Kebijakan Alokasi Penggunaan Sumber Daya Lahan Secara Berkeadilan Dalam Reformasi Pembangunan Pertanian Heryadi Siswomartono dan Arifien Habibie *) Pendahuluan Dalam GBHN (1999) ditegaskan secara jelas bahwa dalam rangka pemerataan hasil pembangunan perlu lebih ditingkatkan dan diperluas pada usaha-usaha untuk memperbaiki penghasilan kelompok masyarakat yang mempunyai mata pencaharian berpenghasilan rendah seperti buruh tani, petani berlahan sempit, peternak kecil, pengrajin dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut bagi kebanyakan penduduk Indonesia yang kehidupannya masih tergantung pada sektor pertanian maka pemilikan lahan merupakan faktor penting. Pemilikan lahan tidak hanya penting untuk pertanian saja melainkan juga bagi penentuan berbagai kebutuhan lain dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya untuk keperluan-keperluan kawasan industri dan pabrik maupun dipakai sebagai pemukiman. Dilema yang dihadapi tentang peruntukan lahan pada sektor pertanian seringkali bersaing dengan sektor lain seperti industri, pemukiman dan perdagangan. Pada daerah yang padat seperti pulau Jawa, setiap tahunnya sekitar 50.000 hektar lahan pertanian yang berubah fungsi penggunannya (Soni Harsono, 1995). Penguasaan dan pemilikan lahan pertanian sering dikatakan sebagai masalah yang rumit. Dimana menyangkut berbagai aspek seperti ekonomi, demografi, hukum, politik, dan sosial. Bahkan kerumitan itu akan bertambah dengan keterkaitkannya dengan aspek-aspek teknis seperti agronomi, ekologi, dan lain sebagainya. Dilihat dari aspek segi hukum, hak memiliki dan menguasai itu pada umumnya dapat melekat pada dua jenis subyek hukum, yaitu masyarakat/penguasa dan perseorangan. Pengertian penguasaan adalah memberikan kewenangan seperti pemilikan, namun penguasaan dan pemilikan lahan terdapat perbedaan tergantung pada subyeknya. Seperti cara penguasaan oleh pihak pengembang dan para spekulan terletak pada kepemilikan modal kuat, sehingga ribuan hektar lahan menjadi terlantar yang akhirnya menjadi lahan tidur yang sebenarnya dapat dibudidayakan untuk pembangunan pertanian (Yustika Baharsyah, 1998). Dalam suasana lingkungan strategis yang berubah dengan cepat, penajaman arah kebijakan dan perencanaan bagi reformasi pembangunan pertanian pada masa depan menjadi demikian penting. Dengan mengantisipasi perubahan eksternal maupun internal, visi pembangunan pertanian dapat dirumuskan sebagai pertanian yang menjadi ciri pada era reformasi. Kerangka reformasi pembangunan pertanian yang berwawasan agrobisnis tersebut pada dasarnya mempunyai beberapa tujuan, antara lain (a) menarik dan mendorong sektor pertanian; (b) menciptakan struktur perekonomian yang tangguh, efisien dan fleksibel; (c) menciptakan nilai tambah; (d) meningkatkan penerimaan devisa; (e) menciptakan lapangan kerja; dan (f) meningkatkan pendapatan para petani. *) Dr. Ir. Heryadi Siswomartono, M.Sc adalah Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Departemen Pertanian RI dan Dr. Ir. Arifien Habibie, MS adalah Staf Deputi IV Kantor Menteri Koordinator Perekonomian RI-red. 1 Oleh karena itu, strategi reformasi pembangunan sektor pertanian harus dikaitkan dengan strategi pengembangan industri pertanian yang dapat dikembangkan di perdesaan. Dan karenanya harus diprioritaskan pertumbuhan industri pertanian yang mampu menangkap efek ganda bagi perdesaan (Syarifuddin Baharsyah, 1997). Dengan demikian, perlu didorong mekanisme keterkaitan antara pembangunan pertanian dengan pembangunan industri dan jasa. Seperti di Amerika Serikat dalam keterkaitan pembangunan pertanian dengan industri, sebenarnya Amerika Serikat merupakan negara pertanian yang terbesar dan paling efisien di dunia dimana sekitar 2,5 persen angkatan kerjanya mampu mencukupi 90 persen kebutuhan penduduknya dan bahkan merupakan eksportir terbesar di dunia (Kartomo Wirosuhardjo, 1997). Dalam naskah ini berikut penulis mencoba menguraikan sistem pengelolaaan dan penggunaan sumber daya lahan dalam pembangunan pertanian secara nasional agar tercipta pertanian modern yang berwawasan agrobisnis yang merupakan wujud pertanian era reformasi dalam rangka menyongsong persaingan global. Kebijakan Ekstensifikasi Lahan dan Distribusinya Kebijaksanaan ekstensifikasi pertanian dan perkebunan juga sangat berpengaruh terhadap keadaan hutan. Pencetakan sawah yang diperluas dengan pemanfaatan hutan rawa dan gambut. Sementara sawah kelas satu yang sudah dikorbankan dibuat perindustrian pada kawasan-kawasan industri pinggiran kota. Dalam pemikiran para perancang program ini, perusahaan perkebunan milik negara yang menguasai teknologi, permodalan, dan teknik-teknik manajemen akan dikaitkan dengan petani plasma yang tidak memiliki keunggulan-keunggulan seperti itu. Jadi tujuan tersebut kepada para petani perkebunan kecil melalui hubungan ekonomi intensif atau pola kemitraan. Dalam pola kemitraan tersebut investor bukanlah melakukan pemaksaan yang harus dilakukan terhadap mitranya, melainkan merupakan strategi usaha atau bisnis berdasarkan analisis manfaat biaya yang sama-sama menguntungkan antara pelaku kemitraan. Dengan pola pengembangan strategi transformasional dalam bidang pertanian dapat dirintis usaha pertanian menuju agroindustri dan pada gilirannya dapat menciptakan agrobisnis yang tangguh (Tri Cahyono, 1997). Secara teoritis pula bahwa Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) atau Perusahaan Negara Perkebunan (PNP), dan perusahaan-perusahaan perkebunan milik negara yang menjadi model pengelolaan pembangunan. Sebab perkebunan “small holder” disekitarnya, milik rakyat, menjadi sasaran pengembangannya. Dalam prakteknya, PIR sangat berorientasi bisnis di samping pemerataan atau transfer teknologi unggulan. Jadi, semakin pentingnya PIR dalam rencana pembangunan yang sekarang dirancang pemerintah dapat ditilik dari segi strategi internal dan eksternal. Secara internal, berkaitan dengan proses kapitalisasi perdesaan yang semakin intensif. Sedangkan secara eksternal berkaitan dengan keperluan untuk menggalakkan ekspor non migas sebagai strategi yang diandalkan. Di Indonesia, potensi cukup besar, Balai Pusat Statistik (1997) melaporkan bahwa, luas lahan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan tanaman pangan dan hortikultura mencapai 23,271 juta hektar (Tabel 1), baik yang tersebar di Pulau Jawa maupun Luar Jawa. 2 Tabel 1. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Tanaman Pangan dan Hortikultura di Indonesia. Luas Lahan Kering pada Areal (ha) Pulau Sumatera Jawa Bali dan Nusa Teng Kalimantan Sulawesi Maluku dan Irja JUMLAH Tegal/Kebun/ Ladang/Huma 4.371.842 3.122.006 990.516 1.718.534 1.617.282 11.820.180 Perkebunan Negara/ Perkebunan swasta 6.571.156 632.460 364.243 2.147.358 1.736.266 11.451.483 Jumlah 10.942.998 3.754.466 1.354.759 3.865.892 3.353.548 23.271.663 Penataan dan Pemanfaatan Lahan Gejala yang timbul diseputar penguasaan dan pemilikan tanah perdesaan dan perkotaan dewasa ini adalah terpusatkan pada sebagian besar pemanfaatan pemilikan tanah ditangan sekelompok masyarakat pemilik modal kuat. Di lain pihak, masyarakat perkotaan secara umum dan masyarakat pemilik modal lemah khususnya cenderung tersingkir dari mekanisme pasar yang ada, yang berakibat pada timbulnya ketidak merataan dalam penguasaan dan pemilikan tanah. Posisi pemerintah dalam mengatasi atau mengendalikan masalah tersebut di atas sudah cukup jelas, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan UUPA pasal 2 ayat 1. Pemerintah memiliki banyak alternatif dalam upaya mengendalikan mekanisme pasar yang ada. Namun paling tidak ada dua cara yang dapat ditempuh yaitu melalui (1) intervensi secara langsung untuk dapat menciptakan mekanisme pasar yang tidak hanya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi semata dan (2) memperhatikan aspek pemerataan, sebagaimana yang dikehendaki oleh GBHN. Sejauh ini memang belum ada suatu penelitian mendalam mengenai intervensi mana yang paling efektif di dalam upaya mencapai maksud tersebut di atas. Namun sejalan dengan tugas praktis pertanahan maka secara ringkas gambaran intervensi pemerintah secara langsung yang selama ini telah dilaksanakan disamping konsep pemikiran baru yang masih perlu diteliti dan kemudian dikembangkan. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR 1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjelaskan bahwa penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan agar pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Amanat tersebut termasuk upaya pemerintah untuk melakukan intervensi dalam rangka memperbaiki tata cara dan kekurangan mekanisme pasar tanah, serta menunjang secara bertahap terwujudnya rasa keadilan dalam penguasaan/pemilikan tanah melalui kebijakan yang baru, penyesuaian yang ada dan perombakan yang telah usang. Dalam prakteknya, khususnya untuk kegiatan pembangunan lewat perizinan tersebut, timbul banyak masalah pasca proses pra pelayanan seperti adanya penyalah gunaan perizinan yang telah diberikan. Selain itu terjadi pula penelantaran tanah yang telah dikuasai dan bentukbentuk spekulasi lainnya sehingga terjadi lahan tidur seperti akhir-akhir ini dikenal masyarakat, yang dalam pemanfatannya dapat digunakan sebagai usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan (Yustika Baharsyah, 1998). 3 Selanjutnya apabila dipilah dalam penataan lahan yang layak dan tidak layak untuk usaha pertanian kemudian dibagi dengan jumlah penduduk agraris, sebenarnya lahan yang tersedia untuk masing-masing tidak juga terlalu luas. Hanya di Pulau Kalimantan , Maluku dan Irian Jaya ketersediaan lahan yang layak untuk pertanian per penduduk agraris di atas satu hektar. Sedangkan di Jawa lahan yang layak untuk pertanian per penduduk agraris hanya kurang dari seperempat hektar, di Sulawesi kurang dari setengah hektar, Nusa Tenggara sedikit diatas setengah hektar dan Sumatera kurang dari satu hektar (Tabel 2). Harus diakui bahwa penataaan lahan yang layak untuk sektor pertanian tidak selalu dimanfaatkan secara tepat. Dengan hanya melanjutkan pola pemanfaatan lahan yang ditinggalkan penjajah, banyak usaha pertanian di Indonesia tidak mendukung kelestarian lingkungan sehingga tidak layak apabila dilihat dari aspek ekonomi. Kecuali perkebunan peninggalan penjajah, hanya sedikit pertanian di Indonesia yang dirancang untuk perdagangan antar wilayah maupun perdagangan internasional. Selebihnya hanya diusahakan untuk mendukung kehidupan petani sehari-hari atau hanya untuk memenuhi perdagangan setempat (Amien, 1994). Tabel 2. Luas Lahan yang Layak untuk Pertanian Setiap Penduduk Agraris. Wilayah Penduduk (juta orang) Sumatera Jawa Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku 42.918 116.025 11.340 10.946 14.027 2.188 Luas (juta Ha) 47.360 13.219 8.849 53.946 18.922 7.450 Penduduk Agraris (persen) 68 46 62 66 68 68 Lahan Layak Pertanian (persen) 59.9 71.9 46.3 33.8 22.4 33.8 Sumber: BPS (1997) telah diolah. Oleh karena itu konsolidasi tanah merupakan salah satu instrumen penting untuk mengendalikan mekanisme pasar dalam kaitannya dengan upaya pemanfaatan tanah secara optimal, seimbang dan lestari dengan meningkatkan efisiensi pemanfaatan tanah di wilayah perkotaan. Konsolidasi tanah dapat didefinisikan sebagai suatu model penataan lingkungan yang dari tidak teratur menjadi teratur. Di samping itu dilengkapi dengan prasarana dan fasilitas umum yang dibutuhkan, sedangkan prinsipnya dipergunakan secara swadaya oleh masyarakat pemilik tanah sendiri. Dalam penerapannya terdapat dua aspek penting yang menjadi sasaran utama konsolidasi tanah yaitu (1) penataan fisik atas penggunan serta (2) pemanfaatan tanah dan penataan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah. Kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Diharapkan penataan melalui fisik maka nilai tanah perkotaan semakin meningkat untuk kepentingan masyarakat pemilik tanah. Dan diharapkan melalui pelayanan penguasaaan dan pemilikan oleh masyarakat dapat tercapai. Selain intervensi melalui pembatasan pemilikan tanah, lembaga perizinan, kosolidasi tanah maka praktek “land banking” juga dapat dijadikan sebagai salah satu alat instrumen dalam mengendalikan mekanisme pasar yang ada. Paling tidak melalui kegiatan “land banking” dapat terpenuhi beberapa syarat utama penyediaan tanah yang lancar dan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional seperti lokasi tanah yang sesuai, luas areal tanah yang cukup, harga atau 4 ganti rugi tanah secara wajar, waktu penyediaan tanah tepat, ketentuan yang berlaku ditaati serta tidak menimbulkan keresahan atau sengketa. Sampai saat ini kita mengenal dua contoh konkrit mengenai kegiatan pengadaan tanah yang menggunakan prinsip “land banking”. Contoh pertama adalah dalam upaya mengatasi masalah penyediaan tanah bagi keperluan pembangunan perumahan dan pemukiman. Pemerintah menetapkan suatu badan untuk mengolah kawasan siap bangun sesuai dengan amanat dalam rangka penyediaan tanah untuk industri beberapa perusahaan untuk mengelola kawasan industri seperti berbagai pengembang. Secara garis besar, kegiatan dasar usaha land banking adalah meliputi pengadaan tanah, pematangan tanah dan penyaluran atau penjualan tanah. Sedangkan modal awal diperoleh dari beberapa sumber antara lain sebagian pajak pertanahan, dana pengganti biaya dan termasuk keuangan dalam rangka kegiatan konsolidasi tanah dan pemasukan keuangan negara yang berasal dari kegiatan fungsional pertanian. Informasi Sumber Daya Lahan Dalam rangka reformasi pertanian yang berkelanjutan banyak faktor beserta interaksinya yang patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah keadaan lingkungan, sumber daya lahan, perubahan agroklimat, dan sosial ekonomi. Penilaian produktivitas lahan memerlukan pengetahuan mengenal jenis tanah, penyebarannya, dan masukan yang diperlukan untuk mengatasi dan meningkatkan produktivitasnya, serta tanggapannya terhadap penerapan teknologi (Widjaja Adhi, 1989). Pengetahuan mengenai sumber daya lahan telah disadari perlunya perencanaan terutama untuk pengembangan pertanian, tetapi informasi data sumber daya lahan jarang digunakan secara efektif. Hal-hal tersebut perlu ditelaah dalam usaha meningkatkan sumbangan penelitian sumber daya lahan untuk pengembangan pertanian secara berkelanjutan. Saat ini data base tentang tanah sedang digarap dan unit informasi tanah sehingga memudahkan dan mempercepat pelayanan informasi tanah. Pada tingkat nasional sasaran utama penelitian informasi data tanah adalah untuk, (1) menentukan wilayah yang memungkinkan keuntungan biotik dan sosial ekonomi yang tertinggi untuk suatu komoditi; (2) memilih komoditi yang memberikan keuntungan biotik dan sosial ekonomi untuk suatu wilayah; dan (3) meneliti cara peningkatan dan pelestarian produktivitas suatu komoditi di suatu wilayah. Kesemuanya itu merupakan pendekatan dasar dari sistem pembangunan pertanian yang berazaskan keterpaduan komoditi, wilayah dan usahatani. Banyak penelitian sumber daya lahan telah dilaksanakan oleh berbagai instansi, baik dalam maupun diluar Badan Litbang, baik pemerintah swasta nasional maupun swasta asing. Hasilnya tersebar di berbagai departemen seperti Perhubungan, Pekerjaan Umum, Kehutanan dan Departemen Pertanian. Untuk membangun suatu data base tanah dan untuk menghindari pengulangan kegiatan, informsasi sumber daya lahan perlu dikumpulkan. Pengumpulan informasi berupa laporan dari berbagai instansi memerlukan data dan waktu, serta kerjasama dari semua pihak yang terkait. Di samping itu survai tanah di Indonesia telah dilaksanakan pada berbagai tingkat skala metode dan berbagai metode untuk berbagai tujuan penggunaan. “Streamline” pendekatanpendekatan yang berbeda diperlukan untuk memudahkan dalam penafsirannya. Pada tingkat 5 tinjauan pendekatan melalui “land system” akan terus dikembangkan, sedangkan pada tingkat survai detail adalah pendekatan seri tanah atau “frase” yang ada terus dikembangkan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Litbang Pertanian sedang membangun suatu unit data base tanah, dan menginterpretasikan data atau informasi tanah dan lahan dari daerah survai pemetaan. Kegiatan ini merupakan salah satu komponen “Project Implementation Unit” (PIU) dari “Land Resource Evaluation and Planning” Project (LREPP), yang telah dikelola oleh Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Unit data base tanah dilengkapi perangkat lunak LECS atau pogram serupa atau yang dikembangkan dari LECS. Diharapkan pula perangkat lunak lain, seperti analisa sistem atau model simulasi dan sistem pakar, dapat memanfaatkan data base tanah ini. Untuk itu diperlukan komponen penunjang, yaitu suatu sistem pengelolaan data base. Di phak lain, sistem pakar (expert system) dinilai sangat bermanfaat dalam perencanaan praktis pada tingkat petani. Sistem ini dapat digunakan untuk menyusun rekomendasi pengapuran misalnya pemberian amelioran, pemupukan, pengaturan irigasi serta pengawetan dan pengelolaan tanah dan air. Suatu sistem yang dapat membantu petani menentukan rekomendasi kebutuhan kapur yang telah dikembangkan. Kemampuan sistem pakar terletak pada kemampuannya mencakup pengetahuan yang tidak saja diketahui para pakar tetapi juga penalaran atau “common sense” petani. Dengan menyaring pengetahuan para pakar ke dalam aturan-aturan yang berkaitan, para perakit pengetahuan dapat menuangkannya ke sistem pakar. Sistem ini memungkinkan para penyuluh pertanian lapangan mendapat rekomendasi suatu masalah tertentu untuk suatu lokasi dan pada keadaan khusus. Kebijakan Pembangunan Pertanian Era Reformasi Pembangunan pertanian dalam era reformasi tidak lagi berorientasi kepada peningkatan produksi semata, tetapi mengarah kepada pendekatan agrobisnis. Secara konseptual sistem agrobisnis dapat diartikan sebagai semua aktivitas, mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai dengan pemaaran produk-produk yang dihasilkan oleh usahatani dan nelayan serta agroindustri, yang saling terkait satu sama lainnya. Dengan demikian sitim agrobisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yaitu (a) sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumber daya manusia; (b) sub sistem budidaya atau usahatani; (c) sub sistem pengolahan hasil pertanian atau agroindustri; dan (d) sub sistem pemasaran hasil pertanian atau agrobisnis. Dengan pendekatan sistem tersebut orientasi reformasi pembangunan pertanian mencakup seluruh aspek dalam sistem agrobisnis yang dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Keterkaitan dengan agroindustri dalam sistem agrobisnis menjadi sangat penting dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi, penyediaaan dana dan investasi, serta teknologi dengan dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan ekonomi perdesaan, sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Dengan demikian maka menumbuhkan agroindustri yang dikembangkan di perdesaan perlu dirancang dengan prinsip dasar yaitu (1) memacu keunggulan brigade penumbuhan agroindustri; (2) memacu peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan 6 menumbuhkan agroindustri yang sesuai serta mampu dilakukan di wilayah yang dikembangkan; (3) memperluas wilayah sentra-sentra agrobisnis komoditas unggulan yang nantinya akan berfungsi sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan; (4) memacu pertumbuhan agrobisnis wilayah dengan menghadirkan subsistem-subsistem agrobisnis; dan (5) menghadirkan sarana pendukung berkembangnya industri perdesaan. Untuk dapat memberikan dukungan yang penuh terhadap perkembangan agroindustri di perdesaan tersebut, kendala-kendala yang masih melekat pada sektor pertanian harus segera dapat diatasi. Kendala tersebut antara lain masih tersebarnya usahatani dengan beragam kualitas produk sehingga menyulitkan baik dari aspek processing, marketing maupun pendukung agrobisnis atau agroindustri lainnya. Hal tersebut akan terkait dengan kelangsungan bahan baku serta “high cost industrial processing and marketing”. Berbagai upaya telah dilakukan seperti konsepsi pengembangan sentra agrobisnis komoditas unggulan (SPAKU) yang diharapkan akan mampu memperkecil serta menuntaskan permasalahan yang ada. Gambaran umum mengenai kendala atau permasalahan serta tantangan dan berbagai peluang yang dipandang mempengaruhi berkembangnya agrobisnis perdesaan, antara lain pengembangan wilayah agroindustri dan kelembagaan. Dengan berkembangnya industrialisasi perdesaan, maka sektor pertanian akan memiliki posisi nilai yang lebih kuat sehingga dapat memperkuat pula posisi nilai tukarnya. Industrialisasi perdesaan tidak berarti segala macam industri bisa di perdesaan. Industrialisasai perdesaan harus berpangkal pada keunggulan komparatif setempat, baik sumber daya lahan maupun sumber daya manusianya. Dalam proses industrialisasi ini, harus dicegah terjadinya kesenjangan baru di perdesaan karena industri dimiliki oleh orang luar pekerjaannya pendatang, sehingga yang dinikmati oleh masyarakat hanyalah limbahnya. Oleh karena itu, industri perdesaan pertamatama harus berakar pada masyarakat perdesaan sendiri, sekurang-kurangnya harus ikut dimiliki oleh masyarakat desa, misalnya melalui koperasi. Harus dicegah terjadinya alineasi antara industri masyarakat di perdesaan. Genderang globalisasi yang semakin gencar dan kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak selalu mampu memecahkan masalah membawa implikasi semakin perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan sumber daya lahan pertanian. Penataan kembali tersebut lebih berupaya integrasi kepada pemanfaatan ganda, yang berwawasan agroekosistem yang merupakan sesuatu pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi ciri-ciri spesifik terpenting menyangkut empat sifat pokok. Empat sifat pokok tersebut adalah kemerataaan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability), dan produktivitas (productivity). Dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan, pengelolaaan sumber daya lahan harus dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki kualitas sumber daya lahan sehingga dapat terus dimanfaatkan, dan menerapkan model pemanfaaatan sumber daya lahan yang efisien. Kebijaksanaan untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan telah diterapkan seperti model pengendalian hama terpadu, gerakan hemat air dalam usahatani, kebijakan harga saprodi, pengembangan diperairan umum dan laut, serta berbagai peraturan dalam penangkapan ikan, pemeliharaan terumbu karang, penghijauan dan pengelolaan lingkungan lainnya. Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan keunggulan komperatif hasil pertanian dan memperluas spektrum kegiatan pembangunan pertanian, pembangunan 7 pertanian diarahkan pada peningkatan efisiensi usaha, peningkatan pemanfaatan dan penguasaan ilmu dan teknologi pertanian, peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sejalan dengan itu, usaha-usaha pokok pembangunan pertanian yang meliputi (a) diversifikasi; (b) intensifikasi; (c) ekstensifikasi; dan (d) rehabilitasi yang diimplementasikan secara berkelanjutan, perluasan dan pendalaman dari usaha sebelumnya dengan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang semakin terpadu dan diselesaikan dengan kondisi agroklimat, pola tata ruang, kelestarian lingkungan, pembangunan sektor lain dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, serta didukung oleh pemanfatan teknologi. Penggunaan sumber daya lahan yang tidak didasarkan pada potensi dan kesesuaiannya serta tidak menggunakan teknik pengelolaaan sesuai lingkungannya dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan dan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya akan menyulitkan dalam pengelolaan tanah dari berbagai komoditi pertanian di arena perdagangan bebas atau globalisasi. Kesimpulan Beberapa kesimpulan mengenai penggunaan sumber daya lahan dalam rangka reformasi pembangunan pertanian adalah sebagai berikut. Pertama, permasalahan pokok yang kita hadapi dalam pengelolaan sumber daya lahan untuk dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat petani adalah dengan memanfaatkan sumber daya lahan secara efisien dan lestari sehingga tidak merusak lingkungan. Kedua, sumber daya lahan merupakan matriks dasar kehidupan manusia dan pembangunan. Hampir semua aspek kehidupan dan pembangunan, baik langsung mapun tidak langsung, berkaitan dengan permasalahan lahan. Untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupan, manusia membutuhkan pangan, sandang, dan fasilitas kehidupan dasar lainnya dalam kualitas dan kuantitasnya. Untuk kebutuhan tersebut manusia membutuhkan lahan, baik sebagai faktor produksi maupun sebagai ruang yang dapat mewadahinya. Ketiga, sumber daya lahan kering merupakan modal dasar pembangunan pertanian yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di daerah perdesaan. Di Indonesia, potensi lahan tersebut menurut laporan BPS (1997) menunjukkan bahwa luasnya untuk ekstensifiasi dan distribusinya sebagai pengembangan pertanian tanaman pangan dan hortikultura mencapai 23 juta hektar yang tersebaer baik di Pulau Jawa maupun Luar Jawa. Keempat, memasuki pembangunan tahapan berikutnya, kesinambungan untuk mempertahankan swasembada pangan, sangatlah berat tantangannya mengingat luas areal persawahan yang produktif berubah fungsi ke non pertanian. Dengan demikian, salah satu upaya untuk mempertahankan swasembada pangan dimasa mendatang adalah melalui pemanfaatan lahan kering dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah. Kelima, untuk menunjang swasembada pangan, maka perlu dikembangkan komoditas tanaman pangan dan hortikultura dalam skala yang luas secara agrobisnis dengan melibatkan perusahaan swasta sebagai bapak angkat dengan partisipasi aktif dari petani sebagai stakeholder melalui program kemitraan secara berkeadilan. 8 Keenam, melibatkan perusahan BUMN dan koperasi dalam usahatani konservasi dengan mengembangkan komoditas unggulan yang kompetitif dengan nilai ekonomi tinggi. Disamping itu pula meningkatkan kemampuan petugas dan petani dalam pola kemitraan dengan investor sehingga pelaksanaannya menjadi lebih profesional yang pada gilirannya dapat mendukung pembangunan pertanian berwawasan agrobisnis dan agroindustri. 9 Daftar Pustaka Bambang Tri Cahyono. 1997. Pengembangan Strategi Bisnis dengan Pola Kemitraan di Indonesia Jurnal Magister Agrobisnis. Badan Penerbit IPWI. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 1998. Potensi Lahan Pertanian . BPS. Jakarta. Heryadi, S. 1993. Meningkatkan Mutu Intensifikasi. Harian Suara Pembanruan. Dewi Sartika. Jakarta, 29 Mei 1993. Yustika Baharsyah. 1998. Harian Kompas. Bulan Februari. Jakarta. Kartomo Wirosudardjo. 1997. Strategi Link and Match dalam Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jurnal Magister Manajemen. Badan Penerbit IPWI. Repubik Indonesia. 1999. Garis-garis Besar Halkuan Negara. Syarifuddin Baharsyah. 1997. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Pembekalan Juru Kampanye Tingkat Nasional. DPP Golkar. Jakarta. Soekartawi. 1992. Agrobisnis. Teori dan Aplikasinya. Rajawali Press. Jakarta. Soni Harsono. 1995. Alih Fungsi Lahan Pertanian. Harian Kompas 15 Oktober 1995. Jakarta. Soleh Sukmana, H. Suwardjo, Uha Kusnadi dan amirudin syam. 1998. Usahatani Konservasi di Daerah Sungai bagian Hulu. Risalah Lokakarya Penelitian Sistem Usahatani. Bogor, 14 – 15 Desember 1988. Puslitbangtan. Deptan. Subagyo, H dan IPG. Widjaja Adhi. 1998. Peluang dan Kendala Penggunaan Lahan Rawa untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Balitbang. Deptan. Widjaja Adhi, IPG. 1988. Penelitian Sistem Usahatani di Indonesia. Perspektif dan Persepsi. Risalah Lokakarya Penelitian Usahatani. Bogor, 14 – 15 Desember 1988. Puslitbang Deptan. 10