Kebijakan Alokasi Penggunaan Sumber Daya Lahan

advertisement
Kebijakan Alokasi Penggunaan Sumber Daya Lahan
Secara Berkeadilan Dalam Reformasi Pembangunan Pertanian
Heryadi Siswomartono dan Arifien Habibie *)
Pendahuluan
Dalam GBHN (1999) ditegaskan secara jelas bahwa dalam rangka pemerataan hasil
pembangunan perlu lebih ditingkatkan dan diperluas pada usaha-usaha untuk memperbaiki
penghasilan kelompok masyarakat yang mempunyai mata pencaharian berpenghasilan rendah
seperti buruh tani, petani berlahan sempit, peternak kecil, pengrajin dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut bagi kebanyakan penduduk Indonesia yang
kehidupannya masih tergantung pada sektor pertanian maka pemilikan lahan merupakan
faktor penting. Pemilikan lahan tidak hanya penting untuk pertanian saja melainkan juga bagi
penentuan berbagai kebutuhan lain dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya
untuk keperluan-keperluan kawasan industri dan pabrik maupun dipakai sebagai pemukiman.
Dilema yang dihadapi tentang peruntukan lahan pada sektor pertanian seringkali
bersaing dengan sektor lain seperti industri, pemukiman dan perdagangan. Pada daerah yang
padat seperti pulau Jawa, setiap tahunnya sekitar 50.000 hektar lahan pertanian yang berubah
fungsi penggunannya (Soni Harsono, 1995). Penguasaan dan pemilikan lahan pertanian sering
dikatakan sebagai masalah yang rumit. Dimana menyangkut berbagai aspek seperti ekonomi,
demografi, hukum, politik, dan sosial. Bahkan kerumitan itu akan bertambah dengan
keterkaitkannya dengan aspek-aspek teknis seperti agronomi, ekologi, dan lain sebagainya.
Dilihat dari aspek segi hukum, hak memiliki dan menguasai itu pada umumnya dapat
melekat pada dua jenis subyek hukum, yaitu masyarakat/penguasa dan perseorangan.
Pengertian penguasaan adalah memberikan kewenangan seperti pemilikan, namun penguasaan
dan pemilikan lahan terdapat perbedaan tergantung pada subyeknya. Seperti cara penguasaan
oleh pihak pengembang dan para spekulan terletak pada kepemilikan modal kuat, sehingga
ribuan hektar lahan menjadi terlantar yang akhirnya menjadi lahan tidur yang sebenarnya dapat
dibudidayakan untuk pembangunan pertanian (Yustika Baharsyah, 1998).
Dalam suasana lingkungan strategis yang berubah dengan cepat, penajaman arah
kebijakan dan perencanaan bagi reformasi pembangunan pertanian pada masa depan menjadi
demikian penting. Dengan mengantisipasi perubahan eksternal maupun internal, visi
pembangunan pertanian dapat dirumuskan sebagai pertanian yang menjadi ciri pada era
reformasi. Kerangka reformasi pembangunan pertanian yang berwawasan agrobisnis tersebut
pada dasarnya mempunyai beberapa tujuan, antara lain (a) menarik dan mendorong sektor
pertanian; (b) menciptakan struktur perekonomian yang tangguh, efisien dan fleksibel; (c)
menciptakan nilai tambah; (d) meningkatkan penerimaan devisa; (e) menciptakan lapangan
kerja; dan (f) meningkatkan pendapatan para petani.
*)
Dr. Ir. Heryadi Siswomartono, M.Sc adalah Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Departemen
Pertanian RI dan Dr. Ir. Arifien Habibie, MS adalah Staf Deputi IV Kantor Menteri Koordinator Perekonomian RI-red.
1
Oleh karena itu, strategi reformasi pembangunan sektor pertanian harus dikaitkan
dengan strategi pengembangan industri pertanian yang dapat dikembangkan di perdesaan.
Dan karenanya harus diprioritaskan pertumbuhan industri pertanian yang mampu menangkap
efek ganda bagi perdesaan (Syarifuddin Baharsyah, 1997). Dengan demikian, perlu didorong
mekanisme keterkaitan antara pembangunan pertanian dengan pembangunan industri dan jasa.
Seperti di Amerika Serikat dalam keterkaitan pembangunan pertanian dengan industri,
sebenarnya Amerika Serikat merupakan negara pertanian yang terbesar dan paling efisien di
dunia dimana sekitar 2,5 persen angkatan kerjanya mampu mencukupi 90 persen kebutuhan
penduduknya dan bahkan merupakan eksportir terbesar di dunia (Kartomo Wirosuhardjo,
1997).
Dalam naskah ini berikut penulis mencoba menguraikan sistem pengelolaaan dan
penggunaan sumber daya lahan dalam pembangunan pertanian secara nasional agar tercipta
pertanian modern yang berwawasan agrobisnis yang merupakan wujud pertanian era reformasi
dalam rangka menyongsong persaingan global.
Kebijakan Ekstensifikasi Lahan dan Distribusinya
Kebijaksanaan ekstensifikasi pertanian dan perkebunan juga sangat berpengaruh
terhadap keadaan hutan. Pencetakan sawah yang diperluas dengan pemanfaatan hutan rawa
dan gambut. Sementara sawah kelas satu yang sudah dikorbankan dibuat perindustrian pada
kawasan-kawasan industri pinggiran kota. Dalam pemikiran para perancang program ini,
perusahaan perkebunan milik negara yang menguasai teknologi, permodalan, dan teknik-teknik
manajemen akan dikaitkan dengan petani plasma yang tidak memiliki keunggulan-keunggulan
seperti itu. Jadi tujuan tersebut kepada para petani perkebunan kecil melalui hubungan
ekonomi intensif atau pola kemitraan. Dalam pola kemitraan tersebut investor bukanlah
melakukan pemaksaan yang harus dilakukan terhadap mitranya, melainkan merupakan strategi
usaha atau bisnis berdasarkan analisis manfaat biaya yang sama-sama menguntungkan antara
pelaku kemitraan. Dengan pola pengembangan strategi transformasional dalam bidang
pertanian dapat dirintis usaha pertanian menuju agroindustri dan pada gilirannya dapat
menciptakan agrobisnis yang tangguh (Tri Cahyono, 1997).
Secara teoritis pula bahwa Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) atau Perusahaan
Negara Perkebunan (PNP), dan perusahaan-perusahaan perkebunan milik negara yang
menjadi model pengelolaan pembangunan. Sebab perkebunan “small holder” disekitarnya, milik
rakyat, menjadi sasaran pengembangannya. Dalam prakteknya, PIR sangat berorientasi bisnis
di samping pemerataan atau transfer teknologi unggulan.
Jadi, semakin pentingnya PIR dalam rencana pembangunan yang sekarang dirancang
pemerintah dapat ditilik dari segi strategi internal dan eksternal. Secara internal, berkaitan
dengan proses kapitalisasi perdesaan yang semakin intensif. Sedangkan secara eksternal
berkaitan dengan keperluan untuk menggalakkan ekspor non migas sebagai strategi yang
diandalkan. Di Indonesia, potensi cukup besar, Balai Pusat Statistik (1997) melaporkan
bahwa, luas lahan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan tanaman pangan dan
hortikultura mencapai 23,271 juta hektar (Tabel 1), baik yang tersebar di Pulau Jawa maupun
Luar Jawa.
2
Tabel 1. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Tanaman Pangan dan Hortikultura di
Indonesia.
Luas Lahan Kering pada Areal (ha)
Pulau
Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Teng
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Irja
JUMLAH
Tegal/Kebun/
Ladang/Huma
4.371.842
3.122.006
990.516
1.718.534
1.617.282
11.820.180
Perkebunan Negara/
Perkebunan swasta
6.571.156
632.460
364.243
2.147.358
1.736.266
11.451.483
Jumlah
10.942.998
3.754.466
1.354.759
3.865.892
3.353.548
23.271.663
Penataan dan Pemanfaatan Lahan
Gejala yang timbul diseputar penguasaan dan pemilikan tanah perdesaan dan
perkotaan dewasa ini adalah terpusatkan pada sebagian besar pemanfaatan pemilikan tanah
ditangan sekelompok masyarakat pemilik modal kuat. Di lain pihak, masyarakat perkotaan
secara umum dan masyarakat pemilik modal lemah khususnya cenderung tersingkir dari
mekanisme pasar yang ada, yang berakibat pada timbulnya ketidak merataan dalam
penguasaan dan pemilikan tanah.
Posisi pemerintah dalam mengatasi atau mengendalikan masalah tersebut di atas sudah
cukup jelas, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan UUPA
pasal 2 ayat 1. Pemerintah memiliki banyak alternatif dalam upaya mengendalikan mekanisme
pasar yang ada. Namun paling tidak ada dua cara yang dapat ditempuh yaitu melalui (1)
intervensi secara langsung untuk dapat menciptakan mekanisme pasar yang tidak hanya
berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi semata dan (2) memperhatikan aspek pemerataan,
sebagaimana yang dikehendaki oleh GBHN.
Sejauh ini memang belum ada suatu penelitian mendalam mengenai intervensi mana
yang paling efektif di dalam upaya mencapai maksud tersebut di atas. Namun sejalan dengan
tugas praktis pertanahan maka secara ringkas gambaran intervensi pemerintah secara langsung
yang selama ini telah dilaksanakan disamping konsep pemikiran baru yang masih perlu diteliti
dan kemudian dikembangkan. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR 1993 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) menjelaskan bahwa penataan penguasaan tanah oleh negara
diarahkan agar pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Amanat tersebut termasuk upaya pemerintah untuk melakukan intervensi dalam
rangka memperbaiki tata cara dan kekurangan mekanisme pasar tanah, serta menunjang secara
bertahap terwujudnya rasa keadilan dalam penguasaan/pemilikan tanah melalui kebijakan yang
baru, penyesuaian yang ada dan perombakan yang telah usang.
Dalam prakteknya, khususnya untuk kegiatan pembangunan lewat perizinan tersebut,
timbul banyak masalah pasca proses pra pelayanan seperti adanya penyalah gunaan perizinan
yang telah diberikan. Selain itu terjadi pula penelantaran tanah yang telah dikuasai dan bentukbentuk spekulasi lainnya sehingga terjadi lahan tidur seperti akhir-akhir ini dikenal masyarakat,
yang dalam pemanfatannya dapat digunakan sebagai usaha pertanian tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan (Yustika Baharsyah, 1998).
3
Selanjutnya apabila dipilah dalam penataan lahan yang layak dan tidak layak untuk
usaha pertanian kemudian dibagi dengan jumlah penduduk agraris, sebenarnya lahan yang
tersedia untuk masing-masing tidak juga terlalu luas. Hanya di Pulau Kalimantan , Maluku dan
Irian Jaya ketersediaan lahan yang layak untuk pertanian per penduduk agraris di atas satu
hektar. Sedangkan di Jawa lahan yang layak untuk pertanian per penduduk agraris hanya
kurang dari seperempat hektar, di Sulawesi kurang dari setengah hektar, Nusa Tenggara sedikit
diatas setengah hektar dan Sumatera kurang dari satu hektar (Tabel 2).
Harus diakui bahwa penataaan lahan yang layak untuk sektor pertanian tidak selalu
dimanfaatkan secara tepat. Dengan hanya melanjutkan pola pemanfaatan lahan yang
ditinggalkan penjajah, banyak usaha pertanian di Indonesia tidak mendukung kelestarian
lingkungan sehingga tidak layak apabila dilihat dari aspek ekonomi. Kecuali perkebunan
peninggalan penjajah, hanya sedikit pertanian di Indonesia yang dirancang untuk perdagangan
antar wilayah maupun perdagangan internasional. Selebihnya hanya diusahakan untuk
mendukung kehidupan petani sehari-hari atau hanya untuk memenuhi perdagangan setempat
(Amien, 1994).
Tabel 2. Luas Lahan yang Layak untuk Pertanian Setiap Penduduk Agraris.
Wilayah
Penduduk
(juta orang)
Sumatera
Jawa
Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
42.918
116.025
11.340
10.946
14.027
2.188
Luas
(juta Ha)
47.360
13.219
8.849
53.946
18.922
7.450
Penduduk Agraris
(persen)
68
46
62
66
68
68
Lahan Layak
Pertanian
(persen)
59.9
71.9
46.3
33.8
22.4
33.8
Sumber: BPS (1997) telah diolah.
Oleh karena itu konsolidasi tanah merupakan salah satu instrumen penting untuk
mengendalikan mekanisme pasar dalam kaitannya dengan upaya pemanfaatan tanah secara
optimal, seimbang dan lestari dengan meningkatkan efisiensi pemanfaatan tanah di wilayah
perkotaan. Konsolidasi tanah dapat didefinisikan sebagai suatu model penataan lingkungan
yang dari tidak teratur menjadi teratur. Di samping itu dilengkapi dengan prasarana dan
fasilitas umum yang dibutuhkan, sedangkan prinsipnya dipergunakan secara swadaya oleh
masyarakat pemilik tanah sendiri.
Dalam penerapannya terdapat dua aspek penting yang menjadi sasaran utama
konsolidasi tanah yaitu (1) penataan fisik atas penggunan serta (2) pemanfaatan tanah dan
penataan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah. Kedua aspek tersebut tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Diharapkan penataan melalui fisik maka nilai tanah
perkotaan semakin meningkat untuk kepentingan masyarakat pemilik tanah. Dan diharapkan
melalui pelayanan penguasaaan dan pemilikan oleh masyarakat dapat tercapai.
Selain intervensi melalui pembatasan pemilikan tanah, lembaga perizinan, kosolidasi
tanah maka praktek “land banking” juga dapat dijadikan sebagai salah satu alat instrumen dalam
mengendalikan mekanisme pasar yang ada. Paling tidak melalui kegiatan “land banking” dapat
terpenuhi beberapa syarat utama penyediaan tanah yang lancar dan mendukung pelaksanaan
pembangunan nasional seperti lokasi tanah yang sesuai, luas areal tanah yang cukup, harga atau
4
ganti rugi tanah secara wajar, waktu penyediaan tanah tepat, ketentuan yang berlaku ditaati
serta tidak menimbulkan keresahan atau sengketa.
Sampai saat ini kita mengenal dua contoh konkrit mengenai kegiatan pengadaan tanah
yang menggunakan prinsip “land banking”. Contoh pertama adalah dalam upaya mengatasi
masalah penyediaan tanah bagi keperluan pembangunan perumahan dan pemukiman.
Pemerintah menetapkan suatu badan untuk mengolah kawasan siap bangun sesuai dengan
amanat dalam rangka penyediaan tanah untuk industri beberapa perusahaan untuk mengelola
kawasan industri seperti berbagai pengembang. Secara garis besar, kegiatan dasar usaha land
banking adalah meliputi pengadaan tanah, pematangan tanah dan penyaluran atau penjualan
tanah. Sedangkan modal awal diperoleh dari beberapa sumber antara lain sebagian pajak
pertanahan, dana pengganti biaya dan termasuk keuangan dalam rangka kegiatan konsolidasi
tanah dan pemasukan keuangan negara yang berasal dari kegiatan fungsional pertanian.
Informasi Sumber Daya Lahan
Dalam rangka reformasi pertanian yang berkelanjutan banyak faktor beserta
interaksinya yang patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah keadaan
lingkungan, sumber daya lahan, perubahan agroklimat, dan sosial ekonomi. Penilaian
produktivitas lahan memerlukan pengetahuan mengenal jenis tanah, penyebarannya, dan
masukan yang diperlukan untuk mengatasi dan meningkatkan produktivitasnya, serta
tanggapannya terhadap penerapan teknologi (Widjaja Adhi, 1989).
Pengetahuan mengenai sumber daya lahan telah disadari perlunya perencanaan
terutama untuk pengembangan pertanian, tetapi informasi data sumber daya lahan jarang
digunakan secara efektif. Hal-hal tersebut perlu ditelaah dalam usaha meningkatkan
sumbangan penelitian sumber daya lahan untuk pengembangan pertanian secara berkelanjutan.
Saat ini data base tentang tanah sedang digarap dan unit informasi tanah sehingga memudahkan
dan mempercepat pelayanan informasi tanah.
Pada tingkat nasional sasaran utama penelitian informasi data tanah adalah untuk, (1)
menentukan wilayah yang memungkinkan keuntungan biotik dan sosial ekonomi yang
tertinggi untuk suatu komoditi; (2) memilih komoditi yang memberikan keuntungan biotik dan
sosial ekonomi untuk suatu wilayah; dan (3) meneliti cara peningkatan dan pelestarian
produktivitas suatu komoditi di suatu wilayah. Kesemuanya itu merupakan pendekatan dasar
dari sistem pembangunan pertanian yang berazaskan keterpaduan komoditi, wilayah dan
usahatani.
Banyak penelitian sumber daya lahan telah dilaksanakan oleh berbagai instansi, baik
dalam maupun diluar Badan Litbang, baik pemerintah swasta nasional maupun swasta asing.
Hasilnya tersebar di berbagai departemen seperti Perhubungan, Pekerjaan Umum, Kehutanan
dan Departemen Pertanian. Untuk membangun suatu data base tanah dan untuk menghindari
pengulangan kegiatan, informsasi sumber daya lahan perlu dikumpulkan. Pengumpulan
informasi berupa laporan dari berbagai instansi memerlukan data dan waktu, serta kerjasama
dari semua pihak yang terkait.
Di samping itu survai tanah di Indonesia telah dilaksanakan pada berbagai tingkat skala
metode dan berbagai metode untuk berbagai tujuan penggunaan. “Streamline” pendekatanpendekatan yang berbeda diperlukan untuk memudahkan dalam penafsirannya. Pada tingkat
5
tinjauan pendekatan melalui “land system” akan terus dikembangkan, sedangkan pada tingkat
survai detail adalah pendekatan seri tanah atau “frase” yang ada terus dikembangkan. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat Litbang Pertanian sedang membangun suatu unit data base
tanah, dan menginterpretasikan data atau informasi tanah dan lahan dari daerah survai
pemetaan.
Kegiatan ini merupakan salah satu komponen “Project Implementation Unit” (PIU) dari
“Land Resource Evaluation and Planning” Project (LREPP), yang telah dikelola oleh Badan
Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Unit data base tanah dilengkapi
perangkat lunak LECS atau pogram serupa atau yang dikembangkan dari LECS. Diharapkan
pula perangkat lunak lain, seperti analisa sistem atau model simulasi dan sistem pakar, dapat
memanfaatkan data base tanah ini. Untuk itu diperlukan komponen penunjang, yaitu suatu
sistem pengelolaan data base.
Di phak lain, sistem pakar (expert system) dinilai sangat bermanfaat dalam perencanaan
praktis pada tingkat petani. Sistem ini dapat digunakan untuk menyusun rekomendasi
pengapuran misalnya pemberian amelioran, pemupukan, pengaturan irigasi serta pengawetan
dan pengelolaan tanah dan air. Suatu sistem yang dapat membantu petani menentukan
rekomendasi kebutuhan kapur yang telah dikembangkan. Kemampuan sistem pakar terletak
pada kemampuannya mencakup pengetahuan yang tidak saja diketahui para pakar tetapi juga
penalaran atau “common sense” petani. Dengan menyaring pengetahuan para pakar ke dalam
aturan-aturan yang berkaitan, para perakit pengetahuan dapat menuangkannya ke sistem pakar.
Sistem ini memungkinkan para penyuluh pertanian lapangan mendapat rekomendasi suatu
masalah tertentu untuk suatu lokasi dan pada keadaan khusus.
Kebijakan Pembangunan Pertanian Era Reformasi
Pembangunan pertanian dalam era reformasi tidak lagi berorientasi kepada
peningkatan produksi semata, tetapi mengarah kepada pendekatan agrobisnis. Secara
konseptual sistem agrobisnis dapat diartikan sebagai semua aktivitas, mulai dari pengadaan dan
penyaluran sarana produksi sampai dengan pemaaran produk-produk yang dihasilkan oleh
usahatani dan nelayan serta agroindustri, yang saling terkait satu sama lainnya. Dengan
demikian sitim agrobisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yaitu (a)
sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumber
daya manusia; (b) sub sistem budidaya atau usahatani; (c) sub sistem pengolahan hasil
pertanian atau agroindustri; dan (d) sub sistem pemasaran hasil pertanian atau agrobisnis.
Dengan pendekatan sistem tersebut orientasi reformasi pembangunan pertanian
mencakup seluruh aspek dalam sistem agrobisnis yang dilaksanakan secara terpadu dengan
memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Keterkaitan dengan
agroindustri dalam sistem agrobisnis menjadi sangat penting dalam penyediaan dan
penyaluran sarana produksi, penyediaaan dana dan investasi, serta teknologi dengan dukungan
sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif.
Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan
ekonomi perdesaan, sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan
pendapatan petani. Dengan demikian maka menumbuhkan agroindustri yang dikembangkan
di perdesaan perlu dirancang dengan prinsip dasar yaitu (1) memacu keunggulan brigade
penumbuhan agroindustri; (2) memacu peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan
6
menumbuhkan agroindustri yang sesuai serta mampu dilakukan di wilayah yang
dikembangkan; (3) memperluas wilayah sentra-sentra agrobisnis komoditas unggulan yang
nantinya akan berfungsi sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan; (4) memacu
pertumbuhan agrobisnis wilayah dengan menghadirkan subsistem-subsistem agrobisnis; dan
(5) menghadirkan sarana pendukung berkembangnya industri perdesaan.
Untuk dapat memberikan dukungan yang penuh terhadap perkembangan agroindustri
di perdesaan tersebut, kendala-kendala yang masih melekat pada sektor pertanian harus segera
dapat diatasi. Kendala tersebut antara lain masih tersebarnya usahatani dengan beragam
kualitas produk sehingga menyulitkan baik dari aspek processing, marketing maupun pendukung
agrobisnis atau agroindustri lainnya. Hal tersebut akan terkait dengan kelangsungan bahan
baku serta “high cost industrial processing and marketing”. Berbagai upaya telah dilakukan seperti
konsepsi pengembangan sentra agrobisnis komoditas unggulan (SPAKU) yang diharapkan
akan mampu memperkecil serta menuntaskan permasalahan yang ada. Gambaran umum
mengenai kendala atau permasalahan serta tantangan dan berbagai peluang yang dipandang
mempengaruhi berkembangnya agrobisnis perdesaan, antara lain pengembangan wilayah
agroindustri dan kelembagaan.
Dengan berkembangnya industrialisasi perdesaan, maka sektor pertanian akan
memiliki posisi nilai yang lebih kuat sehingga dapat memperkuat pula posisi nilai tukarnya.
Industrialisasi perdesaan tidak berarti segala macam industri bisa di perdesaan. Industrialisasai
perdesaan harus berpangkal pada keunggulan komparatif setempat, baik sumber daya lahan
maupun sumber daya manusianya.
Dalam proses industrialisasi ini, harus dicegah terjadinya kesenjangan baru di
perdesaan karena industri dimiliki oleh orang luar pekerjaannya pendatang, sehingga yang
dinikmati oleh masyarakat hanyalah limbahnya. Oleh karena itu, industri perdesaan pertamatama harus berakar pada masyarakat perdesaan sendiri, sekurang-kurangnya harus ikut dimiliki
oleh masyarakat desa, misalnya melalui koperasi. Harus dicegah terjadinya alineasi antara
industri masyarakat di perdesaan.
Genderang globalisasi yang semakin gencar dan kesadaran bahwa mekanisme pasar
tidak selalu mampu memecahkan masalah membawa implikasi semakin perlunya menata
kembali landasan sistem pengelolaan sumber daya lahan pertanian. Penataan kembali tersebut
lebih berupaya integrasi kepada pemanfaatan ganda, yang berwawasan agroekosistem yang
merupakan sesuatu pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi ciri-ciri spesifik
terpenting menyangkut empat sifat pokok. Empat sifat pokok tersebut adalah kemerataaan
(equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability), dan produktivitas (productivity).
Dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan, pengelolaaan sumber daya
lahan harus dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup,
menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki kualitas
sumber daya lahan sehingga dapat terus dimanfaatkan, dan menerapkan model pemanfaaatan
sumber daya lahan yang efisien. Kebijaksanaan untuk mendukung pembangunan pertanian
berkelanjutan telah diterapkan seperti model pengendalian hama terpadu, gerakan hemat air
dalam usahatani, kebijakan harga saprodi, pengembangan diperairan umum dan laut, serta
berbagai peraturan dalam penangkapan ikan, pemeliharaan terumbu karang, penghijauan dan
pengelolaan lingkungan lainnya.
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan keunggulan komperatif hasil
pertanian dan memperluas spektrum kegiatan pembangunan pertanian, pembangunan
7
pertanian diarahkan pada peningkatan efisiensi usaha, peningkatan pemanfaatan dan
penguasaan ilmu dan teknologi pertanian, peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sejalan
dengan itu, usaha-usaha pokok pembangunan pertanian yang meliputi (a) diversifikasi; (b)
intensifikasi; (c) ekstensifikasi; dan (d) rehabilitasi yang diimplementasikan secara
berkelanjutan, perluasan dan pendalaman dari usaha sebelumnya dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi yang semakin terpadu dan diselesaikan dengan kondisi agroklimat,
pola tata ruang, kelestarian lingkungan, pembangunan sektor lain dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat setempat, serta didukung oleh pemanfatan teknologi.
Penggunaan sumber daya lahan yang tidak didasarkan pada potensi dan kesesuaiannya
serta tidak menggunakan teknik pengelolaaan sesuai lingkungannya dapat mengakibatkan
terjadinya degradasi lahan dan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya akan menyulitkan
dalam pengelolaan tanah dari berbagai komoditi pertanian di arena perdagangan bebas atau
globalisasi.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan mengenai penggunaan sumber daya lahan dalam rangka
reformasi pembangunan pertanian adalah sebagai berikut.
Pertama, permasalahan pokok yang kita hadapi dalam pengelolaan sumber daya lahan
untuk dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat petani adalah dengan memanfaatkan
sumber daya lahan secara efisien dan lestari sehingga tidak merusak lingkungan.
Kedua, sumber daya lahan merupakan matriks dasar kehidupan manusia dan
pembangunan. Hampir semua aspek kehidupan dan pembangunan, baik langsung mapun
tidak langsung, berkaitan dengan permasalahan lahan. Untuk dapat mempertahankan
kelangsungan hidup dan kehidupan, manusia membutuhkan pangan, sandang, dan fasilitas
kehidupan dasar lainnya dalam kualitas dan kuantitasnya. Untuk kebutuhan tersebut manusia
membutuhkan lahan, baik sebagai faktor produksi maupun sebagai ruang yang dapat
mewadahinya.
Ketiga, sumber daya lahan kering merupakan modal dasar pembangunan pertanian
yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di daerah
perdesaan. Di Indonesia, potensi lahan tersebut menurut laporan BPS (1997) menunjukkan
bahwa luasnya untuk ekstensifiasi dan distribusinya sebagai pengembangan pertanian tanaman
pangan dan hortikultura mencapai 23 juta hektar yang tersebaer baik di Pulau Jawa maupun
Luar Jawa.
Keempat, memasuki pembangunan tahapan berikutnya, kesinambungan untuk
mempertahankan swasembada pangan, sangatlah berat tantangannya mengingat luas areal
persawahan yang produktif berubah fungsi ke non pertanian. Dengan demikian, salah satu
upaya untuk mempertahankan swasembada pangan dimasa mendatang adalah melalui
pemanfaatan lahan kering dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah.
Kelima, untuk menunjang swasembada pangan, maka perlu dikembangkan komoditas
tanaman pangan dan hortikultura dalam skala yang luas secara agrobisnis dengan melibatkan
perusahaan swasta sebagai bapak angkat dengan partisipasi aktif dari petani sebagai stakeholder
melalui program kemitraan secara berkeadilan.
8
Keenam, melibatkan perusahan BUMN dan koperasi dalam usahatani konservasi
dengan mengembangkan komoditas unggulan yang kompetitif dengan nilai ekonomi tinggi.
Disamping itu pula meningkatkan kemampuan petugas dan petani dalam pola kemitraan
dengan investor sehingga pelaksanaannya menjadi lebih profesional yang pada gilirannya dapat
mendukung pembangunan pertanian berwawasan agrobisnis dan agroindustri.
9
Daftar Pustaka
Bambang Tri Cahyono. 1997. Pengembangan Strategi Bisnis dengan Pola Kemitraan di
Indonesia Jurnal Magister Agrobisnis. Badan Penerbit IPWI. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1998. Potensi Lahan Pertanian . BPS. Jakarta.
Heryadi, S. 1993. Meningkatkan Mutu Intensifikasi. Harian Suara Pembanruan. Dewi
Sartika. Jakarta, 29 Mei 1993.
Yustika Baharsyah. 1998. Harian Kompas. Bulan Februari. Jakarta.
Kartomo Wirosudardjo. 1997. Strategi Link and Match dalam Pendidikan Tinggi di
Indonesia. Jurnal Magister Manajemen. Badan Penerbit IPWI.
Repubik Indonesia. 1999. Garis-garis Besar Halkuan Negara.
Syarifuddin Baharsyah. 1997. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Pembekalan Juru
Kampanye Tingkat Nasional. DPP Golkar. Jakarta.
Soekartawi. 1992. Agrobisnis. Teori dan Aplikasinya. Rajawali Press. Jakarta.
Soni Harsono. 1995. Alih Fungsi Lahan Pertanian. Harian Kompas 15 Oktober 1995.
Jakarta.
Soleh Sukmana, H. Suwardjo, Uha Kusnadi dan amirudin syam. 1998. Usahatani Konservasi
di Daerah Sungai bagian Hulu. Risalah Lokakarya Penelitian Sistem Usahatani.
Bogor, 14 – 15 Desember 1988. Puslitbangtan. Deptan.
Subagyo, H dan IPG. Widjaja Adhi. 1998. Peluang dan Kendala Penggunaan Lahan Rawa
untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Balitbang. Deptan.
Widjaja Adhi, IPG. 1988. Penelitian Sistem Usahatani di Indonesia. Perspektif dan Persepsi.
Risalah Lokakarya Penelitian Usahatani. Bogor, 14 – 15 Desember 1988. Puslitbang
Deptan.
10
Download