Gangguan Belajar - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Pedologi
Attention-Deficit Hyperactivity
Disorder dan Kesulitan Belajar
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Abstract
Tatap Muka
05
Kode MK
Disusun Oleh
61077
Yenny, M.Psi., Psikolog
Kompetensi
Mahasiswa mampu menjelaskan dan
mengkomunikasikan Attention-Deficit
Hyperactivity Disorder dan Kesulitan
Belajar
Gangguan Attention-Deficit Hyperactivity
Banyak orang tua yang meyakini bahwa anak-anak mereka tidak memperhatikan mereka –
anak-anak itu berlari-lari dan melakukan banyak hal dengan cara mereka. Kurang dapat
memusatkan perhatian, terutama pada masa kanak-kanak, merupakan hal yang normal.
Namun pada gangguan attention-deficit hyperactivity (attention-deficit hyperactivity
disorder/ADHD),
anak memperlihatkan impulsivitas,
tidak adanya perhatian,
dan
hiperaktivitas (hyperactivity) yang dianggap tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
mereka.
ADHD dibagi menjadi 3 subtipe : tipe predominan tidak adanya perhatian, tipe
predominan hiperaktif/impulsif, dan tipe kombinasi yang ditandai oleh tidak adanya perhatian
dan hiperaktivitas-impulsivitas tingkat tinggi (APA, 2000 dalam Nevid, 2005). Gangguna ini
biasanya didiagnosis pertama kali ketika anak berada di sekolah dasar, ketika masalah
dengan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas menyulitkan anak untuk menyesuaikan diri.
Walaupun tanda-tanda hiperaktivitas sudah sering teramati sejak awal, banyak anak kecil
yang terlalu aktif tidak mengembangkan ADHD.
ADHD merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi akhir-akhir ini
(Bradley & Golden, 2001 dalam Nevid, 2005). Gangguan ini diperkirakan mempengaruhi 3%
sampai 7% anak-anak usia sekolah, atau sekitar 2 juta anak Amerika (Shute, Locy, &
Pasternak, 2000; Wingert, 2000; APA, 2000 dalam Nevid, 2005). ADHD didiagnosis 2
sampai 9 kali lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan (APA,
2000 dalam Nevid, 2005). Walaupun kurangnya perhatian merupakan dasar dari masalah,
masalah-masalah lain yang terkait mencakup ketidakmampuan untuk duduk tenang lebih
dari beberapa menit, mengganggu, temper tantrum, keras kepala, dan tidak berespons
terhadap hukuman.
Ciri-ciri Diagnostik dari ADHD
Jenis Masalah
Pola Perilaku Khusus
Kurangnya perhatian
Gagal memperhatikan detail atau melakukan kecerobohan dalam
tugas sekolah, dan lainnya
Kesulitan mempertahankan perhatian di sekolah atau saat
bermain
Tampak tidak memperhatikan apa yang dikatakan orang lain
Tidak bisa mengikuti instruksi atau menyelesaikan tugas
Kesulitan mengatur pekerjaan dan aktivitas lain
Menghindari pekerjaan atau aktivitas yang menuntut perhatian
Kehilangan alat-alat sekolah (misalnya, pensil, buku, mainan,
2016
2
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tugas-tugas)
Mudah teralihkan perhatiannya
Sering lupa melakukan aktivitas sehari-hari
Hiperaktivitas
Tangan atau kaki bergerak gelisah atau menggeliat-geliat di kursi
Meninggalkan kursi pada situasi belajar yang menuntut duduk
tenang
Berlarian atau memanjat benda-benda secara terus-menerus
Kesulitan untuk bermain dengan tenang
Impulsivitas
Sering berteriak di kelas
Tidak bisa menunggu giliran dalam antrean, permainan, dan
sebagainya
Untuk dapat didiagnosis ADHD, gangguan ini harus muncul sebelum usia 7 tahun, harus
secara signifikan menghambat fungsi akademik, sosial dan pekerjaan, dan harus ditandai
oleh sejumlah ciri klinis yang ada pada tabel ini, serta telah terjadi lebih dari 6 bulan paling
tidak pada dua situasi seperti sekolah, rumah atau pekerjaan.
Sumber : Diadaptasi dari DSM-IV-TR (APA, 2000 dalam Nevid, 2005).
Aktivitas dan kegelisahan pada anak ADHD menghambat kemampuan mereka untuk
berfungsi di sekolah. Mereka tampak tidak dapat duduk dengan tenang. Mereka gelisah dan
bergerak-gerak di kursi, mengganggu kegiatan anak-anak lain, mudah marah dan dapat
melakukan perilaku yang berbahaya seperti berlari ke jalan tanpa melihat. Yang jelas,
mereka membuat orang tua dan guru merasa tidak berdaya.
Di mana batas overaktivitas normal yang sesuai dengan usia anak akan berakhir dan
di mana hiperaktivitas berawal? Penilaian tentang derajat perilaku hiperaktivitas adalah
penting, karena banyak anak normal yang disebut “hyper” dari waktu ke waktu. Sebagian
kritik terhadap ADHD menyatakan bahwa diagnosis ini dipakai semata-mata untuk melabel
anak-anak yang sulit dikontrol sebagai mengalami gangguan atau sakit mental. Sebagian
besar anak, khususnya laki-laki, sangatlah aktif pada usia awal sekolah. Sementara mereka
yang setuju dengan diagnosis mengatakan bahwa ada perbedaan kualitas antara
overaktivitas yang normal dengan ADHD. Anak-anak overaktif yang normal biasanya
diarahkan oleh suatu tujuan dan dapat mengontrol perilaku mereka. Namun anak-anak
dengan ADHD tampak hiperaktif tanpa alasan dan terlihat tidak bisa menyesuaikan perilaku
mereka terhadap tuntutan guru dan orang tua. Dengan kata lain : Kebanyakan anak dapat
duduk tenang dan berkonsentrasi sejenak bila mereka menginginkannya, sedangkan anakanak yang hiperaktif tampaknya tidak bisa.
2016
3
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Walaupun anak-anak ADHD cenderung memiliki inteligensi rata-rata atau di atas
rata-rata, mereka sering kali berprestasi di bawah potensinya di sekolah. Mereka sering
membuat keributan di kelas dan cenderung sering berkelahi (terutama anak laki-laki).
Mereka gagal mengikuti atau mengingat instruksi atau menyelesaikan tugas. Mereka
kemungkinan besar memiliki kesulitan belajar, mengulang kelas, dan ditempatkan pada
kelas khusus (Faraone dkk., 1993 dalam Nevid, 2005). Mereka juga lebih sering mengalami
luka fisik dan masuk rumah sakit dibandingkan teman-teman sebayanya (“Children with
Hyperactivity” 2001; Leibson dkk., 2001 dalam Nevid, 2005). Mereka juga cenderung lebih
berisiko mengalami gangguan mood, kecemasan, dan masalah dalam hubungan dengan
anggota keluarga (Biederman dkk., 1996a,b dalam Nevid, 2005). Dibandingkan dengan
teman sebayanya, anak laki-laki hiperaktif kurang memiliki empati atau kesadaran akan
perasaan orang lain (Braaten & Rosen, 2000 dalam Nevid, 2005). Tidak mengherankan,
anak-anak ADHD cenderung tidak populer di antara teman-teman mereka. Gangguan ini
sering kali menetap sampai masa remaja dan dewasa. Walaupun simtom-simtom ADHD
cenderung berkurang sesuai bertambahnya usia, gangguan ini sering menetap dalam
bentuk yang lebih ringan sampai usia remaja dan dewasa (Biederman, Mick, & Faraone,
2000; Faraone dkk., 2000; Wender dkk., 2000 dalam Nevid, 2005). Anak-anak dengan
ADHD lebih besar kemungkinannya untuk gagal dalam mengemban tugas, diskors dari
sekolah, dan membutuhkan intervensi lanjutan selama masa remaja, dibandingkan temanteman sebaya lainnya (Lambert dkk., 1987 dalam Nevid, 2005).
Perspektif Teoretis Walaupun penyebab ADHD masih belum diketahui, tampaknya ada
pengaruh dari faktor biologis dan lingkungan. Para peneliti yakin bahwa faktor genetis
memberikan sumbangan yang cukup berarti pada ADHD (Bradley & Golden, 2001; Faraone
dkk., 2001 dalam Nevid, 2005). Bukti-bukti mengenai kontribusi genetis berasal dari
penelitian-penelitian yang menunjukkan lebih tingginya tingkat concordance ADHD pada
kembar MZ daripada kembar DZ (Sherman dkk., 1997 dalam Nevid, 2005). Namun faktorfaktor lingkungan dan interaksi genetis-lingkungan juga memegang peranan penting
(Bradley & Golden, 2001 dalam Nevid, 2005). Sebagai contoh, ADHD lebih banyak terjadi
pada anak-anak yang ibunya merokok selama kehamilan daripada anak-anak lain (Milberger
dkk., 1996 dalam Nevid, 2005). Merokok pada masa kehamilan dapat menyebabkan
kerusakan pada otak selama perkembangan prenatal. Penelitian berlanjut untuk mencari
faktor-faktor lingkungan lain seperti tingginya konflik dalam keluarga, stres emosional
selama kehamilan, dan buruknya pengasuhan orang tua dalam menangani gangguan
perilaku anak.
2016
4
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Para
peneliti
juga mencoba
menemukan bagian-bagian
otak
yang
dapat
mempengaruhi ADHD. Salah satu pandangan yang menonjol adalah bahwa ADHD
melibatkan pola genetis yang sudah terberi, yaitu kurang aktifnya otak bagian depan dari
korteks otak besar, bagian otak yang bertanggung jawab untuk menghambat impuls-impuls
dan mempertahankan self-control (Barkley, 1997, 2001 dalam Nevid, 2005). Tes
neuropsikologis, studi EEG dan studi MRI menunjukkan adanya abnormalitas ringan pada
anak-anak dan remaja ADHD di area-area otak yang mengatur perhatian, keterangsangan,
kontrol perilaku gerakan, dan komunikasi antara hemisfer kiri dan kanan (misalnya,
Castellanos dkk., 2001; Murray, 2000, Semrud-Clikeman dkk., 2000 dalam Nevid, 2005).
Subtipe ADHD yang berbeda bisa merefleksikan disfungsi bagian otak yang berbeda pula
(Bradley & Golden, 2001 dalam Nevid, 2005). Ketidakteraturan jalur saraf pada otak yang
menggunakan neurotransmiter serotonin juga dapat membantu menjelaskan komponenkomponen impulsivitas dan hiperaktivitas dari ADHD (Quist & Kennedy, 2001 dalam Nevid,
2005).
Penanganan Kelihatannya aneh bahwa obat-obatan yang digunakan dalam membantu
anak-anak ADHD untuk lebih tenang dan perhatian di sekolah merupakan kelompok
stimulan yang mencakup Ritalin (metylphenidate), Cylert (pemoline), dan stimulan jangka
panjang lainnya yang dosisnya sekali sehari (Rugino & Colpey, 2001 dalam Nevid, 2005).
Obat-obatan stimulan memiliki efek paradoksikal yaitu menenangkan dan meningkatkan
rentang perhatian anak-anak ADHD. Walaupun penggunaan pengobatan stimulan
mengundang kritik, jelas bahwa obat ini dapat membantu banyak anak ADHD untuk menjadi
tenang dan berkonsentrasi lebih baik pada tugas-tugas dan kegiatan sekolah, mungkin
untuk pertama kalinya dalam kehidupan mereka (Greenhill, 1998 dalam Nevid, 2005). Obatobatan ini tidak hanya meningkatkan perhatian anak-anak ADHD tetapi juga mengurangi
impulsivitas, overaktivitas, serta perilaku mengganggu dan agresif (Gillberg dkk., 1997;
Hinshaw, 1992 dalam Nevid, 2005). Pengobatan stimulan tampaknya aman dan efektif bila
dimonitor secara hati-hati dan berhasil membantu sekitar tiga dari empat anak dengan
ADHD (Barkley, 1997 dalam Nevid, 2005). Perbaikan tampak di rumah maupun di sekolah.
Walaupun demikian, tingkat aktivitas yang tinggi pada pelajaran olahraga dan pada akhir
minggu tidak terganggu.
Penggunaan stimulan meningkat secara dramatis selama tahun 1990-an (Gibbs,
1998; Zito dkk., 2000 dalam Nevid, 2005). Kita tidak tahu apa yang menyebabkan efek
paradoksikal dari stimulan dalam menenangkan anak-anak ADHD, walaupun diduga obatobatan ini bekerja pada sistem neurotransmiter di otak. Obat-obatan ini meningkatkan
aktivitas dopamin pada otak bagian depan, area yang mengatur perhatian dan kontrol
terhadap perilaku impulsif. Jadi, obat-obatan ini dapat membantu anak-anak ADHD untuk
2016
5
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
memfokuskan perhatian mereka dan menghindarkan perilaku impulsivitas (Casey dkk., 1997
dalam Nevid, 2005).
Walaupun stimulan dapat membantu mengurangi kegelisahan dan meningkatkan
perhatian di sekolah, peningkatan ini belum tentu juga dapat memperbaiki prestasi akademik
(“Attention Deficit Disorder – Part II,” 1995; Rutter, 1997 dalam Nevid, 2005). Namun
demikian, studi baru-baru ini menunjukkan bahwa menggabungkan pengobatan dengan
stimulan dan modifikasi perilaku berhasil memperbaiki prestasi akademik pada remaja
dengan ADHD, termasuk prestasi pada kuis dan tugas-tugas harian (Carpenter, 2001a;
Evans, Pelham, & Smith, 2001 dalam Nevid, 2005). Satu masalah berkaitan dengan
stimulan, seperti halnya penggunaan obat-obatan psikotropika lainnya, adalah tingginya
tingkat kambuh bila anak berhenti menggunakannya (Greenhill, 1998 dalam Nevid, 2005).
Juga, tingkat efektivitasnya terbatas, seperti pada contoh kasus berikut ini :
Eddie Hampir Tidak Pernah Duduk Tenang
Eddie (9 tahun) merupakan masalah di kelas. Gurunya mengeluh bahwa ia sangat gelisah
dan sering bergerak sehingga seluruh kelas tidak dapat berkonsentrasi pada tugas. Dia
hampir tidak pernah duduk tenang. Eddie bergerak terus-menerus, menjelajahi seluruh
kelas, dan berbicara kepada teman-temannya yang sedang mengerjakan tugas. Dia sudah
diberi sanksi berulang kali karena tingkah lakunya itu dan yang baru-baru ini terjadi adalah ia
berayun di sebuah lampu dan tidak dapat turun sendiri. Ibunya melaporkan bahwa Eddie
sudah bermasalah sejak ia masih kecil. Ketika memasuki usia 3 tahun ia menjadi amat
sangat gelisah dan banyak menuntut. Ia tidak pernah butuh banyak tidur dan selalu bangun
sebelum seorang pun dalam keluarga terbangun, turun ke lantai bawah dan mengacaukan
benda-benda di ruang keluarga dan dapur. Sekali, ketika berusia 4 tahun, dia membuka
pintu depan dan berjalan menuju jalan raya, tetapi diselamatkan oleh seseorang.
Tes psikologi menunjukkan bahwa Eddie memiliki kemampuan akademik rata-rata,
tetapi sama sekali tidak memiliki rentang perhatian. Dia tidak tertarik pada televisi, atau
permainan, atau mainan yang membutuhkan konsentrasi. Dia tidak populer di antara temantemannya dan lebih suka mengendarai sepedanya sendiri atau bermain dengan anjingnya.
Ia menjadi anak yang tidak penurut di rumah dan di sekolah dan telah mencuri sedikit uang
dari orang tua dan teman-teman sekelasnya.
Eddie ditangani dengan methylphenidate (Ritalin), tetapi dihentikan karena tidak
berpengaruh pada ketidakpatuhan dan kebiasaan mencurinya. Meskipun demikian, obat
tersebut tampak mengurangi kegelisahan dan meningkatkan rentang perhatiannya di
sekolah.
-
2016
6
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
Diadaptasi dari Spitzer dkk., 1989, hal 315-317
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sekarang masalah efek samping. Walaupun efek samping jangka pendek (misalnya,
kehilangan nafsu makan atau insomnia) biasanya akan menghilang dalam beberapa minggu
atau dapat dihilangkan dengan mengurangi sosisnya, obat-obatan stimulan mengakibatkan
efek-efek lainnya, termasuk memperlambat perkembangan fisik (Wingert, 2000 dalam
Nevid, 2005). Untungnya, anak-anak yang menggunakan stimulan akhirnya dapat mencapai
kondisi fisik seperti teman-teman sebayanya (Gittelman-Klein & Mannuzza, 1990; Gorman,
1998 dalam Nevid, 2005).
Dengan begitu banyaknya anak yang menggunakan Ritalin dan obat-obatan yang
sejenis, kritik mengatakan bahwa kita lebih siap mencari “solusi yang cepat” untuk masalah
perilaku pada anak-anak dibandingkan memeriksa faktor-faktor lain yang mempengaruhi
masalah anak, seperti masalah dalam keluarga (Gibbs, 1998 dalam Nevid, 2005). Seperti
seorang dokter anak yang berpendapat “Butuh waktu bagi orang tua dan guru untuk dapat
duduk bersama dan berbicara kepada anak ... Butuh waktu yang lebih singkat untuk
memberi obat pada anak” (Hancock, 1996, hal. 52 dalam Nevid, 2005). Apa pun keuntungan
dari pengobatan stimulan, obat saja biasanya gagal dalam menjadikan perilaku sosial dan
akademik anak ADHD berada pada rentang yang normal (Hinshaw, 1992 dalam Nevid,
2005). Obat-obatan tidak dapat mengajarkan keterampilan baru. Jadi perhatian telah
difokuskan pada apakah kombinasi antara stimulan dan teknik-teknik behavioral atau
kognitif-behavioral dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada salah satu
penanganan saja. Penanganan kognitif-behavioral terhadap ADHD yang menggabungkan
modifikasi perilaku, umumnya didasarkan pada penggunaan reinforcement (contohnya,
seorang guru memuji anak ADHD yang duduk tenang) dan modifikasi kognitif (contohnya,
melatih anak untuk berbicara dalam hati melalui tahapan pemecahan masalah akademik).
Sejauh ini penggabungan terapi kognitif-behavioral dan pengobatan medis menunjukkan
hasil yang beragam (Braswell & Kendall, 2001; Hinshaw, Klein & Abikoff, 1998 dalam Nevid,
2005).
Gangguan Belajar
Nelson Rockefeller pernah menjadi gubernur New York dan wakil presiden Amerika Serikat.
Ia amat pandai dan berpendidikan. Namun, walaupun telah belajar dari guru-guru terbaik, ia
selalu kesulitan membaca. Rockefeller menderita disleksia (dyslexia), istilah yang berasal
dari bahasa Yunani dys-, artinya buruk dan lexikon, artinya “dalam kata-kata.” Disleksia
mungkin merupakan gangguan yang paling umum dari gangguan belajar (learning
disorder) (juga disebut ketidakmampuan belajar) (Shaywitz, 1998 dalam Nevid, 2005).
Disleksia merupakan 80% dari kasus gangguan belajar dan terjadi pada individu-individu
2016
7
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang mengalami kesulitan membaca walaupun mereka memiliki inteligensi rata-rata (MillerMedzon, 2000 dalam Nevid, 2005). Retardasi mental melibatkan keterlambatan secara
umum dalam perkembangan intelektual. Orang-orang dengan gangguan belajar, sebaliknya,
dapat merupakan orang yang pandai, mungkin berbakat, tetapi menunjukkan perkembangan
yang buruk dalam kemampuan membaca, matematika atau menulis hingga menghambat
prestasi sekolah atau fungsi sehari-hari. Saat ini sekitar satu di antara delapan anak (sekitar
12%) ditempatkan pada program untuk gangguan belajar, dan persentase anak yang ikut
program-program semacam ini terus bertambah (Levine, 2000 dalam Nevid, 2005).
Gangguan
belajar
cenderung
menjadi
gangguan
kronis
yang
selanjutnya
mempengaruhi perkembangan sampai masa dewasa. Anak-anak dengan gangguan belajar
cenderung berprestasi buruk di sekolah. Mereka sering dinilai gagal oleh guru dan keluarga
mereka. Tidak mengherankan bahwa sebagian besar dari mereka mengembangkan
ekspektasi yang rendah dan bermasalah dengan self-esteem.
Tipe-tipe Gangguan Belajar
Tipe gangguan belajar mencakup gangguan matematika, gangguan menulis, dan gangguan
membaca.
Gangguan Matematika Gangguan matematika menggambarkan anak-anak dengan
kekurangan kemampuan aritmatika. Mereka dapat memiliki masalah memahami istilahistilah matematika dasar atau operasi seperti penjumlahan atau pengurangan; memahami
simbol-simbol matematika (+, =, dll.); atau belajar tabel perkalian. Masalah ini mungkin
tampak sejak anak duduk di kelas 1 SD (6 tahun) tetapi umumnya tidak dikenali sampai
anak duduk di kelas 2 atau 3 SD.
Gangguan Menulis. Gangguan menulis mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan
kemampuan menulis. Keterbatasan dapat muncul dalam bentuk kesalahan mengeja, tata
bahasa, tanda baca, atau kesulitan dalam membentuk kalimat dan paragraf. Kesulitan
menulis yang parah umumnya tampak pada usia 7 tahun (kelas 2 SD), walaupun kasuskasus yang lebih ringan mungkin tidak dikenali sampai usia 10 tahun (kelas 5 SD) atau
setelahnya.
Gangguan Membaca Gangguan membaca – disleksia – mengacu pada anak-anak yang
memiliki perkembangan keterampilan yang buruk dalam mengenali kata-kata dan
memahami bacaan. Disleksia diperkirakan mempengaruhi 4% dari anak-anak usia sekolah
(APA, 2000 dalam Nevid, 2005). Anak-anak yang menderita disleksia membaca dengan
lambat dan kesulitan, dan mereka mengubah, menghilangkan, atau mengganti kata-kata
2016
8
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
ketika membaca dengan keras. Mereka memiliki kesulitan menguraikan huruf-huruf dan
kombinasinya serta mengalami kesulitan menerjemahkannya menjadi suara yang tepat
(Miller-Medzon, 2000 dalam Nevid, 2005). Mereka mungkin juga salah mempersepsikan
huruf-huruf seperti jungkir balik (contohnya, bingung antara w dengan m) atau melihatnya
secara terbalik (b untuk d). Disleksia biasanya tampak pada usia 7 tahun, bersamaan
dengan kelas 2 SD, walaupun kadang-kadang sudah dikenali pada usia 6 tahun. Anak-anak
dan remaja dengan disleksia cenderung lebih rentan terhadap depresi, memiliki self-worth
yang rendah, merasa tidak kompeten secara akademik, dan menunjukkan tanda-tanda
ADHD (Boetsch, Green, & Pennington, 1996 dalam Nevid, 2005).
Lebih banyak anak laki-laki yang memperoleh diagnosis gangguan membaca
daripada anak perempuan, tetapi perbedaan ini mungkin lebih disebabkan oleh adanya bias
dalam mengidentifikasi gangguan terhadap anak laki-laki daripada oleh perbedaan gender
dalam jumlah gangguan ini (APA, 2000 dalam Nevid, 2005). Anak laki-laki dengan disleksia
cenderung lebih sering menunjukkan perilaku mengganggu di kelas daripada anak
perempuan, sehingga lebih besar kemungkinannya untuk menjalani evaluasi. Penelitian
yang dilakukan secara cermat menentukan jumlah yang setara dari gangguan ini baik pada
anak laki-laki maupun perenpuan (APA, 2000; Shaywitz, 1998 dalam Nevid, 2005).
Banyaknya penderita disleksia bervariasi sesuai dengan bahasa. Jumlah disleksia
tinggi pada negara-negara berbahasa Inggris dan Prancis, di mana bahasa tersebut memiliki
banyak cara untuk mengeja kata-kata yang terdiri dari suara-suara yang sama (misalnya,
suara yang sama dari huruf “o” pada kata “toe” dan “tow”) dibandingkan dengan di Italia, di
mana rasio antara jenis suara dan kombinasi huruf lebih kecil (“Dyslexia,” 2001; Paulesu
dkk., 2001 dalam Nevid, 2005).
Perspektif Teoretis
Hipotesis-hipotesis tentang penyebab gangguan belajar cenderung terfokus pada masalahmasalah kognitif-perseptual dan kemungkinan faktor-faktor neurologis yang mendasarinya.
Banyak anak dengan gangguan belajar memiliki masalah dengan persepsi visual dan
auditori. Mereka kurang memiliki kemampuan untuk menyalin kata-kata atau membedakan
bentuk-bentuk geometris. Anak-anak lain memiliki rentang perhatian yang pendek atau
menunjukkan hiperaktivitas, yang juga mengesankan adanya abnormalitas otak.
Banyak penelitian di bidang gangguan belajar berfokus pada disleksia. Walau tidak
satu pun dapat mengatakan secara pasti apa yang menyebabkan disleksia, bukti-bukti
mengarah pada defisit yang mendasari bagaimana otak memproses informasi visual dan
auditori (misal Azar, 2000b; Miller-Medzon, 2000; Murray, 2000a dalam Nevid, 2005). Bukti
adanya hendaya dalam pengolahan visual di otak orang-orang yang menderita disleksia
menunjukkan adanya kemungkinan kerusakan pada stasiun pemancar visual di otak, di
2016
9
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mana informasi visual mengalir dari mata menuju korteks visual untuk diolah (Livingstone
dkk., 1991 dalam Nevid, 2005). Hasilnya, otak pada orang-orang dengan disleksia mungkin
tidak dapat menguraikan stimuli visual yang datang secara beruntun yang dibutuhkan untuk
mengenali huruf dan kata. Kata-kata mungkin tampak samar-samar dan saling bercampur,
atau mungkin sepertinya melompat dari halaman – masalah yang dilaporkan oleh orangorang dengan disleksia.
Bukti tambahan dari studi-studi PET memperlihatkan tingkat aktivitas yang rendah di
bagian otak yang mengatur pengolahan bahasa dan membaca pada orang-orang dengan
disleksia (Helmuth, 2001; Paulesu dkk., 2001 dalam Nevid, 2005). Perbedaan-perbedaan
dalam fungsi otak ini terlihat pada subjek-subjek disleksia di Inggris, Prancis, dan Italia yang
menunjukkan bahwa gangguan ini memiliki dasar biologis yang sama di samping adanya
perbedaan jumlah penderita pada negara yang berbeda.
Jalur sensori untuk pendengaran dan bahkan perabaan juga terlibat dalam disleksia.
Beberapa bentuk disleksia dapat dilacak dari abnormalitas pada sirkuit otak yang
bertanggung jawab untuk pengolahan aliran suara-suara yang cepat (Blakeslee, 1994b
dalam Nevid, 2005). Kerusakan pada sirkuit otak ini dapat menyebabkan kesulitan untuk
memahami suara-suara percakapan yang cepat, seperti suara-suara yang berhubungan
dengan huruf b dan p pada suku kata ba dan pa. Masalah dalam membedakan suara-suara
percakapan dasar dapat menyulitkan orang-orang dengan disleksia untuk belajar bicara
secara tepat dan nantinya, mungkin, belajar membaca. Mereka akan tetap memiliki masalah
dalam membedakan kata-kata boy dan toy atau pet atau bet dalam percakapan yang cepat.
Bila kerusakan pada sirkuit otak yang bertanggung jawab untuk meneruskan dan mengolah
data sensori ternyata berkaitan dengan gangguan belajar, seperti bukti yang ada, hal ini
akan menyebabkan pengembangan program-program penanganan untuk membantu anakanak menyesuaikan diri terhadap kemampuan sensori mereka.
Bila digabungkan, bukti-bukti mengarah pada penyebab neurologis dari masalah
kognitif pada disleksia (Paulesu dkk., 2001 dalam Nevid, 2005). Disfungsi yang
mendasarinya dapat memiliki dasar genetis, di mana bukti-bukti menunjukkan keterkaitan
antara faktor-faktor genetis dengan peningkatan risiko disleksia (Shaywitz, 1998;
Nagourney, 2001a dalam Nevid, 2005). Mereka yang memiliki orang tua disleksia akan
berisiko lebih besar untuk memiliki gangguan tersebut (Vogler, DeFries, & Decker, 1985
dalam Nevid, 2005). Lebih jauh lagi, disleksia lebih besar kemungkinan ditemuinya pada
kembar identik daripada kembar fraternal, sekitar 70% vs. 40% (Plomin dkk., 1994 dalam
Nevid, 2005). Kecurigaan ini difokuskan pada peran gen tertentu yang mungkin
menyebabkan kerusakan kecil pada sirkuit otak yang berhubungan dengan membaca.
2016
10
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Intervensi
Intervensi-intervensi untuk gangguan belajar umumnya menggunakan perspektif berikut
(Lyon & Moats, 1988 dalam Nevid, 2005) :
1. Model psikoedukasi. Pendekatan psikoedukasi menekankan pada kekuatan-kekuatan
dan preferensi-preferensi anak daripada usaha untuk mengoreksi defisiensi yang diduga
mendasarinya. Misalnya, seorang anak yang menyimpan informasi auditori lebih baik
dibanding visual akan diajar secara verbal, misalnya, menggunakan rekaman pita, dan
bukan materi-materi visual.
2. Model behavioral. Model behavioral mengasumsikan bahwa belajar akademik dibangun
di atas hierarki keterampilan-keterampilan dasar, atau “perilaku yang memampukan
(enabling behaviors).” Untuk dapat membaca secara efektif, seseorang harus belajar
mengenali
huruf-huruf,
menghubungkan
suara
dengan
huruf,
kemudian
mengombinasikan huruf-huruf dan suara-suara menjadi kata-kata, dan seterusnya.
Kompetensi belajar anak akan dinilai untuk menentukan letak defisiensi dalam hierarki
keterampilan. Program instruksi dan penguatan perilaku yang disusun secara individual
membantu anak untuk memperoleh keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam
melaksanakan tugas-tugas akademik.
3. Model medis. Model ini mengasumsikan bahwa gangguan belajar merupakan simtomsimtom dari defisiensi dalam pengolahan kognitif yang memiliki dasar biologis.
Penanganan harus diarahkan pada patologi yang mendasarinya dan bukan pada
ketidakmampuan belajar. Bila anak memiliki kerusakan visual yang menyebabkannya
kesulitan untuk mengikuti sebaris teks, penanganan seharusnya ditujukan untuk
mengatasi defisit visual, mungkin dengan cara latihan mengikuti stimulus visual.
Selanjutnya peningkatan kemampuan membaca diharapkan akan terjadi.
4. Model neuropsikologi. Pendekatan ini berasal dari model psikoedukasi dan medis.
Diasumsikan bahwa gangguan belajar merefleksikan defisit dalam pengolahan informasi
yang memiliki dasar biologis (model medis). Diasumsikan pula bahwa program-program
pendidikan harus diadaptasi untuk memperhatikan defisit-defisit yang mendasarinya ini
dan disesuaikan dengan kebutuhan setiap anak (Levine, 2000 dalam Nevid, 2005).
5. Model linguistik. Pendekatan linguistik berfokus pada defisiensi dasar dalam bahasa
anak, seperti kegagalan untuk mengenali bagaimana suara-suara dan kata-kata saling
dikaitkan untuk menciptakan arti, yang akan menimbulkan masalah dalam membaca,
mengeja, dan menemukan kata-kata untuk mengekspresikan diri mereka. Model ini
mengajarkan keterampilan bahasa secara bertahap, membantu murid-murid menangkap
struktur dan menggunakan kata-kata (Shaywitz, 1998; Wagner & Torgesen, 1987 dalam
Nevid, 2005).
2016
11
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
6. Model kognitif. Model ini berfokus pada bagaimana anak-anak mengatur pemikiranpemikiran mereka ketika mereka belajar materi-materi akademik. Dalam perspektif ini,
anak-anak dibantu untuk belajar dengan (1) mengenali sifat dari tugas belajar, (2)
menerapkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif untuk menyelesaikan
tugas-tugas, dan (3) memonitor kesuksesan strategi-strategi mereka. Anak-anak dengan
masalah aritmetika dapat diarahkan untuk membagi tugas matematika menjadi
komponen-komponen tugas, memikirkan tahapan yang diperlukan untuk menyelesaikan
setiap tugas, dan mengevaluasi prestasi mereka pada setiap tahap untuk menilai
bagaimana meneruskannya. Anak-anak menunjukkan kemajuan melalui pendekatan
sistematis dalam memecahkan masalah yang dapat diaplikasikan pada tugas-tugas
akademik yang beragam.
Evaluasi dari Pendekatan-pendekatan Penanganan Model medis saat ini menjadi
terbatas karena kurangnya bukti bahwa defisiensi yang mendasari gangguan belajar dapat
dikoreksi atau perbaikan pada aspek tersebut akan meningkatkan keterampilan akademik
(Hinshaw, 1992; Lyon & Moats, 1988 dalam Nevid, 2005). Kurangnya bukti juga terdapat
pada pendekatan psikoedukasi (Brady, 1986; Lyon & Moats, 1988 dalam Nevid, 2005).
Walaupun pendekatan neuropsikologis belum diuji secara lengkap, intervensi yang ditujukan
untuk mengubah strategi-strategi belajar anak dengan tujuan untuk menghindari defisit
neuropsikologi sampai sejauh ini gagal memperlihatkan peningkatan berarti pada anak-anak
dengan gangguan belajar yang parah (Hinshaw, 1992 dalam Nevid, 2005). Sampai saat ini
intervensi yang paling tampak menjanjikan adalah yang memberikan instruksi-instruksi
langsung pada tugas-tugas akademik di mana anak mengalami defisiensi, misalnya
keterampilan bahasa lisan dan tulisan (Hinshaw, 1992 dalam Nevid, 2005). Model
behavioral juga menunjukkan hasil-hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan prestasi
anak yang memiliki defisiensi dalam keterampilan membaca dan aritmetika (Koorland, 1986
dalam Nevid, 2005). Masih belum jelas apakah peningkatan akibat pelatihan behavioral
dapat digeneralisasikan pada prestasi di kelas. Pendekatan linguistik telah memperoleh
sejumlah dukungan, tetapi belum cukup untuk dianjurkan secara luas dalam menangani
anak-anak yang memiliki defisiensi membaca dan mengeja (Lyon & Moats, 1988 dalam
Nevid, 2005). Model kognitif juga telah menerima sejumlah dukungan, tetapi banyak anak
dengan gangguan belajar belum mengembangkan pengetahuan dasar yang cukup
mengenai area-area permasalahan mereka dan menggunakannya untuk memikirkan
masalah-masalah tersebut lebih dalam.
2016
12
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Anak-anak dengan gangguan belajar banyak yang ditempatkan dalam programprogram edukasi atau kelas-kelas khusus. Namun program untuk anak-anak dengan
kesulitan belajar sangat bervariasi dalam kualitas dan kita masih kekurangan bukti yang
pasti mengenai efektivitas jangka panjangnya (Hinshaw, 1992; Wingert & Kantrowitz, 1997
dalam Nevid, 2005).
2016
13
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal Edisi
Kelima Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
2016
14
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download