BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Agresif 1. Pengertian Agresif Patricia D. Barry (1998), menyatakan: Agresif adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, ke dalam diri atau secara destruktif (Yosep, 2007). Agresif adalah suatu tindakan menyerang yang disertai dengan kekerasan baik secara fisik, verbal atau simbolik terhadap lingkungan atau terhadap diri sendiri (Direktorat Kesehatan Jiwa, 1983). Agresif verbal menurut Schultz & Videbeck (1998) yang di kutip dari Videbeck (2008) adalah emosi yang diungkapkan melalui kata-kata yang melecehkan, tidak adanya kerja sama, pelanggaran aturan atau norma, atau perilaku mengancam. Sedangkan agresif fisik ialah perilaku menyerang atau melukai orang lain atau mencakup perusakan properti. Perilaku agresif ditujukan untuk menyakiti atau menghukum orang lain atau memaksa seseorang untuk patuh. Secara umum, orang yang agresif mengabaikan hak orang lain. Dia menganggap bahwa setiap orang harus berjuang untuk kepentingannya sendiri, dan dia mengharapkan perilaku yang sama dari orang lain. Perilaku yang agresif sering mencakup kurangnya dasar kepercayaan diri (Stuart & Sundeen, 1991). 2. Perkembangan Perilaku Agresif 9 Agresif berkaitan dengan trauma pada masa anak pada saat merasa lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi terus menerus, maka ia akan menampakkan reaksi berupa menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menahan napasnya (Yosep, 2007). Setelah anak berkembang dewasa ia menampakkan reaksi yang lebih keras pada saat kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi. Seperti tempertantrum, melempar, menjerit, menahan napas, mencakar, merusak atau bersikap agresif pada bonekanya. Bila reward and punishment tidak dilakukan maka ia cenderung menganggap perbuatan tersebut benar (Yosep, 2007). Bila kontrol lingkungan seputar anak tidak berfungsi, maka reaksi agresif tersebut bertambah kuat sampai dewasa. Sehingga apabila ia merasa benci atau frustasi dalam mencapai tujuannya ia akan bertindak agresif. Hal ini akan bertambah apabila ia merasa kehilangan orang-orang yang dicintai dan orang yang berarti. Tetapi pelan-pelan ia akan belajar mengontrol dirinya dengan norma dan etika dari dalam dirinya yang dia adopsi dari pendidikan dan lingkungan sekitarnya, ia akan belajar mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sehingga pola asuh dan orang-orang terdekat sekitar lingkungan akan sangat berarti (Yosep, 2007). Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan (panik). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai suatu rentang, dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain (Yosep, 2007). 3. Rentang Respon Marah Gambar : 2.1 Skema rentang respon marah Adaptif Maladaptif 10 Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk/ PK Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa: muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan (Yosep, 2007). 4. Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku agresif Perilaku agresif banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menstimulus kejadiannya, antara lain: 1. Faktor Predisposisi a) Faktor Neurobiologi Teori dorongan insting merupakan dua faktor utama yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dan Konrad Lorenz melalui hipotesis yang menyatakan bahwa manusia berevolusi dari kendali insting agresif. Freud manyatakan bahwa manusia berada di bawah pengaruh dua kendali tersebut, yang pertama adalah insting untuk hidup yang dinyatakan melalui seksualitas, yang kedua adalah insting kematian yang diungkapkan melalui agresi (Stuart & Sundeen, 1991). Peran neurotransmiter dalam studi tentang agresif telah dipelajari pada hewan dan manusia, tetapi tidak ada satu pun penyebab yang ditemukan. Hasil temuan menyatakan bahwa serotonin berperan sebagai inhibitor utama pada perilaku agresif. Dengan demikian, kadar serotonin yang rendah dapat menyebabkan peningkatan perilaku agresif. Hal ini dapat berhubungan dengan serangan marah yang terlihat pada beberapa klien depresi. Selain itu peningkatan aktivitas dopamin dan norepinefrin diotak dikaitkan dengan peningkatan perilaku kekerasan yang impulsif (Kavoussi et al., 1997). Selanjutnya; kerusakan struktur pada sistem limbik (untuk emosi dan perilaku) dan 11 lobus frontal (untuk pemikiran rasional) serta lobus temporal otak (untuk interpretasi indera penciuman dan memori) dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasi agresif sehingga menyebabkan perilaku agresif (Videbeck, 2008 & Yosep, 2007). Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan asam amino GABA. Faktor-faktor lain yang mendukung antara lain; masa kanakkanak yang tidak menyenangkan, sering mengalami kegagalan, kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan lingkungan yang tidak kondusif (Yosep, 2007; Stuart & Sundeen, 1991). b) Faktor Psikologis Psychoanalytical Theory; teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresifitas (Yosep, 2007). Frustation-aggresion theory; teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud yang berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif (Yosep, 2007; Stuart & Sundeen, 1991). Pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup, misalnya rejeksi yang berlebihan pada masa kanakkanak, yang mungkin telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan harga diri. Terpapar kekerasan selama perkembangan, termasuk child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping (Yosep, 2007). 12 Kegagalan untuk mengembangkan kualitas kemampuan untuk menunda terpenuhinya keinginan dan perilaku yang tepat secara sosial dapat menyebabkan individu yang impulsif, mudah frustasi, dan rentan terhadap perilaku agresif (Videbeck, 2008). c) Faktor Sosial Budaya Social-LearningTheory; teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan responrespon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh internal: orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut; seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh ekternal: seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka (Yosep, 2007) Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekpresikan marah dengan cara yang asertif. Ekspresi kemarahan sangat dipengaruhi oleh apa yang diterima dalam suatu budaya (Videbeck, 2008; Yosep, 2007; Stuart & Sundeen, 1991). d) Faktor Situasional 13 Dosis kecil alkohol menghambat agresif dan dosis besar mempermudah agresif, barbiturat mempunyai efek yang mirip dengan efek alkohol, aerosal dan zat pelarut komersial mempunyai efek yang mirip dengan alkohol (Sadock, 1997). 50 persen orang yang melakukan pembunuhan kriminal dan melakukan tindakan penyerangan dilaporkan telah meminum sejumlah bermakna alkohol segera sebelum tindakan agresif (Kaplan & Sadock, 1997). e) Faktor Spiritual (Kesadaran Beragama) Kepercayaan, nilai, dan moral mempengaruhi ungkapan marah seseorang. Aspek ini mampengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal ini bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Individu yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, selalu meminta kebutuhan dan bimbingan kepada-Nya (Yosep, 2007). Dalam kenyataan sehari-hari menunjukkan, bahwa anak-anak remaja yang melakukan kejahatan sebagian besar kurang memahami norma-norma agama bahkan mungkin lalai menunaikan perintahperintah agama antara lain mengikuti acara kebaktian, acara missa, puasa dan shalat (Sudarsono, 2008). 2. Faktor Presipitasi Secara umum, kemarahan terjadi sebagai respon terhadap ancaman yang dirasakan. Hal ini mungkin merupakan ancaman fisik terhadap ancaman yang dirasakan seperti ancaman cedera fisik, ancaman terhadap konsep diri. Suatu ancaman dapat eksternal atau internal (Stuart & Sundeen, 1991). Faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku agresif terbagi dua, yakni: a. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri (internal). 14 b. Lingkungan : ribut, kehilangan orang/objek yang berharga, konflik interaksi sosial (Yosep, 2007). Dimana lingkungan tersebut terdiri dari lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, dan teman sebaya (eksternal). Keluarga merupakan tempat pertama anak mendapatkan pendidikan. Orang tua pada umumnya memberikan pelayanan kepada putri dan putranya sesuai dengan kebutuhan mereka. Ada kalanya orang tua sangat memanjakan, ada pula yang bertindak keras (Rumini & Sundari, 2004). Keluarga menurut Clemen dan Buchaman (1982) seperti yang dikutip oleh Yosep (2007) merupakan suatu konteks dimana individu memulai hubungan interpersonal. Keluarga mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang. Sedangkan Spradey (1985) mengemukakan bahwa keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi kasih sayang, rasa aman, rasa dimiliki, dan menyiapkan peran dewasa individu di masyarakat (Yosep, 2007). Pola hubungan keluarga yang memudahkan seseorang berperilaku menyimpang, kurangnya perhatian, penghargaan dan pendidikan keluarga; serta pola asuh orang tua yang terlalu overprotektif merupakan beberapa contoh yang dapat menyebabkan seseorang berperilaku agresif. Masyarakat, setiap orang sangat akrab dengan lingkungan masyarakat dimana ia bertempat tinggal. Anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh masyarakat dan lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh yang dominan adalah perubahan sosial kehidupan masyarakat yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang sering menimbulkan ketegangan, seperti persaingan, perekonomian, terjadi diskriminasi, mass media (misal pornografi, pornoaksi), fasilitas rekreasi (seperti play station), dan penyelenggaraan klub-klub malam, seperti diskotik (Sudarsono, 2008) 15 kondisi-kondisi ini menjadi faktor pendorong munculnya perilaku destruktif (negatif) remaja. Sekolah merupakan masyarakat yang lebih besar dari keluarga. Sekolah bukan hanya sekedar memberikan pelajaran, tetapi juga berusaha memberikan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan, berusaha agar anak didik mengembangkan potensinya secara puas dan senang serta mempunyai pribadi yang integral (Rumini & Sundari, 2004). Sekolah merupakan salah satu faktor pendukung perkembangan remaja. Di sekolah remaja menerima pendidikan secara formal, sebagian besar aktifitas lebih ditekankan kepada pembinaan intelektual. Dalam proses belajar tidak jarang terjadinya konflik antar peserta didik dengan pendidik. Misalnya dalam proses belajar mengajar, seringkali terjadi sikap peserta didik yang tidak berkenan di hati pendidik menjadikan pendidik memberi respon yang kurang simpati. Terkadang ada kalanya sikap pendidik yang kurang menarik simpatik bagi peserta didik, sehingga peserta didik kurang memberi respon yang kurang simpatik terhadapnya (Krahe, 2005). Teman sebaya, sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama. Sebaya memegang peran yang unik dalam perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting sebaya adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik kemampuan mereka dari grup sebaya mereka. Mereka mengevaluasi apa yang mereka lakukan dengan ukuran apakah lebih baik, sama baiknya, atau lebih buruk daripada apa yang dilakukan anak lain. Hubungan sebaya bisa negatif maupun positif. Beberapa teoritisi menjelaskan bahwa budaya sebaya anak sebagai pengaruh buruk yang melemahkan nilai dan kontrol orang tua. Sebaya dapat memperkenalkan remaja kepada alkohol, obatobatan, kenakalan dan bentuk lain dari perilaku yang maladaptif (Santrock, 2007). Hubungan dengan teman sebaya merupakan sumber 16 pengaruh sosial yang sangat relevan dengan agresif. Kandel (1983) mengemukakan bahwa ada kesamaan dalam menggunakan obat-obat terlarang, merokok dan minuman keras mempunyai pengaruh yang kuat dalam pemilihan teman (Syamsu, 2004). Sebuah grup sebaya remaja mungkin merujuk kepada orang-orang lingkungan tetangga, tim olahraga, kelompok sahabat, dan teman. Pengaruh sebaya atau grup sebaya bergantung pada latar dan konteks spesifiknya (Santrock, 2007). Dalam hal ini hubungan dengan teman sebaya merupakan sumber pengaruh bagi seseorang untuk melakukan atau mendukung tindakan-tindakan agresifnya. B. Konsep Perilaku 1. Pengertian Pengertian perilaku dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktifitas (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku dalam konteks manusia adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Oleh karenanya perilaku manusia dapat diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, sikap dan psikomotor (Notoatmodjo, 2004). Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons maka teori dari Skinner ini dapat disebut teori ” S-O-R ” atau stimulus-organisme-respons. Skinner membedakan adanya dua respon yaitu respondent respons atau reflexsive, adalah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut clicting stimultation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Adapun respon yang satunya yakni Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan berkembang, kemudian diikuti oleh stimulus atau 17 perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimultation atau reinforcer, karena memperkuat respon (Notoatmodjo, 2004). 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku Menurut Purwanto (1998) faktor yang mempengaruhi perilaku adalah sebagai berikut: a. Keturunan Keturunan diartikan sebagai pembawaan yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Teori Mendel merupakan teori tentang keturunan yang dikenal dengan hipotesa genetika yang menjelaskan tentang sifat makhluk hidup dikendalikan oleh faktor keturunan, tiap pasangan merupakan penentu alternatif bagi keturunannya, dan pada waktu pembentukan sel kelamin, pasangan keturunannya dan menerima pasangan faktor keturunan. b. Lingkungan Lingkungan dalam arti psikologi adalah segala sesuatu yang berpengaruh pada diri manusia dalam berperilaku. Lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan perilaku individu mulai mengalami dan mengecap alam dan sekitarnya. c. Pendidikan Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan. d. Keluarga Tidak dipungkiri apabila ada keluarga yang bertingkah laku baik maupun buruk maka akan dicontoh pula kepada keluarga yang ada disekitarnya. 18 Menurut Benyamin Bloom membagi perilaku dalam 3 domain, yaitu: 1) Kognitif (pengetahuan) 2) Afektif (sikap) 3) Psikomotor (tindakan) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan karena diperlukan beberapa faktor pendukung untuk mencapai suatu tindakan, antara lain: 1) Persepsi (perception) Mengenal dan memilih sebagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. 2) Respon terpimpin (guided response) Artinya bahwa subjek dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar. 3) Mekanisme (mecanism) Artinya apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis sehingga sesuatu itu menjadi suatu kebiasaan. 4) Adopsi (adoption) Merupakan suatu praktek yang sudah berkembang dengan baik tindakan tersebut sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003). Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi 2 faktor pokok, yakni perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes). Perilaku kesehatan ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor: 1) Faktor predisposisi (predisposing faktors) 19 Faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain: pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai tradisi. 2) Faktor pendukung (enabling faktors) Yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan kelompok referensi dari perilaku seseorang. 3) Faktor penguat (reinforcing faktors) Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku seseorang. Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru,didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni; 1) Awwarenes (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus. 2) Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau objek tersebut. 3) Evaluation (evaluasi) menimbang –nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini sikap responden sudah lebih baik lagi. 4) Trial (mencoba), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2003). C. Konsep Remaja Remaja, dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya ”tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan” (Ali & Asrori, 2009; Al-Mighwar, 2006; Hurlock, 1991). Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock,1991) yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia 20 dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Ada beberapa pandangan yang mengemukakan tentang masa remaja. Salah satu di antaranya dikemukakan oleh Fishbein (1978), bahwa remaja itu ditandai dengan datangnya masa pubertas dan bersamaan dengan itu terjadi pula pertumbuhan fisik, tetapi juga timbul gejolak-gejolak dalam dirinya (Syamsu, 2004). Timbulnya gejolak pada masa remaja disebabkan remaja sedang berada pada masa transisi, masa dimana periode anak-anak sudah dilewati dan remaja belum diterima sebagai manusia dewasa (Syamsu, 2004). Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa. Oleh karena itu, ada sejumlah sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja seperti kegelisahan, kebingungan karena terjadi suatu pertentangan, keinginan untuk mengkhayal, dan aktivitas berkelompok. Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase ”mencari jati diri” atau fase ”topan dan badai”. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya (Monk dkk, 1989) yang dikutip oleh Ali & Asrori (2009). Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada situasi psikologis antara melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Oleh karena itu, pada umumnya sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orang tua (Ali & Asrori, 2009). Berbagai macam keinginan remaja yang tidak terpenuhi dan adanya bermacam-macam larangan dari orang tua seringkali melemahkan atau 21 bahkan mematahkan semangat remaja. Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah mereka berkumpul dengan rekan sebaya untuk melakukan kegiatan bersama dan remaja mulai sering meninggalkan rumah dan lebih nyaman berinteraksi dengan lingkungan baru yang menurutnya lebih baik (Ali & Asrori, 2009; Gunarsa, 2003). Berkumpulnya remaja dengan rekan sebaya atau bergabungnya remaja dengan bentukan lingkungan tersebut memungkinkan remaja untuk terlibat dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang baru. Salah satu yang mungkin dapat terjadi sebagai bentuk dari kegiatan tersebut adalah kegiatan yang menstimulus terjadinya perilaku agresif (Gunarsa, 2003). Hal ini dapat terjadi karena remaja berada pada kondisi yang labil dan emosional sehingga sangat mudah baginya untuk terpengaruh situasi dan kondisi tempatnya berada (Syamsu, 2004; Gunarsa, 2003). Rass solidaritas yang kuat karena adanya in group feeling yang sangat kuat dan kesesuaian aspek-aspek tertentu dalam diri remaja terhadap lingkungan baru yang banyak mendukungnya. Ini memungkinkan baginya untuk selalu berperan dan aktif terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan kelompoknya. Meskipun terkadang dalam tindakannya remaja kurang mempertimbangkan secara matang akibat dari kegiatan yang dilakukannya baik bagi dirinya maupun sekitarnya (Monk, 2004). Remaja yang masih dalam proses perkembangan tersebut mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama kebutuhan rasa aman, rasa sayang dan rasa harga diri. Zakiah Daradjat (1989) mengemukakan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang perlu dipenuhi. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi suatu goncangan. Pada prinsipnya manusia ingin memenuhi kebutuhan dengan cara yang ia pilih. Begitu halnya dengan remaja, ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka ini akan memunculkan suatu problema/masalah dalam dirinya. Kemungkinan remaja akan mengalami frustasi atau perilaku yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Selanjutnya situasi frustasi akan membuat orang marah 22 dan akan memperbesar kemungkinan mereka melakukan tindakan agresif (www. DEPDIKNAS.co.id.) D. Kerangka Teori ` Faktor Predisposisi Neurobiology Psikologis − Pschoanalytical theory − Frustation-aggresion theory Social Budaya − Social-learning theory − Kultural Situasional − Alkohol Spiritual (Kesadaran Beragama) Perilaku Agresif Faktor Presipitasi Klien Lingkungan − Keluarga − Masyarakat − Sekolah − Teman sebaya Keterangan: area penelitian 23 Gambar. 2.2. Kerangka Teori: Faktor-faktor penyebab perilaku agresif remaja Sumber: Videbeck, 2008; Yosep, 2007; Stuart & Sundeen, 1991. E. Kerangka Konsep Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Variabel independen Variabel dependen Faktor Penyebab : Keluarga Masyarakat Perilaku agresif Sekolah Teman sebaya Gambar. 2.3. Kerangka Konsep F. Variabel Penelitian Variabel-variabel yang diteliti meliputi: Variabel Independen : Faktor keluarga, masyarakat, sekolah, dan teman sebaya. Variabel Dependen : Perilaku agresif G. Hipotesis Penelitian 1) Ada hubungan antara faktor keluarga dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STIMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah. 2) Ada hubungan antara faktor masyarakat dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STIMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah. 3) Ada hubungan antara faktor sekolah dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STIMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah. 4) Ada hubungan antara faktor teman sebaya dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STIMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah.