BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wanita dalam konteks budaya Jawa sering disebut kanca wingking (teman di dapur) oleh suaminya yang nasibnya sepenuhnya tergantung pada suaminya. Pepatah Jawa menggambarkan kedudukan wanitanya sebagai swarga manut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun terbawa). Namun kenyataan menunjukkan bahwa dibalik posisinya sebagai sosok yang selalu dibuat tidak berdaya itu, wanita Jawa justru kerapkali membuat sejarah yang mencengangkan, sejak zaman Majapahit hingga orde Reformasi sekarang ini. Bahkan menjadi tokoh perubahan sosial budaya di dalam masyarakat Jawa itu sendiri. Salah satu contohnya adalah R.A Kartini dan Dewi Sartika yang memperjuangkan dengan gigih pendidikan khusus untuk perempuan agar tidak terkungkung dalam kebodohan dan ketidakberdayaan. Oleh perjuangan kedua orang perempuan ini, maka kini sudah banyak perempuan, khususnya wanita Jawa yang mengenyam pendidikan tinggi. Contoh lain dalam orde Reformasi sekarang adalah kehadiran tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang menjadi penopang utama ekonomi keluarganya menggeser kedudukan dan peranan suaminya atau ayahnya. Bahkan disanjung-sanjung sebagai pahlawan devisa bagi negara Indonesia. Walaupun menghasilkan devisa yang banyak bagi negara ini, namun TKW tetap saja mendapat perlakuan sebagai rakyat kelas dua oleh berbagai pihak. Kisah-kisah seputar TKI dan TKW telah terlalu sering menghiasi media cetak dan eletronik. Kasus TKW di media biasanya terpusat pada pemberitaan kekerasan fisik. Bentuk-bentuk kekerasan seperti seksual dan psikologis sangat rentan dialami oleh pekerja migran perempuan (Intan S, 2010). Berita-berita tentang kekerasan yang dialami oleh TKW menciptakan pandangan bahwa TKW adalah buruh rendahan yang selalu bernasib buruk ditambah perlakuan kasar dari majikannya. Namun, cerita berbeda datang dari para TKW yang mengadu nasibnya di Hong Kong. Hal inilah yang menginspirasi sineas muda Indonesia dalam memproduksi sebuah film yang berjudul Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini bercerita tentang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja di Hong Kong. Walaupun TKW Hong Kong hampir tidak pernah mengalami kasus kekerasan, namun bukan berarti TKW bebas dari permasalahan selama bekerja di Hong Kong. Seperti yang dialami Sekar (Titi Sjuman) seorang TKW asal Jawa 1 Timur yang mengalami permasalahan hutang yang sangat besar yang terdapat pada film Minggu Pagi di Victoria Park ini. Karena tuntutan yang besar untuk membahagiakan orang tuanya termasuk membanggakan bapaknya, menyebabkan Sekar terjebak hutang pada lembaga hutang bernama SuperCredit. Begitu banyaknya hutang serta bunganya yang belum bisa dilunasi, passport Sekar ditahan sehingga ia tidak bisa bekerja. Sementara itu, Mayang (Lola Amaria) adalah seorang petani tebu yang terpaksa menjadi TKW karena perintah ayahnya. Ayah Mayang ingin ia mencari adiknya, Sekar yang sudah lama tidak memberi kabar. Sebenarnya hubungan antara Mayang dan Sekar tidak terlalu akur dan terdapat permusuhan antar saudara. Dari permasalahan yang terjadi antara Mayang dan Sekar, kita dapat mengetahui berbagai masalah lain yang dihadapi oleh para TKW di Hong Kong. Film ini disutradarai sekaligus diperankan oleh Lola Amaria. Selain Lola Amaria, film ini juga didukung oleh beberapa nama artis yang tak kalah apik dalam memerankan tokoh-tokoh dalam film tersebut, seperti Titi Sjuman, Donny Damara, dan Donny Alamsyah. Setiap film yang dibuat pasti menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya. Jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, suatu film yang ditawarkan harusnya memiliki efek yang sesuai dan sinkron dengan pesan yang diharapkan, jangan sampai inti pesan tidak tersampaikan tapi sebaliknya efek negatif dari film tersebut justru secara mudah diserap oleh penontonnya. (http:www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/4bud02.html) Keberadaan film di tengah masyarakat mempunyai makna yang unik diantara media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media ekspresi seni yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas, dan media budaya yang melukiskan kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua hal tersebut menjadikan film sebagai media yang mempunyai peranan penting di masyarakat. Di satu sisi film dapat memperkaya kehidupan masyarakat dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat, namun di sisi lain film dapat membahayakan masyarakat. Film yang mempunyai pesan untuk menanamkan nilai pendidikan merupakan salah satu hal yang baik dan bermanfaat, sedangkan film yang menampilkan nilai- nilai yang cenderung dianggap negatif oleh masyarakat seperti kekerasan, rasialisme, diskriminasi dan sebagainya akan membahayakan jika diserap oleh audience dan diaplikasikan dalam kehidupannya. Di lain sisi, praktek komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dalam bentuk lambang bermakna sebagai panduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, himbauan, dan sebagainya yang dilakukan seseorang kepada orang 2 lain, baik langsung secara tatap muka maupun tak langsung melalui media, dengan tujuan mengubah sikap, pandangan atau perilaku” (Effendy,60). Lambang (symbol) bermakna dioperasikan dalam proses komunikasi antar partisipan. Jika antara partisipan terdapat kesesuaian pemahaman tentang symbol-simbol tersebut, tercapai suatu keadaan yang bersifat komunikatif. Dalam proses ini, simbol-simbol yang digunakan oleh partisipan terdiri dari simbol-simbol verbal (lambang bahasa, baik lisan maupun tulisan) dan symbol-simbol non verbal (gerak anggota tubuh, gambar, warna dan berbagai isyarat yang tidak termasuk katakata atau bahasa). Sebagai simbol non verbal, gambar dapat dipergunakan untuk menyatakan pikiran atau perasaan. (Jalasutra, 2003). Beberapa sarjana yang telah melakukan banyak penelitian tentang pengaruh film terhadap masyarakat, mengemukakan bahwa hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Karena realitas yang digambarkan dalam film begitu ideal (hiper-realitas) sehingga masyarakat terpukau dan ingin mencontohinya. Namun sarjana lain mengkritik pendapat ini. Mereka mengemukakan argumentasi bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikan ke atas layar. Film merupakan gambaran yang bergerak. Film dapat disebut juga sebagai transformasi kehidupan masyarakat, karena dalam film kita dapat melihat gambaran atau cerminan yang sebenarnya, dan bahkan kita terkadang tidak menyadari. Sebagai gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Film juga memiliki dualisme sebagai refleksi atau sebagai representasi masyarakat. Sebagai refleksi kenyataan, sebuah film hanya memindahkan kenyataan ke layar tanpa mengubah kenyataan tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara kenegaraan atau film dokumentasi peristiwa perang. Sedangkan sebagai representasi kenyataan berarti film tersebut membentuk dan menghadirkan kembali kenyataan berdasarkan kode-kode, konvensikonvensi dan ideologi dari kebudayaan. (Sobur, 2003 : 128) Film sebagai representasi kenyataan yang disebut terakhir itulah yang melekat pada film ‘Minggu Pagi di Victoria Park’. Seperti telah disebutkan di atas, film ini mengangkat kehidupan nyata para TKW di Hongkong. Malah Lola Amaria sendiri sebagai sang sutradara sengaja melakukan studi tentang para TKW di Hongkong sebelum membuat film tersebut. Akan tetapi, film pada dasarnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda tersebut 3 termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Hal yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan SFX dan suara-suara lain yang mengiringi gambar-gambar) serta musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Tanda-tanda ikonis yang digunakan dalam film mengisyaratkan pesan kepada penonton. Di sinilah letak masalahnya, yaitu apakah tanda-tanda ikonis yang digunakan dalam film tersebut dapat mengisyaratkan kepada penonton tentang kenyataan sesungguhnya atau realitas dari para TKW yang dipandang sebagai ’pahlawan devisa dan berjuang demi peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarganya menggantikan peran laki-laki (suami/ayah). Ataukah tanda-tanda ikonis yang digunakan dalam film itu justru telah mengaburkan kenyataan yang hakiki itu dan lebih menonjol aspek dramatisasi kehidupan personal TKW? Persoalan ini yang hendak dikaji oleh peneliti. 1.2 Rumusan Masalah a) Apa makna yang disampaikan dalam film Minggu Pagi di Victoria Park mengenai realitas sosial TKW di Hongkong? b) Bagaimana realitas sosial TKW yang dikonstruksikan dalam film Minggu Pagi di Victoria Park? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Memahami makna simbol atau tanda-tanda tentang realitas sosial TKW dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. 2. Memahami cara pengungkapan realitas sosial TKW yang dikonstruksikan dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park. 4 1.4. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini merupakan suatu terapan teori semiotika dalam studi filmologi yang diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan studi Ilmu Komunikasi, khususnya bagi studi tentang film. b. Manfaat praktis 1. Untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para praktisi pembuat film, agar dapat membuat film yang lebih kreatif, sarat makna dan sesuai dengan etika budaya masyarakat Indonesia. 2. Dapat digunakan sebagai salah satu pendukung evaluasi kelebihan dan kekurangan film yang telah dibuat sebelumnya sehingga untuk kedepannya dapat menghasilkan film yang lebih berkualitas. 1.5 Kerangka Konseptual FILM Minggu Pagi di Victoria Park A N A L I S I S S E M I O T I K A Simbolik Denotasi Paradigmatik Konotasi Sintagmatik Mitos Konstruksi Realitas Sosial TKW 5 1.6 Definisi Operasional 1. Dalam penelitian ini, konstruksi adalah sebuah proses kreatif yang dilakukan oleh pembuat film Minggu Pagi di Victoria Park dalam menampilkan realitas sosial melalui simbol-simbol, gambar, dialog dan sejumlah unsur lainnya yang membentuk suatu film. 2. Realitas Sosial TKW yang dimaksud adalah gambaran sosok TKW dengan problematikanya masing-masing sebagaimana yang ditampilkan dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. 3. Analisis Semiotika adalah suatu metode yang digunakan untuk mengenali dan memaknai tanda-tanda atau simbol-simbol yang ditampilkan dalam film Minggu Pagi di Victoria Park yaitu berupa gambar-gambar, dialog, dan juga unsur-unsur artistik yang digunakan untuk mengkonstruksi realitas sosial TKW dalam film tersebut. 4. Simbolik, merupakan tanda yang dipilih untuk mewakili dan memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Paradigmatik, merupakan sekumpulan tanda yang dari dalamnya dipilih satu untuk digunakan. Dalam semiotik, paradigmatik digunakan untuk mencari oposisi-oposisi (simbol-simbol) yang ditemukan dalam teks (tanda) yang bisa membantu memberi makna. Sintagmatik, merupakan pesan yang dibangun untuk menginterpretasikan teks (tanda) berdasarkan urutan kejadian/peristiwa yang memberikan makna atau bagaimana urutan peristiwa atau kejadian menggeneralisasi makna. 5. Denotasi adalah makna yang paling nyata dari tanda. Denotasi dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya bahkan kadang juga dirancukan dengan referensi atau acuan. 6. Konotasi adalah makna yang tidak terlihat atau bisa disebut tataran semiologis tingkat kedua. Pada tataran inilah, sebuah teks menunjukkan mitos sebagai makna tersembunyi. 7. Mitos adalah sebuah gagasan yang merupakan hasil konstruksi sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang alamiah. 6 8. Film yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah film Minggu Pagi di Victoria Park yang disutradarai oleh Lola Amaria. Film ini bercerita tentang TKW yang bekerja di Hongkong yang dianggap sebagai representasi dari realitas sosial dalam masyarakat. 7