan kini ketika dalam menjalankan tugas pokoknya? 1 Al Araf, adalah Koordinator Peneliti SSR Imparsial, Jakarta. Pontianak Post, “Ryamizard: Pembunuh Theys Pahlawan”, Kamis 24 April 2003 www.tempointeraktif.com, “Jenderal Ryamizard: Pembunuh Theys Hiyo Eluay Adalah Pahlawan” Rabu, 23 April 2003. 3 Majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya, Senin pada 21/4/2003, memvonis hukuman yang disertai pemecatan kepada bekas Komandan Satgas Tribuana X Letkol Inf. Hartomo, mantan Komandan Detasemen 4 Markas I Mayor Inf. Doni Hutabarat, mantan Kepala Operasi Letnan Satu Inf Agus Supriyanto dan Prajurit Kepala Achmad Zulfahmi. Sedang tiga terdakwa lain yang dijatuhi hukuman adalah Kapten Inf. Rinardo dan Sersan Satu Asrial dihukum tiga tahun penjara, sementara terdakwa Sersan Satu Lourensius diganjar dua tahun penjara. Ibid 2 50 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Transisi Politik dan Reformasi TNI Transisi demokrasi di Indonesia merupakan proses yang kompleks dan rapuh. Meskipun perubahan politik sejak 1998 telah membuka ruang demokrasi, tetapi institusi, praktek dan kultur yang demokratis belum sepenuhnya terwujud. Kontrol publik terhadap kekuasaan negara masih belum terjamin keberlangsungannya. Dengan kata lain, meskipun hak-hak warga mulai diakui, kekuasaan eksesif dan hegemoni negara belum sepenuhnya terkikis. Proses transisi politik yang dijalani tidak serta merta menempatkan kelompok reformis sebagai kelompok yang dengan mudahnya dapat merebut dan mempengaruhi kekuasaan sehingga dapat menentukan arah perubahan politik. Sebab, kendati Soeharto jatuh dari kekuasannya, kekuatan-kekuatan kelompok lama (status quo) tetap memberi pengaruh besar dalam proses transisi politik selanjutnya. Proses transisi yang terjadi sangat diwarnai dengan negoisasi politik antara kelompok Orde Baru dan kelompok reformis. Di sini tak ada garis tegas yang membedakan antara kelompok Orde Baru dan kelompok reformasi.5 Hal ini berbeda dengan corak replacement saat peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Saat itu, Soeharto meletakkan garis pemisah yang tegas antara kelompok Orde Lama dan Orde Baru. Partai Komunis Indonesia (PKI) bukan hanya tak boleh ikut dalam proses politik, tetapi dibubarkan dan tak mempunyai hak hidup lagi di bumi Indonesia.6 Dengan jalan transisi yang seperti saat ini, maka penyelesaian agenda reformasi TNI sangat ditentukan oleh seberapa besar daya kekuatan politik dan energi politik kelompok reformis untuk dapat menekan kelompok status quo dalam bernegoisasi politik. Di sini kelompok status quo tidak saja disumbangkan oleh kepentingan politik tentara sendiri, tetapi juga oleh semua unsur kepentingan yang merasa tergangggu oleh desain baru perubahan politik yang dapat meliputi para pebisnis yang tergantung secara struktural pada politik tentara maupun para penyandang doktrin yaitu mereka yang memelihara suatu jenis keyakinan politik yang melihat perubahan politik sebagai ancaman bagi identitas kelompok. 7 Dalam kenyataannya, di masa awal reformasi, Pemerintahan Abdurahman Wahid dianggap cukup berhasil di dalam mengontrol militer. Greg Burton dalam biografinya menyimpulkan meski prematur, Presiden Gus Dur telah mengontrol militer dan ini merupakan salah satu kesuksesan terbesarnya.8 Keberhasilan Gus Dur dalam mengontrol militer itu di satu sisi tidak hanya karena pemerintahan Gus Dur memiliki kemauan politik dalam mendorong reformasi; adanya arus gelombang demokratisasi; serta adanya keharusan pemerintahannya untuk membangun legitimasi terhadap publik bahwa pemerintahannya berbeda dengan pemerintahan sebelumnya;9 tetapi juga tidak bisa dilepaskan dari sebuah kondisi dimana kekuatan reformis sedang mendapatkan dukungan dari publik sementara kekuatan lama 5 Lihat Samuel P huntingthon, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991. 6 Budiman Tanuredjo, Transisi Demokrasi-Indonesia Kini dan Indonesia Esok, Kompas 3 Mei 2006 dan Lihat juga Samuel P huntingthon, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991 7 Rocky Gerung Indonesia Transisi, Politik dan Perubahan, dalam buku Indonesia di Tengah Transisi, Propatria, 2000, hal 178. 8 Marcus Mietzener, The Politics of Military Reform in Post Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance, by the East-West Center Washington, 2006 (Paper). 9 Lihat Rocky Gerung , Tentara, Politik dan Perubahan, dalam Buku Indonesia di Tengah Transisi, Propatria, 2000. 51 Jalan Panjang Reformasi TNI (status quo) sedang menghadapi tekanan dari publik. Alhasil, beberapa regulasi politik bidang keamanan yang menjadi dasar prosedural dalam mendorong jalannya reformasi sektor keamanan hadir pada masa awal-awal reformasi. Sayangnya, langkah-langkah radikal Gus Dur menghalau militer dari panggung politik dan dalam mendesakkan agenda reformasi selalu mendapatkan tantangan dan reaksi keras, yang bukan saja berasal dari militer semata, namun juga oleh politisi-politisi sipil pro status quo. Kepentingan konservatif masih mengisi kelompok-kelompok strategis di parlemen, dimana sisa-sisa kekuatan lama hadir sebagai agen penghambat signifikan untuk perubahan di era transisi demokrasi. Drama Buloggate telah menjadi pintu perangkap dalam mengakhiri kekuasaan Gus Dur. Di sanalah yang menjadi penyebab, mengapa reformasi akhirnya dianggap mandul, karena tidak berhasil menghancurkan barisan neo-orba yang masih berkeliaran diberbagai arena. Tidak berlebihan jika proses ini menjadi perangkap terjadinya involusi politik di era reformasi.10 Lebih lanjut, dengan semakin kuatnya kekuatan pro status quo dalam mengkonsolidasikan dirinya yang di barengi dengan melemahnya kekuatan reformis bahkan akhirnya kekuatan reformis justru larut dalam kondisi politik yang transaksional dan penuh dengan kompromi sehingga garis batas kekuatan lama dan kekuatan baru menjadi semakin kabur, maka dengan sendirinya arah reformasi sektor keamanan dari hari kehari berjalan dengan lambat. Sifat politik kompromi dimasa pemerintahan-pemerintahan pasca Gus Dur tersebut tidak ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan publik tetapi sepenuhnya ditujukan untuk kepentingan elite politik yang menikmati keuntungan ekonomi dan politik dari kekuasaan yang dimiliki. Kondisi ini membawa konsekuensi tersendat-sendatnya proses reformasi. Tidak heran kemudian upaya menyeret aktor-aktor lama (status quo) kedalam pengadilan korupsi maupun pengadilan HAM hampir tidak terjadi dan sulit untuk direalisasikan. Kalaupun ada proses persidangan hasilnya tidak pernah memenuhi tuntutan rasa keadilan publik.11 Sedangkan agenda-agenda krusial reformasi TNI seperti restrukturisasi komando teritorial hingga kini belum terselesaikan. Dengan corak perubahan politik yang seperti itu, jalannya reformasi TNI tidak bisa hanya menunggu dari kemauan politik otoritas sipil, tetapi harus di barengi dengan desakan kelompok civil society kepada pemerintah dan parlemen untuk dapat menyelesaikan agenda-agenda reformasi TNI yang tersisa. 10 Arie Sujito, Agenda Demiliterisasi menuju Supremasi Sipil, dalam buku Indonesia menapak demokrasi, editor Noor Hiqmah, Yappika, 2002 hal. 54. 11 Dalam pengadilan HAM untuk kasus Timor-Timur tidak ada satu orangpun perwira TNI yang divonis bersalah oleh pengadilan dan begitu pula dalam pengadilan HAM untuk kasus Tanjung Priok. Sementara kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya hingga kini belum terselesaikan, semisal kasus 27 Juli, kasus 52 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Masalah-masalah dalam reformasi TNI 1. Agenda krusial yang Tersisa a). Diskoneksi value dan virtue 12 Apabila Anders Uhlin menilai bahwa militer Indonesia telah memandang keterlibatannya dalam politik sebagai sesuatu yang permanen,13 maka sudah seharunya usaha mendorong reformasi TNI tidak hanya sebatas melakukan reformasi prosedural melalui pembentukan regulasi-regulasi politik bidang keamanan tetapi juga harus melakukan transformasi nilainilai demokrasi, HAM dan Konstitusi ke dalam tubuh TNI. Kebutuhan untuk melakukan transformasi nilai itu menjadi penting mengingat kendati proses reformasi TNI telah menghasilkan beberapa legislasi bidang pertahanan dan keamanan namun dalam praktiknya masih terdapat praktek-praktek penyimpangan dan praktek pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota TNI, semisal kasus pembunuhan terhadap Theys, Ketua Dewan Presidium Papua, kasus pelanggaran HAM di Alastlogo, Pasuruan dan beberapa kasus lainnya. Di satu sisi, peristiwa pelanggaran HAM itu terjadi karena prajurit TNI seringkali lebih mengutamakan dan mendahulukan perintah atasan meski perintah itu bertentangan dengan value yang tertuang dalam Pancasila dan Konstitusi. Di sini, prajurit TNI tidak dapat membedakan atau mungkin tidak mempedulikan mana yang lebih harus dipegang dan dihormati apakah value yang tertuang dalam Pancasila dan Konstitusi ataukah virtue (keutamaan) yang tertuang dalam doktrin TNI, jati diri TNI dan sapta marga serta sumpah prajurit TNI yang mengharuskan anggota TNI untuk taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan dan memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya.14 Di sini terjadi ketidakselarasan antara nilai (value) negara, yang ada di UUD 1945, Pancasila dan Demokrasi, dengan tindakan yang dilakukan TNI dalam tugasnya (virtue). 15 Hal ini disebabkan karena adanya klaim berbasis sejarah tentang superioritas TNI di NKRI; ada diskoneksi antara nilai negara, doktrin TNI, operasional lapangan; dan keutamaan TNI yang lebih disandarkan pada kepatuhan dan ketundukan pada korps dan pimpinan (atasan) dibandingkan kepatuhan terhadap value negara. Lebih lanjut, keutamaan (Virtue) TNI kurang adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis baik secara nasional, regional maupun 12 Pada bagian ini saudara Willy Aditya memberikan kontribusi besar bagi penulis dalam berdiskusi dan menulis. 13 Anders Uhlin, oposisi berserak, Jakarta, Mizan, 199 14 Lihat sumpah prajurit TNI point 3 dan 4 dan Sapta Marga point 5 dan 7. Sumpah Prajurit TNI itu tertuang dalam UU TNI no 34/2004. 15 Virtue (atau virtu dalam bahasa Italia) di dalam Machiavelli diarahkan pada dua golongan. Yang pertama adalah virtu keutamaan untuk para pangeran, dan yang kedua virtu yang diarahkan kepada warga. Virtu digambarkan hampir sepenuhnya mengacu pada cara-cara yang digunakan seseorang untuk mencapai tujuan yang dipilihnya. Lihat Robertus Robert, Republikanisme dan Keindonesiaan Sebuah Pengantar, Marjin Kirin, Jakarta 2007, hal 31 dan lihat thesis Wily Aditya, “Nilai (value) dan Keutamaan (Virtue) TNI di Era Reformasi, Bandung, 2008. 53 Jalan Panjang Reformasi TNI internasional. Khususnya keutamaan-keutamaan yang berupa citizen right, hak bertanya dan mengajukan usul dan serta penghormatan terhadap hukum belum teradaptasikan dalam aktifitas TNI.16 Lebih penting dari itu, diskoneksi antara value dan virtue terjadi karena reformasi TNI belum secara masif melakukan transfer nilai-nilai konstitusionalisme kedalam tubuh TNI. Sepanjang sejarah jalannya reformasi, tidak ada agenda yang serius dan diprioritaskan untuk meluruskan kembali cara pandang diskoneksi dan ketidakselarasan di TNI dalam memandang value dan virtue. Kendati TNI telah membuat buku saku HAM untuk TNI pada 2000 namun hal itu ternyata tidak cukup kuat untuk menjadi rambu-rambu dasar bagi TNI dalam menjalankan tugasnya. Padahal, apabila kita sadar dengan sejarah kelam TNI yang penuh dengan berbagai aksi kekerasan, maka usaha untuk merubah cara pandang TNI dari yang tadinya militeristik menuju cara pandang yang menghormati norma-norma hukum dan HAM seharusnya menjadi suatu agenda yang penting untuk diprioritaskan dalam program-program reformasi TNI. Agenda transformasi nilai itu tidak bisa di lakukan secara parsial dan hanya sebatas formalitas belaka dengan indikator adanya buku saku HAM dan adanya materi HAM di dalam pendidikan TNI. Transfer nilai Konstitusionalisme (value) itu harus dilakukan secara holistic, terencana dan massif dengan tujuan untuk memastikan bahwa nilai-nilai konstitualisme (value) benar-benar menjadi nilai tertinggi yang harus dihormati oleh prajurit di dalam menjalankan tugasnya. Hasil dari transfer nilai itu adalah adanya kondisi dimana Prajurit TNI berani untuk menolak sebuah perintah atasan apabila perintah tersebut bertentangan dengan nilai-nilai konstitusionalisme, semisal bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip HAM (value). Untuk tujuan itu maka penting kedepan melakukan pendidikan nilai negara (konstitusionalisme) kepada TNI. Program pendidikan itu haruslah menjadi program khusus dan terencana yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan agar nilai dalam hukum dasar konstitusional hidup sebagai sebuah realitas yang mungkin dan dapat dialami oleh prajurit dalam tugasnya sehari-hari. Namun demikian, sebelum transfer nilai negara (konstitusionalisme) dilakukan maka adalah penting untuk terlebih dahulu menselaraskan virtue-vrtue (keutamaan) TNI dengan nilai negara dalam UUD 1945 (value) melalui kaji ulang terhadap seluruh doktrin TNI, Jati diri TNI, kode etik (sapta marga) dan sumpah prajurit TNI. Di sini penting untuk di ingat bahwa keutamaan (virtue) TNI tidak boleh bertentangan atau mungkin menimbulkan kerancuan dengan value negara. Sebab sejatinya virtue itu merupakan derivasi (turunan) dari nilai (value) negara. 16 Ibid hal 96 54 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Selain itu, guna memaksimalkan output dari transfer nilai negara (value), maka legalisasi mekanisme komplain anggota TNI yang menolak perintah atasan karena di nilai perintah itu melanggar norma-norma hukum dan HAM (value) menjadi penting untuk di atur di dalam perundang-undangan yakni bisa melalui revisi UU TNI. Mekanisme komplain ini harus bersifat rahasia dan komplain prajurit itu ditujukkan kepada parlemen dengan mengirimkan surat atau menggunakan sarana komunikasi lainnya kepada parlemen. Setelah itu parlemen wajib melindungi identitas prajurit tersebut dan wajib untuk menginvestigasi kasus itu dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menindak atasan yang memberi perintah kepada prajurit tersebut. Mekanisme komplain yang ditujukan ke parlemen dan bukan ditujukan ke pemerintah ini bertujuan untuk menghindari terjadinya conflict of intereset. Sebab bukan tidak mungkin perintah yang menyimpang itu di dasarkan atas perintah Presiden atau menteri pertahanan ataupun Panglima TNI sendiri. Karenanya, adalah tepat apabila mekanisme komplain itu ditujukan kepada parlemen selaku lembaga legislatif yang berada diluar lembaga eksekutif yang memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah. B). Doktrin TNI Setelah melewati fase reformasi kurang lebih 9 tahun, tepatnya pada 2007 lalu TNI menetapkan doktrin baru bernama Tri Dharma Eka Karma berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/21/I2007, menggantikan doktrin Catur Dharma Eka Karma. Pertanyaannya adalah apa perubahan substansi mendasar dalam doktrin TNI baru ini, dan sekaligus juga apa yang membedakannya dari doktrin lama. Kehadiran doktrin baru ini tentu merupakan mandat reformasi TNI. Jika dilihat substansi doktrin, memang ada sejumlah perubahan seperti perubahan pada kelembagaan dan peran TNI. Kendati demikian, doktrin TNI belum dapat memisahkan antara value dan virtue di dalamnya. Hal itu terlihat dari masih dimasukannya nilai-nilai negara di dalam doktrin TNI yakni dengan tetap menjadikan upaya “menegakkan kedaulatan negara,mempertahankan keutuhan wilayah NKRI serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara ” sebagai bagian doktrin TNI. Sebagai kesatuan dari seluruh warga negara sudah sepantasnya nilai itu menjadi nilai yang harus diperjuangkan oleh seluruh elemen bangsa dan bukan hanya TNI. Dengan demikian nilai-nilai itu tidak perlu menjadi bagian dari doktrin TNI. Pencantuman nilai itu di dalam doktrin TNI bukan hanya menimbulkan kerancuan antara value dan virtue, tetapi juga akan membuka tafsir yang luas yang berpotensi menimbulkan persepsi bahwa semua masalah bangsa merupakan masalah TNI sehingga TNI merasa penting untuk mengatasinya dengan menggunakan cara-cara TNI yang kadang lebih mengedepankan pendekatan-pendekatan koersif. Penting untuk diingat bahwa penggunaan kekerasan sudah seharusnya menjadi alternative terakhir dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Sudah sepantasnya doktrin TNI lebih dapat bersifat operasional dan bukan lagi berbicara pada tataran nilai negara yang sesungguhnya telah dituangkan dalam Konstitusi maupun telah dipertegas dalam UU TNI sendiri. 55 Jalan Panjang Reformasi TNI Lebih dari itu, TNI harus ekstra hati-hati dalam menterjemahkan Doktrin Tridek tersebut, khususnya yang terkait dengan menyikapi berbagai ancaman “nonmiliter”. Tentu TNI tidak boleh gegabah dan “gebyah uyah” dalam menindak kalangan kritis sipil yang berwacana secara kritis atas negara. Kalau sebatas wacana, dan belum merupakan ancaman militer, maka dalam demokrasi, ia masih bisa dipandang sebagai bagian dari “kebebasan berpikir dan berpendapat”. 17 Di sini penggunaan kekuatan koersif penting dihindari. Tabel 1. Perbandingan Doktrin TNI Baru dan Lama Doktrin Lama “Catur Dharma Eka Karma” Doktrin Baru “Tri Dharma Eka Karma” TNI - Polri masih bergabung TNI pisah dari Polri Peran ABRI sebagai kekuatan pertahanan Keamanan dan sebagai kekuatan sosial politik. Peran TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. A. Fungsi ABRI sebagai kekuatan Hankam sebagai berikut : 1) Penindak dan penyanggah awal setiap ancaman musuh dari dalam maupun dari luar negeri. 2) Pengaman, penertib, dan penyelamat masyarakat serta penegak hukum negara. 3) Pelatih dan pembimbing rakyat bagi penyelenggaraan tugas Hankamneg dalam mewujudkan kemampuan dan kekuatan perlawanan rakyat semesta untuk menghadapi ancaman. 4). Pembina kemampuan dan kekuatan Hankamneg dalam pembinaan Hankamneg dengan memelihara dan meningkatkan kemampuan dan kekuatan Hankam di darat, laut dan udara serta penertiban dan penyelamatan masyarakat. Fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan sebagai berikut : A. Penangkal, kekuatan TNI harus mampu mewujudkan daya tangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan non militer dari dalam dan luar negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. B. Penindak, kekuatan TNI harus mampu digerakkan untuk menghancurkan kekuatan musuh yang mengancam terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. C. Pemulih, kekuatan TNI bersama dengan instansi pemerintah membantu fungsi pemerintah untuk mengembalikan kondisi keamanan negara keamanan akibat kekacauan perang. B. Fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial Politik. Tugas pokok ABRI sebagai kekuatan Hankam adalah : 17 M. Alfan Alfian, Doktrin Baru TNI, . 56 Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 A. Mengamankan, menyelamatkan, mempertahankan dan melestarikan kemerdekaan, kedaulatan serta integritas bangsa dan negara. B. Mengamankan, menyelamatkan, mempertahankan dan melestarikan idiologi Pancasila dan UUD 1945. C. Mengamankan, menyelamatkan, mempertahankan dan melestarikan penyelenggaraan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya. Pola operasi ABRI adalah : a. Operasi pertahanan. 1) Ops Penciptaan kondisi. 2) Ops Konvensional 3) Ops Perlawanan wilayah 4) Ops Serangan balas 5) Ops Pemulihan keamanan dan penyelamatan masyarakat. b. Operasi Kamdagri 1) Ops Intelijen. 2) Ops Teritorial 3) Ops Tempur 4) Ops Kamtibnas Tugas pokok TNI dilaksanakan melalui operasi sebagai berikut : a. Operasi militer untuk perang. 1) Ops Gab TNI. 2) Ops Darat. 3) Ops Laut 4) Ops Udara. 5) Kampanye Militer 6) Ops Bantuan. b. Operasi militer selain perang 1) Mengatasi gerakan separatis bersenjata. 2) Mengatasi pemberontakan bersenjata. 3) Mengatasi aksi terorisme. 4) Mengamankan wilayah perbatasan. 5) Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis. 6) Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri. 7) Mengamankan presiden dan wakil presiden RI beserta keluarganya. 8) Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini dalam rangka sistem pertahanan semesta. 9) Membantu tugas pemerintahan di daerah. 10) Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. 11) Mengamankan tamu negara setingkat Kepala Negara dan Perwakilan Asing. 12) Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan. 13) Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (SEARCH AND RESCUE). 14) Membantu pemerintah untuk pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan penyelundupan. 57 Jalan Panjang Reformasi TNI C). Restrukturisasi Komando Teritorial Reformasi politik dan reformasi TNI secara khusus memandatkan pentingnya melakukan restrukturisasi komando teritorial. Namun demikian, sejak reformasi bergulir nampak tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk menjalankan mandat reformasi ini. Alih-alih pemerintah melakukan restrukturisasi, yang terjadi justru tetap mempertahankan dan malah memperkuat struktur komando teritorial. Hal itu misalnya dapat dilihat pada pendayagunaan fungsi dan struktur Koter untuk kepentingan perang melawan terorisme, yang dilakukan sejak pemerintahan egawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, pada 22 Maret 2005, KSAD Letjen Djoko Santoso menyatakan di depan anggota komisi I DPR RI bahwa TNI AD akan menambah 22 markas komando teritorial (Koter) yang terdiri 3 Makorem dan 19 Makodim. Rencana penambahan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa TNI belum memadai dalam menerapkan pola pertahanan sebagai negara kepulauan yang dipersiapkan untuk menghadapi perang konvensional, sehingga strategi pertahanannya tetap bertumpu ke darat. 18 Secara organisasional, koter disusun atas asumsi pembagian wilayah birokrasi pemerintahan daerah dan bukan suatu wilayah pertahanan. Organisasi itu bersifat duplikatif atas struktur birokrasi pemerintahan daerah dari tingkat pusat sampai ke kelurahan.19 Oleh karena itu, pimpinan atau komandan koter terlibat secara langsung dengan pemerintahan daerah untuk membentuk kebijakan-kebijakan pembangunan daerah melalui Muspida yang hingga kini tetap dipertahankan. Secara singkat, ada beberapa alasan mengapa Koter perlu direstrukturisasi, yakni Pertama, dari sisi politik, upaya mempertahankan dan memperluas Koter tersebut sesungguhnya bertentangan dengan tuntutan agenda reformasi. Hampir seluruh elemen demokrasi pada masa awal reformasi berpendapat bahwa koter merupakan bagian dari dwi fungsi ABRI/TNI, yang dalam perjalananya telah menjadi pilar kekuatan bagi TNI untuk berpolitik. Karena itu, Koter harus diganti dengan konsep lainnya. Keberadaan koter di masa lalu juga seringkali terlibat dalam penguatan aktifitas bisnis militer, baik itu secara legal maupun ilegal, yang dalam pelaksanannya berakibat pada terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM. Kendati kini TNI sudah tidak lagi berpolitik secara formal dan langsung, namun dengan sifat strukturnya yang menduplikasi struktur pemerintahan sipil hingga ke level bawah memungkinkan TNI untuk turut mempengaruhi proses politik dan pemerintahan baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, jika penambahan 22 Koter tersebut tetap diteruskan artinya pemerintah tidak serius mendorong proses reformasi TNI 1.20 Kedua, dari sisi keamanan struktur Koter telah menimbulkan tumpang tindih fungsi dan struktur dengan kepolisian. Ketiga, dilihat dari kepentingan pertahanan, stuktur Koter sesungguhnya tidak lagi memiliki relevansi dan signifikansi dengan konteks ancaman yang 18 Daerah perluasan Koter itu meliputi, Riau, Bangka Belitung dan Merauke untuk perluasan Makorem dan Kodam VII/Tanjungpura, Kodam XVI/Pattimura, Kodam XVII/Trikora dan Kodam Iskandar Muda untuk perluasan Kodim. Media Indonesia, “TNI-AD akan Tambah 22 Komando Teritorial”, 22 Maret 2005. 19 M. Riefqi Muna (Editor), Likuidasi Komando Teritorial, Jakarta, The Ridep Institute, 2002, halaman 8 20 Tempo Interaktif, “Koalisi LSM Minta Pemerintah Tinjau Strategi Pertahanan”, 30 Maret 2005. 58 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 dihadapi dan konteks geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Di sini, struktur Koter sebagai bagian dari postur pertahanan dan gelar kekuatan harus diganti dengan model yang kontekstual dan mampu merespon situasi perkembangan ancaman yang bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan. Keempat, agenda restrukturiasi koter secara implisit telah dimandatkan dalam Pasal 11 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, dimana di dalam bagian penjelasan ditegaskan bahwa gelar kekuatan TNI (postur) mengharuskan ia untuk memperhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis dan strategi pertahanan. Penjelasan pasal ini juga memandatkan bahwa setiap gelar kekuatan TNI harus menghindari bentuk-bentuk organsiasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelaran itu tidak harus selalu mengikuti atau menyerupai struktur administrasi pemerintahan sipil. Lebih lanjut, komitmen Presiden SBY terkait restrukturisasi Koter ini sesungguhnya juga dipertanyakan. Hal ini bisa dilihat pada pernyataan SBY sebelum ia menjadi Presiden pada 2004 yang membantah tuduhan bahwa ia akan membubarkan komando teritorial dan Komando Resor Militer (Korem) jika terpilih menjadi Presiden. Sebagai klarifikasi ia menghubungi langsung Panglima TNI yang ketika itu masih dijabat Jenderal Endriartono Sutarto dan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu. Dalam kasus lain misalnya, juga tercermin ketika SBY meminta TNI terlibat aktif mengatasi aksi terorisme di Indonesia, yang kemudian direspon oleh TNI dengan mengaktifkan Koter. Upaya mengaktifkan Koter atas nama ancaman terorisme itu mengundang kritikan sejumlah kalangan, semisal sikap tegas dikemukakan oleh mantan Presiden Gus Dur menolak wacana menghidupkan kembali Koter untuk tujuan pemberantasan terorisme di Indonesia. Menurutnya, pengaktifan Koter ini dapat menyeret kembali TNI untuk masuk ke dalam politik praktis dan karena itu harus dicegah. Menurutnya, TNI harus tetap sesuai dengan fungsinya sebagai aktor pertahanan. Pengaktifan Koter dalam kancah terorisme akan mengaburkan kembali batasan itu dan membuka peluang TNI masuk ke politik. 21 D). Pengambilalihan bisnis TNI Profesionalisasi TNI sebagai aktor pertahanan mensyaratkan ia untuk tidak terlibat dalam kegiatan berbisnis. Untuk mencapai tingkat itu, UU TNI telah menegaskan mengenai larangan bagi TNI untuk berbisnis dan sekaligus juga memandatkan kepada pemerintah untuk mengambilalih seluruh bisnis militer. Mengacu pada UU No. 34 Tahun 2004, proses pengambilalihan seluruh bisnis TNI harus tuntas pada akhir tahun 2009. Sebagai langkah awal, pada 2005 pemerintah membentuk Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI yang melibatkan Departemen Pertahanan, Departemen Keuangan, Departemen Hukum dan HAM, dan Kementrian BUMN. Tim ini yang 21 http://www.bernas.co.id/news/cybernas/nasional/1761.htm , 07 Oktober 2005. 59 Jalan Panjang Reformasi TNI diketuai Said Didu Sekretaris BUMN, bertugas untuk memverifikasi seluruh bisnis TNI yang dinyatakan berjumlah sekitar 219 unit bisnis.22 Dalam rencana awalnya, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, proses ini akan berjalan selama tiga (3) bulan dan perusahaan-perusahan milik TNI itu kemudian akan diambilalih oleh pemerintah untuk diklasifikasikan menjadi Perusahan Umum (Perum), Perusahaan Terbatas (PT), atau Holding Company (Perusahaan Gabungan).23 Namun demikian, langkah pemerintah sejak awal ini mengundang banyak kritik sejumlah kalangan. Selain problem transparansi juga berkaitan dengan langkah pemerintah yang cenderung lamban sehingga prosesnya hingga kini belum tuntas. Salah satu persoalan yang muncul dari kondisi demikian adalah kekhawatiran mengenai potensi pengalihan beberapa aset bisnis TNI untuk menghindari pengambilalihan. Hal ini menjadi penting dipertanyakan mengingat tahun 2005 Menhan Juwono Sudarsono mengungkapkan bahwa dari 219 unit bisnis TNI hanya 10 unit bisnis di antaranya yang akan diambilalih dengan nilai aset per-unit sekitar Rp. 25 Miliar. 24 Pertanyaannya, bagaimana dengan 209 unit lainnya? Lebih lanjut, langkah pemerintah yang cenderung lambat juga menimbulkan kritik dan pertanyaan mengenai sejauhmana komitmen pemerintah sesungguhnya dalam pelaksanaan agenda ini. Kekhawatiran penunda-nundaan ini misalnya diungkapkan oleh Yuddy Krisnandi anggota Komisi I DPR RI. Kondisi ini menurutnya menunjukkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga para petinggi TNI tidak serius atau punya keinginan politik kuat untuk menjalankan amanat UU TNI tadi. Lebih lanjut ia mengingatkan jangan sampai ada upaya konspirasi mengambil keuntungan dari masa tenggat seperti ditetapkan UU TNI dengan menunda-nunda proses pengambil alihan sementara satu per satu unit bisnis yang ada, khususnya yang menguntungkan, dijual atau dialihkan kepemilikannya. 25 Sementara itu, dari rekomendasi kerja Tim Nasional Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI (Timnas PAB TNI), yang diketuai oleh Erry Riyana, tercatat TNI menguasai 23 unit yayasan yang menaungi 53 perseroan terbatas, mengoperasikan 1.098 unit koperasi yang juga menggerakkan 2 perseroan terbatas, serta memanfaatkan Barang Milik Negara (BMN) yang dikelola oleh pihak ketiga. Timnas PAB TNI juga menemukan adanya penguasaan 1.618 bidang tanah seluas 16.544,54 hektare; 3.470 bidang tanah dan bangunan seluas 8.435,81 hektare; serta 6.699 unit gedung seluas 37,57 hektare. Yayasan milik TNI hingga akhir 2007 memiliki dana Rp 1,8 triliun dan koperasi Rp 1,3 triliun. Secara umum, jumlah total total aset TNI di yayasan, koperasi, dan perusahaan mencapai Rp 3,2 triliun. Dari jumlah itu masih harus dikurangi kewajiban membayar administrasi Rp 980 miliar, sehingga total aset bersih mencapai Rp 2,3 triliun per tahun.26 22 Tempo Interaktif, Empat Kementrian Verifikasi Bisnis TNI, 19 Oktober 2005. 23 Tempo Interaktif, Menhan: Hanya 10 Bisnis TNI yang dialihkan, 20 Oktober 2005. 24 Ibid. 25 Kompas, Presiden Harus Berani Tunjukkan Ketegasan Soal Perpres Bisnis TNI, 18 Januari 2008. 26 VHRmedia.com, Timnas PAB TNI Usulkan Reposisi Bisnis Militer, 04 November 2008. 60 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Dalam kaitan itu, Timnas PAB TNI mengajukan beberapa rekomendasi terkait penataan dan pengambilalihan bisnis dan aset TNI ini. Di antaranya merekomendasikan pengalihan aktivitas bisnis TNI dengan cara penataan dan reposisi semua yayasan, termasuk koperasi dan BMN, kecuali primer koperasi (primkop). Menurut Erry Riyana, alasan mengapa mempertahankan Primkop adalah karena bidang usaha ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. Lebih lanjut, Timnas PAB TNI akan mengembalikan BMN yang tidak sesuai tugas pokok dan fungsi ke Menteri Keuangan. Terkait BMN yang digunakan oleh pihak ketiga akan ditertibkan dengan mengacu pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Rekomendari lain Timnas PAB TNI adalah terkait reposisi dan penataan bisnis militer, yakni menggabungkan yayasan dan koperasi milik TNI dengan bidang usaha sejenis di bawah Departemen Pertahanan. Tahapan selanjutnya adalah pemberlakuan legal audit dan financial audit secara menyeluruh terhadap yayasan dan koperasi milik TNI. Sementara itu, berkaitan dengan adalah Primkop TNI akan digantikan dengan satuan kerja yang dibentuk di bawah Dephan, sehingga lebih berperan memberikan pelayanan pada prajurit. Satuan kerja ini bahkan melekat ketika pasukan berada di medan tempur. 27 Lebih jauh, lepas dari berbagai kritikan dan perdebatan yang ada, proses penataan dan pengambilihan seluruh bisnis TNI harus segera dituntaskan sebagaimana dimandatkan oleh Undang-undang. Hal ini untuk memastikan seluruh agenda reformasi TNI dijalankan secara baik dalam upaya mendorong terwujudnya prajurit TNI yang profesional. Kian berlarutlarutnya pelaksanaan agenda ini sebaliknya akan menghambat proses reformasi TNI. Di sini, komitmen dari pemerintah terutama Presiden dan juga TNI sebagai pelaksana kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dituntut dan dipertaruhkan. E). Reformasi Peradilan Militer Agenda reformasi lain yang hingga kini belum tuntas adalah perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sebagaimana telah dimandatkan di dalam TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri, serta UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Hingga kini proses pembahasan RUU perubahan masih terbengkalai di parlemen kendati periode parlemen 2004-2009 akan berakhir. Berlarut-larutnya proses pembahasan ini menjadi pertanyaan mengingat reformasi peradilan militer menjadi penting dilakukan sebagai upaya mendorong reformasi TNI secara umum yang mensyaratkan di dalamnya ada ketertundukan militer terhadap supremasi hukum dan sekaligus otoritas sipil yang dipilih melalui proses pemilihan umum demokratis. Adanya keharusan proses perubahan ini juga didasarkan atas pengalaman di masa lalu, dimana peradilan militer seringkali menjadi sarang impunitas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh militer.28 27 Ibid. 28 Untuk lebih lengkapnya lihat: Tim Imparsial, Reformasi Peradilan Militer di Indonesia. Jakarta: Imparsial, Cetakan Pertama, 2008. 61 Jalan Panjang Reformasi TNI Munculnya RUU Perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan militer merupakan inisiatif parlemen periode 2004-2009. Kendati demikian, munculnya tuntutan perubahan atas UU ini sesungguhnya telah ada sejak parlemen periode 1999-2004. Namun, baru pada parlemen periode 2004-2009 yang masa jabatannya akan segera berakhir ini, RUU ini dimasukan ke dalam draft Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2004-2005.29 Dan pada Mei 2005, dalam satu rapat paripurna seluruh Fraksi Partai Politik di Parlemen menyepakati pengajuan hak inisiatif mereka untuk merubah RUU Perubahan UU No. 31 Tahun 2007 ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.30 Dalam perjalanannya, proses pembahasan RUU perubahan peradilan militer tidak semulus yang dibayangkan. Di sini terjadi perdebatan yang cukup alot antara DPR dan mitranya dari pemerintah khususnya Departemen Pertahanan. Ada dua point krusial yang menjadi perdebatan: Pertama, berkaitan dengan persoalan yurisdiksi peradilan militer dimana ketentuan dalam RUU perubahan itu menyatakan bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di pengadilan umum dan jika melakukan kejahatan militer diadili di pengadilan militer; Kedua, adanya tuntutan dari pemerintah agar DPR harus mendahulukan revisi peraturan perundangan yang mengatur hukum materiil seperti KUHP Militer ketimbang membahas lembaga peradilan militer.31 Berlarut-larutnya perdebatan ini menyebabkan proses pembahasan RUU perubahan itu tidak menemukan kata sepakat atau tidak ada titik temu di antara keduanya hingga Presiden SBY menengahi dan menyatakan sepakat dengan usulan perubahan yurisdiski dalam RUU Perubahan itu.32 Lebih lanjut, kendati Presiden telah menyetujui aspek yurisdiksi di dalam RUU Perubahan namun hingga periode anggota DPR periode 2004-2009 menyisakan tidak kurang dari satu tahun masa kerja, proses pembahasan RUU ini tidak kunjung selesai dan masih terjadi tarik ulur. Menurut Andreas Pareira, di tingkat Pansus hingga kini terjadi perdebatan seputar masalah proses penyidikan dalam peradilan militer, yakni perdebatan seputar siapa yang memiliki kewenangan untuk menyidik prajurit TNI yang melakukan tindak kejahatan kriminal. Dalam kaitan itu, pemerintah misalnya mengusulkan agar penyidikan ini tetap dilakukan oleh Polisi Militer.33 Gubernur Lemhannas Muladi, misalnya menyatakan bahwa persoalan seperti psikologi aparat di lapangan, terutama kepolisian yang harus berhadapan dan menangani kasus yang melibatkan prajurit TNI dalam penilaiannya, harus menjadi pertimbangan. Karena itu, menurutnya penyidikan harus tetap dilakukan oleh Polisi Militer.34 29 Lihat Keputusan DPR RI No. 01/DPR-RI/III/2004-2005. 30 Kompas, RUU Peradilan Militer Jadi Usul Inisiatif DPR, 22 Juni 2005. 31 Lihat: Bhatara Ibu Reza, Reformasi Legislasi Sektor Keamanan, dalam Almanak Reformasi Sektor Keamanan 2007. Jakarta, DCAF & Lesperssi, 2007. 32 Pernyataan persetujuan Presiden itu disampaikan pada akhir November 2006 ketika ia masih berada di Tokyo, melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Persetujuan Presiden itu mengakhiri silang pendapat point krusial dalam RUU itu. Pada awal 2007, DPR dan perwakilan dari pemerintah kemudian mencapai titik temu dan berupaya kembali melanjutkan proses pembahasan RUU tersebut untuk dibawa ke tingkat Panja. Kompas, Dephan dan Pansus Sepakat; RUU Peradilan Militer ke Panja, 24 Januari 2007. 33 Okezone.com, DPR Didesak Rampungkan RUU Peradilan Militer, 19 Desember 2008. 34 Kompas, Jangan Naif Bahas RUU Peradilan Militer, 17 Desember 2008. 62 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Sikap pemerintah ini bersifat dualistik, di satu sisi menerima yurisdksi peradilan militer bahwa prajurit TNI yang melakukan kejahatan pidana diadili di pengadilan umum, namun di sisi lain meminta penyidikan dilakukan oleh Polisi Militer. Sudah seharusnya dengan adanya perubahan yurisdiksi, maka perangkat yang digunakan adalah seluruh perangkat dalam sistem peradilan umum yang tersedia. Dengan demikian penyidikan tetap dipegang oleh aparat kepolisian bukan polisi milter dalam menangani anggota militer yang terlibat dalam kasus tindak pidana umum. Pelibatan polisi militer di dalam proses peradilan umum akan merusak mekanisme criminal justice system. F). Masalah Anggaran Pertahanan Isu anggaran militer kerap menghiasi pergulatan wacana keamanan di Indonesia. Dalam konfigurasi wacana ini paling tidak ada tiga pihak yang terlibat. Di antaranya parlemen dan pemerintah yang memiliki otoritas pengaturan anggaran, militer sebagai institusi penerima anggaran, serta masyarakat sipil itu sendiri. Topik sentral yang menjadi debat dalam issu ini nampak seperti tidak bergeser dari sebelumnya, yakni berkenaan persoalan belum memadaianya alokasi anggaran TNI dan pertahanan. Kini, issu anggaran kembali mencuat di tengah pergulatan politik Pilpres 2009 dan banyak kecelakaan pesawat tempur dan angkut militer. Wacana yang kemudian muncul dari kasus ini seperti dapat sudah ditebak, adalah wacana yang mendesakkan peningkatan anggaran pertahanan yang direspon oleh parlemen yang menjanjikan kenaikan pada APBN tahun depan. Bila menengok APBN 2009, TNI memperoleh anggaran sebesar Rp 35 triliun. Jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya Rp 36,39 triliun, seiring adanya pemotongan anggaran setiap departemen. Komisi I DPR RI akan menaikkan kembali anggaran pertahanan dan TNI sebesar Rp 10 triliun pada APBN tahun 2010 dalam upaya mendukung kesiapsiagaan alat utama sistem senjata dan personel TNI. Dari rangkaian wacana dan respon yang muncul ini melahirkan pertanyaan. Di sini nampak ada aspek persoalan lain yang selalu diekslusi dalam wacana anggaran, yang mana hal ini merujuk pada problematika anggaran yang sesungguhnya tidak hanya melulu persoalan jumlah. Dengan kata lain, ada persoalan lain yang sesungguhnya lebih mendasar namun ia kerap dipinggirkan. Tak dipungkiri bahwa alokasi yang ada belum mencapai jumlah yang dipandang “ideal”. Kendati demikian, memperbaiki persoalan-persoalan dasar di sektor pertahanan menjadi syarat penting untuk terlebih dahulu dilakukan, sebelum membicarakan berapa besar jumlah yang akan ditingkatkan. Perumusan tata ulang sistem dan strategi pertahanan; adanya perencanaan pertahanan yang berjenjang; dan penentuan skala prioritas yang terukur seharusnya menjadi prasyarat utama yang penting untuk terlebih dahulu di bahas. Sebab, faktanya kendati realitas geografis Indonesia sebagai negara maritim, orientasi pertahanan masih bertumpu pada kekuatan darat dengan mempertahankan struktur komando teritorial. Bahkan, pemerintah berencana membentuk komponen cadangan pertahanan negara yang konsekuensinya akan membebani anggaran pertahanan. Lebih dari itu, kebutuhan untuk menaikkan anggaran pertahanan harusnya diikuti dengan 63 Jalan Panjang Reformasi TNI transparansi dan akuntabilitas di sektor pertahanan. Sebab, persoalan transparansi dan akuntabilitas di sektor pertahanan adalah masalah yang terus terpelihara hingga kini yang seringkali berujung pada terjadinya praktik korupsi. Bahkan, persoalan itu juga berimplikasi pada terjadinya penyalahgunaan dana untuk kesejahteraan prajurit dan menimbulkan konflik internal. Tidak hanya itu, fungsi-fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR dan BPK juga belum menunjukkan kinerja yang maksimal dalam pengawasan sektor pertahanan. Dalam konteks itu, sulitnya pengalokasian anggaran untuk sektor pertahanan bukan hanya disebabkan terbatasnya anggaran tetapi juga karena disalokasi, inefisiensi, inefektifitas dan minimnya pengawasan penggunaan anggaran sektor pertahanan. Alhasil, pengalokasian anggaran pertahanan belum memiliki korelasi yang maksimal dalam meningkatkan kekuatan pertahanan Dengan demikian adalah penting bagi otoritas politik untuk menempatkan pembahasan anggaran pertahanan ke dalam kesatuan yang integral dengan pembahasan masalah lain di bidang pertahanan khususnya dan masalah di bidang lain umumnya, sehingga tercipta kondisi yang terukur, teruji dan dapat dipertanggungjawabkan dalam mengalokasikan anggaran pertahanan. G). Masalah Struktur dan Kedudukan TNI Salah satu dari mandat reformasi lainnya adalah perubahan stuktur dan kedudukan TNI, yang di antara agendanya adalah penempatan TNI di bawah Departemen Pertahanan (Dephan). Tuntutan ini telah muncul sejak lama, terutama ketika pembahasan UU TNI tahun 2004. Namun demikian, agenda ini nampak belum dijalankan secara sepenuhnya hingga kini. Pertanyaannya adalah mengapa agenda ini penting dilakukan? Bahwa penempatan TNI di bawah Dephan merupakan salah satu bentuk pelembagaan prinsip supremasi sipil sebagai salah satu prinsip negara demokrasi. Di dalam negara demokrasi, TNI di haruskan untuk tunduk pada otoritas sipil dalam hal ini Presiden dan parlemen. Dalam kerangka prinsip ini, fungsi TNI tak lebih hanya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah di bidang pertahanan. Sedangkan departemen pertahanan (menteri pertahanan) menjadi aktor yang merumuskan kebijakan pertahanan negara. Karena itu, sudah sepantasnya selaku pelaksana kebijakan, kedudukan TNI berada dibawah Departemen Pertahanan. Dengan penempatan TNI dibawah departemen pertahanan, maka sebagai pelaksana kebijakan TNI tidak perlu lagi turut campur dalam mempengaruhi pembentukan kebijakan negara melalui rapat-rapat kabinet. Karena pelibatan TNI dalam rapat kabinet membuka ruang bagi TNI untuk berpolitik. Sudah sepantasnya Presiden lebih melibatkan dan memaksimalkan menteri pertahanan dalam pembahasan masalah-masalah penting di kabinet, dan meminimalisasi bahkan meniadakkan pelibatan Panglima TNI dalam rapatrapat di dalam kabinet, kecuali memang dalam hal mendesak diperlukan pelibatan Panglima TNI. 64 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Penyimpangan dan Masalah dalam reformasi TNI A. Keterlibatan TNI dalam Pilkada Pada saat Pilkada langsung pertama kali digelar tahun 2005, sejumlah perwira TNI aktif turut mencalonkan diri atau maju menjadi salah satu pasangan kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Kemajuan mereka ini sepenuhnya di dasarkan atas surat keputusan panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto melalui surat telegram Nomor 222 yang mengacu pada tiga surat keputusan Skep/170/IV/2005, Skep/172/IV/2005 tanggal 29 April dan Skep/175/V/2005 tanggal 3 Mei 2005 yang intinya mengizinkan anggota TNI aktif untuk dapat dipilih dalam pemilihan kepala daerah langsung dengan syarat harus meninggalkan jabatan struktural di TNI yang dipegangnya pada saat itu.35 Keputusan panglima TNI itu secara jelas telah menarik TNI kedalam kehidupan dunia politik praktis. Keputusan itu merupakan langkah mundur dalam proses reformasi TNI dan berlawanan dengan upaya membentuk TNI yang profesional, yang mensyaratkan prajurit untuk tidak lagi berpolitik dan hanya menjalankan tugasnya menjaga wilayah pertahanan negara. Secara hukum, keputusan Panglima TNI tersebut bertentangan dengan UU TNI No 34/2004 khususnya Pasal 39 ayat 2 dan ayat 4 yang menyebutkan bahwa “ Prajurit di larang terlibat dalam : (2) kegiatan politik praktis (4) kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislative dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya. Kendati prajurit TNI yang mencalonkan diri dalam Pilkada berstatus non-aktif namun hal itu tidak mengubah status dan keanggotaannya sebagai seorang Prajurit. Status non-aktif hanya membebaskan dirinya dari tugas kedinasan. Dengan demikian, adanya keputusan panglima TNI tersebut tetap bertentangan dan melanggar UU TNI.36 Secara prinsip, prajurit TNI tidak bisa, tidak boleh dan tidak memiliki hak untuk dipilih dalam Pemilu maupun Pilkada. TNI dan prajurit TNI tidak bisa menyamakan dirinya seperti partai politik atau masyarakat umum yang memiliki hak untuk dipilih. Lebih lanjut, TNI adalah alat pertahanan negara dan prajurit TNI adalah pelaksananya. Sebagai alat pertahanan negara, keinginan prajurit untuk berpolitik mengharuskan dirinya untuk pensiun dini dan berstatus menjadi purnawirawan, dan bukan dinon-aktifkan. B. Masalah pengadaan kapal KaL 35 Kasus pengadaan kapal ini bermula pada pertengahan 2003 ketika beberapa Pemda berencana memiliki Kapal Patroli KAL 35 37 yang nantinya akan dipergunakan untuk TNI AL. 35 Sinar Harapan, “Perwira TNI Maju Pilkadan Diyakini Netral”, 12 Mei 2005 Namun demikian ketika Jenderal Djoko Suyanto menjadi Panglima TNI menggantikan Panglima TNI sebelumnya Jenderal Endriartono Sutarto, Djoko Suyanto mengkoreksi kebijakan Endriartono Sutarto yakni dengan membuat keputusan Panglima TNI baru yang isinya melarang prajurit TNI aktif untuk dapat dipilih dalam Pilkada dan apabila anggota TNI aktif mau dipilih dalam Pilkada harus terlebih dahulu mengajukan pensiun. 37 KAL-35 adalah kapal patroli cepat hasil rancangan Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AL (Dislitbangal) dan dibuat pada Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan (Fasharkan) TNI AL. 36 65 Jalan Panjang Reformasi TNI Keinginan Pemda ini tidak lepas dari tawaran Kepala Staf TNI AL agar daerah bersedia membeli kapal patroli.38 Hal ini diakui Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Laksda Mualimin Santoso, yang menyatakan bahwa KSAL menghimbau daerah untuk membeli kapal patroli yang kemudian disambut baik daerah”.39 Di beberapa daerah himbauan pembelian kapal tersebut dituangkan dalam bentuk surat keputusan. Misalnya di Banten, melalui SK No. B/468/X/2002 tertanggal 1 Oktober 2002, KSAL meminta agar propinsi yang mempunyai wilayah perairan diminta bekerjasama dengan TNI AL untuk menyediakan dana pembelian kapal.40 Di daerah lainnya, seperti Riau, upaya pengadaan kapal patroli juga dilakukan melalui pembuatan beberapa kesepakatan bersama Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemda dan TNI AL.41 Adanya kerjasama yang dilakukan antara TNI AL melalui KSAL dengan beberapa pemerintah daerah dalam pengadaan Kapal Kal 35 untuk TNI AL jelas-jelas bertentangan dengan UU Pertahanan negara dan UU TNI, dimana di dalam kedua undang-undang itu disebutkan bahwa anggaran untuk bidang pertahanan bersifat terpusat melalui APBN. Dalam UU no 3/2002 Pasal 25 ayat 1 disebutkan bahwa pertahanan negara dibiayai dari APBN, sedangkan dalam UU TNI no 34/2004 Pasal 66 ditegaskan bahwa TNI di biayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kendati Pemda berdalih bahwa bantuan tersebut sifatnya berupa hibah, namun tidak dibenarkan pemberian hibah secara langsung kepada TNI. Sebagai alat pertahanan negara, segala bentuk hibah yang diperuntukkan kepada TNI hendaknya harus diserahkan terlebih dahulu kepada pemerintah pusat (Departemen Pertahanan) selaku otoritas yang memiliki fungsi untuk mengelola bidang pertahanan. Itupun pemerintah pusat harus menghitung dan menilai terlebih dahulu apakah bantuan hibah tersebut memang sesuai dengan kebutuhan TNI sebagaimana yang telah direncanakan ataupun memang sesuai dengan kebutuhan yang sifatnya mendesak. Jika memang dibutuhkan maka pemerintah patut mempertanggungjawabkan penggunaan anggarannya kepada DPR maupun kepada DPRD. C. Masalah BAIS (Badan Intelejen Strategis) Kasus Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang mengidentifikasi kelompok kritis sebagai ancaman membuktikan bahwa perjalanan reformasi belum menyentuh aspek mendasar dari paradigma TNI. Hal itu dibuktikan pada paparan BAIS atas kajian dan analisis yang berjudul “Persepsi Ancaman Internal dan Transnasional” dalam sebuah seminar di Departemen Pertahanan. Dalam kajian tersebut, BAIS menyatakan bahwa ada tiga kelompok radikal di Indonesia yang mengancam eksistensi keberadaan Pancasila, yaitu antara lain: kelompok radikal kiri, kelompok radikal kanan, dan terakhir kelompok radikal lain-lain. Dalam kategori 38 Kontroversi Pembelian Kapal Patroli oleh Pemda, Saat Otonomi Menyentuh Keamanan Laut”, 24 Juni 2004. 39 Media Indonesia, “Kapal itu nantinya jadi Milik AL”,7 September 2003. 40 Kompas, “DPRD Banten Anggarkan Rp 13 Miliar Untuk Pengadaan Kapal Patroli TNI AL', 17 Februari 2003. 41 Kompas, “TNI AL Dukung Riau Beli Kapal Perang”, 30 Agustus 2003. 66 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 yang ketiga ini, BAIS memasukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Imparsial, Kontras dan juga Elsham Papua di dalamnya (kelompok radikal lain-lain). Paparan BAIS ini mencerminkan paradigma lama yang masih bersemayam hingga kini, yang sudah seharusnya dirubah karena tidak lagi sejalan dengan arus perubahan reformasi dan demokratisasi.42 Kritisisme individu dan kelompok di masyarakat terhadap pemerintah bukanlah suatu kejahatan dan ancaman terhadap negara. Hal itu dengan secara otomoatis menjadi bagian tak terpisahkan dari prinsip negara demokrasi. Landasan Konstitusi sebagai hukum tertinggi dan juga norma hak asasi manusia telah menegaskan jaminan demikina. Karena itu adalah keliru bilamana skritisisme ini dipersepsikan sebagai ancaman oleh BAIS. Lebih lanjut, apa yang dikemukakan oleh BAIS dengan menempatkan organisasi sosial sebagai ancaman keamanan sesungguhnya bukan merupakan tugasnya sebagai satuan intelijen Mabes TNI yang diorientasikan untuk membantu fungsi pertahanan . Fungsi, tugas dan kewenangan BAIS Mabes TNI tentu harus mengikuti fungsi, tugas dan kewenangan institusi induknya (Mabes TNI), yakni sebagai aktor pertahanan. Anggota DPR RI dari Partai PKB Effendi Choerie dalam keterangannya sebagai saksi ahli dalam kasus gugatan perdata Imparsial terhadap KaBais di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menyatakan bahwa TNI tidak punya hak untuk memberi cap siapa yang radikal atau tidak, serta pihak yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Alasannya, TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan. Sehingga tugas TNI hanyalah perang. "BAIS itu instrumen Mabes TNI. Karena itu tuduhan BAIS kepada Imparsial bertentangan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurutnya, itu sudah di luar tugas dan fungsi. 43 D. Konflik TNI-Polri. Pelaksanaan agenda reformasi sektor keamanan (TNI dan Polisi) sejak 1998 juga masih menyisakan masalah terkait seringnya terjadi bentrokan di lapangan yang melibatkan antar anggota TNI dan polisi di sejumlah daerah. Bahkan, hampir setiap bentrokan yang terjadi mengakibatkan korban tewas dan luka-luka dari kedua belah pihak, serta dari warga sipil di lokasi kejadian. Maraknya bentrokan di antara kedua institusi ini tentu menimbulkan pertanyaan bagaimana kesungguhan jalannya reformasi. Tidak hanya di TNI namun juga di kepolisian. Sejak awal reformasi misalnya, sebagaimana dinyatakan oleh Panglima TNI yang ketika itu dijabat oleh Jenderal TNI Endriartono Sutarto, tercatat telah terjadi bentrok antara anggota TNI dan Polri sebanyak 15 kali. Mulai dari Ambon, Sampit, Jambi, Aceh Barat, Bogor dan di Yapen Waropen, hingga Papua. Dalam perjalanannya, kasus bentrok yang melibatkan anggota kedua institusi tersebut masih terus terjadi hingga sekarang. 42 Hukum Online, Dituduh Kelompok Radikal, Imparsial Gugat BAIS, 22 Maret 2007. 43 Detik.com, 18 September 2007 67 Jalan Panjang Reformasi TNI Kasus bentrokan anggota TNI dan Polri yang justru semakin marak di masa reformasi ini menujukkan bahwa reformasi belum sepenuhnya menyentuh persoalan mendasar terkait perubahan di kedua institusi tersebut. Kasus-kasus itu tentu saja dilatarbelakangi oleh banyak aspek. Mulai dari masalah ego antar lembaga yang sudah pisah sejak 2000, problem kecemburuan antar lembaga hingga dilatarbelakangi oleh kontestasi dalam penguasaan ruang-ruang bisnis di tingkat lokal antara prajurit TNI dan anggota kepolisian. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa kendati masalah keterlibatan dalam bisnis ini tidak diakui, baik anggota TNI maupun Polri, tetapi telah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit aparat yang terlibat terutama dalam bisnis jasa keamanan yang memungkinkan keduanya terlibat kontestasi penguasaan. Selama ini bentuk-bentuk bisnis pengamanan kurang mendapat perhatian karena yang ditata dan ditertibkan lebih kepada bisnis-bisnis formal dan non formal berupa yayasan koperasi, ataupun aset yang dimiliki dan dikelola oleh kedua institusi tersebut. Karena itu, salah satu agenda bagaimana mengatasi persoalan bentrok antara anggota TNI dan Polisi adalah juga dengan mencegah keterlibatan TNI dan Polisi dari praktek bisnis jasa keamanan. Secara lebih lanjut, agenda lainnya yang juga tidak kalah penting proses pendisiplinan anggota polisi dan TNI dengan mereformasi sistem pendidikan dan mendorong perubahan mental serta watak para anggota kedua institusi sesuai dengan semangat reformasi. E. Terus berlangsungnya aksi kekerasan Sejarah panjang kekerasan TNI nampaknya tidak kunjung selesai. Baik dalam sistem politik yang otoritarian, sebagaimana pernah di alami pada masa orde baru, maupun dalam sistem demokrasi-meski baru prosedural- seperti sekarang, praktik-praktek kekerasan oleh anggota TNI yang menimbulkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM masih menjadi perilaku yang terus berkembang dan diwarisi hingga sekarang. Satu tahun yang lalu kasus kekerasan kembali terjadi di Alastlogo pada 30 Mei 2007 yang melibatkan 13 prajurit Korps Marinir TNI AL sebagai pelakunya. Aksi penembakan marinir di Alastlogo mengakibatkan 12 warga terluka dan empat (4) diantaranya meninggal dunia. Kekerasan TNI ini menjadi bukti bahwa perilaku represif dan militeristik merupakan persoalan yang hingga kini masih melekat di dalam tubuh TNI. Hal ini mencerminkan bahwa proses reformasi yang dijalankan sejak 1998 nampaknya belum secara penuh menyentuh dan merubah watak dan karakter prajurit TNI yang militeristik. Kendati demikian, jika ditelusuri lebih jauh, kekerasan aparat TNI ini tentu saja tidak terjadi dalam ruang kosong. Setiap kekerasan yang dilakukan memiliki konteksnya, dan dalam kasus penembakan dan kekerasan di Pasuruan berkaitan dengan praktek bisnis militer (pengamanan) yang dilakukan TNI AL. Apa yang terjadi di Pasuruan ini mengingatkan akan terjadi potensi-potensi serupa di sejumlah daerah lainnya. Persoalan konflik tanah antara warga dengan militer tidak hanya terjadi di Pasuruan, namun juga terjadi di sejumlah daerah lainnya. Di Jawa saja misalnya tercatat puluhan kasus konflik perebutan tanah. Belum lagi di wilayah Sumatera dan juga 68 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Kalimantan, serta wilayah-wilayah lainnya. Dengan kata lain, banyaknya kasus-kasus itu dan watak serta karakter represif dan militeristik yang belum berubah tentu saja membuka potensi terjadi kasus serupa di daerah lainnya. Mengapa Reformasi TNI belum terselesaikan dan masih terjadi penyimpangan? Maju mundurnya arah proses reformasi sektor keamanan utamanya disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan sipil yang itu dikarenakan masalah-masalah yang terjadi di dalam partai-partai Politik. Kendati TNI sudah tidak terlibat langsung dalam politik, namun Partai Politik masih memandang bahwa institusi TNI merupakan institusi yang masih memiliki kekuatan politik. Hal itu semisal terlihat pada 2004 dimana beberapa calon Presiden dari Partai Politik tertentu berusaha meminang Panglima TNI yakni Jenderal Endriartono Sutarto untuk menjadi calon wakil Presiden. Selain itu, Partai politik tertentu berusaha menjadikan Kepala BIN (Badan Inetelejen Negara), AM Hendropriyono, untuk menjadi bagian dari tim kampanyenya dalam menghadapi Pemilu 2004, meski kemudian akhirnya diprotes dan gagal. Cara pandang partai politik yang masih melihat TNI sebagai kekuatan politik yang signifikan itu, tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Indonesia yang memberitahukan dan mengajarkan kepada Partai Politik bahwa TNI merupakan kelompok yang dari sejarahnya paham dan sadar bagaimana memenangkan politik dalam kekuasaan. Meski TNI sudah tidak lagi berpolitik secara langsung, namun tidak bisa di pungkiri bahwa dengan potensipotensi44 yang dimiliki TNI, partai politik tetap akan menghitung TNI sebagai kekuatan politik yang signifikan dalam politik. Karenanya, pilihan untuk tetap merangkul TNI merupakan pilihan yang dilakukan oleh sebagian partai politik, baik itu dengan merangkul secara langsung terhadap institusi TNI maupun merangkul secara tidak langsung kepada purnawirawan TNI dengan menjadikan mereka sebagai fungsionaris partai politik ataupun menjadikan mereka sebagai menteri di dalam kabinet. Dengan cara pandang yang demikian, maka sulit untuk dapat dengan cepat mendorong proses reformasi TNI. Sebab, bila daya tekan reformasi TNI itu terlalu besar maka bukan tidak mungkin hal itu akan mempengaruhi dan mengganggu negosisasi partai politik dengan TNI. Konsekuensinya proses reformasi TNI berjalan tersendat-sendat dan tebang pilih. Tidak hanya itu, adanya kontribusi partai terhadap terhambatnya proses reformasi TNI disebabkan karena partai politik yang ada tidak menjadikan isu pertahanan dan keamanan sebagai isu penting atau isu strategis bagi partai politik yang ada. Partai politik yang ada lebih banyak fokus pada masalah-masalah yang terkait dengan masyarakat langsung seperti masalah ekonomi, sosial dan politik. Kendati di beberapa partai ada divisi khusus yang mengkaji tentang pertahanan, namun divisi itu nyaris tidak melakukan peran dan kerjanya secara maksimal. 44 Salah satu potensi TNI yang dihitung secara politik oleh Partai politik itu adalah masih adanya struktur komando teritorial yang dimiliki oleh TNI AD. 69 Jalan Panjang Reformasi TNI Secara umum, tidak berjalannya fungsi partai seperti sebagaimana yang semestinya di sebabkan oleh beberapa hal :45 pertama: di dalam tubuh partai politik mengalir deras semangat pragmatisme politik dan oportunisme. Bahkan pragmatisme dan oportunisme ini telah tereduksi menjadi prevalence atau kelaziman individu elit. Dalam situasi seperti ini, solidaritas akan dipahami dalam pengertian sempit, yakni semata-mata ikatan kepentingan partai saja dan bukannya alasan-alasan yang lebih luas. Gejala ini dapat dilihat dari maraknya koalisi partai yang mempunyai ideologi berbeda, dan bahkan bertentangan pada masa lampau. Kedua, masih adanya kesadaran yang keliru bahwa partai adalah kesatuan orang dengan segala kepentingannya dan kepentingan elit yang dominan di mutlakan. Persoalannya muncul ketika pada akhirnya justru kepentingan elitlah yang di dahulukan dibandingkan dengan kepentingan public. Ketiga, partai politik kurang mempunyai ketegasan dalam hal ideologi. Dalam hal ini, partai politik kurang menanamkan ideology terhadap kader-kadernya sehingga partai menjadi akumulasi kepentingan politik yang tidak mempunyai platform yang jelas, maupun visi dan misi yang tepat sasaran. Keempat, partai politik lebih cenderung mempunyai sasaran jangka pendek dalam bentuk perebutan kekuasaan lima tahunan. Kelima, secara empiric, memang terdapat peremajaan partai politik, tetapi aktor-aktor yang berada di belakangnya sebenarnya adalah aktor-aktor lama yang berkecimpung pada masa orde baru. Dengan problematika partai politik yang ada, wajar kemudian apabila kualitas kepemimpinan sipil yang dihasilkan lemah. Kepemimpinan sipil belum dapat sepenuhnya melakukan kontrol sipil yang objektif terhadap militer. Masih terdapat kondisi-kondisi dimana otoritas sipil lemah dalam mengontrol penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan TNI. Kalaupun ada koreksi oleh otoritas sipil, hal itu datangnya terlambat. Sebagai misal lemahnya kontrol otoritas sipil terhadap keputusan Panglima TNI Jenderal (pur) Endriartono Sutarto yang mengizinkan anggota TNI aktif untuk dapat menjadi salah satu kandidat dalam Pemilihan Kepala daerah. Selain itu, lemahnya kontrol otoritas sipil terhadap militer juga terlihat dari lemahnya kontrol otoritas sipil terhadap Panglima TNI khususnya KSAL, Bertnard Kent Sondakh yang menggunakan anggaran daerah untuk pengadaan Kapal KAL 35 untuk TNI AL. Selain itu, otoritas sipil khususnya sumber daya manusia di parlemen masih lemah dalam memahami masalah-masalah dan isu-isu yang terkait dengan bidang pertahanan dan keamanan. Hanya beberapa orang anggota parlemen di Komisi 1 yang mengerti tentang masalah pertahanan dan keamanan dan hanya sedikit dari mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang khusus mempelajari bidang pertahanan dan keamanan. Padahal, menurut Larry Diamnond dan Marc F. Plattner, supremasi sipil terhadap militer memerlukan lebih dari sekedar upaya pengendalian pejabat-pejabat sipil terhadap militer guna meminimalisasi intervensi militer dalam politik. Dalam hal ini juga perlu menciptakan keunggulan otoritas sipil yang terpilih (baik itu eksekutif maupun legislatif ) di semua bidang 45 Arief Priyadi, “Amnesia Politik partai Politik”, Analisis CSIS, vol 35, no 1, Maret 2006, hal 42-43 70 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 politik, termasuk perumusan dan implementasi dari kebijakan pertahanan nasional. Jadi kepala pemerintahan, melalui otoritas menteri pertahanan dari kalangan pemimpin sipil, harus mempunyai kemampuan untuk menentukan anggaran, prioritas dan strategi pertahanan, penambahan peralatan, dan kurikulum serta doktrin militer; dan anggota dewan nasional paling tidak harus memiliki kapasitas untuk meninjau ulang kebijakan ini dan memonitor implementasinya.46 Isyarat Diamond dan Plattner diatas sebenarnya menunjukkan kepada kita bahwa kemandirian dan keterampilan sipil dalam mengelola suatu sistem pemerintahan atau kekuasaan akan menjadi faktor penting jika berupaya mendudukkan peran militer dibawah kendali otoritas sipil.47 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tersendat-sendatnya proses reformasi TNI selama ini dan masih terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, salah satunya juga disebabkan oleh problematika partai politik yang diikuti dengan lemahnya kepemimpinan sipil dalam mengontrol militer. Lemahnya kepemimpinan sipil itu tidak hanya terlihat dari minimnya kemauan politik (political will) otoritas sipil tetapi juga minimnya kualitas sumber daya manusia yang ada dalam memahami isu-isu dan masalah pertahanan dan keamanan. Selain itu, proses transisi politik di Indonesia juga tidak serta merta berhasil menempatkan militer dalam satu posisi yang dengan mudahnya menerima agenda-agenda reformasi TNI. Keterlibatan militer dalam rapat-rapat dengan otoritas sipil untuk menyusun regulasiregulasi politik bidang pertahanan dan keamanan telah membawa usaha mendorong proses reformasi sektor keamanan mengalami tarik ulur. Kendati militer tidak bisa secara langsung dapat mengesahkan regulasi politik bidang pertahanan dan keamanan, namun posisi tawar TNI dalam pembahasan draft legislasi dengan parlemen cukup signifikan untuk bisa mempengaruhi substansi perundangundangan. Di situasi seperti itu, kadangkala otoritas sipil mengakomodasi kehendak militer dan kadangkala otoritas sipil tidak mengakomodasi kehendak militer, dan alhasil proses reformasi TNI melalui penyusunan legislasi terlihat tebang pilih. Sebagai misal, negoisasi militer dengan parlemen dalam pembahasan UU TNI pada 2004 tidak dapat mengatur secara eksplisit agenda restrukturisasi komando teritorial. Pembahasan komando teritorial di dalam UU TNI hanya di atur secara implist di dalam Pasal 11. Padahal agenda tersebut merupakan agenda krusial yang telah menjadi bagian dari agenda reformasi politik yang telah di usung sejak 1998. Resistensi milter terhadap penuntasan agenda reformasi TNI itu disebabkan oleh berbagai faktor, tergantung dari tingkat gradasi ancaman agenda reformasi terhadap eksistensi militer dalam kekuasaan. Di titik ini wajar kemudian bila agenda untuk melakukan reformasi 46 Larry Diamond dan Marc F Plattmer (ed), Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Rajawali Press, Jakarta, 2001, halaman 1 47 Arie sujito, op.cit, hal 43 71 Jalan Panjang Reformasi TNI peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial mengalami tarik ulur dan tak kunjung terselesaikan hingga kini. Kesimpulan Penerapan demokrasi sebagai sebuah sistem politik di masa kini sedikit banyak telah membawa pengaruh terhadap perubahan peran, fungsi dan kedudukan TNI. Beberapa tetapan positif reformasi TNI dilakukan melalui pengesahan beberapa regulasi politik bidang pertahanan dan keamanan. Namun demikian, jalannya proses reformasi TNI tersebut belumlah cukup apalagi memadai dalam upaya membangun TNI yang profesional, sebab jalannya reformasi TNI masih parsial dan tebang pilih. Lambatnya jalannya reformasi TNI itu setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni mulai dari lemahnya kepemimpinan sipil, problematika partai politik, belum maksimalnya transfer nilai konstitusionalisme di dalam tubuh TNI sampai dengan masih adanya resistensi militer terhadap agenda reformasi TNI. Sebagai bagian dari agenda reformasi sektor keamanan, penuntasan agenda reformasi TNI harus di lakukan secara lebih tertata dan menyeluruh. Dalam konteks itu pemerintah wajib untuk membuat grand design/blue print tentang arah reformasi sektor keamanan yang didalamnya juga menjelaskan tentang arah reformasi militer kedepannya serta membuat national security framework. Tanpa itu, jalannya reformasi militer hanya akan berjalan secara parsial, reaktif dan sebatas tambal sulam saja. Lebih lanjut, dengan model transisi yang tidak dapat memisahkan secara tegas antara kekuatan lama (status quo) dan kekuatan baru (reformis) dalam kekuasaan, jalannya reformasi TNI tidak bisa hanya menunggu dari kemauan politik dari otoritas sipil, tetapi harus di barengi dengan desakan kelompok civil society kepada pemerintah dan parlemen untuk dapat menyelesaikan agenda-agenda reformasi TNI yang tersisa. Reformasi TNI merupakan tanggungjawab semua komponen bangsa (public goods), karenanya proses reformasi tersebut harus menempatkan semua warga negara sebagai subyek politik yang memiliki peranan untuk mensukseskannya. Dalam konteks itu, eksklusivitas dalam mendorong reformasi TNI harus dihindari dan lebih lagi kritik dan otokritik terhadap TNI tidak boleh dipandang sebagai ancaman, tetapi harus dipandang sebagai bentuk partisipasi aktif warga negara dalam upaya mewujudkan TNI yang profesional.< 72 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Lampiran 1. Dalam bingkai reformasi sektor keamanan, bagan national security framework ini dapat menjadi salah satu bahan untuk mendorong refomasi TNI. State/Government National Security National Value and National Goals Democracy Rule of Law Social Justice Sovereignty being Regional Cohesion UUD Pancasila Freedom Human Rights Security Economic well- Environmental Assessments Politic, Economy, Social, Environmental, Technology, Geography Political interest Economic interest Social interest Cultural interest Defence and Homeland interest International and Regional Security interest Alliance National Security Strategy Foreign Policy Economic Policy Strategic Defence Review Social Policy Defence Policy Etc Defence Policy Role of TNI TNI Strategy(Policy Operational Capacity Training Budget Posture Procurement and infrastructure Recruitment Reformasi TNI Joint Doctrine Air Force Air Force Strategy: Army Army Strategy: Navy Navy Strategy: · Service Doctrine · Force Planning · Training · Service Doctrine · Force Planning · Training · Manning · Service Doctrine · Force Planning · Training · Manning Civil Society 73 Jalan Panjang Reformasi TNI Daftar Pustaka Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi, Grafiti, Jakarta, 1996 Anders Uhlin, Oposisi Berserak, Jakarta, Mizan, 1998 Ann M Fitz-Gerald, Security Sector-Streamlining National Military Forces to Respond to the Wider Security Needs, Journal of Security sector management, published by Global Facilitation Network for SSR, University of Cranfield, Shrivenham, UK, volume 1 2003. Ann M Fitz-Geralds dan W.D. MacNamara, “A National Security Framework for Canada”, (makalah) 2002 Arif Yulianto, Hubungan sipil militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Rajawali Press, Jakarta, 2002 Barry Buzan, Ole Waefer, Jaap de Wilde, Security ( A New Framework For Analysis), Lynne Rienner, USA, 1998 Beni Sukadis (ed), Almanak Reformasi Sektor Keamanan 2007. Jakarta, DCAF & Lespersi, 2007. Larry Diamond dan Marc F Plattmer (ed), Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Rajawali Press, Jakarta, 2001, Marcus Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance, the East-West Center Washington, 2006 Nor Hiqmah (ed), Indonesia menapak demokrasi, Yappika, Jakarta, 2002 Riefqi Muna (Ed), Likuidasi Komando Teritorial, Jakarta, The Ridep Institute, 2002, Riefki Muna, Military Reform in Indonesia :How Far and How Real (makalah), Yogyakarta, 2002 Robertus Robert, Republikanisme dan Keindonesiaan Sebuah Pengantar, Marjin Kirin, Jakarata 2007 Rusdi Marpaung, Al araf dll “Menuju TNI Profesional (dinamika advokasi UU TNI), Imparsial, Jakarta, 2005 Samuel P Huntington, Prajurit dan Negara; teori dan politik hubungan militer-sipil, Grasindo, 2003 Samuel P huntingthon, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991 Tim Propatria, Indonesia di Tengah Transisi, Propatria, Jakarta 2000 Tim Imparsial, Reformasi Peradilan Militer di Indonesia. Jakarta: Imparsial, Cetakan Pertama, 2008. Wily Aditya, “Nilai (value) dan Keutamaan (Virtue) TNI di Era Reformasi, Bandung, 2008 (thesis). Undang Undang Pertahanan No 3 Tahun 2003 Undang Undang TNI No 34 Tahun 2004 Media Kompas, RUU Peradilan Militer Jadi Usul Inisiatif DPR, 22 Juni 2005. Kompas, Jangan Naif Bahas RUU Peradilan Militer, 17 Desember 2008. Kompas, Dephan dan Pansus Sepakat; RUU Peradilan Militer ke Panja, 24 Januari 2007 Kompas, “DPRD Banten Anggarkan Rp 13 Miliar Untuk Pengadaan Kapal Patroli TNI AL', 17 Februari 2003. Kompas, “TNI AL Dukung Riau Beli Kapal Perang”, 30 Agustus 2003. Media Indonesia, “TNI-AD akan Tambah 22 Komando Teritorial”, 22 Maret 2005 74 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Media Indonesia, “Kapal itu nantinya jadi Milik AL”,0 7 September 2003. Pontianak Post, “Ryamizard: Pembunuh Theys Pahlawan”, Kamis 24 April 2003 Sinar Harapan, “Perwira TNI Maju Pilkadan Diyakini Netral”, 12 Mei 2005 Tempo Interaktif, “Koalisi LSM Minta Pemerintah Tinjau Strategi Pertahanan”, 30 Maret 2005 Tempo Interaktif, Empat Kementrian Verifikasi Bisnis TNI, 19 Oktober 2005. Tempo Interaktif, Menhan: Hanya 10 Bisnis TNI yang dialihkan, 20 Oktober 2005. 75 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) KOMANDO PASUKAN KHUSUS (KOPASSUS) Galih Imaduddin 1 Pendahuluan Hampir semua negara di dunia, pasti memiliki kesatuan elite (khusus) di dalam tubuh angkatan bersenjatanya. Tidak terkecuali juga Indonesia. Tentara Nasional Indonesia (TNI), memiliki satuan pasukan elit/khusus di semua matranya. Semua kesatuan elite (khusus) memiliki tipikal kisahnya sendiri, bersama dengan segenap kontroversi yang ada, mulai dari masa kelahirannya hingga ke tahap-tahap selanjutnya. Diantara semuanya itu, sepertinya Komando Pasukan Khusus (Kopassus) merupakan satuan elite (khusus) yang memiliki kisah yang paling menarik, baik ditilik dari kacamata yang positif maupun negatif. Salah satu misi berdirinya Komando Pasukan Khusus, yang saat ini telah berusia 57 tahun dan tidak berubah sejak tahun 1952, adalah melaksanakan operasi khusus dalam rangka menegakkan kedaulatan dan keutuhan Negara serta melindungi segenap bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Artinya, tugas pokok Kopassus adalah memfokuskan latihan dan struktur kekuatannya pada misi-misi semacam ini. Secara struktural, kedudukan Kopassus adalah di bawah perintah (B/P) para Panglima Komando Wilayah Strategis, yaitu Kodam 2. Artinya setiap pergerakan operasional Kopassus akan selalu terikat dengan garis komando kemiliteran. Dengan demikian, wewenang untuk menggerakkan kekuatan Kopassus berarti harus berasal dari Presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata yang kemudian diteruskan kepada Panglima ABRI (sekarang TNI) dan barulah sampai kepada Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus 3. Catatan perjalanan selama rentang waktu lebih dari setengah abad ini, menunjukkan bahwa misi-misi yang diemban dan diselesaikan dengan prestasi tinggi oleh Kopassus masih terfokus pada persoalan penegakan kedaulatan dan keutuhan negara, mengikuti pola berpikir pertahanan dan keamanan lama tentang deterrence (penangkalan) sebagai prinsip utama strategi militer. Validitas deterrence sendiri sering kali sulit untuk dikuantifikasi karena sangat tergantung kepada persepsi dan doktrin pertahanan dari suatu negara, sehingga dampak dari kemampuan deterrence Kopassus terhadap penegakan kedaulatan dan keutuhan Negara jarang atau sama sekali tidak pernah terungkap secara terbuka kepada publik. Persepsi kedaulatan dan keutuhan Negara selama beberapa dekade ini ditentukan oleh ancaman pertahanan dan keamanan yang berasal dari pelbagai gerakan separatis dan pengacau keamanan dalam negeri, yaitu pemberontakan bersenjata serta berbagai gerakan 1 2 3 Galih Imaduddin adalah Alumnus HI Unpad, saat ini sedang menyelesaikan studi pascasarjana di Program Magister Ilmu Politik, FISIP Unpad. Hendro Subroto. 2009. Sintong Pandjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Hlm. 305. Femi Adi Soempeno. 2009. Prabowo: Dari Cijantung Bergerak Menuju Istana. Jakarta: Galang Press. Hlm. 132. 76 Almanak Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 2009 protes yang dianggap dapat menggangu stabilitas dalam negeri. Persepsi pemikiran keamanan ini terjadi ketika peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dan masih mencari bentuk yang baru ketika peran sosial-politik tentara dikebiri setelah era reformasi 1998. Sementara itu, ancaman dan gangguan Keamanan telah bergeser ke format, dimensi, dan bentuk baru menghadapi ancaman terorisme dengan mengikuti pola perubahan politik global pascaserangan kelompok teroris ke menara kembar WTC (World Trade Center) di kota New York, AS tahun 2001 yang dianggap telah meruntuhkan simbol kedigjayaan liberalismekapitalisme global yang mendarahi dengung penyebaran demokrasi di seluruh dunia. Reformasi di Indonesia, yang terjadi setelah robohnya rezim Orba, menghasilkan pola baru pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan antara Polri dan TNI yang masih terus mencari bentuk absolutnya. Riak-riak dalam proses pemisahan kedua lembaga ini memang masih sering terlihat. Hal ini terbukti dengan terjadinya beberapa kali bentrokan antara personil dari kedua lembaga ini di berbagai daerah. 4 Oleh karena itu, dalam kerangka Reformasi Sektor Keamanan, Kopassus sebagai salah satu elemen yang berada di bawah naungan institusi TNI AD, sesungguhnya menghadapi suatu tantangan berat, khususnya menemukan kembali jati dirinya yang sejati. Pengalaman sejarah yang begitu berwarna-warni di masa lalu, dari mulai yang paling membanggakan hingga yang paling kelam, seyogyanya telah menjadi modal yang cukup untuk merumuskan ulang pencitraannya ke depan. Oleh karena itulah, tulisan ini hendak mengulas mengenai pelbagai macam tantangan nyata yang dihadapi oleh korps baret merah ini, beserta analisis kesejarahan dan end users dibalik pengerahan kekuatannya beserta problematika yang mengiringinya. Diharapkan, tulisan ini dapat memberikan suatu gambaran umum kepada pembacanya untuk bisa lebih mengenal secara lebih dekat Kopassus itu sendiri, sebagai suatu bentuk upaya pemberdayaan bagi publik agar ”melek” terhadap segala perkembangan kemiliteran yang terjadi di negaranya. SEJARAH KELAHIRAN DAN AWAL PERKEMBANGANNYA Sejarah Kelahiran Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang dulunya bernama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) serta sejumlah nama lamanya dapat dilihat dalam tabel 1 dibawah ini.5 Kopassus merupakan suatu satuan yang terlatih dalam bidang pengumpulan data intelijen, pelbagai variasi dalam hal kemampuan operasi khusus, sabotase, dan pendaratan lintas udara dan lintas laut. Didirikan pada 16 April 1952 atas prakarsa Kolonel A.E. Kawilarang dan Letkol. Ign. Slamet Rijadi dalam rangka menumpas gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), Kopassus kemudian direorganisasi dan mengalami 4 5 6 Renee L. Pattiradjawane, “Menuju Terbentuknya Demokrasi Efektif”. Dari Harian Umum KOMPAS Edisi 15 April 2009 hlm. 2. Lihat tabel 1 untuk lebih jelasnya. http://www.globalsecurity.org/military/world/indonesia/kopassus.htm, diakses pada tanggal 3 April 2009 pukul 05.05 WIB. 77 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Tabel 1. Perubahan Nama Kopassus Tahun Nama Keterangan 1952 1953 1955 Kesko KKAD RPKAD 1959 RPKAD 1971 1985 Kopasandha Kopassus Kesatuan Komando Korps Komando Angkatan Darat Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat Resimen Para Komando Angkatan Darat Komando Pasukan Sandi Yudha Komando Pasukan Khusus Dalam perjalanan sejarahnya, Kopassus berhasil mengukuhkan keberadaannya sebagai pasukan khusus yang mampu menangani tugas-tugas yang berat. Beberapa operasi yang dilakukan oleh Kopassus diantaranya adalah operasi penumpasan DI/TII, operasi militer PRRI/Permesta, Operasi Trikora, Operasi Dwikora, penumpasan G30S/PKI, Pepera di Irian Barat, Operasi Seroja di Timor Timur, operasi pembebasan sandera di Bandara Don MuangThailand (Woyla), Operasi GPK di Aceh, operasi pembebasan sandera di Mapenduma, serta berbagai operasi militer lainnya. Dikarenakan misi dan tugas operasi yang bersifat rahasia, mayoritas kegiatan tugas dari satuan Kopassus tidak akan pernah diketahui secara menyeluruh. Contoh operasi Kopassus yang pernah dilakukan dan tidak diketahui publik seperti: Penyusupan ke pengungsi Vietnam di pulau Galang untuk membantu pengumpulan informasi untuk di kordinasikan dengan pihak Amerika Serikat (CIA), penyusupan perbatasan Malaysia dan Australia dan operasi patroli jarak jauh (long range reconaissance) di perbatasan Papua Nugini. Nama besar dan citra yang disandang Kopassus sejak didirikannya menyebabkan banyaknya pihak yang menarik-narik Kopassus untuk masuk kedalam kegiatan bernuansa politis. Kopassus sejak dulu telah menjadi tempat persemaian perwira-perwira muda potensial, yang kelak mengisi pos-pos jabatan pimpinan TNI. Nama-nama seperti Leonardus Benjamin (Benny) Moerdani, Sintong Panjaitan, Yunus Yosfiah, Agum Gumelar, A.M. Hendropriyono, Prabowo Subianto, dan lain-lain, adalah perwira-perwira yang sudah dikenal publik, saat mereka masih berpangkat Kapten atau Mayor, berkat prestasi mereka di lapangan. Lika-Liku Perjalanan Sejarah Kopassus Seperti telah diungkapkan sebelumnya, setiap unit pasukan khusus pasti memiliki kontroversinya tersendiri, termasuk Kopassus. Beberapa episode menarik yang pernah menghangat seputar perjalanan Kopassus pada masa Orde Baru dan setelahnya, antara lain: - Fenomena Pengangkatan Prabowo Subianto Pengangkatan Prabowo Subianto, yang kebetulan saat itu adalah menantu Presiden Soeharto, sebagai Komandan Kopassus pada 1995, telah menimbulkan banyak gunjingan publik karena sebelumnya di kalangan wartawan dan media dia dikenal sebagai jenderal 78 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 'salon' alias 'karbitan'.7 Tak pelak lagi, peristiwa ini merupakan salah satu moment paling fenomenal yang pernah terjadi dalam sejarah Kopassus, yang mungkin bisa disejajarkan dengan keberhasilan Kopassus dalam menangani pembajakan Pesawat Woyla milik Garuda di bandara Don Muang, Bangkok, Thailand pada 1981. Namun demikian, fenomena naiknya ”the rising star”, begitu Prabowo biasa dijuluki, telah membawa dampak yang sangat luas terhadap perjalanan korps baret merah ini ke depannya, khususnya dalam pelbagai kebijakan yang diambil anak ketiga dari begawan ekonomi Indonesia Prof. Soemitro Djojohadikusumo itu, dalam hal penambahan jumlah personel Kopassus dan kegiatan usaha yang dijalankannya. - Kasus putra Subagyo HS Nama lain yang ikut tercoreng adalah Subagyo Hadi Siswoyo, yang sempat menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad). Nama Subagyo tercoreng oleh ulah putranya, Agus Isrok, yang kebetulan juga berdinas di Kopassus dan berpangkat letnan. Agus, yang pada mulanya berusaha menyembunyikan identitasnya, tertangkap dalam pesta obat-obatan terlarang (shabu-shabu) di sebuah hotel tempat pusat hiburan di Jakarta. Menurut dugaan, Agus bukan hanya sekadar pemakai melainkan juga pengedar narkoba. Diperkirakan karena kekuasaan ayahnya, Agus lolos dari jerat hukum. Pada tahun 2007 Agus Isrok diketahui masih aktif di militer dengan pangkat Kapten. Kasus ini menegaskan apa yang sudah menjadi rahasia umum bahwa Kopassus pada khususnya dan ABRI pada umumnya terlibat dalam bisnis-bisnis illegal di Indonesia. Menurut sebuah sumber dari media terkemuka di Indonesia yang enggan disebut namanya, Kopassus telah lama menggunakan uang perolehan dari bisnis obat terlarang, minuman, dan hiburan untuk membiayai aksi dan operasi militernya yang memakan tidak sedikit biaya, yang secara budgetair tidak semuanya dilaporkan secara internal maupun eksternal di ABRI. - Kasus penculikan aktivis reformasi Pada tahun 1998, nama Kopassus sempat tercoreng berkaitan dengan aktivitas ”Tim Mawar” yang dituding bertanggung jawab terhadap kegiatan penculikan dan penghilangan nyawa beberapa aktivis pro demokrasi.8 Selama berada dalam penyekapan, mereka mengalami perlakuan yang tak manusiawi, disiksa saat interogasi dengan cara ditelanjangi, dipukuli, disetrum, ditidurkan di es balok, disundut rokok, hingga tak sadarkan diri.9 Nama 7 8 9 Atas pengangkatannya itu, Prabowo mencatatkan dirinya sebagai orang pertama di angkatannya (AMN 1974) yang menyandang tanda bintang di pundaknya. Tidak lama setelah itu, prestasi Prabowo semakin “mentereng” karena ia kembali mendapatkan tambahan satu bintang di pundaknya, sebagai konsekuensi dari ditingkatkannya Jabatan Komandan Kopassus menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Untuk lebih jelasnya, lihat buku karangan Femi Adi Soempeno., 2009. “Prabowo: Dari Cijantung Bergerak Ke Istana”. Yogyakarta: Galang Press. Hlm. 113-118. Diantara target operasi yang berhasil diciduk saat itu adalah: Andi Arief, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, Haryanto Taslam, Faisol Resha, dan Raharjo Waluyojati. Selain itu, ada 14 orang lainnya yang hingga saat ini masih hilang. Mereka adalah Yanie Afri, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul, Ucok Munandar, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser. Femi Adi Soempeno. 2009. Prabowo: Dari Cijantung Bergerak Ke Istana. Yogyakarta: Galang Press. Hlm 128. 79 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Kopassus kembali tercoreng setelah Peristiwa Mei 1998, ketika banyak hasil penelitian tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen menemukan adanya organisasi terstruktur rapi dalam militer yang dengan sengaja dan maksud tertentu menyulut kerusuhan massa di Jakarta dan Surakarta (kedua kota tersebut secara kebetulan adalah daerah basis/markas Kopassus, yaitu Cijantung-Jakarta dan Kandang Menjangan-Surakarta). Pada 2007 masalah Tim Mawar ini kembali mencuat ke permukaan melihat kenyataan bahwa 11 tentara yang terlibat (6 di antaranya dipecat pada 1999), ternyata tidak jadi dipecat tetapi tetap meniti karir, naik pangkat dan beberapa diketahui memegang posisi-posisi penting seperti Dandim dengan pangkat letnan kolonel. Pihak Mabes TNI pun akhirnya mengakui hanya 1 dari 6 perwira tersebut yang benar-benar dipecat, yaitu pimpinan tim tersebut, Mayor Bambang Kristiono. Saat kasus ini disidangkan pada awal tahun 1999, ada satu hal yang terlihat ganjil, yaitu alasan pembentukan Tim Mawar yang lebih karena berdasarkan hati nurani. Padahal, dalam keprajuritan, harusnya segala sesuatu berdasarkan perintah dari atasan. Tanpa menutup-nutupi, Bambang seolah menjadi tumbal dalam peristiwa penculikan aktivis ini, dan dengan sendirinya menyingkirkan Prabowo Subianto10 dan Muchdi Pr yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad dan Danjen Kopassus. - Pembunuhan Theys Eluay Pada tanggal 10 November 2001, tokoh masyarakat Papua yang vokal terhadap pemerintah RI, Theys Hiyo Eluay, diculik dan lalu ditemukan sudah terbunuh di mobilnya di sekitar Jayapura. Menurut penyidikan Inspektur Jenderal, ternyata pembunuhan ini dilakukan oleh oknum-oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Beberapa anggotanya, antara lain Letkol Hartomo, dipecat secara tidak terhormat. Dunia internasional mengecam pembunuhan ini. Papua pun kembali menjadi perhatian dunia internasional, khususnya dari kalangan Kongres AS. Selain itu, insiden ini telah memperburuk citra Indonesia dalam hal penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. - Membungkuknya Danjen Kopassus di depan Tommy Soeharto Pada tahun 2007, Kopassus kembali tercoreng dengan kejadian pembungkukan Danjen Kopassus di depan Tommy Soeharto. Hal ini mengesankan Kopassus masih tunduk kepada kekuasaan mantan presiden Soeharto. Pada acara hari ulang tahun Kopassus, Tommy dan Bambang Trihatmodjo Soeharto hadir di Kandang Menjangan Group II Kopassus, Solo sebagai peserta lomba tembak terbuka yang digelar pada 23 April 2007. Pada saat bersalaman dengan Tommy, Danjen Kopassus Mayjen TNI Rasyid Qurnuen Aquary terlihat membungkuk di depan putra mantan presiden Suharto itu, dan kejadian ini terekam kamera wartawan. Foto membungkuknya Danjen Kopassus ini beredar luas di masyarakat bahkan sampai ke Amerika Serikat dan Australia. Pemerintah Amerika Serikat melalui Asisten Menlu AS Urusan Asia Pasifik, Christopher Hill, menanyakan secara resmi mengenai peristiwa ini kepada Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono di Jakarta.11 10 11 80 Ibid., Hlm, 127. http://id.wikipedia.org/wiki/Komando_Pasukan_Khusus, Diakses pada Tanggal 3 April 2009 pukul 04.52 WIB. Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 POSTUR DAN GELAR KEKUATAN KOPASSUS Pada dasarnya, akan selalu menarik untuk membahas quo vadis keberadaan Kopassus dari sudut pandang efektivitas struktur organisasinya, khususnya menyangkut postur dan gelar kekuatannya. Saat ini Kopassus terdiri dari 5 (lima) Grup dengan keahliannya masingmasing yang berkekuatan lebih dari 6.000 personil.12 Untuk klasifikasi sebagai ”elite/special forces”, maka ukuran itu tentunya agak terlalu gemuk. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memiliki dua unit pasukan khusus terkemuka yaitu Green Berets dan Delta Force, yang ternyata ”hanya” memiliki kekuatan sebesar 4.500 dan 1.000 personel. 13 Oleh karena itu, perampingan struktur dalam tubuh Kopassus mutlak diperlukan. Selain itu, untuk menghilangkan kesan buruk yang menempel terhadapnya, maka nampaknya perlu ada suatu upaya yang sungguh-sungguh dari dalam struktur internal Kopassus itu sendiri untuk lebih terbuka kepada publik mengenai peran dan fungsi yang dijalankannya, tanpa harus mencederai aspek kerahasiaan, yang sejatinya memang akan selalu dimiliki oleh setiap unit pasukan khusus di negara manapun. Sejarah Kopassus, pada masa orde baru, menunjukkan bahwa ada dua figur utama yang berperan penting dalam proses reorganisasi korps baret merah ini, yaitu Sintong Pandjaitan dan Prabowo Subianto. Kedua figur inilah yang dianggap paling memberikan warna terhadap perkembangan organisasi Kopassus hingga saat ini. Masa Sintong Pandjaitan Upaya reorganisasi terhadap kesatuan ini pernah dilakukan pada masa kepemimpinan Sintong Pandjaitan. Hal ini berawal pada pertengahan tahun 1985 ketika Panglima ABRI saat itu, Jenderal L.B. Moerdani melakukan kebijakan reorganisasi ABRI untuk menghemat anggaran belanja. Dalam konteks TNI AD, kekuatan Kopassandha dan komando daerah militer akan diperkecil. Menurut rencana, banyaknya Kodam diperkecil dari 17 menjadi 10 Kodam saja, yaitu dari Kodam I/Bukit Barisan sampai Kodam IX/ Udayana dan Kodam Jaya untuk Komando Daerah Militer Ibu Kota. Terkait dengan Kopassandha, Panglima ABRI berencana memperkecil jumlah anggota pasukan Baret Merah dari 6.644 orang menjadi sekitar 3.000 orang saja. Menanggapi rencana itu, Sintong sebagai Komandan Kopassandha berpendapat bahwa memperkecil satuan dengan tujuan menghemat biaya, dapat dilakukan di seluruh Kodam. Namun, upaya memperkecil jumlah anggota Kopassandha hanya dapat dilakukan kalau Mabes ABRI mempunyai biaya yang cukup besar. Sehubungan dengan reorganisasi Kopassandha, Sintong diberi kesempatan meninjau pasukan khusus di negara-negara Eropa dan Asia. Di Inggris, Sintong mencatat suatu hal yang menarik pada pasukan khusus Inggris Special Air Service (SAS). Di markas SAS di Hereford, penjagaan markas bukan dilakukan oleh anggota SAS, tetapi dilakukan oleh Polisi. Salah satu pertimbangannya adalah SAS yang berkekuatan di bawah seribu orang sebagai pasukan elite yang sangat terlatih, harus dibebaskan dari tugas jaga. Tidak hanya itu, tugas administrasi di lingkungan SAS pun dilakukan oleh pihak lain. 12 13 Lihat lampiran 1 untuk lebih melihat struktur organisasi Kopassus. www.globalsecurity.org/military/agency/army, diakses pada tanggal 3 April 2009 pukul 05.42 WIB. 81 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Di masa damai tugas anggota SAS adalah latihan terus-menerus untuk mempertinggi kemampuan tempur, dengan selalu ada satu tim bersiaga untuk tugas antiteror. Gaji mereka sama seperti anggota tentara lainnya. Namun, mereka mendapat tunjangan berbagai keahlian, seperti, para komando, demolisi, penjinak bahan peledak, pendakian, dan sebagainya. Jika fisik sudah tidak memenuhi syarat sebagai anggota SAS, mereka dipindahkan ke satuan lainnya, atau tetap menjadi anggota SAS dengan tugas non tempur. Dengan sendirinya tunjangan keahlian khusus mereka dihilangkan. Pola organisasi pasukan khusus semacam itulah yang diinginkan oleh Sintong. 14 Dalam pelaksanaan reorganisasi Kopassandha, Sintong memerintahkan Letkol. Luhut Pandjaitan, Komandan Detasemen-81/Antiteror, agar menggarap program perampingan anggota Kopassandha. Sintong Pandjaitan dan Luhut Pandjaitan memiliki prinsip yang sama dalam merampingkan jumlah anggota. Keduanya cocok dalam gagasan profesionalisme militer. Program memperkecil jumlah anggota dilakukan sangat hati-hati dan tegas, karena Sintong menyadari bahwa pada kenyataannya tidak seorang pun yang bersedia pindah dari Kopassandha. Banyak masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan seleksi tetapi akhirnya dapat diatasi. Dari hasil seleksi itu, diperoleh 2.300 orang tamtama dan bintara yang mencapai nilai terbaik. Setelah anggota Kopassandha berhasil dirampingkan, maka nama Kopassandha diganti menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Reorganisasi Kopassandha menjadi satuan kecil yang bermutu tinggi dan profesional semacam ini sebenarnya telah dinanti sejak lama oleh Sintong. Ciri-ciri pasukan khusus ialah berjumlah kecil, memiliki kerahasiaan dan kualitas tinggi, untuk menciptakan pendadakan yang besar terhadap sasaran strategis, bukan sasaran taktis. Pasukan khusus TNI AD yang telah diperkecil, masih lebih besar jumlahnya dibanding dengan pasukan khusus di negaranegara Eropa. Memang ada pasukan khusus yang berjumlah besar yakni di negara-negara Arab. Misalnya Angkatan Darat Kerajaan Jordania memiliki tiga batalyon para komando masing-masing berkekuatan 500 orang yang dibagi dalam tiga kompi terdiri dari tiga peleton. Mereka dipersenjatai dengan peluru kendali antitank Dragon dan recoilles rifle (STTB: Senjata Tanpa Tolak Balik) 106 mm. Jumlah pasukan para komando ini cukup besar, jika dibanding dengan kekuatan Angkatan Darat Kerajaan Jordania secara keseluruhan. Komandan Kopassus memang ”hanya” berpangkat brigjen, karena di samping jumlah pasukan hanya di bawah 3.000 orang, Kopassus secara operasional adalah di bawah perintah (B/P) para Panglima Komando Wilayah Strategis, yaitu Kodam. Sebagai komparasi dalam hal komandan, Komandan GSG-9 Jerman hanya berpangkat kolonel. Salah seorang Komandan GSG-9 yang sangat populer ialah Kolonel Ulrich Wagener. Ia menjadi pucuk pimpinan GSG-9 dalam operasi pembebasan sandera penumpang pesawat Boeing B-737 Lufthansa yang dibajak teroris di Mogadishu, Somalia (1977). Wagener juga disebut-sebut ikut serta dalam pasukan komando Israel pada Operation Entebbe 1976 untuk pembebasan sandera penumpang pesawat Air France yang dibajak ke Entebbe, Uganda. 14 Hendro Subroto. 2009. Sintong Pandjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Hlm. 302-307. 82 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Selain itu, komandan SAS Inggris pun berpangkat kolonel, meski di atasnya masih terdapat seorang perwira tinggi berpangkat brigadir (jenderal), untuk melaksanakan Joint Operation Forces. Komandan US Army's Special Forces (Green Berets), juga berpangkat kolonel. Dalam Angkatan Bersenjata AS terdapat seorang jenderal berbintang empat yang memimpin Joint Operation Command bagi unsur-unsur angkatan yang meliputi ketiga matra. Menurut Luhut Pandjaitan, Komandan Kopassus cukup dijabat perwira bintang satu atau brigjen tetapi harus benar-benar seorang komandan yang profesional. ”Bukan komandan yang untuk berlari saja sudah susah payah,” tambahnya. 15 Masa Prabowo Subianto Dalam perkembangan kemudian, sosok pasukan khusus yang kecil dan berkualitas yang dirintis Sintong tidak berumur panjang. Pada akhir tahun 1995 Kolonel Prabowo Subianto dilantik menjadi Komandan Kopassus dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigjen. Pada bulan Agustus 1996, Prabowo yang merupakan komandan ke-15 Kopassus dinaikkan lagi pangkatnya menjadi mayor jenderal. Kenaikan pangkat itu disebabkan peningkatan status jabatan dari Komandan menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Dengan demikian dalam jangka waktu delapan bulan, Prabowo mengalami dua kali kenaikan pangkat dalam jabatan yang sama. Peristiwa semacam itu belum pernah terjadi dalam sejarah TNI, sehingga hampir setiap perwira TNI AD merasa heran bahwa hal itu dapat terjadi. Walaupun demikian tidak ada reaksi, karena setiap komplain dan rasa tidak puas terhadap atasan harus ditempuh sesuai prosedur yang berlaku. Sintong mengutarakan kritik atas peristiwa itu setelah ia pensiun, sebagai masukan agar semua pedoman maupun peraturan yang berlaku tidak dianggar oleh setiap anggota TNI, termasuk Panglima Tertinggi. Sintong menjelaskan, kenaikan pangkat reguler dalam Angkatan Bersenjata hanya dilakukan dua kali setahun, yaitu pada bulan April dan bulan Oktober, kecuali kenaikan pangkat luar biasa. Seandainya jumlah anggota Kopassus tidak dikembangkan menjadi hampir 6000 orang, maka Prabowo Subianto akan meninggalkan jabatan Komandan Kopassus dengan pangkat brigjen. Namun, dengan pangkat mayor jenderal, merupakan jabatan perwira tinggi berbintang tiga. Sementara 17 Kodam yang telah dirampingkan menjadi hanya 10 (sepuluh) itu sedang melakukan pemantapan, Prabowo melakukan pengembangan Kopassus. Dengan adanya bermacam kepentingan politik, Kopassus memperbanyak kembali jumlah personel menjadi sekitar 6.000 orang. Pengembangan itu jelas tidak sesuai dengan rencana strategis TNI AD. 1 6 15 Hendro Subroto. 2009. Sintong Pandjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Jakarta: Kompas Media Utama. Hlm. 311-313. 16 Ibid., hlm. 314-315. 83 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Perkembangan Terakhir Setelah pelbagai macam tragedi di masa lalu yang melibatkannya, Kopassus nampaknya memang harus berjuang keras untuk memulihkan nama baiknya. Kopassus seolah memiliki keharusan untuk membuktikan kepada publik bahwa ia memang telah ”berubah” dan tidak lagi bersedia untuk dijadikan sebagai alat politik bagi kelompok-kelompok tertentu seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Salah satu cara terbaik untuk menunjukkan 'performance' yang baik di depan publik adalah melalui suatu gelar latihan massive, yang tidak hanya melibatkan anggota Kopassus saja, namun juga mengundang pasukan-pasukan khusus dari negara lain. Moment penting dalam konteks itu sebenarnya telah dimulai pada 4 Februari 2006, ketika Kopassus melakukan latihan bersama dengan pasukan khusus Australia. Danjen Kopassus waktu itu, Mayjen. Syaiful Rizal, menyatakan bahwa latihan itu merupakan pertama kalinya kedua pasukan khusus itu melakukan latihan bersama, setelah yang terakhir adalah pada 1996 dan setelahnya hubungan keduanya dilanda kevakuman. Jadi, hampir 10 tahun keduanya belum mengadakan latihan. Syaiful juga mengatakan bahwa Latihan itu penting, sebab Australia punya pengalaman perang di level global. Misalnya dalam perang Irak. Pengalaman pasukan khusus Australia dirasakan perlu untuk diserap. Selain itu, dalam hal persenjataan, pihak Australia juga cukup lengkap. Dengan bertemu mereka, Kopassus diharapkan bisa mengukur kemajuan teknologi persenjataan yang mereka miliki. Tidak seperti sebelumnya, latihan tersebut dikhususkan pada antiteror, seperti aksi pembebasan sandera. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, pada latihan itu dilakukan pelbagai simulasi mengenai cara-cara pembebasan sandera di kapal laut, gedung, atau pesawat. Latihan itu berlangsung selama dua pekan, dimana Kopassus mengirimkan 36 anggotanya dari Satuan 81 (Sat 81) Penanggulangan Teror. 17 Terkait dengan anggaran, jika memang memungkinkan, waktu itu Syaiful menyatakan bahwa Kopassus akan mengusulkan pengadaannya kepada Komisi 1 DPR RI. Namun hingga kini memang belum ada kejelasan mengenai alokasi anggaran untuk Kopassus dari porsi total APBN yang dialokasikan untuk TNI-AD. Kegiatan latihan bersama terkini yang telah dilaksanakan oleh prajurit-prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) adalah latihan bersama dengan pasukan khusus Singapura. Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayjen TNI Pramono Edhie Wibowo secara resmi menutup latihan bersama itu pada 23 Mei 2009 di lapangan Markas Grup-1 Kopassus di Serang, Banten. Dalam kesempatan itu, Danjen Kopassus mengharapkan agar kerjasama yang sudah terjalin selama antara Kopassus dan Pasukan Khusus Singapura dapat lebih ditingkatkan di masa datang. Taktik dan teknik yang sudah diperoleh selama melaksanakan Latma ini, dapat dikembangkan lagi di satuan negara masing-masing. Latihan Bersama (Latma) Candrapura XIX/2009 tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan dan memperkokoh kerja sama antara Indonesia dengan Singapura serta dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik lagi selaku sesama negara ASEAN. 18 17 Dari http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Wawancara-Danjen-Kopassus, diakses pada tanggal 9 Juni 2009 pukul 16.26 WIB. 18 Dari http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2009/05/24/kopassus-latihan-bersama-singapura, diakses pada tanggal 9 Juni 2009 pukul 17.39 WIB. 84 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Uraian di atas menunjukkan bahwa pasang-surut perubahan postur dan gelar kekuatan di dalam tubuh Kopassus ternyata memang sangat bergantung kepada figur pemimpinnya. Apabila memang ada satu faktor yang ingin segera dibenahi, maka persoalan jumlah personel inilah yang sepertinya mutlak untuk segera ditangani oleh perwira tinggi yang memimpin Kopassus. Terkait dengan kegiatan latihan yang telah dilakukan, terlihat sekali bahwa Kopassus telah berupaya untuk terus berada dalam jajaran terdepan dalam hal modernisasi persenjataan serta kemampuan teknisnya. Untuk selanjutnya, yang menjadi pertanyaan besar adalah: mampukah Kopassus mengaplikasikan seluruh kemampuan mutakhirnya tersebut sesuai dengan motto utamanya, yaitu melindungi segenap rakyat Indonesia? Yang penting kiranya dalam hal ini adalah, kemampuan Kopassus untuk melepaskan dirinya dari kooptasi pihak-pihak yang ingin menggunakan “jasa”-nya untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. PENUTUP: MASA DEPAN PERAN DAN EKSISTENSI KOPASSUS Kesempatan Khusus Sebagai satuan khusus yang matang dalam usianya dan tumbuh di tengah perjuangan awal terbentuknya Republik Indonesia, Kopassus memiliki kesempatan yang khusus pula untuk mengukir masa depannya dan lepas dari stigma masa lalunya yang cukup kelam. Salah satunya adalah dengan memperkokoh misinya dalam rangka “melindungi segenap bangsa dan seluruh rakyat Indonesia”. Di tengah ancaman terorisme global serta krisis keuangan global sekarang ini, para pemikir dan pembuat strategi militer setidaknya memiliki dua pilihan untuk memperkokoh Kopassus dalam menjalankan misinya melindungi bangsa dan rakyat Indonesia. Pertama, sebagai elemen kekuatan pemukul utama TNI, dan seperti yang berlaku di berbagai Negara lain, tidak boleh ada kesatuan pasukan khusus yang saling tumpang tindih dalam tubuh angkatan bersenjata. Artinya, dalam menghadapi perang asimetris serta ancaman terorisme terhadap bangsa dan rakyat Indonesia, diperlukan suatu upaya untuk melakukan analisis dan prioritas sehingga tidak terjadi duplikasi dan kesenjangan dalam menjalankan misi ini. Melihat penanganan serangan terorisme seperti yang terjadi di Mumbai, India, akhir Oktober 2008, penggunaan satuan antiteror pasukan khusus adalah sesuatu yang mutlak untuk meminimalkan korban rakyat Indonesia. Kedua, analisis dan prioritas pemeliharaan dan penggelaran pasukan husus mutlak dilakukan untuk menyediakan anggaran yang memadai dalam rangka menjadikan Kopassus sebagai elemen deterrence yang efektif. Harus dipahami bahwa posisi geo-strategi Indonesia menjadi sangat rawan dan mudah disusupi serta bisa dijadikan sarang terorisme, ketika kelompok-kelompok teroris yang secara tradisional beroperasi di Negara-negara Timur Tengah, Asia Selatan, dan Filipina terdesak dalam menghadapi tekanan dari pemerintahnya. 85 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Redefinisi Peran Eksistensi Kopassus dalam lingkungan TNI harus dipahami sebagai bagian dari kekuatan angkatan bersenjata kontemporer dan menjadi produk budaya nasional dan tradisi militer Indonesia, fenomena global seperti Perang Dingin dan globalisasi, serta perubahan agenda keamanan menghadapi ancaman terorisme. Dengan demikian, perubahan-perubahan yang terjadi pada Kopassus dipahami sebagai akibat dari perbedaan peran tradisional dan peran barunya yang berpengaruh pada struktur kekuatannya (termasuk doktrin, latihan, dan peralatan), serta adanya perubahan sosiologis dalam mindset para prajurit korps baret merah tersebut. Sebelum melangkah maju ke depan, maka pelbagai macam pembenahan harus segera diselesaikan terlebih dahulu. Salah satu yang utama adalah mengenai ukuran (postur) Kopassus yang terlalu besar untuk ukuran pasukan khusus/elite serta struktur kepemimpinan yang tidak tepat, dimana komandan Kopassus seharusnya tidak sampai berpangkat mayor jenderal. Pada masa yang akan datang, bersamaan dengan kemajuan teknologi persenjataan dan teknologi komunikasi informasi, musuh yang dihadapi kekuatan angkatan bersenjata akan lebih sulit diprediksi, mulai dari negara-bangsa (nation-state) sampai pelaku kriminal terorisme. Mengembangkan dan memelihara pasukan khusus, terutama Satuan-81 Kopassus yang mengemban misi menyelamatkan bangsa dan rakyat Indonesia dalam menghadapi ancaman terorisme, mutlak diperlukan dan mendapatkan prioritas pendanaan sebagai jaminan rasa aman bagi masyarakat. Teknologi persenjataan dan penerbangan pun harus diremajakan, agar penggelaran satuan antiteror Kopassus menjadi efisien dan efektif sebagai upaya membangun terbentuknya sebuah demokrasi yang efektif. Namun demikian, dalam konteks penanganan tindakan terorisme ini, harus diingat bahwa dalam hal penanggulangan teror dalam sektor keamanan (baik itu dalam arti luas maupun sempit), saat ini sudah ada satuan Densus 88 milik POLRI yang dimana spesialisasi kemampuannya memang ditujukan dalam rangka penanggulangan aksi-aksi teror. Kondisi ini jelas menyiratkan keharusan adanya koordinasi dan pedoman peraturan yang baku, agar tidak terjadi tumpang tindih dan kesimpangsiuran dalam standard operating procedure penanganan tindakan terorisme. Hal ini amat penting karena selain TNI-AD, TNI-AL dan TNIAU pun rupanya juga memiliki satuan anti-terornya masing-masing. Apabila hal ini diabaikan, maka bisa berakibat fatal seperti yang dapat terlihat dari kesimpangsiuran pihak keamanan di India dalam menangani serangan kelompok teroris di Mumbai. Perubahan, dengan kata lain, adalah suatu keharusan bagi Kopassus untuk mengoptimalkan peran dan fungsinya di masa yang akan datang. Perubahan ini mengharuskan Kopassus mengembangkan suatu hubungan yang lebih dekat dengan rakyat yang menjadi misi utamanya untuk dilindungi dengan seluruh jiwa dan raga. Artinya, di mana pun bangsa dan orang Indonesia berada, seperti penyanderaan para pelaut Indonesia oleh kelompok 86 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 perompak Somalia, maka negara wajib menginstruksikan sebuah misi untuk menyelamatkan mereka. Pada era reformasi sekarang ini memang tidak terhindarkan peranan pasukan khusus dalam menjalankan misi operasi militer selain perang (OMSP), condong menjalankan tugas institusionalisasinya yang mirip dengan tugas kepolisian, termasuk mengemban tugas kemanusiaan. Keamanan nasional tradisional yang selama ini dianut dalam pemikiran lama tentang keamanan perlu berubah mengikuti perkembangan reformasi sebagai upaya kita untuk mengefektifkan demokrasi yang sedang mencari bentuknya. Perubahan sosiologis pasukan khusus, temasuk Kopassus, harus mampu memberikan makna dalam upaya kita bersama mengembangkan demokrasi dan memperluas reformasi. Pasukan khusus Indonesia memiliki sejarah yang panjang bersamaan dengan sejarah berdirinya republik ini. Ketika republik ini berubah menjadi lebih demokratis, pasukan khusus pun harus mampu untuk menyesuaikan dirinya, dalam koridor supremasi sipil. Bila itu telah tercapai, maka wajarlah jika publik bisa berharap bahwa di masa yang akan datang, peluru yang dimuntahkan dari setiap moncong senjata prajurit Kopassus akan tetapi lebih banyak tertuju kepada musuh-musuh dari luar, dan bukan lagi kepada sesama anak bangsa ini.< Kepustakaan Conboy, Ken. 2003. KOPASSUS Inside Indonesia's Special Forces. Equinox Publishing. Soempeno, Femi Adi. 2009. Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana. Yogyakarta: Galang Press. Subroto, Hendro. 2009. Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Jakarta: Kompas Media Utama. KOMPAS – Rabu 15 April 2009. MENUJU TERBENTUKNYA DEMOKRASI EFEKTIF oleh: Rene L Pattiradjawane. http://id.wikipedia.org/wiki/Komando_Pasukan_Khusus, Diunduh pada Tanggal 23 April 2009 pukul 04.52 WIB. http://www.globalsecurity.org/military/world/indonesia/kopassus.htm, diunduh pada tanggal 23 April 2009 pukul 05.05 WIB. www.forum.kafegaul.com/showthread, diakses pada tanggal 9 Juni 2009 pukul 14.05 WIB. http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Wawancara-Danjen-Kopassus, diunduh pada tanggal 9 Juni 2009 pukul 16.26 WIB. http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2009/05/24/kopassus-latihan-bersama-singapura, diunduh pada tanggal 9 Juni 2009 pukul 17.39 WIB. 87 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Lampiran 1: Gambaran Postur dan Gelar Kekuatan Kopassus saat ini Grup Kopassus Lokasi Keterangan S e t i a p p ra j u r i t K o p a s s u s p a d a d a s a r nya berkualifikasi PARA KOMANDO, dimana semua anggotanya harus mengikuti latihan terjun payung dasar/tempur. Jadi pendidikan awal seorang Kopassus adalah mengambil kualifikasi KOMANDO yang harus dijalani sekitar 6 bulan, materi latihan meliputi Perang Hutan, Buru Senyap, Survival (dilakukan di daerah Situ Lembang dilanjutkan dengan long march ke Cilacap untuk latihan rawa laut, survival laut, pendaratan pantai dll. Selain itu juga mereka harus mengambil pendidikan PARA DASAR Tempur dengan materi yang meliputi terjun malam, terjun tempur bersenjata dan diterjunkan di Hutan (membawa senjata, ransel, payung utama dan payung cadangan). Dalam semua latihannya mereka akan menggunakan peluru tajam, oleh karenanya tidaklah heran bila hampir dalam setiap latihan selalu ada siswa yang meninggal dunia karena berbagai sebab (kelelahan, kecelakaan dll). Grup 1/Parakomando (Para Commando) Serang, Jawa Barat Standar yang dipakai di Kopassus sangat amat ketat, bagi yang fisiknya kurang mampu atau mentalnya lemah, jangan harap bisa bertahan didalam latihan ini, atau di Satuan ini. Kesalahan sekecil apapun tidak akan ditolerir, karena memang tugas mereka sangat berbahaya. Setiap anggota Kopassus harus memiliki keahlian khusus seperti menjadi penerjun payung handal (Combat Free Fall), penyelam, penembak mahir (sniper), Daki Serbu (seperti kemampuan yang dimiliki oleh 10th Mountain Division milik US Army), Komputer /perang elektronika, perang psikologi, menguasai sedikitnya 2 bahasa daerah bagi para tamtama dan bintara dan bahasa asing untuk para perwiranya. Mereka diseleksi secara ketat, baik oleh Team Kes AD (Kesehatan), PSIAD (Dinas Psikologi AD) dan Team Jas AD (Jasmani/Kesemaptaan). Proses seleksi ini pada dasarnya berjalan terus menerus sampai dengan selesainya latihan, seorang Pasis (Perwira Siswa) yang melakukan kesalahan pada hari terakhir latihan, akan langsung dipecat, artinya tidak ada kompromi. Oleh karenanyalah, loyalitas terhadap perintah atasan sangat penting dalam organisasi ini. Saat ini, baik Grup 1 maupun Grup 2 sama-sama berkekuatan 3 batalyon. 88 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Grup 2/Parakomando (Para Commando) Kartasura, Jawa Tengah Grup 3/Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Training) Batujajar, Jawa Barat Berfungsi sebagai Pusat Pelatihan (Center of Training) untuk menggembleng prajurit-prajurit pilihan TNI-AD yang terpilih menjadi anggota Cijantung, Jakarta Timur Grup ini merupakan orang-orang pilihan dari 3 grup pertama yang dilatih kembali menjadi berkualifikasi Intelejen Tempur, dengan tugas menghancurkan lawan digaris belakang pertahanan lawan (penyusupan). (Combat Intelligence) Grup 4/Sandhi Yudha (Combat Intelligence) SAT 81/Penanggulangan Teror(Counterterrorism) Cijantung, Jakarta Timur -idem- Yang masuk ke dalam Kesatuan ini adalah orangorang pilihan dari Group 4 dan merupakan yang terbaik yang dimiliki Kopassus. Mereka memiliki Ksatrian tersendiri di Cijantung dan terisolir. Klasifikasinya adalah ANTI TERORIS (counterterrorist) dan akan selalu mengikuti perjalanan kenegaraan Presiden. Pengetahuan orang bahkan TNI sendiri tentang Grup ini sangat minim, karena mereka sangat terisolir dan rahasia. Sebuah sumber mengatakan bahwa mereka mengikuti pola GSG 9 Jerman (Pasukan elite polisi Jerman yang berhasil dalam pembebasan sandera di Kedutaan besar Jerman di Iran) mengingat Prabowo adalah satusatunya Perwira Indonesia yang pernah lulus dalam pendidikan anti teroris di GSG 9, namun demikian saat ini mereka sudah mulai mencampurkan pola latihannya sehubungan dengan banyaknya perwira yang dilatih oleh US Army's Special Forces alias Green Berets (misalnya Mayjen Syafrie Syamsudin). Selain itu, peralatan yang mereka miliki sangat canggih dan tidak ada bedanya dengan satuan elite tentara lainnya di dunia. Sumber: www.forum.kafegaul.com/showthread 89 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Lampiran 2. Daftar Komandan Kopassus Daftar Komandan Kopassus dari Waktu ke Waktu Nama Mayor Moch. Idjon Djanbi Periode 1952-1954 (Rokus Bernadus Visser) Keterangan Memimpin dari sejak masih bernama Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (Kesko TT) hingga berubah menjadi RPKAD Mayor RE Djailani 195-19?? - Mayor Kaharuddin Nasution 19??-19?? - Mayor Mung Parhadimulyo 1958-1964 Kolonel Sarwo Edhie Wibowo 1964-1967 Brigadir Jenderal Widjoyo Suyono 1967-19 Brigadir Jenderal Witarmin ? - ? Brigadir Jenderal Yogie SM Mei 1975-April 1983 Memimpin RPKAD hingga menjadi Puspassus TNI-AD Pada 1971 Puspassus TNI-AD berubah menjadi Kopassandha - Brigadir Jenderal Wismoyo Arismunandar April 1983-Mei 1985 Reorganisasi Kopassandha ke Mei 1985-Agustus Brigadir Jenderal Sintong Panjaitan Kopassus 1987 Agustus 1988-Juli Brigadir Jenderal Kuntara 1992 Brigadir Jenderal Tarub Juli 1992-Juli 1993 Brigadir Jenderal Agum Gumelar Brigadir Jenderal Subagyo HS Mayor Jenderal Prabowo Subianto Mayor Jenderal Muchdi PR Mayor Jenderal Syahrir MS Mayor Jenderal Amirul Isnaini Mayor Jenderal Sriyanto Mayor Jenderal Syaiful Rizal Mayor Jenderal Rasyid Qurnuen Aquary Juli 1994 September 1995 September 1995Desember 1995 Desember 1995- Agustus 1996 Brigadir Jenderal ke Mayor Jenderal Maret 1998 Maret 1998-Mei 1998 1998-2000 1 Juni 2000-2002 2002-15 Februari 2005 15 Februari 2005- 2006 Agustus 2006- Mayor Jenderal Soenarko September 2007 4 September 2007 - Juli 2008 Mayor Jenderal Pramono Edhie Wibowo 1 July 2008 sekarang - 90 KOSTRAD KOSTRAD Aris Santoso1 Pendahuluan Bila membahas Kostrad, satu pertanyaan yang acapkali muncul adalah: masih tepatkah status cadangan melekat pada Kostrad pada masa kini? Munculnya pertanyaan ini menjadi wajar, bila kita bandingkan, antara Kostrad saat didirikan dulu yaitu pada 6 Maret 1961, dengan kondisi sekarang. Saat didirikan, memang sesuai kalau status Cadangan melekat pada Kostrad. Karena pada saat itu satuan tempur yang berada di bawah kendalinya secara penuh, hanya setingkat satu brigade infanteri. Pada masa itu, jika Kostrad akan menggelar operasi skala besar (di atas satu brigade infanteri), Kostrad harus “meminjam” satuan tempur di bawah Kodam yang ada (istilah teknis militernya: BKO ke Kostrad). Karena pada saat baru berdiri, status Kostrad merupakan satuan rangka (skeleton), yang secara organik belum banyak membawahi satuan tempur infanteri, maupun satuan bantuan tempur (banpur) dan bantuan administrasi (banmin). Di masa awal berdirinya dulu, satuan yang langsung di bawah komando Kostrad, baru satu brigade, yaitu Brigif 3/Para (bedakan dengan Brigif Linud 3/Tri Budi Mahasakti Kostrad di Makassar). Brigif 3/Para terdiri dari Yonif 328/Para Kujang II (“dipinjam” dari Kodam Siliwangi), Yonif 454/Banteng Raider (“dipinjam” dari Kodam Diponegoro, sempat berganti nama Yonif 401/Banteng Raider, kini Yonif 400/Raiders), dan Yonif 530/Para Bajra Yudha (“dipinjam” dari Kodam Brawijaya, kini berubah nama menjadi Yonif Linud 501/Bajra Yudha). Untuk melihat dislokasi kesatuan Kostrad secara lengkap lihat tabel 1, 2 dan 3 di halaman berikutnya. Karena tidak ada satuan yang secara organik berada di bawah komando Kostrad. Kita bisa paham, bila saat dibentuk dulu Kostrad memang benar-benar berstatus cadangan. Tentu beda dengan keadaan sekarang (terutama saat Orde Baru), di mana kemudian Kostrad banyak “mengakuisisi” satuan-satuan terbaik dari Kodam-Kodam di Jawa. Walaupun kini status Cadangan mungkin kurang relevan bagi Kostrad, namun sebutan “Cadangan” bisa jadi akan terus dipakai, berdasar pertimbangan nilai historis sebutan tersebut. Di sinilah menariknya, sebutan “Cadangan” sudah menjadi realitas sejarah, dan memiliki nilai yang terlampau tinggi, untuk dihapus begitu saja dari akronim Kostrad. Kalau kita lihat, acapkali terjadi, satuan-satuan di bawah Kostrad adalah yang paling awal dikirim, ke daerah trouble spot. Terlebih lagi kini Kostrad memiliki wewenang membina dan menerjunkan satuan-satuan yang setiap saat siap berangkat ke daerah operasi, dalam waktu relatif singkat, yang biasa dikenal sebagai PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat). Karena pada banyak kasus, satuan tempur setempat (Yonifter) acapkali kewalahan mengatasi problem wilayahnya, maka satuan-satuan di bawah Kostrad yang kemudian diterjunkan pada kesempatan pertama. 1 Aris Santoso, peneliti ISAI. 91 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Kondisi yang hampir sama terjadi pada satuan andalan di bawah Kostrad, yaitu Brigif Linud 17/Kujang I (berdiri 20 Mei 1966), yang bermarkas di Cijantung, Jakarta Timur. Sebutan Kujang I pada satuan ini, sebenarnya adalah julukan saat satuan tersebut masih organik Kodam III/Siliwangi. Ketika komando satuan ini dialihkan ke Kostrad tahun 1969, maka satuan ini memperoleh julukan baru pula: Sakti, Budi, Bakti. Namun karena julukan Kujang I sudah demikian melegenda dan memiliki nilai sejarah tersendiri, maka dalam sehari-hari, tetap saja julukan Kujang I yang dipakai. Dan banyak orang yang tidak mengetahui julukan baru tersebut. Sebutan divisi pada Kostrad juga hampir sama riwayatnya. Pada awal berdirinya, istilah divisi untuk menyebut satuan di bawah Kostrad - sempat digunakan, meski hanya untuk sementara waktu. Sebutannya kemudian diganti menjadi Kopur (Komando Tempur), meski dalam kenyataannya, struktur satuannya tetap merupakan sebuah divisi juga. Oleh karena itu, dalam waktu yang lama, di bawah Kostrad terdapat dua Kopur: Kopur Linud dan Kopur II. Baru pada tahun 1985, ketika Panglima TNI Jenderal L.B. Murdani dan KSAD Jenderal TNI Rudini, mengadakan reorganisasi dan validasi besar-besaran satuan-satuan TNI, tak terkecuali Kostrad, istilah divisi secara resmi kembali digunakan. Sejak saat itu, Kopur Linud berubah menjadi Divisi Infanteri 1 Kostrad bermarkas di Cilodong, Bogor dan Kopur II menjadi Divisi Infanteri 2 Kostrad di Singosari, Malang. Tabel 1. Divisi Infanteri 1 Kostrad (Mako Cilodong, Bogor) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13. 92 Nama Kesatuan Brigif Linud 17/Kujang I a. Yonif Linud 305 b. Yonif Linud 328 c. Yon if Linud 330 Brigif 13/Galuh a. Yonif 303 b. Yonif 321 c. Yonif 323/Raiders Menarmed 2 a. Yonarmed 10/105 b. Yonarmed 13/76 c. Yonarmed 9/76 Yonarhanudri 1 Yonkav 1/Tank Yonzipur 9/Para Kikavtai 1 Ki Hub Yonkes Yon Bekang 1 Ki Bengharlap 1 Ki Pom Divif 1 Ajen Divif 1 Lokasi Cijantung, Jakarta Timur Teluk Jambe, Karawang Cilodong, Bogor Cicalengka, Bandung Tasikmalaya Garut Majalengka Banjar, Ciamis Sadang, Purwakarta Ciluar, Bogor Cikembang, Sukabumi Sadang, Purwakarta Serpong, Tangerang Cijantung, Jaktim Ujungberung, Bandung Cijantung, Jaktim Ciluar, Bogor Ciluar Cibinong Cilodong Ciluar Cilodong KOSTRAD Tabel 2. Divisi Infanteri 2 (Mako Singosari, Malang) Nama Kesatuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Brigif Linud 18/Trisula a. Yonif Linud 501 b. Yonif Linud 502 c. Yonif Linud 503 Brigif 6 a. Yonif 411 b. Yonif 412/Raiders c. Yonif 413 Brigif 9 a.Yonif 509 b.Yonif 514 c.Yonif 515 Menarmed 1 a.Yonarmed 8 b.Yonarmed 11 c.Yonarmed 12 Yonarhanudri 2 Yonkav 8/Tank Yonzipur 10 Kikavtai 2 Kihub Divif 2 Kikeslap 2 Kibekang 2 Ki Bengharlap Ki Pom Divif 2 Ajen Divif 2 Lokasi Malang Madiun Malang Mojokerto Solo Salatiga Purworejo Solo Jember Jember Bondowoso/Situbondo Tanggul, Jember Malang Jember Magelang Ngawi Malang dan Ngawi Sidoarjo Pasuruan Singosari, Malang Singosari Singosari Malang Singosari Lawang Singosari, Malang Tabel 3. Kesatuan Langsung di bawah Markas Kostrad Nama Kesatuan 1 2 Brigif Linud 3 a. Yonif Linud 431 b. Yonif Linud 432 c. Yonif Linud 433 Detasemen Intel Lokasi Makasar Makasar Makasar Jakarta 93 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Wacana Pembentukan Divisi Infantri 3 Berbicara tentang Kostrad pada hari-hari ini, tidak dapat dilepaskan dari isu mutakhir, yaitu soal rencana pembentukan Divisi Infanteri 3 (Divif 3). Pada akhir Februari 2009 yang lalu, Pangkostrad Letjen TNI George Toisutta membuka wacana kembali tentang rencana pembentukan Divisi Infanteri 3 Kostrad.2 Divisi Infanteri 3 rencananya akan berdiri pada pada tahun 2025, dengan Kota Sorong, Papua yang diproyeksikan sebagai markas komando. Divisi ini rencananya berintikan Brigade Infanteri Lintas Udara (Brigif Linud) 3/Tri Budi Mahasakti Kostrad (Makasar), yang sudah berdiri sejak tahun 1985, hasil reorganisasi dari Grup 3 Kopassandha (sekarang Kopassus). Sedang untuk satuan lintas medan (infanteri biasa), sedang disiapkan Brigif 22 di Gorontalo, dan tiga bataliyon di bawahnya, termasuk persiapan fasilitas pendukung, seperti markas dan perumahan bagi anggota.3 Kabar terakhir menyebutkan, pada bulan Juli ini, telah dimulai pengisian personel untuk tiga yonif di bawah Brigif 22 (Yonif 221, Yonif 222, Yonif 223), dan Yon Armed 19/105, di mana penempatan mereka lebih bertujuan untuk pemeliharaan infrastruktur yang telah dibangun sepanjang tahun 2009 ini.4 Bagi sebagian pengamat, rencana pembentukan Divif merupakan peristiwa penting, mengingat satuan setingkat divisi adalah satuan tempur skala besar (kisaran 12.000 personel). Dengan kata lain, program tersebut pada gilirannya juga sebuah program skala besar. Mungkin karena tertutup dengan pemberitaan seputar pemilu, sehingga berita seputar rencana pembentukan divif, lepas dari perbincangan publik. Coba bandingkan dengan berita soal bentrok fisik antara anggota TNI dan polisi, misalnya, yang sebetulnya lebih pada soal perilaku oknum anggota, terkesan lebih menarik perhatian publik dan media. Ini juga tampak dari sikap media sendiri, bahwa statemen sepenting Pangkostrad tersebut di atas, tidak dimuat di halaman utama sebuah harian nasional. Rencana pembentukan Divif 3 menjadi isu menarik, karena di lingkungan TNI AD sendiri, wacana ini sempat mengalami pasang surut. Dalam catatan yang terhitung baru, gagasan ini muncul kembali saat Pangkostrad dijabat oleh Letjen TNI Hadi Waluyo (menjabat November 2004 – Mei 2006). Kemudian Letjen TNI Erwin Sujono (menjabat Mei 2006 – November 2007) sebagai Pangkostrad yang menggantikan Letjen TNI Hadi Waluyo, pada prinsipnya juga setuju dengan pembentukan Divif 3, hanya saja aspirasinya tidak sempat tersampaikan ke publik. Tanda persetujuan Erwin tentang pembentukan Divif 3, salah satunya dituangkan dalam sebuah makalah untuk kalangan terbatas. Wacana tentang pembentukan Divif 3 pernah menjadi semacam polemik di internal TNI AD, khususnya saat Pangkostrad masih dijabat Letjen TNI Hadi Waluyo. Pada sebuah kesempatan, 2 3 4 5 6 7 8 Kompas, 23 Februari 2009 www.antara.co.id, 18 Desember 2008, pukul 13.42 WIB www.tniad.mil.id, 10 Juli 2009, pukul 08.49 WIB Kompas, 17 Maret 2005 www.tni.mil.id, 19 Desember 2006, pukul 16.08 WIB www.tempointeraktif.com, 24 November 2005, pukul 01.22 WIB Koran Tempo, 3 Desember 2005. 94 KOSTRAD selaku Pangkostrad, Hadi Waluyo melontarkan kembali gagasan tersebut. Dan hanya dalam hitungan hari, Panglima TNI (saat itu) Jenderal Endriartono Sutarto langsung membatalkan rencana tersebut. 8 Pada kesempatan itu Jenderal Sutarto menyatakan, masalah Papua lebih ke soal politik, bukan keamanan. Selanjutnya Jenderal Sutarto mengatakan: “Kalau tidak ada anggarannya, mau bikin markas pakai batok?....Kostrad kan tidak bisa menentukan dirinya sendiri.” Beberapa bulan kemudian, di tengah acara peringatan hari jadi Ke-45 Divif 2/Kostrad (27 April 2006), giliran Letjen Hadi Waluyo sendiri yang membatalkan rencana pembentukan Divif 3. 9 Hadi Waluyo antara lain menyatakan: “Kita tidak usah memaksakan diri membangun kekuatan itu (Divif 3 – penulis), karena saat ini negara masih memiliki prioritas-prioritas pembangunan lainnya.” Perubahan sikap Hadi Waluyo ini bisa jadi dilatarbelakangi, selain tidak adanya dukungan dari Panglima TNI, juga karena telah lengsernya Jenderal Ryamizard selaku KSAD (2002-2005), yang sebelumnya mendukung pembentukan Divif 3, bahkan sejak Ryamizard menjabat Pangkostrad (2000-2002).10 Setelah setahun lebih wacana ini tenggelam, dukungan pembentukan Divif 3 kembali muncul, kali ini datang dari KSAD Jenderal Djoko Santoso (kini Panglima TNI), dalam acara sertijab Danjen Kopassus (12 September 2007): “Kalau memang ada dukungan dana, sekitar tahun 2014 mudah-mudahan Divisi Infanteri-3 Kostrad akan terbentuk. Negara yang paling liberal sekalipun membutuhkan angkatan perang yang kuat," jelasnya.11 Setelah tiga Pangkostrad terakhir (Hadi Waluyo, Erwin Sujono dan George Toisutta) sepakat tentang pembentukan Divif 3, akankah suatu saat Divif 3 benar-benar akan terwujud, meski ada dua versi soal proyeksi tahun pembentukan (2014 dan 2025)? Pertanyaan berikutnya, bagaimana relevansi pembentukan Divif 3 dalam konteks masyarakat dan lingkungan strategis sekarang? Antara Korps dan Divisi Satuan tempur - khususnya pada kecabangan infanteri - mengacu pada jumlah personel, mulai satuan terkecil, yaitu regu, peleton, kompi, bataliyon, brigade, hingga satuan besar setingkat divisi infanteri. Pada masa-masa awal kemerdekaan, ketika TNI masih dalam taraf mencari sistem atau konsep dalam formasi pasukan, yang acapkali dijadikan acuan adalah model tentara Belanda (KNIL) atau Jepang (PETA). Namun seiring dengan berjalannya waktu, yang kemudian lebih sering dijadikan acuan, adalah model tentara Amerika (US Army). 12 9 Kompas, 28 April 2006 10 Menurut Letjen (Purn) Kiki Syahnakri (Akmil 1971, mantan WAKSAD periode 2000-2002), saat Jenderal E Sutarto menjabat KSAD (2000-2002), dia juga membatalkan program pembentukan Divif 3, lebih karena ketiadaan anggaran. Namun program ini dihidupkan lagi oleh Jenderal Ryamizard, KSAD pengganti Jenderal E Sutarto (wawancara dengan Letjen Purn Kiki Syahnakri, 6 Mei 2009). Pada prinsipnya Kiki sendiri setuju pembentukan Divif 3, lihat Kiki Syahnakri, Aku Hanya Tentara, Jakarta: Kompas, 2009, hal 52-57. 11 www.detik.com, 12 September 2007, pukul 17.45 WIB. Target waktu yang disampaikan Letjen Hadi Waluyo juga tahun 2014. 12 Contoh mutakhir adalah rencana menjadikan Yonif 201/Jaya Yuda sebagai bataliyon mekanis. 95 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Begitu pula yang terjadi pada Kostrad, dalam konsepnya saat didirikan dulu, Kostrad dibentuk sebagai satuan setingkat corps (korps), yaitu satuan di atas divisi. Dalam konsep yang umum (terutama di AS), berlaku konsep gugus kendali segitiga (triangle), artinya satuan komando di atas membawahi tiga satuan di bawahnya. 13 Seperti korps misalnya, akan membawahi (setidaknya) tiga divisi, kemudian divisi membawahi tiga brigif, dan brigif membawahi tiga yonif, begitu seterusnya. Bahkan di AS, masih dikenal satuan di atas korps, yang disebut army, yang berarti – setidaknya - membawahi tiga korps. Mengapa banyak mengadopsi konsep dari US Army? Sebagian karena pengaruh Jenderal Ahmad Yani, figur yang banyak memberikan sumbangsih pemikiran bagi pembentukan Kostrad, yang kebetulan memang alumnus Seskoad di Amerika (Fort Leavonworth, Kansas).14 Saat mengikuti pendidikan di Amerika pada pertengahan 1950-an itulah, Jenderal Yani sangat terkesan dengan divisi lintas udara (linud) AS, yang legendaris, masing-masing adalah Divisi Linud 82 “All Americans” dan Divisi Linud 101 “Screaming Eagle”. Performa dua satuan inilah yang menginspirasikan Jenderal Ahmad Yani, saat akan membentuk satuan skala besar dalam rangka merebut Irian Barat. Perlu ditambahkan, dua divisi linud tersebut tergabung dalam XVIII Airborne Corps, yang bermarkas Fort Bragg, Carolina Utara, sebuah pangkalan militer (ksatrian atau barak) yang juga sempat dikunjungi Jenderal Yani.15 Pemikiran Yani (saat itu selaku Deops KSAD) tentang pembentukan Kostrad, kemudian bersinergi dengan pemikiran KSAD Jenderal AH Nasution. Sementara Nasution sendiri merujuk kembali pada konsep lamanya, yang pernah membentuk satuan “cadangan” menjelang Agresi Militer II tahun 1948, satuan ini kemudian dikenal sebagai KRU (Kesatuan Reserve Umum). KRU berintikan batalyon-batalyon yang berasal dari Divisi Siliwangi (Jabar), yang terpaksa hijrah ke Jateng-Yogya, sebagai konsekuensi Perjanjian Renville.16 Konsep KRU ini mirip dengan gagasan yang melatarbelakangi pembentukan Kostrad di kemudian hari. Intinya, KRU diasumsikan sebagai satuan yang lebih terlatih (dibanding satuan infanteri reguler lainnya), dan langsung di bawah kendali MBAD, karenanya didisain bersifat mobil dan berstatus cadangan (reserve). Bila kita telusuri sebutan awal Kostrad saat didirikan pada awal Maret 1961, sebelum memperoleh nama Kostrad, awalnya bernama Korra I/Tjaduad (Korps Tentara I/Cadangan Umum AD).17 Dari sebutan Korra I/Tjaduad tersebut, jelas terlihat jejak para konseptornya 13 Wawancara dengan Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen (Akmil 1971, mantan Pangdiv 2 Kostrad dan Kas Kostrad) , 7 Mei 2009. Informasi tentang istilah triangle juga berasal dari Kivlan. Dalam konsep US Army, satu korps minimal membawahi tiga divisi, ditambah satuan-satuan pendukung sebagai bantuan tempur (banpur). Konsep divisi infanteri generik TNI AD bisa dilihat dalam Vademikum Seskoad, penerbit Seskoad, cetakan keempat (Bandung: 1997), hal 379-391. 14 Informasi tentang peran Jenderal Yani, diperoleh dari pembicaraan informal dengan Letjen TNI (Purn) Himawan Soetanto (mantan Pangkostrad 1974-1975), Brigjen Purn Soehario Padmodiwirjo (Haryo Kecik, mantan Pangdam Mulawarwan 1960-an), dan Atmaji Sumarkidjo (wartawan senior masalah TNI), jauh hari sebelum proyek penelitian Divif 3 ini dilakukan. 15 Daftar lengkap satuan di bawah US Army, lihat The New York Times 2004 Almanac, Penguin (2003), chapter National Defense, hal 148-149 16 Pembahasan tantang KRU ini bisa dilihat dalam 17 Sejarah berdirinya Korra I/Tjaduad dan Kostrad, lihat Tiga Puluh Tahun Divif 2/Kostrad 1961-1991, Malang : Mako Divif 2/Kostrad, 1991. 96 KOSTRAD (Yani dan Nasution). Istilah Korra merujuk pada pemikiran Yani, bahwa besaran satuan ini setingkat korps. Kemudian istilah Tjaduad, merujuk pada pemikiran Nasution, sebagaimana KRU dulu, bahwa satuan ini berstatus “cadangan” dan bersifat mobil. Kalau kemudian namanya berganti menjadi Kostrad, secara implisit tidak mengurangi semangat konsep awalnya, sebagai satuan setingkat korps dan tetap berstatus “cadangan”. Faktor Ancaman dan Figur Pimpinan Perlu tidaknya pembentukan divif (baru), tergantung bagaimana rencana strategis pertahanan, sesuai rumusan Dephan dan Mabes TNI, sebagai institusi yang memiliki otoritas hal tersebut. Bila diingat keterbatasan kemampuan koter (seperti kodam) dalam menghadapi serangan dengan intensitas tinggi dari luar, bisa jadi pembentukan divif merupakan langkah yang rasional. Selain sebagai satuan pemukul reaksi cepat skala besar, dalam situasi normal (baca: damai), divif memiliki aspek pencegahan (deterrent) tentang kemungkinan infiltrasi dari luar. Ini juga sesuai dengan prediksi TNI sendiri. Dalam dokumen Rencana Sasaran Strategis TNI 1999 – 2003, dikatakan bahwa kondisi keamanan dalam negeri sangat ditentukan kemampuan pemerintah dalam menangani konflik vertikal maupun horisontal, di berbagai daerah.18 Bagi TNI, berbagai konflik di daerah merupakan ancaman serius bagi integrasi nasional. Satuan-satuan tempur di bawah Divisi Infanteri, kiranya bisa dikirim ke daerah konflik dalam waktu cepat, untuk menghindari perluasan daerah konflik. Dalam “Buku Putih Pertahanan” (2003), disebutkan, kecil kemungkinannya terjadi invasi atau agresi militer negara lain terhadap Indonesia.19 Upaya diplomasi dan pembentukan opini di dunia internasional, menjadi faktor yang akan mencegah, atau setidaknya membatasi negara lain untuk menggelar perang terbuka. Secara kebetulan, saat laporan ini ditulis, kasus blok Ambalat (Kaltim) muncul kembali, berupa provokasi dari kapal perang Malaysia. Kasus ini sempat memanas, hingga Panglima TNI sempat melontarkan wacana tentang kesiapan perang (terbuka), tentu saja itu lebih berupa gertakan, karena tak seorang pun yakin, bahwa perang dimaksud benar-benar terjadi. Isu Ambalat menjadi semakin kompleks, karena juga menjadi bahan kampanye para capres-cawapres yang akan berlaga pada pilpres Juli 2009. Yang ingin kami katakan, provokasi semacam itulah yang paling mungkin terjadi, bila terjadi konflik antarnegara, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Bila kemudian dihubungkan dengan rencana pembentukan Divif 3 lebih kepada upaya penangkalan (deterrent effect), program itu sebenarnya telah menemukan pijakannya. Terlebih bila kita ingat tentang kriteria ancaman, yang dikeluarkan institusi yang berwenang, dalam hal ini Dephan dan Mabes TNI, yang rumusannya bersifat generik. Maksudnya, dalam waktu berkala (umumnya tiap lima tahun) kriteria ancaman yang dimunculkan, tidak ada perubahan yang signifikan. Karena bersifat generik, kriteria itulah yang kemudian diadopsi oleh institusi atau komando pelaksana di bawahnya. 18 19 Rencana Sasaran Strategis TNI VI Tahun 1999-2003, Jakarta: Mabes TNI, 2001, hal 4-5. Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Jakarta: Dephan RI, 2003, hal 39-43 97 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Ancaman yang bersifat generik itu jugalah yang kemudian dijadikan argumentasi Letjen TNI Erwin Sujono, tentang perlunya pembentukan Divif 3 untuk proyeksi penugasan di kawasan timur Indonesia. 20 Ancaman yang bersifat generik dimaksud, antara lain adalah: a. Terorisme internasional yang memiliki jaringan lintas negara dan timbul di dalam negeri. b. Munculnya Gerakan Separatisme yang berusaha memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama gerakan separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia, seperti yang terjadi di wilayah Provinsi NAD, Papua dan Maluku. c. Aksi radikalisme yang berlatar belakang primordial etnis, ras dan agama serta ideologi di luar Pancasila, baik berdiri sendiri maupun memiliki keterkaitan dengan kekuatankekuatan di luar negeri. d. Konflik komunal, kendati pun bersumber pada masalah sosial ekonomi, namun dapat berkembang menjadi konflik antar suku, agama maupun ras dalam skala yang luas. e. Kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan barang, senjata, amunisi, dan bahan peledak, penyelundupan manusia, narkoba, pencucian uang dan bentuk-bentuk kejahatan terorganisir lainnya. f. Kegiatan imigrasi gelap yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan maupun loncatan ke luar negeri. g. Gangguan keamanan laut, seperti pembajakan dan perampokan, penangkapan ikan secara ilegal, pencemaran dan perusakan ekosistem. h. Gangguan keamanan udara, seperti pembajakan udara, pelanggaran wilayah udara dan terorisme melalui sarana transportasi udara. Dari sekian ancaman generik itu, mungkin hanya poin (b) dan (c) yang berkaitan langsung dengan lingkup penugasan Kostrad, setidaknya berdasarkan pengalaman selama ini, sementara selebihnya, kiranya menjadi wewenang institusi lain, seperti Polri, aparat imigrasi, aparat bea cukai, dan seterusnya. Ini artinya, keterkaitan antara ancaman dengan rencana pembentukan Divif 3, menjadi sangat longgar. Bahkan bisa dikatakan, ada atau tidak ada ancaman tersebut, Divif 3 tetap akan didirikan. Masalah utamanya hanyalah soal anggaran.21 Kalau kita ingat kembali tentang konsep gugus kendali segitiga (triangle), gagasan pembentukan Divif 3 senantiasa hidup, guna melengkapi dua divif yang sudah lebih dulu aktif. Kalau boleh memakai metafora dalam perilaku manusia, pembentukan Divif 3 telah menjadi obsesi (khususnya) di lingkungan AD. Saat menjabat 20 Erwin Sujono, “Sistem Penyelenggaraan Operasi Kostrad”, lihat www.tni.mil.id, 19 Desember 2006, pukul 16.08 WIB 21 Menurut seorang pamen Kostrad, yang menjabat sebagai Pabandya Ren, pada dasarnya Kostrad tidak memiliki anggaran yang otonom, jadi tergantung alokasi anggaran dari komando atau institusi di atasnya, dalam hal ini Mabes AD. Termasuk anggaran untuk membangun infrastruktur Divif 3, juga berasal dari alokasi Mabes AD. Saal berapa jumlah anggaran yang diperlukan untuk membangun infrastruktur dimaksud, setidaknya dalam kisaran berapa, narasumber kami keberatan untuk mengatakannya (wawancara dengan seorang Pamen Kostrad, Akmil 1990-an, pangkat letkol, 2 Juni 2009). 98 KOSTRAD KSAD, Jenderal TNI Djoko Santoso (kini Panglima TNI) pernah menyatakan, gagasan pembentukan Divif 3 Kostrad, sudah muncul sejak tahun 1980-an.22 Ada faktor lain yang sebenarnya turut andil dalam merealisasikan pembentukan satuan (baru), namun jarang dibahas secara terbuka, yakni kehendak kuat unsur pimpinannya. Pengalaman selama ini telah cukup memberi pelajaran, bahwa figur pimpinan turut menentukan, terbentuk tidaknya embrio sebuah satuan. Fenomena dominannya peran pimpinan, bisa dirujuk pada model kepemimpinan tradisional, yang memang masih mengakar dalam masyarakat kita, dan karenanya menjadi sulit mencari alasan logisnya, mengingat parameternya juga masih samar. Dalam sebagian masyarakat kita, masih terdapat pandangan, pemimpin adalah panutan, yang segala kehendaknya harus bisa diwujudkan, termasuk pimpinan di kalangan militer. Begitu pun pimpinannya, bagaimana determinasi dan sumberdaya pimpinan yang bersangkutan, ikut berbicara dalam upaya mewujudkan kehendak, termasuk kehendak membentuk sebuah satuan (baru). Soal determinasi dan sumberdaya inilah, yang menjadi kunci performa seorang pimpinan, dan pada gilirannya menjadi faktor penanda, antara figur pemimpin yang satu dengan figur pemimpin lainnya. Bila kita telusuri sejarah TNI AD, kita menemukan beberapa figur kuat, dalam arti saat menjadi komandan, banyak karya, baik yang bersifat pemikiran maupun (terutama) fisik, yang telah dihasilkannya. Dari segi waktu, ada pengalaman yang relatif masih baru, soal bagaimana peran pimpinan, sekadar contoh kita bisa menyebut dua nama mantan Pangkostrad: Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu dan Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto. Berdasar pengamatan pribadi, dua figur ini bila memiliki gagasan, pada umumnya bakal terwujud. Rentang waktu yang dibutuhkan, sejak gagasan itu dilontarkan, hingga benar-benar terwujud, relatif cepat secara umum tidak sampai setahun. Saat menjabat Pangkostrad (2000 – 2002), Ryamizard menelurkan program pembentukan satuan Tontaipur (peleton intai tempur). Dan kebiasaan Ryamizard dalam mewujudkan gagasan, berlanjut ketika menjadi KSAD, antara lain dengan membentuk batalyon raiders “gaya baru” (bedakan dengan raiders era Pangab Jenderal M. Jusuf dulu). Sementara Prabowo, mengingat masa jabatannya sebagai Pangkostrad tergolong singkat, untuk sementara belum ada catatan yang bisa diutarakan. Namun track record-nya saat menjadi Danjen Kopassus (Desember 1995-Maret 1998), bisa menjelaskan itu. Salah satu program skala besar yang lahir dari tangan Prabowo adalah reorganisasi Kopassus. Ada pula proyek lain, meski kemudian tidak berlanjut, yaitu rintisan pembentukan batalyon mekanis, yaitu satuan infanteri yang didukung panser ringan. Kemudian merintis pembentukan skadron helikopter, untuk keperluan operasi mobud (mobil udara). Agenda RSK Untuk Kostrad Sebagaimana diketahui, Kostrad memiliki dua garis komando atas, itu berkenaan dengan posisi Kostrad, masing-masing sebagai Kotama (Komando Utama) Pembinaan dan Kotama 22 www.detik.com, 12 September 2007, pukul 15.45 WIB 99 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Operasional. Sebagai Kotama Pembinaan, Kostrad berkedudukan di bawah KSAD, sementara sebagai Kotama Operasional, Kostrad berkedudukan di bawah Panglima TNI. Dalam konteks posisi Kostrad, dengan dua garis komando seperti itu, bagaimana kira-kira konsep Reformasi Sektor Keamanan (RSK) mesti dijalankan. Kalau kita kembalikan pada posisi Kostrad, maka perlu dilihat pula, sudah sejauh mana RSK dijalankan di tingkat Mabes AD, dan Mabes TNI (tempat Panglima TNI berkedudukan). Terlepas dari itu, tanpa perlu menunggu tuntasnya proses RSK pada komando atas Kostrad, ada satu komponen dari RSK, yang langsung bisa diuji atau diterapkan pada satuan pelaksana, seperti Kostrad ini. Komponen ini bisa menjadi parameter untuk menilai keberhasilan program RSK, yakni terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana, dalam hal ini TNI, dan lebih khusus lagi adalah Kostrad. Profesionalisme di sini bukan sekadar pada aspek teknis, namun juga mencakup pengembangan doktrin, patuh pada hukum, dan komitmen pada prinsip-prinsip demokrasi khususnya tunduk pada otoritas sipil yang dipilih dalam pemilu demokratis. Dapat dikatakan tujuan utama dari RSK adalah untuk membangun institusi yang profesional, dan berada di bawah kontrol sipil secara obyektif dan efektif, sehingga dapat berfungsi dengan baik dalam menjamin dan menciptakan keamanan bagi masyarakat atau negara, yang pada gilirannya menciptakan situasi kondusif bagi berlanjutnya proses pembangunan.23 Untuk pengembangan profesionalisme militer, perlu dilakukan agenda sebagai berikut : 1. Melaksanakan amanat UU TNI yang telah disahkan oleh DPR. 2. Penegakan disiplin di lingkungan prajurit TNI. 3. Meningkatkan jaminan kesejahteraan bagi para prajurit TNI dan anggota Polri. Ini merupakan agenda prioritas, mengingat mengharapkan profesionalisme militer dan polisi tanpa disertai pemenuhan kesejahteraan, adalah hal yang tidak realistis. Untuk pemangku kepentingan (stakeholder) yang lain, dalam hal ini Dephan (selaku penentu kebijakan) memiliki agenda tersendiri.24 Pertama, mengenai hubungan Dephan dan Mabes TNI, yang masih membutuhkan kejelasan dalam tatanan operasional. Kedua, perlu adanya pembangunan postur pertahanan yang sejalan dengan kebutuhan, tantangan, dan ancaman yang dihadapi dalam lima tahun mendatang (dan selalu di-up date). Ketiga, untuk peningkatan kekuatan, program pemerintah perlu diarahkan menuju modernisasi alutsista. Dalam hal ini peningkatan kemampuan, khususnya mobilitas, pengintaian dan penginderaan, serta kemampuan menghadapi konflik intensitas rendah (low intensity conflict). Sementara dalam hal penggelaran kekuatan, sudah saatnya disusun rencana penggelaran yang mengarah kepada terbentuknya kekuatan pertahanan yang terintegrasi (integrated forces). 23 Tentang konsep dan agenda RSK, lihat Rizal Sukma, “Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro (editor), Perspektif Baru Keamanan Nasional, Jakarta:CSIS, 2005. 24 Kusnanto Anggoro, “Transformasi Dephan RI”, dalam Beni Sukadis dan Eric Hendra (editor), Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Jakarta: Lesperssi, IDSPS, HRWG, DCAF, 2008. 100 KOSTRAD Penerapan Reformasi Sektor Keamanan di Kostrad, dalam hal profesionalisme tetap bisa dijalankan, tanpa harus menunggu proses RSK di tingkat Mabes TNI dan Mabes AD, dan lagi etos profesionalisme sudah inheren di antara anggota TNI umumnya. Untuk itu perlu dukungan anggaran dan infrastruktur yang memadai, dengan catatan pemanfaatannya harus transparan dan akuntabel. Pada titik ini, komponen RSK lain, yaitu tentang pengawasan (oversight) dengan sendirinya berlaku, yang bisa dijalankan oleh pemangku kepentingan lain, seperti CSO dan parlemen.25 Penutup Ketika sedang melakukan riset dan menulis tulisan ini, beberapa pesawat TNI berjatuhan, yang juga mengakibatkan tewasnya sejumlah prajurit terlatih, di antaranya seorang pati dan seorang kolonel. Artinya, TNI (juga bangsa ini) telah kehilangan SDM terlatih, dengan begitu, biaya yang pernah dikeluarkan untuk melatih personel tersebut menjadi hilang sia-sia. Kerugian dari tewasnya seorang perwira terlatih seperti Kol. Inf. Ricky Samuel (Komandan Pusdikpassus, Akmil 1986) menjadi berlipat-lipat, mengingat dia seorang instruktur senior, yang seharusnya bisa mencetak prajurit-prajurit terlatih lain secara berkelanjutan dan dalam jangka panjang. Singkatnya, etos profesionalisme saja ternyata tidak mencukupi, dia harus didukung faktor lain yang berkorelasi langsung, yaitu aspek kesejahteraan dan infrastruktur (peralatan, kurikulum pendidikan, kesempatan pendidikan, dan seterusnya). Dalam kasus gugurnya Kolonel Ricky, juga gugurnya perwira yang lain, etos profesionalisme seolah “dikalahkan” oleh alutsista yang kurang layak. Begitu juga bila aspek kesejahteraan terabaikan, akibatnya akan merugikan banyak pihak, seperti ditunjukkan oleh peristiwa “pemberontakan” anggota Yonif 751/BS (Sentani, Jayapura), akhir April 2009 lalu. Arah pembangunan kekuatan TNI, seperti pembentukan Divif 3 tersebut, adalah terwujudnya kemampuan pertahanan yang memiliki daya tangkal dari kemungkinan ancaman, juga untuk meningkatkan posisi tawar, setidaknya di tingkat regional. Luasnya wilayah yang menjadi tanggung jawab TNI, masih belum diimbangi dengan gelar kekuatan yang ada, di mana gelar kekuatan masih terpusat di Pulau Jawa, yang menyebabkan ketimpangan kekuatan di luar Pulau Jawa. Rencana pembentukan Divif 3, yang markas dan penempatan pasukannya berada di luar Jawa, bisa dibaca sebagai cara TNI AD dalam mencari jalan, bagaimana agar TNI tetap memiliki daya tangkal dan posisi tawar dimaksud, di tengah keterbatasan alutsista dan gelar kekuatan, termasuk keterbatasan kesejahteraan prajurit sekalipun. < 25 Untuk proses RSK di TNI, lihat Al Araf “Tentara Nasional Indonesia”, dalam Beni Sukadis, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, Jakarta: Lesperssi dan DCAF, 2007. 101 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Lampiran 1. PEJABAT MARKAS KOSTRAD NO NAMA PEJABAT 1 Pangkostrad Letjen TNI George Toisutta 2 Kaskostrad Mayjen TNI Markus Kusnowo 3 Ir Kostrad Kolonel Inf Adi Mulyono 4 Asisten Intelejen Kolonel Inf Abdurahman Kadir 5 Asisten Operasi Kolonel Inf B. Zuirman 6 Asisten Personil Kolonel Inf Hari Mulyono, SE, MM 7 Asisten Logistik Kolonel Inf Sugiharto 8 Asisten Perencanaan Kolonel Inf Endro Warsito 9 Asisten Teritorial Kolonel Inf Toto Endraharto 10 LO TNI AL Kolonel Laut Agus Subagyo, SE. 11 LO TNI AU Kolonel Penerbang R.A Rasyid Djauhari 12 Danpom Kostrad Kolonel Cpm Firman Achmadi 13 Kazi Kostrad Kolonel Czi Syafrudin 14 Kahub Kostrad Letkol Chb Rachmanuddin Taufiq 15 Kapal Kostrad Kolonel Cpl Dwi Atmadja Prabawa 16 Kabekang Kostrad Kolonel Cba Iman Suroso 17 Kakes Kostrad Kolonel Ckm dr. Soegiarto S, Sp.KJ 18 Kaajen Kostrad Kolonel Caj Drs. Sumirat Kriswasana 19 Kaku Kostrad Kolonel Cku Drs. Sofyan Yusuf Durakhman 20 Kakum Kostrad Kolonel Chk Drs. Amran Amat, SH 21 Kepuskopad "A" Kostrad Kolonel Inf Bustanul Arifin 22 Kapen Kostrad Letkol Inf Husni 23 Kabintal Kostrad Kolonel Inf Achmad Sholeh 24 Kainfolahta Kostrad Letkol Chb Djanus Purba Girsang, SM 25 Kajasmil Kostrad Mayor Inf Soeparjo Andi S. 26 Kasandi Kostrad Mayor Inf Herry Isnaini 27 Kasetum Kostrad Mayor Caj Drs. Leo Franciskus, M.S.I. 28 Dandenma Kostrad Mayor Kav Abdul Rahman Sugianto 29 Panglima Divif-1/Kostrad Mayjen TNI Hatta Syarifudin 30 Kepala Staf Divif-1 Brigjen TNI Waris 31 Panglima Divif-2/Kostrad Mayjen TNI Zahari Siregar 32 Kepala Staf Divif-2 Brigjen TNI Gatot Nurmantio Sumber: www.tniad.mil.id (daftar pejabat Kostrad di atas per Juni – Juli 2009). 102 KOSTRAD Daftar Pustaka Al Araf “Tentara Nasional Indonesia”, dalam Beni Sukadis (editor), Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, Jakarta: Lesperssi dan DCAF, 2007. Erwin Sujono (Letjen TNI), “Sistem Penyelenggaraan Operasi Satuan Kostrad”, lihat www.tni.mil.id, 19 Desember 2006. Himawan Soetanto, Yogyakarta, Jenderal Spoor (Operatie Kraai) versus Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No.1), Jakarta: Gramedia, 2006. Kiki Syahnakri, Aku Hanya Tentara, Jakarta: Kompas, 2009. Kusnanto Anggoro, “Transformasi Dephan RI”, dalam Beni Sukadis dan Eric Hendra (editor), Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Jakarta: Lesperssi, IDSPS, HRWG, DCAF, 2008. Rencana Sasaran Strategis TNI VI Tahun 1999-2003, Jakarta: Mabes TNI, 2001 Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Jakarta: Dephan RI, 2003 Rizal Sukma, “Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro (editor), Perspektif Baru Keamanan Nasional, Jakarta:CSIS, 2005. The New York Times 2004 Almanac, Penguin Reference, 2003 Tiga Puluh Tahun Bakti Divisi Infanteri 2/Kostrad 1961-1991, Malang: Mako Divif 2 Kostrad, 1991. Vademikum Seskoad, Bandung: Seskoad, 1997. 103 Armada Republik Indonesia: Kini dan Ke Depan Armada Republik Indonesia: Kini dan Ke Depan Alman Helvas Ali 1 Pendahuluan Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan terletak pada posisi strategis di Asia Tenggara, Indonesia mempunyai tanggung jawab besar terhadap stabilitas kawasan Asia Tenggara. Sebab dua pertiga kawasan Asia Tenggara merupakan perairan yurisdiksi Indonesia, sehingga stabilitas keamanan, khususnya keamanan maritim, sangat ditentukan pula oleh kinerja TNI Angkatan Laut. Terlebih dalam era globalisasi, Indonesia mempunyai tanggung jawab internasional untuk menjamin stabilitas kawasan, khususnya pada domain maritim, sebab laut merupakan tulang punggung perekonomian dunia. Terkait dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan tinjauan terhadap TNI Angkatan Laut, khususnya Armada RI yang menjadi tulang punggung utama kekuatan operasionalnya. Tulisan ini akan mengulas tentang kedudukan Armada RI dalam arsitektur pertahanan nasional Indonesia, peran dan tantangan tugas yang dihadapi Armada RI dalam menjamin kepentingan nasional Indonesia sekaligus stabilitas kawasan dan pengembangan armada ke depan. Sejarah dan Kedudukan Armada RI Dalam Arsitektur Pertahanan Walaupun TNI Angkatan Laut telah dibentuk pada 1945 yang cikal bakalnya adalah Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut pada 10 September 1945 berdasarkan keputusan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), namun penataan organisasi sesuai dengan organisasi Angkatan Laut modern baru dapat terlaksana pada 1950. Pasca Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada 27 Desember 1949 yang mengakui kedaulatan Indonesia atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda (kecuali Irian Barat), Koninklijke Marine (Angkatan Laut Belanda) melaksanakan penyerahan kekuatan, tugas dan tanggung jawab kepada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 28 Desember 1949 di Surabaya. Di antara penyerahan yang dilakukan adalah penyerahan material sejumlah kapal perang dan berbagai peralatan tempur untuk Korps Marinir, termasuk tank. Khusus untuk kapal perang, pembinaannya berada di bawah Komando Daerah Maritim Surabaya (KDMS), sebab kekuatan saat itu belum cukup untuk membentuk suatu Armada. Selanjutnya pada Juli 1953 berdasarkan Keputusan KSAL No.A.5/3/23 dibentuk Eskader ALRI, yang terdiri dari empat kapal perusak hasil serah terima material dari Koninklijke Marine. 2 Antara periode 1953-1959, ALRI melaksanakan konsolidasi kekuatan dengan melakukan pengadaan sejumlah besar alutsista, baik kapal perang, pesawat udara maupun material 1 Alman Helvas Ali, adalah peneliti keamanan maritim di FKPM, Jakarta. Gatot Sudarto (etall), 60 Tahun TNI Angkatan Laut Mengabdi. Jakarta: Dinas Penerangan Angkatan Laut, 2005, hal.50 2 104 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 tempur Korps Marinir. Dengan semakin besarnya kekuatan yang dimiliki oleh ALRI, maka berdasarkan Surat Keputusan KSAL No.A.4/2/10 tanggal 14 September 1957 ditetapkan organisasi Komando Armada ALRI. Peresmiannya dilaksanakan pada 5 Desember 1959 di Pangkalan Angkatan Laut Ujung, Surabaya, yang mana Armada ALRI membawahi satuan kapal perang berdasarkan jenisnya. 3 Menyusul validasi organisasi Departemen Angkatan Laut pada Februari 1963, Armada ALRI mengalami reorganisasi menjadi Komando Armada (Koarma) berdasarkan Surat Keputusan Men/Pangal No.5401.48 tanggal 1 Desember 1963. 4 Selanjutnya pada 5 Desember 1966 Koarma berganti menjadi Komando Armada Samudera (Koarsam/Ocean Fleet Command) dan Komando Armada Nusantara (Koartara/Archipelagic Fleet Command). 5 Koarsam merupakan kekuatan strategis ALRI untuk menunjang tugas-tugas pertahanan keamanan terhadap ancaman musuh dari luar, sedangkan Koartara merupakan kekuatan kewilayahan yang bertugas untuk mengatasi masalah di dalam negeri. Selanjutnya berdasarkan Instruksi KSAL No.5401.14 tahun 1970 dilaksanakan konsolidasi dan reorganisasi ALRI sehingga Koarsam dan Koartara disatukan menjadi Komando Armada RI (Republic of Indonesia Fleet). 6 Dalam melaksanakan tugasnya, Armada RI membentuk Eskader Barat (Western Escadre) dan Eskader Timur (Eastern Escadre), yang pada 1979 keduanya dilebur menjadi Eskader Nusantara (Archipelagic Escadre). Dengan terjadinya reorganisasi ABRI pada 1984, maka berdasarkan Skep Pangab No.Kep/09/P/III/1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur TNI Angkatan Laut, maka dibentuk Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar/Republic of Indonesia Western Fleet) yang bermarkas di Jakarta dan Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim/ Republic of Indonesia Eastern Fleet) yang bermarkas di Surabaya. Hal itu berlaku hingga sekarang, yang mana Armada RI terdiri dari dua armada kawasan. Wilayah tanggung jawab (area of responsibility) Koarmabar meliputi sebagian perairan di sekitar Pulau Jawa, seluruh perairan yang mengelilingi Pulau Sumatera dan perairan di sekitar Kalimantan Barat hingga Laut Cina Selatan. Adapun wilayah tanggung jawab Koarmatim mencakup sebagian perairan Pulau Jawa dan seluruh perairan Indonesia lainnya di wilayah tengah dan timur. Baik Koarmabar maupun Koarmatim merupakan Komando Utama Pembinaan dan Operasional (Kotama Binops). Dalam aspek personel dan material, pembinaan Armada RI merupakan kewenangan Kasal. Sedangkan untuk aspek operasional, deployment and employment-nya berada di bawah kewenangan Panglima TNI. Hal ini mengacu pada pola pembinaan dan operasi yang dianut oleh TNI, yang mana Mabesal merupakan pembina kekuatan operasional, sedangkan Mabes TNI merupakan pengguna kekuatan operasional. Koarmabar maupun Koarmatim dipimpin oleh seorang Panglima berpangkat Laksamana Muda (Rear Admiral) dan dibantu oleh seorang Kepala Staf Armada berpangkat Laksamana 3 4 5 6 Ibid, hal.69 Ibid, hal.70 Ibid, hal.75 Ibid 105 Armada Republik Indonesia: Kini dan Ke Depan Pertama (Commodore), seorang Inspektur Armada dan lima orang Asisten yang semuanya berpangkat Kolonel (Captain) beserta sejumlah staf lainnya. Kedua Panglima Armada juga membawahi sejumlah Pangkalan Angkatan Laut, yang klasifikasinya terdiri dari Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal/Naval Main Base) dan Pangkalan Angkatan Laut (Lanal/Naval Base). Selain itu, terdapat pula Pos Pengamatan Angkatan Laut (Posal/Naval Surveillance Post) yang belasan di antaranya dilengkapi dengan radar pengamatan maritim (maritime surveillance radar) bantuan dari Amerika Serikat. Untuk kepentingan operasional, di dalam Koarmabar maupun Koarmatim terdapat Gugus Keamanan Laut (Guskamla/Sea Security Task Force) dan Gugus Tempur Laut (Guspurla/Sea Battle Task Force). Kedua Gugus Tugas dipimpin oleh seorang Laksamana Pertama, yang mana dalam operasional menerima unsur-unsur siap operasi dari satuan-satuan kapal perang berdasarkan jenis kapal. Untuk struktur organisasi Armada RI, lihat tabel berikut. KOARMADA STAF SINTEL SOPS IT SPERS SLOG SATKOR DISKOMLEK DISKUM DISPROV SATSEL SATFIB SPRI SRENA DENMA MAKO SETUM DISPEN SAHLI PUSKODAL DISLAMBAIR DISMATBEK SATKAT DISPOTMAR DENINTEL DISHARKAP SATRAN SATROL GUSPURLA GUSKAMLA DISMINPERS DISKU SATBAN DISKES DISINFO LAHTA SATPASKA WINGUD KOLAT LANTAMAL * Struktur ini masih menempatkan Wing Udara di bawah Koarmada Tugas pokok Koarmabar maupun Koarmatim selaku Kotama Binops adalah membina kemampuan Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT/Integrated Fleet Weapon System), membina potensi maritim menjadi kekuatan pertahanan keamanan negara di laut, melaksanakan operasi laut sehari-hari (regular naval operations) dan operasi tempur laut (naval battle operations) untuk pengendalian dan proyeksi kekuatan ke darat lewat laut (to control the sea and power projection from the sea to land) dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum di laut. SSAT yang dianut oleh TNI Angkatan Laut terdiri dari kapal perang, pesawat udara, pangkalan dan Korps Marinir. Dalam perkembangan terakhir, pembinaan pesawat udara beserta semua 106 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Pangkalan Udara Angkatan Laut (Lanudal/Naval Air Station) dialihkan kepada Pusat Penerbangan Angkatan Laut (Pusnerbal/Naval Aviation Center). Adapun operasional pesawat udara Angkatan Laut, komando dan kendalinya diserahkan kepada Armada, yang mana terdapat pesawat-pesawat udara yang di-attach di Armada. Sedangkan pembinaan Korps Marinir kini sepenuhnya berada pada Korps Marinir itu sendiri, padahal di masa lalu terdapat Satuan Marinir Armada (Satmararma/Fleet Marine Corps) yang berada di bawah komando dan kendali Armada. Dengan demikian, Koarmabar/Koarmatim hanya membina unsur kapal perang beserta pangkalan Angkatan Laut. Selain satuan kapal perang berdasarkan jenisnya, Koarmabar/Koarmatim juga membawahi Satuan Komando Pasukan Katak (Kopaska/Frogman) yang tugas pokoknya adalah demolisi bawah air (underwater demolition) dan reckon. Satuan ini juga mempunyai kemampuan untuk melakukan counter-terrorism aspek maritim. Sebagai bagian dari TNI Angkatan Laut, Koarmabar/Koarmatim melaksanakan peran Angkatan Laut (Naval role). Peran Angkatan Laut yang bersifat universal ada tiga, yaitu militer, konstabulari dan diplomasi. Peran militer Angkatan Laut terkait dengan penegakan kedaulatan negara di laut melalui operasi tempur laut. Peran ini akan menonjol apabila ada konflik militer dengan negara lain. Peran konstabulari Angkatan Laut merupakan peran penegakan hukum di laut, yang mana kapal perang berhak menegakkan hukum mulai dari perairan pedalaman hingga laut lepas, berdasarkan hukum internasional. Penting untuk dipahami bahwa peran konstabulari merupakan peran yang hanya dimiliki oleh Angkatan Laut di seluruh dunia dan tidak dipunyai oleh Angkatan Darat dan Angkatan Udara. Peran ini memang unik dan sama sekali bukan bentuk dari bantuan militer kepada pemerintahan sipil. Peran diplomasi merupakan peran Angkatan Laut yang terkait dalam hubungan dengan negara lain. Peran ini di abad silam dikenal sebagai gun boat diplomacy, yang mana kekuatan Angkatan Laut disebarkan (deploy) ke perairan tertentu dengan tujuan untuk mempengaruhi sikap politik negara lain yang menjadi sasaran penyebaran. Sebab dalam hubungan antar negara, sikap politik seringkali harus ditopang oleh penggelaran kekuatan militer yang tidak selamanya dimaksudkan untuk tujuan perang, tetapi lebih pada kepentingan diplomasi. Dalam praktek saat ini, Koarmabar/Koarmatim lebih banyak melaksanakan peran konstabulari, disusul peran militer dan peran diplomasi. Kondisi itu tidak lepas dari kondisi lingkungan keamanan, seperti ancaman dan tantangan keamanan yang lebih banyak berasal dari aktor non negara. Walaupun demikian bukan berarti Koarmabar/Koarmatim tidak melaksanakan peran militer dan peran diplomasi, hanya saja porsinya lebih kecil. Peran militer yang paling menonjol adalah patroli di wilayah sengketa maritim Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi (Blok Ambalat). Sedangkan peran diplomasi selain penyebaran beberapa kapal perang ke beberapa negara di kawasan Asia Tenggara untuk showing the flags, juga penyebaran kapal korvet KRI Diponegoro-365 ke Lebanon dalam UNIFIL Maritime Task Force. 107 Armada Republik Indonesia: Kini dan Ke Depan Kesiapan Operasional Dengan wilayah tanggung jawab (area of responsibility) yang meliputi dua pertiga kawasan Asia Tenggara, merupakan suatu tantangan tersendiri bagi Armada RI untuk melaksanakan tugas pokoknya. Di kawasan Asia Tenggara, tidak ada armada Angkatan Laut yang mempunyai wilayah tanggung jawab yang begitu luas, kecuali Armada RI. Namun di sisi lain, kemampuan untuk menggelar kehadiran kapal perang di laut (naval presence) akan sangat terkait pula dengan dukungan logistik yang tersedia. Penggunaan kekuatan Armada RI dilakukan untuk melaksanakan fungsi militer, diplomasi dan konstabulari. Dalam operasional sehari-hari, penggunaan kekuatan dilakukan dengan mengacu pada kebijakan penggunaan kekuatan yang dikeluarkan oleh Panglima TNI. Bentuknya diwujudkan melalui upaya penghadiran kekuatan Armada RI di perairan rawan selektif dalam bentuk operasi laut sehari-hari dan operasi tempur laut untuk menciptakan pengendalian laut dan proyeksi kekuatan. Penggunaan kekuatan untuk mendukung strategi tersebut berpedoman pada employment cycle 30%:30%:30%. Dengan memperhitungkan jumlah KRI beserta kondisinya serta perincian rasio melaut sebesar 2/3, maka didapatkan proyeksi jam layar total per bulannya. Namun dalam prakteknya, employment cycle seringkali tidak tercapai karena tingginya kebutuhan operasi yang mempengaruhi jadwal pemeliharaan dan perbaikan kapal perang. Kebutuhan operasional yang tinggi menuntut penggelaran kekuatan di berbagai wilayah perairan. Dengan keterbatasan alutsista, penggelaran kekuatan di laut sebagian dititikberatkan pada daerah rawan selektif, seperti Selat Malaka, Laut Sulawesi (termasuk Blok Ambalat), Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI/Archipelagic Sea Lanes), Laut Natuna, Laut Timor, Laut Arafuru dan wilayah perbatasan lainnya. Wilayah-wilayah perairan itu mendapat perhatian khusus karena kerawanannya, baik adanya sengketa batas maritim (maritime border disputes), pembajakan dan perompakan di laut (piracy and armed robbery), pencurian sumber daya alam dan lain sebagainya. Tingkat kehadiran unsur-unsur kapal perang di laut (naval presence) yang selalu mendekati atau bahkan melampaui jam layar yang ditetapkan, hal itu berpengaruh pula pada kegiatan pelanggaran kedaulatan dan hukum di laut. Kecuali kasus perompakan, kasus lainnya seperti pencurian sumber daya alam masih terus terjadi. Begitu pula dengan kapal perang asing yang melintas perairan yurisdiksi yang seringkali melakukan kegiatan-kegiatan yang seharusnya terlarang dilakukan ketika melaksanakan lintas damai (innocent passage). Hal itu tidak dapat dilepaskan dengan kebijakan pertahanan pemerintah, khususnya ketersediaan anggaran. Terlebih lagi dalam Tahun Anggaran 2008 dan 2009, pemerintah melakukan pengurangan anggaran pertahanan dengan alasan krisis ekonomi. Dengan diberlakukannya pengurangan anggaran, secara tidak langsung mempengaruhi pula kehadiran unsur kapal perang di laut. Tingkat kesiapan operasional kapal perang sangat terpengaruh dengan kebijakan tersebut, padahal di sisi lain pelanggaran kedaulatan dan hukum di laut masih terus terjadi. 108 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Secara garis besar, anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk Armada RI merupakan anggaran rutin bagi kepentingan pembinaan dan operasi, sesuai dengan status Armada RI sebagai Kotama Binops. Dengan berstatus sebagai Kotama Binops, anggaran yang diterima oleh Armada RI berasal dari dua sumber, yaitu Mabes TNI Angkatan Laut dan Mabes TNI. Anggaran dari Mabes TNI Angkatan Laut diperuntukkan bagi kegiatan rutin di Armada, khususnya pemeliharaan kapal perang dan operasi laut rutin di laut. Sedangkan anggaran dari Mabes TNI khusus diperuntukkan bagi kegiatan operasi laut yang dibiayai oleh Mabes TNI. Penting untuk diketahui bahwa dalam operasi laut yang dilaksanakan oleh Armada RI, secara garis besar terbagi dalam dua jenis. Pertama adalah operasi laut yang rutin dilaksanakan oleh TNI Angkatan Laut, seperti operasi keamanan laut yang rutin digelar di semua perairan yurisdiksi Indonesia. Kedua yaitu operasi laut khusus yang digelar oleh Mabes TNI, misalnya Operasi Balat Sakti yang digelar di Laut Sulawesi (Ambalat) dan Operasi Pengamanan Selat Malaka. Jenis operasi pertama sepenuhnya dibiayai oleh anggaran dari Mabes TNI Angkatan Laut, sedangkan jenis operasi kedua dibiayai oleh anggaran khusus dari Mabes TNI. Pada tahun 2009, anggaran yang diperuntukkan bagi Koarmatim sebesar Rp. 283 milyar, adapun Koarmabar mendapat dana sebesar Rp. 230 milyar. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan anggaran tahun-tahun sebelumnya. Dengan besaran anggaran demikian yang disediakan oleh pemerintah, Armada RI diserahi tanggung jawab untuk memelihara 145 kapal perang (KRI/Kapal Perang RI) dari berbagai jenis dan ratusan Kapal Angkatan Laut (KAL/Naval Ship), selain menggelar operasi laut rutin. Sedangkan untuk kepentingan modernisasi kekuatan, sumber anggarannya berasal dari anggaran pertahanan di Departemen Pertahanan, tidak berasal dari anggaran Armada RI. Dengan demikian, anggaran bagi Armada RI sebagian besar hanya diperuntukkan bagi kepentingan pemeliharaan kapal perang dan operasi laut. Kalau dihitung dari nilai ideal, tentu saja anggaran yang selama ini dikucurkan oleh pemerintah bagi Armada RI masih jauh dari cukup. Menyangkut susunan tempur (order of battle), Koarmabar/Koarmatim masih didominasi oleh kapal perang dengan usia di atas 30 tahun, baik kapal selam, kapal fregat, kapal korvet, kapal amfibi, kapal bantu maupun pesawat udara. Upaya modernisasi kekuatan Armada RI berjalan kurang lancar karena komitmen pemerintah yang kurang berpihak kepada pengembangan Angkatan Laut. Sebagai contoh, rencana pengadaan kapal selam yang masuk dalam Perencanaan Strategis (Renstra/Naval Strategic Planning) TNI Angkatan Laut 2005-2009 sampai saat ini belum menemukan titik terang karena berbelitnya proses di Departemen Pertahanan dan Departemen Keuangan. Apabila mengacu pada Postur Pertahanan Negara 2010-2029 yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan, hingga 2029 penambahan kekuatan pemukul Armada RI tidak terlalu signifikan. Pada sisi lain, setiap tahun jumlah kapal perang yang usianya menua 109 Armada Republik Indonesia: Kini dan Ke Depan semakin bertambah. Kondisi ini diprediksi akan menimbulkan masalah serius pada sekitar 2015-2020 apabila pemerintah tidak menempuh crash program untuk modernisasi kekuatan Armada RI. Masalah serius tersebut bukan saja menyangkut kemampuan untuk mengamankan perairan yurisdiksi Indonesia, tetapi juga untuk mengimbangi pembangunan kekuatan laut negaranegara lain di sekitar Indonesia. Meskipun pembangunan kekuatan laut negara-negara itu tidak ditujukan untuk mengancam Indonesia, akan tetapi secara langsung maupun tidak langsung akan memunculkan implikasi operasional di laut. Sebab Indonesia berkepentingan untuk mengamankan kepentingan nasionalnya pada domain maritim terhadap segala macam ancaman dan tantangan. Kerjasama Internasional Sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia terhadap stabilitas kawasan, TNI Angkatan Laut sejak tahun 1970-an menjalin beragam kerjasama dengan Angkatan Laut negara-negara di sekitar Samudera India dan Samudera Pasifik. Bentuk kerjasama itu meliputi patroli terkoordinasi (coordinated patrol), latihan bersama (combined naval exercise), pertukaran perwira (naval officer exchange), information sharing dan lain sebagainya. Kerjasama Angkatan Laut yang sudah terjalin selama ini antara TNI Angkatan Laut dengan Angkatan Laut di kawasan meliputi dengan Tentera Laut Diraja Brunei (Royal Brunei Navy), Tentera Laut Diraja Malaysia (Royal Malaysian Navy), dan Indian Navy. Selain itu, tengah dirintis kerjasama baru antara TNI Angkatan Laut dengan Japan Maritime Self Defense Force dan People's Liberation Army-Navy (PLA N). Kerjasama internasional yang dijalin dengan TNI Angkatan Laut dengan Angkatan Laut negara-negara Asia Pasifik tidak lepas dari lingkungan keamanan (security environment) kawasan yang penuh tantangan. Tantangan itu sebagian terkait dengan domain maritim, seperti isu keamanan maritim, proliferasi senjata pemusnah massal (proliferation of weapons of mass destruction), keamanan energi dan lain sebagainya. Dalam era globalisasi saat ini, ketidakamanan terhadap satu di negara akan berdampak pula terhadap negara-negara lain di kawasan yang sama, bahkan bisa pula di kawasan yang jauh. Di situlah pentingnya kerjasama antar Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik untuk merespon dinamika yang berkembang dengan cepat. Dalam hal kerjasama, Koarmabar/Koarmatim merupakan unsur pelaksana mengikuti kebijakan yang digariskan oleh Departemen Pertahanan, Mabes TNI dan Mabes Angkatan Laut. Sebagai unsur pelaksana, Koarmabar/Koarmatim menyiapkan kekuatan yang akan disebarkan untuk melakukan kerjasama. Kekuatan itu meliputi kapal perang dan pesawat udara, di samping tentu saja para pengawaknya. Salah satu kerjasama internasional yang dijalin oleh TNI Angkatan Laut yang berkontribusi signifikan terhadap stabilitas keamanan kawasan adalah Malacca Strait Security Patrol (MSSP). Kerjasama ini berbentuk patroli terkoordinasi yang melibatkan tiga Angkatan Laut, 110 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 yaitu TNI Angkatan Laut, Tentera Laut Diraja Malaysia dan Republic of Singapore Navy untuk menjamin keamanan maritim di Selat Malaka dari ancaman pembajakan dan perompakan di laut. Kegiatan patroli yang berlangsung 24 jam x 365 hari itu, terhitung sejak dimulai 20 Juli 2004 mampu menekan ancaman pembajakan dan perompakan di salah satu choke point terpadat di dunia itu dan pencapaiannya telah diakui oleh dunia internasional. Misalnya pencabutan status war zone terhadap Selat Malaka oleh Lloyd Insurance, London pada Mei 2006. Pulihnya kerjasama pertahanan Indonesia-Amerika Serikat turut berkontribusi pada kerjasama antar kedua Angkatan Laut. Sejak beberapa tahun silam, TNI Angkatan Laut telah rutin melaksanakan latihan rutin tahunan dengan U.S. Pacific Command, khususnya U.S. Pacific Fleet, masing-masing bertajuk CARAT, SEACAT, Flash Iron dan Latern Iron. Latihanlatihan tersebut ditujukan untuk saling tukar pengalaman dan juga peningkatan kapasitas (capacity building) guna menghadapi ancaman dan tantangan terhadap domain maritim, khususnya isu terorisme maritim dan pembajakan dan perompakan di laut. Pengembangan Organisasi Dan Kekuatan Ke Depan Sejak terjadinya Reformasi TNI pada 1998, muncul beberapa pemikiran dari internal TNI Angkatan Laut untuk melakukan validasi organisasi Koarmabar dan Koarmatim. Pemikiran pertama muncul di era Kasal Laksamana TNI Achmad Sutjipto (1999-2000), yaitu pembentukan armada bernomor (numbered fleet) yang pembagiannya berdasarkan tiga ALKI. Waktu itu direncanakan pembentukan tiga armada bernomor yang berada di bawah Armada RI yang bertindak sebagai armada induk/armada besar. Dalam gagasan tersebut, Koarmabar dan Koarmatim akan diubah menjadi armada bernomor, selanjutnya akan dibentuk lagi satu armada bernomor. Terjadi pergantian tampuk kepemimpinan TNI Angkatan Laut pada 2000 membuat gagasan armada bernomor tidak dapat direalisasikan. Kemudian pada 2004 ketika Kasal dijabat oleh Laksamana TNI Bernard K. Sondakh (2002-2005), gagasan serupa dimunculkan lagi dengan sejumlah modifikasi. 7 Substansinya adalah penyatuan Koarmabar dengan Koarmatim menjadi Armada RI, yang mana armada tersebut membawahi beberapa armada kawasan. Namun upaya itu belum berhasil karena tidak mendapat persetujuan dari Mabes TNI. Laksamana TNI Slamet Soebijanto (2005-2007) sebagai Kasal berikutnya kembali berupaya keras menggolkan validasi Koarmabar dan Koarmatim menjadi Armada RI. 8 Armada RI dirancang mempunyai tiga armada kawasan, yaitu Komando Armada RI Kawasan Barat, Komando Armada RI Kawasan Tengah dan Komando Armada RI Kawasan Timur. Ketiga markas Armada Kawasan direncanakan berada di luar Pulau Jawa, sedangkan Markas Komando Armada RI berada di Surabaya. Akan tetapi lagi-lagi rencana itu tidak disetujui oleh Mabes TNI dengan beragam alasan. 7 Markas Besar Angkatan Laut, Blue Print TNI Angkatan Laut 2013. Jakarta, 2004 8 Markas Besar Angkatan Laut, Rancangan Postur TNI Angkatan Laut 2005-2024. Jakarta, 2005 111 Armada Republik Indonesia: Kini dan Ke Depan Sejauh ini, validasi organisasi yang berhasil terkait dengan Koarmabar dan Koarmatim adalah pengembangan Lantamal, yang digagas sejak kepemimpinan Laksamana TNI Bernard K. Sondakh dan dilanjutkan oleh para penerusnya. Apabila pada 2004 hanya terdapat lima Lantamal yang berada di bawah kedua armada, kini jumlahnya telah menjadi 11 Lantamal sesuai dengan yang direncanakan oleh Mabes Angkatan Laut. Pengembangan Lantamal baru antara lain Lantamal II Padang, Lantamal IV Tanjung Pinang, Lantamal VII Kupang, Lantamal VIII Manado, Lantamal IX Ambon dan Lantamal XI Merauke. Pengembangan Lantamal dalam beberapa tahun terakhir lebih diarahkan ke kawasan Indonesia Timur yang rawan akan ancaman konflik internal dan maupun konflik dengan negara lain menyangkut isu penggunaan laut. Untuk validasi armada ke depan, nampaknya masih menunggu lampu hijau dari Departemen Pertahanan dan Mabes TNI. Sebab Departemen Pertahanan sebagai otoritas kebijakan pertahanan telah mencanangkan Kebijakan Tri Matra Terpadu (Integrated Tri Services Policy) dalam pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia ke depan. Akan tetapi bagaimana cetak biru kebijakan itu hingga kini belum jelas. Menyangkut pengembangan kekuatan Koarmabar/Koarmatim di masa depan, senantiasa mengacu pada Renstra TNI Angkatan Laut. Seperti telah disinggung sebelumnya, beberapa program dalam Renstra TNI Angkatan Laut 2005-2009 hingga saat ini belum terealisasi, khususnya yang berkaitan dengan pengadaan kapal perang untuk modernisasi susunan tempur armada. Mengingat bahwa kondisi alutsista TNI Angkatan Laut yang mengisi susunan tempur Koarmabar/Koarmatim sebagian besar sudah di atas usia 30 tahun sehingga efektivitas operasionalnya menurun, baik dalam Renstra TNI Angkatan Laut 2005-2009 maupun nantinya 2010-2014, modernisasi kapal perang merupakan salah satu prioritas utama. Akan tetapi bagaimana realisasi hal tersebut, semuanya terpulang kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI Angkatan Laut. Dengan semakin banyaknya tantangan pada domain maritim, maka maritime domain awareness (MDA) merupakan kemampuan mutlak yang harus dipunyai. Peningkatan kemampuan maritime domain awareness kini juga menjadi salah satu prioritas dalam pengembangan kekuatan Koarmabar/Koarmatim, sebab penguasaan kemampuan itu akan berkontribusi besar pada pola gelar operasi maupun keberhasilannya. Pembangunan sejumlah radar pengamatan maritim seperti telah dijelaskan sebelumnya merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan maritime domain awareness. Keterkaitan Dengan Security Sector Reform Dikaitkan dengan Security Sector Reform, sebagai Kotama Operasional maka penekanannya lebih pada peningkatan profesionalisme satuan. Peningkatan profesionalisme Armada RI tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terkait dengan anggaran yang disediakan oleh pemerintah dan kualitas sumber daya manusia. Anggaran yang disediakan oleh pemerintah akan mempengaruhi kesiapan operasional dan profesionalisme Armada RI. 112 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Menggunakan pendekatan ideal, profesionalisme Armada RI sebagai satuan tempur akan meningkat apabila anggaran bagi pemeliharaan sistem senjata memadai. Dengan sistem senjata yang siap, maka kesiapan operasi dan latihan dengan sendirinya meningkat. Profesionalisme Armada RI akan lebih ditentukan oleh tingkat kesiapan mereka untuk melaksanakan operasi dan latihan. Terkait dengan HAM yang merupakan salah satu fokus utama dalam isu security sector reform di Indonesia, penanganan pelanggaran hukum di laut oleh Armada RI selama ini selalu mengikuti prosedur yang ditetapkan. Sejak lama telah ditetapkan Prosedur Penghentian dan Pemeriksaan kapal di laut, yang mana dalam prosedur itu ada proses-proses bagaimana menangani kapal yang dicurigai melanggar hukum. Mulai dari peringatan lewat radio dan atau sinyal agar kapal yang dicurigai berhenti hingga ke arah mana tembakan diarahkan kepada kapal tersebut apabila tidak mematuhi perintah yang diberikan sebelumnya. Sampai saat ini, belum pernah ada kasus penghentian dan pemeriksaan kapal di laut yang diindikasikan melanggar HAM, apalagi berubah menjadi isu politik seperti halnya di daratan. Hal itu sangat mungkin karena ada perbedaan antara hukum yang berlaku di darat dan di laut, misalnya menyangkut subyek hukum. Sesuai dengan hukum internasional, subyek hukum di laut adalah bendera negara kapal dan orang. Kalau pun terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh awak kapal perang, hal itu lebih menyangkut pada hukum pidana biasa dan tidak menyangkut HAM. Penutup Armada RI merupakan salah satu aktor penting dalam menjaga stabilitas keamanan wilayah perairan yurisdiksi Indonesia dan juga kawasan Asia Tenggara. Berbagai keterbatasan masih dihadapi oleh Armada RI yang tidak lepas dari kebijakan pemerintah di bidang pertahanan. Namun demikian, keterbatasan tersebut tidak mengurangi kontribusinya terhadap stabilitas keamanan kawasan melalui gelar kekuatan di sejumlah perairan yang dinilai rawan. Sesuai dengan Renstra TNI Angkatan Laut, pengembangan Armada RI ke depan akan terus dilakukan melalui modernisasi alutsista. Pelaksanaan rencana tersebut pada akhirnya terpulang pada komitmen pemerintah untuk mewujudkannya, sehingga peran Armada dalam stabilitas kawasan dapat ditingkatkan. Terciptanya stabilitas keamanan maritim di Asia Tenggara, khususnya di perairan yurisdiksi Indonesia, akan memberikan kontribusi terhadap politik, ekonomi dan keamanan kawasan Asia Pasifik. < Referensi 1. Dinas Penerangan Angkatan Laut, 60 Tahun TNI Angkatan Laut Mengabdi. Jakarta, Dinas Penerangan Angkatan Laut, 2005. 2. Markas Besar Angkatan Laut, Blue Print TNI Angkatan Laut 2013. Jakarta, 2004 3. Markas Besar Angkatan Laut, Rancangan Postur TNI Angkatan Laut 2005-2024. Jakarta, 2005. 113 KORPS MARINIR KORPS MARINIR Fauzan 1 Riak gelombang memecah pantai Peluru jatuh berderai Dengan semangat maju memantai Bergerak serang dan menerjang Marinir pasukan kita Mendarat pasti kita menang... (Syair lagu prajurit Korps Marinir TNI AL) 2 Pendahuluan Penggalan syair lagu di atas seringkali dikumandangkan dengan penuh semangat oleh para prajurit Korps Marinir dalam berbagai sesi latihan. Dalam syair tersebut setidaknya menunjukkan tidak saja resiko besar yang siap dihadapi oleh pasukan Korps Marinir dalam setiap operasi pendaratan amfibi, namun juga semangat pantang menyerah yang sudah tertanam secara kuat dalam diri setiap individu prajurit Korps Marinir. Pada dasarnya, pendaratan amfibi merupakan bentuk operasi penyerangan suatu pasukan yang berkedudukan di laut terhadap pasukan musuh yang ada di pantai (darat). Tujuannya adalah merebut dan menguasai tumpuan pantai (beach head) sebagai titik pangkal bagi gerakan operasi militer selanjutnya guna menusuk jantung pertahanan musuh. 3 Sebagai ujung tombak pendaratan amfibi, pasukan Marinir mengemban tugas tersebut dengan didukung kekuatan-kekuatan dari kesatuan lainnya seperti bantuan tembakan dari satuan tugas udara maupun armada kapal tempur serta pembersihan aneka ranjau laut. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya profesionalitas prajurit Korps Marinir harus dijunjung tinggi. Sejarah Korps Marinir Hingga saat ini kurang lebih ada 40 negara yang mempunyai kesatuan Marinir. Pada umumnya, kesatuan-kesatuan tersebut merupakan bagian integral di bawah organisasi Angkatan Laut masing-masing negara, kecuali di Amerika Serikat, Prancis, dan Yunani. Di Amerika, Korps Marinir AS (United States Marine Corps/USMC) tidak berada di bawah US Navy, tetapi merupakan kekuatan Angkatan Laut AS (US Naval Forces) yang berada di bawah Departemen Angkatan Laut. Di Prancis, terdapat dua kesatuan Marinir Prancis yang pertama di bawah, Angkatan Darat dengan nama Troupes de Marine dan berikutnya di bawah Angkatan Laut dengan nama Fusiliers Marins. Di Yunani, kesatuan ini merupakan bagian integral di bawah Angkatan Darat. Semua kesatuan Marinir ini mempunyai tugas yang beragam seperti pendaratan amfibi, pertahanan pantai, pertahanan pangkalan, tugas di atas 1 2 3 Fauzan adalah staf pengajar dan Ketua Laboratorium Pertahanan dan Keamanan (KaLab), di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Jogjakarta. Santoso Purwoadi, “Yon Taifib Marinir TNI AL,” dalam Majalah Commando, Volume I, No. 3 NovemberDesember 2004, hal. 6 Ibid. 114 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 kapal perang, raid amfibi, operasi bawah air, tugas komando, antiteroris, dan perlindungan objek vital. Tetapi ciri utamanya tetap sebagai pasukan pendaratan amfibi yang merupakan hakikat keberadaannya. Seperti di kebanyakan negara, di Indonesia Korps Marinir merupakan bagian kesatuan integral di bawah Angkatan Laut (TNI AL). Korps Marinir merupakan salah satu Kotama (Komando Utama TNI Angkatan Laut). Dalam struktur organisasi TNI AL, Korps Marinir adalah sebuah Kotama sejajar dengan Kotama lain seperti Koarmabar (Komando Armada Barat), Koarmatim (Komando Armada Timur), Kolinlamil (Komando Lintas Laut Militer), Kobangdikal (Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut), Seskoal (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut) dan AAL (Akademi Angkatan Laut). Cikal bakal Korps Marinir bermula dari tanggal 15 November 1945, dimana nama Corps Mariniers tercantum dalam Pangkalan IV ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) Tegal sehingga tanggal ini dijadikan sebagai hari lahir Korps Marinir. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. A/565/1948 pada tanggal 9 Oktober 1948 ditetapkan adanya Korps Komando di dalam jajaran Angkatan Laut. Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) kembali menggunakan nama Korps Marinir sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut (SK KASAL) No. Skep/1831/XI/1975 tanggal 15 November 1975. Dengan mengusung visi “Mewujudkan Prajurit Korps Marinir Sebagai Pasukan Pendarat yang Bermoral, Profesional dan Dicintai Rakyat”, Marinir telah menjadi sebuah pasukan yang handal dan patut dibanggakan. Untuk mendukung dan mewujudkan visi tersebut Korps Marinir menetapkan beberapa misi sebagai berikut: 1. Terwujudnya organisasi Korps Marinir yang kokoh dan dinamis sebagai wadah kegiatan pembinaan dan pengembangan kesatuan untuk senantiasa siap melaksanakan tugas operasi terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dari dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan NKRI. 2. Mewujudkan kualitas sumber daya manusia prajurit Korps Marinir yang disiplin, bermoral dan bermartabat melalui program pendidikan yang sistematis, terukur, berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. 3. Meningkatkan jiwa korsa dan moril prajurit Marinir melalui pembinaan perilaku dan tradisi korps, agar dapat menjadi contoh dan tauladan dimanapun berada. 4. Terwujudnya prajurit Marinir yang bermoral, profesional dan dicintai rakyat baik perorangan maupun satuan melalui sistem pembinaan latihan secara bertingkat dan berlanjut serta latihan gabungan TNI AL/TNI maupun latihan bersama dengan negara lain. 5. Meningkatkan kepemimpinan militer dalam tubuh organisasi Korps Marinir yang berwawasan ke depan melalui sistem penilaian yang selektif. 4 “Mimpi Korps Marinir,” dalam Sinar Harapan, 14 November 2005. “Korps Marinir”, http://www.marinir.mil.id, diakses 10 April 2009. 5 115 KORPS MARINIR 6. Meningkatkan kesejahteraan prajurit beserta keluarganya, berupa pemenuhan hakhak prajurit, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi kinerja prajurit. 7. Terpenuhinya perlengkapan dan material tempur yang modern, sesuai dengan standar Korps Marinir guna melengkapi kebutuhan serta mengganti material tempur/alutsista yang sudah melampaui batas usia pakai. 8. Peningkatan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan perkembangan tuntutan Korps Marinir melalui kerjasama pendidikan pengkajian dan penilaian internal maupun eksternal. 5 Organisasi Korps Marinir Saat ini anggota Korps Marinir TNI AL mencapai hampir 21.000 orang yang tersebar di dua Pasmar (Pasukan Marinir) dan tiga Brigadir Infanteri (Brigif ) Marinir. Setiap Pasmar membawahi satu Brigade Infanteri, satu Resimen Bantuan Tempur (Menbapur), satu Resimen Kavaleri (Menkav), satu Resimen Artileri (Menart) dan satu Batalyon Intai Amfibi (Yon Taifib). Pasmar I diresmikan pada 12 Maret 2001, berkedudukan di Surabaya, membawahi lima satuan induk tempur, yakni: Brigif-1 Mar, Menkav-1 Mar, Menart-1 Mar, Menbanpur-1 Mar, dan YonTaifib-1 Mar. Sedangkan Pasmar II diresmikan pada 2004, berkedudukan di Jakarta, membawahi lima satuan induk tempur, yakni: Brigif-2 Mar, Menkav-2 Mar, Menart-2 Mar, Menbanpur-2 Mar, dan YonTaifib-2 Mar. Sementara itu, untuk Pasmar III baru pada tahap persiapan. Saat ini Brigadir Infanteri-3 dipersiapkan sebagai embrio pembentukan Pasmar III yang direncanakan berkedudukan di Lampung. Oleh karena itu keberadaan Brigif-3 saat ini belum di bawah Pasmar III, melainkan berada langsung di bawah Dankomar. Markas Komando (Mako) Brigif-3 Marinir saat ini masih berada di Jakarta untuk kemudian hari akan dipindahkan ke Lampung dan membawahi Yonif-7 Mar, Yonif-8 Mar, dan Yonif-9 Mar. Setiap Batalyon Infanteri Marinir 6 saat ini berkomposisi antara 500-700 personil dari jumlah 712 personil menurut juklaknya (petunjuk pelaksana). 7 Setiap Batalyon Infanteri Marinir dipimpin oleh perwira Marinir berpangkat Letkol. Brigade Infanteri Marinir dipimpin oleh perwira berpangkat Kolonel. Pasmar dipimpin perwira berpangkat bintang satu, sedangkan pucuk pimpinan (Komandan Korps Marinir) dipimpin oleh perwira Marinir berpangkat bintang dua. Pasukan Infanteri Marinir TNI AL dilengkapi dengan tank jenis LT sebanyak 55 unit dengan tipe PT-76, Recce sebesar 21 unit BRDM, juga dilengkapi dengan AIFV sebanyak 24 unit dengan tipe AMX-10, sebanyak 100 unit APC BTR-50, artileri T sebanyak 50 unit, dimana artileri dengan kaliber 105 mm sebanyak 22 unit dan artileri dengan kaliber 122 mm sebesar 28 unit. Resimen Air Defense dilengkapi dengan MRL (Multiple Rocket Launcer) sebanyak 12 unit berkaliber 40 mm sampai dengan 57 mm. 8 116 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Tabel 1. Batalyon Infanteri Korps Marinir TNI AL Brigade Infanteri 1. Brigade Infanteri 1/Marinir · Batalyon Infanteri 1/Marinir · Batalyon Infanteri 3/Marinir · Batalyon Infanteri 5/Marinir 2. Brigade Infanteri 2/Marinir · Batalyon Infanteri 2/Marinir · Batalyon Infanteri 4/Marinir · Batalyon Infanteri 6/Marinir Kedudukan Surabaya (Pasmar I) 3. Brigade Infanteri 3/Marinir · Batalyon Infanteri 7/Marinir · Batalyon Infanteri 8/Marinir · Batalyon Infanteri 9/Marinir Jakarta (embrio Pasmar III Lampung Jakarta (Pasmar II) Sumber: “Batalyon Infanteri Marinir TNI AL,” dalam Majalah Angkasa Edisi Koleksi, No. XXXVIII, 2007, hal. 45. Batalyon Intai Amfibi (Yon Taifib) Salah satu unsur penting dalam Korps Marinir adalah adanya pasukan elit yang sering disebut sebagai Batalyon Intai Amfibi (Yon Taifib). Batalyon ini merupakan satuan elit dalam Korps Marinir seperti halnya Kopassus dalam jajaran TNI Angkatan Darat. Dengan mengusung semboyan Maya Netra Yamadipati (yang berarti “datang senyap, beraksi dengan senyap, dan bahkan saat pergipun tetap dalam kondisi senyap”), satuan Taifib dipersiapkan di tiga media yakni darat, laut dan udara. Pada awalnya satuan ini dikenal dengan nama KIPAM (Komando Intai Para Amfibi). Untuk menjadi anggota Yon Taifib, calon diseleksi dari prajurit Marinir yang memenuhi persyaratan mental, fisik, kesehatan, dan telah berdinas aktif minimal dua tahun. Salah satu program latihan bagi siswa pendidikan intai amfibi, adalah berenang dalam kondisi tangan dan kaki terikat sejauh 3 km. Dari satuan ini kemudian direkrut lagi prajurit terbaik untuk masuk kedalam Detasemen Jala Mangkara (Denjaka),9 pasukan elitnya TNI Angkatan Laut. Sejak berdirinya KKO AL setiap penugasan dirasakan perlunya data-data intelijen, serta pasukan khusus yang terlatih dan mampu melaksanakan kegiatan khusus yang tidak dapat dikerjakan oleh satuan biasa dalam rangka keberhasilan tugas. Menjawab kebutuhan tersebut, pada tanggal 13 Maret 1961 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Komandan KKO AL No.47/KP/KKO/1961 tanggal 13 Maret 1961, tentang pembentukan KIPAM. Pada tanggal 13 Maret 1961, KIPAM berdiri dibawah Yon Markas Posko Armatim – I. Pada tanggal 25 Juli 1970 9 Istilah Jala Mangkara berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 'Pengawal Samudera”. Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) merupakan sebuah detasemen pasukan khusus TNI Angkatan Laut. Denjaka adalah satuan gabungan antara personil Yon Taifib Korps Marinir dan Kopaska (Korps Pasukan Katak). Denjaka memiliki tugas pokok membina kemampuan anti-teror dan anti-sabotase di laut dan di daerah pantai serta kemampuan klandestin aspek laut. Lihat dalam Majalah Defender, Maret 2008, hal. 22-29. 117 KORPS MARINIR KIPAM berubah menjadi Yon Intai Para Amfibi. Tanggal 17 November 1971 Yon Intai Para Amfibi berubah menjadi Satuan lntai Amfibi, pada akhirnya berubah menjadi Batalyon Intai Amfibi atau disingkat Yon Taifib Mar dibawah Resimen Bantuan Tempur Korps Marinir (Menbanpurmar). Seiring dengan perkembangan Korps Marinir dengan peresmian Pasmar I SK KASAL No. Skep/08/111/2001 tanggal 12 Maret 2001 tentang Yon Taifib Marinir tidak lagi di bawah Menbanpurmar, akan tetapi langsung berada di bawah Pasmar. Melihat lingkup penugasan serta kemampuannya, akhirnya Yon Taifib secara resmi disahkan menjadi Pasukan Khusus TNI AL. Hal ini sesuai dengan SK KASAL No. Skep/1857/XI/2003 tanggal 18 November 2003 tentang Pemberian Status Pasukan Khusus kepada Batalyon Intai Amfibi (Yon Taifib) Korps Marinir. Seiring dengan pemekaran postur TNI AL, dibentuk Pasukan Marinir (Pasmar) II menyusul keberadaan Pasmar I. Maka secara otomatis terdapat 2 Batalyon Intai Amfibi (Yon Taifib) yakni Yon Taifib 1 Pasmar I di Kesatrian Karang Pilang, Surabaya, dan Yon Taifib 2 Pasmar II di Kesatrian Brigade Infanteri 2 Marinir, Cilandak, Jakarta.10 Yon Taifib mempunyai tugas pokok membina dan menyediakan kekuatan serta membina kemampuan unsur-unsur amfibi maupun pengintaian darat serta tugas-tugas operasi khusus dalam rangka pelaksanaan operasi pendaratan amfibi, operasi oleh satuan tugas TNI AL atau tugas-tugas operasi lainnya. Adapun karakteristik yang menonjol dari prajurit Yon Taifib adalah sebagai berikut: pertama, dihasilkan melalui seleksi yang ketat, berasal dari prajurit Marinir pilihan yang mempunyai kemampuan fisik prima, serta mempunyai tingkat psikologi standar Pasukan Khusus sesuai tuntutan. Kedua, rasio pasukan Yon Taifib selalu jauh lebih kecil dari pasukan biasa/reguler, karena dalam tugas-tugas khusus dituntut kecepatan, kerahasiaan yang tinggi, keakuratan, keuletan, disiplin lapangan serta keberhasilan tugas. Ketiga, dididik dengan ketat dan keras melalui beberapa tahap, dimana setiap tahapan yang dibuat untuk mengukur tingkat kesiapan siswa dan melanjutkan proses penggemblengan untuk menjadi calon prajurit Taifib. Keempat, dilatih secara khusus mengikuti program yang ketat dengan tingkat resiko yang tinggi. Hal tersebut tergambar dalam program berupa pembinaan yang keras, pembinaan mental dengan tingkat stressing yang tinggi, pembinaan berbagai keterampilan khusus yang dikondisikan seperti dalam tugas sebenarnya. Latihanlatihan tersebut meliputi kemampuan dalam aspek yang harus dilaksanakan, yaitu dilaut, darat dan udara. Kelima, mempunyai kemampuan melaksanakan tugas secara berdiri sendiri, dari induk pasukan dalam artian mampu melaksanakan survival secara tim maupun perorangan, mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan mampu mengatasi tekanan mental di daerah penugasan, kemampuan infiltrasi dan eksfiltrasi ke atau dari daerah musuh melalui media, antara lain free fall dengan sistem HALO (High Altitude Low Opening) dan HAHO (High Altitude High Opening), STABO (Stabilized Tactical Airbone 10 Beberapa bagian paparan tentang Yon Taifib diolah dari Wikipedia Bahasa Indonesia dan tulisan Santoso Purwoadi, “Yon Taifib Marinir TNI AL,” dalam Majalah Commando, Volume I, No. 3 November-Desember 2004, hal. 5-14. 118 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Operation)/SPIE, berenang, menyelam, serta salah satu kemampuan bawah air atau combat swimmer melalui peluncur torpedo kapal selam. a. Kemampuan Pada hakikatnya prajurit Yon Taifib melaksanakan tugas berbagai misi intelijen dan rahasia baik sebelum, sesaat, hingga sesudah pelaksanaan operasi pendaratan amfibi. Sebelum melakukan pendaratan, pasukan Taifib melakukan pengintaian agar informasi mutakhir keberadaan musuh, cuaca, kondisi alam, serta data hidrografis terkait bakal lokasi pendaratan (dalam cakupan wilayah radius 15 km dari garis batas air surut) dapat diketahui secara pasti. Di awal operasi amfibi, pasukan ini harus memantau gerakan dan formasi pihak musuh yang ada di dalam dan di luar beach head (tumpuan pantai). Jika saatnya tepat, formasi dan konsentrasi musuh akan dihancurkan dengan bantuan tembakan dari kapal perang atau pesawat tempur. Selama penembakan berlangsung, pasukan Taifib harus berada di kawasan aman. Namun jika diperlukan, pasukan Taifib dapat pula menggantikan peran sebagai peninjau depan (pengarah tembakan) pada unit pelaksana bantuan tembakan. Oleh karena itu posisinya setiap saat harus dilaporkan kepada pimpinan Komando Tugas Amfibi (Kogasfib). Pada saat pasukan pendarat berhasil menjangkau di wilayah tumpuan pantai, bukan berarti tugas pasukan Taifib selesai. Karena pasukan ini selanjutnya bertugas untuk mengamati situasi dan kondisi pedalaman selepas wilayah tumpuan pantai. Sasarannya adalah meliputi rute pelintasan darat, jembatan, dan tempat penyeberangan sungai yang memungkinkan dapat dipakai, serta daerah aman yang dapat digunakan sebagai titik pendaratan darurat pasukan para dan helikopter. Dalam situasi khusus, satuan Taifib juga dilibatkan dalam berbagai operasi penggalangan terbatas (bekerjasama dengan satuan teritorial setempat), sabotase, dan bahkan penculikan terhadap para pejabat tinggi pihak musuh. Selain itu, satuan Taifib juga harus mampu melaksanakan tugas pengamanan terhadap berbagai obyek vital maupun tokoh/pejabat berstatus VVIP (very very important person). Bahkan satuan ini dapat pula dilibatkan dalam operasi SAR (Search and Rescue) biasa maupun SAR tempur. Jika terjadi insiden penyanderaan, satuan ini dapat bertindak sebagai negosiator. Dikarenakan personil Taifib sudah terbiasa dalam menangani tindak terorisme, maka tidak mengherankan apabila satuan ini menjadi pemasok utama bagi satuan anti-teror Detasemen Jala Mangkara (Denjaka). a. Seleksi dan Pendidikan Agar dapat melaksanakan semua tugasnya dengan baik, dari setiap personil Yon Taifib dituntut memiliki kemampuan yang tinggi. Selain berdaya fisik yang prima dan bermental tangguh, mereka juga harus menguasai prosedur, teknik, dan taktik dasar kemiliteran, baik di 119 KORPS MARINIR tingkat perorangan/individu maupun kompi. Selain itu personil Taifib juga harus mampu merencanakan sekaligus melaksanakan misi pengintaian pada tingkat batalyon atau brigade Infanteri. Calon personil Yon Taifib berasal dari prajurit Korps Marinir yang telah berdinas minimal satu tahun dengan batasan usia antara 20-35 tahun. Ia harus lebih dahulu lulus berbagai tes yang dilangsungkan selama tiga minggu, mulai dari pemeriksaan kesehatan lengkap, psikotes, tes chamber (uji ketahanan dalam ruang tertutup bertekanan udara setara dengan kondisi di laut pada kedalaman 20 meter) selama 45 menit, hingga tes kemampuan jasmani. Tahap psikotes merupakan tahap terberat karena pada tahap ini kepribadian dan kondisi psikis seorang calon dapat terlihat agar dihasilkan individu yang setia, berani, mandiri, dan bisa mengambil keputusan secara cepat, serta tidak panik meski dalam kondisi kritis. Setelah lolos dari berbagai tes, kemudian mereka mengikuti pendidikan di Sekolah Peperangan Khusus Marinir, di Surabaya, selama 10 bulan. Selama pendidikan ini mereka mendapatkan materi latihan intai amfibi secara menyeluruh dan ketat. Materi inti latihan intai amfibi berorientasi pada tiga aspek medan operasinya yakni darat, udara dan laut. Silabusnya disusun mirip program pendidikan satuan US Navy Seal. Materi latihan aspek laut sangat banyak. Medan latihan aspek laut meliputi selam kedalaman, selam tempur, infiltrasi bawah air, demolisi bawah air, sabotase bawah air, selam SAR, renang jarak sedang sampai dengan jarak jauh dan pengintaian hidrografi menggunakan daerah latihan pantai Pasir Putih, pantai Gatel dan pantai Banongan, adapun untuk materi menembus gelombang menggunakan daerah latihan pantai selatan yang tinggi gelombangnya mencapai rata-rata sampai dengan sepuluh meter yaitu pantai Lampon, pantai Rajeg Wesi dan sekitarnya. Kemampuan berenang di laut dengan jarak jauh yang merupakan persyaratan siswa Taifib adalah menyeberangi teluk Poncomoyo sejauh ± 12 km/7 mil. Disini para siswa Taifib dihadapkan pada kondisi laut yang mempunyai arus kuat dan gelombang yang tinggi serta jarak yang jauh dengan batas waktu yang ditentukan. Medan latihan SAR dilaksanakan di daerah Karangtekok, Pasir Putih, G. Ringgit dan sekitarnya dengan materi latihan pencarian korban di laut, hutan, jurang, teknik evakuasi korban di darat dan laut, penyiapan HLZ, penyelamatan korban yang masih hidup, P3K atau kesehatan lapangan terbatas. Dalam melaksanakan kegiatan ini para siswa Taifib harus mempunyai kemampuan rappeling, helly water jump, IMMP (Ilmu Medan dan Membaca Peta) dan P3K serta kesiapan fisik yang prima. Aspek Udara menggunakan Lanudal Juanda, Pasuruan, dan Ujung, Surabaya serta sekitarnya. Materi latihan yang dilaksanakan meliputi: rapeling, air mobile, mobud, STABO/SPIE, helly water jump, pandu para, air supply, para dasar, free fall, terjun static/free fall laut, terjun diatas simulator kapal, terjun tempur static malam hari, terjun tempur free fall malam hari dan rubber duck operation. Dengan ini diharapkan seorang personil Yon Taifib Marinir mahir dalam aneka operasi lintas udara. Khusus bagi personil yang telah 3 kali ikut kegiatan terjun payung, pada brevet (tanda kecakapan) tri-medianya ditambahkan lambang bintang. 120 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Pada pendidikan tahap lanjutan, materi latihan operasi gerilya dan anti gerilya (GAG) dengan metode satu pihak dikendalikan dan dipraktekkan bagaimana peran para siswa Taifib dalam melaksanakan operasi GAG yang dikondisikan seperti penugasan TNI yang berada di daerah konflik, diharapkan para siswa ada kesiapan yang baik pada saat dihadapkan pada operasi gerilya yang banyak diterapkan di daerah konflik/daerah operasi. Kemampuan sabotase terhadap sasaran-sasaran vital musuh serta kemampuan penculikan dan pembebasan VVIP, dimana tingkat stressing siswa diberikan pada setiap kesempatan, dan disini para siswa teruji saat praktek operasi gerilya dan anti gerilya. Tak ketinggalan juga teknik dan taktik pertempuran dalam ruangan (close quarter battle) dalam rangka operasi pembebesan sandera. Untuk eksfitrasi lintas darat, para siswa Taifib harus melaksanakan materi latihan lintas medan (Limed) selama tujuh hari yang harus ditempuh rata-rata 50 sampai dengan 60 km perhari, dihadapkan dengan berbagai medan yang sulit baik melintasi hutan, jurang, sungai, padang pasir, perkampungan penduduk dengan batas kemampuan dan keterampilan melaksanakan tugas dalam waktu yang ditentukan, diharapkan para siswa dapat memupuk rasa kerjasama, setiakawan dan kebersamaan. Materi latihan pengintaian dilaksanakan untuk mendapatkan informasi musuh dan mencari sasaran strategis musuh. Para siswa Taifib melaksanakan patroli jarak jauh dan masuk menusuk daerah musuh dengan resiko yang tinggi. Para siswa dihadapkan pada kesiapan fisik, taktik dan kondisi yang berbahaya serta kejenuhan, untuk mendapatkan data intelijen dalam rangka mendukung satuan atas yang harus dilaporkan sebelum satuan yang lebih besar melaksanakan serangan secara umum. Pada materi khusus, yaitu tawanan perang (POW) siswa Taifib dikondisikan dalam kekuasaan musuh untuk diinterogasi dimana musuh ingin mengetahui kekuatan dan disposisi pasukan yang lebih besar, para siswa mendapatkan tekanan baik fisik maupun mental yang sangat berat, diharapkan kesiapan para siswa Taifib mempunyai bekal mental yang cukup apabila harus ditawan oleh musuh dengan berbagai tekanan pasukan lawan untuk tetap dapat memegang rahasia dengan baik dan tidak merugikan pasukan yang lebih besar sekalipun harus mati ditangan musuh. Dalam upaya meloloskan diri dari tawanan musuh, para siswa diajarkan bagaimana teknik meloloskan diri apabila melintas di perairan (sungai), yaitu berenang dengan kaki dan tangan terikat yang dalam istilah materi pelajaran drown proofing. Untuk latihan infiltrasi ke daerah lawan, dilaksanakan cast dengan kapal cepat dengan kecepatan diatas 20 knot dan recovery dengan batas waktu yang sudah direncanakan secara akurat. Pengembangan Korps Marinir Pokok persoalan yang menjadi pedoman TNI dalam pembangunan postur TNI adalah sebagai berikut: Pertama, melakukan reposisi, redefinisi dan reaktualisasi peran TNI sebagai alat negara. Kedua, pembangunan TNI dengan meningkatkan rasio kekuatan sebagai komponen utama dalam sishankamrata. Ketiga, mengembangkan kekuatan pertahanan 121 KORPS MARINIR negara kewilayahan yang didukung dengan sarana dan prasarana serta anggaran yang memadai. Keempat, meningkatkan kualitas profesionalisme TNI. Dan Kelima, membangun kerjasama pertahanan dan penyiapan satuan dalam rangka pertahanan dunia.11 Untuk mengembangkan Korps Marinir, kita dapat berpedoman pada visi Korps Marinir bahwa pembinaan Korps Marinir ditujukan, antara lain untuk: (1) Mewujudkan kualitas sumber daya manusia prajurit Korps Marinir yang disiplin, bermoral dan bermartabat melalui p r o g r a m p e n d i d i k a n y a n g s i s t e m a t i s , t e r u k u r, b e r k u a l i t a s d a n d a p a t dipertanggungjawabkan. (2) Meningkatkan jiwa korsa dan moril prajurit Marinir melalui pembinaan perilaku dan tradisi korps, agar dapat menjadi contoh dan tauladan dimanapun berada. Dan (3) Terwujudnya prajurit Marinir yang bermoral, profesional dan dicintai rakyat baik perorangan maupun satuan melalui sistem pembinaan latihan secara bertingkat dan berlanjut serta latihan gabungan TNI AL/TNI maupun latihan bersama dengan negara lain. Setidaknya terdapat dua persoalan utama yang perlu dilakukan dalam rangka pengembangan Korps Marinir untuk menjadi kekuatan militer yang profesional, yaitu masalah pembinaan alutsista dan pembinaan sumber daya manusia (SDM). Saat ini personil Marinir masih jauh dari kondisi ideal baik dalam persoalan jumlah personil maupun dukungan alutsistanya. a. Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) Persoalan yang dihadapi oleh Korps Marinir tidak jauh beda dengan yang dialami oleh satuan lain dalam tubuh TNI, terutama keterbatasan anggaran dalam upaya meningkatkan kualitas alutsista (alat utama sistem persenjataan). Hal ini tidak terlepas dari persoalan yang dihadapi oleh negara Indonesia sejak krisis moneter tahun 1997 yang lalu. Belum lama ini masyarakat dikejutkan dengan musibah tenggelamnya Panser Amfibi BTR 50P milik Marinir TNI AL dalam sesi latihan perang di Situbondo, Jawa Timur yang mengakibatkan enam prajurit Marinir tewas. Musibah ini hanya salah satu dari sekian banyak kasus musibah yang telah menimpa peralatan maupun personil prajurit TNI saat menjalankan tugasnya. Memang harus diakui bahwa sekitar 70% alutsista TNI tidak bisa dioperasionalkan secara optimal karena faktor usia. Pada saat yang bersamaan alokasi anggaran pertahanan negara dalam APBN sangat terbatas. Anggaran pertahanan negara tidak lebih dari 1% dari total anggaran dalam APBN 2008, yakni hanya Rp. 36 trilyun yang setara dengan 0,7% dari total APBN.12 Anggaran tersebut lebih banyak digunakan untuk membiayai anggaran rutin, seperti gaji pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, dan perjalanan dinas daripada pengeluaran untuk pembangunan sistem, personil, fasilitas, dan materiil. Artinya, jumlah anggaran yang tersedia tidak mencukupi untuk membiayai pengembangan kekuatan pertahanan negara. 11 12 Connie Rahakundini Bakrie, op. cit., hal. 95. Majalah Defender, Maret 2008, hal. 4 122 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Pola alokasi anggaran seperti ini dapat dikatakan masih berbasis pada kekuatan personil, padahal pola demikian tidak tepat bagi unit organisasi yang titik berat kekuatannya terletak pada alutsista berteknologi tinggi dalam menjaga kedaulatan negara kepulauan, seperti Indonesia.13 Menurut Snyder, diantara negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia bersama Vietnam dan Filipina, dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk melakukan modernisasi alutsista.14 Tabel 2. Daftar Alutsista Marinir Alutsista Marinir Light and Small Arms 1. SS1-R5 Rider, senapan serbu buatan PT. Pindad Indonesia 2. SS2, senapan serbu buatan PT. Pindad Indonesia 3. AK-47, senapan serbu Kalashnikov buatan Rusia 4. AK-101, senapan serbu Kalashnikov buatan Rusia 5. M4 6. MP5, senapan serbu anti teror, buatan Jerman Light Tank 1. PT-76 B, buatan Rusia tahun 1960-an Ranpur dukung Infanteri 1. AMX-10 PAC 90 dan AMX -10 Marines, buatan Perancis 2. BMP-2, buatan Rusia 3. BMP-3, buatan Rusia Ranpur Angkut Personel Dipersenjatai (APC) 1. BTR-50, buatan Rusia 2. BTR-80, buatan Rusia Kendaraan Peluncur Roket Masif (MRL) 1. RM-70 Grad, buatan Republik Ceko Artileri 1. Howitzer 120mm Dengan kondisi seperti di atas, maka kiranya pemerintah perlu mencari jalan keluar bagaimana agar kebutuhan alutsista TNI dapat terpenuhi dengan baik. Modernisasi alutsista dapat dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi negara, dukungan anggaran, dan prioritas pembangunan agar terwujud kekuatan dan kemampuan TNI (Marinir) yang memiliki mobilitas dan daya tempur tinggi. b. Pembinaan SDM Salah satu aspek yang cukup penting selain masalah terbatasnya anggaran dalam pengadaan alusista TNI adalah berkaitan pembinaan sumber daya manusia dari personil Korps Marinir. Masalah yang dihadapi saat ini adalah belum terpenuhinya komposisi jumlah prajurit Marinir yang ideal dan kualitas prajurit yang masih perlu ditingkatkan. Selain itu, 13 14 Connie Rahakundini Bakrie, op. cit., hal. 6. Craig Snyder, “Maritime Security in Southeast Asia,” dalam Damien Kingsbury (ed.), Violence in Between: Conflict and Security in Archepelagic Southeast Asia, Monash University Press, Singapore, 2005, hal. 105-125, dalam ibid. 123 KORPS MARINIR rotasi pasukan Marinir yang ada tampaknya masih belum memuaskan, dan dalam banyak kasus sangat berhubungan dengan adanya intensitas penugasan Marinir ke daerah-daerah konflik cukup tinggi. Tercatat rata-rata 52% dari kekuatan yang ada banyak terlibat dalam penugasan tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan peralatan Marinir yang masih terbatas.15 Pembinaan SDM prajurit Marinir merupakan hal yang mendesak dilakukan sejalan dengan upaya modernisasi alutsista TNI, untuk mewujudkan postur pertahanan yang kuat dan profesional. Pertama, Pembinaan SDM dapat dilakukan sejak awal rekrutmen dan pendidikan bagi prajurit Marinir. Kedua, untuk meningkatkan kualitas personil Marinir maka pengiriman personil Marinir untuk pendidikan di luar negeri (misalnya dalam skema IMET – International Military Education and Training) menjadi hal yang sangat penting. Ketiga, peningkatan profesionalisme prajurit Marinir dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas latihan perang baik yang melibatkan 3 matra dalam TNI (latihan gabungan) maupun latihan bersama yang melibatkan militer negara lain. Misalnya, latihan perang bersama Korps Marinir dengan pihak US Marines Corps Marinir (USMC) di Karangtekok dan Pantai Banongan Situbondo pada 21-25 Juli 2008 lalu, dalam rangka meningkatkan kemampuan profesional prajurit Korps Marinir. Keempat, untuk meningkatkan pembinaan SDM prajurit Marinir dapat juga dilakukan dengan melibatkan personil Marinir dalam misi perdamaian PBB, seperti pengiriman personil Marinir menjadi bagian dari kontingen Garuda XXIII untuk bergabung dalam misi perdamaian (PKO, peakeeping operations) PBB (UNIFIL, United Nations Interim Force in Lebanon). Pelibatan personil Marinir tersebut tentunya akan lebih meningkatkan kemampuan prajurit, terutama dalam kemampuan bahasa, pengalaman, manajemen, operasi maupun profesionalisme militer yang lain. Terakhir, pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia (SDM) personil Korps Marinir harus dilakukan secara berkelanjutan untuk menghasilkan prajurit Marinir yang disiplin, profesional dan tangguh, dengan semangat juang tinggi dan berjiwa sapta marga. Penutup Seiring dengan perkembangan zaman terutama untuk menuju terbentuknya organisasi militer yang modern dan profesional, Korps Marinir baik secara organisator maupun pembinaan kekuatannya dituntut mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud antara lain reorganisasi pasukan Korps Marinir dengan melihat komposisi ataupun jumlah personilnya serta pengembangan kesatuan-kesatuan yang ada dalam strukur organisasi TNI. Selain itu, modernisasi alutsista TNI (khususnya Marinir) menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan, mengingat semakin lemahnya kekuatan militer Indonesia. Padahal dalam perkembangannya, potensi ancaman ke depan terhadap keamanan teritorial dan kedaulatan negara ini semakin nyata. 15 “Kondisi Komponen Utama,” Sub Lampiran 'B' Peraturan Menhan, Departemen Pertahanan, 7 Oktober 2005, hal. 7, dalam ibid.hal. 109. 124 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Oleh karena itu, pemerintah harus mampu menyediakan dan mencukupi kebutuhan anggaran pertahanan baik untuk modernisasi alusista maupun pengembangan sumber daya manusia prajurit TNI. Hal ini membutuhkan persamaan persepsi dari semua elemen bangsa untuk mendukung visi pertahanan negara berdasarkan grand strategy yang telah dirumuskan dan konsepsi strategis mengenai gelar pasukan TNI. Tanpa adanya dukungan penuh dari pemerintah dan rakyat Indonesia, maka TNI (Korps Marinir) tidak dapat berbuat banyak dalam mengemban tugas yang disandangnya sebagai militer yang profesional.< Referensi Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007. Majalah Angkasa Edisi Koleksi, No. XXXVIII, 2007. Majalah Commando, Volume I, No. 3 November-Desember 2004. Majalah Commando, Volume IV, Edisi. 3 Tahun 2008. “Mimpi Korps Marinir,” dalam Sinar Harapan, 14 November 2005. “Korps Marinir”, http://www.marinir.mil.id, diakses 10 April 2009. http://www.tni.mil.id http://www.tnial.mil.id Wikipedia Bahasa Indonesia, tentang Marinir dan TNI AL. 125 KORPS MARINIR Lampiran 1. Struktur Organisasi Korps Marinir KORMAR STAF KORMAR IT KORMAR SPRI SRENA SINTEL SOPS SPERS SLOG SETUM DISPEN DIS KOMPLEK PUSKODAL DIS MINPERS DENMA MAKO DISKUM DISKES PASMAR I KOLATMAR BRIGIF-3 MAR DISPROV DISMAT PASMAR II RUMKIT CLD LANMAR DENJAKA Dasar : = Keputusan KASAL No KEP/13/VI/2001 Tanggal 26 Juni 2001 = Keputusan KASAL No KEP/03/II/2004 Tanggal 13 Februari 2004 Sumber: “Korps Marinir”, http://www.marinir.mil.id, diakses 10 April 2009. 126 DISKU INFOLAHTA Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Lampiran 2. Daftar Komandan Korps Marinir No Pangkat Nama Masa Jabatan 1 Laksamana Muda Agoes Soebekti 1945 – 1950 2 Mayjen KKO R. Soehadi 1950 – 1961 3 Letjen KKO Hartono 1961 – 1968 4 Letjen TNI KKO Moekijat 1968 – 1971 5 Mayjen TNI (Mar) H. Moh. Anwar 1971 – 1977 6 Letjen TNI (Mar) Kahpi Suriadiredja Juli 1977 – Mei 1983 7 Brigjen TNI (Mar) Muntaram Mei 1983 – Januari 1987 8 Brigjen TNI (Mar) Aminullah Ibrahim Januari 1987 – Agustus 1990 9 Mayjen TNI (Mar) Baroto Sardadi Agustus 1990 – November 1992 10 Brigjen TNI (Mar) Gafur Chaliq Desember 1992 – April 1994 11 Mayjen TNI (Mar) Djoko Pramono April 1994 – Februari 1996 12 Brigjen TNI (Mar) Suharto Februari 1996 – 1999 13 Mayjen TNI (Mar) Harry Triono 1999 – November 2002 14 Mayjen TNI (Mar) Achmad Rifai November 2002 – November 2004 15 Mayjen TNI (Mar) Safzen Noerdin 9 November 2004 – 6 Juni 2007 16 Mayjen TNI (Mar) Nono Sampono 6 Juni 2007 – 18 Oktober 2008 17 Mayjen TNI (Mar) Djunaidi Djahri 18 Oktober 2008 – sekarang 127 Badan Intelijen Strategis (BAIS) BADAN INTELIJEN STRATEGIS (BAIS) Rizal Darma Putra 1 Latar Belakang Dinas intelijen resmi pemerintah Indonesia saat ini yang cakupan tugasnya meliputi berbagai aspek dan lintas sektoral serta bertanggungjawab langsung secara hierarkis kepada Presiden sebagai pengguna adalah Badan Intelijen Negara (BIN). BIN belum memiliki undang-undang sendiri, namun masih berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen Sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Keputusan Presiden No.46 Tahun 2002, Badan Koordinasi Intelijen Negara berubah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Tugas pokok dan fungsi BIN adalah pengemban tugas intelijen nasional dan berperan menyelenggarakan intelijen community.2 Sehingga hubungan BIN dengan lembaga intelijen lainnya merupakan hubungan antar dinas intelijen dalam suatu intelijen community. Artinya tidak ada hierarki komando antara BIN dengan dinas-dinas intelijen non- BIN. Selain BIN terdapat institusi negara yang juga menjalankan tugas-tugas intelijen seperti unit intelijen Kejaksaan Agung, Imigrasi, Bea Cukai, Badan Intelijen Keamanan Kepolisian Republik Indonesia, dan tentunya dinas intelijen yang menonjol pada masa pemerintahan mantan presiden Soeharto adalah dinas intelijen militer atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang saat ini dikenal dengan nama Badan Intelijen Strategis (BAIS). Dapat dikatakan bahwa dari sejumlah lembaga intelijen yang disebutkan diatas, secara hierarki hanya BIN sebagai dinas intelijen yang usernya secara langsung adalah presiden. Sementara itu dinas intelijen militer seperti BAIS dan intelijen kepolisian – Baintelkam, masing-masing dalam hierarkinya (Kepala BAIS dan Kepala Baintelkam) bertanggungjawab terhadap pimpinan puncak masing-masing institusi sebagai user, yakni dimana Panglima TNI sebagai user langsung dari BAIS yang dipimpin oleh seorang Kepala BAIS berpangkat Mayor Jenderal, lantas untuk Baintelkam dipimpin oleh seorang Inspektur Jenderal Polisi yang setara dengan Mayor Jenderal dalam kepangkatan militer, dengan user pada level puncaknya adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Kemudian pimpinan kedua lembaga tersebut (Panglima TNI dan Kapolri) menyajikan laporan intelijen dari institusinya masingmasing kepada Presiden. Walaupun dalam hal ini BIN merupakan dinas intelijen yang bertanggungjawab langsung terhadap Presiden, namun BIN tidak memiliki kewenangan operasional terhadap dinas 1 Rizal Darma Putra adalah Direktur Eksekutif Lesperssi, Jakarta 2 Y. Wahyu Saronto, Intelijen – Teori, Aplikasi, dan Modernisasi, PT Ekalaya Saputra, Jakarta 2004, hal.21-22. 128 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 intelijen militer dan kepolisian, yang nota bene memiliki sumber daya dan dukungan struktur sampai ke tatanan masyarakat paling bawah yakni pedesaan. BAIS justru memiliki jangkauan akses sumber daya yang memberikan kontribusi informasi dari luar negeri, yakni melalui Atase Pertahanan dan perangkatnya di tiap-tiap Kedutaan Besar Republik Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa BAIS merupakan organisasi intelijen militer yang jangkauan operasinya cukup luas (khususnya di lingkup domestik) dengan didukung oleh struktur intelijen yang relatif tidak mengalami perubahan, baik pada masa sebelum dan sesudah reformasi. Isu dan Persepsi Ancaman Dinas intelijen seyogyanya dalam melakukan ''penilaian'' terhadap ancaman nasional (threat assessment) hendaknya berlandaskan pada suatu konsensus dari otoritas politik, yakni dimana partai politik yang duduk di parlemen (dapat melalui komisi intelijen) membuat suatu rumusan umum mengenai suatu isu yang dikategorikan sebagai ''ancaman nasional''. Atau dinas intelijen memaparkan kepada parlemen tentang sejumlah isu yang dikategorikan sebagai ancaman nasional, sehingga parlemen dapat menyepakatinya sebagai suatu persepsi bersama atas ancaman nasional, lantas dinas intelijen merumuskan kerangka teknisnya dari sisi langkah operasional dan tindakan apa saja yang kiranya dapat dilakukan. Dengan demikian kebijakan di bidang intelijen sedikit banyak akan memperoleh ”payung” hukum dan politik, karena dinas intelijen dalam memulai roda perputaran intelijen (intelligence cycle) yang biasanya dimulai dari perencanaan atau pengarahan, telah mendapatkan legitimasinya dari parlemen. Jadi, diharapkan pada saat ”persepsi ancaman” telah disepakati oleh parlemen, maka dinas intelijen menjalankan kegiatannya dengan tidak menyimpang dari garis kebijakan yang disepakati bersama. Maka hal ini diharapkan dapat meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) berupa digunakannya dinas intelijen untuk kepentingan politik rezim berkuasa, atau kelompok kepentingan tertentu, atau bahkan dengan ditunggangi oleh kepentingan negara atau dinas intelijen asing. Selama tidak ada penetapan persepsi ancaman nasional dari parlemen dan otoritas politik sipil, maka dinas intelijen akan cenderung membuat penafsiran sendiri atas kriteria ancaman nasional sebagaimana yang mereka persepsikan. Seperti halnya dengan yang ditafsirkan oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang nota bene merupakan intelijen militer, salah satunya menafsirkan faktor ancaman internal (domestik) antara lain adalah dengan masih menempatkan kelompok yang kritis di masyarakat, misalnya dengan menyebutkan sebagai kelompok radikal kiri, radikal kanan, dan kelompok radikal lain. Penafsiran ancaman seperti ini mengingatkan kembali kepada sebutan atau stigma yang dilakukan oleh aparat intelijen pada masa rezim Soeharto dalam memberangus dan memberikan legitimasi untuk ”menindak” kelompok-kelompok kritis yang dianggap membangkang terhadap pemerintah pada waktu itu. Penafsiran ancaman nasional - seperti yang pernah dikemukakan Ka BAIS tahun 2006 - yang berasal dari lingkungan domestik, dengan menempatkan sejumlah anggota masyarakat yang bersikap kritis terhadap pemerintah sebagai suatu ancaman nasional, sehingga 129 Badan Intelijen Strategis (BAIS) dikategorikan sebagai kelompok-kelompok radikal. Dimana dalam hal ini ”kelompokkelompok radikal” tersebut dianggap membahayakan ideologi negara Pancasila. Bahkan dalam peryataannya tersebut, Ka BAIS juga mengindikasikan adanya sejumlah anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dikategorikannya sebagai kelompok radikal yang ”menyerang” pemerintah. Persepsi ancaman yang demikian merupakan suatu bentuk penafsiran ancaman yang biasanya dimiliki oleh rezim otoriter, karena memandang pihak yang berada diluar pemerintah sebagai potensi ancaman yang dapat mengganggu kelangsungan pemerintah. Sehingga sikap kritis terhadap pemerintah ditafsirkan sebagai, dapat mengganggu jalannya suatu pemerintahan yang dianggapnya identik dengan ancaman atas keberlangsungan keamanan nasional. Hal seperti ini masih saja terjadi karena selain tidak terlibatnya otoritas politik di lembaga perwakilan rakyat dalam penetapan ”threat assessment”, juga dikarenakan belum berubahnya pola operasi dan ruang lingkup dari dinas intelijen seperti BAIS yang seharusnya lebih fokus pada aspek intelijen militer. Ternyata sejak digunakannya intelijen militer di Indonesia bagi keperluan operasi politik domestik terutama pada masa rezim Soeharto, sampai saat ini masih melakukan kegiatan intelijen yang tetap memantau dinamika politik domestik, dan menafsirkan kelompok-kelompok non-kombatan di dalam masyarakat sebagai suatu ancaman. Hal ini terjadi karena ruang lingkup tugas dan struktur organisasinya hampir tidak berubah sejak lembaga ini dibentuk. Sejarah Badan Intelijen Strategis (BAIS) Walaupun BAIS bukan merupakan satu-satunya organisasi intelijen di dalam organisasi TNI, namun BAIS adalah organisasi intelijen TNI yang paling diandalkan dan diberi tanggungjawab utama oleh Mabes TNI dalam menjalankan fungsi intelijen yang tidak hanya melakukan kegiatan intelijen militer, namun struktur organisasi BAIS juga menyelenggarakan kegiatan intelijen yang cakupannya kepada permasalahan domestik non-militer. Evolusi BAIS BAIS berasal dari Pusat Psikologi Angkatan Darat (disingkat PsiAD) milik Markas Besar TNI Angkatan Darat (MBAD) untuk mengimbangi Biro Pusat Intelijen (BPI) di bawah pimpinan Subandrio yang pada saat itu banyak menyerap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Di awal Orde Baru, Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) mendirikan Pusat Intelijen Strategis (disingkat Pusintelstrat) dengan anggota-anggota PsiAD sebagian besar dilikuidasi ke dalamnya. Pusintelstrat dipimpin oleh Ketua G-I Hankam Brigjen L.B. Moerdani. Jabatan tersebut terus dipegang sampai L.B. Moerdani menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pada era ini, intelijen militer memiliki badan intelijen operasional yang bernama Satgas Intelijen Kopkamtib. Badan inilah yang di era Kopkamtib berperan penuh sebagai Satuan Intelijen Operasional yang kewenangannya sangat superior. Pada tahun 1980, Pusintelstrat dan Satgas Intel Kopkamtib dilebur menjadi Badan Intelijen 130 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 ABRI (disingkat BIA). Jabatan Kepala BIA dipegang oleh Panglima ABRI, sedangkan kegiatan operasional BIA dipimpin oleh Wakil Kepala. Tahun 1986 untuk menjawab tantangan keadaan BIA diubah menjadi BAIS. Perubahan ini berdampak kepada restrukturisasi organisasi yang harus mencakup dan menganalisis semua aspek Strategis Pertahanan Keamanan dan Pembangunan Nasional. Belum lagi restrukturisasi dilaksanakan, terjadi lagi perubahan dimana BAIS dikembalikan menjadi BIA, yang artinya secara formal lembaga ini hanya melakukan operasi intelijen militer. Jabatan Kepala BIA kemudian tidak lagi dirangkap oleh Panglima ABRI. Lantas pada tahun 1999, BIA kembali menjadi BAIS TNI.3 Bahkan hingga era-reformasi badan intelijen militer ini masih menggunakan nama BAIS. Dalam struktur organisasinya BAIS dipimpin oleh seorang Kepala yang berpangkat Mayor Jenderal (senior) dan Wakil Kepala berpangkat Mayor Jenderal, yang membawahi para Direktur yang masing-masing memimpin 7 direktorat yang menggerakkan organisasi intelijen militer tersebut yakni; Kepala _____________ Wakil Kepala DIR A DIR B DIR C DIR D DIR E DANSAT INTEL DANSAT INTEL TEK DANSAT INDUK KADIS SANDI DIR F DIR G KASET Berikut Penjelasannya : - Direktorat A : direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang lingkungan strategis dalam negeri - Direktorat B: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang lingkungan strategis luar negeri - Direktorat C: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang militer dan pertahanan - Direktorat D: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang pengamanan 3 http://www.wikipediaIndonesia..Bais 131 Badan Intelijen Strategis (BAIS) - Direktorat E : direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang penggalangan Direktorat F : direkturnya Pati bintang satu bertanggungjawab di bidang administrasi dan personel Direktorat G: direkturnya Pati bintang satu bertanggungjawab menyajikan produkproduk intelijen kepada kepala BAIS dan Panglima TNI. 4 Komandan Satuan Intelijen dijabat Pati bintang satu yang bertanggung jawab tentang perencanaan dan kegiatan intelijen Komandan Satuan Intelijen Teknik dijabat Pati bintang satu bertanggung jawab perencanaan dan pelaksanaan kegiatan intelijen teknik Komandan Satuan Induk dijabat seorang Pati bintang satu bertanggungjawab tentang perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dan latihan Kepala dinas sandi dijabat Pamen berpangkat kolonel bertanggung jawab masalah persandian Kepala sekretariat dijabat Pamen berpangkat kolonel bertanggung jawab masalah administrasi dan surat menyurat. Pelaksana Tugas di Lapangan BAIS dalam mengumpulkan informasi serta melakukan berbagai kegiatan intelijen dapat dikatakan efektif secara operasional, antara lain karena didukung oleh ruang lingkup kerja dari BAIS yang cukup luas baik dari luar negeri maupun dalam negeri, seperti misalnya dalam memperoleh pasokan informasi dari luar negeri, biasanya suplai informasi dilakukan melalui jaringan para atase pertahanan atau militer, yang penempatannya atas dasar penunjukkan dari BAIS. Kemudian untuk pasokan informasi dalam negeri, pengumpulan informasi selain melalui jalur struktur Komando teritorial dari berbagai Komando Daerah Militer (Kodam). BAIS juga memiliki satuan intel atau yang disebut dengan satintel yang bekerja secara rutin, terutama di berbagai daerah yang dikategorikan sebagai daerah ”rawan konflik”. Adapun komando pengendaliannya secara hierarkis berada dibawah tanggungjawab organisasi BAIS. Lantas sebagai pelaksana operasi, terutama untuk melakukan tugas-tugas ”khusus” operasi intelijen, selain dari aparat BAIS yang ditugaskan dari Markas Satuan Intel BAIS, biasanya tugas di lapangan juga dilakukan oleh personel Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yakni dari Detasemen 81 Penanggulangan Teror (Gultor). Pada era 1995-2001 Detasemen 81 sempat dimekarkan jadi Grup5 Anti Teror. Lantas tahun 2001, satuan ini mengalami reorganisasi menjadi Sat-81 Gultor. Sat-81 terdiri dari dua batalion, Batalion pertama dikenal sebagai Batalion Aksi Khusus (Yon Aksus) 811 dan yang kedua adalah Batalion Bantuan (Ban) 812. Setiap batalion terdiri dari dua detasemen sebagai pelaksana. 4 Angel Rabasa – John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia – Challenges, Politics, and Power, RAND, Santa Monica, 2002, hal.32. dan sumber-sumber lainnya. 5 Angkasa Edisi Koleksi, Indonesia Special Forces, Jakarta, 2003, hal. 15-16. 132 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Dalam penugasan, Sat-81 bergerak dalam unit kecil Seksi berkekuatan 10 orang atau Unit 4-5 orang. Diperkirakan Sat-81 saat ini berkekuatan 800-an personel. Unit kecil Seksi yang berkekuatan 10 orang seperti ini yang biasanya digunakan oleh BAIS dalam operasi tugastugas rutin satuan intel di daerah-daerah yang dikategorikan sebagai ”rawan” konflik, misalnya seperti di Papua. BAIS dan Unsur Pendukung Intelijen Militer Dilain pihak intelijen militer juga melakukan kegiatannya melalui struktur komando teritorial, yakni dimana tiap-tiap Komando Daerah Militer (Kodam) terdapat Detasemen Intel (DenIntel) yang melakukan tugas-tugas pokok intelijen (penyelidikan, pengamanan dan penggalangan) di tiap-tiap wilayah yang menjadi tanggungjawab dari Kodam tersebut. Namun demikian aparat intelijen yang ditempatkan oleh BAIS dalam Sat-Intel di suatu wilayah Komando Daerah Militer (Kodam), juga dapat mengakses dan bekerjasama dengan unsur intelijen Kodam yang tergabung di dalam Detasemen Intel. Dimana dalam hal ini DenIntel sebagai kesatuan intelijen yang permanen di dalam struktur Komando Teritorial memberikan perencanaan atau pengarahan tugas intelijen, serta mendapatkan feedbacknya melalui perwira seksi intelijen baik yang berada di dalam struktur Komando Resor Militer (Korem) dan struktur Koter yang hierarkinya berada dibawah Korem, yakni Komando Distrik Militer (Kodim). Lantas Den-intel yang menerima suplai informasi intelijen dari perwira seksi tersebut, meneruskan atau melaporkannya kepada Asisten Intelijen di Kodam tersebut. Adapun hierarki komando tertinggi di tiap-tiap Kodam dalam kegiatan intelijen adalah para Panglima Daerah Militernya masing-masing yang berperan sebagai ”user” tertinggi di wilayah daerah militernya tersebut. Lantas para Pangdam tersebut secara hierarki menyuplai informasi intelijennya ke Markas Besar TNI melalui Asisten Intelijen Panglima TNI , kemudian dari Asisten TNI informasi intelijen disajikan kepada ”user” utama di TNI yakni Panglima TNI. Jadi, walaupun ”muara” dari alur intelijen militer adalah sama yakni Panglima TNI, dan secara organisatoris terdapat garis kerjasama antara unsur petugas intelijen dari BAIS dengan personel intelijen dari Kodam dalam operasi intelijen di lapangan. Namun Markas Besar TNI dapat dikatakan mengoperasikan dua mekanisme kegiatan intelijen yang relatif berbeda dalam hierarki kegiatan intelijen militer, yakni BAIS beserta perangkat intelijennya dan dilain pihak perangkat intelijen yang diorganisasikan oleh Asintel TNI melalui struktur Komando Teritorial. Dalam mekanisme seperti ini informasi intelijen bisa saling melengkapi dan memverifikasi satu sama lain sebelum penyajian informasi terakhir di lingkungan Mabes TNI sampai kepada Panglima TNI. Dengan struktur dan pola operasi dari BAIS seperti ini, maka dapat dikatakan titik berat perhatiannya lebih kepada kegiatan intelijen di dalam negeri, karena selain mengerahkan satuan intelijennya ke berbagai daerah yang dikategorikan ”rawan” konflik, juga dapat menggunakan dukungan aparat intelijen teritorial yang strukturnya dari level provinsi sampai ke pedesaan melalui aparat Bintara Pembina Desa (Babinsa). Struktur dan pola 133 Badan Intelijen Strategis (BAIS) operasi seperti ini bukannya tidak baik, namun yang terpenting adalah bagaimana BAIS menempatkan paradigma ancaman nasional dalam membuat perencanaan operasi dan pengerahan aparat intelijennya yang dalam hal ini adalah kesatuan militer. Tentunya sejauh ancaman domestik bersifat kombatan, maka keberadaan dari BAIS baik dalam kegiatan intelijen di wilayah domestik maupun luar negeri masih dapat dikatakan relevan. Struktur Komunitas Intelijen Indonesia 6 Presiden Panglima TNI -------------------------Mabes TNI BIN BAIS Struktur Komando Teritorial Penutup Keberadaan intelijen militer di Indonesia beserta segenap kegiatannya merupakan bagian dari ruang lingkup kerja dan kegiatan dari organisasi Tentara Nasional Indonesia. Sehingga diharapkan intelijen militer dapat mendukung performa dari Tentara Nasional Indonesia. Dalam hal ini organisasi TNI tidak hanya ”menggerakan” Badan Intelijen Strategis (BAIS) sebagai satu-satunya organisasi intelijen militer di dalam tubuh TNI dalam melakukan pekerjaan intelijen, namun juga terdapat mekanisme pekerjaan intelijen lainnya yang mengandalkan struktur komando teritorial. Bahkan pasukan khusus seperti Kopassus juga memiliki kesatuan yang memiliki spesifikasi kemampuan intelijen tempur yang kerapkali membantu tugas-tugas intelijen dari BAIS. Artinya disini bahwa terdapat sejumlah ”perangkat” intelijen di dalam organisasi TNI yang pada umumnya beroperasi di dalam ruang lingkup domestik. Hanya yang diketahui secara awam adalah muara dari sejumlah ”perangkat” intelijen tersebut, baik yang beroperasi melalui BAIS, struktur Koter, maupun personel Kopassus yang berasal dari Grup Sandi Yudha atau Detasemen 81 Gultor, adalah Panglima TNI sebagai ”user” puncak di TNI. 6 Sumber: Angel Rabasa – Johan Haseman, The Military and Democracy In Indonesia – Chalenges, Politics, and Power, RAND, Santa Monica, 2002, hal. 33 134 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Agar kegiatan intelijen militer dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya, terutama untuk menghindari penyalahgunaan wewenang. Perlu adanya payung hukum berupa undang-undang intelijen yang antara lain juga menjelaskan; ruang lingkup kegiatan intelijen militer, prosedur kerjasama internal antara sesama ”perangkat” intelijen di TNI, maupun dengan instansi intelijen non-TNI seperti BIN, serta dinas intelijen asing. Demikian juga dalam menjabarkan definisi obyek operasi intelijen perlu diuraikan secara jelas, karena jangan sampai intelijen militer ”melangkah” terlalu jauh dalam menetapkan obyek/sasaran dari intelijen militer terhadap sejumlah isu atau pihak yang sifatnya non-militer atau nonkombatan. Sehingga intelijen militer tidak lagi menafsirkan suatu perbedaan pandangan atau sikap kritis dari masyarakat sipil sebagai suatu ancaman nasional yang harus direspon oleh dinas intelijen militer beserta perangkat militer yang melekat didalamnya. Artinya bahwa perlu adanya mekanisme yang jelas serta berkekuatan hukum dalam bentuk undangundang. Perkembangan terakhir tentang draft RUU Intelijen Negara tahun 2006 belum dapat dikonfirmasikan, karena pemerintah belum menyerahkan ke DPR RI. RUU Intelijen Negara yang didalamnya memasukkan BIN sebagai koordinator komunitas intelijen indonesia yang membawahi BAIS TNI, BIK Polri dan dinas intelijen kejaksaan dan lain-lain Dari sisi substansi cukup baik, tetapi landasan hukum ini juga lebih menguatkan peran dan fungsi BAIS dalam melakukan tugasnya. Hanya persoalannya RUU ini belum dibahas lebih dalam ke publik. Tanpa UU itu pun, secara faktual BAIS sudah menjalankan fungsi intelijen militer baik dalam ruang lingkup tugas maupun dalam pengerahan dan penggunaan personel militer, baik yang tergabung di dalam BAIS maupun yang berasal dari kesatuan militer lainnya. Tapi di satu sisi banyak dikhawatirkan bahwa tanpa landasan hukum tersebut, akibatnya sangat terbuka celah adanya penyalahgunaan wewenang oleh BAIS dalam melaksanakan fungsinya. Apabila di masa mendatang landasan hukum dan aturan mekanisme yang jelas (yaitu UU) telah disahkan oleh parlemen dan pemerintah, maka diharapkan dapat meminimalkan penyalahgunaan wewenang. Terlebih lagi apabila BIN ”diletakkan” secara proporsional sebagai koordinator utama atas dinas-dinas intelijen lainnya termasuk BAIS, diharapkan dapat relatif mempermudah pengawasan Legislatif terhadap berbagai dinas intelijen.< 135 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia Reformasi Kepolisian Republik Indonesia 1 S. Yunanto 2 Pendahuluan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu komponen terpenting dalam reformasi birokrasi sektor keamanan, karena reformasi ini memberikan jaminan penegakan hukum dan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, suatu fungsi yang melekat pada institusi Polri. Dalam fungsi penegakan hukum, Polri menjadi ujung tombak bersama dengan birokrasi peradilan yang lain seperti kejaksaan, peradilan, penyidik pegawai negeri lainnya (PPNS), dan lembaga-lembaga non departemen seperti KPK. Dalam fungsi mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat (kamtibmas), maka polisi menjadi komponen inti, sekalipun mendapat bantuan dari masyarakat, aparat-aparat pemolisian lainnya seperti Satuan Polisi Pamong Praja dan Polisi Kehutanan. Salah satu komponen terpenting dalam reformasi sektor keamanan adalah reformasi kepolisian, karena reformasi dalam sektor ini mempunyai jalinan interdependesi yang sangat erat dengan reformasi pada sektor lain. Beberapa alasan mengapa sebuah reformasi di tubuh kepolisian harus dilakukan adalah karena sejak rejim Suharto digulingkan, muncul kecenderungan di masyarakat untuk menindak sendiri kejahatan yang terjadi di lingkungannya. Jika reformasi Polri tidak dilakukan, masyarakat akan mengambil tindakan sendiri. Secara lebih rinci kemungkinan itu akan terjadi karena empat hal: 1). Postur dan organisasi POLRI yang paramiliter tidak fleksibel terhadap kemauan masyarakat yang menjadi konsumennya, 2). Kultur polisi yang elitis dan cenderung mementingkan kelompoknya menutup akses bagi publik dalam proses pembuatan kebijakan serta pengontrolan hasil atau implementasi kebijakan, 3). Kendala struktural POLRI berupa anggaran dan fasilitas yang tidak memadai, jumlah dan klasifikasi personel yang tidak mendukung, dan ruang gerak yang terbatas karena dipagari oleh dimensi politik telah menjadikan jasa POLRI berkisar pada minimum policing, 4). Munculnya sikap dan kemauan untuk mempolisi diri sendiri di masyarakat, meskipun hal itu tidak efisien secara ekonomi. 3 Sejarah Polri Birokrasi Polri telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Pada masa itu, birokrasi kepolisian ditujukan untuk melayani penjajah Belanda, yaitu memberikan perlindungan manusia, harta benda dan kekayaan lainnya dari ancaman pencurian, penjarahan dari pihak-pihak yang 1 Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sidratahta Mukhtar dan Rahmad Syarief yang telah membantu dalam pengumpulan data untuk kepentingan penulisan ini. 2 S. Yunanto, mahasiswa doktoral di Western Michigan University, pendiri IDSPS. 3 Adrianus Meliala, Mengkritisi Polisi (Jakarta: Kanisius, 2001), seperti dikutip dalam Agung Suprananto, Reformasi Manajemen Keuangan POLRI (Jakarta: Kemitraan, 2005), hal. 9 136 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 merugikan pihak Belanda. Sepanjang pendudukan Belanda, orientasi birokrasi kepolisian adalah untuk membela kepentingan penguasa dan elite pribumi. Fungsi dan kedudukan birokrasi kepolisian pada masa pendudukan Jepang hampir sama, meskipun sebagian besar anggota kepolisian berasal dari penduduk pribumi. Setelah kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengintegrasikan birokrasi kepolisian kedalam birokrasi Kementerian Dalam Negeri. Sejalan dengan situasi politik pada masa itu, kepolisian masih mengalami tekanan sebagaimana yang dialami penduduk Indonesia yang sedang mengalami perjuangan kemerdekaan. Pada masa akhir Orde Lama, tepatnya ketika dikeluarkan UU No 13 tahun 1961 dan dilanjutkan dengan Keppres No 290/1964, 12 November 1964, Polri diintegrasikan kedalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, kini TNI ). Polri menjadi ujung tombak penjaga stabilitas politik. Pengintegrasian ini kemudian disadari mengakibatkan fungsi dan tugas Polri tidak maksimal. Berbagai kasus keamanan yang berhubungan dengan persoalan sosial-politik ditangani lebih lanjut oleh ABRI sebagai institusi induknya. Antara peran dan tugas Polri dengan ABRI menjadi rancu. Misalnya kebijakan institusi militer pasca pemberontakan adalah menegakkan hukum, suatu tugas yang menjadi domain kepolisian. Pengintegrasian Polri kedalam ABRI juga telah menyebabkan ideologi militer sangat kuat dalam sistem pendidikan dan manajemen, pengorganisasian yang sentralistik dan komunitas polisi lebih lekat kepada militer daripada komunitas kepolisian.4 Pada masa Orde Baru posisi Polri lebih lemah, karena struktur organisasi Polri masih berada dibawah ABRI. Karena sistem anggaran yang masih disatukan dibawah ABRI, pengadaan peralatan sering juga dikalahkan oleh ABRI. Ketidakjelasan posisi Polri dalam ABRI juga mengakibatkan Polri tidak profesional. Sikap dan tindakan Polri selama Orde Baru lebih nampak seperti “militer” dan jauh dari sikap polisi sebagai pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Segala ketentuan angkatan bersenjata juga diberlakukan bagi kepolisian, seperti pendidikan, sistem anggaran dan keuangan serta kebutuhan lainnya.5 Jatuhnya Orde Baru dan mulainya era reformasi memberi pengaruh yang sangat penting dalam reformasi kepolisian. TAP MPR No VI dan VII tahun 2000 memisahkan Polri dari TNI dan meletakkan fungsi Polri yang terpisah dari TNI. Organisasi Kepolisian RI (Polri) selanjutnya langsung berada dibawah presiden. Tentang fungsi Polri ini TAP MPR No. VI dan VII tahun 2000 bab 2 pasal 6 menjelaskan : 1. Kepolisian Negara merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan perlindungan masyarakat. 2. Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan ketrampilan profesional.6 4 Bambang W Umar, Penafsiran Kembali Simbol-Simbol Polisi, Jurnal Polisi Indonesia, 4/2002 hal 19-20 5 Salim Said, Polisi Republik Indonesia Dalam Pusaran Arus Politik, Naskah Dies Natalis ke 54, PTIK, Jakarta, 17 Juni 2000. 6 Lihat Ketetapan MPR Nomor VII tahun 2000, tentang peran TNI dan Polri 137 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia Kedudukan Polri yang langsung berada dibawah presiden ini hingga masa reformasi yang telah memasuki sepuluh tahun menjadi kontroversi yang menghangat. Dari perspektif Polisi, lepasnya Polri dari struktur TNI telah mendorong tingkat independensi dan otonomi Polri, yang menjamin terciptanya profesionalisme. Sementara itu kalangan luar Polri khususnya kelompok masyarakat sipil melihat bahwa kedudukan ini pada akhirnya menempatkan POLRI sebagai aktor politik aktif dalam percaturan politik nasional. Kedudukannya yang sejajar dengan menteri-menteri dalam kabinet membuat KaPolri (dan Panglima TNI) akan selalu terlibat dalam rapat-rapat kabinet dan mengambil keputusan politik. Selain itu, posisi POLRI di bawah Presiden pada akhirnya menyebabkan POLRI berpotensi menjadi alat kekuasaan Presiden. Tiga kali pergantian presiden pada masa reformasi menunjukkan institusi Polri dipolitisasi, atau digunakan oleh presiden untuk mempertahankan kekuasaannya. Politisasi pertama terjadi pada akhir pemerintahan Abdurrahman Wahid sebagaimana yang dicatat penulis dalam kutipan di bawah ini : ”... Pasal 7 ayat 3 ketetapan MPR VII/ 2000 menyebutkan pergantian KaPolri harus dengan persetujuan DPR-RI. Pada masa kepemimpinan Polri ditangan Rusdiharjo terjadilah skandal Buloggate dan penyimpangan dana bantuan Sultan Brunei yang kemudian menyeret krisis politik yang mengancam kekuasaan Gus Dur. Sikap Rusdihardjo yang terkenal disiplin dan menjunjung tinggi norma-norma tidak bisa membantu Gus Dur untuk menyelesaikan masalah tersebut. Karena sikapnya yang tidak mau kompromi, Rusdihardjo kemudian dicopot dan digantikan Soerojo Bimantoro. Argumen yang dibuat Gus Dur pada saat itu adalah karena Rusdihardjo menolak menangkap Tommy Suharto. Pada waktu Gus Dur mengeluarkan dekrit, Gus Dur berniat memasukkan orangnya ke dalam jajaran tinggi POLRI, maka ditunjuklah Irjen. Pol Drs. Chaeruddin Ismail sebagai Waka Polri dengan maksud menggantikan Soerojo Bimantoro yang juga tidak mendukung dikeluarkannya dekrit. Padahal jabatan Wakapolri sudah tidak diatur dalam struktur organisasi POLRI. Pengajuan calon tidak lagi melalui Wanjakti atau forum resmi untuk mengkaji integritas, kapabilitas, dan kredibilitas calon karena dipilih berdasarkan ”selera”. Bimantoro kemudian menolak penonaktifan dirinya dengan alasan bahwa pergantian KaPolri sudah ada prosedurnya. Sikap Bimantoro yang tidak mau mundur dari jabatannya memicu dualisme kepemimpinan di Mabes POLRI. Selain Bimantoro, pucuk pimpinan POLRI juga dijabat oleh Chaerudin Ismail yang telah mengantongi keppres. Sedangkan Bimantoro sendiri mendapat dukungan dari DPR. Pada HUT POLRI ke 55, 1 Juli 2001, Gus Dur sebagai inspektur upacara secara mengejutkan membacakan pemberhentian Bimantoro sebagai Kapolri melalui Keppres No. 49/POLRI/2001....” 7 Pada masa Pemerintahan Megawati yang menggantikan Gus Dur, politisasi Polri yang seharusnya netral dalam pemilihan presiden langsung 2004 pertama kali dalam sejarah Bangsa ini juga terjadi. Politisasi ini terjadi pada saat salah satu pimpinan kepolisian daerah menunjukkan keberpihakannya kepada Megawati, yang saat itu masih menjabat sebagai presiden dan akan maju dalam pemilihan presiden langsung. Kasus yang kemudian dikenal sebagai ”VCD Banyumas” ini mencuat di bulan Juli tahun 2004 ketika beredar VCD berdurasi 25 menit yang berisikan rekaman pengarahan Kepala Kepolisian Wilayah Banyumas 7 S. Yunanto, Muchammad Nurhasim, dan Ishak Fathonie, Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia: TNI dan POLRI (Jakarta: The Ridep Institute dan FES, 2005), hal. 60 138 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Komisaris Besar A.A. Maparessa yang dinilai beraroma arahan mendukung calon Presiden Megawati Sukarnoputri (calon Presiden incumbent saat itu). Kasus VCD itu merupakan rekaman pengarahan pada acara silaturahmi dengan purnawirawan POLRI, wara kawuri, dan anggota Bhayangkara Polres Banjarnegara.8 Disebutkan dalam VCD tersebut bahwa POLRI berhasil mendapat statusnya saat ini karena capaian yang diberikan pemerintahan Presiden Megawati, yaitu menempatkan POLRI di bawah presiden langsung. POLRI menjadi lebih mandiri dan mendapat berbagai macam fasilitas. Disebutkan pula bahwa Megawati menjanjikan lebih banyak fasilitas dan gaji ke 13 bagi anggota POLRI. Di sisi lain, beberapa pernyataan dalam VCD itu terkesan mendiskreditkan calon lain, seperti calon Presiden Amien Rais yang dikatakan akan menempatkan POLRI di bawah Gubernur, Susilo Bambang Yudhoyono yang dikatakan akan menempatkan POLRI di bawah Departemen Dalam Negeri, dan Hamzah Haz yang melakukan poligami.9 Kasus Ketiga terjadi pada masa akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tepatnya pada 3 April 2009, pada masa kampanye untuk pemilihan anggota legislatif. Dalam kasus ini terlihat pejabat Polri yang seharusnya netral masih menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan keluarga presiden SBY. Kasus keberpihakan itu terjadi ketika Muhammad Nazirin (calon legislator dari Partai Gerindra) dan Bambang Krisminarso (Aktivis LSM Pijar Keadilan, Ponorogo) melaporkan telah terjadi praktek politik uang yang dilakukan tim sukses Edhie Baskoro.10 Hal ini terjadi karena tim sukses tersebut dilaporkan telah mengedarkan amplop berisi uang Rp 10 ribu dan foto Edhie Baskoro di Desa Blembem, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Tiga hari setelahnya, yaitu tanggal 6 April 2009 pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) menyatakan kasus tersebut tidak akan dilanjutkan. Alasannya adalah bukti yang diajukan pelapor dianggap tidak cukup karena tidak memenuhi kriteria pelanggaran dalam UU Pemilu. Yang terjadi bahkan sebaliknya, Polri berkonsentrasi pada kasus tuduhan pencemaran nama baik yang dilaporkan balik oleh Edhie Baskoro terhadap Nazirin dan Krisminarso, selain juga sejumlah media seperti Okezone, Jakarta Globe, dan Harian Bangsa.11 Kasus ini dipandang berbagai pihak mengandung kecurigaan. Koran Tempo menyatakan kasus ini aneh karena tidak ada penjelasan yang cukup yang diberikan POLRI, misalnya mengenai pernyataan POLRI bahwa tidak ada bukti yang cukup, masyarakat tidak ditunjukkan kenyataannya. Sementara itu, kejanggalan juga terjadi karena pihak Panwaslu dan POLRI terkesan saling lempar tanggung jawab. Ketua Panitia Pengawas Pemilu Ponorogo 8 “Mabes POLRI Turunkan Tim Usut VCD Polisi Megawati”, diakses dari http://www2.kompas.com/kompascetak/0407/28/Politikhukum/1176067.htm 25 Juni 2009 8:43 9 ”Politik Tersembunyi VCD POLRI”, diakses dari http://www.gatra.com/2004-08-08/artikel.php?id=42775 pada tanggal 25 Juni 2009 pukul 8:49 10 Edhie Baskoro sering disingkat menjadi Ibas adalah putra kedua pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY ) dan Kristiani Herawati (Ani Yudhoyono) yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR Partai Demokrat untuk daerah pemilihan Jawa Timur. 11 “Penyelidikan Kasus Edhie Baskoro Dihentikan”, diakses dari http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/18/Nusa/krn.20090418.162844.id.html pada tanggal 25 Juni 2009 pukul 9:07 139 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia Arif Supriadi mengatakan sudah tidak bertanggung jawab lagi. Sebaliknya Ajun Komisaris Suhono, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Ponorogo dan Koordinator Sentra Penegakan Hukum Terpadu, justru menunjuk Panwas sebagai pihak yang mengetahui persoalan ini.12 Mantan Anggota KPU, Mulyana W Kusumah, sementara itu, menganggap POLRI bertindak terlalu cepat, sementara Panwaslu bertindak terlalu lambat.13 Ketiga kasus diatas dapat di sebut sebagai contoh rentannya institusi Polri terhadap pengaruh kepentingan politik individual presiden dalam mempertahankan kekuasaannya. Polri seakan –akan menjadi institusi yang membela kepentingan kekuasaan yang tidak adil. Polri tidak berpihak kepada masyarakat dan prinsip-prinsip keadilan. Dengan berkaca pada hal tersebut, maka direkomendasikan untuk menempatkan POLRI di bawah suatu departemen misalnya Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, ataupun Kementerian Keamanan Dalam Negeri (homeland security).14 Hal ini dilakukan di sejumlah negara seperti Thailand dan Filipina. Tujuannya adalah untuk membatasi ruang gerak POLRI yang berfungsi sebagai alat profesional, dan bukannya pemain politik. Dengan struktur ini, POLRI tidak perlu mengambil keputusan politik, dimana keputusan ini diambil oleh politisi sipil yang menjadi naungan POLRI.15 Dengan demikian, POLRI akan fokus hanya pada isu operasional penegakan keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum dan semakin menjauhkan diri dari kepentingan politik sesaat. Struktur Organisasi. Saat ini anggota Polri berjumlah sekitar 250 ribu. Jika dilihat dari dimensi rasio dengan penduduk, jumlah polisi belum mencapai pada tataran ideal, karena rasio yang ideal menurut ketentuan PBB adalah 1:500. Pada tahun 2005 rasio jumlah Polri dengan Penduduk ditargetkan 1:675. Apabila rencana rekrutmen personil tahun 2009 tercapai maka rasio polisi dengan penduduk menjadi 1: 537, rasio ini sudah mendekati ketentuan PBB 1: 500. Pimpinan Polri masih menganggap belum idealnya rasio jumlah personil ini sebagai salah satu sebab belum efektifnya kinerja polri. Walaupun demikian anggapan itu perlu diuji apakah memang benar demikian. Ataukah karena faktor lain misalnya profesionalisme, efektivitas kepemimpinan dan rendahnya motivasi kerja. Setelah Polri terpisah dari struktur organisasi TNI, maka Polri menjadi lembaga non pemerintahan yang langsung berada dibawah Presiden. Dengan pemisahan ini Polri diharapkan akan menjadi betul-betul otonom, independen, tanpa intervensi lembagalembaga lain, terutama partai politik. Penyusunan organisasi Polri harus didasarkan pada kepentingan tugas, tuntutan masyarakat yang bersifat nasional dan memperhatikan karakteristik daerah dan disusun secara situasional, namun tetap mengacu kepada wawasan nusantara, persatuan dan kesatuan. Pengangkatan personil-personil organisasi dibedakan 13 “Polisi Terlalu Cepat, Panwaslu Terlalu Lambat”, diakses dari http://pemilu.detiknews.com/read/2009/04/08/122004/1112272/700/polisi-terlalu-cepat-panwaslu-terlalulambat pada tanggal 25 Juni 2009 pukul 9:14 13 Yunanto, Nurhasim, dan Fathonie, Op. Cit., hal. 59 14 Ibid. 140 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 antara daerah padat penduduk dan daerah jarang penduduk, perbedaan karakteristik, geografi dan adat istiadat seperti komunikasi, alat mobilisasi, teknologi, pembuktian dan lainnya. Selain itu, penyusunan jabatan organisasi tidak bersifat top heavy, melainkan dititikberatkan pada tingkat polres dan polsek sebagai ujung tombak operasional.16 Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan rekrutmen di daerah yang menekankan kepada sumberdaya lokal (local boy for local job). Dengan sistem yang terintegrasi, pola kerja kepolisian nasional dilaksanakan secara bottom up dengan pendelegasian wewenang dan tanggungjawab yang lebih luas kepada kewilayahan terutama polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar (KOD). Penyusunan organisasi Polri disesuaikan dengan struktur pemerintahan daerah dan sistem peradilan pidana. Organisasi Polri disusun tanpa birokrasi yang panjang agar dapat menjamin pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat sehingga masyarakat merasakan pelayanan polri.17 Sistem Pendidikan Pada saat Polri masih menjadi bagian dari ABRI (kini TNI), materi pendidikan di Polri terdiri dari 40 % komponen militer dan sebanyak 60 % profesionalisme kepolisian. Akibatnya budaya militer melekat pada perilaku dan sikap sehari-hari personel Polri yang masih bekerja berdasarkan perintah atasan, selalu mengatakan siap perintah dan berbagai jargon militeristik lainnya. Padahal kepolisian harus tunduk pada undang-undang yang berlaku (KUHAP).18 Setelah Polri berpisah dari TNI, persoalan utama pendidikan adalah bagaimana mendesain kurikulum pendidikan yang mampu mengubah kultur militeristik menjadi kultur polisi sipil. Sebagai upaya mewujudkan pegawai Polri yang profesional dan berbudaya serta mampu mengimbangi tingkat pendidikan masyarakat, maka sistem pendidikan polri di susun berdasarkan sistem pendidikan nasional, yaitu dengan pengembangan ilmu kepolisian yang dilakukan melalui konsorsium ilmu kepolisian dibawah Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS). Berbagai substansi dan latihan Polri termasuk kurikulum pada setiap jenis pendidikannya diorientasikan dengan berbagai materi yang berkait erat dengan profesi kepolisian, antara lain penguasaan masalah-masalah HAM, demokratisasi, lingkungan hidup dan kemampuan dialog interaktif maupun muatan lokal/budaya setempat. Sebelum diangkat menjadi pegawai polri, para pelamar terlebih dahulu diberikan kesempatan magang (probationary period) sebagai upaya pembentukan mental kepribadian calon pegawai Polri yang baik. Bagi yang memenuhi syarat akan dilantik menjadi pegawai Polri yang ditandai dengan pengucapan sumpah dan pernyataan penerimaan kode etik Polri. 16 Bibit R Rianto, Reformasi Polri, Pemikiran Kearah Kemandirian Polri, Jakarta, hal. 40-41 17 Kebijakan kapolri, 1 juli 1999, jenderal Polisi Roesmanhadi, Jakarta. Hal. 20-21 18 Periksa hasil penelitian PTIK, tentang kemandirian polri pasca mandiri, PPITK, 1999. 141 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia Untuk menjadi pegawai polri, saat ini diselenggarakan melalui berbagai jenjang lembaga pendidikan yang terdiri dari jenjang pendidikan sekolahan dan jenjang pendidikan keahlian, pendidikan sain, teknologi dan spesialisasi seperti Pusdik Lantas, reserse, intel, Sabhara, Brimob serta Pusdik Administrasi. Jenjang pendidikan sekolah Polri dapat dilihat dalam gambar dibawah ini. Pend. PengemBangan Selapa, PTIK, Sespim/ Sespati Pendidikan Pembentukan Sekolah Bintara Reguler (Seba Reg), Sekolah Calon Perwira/ Sekolah Pembentukan Perwira (Secapa/ Setukpa) Pendidikan Pertama (Diktama) Tamtama (Seta), Sekolah Bintara (Seba), Sekolah Calon Perwira (Secapa), Pendidikan Perwira Sumber Sarjana (PDSS), dan Akademi Kepolisian (Akpol) Jenjang pendidikan polri disusun untuk memperoleh kemampuan/kualifikasi keahlian melalui pola pendidikan Strata 1, 2 dan 3 serta kerja sama pendidikan baik dalam maupun luar negeri. Kualifikasi keterampilan melalui pola pendidikan D1 untuk setingkat petugas lapangan Polri (police worker), D3 untuk setingkat penyelia lapangan Polri (first line supervisor) serta melalui kejuruan. Kualifikasi manajerial melalui pola pendidikan manajerial tingkat menengah dan atas. Akpol dan PTIK adalah perguruan tinggi kedinasan karena sistem pendidikannya diarahkan untuk mengisi kebutuhan kedinasan dilingkungan Polri. SELAPA, SESPIM dan SESPATI adalah lembaga pendidikan di atas SMA yang beridentitas kedinasan, tetapi bukan perguruan tinggi. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan non-gelar, atau berdasarkan undang-undang disebut sebagai lembaga pendidikan profesi. Sekolah tinggi atau universitas merupakan lembaga pendidikan akademis. Khusus berkaitan dengan AKPOL yang erat kaitannya dengan PTIK, Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) menetapkan Universitas Diponegoro sebagai pembina akademis AKPOL. Untuk memasuki PTIK, mahasiswa yang berasal dari tamatan AKPOL harus melakukan praktek kerja beberapa tahun sebelum menempuh ujian masuk PTIK. Untuk pendidikan setelah PTIK, Polri juga bekerjasama dengan Universitas Indonesia menyelenggarakan pendidikan tingkat master (S2) dengan nama Kajian Ilmu Kepolisian (KIK). Berbagai macam pendidikan tersebut diharapkan dapat memberikan kemampuan yang dibutuhkan dalam 142 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 mengoperasionalisasikan organisasi Polri. Kemampuan itu terdiri dari kemampuan teknis profesional kepolisian, kemampuan manajerial kepolisian tingkat dasar, menengah dan tinggi dan kemampuan keahlian. Anggaran dan Bisnis Polri Pada masa Orde Baru, anggaran Polri sulit dideteksi, karena diintegrasikan kedalam anggaran ABRI (baca TNI). Pasca Reformasi, anggaran Polri mengalami kenaikan dari tahun ketahun berkisar antara 4% hingga 10%. Grafik dibawah ini menunjukkan kenaikan anggaran Polri sangat pesat dari tahun ke tahun. Bahkan jika dibandingkan antara anggaran pada tahun 2004 sebesar Rp. 10,645 trilyun dan tahun 2009 sebesar Rp 25,7 trilyun, kenaikan anggaran Polri dalam 6 tahun terakhir sudah mencapai 150 %. Grafik Anggaran Polri 2004-2009 Dalam trilyun (000,000,000,000) Selain sumber APBN, untuk membiayai kebutuhan operasional Polisi daerah juga menerima kontribusi dari APBD dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SIM, STNK dan BPKB dan penerimaan-penerimaan dari luar negara yang biasanya disebut partisipasi masyarakat (Parmas), partisipasi teman (Parman) dan pendapatan-pendapatan dari sumber-sumber yang secara hukum meragukan, sering disebut partisipasi dari sektor kriminal (Parmin). Penerimaan selain dari APBN tidak sesuai dengan UU Keuangan Negara dan menimbulkan persoalan akuntabilitas dan transparansi dan rawan terhadap praktek korupsi. Menurut Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LPEM) UI, walaupun mengalami kenaikan dari tahun ketahun, anggaran Polri masih menyisakan berbagai persoalan. Pertama, visi dan misi organisasi tidak tercermin dalam rencana dan anggaran. Kedua, dana yang terbatas dengan alokasi yang sub-optimal. Ketiga, praktek akuntabilitas semu di bidang keuangan. Persoalan lain, pelaksanaan anggaran Polri juga tidak mempunyai landasan hukum ketatanegaraan yang jelas, yang ini berbeda dengan anggaran pertahanan. Dalam UU No. 2 143 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia Tahun 2002 tentang Polri, tidak ditemukan dalam suatu pasal yang menjelaskan dari mana diperolehnya sumber anggaran polisi. Persoalan ini seakan-akan memberikan peluang bagi praktek-praktek pengumpulan dan yang tidak tidak akuntabel, transparan dan bahkan cenderung bertentangan dengan hukum. Padahal Polri merupakan salah satu institusi penegak hukum yang penting. Seharusnya sumber anggaran Polri dicantumkan secara jelas dalam UU Polri. Oleh karena itu reformasi anggaran di kepolisian sangat diperlukan. Pertama, keinginan agar Polri ke depan adalah polisi sipil yang efisien, efektif, akuntabel, dan profesional. Kedua, menghindari adanya peluang bagi adanya dana siluman, serta mengikis budaya setoran yang lekat dengan korupsi bagi aparat keamanan. Polisi sebagai lembaga yang vital mengurusi masalah- masalah keamanan masyarakat harus bersih dan dipenuhi kebutuhannya oleh negara sehingga fungsinya bisa benar-benar optimal.19 Mulai saat ini Mabes Polri telah berketetapan untuk merubah sistem anggaran Polri dari sistem anggaran yang berorientasi program (up to down) di mana besar anggarannya ditentukan oleh pemerintah, menjadi berorientasi anggaran (bottom up) atau anggaran Polri sesuai dengan kebutuhan kerja lapangan. Dengan berubahnya status Polri sebagai institusi sipil, kini dalam proses perencanaan dan penganggaran mengacu pada UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara, serta UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolahan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Perubahan sistem otorisasi anggaran Polri dianggap sebagai suatu kemajuan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugasnya. Namun demikian reformasi anggaran Polri masih menyisakan berbagai persoalan: Pertama, kinerja POLRI tidak dapat diukur, misalnya Petunjuk Perencanaan POLRI (Jukcan) yang belum memiliki indikator yang terukur dalam rangka pencapaian kerja, kecuali yang berhubungan dengan personel dan fasilitas. Dalam dokumen Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) tidak dicantumkan indikator kinerja awal dibandingkan dengan indikator kinerja akhir. Problem ketidakterukuran juga tampak dalam kebijakan penganggaran. Model perencanaan anggaran POLRI menganut line item budgeting, yaitu berupa target kenaikan, dalam presentase tertentu, dibandingkan anggaran tahun lalu. Hal ini menimbulkan masalah karena tidak disertai dengan indikator peningkatan kinerja, sehingga dana yang diberikan tidak selalu efektif dan tepat sasaran. Selain itu, setiap mata anggaran dianggap sebagai sesuatu yang deterministik "akan tetap ada" karena berpatokan pada pagu yang diterapkan Departemen Keuangan dan Bappenas, sehingga klasifikasi mata anggaran tidak sanggup mengakomodasi pencapaian sasaran strategis. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kebijakan anggaran POLRI hanya sebatas "memenuhi kewajiban" keharusan memiliki program kerja, dan tidak berdasar kebutuhan riil ataupun Rencana Strategis POLRI. 20 19 S. Yunanto, “Perlunya Reformasi Manajemen Anggaran POLRI”, dalam jurnal Indonesian Police 20 Suprananto, Op. Cit., hal. 22-32 144 Review, ……. Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Kedua, anggaran yang dialokasikan untuk POLRI hampir selalu lebih kecil dari kebutuhan sebenarnya. Sebagai gambaran, pada tahun 2004 anggaran POLRI yang berasal dari APBN hanya mencapai Rp 7,9 triliun, dimana angka ini hanya mencukupi 40% kebutuhan POLRI. Sekitar 75% dana tersebut digunakan untuk pembayaran gaji personel, sementara hanya 15% dari dana yang ada dialokasikan untuk kebutuhan operasional.21 Situasi ini memaksa POLRI untuk mencari sumber pendanaan lain di luar APBN sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Masalah yang muncul adalah karena praktek kontinjensi sulit sekali diukur besarannya, sehingga biasanya angka-angkanya merupakan perkiraan saja. Tentunya hal ini bermuara pada problem akuntabilitas dan transparansi anggaran POLRI. Ketiga, alur birokrasi penyaluran anggaran sangat panjang sehingga dana yang dibutuhkan hampir selalu datang terlambat. Hal ini diperparah dengan masalah penyerapan anggaran yang rendah di unit-unit kepolisian sehingga biasanya dana-dana tersebut akan menumpuk di akhir tahun dan terburu-terburu untuk dihabiskan sehingga hasilnya tidak pernah optimal. Sebagai gambaran pada bulan November 2002, realisasi penyerapan anggaran baru mencapai 51%-74%, padahal waktu penggunaan tinggal 1 bulan lagi. Problem pendanaan ini pada akhirnya mengarah pada masalah keempat, yaitu pelaporan anggaran yang hanya sebatas formalitas, mengingat keterlambatan turunnya dana sudah diantisipasi dengan penggunaan anggaran dari pihak lain. Akibatnya, saat dana dari APBN turun, dana tersebut hanya menjadi diskresi pimpinan. Masalah kelima yang muncul adalah dalam hal pengawasan penggunaan anggaran. Beberapa pos pemasukan, seperti pemotongan gaji pegawai, tidak pernah diketahui berapa besarnya dan digunakan untuk apa, sehingga melanggar prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi.22 Masalah yang lain adalah dalam perumusan anggaran satuan kerja. Hal ini berakibat penerimaan dana oleh Kepala Kesatuan Kerja (terutama di tingkat Polwitabes, Polwil dan Polres) dikhawatirkan tidak tersalurkan secara maksimal ke unit-unit polisi terendah. Akibatnya tingkat kesejahteraan anggota Polisi dengan pangkat rendah yang setiap hari bertanggung jawab dalam kegiatan operasi kepolisian kurang mendapatkan perhatian yang cukup. Kondisi ini sebaliknya menguntungkan pimpinan yang mempunyai kontrol terhadap anggaran. Dengan melihat beberapa persoalan tersebut diatas, reformasi di bidang manajemen anggaran sebagai hal yang mutlak untuk dilakukan. POLRI sendiri sudah memiliki payung hukum spesifik untuk melakukan hal ini, yaitu lewat Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kedua produk hukum ini pada intinya mengharuskan instansi pemerintah untuk mengadopsi pendekatan berbasis kinerja pada manajemen anggarannya. Beberapa poin penting dari UU No. 17/2003 tersebut diantaranya 1). Ka Polri merupakan kuasa Presiden dalam hal penggunaan anggaran; 2). Setiap instansi pemerintah wajib membuat rencana kerja yang disusun berdasarkan prestasi yang akan dicapai; 3). Anggaran disusun 21 “Dana POLRI Minim Dicari Terobosan Atasi Kekurangan”, diakses dari http://antikorupsi.org/indo/content/view/5538/6/ pada tanggal 15 Juni 2009 pukul 05:20 22 Suprananto, Op. Cit., hal. 32-37 145 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia berdasarkan tujuan yang hendak diraih dan realisasinya dilaporkan dengan basis prestasi kerja (kinerja) yang dicapai; 4). Belanja Negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja; 5). Laporan pertanggungjawaban meliputi laporan keuangan yang lengkap, yakni laporan realisasi anggaran, neraca, dan laporan arus kas yang diselenggarakan berdasarkan standar akuntasi pemerintahan. 23 POLRI sendiri saat ini tengah mengimplementasi hasil kerjasamanya dengan LPEM FEUI terkait reformasi anggaran ini. Rekomendasi yang diberikan LPEM menyangkut pendekatan Program Beralur Logika (PBL) dalam menyusun anggaran. Model PBL ini pada intinya menggabungkan visi misi sebuah institusi dengan sumber daya yang dimiliki serta memiliki tujuan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, berorientasi hasil, dan berjangka waktu tertentu. Selain itu, integrasi kerja merupakan fokus utama sehingga perencanaan tidak dilakukan secara parsial menurut unit kerja (selama ini perencanaan dilakukan secara parsial). PBL juga melihat kinerja institusi dari empat perspektif, yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran serta pertumbuhan.24 Sementara itu, dalam rangka menyiasati minimnya anggaran, Polri sendiri telah menerapkan sejumlah langkah. Yang pertama adalah efisiensi. Hal ini dilakukan dengan menerapkan skala prioritas kasus, dimana prioritas utama diberikan untuk kasus yang memiliki dampak psikologis besar bagi masyarakat, misalnya kasus kapak merah. Yang kedua, strategi dimana polisi berupaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengamanan lingkungan. Hal ini dilakukan Polri misalnya melalui program community policing atau pemolisian masyarakat. Yang ketiga, sinergi dengan sejumlah instansi pemerintah terkait. Polri telah membuat nota kesepakatan dengan Pertamina, sehubungan dengan insentif yang akan diterima Polri dalam mendukung operasi terhadap penimbunan bahan bakar minyak. Contoh lainnya, sinergi yang dilakukan POLRI dengan pemerintah Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur berbuah insentif dalam wujud bantuan rutin Rp 300.000/ bulan kepada seluruh polisi di daerah itu yang secara resmi dianggarkan dalam APBD.25 Brigjen Alantin Simanjuntak, Kepala Biro Kebijakan dan Strategi Deputi Perencanaan dan Pengembangan POLRI, mengatakan POLRI akan menggenjot pendapatan bukan pajak untuk menambal kekurangan anggaran. Hal ini dilakukan misalnya lewat biaya pembuatan SIM, STNK, dan BPKB dimana sejak Februari 2005 POLRI berhasil mendapat 74% penerimaan dari sektor ini.26 Pertanyaan yang perlu diajukan dalam kaitan penggunaan dana departemen lain dan Pemerintah Daerah adalah apakah sudah mempunyai landasan UU yang jelas. Selain itu tentunya jika memang terjadi apakah dana-dana tersebut dikelola dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas untuk mendukung operasionalisasi Polri, bukan disalahgunakan untuk kepentingan pejabat Polri. 23 Suprananto, Op. Cit., hal. 8 24 Ibid., hal. 49-59 25 Budi Gunawan, “Quo Vadis Anggaran POLRI?”, diakses dari http://www2.kompas.com/kompas- cetak/0308/04/opini/466573.htm pada tanggal 15 Juni 2009 pukul 4:40 26 “Dana POLRI Minim Dicari Terobosan Atasi Kekurangan”, diakses dari http://antikorupsi.org/indo/content/view/5538/6/ pada tanggal 15 Juni 2009 pukul 5:20 146 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Beberapa pengamat mengusulkan sejumlah cara untuk menangani problem kekurangan dana. Irjen. (Purn) Bibit Rianto mengusulkan POLRI untuk mendapat dana tambahan dari APBD, mengingat di era otonomi daerah ini Pemda mendapat keleluasaan lebih besar untuk menggunakan anggarannya. Adrianus Meliala, sementara itu, mengusulkan POLRI untuk menghimpun dana dari sumbangan masyarakat, selama terdapat aturan penertiban yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dari sumbangan tersebut. Pengamat yang lain, mantan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki memandang bahwa peningkatan pendanaan tidak akan berdampak efektif jika tidak dirasakan oleh polisi di tingkat paling rendah, yaitu polisi sektor (polsek). Karena itu, menurutnya, yang juga penting adalah bagaimana menjamin alur birokrasi yang efisien sehingga dana yang dibutuhkan tepat waktu dan tepat guna bagi petugas di lapangan.27 Bisnis Polri Terdapat tiga Jenis Bisnis yang berjalan di lingkungan kepolisian; koperasi, yayasan dan perorangan yang dilakukan oleh mantan polisi dan biasanya mempunyai kaitan dengan institusi kepolisian. Usaha itu sudah berlangsung sejak Orde Baru berkuasa, yaitu pada saat Polri masih bergabung dengan ABRI. Di lingkungan Polri, bisnis itu ada yang sejalan dengan wewenang yang dimiliki, seperti bisnis di bidang pengadaan sarana administrasi SIM, STNK, BPKB (SSB), plat nomor kendaraan dan asuransi kecelakaan lalu-lintas. Bisnis yang berkaitan dengan pengadaan administrasi SIM, STNK, BPKB, Plat Nomor Kendaraan dan Asuransi Kecelakaan lalu-lintas telah dilakukan secara merata di seluruh wilayah Indonesia melalui satuan lalu-lintas di Polda-Polda, Polwil-Polwil dan Polres-polres tanpa ada saingan. Karena bisnis itu sudah melekat pada diri organisasi Polri maka bisnisbisnis yang lain bukan tujuan utama. Bisnis di lingkungan Polri sangat berpengaruh terhadap sikap independensi polisi dalam menjalankan tugas, karena bisnis Polri membuka kemungkinan terjadinya KKN antara polisi yang mempunyai otoritas penegakan hukum dan teknik-teknik hukum dengan pihak yang kuat yang sedang berperkara. Bagi pihak yang sedang berperkara, praktek KKN membuka peluang untuk melepaskan diri dari proses pengadilan. Dalam situasi seperti ini, bisnis Polri dapat mendorong polisi menjadi alat kejahatan. Usaha bisnis di lingkungan polri juga dapat mempengaruhi perilaku polisi yang seharusnya berorientasi pada “prestise” (reputasi nama baik) dalam menjalankan tugas berubah kearah orientasi pada “material” (uang),dimana kepentingan pribadi polisi akan lebih menonjol dan sangat mungkin mengalahkan misi kelembagaan. Penanganan bisnis Polri berbeda dengan penanganan bisnis militer. Saat ini persoalan yang berkaitan dengan bisnis militer sudah mendapatkan perhatian kalangan CSO yang luas dan kerangka hukum yang jelas, walaupun implementasinya masih meragukan. Berbagai kajian dan penelitian tentang bisnis militer sudah sangat banyak. Hingga saat ini kajian tentang 27 Ibid. 147 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia bisnis Polri masih sangat minim. Kerangka hukumnya pun belum jelas. UU tentang Polri tidak menyebutkan arah yang jelas tentang bisnis Polri ini. Keterlibatan Polri dalam bisnis akan mempengaruhi profesionalitas, independensi dan azas keadilan dalam memberikan pelayanan. Selain itu, belum adanya kerangka penanganan bisnis Polri juga menimbulkan kecemburuan di kalangan militer yang keterlibatannya dalam bisnis juga telah diusik melalui beberapa kajian dan bahkan UU. Korupsi dalam Polri Persoalan perilaku juga menjadi kritik terhadap POLRI dimana organisasi ini dipandang belum hadir sebagai organisasi yang profesional dan bebas korupsi. Budaya korupsi di tingkat kepolisian terjadi mulai dari tingkat yang paling rendah seperti dalam pengurusan SIM, STNK, dan lain-lain hingga ke tingkat paling tinggi seperti penanganan kasus kejahatan.28 Penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) menunjukkan bahwa perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam tubuh POLRI terjadi di hampir semua lini/satuan organisasi kepolisian. Perilaku KKN dalam institusi Polri terjadi dalam berbagai bentuk di enam satuan organisasi, yaitu reserse kriminal, intelijen keamanan, samapta, lalu lintas, personil, dan logistik. Uraian area dan deskripsi korupsi dalam Polri diuraikan dalam tabel dibawah ini : Tabel korupsi dalam kepolisian No Area Korupsi Deskripsi 1 Reserse Kriminal 2 Intelijen KKN terjadi dalam 5 bentuk: penerbitan surat izin keramaian dan usaha Keamanan hiburan, pungli dalam penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian/ SKCK, praktik intimidasi dan kolusi dalam menangani tenaga kerja asing, kolusi antara pengelola perjudian dan aparat satuan intelijen keamanan, dan penyalahgunaan wewenang dalam penanganan tindak pidana umum. 11 jenis KKN: penyimpangan prosedur penangguhan penahanan, rekayasa penanganan/penindakan kasus illegal logging, kolusi dalam penyelenggaraan perjudian (toto gelap), penyimpangan prosedur pinjam pakai barang bukti, penyimpangan penerbitan surat keterangan kehilangan kendaraan bermotor untuk persyaratan klaim asuransi, penyimpangan dalam penanganan kasus narkoba, penyimpangan dalam penanganan kasus depo BBM ilegal, penyimpangan proses penyelidikan kasus pidana, kolusi pengelolaan kegiatan prostitusi, sindikasi tindak pidana bidang pertanahan, dan penyimpangan dalam penyelidikan dan penyidikan peredaran VCD bajakan. 28 www.suarakarya.com, 11 Juni 2009 148 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 No Area Korupsi Deskripsi 3 Samapta penyimpangan pelaksanaan patroli polisi, penanganan illegal logging, perlakuan diskriminatif petugas terhadap tahanan dan keluarganya, praktik penerimaan laporan dan pengaduan masyarakat, pungli dalam penyeberangan angkutan truk, dan penyimpangan dalam pengamanan proses ekspor dan impor. 4 Lalu lintas Penyimpangan terhadap penyidikan kecelakaan lalu lintas, penyimpangan pada proses pinjam pakai barang-barang bukti dengan jaminan uang, penyimpangan pada proses tindak lanjut perkara kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia, dalam prosedur pembuatan SIM dan STNK, dan dalam proses penegakan hukum. 5 Personil Penyimpangan dalam penempatan personel POLRI pada tingkat polres, pengusulan pendidikan, pelaksanaan seleksi bintara polisi, pengeluaran tambahan siswa Secapa POLRI, penegakan hukum oleh pengemban tugas provos, penangguhan penahanan, hingga pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Polri Sukanto. 6 Logistik Penyimpangan dalam hal pendistribusian BBM, proses sewamenyewa tanah-tanah milik POLRI, sistem distribusi anggaran, dan proses penggunaan serta penghunian rumah dinas. 29 Meluasnya praktek korupsi di hampir semua lini kepolisian telah berimplikasi buruk pada persepsi masyarakat terhadap polisi. Beberapa polling dan survei yang dilakukan beberapa institusi menunjukkan bahwa kepolisian adalah salah satu lembaga terkorup di Indonesia, sehingga dengan sendirinya menimbulkan citra buruk di masyarakat. Yang menyedihkan adalah sejak kejatuhan rezim Suharto, hingga saat ini tampaknya belum ada perubahan signifikan dalam persepsi negatif masyarakat terhadap kepolisian. Polling yang dilakukan oleh harian Kompas yang dimuat pada hari Senin, 30 Juni 2003 menunjukkan bahwa citra buruk polisi mencapai angka 62,9% sementara citra baiknya hanya mencatat angka 26,6%.30 Angka ini kemudian berubah di tahun 2003 dengan penurunan citra buruk polisi menjadi 47,4% dan peningkatan citra baik menjadi 41,2%. 29 ___, POLRI dan KKN (Jakarta: Kemitraan, 2004), hal. 21-52. Buku tersebut merupakan rangkuman hasil skripsi yang dilakukan oleh 132 peserta didik PTIK. 30 ___,”Partisipasi Publik pada Tugas Pengayoman dan Pelayanan POLRI”, diakses dari http://unisosdem.org/article_detail.php?aid=2079&coid=3&caid=22&gid=1 pada tanggal 12 Juni 2009 pukul 22:30 149 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia 2002 2003 Citra Buruk Citra Baik Sementara itu, Transparency International (TI) yang melakukan survey terhadap Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia setiap tahun juga menunjukkan buruknya pandangan masyarakat terhadap praktek korupsi yang salah satunya terjadi dalam institusi kepolisian. Survei itu dilakukan kepada kelompok pengusaha dan unsur-unsur masyarakat lainnya yang sering berhubungan dengan institusi publik, sehingga dengan demikian persepsi mereka menunjukkan seberapa baik kinerja institusi publik yang bersangkutan. Survei yang dilakukan dua tahun terakhir menunjukkan kepolisian hampir selalu menempati peringkat atas sebagai lembaga publik terkorup. Di tahun 2006, kepolisian menempati posisi kelima lembaga terkorup dengan tingkat inisiatif suap sebesar 78%. Angka ini lebih baik dibandingkan sejumlah institusi lain seperti lembaga peradilan yang mencapai 100%, bea dan cukai 95%, imigrasi 90%, dan BPN 84%.31 Di tahun 2007, lembaga kepolisian melejit ke urutan pertama sebagai institusi publik terkorup dengan nilai indeks 4,2, disusul lembaga peradilan dan DPR di urutan kedua dengan nilai indeks 4,1. Sedangkan partai politik nilainya 4,0, disusul pelayanan perijinan dan perpajakan yang masing-masing indeksnya 3,8 dan 3,6. Semakin tinggi indeks, semakin dipersepsikan terkorup.32 Sementara itu, survei terakhir yang dilakukan pada tahun 2008 menunjukkan indeks suap polisi mencapai 48%, yang berarti hampir setengah dari interaksi antara masyarakat dengan kepolisian terjadi kasus penyuapan (n=1218). Angka ini diikuti oleh bea cukai sebesar 41%, imigrasi 34%, DLLAJ 33%, dan pemerintah daerah sebesar 33%.33 Indeks Persepsi Suap Transparency International Indonesia Tahun 2006 dan 2008 2006 100 100% 2008 95% 90 90% 84% 80 78% 70 60 50 40 30 20 10 0 Lembaga Peradilan Bea Cukai Imigrasi BPN POLRI 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 48% 41% POLRI Bea Cukai 34% 33% 33% Imigrasi DLLAJ Pemda 31 “Komitmen Kepala Daerah dalam Pemberantasan Korupsi Meningkat, Indeks Persepsi Korupsi 32 kota di Indonesia Berjalan di Tempat”, diakses dari http://www.ti.or.id/researchsurvey/90/tahun/2007/bulan/02/tanggal/28/id/2820/ pada tanggal 12 Juni 2009 pukul 22:45 32 “Polisi, Parpol, Parlemen, dan Peradilan Dianggap Paling Terpengaruh dari Korupsi”, diakses dari http://www.ti.or.id/researchsurvey/90/tahun/2007/bulan/12/tanggal/06/id/3473/ pada tanggal 12 Juni 2009 pukul 22:40 150 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Pengawasan Kepolisian Salah satu isu yang paling urgen untuk dibahas adalah fungsi pengawasan. Fungsi ini menjadi begitu penting karena institusi Polri memegang dua fungsi pokok yaitu: fungsi diskresi (discretion) dan kerahasian (secrecy). Fungsi diskresi secara sederhana diartikan sebagai wewenang dalam menginterpretasikan sebuah norma peraturan sebagai dasar pengambilan tindakan dalam menjalankan tugas. Sedang fungsi kerahasiaan (secrecy) adalah wewenang. Polisi dalam menjaga kerahasiaan. Kedua fungsi ini seperti pisau bermata dua. Di tangan anggota yang mempunyai moralitas yang tinggi, kedua fungsi ini bisa menjadi basis tindakan yang memberikan manfaat kepada masyarakat. Di tangan anggota yang mempunyai moralitas yang rendah, kedua fungsi ini bisa menjadi peluang yang membenarkan segala macam pelanggaran. Terlebih-lebih polisi mempunyai monopoli dalam penegakan hukum. Agar fungsi ini dapat digunakan sesuai dengan tugas pokok Polri, maka perlu disertai dengan sistem pengawasan. Secara internal, implementasi organisasi Polri diawasi oleh sebuah Inspektorat yang disebut sebagai Irwasum. Inspektorat pengawasan umum (Irwasum) memiliki tugas menyelenggarakan fungsi: pembinaan, pengawasan dan pemeriksaan umum bagi seluruh jajaran Polri, menyelenggarakan kegiatan rutin pengawasan umum dan pemeriksaan baik yang terprogram maupun yang tak terprogram terhadap aspek manajerial semua unit organisasi Polri dan menyusun laporan hasil pemeriksaan termasuk penyimpangan pelaksanaan tugasnya.34 Pengawasan dalam forum formal dan birokratis dilakukan ketika POLRI mengadakan rapat inter-departemen terkait dengan bakal diluncurkannya produk-produk berupa peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Pengawasan eksternal pada level kebijakan dan politik dilakukan oleh Presiden sebagai atasan langsung dan Komisi III DPR yang secara garis besar mempunyai fungsi pengawasan khusunya dalam penegakan hukum. Presiden dibantu oleh sebuah Komis Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) dan Ombudsman.35 Skema pengawasan Polri dapat dilihat dalam bagan dibawah ini. Skema Pola Pengawasan Polri Irwasum Komisi III DPR Presiden Kompolnas Propam Ombudsman 33 “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2008 dan INdeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia”, diakses dari http://www.ti.or.id/press/91/tahun/2009/bulan/01/tanggal/21/id/3817/ pada tanggal 12 Juni 2009 pukul 22:32 34 Lihat Keputusan Kapolri : Nomor Kep/53/X/2002, tanggal 17 Oktober 2002 35 Tugas dan Fungsi Kompolnas, sebenarnya memang tidak didisain sebagai lembaga pengawas, melainkan sebagai penasehat presiden sebagai atasan langsung kepolisian. 151 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia Sistem pengawasan Internal yang dilakukan oleh Irwasum diragukan efektifitasnya. Hampir sulit dibayangkan kalau anggota Irwasum yang juga anggota polisi akan menindak kawankawan sendiri, yang juga dari kepolisian. Bukti dari ketidakefektifan ini adalah sejak masa reformasi reputasi Polri di mata masyarakat masih buruk. Polri masih dianggap sebagai institusi yang korup, melanggar HAM, dan menunjukan karakter yang militeristik. Sedangkan pengawasan dari presiden tentunya terbatas kepada tingkat kebijakan makro. Presiden tidak punya staf khusus yang bertugas mengawasi Kepolisian. Sedangkan Komisi III DPR terbatas kepada pengawasan politik. Mekanisme pengawasan ekternal dari DPR ini tidak rutin, misalnya hanya dilakukan dalam rapat dengar pendapat. Dalam pandangan Arief Mudatsir Mandan, DPR RI memiliki sejumlah kelemahan. DPR dipandang tidak memiliki kejelasan visi, misi, konsep, dan strategi reformasi sehingga produk UU (terutama yang menyangkut reformasi sektor keamanan) menjadi tidak jelas dan terkesan tumpang tindih. DPR juga memiliki kelemahan dalam hal pengetahuan dan pemahaman anggota parlemen tentang seluk beluk pertahanan, intelijen, maupun keamanan nasional, sehingga regulasi politik yang ada masih banyak diwarnai oleh kompromi-kompromi politik dengan Departemen Pertahanan, TNI, BIN, dan POLRI. 36 Kompolnas dan Ombudsman Di berbagai negara, fungsi pengawasan selain dijalankan oleh fungsi-fungsi internal dan pengawasan politik, juga dijalankan oleh sebuah komisi kepolisian. Komisi ini mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan. Bahkan di beberapa negara seperti Filipina dan Sri Langka, komisi ini juga mempunyai wewenang melakukan penangkapan terhadap polisi yang melakukan pelanggaran. Di Indonesia, UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 37 dan 38 juga mengamanatkan pembentukan Lembaga Kepolisian Nasional yang disebut sebagai Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS). Tetapi berbeda dengan Komisi Kepolisian di negara lain yang mempunyai fungsi pengawasan, Kompolnas mempunyai tugas yang sangat terbatas dan tidak mempunyai tugas pengawasan. Komisi ini hanya mempunyai tugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dalam menjalankan tugasnya, Kompolnas juga mempunyai kewenangan yang sangat terbatas, yaitu mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pertimbangan kepada Presiden dalam mengembangkan institusi Kepolisian, memberikan saran dalam mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri. Dalam hubungannya dengan masyarakat, Kompolnas menerima saran dan keluhan mengenai kinerja kepolisian. Jadi dengan kerangka UU dan peraturan yang ada, Kompolnas memang tidak didisain untuk menjadi lembaga pengawasan (watchdog), melainkan hanya sebagai lembaga konsultasi dan lembaga Think Tank. Dengan melihat luasnya tugas dan wewenang Polri dan struktur 36 Arief Mudatsir Mandan, “Kerangka Pengawasan Parlemen dalam Reformasi Sektor Keamanan”, dalam Beni Sukadis dan Eric Hendra (eds.), Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia (Jakarta; Lesperssi dan DCAF, 2008), hal. 145-147. 152 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 pengawasan yang ada, memang sulit dibayangkan adanya prinsip checks and balances dalam kinerja Polri yang menjamin transparansi dan akuntabilitas. Bisa jadi karena faktor inilah kinerja Polri selama ini masih menuai berbagai kritikan dan ketidak puasan. Padahal pada masa reformasi ini, polisi mempunyai wewenang yang lebih luas, lebih otonom dan lebih mandiri. Anggaran Polri mempunyai kecenderungan naik dari tahun ketahun. Kritik yang lain disampaikan oleh Adrianus Meliala, seorang kriminolog dan ahli kepolisian. Menurutnya Kompolnas, sebagai institusi tidak memiliki grip yang cukup hingga ke daerah-daerah, sehingga Kompolnas hanya menjadi komisi elit dengan peran terbatas yakni sebagai pemberi input umum dan level nasional. Dalam konteks ini, Meliala merekomendasikan agar dibentuk semacam Komisi Kepolisian Daerah yang bekerja sama dengan DPRD mengingat semakin besar bantuan pendanaan dari daerah terhadap kepolisian.37 Berbagai kelemahan dan kekuarangan dari institusi pengawasan yang saya sebutkan diharapkan dapat ditutup oleh lembaga Ombudsman RI yang Undang-Undangnya sudah disahkan oleh DPR pada tanggal 9 September 2008. UU Ombudsman RI ini menegaskan perubahan lembaga Komisi Ombudsman Nasional menjadi Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman RI). Ombudsman RI ini memiliki kewenangan mengawasi pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara dan pemerintah kepada masyarakat. Penyelenggara negara dimaksud meliputi lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah, instansi departemen dan nondepartemen, BUMN, BHMN, serta badan swasta dan perorangan yang seluruh/ sebagian anggarannya menggunakan APBN/APBD (pasal 1 ayat 1). Ombudsman ini merupakan lembaga negara yang sifatnya mandiri dan bebas dari campur tangan kekuasaan lain (pasal 2). Menurut pasal 7, Ombudsman bertugas menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan pemeriksaan substansi atas laporan, menindaklanjuti laporan, melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi, melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga lain, dan melakukan upaya preventif maladministrasi. Ombudsman juga memiliki kewenangan yang cukup besar seperti meminta keterangan; memeriksa keputusan, surat, atau dokumen lain, melakukan pemanggilan, menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; serta membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan.38 Pada saat ini mungkin masih terlalu dini untuk mengukur keberhasilan kinerja Ombudsman RI ini mengingat umurnya yang masih sangat muda. Winarso, Asisten Senior Ombudsman, menyatakan bahwa saat ini Ombudsman RI tengah berada dalam masa transisi selama 1 tahun sebagai hasil dari disahkannya UU No. 37/2008. Dengan demikian, institusi ini memang belum bekerja secara efektif.39 Sebelumnya, Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang merupakan cikal bakal pendirian Ombudsman RI hanya memiliki tugas yang terbatas pada 37 Meliala, “Pengaw asan Kepolisian: Ide Reformis”, Op. Cit., hal. 134 “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia”, dalam www.ombudsman.go.id pada tanggal 15 Juni 2009 pukul 00:20 39 Winarso, “Transisi Menuju Ombudsman Republik Indonesia”, dalam bulletin Suara Ombudsman, Nomor 3 tahun 2008, hal. 3 38 153 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia sosialisasi mengenai KON, koordinasi dengan lembaga negara terkait, dan mempersiapkan RUU Ombudsman RI.40 Dengan demikian, KON sendiri belum diberi tugas seperti yang diharapkan banyak orang, sehingga keluarnya UU No 37/ 2008 ini bisa dikatakan merupakan jawaban atas kritik yang telah ada selama ini. Ada dua masalah yang muncul terkait keluarnya UU tersebut. Pertama, UU itu masih mencantumkan pasal karet yang mungkin bisa menjadi ganjalan penegakan hukum ke depan. Pasal 8 ayat 1e menyebutkan salah satu wewenang Ombudsman RI, ”menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak”. Barangkali dibuatnya pasal ini mungkin dimaksudkan untuk mengatasi perkara-perkara kecil yang memang tidak perlu diselesaikan melalui jalur hukum, seperti keluhan konsumen atas sikap pegawai pemerintah, dan sebagainya. Meski demikian, ketidakjelasan batasan membuat pasal tersebut juga bisa diinterpretasi dalam kasus-kasus besar seperti korupsi. Pasal ini bisa menjadi ganjalan karena institusi ini memiliki kewenangan menyelesaikan sebuah isu di luar jalur hukum dan diselesaikan lewat ”jalan belakang”. Masalah kedua, terkait dengan kemungkinan tugas Ombudsman RI yang kemungkinan tumpang tindih dengan komisikomisi lain. Pertanyaan ini penting mengingat ia mencakup bagaimana jalur koordinasi ataupun pembagian tugas antara komisi-komisi terkait, misalnya dengan KOMNAS HAM. 41 Reformasi Kepolisian Sebagaimana yang dilakukan oleh TNI dalam melakukan reformasi internal. Polri juga merumuskan konsep reformasi yang disebut Paradigma Baru Polri. Paradigma ini dikonseptualisasikan dalam tiga perubahan: perubahan aspek struktural, perubahan aspek Instrumental dan perubahan aspek kultural. Perubahan aspek struktural dan instrumental merupakan sarana (means) dan prakondisi menuju perubahan Kultural. Perubahan aspek struktural meliputi perubahan aspek kelembagaan (institusi) kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan. Inti perubahan struktural pasca berpisahnya organisasi Polri dari TNI adalah diberlakukannya suatu konsep yang terintegrasi sebagai polisi nasional dengan pendekatan dari bawah "bottom up" dengan pendelegasian wewenang kepada satuan satuan perasional (KOD) sehingga mekanisme pengambilan keputusan lebih cepat. Struktur organisasi dibuat dalam bentuk jaringan bukan pyramidal yang menekankan kepada kerjasama. Organisasi Polri diharapkan akan mempunyai prinsip yang hemat struktur tetapi kaya fungsi. Tujuannya adalah mengakselerasikan pelayanan kepada masayarakat. Dalam semangat ini pula Polri juga telah melakukan upaya kemitraan dengan masyarakat melalui program Community Policy (COP), yang saat ini sudah ditingkatkan menjadi program Pemolisian Masyarakat (Polmas). Melalui bantuan lembaga swadaya masyarakat nasional maupun internasional, program ini telah diujicobakan di berbagai wilayah di Indonesia. 42 40 “Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional tahun 2007”, diakses dari www.ombudsman.go.id pada tanggal 15 Juni 2009 pukul 00:10 41 “Yang Tersisa dari Diskusi Publik: ORI tidak Tumpang Tindih dengan Lembaga Pengawas Lain”, dalam bulletin Suara Ombudsman, Loc. Cit., hal. 12 42 Untuk uraian lebih jauh tentang COP (Community Policing ) dan / atau Pemolisian Masyarakat lihat : Eko Prasetyo, “Polisi dan Masyarakat: Refleksi Pengalaman Program COP di Daerah Istimewa Yogyakarta”, dalam Budiono, dkk., Ibid., 154 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Perubahan aspek instrumental mencakup filosofi yang terdiri dari visi, misi dan tujuan, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan iptek. Doktrin polri, merupakan pandangan yang diyakini kebenarannya dan mempengaruhi perilaku pegawai atau kelompok organisasi dalam menjalankan misi untuk mencapai tujuan organisasi. Perubahan aspek Kultural merupakan tujuan atau hasil dari perubahan aspek struktural dan instrumental. Secara garis besar perubahan kulural adalah perubahan budaya Polri yang terdiri dari cara pandang, cara pikir, perilaku dan sikap yang mencerminkan jatidiri sebagai polisi sipil. Secara konseptual Polisi Sipil adalah polisi menghargai hak-hak sipil dan mempunyai sifat ke-sipilan-an atau keadaban misalnya sopan santun, bersahabat, tidak menunjukkan sifat yang keras, membela kepentingan rakyat bukan kepentingan penguasa, tunduk kepada prinsip-prinsip demokrasi good governance seperti akuntabilitas, transparasi, checks and ballances. Secara diametral visi perubahan kultural tersebut berbeda dengan sifat lama polisi yang mencerminkan karakter militeristik, berwajah kekerasan, membela kepentingan penguasa, layaknya polisi rahasia, tidak transparan, tidak akuntabel, korup. Dampak dari belum berhasilnya perubahan kultural tersebut Polisi masih mempunyai citra buruk dimata masyarakat, karenanya tidak dipercaya oleh masyarakat. Sementara perubahan struktural dan instrumental dianggap telah memantapkan posisi Polri dalam sistem ketata negaraan RI dan semakin mengutakan paradigma kearah polisi sipil. Perubahan aspek kultural disebut-sebut masih dalam proses antara lain dalam pembenahan kurikulum pendidikan, sosialisasi nilai-nilai Tri Brata, Catur Prasetya dan Kode etik Profesi untuk mewujudkan jati diri Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Para pimipinan Polri masih mengakui bahwa perilaku polri masih terlihat arogan, menggunakan kekerasan, diskriminatif, kurang responsif dan belum profesional. Pengakuan pimpinan Polri tersebut sejalan dengan pandangan para pengamat kepolisian, misalnya sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Bambang W. Umar memberikan penjelasan bagaimana reformasi POLRI mengalami sejumlah hambatan yang datang dari kerangka legal formal. UU POLRI No. 2/ 2002, bersama-sama dengan Rencana Strategis POLRI 25 tahun, memang memberikan sejumlah arahan mengenai bagaimana reformasi itu berjalan, selain juga memberikan desain besar reformasi POLRI. Umar mencatat ada sejumlah masalah yang muncul. Pertama, jikapun seluruh agenda reformasi dilaksanakan, polisi masih menyisakan sejumlah agenda reformasi. Agenda tersebut dalam wujud desain besar reformasi seperti dalam kaitan kemandirian dan jati diri Polri, pardigma Polri dalam sistem keamanan dalam negeri, status anggota Polri yang duduk dalam jabatan departemen, netralitas Polri dalam Pemilu prosedur bantuan TNI kepada Polri, Persoalan bisnis Polri, lembaga kontrol eksternal Polri.43 Selain itu kelemahan juga disebabkan oleh karena ketiadaan landasan sinergis diantara produk-produk hukum terkait, sehingga masalah koordinasi dan kemungkinan clash sangat 43 Bambang W. Umar, “Dampak dari Aturan Legal dan Kebijakan Domestik terhadap Reformasi POLRI”, dalam Beni Sukadis dan Eric Hendra (Eds.), Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Edisi Pertama (Jakarta: Lesperssi dan DCAF, 2008), hal. 69-70. 155 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia terbuka. Persinggungan itu tampak misalnya antara UU POLRI dengan UUD 1945 pada pasal 30 yang mengatur hubungan tugas antara POLRI dan TNI, UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, UU No.3 tahun 2002 tentang pertahanan negara, UU No. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme, dan UU No. 23 tahun 1959 tentang keadaan darurat. Masing-masing produk hukum itu seolah berjalan sendiri-sendiri tanpa ada landasan sinergis yang menjamin koordinasi diantara produkproduk hukum tersebut. Tidak adanya UU sinergis ini muncul karena dalam UUD 1945 sendiri tidak memberi landasan sinergis. Sebagai contoh dalam fungsi pertahanan (yang dipegang oleh TNI) dan fungsi keamanan (yang dipegang oleh POLRI) baru dijelaskan sebatas pembagian wilayah kerja saja, sementara koordinasi diantara keduanya sama sekali tidak dijabarkan.44 Kritik lain berkaitan dengan struktur organisasi polisi yang saat ini bersifat sentralistis. Para pengkritik ini menginginkan struktur organisasi Polri yang terdesentralisasi sesuai dengan semangat reformasi politik di Indonesia yang kemudian melahirkan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Organisasi POLRI yang saat ini sangat sentralistik terlalu memusatkan kebijakan pada markas besar (Mabes) di Jakarta, sehingga dikatakan POLRI berorientasi pada pimpinan dan bukan bawahan. Situasi ini juga menyebabkan kinerja POLRI tidak sesuai kondisi di lapangan sehingga efektivitasnya dipertanyakan. Bagi kelompok yang setuju dengan sentralisasi memiliki pandangan lain. Mereka berargumen bahwa negara yang sangat luas teritorinya seperti Indonesia diperlukan kepolisian nasional dan tidak mengenal kepolisian federal (yang berciri desentralis). Di beberapa negara Eropa digunakan kepolisian federal karena luas wilayahnya yang hanya satu provinsi di Indonesia. Mereka juga mencontohkan Jepang yang ketika kalah perang dipaksa AS untuk membentuk polisi federal, tapi kemudian tidak efektif dan kemudian diganti lagi menjadi kepolisian nasional. Beberapa pengamat memandang alasan ini sebagai mengada-ada karena justru dengan negara seluas Indonesia diperlukan kecepatan dan akurasi pengambilan keputusan terhadap kasus keamanan yang sifatnya sangat spesifik.45 Organisasi yang sentralistik tersebut masih berjalan bersamaan dengan masih adanya perilaku aparat kepolisian yang masih sering menggunakan kekerasan. Praktek semacam ini masih sulit untuk dihilangkan sama sekali mengingat POLRI yang sebelumnya menginduk pada ABRI membuat organisasi ini mengadopsi sejumlah pendekatan militer dalam kegiatannya. Situasi ini terus berlangsung bahkan setelah POLRI dilepaskan dari TNI lewat TAP MPR No. VI/MPR/2000. Hal tersebut terlihat misalnya dalam pendekatan kekerasan yang diambil POLRI. KontraS mencatat dalam kurun waktu Januari-Juni 2000 saja POLRI melakukan 149 kasus pelanggaran HAM, belum termasuk penyerbuan aparat kepolisian ke Universitas Muslim Indonesia, Makasar dan penembakan warga di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bojong.46 44 Ibid., hal. 71-72 45 Ibid., hal. 61-62 46 Ibid., hal. 63-64 156 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Masyarakat juga belum sepenuhnya percaya kepada Polri, karena institusi ini dipandang masih diskriminatif, kurang profesional, kurang tanggap dan kurang santun dalam memberikan pelayanan. Salah seorang anggota DPR dari Komisi III menunjukkan salah satu bukti rendahnya kepercayaan masyarakat adalah munculnya berbagai tim ad-hoc yang tugasnya dapat dikatakan sama dengan tugas kepolisian seperti: Timtastipikor, KPK, Tim Pencari Fakta. Tim-tim tersebut menunjukkan bahwa tugas Polri dalam bidang penyelidikan belum mampu menuntaskan kasus yang menjadi perhatian publik. Beberapa pengamat sepakat bahwa reformasi baru terjadi secara simbolis dan hanya di permukaan, sehingga belum banyak terjadi perubahan. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan lambannya laju reformasi tersebut. Yang pertama, reformasi berjalan secara konvensional. Ini ditandai oleh sejumlah hal seperti, (1) terlalu banyak kebijakan yang ditetapkan dan tingginya harapan, sehingga kurang sinkron dengan program implementasi; (2) dilakukan secara top down, dimana Mabes POLRI merumuskan konseptual secara sepihak, sedangkan polisi di wilayah sekedar melaksanakan saja; (3) tumpang-tindih kendali dalam pelaksanaan tugas rutin dengan pelaksanaan reformasi, sehingga POLRI lebih terseret untuk memenuhi tugas rutin daripada tuntutan reformasi; (4) tidak jelas teknik implementasi program dihadapkan pada sasaran yang akan dicapai dalam reformasi; (5). tidak disertai reward and punishment bagi pelaksana yang berhasil dan yang tidak berhasil; (6). tidak disertai ruang dan landasan bagi pelaksana untuk mengubah program yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat di pedesaan; (7) tidak disertai ketentuan bahwa setiap pergantian pimpinan tidak harus ganti kebijakan yang sudah mapan; dan (8). tidak melibatkan kontrol dari masyarakat.47 Kedua, organisasi POLRI telah terpola dengan modus “berpikir ideologis” atau normatif. Hal ini merupakan warisan dari pola pikir di kalangan TNI, dimana para petinggi POLRI cenderung sangat cemerlang dalam ide-ide tapi sangat lemah dalam tataran implementasi, ”POLRI terjebak dalam dunia seolah-olah, merasa telah merumuskan kebijakan namun perwujudannya tak kunjung tampak”.48 Kesimpulan dan Rekomendasi Reformasi telah mendorong perubahan dalam Polri khususnya dalam hal–hal yang simbolik, formal dan permukaan atau dalam bahasa mereka sudah terjadi perubahan instrumental dan struktural: Struktur organisasi, nama kepangkatan, undang-undang telah berubah. Anggaran juga telah naik dari tahun ke tahun. Akan tetapi perubahan tersebut belum menghasilkan perubahan kultural, dalam bentuk perilaku sesuai dengan harapan masyarakat. Polisi masih menyisakan perilaku militeristik, pendekatan kekerasan dan merebaknya budaya korupsi dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan praktekpraktek pengelolaan tata pemerintahan yang baik (good governance). Polisi masih dipersepsikan secara negatif oleh masyarakat. Perubahan baru terjadi pada tataran cara 47 Ibid., hal. 70-71 48 Ibid 157 Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (means) belum terjadi pada hasil (result). Dengan kata lain reformasi kepolisian baru memberikan janji belum bukti. Dalam jangka panjang perlu diuji dengan seksama apakah memang problema kemandegan perubahan ini secara substantif disebabkan oleh persoalan-persoalan yang lebih makro misalnya pada level legislasi yang menyangkut aspekaspek krusial seperti struktur organisasi, transparansi anggaran, kerangka pengawasan. Kalau itu menjadi penyebabnya, memang perlu dilakukan reformasi yang lebih radikal dalam kepolisian yang menyangkut aspek-aspek strategis misalnya amandemen UU Polri yang merubah persoalan struktur organisasi, kerangka pengawasan, sumber pendanaan, termasuk peninjauan jurisdiksi Polri yang saat ini dinilai terlalu luas, tetapi dengan pengawasan yang lemah. Tetapi upaya ini secara politik memang melelahkan, karena belum adanya kesamaan visi para pengambil kebijakan dalam kepolisian. Langkah–langkah praktis jangka pendek adalah menggunakan kerangka legislasi yang ada, untuk mendorong kinerja Polri dengan berbagai program penguatan, konsultansi dan tentunya pengawasan agar Polri dapat meningkatkan fungsinya dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Upaya incremental itu bisa dilakukan sesegara mungkin, dalam kerangka hukum yang belum memuaskan. Dalam jangka pendek, lembaga-lembaga politik seperti, Presiden dan DPR dan masyarakat seharusnya meningkatkan pengawasan akan kinerja Polri. Selebihnya, masyarakat juga bisa melakukan kerja sama dengan Polri dalam melakukan pencegahan, penyidikan dan penyelidikan terhadap kejahatan/kriminal melalui peran sertanya dalam community policing (COP).< 158 Brigade Mobil Polri BRIGADE MOBIL POLRI Muradi 1 Pendahuluan Sebagai salah satu bagian terintegral dalam Keluarga Besar Polri, Brigade Mobil (Brimob) mengalami apa yang dirasakan oleh organisasi induknya selama sepuluh tahun terakhir. Bahkan dalam berbagai kasus penanganan dan penegakan hukum (Gakum) unjuk rasa, kerusuhan, dan berbagai kasus di daerah konflik, Brimob dianggap sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap berbagai tindak kekerasan yang terjadi. Masyarakat umumnya tidak banyak tahu esensi tugas dan fungsi Brimob, sehingga disamakan dengan personil kepolisian lainnya. Pendekatan dan penanganan yang khas dan berbeda dengan personil atau unit kepolisian lainnya,2 inilah yang menjadi esensi ketidaktahuan masyarakat terkait dengan tugas dan fungsi Brimob ketika diterjunkan di daerah rawan konflik, kerusuhan, ataupun unjuk rasa dengan intensitas rendah hingga yang mengarah kepada tindakan anarkisme.3 Sejatinya sebagai bagian dari unit Polri, kurun waktu antara tahun 1999-2007, telah banyak melakukan perubahan secara organisasional, menyesuaikan 'watak sipil' yang diterapkan dalam perpolisian membuat Brimob mengikuti kebijakan tersebut dengan berbagai penyesuaian dan perubahan.4 Bisa dikatakan kurun waktu delapan tahun merupakan saatsaat yang berat bagi internal Brimob karena berbagai tuntutan yang menyudutkan unit tertua dalam kepolisian Indonesia tersebut, mulai pertanggungjawaban terhadap tindak kekerasan dan pelanggaran HAM hingga tuntutan pembubaran unit tersebut. Semua tuntutan tersebut dijawab dengan perbaikan dan pembenahan internal yang pada akhirnya makin mendorong Brimob lebih efektif dan fokus dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Apalagi secara organisatoris, Brimob juga tidak sendiri sebagai unit yang menangani kriminalitas dengan kadar tinggi, sejak tahun 2003, Detasemen Khusus 88 Anti Terror (Densus 88 AT), yang secara spesifik memiliki tugas khusus menangani berbagai kasus terror bom,5 meski pada praktik selanjutnya Densus 88 AT juga difungsikan pada berbagai penanganan 1 Muradi, adalah dosen Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD, Bandung. 2 Lihat “Anggota Brimob-TNI Bentrok” http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5616&Itemid=3 (diakses 6 Mei 2009) 3 Lihat “OPM Hadang Brimob” http://papuapost.com/2009/04/1093/ (diakses 6 Mei 2009) 4 Lebih lanjut tentang berbagai perubahan dan penyesuaian yang dilakukan di internal Brimob, lihat Muradi, ”Reformasi Brimob Polri: Antara Tradisi Militer dan Kultur Sipil” dalam Sukadis, Beni (eds). 2007. Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007. Jakarta: Lesperssi-DCAF. Lihat juga, Muradi. 2008. The Reform of Mobile Brigade of Indonesian National Police and Democratization. Master Thesis, Singapore: Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University. Lebih lanjut lihat juga Wenas, S.Y. 2006. Korp Brimob Polri dalam Aktualisasi. PTIK Press. 5 Lebih lanjut tentang pembentukan Densus 88 AT, lihat Eko Maryadi, “Detasemen Khusus 88 Polri” dalam Sukadis, Beni (eds).op.cit. 159 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 kasus yang melibatkan Unit Reserse Kriminal,baik tingkat Mabes maupun tingkat Satuan Induk Penuh/Polda (SIP) dan Kesatuan Operasional Dasar/Polres (KOD) . 6 Keberadaan Densus 88 AT, di satu sisi merupakan kebijakan yang melengkapi berbagai unit yang ada di tubuh Polri, namun di sisi lain menjadi kompetitor yang positif bagi Brimob untuk berbenah dan menata internalnya agar lebih aseptabel, dan mendapatkan respon yang positif dari masyarakat terkait dengan berbagai operasi yang melibatkan Brimob. Meski belum maksimal efek pembenahan internalnya , namun Brimob telah berupaya membangun lanskap Unit Polisi Paramiliter (UPP) yang secara kelembagaan telah mengarah kepada identifikasi UPP yang profesional dan demokratik. Dengan mendasarkan kepada respons positif terhadap setiap tuntutan, harapan, serta keinginan public untuk memiliki UPP yang tidak sekedar nampak watak militeristiknya, tapi juga telah mengidentikkan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keluarga Besar Polri; sipil dan dalam lingkup perpolisian demokratik,yang dikontrol oleh adanya mekanisme pengawasan publik. Dalam tulisan ini akan dibahas sejumlah kemajuan yang telah dilakukan oleh Brimob dalam kurun waktu 2007 hingga pertengahan tahun 2009 dengan mendasarkan pada tiga pendekatan; organisasi, prilaku, dan budaya yang berkembang dalam Brimob dan efeknya bagi kinerja Brimob dan Polri, serta efeknya bagi masyarakat secara luas. Ketiga pendekatan ini diasumsikan dapat mewakili penggambaran secara komprehensif perwajahan Brimob secara organisasi, dengan membandingkan permasalahan yang ada dalam organisasi, prilaku,dan budaya yang ada dengan pencapaian yang telah dilakukan oleh Brimob selama kurun waktu 2007 hingga pertengahan 2009. Dalam tulisan ini juga akan dikupas berbagai permasalahan serta ditawarkan beberapa solusi agar Brimob secara organisasi dapat menuntaskan berbagai permasalahan yang ada dan siap menuju Unit Polisi Paramiliter (UPP) yang profesional dan demokratik, sebagaimana harapan masyarakat. Permasalahan versus Pencapaian Mengacu kepada Almanak 2007, ada sejumlah permasalahan yang mengganjal Brimob menjadi UPP yang professional dan demokratik. Permasalahan yang membelit Brimob yang paling krusial adalah transisi dari tradisi militeristik menuju kultur polisi sipil, di mana pola dan pendekatan militer tetap dipertahankan sebagai ciri khas UPP. Transisi tersebut mengandung konsekuensi yang harus dituntaskan oleh Brimob. Adapun permasalahan tersebut antara lain: sentralisme komando dalam organisasi Brimob; metode pendekatan pada penyelesaikan kasus masih dengan pendekatan lama; sebaran personil Brimob yang tidak merata; keterbatasan keahlian dan keterampilan di lapangan yang berimplikasi kepada pola pendekatan,yang menyebabkan prilaku personil belum sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat; implementasi sejumlah kebijakan yang mengetengahkan pendekatan perpolisian demokratik masih terkendala; penyempurnaan struktur kelembagaan masih terkendala secara tekhnis; perubahan internal yang terjadi belum membuahkan efek jera dan 6 Lihat Muradi, “Peranan Densus 88AT Dalam Pengamanan Pilkada dan Pemilu” Jurnal Sanyata Sumanasa Wira, No. 35, September-November 2008, Lembang: SESPIM POLRI hal. 38-40 160 Brigade Mobil Polri prestasi bagi personil Brimob yang mencerminkan institusionalisasi UPP yang professional dan demokratik; eksklusivitas personil Brimob di antara unit lainnya; pola rekruitmen yang berstandar lama.7 Kesembilan permasalahan tersebut terbagi kedalam tiga pendekatan sebagaimana uraian di bawah ini: Organisasi Brimob Pertama, permasalahan sentralisme komando Brimob yang menyulitkan mobilisasi dan pengerahan personil pada berbagai kasus. Karakteristik yang sedikit berbeda dengan unit polisi lainnya membuat personil Brimob kesulitan dalam mengimplementasikan tali komandonya. Ada psikologis yang berbeda ketika komando tidak dipegang atau dioperasionalisasikan oleh atasan Brimob langsung. Kondisi ini bukan tanpa sepengetahuan pimpinan Polri, sehingga ketika ada kesempatan melakukan revisi terhadap Rencana Strategis Polri Tahun 2005-2009, maka langkah untuk melakukan pembenahan terhadap struktur komando Brimob agar lebih mudah dan dapat dioperasionalisasikan hingga level KOD.8 Mengacu pada Renstra Polri Perubahan yang ditetapkan pada tanggal 26 April 2007 No.Pol.9/IV/2007 Tentang Rencana Strategi Polri 2005-2009 perubahan, yang merubah Renstra Polri No. Pol. 20/IX/2005, maka keberadaan Brimob secara bertahap akan berbasis pada KOD, dengan Polda sebagai Satuan Induk Penuh (SIP) yang akan banyak berfungsi sebagai penyelia dan pengimplementasi kebijakan Mabes Polri sebelum diterjemahkan secara operasional di lapangan oleh kesatuan Brimob yang ada di KOD. Kebijakan ini sesungguhnya bagian dari proses selama sepuluh tahun terakhir Brimob dalam melihat kecenderungan arah dan pola kelembagaan Brimob. Sebagaimana diketahui bahwa acuan Unit Polisi Paramiliter secara garis besar mengacu kepada tiga model, yakni: Anglo Saxon model, yang cenderung diadopsi oleh Negara-negara bekas jajahan Inggris, kecuali Amerika Serikat yang menempatkan UPP-nya setara dengan militer, dengan mengadopsi berbagai pendekatan kemiliteran dalam operasionalisasinya. Bahkan dalam banyak kasus, UPP difungsikan sebagai satuan pemukul cepat bagi ancaman terhadap integritas Negara. Inggris menempatkan UPP-nya bersama militer untuk mematikan gerak separatisme di Irlandia Utara. Hanya saja Anglo Saxon Model ini menempatkan control komandonya pada masing-masing kepolisian daerah.9 Kedua, model Anglo Francais, model ini banyak diadopsi oleh Negara-negara seperti Perancis, Spanyol, dan Italia serta bekas jajahan. Hanya nama saja yang berbeda seperti Gendarmarie, atau Carabinieri, dan lain sebagainya. UPP model ini menempatkan struktur komandonya berada di bawah Departemen Pertahanan dan atau masuk struktur Angkatan Darat, dengan penugasan pada Departemen Dalam Negeri, dan atau kementerian kepolisian.10 Sementara model yang ketiga adalah model UPP di Amerika 7 Lihat Muradi, ”Reformasi Brimob Polri: Antara Tradisi Militer dan Kultur Sipil” dalam Sukadis, Beni (eds). Op.cit Lihat juga, Muradi. Op.cit. 8 Lihat “Jangka Panjang Brimob Akan Dimekarkan” http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=113591 (Diakses 6 Mei 2009) 9 Cynthia H. Enloe, “Police and Military in Ulster: Peacekeeping or Peace-Subverting Forces?, Journal of Peace Research,Vol. 15, No. 3 (1978), hal. 243-245. Lebih lanjut juga lihat Tobias, J. J.,1975.”Police and Policing in the United Kingdom,” in Moose,George L. (ed.), 1975. Police Forces in History. Beverly Hills, California: Sage. 10 Lihat misalnya “French Police: We Saves Millions of Euros by Adopting Ubuntu” http://arstechnica.com/open-source/news/2009/03/french-police-saves-millions-of-euros-by-adopting- 161 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Serikat yang menegaskan UPP adalah bagian dari kepolisian yang sepenuhnya dikontrol oleh otoritas sipil. UPP di Amerika Serikat meski di beberapa Negara bagian memiliki karakteristik masing-masing namun tetap merupakan bagian dari kepolisian, yang kinerjanya diawasi oleh publik. Meski mengadopsi berbagai atribut dan taktik serta pendekatan militeristik, UPP di Amerika Serikat tetap memperhatikan struktur komando dari induk organisasinya sebagai bagian dari kepolisian yang diawasi oleh masyarakat. Karakteristik UPP di Amerika Serikat ini relative unik mengikuti struktur yang ada di kepolisian di Negara tersebut yang tidak seragam antar Negara bagian. 11 Secara kelembagaan, Brimob cenderung dekat dengan model yang ada di Amerika Serikat. Selain merupakan bagian dari struktur kepolisian, Brimob juga cenderung berperan dan berfungsi sebagai unit yang menanggulangi gangguan Kamtibmas berkadar tinggi. Dengan sedikit modifikasi karena konsep kepolisian Indonesia adalah kepolisian nasional, maka struktur komando Brimob akan berada hingga tingkat Polres/Polresta (KOD) pada tahun 2009 ini.12 Sekedar gambaran, sebelumnya selain Brimob Daerah di tingkat Polda, Brimob juga ditempatkan di tiap Polwil sebanyak satu kompi, akan tetapi penempatan satu kompi Brimob di Polwil ternyata tidak cukup efektif. Mengacu pada Renstra Polri versi perubahan tahun 2007, maka efektifitas tali komando juga dapat dilakukan dengan baik. Setidaknya pimpinan tertinggi di KOD dapat secara efektif melakukan pergerakan personil dengan baik. selain itu memupus permasalahan psikologis antar personil Brimob dengan pimpinan KOD yang mem-BKO-kan atau di-BKO-kan. Kedua, metode pendekatan pada penyelesaikan kasus masih dengan pendekatan lama. Secara kelembagaan respons Mabes Polri terkait dengan pola penanganan dan pendekatan yang dilakukan oleh personil Brimob di lapangan dirasakan masih belum ideal. Sehingga pada Renstra Polri versi Perubahan tahun 2007, secara khusus mempertegas beberapa hal yakni: Mabes Polri berkedudukan sebagai perumus kebijakan politik strategis keamanan mengikat seluruh jajaran Polri termasuk kehandalan kesatuan pelaksana utama; evaluasi dan pengembangan spesialisasi utama sepertiReskrim, Intelkam, Babinkam, dan Brimob...,13 Memperbaiki dan mereposisi Brimob sebagai korps khusus professional dengan daya tangkal yang tinggi dengan fungsi yang berbeda dengan fungsi militer untuk terwujudnya; 1) Kemampuan menetralisir ancaman kekerasan terhadap masyarakat; 2) Memantapkan fungsi Brimob dalam melawan insurgensi dan bekerjasama dengan TNI..., 14 162 Brigade Mobil Polri Selama dua tahun berjalan, langkah-langkah tersebut memang belum nampak efeknya bagi masyarakat secara luas, karena masih terjadi tindak kekerasan dan bentrok fisik antara Brimob dengan masyarakat atau dengan apparatus lainnya, seperti TNI.15 Namun secara internal, kebijakan tersebut dilakukan dengan berbagai pola pendekatan yang massif dan terkendali. Akan tetapi memang harus diakui bahwa menerapkan kebijakan dengan pola top down membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian dengan jeda antara pengiriman personil ke daerah rawan konflik dengan masa istirahat di kesatuan.16 Sebab, secara psikologis tingkat stress yang tinggi pasca bertugas hanya akan memberikan efek negative terhadap para personil apabila dipaksakan dengan berbagai materi yang secara teoretik sangat ideal, sementara realitas di lapangan justru berbeda.17 Meski demikian, efek positif yang dapat dirasakan langsung terkait dengan kebijakan tersebut adalah menurunnya tingkat kekerasan dan bentrok fisik antara Brimob dengan masyarakat dan atau TNI antara tahun 2007 hingga pertengahan tahun 2009 (lihat Tabel 1). 18 Bisa jadi turunnya tingkat kekerasan yang dilakukan oleh personil Brimob dalam penanganan kasus dalam kurun waktu tersebut disebabkan menurunnya tingkat konflik yang terjadi di beberapa titik konflik seperti NAD yang berakhir damai dengan ditandatanganinya perjanjian antara pemerintah dengan GAM.19 Di Poso20 serta Maluku 21 juga relative kondusif, kecuali di Papua yang masih menyisakan konflik antara pemerintah dengan OPM. 22 Sementara konflik-konflik yang muncul di masyarakat cenderung bersifat parsial dan karena efek dari produk kebijakan politik, seperti otonomi daerah, pemekaran daerah, dan Pilkada dan Pemilu , serta unjuk rasa yang merupakan bagian dari proses 15 Lihat “Warga dan Brimob Bentrok, seorang Tewas” http://mahakammedia.wordpress.com/2008/08/20/warga-dan-brimob-bentrok-seorang-tewas/ (Diakses 6 Mei 2009) 16 Lihat misalnya “Menyambut HUT Polri ke-62: Kekerasan Masih Warnai Wajah Polri” http://jurnalnasional.com/?media=KR&cari=muradi&rbrk=&id=55866&detail=Politik%20-%20Hukum%20%20Keamanan (Diakses 8 Mei 2009) 17 Lihat misalnya “Anggota Brimob Bunuh Diri, Tembak Keninh Hingga Tembus” http://www.sinarharapan.co.id/berita/0203/16/jab02.html (Diakses 6 Mei 2009) 18 Bandingkan hasil kompilasi yang dilakukan oleh Pusat Studi Keamanan Nasional (PSKN) Universitas Padjadjaran, Bandung dengan yang dilakukan oleh Imparsial terkait dengan tingkat kekerasan yang dilakukan oleh Brimob. Hasil temuan PSKN Unpad,justru tindakan kekerasan yang dilakukan oleh personil Polri tidak lagi dimonopoli oleh Brimob, tapi menyebar ke unit-unit yang ada di Polri. Sehingga meski dalam laporan Imparsial terkait tindak kekerasan yang dilakukan oleh personil Polri masih relatif tinggi, namun tidak lagi dimonopoli oleh personil Brimob, tapi juga unit lain seperti Densus 88 AT, Reskrim, dan lain sebagainya. Lebih lanjut lihat Rusdi Marpaung (ed). 2008. Praktik Brutalisasi Polisi Di masa Transisi. Jakarta: Imparsial. Lihat juga Kompilasi Kinerja Polri 2007-2008. PSKN UNPAD. 19 Lihat misalnya “RI-GAM Sepakat Damai” http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/18/nas01.htm (Diakses 6 Mei 2009) 20 Lihat misalnya “Konflik di Poso Karena Rebutan Jabatan” http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=123211 (Diakses 6 Mei 2009) 21 Lihat misalnya “Masalah RMS dan Perkelahian Antar Komunitas Masih rawan” http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/02/29/brk,20080229-118342,id.html 22 Lihat misalnya “OPM Baku Tembak Dengan Brimob di Wamena” http://www.detiknews.com/read/2009/04/09/202525/1113429/10/opm-baku-tembak-dengan-brimob-diwamena (Diakses 6 Mei 2009) 163 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 demokrasi yang positif. 23 Akan tetapi secara bertahap pola pendekatan yang dilakukan mengacu kepada idealitas perpolisian demokratik, yang memiliki rambu-rambu yang membatasi penggunaan kekerasan dalam setiap aktivitas institusi keamanan, di mana termasuk di dalamnya unit polisi paramiliter.24 Tabel 1 Penanganan Keamanan dan Konflik oleh Personil Brimob dengan Tindak Kekerasan Tahun 2007 2008 2009 25 Jumlah Jenis Penanganan Keamanan dan Instansi Konflik TNI Daerah Demo Konflik Lain -lain Konflik Ra kyat 7 4 12 11 5 2 9 8 2 1 3 2 14 7 24 21 - Sumber: PSKN UNPAD Ketiga, sebaran personil Brimob yang tidak merata. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah personil Brimob sekitar 32 ribu, dengan konsentrasi di Markas Besar Brimob, Kelapa Dua, Depok Jawa Barat sebanyak enam ribu, serta tiga Sentral Komando Brimob; Brimob Polda Sumatera Utara untuk Indonesia bagian Barat, Brimob Polda Jawa Timur untuk Indonesia bagian Tengah, serta Brimob Polda Sulawesi Selatan untuk Indonesia bagian Timur. Masing-masing sentral komando tersebut memiliki kurang dari dua ribu personil. Sedangkan polda-polda/SIP lainnya memiliki personil berkisar antara 1000-800 personil. Kondisi tersebut secara operasional menjadi bagian kendala dalam berbagai penanganan kasus dan konflik yang berkembang di masyarakat. Selain masalah komando dalam konteks personil yang di-BKO-kan sebagaimana uraian tersebut diatas, juga terkait dengan titik rawan konflik yang secara operasional penanganan menjadi titik lemah Brimob selama ini. Tak heran, beberapa penanganan kasus di Poso, NAD, Maluku, serta Papua pada saat bersamaan meledak membuat Brimob mengalami kesulitan dalam pengiriman personil.26 Belum lagi penanganan konflik politik seperti konflik pasca Pilkada, Pemilu, bahkan Pilkades, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kasus yang ditangani oleh Brimob secara simultan dan terencana. 27 23 Lihat misalnya “Polri Petakan Daerah Rawan Konflik Saat Pilkadal” http://www.tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/2005/02/16/brk,20050216-47,id.html (diakses 6 Mei 2009) 24 Lihat Adam Jones,”Review: Parainstitutional Violence in Latin America”,Latin American Politics and Society,Vol. 46, No. 4 (Winter, 2004). Hal. 129-130. 25 Data hingga April 2009. 26 Lihat misalnya “Brimob Kupang di Kirim ke Ambon” http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/05/21/brk,20050521-61324,id.html (Diakses 6 Mei 2009) 27 Lihat misalnya “105 Personel Brimob Dikirim ke Papua” http://regional.kompas.com/read/xml/2009/04/17/22503676/105.personel.brimob.menuju.papua (Diakses 6 Mei 2009) 164 Brigade Mobil Polri Respon yang dilakukan oleh Mabes Polri dan kemudian Mabes Brimob adalah perencanaan penambahan personil pada tahun 2009 berjalan ini dari 32 ribu menjadi 50 ribu dengan menitikberatkan pada sebaran personil Brimob dengan basis di KOD.28 Asumsi penambahan sebanyak kurang lebih 13 ribu personil dalam kurun waktu dua tahun berjalan adalah guna memperkuat dan menyeimbangkan sebaran personil antar daerah dengan menperhatikan tipe Polda yang ada.29 Selama ini ada tiga tipe Polda yakni; Polda Tipe A yang dipimpin oleh jenderal polisi bintang dua, atau Inspektur Jenderal (Irjen) , Tipe B, yang dipimpin oleh jendral bintang satu senior, atau Brigadir Jendral (Brigjen) dan Polda Persiapan, yang biasanya merupakan provinsi/daerah hasil pemekaran, dan Polda Persiapan ini untuk sementara sampai infrastrukturnya mapan dicangkokkan ke Polda induk.30 Biasanya Polda Persiapan ini dipimpin oleh Komisaris Besar Polisi (KBP) senior dan atau Brigadir Jendral yunior, yang mengacu pada pola pengembangan wilayah kepolisian pada strata dan tingkatan pimpinan. Sehingga Polda Persiapan biasanya disatukan dengan polda provinsi induk. Perlu juga digarisbawahi bahwa penambahan jumlah personil juga merupakan kebijakan umum Mabes Polri. Dalam pengertian bahwa rasio polisi dengan masyarakat yang selama ini juga belum merata menjadi catatan tersendiri, selama ini rasio antara jumlah personil Polri dengan masyarakat berkisar antara 1:400 hingga 1:1200,31 ketidakmerataan ini membuat Polri secara kelembagaan juga mengalami kesulitan dalam penanganan berbagai kasus. Idealnya jumlah personil mengikuti meningkatkanya jumlah populasi, sehingga secara khusus beberapa Presiden pasca Soeharto; B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono mendorong peningkatan jumlah personil Polri.32 Sehingga sebenarnya jumlah personil Brimob saat ini belum ideal, karena bila mengacu pada komposisi jumlah personil UPP di banyak Negara adalah sekitar sepersepuluh dari jumlah keseluruhan anggota kepolisian.33 Jika anggota Polri pada tahun 2009 sekitar 400 ribu,34 maka jumlah idealnya personil Brimob adalah berkisar di angka 40 ribua-an. Bisa jadi asumsi angka 50 ribuan personil Brimob ditahun 2009 ini didasari dengan masih besarnya ancaman keamanan berkadar tinggi khususnya terkait dengan konflik komunal, separatisme, dan ancaman keamanan terkait dengan efek dari demokratisasi dan globalisasi, dengan membandingkan sebaran personil Brimob yang belum merata.35 28 Mabes Polri. Op. cit. lihat juga Lihat “Jaga Daerah Konflik, Brimob Butuh Alat Proteksi” http://news.okezone.com/read/2007/11/16/1/61368/1/jaga-daerah-konflik-brimob-butuh-alat-proteksi (Diakses 6 Mei 2009) 29 Lebih lanjut tentang tipe Polda, lihat Kep. Kapolri: No. Pol. KP/05/X/2000 30 Lihat Polda hasil provinsi pemekaran seperti Polda Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, dan atau Polda Papua dan Irian Jaya Barat. Lebih lanjut lihat Muradi.2008. op.cit. hal. 37-39 31 Lihat misalnya “rasio Polisi-masyarakat 1:700” http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/03/29/brk,2005032930,id.html (Diakses 6 Mei 2009), lihat juga “Rasio Polisi di Pulau Jawa jauh dari Standar” http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2007/07/02/brk,20070702-102929,id.html (Diakses 6 Mei 2009) 32 Kompas, ”Presiden: Anggota Polri Seharusnya 600 Ribu” www.kompas.com/kompas-cetak/0003/03/metro/pres17.htm - 16k - (diakses 5 Mei 2009) 33 Standarisasi jumlah tersebut mengacu pada model kepolisian nasional, lebih lanjut lihat misalnya, Jefferson, Tony.1990. The Case Against Paramilitary Policin.g Buckingham: Open University Press. Lihat juga “Policing Antiquities in Italy: the Carabinieri Art Squad”, Etienne Ignatovich “The French Gendarmarie: An Example of a Military Force Involved in The Homeland Security” Presentation PMSC Workshop on Defence Policy and Strategy, Geneva, 29-30 September 2003. 34 Mabes Polri. 2007. Op.Cit. 35 Lihat misalnya “Mabes Polri Rotasi Personel Brimob BKO” http://www.sinarharapan.co.id/berita/0707/07/nus04.html (Diakses 6 Mei 2009). Lihat juga Mabes Polri.2008. op.cit. 165 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Keempat, keterbatasan keahlian dan keterampilan di lapangan yang berimplikasi kepada pola pendekatan. Kekurangan tersebut disadari benar oleh Mabes Polri dan pimpinan Brimob. Apalagi dalam berbagai penanganan kasus terbentur juga permasalahan yang terkait dengan pola pendekatan yang mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan oleh personil Brimob di lapangan. Kebijakan yang dibuat oleh pimpinan Polri serta dilaksanakan oleh pimpinan Brimob adalah meningkatkan dan lebih memperdalam keahlian dan keterampilan personil Brimob, khususnya yang terkait dengan interaksi dengan masyarakat secara langsung. ...Memberikan pengalaman magang dan pelatihan khusus berorientasi sipil yang berbeda dengan militer; Memberikan perhatian khusus kepada Korp. Brimob yang dikirimkan ke daerah konflik agar berfungsi sebagai penegak hukum sipil yang berwibawa berbasis persuasive atau komplementer dengan militer..., Membuat perencanaan organisasi yang utuh (termasuk kesejahteraan personilnya) untuk penyesuaian dan penyeimbangan kualitas serta kuantitas personil Brimob..., 36 Harus diakui bahwa program tersebut masih dalam proses internalisasi, dalam pengertian implementasi di lapangannya belum dapat secara nyata dirasakan oleh masyarakat. Bahkan jauh sebelum Renstra Polri versi perubahan dibuat, Kepala Brimob Polri mengeluarkan Keputusan No. Pol: Skep/94/X/2005 Tentang Panduan Implementasi Perpolisian Masyarakat bagi personil Brimob. Dalam empat tahun sejak Skep Kepala Brimob tersebut implementasi Perpolisian Masyarakat oleh personil Brimob hanya membuat bingung personil di lapangan. Ada semacam kontradiksi yang dialami oleh personil terkait dengan implementasi Perpolisian Masyarakat, di satu sisi, personil Brimob dibekali dengan briefing oleh komandannya terkait dengan penegakan hukum dan pengkodisian daerah pasca konflik dengan pendekatan yang digunakan adalah penegakan hukum (Gakum). Sebagaimana diketahui pendekatan dengan penegakan hukum diterjemahkan di lapangan sebagai penangkapan bagi yang melanggar, dan penggunaan kekerasan dalam implementasinya bila diperlukan. Di sisi lain, pengamanan wilayah pasca konflik yang dilakukan oleh personil Brimob seringkali merupakan daerah dengan status Darurat Sipil atau setidaknya Tertib Sipil, di mana langkah-langkah sebagaimana diuraikan di atas dilakukan secara sistematis. Kondisi tersebut secara aktif tidak kondusif dilakukan oleh personil Brimob di lapangan, bisa jadi implementasi Skep Ka Brimob hanya dapat dilakukan oleh personil Brimob di Markas Brimob atau Kesatrian-kesatrian dengan jalan berinteraksi dengan masyarakat. 37 Dengan kata lain peningkatan keterampilan yang dimiliki oleh Brimob meski secara operasional dapat diimplementasikan, namun secara praktis belum mampu mengubah pola pendekatan, sebagaimana harapan masyarakat luas. Sebagaimana diketahui bersama, unitunit dalam Brimob telah mampu membuktikan diri sebagai unit yang handal dan mampu 36 Mabes Polri. 2007. Op.cit 37 Lihat misalnya “Masih Butuh Dua Detasemen Brimob Lagi” http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=7613&ses= (Diakses 6 Mei 2009) 166 Brigade Mobil Polri menyelesaikan tugas dengan sejumlah prestasi.38 Baik sebagai bagian dari Tim dalam penanganan separatisme dan terror bersama TNI, Densus 88 AT, dan Intelkam Polri, maupun sebagai aktor utama dalam penanganan berbagai konflik dan unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan. 39 Namun demikian, proses evolutif perubahan pola pendekatan akan terjadi dengan sinergis apabila proses pelembagaan Brimob dapat terjadi dengan baik sebagai Unit Polisi Paramiliter yang professional dan demokratik. Dengan sejumlah kebijakan Mabes Polri yang mengarahkan semua unit yang ada dalam Keluarga Besar Polri untuk bermetamorfosis menjadi perpolisian yang masuk dalam lingkup demokratik, maka proses perubahan pola tersebut cepat atau lambat akan terjadi. 40 Perilaku Personil Brimob Kelima, implementasi sejumlah kebijakan yang mengetengahkan pendekatan perpolisian demokratik masih terkendala. Kendala tersebut terletak pada proses transformasi yang tengah berjalan di internal Brimob. Beberapa kebijakan terkait dengan hal tersebut antara lain: Surat Keputusan Kapolri No. Pol.:Skep/1320/VIII/1998, tertanggal 31 Agustus1998 Tentang Panduan Lapangan untuk Meningkatkan Pelayanan Polri di Era Reformasi, Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep. 53/X/2002, tertanggal 17 Oktober 2002 Tentang Administrasi dan Organisasi Brimob dan Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/54/X2002 yang terkait dengan perubahan unit Brimob di tingkat Polda, Keputusan Kapolri No. Pol. Skep/27/IX/2002,Tentang Reformsi Brimob, di mana termasuk perubahan motto Brimob, Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/360/VI/2005 tertanggal 10 Juni 2005 Tentang Grand Strategi Polri 2005-2025 di mana termasuk di dalamnya tentang reposisi pelembagaan Brimob, Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/20/IX/2005, tertanggal 7 September 2005 Tentang Rencana Strategis Polri 2005-2009 serta perubahannya No. Pol.: Skep/9/IV/2007 Tentang Rencana Strategis Polri 2005-2009 (Perubahan), Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/15/VI/2007 tertanggal 12 Juni 2007 Tentang Rencana Kerja Polri Tahun 2008, Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/27/VI/2008 tertanggal 10 Juni 2008 Tentang Rencana Kerja Polri Tahun 2009, Kep Kapolri No. Pol.: Kep/37/X/2008 Tentang Program Kerja Akselerasi Transformasi Polri Menuju Polri yang Mandiri, profesional, dan Dipercaya Masyarakat,41 Keputusan Kepala Brimob Polri No.Pol.: Skep/94/X2005 Tentang Panduan Pelaksanaan Perpolisian Masyarakat bagi personil Brimob, Keputusan Kepala 38 Lihat misalnya “Sutanto Minta Brimob Jangan Terlena Dengan Prestasi Sekarang” http://news.okezone.com/read/2007/11/14/1/60744/1/sutanto-minta-brimob-jangan-terlena-denganprestasi-sekarang (Diakses 6 Mei 2009) 39 Lihat Muradi. Op. cit. hal. 23, lihat juga Wenas, Op. Cit. 40 Lihat misalnya “Fokus Membangun Kepercayaan Masyarakat” http://jurnalnasional.com/?media=KR&cari=muradi&rbrk=&id=6489&detail=TNI%20-%20Polri (Diakses 8 Mei 2009) 41 Dalam Skep yang ditandatangani oleh Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri sebagai Kapolri tidak secara eksplisit upaya untuk mengembangkan Brimob. Titik tekan Skep Kapolri No.Pol.: Kep/37/X/2008 adalah penguatan pada Densus 88 AT, Polisi Air, dan pengamanan dan pelayanan Polri di daerah perbatasan antar negara seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan NTT. Lebih lanjut lihat Mabes Polri. 2008. Skep Kapolri. No.Pol.: Kep/37/X/2008. Jakarta: Mabes Polri. Khususnya uraian tentang organisasi. 167 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Brimob Polri No. Pol.: Skep/115/XI/2006 Tentang Panduan bagi Pelaksanaan Operasional Brimob, serta berbagai surat edaran dan kebijakan operasional di internal Brimob yang mempertegas komitmen Brimob dalam lingkup perpolisian demokratik, yang sipil, professional, mandiri, dan dipercaya masyarakat. 42 Sejumlah kebijakan tersebut di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk menarik 'gerbong' Brimob dalam rangkaian Keluarga Besar Polri menuju Perpolisian demokratik dengan karakteristik sipil,professional, mandiri, dan dipercaya masyarakat. Meski secara realitas kebijakan-kebijakan tersebut belum sepenuhnya dijalankan pada tingkat operasional sesuai dengan harapan publik. Akan tetapi internalisasi nilai-nilai terkait dengan perpolisian demokratik dalam konteks UPP secara massif berjalan. Namun demikian, dibutuhkan waktu yang lebih lama mengubah pola pikir yang telah terpatri sebagai kesatuan paramiliter, dengan merasa lebih militer daripada sebagai personil kepolisian.43 Dengan kata lain, selama dua tahun berjalan, implementasi sejumlah kebijakan terkait dengan Brimob dalam lingkup perpolisian demokratik masih belum berjalan optimal. Ada tiga hal yang membuat kebijakan tersebut belum optimal, yakni: satu, intensitas pengiriman personil Brimob ke daerah konflik dan rawan keamanan membuat para personil tersebut tidak memiliki waktu untuk menyerap secara optimal setiap kebijakan yang dibuat terkait dengan institusi dan personil Brimob. Rotasi personil yang menjadi kebijakan internal Brimob juga tidak cukup membantu proses penyerapan tersebut.44 Dua, ada sikap semacam defensive dan kebanggaan semu terhadap korps dari internal Brimob terkait dengan implementasi setiap kebijakan tersebut, sehingga membuat setiap kebijakan yang melibatkan institusi dan personil tidak terserap maksimal. Tiga, minimnya interaksi personil Brimob dengan unit-unit yang ada di lingkungan Polri menyebabkan penyerapan dari implementasi setiap kebijakan menjadi tidak maksimal. Sebagaimana diketahui secara psikologis bahwa interaksi personil akan mempercepat penyerapan setiap kebijakan yang telah dibuat. Keenam, penyempurnaan struktur kelembagaan masih terkendala secara tekhnis. Selama dua tahun berjalan permasalahan ini sesungguhnya hampir sudah tidak lagi ada. Fokus penyempurnaan kelembagaan Brimob dalam dua tahun berjalan adalah bagaimana struktur Brimob bisa hingga KOD, dengan kualitas dan kuantitas personil Brimob yang sesuai dengan kebutuhan. Sementara penyempurnaan struktur kelembagaan Brimob selama 42 Lebih lanjut tentang berbagai kebijakan operasional di internal Brimob, Lihat Wenas,S.Y. Op. Cit. Dalam pandangan Adam Jones, A. Douglas Kincaid, dan Palacio Casteda, serta German Alfonso, perasaan para personil UPP dibanyak negara dengan tradisi demokrasi yang minim memang cenderung merasa menjadi personil militer dari pada anggota kepolisian yang menjalankan peran dan fungsinya dalam penegakan hukum. Lihat Adam Jones, “Review: Parainstitusional Violence in Latin America” Latin American Politics and Society, Vol. 46. No. 4 (Winter, 2004) . Palacio Castaneda, German Alfonso. 1991. Parainstitutionality, and Regime Flexibility in Colombia: The Place of Narcotraffic, and Counterinsurgency. In Higgins, Martha. K. 1991. Vigilantism and the State in Modern Latin America: Essays on Extralegal Violence. New York: Praeger. Hal.105-123. A. Douglas Kincaid,”Demilitarization and Security in El Salvador and Guatemala: Convergence of Succes and Crisis”Journal of Interamerican Studies and World Affairs, Vol.42, No.4. Special Issue: Globalization and Democratization in Guatemala(Winter, 2000) 44 Lihat misalnya, “Mabes Polri Rotasi Personel Brimob BKO” http://www.sinarharapan.co.id/berita/0707/07/nus04.html (Diakses 6 Mei 2009) 43 168 Brigade Mobil Polri kurun waktu dua tahun berjalan hanya penyempurnaan tugas dan fungsi pada perubahan penamaan Gegana, menjadi Sat 1 Gegana, yang merupakan salah satu respon dan pembagian tugas antara Brimob dengan Densus 88 AT.45 Gugus tugas dan Komando kewilayahan yang tengah berjalan, meski belum optimal dalam mendukung sebaran personil dan tugas serta fungsi Brimob khususnya dalam berbagai penugasan yang terkait dengan ancaman keamanan berkadar tinggi, namun relative berjalan. Hal lain yang jadi konsern dalam penyempurnaan struktur Brimob adalah bagaimana irisan tugas antara Brimob dengan Densus 88 AT tidak sering terjadi. Selama ini memang terjadi penumpukkan tugas dan fungsi antara keduanya. Selain masalah koordinasi, juga ada pembangunan opini yang kurang baik apabila hal tersebut dibiarkan. 46 Secara bertahap fokus tugas dan fungsi Brimob diarahkan lebih kepada penanganan berbagai ancaman keamanan berkadar tinggi non-teror seperti konflik komunal, separatisme, unjuk rasa dengan kekerasan, dan ancaman bom.47 Sementara ancaman keamanan dengan menggunakan metode terror, banyak diantisipasi oleh Densus 88 AT. Di samping itu juga pengamanan perbatasan menjadi bagian yang terus dibenahi hingga pada saatnya Brimob dapat secara penuh melakukan tugas pengamanan perbatasan, sebagaimana yang dilakukan oleh UPP di Eropa dan sebagian besar Negara di Amerika Selatan dan Tengah. Sebagaimana diketahui selama ini perbatasan antar Negara dijaga oleh kesatuan dari TNI, seiring dengan waktu dan pembacaan analisis ancaman keamanan, bukan tidak mungkin Brimob akan secara penuh menjaga perbatasan antar Negara, tidak lagi sekedar membantu dan mem-back up TNI, sebagaimana yang dilakukan selama ini. Ketujuh, perubahan internal yang terjadi belum membuahkan efek jera dan prestasi bagi personil Brimob yang mencerminkan institusionalisasi UPP yang professional dan demokratik. Dalam dua tahun berjalan langkah untuk membuat efek jera dan prestasi (punishment and reward) bagi personil Brimob relative berjalan dengan baik. Selain prestasi dan penghargaan yang diberikan kepada personil, juga hukuman bagi personil yang menyimpang dari esensi kepolisian sebagaimana yang termakhtub dalam Tri Brata dan Catur Prasetya, yang diimplementasikan dalam Kode Etik Profesi Polri. Meski tingkat pelanggaran meningkat, seperti melakukan tindak pidana kriminalitas, penganiayaan dengan pemberatan, hingga lari dari tanggung jawab sebagai Personil Brimob (desersi),48 tapi tingkatan hukuman yang dilakukan juga bervariasi. Variasi hukuman atas pelanggaran tersebut mulai sanksi administrative seperti penundaan kenaikan pangkat dan mutasi, hingga pemecatan dan hukuman kurungan. 49 45 lihat misalnya “Satu Unit Gegana Terus Kejar OPM” http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=5120 (Diakses 6 Mei 2009) 46 Lihat Muradi “Memahami Tugas Densus 88” Pikiran Rakyat, 7 Mei 2008. 47 Lihat Muradi “Terorisme dan Obama” http://www.pikiran- rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=42071 (diakses 8 Mei 2009) 48 Lihat misalnya “Menyamakan 'Frekuensi' Polisi dan Masyarakat” http://jurnalnasional.com/?media=KR&cari=muradi&rbrk=&id=30708&detail=Utama (Diakses 8 Mei 2009) 49 Lihat “Satu Kompi Brimob Jaga obyek Vital” http://www.lodaya.web.id/?p=2108 (Diakses 8 Mei 2009) 169 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Hal yang perlu digarisbawahi selain masalah pemberian penghargaan dan hukuman adalah bahwa tingkat kesejahteraan personil Brimob "masih jauh panggang dari api".50 Kebijakan peningkatan kesejahteraan personil Brimob khususnya dan personil Polri umumnya terbatas pada wacana dan terbentur minimnya anggaran bagi Polri.51 Berbagai keputusan dan kebijakan Kapolri terkait dengan peningkatan kesejahteraan anggota Polri, umumnya dan personil Brimob khususnya telah banyak diterbitkan. Bahkan pada Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/37/X/2008, ditegaskan tentang program kesejahteraan dan remunerasi bagi anggota Polri secara kesuluruhan, dengan sejumlah catatan, yang bila diimplementasikan membutuhkan waktu dan respon yang serius dari pemerintah dan Mabes Polri secara simultan dan terarah, khususnya pada anggaran peningkatan kesejahteraan dan program remunerasi. Sebab, secara teoretik bila kesejahteraan telah terpenuhi, maka upaya peningkatan kinerja akan lebih mudah dilakukan.52 Akan tetapi sejumlah kebijakan yang terkait dengan pendisiplinan dan pola punishment and reward secara sistematis mampu mengurangi tingkat penyimpangan yang dilakukan oleh personil Brimob selama kurun waktu 2007 hingga pertengahan 2009. Meski demikian, harus digarisbawahi pula bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh sejumlah personil Brimob tidak berdiri sendiri. Dalam pengertian, kesejahteraan personil Brimob menjadi salah satu kunci utama selain memberikan penghargaan dan hukuman terkait dengan kinerja dan prilaku personil Brimob.53 Tabel 2. Pemberian Penghargaan/Hukuman Terhadap Personil Brimob Tahun 2007-200954 No I 1 Nama atau Inisial/Kepangkatan 2007 Bripda Yosep Nur Bertus, Brigadir Tulus Sambodo, Bripda Sundoro Mukti Wibowo, Bripda Munadirin, dan Bripda Ferry Prasetyawan. Kesatuan/SIP Prestasi/Pelanggaran Penghargaan/Hukuman Brimob Polda Jateng Desersi dan Kriminalitas Dipecat Ketera ngan 50 Lihat Muradi “Demo Brimob, Problematika Kesejahteraan?” http://pr.qiandra.net.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=38725 (Diakses 8 Mei 2009) 51 Lihat Muradi “Demo Brimob, Problematika Kesejahteraan?” http://pr.qiandra.net.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=38725 (Diakses 8 Mei 2009), lihat juga “Nggak Ada Biaya Psikotes, Polisi Harus Berdayakan KOD” http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=3 0489 (Diakses 8 Mei 2009) 52 Lihat misalnya Muradi “Indonesia's Police Force: Decentralisation for Better Welfare” http://www.rsis.edu.sg/publications/commentaries.asp?selYear=2008&selTheme=6 (Diakses 8 Mei 2009) 53 Lihat Muradi “Demo Brimob, Problematika Kesejahteraan?” http://pr.qiandra.net.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=38725 (Diakses 8 Mei 2009), lihat juga “Nggak Ada Biaya Psikotes, Polisi Harus Berdayakan KOD”. http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=3 0489 (Diakses 8 Mei 2009). Sebagai rujukan, lihat Mabes Polri. 2007. Op.cit. hal. 31. 170 Brigade Mobil Polri 2 3 Bripda Budi Darmawan 2008 Bharatu Rommy Kalena AKP Roy Huwae Brigadir Audy A Tambing F III 1 2009 55 Brigadir FK 2 DL 3 Bripda HYL II 1 2 Brimob Polda NTB Desersi Dipecat Brimob Polda Maluku Utara Brimob Polda Sulawesi Utara Desersi Dipecat Penanganan kerusuhan dan penangkapan DPO Kenaikan Pangkat Brimob Polda Bali Kriminalitas Dipecat Brimob Polda Maluku Utara Brimob Polda Metro Brimob Polda Bengkulu Poligami Dipecat Kriminalias Proses Pengadilan dan pemecatan Dipecat dan proses Pengadilan Desersi dan Pembunuhan Sumber: Disarikan dari berbagai sumber Budaya yang Berkembang di Brimob Delapan, eksklusifitas personil Brimob di antara Unit Polri lainnya. Permasalahan ini terus berkembang mengingat secara organisatoris, Brimob terpisah dari unit-unit lainnya, baik perumahan, pola pelatihan, hingga interaksi personal. Satu-satunya interaksi intensif antar anggota Polri, termasuk personil Brimob adalah bila ada penugasan dan atau perayaan HUT Polri. Selebihnya, personil Polri jauh terpisah kompleks dan markas komandonya dengan unit di lingkungan Polri lainnya. Harus diakui permasalahan ini belum dapat dipecahkan secara organisasi oleh Polri, mengingat karakteristik paramiliter yang melekat pada Brimob membuat interaksi tersebut berjalan lamban. Apalagi biasanya markas komando Brimob menyatu dengan barak dan atau kompleks perumahan anggota Brimob.56 Beberapa agenda internal misalnya pernah dicoba dengan menyelenggarakan kompetisi antar unit dalam olah raga atau kesenian menyambut HUT Polri ataupun HUT RI, akan tetapi,karena sifatnya tidak intensif, maka interaksi tersebut tidak terjaga dengan baik.57 Ada semacam dilema yang terus melekat dalam permasalahan ini yakni:di satu sisi, interaksi antar unit di dalam lingkungan Polri memberikan efek positif dalam berbagai penugasan dan perasaan yang sama sebagai anggota Polri. Di sisi lain, interaksi tersebut juga membuat personil Brimob "kurang steril" sebagai bagian dari anggota UPP, maupun unit yang bersifat 54 Tabel ini berisi sebagian dari proses pemberian penghargaan dan hukuman terkait dengan kinerja personil Brimob. Ada sebagian dari pemberian penghargaan/hukuman tersebut tengah dalam proses dan atau tidak dipublikasikan ke media. Sehingga Tabel 2 ini merupakan ilustrasi saja bagaimana proses internal Brimob terhadap berbagai bentuk pelanggaran dan prestasi. 55 Data hingga April 2009 56 Lihat misalnya “Situ Terletak Di Belakang Kompleks” http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2008/09/14/brk,20080914-135374,id.html (Diakses 10 Mei 2009) 57 Lihat misalnya “Markas Brimob dan Pos Polairud Diserahkan” http://www.nusatenggaranews.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=2&artid=1373 (Diakses 10 Mei 2009) 171 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 khas dan cenderung menggunakan pola pendekatan yang berbeda dengan unit dilingkungan Polri lainnya. Dalam banyak kasus interaksi yang intensif justru menumpulkan kekhasan yang dimiliki oleh setiap personil Brimob.58 Apalagi mengingat unit-unit lainnya relative memiliki akses ekonomi non-formal, diluar gaji dan tunjangan yang menjadikan opini menjadi anggota kepolisian non UPP lebih memiliki akses ekonomi daripada menjadi anggota militer dan atau paramiliter.59 Harus diakui permasalahan ini belum terpecahkan hingga sekarang, langkah-langkah yang dilakukan oleh internal Polri maupun Brimob sepanjang dua tahun berjalan lebih pada interaksi program dan penugasan.60 Hampir tidak ada langkah kongkret yang mempertegas interaksi antara personil Brimob dengan anggota unit Polri lainnya. Bisa jadi hal tersebut dikarenakan agar Brimob dapat tetap steril sebagai unit khas yang memiliki tugas dan fungsi yang khusus pula dari berbagai hal yang menyimpang,61 yang cenderung meredupkan esensi kekhasan dan tugas utamanya sebagai polisi paramiliter.62 Kesembilan, pola rekruitmen yang berstandar lama. Respon dari masalah ini adalah dengan memperbaiki pola rekruitmen yang ada agar sesuai dengan kebutuhan serta mampu menangkal setiap ancaman terhadap kondusifitas Kamdagri. Mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu mengemban tugas Polri dan mencukupi baik dari segi kualitas maupun kuantitas dalam rangka menciptakan lembaga kepolisian yang professional..., Pengembangan kekuatan SDM Polri dilaksanakan melalui penambahan anggota baru Polri, dengan mengutamakan putra daerah (prinsip local boy for local job) dengan mengutamakan kebutuhan organisasi mencapai rasio polisi dengan penduduk1:500 pada akhir tahun 2009 ..., Menerapkan proses rekruitmen dan seleksi Brimob yang lebih ketat dari polisi reguler...,63 Kebijakan tersebut juga ditekankan untuk tidak lagi melakukan seleksi pada level tamtama pada akhir tahun 2009, dan berlaku juga bagi Brimob. Sehingga seleksi penerimaan anggota Brimob mengikuti kebijakan Mabes Polri dengan titik tekan pada ketatnya seleksi untuk Brimob. Mengacu pada hal tersebut saat ini penerimaan anggota baru Polri terdiri dari tiga 58 Lihat Muradi.2008. op. Cit. Lihat juga Muradi “Demo Brimob, Problematika Kesejahteraan?” http://pr.qiandra.net.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=38725 (Diakses 8 Mei 2009) 59 Lihat misalnya Jefferson,Tony.1990. The Case Against Paramilitary Policing. Buckingham: Open University Press. Hal. 2-15. 60 Lihat misalnya “Markas Brimob Kerahkan 200 Personel ke Ternate” http://www.antara.co.id/arc/2008/4/4/markas-brimob-kerahkan-200-personel-ke-ternate/ (Diakses 10 Mei 2009) 61 Lihat misalnya “Berjaga Dari Bom, Polisi Sterilisasi 3 Gereja di Palembang” http://news.okezone.com/read/2007/12/25/1/70295/1/berjaga-dari-bom-polisi-sterilisasi-3-gereja-dipalembang (Diakses 10 Mei 2009) 62 Lihat misalnya David L. Carter, ”Police Disciplinary Procedures: A Review of Selected Police Departments. Dalam Barker,Thomas. David L. Carter. 1994. Police Deviance. Ohio: Anderson Publishing. 63 Mabes Polri. 2007. Op.cit. 172 Brigade Mobil Polri jalur, yakni: Jalur bintara, Akademi Kepolisian (Akpol) di mana statusnya juga ditingkatkan dengan bersumber pada sarjana/sederajat, serta Penerimaan Perwira Polri Sumber Sarjana (PPSS). Akan tetapi perlu juga digarisbawahi bahwa seleksi internal pasca lulus dari Akpol, seleksi spesialisasi bagi perwira pertama Polri untuk menjadi personil Brimob hingga saat ini masih belum jelas.64 Sekedar gambaran, banyak perwira di Brimob banyak tidak mengetahui mengapa diarahkan menjadi personil Brimob. Awalnya mungkin sebagai bagian dari 'tour of duty', namun pada perjalanannya terpaksa menyukai, walau pada akhirnya jatuh cinta dan bangga menjadi bagian dari Korp Baret Biru, Brimob. Proses ini patut dipahami mengingat menjadi perwira di Korp Brimob berarti "kontrak mati" untuk tidak bisa semakmur dan sesejahtera rekan-rekan seangkatan yang berada di unit lain di lingkungan Polri. 65 Sementara untuk jalur bintara dan PPSS, pada prosesnya relative tidak serumit proses lulusan Akpol yang ingin masuk Brimob. Kedua jalur ini memang telah sejak awal diplot untuk kebutuhan yang ada di Brimob dan unit-unit lainnya. Dalam pengertian, keberadaan dua jalur rekrutmen tersebut sesungguhnya tergantung dari seberapa cermat dan telitinya internal Brimob dalam melakukan seleksi dan penerimaan personil baru. Dengan memperhatikan kompetensi, proposionalitas, transparan, dan obyektif. Penutup Terlepas masih adanya permasalahan yang mengganggu proses transformasi Brimob menjadi UPP yang tidak sekedar menampakkan wajah militeristiknya tapi juga mencitrakan Brimob sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keluarga Besar Polri yang telah menegaskan sebagai kepolisian nasional yang sipil dan demokratik Brimob telah melakukan sejumlah respon positif terhadap tuntutan publik. Ini berarti langkah yang telah dicapai dalam dua tahun berjalan relative positif bagi masa depan Brimob sebagai UPP yang professional dan demokratik. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa titik tekan yang harus dijadikan pijakan bagi pimpinan Polri dan Brimob dalam merumuskan kebijakan terkait Brimob adalah bagaimana menselaraskan antara tuntutan tugas dan fungsi sebagai Unit Polisi Paramiliter yang menjadi bagian integral Polri dengan kualitas dan kuantitas personil yang kompeten dan proposional dengan memperhatikan kemampuan dan keterampilan serta kesejahteraan personilnya. Bila hal tersebut lalai diperhatikan, bukan tidak mungkin kemampuan dan keahlian yang dimiliki akan dipergunakan untuk melakukan tindak kejahatan yang efeknya lebih besar dari sekedar penyimpangan yang dilakukan oleh anggota polisi biasa. Membiarkan personil Brimob dalam situasi yang mendilema bukan saja akan merusak pencitraan Polri dan Brimob, tapi juga cita-cita mengembangkan UPP yang professional dan demokratik hanya akan sekedar harapan.< 173 Quo Vadis Densus 88 Anti Teror Polri ? QUO VADIS DENSUS 88 ANTI TEROR POLRI? Eko Maryadi 1 Jika ada unit kepolisian yang membanggakan, barangkali itu Detasemen Khusus 88 Anti Teror atau Densus 88. Nama kesatuan anti-teror elit Polri ini berkibar –terkadang- mengalahkan nama besar induknya : Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Namun di tengah menurunnya serangan teror bom dua tahun terakhir, kiprah Densus 88 mulai meredup. Beberapa kasus malah menyeret Densus 88 ke arah yang tidak jelas bahkan cenderung negatif. Kemana sebenarnya orientasi Densus 88? Hari itu, Rabu, 8 April 2009 menjelang jam 11 siang, ada yang tidak biasa di kompleks Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta. Suasana tenang di kawasan itu terlihat sibuk dan sedikit tegang. Belasan petugas Polri berbaju hitam, memakai rompi, menenteng senjata laras panjang, berlarian dari berbagai sudut menuju gedung Bareskrim. Pada saat yang sama, Kepala Bareskrim, Komjen Polisi Susno Duadji mondar-mandir di kantornya sambil melihat jam tangan. Ada ancaman bom atau penyerbuan ke kantor Mabes Polri Jakarta? Ternyata tidak. Hari itu, Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji dan Komandan Detasemen Khusus 88 Anti Teror yang baru Brigjen Pol. Saud Usman Nasution melakukan apel mendadak untuk mengecek kesigapan anggota Densus 88 menghadapi ancaman teror. "Saya mau mereka kumpul disini dalam satu jam, bisa atau nggak. Pokoknya seberapa cepat, komplit dia bisa sampai TKP," kata Kabareskrim Komjen Polisi Susno Duadji. Tepat satu jam, atau pukul 11 siang, sekitar 40 anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri dengan seragam, rompi anti peluru, helm, penutup muka, dan senjata di tangan telah berjejer rapi di halaman kantor Bareskrim Mabes Polri. Selama hampir satu jam Kabareskrim Polri didampingi Kepala Densus memeriksa para personil, mengecek senjata dan perlengkapan operasi mereka, lalu memberi pengarahan. Tak ada perintah operasi, tak ada tembak-menembak, ataupun usaha menjinakkan bom. Ini hanyalah latihan kesigapan anggota Densus 88 dalam merespon perintah dan mengecek kesiapan mereka menghadapi setiap ancaman yang muncul. "Ini anggota Bareskrim yang nggak pernah kelihatan (di depan publik). Jadi kita harus latihan kumpul secara mendadak. Kalau latihan diberitahu dulu namanya bukan latihan," ujar Kabareskrim. Susno mengelak latihan anggota Densus ini terkait pengamanan Pemilu Legislatif 9 April. "Ini bukan untuk pemilu, ini terkait anti teror.” 1 Eko Maryadi, jurnalis freelance untuk media internasional, pengurus Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 174 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Begitulah. Sebagai satuan anti-teror khusus yang diandalkan, anggota Detasemen Khusus 88 Polri harus selalu siap dipanggil atau menghadapi berbagai situasi. Dari waktu ke waktu, satuan elit Polri ini terus meningkatkan kapasitasnya sebagai unit pelaksana terdepan tugas penanggulangan teror dan bom di dalam negeri, menjalankan mandat UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Anti Terorisme dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Menurunnya Ancaman Terorisme Berbeda dengan tahun-tahun awal pembentukannya yang gegap-gempita, kiprah Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri akhir-akhir ini agak menurun. Meskipun media massa tetap memberitakan keberhasilan operasi Densus 88, namun pengungkapan kasus terorisme berprofil tinggi semakin berkurang. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, operasi Densus 88 selama ini telah berhasil membongkar jaringan teroris di tanah air dan melemahkannya secara signifikan. Kedua, terjadi penurunan kemampuan operasional Densus 88 sehingga hanya mampu membongkar kasus-kasus ”kelas dua”. Harap dicatat, salah satu tersangka pelaku teror utama Noordin Mohamad Top (NMT) sampai tulisan ini dibuat --Juni 2009-- belum berhasil ditangkap. Sepanjang 2008, media massa beberapa kali melaporkan keberhasilan operasi Densus 88 Polri dalam mengungkap kasus terorisme. Dua kasus besar yang tercatat misalnya : 5 Mei 2008 : Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Polisi Abubakar Nataprawira mengumumkan keberhasilan Densus 88 menangkap anggota Jamaah Islamiyah (JI) dari kelompok Noordin M Top (NMT) di desa Wingkosanggrahan Kecamatan Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah. Parmin alias Yaser Abdul Basar alias Sastro alias Faiz diciduk anggota Densus 88 pada 22 April 2008 terkait keterlibatannya dalam kejahatan terorisme. Polisi memastikan Faiz mengetahui keberadaan Noordin M Top yang masih buron. Menurut Abubakar, Faiz termasuk kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang dibaiat pada 1999 dan bergabung dengan kelompok NMT pada 2004. Faiz mengaku pernah bertemu Noordin M Top sekitar April sampai Oktober 2005. Faiz didakwa terlibat dalam perencanaan Bom Bali II. Dia pernah bertemu Salik Firdaus (almarhum, pelaku Bom bunuh diri Bom Bali II), dan bertemu Doktor Azhari sebelum gembong teroris asal Malaysia itu tewas ditembak polisi pada November 2005. Faiz juga diduga melakukan kejahatan pembuat buku lewat internet (cyber crime) tentang Jihad bersama kelompok NMT dalam website www.anshar.net. Pemuda berumur 28 tahun ini juga menerjemahkan pidato ancaman dan provokasi NMT melalui jaringan TV Al-Jazeera. Penangkapan Faiz merupakan lanjutan operasi Densus 88 Polri yang bersifat preventif menyusul ditangkapnya pimpinan Jamaah Islamiyah (JI) Jawa Tengah pada pertengahan tahun 2007 yakni Abu Dujana dan Zarkasih alias si Mbah. 175 Quo Vadis Densus 88 Anti Teror Polri ? 1 Juli 2008 : aparat Densus 88 Mabes Polri yang diback-up Satuan Brimob Polda Sumsel bersenjata lengkap, berhasil mengungkap rencana kejahatan terorisme besar di Palembang, Sumatera Selatan. Dalam operasi penggeledahan selama 3 hari, anggota Densus berhasil menemukan puluhan bom rakitan aktif siap pakai yang ditanam dalam tupperware plastik dari rumah seorang tersangka anggota Jamaah Islamiyah (JI) di Palembang. Total bahan peledak yang berhasil dijinakkan polisi beratnya mencapai 50 kilogram. ”Bom-bom dalam kontainer ini apabila diledakkan, akan lebih dahsyat dari Bom Bali,” ujar seorang anggota Densus yang tidak mau disebut namanya. Selain bahan-bahan peledak aktif, polisi juga mencokok 9 tersangka pelaku teror yang beberapa diantaranya berhubungan langsung dengan buronan teroris asal Singapura Mas Slamet Kastari dan buronan teroris utama Noordin M Top. Polisi juga menahan seorang warga Singapura berinisial MH, yang sudah beberapa bulan ngumpet di Palembang sambil mengajar bahasa Inggris dan ikut merakit bom bagi kelompok Palembang. Beberapa jam setelah penggerebekan tersangka pelaku teror di Palembang 1 Juli 2008, Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono memberikan arahan kepada anggota Densus 88 di lapangan. ”Atas perintah Kapolri (Jenderal Sutanto), kami langsung menghadap presiden,” ungkap Brigjen Polisi Surya Dharma, Kepala Densus 88 Anti Teror Mabes Polri saat itu. Presiden mengatakan, pengungkapan jaringan teror Palembang ini lebih tinggi nilainya karena menangkap pelaku teror sebelum mereka mewujudkan kejahatannya. ”Presiden minta organisasi teror ini diusut tuntas,” imbuh Surya Dharma. Saat ini –Juni 2009para tersangka pembuat, penyimpan, dan pemilik bahan peledak bom Palembang itu masih diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sesuai UU Anti Terorisme tahun 2002, para tersangka bisa dijerat hukuman penjara puluhan tahun sampai seumur hidup. Indonesia Dan Kawasan Yang Bergolak Operasi non-stop anti terorisme yang dilancarkan Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri sejak 2002 hingga 2006, yang dibarengi tindakan hukum tegas terhadap pelakunya, harus diakui mulai menunjukkan hasil. Sepanjang 2007 sampai 2009 misalnya, tidak ada serangan bom berskala besar –seperti bom Bali I atau bom Kedubes Australia-- terjadi di wilayah Indonesia. Berbagai gangguan politik dan kriminalitas memang ada dengan modus dan skala yang berbeda. Namun secara umum ancaman serangan bom teroris cenderung menurun, untuk tidak mengatakan nol. Dalam tiga tahun terakhir Indonesia bisa dikatakan aman, jika dibandingkan dengan kondisi negara-negara lain di kawasan Asia yang masih bergolak. Berbagai aksi teror mematikan seperti serangan bom di Mumbai, India (November 2008), serangan bom di Afganistan, Pakistan, Irak, Filipina (sepanjang Mei 2009), menunjukkan bahwa kondisi keamanan di dalam negeri dewasa ini merupakan prestasi yang wajib dijaga. Sejak September 2006, Pengadilan Indonesia telah menjatuhkan hukuman kepada lebih dari 43 tersangka teroris, termasuk 26 anggota Jamaah Islamiyah (JI). 176 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Dalam sebuah wawancara khusus, Kepala Desk Anti Teror Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Brigjen Polisi Ansyad Mbai mengatakan, seluruh aparat penegak hukum terus bekerja dan meningkatkan kemampuan operasional menghadapi ancaman terorisme. ”Tidak adanya serangan bom di Indonesia dalam tiga tahun terakhir bukan berarti tidak ada ancaman terorisme. Hal itu lebih disebabkan keberhasilan aparat anti teror dan segenap intelijen kita mencium, meredam, dan menghentikan rencana tindakan teror mereka secara preventif.” jelas Ansyad Mbai. Dengan terbongkarnya jaringan teror berikut bahan-bahan peledak aktif dari berbagai kelompok –seperti Abu Dujana, Zarkasih, kelompok Palembang – justru menunjukkan organisasi pembuat teror di tanah air masih aktif dan berbahaya. Lebih jauh Ansyad Mbai menjelaskan, posisi Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi berpenduduk muslim terbesar di dunia bisa menjadi tempat persemaian berbagai aliran dan ideologi dari yang paling liberal sampai yang radikal. ”Negara kita ini dikenal bebas –di Singapura dan Malaysia saja internet masih dikontrol pemerintah-- tapi dikelilingi negara-negara yang bergolak seperti Afghanistan, Pakistan, Irak, bahkan Filipina dan Thailand. Jika tak cermat, apa yang terjadi di negara tetangga bisa menjadi ancaman di dalam negeri kita,” terang Ansyad Mbai. Untuk merespon situasi tersebut negara berusaha menjamin rasa aman warga dengan memperkuat satuan anti teror seperti Densus 88 Polri. Saat ini sejumlah perwira Densus 88 menempuh berbagai studi dan jenjang pendidikan spesialis. Ada yang mengambil studi terorisme, master bidang Teknologi Informasi (TI), master bahan peledak, studi sosiologi, dan banyak lagi. Sedangkan anggota Densus di berbagai Polda dilatih meningkatkan kemampuan intelijen, penguasaan senjata, penyadapan musuh, negosiasi, menjinakkan bom, dan kemampuan teknis lainnya. Senada dengan Ansyad Mbai, pengamat intelijen Wawan H Purwanto mengakui kebebasan sipil di Indonesia dewasa ini bisa dimanfaatkan oleh berbagai kelompok kepentingan untuk mengembangkan ideologi gerakan tertentu. Dalam website Center for Moderate Muslim (CMM), Wawan H Purwanto menyitir salah kaprah sebagian masyarakat (muslim) yang menjadikan Indonesia sebagai basis perjuangan atau jihad bersenjata. ”Jangan membuat Indonesia menjadi darul harb atau rumah pertempuran (melawan ideologi atau musuh apapun). Bertempur di medan tempur itu sah-sah saja. Tapi kalau mau berjihad di medan pertempuran sesungguhnya pergilah ke Afghanistan, Irak atau Palestina. Saya kira itu lebih gentle dan nyata sebagai medan tempur (darul harb),” jelas Wawan. Lebih jauh Wawan menjelaskan, ”Indonesia ini daerah damai. Jangan dipukul rata untuk menumbuhkan konflik. Seperti yang pernah diucapkan Noordin M Top, bahwa saya akan menyerang Italia, Amerika, Inggris, ya seranglah disana. Kenapa menyerang Indonesia? 177 Quo Vadis Densus 88 Anti Teror Polri ? Korbannya orang Indonesia, investor asing tidak masuk, ekonomi dan perdagangan turun, pariwisata berantakan. Ini musuhnya dimana, tapi meledakkan bom di sini. Apakah ini jihad? Saya kira ini sudah salah sasaran dan salah kaprah. Jadi, sudah tidak cocok lagi.” Karena itu penting bagi aparat pemerintah, termasuk anggota Densus 88 Polri sebagai satuan keamanan anti teror dalam negeri untuk memahami akar masalah terorisme, bukan hanya melakukan penindakan, kendati secara hukum itu dibenarkan. Para Jenderal Di Balik Densus 88 Salah satu pengakuan publik terhadap Densus 88 ialah kapasitas anggotanya sebagai polisi sipil yang mempunyai kualifikasi pasukan komando. Inilah yang membedakan anggota Densus 88 Anti Teror dengan anggota Sabhara atau Reserse di kantor Polsek atau Polres. Kemampuan anggota Densus dimiliki berkat ketekunan, disiplin, pelatihan dan pendidikan yang ditempuh di dalam maupun di luar negeri. Di balik nama besar Densus terdapat sejumlah perwira polisi dari berbagai level dari yang tertinggi sampai level menengah. Mereka adalah guru, pelatih, mentor, komandan, bahkan rekan sejawat yang memberikan kontribusi terbaik dalam tugas penanggulangan terorisme. Mereka antara lain : • Jenderal Polisi Da'i Bachtiar – KAPOLRI (29 November 2001 - 7 Juli 2005) Jenderal Polisi Da'i Bachtiar tercatat sebagai Kepala Polri yang menorehkan prestasi cukup membanggakan, menyusul keberhasilan Polri membongkar kasus bom Bali I (12 Oktober 2002) dan kasus bom di Hotel JW Marriott, Jakarta, (5 Agustus 2003), dan bom Kedubes Australia (9 September 2004). Kasus-kasus bom itu turut melambungkan sejumlah nama perwira Polri seperti Brigjen Polisi Made Mangku Pastika, Brigjen Polisi Gorries Mere, dan Brigjen Polisi Pranowo Dahlan. Dipilih oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, Jenderal Da'i Bachtiar merupakan ”ayah kandung” Densus 88. Yakni sebagai pejabat Polri yang menandatangani Surat Keputusan (Skep) Kapolri Nomor 30/VI/2003 tanggal 30 Juni 2003 tentang pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri. Satuan anti teror elit Polri yang dibentuk sebagai respon meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia melalui modus peledakan bom. Da'i adalah alumni Akademi Kepolisian 1972, menempuh Pendidikan CID di Jerman (1982), Sespim (1987), dan Sesko ABRI (1996). Sederet jabatan yang pernah diemban antara lain Kapolres Blora (1987), Kapolres Boyolali (1989), dan Kapolres Klaten (1990), Sesdit Serse Polda Jatim (1992), Kapoltabes Ujungpandang (1993), Kadispen Polri (1998), Dankorserse Mabes Polri (1998-2000), Kapolda Jawa Timur (2000), Gubernur Akpol (2001), Kalakhar BNN (2001), hingga menduduki jabatan Kapolri pada Oktober 2002. Sebagai Kapolri Da'i menerima sejumlah penghargaan internasional antara lain gelar Kehormatan dari pemerintah Australia (2003) dan gelar kehormatan dari Kepolisian Diraja Malaysia berkat kerja sama antar kepolisian negara dalam memerangi terorisme. 178 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 • Jenderal Polisi Sutanto – KAPOLRI (8 Juli 2005 - 30 September 2008) Jenderal Polisi Sutanto merupakan alumni terbaik Akpol 1973, dikenal sebagai polisi yang bersih dan diharapkan membawa reformasi internal dalam tubuh Polri. Dipilih menduduki kursi Tri Brata-1 (Kapolri) oleh Presiden SBY yang juga lulusan terbaik Akabri 1973 dan disetujui oleh seluruh Fraksi DPR-RI. Jabatan Sutanto sebelum Kapolri ialah Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Narkotika Nasional (BNN). Dilahirkan di Pemalang, Jawa Tengah, 30 September 1950 Sutanto dikenal sebagai polisi yang jujur dan berani memberantas kejahatan. Setelah lulus dari Akabri Kepolisian (1973) bersama SBY (AKMIL 1973), Sutanto menempuh pendidikan di PTIK (1983), Sespimpol, Lembang, Bandung (1990), dan Lemhannas (2000). Sebelum naik pangkat menjadi Brigjen Polisi, Sutanto pernah menjadi Kepala Detasemen Provoost Polda Jatim (1990-1991), Kapolres Sumenep, Jawa Timur (1991-1992), Kapolres Sidoarjo, Jawa Timur (1992-1994), Paban Asrena Polri (1994-1995), Ajudan Presiden Soeharto (1995-1998), dan Waka Polda Metro Jaya (1998-2000). Saat menjadi Kapolda Sumut (2000) dan Kapolda Jawa Timur (2000-2002), Sutanto adalah perwira yang gigih melawan perjudian, narkoba dan premanisme, sampai harus berhadapan dengan bandar judi besar dan internal Polri. Usai menjabat Kapolda Jatim, Sutanto dimutasi menjadi Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri (2002-2005), dimana Sutanto ikut mendidik anggota Polri termasuk anggota Densus 88 Mabes Polri. Pada masa Kapolri dijabat Sutanto, Detasemen Khusus (Densus) Anti Teror Mabes Polri dengan Kepala Densus Brigjen Polisi Bekto Suprapto berhasil mengungkap sejumlah kasus teror berskala besar. Misalnya Bom Bali II (Oktober 2005), meringkus dan menembak mati tersangka teroris Doktor Azahari (November 2005), mengungkap kasus teror bom di Palu (Desember 2005), menangkap pimpinan Jamaah Islamiyah (JI) Jawa Tengah Abu Dujana dan Zarkasih (Juni 2007), dan membongkar teror bom Palembang (Juli 2008). Di bawah Sutanto pula, Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 sempat berganti yakni dari Brigjen Polisi Bekto Suprapto (2004-2008) ke Brigjen Pol. Surya Dharma (2008). • Komjen Polisi I Made Mangku Pastika – Kepala Tim Investigasi Bom Bali Komisaris Jenderal Polisi (Purn) I Made Mangku Pastika, lahir di Kabupaten Buleleng, Bali, 22 Juni 1951. Pastika menempuh pendidikan di Akpol (1972), lulusan terbaik Akabri Kepolisian (1974), lulus PTIK (1984), dan pensiun pada 2008 dengan pangkat Komjen Polisi saat terpilih menjadi Gubernur Bali.. Pelatihan dan penugasan yang pernah diterima : Latihan Brimob/Pelopor Bogor, Komandan Peleton 1 Kompi I, Batalyon B, Brimob Polda Metro Jaya, dan ditugaskan ke Timor Timur (semuanya sepanjang 1975-1976). Pastika dikenal sebagai perwira polisi yang doyan ”makan sekolahan” serta berwawasan internasional. Sederet jabatan pernah disandang Pastika antara lain ajudan Menhankam/Panglima ABRI 179 Quo Vadis Densus 88 Anti Teror Polri ? (1977-1981), Kanit Kejahatan Harda Ditserse Polda Metro Jaya (1985), Kapolsek Tambora Jakarta Barat (1987), anggota Kontingen Garuda IX pasukan PBB di Namibia (1988), Kepala Satuan Penyidik Perbankan di Mabes Polri, mengikuti pelatihan bidang penanganan krisis di Inggris (1992), pelatihan bidang penanganan kejahatan berat di Australia (1993), Kapolres Jakarta Barat (1994-1995), lulus SESKO ABRI (1997), Kepala Departemen Kerjasama Internasional di NCB/Interpol (1997-1999), Pendidikan Ilmu Investigasi Kriminal Internasional di Jepang.(1998), Direktur Reserse Ekonomi Mabes Polri (1999), Direktur Tipiter Mabes Polri (1999) dan Kapolda Timor Timur (1999), Kapolda NTT (2000), Kapolda Papua (2000-2003), Kapolda Bali (2005), Kalakhar BNN (2003-2005). Dalam bidang anti teror dan kejahatan bom, Made Mangku Pastika berperan sebagai Ketua Tim Investigasi Bom Bali (2002), Ketua Tim Gabungan Investigasi Bom Bali I dan II (2003-2005). Namanya Pastika sempat melambung ”melewati” Kapolri Da'i Bachtiar gara-gara sering dikutip oleh media massa dalam dan luar negeri. • Komjen Polisi Gorries Mere - Komandan Satgas Anti Bom (2003) Gregorius Mere alias Gorries Mere. Nama ini begitu dikenal, bukan hanya di kalangan reserse di tanah air, juga di luar negeri. Jenderal kelahiran Flores ini adalah lulusan Akpol 1976, mulai dikenal sejak terlibat perburuan Ratu Ekstasi Zarima di Texas, Amerika Serikat pada 1996 saat masih berpangkat Letkol Polisi alias Ajun Komisaris Besar (AKB). Gorries Mere selalu terlibat dalam sejumlah kasus besar, diantaranya menjadi tim penyidik kasus kerusuhan Mei 1998, kasus Raja Ekstasi Ang Kiem Soei (2002), sampai serangkaian perburuan tersangka teror bom : mulai Bom Natal (2000), Bom Bali I (2002), Bom Hotel Marriot (2003), Bom Kedubes Australia (2004), Bom Bali II (2005), perburuan Doktor Azhari dan Noordin M Top (2006), perburuan Abu Dujana dan Zarkasih (2007). Pada 2003, Gorries ditunjuk menjadi Komandan Satgas Anti Bom Mabes Polri, unit anti bom yang menjadi cikal bakal Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri yang kemudian dipimpin oleh Brigjen Polisi Bekto Suprapto. Meskipun reputasinya menjulang tinggi, Gorries Mere sangat jarang tampil di depan publik. Beberapa pihak menilai Gorries adalah detektif polisi tulen. Salah satu puncak reputasinya ketika mendapat penghargaan dari pemerintah Australia, Honorary Award in Order of Australia (HAOA) tahun 2003, bersama Kapolri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar dan Irjen Polisi Made Mangku Pastika karena keberhasilannya mengungkap pelaku bom Bali I. Tapi Australia juga yang paling kecewa kepada Gorries karena kepergok sedang “nongkrong” dengan terpidana mati bom Bali Ali Imron di kedai kopi Starbuck's, Jakarta dengan alasan sedang melakukan “penyelidikan dan pendalaman” terhadap tersangka. Setahun kemudian, Brigjen Gorries Mere naik pangkat menjadi Irjen, dan menjabat Wakil Kepala Bareskrim. Bulan Juni 2007 saat Mabes Polri membeber video pengakuan tersangka Abu Dujana dan Zarkasih, di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Gorries Mere tidak kelihatan. Selama ini ia memang selalu menghindari kamera wartawan. 180 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Sudah menjadi rahasia umum, peran Gorries Mere tidak terlalu ditonjolkan khususnya dalam isu pemberantasan terorisme. Salah satunya karena latar agamanya yang dipandang rawan dari serangan kelompok Islam garis keras. Yang lebih sering tampil di depan publik terkait isu terorisme justru para perwira yuniornya yang beragama Islam seperti Brigjen Suryadharma (mantan Kadensus 88), Brigjen Wahyu Indra Pramugari (mantan Kapolresta Surabaya Selatan), Brigjen Untung (mantan Kapolwil Besuki), dan mantan anggota JI yang selama ini membantu Polri, Nasir Abbas. Gorries dikenal sebagai perwira Polri moderen selalu membawa laptop dan alat komunikasi canggih kemanapun pergi. Situs berita ABC Australia melaporkan, Gorries Mere mampu menyadap percakapan antar tersangka teroris melalui e-mail, praktek yang dilakukan FBI di Amerika Serikat. Pada 2008 Kapolri Sutanto menaikkan pangkat Gorries Mere menjadi Komjen Polisi dan menunjuknya sebagai Kalakhar BNN menggantikan Komjen Pastika. Jabatan baru Gorries seolah melengkapi karir yang sebelumnya menjabat Direktur Narkoba Bareskrim Polri. • Brigjen Polisi Pranowo - Komandan Satgas Anti Bom (2003) Dilahirkan di Wonosobo 22 Januari 1953, Pranowo menyelesaikan pendidikan Akabri Polisi (1975), PTIK (1990), Seskoal (1993), Sespati I (2001), Lemhanas (2007). Sederet jabatan Pranowo di Kepolisian RI antara lain sebagai Pa Staf Polres Magetan (1976), Dansek Polres Magetan Polda Jatim (1979), Kabag Ops Polres Ermera Polda Timor Timur (1980), Dansat Lantas Polres Ponorogo (1982), Kasi Intel Polwil Madiun (1984), Dansat lantas Polresta Madiun (1985), Kabag Lantas Polwil Madiun (1987), Anggota DPRD TK II Madiun (1988), Wakasat Poa Dit Ipp Polda Metro Jaya (1990), Waka Polres Metro Jaktim (1992), kabag Poa Dit Ipp Polda Kaltim (1995), Kapolres Pasir Polda Kaltim (1994), Kapolresta Balik Papan (1995), Paban Madya Pamgiat Baket Paban II/Pamsan Sintel Polri (1997), Wakapolwil Bogor Polda Jabar (1997), Guru Utama Akpol (1998), Kasubdit Pid Sendak Dit Serse Pid Umum Korserse Polri (2001), Penyidik Utama Dit I/Kamtranas Bareskrim Polri (2003), Kadensus 88/Anti Terror Bareskrim Polri (2003), Kamtranas Bareskrim Polri (2004), Waka Polda jabar (2005), Ses Lakhar BNN (2006), Inspektur BNN (2007), Asdep 2/V Kamnas Kemenkopolhukkam (2008). Pranowo adalah salah guru bidang intelijen dan reserse. Pengalaman dan jam terbangnya bertugas di berbagai wilayah, membuatnya Brigjen Pranowo terlibat dalam investigasi berbagai kasus terorisme dan peledakan bom. Pada 2003 Pranowo ditunjuk menjadi Kepala Densus Anti Teror Bareskrim Polri pertama sebelum namanya berubah menjadi Densus 88 Anti Teror Mabes Polri. Penghargaan yang diterima SL Seroja, SL Kesetiaan 8 Tahun, SL Kesetiaan 16 Tahun dan 24 Tahun, SL Karya Bhakti, SL Didya Sistha, BT Bhayangkara Nararya, SL Yana Utama. Saat ini, berdasarkan Surat Perintah Menkopolhukkam, Pranowo diangkat sebagai LO dari 181 Quo Vadis Densus 88 Anti Teror Polri ? Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan mewakili Ketua Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas). • Brigjen Polisi Bekto Suprapto - Kepala Densus 88 Anti Teror (2004-2008) Kiprah Brigjen Polisi Bekto Suprapto dalam Densus 88 Anti Teror Mabes Polri tak perlu diragukan. Dialah perwira utama pelapis seniornya dalam Densus 88 yang bertugas menangani berbagai kasus teror bom sejak 2004 sampai 2008. Perwira Polri kelahiran 1955 ini lulusan Akpol 1977 dikenal sebagai perwira Polri yang sederhana dan pekerja keras. Sejak pengungkapan kasus Bom Kedubes Australia (2004) sampai penangkapan sejumlah tersangka teroris kakap di tanah air sepanjang 2005 sampai 2008, Kepala Densus 88 Anti Teror ini tidak pernah absen memberikan waktunya untuk institusi Polri. Pembawaannya yang tenang, tidak suka publikasi, sederhana, membuatnya disukai anggota Densus 88. Selepas jabatan Kadensus 88, Bekto ditugasi Kapolri baru Jenderal Polisi Bambang Hendarso Dahuri menjabat Kapolda Sulawesi Utara. Pada 7 Maret 2009, mantan Kadensus 88 Anti Teror ini merayakan ulang tahunnya ke 54 dengan sederhana di rumah dinasnya, bersama anak yatim, sahabat, dan sejumlah perwira di Polda Sulut. Itulah sejumlah perwira tinggi polri yang dinilai mempunyai peran khusus dan memberikan kontribusi khusus dalam membesarkan Densus 88. Tentu masih banyak nama perwira polri lain yang tidak mungkin disebutkan, termasuk dua mantan Kepala Densus 88 Anti Teror Mabes Polri yakni : Brigjen Polisi Surya Dharma, Kepala Densus 88 Anti Teror (2008-2009), dan Brigjen Polisi Saud Usman Nasution - Kepala Densus 88 (2009-sekarang) yang dipilih Kapolri BHD menggantikan Kadensus 88 sebelumnya. Musim Bom Telah Berlalu Berkurangnya serangan bom dan ancaman terorisme menyebabkan peran Detasemen Khusus 88 Anti Teror mengalami pergeseran. Pada saat-saat tertentu anggota Densus 88 beralih fungsi dari anggota pasukan komando menjadi anggota polri berkualifikasi reserse kriminal umum. Dikatakan ”umum” karena tugas pengungkapan kejahatan itu bukan jenis kejahatan berskala gawat atau membahayakan negara seperti terorisme atau serangan bom yang bersifat langsung dan massif. Berikut beberapa cuplikan berita tentang bagaimana anggota Densus di-BKO-kan ke fungsifungsi reserse umum yang bersifat non-teror (fisik). Dari Teror SMS hingga OPM di Papua Warga Banjarmasin, HJ (25) tidak terima trio pelaku bom Bali I, Ali Gufron, Imam Samudra, Amrozi, dieksekusi, dia mengancam akan membom empat tempat penting di Jakarta. Ancaman teror itu dikirimkan HJ melalui pesan singkat (SMS) ke layanan Polri 1717 Polda Metro Jaya malam hari menjelang Amrozi dkk dieksekusi di Lembah Nirbaya, Pulau 182 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Nusakambangan, Minggu (10/11/08). Hanya dalam hitungan jam, keberadaan HJ langsung diketahui. Warga Tanah Grogot, Kalimantan Timur itu dibekuk anggota Cyber Crime Densus 88 Mabes Polri berikut handphone dan nomor yang dipakai mengirim SMS teror bom. Sedangkan di Papua, anggota Densus 88 diterjunkan untuk mengejar anggota OPM. Kapolda Papua Irjen Pol Bagus Eko Danto memerintahkankan Detasemen Khusus 88 Polda Papua untuk mengejar dan mencari Buryam Tabuni yang menyatakan sebagai Komandan Kompi (Danki) III Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) Kali Kabur dan merupakan anak buah dari Kelly Kwalik. "Saya sudah perintahkan anggota densus 88 di Timika untuk mengejarnya sehingga dapat diketahui kebenaran keterangan bahwa insiden yang terjadi di kawasan PT.Freeport adalah perintah Kelly Kwalik," tegas Kapolda Papua Irjen Pol Eko Danto menjawab pertanyaan wartawan di Jayapura, Kamis (18/9/08). Dikatakan Kapolda, pihaknya tidak yakin pengeboman di mile 34, mile 50 dan gardu listrik itu dilakukan oleh orang profesional karena bila tidak, pasti kerusakan yang ditimbulkan parah. Polisi memperkirakan aksi pengeboman itu dilakukan hanya untuk meneror. Sumber:berbagai media. Meningkatnya situasi keamanan di dalam negeri pada gilirannya memunculkan pertanyaan : apakah ancaman bom di tanah air sudah lenyap? Juga apakah peran Densus 88 Anti Teror Polri sudah tidak diperlukan lagi? Mantan Kepala Densus 88 Brigjen Polisi Surya Dharma dengan tegas menolaknya --- mengutip wawancara khusus Surya Dharma dalam Harian Fajar edisi 6 Juli 2008. ”Kita tidak boleh lengah. Sangat mungkin ada perakitan bom yang lebih banyak dan lebih besar dari yang ditemukan sekarang”, ujar Surya Dharma. Mantan Kepala Densus 88 ini mengatakan, perakit bom yang mendampingi Noordin M Top sudah teridentifikasi yakni Upik Lawanga (buron kasus Poso) --dan dua nama lainnya Mr.X dan Mr.Y disamarkan untuk keperluan perburuan. ”Mr X ini sudah bisa menurunkan ilmunya kepada SG yang sudah kita tangkap,” tambah Surya Dharma. Berbagai catatan kecil yang ditemukan polisi dan VCD cara merakit bom yang mereka buat sudah tersebar. Ini harus diwaspadai karena bahan-bahan pembuatan bom di Indonesia dapat dibeli dengan cukup mudah. ”Ini bukan seperti kita menonton film, ketika pelakunya sudah ditangkap polisi, lalu habis. Mereka ini bukan organisasi taman kanak-kanak,” ingat Surya Dharma yang lima tahun belakangan ini menggeluti penangkapan pelaku teror. 183 Quo Vadis Densus 88 Anti Teror Polri ? Lalu mengapa mereka tidak juga beraksi pasca Bom Bali? ”Sebenarnya mereka mau ngebom lagi, tapi bisa kita cegah. Contohnya, penemuan 33 bom tupperware di Batu (Malang) serta satu bom yang diperuntukkan Noordin dan dibawa Cholili ke Semarang,” jawab Surya Dharma. Juga penemuan puluhan kilogram bom dari jaringan Abu Dujana di Yogya dan Jawa Tengah (2007), serta penemuan 22 paket bom di Palembang (2008). Khusus untuk jaringan teror Palembang, mereka tidak mau menyebut dirinya bagian kelompok Jemaah Islamiyah (JI). Surya menjelaskan, selain hendak mengebom Kafe Bedudal di kawasan Kampuang Cino, Bukittinggi, kelompok Palembang sempat mengagendakan dua serangan ke tempat latihan tentara Singapura di Provinsi Kepulauan Riau –kesepakatan kerja sama pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura. ”Tapi karena latihan militer itu batal, mereka memutuskan akan menyerang warga Amerika dan sekutunya di manapun," jelas Surya Dharma. Mantan Kadensus 88 ini menambahkan, Indonesia menjadi ladang subur bagi gerakan teroris karena di negeri ini ada sekelompok orang yang bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) atau kekhalifahan Islam yang membolehkan cara-cara kekerasan. "Tak heran hampir tak ada wilayah yang steril dari gerakan ini. Mulai Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, NTB, hingga Kalimantan," ujar Surya Dharma. Kendati jumlahnya kecil, Surya Dharma mengingatkan, gerakan kelompok teroris sangat solid. ”Saat menyembunyikan MH (tersangka kunci teroris Palembang, warga Singapura), mereka mengurung Hasan selama tiga bulan di sebuah rumah dan memintanya menonton TV setiap hari untuk mempelajari Indonesia dari berita," tutur Kadensus.. Surya Dharma menegaskan, polisi tak mungkin bekerja sendiri dan tentu saja membutuhkan bantuan masyarakat dan institusi lain. Pasalnya, jaringan JI yang diburu pascabom Bali I diyakini telah menjadi organisasi tanpa bentuk yang tak terstruktur, fleksibel, tapi tetap siap melakukan aksi bunuh diri. Mereka juga tambah berbahaya dalam merakit bom dan senjata api. Untuk bom, mereka telah mengganti unsur gotri (bola besi) dengan peluru tajam. Selain memberikan efek mematikan lebih dahsyat, bom itu lebih simpel dan handy. Mereka juga mampu membuat pistol rakitan yang anak pelurunya diganti gotri. Pistol sejenis softgun itu mematikan jika ditembakkan kurang dari 10 meter. ”Ini perang kecerdasan intelijen. Berbagai kasus teror bisa terungkap 90 persen karena informasi intelijen yang dipayungi hukum. Kita akui Noordin M. Top memang licin,” tegas Surya Dharma. Noordin M. Top diyakini bergerak nonstruktural di luar komando ”resmi” JI. Organisasi yang dinyatakan pengadilan sebagai organisasi terlarang itu juga diyakini tak mampu mencegah ambisi Noordin. Bukti bahwa Noordin bergerak di luar struktur adalah tidak adanya hubungan antara jaringan Palembang dan jaringan Abu Dujana yang diungkap Satgas Anti Teror pada Juni 2007 lalu. 184 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Begitupun dalam kasus bom di Kedubes Australia 9 September 2004, Noordin dipercaya bermain sendiri. Dia diduga melibatkan semua unsur yang seide dengannya, seperti sisa-sisa aktivis NII dan aktivis Kompakk. Saat ini buron asal Malaysia yang kepalanya dihargai Rp1 miliar itu berada dalam kondisi kepercayaan diri yang tinggi. Aneka Kisah Miring Densus 88 Selain menorehkan kisah heroisme institusi Polri, eksistensi Densus 88 juga menyimpan masalah, secara institusional maupun personal. Sejak awal misalnya, Densus 88 Polri telah mengundang antipati dan kecurigaan sebagian kalangan muslim. Para penganut garis keras percaya pembentukan Densus 88 Anti Teror adalah untuk ”menyerang umat Islam”. Hal itu disebabkan banyak pelaku teror yang ditangkap aparat Densus 88 beragama Islam, seperti trio pelaku bom Bali Imam SamudraAmrozi-Mukhlas. Amir Majelis Mujahidin Abubakar Baasyir bahkan menuduh Densus 88 lembaga anti teror pesanan Amerika untuk menganiaya umat Islam. Sejauh ini tuduhan kalangan Islam garis keras bisa ditepis dengan menyodorkan fakta lebih banyak umat Islam Indonesia yang menolak aksi kekerasan oleh ”umat Islam” pelaku teror, dan menerima kehadiran Densus 88 sebagai institusi Polri yang melindungi publik dari bahaya terorisme dan serangan bom. Namun kritikan terhadap Densus 88 akhir-akhir ini lebih dialamatkan terhadap operasinya yang cenderung eksesif bahkan keluar dari ”jalur terorisme” atau ancaman bom. Beberapa kasus berikut ini adalah contohnya. Kasus 1 : Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri kini punya pekerjaan baru. Selain menangkap hidup atau mati teroris, Densus 88 diam-diam terlibat dalam pengawasan pelaksanaan Ujian Nasional di tanah air. Tindakan itu mengundang kecaman kalangan guru dan penggiat pendidikan –terutama ketika aparat Densus melakukan operasi penggerebekan dan penangkapan terhadap para guru yang tertangkap tangan membocorkan jawaban ujian nasional SMA di Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Mantan Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro menilai keterlibatan Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri dalam pengawasan Ujian Nasional sebagai tidak wajar dan berlebihan. Alasannya, guru adalah pendidik bukan teroris. "Kami tidak menolak upaya penegakan hukum oleh aparat kepolisian. Tapi pelibatan Densus 88 yang diberi mandat untuk memberantas teroris terhadap kejahatan oleh guru itu saya nilai berlebihan. Jangan anti sedikit, terus ditangkap Densus 88," kata Wardiman saat berdiskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (3/5/2008). Wardiman menuntut keterlibatan aparat Densus 88 dalam pengawasan Ujian Nasional ditiadakan. Polisi cukup menggunakan prosedur biasa. "Yang wajar-wajar saja," ujarnya. Kasus 2 : Dilaporkan ke Propam dan Denpom, Oknum Personil Densus 88 dan Anggota TNI Bebas Berkeliaran (Ditulis oleh: Poltak Simanjuntak./07/05/2009). 185 Quo Vadis Densus 88 Anti Teror Polri ? Pagabe Hasoloan Simanjuntak (35) korban pemukulan oknum anggota Densus 88 berinisial FB dan anggota TNI berinisial Sl, memprotes Polda Sumut dan Denpom yang membiarkan dua pelaku kekerasan terhadap dirinya bebas berkeliaran di Deli Tua. Padahal dia dan keluarga telah melaporkan keduanya ke Propam Polda Sumut dan Denpom I/Bukit Barisan. “Saya terpaksa pulang ke Sumbul (Kabupaten Dairi) karena dua pelaku pemukulan itu masih bebas walau sudah kami laporkan ke atasannya,” ujar Hasoloan yang berharap kedua oknum aparat itu ditindak sesuai hukum yang berlaku. Kepada Juntak News, Kamis (07/05), Pagabe kembali menceritakan tindakan penyiksaan oleh dua aparat keamanan itu setelah dirinya dituduh mencuri keyboard. “Selain dipukuli dan ditendang, saya digelandang tanpa baju dan celana, saya juga ditodong pistol dari jarak 2 meter serta menembak ke tanah hampir mengenai kaki saya. Tidak hanya itu, celana saya berikut dompet berisi STNK, SIM, KTP dan uang sejumlah sepuluh juta rupiah ikut raib,” kata Pagabe yang juga ayah dari dua anak. “Dompet saya sudah dikembalikan oleh Polsek Delitua tapi saya menolak karena isinya tidak lengkap. Kasus 3 : Anggota Densus 88 Sulsebar terseret Kasus Hilangnya Ribuan Ton Gula Sitaan Makassar. Dugaan keterlibatan sejumlah perwira dan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror (AT) Polda Sulselbar dalam kasus hilangnya ribuan gula bernilai sekitar Rp 5 Miliar pertengahan Oktober 2007 di Gudang Bea Cukai, Makassar, kian menguat. Dalam sidang lanjutan kasus pencurian gula milik keluarga Nurdin Halid yang disita Kanwil Bea Cukai Makassar di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Senin (24/3), saksi membenarkan keterlibatan beberapa perwira dan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror dalam kasus pencurian tersebut. Sidang yang dipimpin Majelis Hakim Yulman, menghadirkan dua saksi Nano dan Bakri, dengan terdakwa Heru Purwanto dan Mustafa Nano menjadi saksi karena perannya menagih uang ke Mustafa. Sedangkan Bakri berperan mencari truk dan sopir yang akan mengangkut gula tersebut. Hakim sempat mempertanyakan mengapa keduanya hanya berstatus sebagai saksi, bukannya terdakwa. Pasalnya keduanya mengaku dan turut terlibat atas raibnya gula sitaan dari gudang Bea Cukai Makassar tersebut. Dalam keterangannya, saksi membenarkan bahwa gula itu dikeluarkan dari gudang menuju lokasi pembeli, di Jl Mesjid Raya dengan memakai truk. Kendaraan pengangkut gula itu dikawal AKBP Ade Rusmandar yang diketahui perwira Densus 88 Polda Sulselbar dengan mengendarai mobil Feroza. Banyaknya gula pasir yang diturunkan di Jl Mesjid Raya ketika itu sebanyak 100 sak atau lima ton. Dalam sidang sebelumnya, selain Ade Rusmandar, terdakwa juga menyebut keterlibatkan sejumlah perwira dan anggota Densus 88 Sulselbar seperti Kompol Jayadi, AKP Sumardi, Iptu Asri, Brigadir Faisal, dan Brigadir Silas. Namun terdakwa menyayangkan, tidak satu pun dari anggota Densus 88 yang disidik atau menjadi tersangka. 186 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Kesimpulan 1. Di tengah menurunnya kasus peledakan bom, anggota Densus 88 Anti Teror di tingkat pusat dan daerah, wajib menjaga kewaspadaan, memelihara hubungan baik dengan berbagai lapisan masyarakat agar mendapatkan dukungan–sekurangnya informasi—jika ada hal-hal yang mencurigakan terjadi di lingkungan warga. Situasi ”aman” dan tiadanya teror bom bukan berarti bahaya terorisme telah lenyap. 2. Menyadari jati dirinya sebagai anggota polri yang memiliki kualifikasi pasukan komando, aparat Densus 88 wajib menjaga perilaku profesionalnya, tidak memanfaatkan wewenang dan kemampuannya –misal memakai alat penyadap, alat komunikasi canggih, atau memakai senjata-- untuk melakukan tindakan-tindakan di luar tugas, apalagi terseret dalam berbagai tindakan yang melanggar hukum atau mencoreng citra kepolisian. 3. Meskipun mandat pokoknya adalah menangani kejahatan terorisme dan ancaman bom, Detasemen Khususu 88 Anti Teror Polri berada di bawah Bareskrim Polri atau Ditserse Polda. Oleh karena itu anggota Densus 88 memiliki peran dan fungsi reserse umum yang melekat sehingga dibolehkan –atas perintah atasan- untuk melakukan berbagai tindakan penegakan hukum non-teror. Ini yang menjelaskan kenapa aparat Densus bisa diperbantukan dalam operasi penegakan hukum terkait kejahatan khusus seperti narkoba, perjudian, illegal logging, pencurian dengan senjata, separatisme, sampai kasus kecurangan ujian nasional. Dalam kasus penanganan kasus illegal logging di propinsi Riau yang diduga melibatkan perwira polisi, Densus 88 Polri dan Brimob Polda ikut membantu operasi yang dilakukan Ditserse Polda Riau dan Bareskrim Mabes Polri. 4. Terkait pergeseran/perluasan tugas dan wewenang Detasemen Khusus 88 Anti Teror dalam penanganan kasus non-teror, pimpinan Bareskrim Polri perlu mengatur batasan dan koridor yang jelas, tegas, mudah dipahami seluruh anggota Densus agar fungsi pokok dan nilai kekhususan detasemen ini tetap terjaga dan tidak hilang. < Referensi : 1. Wawancara khusus penulis dengan Kepala Desk Anti Teror Menteri Koordinator Politik Hukum Keamanan (Polhukam), Brigjen Pol (purn) Ansyad Mbai di Jakarta 2. South Asia Analys Group, Terrorism in Indonesia : Role of Religious Organization, paper no.1596 3. Country Reports on Terrorism in 2008 – Indonesia, UNHCR/Refworld 4. Riset dan cuplikan berita berbagai media massa meliputi : Antara News, Sriwijaya Post, Surya, Persda Network, Vivanews, Detikcom, Okezone, Tempo Interaktif, KCM, Jawapos Online, Fajar Online, Juntak News, Indopos, Tokoh Indonesia Dotcom, website Humas Polri, sejumlah blog dan forum pembaca media di internet. 187 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan BAINTELKAM: BEBAN POLITIK INTELIJEN KEAMANAN Edwin Partogi 1 Pendahuluan Polisi di negara-negara yang bangunan demokrasinya belum kokoh biasanya dalam posisi yang paradoks, yaitu, dibenci sekaligus dibutuhkan oleh warga. Situasi itu tidak terlepas dari pengalaman keseharian publik yang sepenuhnya tidak merasa nyaman berhubungan dengan polisi. Namun di sisi lain membutuhkan jaminan atas rasa aman yang menjadi tanggungjawab dari polisi. Tentu banyak sebab yang dapat dijelaskan kenapa hal itu terjadi. Terutama persoalan terbesarnya yaitu, kultur korup dan rendahnya penghormatan hak asasi manusia di tubuh institusi polisi. Situasi tersebut selalu mendorong harapan dan tuntutan masyarakat akan hadirnya polisi yang profesional dan menghormati hak asasi manusia. Tuntutan ini tentu tidaklah berlebihan bahkan menjadi kewajiban institusi polisi/Polri untuk dapat memenuhi harapan tersebut. Kenapa? Karena harapan itu terkait erat dengan kepentingan masyarakat rasa aman dan keselamatan yang akan menunjang upaya pemenuhan hak lainnya seperti hak atas pendidikan, upaya meningkatkan kesejahteraan, hak atas kebebasan beragama, berekspresi dan menyatakan pendapat, dan lain-lain. Ini artinya institusi polisi berperan penting bagi warga/manusia untuk bisa menikmati secara penuh hak-hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik mereka. Pada umumnya di banyak negara polisi memiliki memiliki tugas dalam rangka penegakan hukum, memelihara ketertiban dan pencegahan serta pendektesian tindak kejahatan. Sekalipun bukan semata-mata tanggungjawab tunggal institusi polisi untuk melaksanakan tugas itu. Dalam upaya menjalankan tugas tersebut di atas, polisi tentu harus bekerja berdasarkan pada supremasi hukum. Mentaati asas negara hukum berarti pemerintah termasuk institusi polisi didalamnya terikat oleh hukum. Artinya ada kesetaraan dihadapan hukum dan ada keputusan peradilan dari pengadilan yang jujur serta nilai atau instrumen HAM merupakan hal integral. Situasi dan sistem negara yang telah berubah di Indonesia dalam satu dekade ini juga menuntut Polri melakukan penyesuaian. Polisi tidak boleh menempakan masyarakat sebagai musuh, karena sesungguhnya tidak dikenal konsep musuh dalam tugas kepolisian. Bahwa diantara masyarakat ada orang-orang dengan perilaku menyimpang/krimanal merupakan suatu keniscayaan yang menjadi tugas polisi untuk menertibkannya. Namun pada hakekatnya masyarakat adalah mitra kepolisian dalam upaya pencapaian tujuan ketertiban, keselamatan dan keamanan. 1 Edwin Partogi, adalah anggota Divisi Politik, Hukum dan HAM, Badan Pekerja KontraS, Jakarta 188 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Pada soal ini, harus juga terjadi perubahan pada intelijen polisi dalam mendeteksi, mencegah terjadinya kejahatan, dan menjamin ketertiban. Intelijen polisi saat ini dituntut untuk membangun komunikasi yang baik dan efektif dengan unsur masyarakat. Penggunaan teknologi informasi untuk memonitoring dan mendeteksi kejahatan, sekaligus memberi jaminan agar pelaksanaan hak asasi manusia dapat berlangsung aman dan tertib, bukan malah membatasinya. Karena itu cerita kelam traumatik warga terhadap kerja intelijen polisi yang melanggar hak privasi, melakukan tindakan represif yang tidak berdasarkan hukum dan menghambat hak atas berekpresi dan berpendapat warga misalnya haruslah menjadi komitmen Polri untuk diakhiri. Wajah intel polisi kita yang biasa disebut 'intel melayu' oleh masyarakat. Intel melayu ini memiliki ciri-ciri fisik dan perilaku tertentu yang terindentifikasi. Intel itu biasanya tampil dengan rambut panjang yang agak mekar bagian bawahnya, layaknya grup band dangdut. Berpura-pura menjadi wartawan dan bila bertanya pertanyaannya terasa aneh bagi kalangan jurnalis atau narasumber karena tidak memahami kontens, dan mencari tahu lebih dalam tentang profile narasumber. Bila hadir dalam unjuk rasa atau pada suatu pertemuan, intel ini mengambil gambar atau audio visual orang hingga membuat risih. Kadang mereka berusaha melakukan penitrasi pada rapat-rapat yang diselenggarakan oleh kelompok gerakan. Bahkan tidak sungkan kerap memamerkan pistol yang menonjol dipinggangnya, membawa handy talky, atau mengaku sebagai intel dari institusi tertentu. Atau menggunakan orangorang dari kalangan masyarakat menjadi informan. Lalu bagaimanakah sebenarnya intel bekerja, apa yang mereka cari dan untuk apa? Tulisan dibawah ini akan coba menjelaskan hal ikhwal itu. Fokus dari paparan dibawah ini pada intelijen polisi yang berada di bawah Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri. Setidaknya tulisan ini akan memperhatikan tiga aspek yaitu, intelijen sebagai suatu institusi, intelijen sebagai sebuah kegiatan dan intelijen sebagai produk. Bagian kedua dari tulisan ini akan membahas tentang struktur, tugas, dan segala kelengkapan dalam institusi Baintelkam, termasuk penempatan dan tugas intelejen polisi dalam pelaksaan operasi. Baik operasi rutin maupun operasi khusus kepolisian. Dan hubungannya dengan institusi lainnya. Pada bagian ketiga, akan mengulas kerj intelijen berdasarkan teori dan melihat sejauhmana kerja-kerja intelijen polisi dalam praktek. Sedangkan bagian terakhir, penutup, penulis akan memberikan tawaran solusi bagi upaya perbaikan kinerja intelijen polisi ke depan. I. Baintelkam Polri Agar dapat menilai akuntabilitas polisi dalam menjalankan tugasnya, penting bagi kita untuk memahami serta menilai keseluruhan sistem, baik yang tertuang dalam undang-undang, regulasi dan kebijakan, maupun diimplementasikan dalam praktiknya. Kebijakan yang mengatur organisasi Baintelkam dapat kita temukan dalam UU Polri No2/2002, Keppres No. 70/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Polri, dan secara khusus tertuang dalam Keputusan Kapolri No. 53/X/2002, tertanggal 17 Oktober 2002. Serta pada sejumlah 189 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan peraturan lainnya yang menjelaskan tentang tugas intelijen Polri dalam satuan-satuan tugas. Tugas dan Fungsi Dalam Keppres dan Keputusan Kapolri tersebut diatas, dijelaskan Baintelkam adalah unsur pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan yang berada dibawah Kapolri. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan baik kepentingan pelaksanaan tugas operasional dan manajemjen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. Pembinaan fungsi intelijen yang dilakukan Baintelkam bagi seluruh jajaran Polri meliputi, pertama, perumusan/pengembangan sistem dan metode termasuk petunjuk-petunjuk pelaksanaan kegiatan intelijen. Kedua, pemantauan dan supervisi staf termasuk pemberian arahan guna menjamin terlaksanannya kegiatan intelejen sebagaimana dimaksud di atas. Ketiga, pemberian dukungan (back-up) dalam bentuk bimbingan teknis maupun bantuan kekuatan dalam pelaksanaan kegiatan intelijen. Keempat, perencanaan kebutuhan personel, peralatan khusus dan anggaran termasuk pengajuan penempatan/pembinaan karier personel pengemban fungsi intelijen keamanan dan distribusi peralatan khusus intelijen keamanan. Kelima, pengumpulan, pengolahan dan penyajian data/statistik, baik yang berkenaan dengan sumber daya maupun hasil pelaksanaan tugas satuan-satuan organisasi Intelkam. Fungsi lain Baintelkam antara lain: 1. Penyelenggaraan kegiatan operasional intelijen keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning). 2. Penyelenggaraan dan pembinaan fungsi pelayanan administrasi, persandian dan intelijen tehnologi termasuk pelaksanaannya dalam mendukung fungsi-fungsi operasional intelijen lainnya. 3. Penyelengaraan dokumentasi dan penganalisaaan terhadap perkembangan lingkungan strategik serta penyusunan produk intelijen baik untuk kepentingan pimpinan maupun untuk mendukung kegiatan operasional intelijen. 4. Penyelenggaraan kegiatan intelijen terhadap masalah-masalah yang memiliki dampak politis dan strategis melalui satuan tugas khusus. Langkah operasional yang dilakukan oleh intelijen polri dalam menjalankan fungsi yang ketiga diatas yaitu menghimpun dan memelihara berkas-berkas dokumen intelijen baik yang berasal dari produk intelijen maupun literatur yang berkembang di masyarakat. Selain itu juga menganalisa perkembangan lingkungan strategik yang berkembang di masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang dapat mempengaruhi hakekat ancaman serta upaya penanggulangannya. Hasil analisa intelejen diatas disusun sebagai laporan produk intelijen yang bersifat periodik maupun insidentil kepada pimpinan atau pejabat yang berwenang. Dalam melakukan analisis, intelijen juga menggunakan tenaga ahli/pakar yang diangkat 190 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 secara paruh waktu sebagai tenaga tidak tetap. Sebagaimana intelijen pada umumnya, intelijen polri juga menyelenggarakan fungsi persandian. Fungsi persandian ini dilakukan guna mendukung pelaksanaan pengamanan informasi rahasia melalui sarana persandian baik di lingkungan Polri maupun dengan instansi terkait lainnya. Selain itu Baintelkam juga menyelenggarakan fungsi Intelijen Teknologi di lingkungan Intelkam Polri. Kegiatannya yaitu mengikuti perkembangan, pengkajian teknologi yang dimanfaatkan untuk mendukung system informasi dan kegiatan/operasi intelijen, memberikan batuan teknik dan taktis sebagai back-up operasional intelijen. Dalam bidang keamanan, intelijen polri melaksanakan kegiatan deteksi, indentifikasi dan assesment terhadap perkembangan lingkungan strategik yang dapat mempengaruhi hakekat ancaman dan upaya penanggulangannya. Operasional intelijen dalam kegiatan tersebut diatas meliputi kegiatan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan bentuk-bentuk penyimpangan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan (Ipoleksosbudkam) yang dapat meresahkan masyarakat. Kegiatan deteksi, identifikasi dan assessment perkembangan terhadap perkembangan lingkungan strategis dalam lingkup internasional, regional dan nasional yang mempengaruhi Ipoleksosbudkam, dalam upaya menemukan hakekat ancaman dan antisipasinya. Intelijen polisi juga melakukan kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyajian biodata tokoh formal/informal, organisasi/lembaga pemerintah/non pemerintah serta objek lain yang dipandang perlu. Hal lain yang biasa dilakukan intelijen yang juga dilakukan intelijen polri yaitu pembentukan jaringan intelijen sesuai dengan wilayah-wilayah yang telah ditentukan. Dalam upaya mempertajam Target Operasi (TO), Baintelkam memberikan pengarahan dan perumusan unsur-unsur utama keterangan (UUK) kepada anggota unit operasional. Selain kerja yang bersifat tertutup, Baintelkam juga melakukan kerja pelayanan masyarakat. Kerja pelayanan masyarakat ini meliputi penerimaan pemberitahuan dan pemberian ijin kegiatan masyarakat. Surat Keterangan Rekaman Kejahatan (SKRK/Criminal Record) administrasi pengawasan orang asing serta administrasi senjata api dan bahan peledak pada tingkat pusat. 191 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan Struktur Organisasi Dalam upaya menjalankan fungsi tersebut diatas, Baintelkam memiliki susunan organisasi yang dipimpin Kepala Baintelkam dengan pangkat Irjen Polisi, didampingi seorang Wakil Kepala Baintelkam dengan pangkat Brigjen Polisi. Pada unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf terdapat Biro Perencanaan dan Administrasi, disingkat Rorenmin dan Biro Analisis, disingkat Roanalisis. Dibawah dua biro tersebut terdapat Unsur Staf Khusus/Teknis yang meliputi Bidang Pelayanan Administrasi, disingkat Bidyanmin. Bidang Persandian, disingkat Bidsandi dan Bidang Intelijen Teknologi, disingkat Bidinteltek. Dibawah unsur ini terdapat Unsur Pelaksana Utama yaitu, Direktorat Baintelkam, disingkat Dit Baintelkam. Pada pelaksaanan tugasnya Kabaintelkam bertanggungjawab kepada Kapolri dan namun dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari berada dibawah kendali Wakapolri. Kabaintelkam bertugas memimpin, membina dan mengawasi/mengendalikan satuan-satuan organisasi dalam lingkungan Baintelkam serta memberikan pertimbangan dan saran dan melaksanakan tugas lain sesuai perintah Kapolri. Dalam susunan organisasi Baintelkam terdapat pula Direktorat Baintelkam yang dapat disebut Direktorat “A”, Direktorat “B”, Direktorat “C” dan Direktorat “D”. Pembagian sasaran tugas masing-masing Direktorat ditetapkan lebih lanjut oleh Kabaintelkam sesuai arahan Kapolri. Umumnya dengan memberi penekanan pada tugas salah satu Direktorat untuk menangani masalah gangguan keamanan yang bersifat nasional/transnasional, baik yang faktual maupun fenomenal termasuk terorisme. Dit. Baintelkam yang dipimpin oleh Direktur, disingkat Dir, bertanggungjawab kepada Kabaintelkam dan dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari berada dibawah kendali Wakabaintelkam. Struktur Organisasi Baintelkam KABAINTELKAM Unsur Pimpinan WAKA ROANALIS RORENMIN Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf BID YANMIN BID SANDI BID INTELTEKK Unsur Pelaksana Staf Khusus/Tehnis DIT SATGASUS Unsur Pelaksana Utama Sumber: Sub Lampiran: I; Lamp: “U” Keputusan Kapolri, No. POL: KEP/53/X/2002; tanggal 17 Oktober 2002. 192 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Ditbaintelkam ini merupakan unsur pelaksana utama dalam kerja-kerja harian Baitelkam. Ditbaintelkam bertugas menyelenggarakan kegiatan intelijen dalam bidang keamanan sebagaimana telah diuraikan oleh penulis diatas. Sehingga dalam kerja operasional intelijen harian sebenarnya didominasi oleh kerja-keja dari Ditbaintelkam ini. Hal ini juga dapat kita lihat dari penempatan personal dan perlengkapan kerja yang menjadi bagian dari Baintelkam paling besar ditempat dalam direktorat ini. (lihat tabulasi) PERSONEL BAINTELKAM No Unit Polri PNS Jml . Organisasi Komje Irje Brigje KB AKB AK IP BA/T JM IV III II/I Jml n Pol n n Pol P P A L K P Pol P 1. Pimpinan 1 1 2 2 Biro Renmin 2. 1 4 7 2 14 9 16 26 40 Biro Analisis 3. 1 10 4 15 1 4 8 12 27 4. Bid Yanmin 1 3 4 3 6 9 13 5. Bid Sandi 1 3 10 14 3 6 9 23 6. Bid Inteltek 1 8 1 5 15 3 6 9 24 Ditbaintelka 10 7. m 4 16 36 8 164 4 8 28 40 204 Jumlah 333 Sumber: Sub Lampiran: IIb; Lamp: “U” Keputusan Kapolri, No. POL: KEP/53/X/2002; tanggal 17 Oktober 2002. PERLENGKAPAN BAINTELKAM No. Unit/Unsur Organisasi Jenis Perlengkapan SENPI SEDAN JEEP BUS POOL GENGGAM SPD TIK TIK MS MS PC TELEPON MTR 13 19/20 HITUNG COPY AC/DC KECIL SEDANG 1. Pimpinan 2. Biro Renmin 3. Biro Analisis 4. Bid Yanmin 5. Bid Sandi 6. Bid Inteltek 7. Ditbaitelkam JUMLAH 2 14 15 4 14 15 164 228 2 4 11 1 1 1 16 36 7 4 3 3 8 36 61 2 2 2 3 3 3 2 9 4 24 1 1 1 1 4 2 1 1 1 4 13 4 2 1 1 1 4 13 2 1 1 1 1 4 10 1 9 1 4 3 3 3 1 8 3 30 2 12 15 4 4 4 56 97 Sumber: Sub Lampiran: III; Lamp: “U” Keputusan Kapolri, No. POL: KEP/53/X/2002; tanggal 17 Oktober 2002. 193 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan Selain itu dalam organisasi Baintelkam ini juga dikenal adanya Satuan Tugas Khusus yang disingkat Satgassus. Satgassus ini adalah organisasi kerangka gabungan fungsi yang berada di bawah Kabaintelkam. Pembentukan dan penugasannya ditetapkan oleh Kabaintelkam sesuai perintah Kapolri. Satgassus bertugas menyelenggarakan/melaksanakan kegiatan intelijen dalam bidang keamanan yang mendapat perhatian khusus pimpinan. Satgasus dipimpin oleh Kepala Satgassus, yang disingkat Kasatgassus, yang bertanggung jawab kepada Kapolri, melalui Kabaintelkam atau Perwira Tinggi yang ditunjuk Kapolri. Hal ini menunjukkan posisi istimewa dari Satgassus yang mendapat kendali langsung oleh Kapolri melalui Perwira Tinggi yang ditunjuknya. Hal lain yang menarik yaitu, biaya operasional Baintelkam ini selain yang diadakan melalui program APBN juga membuka ruang bantuan keuangan baik dari Pemda maupun masyarakat (Keputusan Kapolri No. 53/X/2002, lampiran U). Penggunaan keuangan yang berasal diluar APBN ini tentu dapat menimbulkan persoalan terkait dengan transparansi maupun persoalan konflik kepentingan yang muncul dari pihak penyumbang. Intelijen Polri Dalam Operasi Seperti halnya militer, polisi juga mengenal istilah operasi. Operasi dalam konteks kepolisian dipahami sebagai segala upaya, kegiatan dan tindakan terencana dengan menggunakan kekuatan fisik Polri beserta komponen-komponen pendukungnya yang tersedia dalam rangka mengemban tugas-tugasnya. Sejauh ini, referensi yang digunakan penulis menjelaskan tentang operasi di tubuh. Polri merujuk pada Keputusan Kapolri tentang Manajemen Operasional Polri (MOP) No.Pol: SKEP/187/IV/1989 serta lampirannya. Petunjuk MOP ini sebenarnya mengacu pada sistem operasional militer yang kemudian diadopsi di lingkungan kepolisian. Dalam lampiran dalam putusan itu dijelaskan Polri mengenal dua bentuk operasi, yaitu Operasi Rutin Kewilayahan dan Operasi Khusus Kepolisiaan. Ulasan dibawah ini hanya akan berkonsentrasi pada posisi kerja intelijen polisi pada operasi khusus. Karena operasi rutin kepolisian sesuatu kegiatan yang bersifat rutin sehari-hari. Sedangkan operasi khusus digelar guna dihadapkan pada sasaran tertentu, dalam waktu tertentu dengan dukungan administrasi dan logistik serta anggaran tertentu pula. Operasi khusus kepolisian yang diatur dalam MOP didasarkan pada, pertama, ancaman faktual tertentu: a) Dikaitkan dengan bobot ancamannya : (1) Sasaran selektif yang diprioritaskan. (2) Sasaran Selektif lainya. b) Perwujudannya, berupa : (1) Kriminalitas tertentu yang menunjukan kecenderungan terus meningkat melampaui batas toleransi. 194 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 (2) Kriminalitas tertentu yang menimbulkan keresahan masyarakat (3) Kriminalitas tertentu yang merugikan dan merongrong kewibawaan pemerintah. (4) Kriminalitas tertentu yang mempunyai dampak merugikan, mengancam dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, Police Hazard, yang menunjukan gelagat dan memberikan peluang besar terhadap kemungkinan timbulnya gangguan Kamtibmas, sebagai contoh: Pemilihan Umum; Sidang Umum MPR atau keramaian pada malam tahun baru dan Idul Fitri Ketiga, Faktor Korelatif Kriminogen, yang membuka peluang yang besar terhadap sikap fanatisme yang berlebihan, sikap individualistis dan egoisme yang berlebihan. Dan apatisme yang meluas, terutama terhadap masalah hukum yang berlaku, terhadap Kamtibmas dan lain-lain. Sebelum dilaksanakannya suatu operasi dalam mekanisme/kebijakan yang berlaku di Polri harus terlebih dahulu menyiapkan produk-produk perencanaan. Produk itu antara lain Petunjuk Perencanaan Operasi (Jukrenops). Jukrenops ini berisikan: Dasar, Tugas Pokok, Sasaran Operasi, Set-up Operasi, Waktu Operasi, Wilayah Operasi, Pejabat Penanggungjawab dan Anggaran Operasi. Jukrenops ini disusun berdasarkan kebijaksanaan dan penilaian Pimpinan serta Perkiraan Keadaan Intel (khusus untuk operasi dimaksud). Selain itu dikenal produk rencana dan perencanaan untuk melaksanakan operasi khusus yang disebut dengan Rencana Operasi (Renops). Renops ini berisikan: Situasi, tugas pokok, pelaksanaan, administrasi dan logistik, komando dan pengendalian, yang dilampiri dengan susunan organisasi, tugas dan rencana fungsi serta Perkiraan Keadaan Intel. Ada juga produk rencana dan perencanaan yang dibuat oleh Pimpinan satuan fungsi, yang berisikan rumusan kegiatan-kegiatan satuan fungsi pendukung dalam rangka mendukung operasi kepolisian yang disebut dengan Rencana Fungsi. Dalam Rencana Fungsi itu ditegaskan mengenai sasaran/Target Operasi (TO) dari masingmasing satuan fungsi pendukung dalam rangka mendukung keberhasilan operasi khusus kepolisian. Jenis-jenis rencana fungsi tersebut meliputi, Rencana Fungsi Intelijen, Samapta, Reserse, Binmas, Administrasi dan Logistik. Pada tingkat Polda, ditambah dengan Rencana Lalu Lintas. Metode penginderaan dini/deteksi terhadap setiap ancaman Kamtibnas dilakukan oleh fungsi Intelpam. 195 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan PERUMUSAN TARGET OPERASI BERDASAR FUNGSI FUNGSI INTEL RESERSE SAMAPTA/LANTAS KRIMINALITAS AF PH FKK X X X X X BIMMAS AF X X X LANTAS PH X FKK X X X X Ket: AF= ancaman faktual; PH=police hazard; FKK=faktor korektif kriminogen Sumber: Lampiran Surat Keputusan Kapolri, No.Pol: SKEP/187/IV/1989, 27 April 1989 Proses penajaman TO dilaksanakan oleh Intelkam. Yang dimaksud dengan TO ialah suatu sasaran tertentu yang ditetapkan untuk ditangani, dan dicapai dalam pelaksanaan operasi kepolisian berdasarkan prioritas. Wujud TO ialah pertama, pelaku (orang, sindikat, badan hukum) dengan uraiannya meliputi:a. Indentitas secara lengkap dan jelas;b. Ciri-ciri pelaku (sinyalemen);c. Bio data; d. Modus operandi; e. Kebiasaan-kebiasaan (hobi). Kedua, benda (barang bukti) yang dapat berupa: a. Alat untuk melakukan kejahatan; b. Hasil kejahatan. Ketiga, Kasus. Mensinkronkan wujud TO dengan kasus, barang bukti, dan pelaku. Keempat, menggambarkan situasi, dengan unsur-unsurnya: a. Lokasi (tempat); b. Waktu; c. Penyebab; d. Kebiasaan-kebiasaan. Data awal yang digunakan dalam proses penentuan TO berasal dari berbagai sumber. Diantaranya: 1. Laporan polisi; 2. Laporan informan; 3. Tunggakan perkara, meliputi:a. kasus; b. DPO (daftar pencarian orang); c. DPB (daftar pencarian barang); d. modus operandi; 4. Daftar residivist; 5. Daftar orang dan barang yang dicurigai; 6. Daftar jaringan pelaku; 7. Anatomi kejahatan/pelanggaran (termasuk lantas); 8. Daftar hitam; 9. Daftar PH/Police Hazard; 10. Daftar FKK/Faktor Korektif Kriminogen; 11. Crime total; 12. Crime clearance; 13. Crime patern (pola kejahatan); 14. Penyimpangan dan pelanggaran anggota Polri; 15. Dll. Target operasi dalam pelaksanaan operasi khusus kepolisian dapat mengalami perubahan yang didasarkan kepada perkembangan situasi atau perkembangan dari target operasi yang sedang ditangani oleh UKL/Unit Kecil Lengkap. Perkembangan-perkembangan ini perlu secepatnya diantisipasi oleh fungsi intel dengan membuat Perkiraan Keadaan Cepat (Kirpat). Dalam rangka penyelenggaraan operasi khusus kepolisian beberapa produk tertulis diterbitkan pada saat sebelum maupun paska operasi dilaksanakan. Produk tertulis yang diterbitkan oleh intelijen polisi dalam konteks ini ialah Perkiraan keadaan Intel. Perkiraan keadaan oleh intelijen ini dibagi dalam tiga kebutuhan. Pertama, Kir Intel tahunan yang dijadikan dasar dalam pembuatan program kerja. Kedua, Kir Intel Khusus (Kirsus); ketiga, Kir Intel Cepat (Kirpat) yang disesuaikan dengan kebutuhan. 196 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Cara bertindak berdasarkan fungsi intelijen dalam rangka menangani sasaran yang ditentukan dibatasi pada tindak pengamanan, penyelidikan, pengalangan dan lain-lain. Sementara cara bertindak taktis ketika dilapangan yang dilakukan oleh satuan tugas operasional atau gerakan-gerakan taktis baik perorangan maupun unit (kesatuan) dalam menghadapi sasaran, biasanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu. I. Intelijen Polri: Teori dan Praktek Kerja-kerja intelijen di dominasi dalam kerja yang tertutup dan rahasia telah membuat lembaga ini kerap ditakuti. Tindakan-tindakan intelijen hitam seperti yang kerap ditampilkan di layar lebar dan novel spy memberi gambaran bahwa bagian dari tugas intelijen itu ialah tindakan penyadapan, sabotase, pembunuhan politik bahkan penggulingan kekuasaan. Benarkah itu kerja intelijen? Intelijen merupakan instrumen penting untuk kelangsungan hidup Negara. Karena bertujuan menyampaikan kebenaran kepada pelaksana kekuasaan Negara. Termasuk di dalamnya menghindari kejutan-kejutan strategis dan membantu proses kebijakan. Kerja Intelijen Intelijen dipahami sebagai kegiatan mencari data dan informasi, sekaligus memprediksi atau membuat prakiraan mengenai kejadian dan kegiatan yang mungkin terjadi di masa mendatang. Guna menjalankan tugas di atas Intelijen dituntut untuk bekerja aktif. Bekerja aktif ini adalah segala aktivitas yang umumnya dilakukan baik secara tertutup maupun terbuka meliputi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Penyelidikan atau investigasi merupakan bahan dasar bagi penyusunan laporan intelijen. Laporan ini dijadikan bahan bagi penyusunan perencanaan operasi bagi kepentingan keamanan maupun penegakan hukum dengan pendekatan preventif, pre-emptif bahkan represif. Dalam melakukan investigasi, intelijen dapat menggunakan cara terbuka dan sumbersumber terbuka. Kegiatan itu bisa berupa riset dengan cara mengumpulkan dan menganalisis pemberitaan media masa (cetak, online, dan elektronik), sumber-sumber informasi dari internet, kepustakaan, dan terbitan-terbitan pemerintah atau swasta, dan lainlain. Pada intelijen kepolisian data-data ini termasuk laporan polisi, laporan informan, tunggakan perkara, daftar residivis dan lain-lain sebagaimana yang telah diuraikan dalam operasi khusus kepolisian pada bab sebelumnya di atas. Cara lain yang digunakan yaitu elisitasi (pemancingan) yaitu melakukan pembicaraan dengan seseorang guna menghimpun informasi tanpa disadari orang tersebut. Atau melakukan wawancara dengan melakukan tanya jawab dengan sasaran. Pilihan lain dengan melakukan interogasi dengan sasaran, dimana tanya jawab berlangsung dikontrol oleh penanya. 197 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan Investigasi yang dilakukan tertutup dilakukan bila informasi atau data yang dibutuhkan sulit untuk didapatkan dengan cara terbuka. Cara yang dapat ditempuh dalam investigasi tertutup ini melalui: observasi; pengambilan gambar; pengamatan kebiasaan dan lokasilokasi yang biasa dikunjungi oleh sasaran dan pihak-pihak yang bertemu dengan sasaran; pembuntutan dengan memperhatikan apa yang sedang dilakukan sasaran; monitoring dengan cara mendengarkan langsung apa yang dibicarakan sasaran atau tidak langsung dengan menggunakan alat bantu atau orang lain. Maksud diketahui oleh sasaran; penyusupan ke dalam target sasaran atau melakukan penyadapan. Selain bentuk penyelidikan atau investigasi, intelijen juga melakukan tindakan pengamanan. Pengamanan ini dilakukan terhadap personel, materi, baket (bahan keterangan), dan operasi. Tindakan pengaman ini dilakukan baik yang bersifat preventif maupun represif. Pengamanan yang dilakukan dengan preventif dengan cara melakukan sabotase, spionase, atau penggalangan, atau segala usaha pencegahan menggagalkan rencana dari pihak sasaran atau memaksa sasaran meninggalkan bekas bila berhasil lolos. Dapat juga dilakukan penyesatan terhadap pihak lawan. Atau membuat halangan, pemagaran dan membuat sistem tanda bahaya bagi pengamanan baket yang bersifat rahasia. Tindakan lain yang dilakukan oleh intelijen yaitu melakukan penggalangan. Penggalangan ini adalah aktifitas untuk mempengaruhi sasaran agar merubah tingkah lakunya sesuai dengan kehendak penggalang. Beberapa tehnik yang biasa digunakan pada operasi penggalangan yaitu: a. Propaganda yaitu, komunikasi yang sengaja dibentuk untuk mempengaruhi tingkah laku. Sistem Propaganda bisa dilakukan dengan, pertama, interaksi simbolik (symbolic interaction propaganda) dengan menggunakan lisan, tulisan, gambar maupun isyarat. Dengan cara menyebarkan rumor dari orang-perorangan dan isu tersebut tidak dapat ditelusuri sumbernya. Tujuan dari propaganda simbolik ini guna mengacaukan pikiran sasaran/target, mempengaruhi dan merubah kehendak dari sasaran. Kedua, propaganda dengan perbuatan (propaganda of the deed). Dalam propaganda sistem ini, sasaran dipaksa tunduk dan menerima pesan sebagaimana dikehendaki propagandis. Yang diwujudkan dalam tindakan seperti, pembunuhan, terror atau pembajakan. Hal lain yang termasuk tindakan propaganda ialah black propaganda. Yaitu penyebaran informasi yang tidak benar, asal usul infomasinya tidak jelas. Tujuannya menciptakan disinformasi atau menyesatkan. b. Subversi: kegiatan yang dilakukan mempengaruhi sasaran untuk agar menentang, melawan atau menggulingkan pemerintahannya. c. Gerakan Perlawanan: menggunakan orang lain untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. d. Terror : tindakan yang menciptakan ketakutan, kegelisahan atau kekacauan di masyarakat. Sasaran terror ditujukan pada individu atau kelompok tertentu yang berpengaruh di masyakarat. e. Sabotase: kegiatan secara sembunyi-sembunyi dengan tujuan merusak atau menghancurkan instalasi vital yang menimbulkan kerugian bagi pihak lawan/Negara. 198 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Berdasarkan dari kerja-kerja intelijen diatas, tampak bahwa intelijen dalam usaha mencapai tujuannya bergerak diruang abu-abu. Segala tindakan hitam yang dilakukan oleh intelijen itu dilakukan dalam suatu operasi rahasia/clandestine karena tidak mungkin dilakukan secara terbuka. Pertanyaan apakah intelijen kepolisian juga melakukan tindakan serupa? Intelijen Polisi Intelijen kepolisian (police intelligence) adalah intelijen yang berfokus pada law enforcement. Intelijen kepolisian ini melaksanakan tugas sebagai intel yustisial, fungsi yang melekat pada badan-badan yustisial seperti kejaksaan, polisi, imigrasi, dan bea cukai. Intelijen kepolisian didesain untuk mendektesi kejahatan. Karena intelijen di desain untuk mendektesi kriminalitas dan penegakan hukum. Intelijen kriminal ini merupakan bagian yang integral dari fungsi utama Polri, yaitu represif, preventif, dan preemptif. Intelijen Kriminal (criminal intelligence) dan Intelijen Kepolisian ini melakukan deteksi terhadap kejahatan konvensional seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, penipuan, pemalsuan dan lain sebagainya. Sampai dengan kejahatan yang canggih, seperti cyber crime, weapon trafficking, terrorisme, corrupution, drug trafficking, money laundering, human traffiking, dan lain-lain. Sejak dulu pada tingkat Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar (KOD) Polri, diharuskan mengumpulkan data mengenai keadaan wilayah dan masyarakatnya. Data tersebut meliput aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Data tersebut dianalisa sehingga menjadi produk informasi yang dapat memperkirakan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, dan bentuk kriminalitas yang mungkin terjadi. Produk informasi tersebut berupa Analisa Daerah Operasi (ADO), yang kemudian digunakan sebagai rujukan membuat rencana kegiatan (Prof. DR. Awaloedin Djamin, MPA, 2006). Intelijen Polisi sesungguhnya lebih luas dari sekedar Intelijen Kriminal. Karena intelijen polisi dituntut untuk mampu mendeteksi kerawanan konflik vertikal dan horizontal (SARA). Disini Polri dituntut untuk memiliki kemampuan lebih dalam menangani resolusi konflik dan bernegosiasi agar konflik tidak berujung pada tindak kekerasan. Soal luas lingkup dari kerja intelijen kepolisian ini dapat kita lihat dari bahasan bab sebelumnya tentang Baintelkam. Intelijen keamanan yang dilaksanakan oleh Baintelkam tidak hanya berfokus pada tindak criminal semata, namun juga memberi perhatian pada perkembangan stategis di dalam dan luar negeri meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Lingkup yang luas dari kajian intelijen kepolisian ini dapat berdampak tidak fokusnya kerja intelijen kepolisian sekaligus persinggungan yurisdiksi dengan intelijen Negara dan intelejen luar negeri serta intelijen sektor lainnya. 199 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan Dalam prakteknya, paradigma lama yang masih menolak sikap korektif masyarakat terhadap Negara, menganggap kebebasan bependapat, bereksperesi dan kebebasan menjalankan agama serta kepercayaan sebagai ancaman terhadap Negara, keamanan dan ketertiban masih hidup dilingkungan kepolisian. Dengan kata lain, rendahnya pemahaman tentang hak asasi manusia ditingkat institusi maupun personal kerap menimbulkan masalah yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Misal, pada soal kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Sekalipun dalam UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum jelas menyatakan bahwa warga Negara yang hendak melakukan demonstrasi atau rapat umum dan lainnya hanya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada pihak kepolisiaan. Dan pihak kepolisian wajib memberikan surat tanda terima dari pemberitahuan kegiatan tersebut. Namun pada prakteknya surat tanda terima pemberitahuan tersebut kerap tidak diberikan oleh polri dengan berbagai alasan atau pun tanpa alasan sama sekali. Contoh soal ini dapat kita lihat pada pembubaran unjuk rasa Forum Keadilan, Kelautan dan Perikanan (FKPP) yang diikuti dengan penangkapan aktivis Walhi Berry Furqon dan Erwin Usman, ketika berlangsungnya World Ocean Conference (WOC) di Manado pada 11 Mei 2009. Polisi beralasan kegiatan tersebut tanpa pemberitahuan. Jauh hari, pada tanggal 18 dan 28 April 2009 aktifis Walhi telah menyampaikan pemberitahuan rencana kegiatan mereka kepada Mabes Polri. Namun pemberitahuan itu tidak kunjung mendapat surat tanda terima sebagaimana semestinya. Padahal sebelumnya terkait dengan kegiatan tersebut pada 7 Mei 2009, Kesbang Linmas Manado telah mengeluarkan izin, dan pada 8 Mei Polwiltabes juga telah mengeluarkan izin yang sama. Namun tanpa alasan yang jelas, Polwiltabes Manado dan Kesbang mencabut surat izin tersebut tanpa memberikan salinannya kepada FKPP. Pada soal kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat ditingkat operasional kepolisian memang masih menggantung masalah. Sekalipun UU No.9/1998 dinyatakan polisi wajib memberikan surat tanda terima pemberitahuan. Namun, aturan di tubuh Polri juga kerap merujuk pada Petunjuk Lapangan (Juklap) No.2/1995 yang mensyaratkan adanya perijinan kepolisian bagi kegiatan yang melibatkan 10 orang atau lebih. Juklap ini biasanya jadikan dasar oleh polisi untuk membubarkan unjuk rasa, rapat, atau kegiatan diskusi. (lihat tabel: Kerja Intelijen Polisi Dalam Sorotan). Diluar soal tanda terima pemberitahuan seperti pada kasus diatas. Upaya menghindari demonstrasi pada rombongan Presiden misalnya. Polisi kadang-kadang sengaja membuat macet lalu lintas dengan maksud menghambat gerak dari para pemrotes. Pola lain yang kerap juga dicurigai oleh masyarakat bagian dari operasi intelijen ialah tindakan menggagalkan suatu kegiatan yaitu dengan menggerakkan kelompok perlawanan. Beberapa kegiatan diskusi, rapat dan pemutaran film yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil terkait tentang Marxisme, ataupun peristiwa '65 dihentikan oleh polisi, setelah sebelumnya terjadi penolakan oleh sekelompok orang atas kegiatan tersebut. 200 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Peristiwa ini terjadi pada diskusi tentang Gerakan Marxist Internasional Kontempor yang diselenggarakan oleh toko buku Ultimus Bandung, 14 Desember 2006. Acara ini dibubarkan oleh sejumlah orang yang memakai seragam Pemuda Panca Marga dan mengatasnamakan Persatuan Masyarakat Anti Komunis meminta acara tersebut dihentikan. Ketua panitia dan pembicara acara tersebut dipukuli oleh massa dan kemudian dibawa ke Satuan Intelijen Polwiltabes Bandung. Gelagat penolakan acara ini oleh pihak kepolisian telah terlihat. Beberapa hari sebelumnya intel Polwiltabes Bandung mendatangi Ultimus dan memanggil Ketua Panitia untuk menghadap Wakaintekam Polwiltabes Bandung. Bahkan mempertanyakan kewarganegaraan dari pembicara. Hal serupa juga dialami oleh Pusat Studi HAM Universitas Airlangga, Surabaya dan Jaringan HAM di Surabaya yang pada peringatan hari HAM, 12 Desember 2006. Acara yang berlangsung dalam peringatan itu lomba majalah dinding dan poster, dan pemutaran film dokumenter (Marsinah, Shadow Play, Batas Panggung, Garuda Deadly Upgrade, Mimpi yang Terkoyak). Kegiatan tersebut nyaris gagal karena massa dari Front Anti Komunis meminta acara itu dibubarkan dan tidak memutar film yang mereka nilai mendiskreditkan TNI dan umat Islam. Dari negosiasi yang difasilitasi oleh Kapolsek setempat disepakati hanya film Shadow Play yang dilarang diputar. Shadow Play adalah film yang bercerita tentang peristiwa '65. Pada kasus lain, netralitas dan paradigma politik dari kepolisian juga menjadi suatu pertanyaan. Misal, ketika FPDIP dan FPKS di DPR pada awal tahun 2006, berencana melakukan investigasi atas kasus impor beras yang sebelumnya gagal diusung sebagai hak angket. Intel Polda Metro Jaya bekerja mencari tahu tentang kegiatan investigasi yang akan dilakukan oleh 2 fraksi tersebut. Tindakan ini tentu terasa ganjil, karena yang dilakukan oleh 2 fraksi tersebut bukan merupakan tindak kejahatan dan merupakan bagian dari fungsi kontrol yang dijalankan oleh legislatif. Dibeberapa peristiwa efektivitas dari deteksi dini intelijen polisi dalam mengantisipasi situasi rawan yang menimbulkan masalah keamanan juga menimbulkan pertanyaan. Misal, pada kasus serangan yang dialami oleh AKKBB/Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ketika tengah berkumpul di Monas memperingati Hari Pancasila. Potensi terjadinya kekerasan terhadap massa AKKBB ini sepertinya sudah diprediksi oleh polisi. Karena pada waktu sebelumnya di hari yang sama, Kabaintelkam Saleh Saaf tengah mengingatkan kepada petingggi partai PDIP yang tengah peringatan Hari Pancasila, untuk segera mengakhiri berkumpul di Monas dengan alasan situasi tidak kondusif. Informasi yang berkembang ada rencana kelompok lain yang akan melakukan aksi (lihat, www.detik.com, 4 Juni 2008). Sayangnya deteksi intelijen polisi itu seperti tidak berkolerasi dengan upaya pencegahan yang dilakukan oleh polri dilapangan. Ketika terjadi aksi kekerasan terhadap massa AKKBB, kehadiran polisi dirasa minim. 201 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan Peristiwa insiden Monas ini membentuk spekulasi dikalangan masyarakat, bahwa ini merupakan operasi intelijen untuk mengalihkan isu kenaikan BBM yang tengah mendapat sorotan. Setelah sebelumnya polisi dan pemerintah mendapat sorotan pada penanganan demonstrasi kenaikan BBM di kampus Unas yang berakhir dengan tindak represif polisi. Hal yang tidak jauh berbeda kita saksikan pada tragedi zakat di Pasuruan, 15 September 2008, yang mengakibatkan 21 orang tewas. Potensi terjadi situasi rawan dari kegiatan zakat yang menjadi magnet orang berkumpul seharusnya sudah dapat diprediksi oleh intel kepolisian. Apalagi kegiatan ini sudah berlangsung rutin dalam beberapa tahun belakangan. Seperti tidak menjadi bahan pertimbangan kepolisian di tingkat wilayah untuk mengerahkan personil bagi pengamanan acara tersebut. Terlepas dari lemahnya koordinasi antara pemilik hajat dan pihak kepolisian setempat, namun polisi tidak dapat lepas tangan dari situasi tersebut. Minimnya kehadiran polisi pada peristiwa ini dapat menimbulkan pertanyaan dikalangan masyarakat apakah hal ini disebabkan tidak difasilitasinya keperluan logistik polisi oleh pemilik hajat? Kelalaian itu berupa kegagalan intel polisi mengantisipasi terjadinya kerumunan massa ini diakui oleh Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jatim Kombes Pol. Wanto Sumardi (www.kompas.com, 18/9/08). Pada peristiwa demo kenaikan BBM di DPR 24 Juni tahun 2008 lalu. Kepala BIN mengatakan sudah mendapat informasi tentang kemungkinan terjadi brutalitas pada aksi menolak kenaikan BBM. Kalangan yang menggerakkan demo itu juga dalam beberapa hari sebelumnya telah membuat aktifitas konsolidasi terbuka di Tugu Proklamasi. Terjadinya brutalitas pada demo di DPR itu yang berlanjut pada aksi pembakaran mobil di Atmajaya, seolah menunjukkan bahwa deteksi intelijen tidak berlangsung secara optimal atau data intelijen tidak secara maksimal menjadi acuan Polri dalam mengambil kebijakan di lapangan. Peristiwa tragis dari buruk kinerja intelijen kepolisian dapat kita rujuk pada Tragedi Berdarah di Medan. Peristiwa pada 3 Februari 2009, yang mengakibatkan kematian Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat. Polda Sumut dinilai lalai karena meremehkan demontrasi yang berlangsung saat itu. Akibat dari peristiwa ini Kapolda Sumut Irjen Nanan Sukarna, Kapoltabes Medan Kombes Anton Suhartono, Direktur Intel Polda Sumut dan Kapolsek Medan Baru serta Kasat Intel Poltabes dicopot dari jabatannya. Dari berbagai kasus dan peristiwa diatas, mungkin peristiwa yang paling mencoreng muka institusi intelijen ialah tarian Cakalele dihadapan Presiden ketika Pembukaan Hari Keluarga Nasional ke XIV di Ambon, Maluku, 29 Juni 2007. Masuknya 28 orang penari cakalele yang hampir saja membentangkan bendera RMS dihadapan presiden memang suatu peristiwa luar biasa. Lebih-lebih mereka tidak masuk dalam daftar acara. Sekalipun tidak ada ancaman serius dari para penari yang dilengkapi dengan senjata kayu peraga, namun hal ini menunjukkan lalainya intelijen mendeteksi peristiwa tersebut atau spekulasi yang lain yang berkembang bahwa “ada yang memberi jalan” pada para penari cakelele untuk tampil. Buruknya koordinasi bagian acara dan bagian pengamanan diakui oleh Letjen. Agustadi Sasongko selaku sekretaris kementerian yang juga anggota tim investigasi peristiwa itu 202 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 (www.detik.com, 4 Juli 2007) Peristiwa tari Cakalee diatas menimbulkan berapa pertanyaan: Apakah komunitas intelijen telah melakukan pengumpulan informasi, analisis, kontra intelejen dan operasi rahasia yang profesional?; Apakah telah ada produk intelijen sebelumnya yang bersifat koheren, tidak ambigu dan telah melalui uji validitas dan reliabilitas antar dinas intelijen?; Apakah telah terbentuk saluran komunikasi yang sehat diantara komunitas intelijen maupun dengan satuan keamanan lainnya? Sepertinya problem atas tiga pertanyaan itu yang tidak terjawab sempurna hingga terjadi peristiwa itu. Dibawah ini penulis sertakan sejumlah kasus dan peristiwa yang mengindentifikasikan kerjakerja intelijen yang mendapat sorotan dari masyarakat: Kerja Intelijen Polri Dalam Sorotan No. Peristiwa Isue Dimensi HAM Keterangan 1. Tari Cakalele dihadapan Presiden di Ambon. (29/06/07) Politik Hak politik dan Hak kebebasan berekspresi 2. Heru dan Harun ditangkap di Tangerang karena pasang poster yang berisikan rekam jejak capres cawapres. 7/7/09 Penyerangan terhadap AKKBB di Monas. (1/06/08) Politik kebebasan berpendapat dan berekspresi Kapolda Maluku Brigjen Pol Gatot Guntur Setyawan dan Panglima Kodam XVI Pattimura Mayor Jendral Sudarmaidy Subandi dicopot dari jabatannya karena insiden ini. Polisi menganggap Poster itu berisikan hasutan. Namun karena kurangnya bukti kedua orang tersebut dilepas. Ideologi Hak atas rasa aman, hak kebebasan berpendapat, dan hak kebebasan beragama/berkeyakinan Demo Protap/propinsi Tapanuli, di Medan. 3/2/09 politik Hak atas rasa aman, hak politik 3. 4. Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq dan Panglima Komando Laskar Islam Munarman akhirnya divonis masing-masing 1 tahun 6 bulan penjara untuk kasus kekerasan di Monas. Pada saat terjadi Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat meninggal karena serangan jantung. Polda Sumut dinilai lalai karena meremehkan demontrasi yang berlangsung saat itu. Akibat dari peristiwa ini Kapolda Sumut Irjen Nanan Sukarna, Kapoltabes Medan Kombes Anton Suhartono, Direktur Intel Polda Sumut dan Kapolsek Medan Baru serta Kasat Intel Poltabes. 203 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan 204 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 205 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan 206 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Sumber: dokumentasi KontraS dan Walhi 207 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan Pengawasan peredaran senjata yang juga menjadi konsenstrasi dari kerja intelejen kepolisian masih terlihat banyak masalah. Menurut data yang dihimpun Indonesia Police Watch (IPW), saat ini ada sekitar 2.000 senjata api (senpi) ilegal yang masih beredar di Medan. Data kepemilikan senpi ilegal itu nomor dua terbesar di Indonesia. Di seluruh Indonesia jumlahnya ada 10.000, dengan yang terbanyak di Jakarta sejumlah 3000-an senpi ilegal. Pihak Mabes Polri menyatakan sudah melakukan penarikan senjata api yang dimiliki kalangan sipil. Hanya saja, Mabes Polri tidak membantah adanya dugaan ribuan senjata api ilegal masih beredar di masyarakat sipil. Para petinggi kepolisian akan segera merumuskan cara yang efektif untuk menertibkan kepemilikan barang yang mestinya hanya dimiliki aparat yang berwenang. Hal itu disampaikan Wakil Kepala Divisi (Wakadiv) Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Sulistyo Ishak (lihat, www.jpnn.com, 7 April 2009). Pada setiap peredaran senjata api illegal ini sangat terbuka keterlibatan aparat TNI/Polri, dealer yang membeli dan menjual senjata, broker yang memfasilitasi kontak penjual dan pembeli potensial serta orang-orang yang terkait dengan transportasi. Pada kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain, juga menunjukkan bahwa asal muasal peredaran senjata api tersebut dari kalangan aparat sendiri, yaitu, anggota Brimob Polri dengan perantara anggota TNI AL. Data Kontras pada tahun 2000 s/d Juli 2006 menunjukkan peredaran senjata api ilegal ini melibatkan saudara tua polisi, yaitu aparat TNI. Senjata illegal yang berhasil disita selama periode itu sebanyak 308 pucuk dari beragam jenis dan 10 granat. Tidak adanya kejelasan atas proses hukum pada kasus-kasus peredaran senjata ilegal ini, membuat efek jera terhadap pelaku terasa minim. Sementara rasa aman masyarakat atas tindak kekerasan dan kriminalitas yang menggunakan senjata api juga menjadi tidak mendapat jaminan maksimal. Tentu soal ini tidak dapat dibebankan pada Polri semata, tetapi TNI juga harus menunjukkan komitmen yang sama bagi menghentikan peredaran senjata ilegal ini. Peredaran senjata illegal ini merupakan cermin rendahnya kontrol produksi, penggunaan, dan peredaran senjata oleh instansi pertahanan dan keamanan negara. Penutup Kebutuhan informasi yang dihasilkan intelijen pada kerja kepolisian tentu bukanlah suatu basa basi. Karena dalam kondisi masyarakat yang terus berkembang diperlukan bahan baku pengambilan keputusan. Kecepatan, ketepatan dan manfaat informasi yang disajikan intelijen harus menjadi dasar dari pimpinan Polri dalam mengambil keputusan. Intelijen polri selalu dituntut untuk dapat mendeteksi dini setiap bahaya yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, kerja polisi dalam negara demokratis haruslah didasarkan pada hukum dan penghormatan hak asasi manusia. Dalam situasi ini polisi diharapkan dapat menyimbangkan fungsi keadilan dan penjaga keamanan. Dengan kata lain segala tindakan polisi termasuk intelijen harus dapat dipastikan 208 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 terselenggara bagi terciptanya rasa aman warga sekaligus negara, disisi lain memastikan bahwa setiap warga negara mendapat perlakuan yang adil. Saat ini penting bagi Polri untuk memastikan Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dipahami dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh jajaran kepolisian. Adanya Perkap ini berarti Polri mengakui bahwa norma-norma HAM bukan merupakan hambatan bagi efektivitas kerja kepolisian dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.Ini merupakan salah satu bentuk wujud komitmen internal Polri terhadap reformasi sektor kepolisian. Perkap ini bisa menjadi penutup episode gelap Polri lama yang menurut persepsi publik dan didukung oleh hasil survei, identik dengan penyiksaan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang lain. Pada perkembangan demokratisasi yang berlangsung Polri termasuk intelijen didalamnya, diharap tidak lagi alergi dengan segala pandangan berbeda yang muncul dalam dinamika masyarakat. Polisi tidak boleh memberi tafsir sepihak atas dasar ancaman keamanan dan ketertiban dengan mengebiri hak-hak politik, menyampaikan pendapat dan beragama/berkeyakinan. Justru fungsi polri dan intelijen didalamnya haruslah memastikan bahwa semua orang khususnya warga negara dapat mengekspresikan hak asasi dengan rasa aman. Perkap Kapolri diatas haruslah berkontribusi bagi perubahan paradigma polisi yang meninggalkan sepenuhnya gaya kepolisian pada masa orde baru yang penuh kecurigaan pada masyarakatnya. Polri dan Baintelkam di era demokrasi saat ini harulah berperan sebagai pengawal dari nilainilai masyarakat sipil yang di telah dirumuskan dalam hak asasi manusia. Termasuk merubah pendekatan dalam aktifitas penyelidikan, pengamanan dan penggalangan dengan pendekatan kemanusiaan. Hal ini diharapkan akan memperkuat ikatan antara masyarakat dan polisi sebagai mitra dalam menjaga kepentingan bersama yaitu, keamanan dan ketertiban. Dalam konteks ini Polri harus selalu mendorong personilnya menjadi polisi yang beradab yang meninggalkan pola-pola yang biadab. Guna menunjang kehadiran polisi yang beradab itu antara lain, polisi harus benar-benar menjauhkan diri dari perilaku militeristik yang mengedepankan kekerasan dengan terus melakukan pendekatan terhadap masyarakat. Pendekatan terhadap masyarakat ini haruslah menjauhi pola polisi rahasia yang mengabdi bagi kepentingan politik kekuasaan semata yang kerap berbeda dengan kepentingan masyarakat. Polisi harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat yang demokratis sebagai pemilik kedaulatan. Karena itu intelijen kepolisian haruslah fokus hanya pada kegiatan masyarakat yang diduga melakukan kejahatan semata. Intelijen tidak boleh menginteli seseorang atas dasar SARA, 209 Baintelkam: Beban Politik Intelijen Keamanan stigma sosial atas penampilan fisik atau gaya hidup seorang atau atas dasar perbedaan pandangan politik. Hal lain yang penting diperhatikan, bahwa semua kegiatan polri termasuk intelijen di dalamnya harus didukung angggaran yang tersedia oleh negara. Bila terdapat sumbangan dana masyarakat bagi kerja kepolisian, maka sumbangan itu haruslah dapat dipertanggungjawaban dan secara transparan disampaikan kepada publik. Sebab bila Polri membuka ruang bagi dana yang berasal dari masyarakat tanpa akuntabilitas dan transparansi maka hal ini membuka ruang terjadinya korupsi, kolusi dan penyalahgunaan jabatan/wewenang untuk kepentingan diluar hukum. < Daftar Pustaka: 1. Mangatas Sitorus, Kinerja Intelijen Kepolisian, Koran Tempo, 5 Juli 2005 2. T. Hari Prihatono (penyunting) dkk, Keamanan Nasional: Kebutuhan Perspektif Integratif versus Pembiaran Politik dan Kebijakan, Propatria, Juni 2007 3. Prof. DR. Awaloedin Djamin, MPA, Polri dan Intelijen, www.lcki.org, 2006 4. Aleksus Jemadu, dkk, Reformasi Intelijen, Pacivis, November 2005. 5. Jerome H. Skolnick & Jarnes J Fyfe, Above the Law, Cipta Manunggal, 2001. 6. Andi Widjajanto (ed), Menguak Tabir Intelijen Hitam Indonesia, Pacivis, Agustus 2006. 7. ABRI Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Manajemen Operasional Polri, Keputusan Kapolri No. Pol. SKEP/187/IV/1989 tanggal 27 April 1989. 8. Kepolisian Republik Indonesia, Organisasi dan Tata Kerja Satuan-Satuan Organisasi Polri Pada Tingkat Mabes, No. Pol: Kep/53/X/2002. 9. KontraS, Siaran Pers dan Data, www.kontras.org 10. Catatan-catatan intelijen yang belum dipublikasi hingga tulisan dibuat. 11. Walhi, Tabulisi Data Pelanggaran Hak Kebebasan Berpendapat dan Berkumpul, 2009. 12. Anneke Osse, Memahami Pemolisian, Amnesti Internasional, November 2008. 210 Merajut Perdamaian Dan Keadilan MERAJUT PERDAMAIAN DAN KEADILAN Aktor Keamanan Dalam Menjaga Perdamaian di Daerah Konflik: Aceh dan Poso Oslan Purba1 Pengantar Selama lima tahun terakhir sejak SBY – JK memimpin pemerintahan, reformasi di sektor keamanan terkesan mengalami stagnasi, tidak mengalami banyak kemajuan lagi. Sejak tahun 2004 hingga akan berakhirnya masa pemerintahan SBY –JK 2 belum ada kebijakan strategis yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan yang dilahirkan bahkan kewajiban untuk menghapus bisnis TNI sampai batas waktu tahun 2009 ini sesuai dengan amanat UU No.34 Tahun 2004 Tentang TNI masih belum terlihat jelas ”ujung” nya. Reformasi di sektor keamanan merupakan salah satu indikator penting bagi perwujudan demokrasi di Indonesia. Berbagai usaha yang dilakukan oleh beragam pihak terkesan bagaikan ”menggarami air laut” dan kurang berarti apa-apa. Keberadaan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara dianggap tidak lagi dapat menaungi berbagai bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, serta koordinasi antar kelembagaan. Dalam UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI lebih banyak mengatur esensi dari tugas TNI, dengan memasukkan juga tugas perbantuan TNI kepada pengamanan dalam negeri, yang diemban Polri. Sementara keberadaan Polri dengan UU No. 2 Tahun 2002 merasa sudah cukup dengan kemandirian dan profesionalisme selepas pemisahan dengan TNI, menjadikan lembaga pengelola Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri) tersebut tidak tersentuh pengawasan. Dengan kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memposisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus, suatu kondisi yang tidak tepat bagi tata pemerintahan yang baik (good governance).3 Reformasi sektor keamanan yang terus didorong oleh masyarakat sipil berhadapan dengan konstalasi politik yang seringkali berubah-ubah, berbagai kritik, masukan dan dorongan (preasure) dari kalangan masyarakat sipil yang disampaikan kepada DPR dan Pemerintahan tidak membuat negara mengambil langkah-langkah yang serius dan berkelanjutan bahkan mengklaim bahwa reformasi di sektor keamanan terutama yang berkaitan dengan TNI dan Polri telah berjalan baik.4 Sikap-sikap yang resisten serta upaya menolak ”perubahan” dari 1 Oslan Purba, adalah Sekretaris Jenderal Federasi Kontras. 2 Akan berakhir pada Oktober 2009, walaupun ada kemungkinan SBY atau JK terpilih kembali sebagai Presiden RI dalam Pemilu Presiden pada tanggal 8 Juli 2009. 3 Muradi Clacrk; TNI & POLRI: Analisis Tentang Penataan Kelembagaan Politik dalam SSR di Indonesia; Police & Military Studies - International & National Issues, http://www.muradi.wordpress.com/ SBY menyampaikan pujiannya atas keberhasilan reformasi TNI pada perayaan HUT TNI 5 Oktober 2008 di Lanal TNI AL Tanjung Perak di Surabaya. Pada kesempatan yang berbeda Presiden meminta TNI agar tetap bersikap netral dalam Pemilu 2009 setelah SBY mendengar adanya isu ABS (asal bukan presiden yang berawalan S) 4 211 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 kalangan TNI dan Polri masih terlihat dengan jelas misalnya; dengan penolakan pengambil alihan koperasi-koperasi yang dikelola oleh TNI dalam konteks penghapusan bisnis TNI,5 tarik ulur dalam persoalan penyusunan Undang-undang terkait penataan TNI dan Polri, bahkan yang terakhir adalah usaha yang serius dari Dephan untuk ”menggolkan” RUU Rahasia Negara yang mengesankan keinginan yang kuat untuk menjadikan TNI sebagai institusi yang tertutup dan tidak dapat disentuh.6 Sementara pada institusi Polri kita melihat bagaimana sikap Polri yang resisten terhadap desakan agar Kepolisian RI berada di bawah Departemen Dalam Negeri atau Departemen Hukum dan HAM.7 Bahkan seringkali antara TNI dan Polri berkompetisi untuk mempertahankan posisi politik dan previlage terutama terkait dengan “perebutan” anggaran dan peran dalam pengelolaan keamanan dalam negeri. Sekalipun oleh berbagai pihak 8 reformasi sektor keamanan dianggap telah berhasil dengan melihat beberapa regulasi yang terkait dengan pengaturan institusi keamanan,9 namun proses pembangunan Postur TNI dan Polri yang kuat, masih menyisakan berbagai persoalan. Terdapat dua persoalan utama yaitu; pertama, tata hukum yang tidak lengkap dan tumpang tindih, akibatnya berbagai penanganan keamanan dalam negeri tak pernah tuntas karena adanya grey area pembagian tugas antara pertahanan dan keamanan. Kedua, keberhasilan pembangunan landasan hukum ini sangat terkait dengan visi politik dan transformasi militer yang dimiliki sipil, bagaimana pemimpin sipil mampu membangun militer yang profesional dalam tatanan demokratis. Faktanya, sampai hari ini, ketidak-sepakatan di kalangan pemimpin sipil tentang konsep keamanan negara menjadi sebab dari inkonsistensinya regulasi yang ada. 10 5 Padahal primer-primer koperasi TNI maupun Polri inilah yang selama ini seringkali menjadi ”tameng”, becking dan banyak melakukan bisnis-bisnis ilegal. Lihat Laporan Penelitian Bisnis Militer di Poso-Sulawesi Tengah dan Bojonegoro, oleh KontraS, Januari – Maret 2004. 6 Menhan mendesak DPR agar dapat menyelesaikan pembahasan RUU Rahasia Negara sebelum berakhirnya masa jabatan DPR periode 2004 – 2009 pada Oktober 2009 yang akan datang. Lihat Detik News, Menhan: RUU B e b a s I n fo r m a s i & R a h a s i a N e g a r a Ta k B e r t a b r a k a n , J u m a t , 2 2 / 1 2 / 2 0 0 6 1 1 : 3 1 W I B, http://www.detik.com/detiknews/indeks/ menhan-ruu-bebas-informasi-rahasia-negara-tak-bertabrakan.htm 7 Jendral Sutanto pada saat menjabat sebagai Kapolri menyatakan bahwa tuntutan reformasi salah satunya adalah memisahkan Polri dengan TNI dan tuntutan reformasi itu telah dipenuhi, itu menandakan bahwa reformasi telah berhasil. Pernyataan ini berusaha menepis tuntutan berbagai kalangan agar TNI berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Lihat Athar; Kubur Reformasi Bila Polisi Berada di Bawah Departemen; http://www.politikindonesia.com , 8 Kalangan DPR, Pemerintah, Akademisi, LSM baik nasional maupun internasional 9 Padahal menurut penulis dan Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam hal regulasi yang telah dilahirkan oleh negara terkait dengan RSK. Semisal dalam undang-undang TNI No.34/2004 yang belum meletakkan Panglima TNI di bawah Departemen Pertahanan, Belum diatur juga secara baik tentang kesejahteraan prajurit, demikian juga halnya dengan UU Kepolisian No.2/2002 yang masih meletakkan Polisi langsung berada di bawah Presiden. 10 Ketidak sepakatan itu juga dapat dipandang sebagai tarik menarik kepentingan politik dari kelompokkelompok politik yang tentu saja berkolaborasi dengan kalangan militer untuk mempertahankan keuntungan ekonomi politik yang selama orde baru diperoleh utamanya oleh kelompok lama sementara kelompokkelompok yang memperjuangakan reformasi di sektor keamanan belum mampu mendapatkan dukungan politik yang signifikan dengan kemampuan politik yang juga masih belum mumpuni. 11 Oslan Purba dan Mufti Maakarim A; Critical Review; Peraturan Presiden No. 7/2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara; IDSPS, Jakarta 2008. 212 Merajut Perdamaian Dan Keadilan Penataan ulang sistem pertahanan dan keamanan yang sedang dilakukan saat ini menuntut adanya suatu pemahaman komprehensif, yang bukan saja pada tataran instrumen payung hukum, tetapi juga pada berbagai instrumen struktur, kultur dan sistem yang akan menopang implementasi. Mekanisme semacam ini mensyaratkan adanya pembedaan antara institusi-institusi yang memegang tanggung jawab politik dengan institusi-institusi yang memegang tanggungjawab operasional. Oleh karena itu, implementasi sistem pertahanan dan keamanan memerlukan dukungan organisasi dan birokrasi pemerintahan yang demokratis, efektif dan efisien agar dapat memberikan batasan secara tepat mengenai kewenangan dan tanggungjawab setiap institusi atau aktor yang terlibat. 11 Selain itu, pada tataran implementasi yaitu pelaksanaan penyelenggaraan pertahanan dan keamanan perlu dilakukan pengawasan yang tepat, namun dalam pelaksanaannya belum terlihat perubahan yang signifikan. Reformasi sama sekali belum menyentuh ke dalam tubuh TNI dan Polri sehingga kultur kekerasan masih dominan ketimbang profesionalisme dan good governance, sehingga aksi-aksi kekerasan masih dirasakan oleh rakyat. Belum terlihat korelasi yang positif antara perubahan legislasi, kebijakan institusional di lingkungan TNI dan Polri dengan penurunan angka kekerasan dan pelanggaran HAM.12 Bagaimana korelasi antara perubahan regulasi di level makro dengan implementasi penyelenggaraan keamanan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat?. Kasus-kasus kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh institusi keamanan masih menjadi trend hampir di seluruh daerah yang ditandai dengan berulangnya kekerasan tersebut sebagai efek dari tidak berlangsungnya proses hukum yang memadai. Konflik Aceh; Memadamkan Bara Dalam Sekam Gelombang kekerasan yang terjadi di Aceh disebabkan karena Indonesia memiliki struktur negara yang lemah (weak state), kebijakan politik yang diambil terkondisikan oleh instabilitas politik dan dominasi kelompok lama, krisis legitimasi, lemahnya identitas nasional, tidak berfungsinya institusi sosial politik, kemiskinan ekonomi, dan sangat rentan terhadap tekanan-tekanan eksternal.13 Praktek penyelenggaraan negara yang korup dan represif selama pemerintahan Orde Baru memberikan sumbangan terbesar melemahkan “nation building” selain kepentingan global yang terus-menerus mengeruk keuntungan ekonomi melalui dukungan pemerintahan yang fasis dan militeristik. Akomodasi politik untuk mengelola konflik yang terjadi di Aceh menjadi langkah yang 12 Tumbuhnya profesionalisme institusi-institusi keamanan merupakan klaim sepihak yang tidak berbanding lurus dengan fakta-fakta kekerasan dan prilaku yang menyimpang dari institusi keamanan terutama di daerah konflik. Lihat Mufti Makaarim A dan S Yunanto; “Efektifitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil; Dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998 – 2006”, IDSPS, 2008; Hal:83 13 Hal ini membuat elit politik terus menerus berada dalam process of crisis atau yang lebih di kenal dengan the politics of survival. 213 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 penting, hal ini tercermin dari perjanjian damai antara RI dan GAM.14 Perjanjian-perjanjian damai ini telah dirintis sejak lama, sebelumnya berbagai inisiatif perdamaian gagal mencapai kata sepakat, sampai pada perjanjian Helsinki belum ada perjanjian yang memuaskan ke dua belah pihak. Pasca bencana tsunami, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2005 kedua belah pihak yaitu GAM dan RI ”dipaksa” berunding oleh dunia internasional sehingga menghasilkan kesepakatan damai yang menjadi cikal bakal perdamaian yang lebih langgeng di Aceh yang menghantarkan rakyat Aceh menjauh dari kekerasan dengan lahirnya MoU Helsinki.15 Perjanjian Damai di Aceh No 1. 2. 3. Tahun 1999 2003 2005 Perjanjian JU (Joint Understanding) CoHa (Cessation of Hostilities) MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki Sumber: KontraS Aceh 2007 Pemerintah RI dan GAM menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam bangunan negara Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya penyelesaian damai yang bisa memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca bencana Tsunami (26 Desember 2004) dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan16 setelah didera konflik yang berkepanjangan yang melahirkan korban jiwa yang jumlahnya mencapai ribuan orang. Salah satu indikator keefektifan perjanjian damai adalah penghentian kekerasan dan menurunnya insiden pelanggaran HAM secara drastis, baik dari sisi jumlah maupun kualitasnya dan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap kondisi sosial dan politik di Aceh.17 14 Bahkan pemerintah sempat menerapkan darurat militer di Aceh pada tahun 2003 melalui Keppres No. 28/2003 tentang pemberlakuan status daerah militer di propinsi NAD. Dasar-dasar yang menjadi pertimbangan penerapan Keppres tersebut adalah: pertama kegagalan dialog damai antara Pemerintah dengan GAM; dan kedua meningkatnya tindakan kekerasan bersenjata oleh GAM yang dinilai mengarah kepada bahaya terorisme (Lihat Keppres No.28/2003). 15 Sebagaimana yang tertuang dalam nota kesepahaman RI-GAM bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik yang memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca tsunami tanggal 26 Desember 2004. Dari sisi ini, tsunami dipandang menjadi salah satu pemicu perjanjian Helsinki digelar. Lihat Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap, KontraS, Jakarta, 2006. 16 Nota Kesepahaman Pemerintah RI-GAM di Helsinki/MoU Helsinki. 17 Tim Koalisi Pengungkapan Kebenaran (KPK) Aceh; Tawaran Model Penyelesaian Pelanggaran HAM berat di Aceh; 2007 214 Merajut Perdamaian Dan Keadilan Setelah penandatangan MoU, serta lahirnya UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, kondisi di Aceh semestinya kondusif serta adanya efektifitas penegakkan hukum dan HAM. Namun empat tahun pasca perjanjian Helsinki, masih terjadi berbagai tindak kekerasan dan masih ditemukan beberapa permasalahan yang dapat merusak perdamaian. Kondisi di Aceh secara politik penuh gairah tetapi mudah bergejolak. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kekhawatiran tersebut seiring dengan berjalannya Pemilu 2009.18 1. Kecurigaan Yang Belum Berakhir Eskalasi kekerasan di Aceh akhir-akhir ini terus meningkat tajam di Aceh. Selama enam bulan terakhir saja terdapat 36 kejadian yang dilaporkan.19 Dalam tiga bulan terakhir ini tercatat 16 orang meninggal, 47 cedera dan 17 gedung atau kendaraan mengalami kerusakan. Sebagian korban yang tercatat merupakan korban tindakan kriminalitas yang terus meningkat di Aceh dan sebagian lagi merupakan korban-korban kekerasan yang di sinyalir sebagai akibat meningkatnya eskalasi konflik menjelang Pemilu 2009. Terjadi gelombang baru insiden peledakan granat, pembakaran serta serangan lainnya terhadap partai-partai politik (13 kasus), dan tiga atau empat anggota Partai Aceh (PA) dan Komite Peralihan Aceh (KPA) dieksekusi di awal bulan Februari 2009. Peristiwa ini meningkatkan ketegangan di antara kedua organisasi tersebut dengan pihak aparat keamanan sehingga mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dan menimbulkan keprihatinan akan terjadinya eskalasi dalam masa menjelang pemilihan umum. Di tengahtengah persoalan ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara umum bersikap profesional, meskipun rasa saling tidak percaya antara TNI dengan GAM masih tetap dalam. Walaupun beberapa LSM HAM di Aceh seperti KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan Koalisi NGO HAM Aceh telah mencatat dan melaporkan beberapa kasus mengenai berbagai kasus kekerasan dan aksi kriminalitas yang dilakukan oleh aparat keamanan, namun proses hukum masih terkesan lamban. Walaupun begitu, ada kekhawatiran yang meluas mengenai operasi intelijen oleh Indonesia termasuk dukungan terhadap mantan “front anti-separatis” dan kelompok lain yang dianggap mendukung agenda nasionalis. Sejumlah pejabat intel, yang yakin bahwa GAM belum menanggalkan agenda mereka untuk pisah dari Indonesia, ingin mencegah GAM memenangkan kontrol dalam DPRD tahun 2009.20 Tekanan semakin kuat dari aktifis HAM dan masyarakat korban di Aceh untuk merealisasikan amanat UU PA yang didukung oleh gubernur untuk membentuk sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi serta mengusut kejahatan di masa lalu. Masalahnya sendiri sangat sensitif karena TNI meyakini bahwa komisi tersebut akan berat sebelah, bertekad untuk mengadili TNI sementara para mantan GAM akan menikmati amnesti paska MoU Helsinki. Tetapi GAM 18 yang diikuti 44 partai (enam lokal, 38 nasional) yang bersaing, TNI khawatir Partai Aceh (yaitu partai milik GAM) akan menang dan menguasai DPR Aceh (DPRA) kemudian menentang otoritas Jakarta. Partai Aceh khawatir Jakarta akan melakukan intervensi secara terbuka maupun diam-diam, dan pada saat yang sama partai-partai kecil khawatir Partai Aceh akan melakukan intimidasi. Lihat Update Briefing ICG; Indonesia; Kekhawatiran Pra Pemilu di Aceh; Asia Briefing N°81, Jakarta/Brussels, 9 September 2008 19 Laporan Bank Dunia; Laporan Pemantauan Konflik di Aceh, Desember 1, 2008 – 28 Februari, 2009 20 International Crisis Group; Asian Report 139; Aceh: Komplikasi Pasca Konflik; 4 Oktober 2007 215 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 mungkin juga akan enggan perbuatannya diungkap, dan memastikan adanya sikap netral akan menjadi sebuah tantangan. Meskipun tekanan paling banyak datang dari LSM dan masyarakat korban, namun tuntutan terhadap keadilan juga cukup tinggi di daerah-daerah dan jika tuntutan ini tidak ditanggapi, ia bisa menjadi benih konflik dimasa mendatang.21 Namun dukungan Gubernur Irwandi Yusuf cenderung berpandangan bahwa KKR hanya ditujukan sebagai mekanisme rekonsiliasi saja.22 Selain persoalan perbedaan pandangan mengenai tujuan KKR, perkembangan terakhir, pemerintah pusat dan pemerintah Aceh masih saling “lempar bola” tentang siapa yang paling berwenang atau berkewajiban untuk mewujudkan amanah Undang-undang tersebut. Semua persoalan ini dianggap oleh beberapa orang tidak lebih sebagai akibat sampingan yang timbul dari sebuah transisi politik dan dari proses transformasi yang berjalan dengan luar biasa cepat dan cukup damai dari kelompok gerilyawan menjadi pemerintah. Konflik bersenjata antara TNI dan GAM sudah berakhir untuk saat ini, dan bentrokan senjata yang dikhawatirkan akan terjadi antara GAM dan milisi yang disokong oleh TNI belum sampai terwujud. Tidak ada yang tewas dalam bentrokan, dan tidak ada yang hilang akibat pandangan politiknya. Ini merupakan prestasi yang sangat besar. Tapi perdamaian bukannya tidak bisa berubah lagi, apakah perdamaian akan terus bertahan, sebagian akan tergantung pada bagaimana GAM menggunakan kekuasaan dan kekayaannya yang baru, bagaimana MoU dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) diterapkan dan apa yang terjadi di pemilihan DPRA. Sementara itu, pejabat GAM perlu memusatkan perhatian pada strategi jangka panjang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Aceh, dan institusi-institusi keamanan di Jakarta perlu menahan diri dari kecenderungan mereka untuk turut campur. Kotak 1. Kronologi penyerangan terhadap partai politik (pembakaran, granat, senjata): g 9 Sept 2008, Lamreung, di luar Banda Aceh. Sebuah granat meledak di depan rumah Muzzakir Manaf, Ketua KPA dan Partai Aceh (PA). g 15 Sept 2008, Lhokseumawe. Pembakaran sebuah kantor PA. g 16 Sept 2008. Langsa. Pembakaran sebuah kantor PA. g 17 Sept 2008, Bireuen. Sebuah granat dilempar ke dalam sebuah kantor PA. g 19 Sept 2008, Aceh Utara. Sebuah granat lengkap dengan alat detonatornya ditemukan di depan sebuah kantor PA. g 20 Sept 2008, Aceh Tenggara. Pembakaran sebuah kantor PA.. g 21 Sept 2008, Bireuen. Pembakaran sebuah kantor Partai SIRA . g 11 Okt 2008, Langsa. Pembakaran sebuah kantor PA. g 23 Okt 2008, Banda Aceh. Ledakan granat di kantor pusat propinsi KPA. 21 Maimun Saleh, Belum Ada Jaminan Keadilan; Laporan Situasi Politik dan HAM Aceh 2007; KontraS Aceh; Maret 2008. 22 Serambi Indonesia, 8 September 2007. 216 Merajut Perdamaian Dan Keadilan 5 Januari 2009, Aceh Tenggara. Pembakaran kantor daerah tingkat sagoe PA di Lawe Sumur dan Badar. g 13 Jan 2009, Banda Aceh. Ledakan sebuah granat di kantor pusat propinsi Partai Aceh. g 16 Jan 2009, Banda Aceh. Ledakan sebuah granat di bawah sebuah mobil yang mengenakan warna PA di depan hotel UKM di Peunayong (mobil milik Ayah Barita, seorang kader PA dari Aceh Utara). g 21 Jan 2009, Bukit, Bener Meriah. Pembakaran sebuah mobil operasional KPA di sebelah kantor KPA. g 22 Jan 2009, Bireuen. Ledakan sebuah granat di kantor Golkar Kabupaten. g 6 Jan 2009, Aceh Utara. Penyerang yang tak dikenal bersenjatakan senapan berlaras panjang menembakkan peluru ke kantor PA kabupaten. g 26 Januari 2009, Lhokseumawe. Pembakaran sebuah peti besi dan sebuah kantor PAAS. g 1 Feb 2009, Sabang. Sebuah alat peledak ditemukan di bawah mobil Walikota Sabang (seorang anggota PA?) g 4 Feb 2009, Langsa. Ledakan sebuah granat di kantor PA kabupaten. g 20 Feb 2009, Aceh Tengah. Ledakan sebuah granat di salah satu pos kampanye PA. g 25 Feb 2009, Sabang. Pembakaran kantor sebuah koperasi yang dikelola oleh KPA. g 27 Februari 2009, Aceh Barat. Pembakaran kantor PA. g Sumber: Program Konflik dan Pembangunan (Conflict and Development Program) Bank Dunia Indonesia 2. TNI dan Polri di Aceh; Alat Kontrol Negara Terhadap Aceh. Kekhawatiran utama yang dirasakan di Aceh adalah memburuknya hubungan antara PA dan KPA dengan pihak keamanan, yang terlihat makin berseberangan sejak awal masa pemilihan umum.23 KPA dan PA menuduh polisi lemah dan kurang berani dalam menginvestigasi kasuskasus kekerasan politik yang dialami PA. Mereka juga telah berulang kali menyiratkan kemungkinan keterlibatan militer (TNI) dalam berbagai aksi kekerasan atau mendukung para pelakunya, mengadu-domba sesama anggota partai dan menimbulkan ketidakstabilan.24 Di sisi lain, pihak militer meningkatkan kehadirannya di lapangan, dan semakin gencar mengingatkan masyarakat akan ancaman disintegrasi yang dilakukan oleh dominasi sebuah 23 Kampanye tertutup berawal pada tanggal 12 Juli 2008, bersamaan dengan penggantian Mayor Jendral Supiadin oleh Mayor Jendral Soenarko sebagai Pangdam Iskandar Muda pada tanggal 14 Juli. Pandangan Soenarko, dengan berlatarbelakang Kopassus, terhadap PA/KPA terlihat lebih konservatif 24 Pihak militer dengan tegas membantah tuduhan, meskipun terkadang dengan cara yang agak aneh: pada hari setelah terjadi peledakan granat di Kantor Pusat PA di Banda Aceh pada tanggal 13 Januari, juru bicara TNI, dalam upaya mencegah tuduhan, mengeluarkan pernyataan bahwa angkatan bersenjata tidak pernah menerima laporan bahwa personilnya turut terlibat. 217 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 partai lokal tertentu di pesisir timur melalui cara-cara kekerasan dan intimidasi.25 Dengan dukungan sejumlah partai nasional, TNI juga secara agresif meminta peran yang lebih besar bagi angkatan bersenjata dalam memantau pemilihan umum. Di bulan Januari, Letkol TNI Yusep Sudrajat, Dandim Aceh Utara, mengumumkan bahwa pasukan akan berjaga di Tempat Pemungutan Suara (TPS) “atas permintaan masyarakat”, dan menyarankan agar TPS dikelompokkan dalam sejumlah lokasi yang terbatas agar lebih mudah dipantau.26 Pada tanggal 3 Februari 2009, Danrem Lilawangsa mengumumkan bahwa 5.000 pasukan akan ditugaskan ke seluruh propinsi untuk membantu pihak polisi dalam memantau pemilihan umum. Ketegangan antara GAM dan pihak militer sering mengakibatkan bentrokan-bentrokan di lapangan27 dan perang pernyataan di tingkat elit. Pada sore hari pada tanggal 12 Februari 2009 pada saat kabar terbunuhnya kader PA Benu mulai menyebar, Gubernur Irwandi Yusuf menginterupsi rapat dengan delegasi dari Menkopolhukan untuk melaporkan bahwa sekelompok anggota milisi anti-separatis sedang melakukan sweeping dan menahan pendukung PA di Timang Gajah, Bener Meriah.28 PA juga melaporkan dua kasus pemukulan oleh TNI di kecamatan yang sama sehari sebelumnya. Dalam sebuah insiden, seorang anggota KPA diduga telah dianiaya dengan sepucuk senjata dan dipaksa mengaku bahwa seorang calon legislatif PA memiliki senjata api. Laporan adanya mobilisasi pihak milisi dan tuduhan. terhadap TNI menimbulkan reaksi yang sangat keras dari elit militer baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Kemungkinan adanya insiden lanjutan antara GAM dan unsur milisi sangat mengkhawatirkan. Pada tanggal 1 Maret 2008, pembantaian lima anggota KPA oleh massa setempat yang dimobilisasi oleh beberapa tokoh milisi di Atu Lintang, Aceh Tengah,29 hingga saat ini masih menjadi ujian yang paling berat terhadap daya tahan proses perdamaian. Pengendalian diri serta profesionalisme yang ditunjukkan saat itu oleh KPA dan aparat keamanan dapat mencegah terjadinya eskalasi. Sampai menjelang Pemilu Legislatif 2009 ketegangan antara kedua pihak mencapai titik paling panas, tumpahannya akan lebih sulit untuk ditahan apabila insiden serupa kembali terjadi pada saat Pilpres pada bulan Juli 2009. Untuk menghindari terjadinya insiden, perubahan yang drastis diperlukan dalam perilaku baik dari GAM maupun dari aparat 25 Sebagai contoh, lihat pernyataan dari Letnan Kolonel Yusep Sudrajat, Analisa tanggal 12 Feburari 2009. 26 Beliau menambahkan bahwa “kalau ada partai yang keberatan TNI berada di Ring I, partai itu patut dicurigai akan berlaku curang dalam pemilu nanti”, Serambi, 12 Januari 2009. Peraturan hanya mengizinkan TNI untuk berjaga di Ring III (satu jarak dari TPS), bukan di Ring I (di depan TPS) 27 Enam insiden yang melibatkan kekerasan antara PA/KPA dan TNI telah dilaporkan dalam bulan Januari dan Februari, termasuk bentrokan mengenai masalah spanduk dan kasus pengeroyokan anggota KPA/PA oleh anggota TNI. Pada tanggal 22 Februari, juru bicara PA, Adnan Beuransah mengeluh bahwa sejumlah kader PA telah dipanggil oleh Koramil di Blangpidie, dan ditanyakan mengenai kegiatan politiknya. 28 Sebuah kantor TPA telah diserang sebelumnya di kecamatan tersebut pada tanggal 21 Januari 2009. 29 TNI senantiasa menolak penggunaan kata “milisi” dan menyatakan bahwa kelompok sipil bersenjata yang melawan GAM selama konflik terbentuk secara spontan oleh masyarakat tanpa dukungan apapun dari angkatan bersenjata. Kepala Staf TNI AD, Jendral Agustadi Sasongko Purnama, menyarankan agar Gubernur Irwandi “membaca lebih banyak buku lagi”, Rakyat Aceh, 18 Februari 2009 218 Merajut Perdamaian Dan Keadilan keamanan. KPA dan PA harus memperlihatkan kesiapan untuk meningkatkan disiplin dan akuntabilitas. Pihak militer harus menunjukkan lebih banyak lagi pengendalian diri dan tidak melampaui mandatnya sebagaimana digariskan oleh Undang-Undang dan MoU. 30 Pada akhirnya, peran polisi dalam penegakan hukum dan ketertiban perlu dipertegas kembali. Di satu sisi, polisi diremehkan oleh tuduhan bahwa polisi memiliki kapasitas yang rendah dan kurang berani menginvestigasi kasus, sedangkan di sisi lain perannya juga diremehkan oleh upaya pihak militer untuk mendapatkan peran yang lebih besar dalam mengamankan pemilihan umum. Pengungkapan hasil-hasil penyelidikan kasus-kasus kekerasan politik dan pembunuhan dan, serta tindak lanjut yang efisien dalam penanganan kasus-kasus intimidasi yang dilaporkan oleh Panwaslu dalam pelaksaanaan Pemilu 2009 di Aceh bisa membantu membangun kembali kepercayaan terhadap polisi. Namun demikian, sejumlah perkembangan positif telah meningkatkan harapan bahwa keadaan akan membaik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selama kunjungannya ke Aceh pada tanggal 23 dan 24 Februari 2009 yang lalu, menegaskan kembali bahwa “damai di Aceh sudah final”, sebuah pesan yang kuat kepada semua pihak bahwa tidak akan ada toleransi terhadap upaya yang dapat membahayakan perdamaian, termasuk propaganda mengenai referendum kemerdekaan atau intervensi dari pihak militer. Muzzakir Manaf, ketua KPA dan PA, dan Malik Mahmud, mantan Perdana Menteri GAM, telah menyatakan komitmen mereka terhadap keutuhan Republik Indonesia dan menolak kemungkinan adanya referendum.31 Pengangkatan Irjen. (Pol.) Adityawarman sebagai Kapolda Aceh yang baru pada tanggal 21 Februari 2009 juga cukup menjanjikan.32 Terakhir, pihak militer menunjukkan keinginannya untuk menegakkan prinsip netralitas. Pada tanggal 6 Maret, Danramil Kecamatan Simpang Keramat, Aceh Utara, dicopot dari jabatannya karena telah memerintahkan pasukannya untuk menurunkan spanduk PA. 30 TNI terikat oleh Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia untuk bersikap netral secara politis. Ketentuan 4.11 MoU membatasi peran TNI di Aceh dalam hal pertahanan eksternal. TNI menyatakan bahwa intervensinya dibenarkan oleh potensi dinamika pemilihan umum lokal yang membahayakan integritas nasional. “Tugas pokok TNI tidak hanya sebatas alat pertahanan nasional, namun di dalam penjabarannya juga mencakup banyak hal, terutama mengawal setiap kebijakan pemerintah yang berpotensi menimbulkan rong-rongan kepada Negara”, kata Letkol TNI Sudrajat, Serambi Indonesia, 25 Januari 2009. 31 Oleh beberapa pihak, ungkapan ini disampaikan oleh SBY setelah mendapatkan Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu di Aceh untuk tingkat nasional pada saat Pemilu Legislatif yang lalu. Deal politik antara KPA dan PA dengan Partai demokrat diharapkan dapat mempererat relasi politik antara partai pemenang pemilu yang memungkinkan terpeliharanya perdamaian. Namun sayangnya, kompromi politik ini sempat dilandasi oleh serangan-serangan terhadap PA dan KPA terlebih dahulu. 32 Meskipun ada kemungkinan bahwa beliau akan menduduki jabatan tersebut untuk sementara, sambil menunggu pengangkatan Kapolda yang tetap, Adityawarman memiliki latar belakang yang bagus dalam mempertahankan stabilitas keamanan di Maluku, salah satu provinsi konflik lainnya di Indonesia 219 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Konflik Poso; Kekerasan Yang Terpelihara. Sejak meletusnya peristiwa konflik kemanusiaan di Kabupaten Poso pada Desember 1998, Provinsi Sulawesi Tengah memang kerap dilanda aksi-aksi kekerasan yang ironisnya menunjukkan eskalasi yang meningkat tiap tahunnya, namun tidak sebanding dengan penanganan oleh aparat keamanan yang ada, sekalipun dengan berbagai operasi yang pernah digelar di daerah ini. Lebih jauh lagi, berbagai aksi-aksi kekerasan yang terjadi selama ini, selalu dijawab dengan pola dan pendekatan keamanan yang salah bahkan cenderung tidak menjawab persoalan yang terjadi. Operasi Pemulihan Keamanan di Poso Sejak 1998 – 2006 220 Merajut Perdamaian Dan Keadilan Dibentuknya satuan-satuan tugas yang baru, seperti Komando Operasi dan Keamanan (Koopskam) yang dibentuk pasca bom Maesa, Satuan Tugas (Satgas) Palu, Satgas Poso terkesan berjalan di tempat. Pembentukan Polisi Resor (Polres) Poso menjadi Polres Khusus juga belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sementara itu, perpanjangan operasioperasi pemulihan keamanan di Poso tanpa diikuti dengan evaluasi menyeluruh atas operasi sebelumnya. Aparat penegak hukum juga dinilai gagal membangun kepercayaan dari dua komunitas masyarakat di Poso dalam hal penegakan hukum. Kritik terhadap kebijakan perpanjangan operasi itu juga karena beberapa kasus justru aparat TNI/Polri menjadi pelaku kekerasan berupa pemukulan, penembakan, pencurian/penjarahan dan kasus kekerasan 33 Haris Azhar dan Syamsul Alam Agus, Poso: Wilayah yang Dikonflikan (Jakarta/Palu, 2005) 221 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 terhadap perempuan, penangkapan sewenang-wenang disertai penyiksaan dan stigmatisasi terorisme kepada warga.34 Eskalasi konflik di Poso pasca eksekusi Fabianus Tibo c.s semakin meluas merambah ke Atambua, NTT, dan Sulawesi Barat. Pembakaran kantor DPRD dan Pengadilan Negeri di Atambua dan Sulawesi Barat menjadi genderang perang baru bagi masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik selama ini. Peningkatan konflik ini makin kentara saat terjadi penembakan terhadap Pendeta Irianto Kongkoli Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) oleh orang yang tidak dikenal di Palu.35 Menariknya, peristiwa tragis itu terjadi beberapa hari setelah para petinggi intelijen dari pusat yang bertugas ke Sulawesi Tengah kembali ke Jakarta. 36 Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa konflik Poso memiliki beragam kepentingan, yang menyulitkan pemerintah untuk menuntaskan permasalahan tersebut, penyelesaian konflik Poso tidak tuntas meski ada Kesepakatan Damai Malino I dan Malino II dan berhenti begitu penangkapan terhadap Tibo c.s. Padahal bila kita mengurai lebih dalam anatomi konflik di Poso, aktornya tidak hanya Tibo c.s. Beberapa aktor di Poso yang bersembunyi pada institusi keagamaan dan kemasyarakatan, masih bebas berkeliaran.37 Sejumlah deklarasi telah ditandatangani, juga sejumlah forum dialog dengan para elit, pemuka masyarakat dan tokoh-tokoh agama juga telah digelar, namun hasilnya belum menenteramkan warga Poso dari ancaman kekerasan yang sumbernya terkadang tak terduga datangnya. Mengapa pertemuan itu menjadi tidak efektif untuk meredam konflik di Poso? Jawabannya lagi-lagi karena tokoh-tokoh yang dilibatkan bukanlah aktor lapangan yang terlibat langsung dalam persentuhan konflik antar warga di Poso. Dialog penting dan juga menangkap DPO yang dipandang sebagai pemicu kekerasan, namun tanpa upaya mencari akar masalah, sama artinya membiarkan masalah tak pernah selesai. Belum lagi soal dampak ekonomi warga akibat konflik warga itu membuat ribuan warga Poso tiba-tiba menjadi miskin, sementara perbaikan ekonomi tak jelas formulasi penyelesaiannya.38 34 Pada 2002 - Juni 2005, dari 166 kasus kriminal di kabupaten Poso, termasuk yang berkaitan dengan kerusuhan, hanya 9 kasus yang ditingkatkan proses hukumnya ke kejaksaan dan pengadilan. Dari sisi keamanan terlihat bahwa sepanjang tahun itu terjadi berbagai kasus kekerasan, diantaranya 36 kasus penembakan misterius dan 32 kasus pengeboman. Sementara, akibat tindak kekerasan berupa penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya yang tidak manusiawi sepanjang 2002-2005, tercatat 79 orang menjadi korban hingga meninggal dunia dan 207 orang luka-luka. Lihat Siaran Pers Bersama, KontraS, PBHI, LPSHAM Sulteng “Sesat piker Perpanjangan Operasi Sintuwu Maroso”, 21 Juli 2005. 35 serta penembakan terhadap Mahdi yang dituduh sebagai penyebar aliran sesat di wilayah kelurahan Buluri tepatnya di dusun Salena Kelurahan Buluri Kecamatan Palu Barat pada tanggal 5 April 2008. 36 Serta penembakan oleh aparat Brimob yang menewaskan simpatisan FPI. Lihat Thamrin Ely; Solusi Untuk Poso; Pertemuan Malino 2002, Alumnus Program VSPD University of California Berkeley 37 Aji Kota Palu; Jalan Berliku Merajut Damai di Poso; 14 April 2007 38 idem 222 Merajut Perdamaian Dan Keadilan Perjanjian Damai di Poso 223 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Padahal, tugas terbesar yang mestinya dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan Sulawesi Tengah, khususnya pemerintah kabupaten Poso adalah merekatkan kembali rasa saling percaya (trust building) akibat gesekan sosial yang berdampak pada terjadinya disharmoni antar warga. Kalau ini belum tergarap secara serius, warga Poso yang multi etnik tak akan pernah mendapatkan kedamaian dan hidup dengan trauma kekerasan. Yang tidak kalah seriusnya adalah beragamnya kepentingan aparat keamanan, baik TNI maupun Polri yang turut memperkeruh konflik, mulai dari sentimen antara angkatan darat dan Polri, hingga keterlibatan oknum dari ketiga matra TNI dan Polri dalam mengambil keuntungan dari konflik yang ada. Dan yang paling kentara adalah jasa pengamanan berbagai bisnis yang dikelola, baik oleh swasta, maupun unit bisnis TNI maupun Polri sendiri. Disinyalir ada simbiosis mutualisme antara kelompok yang bertikai dan aparat keamanan, menyangkut soal ragam kepentingan tersebut.39 Konflik Poso yang tidak kunjung selesai menyebabkan publik mempertanyakan efektifitas penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri, apalagi pengiriman pasukan Brimob dan Densus 88 ke Sulawesi Tengah khususnya di Poso semakin banyak. Berbagai kasus yang dilaporkan oleh aktifis HAM menyebutkan banyaknya aparat kepolisian yang terlibat melakukan kekerasan dan menyebabkan tewasnya warga sipil semakin membenamkan citra Polri di Poso. Bukan isu baru jika opini masyarakat Poso terhadap Polri tidak cukup baik. 40 Tugas pengamanan Polri di Poso merupakan bagian dari tugas Polri dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Mengacu pada Keputusan Presiden (Kepres) No. 13 Tahun 2005 tentang Penyelesaian dan Pengamanan di Poso, yang terlibat melaksanakan pengamanan memang tidak hanya Polri, melainkan juga TNI. Hal tersebut justru menjadikan 39 Poso Center; Eskalasi Konflik Poso; 2007 40 Sejak operasi penangkapan DPO dimulai sejak Oktober 2006, terhitung 28 orang meninggal dan luka-luka. Namun di sisi lain, karena alasan situasi keamanan Poso sudah semakin kondusif pasca penangkapan, pada 31 Juli 2007 terjadi penarikan 2 Kompi Brimob Sat Pelopor III Kelapa Dua, 2 Kompi Brimob Makassar, 1 Kompi Gegana Mabes Polri, dan saat ini hanya terdapat 6 SSK (Satuan Setingkat Kompi) yang di-BKO-kan di Poso. Lihat Laporan Imparsial;“Indonesia: Demokrasi Etalase” -- Catatan Kondisi HAM Indonesia 2007 – 224 Merajut Perdamaian Dan Keadilan proses penyelesaian kasus Poso semakin berlarut-larut karena berkali-kali terjadi saling provokasi baik yang melibatkan warga sipil maupun tidak sehingga keberadaan Keppres tersebut dapat dikatakan tidak efektif, bahkan semakin memperkeruh suasana. Upaya Polri untuk membangun suasana aman pasca-Perjanjian Malino merupakan bagian dari implementasi Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri sehingga upaya mewujudkan keamanan dalam negeri merupakan bagian dari komitmen Polri sebagai penyelenggara fungsi Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri) pasca pemisahan Polri dari TNI. Kompleksitas kepentingan yang memperkeruh penyelesaian konflik di Poso menyebabkan Polri mengalami hambatan dan tantangan yang cukup berat dalam penanganan dan pelaksanaan tugas-tugas keamanan di Poso. Ragam dan kompleksnya kepentingan yang ”bermain” di Poso menyebabkan daerah tersebut relatif tertinggal dalam penyelesaian berbagai konflik dibandingkan dengan daerah konflik lainnya seperti Aceh. Selain itu, dinamika politik lokal cenderung menyimpan ”api dalam sekam”, yang sewaktu-waktu dapat meledak yang dipicu oleh momentum. Demografi yang cenderung membangun garis demarkasi, antara penduduk pantai yang didominasi oleh penduduk yang beragama Islam dan penduduk pegunungan yang kebanyakan merupakan pemeluk agama Kristen membuat peta politik di Poso terbelah pada kepentingan-kepentingan yang berakar pada peta politik dan demografi.41 Ketidakterbukaan masyarakat Poso dalam memberikan informasi yang akurat dan benar kepada aparat hukum membuat upaya damai dan penyelesaian konflik jalan di tempat. Keengganan memberikan informasi menyulitkan penyelesaian kasus, bahkan kasus pemenggalan kepala warga sipil beberapa tahun lalu, hingga kasus penembakan Kapolres Poso tetap menjadi misteri hingga kini. Bisa jadi bungkamnya masyarakat karena takut menjadi korban dari pertikaian tersebut. Namun apabila hal tersebut tetap dilakukan masyarakat Poso maka dapat dipastikan Poso akan terus menjadi ladang konflik. Koordinasi antar aparat yang terlibat dalam pengamanan dan penegakan hukum, baik yang organik maupun yang di-BKO-kan di bawah kendali operasi Polri relatif mengalami kesulitan terutama ketika harus membangun koordinasi dengan TNI, selain masalah esprit de corps, juga terkait dengan kesungkanan dan kepatuhan, serta kebersamaan yang tidak terbangun. Hal yang membuat makin tidak jelas adalah tugas perbantuan TNI kepada Polri, dan perbanyakan pasukan BKO, yang sebenarnya merupakan celah terjadinya berbagai problem turunan. Hal ini perlu ditegaskan karena pasukan BKO cenderung kurang memahami karakteristik masyarakat setempat. Sementara koordinasi yang rapuh antar aparat juga dipertegas dengan belum ada undang-undang yang mengatur Tugas Perbantuan, baik dari TNI ke Polri maupun sebaliknya.42 41 Muradi Clarck; Konflik Poso, Kamdagri dan Citra Polri; http://www.muradiclark.wordpress.com 42 Belum adanya Undang-undang Kamnas yang sejak tahun 2004 telah masuk dalam Prolegnas, namun sampai sekarang belum menjadi undang-undang. 225 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Pola pendekatan yang dilakukan oleh Polri, khususnya Brimob cenderung kurang menampakkan watak polisi sipil. Bahkan cenderung mengarah kepada pendekatan militeristik, yang sesungguhnya telah ditinggalkan oleh tentara yang di-BKO-kan di Poso sehingga tak heran lahir ketidakpuasan di masyarakat Poso terhadap kinerja Polri, khususnya Brimob. Melihat realitas tersebut, kemampuan Polri untuk menciptakan rasa aman dan tenteram, serta melakukan upaya preventif untuk meminimalisasi terjadinya konflik di Poso sebagai syarat terpeliharanya rasa aman diragukan efektivitasnya. Bagaimanapun, dengan meningkatnya eskalasi kekerasan di Poso, pemerintahan Yudhoyono-Kalla adalah contoh paling nyata dari pemerintahan yang lemah. Pemerintah tak mampu mengendalikan dan menggunakan institusi keamanan dan ketertiban untuk menciptakan rasa aman. Biasanya, sebuah rezim yang lemah ditandai fragmentasi dan rivalitas yang keras antaraktor dan institusi-institusi negara, termasuk antar institusi represi negara. Menghadapi kekerasan Poso yang karut-marut, selayaknya pemerintah menempuh beberapa jalan keluar. Pertama, membenahi institusi penegak hukum di Poso. Bagaimanapun, salah satu masalah mendasar wajah teror dan kekerasan di Sulawesi Tengah adalah buramnya penegakan hukum. Aparat penegak hukum sering tidak berkutik mengungkap motif dan aktor di balik teror dan kekerasan, baik karena lemahnya sumber daya maupun karena campur aduknya dengan kepentingan di luar hukum. Sejumlah orang ditahan, sebagian diajukan ke pengadilan dengan tuduhan terlibat kekerasan dan teror, tetapi kerap bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan mereka amat lemah dan berakhir tanpa berlanjut ke pengadilan; Kedua, aparat keamanan yang dikerahkan ke Poso hendaknya lebih menonjolkan pendekatan penegakan hukum dan secara proaktif menciptakan keamanan dan ketertiban melalui dialog, dibanding reaksi penggunaan kekerasan. Konsep pemolisian komunitas/community police yang diperkenalkan mantan Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen (Pol) Oegroeseno sebaiknya dipertahankan dan dikembangkan, dibanding mobilisasi pasukan bersenjata. Ketiga, pemerintah perlu membuka diri guna mencari penyelesaian kekerasan Poso, melibatkan pihak lebih luas. Artinya, pemerintah perlu menempuh solusi penyelesaian Poso dengan tidak bertumpu pada pendekatan keamanan saja. Melakukan evaluasi menyeluruh atas kinerja aparat keamanan, dan pemulihan sosial ekonomi, termasuk reintegrasi aneka kelompok bekas kombatan.43 Reformasi TNI dan Polri Setengah Hati, Berkaca Dari Konflik Aceh dan Poso Kecenderungan penggunaan hak self determination dan self governing di Indonesia dapat dilihat sebagai adanya tarik menarik antara gerakan demokrasi dengan kekuasaan otoriter yang sentralistik. Proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia kurang mendapatkan legitimasi bahkan diikuti; (1). Pelebaran spektrum politik, (2). Kemunculan kepentingan sesaat yang dapat dinegosiasikan di kalangan elit, (3). Kompetisi untuk mendapatkan dukungan massa seluas-luasnya; dan (4). Melemahnya otoritas politik pusat. Keempat dampak proses demokratisasi ini cenderung akan membawa masyarakat ke arah konflik horizontal terutama karena institusi politik yang ada tidak dapat mengantisipasi ledakan politik yang begitu besar.44 43 44 Arianto Sangaji; Karut-marut Kekerasan Poso; Kompas, 3 Nopember 2006 Tim Propatria; Reformasi Sektor Keamanan Indonesia; Propatria, Jakarta 2004 226 Merajut Perdamaian Dan Keadilan Instabilitas politik dan sosial di Indonesia pasca orde baru disebabkan karena pengelolaan negara dengan ideologi pembangunanisme yang militeristik dan otoriter menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Mengakibatkan krisis multidimensional yang ditandai dengan rusaknya ikatan sosial masyarakat yang multikultur serta maraknya tuntutan otonomi bahkan tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI. Konflik itu terjadi ketika tuntutan self determination atau self governing dari beberapa komunitas lokal bersentuhan dengan masalah legalitas kedaulatan teritorial Indonesia seperti pertikaian bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI – Polri. Kohesi sosial di antara kelompok masyarakat di Indonesia juga melemah ditandai dengan merebaknya konflik yang melibatkan identitas agama seperti konflik bersenjata antara kelompok Islam dan Kristen di Poso dan Maluku.45 Konflik yang bernuansa agama ini menjadi masalah keamanan besar terutama karena kelompok tersebut melibatkan milisi-milisi yang mengusung radikalisme agama. Konflik internal yang terjadi di Indonesia merupakan konflik yang memiliki akar permasalahan yang dalam yang melibatkan beragam aktor. Upaya resolusi konflik harus didasari pada pemahaman bahwa tidak ada penyebab tunggal atas berbagai konflik yang terjadi. Faktor agama, etnisitas, kepentingan ekonomi, pertarungan politik atau luka sejarah dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan berinteraksi satu sama lain dalam jangka waktu yang lama dan menjadi sangat kompleks. Karena itu, upaya merancang strategi militer akan menjadi suatu masalah yang kompleks yang seharusnya menyadarkan aktor militer bahwa tidak ada solusi militer untuk suatu konflik internal.46 Intervensi militer cenderung berasosiasi dengan mekanisme kekerasan dan pilihan-pilihan strategi militer akan sangat ditentukan oleh bagaimana TNI digunakan untuk mematahkan lingkaran kekerasan bersenjata yang terjadi yang seringkali disertai dengan tindakan-tindakan teror sistematis yang ditujukan untuk mempengaruhi kondisi psikologis masyarakat yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Kekerasan dan pelanggaran HAM yang berlangsung dengan pola-pola yang sama sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan negara dilihat memiliki tujuan politik yang secara tekhnis dijalankan lewat operasi-operasi keamanan dan penggunaan sumber daya resmi negara lainnya termasuk melalui pendirian berbagai pos-pos militer yang tersebar di berbagai wilayah,47 akan tetapi situasinya malah berkebalikan dimana seiring dengan pembangunan pos-pos militer tersebut terjadi berbagai bentuk kekerasan; pemukulan kepada warga masyarakat, perampasan, penangkapan dan semakin marak seranganserangan kepada kelompok-kelompok yang dianggap berpotensi membangkitkan perlawanan terhadap negara. Keikutsertaan TNI dalam menjaga keamanan di Aceh dan Poso 45 Kasus-kasus lainnya seperti kekerasan komunal antara masyarakat suku Dayak dengan suku Madura di Sambas dan Sampit Kalimantan Barat dan Tengah, Kerusuhan Mei, serta bumi hangus di Timor Leste pasca jajak pendapat. 46 Tim Propatria; Reformasi Sektor Keamanan Indonesia; Propatria, Jakarta 2004; Hal: 32 47 Menjelang Pemilu 2009, Kodam Iskandar Muda semakin marak mendirikan pos-pos militer di berbagai daerah di Aceh dengan alasan pokok yang dikemukakan oleh TNI adalah untuk pengamanan Pemilu 2009. 227 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 dapat dipandang sebagai; a). Bagian dari tugas TNI selain perang yaitu melawan separatisme sebagaimana tercantum dalam UU 34/2004 tentang TNI pasal 7 Ayat 248, 2). Sebagai keinginan untuk mempengaruhi sikap politik masyarakat untuk kepentingan politik sipil yang kooperatif dengan kepentingan TNI, 3). Sebagai bentuk persaingan antara institusi TNI dan Polri. Tindakan aparat kepolisian yang represif juga dilakukan untuk memaksa ketertiban dan pengontrolan kekerasan. Kehadiran polisi di wilayah konflik sering kali bertujuan untuk mengkontrol penduduk dan bukan mencari kemitraan. Struktur organisasi Polri yang hirarki seperti militer di bawah Presiden49 biasanya membatasi diskresi jajaran di bawahnya dan organ-organ polisi lokal biasanya memiliki sedikit hak bicara dan penggunaan sumber daya yang ada bergantung pada keputusan di atasnya. Akibatnya, Kepolisian RI rentan di intervensi oleh kepentingan politik sipil juga masuknya pengaruh TNI dalam langkahlangkah pengamanan dalam negeri (kamdagri) selain juga kepentingan para elit di internal kepolisian.50 Keterlibatan polisi dalam kancah politik menjadi pusat kontroversi ketika hal itu dikaitkan dengan konsensus yang didasarkan kepada sikap “centralitas” dalam pelaksanaan tugas institusi. Bertolak dari pengertian politik yang diartikan dalam hubungannya dengan kekuasaan, Robert Reiner (2000:67) menjelaskan bahwa di dalam kenyataan politik merupakan aspek yang tidak terlepas dari kepolisian. Hal ini didasarkan pada keberadaan kepolisian sebagai organisasi yang diciptakan dan dijalankan melalui proses politik dalam rangka menegakkan wewenangnya. Secara struktural, dalam lembaga kepolisian itu melekat dua kekuasaan, yaitu (1) kekuasaan di bidang hukum, dan (2) kekuasaan di bidang pemerintahan. Kedua kekuasaan tersebut melahirkan tiga fungsi utama polisi, yaitu (a) sebagai penegak hukum diperoleh dari kekuasaan bidang hukum; (b) sebagai penegak keamanan dan ketertiban umum; dan (c) sebagai pelayan dan pengayom masyarakat. Dua fungsi terakhir diperoleh dari kekuasaan di bidang pemerintahan. Kekuasaan polisi tersebut diwujudkan dalam bentuk kekuatan paksa fisik secara terorganisir untuk mengontrol perilaku masyarakat dalam mencapai moral kolektif. Kekuasaan di sini tentu mengacu pada suatu dasar dari bentuk kesepakatan bersama. Artinya, kekuasaan polisi tidaklah berdiri sendiri untuk mencapai moral kolektif, banyak lembaga lain yang terlibat di dalamnya. Dengan kata lain polisi bukan satu-satunya lembaga yang memiliki kekuasaan absolut untuk membangun moral kolektif. Sampai di sini sebenarnya polisi tidak memiliki masalah yang serius, namun persoalannya muncul ketika masyarakat menuntut agar polisi menjadi wasit yang adil dalam pelaksanaan tugasnya, sedangkan strategi kekuasaan merangkak ke arah pemanfaatan fungsi kepolisian. Dalam kondisi demikian apabila polisi 48 yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi di terapkan di Aceh pasca MoU Helsinki, lihat UU No. 2/2002 tentang Polri 50 Sistem pemolisian yang sentralistis biasanya sejalan dengan pemolisian yang otoriter. Lihat Anneke Osse; Memahami Pemolisian; Buku Pegangan Bagi Penggiat HAM, Amnesty International, Belanda 2007. 49 228 Merajut Perdamaian Dan Keadilan tidak diimbangi oleh kemampuan dan sistem pengawasan yang memadai sangat mungkin mereka akan mudah mengabaikan tujuan mencapai moral kolektif. Di samping itu sifat kepolisian dalam konteks politik secara de facto berkaitan dengan ideologi negara yang dapat menjadi dilema dalam hal organisasi, teknik, taktik dan model operasi kepolisian. Hal itu sering dijadikan alasan diperlakukannya polisi yang seharusnya sebagai pengelola keamanan dan ketertiban umum menjadi penjaga ”stabilitas pemerintahan”. Pada hal, perlakuan demikian itu menunjukkan kurangnya kemampuan negara (pemerintah) dalam mengelola keamanan. Memang, pembangunan dapat berakses terhadap buruknya keamanan yang menyebabkan jiwa dan harta benda rakyat menjadi tidak terjamin, akan tetapi hal itu juga dapat disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam mengelola pembangunan. Dari keberadaan polisi di tengah-tengah arus kekuatan yang saling tarik menarik, yaitu arus penguasa dan arus yang dikuasai, dimungkinkan lewat kontradiksi logis polisi lebih baik berfihak kepada yang berkuasa secara politis. Berdiri di tengah-tengah arus kontradiksi demikian sesungguhnya tidak banyak yang dapat dilakukan polisi. Dilema yang merantai dirinya adalah manakala praktisi politik menyusupkan kepentingan yang sesuai dengan tujuan organisasi. Yang terjadi selanjutnya ialah, fungsi polisi sebagai penegak hukum menjadi kabur dan menjadi tidak lebih sebagai alat golongan politik tertentu yang akan mewujudkan kebijakan-kebijakannya dalam perilaku keseharian polisi. Penutup Dalam konteks kerawanan inilah Polri perlu introspeksi. Dari UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, titik rawan kekuasaan polisi terletak pada fungsi utamanya, yaitu apabila fungsi pemelihara keamanan dan ketertiban umum lebih menonjol daripada fungsi penegakan hukum dan pelayan masyarakat. Kekhawatiran yang muncul ialah jika terjadi penggiringan Polri menjadi agent of political stabilisation sebagaimana dialami pada masa Orde Baru berkuasa, di mana bersama TNI diperlakukan sebagai alat kekuasaan politik ketimbang sebagai penegakan hukum yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan elit penguasa.51 Hal ini berimplikasi kepada pencitraan Polri di masyarakat. Brimob menjadi salah satu faktor determinan dalam metamorfosis Polri dari polisi berkarakter militer menjadi polisi sipil. Namun terlepas dari itu, Polri harus mampu melakukan berbagai upaya agar konflik yang mendera Poso dan Aceh dapat segera dipadamkan, dengan begitu Keamanan dalam negeri dapat diwujudkan. Dibutuhkan dukungan kebijakan dan prasyarat untuk mewujudkan perdamaian, yang terkait dengan tugas Polri, yakni: 52 Pertama, pemerintah harus terus mengupayakan agar penyelesaian konflik menjadi agenda utama. Salah satu indikasi keseriusan tersebut adanya kebijakan yang simultan dan sinergis, 51 Lihat lebih lanjut dalam Bambang Widodo Umar; Polisi vs Politik dalam Konteks Keamanan Pemilu; Makasar, 27 Agustus 2008. 52 Muradi Clarck; Konflik Poso, Kamdagri dan Citra Polri; http://www.wordpress.com/ 229 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 bukan parsial bagi upaya mewujudkan Keamanan Dalam Negeri. Artinya, perlu kearifan pemerintah untuk tidak lagi menampilkan kebijakan populis dan tidak lagi menjadikan Aceh dan Poso sebagai komoditas politik semata. Kedua, meninjau ulang penempatan pasukan BKO, baik dari TNI, maupun Polri, khususnya Brimob. Sebab dalam dua tahun terakhir, eskalasi konflik meningkat yang meningkat di Aceh dan Poso, salah satunya disebabkan oleh perilaku pasukan BKO. Jika pun perlu penempatan pasukan BKO, perlu ada satu pendekatan yang dibangun bersama berkaitan dengan upaya menjaga perdamaian dalam kondisi kondusif. Ketiga, perlu segera merumuskan Undang-Undang Tugas Perbantuan agar memperjelas tugas dan fungsi Polri dan TNI. Hal ini agar dapat menertibkan definisi yang meluas tentang Operasi Militer Selain Perang yang terumus dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Selain itu juga Polri sebagai institusi pasif dalam pertahanan negara, yang menjadi wewenang TNI dapat memosisikan diri lebih efektif. Kasus di Aceh dan Poso sebenarnya menjadi cerminan bahwa tumpang tindih tugas antara Polri dan TNI merupakan contoh dari ketiadaan perangkat perundang-undangan yang mengikat. Keempat, Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam mewujudkan Keamanan dalam negeri harus segera menata dan memperbaiki diri, khususnya terkait dengan pola pendekatan ke masyarakat di daerah konflik. Agaknya Polri relatif lamban dalam melakukan pendekatan ke masyarakat di daerah konflik. Pembelajaran di Papua, yang menewaskan anggotanya pada bentrok massa di Abepura beberapa waktu lalu belum cukup memberikan pencerahan bagi Polri. Keinginan kuat untuk membangun kultur Polisi Sipil hingga saat ini baru sebatas wacana, sebab dalam praktik di lapangan masih menggunakan pola dan pendekatan militeristik. Peningkatan citra Polri di mata masyarakat dapat diukur dengan sejauhmana Polri mempraktikkan nilai-nilai polisi sipil dalam setiap tugasnya.< DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 230 Anneke Osse; Memahami Pemolisian, Buku Pegangan Bagi Penggiat HAM; Amnesty International, Belanda: 2007 T. Hari Prihartono; Peran Masyarakat Sipil Dalam Reformasi Sektor Keamanan, Pergulatan Pemikiran Berbagai Aktor Di Balik Kebijakan Politik Kemanan di Indonesia, Rekam Jejak Proses 'SSR' Indonesia 2000 – 2005; Propatria Institute: 2006. J. Kristiadi; Mewujudkan Profesionalisme TNI; dalam Anas S. Machfudz dan Jaleswari Pramodawardani; Military Without Militarism: Suara Dari Daerah; Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Jakarta: 2001 T. Hari Prihatono; Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional; Propatria Institute, Jakarta:2006 Rusdi Marpaung, Al-Araf, Junaidi dan Gufron Mabruri; Dinamika Reformasi Sektor Keamanan; Imparsial, Jakarta: 2005 Tim Propatria; Reformasi Sektor Keamanan Indonesia; Propatria, Jakarta: 2004 Merajut Perdamaian Dan Keadilan 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. Andi Widjajanto dan Makmur Keliat; Laporan Penelitian, Reformasi Ekonomi Pertahanan di Indonesia; INFID, Jakarta: 2006. Bambang Widodo Umar; Polisi vs Politik dalam Konteks Keamanan Pemilu; Makasar, 27 Agustus 2008. Mufti Makaarim A dan S Yunanto; “Efektifitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil; Dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998 – 2006”, IDSPS, Jakarta: 2008 Beni Sukadis dan Eric Hendra; Total Defense and Military Conscript; Indonesia's Experiences and Other Democracies; Lesperssi dan DCAF, Jakarta, July 2008. Oslan Purba dan Mufti Maakarim A; Critical Review; Peraturan Presiden No. 7/2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara; IDSPS, Jakarta 2008. __________; Aceh, Damai Dengan Keadilan?, Mengungkap Kekerasan Masa Lalu; KontraS, Jakarta: 2006 __________; Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap; KontraS, Jakarta, 2006. __________; Belum Ada Jaminan Keadilan; Laporan Situasi Politik dan HAM Aceh Tahun 2007; KontraS Aceh, 2008. __________, Laporan Penelitian Bisnis Militer di Poso-Sulawesi Tengah dan Bojonegoro, oleh KontraS, Januari – Maret 2004. Tim Koalisi Pengungkapan Kebenaran (KPK) Aceh; Tawaran Model Penyelesaian Pelanggaran HAM berat di Aceh; 2007 __________; Laporan Pemantauan Konflik di Aceh, Desember 1, 2008 – Laporan Bank Dunia 28 Februari, 2009 __________; Aceh: Komplikasi Pasca Konflik; International Crisis Group, Asian Report 1394; Oktober 2007 Haris Azhar dan Syamsul Alam Agus; Poso: Wilayah yang Dikonflikan (Jakarta/Palu, 2005) Siaran Pers Bersama, KontraS, PBHI, LPSHAM Sulteng “Sesat piker Perpanjangan Operasi Sintuwu Maroso”, 21 Juli 2005. Meliala, Adrianus. 2002. Problema Reformasi Polri. Jakarta: Trio Repro Muradi ; TNI & POLRI: Analisis Tentang Penataan Kelembagaan Politik dalam SSR di Indonesia; Police & Militar y Studies - International & National Issues, http://www.muradiclark.wordpress.com/dailyblog-.htm Muradi; Konflik Poso, Kamdagri dan Citra Polri; http://www. muradiclark.wordpress.com, Thamrin Ely; Solusi Untuk Poso; Pertemuan Malino 2002; Alumnus Program VSPD University of California Berkeley Aji Kota Palu; Jalan Berliku Merajut Damai di Poso; 14 April 2007 Detik News, Menhan: RUU Bebas Informasi & Rahasia Negara Tak Bertabrakan, Jumat, 22/12/2006, 11:31WIB, http://www.detik.com/detiknews/indeks/menhan-ruu-bebasinformasi-rahasia-negara-tak-bertabrakan.htm Athar; Kubur Reformasi Bila Polisi Berada di Bawah Depar temen; http://www.politikindonesia.com, Poso Center; Eskalasi Konflik Poso; 2007 Serambi Indonesia, 8 September 2007. Serambi Indonesia, 12 Januari 2009 Serambi Indonesia, 25 Januari 2009 Rakyat Aceh, 18 Februari 2009 Analisa, tanggal 12 Feburari 2009 231 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia Shiskha Prabawaningtyas1 Pendahuluan Permasalahan perbatasan antar negara (inter-state boundaries) di Indonesia bertumpu pada dua hal pokok yaitu manajemen dan kedaulatan. Yang pertama berkaitan dengan kegiatan lintas batas, dan yang kedua berhubungan dengan kedaulatan teritorial Indonesia. Pada Almanak edisi pertama, Banyu Agung Perwita menekankan tentang nilai penting perbatasan sebagai identitas nasional dan integritas teritorial sebagai wujud kedaulatan sebuah negara.2 Kemampuan negara dalam menangani ancaman keamanan pada wilayah perbatasan akan menentukan posisi tawar dan citra baik sebuah negara dalam konstelasi politik internasional. Perubahan karakteristik bentuk ancaman keamanan di perbatasan yang semakin bersifat non-militer / non-konvensional membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, tidak sekedar pendekatan militer, dalam upaya penanganannya. Penanganan masalah kejahatan lintas batas seperti penyelundupan manusia, terorisme, obat terlarang, senjata atau terorisme: pelanggaran kedaulatan dan hak berdaulat seperti illegal logging dan illegal fishing di dalam teritorial; dan aktifitas tradisional komunitas di perbatasan secara bebas jelas terkait dengan penegakan hukum dan tidak tepat ditangani melalui pendekatan militer. Intinya, keamanan di wilayah perbatasan harus mampu menjamin keamanan nasional sebuah negara dengan menekankan pada perspektif keamanan manusia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lesperssi pada tahun 2007, Aditya Batara, merumuskan bahwa permasalahan perbatasan Indonesia tidak hanya bersumber pada upaya lemahnya pengelolaan kawasan perbatasan, namun lebih mendasar lagi adalah masalah delimitasi dan demarkasi yang masih dalam proses negosiasi.3 Ketegangan yang terjadi di blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia akhir Mei 2009 sebenarnya bersumber pada belum disepakatinya batas maritim kedua negara pasca keputusan Mahkamah Internasional tentang status Pulau Sipadan dan Ligitan. Kekerasan yang terjadi di perbatasan Indonesia dengan Timor Leste juga bersumber pada perundingan demarkasi antara kedua negara yang masih berjalan. Persoalan jalur penyelundupan senjata kecil dan ringan dari Filipina dan Malaysia di Laut Sulawesi menuju daerah konflik di Poso atau maraknya aksi illegal fishing di wilayah perairan Indonesia merupakan cermin buruk 1 Shiskha Prabawaningtyas, adalah dosen di Universitas Paramadina Jakarta 2 Anak Agung Banyu Perwita (2007) ”Manajemen Perbatasan Negara: Keamanan Nasional” dalam Beni Sukadis (ed.) Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007. Jakarta: DCAF-LESPERSSI 3 Aditya Batara (2007) “Manajemen Perbatasan Indonesia: Upaya Menjamin Keamanan Manusia”, dalam Aditya Batara & Beni Sukadis (eds) Reformasi Manajemen Perbatasan: Dalam Transisi Demokrasi. Jakarta: DCAFLESPERSSI 232 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 manajemen perbatasan Indonesia akibat lemahnya penegakan hukum. Persoalan penegakan hukum, seperti dipaparkan oleh Beni Sukadis, merupakan titik lemah dari manajemen perbatasan Indonesia. 4 Dalam kesimpulan penelitiannya, Lesperssi mengarisbawahi persoalan inkonsistensi dan ketidaklengkapan landasan hukum serta ketidakjelasan pembagian kewenangan dalam implementasi kebijakan di wilayah perbatasan sebagai dua inti yang masalah yang harus segera diperhatikan. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada beberapa alternatif pemikiran yang dapat dikembangkan untuk memecahkan permasalahan dan memperbaiki manajemen perbatasan Indonesia. Bagian pertama tulisan akan merangkum beberapa perspektif dalam mengembangkan sistem manajemen perbatasan Indonesia. Bagian kedua mencoba untuk memetakan persoalan di wilayah perbatasan Indonesia baik dari perspektif ancaman maupun tantangan kondisi di lapangan. Bagian ketiga memfokuskan pada pembahasan beberapa alternatif solusi untuk mengatasi peta persoalan perbatasan di Indonesia. Tulisan akan ditutup oleh kesimpulan dan rekomendasi dalam persoalan perbatasan di Indonesia 1. Perspektif dalam Manajemen Perbatasan Perbatasan negara merupakan penanda teritorial sebuah negara yang memisahkannya dengan negara lain. Wilayah atau territory memberikan legitimasi bagi sebuah negara untuk memperoleh hak kedaulatannya atas sebuah komunitas atau warga negara. Perbatasan negara dapat diibaratkan sebagai gerbang dan pendeteksi dini atas berbagai bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara dan warga negara. Zacher5 menekankan tentang keberadaan norma internasional atas integritas teritorial yang dianut oleh negara. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa perang antar negara banyak bersumber dari persoalan integritas teritorial. Data dari Uppsala Conflict Data Program, misalnya, menunjukkan pada periode 1648 – 1945 terjadi 93 perang antar negara akibat persoalan teritorial dan pada periode 1946-2000 terdapat 40 perang teritorial antar negara. Perbatasan antarnegara ditentukan melalui penetapan garis batas negara (state boundary), sebuah garis imaginer yang dihasilkan oleh kesepakatan politik. Boundary menjadi penting karena menghindari kondisi chaos pada sistem internasional ketika terdapat kepastian tentang dimana sebuah kedaulatan negara berawal dan berakhir. Boundary merupakan bentuk penegasan atas ruang lingkup teritorial sebuah negara. Menurut Stephen D. Jones, ruang lingkup teritorial sebuah negara terdiri dari proses alokasi, delimitasi, demarkasi dan administrasi.6 Alokasi terkait erat dengan pengakuan dasar atas keberadaan sebuah negara yang dipresentasikan dalam bentuk keberadaan wilayah, populasi dan pemerintahan. 4 Beni Sukadis, “Isu Perbatasan sebagai Bagian Penegakan Hukum”, dalam Aditya Batara & Beni Sukadis (eds) (2007) Reformasi Manajemen Perbatasan: Dalam Transisi Demokrasi. Jakarta: DCAF-LESPERSSI 5 Lihat Zacher, Mark W (2001) The Territorial Integrity Norm: International Boundaries and the Use of Force, International Organization 55 (2): 215-250 6 Stephen B. Jones (1945) A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioner. Washington: Carnegie Endowment of International Peace dalam Sobar Sutisna, Sora Lokita, Sumaryo Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan di Indonesia, Proceeding Workshop “ Pengelolaan Wilayah Perbatasan dalam Rangka Menjaga Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Yogyakarta” Jurusan Ilmu 233 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia Hukum kebiasaan internasional atas klaim alokasi teritorial sebuah negara, menurut Mahkamah Internasional, didasarkan atas traktat, geografi, ekonomi, budaya, kontrol efektif, justifikasi sejarah, utis possidetis, elitisme dan ideologi. 7 Klaim atas wilayah teritorial Indonesia didasarkan atas asas utis possidetis yang berarti mewarisi wilayah negara kolonial Hindia Belanda. Praktek utis possidetis diakui sebagai norma internasional menyusul pengakuan hak self-determination atas gerakan nasionalisme sebagai proses dekolonialisasi yang berkembang sekitar tahun 1940an. Karakter klaim teritorial yang berdasarkan warisan negara kolonial meninggalkan kebutuhan untuk menentukan proses lanjutan, yaitu delimitasi, demarkasi dan administrasi. Kebutuhan proses lanjutan ini terkait dengan penegasan ruang lingkup kedaulatan sebuah negara dan tanggung jawabnya terhadap keamanan warna negaranya. Penegasan ini diperlukan untuk menentukan kemampuan Indonesia dalam menangani ancaman keamanan. Untuk keperluan tulisan ini, kerangka pemahaman terhadap persoalan perbatasan Indonesia secara singkat dan sistematis terpetakan dalam bagan 1 di bawah ini. Sumber Masalah: 1. Penegasan boundary - Landasan geo-spasial (delimitasi & demarkasi) 2. Pengelolan wilayah perbatasan - Kelemahan sistem manajemen perbatasan - Kesenjangan kondisi socio-ekonomi - Praktek tradisi dan legitimasi sejarah Jenis Ancaman: - Klaim territorial - Manuver militer - Kejahatan Lintas Batas - Pelanggaran atas kedaulatan dan hak berdaulat - Pergerakan manusia lintas batas secara tradisional atau illegal Tantangan Kondisi Ril: - Konsolidasi demokrasi - Kondisi wilayah perbatasan - Dukungan anggaran - Pemahaman perspektif “maritim” Solusi 1. Penyusunan kebijakan manajemen perbatasan nasional 2. Pembentukan Badan dan Pengawas Pengelola Perbatasan Bagan 1: Pemahaman Masalah Perbatasan 7 Summer, Brian Taylor. Territorial Dispute at International Court of Justice, Duke Law Journal, hal. 1 dalam Aditya Batara & Beni Sukadis (eds) (2007) Reformasi Manajemen Perbatasan: Dalam Transisi Demokrasi. Jakarta: DCAFLESPERSSI Hubungan Internacional, UPN “Veteran” 18-19 November 2008, hal. 2 – 1 234 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Sumber masalah pokok pertama pada wilayah perbatasan Indonesia berasal dari belum selesainya perundingan delimitasi dan demarkasi dengan beberapa negara tetangga. Indonesia belum mencapai kesepakatan batas maritim dengan empat negara tetangga, yaitu Malaysia, Kepulauan Palau, Filipina, Timor Leste dan Australia. Beberapa faktor penghambat dalam proses perundingan ini antara lain permasalahan perubahan teknologi yang dipakai; berlakunya rezim internasional tentang hukum laut terutama pasca pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) / Hukum Laut Internasional pada tahun 1982, revisi teriorial pasca kemerdekaan Timor Leste dan keputusan Mahkamah Internasional atas kedaulatan Pulau Sipadan dan Ligitan, keberadaan komunitas di wilayah perbatasan, potensi sumber daya alam di wilayah perbatasan, sulitnya kondisi alam, serta sejarah hubungan antara Indonesia dan negara tetangga yang terkait. Perbatasan darat antara Indonesia dan Papua New Guinea di Papua yang didasarkan pada traktat negara kolonial antara Belanda dan Inggris tahun 1895 menyisakan sulitnya proses delimitasi karena perbedaan metode ukur yang digunakan dalam menarik garis batas negara serta kondisi riil di lapangan. Salah satu implikasinya adalah kondisi desa Warasmal di Papua yang terpaksa terbagi oleh garis batas kedua negara. Perbatasan darat Indonesia dan Malaysia di Kalimantan juga masih menyisakan sembilan Outstanding Boundary Problems dalam perundingan proses demarkasi. Perubahan status kedaulatan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan pasca keputusan Mahkamah Internasional tahun 2002 melegitimasi perubahan batas maritim atas kedua negara. Besarnya potensi sumber minyak di blok Ambalat telah mendorong ekskalasi konflik kedua negara sejak tahun 2005, menyusul langkah Malaysia memberikan izin eksplorasi minyak di blok ND6 dan ND7 pada landasan kontinental blok Ambalat kepada perusahaan minyak Shell, Belanda. Fakta bahwa masih belum selesainya perundingan batas negara Indonesia dengan beberapa negara tetangga tentu memiliki potensi konflik yang cukup besar. Potensi konflik perbatasan ini tidak hanya akan merusak hubungan baik antara kedua negara yang bersengketa, namun lebih luas akan menganggu stabilitas keamanan regional khususnya kawasan Asia Pasifik. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi proses pembangunan negara di kawasan ini termasuk Indonesia. Oleh karena, pendekatan diplomasi bon viosinage atau bertetangga baik tentu menjadi lebih tepat untuk dilakukan. Pemahaman dan kesadaran bersama bahwa kondisi konflik hanya akan merugikan kedua belah pihak yang bertikai dan sebaiknya dihindari, tentu akan menimbulkan kepentingan bersama untuk memilih sebuah kerjasama. Alan K. Henrikson menunjukkan bahwa diplomasi bon viosinage merupakan sebuah proses internasionalisasi isu teritorial sebuah negara melalui mekanisme diplomasi secara internasional atau malah menjadi proses mekanisme kerjasama supra-nasional. 8 Keputusan untuk menghindari konflik perbatasan, pada akhirnya, muncul dari kesadaran pentingnya melakukan diplomasi bon voisinage. Sengketa perbatasan antara China dan India, misalnya, dapat diredam melalui proses confidence building dengan mekanisme kerjasama monitoring terhadap kesepakatan yang telah dicapai kedua negara. 9 8 Henrikson, Alan K (2000) Facing Across Border: The Diplomacy of Bon Voisinage, International Political Science Review 21 (2): 121-147 9 Sidhu Waheguru Pal Singh & Jing Don Yuan (2001) Resolving the Sino-Indian Border Dispute: Building Confidence through Cooperative Monitoring, Asia Survey 41 (2): 351-376 235 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia Faktor manajemen merupakan sumber masalah kedua di wilayah perbatasan Indonesia. Masalah ini terkait dengan kemampuan negara dalam mengatur arus kegiatan lintas batas, baik manusia maupun barang dan jasa. Sistem pengelolaan harus mampu menjawab tantangan bagaimana membuka wilayah perbatasan bagi arus kegiatan lintas batas yang bersifat resmi atau legal sekaligus mencegah arus kegiatan yang bersifat tidak resmi atau ilegal. Angela Mackay, misalnya, menyatakan bahwa manajemen perbatasan terkait dengan masalah administrasi pada kawasan perbatasan dengan asumsi bahwa batas negara atau state boundary telah jelas. 10 Dengan demikian, pengelolaan perbatasan harus difokuskan pada pengembangan sistem manajemen perbatasan melalui serangkaian peraturan, teknis dan prosedur pengaturan pada arus kegiatan lintas batas bermuara pada kekuatan penegakan hukum. Selanjutnya Angela menambahkan bahwa karena perbatasan merupakan entry point bagi arus keluar masuk kegiatan lintar batas, maka pengelolaan perbatasan memerlukan aktor operasional, yaitu pengawas perbatasan (border guard) serta petugas imigrasi dan bea cukai. Lemahnya sistem manajemen perbatasan, kesenjangan kondisi sosial ekonomi di wilayah perbatasan dengan negara tetangga serta praktik tradisional dan legitimasi sejarah dinilai sebagai penghambat pengelolaan di wilayah perbatasan. Maraknya praktek penyelundupan manusia atau illegal logging di wilayah perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan bersumber pada buruknya sistem pengawasan dan penindakan di lapangan. Rendahnya kualitas hidup dan tingkat perekonomian di desa-desa Indonesia dibandingkan dengan desa-desa di Malaysia di wilayah perbatasan turut berkontribusi pada tingginya minat motivasi warga Indonesia mencari pekerjaan di Malaysia walaupun harus melalui prosedur tidak resmi. Dari dua sumber permasalahan di atas dapat urai lebih jauh dalam lima bentuk ancaman keamanan pada wilayah perbatasan darat, laut dan udara Indonesia, yaitu 1) Klaim teritorial seperti penentuan batas maritim antara Indonesia dan Australia pasca kemerdekaan Timor Timur tahun 2002 terkait dengan Zone Ekonomi Ekslusif, 2) Manuver militer seperti aksi kapal laut Malaysia yang tidak merespon kontak komunikasi TNI AL Indonesia di sekitar blok Ambalat yang masih dalam status sengketa, 3). Kejahatan lintas batas seperti jalur penyelundupan senjata kecil dan ringan yang disinyalir dari Malaysia dan Filipina ke Poso di sekitar utara laut Sulawesi, 4) Pelanggaran atas kedaulatan dan hak berdaulat seperti maraknya illegal fishing oleh kapal China, Filipina dan Thailand dalam wilayah perairan Indonesia di sekitar Laut China Selatan, Laut Arafura dan Laut Sulawesi Utara, 11 dan 5). Pergerakan manusia lintas batas, baik bersifat tradisional maunpun illegal di wilayah perbatasan seperti aktifitas perdagangan tradisional, berkebun atau upacara adat karena kesamaan dan sejarah hubungan etnisitas di perbatasan darat Indonesia - Papua Nugini di wilayah Papua, Indonesia - Malaysia di wilayah Kalimatan serta Indonesia - Timor Leste di 10 Mackay, Angela. (2008). “Border Management & Gender”. In Megan Bastick & Kristin Valasek, Gender and Security Sector Reform Toolkit. Geneva: DCAF,OSCE/ODIHR, UN-INSTRAW, hal. 1 11 Institute for Defense, Security, and Peace Studies. (2009). Pengelolaan & Pengamanan Wilayah Perbatasan Negara, Policy Paper. hal. 8 236 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 wilayah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pencari suaka politik akibat kondisi konflik di negara asal, misalnya pengungsi dari Afghanistan, beberapa kali diketahui memasuki wilayah Indonesia sebagai wilayah transit sebelum menuju Malaysia. Berdasarkan identifikasi sumber masalah dan bentuk ancaman keamanan di wilayah perbatasan Indonesia, maka perspektif pengelolaan wilayah perbatasan harus didasarkan pada pendekatan diplomasi bon voisinage (bertetangga baik) dan upaya penegakan hukum dalam rangka mengembangkan sebuah sistem manajemen perbatasan. Kedua pendekatan ini diyakini mampu menjawab tantangan dinamika kondisi domestik Indonesia terutama pasca gerakan reformasi tahun 1998. Permasalahan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga terbukti memiliki potensi untuk meningkatkan eskalasi konflik yang akan menggangu hubungan bilateral dengan dengan yang bersangkutan atau bahkan keamanan regional di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Karakteristik konflik perbatasan Indonesia dengan negara tetangga memenuhi semua tipologi konflik yang dikembangkan oleh JVR. Prescott, yaitu positional dispute terkait perbedaan intepretasi dalam proses delimitasi dan demarkasi; teritorial dispute terkait dengan klaim teritorial; functional dispute terkait dengan pengaturan pada arus lintas batas orang, barang dan jasa; serta transboundary resouces dispute terkait dengan eksplorasi sumber daya lama di wilayah perbatasan. Terkait dengan reformasi sektor keamanan Indonesia terutama upaya menempatkan supermasi otoritas sipil dalam masalah keamanan melalui peningkatan profesionalisme aktor keamanan negara, maka permasalahan perbatasan Indonesia dapat dijadikan salah satu indikator untuk menilai pencapaian proses reformasi yang dilakukan. Mengapa demikian? Hal ini karena wilayah perbatasan tidak hanya berperan tameng atau pelindung utama dalam menghadapi ancaman keamanan dan pertahanan dari luar, namun juga ancaman terhadap keamanan manusia Indonesia. Kemampuan negara menangani konflik pada sekitar 15 desa di Kabupaten Kupang 12 yang berbatasan darat langsung dengan Timor Timur, misalnya, ditentukan tidak saja oleh keberhasilan diplomasi Indonesia namun juga kemampuan aparat pemerintah dalam merespon aksi warga setempat. 2. Karakteristik Permasalahan di Wilayah Perbatasan Pengesahan UU Wilayah Negara No.43 tahun 2008 pada 14 November 2008 dapat diterjemahkan sebagai sinyal positif atas keseriusan pemerintah untuk mengkoordinasikan sistem pengamanan di wilayah perbatasan terlepas dari beberapa kelemahan dari produk UU tersebut. Setidaknya UU Wilayah Negara tersebut memiliki semangat, visi dan orientasi untuk mengembangkan sebuah sistem manajemen perbatasan Indonesia yang lebih komprehensif dan terpadu. Pemahaman tentang arti penting wilayah perbatasan dalam mengantisipasi berbagai ancaman keamanan, misalnya, telah diterjemahkan dalam 12 Proses delimitasi di perbatasan darat Indonesia – Timor Leste menimbulkan protes warga di sekitar wilayah perbatasan karena garis batas kedua negara di 97 titik koordinasi telah memotong areal tanah mereka dan dinyatakan sebagai bagian territorial Timor Leste, lihat Iva Rachmawati ”Diplomasi Perbatasan Dalam Rangka Mempertahankan Kedaulata NKRI 237 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia beberapa produk perundangan sebelumnya, seperti UU No.6 tahun 1996 tentang Perairan, UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional, UU No.34 tahun 2004 tentang TNI, UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, dan Perpres 81 tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut. Akan tetapi, landasan hukum tersebut justru menimbulkan overlapping kewenangan dalam tataran operasional pengamanan wilayah perbatasan. Kepentingan sektoral dari instansi yang diberikan kewenangan dinilai lebih mendominasi daripada kualitas koordinasi dalam menginterpertasikan fungsi kewenangan. Misalnya, ketidakjelasan tentang kewenangan dalam mengumumkan jumlah pulau, apakah kewenangan TNI, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, atau Departemen Dalam Negeri. Keberadaan pengawas perikanan, misalnya, yang diberikan kewenangan untuk memiliki senjata sesuai pasal 69 UU No.31 tahun 2004 menjadi tumpang tindih dengan kewenangan petugas imigrasi dan bea cukai serta TNI AL di wilayah perairan Indonesia dalam menangani kasus illegal fishing atau arus lalu lintas produksi ikan. Bukan tidak mungkin kasus penjualan pulau di Nusa Tenggara Timur di tahun 2007 muncul sebagai ekses multiinterpretasi pada pelaksanaan UU No.27 tahun 2007 dan melegitimasi bentuk konsensi Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP-3) yang terasa mirip dengan konsep Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Overlapping kewenangan juga dapat dilihat dari struktur koordinasi Indonesia dengan negara tetangga dalam menangani masalah perbatasan. Jika General Border Committee antara Indonesia dan Malaysia dikepalai oleh Menteri Pertahanan sejak tahun 2004 (sebelumnya oleh Panglima TNI), maka Joint Committee Border antara Indonesia -- Papua Nugini dan Indonesia – Timor Leste dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Pertemuan Tahunan antara Indonesia dan Singapura dipimpin oleh Panglima TNI dan Joint Committee Border antara Indonesia dan Filipina bersifat lebih sektoral, yaitu dipimpin oleh Panglima Kodam Wirabuana. Di satu sisi, diplomasi perbatasan dengan negara tetangga yang memiliki wilayah perbatasan dengan Indonesia dibangun dengan kelembagaan ad hoc yang seakan mengabaikan peran Departmen Luar Negeri sebagai lead sector pelaksana politik luar negeri Indonesia dan bukan kelembagaan permanen yang bersifat multi-layer dengan fungsi tugas yang berbeda. Misalkan, Departemen Luar Negara menjadi aktor utama dalam memfasilitasi pertemuan tingkat tinggi antara antara Indonesia dengan salah satu negara tetangga. Pada tingkat kedua, terdapat lembaga koordinasi tingkat menteri antara kedua negara. Pemerintahan daerah tingkat provinsi atau kabupaten/kota kedua negara saling berkoordinasi dalam sebuah forum di tingkatkan ketiga. Di sisi lain, operasionalisasi pengelolaan wilayah perbatasan yang terkait dengan kemampuan dalam antisipasi ancaman keamanan menjadi sangat sektoral dan bahkan melemahkan sisi penegakan hukum itu sendiri. Salah satu faktor penghambatnya adalah jika tidak jelasnya pembagian tugas atau kewenangan. Lemahnya sistem manajemen perbatasan Indonesia memberikan indikasi kuat tentang tidak adanya sebuah strategi kebijakan nasional yang tertuang dalam sebuah desain besar seperti cetak biru strategi kebijakan 238 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 perbatasan. Selain itu, pendekatan militer dalam pengamanan di wilayah perbatasan terlihat masih mendominasi. Akibatnya, pengamanan di wilayah perbatasan lebih bertumpu pada perspektif pertahanan dan melemahkan sisi penegakan hukum atau policing. Padahal karakteristik utama dari bentuk ancaman keamanan di wilayah perbatasan lebih bersifat arus lalu lintas orang serta barang dan jasa yang ilegal, bukan musuh “militer” yang harus dibinasakan. Setidaknya terdapat 4 (empat) tantangan kondisi riil yang dinilai menghambat, pada tingkatan tertentu, dalam pengembangan sistem manajemen perbatasan Indonesia, yaitu 1). Konsolidasi demokrasi yang menitikberatkan pada proses desentralisasi dan otonomi daerah, 2). Kondisi wilayah perbatasan yang menyulitkan fungsi monitoring, pengawasan dan penegakan hukum, 3). Minimnya dukungan anggaran dalam mengembangkan kapasitas pengawas perbatasan dan pembangunan di wilayah perbatasan, serta 4) Masih rendahnya pemahaman perspektif maritim yang mempengaruhi pengembangan struktur dan postur pertahanan dan keamanan Indonesia. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah seringkali dipahami sebagai kebebasan daerah yang kadang berlebihan. Tak mengherankan jika terdapat Peraturan Daerah yang dianggap tidak konsisten dengan Peraturan Pusat, misal praktek peng”kavling”an wilayah perairan dalam kepentingan eksplorasi alamnya, bahkan dalam fungsi penegakan hukum seperti Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Riau yang membeli sendiri kapal patroli laut. Sulitnya kondisi alam yang terpencil tanpa akses transportasi dan komunikasi yang memadai merupakan kendala utama dalam melakukan fungsi monitoring, pengawasan dan penegakan hukum di wilayah perbatasan. Bahkan beberapa pulau terluar Indonesia, seperti Pulau Rondo atau Pulau Fanildo tidak berpenghuni. Akibatnya penempatan dan pengerahan petugas ke wilayah bersangkutan memerlukan biaya tinggi. Bahkan, pendirian Pos Lintas Batas yang cenderung mengikuti keberadaan perusahaan, seperti terjadi di Kabupaten Mindiptana berpotensi melegitimasi praktek “bisnis” yang dilakukan oleh aparat keamanan atau TNI. 13 Salah satu penyebab rendahnya tingkat profesionalitas pengawas perbatasan atau aparat keamanan di wilayah perbatasan adalah minimnya dukungan anggaran. Implikasi logis dari kondisi ini adalah kemampuan alat utama sistem pertahanan tidak sesuai dengan kebutuhan operasi di lapangan. Anggaran pertahanan Indonesia hanya sekitar 0,8 % dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB), bandingkan dengan Singapura yang mencapai 7,6 % dari PDB, Malaysia sekitar 2,2% dari PDB dan Filipina senilai 1,1% dari nilai total PDB. 14 Sebagai negara kepulauan dengan luas perairan sekitar 5,8 juta kilometer beserta 3 buah Alur Lintas Kapal Internasional (ALKI) serta jajaran 17,499 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 81,900 km, pengelolaan wilayah perbatasan tentu memerlukan dukungan aparat keamanan terutama 13 Lihat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Laporan Penelitian Bisnis Militer di Boven Digoel, Papua, Februari-Maret 2004. 14 Buku Putih Pertahanan Negara RI 2008, Departemen Pertahanan Republik Indonesia hal.9 239 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia TNI dan POLRI beserta alat operasi yang besar dalam melakukan operasionalisasi patroli dan tindakan penegakan hukum. Patroli di wilayah ALKI dan udara Indonesia, misalnya, hanya dilakukan 2 kali dalam sebulan dengan jadwal yang cenderung baku oleh TNI AU melalui Operasi Rute Nusantara. 15 Rendahnya kemampuan patroli ini menjadi salah satu penghambat sulitnya mendeteksi dan menindak jalur penyelundupan senjata di wilayah perairan Indonesia dan maraknya praktek illegal fishing. Gambar 1. Peta Gambar 1. Pola Gelar Radar 16 Pemahaman terhadap perspektif maritim yang masih kurang menjadi tantangan keempat dalam mengembangkan manajemen perbatasan. 17 Beberapa konsekuensi logis dari kondisi ini adalah pengembangan postur dan strategi pertahanan negara yang masih berbasis darat; masih bertumpunya pengamanan wilayah perbatasan pada fungsi militer bukan penegakan hukum; masih kurangya perhatian dan prioritas pemerintah dalam pengembangan wilayah perbatasan terutama pulau terluar dan pesisir pantai; dan masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang batas maritim Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, perspektif maritim baru berkembang paskca Deklarasi Djuanda tahun 1957 ketika Indonesia memperkenalkan wawasan nusantara dan mengklaim secara sepihak wilayah laut territorial sepanjang 12 mil, 15 Perwira Siswa Angkatan LXXIII (2003) Optimalisasi Kemampuan Pengamanan dan Pengintaian TNI AU di Wilayah ALKI dalam Rangka Meningkatkan Pertahanan Nasional pada Masa Lima Tahun mendatang. Naskah Angkatan: Komando Pendidikan TNI Angkatan Udara, Sekolah Komando Kesatuan 16 Ibid, hal. 20 17 Lihat Alman, Diskusi dengan perwira TNI AL pada tanggal 10 Juni 2009. 240 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 bukan sepanjang 3 mil dari tepi pantai ketika keadaan surut seperti yang tertuang dalam Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO-Ordonansi Laut dan Lingkungan Maritim). Konsep warisan Belanda tentang wilayah kedaulatan Indonesia seakan memisahkan jajaran ribuan pulau dan bukan dianggap sebagai wilayah kesatuan yang utuh. Keberhasilan Diplomasi Djuanda sejak tahun 1957 untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dan hak berdaulat di laut (terutama kewenangan untuk eksplorasi sumber daya alam) berwujud pada pengakuan dunia atas status negara kepulauan Indonesia dan dijamin dalam hukum internasional melalui UNCLOS pada tahun 1982. UNCLOS mengakui pengukuran wilayah negara kepulauan melalui penarikan garis pangkal lurus yang merupakan rangkaian dari titik dasar. Melalui UU No.17 tahun 1985, Indonesia meratifikasi UNCLOS yang memberikan landasan hukum internasional untuk mengklaim kedaulatan perairan kepulauan (dalam), laut teritorial sepanjang 12 mil laut dan laut zona tambahan sepanjang 24 mil dari garis pangkal lurus, serta hak berdaulat pada zonea ekonomi eksklusif sepanjang 200 mil laut dan landasan kontinen sedalam 200 mil laut. Gambar 2. Peta Indonesia 18 Gambar 2 di atas memberikan ilustrasi visual tentang bentang teritorial Indonesia. UNCLOS 1982 juga meletakan dasar bagi pengakuan kedaulatan udara di atas wilayah darat dan laut sebuah negara sehingga Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kesatuan wilayah dengan unsur darat, laut dan udara. Lemahnya perspektif maritim, misalnya, menyebabkan lemahnya tindakan pengawasan di wilayah perairan yang menyebabkan aksi illegal fishing menjadi sulit untuk diantisipasi. Departemen Perikanan dan Kelautan memperkirakan bahwa potensi kerugian negara akibat aksi illegal fishing mencapai Rp 40 trilyun per tahun. 19 Kurangnya perhatian dan prioritas pemerintah terhadap pulau terluar, terutama yang 18 http://www.bakosurtanal.go.id/upl_document/pucil/files/PKTNKRI_1500px.jpg, diakses Selasa, 16 Juni 2009 19 Kerugian Akibat Illegal Fishing Mencapai Puluhan Trilyun, Kontan Online, http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/13575/Kerugian_Akibat_Illegal_Fishing_Mencapai_Puluhan Triliun, diakses Selasa, 12 Juni 2009, pukul 15.28 WIB 241 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia berbatasan laut dengan negara tetangga seperti Pulau Miangas, seringkali memunculkan klaim kelunturan rasa nasionalisme yang diukur dengan penggunaan uang Peso milik Filipina dan lebih seringnya penduduk Miangas melakukan aktifitas ekonomi ke wilayah Filipina daripada ke pulau terdekat di wilayah Indonesia. Padahal persoalan utama di Pulau Miangas adalah bagaimana mengoptimalkan pengembangan daerah dan fungsi pengawasan di perbatasan, sehingga tidak tepat jika justifikasi fungsi pembinaan teriorial oleh TNI melalui program peningkatan kesadaran bela negara dikembangkan untuk menumbuhkan identitas ke-Indonesia-an di pulau tersebut. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik utama permasalahan di wilayah perbatasan Indonesia adalah potensi konflik dengan negara tetangga yang berbatasan karena perbedaan klaim teritorial dan lemahnya pemahaman dasar atas konsekuensi kondisi bentang teritorial dengan kemampuan mengantisipasi berbagai ancaman keamanan yang bersifat non-militer. Bahkan Buku Pertahanan Indonesia tahun 2008 menyimpulkan tentang rendahnya kemungkinan bentuk ancaman dalam bentuk agresi militer dari negara lain. Walaupun terdapat elemen ancaman militer, tingkatannya lebih pada bentuk manuver militer, bukan agresi okupasi, seperti manuver kapal laut Malaysia di sekitar blok Ambalat akhir bulan Mei 2009 lalu. Bentuk ancaman keamanan yang bersifat non-militer harus diantisipasi dengan peningkatan dan pelibatan otoritas sipil. Sehingga, strategi yang dikembangkan harus menitikberatkan pada fungsi penegakan hukum dan bukan pengembangan doktrin militer tentang bagaimana melumpuhkan “ancaman sebagai musuh”. Kekhawatiran penggunaan wilayah perbatasan sebagai tempat berlindung kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka di perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea, misalnya, harus disikapi dengan kerangka penyelesaian konflik melalui dialog dan memaksimalkan pengembangan wilayah perbatasan. Angela Mackay mendefinisikan pengawas perbatasan sebagai institusi di bawah otoritas sipil dengan fungsi untuk melakukan tindakan preventif bagi kegiatan lintas batas yang bersifat ilegal, dan melakukan deteksi terhadap keamanan nasional melalui pengintaian perbatasan darat dan laut. 20 Kondisi ini jelas menunjukkan relevansi kuat antara pengembangan strategi manajemen perbatasan dengan proses reformasi sektor keamanan. Bagaimana mengembangkan fungsi aparat keamanan yang sesuai dengan kemampuan antisipasif dalam mengatasi ancaman keamanan di wilayah perbatasan. 3. Alternatif Strategi Manajemen Perbatasan Indonesia Efektifitas dan efisiensi manajemen perbatasan akan terpenuhi jika pertanyaan dasar tentang batasan territorial Indonesia telah jelas dan dijamin hukum. Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Pangkal Kepulauan harus dijadikan landasan hukum dasar dalam pembuatan peta nasional Indonesia yang memenuhi standar Internasional, baik peta darat dan laut. Penggunaan rujukan peta yang sama dan tepat dalam kesepakatan delimitasi dan demarkasi menjadi vital dalam tindakan penegakan hukum. 21 Tidak adanya 20 Mackay, Angela, Loc. Cit. 21 Merrils, J.G (2003) Soverighty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan (Indonesia V Malaysia), Merits, Judgement 0f 17 Desember 2002, The International and Comparative Law Quarterly 52 (3): 797-802 242 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 bukti peta dalam Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris, misalnya, menjadi dasar yang turut menggugurkan argumen Indonesia untuk memperoleh kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. 22 Bahkan peta rujukan harus dipastikan applicable dengan peranti elektronik yang digunakan oleh instansi yang berwenang dalam penentuan posisi kordinasi. 23 Selain itu, pembuatan teknis sebuah peta juga harus memperhatikan konstruksi sosial, ekonomi dan politik komunitas di wilayah perbatasan. Oleh karena itu, manajemen perbatasan harus melingkupi proses pembaruan peta secara berkala dan sebaiknya disepakati dalam proses delimitasi dan demarkasi. Keterlibatan para ahli teknis geo-spasial, sejarahwan, antropolog dan sosiolog dalam proses delimitasi dan demarkasi menjadi penting dan urgent. Di satu sisi, delimitasi dan demarkasi di wilayah perbatasan memang vital untuk menentukan domain kewenangan sebuah otoritas negara terutama hak eksplorasi sumber daya alam. Konflik perbatasan lebih banyak dipicu oleh motif ekonomi atas penguasaan sumber daya alam, seperti konflik di blok Ambalat, celah Timor, atau illegal fishing di sekitar perairan Pulau Miangas. Namun di sisi lain, spektrum ancaman keamanan semakin mengabaikan identitas teritorial dan cenderung bersifat borderless karena aktor pelaku bukan lagi negara. Modus penyelundupan senjata, narkotika atau manusia, misalnya, bertumpu pada pembentukan sindikat dan memanfaatkan kelemahan penegakan hukum akibat praktek korupsi, kondisi alam, dan lemahnya infrastruktur. Ancaman perompakan di Selat Malaka juga tidak melibatkan indentitas negara, tapi lebih pada motif kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga, kemungkinan kerjasama keamanan dengan negara yang berbatasan harus terus didorong dalam mengatasi bentuk ancaman kejahatan lintas batas. Penyusunan panduan kebijakan manajemen perbatasan nasional atau semacam cetak biru mendesak untuk dilakukan sebagai landasan mengatasi overlapping kewenangan, terutama dalam tataran operasionalisasi. Secara bertahap, terencana, terukur dan akuntabel, panduan ini harus mampu mentransformasi sistem manajemen perbatasan yang masih bersifat sektoral dan ad hoc menjadi sebuah sistem manajemen yang permanen. Format sistem manajemen perbatasan sebaiknya dibangun berdasarkan pendekatan fungsional agar mampu bersifat fleksibel dan akomodatif terhadap keberadaan instnasi yang telah ada. Konsep manajemen perbatasan satu atap atau one roof management 24 merupakan orientasi yang sangat strategis untuk mengatasi permasalahan overlapping kewenangan. Kelembagaan manajemen perbatasan permanen harus mampu mengakomodasi dinamika kondisi internal dan eksternal yang dihadapi oleh Indonesia. Oleh karena itu, penyusunan 22 23 ibid I Made Andi Arsana (2007) Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press dan I Made Arsana dan Sumaryo Suryosumarto. Aspek Geo-spasial Batas Maritim Internasional Indonesia dalam Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Proceseding Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan dalam Rangka Menjaga Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internacional, UPN “Veteran 24 Lihat Bonggas Adhi Chandra 2008) “Mencari Format Manajemen Perbatasan yang Komprehensif” Proceseding Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan dalam Rangka Menjaga Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internacional, UPN “Veteran” 18-19 November 2008. 243 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia panduan ini harus berlandaskan hasil penelitian lapangan yang komprehensif dan mampu mengakomodasi karakteristik khusus dari setiap permasalahan di wilayah perbatasan. Sebuah kebijakan yang didasarkan atas data empirik dan analisa peta permasalahan yang tepat tentu akan lebih aplikatif dan diterima dengan baik oleh semua kalangan. Langkah kongkret yang dapat segera dilakukan dalam memulai transformasi manajemen perbatasan adalah realisasi mandat Pasal 14 tentang pembentukan badan pengelola perbatasan terlepas dari kekurangan yang ada. Konsep Badan Pengelola Perbatasan (BPP) ini sebenarnya telah mengakomodasi perspektif keterlibatan pemerintah daerah dan semangat desentralisasi 25 dengan fungsi koordinatif. Namun, kewenangan badan ini terbatas pada fungsi koordinatif program pembangunan dan tidak mencakup fungsi koordinatif pada tindakan penegakan hukum. Sehingga, badan ini cenderung bersifat ad hoc dan seakan melupakan fungsi vital wilayah perbatasan dalam mengantisipasi ancaman keamanan. Pembangunan di wilayah perbatasan seharusnya memiliki konsistensi dengan pembangunan nasional serta struktur dan postur aparat keamanan terutama TNI dan Polri. Secara sederhana, gambaran format manajemen perbatasan satu atap dapat dibangun dengan bentuk struktur kelembagaan di bawah ini: Koordinasi Diplomasi Perbatasan (Deplu) Komite Perbatasan Bilateral Pengawas Perbatasan: Darat, Laut, Udara TNI Polri Intelijen Bea cukai Imigrasi Badan Pengelola Perbatasan Pusat Sekretariat (Depdagri) Badan Pengelola Perbatasan Pusat Instansi fungsional terkait Sektor Privat (Bisnis & Industri) Lembaga Non Pemerintah Bagan 2: Alternatif Struktur Manajemen Perbatasan 25 Aryanta Nugraha. “Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan Indonesia” dan Suyatno, “Globalisasi, Perbatasan Indonesia – Malaysia, dan Local Governance”, Proceseding Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan dalam Rangka Menjaga Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internacional, UPN “Veteran” 18-19 November 2008 244 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Format ini dibangun dengan pendekatan diplomasi perbatasan dengan tiga tingkatan, yaitu 1). koordinasi diplomasi perbatasan dengan leading sektor Departemen Luar Negeri melalui pertemuan tingkat tinggi antar pemerintah negara, 2) koordinasi kebijakan teknis tingkat melalui pertemuan tingkat menteri atau pejabat senior, dan 3) koordinasi tingkat teknis operasional melalui pertemuan tingkat pejabat lokal, instansi terkait atau kerjasama keamanan bersama di wilayah perbatasan. Pada tingkat pertama, secara khusus difokuskan pada negara tetangga yang memiliki perbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu Australia, India, Singapura, Kepulauan Palau, Malaysia, Vietnam, Filipina, Timor Leste, Thailand dan Papua New Guinea melalui semangat diplomasi bon voisinage. Beberapa di antaranya telah terlembagakan dalam bentuk komite perbatasan bilateral seperti dengan Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini dan Singapura. Bentuk diplomasi ini sebenarnya bagian dari upaya preventive diplomacy dalam mengantisipasi eskalasi konflik perbatasan. Kunci utamanya terletak pada peningkatan confidence building dalam mematangkan hubungan kedua negara. Pada tingkat kedua, komite perbatasan bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kebijakan teknis, terutama proses delimitasi dan demarkasi kepada negara yang berbatasan, termasuk kemungkinan melakukan kerjasama di wilayah perbatasan. Khusus untuk tingkatan pertama dan kedua, hubungan sejarah bilateral antara kedua negara yang berbatasan seringkali mempengaruhi bentuk kebijakan yang diambil. Manajemen perbatasan antara Amerika Serikat dengan Kanada dan Meksiko dalam kerangka North American Free Trade (NAFTA), misalnya, memperlihatkan praktek ini. Bagaimana image dan nasionalisme mempengaruhi para pengambil kebijakan Amerika Serikat dalam melakukan diplomasi perbatasan 26 dengan kedua negara. Eskalasi konflik antara Indonesia Malaysia juga dipengaruhi oleh sejarah hubungan kedua negara. Sedangkan, tingkat ketiga bersifat lebih koodinasi operasionalisasi kebijakan baik antar instansi tingkat domestik maupun dengan co-partner di sebuah negara. Mempertimbangkan empat tantangan kondisi riil yang perlukan dikembangkan adalah kebijakan afirmatif untuk mempercepat pembangunan dan penguatan fungsi penegakan hukum di wilayah perbatasan. Salah satu kebijakan afirmatif yang dalam pengembangan pembangunan wilayah perbatasan adalah mengakomodasi peran sektor bisnis dan industri (private sector) serta lembaga non-pemerintah dalam pengembangan wilayah perbatasan. Peran sektor privat terutama difokuskan untuk pembangunan infrastruktur yang akan menstimulasi aktifitas ekonomi di wilayah perbatasan. Pemberian izin usaha harus mempertimbangkan konstruksi sistem sosial, ekonomi dan politik komunitas perbatasan. Pemberian Hak Pengelolaan Hutan di Kalimantan, misalnya, dinilai mengabaikan kontruksi sistem sosial, ekonomi, dan politik komunitas di perbatasan karena tidak mampu meningkatan kesejahteraan komunitas setempat dan sebaliknya menimbulkan kompetensi yang mendorong meluasnya praktek illegal logging. Peran lembaga non-pemerintah dapat menjadi bagian sistem transparansi dan akuntalitas dalam implementasi program 26 Cottam, Martha L & Otwin Marenin (2005) The Management Border Security in NAFTA: Imagery, Nationalism & the War on Drugs, International Criminal Justice Review 15(1): 5-37 245 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia pembangunan di wilayah perbatasan. Salah satu kegagalan dari program pembangunan di Papua, khususnya, di wilayah perbatasan karena lemahnya proses pengawasan atas implementasi program pembangunan. Penguatan fungsi penegakan hukum dilakukan dengan penguatan otoritas sipil dan profesionalitas aparat keamanan, yaitu TNI-Polri-Intelijen. Hal ini terkait dengan upaya penguatan otoritas sipil dalam mengantisipasi karakteristik ancaman keamanan. Lemahnya fungsi penegakan hukum di perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan atau Indonesia-Papua Nugini di Papua, misalnya, tidak hanya disebabkan oleh minimnya penempatan petugas pengawas perbatasan, namun lebih pada legitimasi pengerahan aparat keamanan sebagai operasi ”pemberantasan” aksi separatisme 27 sehingga muncul ekses tindakan kekerasan terhadap masyarakat setempat. Pemerintah harus memulai perubahan pendekatan militer dalam mengantisipasi ancaman keamanan di perbatasan dengan memperkuat kapasitas otoritas sipil. Rencana Malaysia untuk membangun kabel listrik bawah laut dari Serawak ke Pulau Malaysia sepanjang 725 km yang akan melewati perairan Indonesia Kepulauan Natuna dan Anabas atau Natuna 28 jelas bukan merupakan ancaman militer namun melewati wilayah sekitar perbatasan Indonesia. Peningkatan profesionalitas TNI - Polri - intelijen harus dilakukan paralel dengan peningkatan koordinasi dengan instasi terkait dalam pengamanan perbatasan, seperti bea cukai, imigrasi, Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai bagian upaya penguatan otoritas sipil. Secara khusus, peningkatan profesionalitas TNI - Polri – Badan intelijen harus difokuskan pada kejelasan mandat kewenangan, kompetensi serta dukungan peralatan dalam menjamin keamanan perbatasan. Manuver kapal laut Malaysia di blok Ambalat merupakan wujud unjuk kekuatan atas kelemahan kekuatan TNI terutama terkait dengan dukungan kapabilitas persenjataan. Perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi kondisi alutsista pertahanan harus dinilai sebagai good will pemerintah dalam upaya peningkatan kapasitas TNI. Salah satu kebijakan afirmatif yang harus dilakukan pembentukan badan pengawas perbatasan. Badan pengawas perbatasan seharusnya tidak memisahkan wilayah perbatasan secara sektoral berbasis domain darat, laut dan udara, namun harus sebagai integrated forces yang pengerahannya disesuaikan dengan tingkat prioritas ancaman. Keberadaan Bakorkamla merupakan wujud nyata dari perspektif dan kepentingan sektoral. Tidak mengherankan jika Bakorkamla cenderung berkembang menjadi aktor operasional daripada fungsi koordinatif bukan aktor operasional. Kewenangan DKP sebagai salah satu aktor pengawas perairan termasuk di wilayah perbatasan harus ditinjau ulang karena bertendensi untuk mengaburkan fungsi Departemen sebagai lembaga koordinasi kebijakan perikanan dan kelautan menjadi lembaga penegak hukum. 27 Kontras, Loc.Cit Malaysia Bangun Kabel Laut Melintasi Indonesia, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/08/18/brk,20080818-131246,id.html, diakses 15 Juni 2009 pukul 21.47 W 28 246 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Kesimpulan Permasalahan perbatasan antar negara di Indonesia bersumber pada dua hal pokok, yaitu kedaulatan dan manajemen dan berpengaruh pada kemampuan negara dalam mengantisapsi ancaman keamanan yang lebih bersifat non-militer seperti kejahatan lintas batas, pelanggaran atas kedaulatan dan hak berdaulat serta pergerakan manusia lintas batas secara tradisional atau illegal. Oleh karena itu, solusi penanganan terhadap bentuk ancaman tersebut harus difokuskan pada upaya penyusunan kebijakan nasional tentang manajemen perbatasan serta penguatan badan pengawas dan pengelola perbatasan. Kebijakan nasional tentang manajemen perbatasan menjadi vital untuk mengatasi overlapping kewenangan, selain sebagai salah indikator keberhasilan dari reformasi sektor keamanan. Keberadaan badan pengawas dan pengelola perbatasan merupakan salah upaya implementasi kebijakan satu atap dalam membangun sistem manajemen perbatasan. Alternatif solusi ini didasarkan pada pertimbangan sejumlah tantangan dari dinamika kondisi domestik Indonesia, yaitu proses konsolidasi demokrasi, kondisi wilayah perbatasan, dukung anggaran dan pemahaman terhadap perspektif maritim. Penekanan pada dua solusi ini dilandaskan pada pendekatan antisipatif dan preventif terhadap potensi konflik di wilayah perbatasan. Pendekatan diplomasi bon voisinage sebagai bagian dari diplomasi perbatasan sebenarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi kondusif bagi peningkatan kualitas sistem manajemen perbatasan, khususnya lingkup domestik. Pecahnya konflik perbatasan dengan negara tetangga tentu hanya akan menghambat dan mengurangi kemampuan sumber daya negara dalam melakukan reformasi sistem manajemen perbatasan. Perlu ditekankan bahwa penyusunan kebijakan nasional tentang manajemen perbatasan tersebut harus didahului oleh sebuah penelitian mendalam atas pemetaan permasalahan di wilayah perbatasan. Kebijakan merupakan instrumen yang akan melegitimasi pilihan langkah pemerintah dalam mengatasi masalah yang muncul. Sehingga, kebijakan harus benar-benar berasal dari data empirik dan hasil evaluasi atas permasalahan yang terjadi. Selain ini, proses penyusunan kebijakan yang melibatkan dan mengakomadasi kepentingan sepihak pihak yang terkait, stakeholder, cenderung akan lebih mudah diimplementasikan karena mendapat dukungan. ¦ Referensi Buku: Arsana, I Made Andi. (2007). Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Buku Putih Pertahanan Negara RI 2008, Departemen Pertahanan Republik Indonesia Perwita, Anak Agung Banyu. (2007). ”Manajemen Perbatasan Negara: Keamanan Nasional”, dalam Beni Sukadis (ed.), Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007. Jakarta: DCAFLESPERSSI Hadiwijoyo, Suryo Sakti. (2009). Batas Wilayah Negara Indonesia: Dimensi, Permasalahan dan Strategi Penanganan (Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis). Yogyakarta: Penerbit Gava Media. 247 Diplomasi Bertetangga Baik dan Penegakan Hukum Dalam Manajemen Perbatasan Indonesia Mackay, Angela. (2008). “Border Management & Gender”, dalam Megan Bastick & Kristin Valasek, Gender and Security Sector Reform Toolkit. Geneva: DCAF,OSCE/ODIHR, UN-INSTRAW. Rudito. (2007). “Isu-Isu Seputar Keamanan Perbatasan”, dalam Aditya Batara & Beni Sukadis (eds), Reformasi Manajemen Perbatasan: Dalam Transisi Demokrasi. Jakarta: DCAF-LESPERSSI. Laporan/Policy Paper/Jurnal: Arsana, I Made dan Sumaryo Suryosumarto. (2008). “Aspek Geo-spasial Batas Maritim Internasional Indonesia dalam Pengelolaan Wilayah Perbatasan”, dalam Proceeding Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan dalam Rangka Menjaga Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internacional, UPN “Veteran” 18-19 November 2008. Cottam, Martha L & Otwin Marenin. (2005). “The Management Border Security in NAFTA: Imagery, Nationalism & the War on Drugs”, International Criminal Justice Review 15(1). Henrikson, Alan K. (2000). “Facing Across Border: The Diplomacy of Bon Voisinage”, International Political Science Review 21 (2). Institute for Defense, Security, and Peace Studies. (2009). Pengelolaan & Pengamanan Wilayah Perbatasan Negara, Policy Paper. Jaelani, Lalu Muhammad. (2004). Pengaruh Pulau-Pulau Terluar Terhadap Batas Laut Indonesia, makalah dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan I, Teknik Geodesi. Surabaya: Institut Teknologi Surabaya. Merrils, J.G (2003). “Soverighty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan” (Indonesia V Malaysia), Merits, Judgement 0f 17 Desember 2002, The International and Comparative Law Quarterly 52 (3) Nugraha, Aryanta. (2008). ”Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan Indonesia”, dalam Proceeding Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan dalam Rangka Menjaga Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internacional, UPN “Veteran” 18-19 November 2008. Perwira Siswa Angkatan LXXIII. (2003). Optimalisasi Kemampuan Pengamanan dan Pengintaian TNI AU di Wilayah ALKI dalam Rangka Meningkatkan Pertahanan Nasional pada Masa Lima Tahun mendatang. Naskah Angkatan: Komando Pendidikan TNI Angkatan Udara, Sekolah Komando Kesatuan. Setiawan, Aria Aditya. (2008). ”Mengelola Perbatasan Indonesia Indonesia-Papua New Guinea dengan Pendekatan Non-Tradisional”, dalam Proceeding Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan dalam Rangka Menjaga Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, UPN “Veteran” 18-19 November 2008. Singh, Sidhu Waheguru Pal & Jing Don Yuan. (2001). “Resolving the Sino-Indian Border Dispute: Building Confidence through Cooperative Monitoring”, Asia Survey 41 (2). Sutisna, Sobar, Sora Lokita dan Sumaryo Suryosumarto. (2008). “Boundary Making Theory and Pengelolaan Perbatasan di Indonesia”, dalam Proceeding Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan dalam Rangka Menjaga Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internacional, UPN “Veteran” 18-19 November 2008 248 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Suyatno. (2008). “Globalisasi, Perbatasan Indonesia – Malaysia, dan Local Governance”, dalam Proceeeding Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan dalam Rangka Menjaga Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, UPN “Veteran” 18-19 November 2008 Zacher, Mark W. (2001). “The Teritorial Integrity Norm: International boundaries and the Use of Force”, International Organization 55 (2). Situs Internet: http://www.bakosurtanal.go.id/upl_document/pucil/files/PKTNKRI_1500px.jpg, diakses Selasa, 16 Juni 2009 Kerugian Akibat Illegal Fishing Mencapai Puluhan Trilyun, Kontan Online, http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/13575/Kerugian_Akibat_Illegal_Fishing_ Mencapai_Puluhan_Triliun, diakses Selasa, 12 Juni 2009, pukul 15.28 WIB 249 Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan Mufti Makaarim A 1 Abstraksi Reformasi Sektor Keamanan (RSK) di Indonesia merupakan satu contoh menarik, dimana proses penting perubahan bermula dan terjadi hampir sepenuhnya oleh dan dengan intervensi para pihak yang merupakan stake-holder dalam negeri, yaitu pemerintah, parlemen, sektor keamanan dan organisasi masyarakat sipil (OMS). 2 Para stake-holder sektor keamanan tersebut awalnya memberikan respon atas tuntutan pencabutan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) 3 –sebagai gabungan militer-polisi—pada 1997-1998, sebagai institusi yang dianggap bertanggungjawab terhadap 32 tahun otoritarianisme Orde Baru. Dalam perkembangannya, mereka bergerak lebih jauh pada advokasi perubahan kebijakan dan tata kelola (governance) serta struktur dan kultur institusi keamanan (militer-polisi-intelijen) dari sistem lama yang otoritarian menuju sistem baru yang demokratis. Lahirnya sejumlah kebijakan di sektor keamanan yang lebih demokratis, perubahan relasi pemerintahan sipil-aktor keamanan, tumbuhnya concern pemerintah mendorong ketundukan aktor keamanan pada nilai-nilai universal negara demokrasi dan hukum-hukum internasional, serta berkembangnya mekanisme check and balance antara parlemenpemerintah-aktor keamanan, diakui tidak lepas dari peran-peran OMS. Mereka berperan dalam mendorong, mempengaruhi, menekan dan memastikan terjadinya demokratisasi di level legislasi dan kebijakan maupun di level operasional terkait perubahan struktur, postur, prilaku dan budaya aktor-aktor keamanan. Dalam perkembangan terakhir, sejumlah tantangan dan hambatan terhadap upaya-upaya advokasi OMS muncul, seiring dengan berlalunya momentum reformasi dan menguatnya kembali resistensi negara –termasuk aktor keamanan— atas tuntutan kontinuitas dan konsistensi reformasi dan demokratisasi. Dengan kendala-kendala tersebut, praktis capaian RSK tidak maksimal, ditambah dengan sejumlah tantangan internal komunitas OMS. 1 Mufti Makaarim, adalah Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS), Jakarta, Indonesia, terlibat dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang merupakan koaliasi nasional untuk advokasi RSK yang melibatkan sejumlah lembaga seperti Elsam, HRWG, IDSPS, INFID, Kontras, Lesperssi, Perkumpulan Praksis, Propatria Institute, dll. 2 Pandangan ini berdasarkan pengamatan terhadap dinamika politik dalam proses-proses formulasi legislasi dan kebijakan di sektor keamanan yang terpublikasi media. 3 Dwifungsi ABRI diyakini sebagai doktrin militer Indonesia yang memberi legitimasi atas peran mereka di bidang keamanan dan ketertiban serta kekuasaan dan hak terlibat dalam pengaturan negara. Secara implisit, doktrin ini memberi peluang militer memegang posisi di dalam pemerintahan. Di tangan Soeharto, doktrin ini mengesahkan pelibatan militer di bidang-bidang strategis pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI-POLRI. Lihat Daniel Dhakidae, Politik Militer Indonesia dan Kolonialisme Internal, dalam Anas S. Machfudz & Jaleswari Pramodhawardani, Military Without Militerism; Suara dari Daerah (Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, 2001) h. 139-142 250 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Tulisan ini berupaya mengurai secara singkat dinamika advokasi OMS setidaknya dalam 5 tahun terakhir, satu masa di bawah pemerintahan duet Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla (SBY-JK). Dinamika tersebut meliputi aktivitas, kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang OMS untuk advokasi RSK. Termasuk menggambarkan reaksi, apresiasi, tindak lanjut ataupun resistensi parlemen-pemerintah-aktor keamanan terhadap advokasi OMS. Secara umum dalam tulisan ini akan diuraikan refleksi terhadap dinamika advokasi OMS, merujuk pada hasil penelitian Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) tentang efektivitas peranan OMS dalam advokasi RSK yang telah dipublikasikan pada Maret 2008. Pengantar RSK merupakan suatu upaya berkelanjutan dari para stake-holder sektor keamanan (parlemen, pemerintah dan aktor keamanan) bersama OMS mendorong perubahan kebijakan dan tata kelola (governance) serta institusi keamanan dari satu sistem lama yang otoritarian menuju sistem baru yang lebih demokratis. Konsep ini menunjukkan bahwa agenda RSK tidak dapat dipisahkan dari proses politik dan dukungan pelbagai kalangan, termasuk dari internal aktor keamanan dan masyarakat. Selain faktor dukungan momentum 1997-1998 –dimana pemerintah atau aktor keamanan dihadapkan pada situasi tidak ada pilihan selain mendorong reformasi, upaya yang telah dirintis lama dari kalangan masyarakat sipil terbukti juga berpengaruh terhadap perubahan di sektor keamanan –termasuk menjadi input yang berguna bagi percepatan proses dan keunggulan kualitas perubahan yang dihasilkan. Patut diakui, jauh sebelum tumbangnya rezim Soeharto, inisiatif kalangan OMS mendorong demokratisasi dan perubahan politik sudah berjalan, meskipun tidak sekuat gerakan 19971998. Pemerintah Orde Baru yang ditopang oleh kekuatan militer dengan kebijakan membangun dan mempertahankan stabilitas politik dan ekonominya dengan segala cara, tidak pernah lepas dari kritik dan tekanan dari kalangan NGO, terutama yang berbasis pada advokasi isu-isu hak asasi manusia (HAM) dan pembangunan. Mereka bersama-sama dengan kalangan akademisi kritis dan komunitas jurnalis menjadi inisitator gerakan mahasiswa di kampus, aksi kelompok-kelompok sektoral (buruh, petani, nelayan), perlawanan komunitas korban (terutama mereka yang menjadi korban kebijakan pembangunan seperti korban penggusuran) dan sejumlah organisasi mantan tahanan politik Orde Baru. Menjelang akhir masa pemerintahan Orde Baru, investasi segelintir NGO ini membuahkan hasil; yaitu adanya pergerakan yang hampir serentak seluruh elemen masyarakat sipil untuk mendelegitimasi pemerintahan Soeharto. 4 Transisi demokrasi di Indonesia paska 1998 mendorong terjadinya pelibatan OMS lebih jauh dalam peran-peran strategis RSK dan advokasinya, walaupun tidak serta merta disertai dengan pelibatan dan keterbukaan akses terhadap mereka dalam RSK. Jauh sebelumnya, wacana RSK tidak populer di kalangan OMS, mengingat isu sentral pada masa tersebut 4 Mufti Makaarim A., Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Reformasi Sektor Keamanan, dalam Beni Sukadis (Ed.), Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007 (Jakarta: Lesperssi-DCAF), h. 146-147 251 Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan adalah kritik terhadap otoritarianisme rezim militer Orde Baru dan ekses negatif atas dominasi mereka di setiap bidang pemerintahan, politik, ekonomi, bahkan sosial budaya. Tema-tema kritis yang terkait sektor keamanan pada kurun waktu tersebut antara lain: 1. Resistensi terhadap kebijakan politik Orde Baru yang didominasi keputusankeputusan Soeharto dan kalangan militer. Dwifungsi ABRI dan manifestasinya melalui Struktur Komando Teriorial mulai dari tingkat pusat hingga desa dituding sebagai celah legitimisasi dan pintu masuk bagi aktivitas-aktivitas politik petinggi militer di level yudikatif, legislatif dan eksekutif. 5 Diskursus perihal hubungan sipil-militer, Dwifungsi ABRI, peran militer dalam negara demokrasi, serta kepemimpinan militer-sipil mengemuka, karena jelas-jelas terjadi tarik menarik pengaruh dan dominasi antara elit sipil-militer. 6 2. Kritisi terhadap peran-peran represi ABRI (dimana kepolisian termasuk didalamnya) yang dituding berlebihan dan melanggar hak asasi, baik dalam menghadapi masalah-masalah “sparatisme” di wilayah-wilayah panas seperti Aceh, Papua dan Timor Timur, maupun dalam menghadapi perlawanan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan pemerintah. Nilai-nilai universal HAM dimunculkan sebagai parameter penilaian dan kritik terhadap pelbagai tindak kekerasan ABRI yang menyebabkan jatuhnya korban di masyarakat. Beberapa organisasi HAM menerbitkan laporan-laporan kasus, melakukan advokasi hukum dan bahkan menembus mekanisme-mekanisme HAM internasional, seperti treaty-bodies di Komisi HAM PBB –sekarang berubah menjadi Dewan HAM PBB. 3. Resistensi terhadap figur Soeharto yang semakin lama berkuasa cenderung tiranik dan korup. Efektivitas pengelolaan kekuatan-kekuatan sosial, politik dan ekonomi di bawah kaki tangan militernya bukan saja memunculkan perlawanan-perlawanan politik, namun juga membuka mata publik yang melihat praktek-praktek kroniisme, nepotisme dan korupsi yang kian telanjang dan berujung pada krisis ekonomi. Wacana turunkan Soeharto, Cabut Dwifungsi ABRI, berantas KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) yang pada akhirnya menjadi kunci pamungkas untuk memaksa Soeharto turun dari panggung kekuasaan, tidak semata-mata didasari pada watak militeristik rezim, tetapi juga dipengaruhi kekecewaan publik atas memburuknya situasi ekonomi pada 1997-1998. 7 A. 1998-2004 : Periode Keemasan Advokasi RSK Dalam catatan IDSPS, pada periode 1998-2004 terjadi satu kontinuitas advokasi OMS untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi proses-proses RSK, walaupun pada tingkat tertentu gradasi penurunan terjadi, seiring dengan dilengserkannya Presiden 5 Untuk pembahasan lebih dalam tentang Dwifungsi ABRI lihat Sukardi Rinakit, The Indonesian Military After the New Order (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2005), h. 13-60 6 Untuk mendapat gambaran dinamika politik dan relasi pemerintahan sipil-militer paska kemerdekaan dan di masa Orde Baru lihat Salim Said, Soeharto's Armed Forces; Problems of Civil Military Relation in Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006). 7 Mufti Makaarim A., Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan, dalam Beni Sukadis & Eric Hendra (ed.), Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan (Jakarta: Lesperssi, IDSPS, HRWG, DCAF, 2008) h. 156-157 252 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Abdurrahaman Wahid pada 2001. 8 Setidaknya ada tiga agenda besar komunitas masyarakat sipil yang menonjol dalam 3 tahun pertama 'pemerintahan transisi' paska Mei 1998 (1998-2001), 9 yaitu: 1. Agenda-agenda transitional justice; terutama bagaimana menghentikan praktekpraktek kekerasan dan brutalitas ABRI di masa Orde Baru, membangun mekanisme penegakan hukum yang adil dan akuntabel terhadap mereka, terutama dalam hal pelanggaran berat HAM 10 serta pengembangan formula rekonsiliasi nasional yang sejalan dengan agenda transisi dan reformasi; 2. Agenda-agenda political transition: Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keluarnya beberapa TAP MPR –seperti yang terkait Pembentukan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme), HAM, Pemisahan TNI dan POLRI, dan penyelesaian masalah Aceh dan Papua Secara bermartabat— serta perubahan dan penyusunan UU dan kebijakan-kebijakan baru seperti UU Pertahanan, UU Polri dan UU TNI. 11 3. Agenda-agenda Penguatan Pemerintahan Transisi: Pembubaran beberapa instansi/institusi yang dibentuk oleh Orde Baru, pembentukan dan penguatan badanbadan ekstra-judisial, penataan hubungan pemerintah pusat-daerah, penyelenggaraan pemilu demokratis, pengembangan kebebasan berekspresi dan akses publik terhadap pemerintahan, serta dorongan formulasi reformasi di internal institusi-institusi keamanan terkait dengan doktrin, sistem, struktur, dan kultur, termasuk penataan ulang regulasi-regulasi yang ada. 12 Satu hal menarik pada masa ini adalah peranan Presiden Abdurrahman Wahid mendobrak mitos keistimewaan (politik dan ekonomi) dan kekebalan militer dari jerat hukum dengan 8 Nancy Slamet, Civil Society and Security Sector Reform in Indonesia: 1998-2006 (Jakarta & Montreal; IDSPS (Indonesia) & Rights & Democracy (Canada), 2008), h. 11-12 9 Mufti Makaarim A., The Role of Indonesian Civil Society Organization in Security Sector Reform After 1998, makalah Konferensi “Indonesian Security Sector Reform Post Soeharto's Regime: Achievement and Prospects”, yang diselenggarakan Indonesian Solidarity, Sydney Mechanics School of Arts (SMSA), 12-13 Juni 2009, di Sydney, Australia, h. 3-4 10 Beberapa kasus yang menjadi isu advokasi antara lain adalah kekerasan dan pelanggaran HAM di wilayah konflik struktural (Aceh, Timor Timur pra-jajak pendapat, Papua), wilayah konflik horizontal (Sambas, Sampit, Maluku, Maluku Utara, Poso), pembungkaman kelompok (kasus 65, kasus Tanjung Priok, Kasus Talangsari), penindasan komunitas (kasus Marsinah, kasus perampasan-perampasan tanah) serta pelemahan gerakan oposisi (Peristiwa 27 Juli, Penculikan Aktivis, Tragedi Mei, Tragedi Semanggi, Kasus Trisakti, dll). Salah satu investigasi mendalam dan menjadi preseden bagi upaya pengungkapan kejahatan masa lalu militer adalah dalam kasus kejahatan HAM di Timor Timur. Pemerintah Indonesia membentuk Komisi Penyidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Timor Timur untuk mengungkap fakta-fakta kekekerasan menjelang, saat dan setelah jajak pendapat di Timor Timur yang memenangkan opsi kemerdekaan. Rekaman dokumen ini dapat dilihat dalam Richard Tanter, Desmond Ball & Gerry Van Klinken (ed.), Master of Terror; Indonesia's Military and Violence in East Timor (USA: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2006). Lihat juga Nugroho Kacasungkana & Titi Irawati, Kebenaran Bukan Pembenaran; Kumpulan Laporan Penyelidikan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia di Timor Leste 1999 (Timorleste: Perkumpulan HAK, 2005) 11 Lebih jelasnya lihat Kusnanto Anggoro & Anak Agung Banyu Perwita (ed.), Rekam Jejak Proses 'SSR' Indonesia 2000-2005 (Jakarta: Propatria Institute, 2006) 12 Untuk lebih jelas lihat T Hari Prihatono, Jessica Evangeline & Iis Gindarsah, Keamanan Nasional: Kebutuhan Membangun Perspektif Integratif Versus Pembiaran Politik dan Kebijakan (Jakarta: Propatria Institute, 2007) 253 Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan memberikan tekanan bertubi-tubi pada militer. Beberapa keberanian Presiden Wahid –yang kemudian ditebus dengan pencopotan paksa dirinya dari kursi kepresidenan—adalah dorongan pengadilan HAM atas pelanggaran berat HAM di Timor Timur paska Jajak Pendapat, pengusutan sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM di masa Soeharto dan upaya pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto. Kontras dengan masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie yang dianggap mewarisi sejumlah pendekatan Soeharto terhadap militer dengan mempertahankan sejumlah figur kunci militer, Wahid cenderung memilih menyingkirkan mereka dan menempatkan sejumlah perwira yang dianggap lebih minim resiko destruksinya bagi transisi. Di satu sisi pendekatan ini mampu memunculkan wajahwajah baru di struktur tertinggi elit militer, namun berdampak pada ketidakmampuan Wahid melakukan kontrol terhadap struktur menengah ke bawah, baik di lingkungan militer, kepolisian intelijen bahkan departemen sipil lainnya. 13 Prestasi mencolok dari upaya-upaya RSK pada masa ini antara lain adalah munculnya perubahan di tingkat legislasi nasional, perubahan kebijakan internal sektor keamanan (minus Badan Intelijen Negara, BIN), penegakan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM oleh aktor keamanan, serta akses partisipasi – meskipun cenderung terbatas—OMS dalam proses formulasi kebijakan-kebijakan tersebut. 14 Memang, seiring perjalanan waktu dan adanya beberapa hambatan politik paska 2001 –terutama dalam hal tendensi dan dukungan politik terhadap kontinuitas reformasi dan percepatan demokratisasi, efektivitas capaian advokasi masyarakat sipil terlihat menurun. Faktor utama yang mendasarinya jelas adalah resistensi banyak pihak seiring hilangnya momentum dan melemahnya dukungan yang bersifat massif. Ini ditandai dengan menurunnya kualitas legislasi dan kebijakankebijakan pemerintah dari yang cukup idealis menjadi lebih pragmatis, mandegnya reformasi di tingkatan instansi pemerintah dan institusi negara, serta lemahnya keadilan dan 13 Penelitian IDSPS menunjukkan bahwa tetap eksisnya paradigma lama di mayoritas kalangan militer saat ini dikarenakan kelompok reformis di dalam militer sendiri sangat kecil jumlahnya mempunyai posisi yang marjinal. Kelompok-kelompok reformis yang marjinal ini, paska jatuhnya Presiden Gus Dur terlempar dari posisiposisi strategis militer. Sebagai akibatnya, gagasan-gagasan reformasi di dalam militer tergantikan dengan gagasan konservatif sebagaimana di masa lalu. Penyebab lainnya adalah keengganan militer melepas hak-hak istimewa yang sudah dinikmati selama beberapa dekade, termasuk keengganan menerima supremasi politik pemerintahan sipil seperti ketika mereka masuk dalam kontroversi politik pada masa pemerintahan Presiden Wahid, merespons secara negatif hasil investigasi pelanggaran berat HAM di Timor Timur yang mengungkap keterlibatan sejumlah petinggi militer serta keengganan menerima promosi (Alm) Agus Wirahadikusuma sebagai wakil Kepala Staf Angkatan Darat (WAKASAD). Di mata OMS, TNI masih beranggapan bahwa hanya TNI sendiri yang memahami kepentingan-kepentingan TNI. 14 Selain amandemen konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945), beberapa legislasi dan kebijakan berhasil didorong atau disahkan, seperti Ketetapan (Tap) MPR-RI No VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Tap MPR-RI No VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran POLRI, Undang-undang (UU) No 2 Tahun 2002 tentang POLRI, UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta kebijakan penguatan Gender di Kepolisian dan Program Perpolisian Masyarakat (Polmas). Sementara beberapa legislasi atau kebijakan yang diwacanakan atau dibahas pada masa ini adalah Rancangan Undangundang (RUU) Intelijen, RUU Keamanan Nasional (Kamnas), RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) –sekarang sudah disahkan menjadi UU, serta Peraturan Pesiden (Perpres) Tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI. 254 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 B. 2004-2009: “The Test of Our History” Di luar dari upaya-upaya signifikan kalangan masyarakat sipil di atas, fakta menunjukkan bahwa dinamika SSR yang telah berjalan dalam beberapa periode kekuasaan paska Soeharto di mata OMS belumlah menunjukkan hasil signifikan. Sejumlah agenda reformasi pada 1998 kian terabaikan dari tahun ke tahun, dan arus besar tekanan publik dan akomodasi negara bergerak ke arah reformasi simbolik ketimbang substantif. Situasi ini kian mencolok dalam 5 tahun terakhir (2004-2009). Sinyal dukungan politik dan ketegasan pemerintahan SBY-JK sangat lemah terhadap RSK, sehingga sejumlah kebijakan di sektor keamanan tidak berjalan maksimal –bahkan kalaupun berjalan, pengawasan atas implementasinya parsial dan internal, tergantung pada tafsir dan kemauan institusi-institusi keamanan tersebut. 15 Terkait peranan OMS, tidak hilangnya stigma negatif negara terhadap gerakan OMS serta peran sosial politik TNI yang bersalin rupa dengan menanamkan pengaruh di lingkungan birokrasi sipil dan elit partai politik manjadi satu ganjalan besar. Sebagai akibatnya, pewacanaan transformasi TNI menjadi kekuatan pertahanan murni, akuntabilitas dan transparansi kebijakan-kebijakan di sektor keamanan, serta kritisi terhadap tarik menarik kepentingan antara elit sipil dan aktor-aktor keamanan, cenderung dicurigai. Termasuk dalam hal kritik dan saran terkait belum tuntasnya perubahan di tubuh Polri paska pemisahan dari TNI dan menguatnya operasi-operasi lembaga intelejen negara pada ranah kehidupan publik sebagaimana terjadi di masa lalu. 16 Masa pemerintahan SBY-JK diawaili dengan tuntutan pertanggungjawaban atas terbunuhnya aktivis HAM Munir Said Thalib dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam, 7 September 2004. Meskipun Presiden SBY kemudian membentuk Tim Pencari Fakta (TPF), namun ia sendiri memilih tidak mengumumkannya hasilnya kepada publik, atau menggunakannya sebagai dasar dorongan politik dan moril bagi penegakan hukum kasus ini. Bagi kalangan OMS, kasus ini penting untuk menjadi pintu masuk reformasi intelijen, mengingat adanya indikasi kejahatan konspirasi yang melibatkan sejumlah anggota BIN dan adanya penyalahgunaan kewenangan dan fungsi intelijen oleh individu atau kelompok yang 'memusuhi' atau merasa terancam dengan kerja-kerja almarhum Munir, atau dengan motif lain. Presiden SBY sendiri menyebut upaya pengungkapan kasus ini sebagai “Ujian bagi sejarah kita (the test of our history), apakah negara ini benar-benar telah menjadi lebih demokratis, menjunjung tinggi hukum dan HAM, atau sebaliknya. 17 15 Reformasi TNI Masih Parsial dan Internal, Kompas, 14 November 2006 16 Namun kalangan Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) mengakui bahwa ruang dan saluran politik yang tersedia saat ini jauh lebih memadai, terbuka dan baik bila dibandingan dengan masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, sulit untuk membayangkan pemerintah dan pengambil kebijakan menempatkan aspirasi publik dalam dasar pemikiran perumusan kebijakan serta pada saat-saat tertentu 'bersedia' melibatkan kalangan CSO dalam proses-prosesnya. 17 Di mata keluarga almarhum Munir Said Thalib dan sejumlah aktivis HAM, proses hukum yang telah berjalan sejauh ini gagal memberikan keadilan yang sesungguhnya dan masih jauh dari harapan. Lihat Kontras & Kasum, Risalah Kasus Munir; Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum (Jakarta: Kontras & Kasum, 2007) 255 Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan Kritik yang muncul terkait RSK pada masa SBY-JK adalah sikap ambigu dari rezim reformasi yang dipimpinnya, antara keinginan untuk mendorong konsolidasi reformasi dan mempertahankan kepentingan status quo. Sebagai akibatnya, pemerintahan SBY menjadi terlihat tidak percaya diri dan ragu-ragu untuk meneruskan agenda transisional terkait penegakan hukum, memutus hubungan dengan problem-problem masa lalu, dan menata sistem politik yang lebih demokratis. Apa yang berjalan dalam 5 tahun terakhir merupakan kelanjutan dari agenda-agenda rezim sebelumnya. Capaian-capaian yang ditonjolkan cenderung berupa kerja-kerja simbolis dan formalistik ketimbang substantif, hanya pada lingkup kerja yang memiliki efek politis minimum dan tidak mengganggu kelanggengan kekuasaan rezim. Akibatnya, fenomena impunitas, tebang pilih kasus dan kompromi politik menjadi trend pemerintahan SBY-JK. 18 Terkait dengan agenda-agenda RSK, Presiden SBY yang notabene merupakan purnawirawan TNI yang terlibat dalam proses-proses awal reformasi TNI, terlihat tidak lagi bersemangat untuk melanjutkannya ketika menjabat sebagi Presiden. Sejak masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004, SBY tidak menjadikan isu-isu RSK sebagai tema kampanyenya, sehingga kemungkinan agenda RSK tidak menjadi salah satu fokus utama pemerintahannya sudah dapat diduga sejak awal. Perkembangan yang justru terjadi adalah tumbuhnya loyalitas TNI, POLRI dan BIN yang terpusat pada diri SBY ketimbang ketaatan pada struktur politik dan pemerintahan demokratis.19 Stabilitas pemerintahan SBY terjadi karena tumbuhnya pengaruh dan sentral legitimasi kepentingan seluruh institusi di sektor keamanan pada diri SBY, munculnya fragmentasi ketundukan elit aktor keamanan hanya kepada individu yang tidak memberikan tekanan kepada mereka, serta terfasilitasinya konsolidasi aktor-aktor keamanan yang mendorong mereka menjadi lebih berani menentang dan memberikan respons keras atas gagasan-gagasan pro-reformasi.20 C. Dinamika Advokasi OMS Penelitian IDSPS pada tahun 2007-2008 tentang efektifitas peran OMS dalam advokasi RSK menemukan fakta-fakta pengakuan bahwa advokasi RSK oleh kalangan OMS dengan pilihan strategi seperti melakukan loby, kampanye, aksi dan lainnya sudah sudah berjalan, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui koalisi. Pilihan untuk 'mendekat' ke pemerintah 18 Mufti Makaarim A. & S. Yunanto (ed.), Efektivitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1999-2006 (Jakarta: IDSPS, 2008) h. xxi 19 Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Habibie dan Presiden Wahid, dimana ketaatan umumnya petinggi militer dan kepolisian disertai dengan proses “tawar-menawar”, untuk mencari titik temu atas apa yang ingin direformasi dan perhitungan imbasnya bagi institusi dan individu. Bedanya, dalam banyak hal Habibie dan Wahid memilih mengambil resiko untuk berpihak pada desakan reformasi ketimbang menwarnya untuk mendapatkan loyalitas penuh TNI dan POLRI. Lihat Salim Said, Soeharto's Armed Forces… Op.Cit. 20 Ibid, h. xxiv. Ini terlihat dalam polemik RUU Pertahanan Keamanan Negara, RUU Intelijen, RUU Peradilan Militer, RUU Komponen Cadangan, RUU Rahasia Negara, serta proses transformasi bisnis-bisnis militer. Ini merupakan ringkasan dari Bab IV Laporan Hasil Penelitian IDSPS tentang peranan OMS dalam RSK dalam Mufti Makaarim A. & S. Yunanto (ed.), Efektivitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1999-2006 (Jakarta: IDSPS, 2008) 256 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 (ke Departemen Pertahanan misalnya) dan DPR atau bahkan masuk ke institusi-institusi di sektor keamanan dilihat sebagai bentuk strategi baru kalangan OMS. Strategi koalisi yang melibatkan media, Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) dan akademisi sudah berjalan baik, dimana ketiganya memiliki dan menjalankan peran masing-masing dan mungkin untuk saling melengkapi. Jejaring yang terbangun dalam aktivitas advokasi ketiga kelompok ini berperan dalam memberi masukan, memunculkan sebuah isu legislasi atau kebijakan dan pewacanaan isu-isu RSK. Pilihan peran menjadi watch dog atau beroposisi dengan pemerintah, dipandang lebih efektif untuk menaikkan isu, tanpa dikaitkan dengan diterima tidaknya masukan atau protes yang dilakukannya. Yang menjadi kekhawatiran kedepan adalah melemahnya peran lembaga pressure semacam ini, sehingga upaya-upaya kelompok think tank atau mereka yang mendorong perubahan langsung dari dalam institusi negara menjadi lebih sulit. Di sisi lain, terlihat bahwa bahwa OMS yang melakukan advokasi RSK cenderung berkoalisi dengan jaringan yang terbatas. Bisa jadi hal ini terjadi sebagai akibat terbatasnya sumber daya yang memahami dan memiliki perhatian terhadap isu-isu RSK di kalangan OMS. Pada beberapa advokasi yang dilakukan, pilihan OMS berjaringan dengan parpol dan kelompok politik didasarkan pada pertimbangan potensi mereka mendukung atau menghambat gagasangagasan advokasi OMS, meskipun dengan pemahaman konseptual yang berbeda dalam mempersepsikan suatu kebijakan. Beberapa OMS dalam melakukan advokasi juga melibatkan komunitas mitra dan dampingannya, terutama OMS di daerah-daerah. Namun pilihan advokasi seperti ini sangat dipengaruhi pilihan isu RSK yang bersifat lokal dan berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat setempat. Sebagian masyarakat melihat bahwa OMS cukup konsisten dalam menjalankan advokasi RSK, walau sebagian orang juga melihat bahwa apa yang dilakukan OMS masih belum maksimal dan tidak konsisten dengan tuntutan perubahan yang diagendakan pada 1998. Terhadap catatan dan tantangan atas efektifitas strategi yang digunakan, kalangan OMS juga memiliki respon yang berbeda-beda. Sebagian ada yang merubah strateginya, ada yang cooling down, dan ada juga yang berkompromi. Terkait dengan relevansi dan efektivitas strategi, repons terhadap advokasi OMS –termasuk tekanan media diyakini terjadi karena adanya dua faktor, yaitu faktor 'tekanan' Internasional, dimana arus globalisasi dan demokratisasi masuk ke Indonesia, bersamaan dengan desakan reformasi, 22 dan faktor perubahan di tingkat domestik, dimana kesadaran dan persepsi akan pentingnya demokratisasi dan reformasi muncul di banyak kalangan –termasuk di kalangan militer. Walaupun umumnya mereka juga menolak sejumlah gagasan reformasi yang berimbas pada berkurangnya previlege mereka. Pandangan bahwa demokrasi merupakan salah satu syarat untuk menjadi bagian dari peradaban baru bernama demokrasi dan globalisasi, mendorong mereka juga mendesakkan reformasi menyeluruh di semua bidang, termasuk di sektor keamanan. 22 'Keberhasilan' mendorong RSK sendiri pada satu sisi merupakan keuntungan dari kondisi sosial politik pada 1998-1999, dimana ketika itu militer berada di titik nadir dan turunnya Soeharto menyebabkan tentara seakan-akan kehilangan kekuatan dan pengangan politik. Di sisi lain, 'tekanan' internasional baik secara langsung kepada pemerintah maupun dengan memberikan dukungan terhadap gagasan reformasi yang didorong publik nasional juga terjadi. 257 Di luar faktor-faktor di atas, tantangan terbesar di internal OMS terkait dengan keseimbangan antara kredibilitas dan kekuatan. Tanpa adanya keseimbangan tersebut, maka aktivitas advokasi seolah-olah menjadi semacam ritual OMS, tanpa ada jaminan dan kapasitas untuk memastikan tingkat keberhasilan advokasinya. Berikut model matrik perimbangan kredibilitas dan kekuatan OMS dalam advokasi RSK, yang disusun penulis berdasarkan penilaian dari hasil penelitian IDSPS. 23 Secara umum, penelitian IDSPS juga melihat bahwa OMS menghadapi empat tantangan internal dalam melakukan kerja-kerja advokasi RSK. Tantangan-tantangan tersebut berkaitan dengan profesionalisme, kapasitas melakukan konsolidasi internal (dalam organisasi atau koalisi advokasi), mekanisme berjaringan, serta prasangka dan kecurigaan aktor keamanan akan keberadaan 'agenda tersembunyi' atau kepentingan yang mendompleng advokasi yang mereka lakukan. 1. OMS dan Profesionalisme Ada anggapan –terutama dari kalangan anggota DPR— bahwa OMS yang selama ini aktif melakukan advokasi RSK hanya mengajukan persoalan-persoalan mikro (kasus dan problem sekunder) dan kurang memahami aspek-aspek makronya. Dalam beberapa pertemuan OMS dengan DPR, wacana yang dimunculkan adalah beberapa isu dan kasus, tanpa dijabarkan relasinya dengan policy makro yang ingin dievaluasi atau disarankan dibuat oleh DPR. Kemampuan OMS dalam berargumentasi ketika mendukung atau mengkritisi satu 23 Model matrik ini terinspirasi dari Erwin Van Veen, Reverse Stakholder Mapping: on the Need for Actor-Based SSR Strategizing in Post-Conflict Environments, dalam Journal of Security Sector Management Volume 2 Juli 2008 (Shrivenham UK: Cranfield University, 2008), h. 8 258 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 kebijakan terkadang lemah, sehingga sering dijumpai adanya pernyataan yang cenderung tidak berbobot. Keberatan pemerintah dan DPR terhadap kritik dan saran yang disampaikan OMS juga didasarkan pada anggapan bahwa kalangan OMS juga bukan merupakan ahli dan mampu memberikan pandangan yang konseptual, tidak bekerja secara sistematis dan konsisten, serta mereka tidak lebih merupakan orang-orang yang merasa ahli di semua bidang. Dengan keterbatasan-keterbatasan di atas kalangan OMS dianggap terlalu mudah dalam mengkritik dan menyalahkan kinerja aktor keamanan, pemerintah dan DPR, padahal kapasitas dan pengetahuannya atas dinamika di dalam pemerintahan dan substansi persoalan tidak ada. 24 Dalam melakukan advokasi legislasi misalnya, OMS dipandang bersikap terlalu optimis dengan rancangan legislasi yang mereka ajukan ke parlemen sebagai rancangan ideal dan harus diakomodir seluruhnya oleh parlemen dan pemerintah. Padahal diperlukan satu proses-proses politik untuk memastikan terakomodir-tidaknya legislasi yang diajukan. Menghadapi tantangan ini, OMS cenderung menghindar pendekatan yang lebih personal dan langsung kepada individu-individu yang memiliki pengaruh atas baik buruknya legislasi tersebut. OMS yang bergerak di RSK sejauh ini juga dianggap publik belum mampu membuat koalisi besar yang melibatkan NGO, Organisasi Kemasyarakatan, Media dan Universitas, menghimpun dan mengelola dana dari sumber-sumber dalam negeri yang independen, serta mengembangkan koalisi politik yang melibatkan kalangan penting di wilayah politik dan ekonomi sebagai supporting groups dan para pihak yang juga berkepentingan dan akan diuntungkan dengan adanya RSK. 2. OMS dan Konsolidasi Internal IDSPS mendapatkan pernyataan sejumlah pimpinan OMS yang menyebutkan bahwa gerakan masyarakat sipil di Indonesia umumnya belum melakukan konsolidasi internal secara memadai, serta belum menata dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dan kesepakatan aturan main (rules of engagement) dengan ketat di antara mereka –terutama terkait pembagian peran dan perumusan visi bersama. Ketidakjelasan ini bisa jadi disebabkan ketiadaan visi praktis maupun visi ideal masing-masing organisasi yang memperkuat visi bersama (shared vision), sehingga tidak aneh jika dalam beberapa diskusi muncul kesan bahwa aliansi dan diskusi yang muncul terlalu cair, berkompetisi, melebar isunya, bahkan tidak jelas fokusnya. Dalam mengelola isu advokasi, kepentingan dan paradigma masing-masing organisasi menyebabkan tidak terjalinnya kerjasama permanen dan konsisten –termasuk antara kelompok think tank dan penekan, sehingga advokasi RSK yang dilakukan tidak sinergis dan 24 Di sisi lain OMS juga mengkritisi problem serupa di lingkungan DPR, Pemerintah dan institusi keamanan, sehingga menyulitkan mereka untuk berdiskusi pada level isu-isu strategis RSK. Fakta menunjukkan bahwa di kalangan OMS keahlian dan perhatian terhadap isu-isu RSK yang spesifik juga sudah tumbuh, sehingga yang diperlukan selanjutnya adalah akses terhadap proses-proses penyusunan kebijakan di pemerintah dan DPR. 259 Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan bahkan terkadang kontra produktif. Konsolidasi OMS diperlukan agar mereka dapat menemukan dan berbagi atas kerumitan persoalan yang sedang dihadapi, memahami konteks persoalan dan dinamikanya serta merumuskan strategi advokasinya. Kemampuan bernegosiasi, kelengkapan manajerial, perencanaan strategis (strategic planning), program dan rencana aktivitas merupakan bagian dari pendukung kemampuan konsolidasi antar OMS. Berdasarkan temuan IDSPS, OMS belum memiliki mekanisme yang mengatur hubungan antar lembaga, mekanisme kerja antar lembaga dan mekanisme penyelesaian konflik antar lembaga. Padahal mekanisme ini bisa mengatasi persoalan dan hambatan untuk melakukan konsolidasi. Ini terlihat dengan tidak adanya koordinasi kerja seperti dalam riset dan advokasi, sehingga terjadi duplikasi aktivitas, overlapping program yang menyebabkan terjadinya pemborosan waktu dan biaya. 3. OMS dan Jaringan Ada anggapan bahwa persoalan-persoalan yang berkembang dan diadvokasi di tingkat nasional belum terintegrasi, tersosialisasi, diketahui atau menjadi bagian dari wacana OMS di level daerah. Fenomena ini mengesankan adanya gap antara wacana RSK di tingkat nasional (yang dianggap tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat) dan wacana RSK di daerah (yang langsung bersentuhan dengan masyarakat). Dalam advokasi RUU misalnya, seringkali upaya yang dilakukan di tingkat pusat tidak bersambut dengan dukungan atau aksi serupa di daerah. Sebagaimana institusi keamanan yang bersifat struktural, demikian pula wacana RSK secara umum dipandang sebagai isu organisasi yang berada di pusat (ibukota) negara. Kalaupun ada yang dilakukan di daerah, biasanya berkaitan dengan program atau agenda OMS yang bekerja di level nasional, bukan merupakan inisiatif setempat. Dalam kasus RUU Rahasia Negara misalnya, ketika beberapa OMS di Jakarta memberikan reaksi yang begitu keras, kalangan OMS di daerah terkesan biasa-biasa saja. Padahal pembelakuan RUU yang sarat masalah tersebut dipastikan juga akan memberikan dampak bagi kerja-kerja advokasi OMS kedepan, terutama mereka yang melakukan riset dan advokasi berbasis data-data yang bersumber dari institusi keamanan. 4. OMS dan Pencitraan (Image) Di tengah kerjasama dan hubungan yang terbangun antara OMS, Pemerintah, DPR dan aktor-aktor keamanan, kecurigaan terhadap OMS masih terjadi. Kecurigaan ini dikaitkan dengan adanya dana-dana asing (lembaga internasional atau pemerintah negara lain) yang diterima sejumlah OMS dalam menjalankan program-programnya. Mereka beranggapan, bahwa OMS yang telah menerima dukungan lembaga-lembaga funding akan bergerak dan bekerja dengan satu kepentingan dan ideologi tertentu. Dukungan finansial dari lembaga asing, secara psikologis dipersepsikan diberikan dalam rangka memperjuangkan kepentingan asing. 25 25 Trend bantuan terhadap suatu negara yang sedang melalui masa transisi demokrasi (baik terhadap pemerintah maupun OMS) dipengaruhi oleh dua faktor; yaitu 1). Adanya kesadaran bahwa demokrasi merupakan satu pilihan sistem politik terbaik. Hampir seluruh negara percaya bahwa pilihan meenjadi negara 260 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Sebagai contoh, kalangan intelijen menyebutkan adanya sekitar 62 OMS di Indonesia yang berada dibawah kendali lembaga dan pemerintah Norwegia, Prancis, Belanda, Jerman, Australia dan Kanada. OMS-OMS ini memiliki peran besar dalam perubahan-perubahan sistem politik yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, termasuk amandemen Undang-undang Dasar 1945. Kalangan kepolisian OMS cenderung lebih banyak melakukan provokasi ketimbang menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat. Beberapa individu di lingkungan pemerintah memandang bahwa beberapa OMS yang menerima dana asing hanya bekerja untuk mencari popularitas dan menghabiskan dana untuk berbagai kemewahan, sementara mereka menganjurkan akuntabilitas negara. Karenanya mendorong akuntabilitas OMS juga merupakan langkah penting, sehingga kecurigaan-kecurigaan semacam ini bisa ditepis. Image di atas telah menghalangi penerimaan pemerintah, DPR dan aktor keamanan atas pandangan-pandangan RSK yang disampaikan OMS. Sebagai contoh, pemisahan TNI dan Polri awalnya merupakan masukan dan gagasan OMS. Namun karena adanya image negatif seperti di atas proses pembahasannya dilakukan secara internal di MPR, sehingga lahirlah Tap MPR tentang pemisahan dan pembagian peran TNI dan Polri yang menyisakan persoalan terkait perbedaan dan pembagian peran riil - termasuk koordinasinya - di lapangan. Tantangan Advokasi OMS Selain problem internal yang dijelaskan di atas, kalangan OMS juga berhadapan dengan problem eksternal berupa sejumlah tantangan yang berasal dari pemerintah, DPR dan aktor keamanan, yaitu: 1. Paradigma dan kerangka berpikir (mindset) Seringkali terjadi perbedaan pemahaman dan tujuan atas apa yang dimaksud dengan demokratisasi (beserta nilai-nilai yang integral didalamnya) dan kerangka RSK antara OMS, pemerintah, DPR dan aktor keamanan. Perdebatan soal ancaman keamanan nasional di lingkungan pemerintah misalnya, selalu berujung pada soal pertahanan dan militer. Padahal upaya untuk mengatasi ancaman nasional membutuhkan satu kerja terintegrasi dan multi aktor atau kelompok kerja (task force). Demikian pula persoalan operasi militer selain perang, selalu dianggap OMS merupakan ancaman terhadap demokrasi. Padahal hal tersebut dimungkinkan dalam sebuah negara demokratis asalkan diatur dengan Undang-undang dan kebijakan yang jelas seperti peran perbantuan militer terhadap polisi dan penanganan bencana alam. demokratis akan berpengaruh pada stabilitas politik dan ekonomi; dan 2). Berakhirnya perang dingin. Pada masa perang dingin, bantuan-bantuan yang diberikan merupakan paket dari kepentingan keamanan. Paska perang dingin, kepentingan mendorong demokratisasi menjadi salah satu isu utama, dimana otoritarianisme satu rezim akan berpengaruh pada situasi keamanan kawasan. Lihat Andi Widjajanto dkk., Transnasionalisasi Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 90-91 26 Sejauh ini tidak ditemukan fakta yang menunjukan kebenaran dugaan tersebut, terutama dikalangan OMS yang melakukan advokasi RSK –yang menjadi subjek penelitian IDSPS. Bentuk dukungan yang diberikan donor dipahami sebagai bentuk perhatian mereka dengan mendukung RSK sebagaimana dikehendaki dan diperjuangkan oleh OMS. 261 Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan Di sisi lain, konsep RSK yang ingin ditawarkan pemerintah dan aktor keamanan masih bernuansa keamanan negara (state security) ketimbangan berorientasi pada keamanan warga negara (human security). Ini merupakan kelanjutan dari pemahaman dan tafsir lama atas konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) yang diadopsi UUD 1945. Sementara masalah-masalah keamanan yang berkembang saat saat ini sudah demikian kompleks masuk dalam dimensi yang jauh lebih luas dan beragam. 2. Koordinasi Kerja RSK di Level Negara Kalangan OMS memandang bahwa kerja-kerja RSK di tingkat DPR, Pemerintah dan aktor keamanan banyak yang berjalan sendiri-sendiri, tidak terkoordinasi dengan baik. Bagi OMS, keberhasilan RSK sebagai sektor hilir sangat tergantung dengan upaya-upaya reformasi pada sektor hulu, misalnya dalam bidang kebijakan politik dan ekonomi, termasuk kemauan dan dukungan politik. Kalangan militer sendiri menganggap RSK sudah berjalan meski belum sempurna. Komunitas jurnalis melihat bahwa ketidaksempurnaan hasil dari proses-proses RSK dipengaruhi oleh model pendekatan dalam perumusan UU di sektor keamanan yang belum terkoordinir dan masih tumpang tindih. Tiga UU yang sudah ada misalnya, yaitu UU Pertahanan, UU Polri dan UU TNI meninggalkan masalah overlapping peran TNI dan Polri dalam penegakan keamanan di dalam negeri. Sementara RUU Kamnas yang dimunculkan Departemen Pertahanan masih menjadi perdebatan dan tidak jelas kelanjutannya saat ini. 3. Hambatan Psikologis Aktor Keamanan, DPR dan Pemerintah Diakui atau tidak, kalangan militer masih belum sepenuhnya menerima prinsip supremasi otoritas politik sipil, terutama yang berdampak pada pembatasan keistimewaan dan penghilangan secara radikal peran-peran masa lalu mereka. Sementara di sisi lain otoritas sipil seperti partai politik, eksekutif dan DPR memiliki sejumlah kelemahan kapasitas, terutama dalam hal komitmen politik dan kompetensi teknis. Keengganan TNI menerima supremasi ini terlihat pada pembiaran perumusan konsep reformasi militer oleh kalangan militer sendiri serta upaya untuk mempertahankan posisi-posisi strategis di Departemen Pertahanan –termasuk di BIN. Kondisi serupa juga ditemukan di tubuh Polri dan BIN, dimana rumusan dan tafsir reformasi Polri dan BIN dikembangkan sendiri oleh mereka. Di lingkungan Komisi I DPR, kepedulian terhadap isu-isu pertahanan misalnya, sangat dipengaruhi oleh faktor sejauhmana isu tersebut menjadi diskursus publik. Ketiadaan komitmen serta perhatian khusus terhadap reformasi militer dan pertahanan diperburuk dengan keterbatasan pengetahuan terhadap masalah-masalah strategis pertahanan dan keamanan. Sebagai contoh, sejauh ini belum ada satu RUU di bidang keamanan yang muncul atas inisitif DPR, terkesan bahwa DPR sekadar menjadi alat legitimasi atas usulan-usulan pemerintah dan aktor keamanan. Problem serius pada level partai politik dalah fenomena perlombaan rekrutmen purnawirawan TNI dan Polri untuk ditempatkan dalam struktur elit partai. Kondisi ini 262 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 menunjukkan bahwa partai-partai cenderung tidak percaya diri untuk maju tanpa melibatkan unsur-unsur mantan pejabat militer, kepolisian dan intelijen. Disinilah ruang kompromi politik antara elit sipil dengan elit militer, terutama terkait dengan agenda RSK. OMS menengarai banyaknya negosiasi diam-diam antara partai politik dengan aktor-aktor kemanan melalui mereka. Kemacetan RSK di mata kalangan anggota DPR tidak lepas dari persoalan lemahnya political will pemerintah (Presiden dan Menteri Pertahanan), padahal mereka memiliki posisi dan legitimasi kuat untuk mendesakkan agenda-agenda RSK tersebut. Dalam posisi demikian, beberapa konsep yang disusun OMS cenderung tidak mendapat tanggapan cepat dari pemerintah. Di sisi lain, umumnya DPR hanya menunggu seberapa kuat tekanan dan respon OMS, dan pada tingkat tertentu mekanisme penyampaian kritik, saran dan argumentasi oleh OMS tidak disukai. Di dalam lembaga intelijen yang masih terikat cara pandang lama, pemahaman tentang hakekat musuh negara dalam sebuah negara demokratis masih lemah. Mereka masih menafsirkan kelompok-kelompok atau individu-individu yang beroposisi dengan pemerintah sebagai musuh negara. Padahal tindakan masyarakat tersebut merupakan bagian dari kebebasan-kebebasan yang dilindungi konstitusi. D. Peluang Kontinuitas Advokasi OMS Peluang OMS untuk melanjutkan advokasi RSK masih terus terbuka. Peluang-peluang ditandai dengan adanya keterbukaan politik, banyaknya isu-isu RSK yang belum diadvokasi, diaspora kepentingan elit politik dan aktor keamanan – yang bisa dimanfaatkan OMS, luasnya wilayah negara dan pentingnya peningkatan kapasitas untuk menanganinya, adanya dukungan dari sejumlah anggota DPR di tingkat pusat dan daerah, serta dukungan masyarakat internasional. Keragaman partai politik yang lahir paska 1998 menjadi peluang advokasi OMS, dimana kemampuan OMS menghimpun isu-isu populis yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat mendorong partai politik bersekutu dengan OMS. Disinilah wacana-wacana RSK dari OMS dapat ditawarkan. OMS juga dapat mengisi ruang-ruang politik yang dibutuhkan rakyat namun ditinggalkan oleh partai politik, seperti pendidikan-pendidikan politik – terutama OMS dengan corak lembaga yang pluralis dan tidak eksklusif. Umumnya DPR, Departemen Pertahanan dan Polri menyambut baik keterlibatan OMS dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan. Dari sisi penguatan kapasitas misalnya, beberapa anggota DPR menganggap bahwa masukan-masukan OMS sangat membantu mereka yang sejauh ini masih lemah dalam konsep dan pemikiran RSK. Perangkat keras yang dicoba diperkuat dengan keberadaan staf ahli (Fraksi dan Komisi) belum dapat menunjang efektifitas kerja DPR, karena para staf ahli tersebut sesungguhnya juga bukan orang yang memiliki keahlian di semua bidang yang menjadi tanggung jawab DPR. 263 Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan Dalam ruang lingkup tugas Departemen Pertahanan, OMS bisa memberikan jalan keluar dan pengkayaan wacana atas isu-isu dan masalah-masalah di sektor pertahanan, melakukan pengawasan dan mengingatkan mereka, walaupun OMS tidak bisa memiliki kewenangan untuk memutuskan. Peluang lain tentunya adalah adanya dukungan internasional, baik terhadap pemerintah maupun OMS berupa dukungan finansial. Dukungan finansial yang diberikan pada satu sisi merupakan kewajaran, mengingat bahwa dinamika yang terjadi di Indonesia tidak lepas dan akan mempengaruhi dinamika global, sehingga banyak pihak yang juga berkepentingan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia. Yang patut diingat bahwa kerjasama dengan pemerintah dan OMS hendaknya tidak mengabaikan kepentingan dan agenda nasional. Sebagaimana diketahui, bahwa dukungan internasional terhadap RSK saat ini justru bergeser pada penguatan peran dan fungsi-fungsi aktor keamanan dalam memerangi aksi-aksi terorisme yang terjadi dan memiliki jaringan lintas negara, yang pada tingkat tertentu dapat mengganggu isu-isu reformasi yang sudah didorong kalangan OMS dan membuka ruang bagi para aktor keamanan untuk berkonsolidasi dan menjalankan peran-peran sebagaimana di masa lalu. E. Penutup; Langkah Strategis Dalam Penguatan OMS Tidak bisa dihindari, bahwa perhatian dan upaya untuk memastikan terselesaikannya faktor-faktor penghambat RSK adalah kemutlakan. Beberapa langkah strategis yang perlu dipikirkan oleh OMS kedepan adalah: 1. Mendorong efektifitas koordinasi berbagai instansi dan sektor yang terkait dengan isu dan penanganan ancaman pertahanan dan keamanan, termasuk mendesak mereka untuk merumuskan ulang dasar kebijakan operasional, arah dan tujuan pengembangan sistem pertahanan keamanan dengan postur dan strategi pertahanan keamanan nasional. 2. Mendorong efektivitas fungsi kontrol lembaga legislatif terhadap pemerintah, fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan legislasi dan kebijakan di sektor pertahanan, serta fungsi evaluasi terhadap penyimpangan dan penyalahgunaannya. 3. Mendorong komitmen politik eksekutif dan keamanan terhadap transisi demokrasi melalui, upaya kongkrit dalam bentuk tindakan dan kebijakan yang reformis, konsisten pada nilai-nilai demokrasi dan dapat diminta tanggung-gugatnya secara politik. 4. Memberi dukungan bagi profesionalisasi aparat keamanan dan pengembangan mekanisme kontrol, serta penguatan otoritas politik sipil yang mengelolanya. Termasuk dengan melibatkan ahli-ahli dari kalangan OMS. 5. Mendorong pertanggungjawaban serius negara terhadap kasus-kasus kejahatan sebagai implikasi dari penyalahgunaan kewenangan. Keadilan dan akuntabilitas atas peristiwa-peristiwa masa lalu bukan sekadar pelajaran bagi perubahan bangsa kedepan, namun juga untuk menghindari preseden kekebalan hukum dan keberlanjutan kekerasan dan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat keamanan. 264 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 6. Mendorong konsistensi pemerintah untuk menghilangkan ruang-ruang politik aktor keamanan di tingkat nasional (melalui kabinet, lembaga negara dan departemen strategis) dan daerah (Muspida). 7. Memajukan kapasitas masyarakat sipil sehingga peran aktif mereka dalam pengambilan kebijakan dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah berjalan. Paling tidak, dibutuhkan kalangan sipil yang memahami isu-isu keamanan dan pertahanan serta dapat bekerja profesional mendorong perubahan-perubahannya. 8. Melibatkan stakeholder internasional untuk mendukung dan bertukar pengetahuan dengan pemerintah dan OMS.< Referensi Buku: Anggoro, Kusnanto & Anak Agung Banyu Perwita (ed.). (2006). Rekam Jejak Proses 'SSR' Indonesia 2000-2005. Jakarta: Propatria Institute. Machfudz, Anas S. & Jaleswari Pramodhawardani. (2001) Military Without Militerism; Suara dari Daerah. Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI. Makaarim, Mufti & S. Yunanto (ed.). (2008). Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1999-2006. Jakarta: IDSPS. Prihatono, T Hari, Jessica Evangeline & Iis Gindarsah. (2007). Keamanan Nasional: Kebutuhan Membangun Perspektif Integratif Versus Pembiaran Politik dan Kebijakan. Jakarta: Propatria Institute. Rinakit, Sukardi. (2005). The Indonesian Military After the New Order. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies Said, Salim. (2006). Soeharto's Armed Forces; Problems of Civil Military Relation in Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Slamet, Nancy. (2008). Civil Society and Security Sector Reform in Indonesia: 19982006. Jakarta & Montreal: IDSPS (Indonesia) & Rights & Democracy (Canada). Sukadis, Beni (Ed.). (2007). Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007 Jakarta: Lesperssi-DCAF. Sukadis, Beni & Eric Hendra (ed.). (2008) Perjalanan Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta: Lesperssi, IDSPS, HRWG, DCAF. Tanter, Richard, Desmond Ball & Gerry Van Klinken (ed.). (2006). Master of Terror; Indonesia's Military and Violence in East Timor. USA: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. Widjajanto, Andi, dkk. (2007). Transnasionalisasi Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKIS Laporan/Makalah Mufti Makaarim A., The Role of Indonesian Civil Society Organization in Security Sector Reform After 1998, makalah Konferensi “Indonesian Security Sector Reform Post Soeharto's Regime: Achievement and Prospects”, yang diselenggarakan Indonesian Solidarity, Sydney Mechanics School of Arts (SMSA), 12-13 Juni 2009, di Sydney, Australia. Nugroho Kacasungkana & Titi Irawati, Kebenaran Bukan Pembenaran; Kumpulan Laporan Penyelidikan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia di Timor Leste 1999 (Timorleste: Perkumpulan HAK, 2005) Kontras & Kasum, Risalah Kasus Munir; Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum (Jakarta: Kontras & Kasum, 2007) 265 Organisasi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan Jurnal: Journal of Security Sector Management Volume 2 Juli 2008. Shrivenham UK: Cranfield University, 2008. Harian: Kompas, 14 November 2006, “Reformasi TNI Masih Parsial dan Internal”. 266 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Bhatara Ibnu Reza 1 1. Pendahuluan Reformasi legislasi sektor keamanan Indonesia masih jauh dari harapan serta tetap menghadapi persoalan yang sama berkait dengan kerangka besar (grand design) sektor keamanan yang mengakibatkan sulitnya menentukan prioritas legislasi. Hal ini ditunjukan dengan masih munculnya rancangan legislasi yang tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) namun masuk dalam pembahasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tentunya ini akan menimbulkan preseden yang tidak baik tidak hanya bagi pembuat undang-undang namun lebih mengesankan kepada mengakomodasi kepentingan-kepentingan sesaat dari pihak pemerintah. Sedikit mengingatkan, Prolegnas merupakan pemetaan atau potret rencana tentang hukum-hukum apa yang hendak dibuat dalam periode tertentu.2 Prolegnas disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah yang dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh DPR yang merupakan konsekuensi logis dari hasil Amandemen Pertama UUD 1945 yang menggeser titik berat pembentukan undang-undang dari Pemerintah ke DPR.3 Kedudukan Prolegnas diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang didalamnya tidak saja terkait dengan materi atau rencana pembentukan peraturan perundang-undangan melainkan juga merupakan instrumen yang mencakup mekanisme perencanaan hukum agar selalu konsisten dengan tujuan, penuntun dan cita hukum yang mendasarinya. 4 Adalah hal yang wajar jika terdapat rancangan legislasi yang tidak masuk dalam Prolegnas tetapi memiliki semangat mengedepankan kepentingan publik dan perlindungan terhadap HAM. Misalnya adalah rancangan legislasi untuk meratifikasi instrument internasional yang pernah dilakukan oleh Indonesia ketika meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).5 Saat itu, Indonesia selain memenuhi komitmennya untuk 1 Bhatara I. Reza, adalah Human Rights Research Coordinator IMPARSIAL The Indonesian Human Rights Monitor 2 Ibid. hal. 33. 3 Ibid. hal. 33. 4 Ibid. hal. 33. 5 Kedua instrument HAM internasional tersebut diratifikasi dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights. 267 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 meratifikasi kedua kovenan induk tersebut juga membutuhkannya dalam kerangka perdamaian Helsinki Agreement yang menandai era permusuhan antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005. Persoalan ini tidaklah dapat kemudian dipandang sebagai cara yang baik dalam melakukan reformasi sektor keamanan (security sector reform) di Indonesia mengingat reformasi kemudian bergantung pada keinginan pihak pemerintah yang tanpa disadari peran DPR juga cukup signifikan khususnya dalam rangka pengawasan (parliament oversights) terhadap pelaksanaan legislasi oleh pemerintah. Selain itu yang pernah disinggung berkait dengan reformasi legislasi sektor keamanan adalah lambannya pemerintah untuk menentukan sebuah kebijakan umum pertahanan negara sebagai grand design yang kemudian memunculkan rencana legislasi sektor keamanan serta beberapa produk strategis lain misalnya Buku Putih Pertahanan (defense white paper) dan Kajian Strategis Pertahanan (strategic defense review). Cerminan ini diperlihatkan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Kelambanan pemerintah untuk mengeluarkan sebuah kebijakan umum menjadikan proses pembuatan legislasi sektor keamanan menjadi tidak runtun. Beberapa rancangan legislasi yang sempat mendapatkan perhatian masyarakat seperti RUU Intelijen Negara dan RUU Keamanan Nasional tidak masuk dalam Prolegnas dan pembahasan oleh DPR.6 Sedangkan satu rancangan legislasi telah pula mendapatkan pengesahan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik yang diundangkan pada 30 April 2008. Hingga saat ini sejumlah rancangan legislasi masih diperdebatkan oleh DPR dan Pemerintah dan masih belum ada tanda-tanda akan diselesaikan. RUU Rahasia Negara, RUU Amandemen Peradilan Militer masih belum selesai pembahasannya hingga hari ini. Padahal DPR tidak lagi melakukan pemindah-alihan (carry over) dimana semua rancangan legislasi yang telah masuk dalam pembahasan haruslah diselesaikan oleh DPR periode saat ini dan bukan oleh periode berikutnya. Saat tulisan ini dibuat, DPR masih menyisakan sejumlah rancangan legislasi yang harus disahkan pada akhir September 2009. Permasalahan lain yang muncul adalah, reformasi legislasi sektor keamanan Indonesia tidak berusaha melepaskan diri dari politik militerisasi terhadap legislasi yang hendak dibahas. Militerisasi dalam peraturan perundang-undangan bagi militer adalah langkah yang baik dan benar akan tetapi militerisasi dalam legislasi tersebut juga mempengaruhi kehidupan warga sipil yang tentunya memiliki karakter yang berbeda. 6 Lihat Bhatara Ibnu Reza,”Reformasi Legislasi Sektor Keamanan”, dalam Beni Sukadis, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, (Jakarta: Lesperssi-DCAF, 2007), hal. 200-234. 268 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Di Indonesia, militerisasi terhadap semua aspek kehidupan telah dimulai jauh sebelumnya hingga Soeharto berkuasa pada 1966 posisi militer semakin kuat.7 Salah satu aspek penting adalah melakukannya dengan peraturan perundang-undangan sehingga memberikan legitimasi bagi militer secara sah terlibat dalam kehidupan politik negara. Terdapat enam karakter masyarakat yang telah termiliterisasi, pertama, secara nyata kehadiran militer dalam pemerintahan baik diwujudkan sebagai rejim militer atau sebuah kekuatan yang dipaksa (force established) kedalam ruang politik langsung dibawah kekuatan eksekutif (executive power)8. Kedua, kehadiran militer dalam kehidupan ekonomi masyarakat dari pusat hingga ke daerah hinga tingkat desa sehingga mendekati negara korporasi yang mendukung perekonomian militer.9 Ketiga, terjadi proses pembelokan nilai-nilai tradisional dan norma-norma atau sedang dalam proses pembelokan dengan nilai-nilai dan norma-norma militer dengan militerisasi terhadap institusi-insitusi sosial.10 Keempat, administrasi dengan cara melakukan pelanggaran HAM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan negara. Kelima, operasi terhadap pemberontak (counterinsurgency operation) yang tidak lain sebagai sebuah ekspresi militer dengan sikap represifnya.11 Dan terakhir adalah negara memiliki kebijakan perluasan program transfer persenjataan militer serta produksi senjata domestik yang menjadi bagian dari sumber budget militer. 12 Sejumlah karakteristik masih dapat terlihat terutama karakter pertama yaitu insitusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) masih berada dibawah Presiden.13 Alhasil, militerisasi mengakibatkan intervensi kehidupan warga sipil dan tentunya mengancam HAM dan kekebasan-kebebasan dasar 7 Literatur-literatur sejarah dan politik militer Indonesia yang diangkat dengan berbagai tema oleh penulispenulis dalam dan luar negeri seperti Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 -1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, [The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967], [Dirterjemahkan oleh Hasan Basari], (Jakarta: LP3ES, 1986); Nugroho Notosusanto, Ed., Pejuang dan Prajurit: konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, (Jakarta: Sinar Harapan, 1991); Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Rezim Otoriter, (Bandung: Rosda Karya, 1998); Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. Kedua, 2002); Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan: Puncak-puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, (Yogyakarta: Narasi, 2005); Salim Said, Legitimizing Military Rule: Indonesian Armed Forces Ideology 1958-2000, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006); Leonard C. Sebastian, Realpolitik Ideology: Indonesia's Use of Military Forces, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies-ISEAS, 2006). 8 Mathews George Chunakara, The Militarisation of Politics and Society: Southeast Asian Experiences, (Hongkong: DagaPress, 1994), hal. 21. 9 Ibid. hal. 21. 10 Ibid. hal. 21. 11 Ibid. hal. 21. 12 Ibid. hal. 21. 13 Untuk penjelasan terhadap kedua institusi ini dapat ditemukan dalam Bhatara Ibnu Reza,”Reformasi Legislasi Sektor Keamanan”, dalam Beni Sukadis, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, (Jakarta: Lesperssi-DCAF, 2007), hal. 200-234. 269 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 (fundamental freedoms) yang telah dijamin oleh konstitusi. Perlu kiranya juga untuk mengingat kembali tolok ukur suksesnya reformasi sektor keamanan yaitu tertatanya ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan rule of law dan terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana. 14 Maksud dari rule of law adalah semangat hukum yang mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi, HAM dan keadilan sehingga legislasi yang dihasilkan tidak sekedar dasar dari kekuasaan belaka. Prinsip demokrasi dalam legislasi sektor keamanan haruslah diiringi dengan semangat ketertundukan militer atas kontrol otoritas sipil yang sah. Sedangkan dalam kaitannya dengan profesionalisme, tentunya legislasi yang dihasilkan menjadikan serta mendukung terwujudnya kemampuan aktor pelaksana untuk menjadi profesional dan tidak menjadikan mereka terlibat dalam politik. Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan apakah reformasi legislasi sektor keamanan telah dibangun dalam sebuah grand design yang paralel dengan kebutuhan sektor keamanan Indonesia serta mendukung profesionalitas aktor keamanan. 2. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara: Sebuah Kebijakan yang Terlambat Sebagaimana telah disinggung diatas, Perpres No. 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara baru diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 26 Januari 2008. Kebijakan ini merupakan cerminan dari program yang telah dicanangkan oleh kandidat presiden dan wakil presiden yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla pada kampanye Pemilihan Presiden 2004. Dalam program mereka dibidang pertahanan, keamanan, politik dan sosial diantaranya adalah pencegahan dan penganggulangan separatisme; pencegahan dan penanggulangan terorisme serta peningkatan kemampuan pertahanan negara.15 14 Lihat Nicolle Ball, Tsjeard Bouta dan Luc van de Goor, Enhancing Democratic Governance of the Security Sector, An Institutional Assessment Framework, (Clingendael: The Netherlands Ministry of Foreign Affairs/The Netherlands Institute of International Relations, 2003). Terdapat tujuh komponen tolok ukur suksesnya reformasi sektor keamanan yaitu: 1. Tertatanya ketentuan perundang-undangan berdasarkan the rule of law. 2. Terbangunnya kemampuan pengembangan kebijakan, menyusun perencanaan pertahanan dan keamanan (defense and security planning). 3. Terlaksanannya pelaksanaan dari kebijakan (Implementasi kebijakan). 4. Terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana. 5. Kemampuan dan efektifitas pengawasan. 6. Penggelolaan anggaran yang logis dan proporsional. Terselesaikannya penyelesaian kasus pelanggaran HAM. 15 Makmur Keliat dan S. Yunanto, Ed., Menatap Masa depan Indonesia: Analisis, (Jakarta: The Ridep Institute, 2004), hal. 152. 270 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Program tersebut kemudian haruslah dituangkan dalam sebuah kebijakan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 13(1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yaitu: (1)Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pertahanan negara (2)Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara. Hal ini terasa aneh bila kemudian peraturan yang seharusnya dikeluarkan pada hari-hari pertama pemerintahan namun baru diterbitkan empat tahun kemudian memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan reformasi sektor keamanan. Padahal sebuah kebijakan umum merupakan hal penting dalam melakukan penataan kembali regulasi sektror keamanan dari masa otoritarian Soeharto ke masa reformasi. Sedangkan untuk melakukan reformasi sektor keamanan dalam Prolegnas 2004-2009 diperlukan 21 rancangan legislasi sektor keamanan sebagai pendukung operasionalisasi UU No. 3 Tahun Tabel 1 Program Legislasi Nasional Sektor Keamanan 2004-2009 No RUU 1. RUU tentang Rahasia Negara 2. RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik 3. RUU tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer 4. RUU tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 15. Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 5. RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris (International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing 6. RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme (International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism) Keterangan Sedang dalam pembahasan DPR Telah diundangkan dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik Sedang dalam pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Telah diundangkan dalam UU No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris (International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing ) Telah diundangkan dalam UU No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme (International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism ) 271 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Hukum Pidana Militer RUU tentang Hukum Disiplin Prajurit TNI RUU tentang Bela Negara RUU tentang Penggunaan Wilayah Negara Indonesia RUU tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya RUU tentang Batas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia RUU tentang Komponen Cadangan RUU tentang Komponen Pendukung RUU tentang Keamanan Nasional RUU tentang Pelatihan Dasar Kemiliteran Secara Wajib RUU tentang Pengabdian di Bidang Pertahanan Sesuai dengan Profesi RUU tentang Perbantuan TNI Kepada POLRI ( Dalam Rangka Tugas Keamanan) RUU tentang Intelijen Negara RUU tentang Pengesahan Perjanjian Pelarangan Ujicoba Nuklir Secara Menyeluruh RUU tentang Pengesahan Konvensi Pelarangan Penggunaan, Penimbunan, Produksi dan Transfer Ranjau Darat Anti Personil dan Pemusnahannnya. (Convention on the prohibition of the Use, Stockpiling, Production and Transfer of Anti-personnel and on their Destruction) Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Sedang dalam pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Tidak masuk pembahasan DPR Telah diundangkan dalam UU No. 20 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Pelarangan Penggunaan, Penimbunan, Produksi dan Transfer Ranjau Darat Anti Personil dan Pemusnahannnya. (Convention on the prohibition of the Use, Stockpiling, Production and Transfer of Anti -personnel and on their Destruction) Kebijakan Umum Pertahanan Negara sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara seharusnya menjadi pedoman bagi Menteri Pertahanan dalam rangka membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan umum pertahanan negara.17 Menteri Pertahanan juga menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan oleh Presiden.18 Menteri Pertahanan merumuskan kebijakan umum penggunaan TNI dan komponen pertahanan lainnya.19 17 18 19 Lihat Pasal 16(2) UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Lihat Pasal 16(3) UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Lihat Pasal 16(5) UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. 272 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Hal inilah kemudian menjadi janggal ketika kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara yang menjadi acuan dari Menteri Pertahanan untuk membuat strategi, doktrin, postur termasuk dalam penyusunan Buku Putih Pertahanan serta menetapkan kebijakan kerjasama bilateral, regional dan kerja dibidangnya.20 Kenyataaanya pada 2008, Departemen Pertahanan menerbitkan Produk Strategis Pertahanan Negara yang terdiri dari Doktrin Pertahanan Negara (2007); Strategi Pertahanan Negara (2007) dan Postur Pertahanan Negara (2007) yang kesemuannya diterbitkan pada 28 Desember 2007 serta Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 yang diterbitkan 18 Februari 2008. Sangat sulit mengatakan bahwa Produk Strategis Pertahanan Negara tak terkecuali Buku Putih meski dibuat dalam tahun yang sama, merujuk pada Perpres No. 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara termasuk derivasinya dalam sejumlah rancangan legislasi sektor keamanan. Sebuah kebijakan yang seharusnya menjadi kerangka dari seluruh reformasi sektor keamanan kenyataanya hanya sekedar memenuhi persyaratan dalam undang-undang. Dengan kata lain Perpres No. 7 Tahun 2008 terkesan justeru mengacu pada Produk Strategis Pertahanan Negara serta rencana legislasi yang telah dibuat sebelumnya dan bukan sebaliknya. Salah satu contohnya ketika Perpres No. 7 Tahun 2008 dalam Bagian C(2) tentang Kebijakan Pembangunan Kekuatan Pertahanan menyinggung pembangunan Komponen Pertahanan yang diprioritaskan pada pembangunan Komponen Utama yaitu TNI dan penyiapan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung. 21 Secara nyata hal ini telah ada didalam Postur Pertahanan Negara yang terbit pada 2007 serta Rancangan Undang-Undang (RUU) Komponern Cadangan Pertahanan Negara yang saat ini dibahas DPR saat ini merupakan draft tertanggal 9 Oktober 2006 yang kemudian dalam perjalanannya direvisi dengan dikeluarkannya draft Desember 2008. Adalah benar pada 2003 pernah ada draft RUU Komponen Cadangan namun meski UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara telah berlaku namun pemerintahan saat itu dibawah Presiden Megawati Soekarnoputri sama sekali tidak mengeluarkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Sehingga pertanyaan yang timbul adalah atas kepentingan apa dan siapa kemudian RUU Komponen Pertahanan tersebut disusun, jikalau tidak ada satupun landasan kebijakan dari pemerintah yang berkuasa. Ini adalah salah satu contoh konkrit ketidakjelasan proses reformasi sektor keamanan di Indonesia. Departemen Pertahanan yang seharusnya berperan untuk membantu Presiden terkesan mengambil kesempatan untuk melakukan penafsiran sendiri terhadap proses reformasi sektor keamanan. Dengan kata lain, Departemen Pertahanan kemudian menjadi sebuah lembaga otonom yang terlepas dari pengawasan eksekutif dalam menyusun kebijakan pertahanan meski dipimpin oleh seorang menteri yang berstatus sipil. 20 Lihat Pasal 15(3) UU No. 3Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pada 18 Februari 2008, Departemen Pertahanan kembali menerbitkan Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 menggantikan, Buku Putih Pertahanan 2003 yang diterbitkan pada 31 Maret 2003. 21 Perpres No. 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara. 273 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Ketidakjelasan ini diperparah lagi dengan kelemahan DPR selaku legislator yang seharusnya tidak hanya sekedar membuat undang-undang tetapi juga mengerti landasan kebijakan yang digunakan oleh pemerintah dalam mengajukan RUU berkait dengan reformasi sektor keamanan. 3. Pembahasan Rancangan Legislasi Sektor Keamanan 2008-2009 a. RUU Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Sebagaimana telah dibahas dalam Almanak Reformasi Sektor Keamanan 200722 pembahasan RUU Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah memakan waktu cukup lama yaitu berkisar hampir empat tahun. RUU ini adalah salah satu yang harus segera diselesaikan pembahasannya melalui pengesahan oleh DPR pada akhir September 2009. Adapun persoalan-persoalan masih pada lingkup yurisdiksi peradilan militer dalam kaitannya dengan kedudukan peradilan umum. Sehingga pembahasan dalam rancangan legislasi ini tidaklah beranjak pada hal-hal lain yang lebih penting namun selain upaya tarik ulur yang dilakukan oleh pemerintah. Hal lainnya dalam pembahasan rancangan legislasi ini adalah munculnya upaya pembelokan nilai-nilai supremasi sipil yang menjadi dasar dari keseluruhan reformasi sektor keamanan di Indonesia dengan kepentingan militer terhadap sipil yang coba dipertahankan dalam dunia peradilan. Upaya ini militerisasi mencoba menjadikan peradilan militer sebagai benteng terakhir untuk tidak tunduk dalam nilai-nilai peradilan independen, fair dan imparsial bahkan justeru menjadikannya sebagai sentral bagi kepentingan militer dalam hubungannya dengan lingkup peradilan lain. Sehingga peradilan militer akan memiliki kedudukan yang superior di dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Terdapat tiga hal penting yang menjadi fokus utama dalam pembahasan RUU ini yaitu soal yurisdiksi; pengadilan dengan acara koneksitas, keterlibatan perangkat penegak hukum militer seperti Polisi Militer (PM) dalam penyelidikan kasus di peradilan umum serta pelaksanaan putusan. Ketiga hal ini tidak hanya menempatkan kedudukan peradilan militer menjadi superior tetapi juga merupakan contoh konkrit penggambaran dari upaya menempatkan militer sebagai kelas superior dalam masyarakat Indonesia. Perihal yurisdiksi dimana RUU tersebut menyatakan prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di Peradilan Umum dan jika melakukan kejahatan militer akan diadili di Peradilan Militer sebagaimana amanat TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dan UU No. 34 Tahun tentang TNI.23 Namun dalam hal ini akhirnya Persoalan yurisdiksi ini sempat menjadikan pembahasan RUU ini menjadi berlarut-larut karena Departemen Pertahanan bersikukuh untuk tidak menerima yurisdiksi peradilan umum terhadap prajurit TNI. 22 Lihat Bhatara Ibnu Reza,”Reformasi Legislasi Sektor Keamanan”, dalam Beni Sukadis, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2007, (Jakarta: Lesperssi-DCAF, 2007), hal. 200-234. Untuk pembahasan RUU ini bisa dilihat di Bhatara Ibnu Reza, et,al, Reformasi Peradilan Militer di Indonesia, (Jakarta: Imparsial, 2007). 23 Ibid. hal. 229. 274 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Akan tetapi pada akhir November 2006, ketika masih berada di Tokyo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin bahwa Pemerintah setuju prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum. Dengan pernyataan tersebut, maka kebuntuan yang selama ini terjadi antara DPR dengan Pemerintah sudah menemui jalan keluar dan sepakat untuk melanjutkan pembahasan.24 Kedua, tentang pengadilan dengan acara koneksitas yaitu jika suatu tindak pidana dilakukan secara bersama-sama antara anggota militer dengan warga sipil dan untuk tidak menimbulkan konflik yurisdiksi maka penentuannya dilakukan dengan melihat apakah tindak pidana yang dilakukan mereka merugikan kepentingan militer atau kepentingan publik secara umum. Dalam pembahasannya, Panitia Kerja RUU Perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer akhirnya menerima pendapat pemerintah mengenai perlunya mempertahankan peradilan koneksitas dalam peradilan militer yang kali ini mencoba menjaring warga sipil yang melakukan tindak pidana militer yang pada praktik sebelumnya apakah sebuah tindak pidana merugikan kepentingan pada salah satu pihak apakah militer atau sipil. Argumen pemerintah yang terdengar absurd ini mengandaikan keterlibatan warga sipil bersama-sama dengan militer dalam tindak pidana militer. Dalam praktiknya koneksitas merupakan cara yang dilakukan militer untuk melindungi anggotannya mengingat sesuai ketentuan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menitikberatkan pada status pelaku kejahatan dan bukan jenis kejahatan. Walhasil tindak kejahatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kejahatan yang memang khas militer menjadi yurisdiksi peradilan militer. Bahkan acara koneksitas telah terbukti sebagai bagian dari superioritas militer terhadap berbagai kasus yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana militer. 24 Ibid. hal. 229. 275 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Tabel 3 Kasus Pengadilan Koneksitas dan Kasus Perkara Koneksitas yang Menjadi Sarang Impunitas 276 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah 277 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Sumber: Reformasi Peradilan Militer di Indonesia (Imparsial, 2007) Aturan tentang kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh anggota militer dengan warga sipil pertama kali diatur dalam UU No. 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Akan tetapi penggunaan istilah koneksitas baru diperkenalkan di masa Orde Baru ketika ditabalkan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman dan kemudian diatur juga oleh Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk pelaksanaan penanganan perkara koneksitas itu kemudian dikeluarkan sebuah Keputusan Bersama antara Menteri Kehakiman, Menhankam/Pangab, Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung (MA) RI yang dituangkan dalam No. KEP/B/61/XII/1971 tentang Kebijaksanaan dalam Pemeriksaan yang Dilakukan Bersama-sama oleh Orang yang Termasuk dalam Yurisdiksi Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer/Angkatan Bersenjata dan Orang yang Termasuk dalam Yurisdiksi di Lingkungan Peradilan Umum yang diterbitkan pada 7 Desember 1971. Dari segi hukum, surat ini jelas bermasalah mengingat tidak terdapat batas antara MA sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dengan sebagian pihak yang merupakan lembaga yang berada di bawah kekuasaan legislatif. Hal ini terjadi karena pengaruh luar biasa ABRI saat itu dalam sistem peradilan Indonesia di mana lembaga peradilan dan penuntutan telah mengalami kooptasi dan militerisasi. Selain itu keputusan ini lebih mencerminkan politik hukum Pemerintahan Soeharto daripada sebuah peraturan perundang-undangan. Terbitnya KUHAP bagi ABRI saat itu dianggap tidak cukup memadai sehingga kemudian dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri 278 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Kehakiman KEP.10/M/XII/1983 dan KEP.57.PR.09.03 Tahun 1983 tanggal 29 Desember 1983 tentang Pembentukan Tim Tetap untuk Penyidikan Perkara Tindak Pidana Koneksitas. Setelah diterbitkannya Keputusan Bersama tersebut di atas, selanjutnya Mabes ABRI menerbitkan sebuah surat keputusan yaitu Skep Pangab No. 809/IX/1988 tangggal 2 November 1988 tentang Pengendalian dan Pengawasan Atas Kegiatan Tim Tetap untuk Penyidikan Tindak Surat Keputusan itu kemudian direspon oleh Oditur Jendral (Orjen) ABRI dengan menerbitkan Surat Edaran Orjen ABRI No. SE/B/95/VII/1991 tanggal 29 Agustus 1991 tentang Penunjuk Sementara Pelaksanaan Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas dan Petunjuk Pelaksana Orjen ABRI No. Juklak/01/IV/1993 tanggal 7 Juni 1993 tentang Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas. Adalah fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri dimana terdapat warga sipil yang diadili oleh peradilan militer khususnya oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Mahmilub yang memiliki kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden dalam bentuk keputusan presiden sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Pnps Tahun 1963 tentang PembentukanMahkamah Militer Luar Biasa. Sederetan kasus yang telah diadili melalui mekanisme melalui Mahmilub berdasarkan keputusan presiden tersebut diantaranya pengadilan terhadap tokoh RMS, Dr. Soumokil dengan Keppres No. 6 Tahun 1964, perkara H. Bachrum Effendi auctor intellectualis peristiwa Idhul Adha dengan Keppres No. 156 Tahun 1964, perkara Ibnu Hajar dalam kasus pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dengan Keppres No. 157/1964 serta pengadilan terhadap sejumlah perwira dan tokoh PKI di tahun 1965 dengan Keppres No. 370 Tahun 1965. Namun bila kita ditelisik lebih dalam, pengadilan dengan menggunakan mekanisme Mahmilub merupakan pelaksanaan politik hukum Demokrasi Terpimpin yang memberikan ruang kekuasaan intervensi terhadap independensi peradilan kepada Presiden Soekarno. Saat itu kekuasaan kehakiman dalam hal ini pengadilan merupakan alat revolusi sesuai dengan UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini kemudian memberikan kewenangan penuih bagi Presiden/Pemimpin Besar Revolusi untuk campur tangan dalam pengadilan demi kepentingan revolusi, kehormatan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat. Hakikatnya setiap peristiwa yang melibatkan warga sipil dan kelompok militer bersenjata dalam tindak pidana menggulingkan pemerintah atau makar adalah merupakan yurisdiksi peradilan umum. Di berbagai belahan dunia praktik peradilan terhadap kejahatan makar atau yang disebut sebagai pengkhianatan (high treason) ini merupakan wilayah kewenangan peradilan umum meski terdapat keterlibatan militer didalamnya. Selain itu pengertian high treason tidak hanya menyangkut upaya untuk menggulingkan pemerintah yang sah tetapi juga termasuk tindak pengkhianatan terhadap kedaulatan negara. 279 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Untuk yang terakhir ini kembali sejarah peradilan Indonesia pada masa keemasannya pernah melakukannya sekali dan belum pernah terulang kembali adalah kasus Sultan Hamid II. Dalam kasus ini, Sultan Hamid II terlibat berkolaborasi dengan Kapten Raymond Westerling dalam usaha percobaan pembunuhan terhadap sejumlah menteri diantaranya Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang kemudian memunculkan Peristiwa APRA di Bandung yang menewaskan sejumlah perwira APRIS. Persidangan kasus yang mendapatkan perhatian masyarakat saat itu digelar MA dan dipimpin langsung ketuanya yaitu Prof. Mr. Wirjono Projodikoro selaku ketua majelis hakim serta Jaksa Agung Soeprapto selaku penuntut umum. 25 Dengan melihat berbagai kasus tersebut dapat dikatakan peradilan koneksitas tidak dapat lagi menjadi jawaban dalam menangani kasus-kasus pidana militer. Jika praktik mekanisme Mahmilub yang menjadi dasar argumen bagi pemerintah sebagai dasar pembenar untuk menyeret warga sipil masuk ke dalam yurisdiksi peradilan militer adalah kesalahan besar. Preseden yang digunakan justru menafikan independensi dan imparsialitas peradilan yang telah menjadi prinsip yang diakui oleh seluruh bangsa di dunia. Ditambah lagi, praktik tersebut muncul dari sejarah kelam hukum Indonesia yang imbasnya masih kita rasakan sehingga tidak tepat juga untuk dijadikan contoh ditengah-tengah upaya mereformasi dunia peradilan Indonesia. Ketiga, persoalan keterlibatan Polisi Militer dalam penyelidikan dalam kasus-kasus tindak pidana umum. Usulan ini datang dari pemerintah dengan alasan bahwa meski anggota militer yang melakukan tindak pidana umum tunduk pada yurisdiksi peradilan umum akan tetapi prosesnya tetap dilakukan dalam yurisdiksi peradilan militer dan kasusnya akan dilimpahkan oleh Oditur Militer. Konsep ini jelas memosisikan superioritas peradilan militer terhadap peradilan umum. Upaya ini dilakukan persoalan kedudukan polisi militer dijadikan pemerintah untuk mengganjal yurisdiksi peradilan umum berkait dengan tindak pidana umum. Selain itu, upaya pemerintah untuk memasukan hal ini dalam pembahasan merupakan upaya menarik ulur pembahasan rancangan legislasi ini.26 DPR sebagai pembuat undang-undang harus secara tegas melihat bahwa persoalan kendala psikologis tidak dapat dijadikan alasan dalam upaya penegakan hukum. Bagaimanapun juga Kepolisian Negara RI merupakan aktor utama sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system) dalam penyelidikan tindak pidana umum dan bukan polisi militer. Sehingga menempatkan polisi militer kedalam sistem peradilan pidana umum menjadikan mereka seakan-akan memiliki yurisdiksi dalam peradilan umum dan berujung pada kekacauan penerapan hukum acara pidana. 25 Lihat Iip D. Yahya, Mengadili Menteri Memeriksa Perwira: Jaksa Agung Suprapto dan Penegakan Hukum di Indonesesia Periode 1950-1959, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004). 26 Lihat Pernyataan Bersama, “Pansus Peradilan Militer jangan Terjebak Permainan Pemerintah” (Konferensi Persi Ruang Wartawan Nusantara III DPR, 19 Desember 2008). Lihat www. vivanews.com, “Pemerintah Dinilai Sengaja Tarik Ulur”, http://politik.vivanews.com/news/read/16763-pemerintah_dinilai_sengaja_tarik_ulu, (Diakses pada 17April 2009). 280 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Tidak hanya itu, superioritas peradilan militer kedepan akan berpengaruh pada proses penyelidikan yang akan dilakukan oleh lembaga lain seperti Komnas HAM selaku penyelidik dalam kasus pelanggaran HAM berat yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, serta penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dengan keterlibatan PM serta Oditur selaku jaksa penuntut umum dilingkup peradilan militer artinya sama saja bahwa prinsip yurisdiksi peradilan umum terhadap pelaku militer sama sekali diabaikan dan malah yang terjadi adalah penguatan kedudukan peradilan militer terhadap peradilan umum. Superioritas peradilan militer juga semakin nampak jika kewenangan Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) serta mekanisme Perwira Penyerah Perkara (Papera) tidak mengalami perubahan dalam rancangan legislasi ini dan turut serta berperan dalam menangani tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI. Ankum memiliki kewenangan sebagai penyelidik sekaligus penyidik perkara dalam lingkup peradilan militer, sehingga jikalau mekanisme ini dipakai maka jalannya perkara akan ditentukan oleh tiga aktor yaitu PM, Oditur Milter serta Ankum. Sedangkan Papera adalah perwira yang memiliki kewenangan khusus untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan prajurit TNI yang berada dibawah komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan diluar pengadilan militer. Jikalau peran Papera juga masuk dalam penanganan tindak pidana umum kemungkinan akan terjadi impunitas mengingat Papera untuk tidak menyerahkan anak buahnya terutama dengan alasan-alasan bahwa prajurit tersebut memiliki keahlian yang dibutuhkan dalam operasi militer. Dengan kata lain, Papera memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk menutup sebuah perkara tidak hanya di peradilan militer tetapi juga dilingkup peradilan umum. Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah masih tetap bersikukuh atas pendapatnya yang menjadikan pembahasan melalui Panitia Sinkronisasi antara DPR dengan Pemerintah mengalami deadlock. Hal ini seharusnya dapat dihindari apabila DPR tetap pada pendiriannya untuk melakukan reformasi total terhadap peradilan militer. Adalah benar dalam proses pembuatan undang-undang, DPR melakukannya bersama-sama dengan pemerintah. Namun dalam hal ini DPR lebih memiliki peranan mengingat kedudukan dan kewenangannya selaku pembuat undang-undang yang telah dikuatkan dalam konstitusi. Dengan kata lain, DPR seharusnya dapat mengambil langkah-langkah tegas untuk tidak berkompromi dikarenakan DPR telah membaca gelagat niat tidak baik pemerintah selama proses pembahasan berlangsung. Padahal jikalau menilik lebih jauh terhadap substansi RUU ini, yang tak kalah penting juga adalah perihal jaminan hak terhadap prajurit. Meski prajurit adalah bagian dari negara akan tetapi mereka masih memiliki Hak Asasi Manusia (HAM) yang terbatas termasuk dimana hakhak tersangka, terdakwa dan terpidana yang termasuk dalam rumpun hak-hak yang tidak dapat dkurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Dalam kaitan itu terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara penerapan hak-hak tersebut antara UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan RUU Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 281 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Tabel 4. Perbandingan Hak-Hak Tersangka dalam KUHAP dan UU Peradilan Militer Sumber: Reformasi Peradilan Militer di Indonesia (Imparsial, 2007) 282 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Pembatasan-pembatasan ini jelas menjadikan peradilan militer secara tidak langsung melakukan pelanggaran HAM terhadap hak-hak non-derogable rights para prajurit. Bagaimanapun hak-hak ini dapat menimbulkan efek ketidakadilan terutama bagi prajurit sendiri serta keluarganya jika hendak melakukan keluhan atau langkah hukum jika dikemudian hari peradilan militer melakukan kesalahan dalam penerapan hukum. Seharusnya dalam pembahasan rancangan legislasi ini, DPR hendaknya dapat mendasarkan diri pada sejumlah prinsip-prinsip guna mewujudkan TNI yang profesional, dalam konteks Peradilan Militer berdasarkan pengalaman sejarah, amanat reformasi serta perkembangan dan perbandingan internasional, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dan mendasari UU Peradilan Militer yang baru, yaitu,27 prinsip pertama, peradilan militer harus menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, sesuai dengan amanat konstitusi. Prinsip kedua, Indonesia adalah negara hukum (rechstaat). Oleh karena itu di dalam peradilan militer juga harus dijamin asas persamaan di muka hukum (equality before the law). Prinsip ketiga, reformasi peradilan militer harus mengarah pada penguatan wibawa peradilan militer untuk memperkuat disiplin anggota militer, dengan tetap mengacu kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Prinsip keempat, posisi dan komposisi peradilan militer harus diatur sedemikian rupa sehingga meskipun merupakan bagian dari TNI, namun peradilan militer dapat bekerja independen tanpa terpengaruh oleh rantai komando yang berlaku di TNI. Prinsip kelima, peradilan militer harus menjamin keadilan bagi semua prajurit TNI dan melindungi hak asasi prajurit TNI. Tidak boleh ada diskriminasi dalam sistem peradilan militer, artinya baik prajurit maupun perwira harus diposisikan sama di muka hukum. Dalam hal prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, maka hak untuk didampingi pengacara, hak untuk menghubungi keluarga, hak untuk tidak disiksa, hak untuk segera diadili, dan lain-lain harus dijamin dengan Undang-Undang. Prinsip keenam, peradilan militer harus memiliki yurisdiksi yang jelas. Dalam hal ini yurisdiksi peradilan militer harus didasarkan terutama oleh tindak pidana yang disangkakan, dan bukan semata-mata pada subyek pelaku, waktu, atau lokasi terjadinya kejahatan. Dengan demikian, yurisdiksi peradilan militer terbatas pada tindak pidana yang diatur dalam KUHP Militer. Yurisdiksi berdasarkan tindak pidana yang disangkakan tersebut (ratione materiae) dapat diperluas jika dan hanya jika Indonesia sedang mengalami situasi perang. Dari aspek subyek pelaku tindak pidana (ratione personae), yurisdiksi peradilan militer terbatas pada mereka yang menjadi anggota militer serta yang dipersamakan. Sedangkan dari segi lokasi kejadian perkara (ratione loci), yurisdiksi peradilan militer hanya terbatas pada medan pertempuran ketika Indonesia sedang dalam situasi perang. Dalam situasi perang, aspek-aspek ratione materiae, personae dan loci di atas dapat diperluas dengan berdasarkan keputusan/persetujuan DPR. Maka dari itu, dengan prinsip ini praktek peradilan koneksitas menjadi tidak relevan dan harus dihapuskan dari sistem peradilan militer. 27 Lihat Bhatara Ibnu Reza, et,al, Reformasi Peradilan Militer di Indonesia, (Jakarta: Imparsial, 2007). hal. 65-66. 283 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Prinsip ketujuh, peradilan militer harus bersifat terbuka sehingga bisa dikontrol dan dapat dipertanggungjawabkan. Segala bentuk pelanggaran serta tindakan terhadap pelanggaran hukum pidana dan disiplin militer, harus dilaporkan dan dapat di-review oleh eksekutif melalui Menteri Pertahanan. Dengan demikian diharapkan dapat dicegah terjadinya pemidanaan militer dan mekanisme disiplin militer terhadap tindakan yang semestinya masuk yurisdiksi peradilan umum. Prinsip kedelapan, menyangkut akuntabilitas peradilan militer, harus ada aturan yang jelas dan terukur mengenai mekanisme hukum dan disiplin militer yang berlaku di lingkungan internal militer. Oleh karena itu mekanisme-mekanisme ekstra-yudisial seperti Dewan Kehormatan Militer atau Dewan Kehormatan Perwira harus dihapus. Kalaupun diperlukan mekanisme ekstra-yudisial semacam itu, tidak boleh bersifat substitutif terhadap sistem hukum yang berlaku. Mekanisme-mekanisme ekstra-yudisial tersebut harus ditempatkan sebagai komplemen/ suplemen dari sistem hukum yang berlaku. Prinsip kesembilan, sebagai bagian dari unifikasi hukum dan menghindari dualisme rezim hukum tata usaha di Indonesia, maka Undang-Undang Peradilan Militer tidak semestinya mengatur tata usaha militer. a. RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara Pemerintah akhirnya memasukan RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) kepada DPR setelah sebelumnya telah dimasukan dalam Prolegnas 2008.28 Untuk keperluan tersebut DPR telah pula mengesahkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) RUU KCPN yang diketuai oleh Happy Bone Zulkarnain pada 21 April 2009.29 Adapun draft yang dibahas adalah draft Desember 2008 yang merupakan revisi dari draft 9 Oktober 2006 yang sebelumnya telah mengalami kritik tajam dari masyarakat sipil.30 Pada RUU ini Departemen Pertahanan menjadi wakil dari pemerintah sebagai mitra dari Pansus RUU KCPN DPR. Dalam Naskah Akademik Komponen Cadangan Pertahanan Negara 2008 yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan menyatakan bahwa: 31 28 Lihat Pusat Informasi dan Komunikasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, “RUU Usulan Prioritas Prolegnas 2008, http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=103&Itemid=99999999, (Diakses 21 April 2009). 2 9 L i h a t w w w . h u k u m o n l i n e . c o m ,“ R a p a t P a r i p u r n a S a h k a n D u a P a n s u s R U U ”, http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=21781&cl=Aktual, (Diakses 21 April 2009). 30 Lihat Bhatara Ibnu Reza, et. al, Reformasi di Persimpangan: Rancangan Kompenen Cadangan Pertahanan Negara, (Jakarta: Imparsial, 2008). Lihat juga www.kompas.com, ”Imparsial: Hentikan Penyusunan RUU Komponen Cadangan”, (Diakses pada 21 April 2009). 31 Lihat Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, “Naskah Akademik Komponen Cadangan Pertahanan Negara”, (Jakarta: Departemen Pertahanan RI, 2008), hal. 28. 284 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah “…pembentukan adalah sesuatu yang strategis. Jika hal ini bisa dipahami maka sebetulnya pembentukan Komponen Cadangan bukan hanya karena nilai urgensinya, tapi lebih kepada nilai strategisnya. Bahwa ia perlu ada demi kepentingan pertahanan dan bela negara di masa mendatang yang harus dipersiapkan dari masa kini.” Peryataan ini tentunya haruslah melihat akan beberapa hal terutama sekali adalah strategic defense review dan postur pertahanan yang hendak dibangun oleh Indonesia. Pasalnya sebagaimana telah disinggung diawal, kepentingan pembentukan KCPN ini tidak memiliki dasar yang cukup kuat jika mengacu pada dua Produk Strategis Pertahanan yaitu Strategi Pertahanan Negara dan Postur Pertahanan Negara yang diterbitkan pada 2007. Sungguhpun draft RUU KCPN telah direvisi pada Desember 2008 tidak menjadikannya sebagai bentuk pengejawantahan Perpres No. 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang diterbitkan pada bulan dan tahun yang sama. Dalam draft RUU KCPN versi Desember 2008 memang terdapat banyak perubahan akan tetapi esensi dari RUU yaitu filosofis, hukum dan politik serta kedudukan warga sipil tidak mengalami perubahan. Terdapat tiga permasalahan dalam RUU KCPN yaitu persoalan HAM warga negara; kaitannya dengan postur pertahanan negara; nuansa kepentingan politik militer terutama Angkatan Darat. Dengan kata lain draft Desember 2008 belum menjawab persoalan-persoalan pertahahan negara apalagi perlindungan terhadap hak konstitusi warga negara serta kepentingan atas pembentukan KCPN. Naskah Akademik dari Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan menyatakan RUU KCPN mengakomodasi HAM akan tetapi draft RUU KCPN Desember 2008 masih belum menjamin hak-hak warga negara dengan masih adanya penerapan pidana bagi warga negara yang menolak untuk mengambil bagian dari KCPN.32 Padahal persoalan persepektif HAM adalah hal yang sangat penting dalam keikutsertaan warga sipil dalam pertahanan negara.33 Hakhak yang dilanggar pada proses perekrutan adalah hak untuk hidup (right to life), hak untuk kebebasan dan keamanan seseorang (right to liberty and security), serta kekebasan untuk berpikir, hati nurani dan beragama (freedom of thought, conscience and religion) serta hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum tanpa diskriminasi dalam kesamaan perlindungan hukum (right to be treated equal before the law). Kesemua hak tersebut termasuk dalam rumpun hak tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Berkait dengan praktik wajib militer di berbagai negara, Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN High Commission for Human Rights) kemudian mengeluarkan resolusi mengenai penolakan terhadap wajib militer oleh seseorang melalui Resolusi 1998/77.34 Conscientious Objection yang secara harafiah diartikan sebagai penolakan bersungguhsungguh sebenarnya merupakan penolakan seseorang terhadap wajib militer berdasarkan 32 Ibid. hal. 48. 33 Lihat Bhatara Ibnu Reza,” Wajib Militer: Perspektif HAM”, dalam Beni Sukadis, Pertahanan Semesta dan Wajib Militer: Pengalaman Indonesia dan Negara Lain, (Jakarta: Lesperssi-DCAF, 2008). Hal. 90-103. 34 United Nations High Commission for Human Rights, Conscientious Objection to Military Service, (Commission on Human Rights Resolution 1998/77). 285 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 kepercayaannya (believe). Sedangkan individu yang menggunakannya disebut sebagai Conscientious Objector (CO). Penolakan tersebut merupakan hasil dari penafsiran Komisi HAM PBB dimana hal itu merupakan bagian dari HAM dalam Pasal 18 ICCPR35 mengenai kekebasan untuk berpikir, hati nurani dan beragama (freedom of thought, conscience and religion). Dalam Komentar Umum (General Comment) Nomor 24 Paragraf berkait dengan Pasal 18 ICCPR oleh Komite HAM (Human Rights Committee)36 dinyatakan bahwa:37 “The Covenant does not explicitly refer to a right to conscientious objection, but the Committee believes that such a right can be derived from article 18, inasmuch as the obligation to use lethal force may seriously conflict with the freedom of conscience and the right to manifest one's religion or belief.“ 38 Meski terkesan bahwa conscientious objection didasarkan oleh kepercayaan dan agama namun hak ini juga melindungi hak individu dalam kebebasan nurani dan non-believers. Resolusi 1998/77 Komisi HAM PBB menekankan agar negara harus mengambil setiap tindakan yang perlu untuk menahan diri (to refrain) dari pengecaman terhadap para CO serta menghukum kembali (repeated punishment) karena pengabaian melakukan wajib militer (failure to perform military service) serta mengingat tidak seorangpun dapat dihukum kembali terhadap suatu kejahatan dimana ia telah menerima hukuman atau dibebaskan berdasarkan hukum dan hukum acara pidana dari masing-masing negara.39 Negara baik dalam hukum nasional maupun praktiknya tidak diperbolehkan memperlakukan para CO berkaitan dengan persyaratan dan ketentuan wajib militer atau berkait dengan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.40 Sedangkan bagi negara-negara yang belum mengatur perihal conscientious objection, namun memiliki peraturan perundang-undangan mengenai sistem wajib militer (system of 35 Peter Rowe, The Impact of Human Rights…” Op.Cit, hal. 18 dalam footnote 61. Ketentuan dalam Pasal 18 ICCPR juga telah diadopsi oleh sejumlah instrumen HAM regional seperti dalam Pasal 8 African Charter on Human Rights and People's Rights; Pasal 12 American Convention of Human Rights serta Pasal 9 European Convention on Human Rights. 36 Harus diperhatikan bahwa Komite HAM (Human Rights Committee) merupakan badan yang dibentuk dalam rangka mengawasi kewajiban negara peserta ICCPR atau sering dikenal sebagai treaty body. Sedangkan Komisi HAM PBB UN Commission for Human Rights adalah organ PBB yang dibentuk dibawah Economic, Social and Cultural Council (ECOSOC) yang merupakan principal organ dari PBB. Dalam perjalanannnya Komisi HAM PBB menjadi Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) Lihat Scott Davidson, Hak Asasi Manusia [Human Rights]. [Diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka], (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994). 37 General Comment No. 22: 30/07/93(48th Session): The Right to Freedom of Thought, Conscience and Religion (Art. 18) CCPR/ C/21/Rev.1/Add.4. para. 11. 38 Commission on Human Rights, “Civil and Political Rights, including the Question of Conscientious Objection to Military Service”, Report of the High Commissioner submitted pursuant to Commission Resolution 2000/34, E/CN. 4/2002/WP. 2 of March 14,2002, hal. 3, para. 9. 39 Nations High Commission for Human Rights, Conscientious Objection…, Op.Cit., para. 5. 40 Ibid. para. 6. 286 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah compulsory military service, Resolusi 1998/77 Komisi HAM PBB merekomendasikan untuk memberikan CO dengan berbagai dinas pengganti (alternative service) wajib militer yang sesuai bagi pengguna conscientious objection, non-kombatan atau penduduk sipil dalam kepentingan publik (public interest) dan bukan sebagai dasar penghukuman (punitive nature).41 Dalam hal situasi-situasi tertentu terdapat kesesuaian dengan persyaratan dari definisi pengungsi sebagaimana diatur dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, resolusi ini mendorong negara-negara untuk memberikan suaka (granting asylum) bagi CO yang terpaksa meninggalkan negara asalnya disebabkan ketakutannya dari tindak persekusi yang timbul dari penolakannya dalam melakukan wajib militer dimana tidak terdapat pengaturan (provision) atau pengaturan yang memadai mengenai conscientious objection terhadap wajib militer.42 Laporan Komisi HAM PBB No. E/CN.4/2002/WP pada 14 Maret 2002 berkait dengan persoalan conscientious objection dalam wajib militer menampilkan sejumlah yurisprudensi dari berbagai organisasi internasional maupun regional.43 Salah satunya yang paling maju dilakukan oleh Pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Rights). Indonesia sendiri pernah memiliki mekanisme CO ketika pemberlakukan UU No. 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang lahir dari amanat UU No. 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara. UU itu merupakan peraturan yang pertama mengatur segala soal wajib militer diantaranya hak dan kewajiban, kedudukan hingga berbagai sanksi pidana dalam berbagai situasi. Warga negara yang berusia 18 tahun hingga 40 tahun wajib mendaftar untuk wajib militer. Meski dalam kerangka ”wajib” terdapat hal yang menarik dimana UU ini membebaskan seseorang untuk ikut serta dalam wajib militer berdasarkan kepercayaannya. Penjelasan Pasal 11 UU No. 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer menyatakan: “Pasal 10 Undang-undang Pertahanan di mana di dapat juga syarat-syarat pembebasan (Lembaran Negara tahun 1954 No.84) berbunyi sebagai berikut : "Wajib-militer tidak dikenakan terhadap: a. Mereka yang dalam, keadaan sedemikian, sehingga apabila mereka dipanggil untuk wajib militer akan mengakibatkan kesukaran hidup bagi orang lain yang menjadi tanggungannya. b. Mereka yang menjabat suatu jabatan agama atau perikemanusiaan yang ajarannya tidak membolehkan, c. Mereka yang melakukan tugas penting untuk Negara" Pasal ini belum di muat ketentuan mengenai kemungkinan pembebasan dari golongan tertentu yang juga terdapat dalam masyarakat Indonesia, yaitu golongan yang tidak bersedia 41 Ibid. para. 4. Ibid. para.7. 43 Commission on Human Rights, Op.Cit. hal. 6-9. 42 287 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 menjadi prajurit (secara sukarela maupun wajib) karena hal itu adalah bertentangan dengan kepercayaan yang dianutnya, (dalam bahasa Belanda "principiele dienst weigeraars"); Ketentuan-ketentuan tentang hal ini perlu diatur dalam undang-undang tersendiri.” UU No. 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer juga memberikan penegasan secara jelas perihal komponen pertahanan negara yang telah diatur dalam Pasal 5 UU No. 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara. Penjelasan ini terlihat dalam butir 2 tentang Wajib Militer dalam Rangka Pertahanan Negara dimana terdapat Komponen Pertahanan Negara yaitu: “Pertama: Angkatan Perang yang terdiri dari : a. Angkatan Perang tetap yang terdiri dari militer-sukarela yang merupakan tenaga inti dari Angkatan Perang semasa damai maupun perang. b. Cadangan Angkatan Perang yang terdiri dari militer-wajib yang semasa damai dididik dan dilatih secara periodik. Kedua: Rakyat terlatih, terdiri dari mereka yang tidak dimasukkan dalam Angkatan Perang (secara sukarela maupun wajib) untuk melakukan tugas-tugas pembelaan yang bersifat tidak khusus militer dan membantu Angkatan Perang dalam pelaksanaan tugas-tugas secara langsung maupun tidak.” Bila ditelisik lebih jauh terhadap peraturan perundang-undangan berkait dengan wajib militer terdapat hal penting khususnya dalam penghormatan terhadap HAM sebagai hak konstitusi warga negara. UU No. 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer menggunakan landasan hukum dari UUDS 1950 dan UU No. 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara. Dengan kata lain UU Wajib Militer merupakan pengejawantahan konstitusi Indonesia khususnya Pasal 24 UUDS 1950 berkait dengan hak dan kewajiban warga negara dalam pertahanan negara. Meski UU Wajib Militer tidak secara spesifik menyebutkan dasar-dasar HAM lainnya yang termaktub dalam UUDS 1950 secara lengkap namun semangat UU Wajib Militer tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hak konstitusi warga negara. Bandingkan dengan Pasal 12(1) draft RUU KCPN versi Desember 2008 menyatakan: “Penangguhan menjadi anggota Komponen Cadangan dapat dilakukan terhadap calon Anggota Komponen Cadangan karena: a. sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; b. keberadaannya diperlukan masyarakat; c. sedang menjalani tahap ujian akhir atau tugas akhir pendidikan yang tidak dapat ditinggalkan; d. sedang menunaikan ibadah haji atau ibadah lain sesuai dengan agamanya; atau e. sedang melaksanakan tugas penting yang tidak dapat digantikan oleh orang lain.” Terkesan bahwa RUU ini mengakomodasi CO didalamnya serta sangat jauh dari maknanya. Dalam pasal ini terlihat kata “penangguhan” mencerminkan bahwa pertimbangan diberikan kepada negara dan bukan kepada warga negara. Artinya kuasa untuk melakukan penangguhan dengan berbagai pertimbangan dan alasan tidak didasarkan pada hak warga 288 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah negara. Pasal ini membuktikan bahwa RUU ini tidak mngakomodasi standar internasional berkait dengan hak warga negara dalam pelibatannya dalam pertahanan negara. Kedua, perihal postur pertahanan negara. Hal yang seringkali diungkapkan ketika RUU KCPN ini menjadi perhatian masyarakat adalah mengapa kemudian KCPN menjadi jawaban dari permasalahan postur pertahanan Indonesia mengingat seharusnya terlebih dahulu pengaturan postur pertahanan lebih diutamakan pada komponen utama pertahanan yaitu TNI. Sedangkan reformasi terhadap TNI belumlah selesai. Pertanyaan lainnya adalah, seberapa besar KCPN dibutuhkan untuk memperkuat komponen utama? Serta bagaimana kemudian pembiayaan KCPN ini jika dilaksanakan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus segera dijawab. Departemen Pertahanan merancang bahwa pembangunan KCPN menjadi bagian dari pengembangan postur pertahanan nirmiliter44 yang dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan setiap matra.45 Tahap awal pembangunan KCPN difokuskan pada penuntasan RUU KCPN serta sosialisasi peraturan perundangannya setelah pengesahannya.46 Pengadaan KCPN dilakukan secara bertahap dengan pengadaan sebesar 10.000 personel yang diprioritaskan pada matra darat serta pembangunan sarana dan prasarana seperti markas untuk Komponen Cadangan sehingga dalam 5 tahun terdapat 50.000 personel KCPN.47 Untuk itu dalam merealisasikannya dimana setiap Komando Distrik Militer (Kodim) memiliki satu kompi Komponen Cadangan.48 Pemaparan pembangunan KCPN dalam Buku Postur Pertahanan Negara 2007 tidak memberikan gambaran yang jelas seberapa besar kebutuhan Komponen Utama dalam hal ini TNI Angkatan Darat sehingga diperlukan Komponen Cadangan sedemikian besar. Ini membuktikan bahwa konsep pembangunan Komponen Cadangan tidak terlalu signifikan karena kalau hanya ingin memperbesar jumlah personel akan lebih baik jika penambahan personel difokuskan pada komponen utama. Pasal 7(2) UU No. 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama dengan didukung oleh Komponen Cadangan dan komponen pendukung. Sementara pada Pasal 7(3) disebutkan bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman non-militer menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lainnya dan kekuatan bangsa. Ketentuan pasal ini secara jelas menegaskan bahwa pembentukan Komponen Cadangan hanya ditujukan untuk membantu TNI selaku komponen utama pertahanan dalam menghadapi ancaman militer. 44 Isitilah ini absurd karena nirmiliter secara harafiah adalah tanpa militer dan akan rancu jikia melihat kedudukan KCPN sebagai kombatan dalam Hukum Humaniter Internasional. Lihat Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Op.Cit, hal. 48. 45 Departemen Pertahanan, Postur Pertahanan Negara, (Jakarta: Departemen Pertahanan, 2007). hal. 110. 46 Ibid. hal. 124 47 Ibid. hal. 124 48 Ibid. hal. 124 289 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Persoalan lain yang tak kalah penting adalah penggunaan KCPN. Pasal 27 draft RUU KCPN versi Desember 2008 menyatakan bahwa KCPN digunakan berdasarkan strategi pertahanan melalui mobilisasi yang ditetapkan oleh Presiden. Dalam penjelasan pasal ini tidak dijelaskan maksud strategi pertahanan dalam kaitannya dengan apakah digunakan untuk menghadapi musuh dari luar atau musuh dari dalam.49 Selain itu dalam Pasal 29 draft RUU KCPN versi Desember 2008 menegaskan bahwa dalam keadaan perang anggota Komponen Cadangan setelah dimobilisasi berstatus kombatan. Berbeda pada draft versi 9 Oktober 2006 yang secara tegas menyatakan KCPN digunakan dalam keadaan darurat militer dan atau keadaan perang.50 Perubahan ini tentunya sekali lagi harus mengacu pada Pasal 7(2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menyatakan bahwa tugas pokok TNI terbagi dua, yaitu: a. Operasi militer untuk perang; b. Operasi militer selain perang, yaitu: 1) mengatasi gerakan separatisme bersenjata; 2) mengatasi pemberontakan bersenjata; 3) mengatasi aksi terorisme; 4) mengamankan wilayah perbatasan; 5) mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; 6) melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; 7) mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; 8) memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9) membantu tugas pemerintahan daerah; 10) membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang-undang; 11) membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12) membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; 13) membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search dan rescue); 14) membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan. Secara prinsip, penggunaan Komponen Cadangan untuk membantu TNI selaku komponen utama pertahanan dalam melaksanakan tugas operasi militer selain perang (military 49 Penjelasan Pasal 27 Draft RUU KCPN versi Desember 2008: Yang dimaksud dengan “strategi pertahanan” adalah perpaduan antara seni dan ilmu dalam menentukan pilihan-pilihan guna mencapai tujuan pertahanan negara. Strategi pertahanan negara disusun berdasarkan 3 (tiga) kaidah penuntun yakni, yang menyangkut sasaran (ends), alat (means), dan cara dan/atau pendekatan (ways); yang menjawab 3 (tiga) pertanyaan penuntun yang mendasar, yaitu apa yang dipertahankan, dengan apa mempertahankan dan bagaimana mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menjamin keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. 50 Pasal 32 berbunyi: Dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang Komponen Cadangan setelah dimobilisasi berstatus sebagai kombatan 290 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah operation other than war) tidak dapat dibenarkan. Misalnya adalah penggunaan Komponen Cadangan dalam mengahadapi ancaman internal seperti pemberontakan bersenjata, separatisme bersenjata, ancaman terorisme, atau menghadapi aksi demonstrasi warga terhadap objek-objek vital atau perusahaan-perusahaan yang melakukan pencemaran terhadap lingkungan dan merugikan warga. Keberadaan Komponen Cadangan hanya ditujukan penggunaannya untuk membantu tugas TNI dalam menghadapi ancaman militer dari negara asing (ancaman eksternal). Selain bertentangan dengan ketentuan UU Pertahanan, penggunaan Komponen Cadangan untuk membantu tugas operasi militer selain perang justru akan menimbulkan potensi menghadapkan antar warga negara yang pada akhirnya akan berujung pada terjadinya konflik horisontal. Pengembangan KCPN pada pemaparan Buku Postur Pertahanan Negara dilakukan terhadap matra darat. Ini adalah satu bukti bahwa pengembangan KCPN mengandalkan perekretan secara masif melalui mobilisasi hanya efektif digunakan dalam pertempuran jarak dekat (close combat) yang itu hanya ada pada matra darat. Namun penerapan wamil akan menemui kendala bagi matra udara dan matra laut yang lebih banyak mengandalkan kemampuan dan kecakapan invidu dalam penguasaan teknologi pada alat utama sistem persenjataan (alustsista) modern mengingat mereka hanya mendapatkan pelatihan dan pendidikan militer alakadarnya.51 Berkaitan dengan anggaran bagi KCPN, Pasal 37 draft RUU KCPN versi Desember 2008 menyatakan pendanaan penyelenggaraan KCPN didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja. Negara. Namun dalam penjelasannya dinyatakan “...namun mengingat penyelenggaraan Komponen Cadangan Pertahanan Negara berkaitan pula dengan kepentingan daerah, tidak menutup kemungkinan adanya sumber pendanaan yang sah seperti bantuan/hibah pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.” Hal yang sama juga diungkapkan dalam Naskah Akademik Komponen Cadangan Pertahanan Negara 2008.52 Terkait dengan pembiayaan komponen cadangan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai salah satu sumbernya, di samping Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), secara jelas menyalahi ketentuan dalam pengadaan anggaran pertahanan. Lebih daripada itu, ketentuan tersebut juga secara jelas dapat menimbulkan masalah serius dalam kerangka penggunaan komponen cadangan di setiap wilayah, yang menjadikannya sulit untuk dikontrol karena keberadaanya yang tidak bergantung pada alokasi anggaran di APBN. Selain itu, pembiayaan komponen cadangan oleh APBD akan memperumit proses pertanggungjawaban anggarannya sehingga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dan penyimpangan. 51 Untuk mengetahui tuntutan penguasaan teknologi oleh tentara profesional lihat Morris Janowitz, The Professional Soldier: A Social and Political Portrait, (New York,Free Press Co: New York, 1971). 52 Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Op.Cit, hal. 48 291 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Secara prinsip, pemenuhan kebutuhan anggaran pertahanan negara harus dilakukan secara terpusat, yakni dialokasikan melalui APBN. Daerah, tentu saja tidak bisa dan tidak boleh disertakan atau dikenakan kewajiban dalam pembiayaan tersebut. Ketentuan ini sudah dinyatakan secara jelas dan tegas dalam Pasal 25 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.53 Alasan yang menempatkan bahwa pasal ini sebagai pengecualian terhadap ketentuan pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sehingga masalah pertahanan merupakan tanggungjawab bersama termasuk gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, merupakan alasan yang tidak tepat dan tidak dibenarkan. Berkait dengan keterlibatan Pemerintah Daerah membiayai anggaran pertahanan, Mendagri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 32 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2009. Dalam peraturan tersebut mengatur secara jelas mengenai mekanisme pemberian hibah kepada instansi vertikal termasuk TNI dan Polri. Walhasil, dengan peraturan ini dimana anggaran pertahanan yang seharusnya terpusat dijadikan legitimasi untuk mendapatkan dana APBD yang akan berujung pada menurunnya alokasi sejumlah dana untuk anggaran yang menjadi prioritas dari daerah tersebut seperti sektor pendidikan dan kesejahteraan. Penyimpangan-penyimpangan ini jelas merupakan pelanggaran nyata terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertahanan negara serta Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) atau good governance principle terutama asas kepastian hukum dan asas kepentingan umum. Selain itu persoalan ini akan menyulitkan pengawasan yang dilaksanakan oleh DPR dimana pengawasan anggaran merupakan pengendalian demokrasi yang hasilnya mencakup tiga hal yaitu,(1) Disiplin jumlah fiskal; (2) Alokasi sumber daya dan penggunaan bersarkan prioritas strategis; (3) Performa operasional yang efektif dan efisien.54 Terkesan bahwa yang kemudian diuntungkan dari pembangunan KCPN adalah Angkatan Darat selain mendapatkan anggaran dari APBN berkait dengan pengembangan personel akan tetapi juga mendapatkan anggaran dari APBD. Tinimbang menghabiskan anggaran negara ada baiknya pemerintah memfokuskan pada pembaruan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang telah tua dan pemakaiannya menimbulkan resiko besar termasuk kematian terhadap prajurit-prajurit terbaik Indonesia. Sejumlah peristiwa selama tahun 2009 membuktikan bagaimana sejumlah alutsista milik TNI yang telah out of date telah memakan korban dan sekali lagi Departemen Pertahanan masih berkelit bahwa faktor usia alutsista bukan menjadi penyebab utama kecelakaan. 55 53 Pasal 25 (1) UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan: Pertahanan negara dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan Tentara Nasional Indonesia serta komponen pertahanan lainnya. 54 Todor Tagarev, ” Kendali Demokrasi Selama Perencanan Anggaran dan Perode Pemberlakuan (Adoption)”, dalam Plamen Pantev, Ed., Hubungan Sipil-Militer dan Kendali Demokrasi Sektor Keamanan, (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 2005), hal. 126. www. Detik.com, “Menhan Bantah Usia Alutsista Faktor Utama Kecelakaan”, 55 http://www.detiknews.com/read/2009/06/10/141615/1145475/10/menhan-bantah-usia-alutsista-faktorutama-kecelakaan, (diakses pada 15 Juni 2009). 292 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah c. RUU Rahasia Negara RUU Rahasia Negara merupakan salah satu rancangan legislasi yang kontroversial mengingat Komisi I DPR yang membidangi Pertahanan dan Luar Negeri pada Mei 2008 mengembalikannya kepada pemerintah dalam hal ini Departemen Pertahanan karena dianggap substansinya yang masih luas, rentan penyalahgunaan, multi interpretasi serta belum mengacu pada UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang disahkan pada 30 April 2008 serta akan berlaku 2010.56 RUU Rahasia Negara sendiri menjadi salah satu prioritas Prolegnas berdasarkan Keputusan DPR RI No. 01/DPR-RI/III/2004-2005 yang seharusnya disahkan pada 2007. Komisi I kemudian memberikan waktu tiga bulan bagi Departemen Pertahanan untuk memperbaiki substansi didasarkan pada UU KIP. Akan tetapi pemerintah kemudian memasukan kembali RUU Rahasia Negara kepada Komisi I DPR yang kali ini dengan substansi yang lebih draconian sert vis a vis dengan UU KIP meskipun memasukkannya dalam bagan konsideran. Sejak pertama kali muncul semangat yang diusung oleh RUU ini adalah limited access maximum exemption yang berarti memandang setiap informasi terlebih berasal dari negara adalah bersifat rahasia. Adalah benar negara dapat memiliki rahasia negara yang dilindungi oleh hukum akan tetapi haruslah dalam rangka penghormatan terhadap konstitusi serta pelindungan hak-hak konstitusi warga negara. Alih-alih memberikan perlindungan, RUU Rahasia Negara kali ini justeru menempatkan negara menjadikan semua urusan negara menjadikan rahasia negara termasuk hal-hal yang bersifat publik. Bila kita bandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU KIP, RUU Rahasia Negara justru memberi peluang bagi Badan Publik untuk menjalankan kewajibannya dalam memberikan informasi sesuai dengan UU KIP pada Bab IV tentang Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan. Dalam kaitannya dengan kerahasiaan, Pasal 17 UU KIP telah pula memberikan secara jelas-jelas informasi yang tidak dapat diakses mengingat pertimbangan-pertimbangan yang tidak melawan hukum. Semangat yang diusung oleh UU KIP merupakan kebalikan dari RUU Rahasia Negara yaitu maximum access limited exemption. Persoalan-persoalan krusial yang berhubungan dengan pertahanan yang kemudian masuk dalam rezim rahasia negara diantaranya adalah pada Pasal 6(a)(1)(a) RUU Rahasia Negara yaitu struktur, organisasi, fungsi Pemerintah Republik Indonesia dan Panglima TNI selama negara dalam keadaan perang, keadaan bahaya perang atau keadaan darurat lainnya. Hal ini sangatlah aneh mengingat struktur, organisasi dan fungsi pemerintah dalam keadaan perang atau keadaan darurat haruslah diumumkan secara jelas kepada publik. Belajar dari pernyataan darurat militer oleh Presiden Megawati terhadap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui Keppres No.28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Seluruh Wilayah Provinsi 56 Lihat www.kompas.com, “ DPR Kembalikan RUU Rahasia Negara” http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/29/00340270/dpr.kembalikan.ruu.rahasia.negara, (diakses pada 25 Juni 2009) 293 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Nanggroe Aceh Darussalam dalam Keadaan Bahaya. Keputusan presiden tersebut juga memiliki dasar hukum yaitu UU No. 23/ Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Secara inheren pemberlakuan Keputusan Presiden tersebut menjadikannya sebagai Penguasa Darurat Militer Pusat (PDMP) dibantu seluruh Menteri dan pejabat setingkat menteri dalam kabinet serta saat itu menunjuk Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya, sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) yang bertanggungjawab kepada PDMP.57 PDMD adalah pelaksana dari operasi militer yang terdiri dari. operasi militer yang terdiri dari 4 (empat) elemen yaitu operasi penegakan hukum, operasi kemanusiaan, operasi pemantapan pemerintahan dan operasi pemulihan keamanan.58 Selain itu UU Keadaan Bahaya memberikan jaminan kepastian hukum dengan diakuinya proses legal dalam penangkapan maupun penahanan.59 Selain itu dalam kerangka penjaminan hak-hak sipil dan politik dalam Pasal 4(3) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) adalah memenuhi dua ketentuan prosedural (two procedurals) yaitu :60 1. Persyaratan bahwa keadaan darurat harus dideklarasikan secara resmi oleh pemerintah yang memberlakukannya; 2. Persyaratan lebih lanjut adalah bahwa rincian pengaturan mengenai keadaan darurat, demikian pula hal-hal yang dikesampingkannya haruslah diberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB Masih berkaitan, Pasal 6(2)(d) RUU Rahasia Negara juga memasukan informasi tentang pejabat tinggi negara dan pemerintah yang bertanggungjawab atas kesiagaan pertahanan. Pasal ini jelas-jelas akan menimbulkan permasalahan jika terjadi kasus-kasus kejahatan serius dalam hukum internasional (serious violations in international law) terutama kejahatan perang (war crimes) yang menuntut adanya pertanggungjawaban komando dan perintah atasan (command responsibility and superior orders).61 Hal ini tentunya akan menjadi preseden buruk mengingat ketentuan perihal pertanggungjawaban komando telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional (customary international law) yang telah diakui oleh masyarakat internasional. Impunitas pun juga tidak dapat dielakkan mengingat masa retensi rahasia negara. Sebagaimana Pasal 20 RUU Rahasia Negara menyatakan saat berakhirnya masa retensi rahasia negara setiap orang yang terlibat di dalamnya tidak dapat dituntut dan dipidana atas segala perbuatan yang berkaitan dengan rahasia negara kecuali berkaitan dengan tindak pidana pelanggaran berat HAM dan tindak pidana korupsi. Pasal ini jelas mencoba 57 Lihat Bhatara Ibnu Reza, The Indonesian Doctrine of Territorial Warfare: Problems in Civil-Military Relations and Their Implications for Human Rights and Humanitarian Law, Thesis for Master of Laws in International Human Rights Law, Northwestern University School of Law, Chicago, 2006, hal.77. 58 Ibid. Hal. 77. 59 Lihat Pasal 32(4) UU Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. 60 Lihat Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal. 158. 61 Lihat Leslie Green , “Command Responsibility in International Humanitarian Law, 5 Transnat'l L. .& Contemp. Probs. 319,323 (1995) juga lihat Ilias Bantekas,” The Contemporary Law of Superior Responsibility”, 93 AJIL 573(1999). 294 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah melindungi pelaku kejahatan dengan atas nama rahasia negara yang tentunya menutup seluruh pintu investigasi bila ternyata kejahatan yang dilakukan merupakan pembunuhan terhadap aktivis politik, oposisi atau pembela HAM seperti dalam kasus pembununan Munir yang hingga saat ini masih merupakan misteri.62 Pelanggaran ketentuan internasional juga dijumpai pada Pasal 6(2)(k) RUU Rahasia Negara dimana informasi yang berkaitan dengan impor dan ekspor persenjataan, teknologi perang dan amunisi untuk penggunaan (perbekalan) TNI menghadapi perang. Ketentuan ini tentunya bertentangan dengan transparasi persenjataan yang telah menjadi bagian dari regulasi internasional tentang transfer senjata yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga multilateral seperti Wassenar Arrangement berupa dokumen Arrangement on Export Controls for Conventional Arms and Dual-Use Goods and Technologies dimana Negaranegara anggota PBB juga telah menyepakati “Guidelines for International Arms Transfer” yang dikeluarkan oleh Disarmament Commission pada 3 Mei 1996. 63 Patut diingat bahwa Pedoman PBB tersebut mengatur kesepakatan dasar transfer persenjataan dengan kewajiban utama, (1) kerjasama untuk mencegah pengalihan; (2) penerbitan sertifikat penggunaan akhir dan pemakai akhir yang dapat diverifikasi; (3) kerjasama kepabeanan dan intelijen untuk mendeteksi perdagangan gelap senjata; (4) kerjasama hukum untuk mengembangkan prosedur baku ekspor dan impor senjata; (5) pengaturan terhadap agen perantara pemasok senjata; (6) ketaatan terhadap sanksi dan embargo senjata yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB; dan (7) pelaporan transaksi transfer senjata.64 Pelaporan senjata dilakukan berdasarkan UN Register of Conventional Arm dan UN Standarized System of Reporting on Military Expenditure dimana keduanya mengatur transparansi di bidang pertahanan negara yang berkaitan dengan data tentang transfer senjata konvensional yang meliputi:65 (1) kebijakan pertahanan negara yang melakukan transfer senjata; (2) perusahaan pengadaan alutsista; (3) produksi nasional persenjataan. Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR berkaitan dengan hubungan luar negeri pada Pasal 6(5)(e) RUU Rahasia Negara juga akan mengalami kendala dimana materi, dokumen, memorandum yang berkaitan dengan negosiasi internasional atau perjanjian internasional 62 Munir adalah Ketua Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dari 1998 hingga 2002. Setelah itu menjadi Direktur Eksekutif IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor. Dia juga adalah Presiden dari the Asia Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD). Munir dikenal sebagai pembela HAM dan terkenal dengan pandangan kritisnya terhadap jalannya reformasi TNI. Dia juga terlibat dalam beberapa pembahasan peraturan perundangan berkait dengan HAM dan refromasi sektor keamanan. Pada 7 September 2004, Munir tewas di pesawat Garuda—maskapai penerbangan milik negara – dalam perjalanannya ke Belanda guna melanjutkan studinya di Universitas Uthrecht. Belakangan, hasil otopsi menunjukan Munir telah diracun. Lihat, Tim KontraS, Bunuh Munir!: Sebuah Buku Putih, (Jakarta: KontraS, 2006) dan Tim Imparsial, Test of Our History: Tembok Tebal Pembunuhan Munir, (Jakarta: Imparsial, 2007). 63 Tim Imparsial,.RUU Rahasia Negara: Ancaman Bagi Demokrasi, (Jakarta: Imparsial, 2006), hal 46. 64 Ibid. hal. 46. 65 Ibid. hal. 47. 295 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 atau bagiannya jika diklasifikasikan sebagai rahasia negara. Pasal ini jelas bertentangan dengan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dimana dalam konsiderannya yaitu:66 “Bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas pula” Tentunya sangat sulit bagi DPR untuk mengetahui apa saja pokok permasalahan yang hendak dinegosiasikan, apakah hal itu merugikan kepentingan nasional atau seberapa jauh keuntungan yang didapat oleh negara. Dari segi hukum pidana, Pasal 121 Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) memberikan ancaman kepada negosiator jika perundingan mengakibatkan kerugian kepada negara dan akan diancam hukuman penjara selama 12 tahun. Pasal dalam RUU Rahasia Negara akan menjadi celah bagi mereka untuk meloloskan diri mengingat orang, kegiatan, dokumen-dokumen serta substansinya telah masuk dalam kategori rahasia. Tidak hanya itu, perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan masalah ekonomi seperti hutang, eksplorasi pertambangan yang seharusnya diketahui oleh publik juga akan masuk dalam kategori rahasia. Padahal publik memiliki hak untuk mengetahui disebabkan perundingan perjanjian tersebut menyentuh ranah publik dalam kebiasaannya kepentingan publik lebih dikedepankan. RUU Rahasia Negara juga akan membentuk Badan Pertimbangan Kebijakan Rahasia Negara yang diketua Menteri Pertahanan67 dengan anggota tetap Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Kepala Kepolisin Negara RI (Kapolri), Panglima TNI, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepala Lembaga Sandi Negara (LSN)68 serta satu anggota tidak tetap yang merupakan ahli dan ditunjuk oleh badan ini.69 Badan ini memilki tugas untuk merumuskan kebijakan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan rahasia negara70 serta memiliki sejumlah kewenangan yaitu: 71 a. Memberikan pertimbangan dan rekomendasi terkait dengan masalah kebijakan penyelenggaraan rahasia negara kepada presiden, dan b. Meminta keterangan kepada Lembaga Negara dalam hal penyelenggaraan rahasia negara tidak sesuai dengan kebijakan. c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan rahasia negara. 66 Konsiderans Bagian Menimbang 67 Pasal 21(3) RUU Rahasia Negara. 68 Pasal 22(2) RUU Rahasia Negara. 69 Pasal 22(3) RUU Rahasia Negara. 70 Pasal 23 RUU Rahasia Negara. 71 Pasal 24 RUU Rahasia Negara. 296 poin (d), UU No. 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah Keberadaan institusi sangat kontraproduktif dengan kewenangan Komisi Informasi dalam UU KIP mengingat jika terjadi Sengketa Informasi Publik, sedangkan Badan Publik cenderung menyatakan informasi tersebut sebagai bagian dari rahasia negara. Bagaimanapun juga Komisi Informasi jelas memiliki kewenangan karena dalam UU KIP secara jelas dijabarkan tugas serta kewenangan Komisi Informasi.72 Sehingga jika terjadi sengketa UU KIP menjadi lex specialis tinimbang undang-undang rahasia negara jikalau nanti telah disahkan. Kritik lainnya adalah, sebagaimana hubungannya dengan Komisi Informasi, Badan Pertimbangan Kebijakan Rahasia Negara akan terjadi sengkarut dan tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain mengingat begitu luasnya kategori rahasia yang harus diberikan pengawasan. Sengkarut hukum acara pidana juga akan terjadi mengingat pada RUU Rahasia Negara draft Februari 2009 mengatur hukum acaranya sendiri.73 Dengan demikian mekanisme UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak menjadi acuan karena kekhususan pada tindak pidananya. Akan tetapi, belajar dari pengaturan hukum acara pidana dalam kasus tindak pidana terorisme pada UU No. 15 Tahun 2003 Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pemberantasan menjadi Undang-Undang, ketentuan-ketentuan hukum acara yang diatur sarat akan pelanggaran hak-hak dasar tersangka dan/atau terdakwa. Pasal 38(1) RUU Rahasia Negara menyatakan rahasia negara yang diperlukan penyidik, jaksa dan/atau hakim untuk kepentingan proses peradilan selain perkara tindak pidana rahasia negara tidak dihadirkan secara fisik. Pasal ini tidak memberikan hak kepada tersangka dan penasihat hukumnya untuk mengetahui hal yang sama perihal pembocoran rahasia negara yang dituduhkan kepadanya sehingga dapat dipastkan proses persidangan tidak akan berjalan dengan fair. Ketentuan ini paralel dengan semangat RUU Rahasia Negara melakukan kriminalisasi terhadap warga negara yang mengakses rahasia negara dan bukan kepada pejabat yang berwenang untuk menjaga rahasia tersebut yang tercermin pada Pasal 42 hingga 49 draft RUU Rahasia Negara. Pasal ini memberikan kedudukan negara berada dalam posisi tidak pernah bersalah (state can do no wrong) yang dalam hukum merupakan pelanggaran terhadap rumpun non-derogable rights yaitu hak diperlakukan sama dalam hukum. 4. Kesimpulan Pelaksanaan reformasi legislasi sektor keamanan Indonesia secara umum terutama pada periode 2008-2009 merupakan reformasi tanpa arah. Keterlambatan pemerintah dalam menentukan kebijakan umum pertahanan negara merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah tidak secara serius memandang reformasi sektor keamanan sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Bahkan terkesan kuat bahwa reformasi sektor keamanan dilaksanakan atas kepentingan militer dan bukan cerminan dari kebijakan pemerintah yang berkuasa. 72 Lihat Bab VII UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik 73 Bab VII Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, RUU Rahasia Negara 297 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Dengan demikian simpulan dari reformasi legislasi sektor keamanan adalah, pertama, reformasi legislasi sektor keamanan selama 2008-2009 lebih banyak mengakomodasi kepentingan-kepentingan militer yang sebenarnya tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang seharusnya direformasi. Bila membandingkan proses pembahasan RUU Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan pembahasan RUU KCPN dan RUU Rahasia Negara, terdapat nuansa yang kental dengan kepentingan militer. Kita dapat melihat bagaimana peran Departemen Pertahanan untuk menjalankan strategi mengulur waktu selama hampir empat tahun pada pembahasan reformasi peradilan militer dengan DPR, namun dengan sejumlah persoalan yang menyebabkan beberapa kali deadlock. Sedangkan pada RUU KCPN dan RUU Rahasia Negara, Departemen Pertahanan melakukan gerak cepat untuk segera menggolkannya menjadi undang-undang. Tentunya dengan memberikan waktu pembahasan yang relatif singkat kepada DPR sehingga meminimalisasi terjadinya perdebatan, masukan serta usulan khususnya dari masyarakat sipil terhadap substansi dari rancangan legislasi tersebut. Kedua, meskipun DPR telah mengadopsi prinsip non-carry over akan tetapi dalam kasus RUU KCPN waktu pembahasan sangat singkat mengingat Pansus RUU KCPN baru terbentuk 21 April 2009 yang berarti hanya ada waktu kurang dari 5 bulan hingga berakhirnya DPR periode 2004-2009 pada 30 September 2009. Sempitnya masa pembahasan sebuah rancangan legislasi yang bersifat krusial apalagi menyangkut keterlibatan warga negara memerlukan waktu yang cukup panjang. Jikalau hendak dipaksakan maka yang terjadi adalah peraturan perundang-undangan ini menjadi sangat tidak sempurna dan terkesan sarat akan nuansa kepentingan politik militer dan bukan didasarkan pada kebutuhan akan pembangunan pertahanan yang profesional. Belajar dari pembahasan UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dimana pembahasannya hanya memakan waktu 3 bulan.74 Untuk itu alangkah lebih bijak untuk menunda pembahasan RUU KCPN karena prinsip noncarry over dapat dikesampingkan berdasarkan etika dan kepatutan dalam penyusunan peraturan perundangan. Ketiga, kembali pada persoalan ketidakruntunan reformasi sektor keamanan Indonesia yang karena tidak adanya penataan yang baik terhadap kebijakan perencanaan pertahanan dan keamanan yang dijabarkan dalam sebuah kerangka besar (grand design) sektor keamanan. Pembahasan rancangan legislasi sektor keamanan tidak mencerminkan prioritas sektor keamanan yang hendak direformasi. Munculnya RUU KCPN meski telah masuk dalam Prolegnas meski seharusnya prioritas reformasi dilakukan terhadap komponen utama yang hingga saat ini belum selesai dilaksanakan. Walhasil, kebijakan yang dibangun tidak mendukung profesionalitas aktor keamanan. Keempat, reformasi legislasi sektor keamanan seharusnya menjamin praktik good governance ternyata digunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan sektor keamanan terdahulu. Penyimpangan asas sentralitas pada anggaran pertahanan oleh RUU KCPN memperlihatkan penataan ulang kembali fungsi, struktur, kultur dan institusi penanggungjawab keamanan yang sesuai dengan tata nilai 74 Lihat Tim Imparsial, Menuju TNI Profesional: Tidak Berbisnis dan Tidak Berpolitik, (Jakarta: Imparsial, 2005). 298 Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) menjadi mundur ke belakang. Dengan penyimpangan ini yang kemudian terjadi adalah hilangnya salah satu bentuk kontrol sipil terhadap militer yang berujung pada pelanggengan kemandirian militer dari supremasi sipil. Ketidaktertiban anggaran juga berakibat pada hilangnya prioritas pembangunan khususnya bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kesejahteraan rakyatnya karena beban yang harus dipikul untuk turut serta membiayai pertahanan negara yang seharusnya dibiayai oleh APBN. < 299 Kontributor Kontributor Al Araf, adalah Koordinator Peneliti Indonesia Human Right Monitors atau Imparsial, Jakarta. Menyelesaikan pendidikan sarjananya (S1) di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dan saat ini sedang menempuh studi magister Manajemen Pertahanan dan Keamanan di ITB Bandung. Beberapa buku yang diterbitkan: Perebutan Kuasa Tanah diterbitkan oleh Lappera Yogyakarta, 2002; Bersama Poengky Indarti dan Ali Syafaat menulis buku Perlindungan terhadap pembela HAM, Imparsial, 2005; Bersama Rusdi Marpaung, Gufron Mabruri dan Ahmad Junaidi menulis buku Menuju TNI Profesional (tidak berbisnis dan tidak berpolitik), Imparsial 2005; Salah satu penulis dan editor buku dinamika reformasi sektor keamanan, Imparsial, 2005. Selain menulis buku, beberapa kali penulis juga menulis beberapa artikel di media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Jawa Pos dll. Alman Helvas Ali, spesialisasinya adalah mengenai Kekuatan Laut dan Keamanan Maritim (Sea Power and Maritime Security). Ia lulusan S-1, Fak. Teknologi Kedirgantaraan, Univ. Suryadarma. Pernah bekerja di Center for Defense and Maritime Studies (CDMS) (2003-2004), Kemenko Polhukam/Staf Sesmenko Polhukam (2005-2006), dan saat ini bergabung di Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM). Publikasinya tersebar diberbagai media, diantaranya di Majalah Dharma Wiratama Seskoal, Majalah Jalakaca Wing Udara Koarmatim, Majalah Satria Badiklat Dephan, Harian Umum Sinar Harapan, dan Buletin Quarterdeck. Aris Santoso, lahir di Blitar (Jatim), pada 13 Januari 1962, adalah alumnus Jurusan Sejarah FSUI (1988). Selain menjadi pengamat TNI yang tekun, Aris juga bekerja sebagai editor di ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Sebelumnya sempat bekerja di Bina Desa (1990 - 1997), dan sebagai copy writer pada sebuah biro iklan di Jakarta (1997 - 1999). Sejak remaja sudah berminat pada isu militer, mungkin karena pengaruh faktor keluarga, yang memang berasal dari lingkungan militer (TNI AD). Beni Sukadis, saat ini adalah Koordinator Program LESPERSSI. Ia pernah mengikuti sejumlah kursus singkat seperti hubungan sipil-militer di The Clingendael Institute, Belanda dan juga kursus singkat tentang Defense Resources Management yang diselenggarakan oleh Naval Postgraduate School (USA) di Jakarta. Ia tertarik pada bidang kajian reformasi sektor keamanan, keamanan internasional, resolusi konflik dan kajian strategis lainnya. Ia menjadi salah satu editor dalam terbitan dua buku yaitu tentang bisnis TNI dan tentang keamanan perbatasan. Ia sering menulis artikel di sejumlah surat kabar nasional. Bhatara Ibnu Reza, Ia peneliti di IMPARSIAL, Indonesia Human Rights Monitors. Jakarta, sejak 2002. Pada tahun 2007 ia menjabat sebagai Koordinator Peneliti HAM di lembaga yang sama. Ia juga menjadi staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta dan Universitas Pelita Harapan. Pada tahun 2005, Ia mendapatkan beasiswa Fullbright untuk melanjutkan pascasarjana Hukum (LL.M) di Northwestern University, Chicago, AS serta lulus setahun kemudian dengan Terpuji. Sebelumnya tahun 2002, Ia mendapat gelar S2 bidang HI dari Pascasarjana FISIP UI, Jakarta. 300 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Edwin Partogi Pasaribu, Badan Pekerja KontraS Jakarta. Anggota tim Penyelidik Komnas HAM Penyelidikan Pelanggaran HAM Kasus Penembakan Misterius 1983-1985. Mantan Anggota tim asistensi Komnas HAM Penyelidikan Pelanggaran HAM Kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Menyelesaikan studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jurusan Hukum Tata Negara tahun 2000. Mantan eksponen 1998. Aktif melakukan investigasi dan advokasi berbagai kasus yang diduga pelanggaran berat HAM maupun tindak kekerasan lainnya. Aktif melakukan monitoring terhadap reformasi sektor keamanan. Terlibat dalam penulisan sejumlah buku di KontraS: Tanjung Priok Sebuah Laporan Investigasi: Sakralisasi Ideologi Memakan Korban (2001); Stagnasi Hak Asasi Manusia: Laporan Tahunan Kondisi HAM Indonesia Tahun 2001 (2002); Penegakan Hukum dan HAM Masih Gelap: Laporan HAM 2005 (2006); Aceh Damai Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu (2006); Bunuh Munir! Sebuah Buku Putih (2006); HAM Belum Jadi Etika: Laporan HAM 2006 (2007). Di luar KontraS terlibat dalam penulisan buku Negara, Intel, dan Ketakutan (Pacivis, 2006), kontributor dalam buku Islam Tanpa Toa (Khatulistiwa Press, 2008). Eko Maryadi (Item), lahir Ajibarang, 8 Maret 1968. Menempuh pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung. Saat ini bekerja sebagai Jurnalis Freelance untuk Media Internasional. Sebelumnya pernah bekerja sebagai asisten reporter untuk The Washington Post (AS) dan televisi ABC (Australia). Eko saat ini bergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan dalam organisasi ini ia menjabat sebagai Koordinator Divisi Advokasi, AJI Indonesia. Fauzan, Pengajar, peneliti, sekaligus ketua Laboratorium Pertahanan dan Keamanan (LabHankam) Jurusan Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta. Gelar Masternya didapat dari FISIP UI, jurusan HI dengan konsentrasi: Diplomasi dan Kajian Strategis. Ia tertarik pada bidang kajian Studi Asia Timur (Khususnya Jepang), Studi Strategi dan Keamanan, Manajemen Pertahanan, Manajemen Perbatasan, dan Manajemen Konflik (Resolusi Konflik). Banyak menulis di beberapa media dan jurnal, diantaranya tentang: “Pengembangan Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat: Pendekatan 3D (Development, Defense dan Diplomacy)”, Strategi dan Model Pengembangan Kawasan Perbatasan Kalimantan (Bappenas, 2003), Partisipasi SDF (Self Defense Force) Jepang Dalam Operasi Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (Jurnal Paradigma, 2005), Isu Kemanusiaan dan Intervensi PBB Dalam Menyelesaikan Konflik Etnik di Bekas Yugoslavia (LPPM UPN, 2006), Pergeseran Politik Jepang Dalam United Nations Peacekeeping Operations (Jurnal Mundus, 2004). Galih Imaduddin, mendapat gelar S1 di jurusan Hubungan Internasional UNPAD dan sedang menyelesaikan pendidikan Masternya di bidang Ilmu Politik di universitas yang sama. Adapun publikasinya berupa tulisan-tulisan mengenai Isu Internasional, diantaranya “Peranan Bank Dunia Dalam Proses Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Pasca Gempa dan Tsunami”; dan ”Naiknya Obama: Harapan Atau Kekhawatiran?” di Harian Umum Pikiran Rakyat. 301 Kontributor Kusnanto Anggoro, adalah pengajar pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI, dan sering menjadi pengajar tamu pada berbagai pendidikan militer seperti SESKO-TNI (Bandung), SESKOAU (Lembang), dan SESKOAL (Jakarta). Beliau aktif memberi prasaran dalam berbagai seminar dan memberi masukan kepada Departemen Pertahanan RI maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai reformasi pertahanan, termasuk sebagai anggota Kelompok Kerja RUU TNI (2002), RUU TNI (2003), dan Buku Putih Pertahanan Indonesia (2003). Dengan latarbelakang elektroteknik (Institut Teknologi Bandung), dan Ilmu Politik (FISIP, Universitas Indonesia). Beliau menyelesaikan penelitian doktoral (S3) di bidang Kremlinologi dan Politik Rusia pada Institute of Russian and East European Studies, University of Glasgow, Scotland, United Kingdom. Dengan minat utama di bidang keamanan, pengkajian strategi, dan reformasi pertahanan, Beliau menulis di berbagai media dalam dan luar negeri. Mufti Makarim A, lahir di Pasuruan pada 4 Oktober 1976. Pendidikan terakhir S1 Hukum Islam. Bergabung dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sejak tahun 2000, dan pernah menjadi Sekjen KontraS hingga pertengahan tahun 2007. Saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif IDSPS, Jakarta. Mufti pernah terlibat dalam studistudi khusus berkaitan dengan SSR dan HAM, diantaranya melakukan penelitian Pelibatan Militer dalam Bisnis di Bojonegoro, Poso dan Boven Digoel (2004), Analisis Implementasi UU Anti Terorisme (2005), Reformasi TNI Paska Pencabutan Embargo AS (2006), dll. Muradi, Dosen Tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNPAD, dan Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Pasundan (UNPAS), Bandung. Di samping itu aktif pula mengajar pada Departemen Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, dan Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta. Memperoleh gelar S1 dari Jurusan Ilmu Sejarah UNPAD tahun 2000, dan S2 dari Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 2003. Bukunya yang berkaitan dengan Reformasi Sektor Keamanan antara lain diterbitkan oleh UNPAD Press (2005), berjudul: Berpijak Diatas Bara: Kegamangan Politik TNI Pada Masa Transisi, dan “Pemerintah Daerah, Bisnis Militer, dan Profesionalisme TNI” dalam Jaleswari Pramodhawardani dan Andi Widjajanto (ed). Bisnis Serdadu: Ekonomi Bayangan (TII, 2007). Aktif menulis mengenai kajian militer dan kepolisian di berbagai jurnal, majalah dan surat kabar. Oslan Purba, menyelesaikan pendidikan S-1 Antropologi di FISIP Universitas Sumatera Utara. Ia pernah menjadi Koordinator KontraS Sumatera Utara (2000 – 2007), Ketua Yayasan Pembela Rakyat Pinggiran (1999 – 2007), dan saat ini ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Federasi KontraS. Telah mengikuti banyak pelatihan baik di dalam maupun luar negeri, di antaranya: Training “International Human Rights Law and the UN System” di Jakarta (2001); Pelatihan ”Security Sector Reform” di Jakarta oleh INFID, Kontras dan Imparsial (2005); Training “11th Asian Training and Study Session on Human Rights (ATSS)” di Bangkok oleh Forum Asia (2007); Training “6th Annual Global Linking & Learning Programme on Human Rights in Development” di Malaysia, oleh Dignity International (2007). Rizal Darmaputra, mendapatkan gelar S1 di Hubungan Internasional FISIP UNPAR dan mendapat gelar master dari Hubungan Internasional FlSIP UI pada 2003. Sekarang menjabat 302 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 sebagai Direktur Eksekutif Lesperssi, Jakarta. Ia sering menjadi narasumber di berbagai seminar dalam negeri maupun di luar negeri. S. Yunanto, saat ini menjadi mahasiswa doktoral di Jurusan Ilmu Politik, Western Michigan University, AS. Ia mendapat gelar master (S2) Ilmu Politik dari FISIP UI. Ia pernah mengikuti beberapa kursus singkat soal resolusi konflik dan diplomasi di the Eastern Mennonite University USA (2001), Khon Kaen University Thailand (2001), Upsalla University, Sweden (2005). Dia adalah pendiri dari Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS), di Jakarta. Sebelumnya pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif RIDEP Institute. Ia berminat pada kajian-kajian tentang politik Islam, gerakan Islam dan Reformasi Sektor Keamanan. Shiskha Prabawaningtyas, menyelesaikan studi Sarjana Ilmu Politik (S.IP) dari jurusan Hubungan Internasional, FISIP UNPAR 2000. Tahun 2001, dia bekerja di Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) sebagai asisten program dan koordinator proyek dalam pengembangan dan pengimplementasian beberapa program tentang hubungan sipil militer dan konflik manajemen. Pernah bergabung dengan Lembaga Donor Belanda, Cordaid, The Hague, di Belanda dalam program internship pada bulan Mei – Agustus 2006 sebagai project assessment bagi mitra project pada Departemen Peace & Conflict untuk Asia. Kemudian dia memperoleh gelar Mater of Arts (MA) dari Faculteit der Sociale Wetenschappen, Universiteit Leiden, Belanda pada tahun 2007 setelah menyelesaikan tesis yang berjudul “Peace Building in Mindanao: Spoiler Problem and Inter Communal Conflict”. Di tahun 2008, dia bergabung dengan Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina dan kemudian menjadi dosen tetap di Prodi yang sama pada tahun 2009. Saat ini, dia juga tercatat sebagai fellow researcher pada Divisi Hubungan Internasional pada LESPERSSI. Yuliah Qotimah, telah menyelesaikan pendidikan S2-nya di Program Magister Manajemen Pertahanan, Program Studi Pembangunan, SAPPK ITB, dengan predikat Cum Laude. Pendidikan S1 nya di dapat dari Program Sarjana Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI. Ia pernah menjadi asisten penelitian dialog State-Civil Society dalam Isu Terorisme (PACIVIS UI 2003), dan asisten penelitian Akuisisi Alutsista dengan Fasilitas Kredit Ekspor (PACIVIS UIINFID 2005). Saat ini ia menjadi salah satu peneliti di ProPatria Institute. Yusa Djuyandi, mendapat pendidikan S1-nya di jurusan Ilmu Pemerintahan UNPAD, dan telah menyelesaikan program Masternya di bidang Ilmu Politik di universitas yang sama. Saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Riset Anggota Komisi I, DPR – RI, dan Asisten Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan UNPAD. 303 Lampiran LAMPIRAN : Singkatan yang digunakan Sektor Keamanan Indonesia ABRI = Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ALKI = Alur Laut Kepulauan Indonesia AD = Angkatan Darat AL = Angkatan Laut AU = Angkatan Udara AMN = Akademi Militer Nasional Akabri = Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AAU = Akademi Angkatan Udara AAL = Akademi Angkatan Laut AKPOL = Akademi Kepolisian Alutsista = Alat Utama Sistem Persenjataan Asops = Asisten Operasi Asintel = Asisten Intelijen Asrena = Asisten Perencanaan Aster = Asisten Teritorial Aslog = Asisten Logistik Aspers = Asisten Personalia Armabar = Armada Kawasan Barat Armatim = Armada Kawasan Timur Armed = Artileri Medan AT = Anti Teror Art = Artileri Arhanud = Artileri Pertahanan Udara Arhanudse = Artileri Pertahanan Udara Sedang Arhanudri = Artileri Pertahanan Udara Ringan BIN = Badan Intelijen Negara BIA = Badan Intelijen ABRI BAIS = Badan Intelijen Strategis Babinsa = Bintara Pembina Desa Bareskrim = Badan Reserse dan Kriminal Babinkam = Badan Pembinaan Keamanan BIK = Badan Intelijen dan Keamanan (Polri) Brimob = Brigade Mobil Balahanpus = Bala Pertahanan Pusat Balahanwil = Bala Pertahanan Wilayah Bin = Pembinaan BS = berdiri sendiri (istilah satuan militer yang terpisah) Bekang = perbekalan dan angkutan Datin = Data dan infromasi Dephan = Departemen Pertahanan DPR RI = Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dan = Komandan 304 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Danrem = Komandan Korem Dandim = Komandan Kodim Danramil = Komandan Koramil Darmil = Darurat Militer Dirops = Direktur Operasi Dirbin= Direktur Pembinaan Densus = Detasemen Khusus 88 (Polri) Denma = Detasemen Markas Den 81 = Detasemen 81 Anti Teror (AD) Denjaka = Detasemen Jalamangkara (AL) Denbravo = Detasemen Bravo (AU) Dirjen = Direktur Jenderal Gultor = Penanggulangan teror GARSTAP = Garnisun Tetap Han = Pertahanan Hanneg = Pertahanan Negara HAM = hak asasi manusia Hansip = pertahanan sipil INF = Infanteri Jakum = Kebijakan Umum JCLEC = Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation Jianstra = kajian strategis Jihandak = Penjinakan Bahan Peledak Jibom = Penjinakan Bom KSAD = Kepala Staf Angkatan Darat KSAL = Kepala Staf Angkatan Laut KSAU = Kepala Staf Angkatan Udara Kastaf = Kepala Staf Kasum = Kepala Staf Umum Kapolsek = Kepala Kepolisian Sektor Kapolres = Kepala Kepolisian Resor Kopassus = Komando Pasukan Khusus Kostrad = Komando Cadangan Strategis (AD) Kopaskhas = Komando Pasukan Khas (AU) Kopaska = Komando Pasukan Katak (AL) Kodam = Komando Daerah Militer Korem = Komando Resor Militer Kodim = Komando Distrik Militer Koramil = Komando Rayon Militer Koter = komando territorial Kohanudnas = Komando Pertahanan Udara Nasional Kormar = Korps Marinir Kapolri = Kepala kepolisian RI Koops = Komando Operasi Kodiklat = Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan Kuathan = Kekuatan Pertahanan 305 Lampiran Kamnas = Keamanan Nasional KMIP = Kebebasan Memperoleh Informasi Publik Kotama = Komando Utama Komcad = Komponen cadangan Kamdagri = keamanan dalam negeri Kamtibmas = keamanan dan ketertiban masyarakat Kominda = komunitas intelijen daerah Kowil = komando kewilayahan Kodahan = komando daerah pertahanan Kowilhan = komando wilayah pertahanan Kum = Hukum Kasubdit = kepala sub direktorat Komlek = komunikasi dan elektronik KRI = Kapal Republik Indonesia Kal = perbekalan Kes = kesehatan Kaur = kepala urusan Kadis = kepala dinas Kamra = keamanan rakyat Lanud = Pangkalan Udara Lanal = Pangkalan AL Lemdik = Lembaga Pendidikan LSM = lembaga swadaya masyarakat Linmas = perlindungan masyarakat Lemhannas = Lembaga Ketahanan Nasional Log = logistik Mabes TNI = Markas Besar TNI Mabes Polri = Markas Besar Polri NKRI = Negara Kesatuan Republik Indonesia NCB Interpol = National Central Bureau International Police Otda = Otonomi daerah OMS = organisasi masyarakat sipil Otmil = Oditur Militer Opslihkam = operasi pemulihan keamanan Ops = Operasi Pangti = Panglima Tertinggi Pangdam = Panglima Kodam Paldam = Peralatan Kodam PARAKO = Para Komando Polda = Kepolisian Daerah Polwil = Kepolisian Wilayah Polres = Kepolisian Resor Polresta = Kepolisian Resor Kota Polsek = Kepolisian Sektor Pospol = Pos Polisi Pothan = Potensi Pertahanan 306 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 Polkam = Politik Keamanan Propam = profesi dan pengamanan Pomdam = Polisi Militer Kodam PTIK = Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Platina = Pelatihan Anti teror Nasional Pusdik = Pusat Pendidikan Pusinfolahta = Pusat Informasi dan Pengolahan Data Pusku = Pusat Keuangan Pers = personalia PM = Polisi Militer Polri = Kepolisian Negara Republik Indonesia Polmas = Perpolisian Masyarakat Puspen = Pusat Penerangan Permil = Peradilan Militer Pussenif = Pusat Kesenjataan Infanteri Ranahan = Sarana Pertahanan Renhan = Perencanaan Pertahanan Renstra = Perencanaan Strategis RSK = Reformasi Sektor Keamanan RN = Rahasia Negara RI = Republik Indonesia Rindam = Resimen Induk Kodam RUU = Rancangan Undang-Undang Rengar = Perencanaan dan Anggaran Renstra = Perencanaan Strategis RAIARMED = Baterai Artileri Medan SANDA = Sandi Yudha (satuan Kopassus) Setum = Sekretariat Umum SESKO TNI = Sekolah Staf dan Komando TNI SESKO AD = Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat SESKO AL = Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut SESKO AU = Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara Sespim Polri = Sekolah Staf dan Pimpinan Polri Sespati = Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi Tingkat Tinggi (Polri) SPN = Sekolah Polisi Negara Secapa = Sekolah calon perwira Secaba = Sekolah calon bintara Satker = satuan kerja Sus = Khusus Sekjen = Sekretaris Jenderal SDR = Strategic Defense Review Strahan = Strategi Pertahanan SOPS = Staf Operasi SINTEL = Staf Intelijen SPERS = Staf Personalia TNI = Tentara Nasional Indonesia 307 Lampiran Tontaipur = Peleton Intai Tempur UU = Undang-undang Vet = veteran Wanjakti = Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi YONIF = Batalyon Infanteri YONKAV = Batalyon Kavaleri YONART = Batlayon Artileri YONARMED = Batalyon Artileri Medan YONARHANUD = Batalyon Artileri Pertahanan Udara Yonkes = Batalyon Kesehatan Wamil = wajib militer Wanra = perlawanan rakyat ZIPUR = Zeni Tempur ZIDAM = Zeni Kodam 308 AH K SIKAP PIJA BI J A K AR Profil Institusi LESPERSSI Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Indonesia Institute for Defense and Strategic Studies (LESPERSSI) was established in 1996 as a discussion forum that analyze several issues at that time, such as, horizontal and vertical conflicts, democratization, civil-military relations, and other strategic issues on regional or international level. For years, LESPERSSI has positioned as a non-governmental organization (NGO) in Indonesia that focused on activities regarding the defense, security, and other strategic issues. There are a few activities that conducted by LESPERSSI such as research, training, conference, workshop and also producing publications to support and to enhance public accountability, good governance, and democratic oversight. LESPERSSI Jl. Petogogan I, No.30, Blok A, Gandaria Utara South Jakarta 12140 Indonesia Tel : +62-21 7252725 Fax : +62-21 7262305 E mail : [email protected] Web site : www.lesperssi.org 309 Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009 DCAF The Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces The Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) was established by the Swiss government in October 2000. The Centre's mission is to promote good governance and reform of the security sector in accordance with democratic standards. The Centre conducts research on good practices, encourages the development of appropriate norms at the national and international levels, makes policy recommendations and provides in-country advice and assistance programmes. DCAF's partners include governments, parliaments, civil society, international organisations and the range of security sector actors such as police, judiciary, intelligence agencies, border security services and the military. The Centre works with governments and civil society to foster and strengthen the democratic and civilian control of security sector organisations. DCAF is an international foundation with 48 Member States (including the canton of Geneva). Their representatives compose the Foundation Council. The Centre's primary consultative body, the International Advisory Board, is composed of experts from the various fields in which the Centre is active. The staff numbers over 70 employees from more than 30 countries. DCAF's main divisions are Research and Operations which work together to develop and implement DCAF's programmes as follows: ? By conducting research to identify the central challenges in democratic governance of the security sector, and to collect those practices best suited to meet these challenges · By providing support through advisory programmes and practical work assistance to all interested parties, most commonly to governments, parliaments, military authorities, and international organisations The Centre is directed by Ambassador Dr. Theodor H. Winkler. DCAF's head office is located in Geneva, Switzerland and the Centre also has a subsidiary office in Brussels. The Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) Rue de Chantepoulet 11, P.O.Box 1360, CH-1211 Geneva I, Switzerland. Tel : +41 (22) 741 77 00 Fax : +41 (22) 741 77 05 E mail : [email protected] Web site : www.dcaf.ch 310