PROSPEK APLIKASIIRADIASI GAMMA UNTUK - Digilib

advertisement
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium
sp ... (Ora. Oarlina)
PROSPEK APLIKASIIRADIASI
GAMMA UNTUK
ATENUASI Plasmodium sp SEBAGAI BAHAN VAKSIN MALARIA
Darlina
Pusat Teknologi
Keselamatan
dan Metrologi
Radasi,
BATAN,
Jakarta
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
PROSPEK APLIKASI IRADIASI GAMMA UNTUK ATENUASI Plasmodium
sp SEBAGAI
BAHAN V AKSIN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp. Setiap tahun
ditemukan 300-500 juta kasus malaria yang mengakibatkan
1-3 juta orang meninggal dunia. Di
Indonesia, diperkirakan 50 persen penduduk tinggal di daerah endemis malaria, tidak kurang dari 30
juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya dengan 30.000 kematian. Upaya penanggulangan malaria di
Indonesia dilaksanakan sejak tahun 1919 namun daerah endemis malaria bertambah luas, bahkan
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) pada daerah-daerah yang telah bebas malaria.
Kondisi
tersebut diperberat dengan semakin merebaknya parasit yang resisten terhadap obat anti malaria yang
selama ini digunakan serta vektor yang resisten terhadap insektisida. Karena itu pemerintah Indonesia
melalui program Gebrak Malaria mencanangkan tiga strategi untuk usaha mengontrol malaria yaitu,
mengontrol vektor malaria, mengembangkan
pemakaian obat antimalaria untuk pencegahan dan
pengobatan,
dan pengembangan
vaksin. Teknik nuklir adalah salah satu alternatif yang dapat
digunakan dalam penanganan penyakit infeksi khususnya untuk pembuatan vaksin. Penelitian vaksin
malaria dimulai
pada tahun 1967 oleh Nuszweinzig dengan cara meradiasi nyamuk. Penelitian pra
klinis vaksin malaria pad a rodensia dilakukan oleh Nuszweinzig dkk., penelitian pada manusia yang
dilakukan oleh Clyde dkk. dengan sporozoit yang dilemahkan dengan radiasi dapat memberikan
imunitas steril yang kuat. Parasit yang diiradiasi dengan radiasi pengion dapat dinonaktifkan seraya
mempertahankan sifat-sifat parasit seperti hemoaglutinasi dan antigenisitas. Penelitian yang dilakukan
Hoffman selama 10 tahun (1989 - 1999) menunjukkan bahwa dosis iradiasi 150 Gy merupakan dosis
yang optimal untuk pelemahan Plasmodium falciparum stadium sporozoit dan memberikan efek
perlindungan yang komplit pad a relawan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di PTKMR terhadap
P. berghei phase eritrositik, dosis iradiasi 150 dan 175 Gy dapat menurunkan daya infeksi parasit.
Penurunan daya infeksi ini ditunjukkan oleh periode prepaten yang panjang. parasitemia dan kematian
mencit yang rendah yaitu 5-7%. Dengan demikian teknik nuklir dapat dimanfatkan untuk pembuatan
vaksin malaria.
Kata Kunci: vaksin, malaria, iradiasi, atenuasi
ABSTRACT
THE APPLICATION OF GAMMA RAYS IRRADIATION TO ATTENUATE Plasmodium sp AS
MALARIA VACCINE MATERIAL. Malaria is the most important parasitic diseases. It is reported that
300-500 millions of cinical cases sounded per year with around 1-3 million of annual death.
In
Indonesia approximately 50% population are living in endemic area and it is estimated that 30 million
clinical cases found per year with 3000 deaths.
Since 1919, the eradication effort of malaria in
Indonesia had been conducted but the regions of malaria-endemic increased. The condition was more
severe due to the widespread resistance of the malaria parasite to existing drugs and the vector that's
resistance to insecticide. Currently WHO through Global Malaria Control Strategy aims to reduce
malaria cases by controlling malaria vector, developing malaria's drug and malaria's vaccine. In 1967,
Nuszweinzig et ai, reported
that immunizing mice with irradiated sporozoites induced complete
protection against challenge with fully infectious sporozoites.
In preclinical studies malaria vaccine
using rodensia and human immunized with irradiated sporozoites induced complete protection. The
parasite irradiated with ionizing radiation could inactivate parasite while still maintain its characteristics
such as hemaglutination and antigenicity.
Results of Hoffman's experiment showed that 15 krad was
the optimal dose for attenuation of Plasmodum falciparum sporozoites which induced complete
protection. Accordingly to results from experiment to P. berghei in the erythrocytic stage, the dose of
150 Gy and 175 Gy reduce the virulency where infected mices showed
longer of prepaten phase,
lower peak of parasitemia and increase life span. Therefore nuclear technique could be applicable for
making malaria vaccines
Key words: vaccine, malaria, irradiation, attenuation
175
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
BABI
ISSN 2087-8079
PENDAHULUAN
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit. Parasit malaria adalah
suatu protozoa darah dari Famili Plasmodidae, genus Plasmodium. Genus Plasmodium
dibagi menjadi 3 sub genus yaitu; subgenus Plasmodium dengan spesies yang menginfeksi
manusia adalah Plasmodium vivax, P. ovale , dan P. malariae; sub genus Laverania dengan
spesies yang menginfeksi manusia P. falciparum; serta sub genus vinckeia yang tidak
menginfeksi manusia namun menginfeksi kelelawar, binatang pengerat, dan lain lain [1,2].
Parasit malaria manusia pertama kali ditemukan oleh Charles Louis Alphonse Laveran pada
tahun 1880 dengan menemukan parasit malaria pada darah manusia. Selanjutnya pada
tahun 1886 Goigi menemukan P. vivax dan P. malariae, serta Celli dan Marchiava tahun
1890 menemukan P. falciparum [3].
Hanya 4 spesies parasit yang dapat menginfeksi manusia yaitu P. viva x, P.
falciparum, P. o vale , dan P. Malariae.[4,5]. Gejala klinis malaria yang utama adalah demam,
menggigil secara berkala dan sakit kepala. Oisamping itu sering pula dijumpai gejala klinis
lain seperti, badan terasa lemah, pucat dan berkeringat. Oalam beberapa kasus yang tidak
disertai pengobatan, gejala-gejala utama muncul kembali secara periodik. Jenis malaria
paling ringan adalah malaria tertiana yang disebabkan oleh P. vivax, dengan gejala demam
setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah
infeksi). Malaria aestivo-autumnal
atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh
PJalciparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Parasit ini sering
menyumbat aliran darah ke otak, menyebabkan mengigau, koma, serta kematian. Malaria
kuartana yang disebabkan oleh P. malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada
penyakit malaria tertiana atau tropika, dengan gejala demam empat hari. Malaria jenis ke
empat dan merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan, disebabkan oleh P. ovale
yang mirip dengan malaria tertiana. Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh di dalam
sel hati; beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, organisme tersebut menyerang dan
menghancurkan sel darah merah sejalan dengan perkembangan mereka, sehingga
menyebabkan demam [5,6]. Oalam keadaan menahun/kronis disamping gejala diatas juga
disertai pembesaran limpa. Pada penyakit malaria berat selain gejala tersebut di atas juga
disertai kejang-kejang dan penurunan. kesadaran sampai koma. Pada anak, makin muda
usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol adalah diare dan pucat karena
kekurangan darah/anemia. Untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit malaria pada
anak dibutuhkan adanya riwayat kunjungan ke atau berasal dari daerah endemis malaria [4].
Malaria adalah penyakit infeksi yang penyebarannya di dunia sangat luas yakni
antara garis bujur 60° Utara dan 40° Selatan yang meliputi 100 negara yang beriklim tropis
dan sub tropis. Oiperkirakan sekitar 3,2 milyar penduduk tinggal di daerah endemis malaria
dan penduduk yang paling berisiko adalah bayi, anak balita dan ibu hamil. Oi seluruh dunia
setiap tahunnya ditemukan 300-500 juta kasus malaria yang mengakibatkan 1-3 juta orang
meninggal dunia [7]. Oi negara-negara tropis dan sub tropis, termasuk Indonesia, malaria
masih merupakan penyakit endemis. Oiperkirakan 50 persen penduduk Indonesia masih
tinggal di daerah endemik malaria. Menurut perkiraan WHO, tidak kurang dari 30 juta kasus
malaria terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dengan 30.000 kematian. Survai kesehatan
nasional tahun 2001 diperoleh angka kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang
per tahun dengan angka tertinggi di Gorontalo [8].
Oi Indonesia, malaria tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang
berbeda-beda dan dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800 meter di atas
permukaan laut. Angka kejadian malaria terbesar terjadi di propinsi-propinsi Indonesia bagian
timur. Spesies yang terbanyak dijumpai adalah P. falciparum dan P. vivax. P. malariae juga
dijumpai di seluruh daerah di Indonesia namun prevalensinya sangat rendah, sedangkan. P.
ovale hanya ditemukan di Papua. Sebagian besar daerah-daerah pedesaan di luar Jawa dan
Bali merupakan daerah risiko malaria, sedangkan di pulau Jawa malaria merupakan penyakit
yang timbul kembali (re-emerging disease) dan tercatat 660 kasus pada tahun 2002 [9].
Menurut data malaria pada tahun 2006 [10], angka kesakitan malaria Annual Malaria
Incidence/AMI dikategorikan sebagai berikut: (a) High Incidence Area (HI) dengan AMI lebih
dari 50 kasus malaria per 1000 penduduk per tahun; (b) Medium Incidence Area (MI) dengan
AMI antara 10 - 50 kasus malaria per 1000 penduduk per tahun; dan (c) Low Incidence Area
(LI) dengan AMI kurang dari 10 kasus malaria per 1000 penduduk per tahun (Gambar 1) [10].
Laporan terakhir menyebutkan 1,8 juta kasus malaria di Indonesia pada tahun 2006
bertambah secara signifikan menjadi 2,5 juta pada tahun 2007 [11].
176
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium sp ... (Ora. Oarlina)
"' ....
~
'f"
'\.
APlfAMI
D
L
TGhun 2006
_
0 ·10
10 • 2~
25 ·50
••
50 -190.02
Gambar 1. Peta penyebaran penyakit malaria menurut data tahun 2006 dari AMI
(Annual malaria incidence) [10]
Pemberantasan malaria di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1919, pada tahap
awal pemberantasan malaria dilaksanakan dengan perbaikan sanitasi lingkungan. Sejak
ditemukan DOT pada tahun 1950 pemberantasan vektor dilakukan dengan menggunakan
insektisida. Program pengendalian yang berdasarkan pada penggunaan residu insektisida
menyebabkan penyebaran penyakit malaria dapat diatasi dengan cepat,. sehingga tahun
1965 kasus malaria dapat ditekan hingga angka slide positivity rate (SPR) mencapai 0,15%
[12]. Walaupun upaya penanggulangan malaria sejak lama telah dilaksanakan, namun dalam
beberapa tahun terakhir sejak krisis ekonomi tahun 1997 daerah endemis malaria bertambah
luas, bahkan menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) pada daerah-daerah yang telah
berhasil menanggulangi malaria. Pad a tahun 2003 malaria sudah tersebar di 6.053 desa
pada 226 kabupaten di 30 provinsi. Kondisi tersebut diperberat dengan semakin luasnya
daerah yang resisten terhadap obat anti malaria yang selama ini digunakan yaitu klorokuin
termasuk juga kombinasi sulfadoksin-pyremethamin yang lebih dikenal dengan fansidar [13].
Penularan penyakit malaria dapat melalui berbagai cara, antara lain penularan
secara alamiah (natural infection) terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles betina, penularan
secara kongenital terjadi pad a bayi baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria melalui
tali pusat atau plasenta, penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik
[14]. Pad a umumnya penularan penyakit malaria terjadi melalui gigitan nyamuk. Sumber
infeksi malaria pada manusia adalah individu yang mengandung gametosit dalam darahnya.
Proses terjadinya penularan malaria di suatu daerah meliputi 3 (tiga) faktor utama yaitu
adanya: (a) penderita baik dengan atau tanpa gejala klinis; (b) nyamuk atau vektor; (c)
adanya manusia yang sehat. Siklus penularannya adalah sebagai berikut: orang yang sakit
malaria digigit nyamuk Anopheles dan parasit yang ada di dalam darah akan ikut terhisap ke
dalam tubuh nyamuk dan akan mengalami siklus seksual (siklus sporogoni) yang
menghasilkan sporozoit. Nyamuk yang di dalam kelenjar ludahnya sudah terdapat sporozoit
mengigit orang yang rentan, maka sporozoit akan masuk ke dalam aliran darah orang
terse but dan di dalam darahnya akan terdapat parasit yang berkembang didalam tubuh si
penderita, dikenal dengan siklus aseksual [15].
Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah tropik dan sub tropik. Sebagian besar
nyamuk Anopheles ditemukan di dataran rendah, tetapi perubahan iklim global telah
mempengaruhi penyebaran nyamuk malaria. Nyamuk Anopheles biasanya hanya ditemukan
di daerah dataran rendah sekarang dapat ditemukan di daerah pegunungan, yang tingginya
di atas 2000 m dari permukaan laut. Salah satu faktor lingkungan yang juga mempengaruhi
peningkatan kasus malaria adalah penggundulan hutan, terutama hutan-hutan bakau di
pinggir pantai dapat menghilangkan musuh-musuh a/ami nyamuk sehingga kepadatan
177
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
nyamuk menjadi tidak terkontrol Akibat rusaknya lingkungan ini, nyamuk yang umumnya
hanya tinggal di hutan, dapat berpindah ke pemukiman man usia. Oi daerah pantai akibat
kerusakan hutan bakau [9].
Seiring dengan munculnya galur parasit yang kebal terhadap obat antimalaria dan
adanya nyamuk vektor yang tahan terhadap insektisida mengakibatkan peningkatan jumlah
kasus malaria di beberapa negara. Tingginya mobilitas penduduk (turis/pekerjaJpengungsi)
dari dan ke daerah endemis menyebabkan peningkatan kasus malaria. Oi Indonesia
resistensi parasit terhadap obat antimalaria yang tersedia, maupun nyamuk yang resisten
terhadap insektisida telah terjadi di seluruh provinsi. Galur malaria yang resisten terhadap
klorokuin pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1974 dan sa at ini sudah meluas ke
seluruh Indonesia. Resistensi obat mengakibatkan pengobatan malaria menjadi semakin
kurang efektif dan di mas a mendatang diperlukan obat-obat yang lebih efektif.
Sesuai dengan kesepakatan negara-negara WHO, untuk meningkatkan
upaya
pengendalian malaria maka tahun 1998 telah disepakati suatu gerakan di pengendalian
malaria yang intensif secara global yaitu Roll Back Malaria (RBM) dan Indonesia dikenal
dengan Gerakan Berantas Malaria (Gebrak Malaria) yang dicanangkan Menteri Kesehatan
pad a tahun 2000. Oalam program ini dicanangkan tiga strategi untuk usaha mengontrol
malaria yaitu: mengontrol vektor malaria, mengembangkan pemakaian obat anti malaria untuk
pencegahan dan pengobatan, dan pengembangan vaksin. Perbaikan selalu dilakukan di
ketiga bidang ini, tetapi dengan adanya kemampuan parasit untuk tahan terhadap obat baru
dan kemampuan vektor nyamuk untuk tahan terhadap insektisida, sehingga vaksin terhadap
malaria sangat dibutuhkan [7]. Pada makalah ini akan dibahas pengembangan vaksin malaria
menggunakan teknik nuklir serta prospeknya.
BAB II TEORI DASAR
2.1.
Siklus hidup plasmodium
Plasmodium merupakan parasit penyebab penyakit malaria mempunyai dua siklus
hid up yaitu siklus aseksual pada vertebrata yang berlangsung di sel darah dan organ lainnya,
siklus seksual yang dimulai pada vertebrata dan selanjutnya pada nyamuk Anopheles. Oi
dalam tubuh nyamuk dan inangnya Plasmodium mempunyai 4 stadium perkembangan.
Setiap stadium perkembangan parasit dikarakterisasikan oleh perbedaan ekspresi antigen.
Oleh karena itu pemahaman siklus hidup parasit malaria merupakan dasar untuk upaya
pengembangan vaksin malaria. Perkembangan parasit serta interaksi parasit dan inangnya
menentukan keparahan dan patogenesis penyakit secara klinis [17].
Nyamuk akan terinfeksi malaria ketika menghisap darah penderita yang mengandung
gametosit. Ketika nyamuk menghisap darah penderita, gametosit terbawa dalam darah
kemudian akan mengalami proses pematangan menjadi gamet jantan dan betina dalam usus
nyamuk. Kedua macam gamet kemudian bersatu menghasilkan ookinet, ookinet bergerak
menembus ke dinding usus bagian luar dan mengalami pematangan menjadi oasis.
Selanjutnya oasis akan mengalami pembelahan meiosis, tiap oasis dapat menghasilkan
ribuan sporozoit haploid. Sporozoit akan dilepas ke dalam rongga tubuh nyamuk (hemocoel)
dan akan berpindah ke kelenjar ludah nyamuk. Sporozoit bersama dengan antikoagulan yang
terkandung dalam kelenjar ludah akan disuntikkan ke dalam tubuh manusia pada saat
nyamuk menghisap darah [18]
Satu gigitan nyamuk Anopheles betina akan memindahkan sekitar 15 - 25 sporozoit
ke dalam aliran darah manusia. Sebagian sporozoit dialirkan oleh pembuluh limfe dan
berhenti pada nodullimfe proksimal, sebagian masuk ke dalam aliran darah dan menuju hati
mereka berpindah melalui sel kupfer dan menginfeksi sel hepatosit. Sekitar 30 menit
sporozoit akan masuk ke sel hepatosit, bermultiplikasi secara skizogoni (stadium hati)
selama 5 - 14 hari. Oalam sel hati satu sporozoit dapat berkembang menjadi sekitar 30.000 40.000 parasit anak (merozoit). Ketika sel hepatosit pecah merozoit akan masuk ke dalam
aliran darah dan menginfeksi sel darah merah, kemudian dimulailah fase eritrositik. Pada
P.falciparum seluruh merozoit akan keluar ke peredaran darah sedang pada P. vivax
sebagian merozoit akan kembali menyerang sel hati dan menjadi dorman [19].
Fase eritrositik dimulai ketika merozoit menginfeksi sel darah merah, kemudian
mengalami siklus reproduksi dan reinfeksi yang akan menyebabkan gejala malaria. Setelah
178
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium sp ... (Ora. Oarlina)
masuk ke dalam eritrosit, parasit intraeritrositik ini berkembang menjadi beberapa stadium
(cincin, tropozoit, dan skizon). Bila merozoit ekstraselular menginvasi eritrosit, merozoit akan
berubah menjadi tropozoit. Tropozoit akan mencerna sitoplasma sel eritrosit. Tahap
berikutnya adalah skizogoni, dimana terjadi pembelahan inti, pembentukkan organel dan
membran. Segmen sitoplasma membentuk massa yang mengelilingi nukleus sehingga
terpisah. Tiap skizon eritrosit yang pecah akan menghasilkan 6 - 32 merozoit yang akan
menginfeksi eritrosit baru dan memulai siklus kembali. Banyaknya eritrosit yang lisis adalah
salah satu penyebab anemia. Disamping memproduksi bentuk aseksual, sebagian parasit
dalam darah berkembang menjadi gametosit jantan dan betina (Gambar 2).
Gambar 2. Siklus hidup parasit malaria dalam tubuh nyamuk dan manusia
Siklus hidup parasit malaria baik dalam tubuh nyamuk maupun inang mempunyai 4
fase perkembangan yaitu [19] :
1. Fase seksual (dalam tubuh nyamuk).
2. Fase sporozoit (intravascular).
3. Fase hati (intrahepatocytic/extraerythrocytic).
4. Fase aseksual (intraerythrocytic).
Berdasarkan
siklus
hidup
parasit
ada 3 target
yang
mendasar
untuk
mengembangkan vaksin malaria, yaitu; fase pra-eritrositik (sporozoit, stadium hati), fase
eritrositik aseksual dan seksual (Gambar 3) [18,20].
I
CS, TRAP
CS, TRAP, EXP-l,
LSAl, LSA-3
Sporozolt
Nyamuk
Anopheles
I
Antllnfeksl
Stadium
Liver
sm~
Pfs2Spvs2SSeksuai
' ----:...'
Penghambat
Transmlsl
~
~SP-I'~3;GLURP
_
+
•
AMA-l
Anti penyaklt
Gambar 3. Siklus hidup malaria dan target vaksin.
Keterangan:
CS = circum-sporozoite;
TRAP = thrombospondin-related
dhesive protein; EXP = exported antigen 1;
LSA-1 = liver stage antigen 1; MSP-1 = merozoite stage protein 1; GLURP = glutamate-rich protein;
AMA-1 = apical membrane antigen 1; Pf = Plasmodium falciparum; Pv = Plasmodium vivax
179
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
2.2.
Pengembangan
ISSN 2087-8079
vaksin malaria berdasarkan siklus hid up Plasmodium sp
Vaksin adalah sebuah substansi yang menstimulir respon sistem imun untuk
melawan suatu penyakit. Vaksin yang ideal adalah vaksin yang aman, mudah dibuat, mudah
diberikan, dan memberikan efek imunitas yang kuat. Akan tetapi vaksin yang ideal sulit
dicapai, karena pada umumnya vaksin tidak dapat mencegah infeksi namun hanya
meningkatkan sistem imun sehingga dapat menekan virulensi agent untuk menimbulkan
penyakit [21].
Karena siklus hidup parasit malaria sangat komplek dengan keragaman antigen
menyebabkan interaksi dengan inang menjadi komplek pula. Hal ini merupakan suatu
tantangan dalam pengembangan vaksin malaria. Beberapa hal yang memungkinkan untuk
dikembangkannya vaksin malaria adalah berdasarkan adanya: a) Imunitas alamiah yang
diperoleh individu yang tinggal di daerah hiperendemis. Individu tersebut tetap mengandung
parasit dalam darah dengan jumlah yang rendah tanpa menyebabkan gejala klinis. Imunitas
ini tidak berlangsung lama sehingga perlu pemaparan secara kontinyu. b) Imunitas dapat
dipindahkan secara pasif dari individu imun ke individu non imun melalui imunoglobulin. c)
Imunisasi pada mencit, primata dan manusia dengan sporozoit yang dilemahkan dengan
radiasi dapat menginduksi imunitas steril. Di daerah hiperendemis hanya orang dewasa yang
mempunyai imunitas terhadap malaria. Imunitas alamiah hanya menekan serangan penyakit,
tidak mampu membasmi parasit secara tuntas sehingga parasit tetap mampu berkembang
biak. Sistem imun pada anak anak belum sempurna sehingga tidak mampu mengembangkan
imunitas yang protektif dan efisien melawan parasit malaria. Karena anak-anak dan ibu hamil
yang tinggal di daerah endemik merupakan kelompok yang berisiko, maka harus diutamakan
dalam pengembangan vaksin [17,22].
Vaksin malaria yang ideal diharapkan dapat berfungsi sebagai anti infeksi, anti
penyakit, dan penghambat transmisi. Telah diketahui bahwa respon imun pada parasit
malaria adalah spesifik stadium. Karena parasit mengalami berbagai perubahan genetik
untuk menghindar respon imun, maka dibutuhkan kombinasi antigen dari beberapa stadium
parasit untuk mendapatkan vaksin malaria yang efektif. Sehingga pengembangan vaksin
diarahkan pada semua varian yang mungkin ada seperti vaksin multistadium dan
multikomponen.
Berdasarkan sasaran antigen yang sesuai dengan stadium perkembangan parasit
dan fungsinya, vaksin malaria dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu: 1) Vaksin pra eritrositik
(vaksin anti infeksi), yang dirancang untuk mendapatkan respon imun yang akan membunuh
sporozoit, mencegah sporozoit menginfeksi sel hepatosit atau menghancurkan sel hepatosit
yang terinfeksi atau membunuh parasit dalam hepatosit. 2) Vaksin eritrositik stadium
aseksual (vaksin anti penyakit), dengan target merozoit bebas atau yang berinvasi ke sel
darah merah. Vaksin ini dirancang untuk mencegah atau menekan respon patologi inang
terhadap parasit. 3) Vaksin eritrositik stadium seksual (vaksin penghambat transmisi),
bertujuan untuk menghambat pertumbuhan atau fertilisasi stadium seksual parasit. Vaksin ini
tidak memberikan proteksi pada individu secara langsung, tetapi akan memberikan
perlindungan terhadap individu lainnya [7,23].
2.2. 1.
Vaksin pra-eritrositik
(vaksin anti infeksi)
Pada saat nyamuk menghisap darah, sporozoit disuntikkan ke dalam aliran darah,
dan dalam 15-30 menit akan masuk ke dalam sel hati (hepatosit). Vaksin pra-eritrositik
dirancang untuk mencegah sporozoit memasuki sel hepatosit atau mencegah perkembangan
parasit di dalam sel hepatosit, sehingga vaksin ini disebut vaksin anti infeksi. Penelitian pra
klinik menggunakan
rodensia dan manusia dengan sporozoit yang diradiasi dapat
memberikan imunitas steril yang kuat. Respon imun yang ditimbulkan berupa pembentukan
antibodi yang dapat menghambat invasi sporozoit atau membunuh sporozoit melalui
opsonisasi dan pengaktifan sel limfosit T CD8+ dan CD4+. Limfosit T bekerja secara
langsung memusnahkan sel hepatosit terinfeksi atau secara tidak langsung melalui sitokin
atau antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) [24].
Sebelum masuk ke sel hati sporozoit sangat peka terhadap antibodi antisporozoit
yang efektif mencegah sporozoit masuk ke sel hati melalui mekanisme opsonisasi atau
netralisasi. Antibodi antisporozoit dapat dikalahkan oleh sporozoit dalam jumlah besar,
sehingga sebagian sporozoit masuk ke dalam sel hati (hepatosit). Sporozoit dalam beberapa
menit akan melekat di sel hati. Protein utama pad a permukaan sporozoit adalah protein
180
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium sp ... (Ora. Oarlina)
circumsporozoit (CS), diduga akan berikatan dengan heparan sulfat proteoglikan (HPSG)
pada mikrovili hepatosit.
Sporozoit di dalam hati mengalami perkembangan selama 5 hari atau lebih,
memberikan kesempatan bagi sistem imun inang untuk mengenali dan berespon terhadap
antigen parasit. Molekul human leukocyte antigen (HLA) kelas I dan kelas II yang
diekspresikan pada permukaan sel hepatosit terinfeksi dimungkinkan dikenali oleh sellimfosit
T, maka parasit dapat dihancurkan oleh sel T CD8+ dan CD 4+ melalui interaksi sitotoksik
secara langsung. Pemusnahan hepatosit terinfeksi yang diperantarai oleh sel T sitotoksik
dapat menghilangkan sporozoit dalam jumlah besar [24].
2.2.2.
Vaksin eritrositik (vaksin anti penyakit)
Strategi kedua untuk pengembangan vaksin malaria adalah vaksin dengan target
respon imun terhadap parasit stadium aseksual (stadium darah). Pemikiran ini berdasarkan
bahwa, 1) antibodi maternal ditransfer dari ibu ke janin secara pasif untuk memberikan
proteksi awal terhadap malaria klinis, 2) pada umumnya penderita malaria yang tinggal di
daerah endemis mampu mengendalikan perkembangan parasit sehingga tetap di bawah
ambang sehingga tidak menimbulkan gejala klinis, dan 3) globulin hiper-imun dari serum
individu terinfeksi malaria secara kronis dapat mengeliminasi parasit yang bersirkulasi [25].
Tujuan pemberian vaksin stadium darah adalah untuk menekan keganasan parasit
bukan menginduksi imunitas steril. Target pada vaksin stadium aseksual adalah merozoit.
Imunitas pada stadium ini berupa antibodi yang mengaglutinasi merozoit sebelum skizon
matang pecah, menghambat masuknya merozoit ke dalam sel eritrosit, membunuh eritrosit
yang terinfeksi secara langsung atau melalui opsonisasi maupun mekanisme ADCC,
menghambat sitoadherens, menghambat pelepasan atau menetralkan toksin yang dihasilkan
parasit. Dalam hal ini yang berperan adalah limfosit T CD4+ yang membunuh Plasmodium
intraeritrosit melalui sekresi sitokin yang selanjutnya akan mengaktifkan fagosit. Disamping
antibodi, mekanisme imun yang diperantarai sel juga sangat berperan dalam imunitas
terhadap malaria [19,21,22]. Vaksin eritrositik atau vaksin bentuk aseksual darah merupakan
jenis vaksin yang paling mudah dikembangkan. Bentuk aseksual parasit bertanggung jawab
terhadap timbulnya gejala klinis [23].
Proses masuknya merozoit ke dalam sel darah merah melibatkan sejumlah protein
parasit yang ada pada permukaan merozoit. Beberapa antigen yang sudah diteliti secara
intensif sejak tahun 1985 dan siap untuk diujicoba pada manusia antara lain merozoite
surface protein 1(MSP-1), MSP-2, MSP-3, ring infected surface antigen (RESA), apical
membrane antigen (AMA-1). Antibodi terhadap protein tersebut dilaporkan dapat
menghambat invasi merozoit sehingga menurunkan densitas parasit dalam darah secara
signifikan. AMA-1 adalah sebuah target alamiah respon imun protektif secara in vivo.[26].
Antigen stadium darah lain yang sedang dikembangkan adalah Glutamate-rich protein
(GLURP) [21,22].
2.2.3.
Vaksin bentuk seksual (vaksin penghambat transmisi)
Vaksin penghambat transmisi dirancang untuk membunuh gametosit yang dibentuk
dalam darah inang manusia atau mencegah fertilisasi atau perkembangan parasit dalam
vektor nyamuk. Diduga afektor imun yang berperan adalah limfosit T atau sitokin yang dapat
membunuh gametosit dalam sirkulasi, membunuh gametosit dalam eritrosit baik secara
langsung maupun melalui aktivasi komplemen, menghambat fertilasi, menghambat
transformasi zigot menjadi ookinet [22,25]. Vaksin ini tidak memberikan keuntungan langsung
pada individu yang divaksinasi karena tidak mengubah infeksi parasit di darah, tetapi
memberikan keuntungan tidak langsung dengan mengurangi intensitas transmisi sehingga
dikemudian hari akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat malaria.
Beberapa antigen yang sedang diteliti oleh lembaga penelitian penyakit tropis
(Tropical diseases research) adalah, Pfs-25-28, Pfs-230 dan Pfs-48/45 [23]. Antigen yang
penting pada stadium seksual prafertilisasi antara lain Pfs230 dan Pfs48/45 adalah antigen
yang diekspresikan pada membran gametosit selama mereka berkembang dalam tubuh
inang, Pfs25 dan Pfs28 adalah antigen yang terbatas pada stadium nyamuk dalam siklus
hidup parasit, merupakan kandidat vaksin penghambat transmisi yang saat ini sedang diteliti
keamanan dan imunogenesitasnya di Amerika Serikat.
181
ektor
dium
seksual
danmenghambat
sekresi
aktivitas
anti-toksin
sito-atau
yamuk
diperantarai
post-fertilisasi
sitokin
ity)
ritrositik
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
Setiap stadium perkembangan parasit ditandai dengan ekspresi antigen tertentu
sehingga memicu tipe respon imun yang berbeda. Mekanisme imun yang dianggap terlibat
dalam memberikan proteksi pad a beberapa stadium berbeda dalam siklus hidup parasit
malaria dapat dilihat pada Tabel1 [27].
Banyak kendala dalam pengembangan vaksin malaria karena, siklus hidup yang
multi stadium sehingga melibatkan banyak rangkaian interaksi reseptor-ligan. Imunitas yang
diperoleh dari paparan selama bertahun tahun hanya sebagian efektif terhadap parasit yang
menetap sehingga kadang kadang terjadi infeksi asimptomatik. Imunitas ini berumur pendek
dan spesifik stadium, sehingga pengembangan vaksin malaria sangat kompleks. Saat ini
banyak penelitian tetapi kemajuan perkembangan sangat pelan [19].
Tabel1.
Mekanisme antibodi dari beberapa stadium berbeda parasit malaria [27]
terlibat
dalam
stadium
Tidak
ada
molekul
MHC
••• Antibodi
Antibodi
- dimana
termasuk
dependent
menginduksi
cellular
sitokin
invasi
pada
sel
darah
Respon
imun/mekanisme
perkembangan
parasit
ini.
mencegah
aktivitas
pramenghambat
antigen
Perkembangan
parasit
aktivitas
dengan
sporogoni
cara
dapat
langsung
toksin
dinyatakan
pada
eritrosit
Sel-sel
meliputi
beberapa
CD4
Dasar
aktivitas
and
dari
men
CD8
sel
pendekatan
Tmelawan
it.merah,
T,
tidak
ada
molekul
inang
yang
adalah
target
yang
penting,
aktivitas
terinfeksi.
Vaksin-anti
(antibody
penyakit
Parasit
hati,
berkembang
dapat
sebagai
dalam
sel
Antibodi
Sporozoit
-ADCC
meliputi
dalam
pencegah
sirkulasi
hanya
Stadium/target
terinfeksi
reduksi
bebas
molekul radikal
MHC
oleh
sel
T
antiqen-antigen
parasit
dinyatakan
pada
eritrosit
Ekspresi
permukaan
sel
antigen
dan
dikenal
sebagai
2.3.
Pengembangan
vaksin malaria dengan teknik nuklir
Radiasi dapat memberikan efek yang bersifat spesifik yaitu, dapat melemahkan dan
mematikan se!. Target utama penyinaran adalah materi genetik atau DNA. Radiasi pengion
memiliki ciri khusus karena kemampuannya untuk penetrasi sel dan jaringan sehingga
memberikan energi pad a sel dalam bentuk ionisasi. Efek yang ditimbulkan oleh sinar gamma
dapat digunakan untuk mengiradiasi agen penyakit yang berasal dari virus, bakteri, protozoa
dan cacing. Dalam pembuatan bahan vaksin, jenis radiasi yang biasanya digunakan adalah
sinar gamma yang memiliki sifat daya tembus tinggi dan panjang gelombang pendek [28].
Dosis iradiasi yang optimum akan menghancurkan DNA, sehingga membuat mikroorganisme
tidak mampu melakukan replikasi dan tidak menimbulkan infeksi. Parasit yang diiradiasi
dengan radiasi pengion dapat dinonaktifkan dengan tetap mempertahankan sifat-sifat parasit
seperti hemaglutinasi,
antigenisitas,
ketidakefektifan
dan lain sebagainya.
Hilangnya
kemampuan infektif dari parasit memungkinkan untuk memproduksi bahan yang layak untuk
pembuatan
vaksin. Berdasarkan
hasil-hasil
penelitian dan percobaan,
keberhasilan
memperoleh bahan tidak aktif ini tergantung pada faktor eksternal (dosis radiasi, laju dosis,
jenis radiasi, suhu dan sifat inang) dan faktor internal (DNA atau struktur molekul parasit).
Vaksin dapat merangsang sistem imun pada inang untuk melawan infeksi organisme
patogen. Pembuatan vaksin dapat dilakukan dari seluruh bagian agen atau suatu bagian
yang diisolasi dari agen penginfeksi yang diatenuasi/dilemahkan
atau dinon-aktifkan. Salah
182
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium sp ... (Ora. Oarlina)
satu alternatif untuk pembuatan vaksin adalah menggunakan teknik nuklir [25,29,30,31].
Young melaporkan bahwa iradiasi dapat mengubah agen patogen menjadi non patogen yang
mampu menstimulasi sistem kekebalan dalam tubuh [32]. Smith NC melaporkan bahwa
teknik nuklir (iradiasi) dapat melemahkan agen penyakit tanpa menghilangkan daya
imunogeniknya dan mampu meningkatkan daya kekebalan pada hewan coba [33]. Iradiasi
secara teknik merupakan proses sederhana yang mempertahankan sifat struktural
mikroorganisme patogen tanpa menghancurkan antigen alamiah atau adjuvant intrinsik. Oleh
karena itu suatu respon imun yang kuat akan terbentuk pada inang yang divaksin [34]
Vaksin iradiasi dibagi menjadi dua macam, yaitu vaksin aktif dan vaksin inaktif.
Vaksin aktif adalah vaksin yang berasal dari organisme hidup yang dilemahkan, sedangkan
vaksin inaktif berasal dari organisme mati. Vaksin inaktif sendiri dibagi menjadi dua, yaitu
vaksin inaktif rekombinan dan non rekombinan. Vaksin inaktif rekombinan diperoleh dengan
cara melemahkan organisme terlebih dahulu melalui teknik rekombinan setelah itu
diinaktivasi dengan iradiasi. Vaksin inaktif non rekombinan diperoleh dengan cara inaktivasi
organisme secara langsung dengan iradiasi [25]. Vaksin aktif yang telah dilemahkan pada
umumnya digunakan untuk penyakit parasit yang bersifat intraselular misal, protozoa.
Keuntungan vaksin aktif ini adalah dapat mengaktifkan seluruh fase sistem imun,
meningkatkan respon imun terhadap seluruh antigen memberikan imunitas yang lama,
bekerja cepat, dan murah.
Sporozoit yang dilemahkan dengan radiasi merupakan standar baku (gold standar)
untuk pengembangan vaksin malaria karena memberikan proteksi steril dalam jangka waktu
lama terhadap transmisi secara alamiah di alam. Dalam model rodensia dan relawan,
imunisasi menggunakan sporozoit radiasi menghasilkan respon imun protektif yang kuat
terhadap uji tantang dengan sporozoit yang infeksius. Pelemahan sporozoit dengan iradiasi
diduga menyebabkan mutasi acak, yang dapat menghambat perkembangan stadium hati.
Jika di bawah dosis optimal sporozoit masih dapat berkembang menjadi stadium hati dan
stadium selanjutnya, jika dosis di atas dosis optimal sporozoit tidak dapat menginduksi
proteksi [24].
2.4.
Pengembangan vaksin malaria non nuklir
Hasil yang diperoleh dari sporozoit yang diiradiasi telah menginspirasi sejumlah
strategi vaksin. Tetapi Pembuatan vaksin dari sporozoit dalam jumlah besar tidak mudah,
sehingga pengembangan vaksin lebih difokuskan pada komponen parasit yang dapat
merangsang respon antibodi protektif. Pengembangan vaksin malaria meliputi identifikasi dan
karakterisasi antigen parasit yang protektif, kloning gen yang sesuai dan dapat diekspresikan
pada bakteri, analisis rangkaian nukleotida, dan deduksi rangkaian asam amino pada molekul
yang menyandi. Dalam mengidentifikasi antigen plasmodium yang protektif, pengamatan
difokuskan pada antigen yang terpapar sistem imun, seperti permukaan parasit atau
membran eritrosit yang terinfeksi. Target vaksin yang dipertimbangkan adalah sporozoit,
merozoit dan gametosit [19,20,23].
Pendekatan terkini dalam pengembangan vaksin dilakukan berdasarkan pada
antigen parasit murni yang secara spesifik menstimulasi respon imun protektif. Antigen
protektif terdapat pada beberapa stadium parasit sehingga vaksin yang dikembangkan
mengandung satu atau lebih antigen [23]. Epitop imunodominan disintesis secara kimia dan
dimungkinkan untuk diproduksi sebagai antigen untuk vaksin. Antigen protektif dari stadium
aseksual eritrositik P. Falciparum telah diidentifikasi dan diklon, sedangkan antigen untuk
menghambat transmisi baru tahap identifikasi. Bebarapa peneliti mulai mencoba
mengembangkan vaksin malaria dengan teknologi baru, yaitu protein rekombinan, peptida
sintetik, dan berdasarkan gen (DNA atau viral) vektor.
2.5.
Tahapan penelitian pengembangan vaksin malaria
Menurut Levine dkk. penelitian pada pengembangan vaksin malaria untuk manusia
melalui beberapa fase [27]. Fase 1 (penemuan dosis, untuk menentukan segi keamanan dan
imunogenisitas). Fase ini merupakan penelitian dan pengembangan di laboratorium dengan
tujuan mengidentifikasi, mengkloning dan mengkarakterisasi antigen target yang berpotensi
dalam menginduksi respon imun secara invitro dan invivo menggunakan binatang rodensia.
Fase 2 (uji keamanan dalam skala besar, dapat disertai dengan uji coba), atau uji praklinis.
Fase ini bertujuan mengevaluasi segi keamanan, immunogenitas, dan kemujarabannya
183
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
menggunakan model primata, mengikuti prosedur Good Laboratory Practice (GLP) untuk
menjamin kualitas produk secara potensial mengantarkan
ke percobaan berikutnya.
Kegiatan ini menggunakan adjuvan yang berbeda.
Jika formulasi dan protokol sudah
didefinisikan baru dilanjutkan ke percobaan klinis. Fase 3 (penelitian penaksiran khasiat
dalam skala besar dalam kondisi tantangan alamiah dan menghimpun informasi tambahan
untuk keamanan). Fase ini merupakan percobaan klinis yang dilakukan pada manusia terdiri
atas 4 tahap. Tahap 1 dilakukan pad a relawan yang non imun dari daerah nonendemis.
Tahap 2 pada relawan non imun yang diuji tantang menggunakan nyamuk yang mengandung
sporozoit dari laboratorium.
Penilaian hasil berdasarkan
kemampuan
menahan atau
meniadakan infeksi. Tahap 2b beberapa relawan dari daerah endemis yang terpapar secara
alamiah. Tahap 3 vaksin dicoba pada populasi di beberapa daerah endemis yang
menunjukkan karakteristik epidemiologi yang berbeda. Tahap 4. dicoba ke populasi yang
lebih besar. Beberapa kandidat vaksin yang sudah mencapai uji klinis tahap 2 yaitu uji
tantang dengan relawan dewasa dari daerah non endemik dapat dilihat pada Tabel 3.
BAB III METODOLOGI
Vaksin adalah sebuah
melawan suatu penyakit. Vaksin
parasit atau bagian dari parasit
tetapi tetap bertahan menjadi
Pembuatan vaksin malaria dapat
3.1.
substansi yang menstimulir respon sistem imun untuk
malaria dapat dibuat dari parasit dengan cara mengisolasi
dan membuatnya menjadi tidak dapat memicu penyakit.
antigen yang dapat menginduksi respon imun inang.
melalui berbagai cara antara lain:
Vaksin malaria yang dilemahkan (atenuasi) dengan iradiasi
Vaksin yang dilemahkan atau disebut dengan live vaccine dibuat dari tubuh utuh
parasit. Parasit dalam semua stadium dapat digunakan sebagai bahan vaksin dengan
diatenuasi dengan iradiasi. Tetapi stadium sporozoit merupakan bentuk yang paling banyak
dikembangan sebagai bahan vaksin.
Penelitian vaksin malaria dengan iradiasi dimulai sejak 1967 oleh Nussenzweig dkk
dengan menggunakan hewan percobaan mencit. Setelah dilakukan imunisasi kemudian diuji
tantang, hasilnya 60% mencit memberikan efek proteksi terhadap sporozoit yang infeksius.
Pada awal tahun 1970-an, Clyde dkk serta Rickmann dkk. mendemonstrasikan pada relawan.
hasilnya imunisasi dengan mengigitkan nyamuk anopheles yang mengandung sporozoit P.
Falciparum yang telah diradiasi, dapat melindungi sukarelawan terhadap sporozoit hidup.
Percobaan ini merupakan penelitian awal yang memungkinkan
vaksin malaria dapat
memberikan imunitas protektif steril dengan mengiradiasi nyamuk hidup terinfeksi [31]. Pada
penelitian di atas, pembuatan kandidat vaksin dilakukan dengan mengatenuasi sporozoit
yang berada di kelenjar ludah nyamuk dengan cara mengiradiasi nyamuk hidup yang
mengandung sporozoit (Gambar 2). Oalam hal ini sporozoit tetap hidup dalam lingkungan
alamiahnya. Kemudian inang percobaan digigitkan nyamuk yang telah diiradiasi. Setelah
beberapa waktu dilakukan
uji tantang untuk menguji khasiat vaksin dengan cara
menyuntikkan sporozoit hidup ke dalam tubuh inang. Selain cara tersebut sporozoit juga
dapat diluar tubuh nyamuk dengan cara mengisolasinya dari kelenjar ludah kemudian di
iradiasi. tetapi cara ini masih dalam taraf penelitian.
184
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium sp ... (Ora. Oarlina)
II
Sumber RadioAktif
Gamma ray -
6OCO
Mutan virulen =
virulen < --==:>
SporozoitHidup iGutan
~
Mutan virulen >
Nyamuk
Mutan invirulen
Anopheles
Gambar 4. Atenuasi sporozoit dengan iradiasi sinar gamma
3.2.
Pembuatan vaksin malaria dengan met ode lain
Vaksin dapat dikelompokkan menjadi tiga grup yaitu vaksin hidup yang dilemahkan,
vaksin dimatikan (killed vaccine) dan vaksin subunit. Saat ini vaksin malaria yang ban yak
dikembangkan
berupa vaksin sub unit. Vaksin ini pada prinsipnya diperoleh dengan
memisahkan partikel agen infeksi yang bersifat antigenik dan memurnikannya dari partikelpartikel lain, sehingga didapat antigen murni. Seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini
para ahli rekayasa genetika mampu menganalisa gen secara terperinci, Informasi ini sangat
penting dalam pengembangan vaksin sub unit, dengan demikian dapat dilakukan cloning
bagian DNA pengkode protein antigenik sehingga antigen tersebut dapat diproduksi oleh
bakteri atau yeast dalam jumlah besar. Vaksin ini disebut dengan vaksin rekombinan [35].
Selain itu dengan mengetahui struktur partikel antigen kemudian mensintesis
rangkaian peptida secara kimia. Maka dapat dilakukan degradasi protein imunogenik dengan
ensim spesifik atau secara kimia dan setiap fragmen diuji secara terpisah untuk mengetahui
aktivitas imunogeniknya. Kemudian struktur kimia fragmen tersebut ditentukan dan dibuat
secara sintetik. Vaksin peptida sintetik dilaporkan oleh Graeme C. Woodrow [36] tersusun
atas 12 asam amino telah berhasil digunakan untuk memperoleh respon kekebalan terhadap
sporozoit malaria.
3.3.
Penelitian vaksin malaria di SATAN
Penelitian malaria di BATAN merupakan penelitian vaksin malaria eritrositik tahap
awal. Pad a pene/itian digunakan model P. Berghei fase eritrositik dan mencit sebagai
inangnya. Telah dilakukan penentuan dosis dan laju dosis iradiasi sinar gamma yang optimal
untuk mengetahui pengaruh radiasi gamma pada P. berghei terhadap daya tahan mencit dan
profil protein parasit. Metode penelitian yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
3.3.1.
Parasit
Plasmodium berghei strain ANKA diperoleh dari Lembaga Eijkman dan Depkes
Jakarta. Pengembang biakan parasit dilakukan dengan cara menginfeksikannya ke dalam
tubuh mencit strain Swiss di laboratorium Biomedika PTKMR [37].
3.3.2.
Hewan coba
Mencit (Swiss Webster) jantan yang berumur sekitar 2 bulan dengan berat 25 hingga
30 gram diperoleh dari Bidang Toksikologi Litbangkes. Mencit dipelihara dalam sangkar
plastik dengan tutup kawat. Mencit diberi makan pelet dan minum secara ad libitum. [37]
185
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
3.3.3.
ISSN 2087-8079
Iradiasi P. berghei
Setiap dua hari dilakukan pemeriksaan jumlah parasit dengan membuat apusan
darah tipis. Bila jumlah P. berghei sudah cukup banyak dengan parasitemia> 10% dilakukan
jumlah parasit per ml darah merah. Jumlah sel darah merah dihitung menggunakan
hemositometer. Setelah itu mencit segera dianastesi dengan eter dan darahnya diambil
langsung dari jantung menggunakan alat suntik 1 cc yang berisi anti koagulan (citrat phospat
dextrose/CPO). Oarah ditampung dan dibagi dalam 6 tabung eppendorf. Selanjutnya
dilakukan iradiasi menggunakan fasilitas IRPASENA, di PATIR-BATAN. [37]
3.3.4.
Inokulasi P. berghei
Inokulum merupakan P.berghei yang telah dilemahkan dengan sinar gamma, dengan
dosis bervariasi serta dua variasi laju dosis. Inokulasi dilakukan dengan menyuntikkan 0,2 ml
inokulum yang mengandung P. berghei ± 1 x 105 parasit stadium eritrositik secara
intraperitoneal. [37]
3.3.5.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada hari ke-1 hingga 24 meliputi angka parasitemia dan
kematian (mortalitas) mencit. Parasitemia pada mencit diamati setiap 2 hari dengan
mengambil darah perifer dari ujung ekor. Oarah yang diperoleh dibuat sediaan apus darah
tipis pada kaca preparat. Apusan dibiarkan mengering kemudian difiksasi dengan metanol
selama 30 detik. Apusan diwarnai dengan 10% larutan Giemsa dan dibiarkan selama 30
menit [6]. Preparat diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran
1 OOOx. [37]
3.3.6.
Pengukuran protein P.berghei stadium eritrositik dengan metode
Lowry
Setelah diiradiasi gamma, sampel dipecah terlebih dahulu dengan melarutkan kultur
ke dalam aseton (1 : 1) dan disonifikasi selama 15 menit. 5 mllarutan Lowry 1 ditambahkan
ke dalam sampel dan diamkan selama 10 menit setelah itu tambahkan 0,5 mllarutan Lowry 2
dan diamkan selama 30 men it. Pembacaan dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 700 nm. [38]
3.3.7.
Karakterisasi profit protein P. berghei
Profil protein dianalisis dengan menggunakan metode elektroforesis satu dimensi
SOS-PAGE dengan sistem buffer Laemmli dan konsentrasi gel poliakrilamid 10% (Biorad).
Setelah diiradiasi gamma, sampel dipecah terlebih dahulu dengan melarutkan kultur ke dalam
aseton (1 : 1) dan disonifikasi selama 15 menit. Kemudian tambahkan 20 III buffer Laemli ke
dalam sampel dan dipanaskan selama 15 menit dalam air mendidih, kemudian sentrifugasi
pada 8000 rpm selama 5 menit. 5 III filtrat sampel dan standar dimasukkan ke dalam kolom
gel dan dielektroforesis pada kondisi 200 V dan 40 mA selama 90 menit. Gel diwarnai dengan
commasie R-250 (Biorad) selama 1 jam lalu didestaining dengan desatining solution
commasie R-250 (Biorad) selama 24 jam. Hasil dianalisis untuk menentukan jumlah pita. [38]
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Penelitian vaksin malaria di dunia.
Perkembangan vaksin malaria mulai dilaporkan pad a tahun 1967 oleh Nuszweinzig
dengan menggunakan mencit yang diimunisasi dengan sporozoit P.berghei yang telah
diradiasi. Imunisasi tersebut memberi perlindungan terhadap uji tantang dengan sporozoit
yang infeksius [22]. Sekitar tahun 1970, Clyde dkk, Rickman dkk telah memberikan imunisasi
pada relawan berupa gigitan nyamuk yang mengandung sporozoit yang telah dilemahkan
dengan iradiasi. Imunisasi tersebut dapat melindungi relawan terhadap uji tantang dengan
sporozoit infeksius hingga 10 bulan dan ini tidak terbatas pada satu galur [27].
186
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium
sp ... (Ora. Oarlina)
Imunisasi dengan sporozoit teriradiasi (y-spz) merupakan model terbaik untuk sistem
memori dan efektor imun yang menghasilkan imun proteksi steril. Pemberian dosis multiple
y-spz pada manusia dan mencit di laboratorium memicu proteksi steril yang panjang terhadap
uji tantang sporozoit infeksius. y spz dalam liver tidak berkembang, dan tidak memproduksi
CS melainkan menjadi Ag stadium hati. Dengan demikian y spz tidak dapat berkembang
menjadi stadium eritrositik, dengan kata lain radiasi memperlambat pematangan parasit atau
perkembangan skizon hati tetapi mampu menghasilkan Ag. Interaksi y spz dengan molekul
toll like receptor (TLR) pad a sistim imun alamiah dalam hati, melibatkan sel kupfer (KC).
Pelepasan sitokin pre-inflammatory selama fase imunitas awal menyebabkan inflamasi lokal
sementara, sebagai "danger signal" untuk memicu respon yang tepat. Peran mayor
histocompability complex-1 (MHC-1) restricted CD8+ adalah sebagai kunci efektor dalam
imunitas protektif terhadap infeksi malaria stadium pre-eritrositik.
Fungsi efektor terutama
dihubungkan dengan produksi inflammatory cytokine seperti interferon gama (IFN-y) atau
natural killer (NK) yang memperantarai eliminasi parasit dalam hepatosit melalui jalan nitrit
oksida (NO). CD8+ memperlihatkan
aktifitas cytolytic CD8+ memory hati dengan cara
memproduksi IFN-y secara cepat sehingga memperpanjang imunitas protektif yang diinduksi
oleh y-spz.[39]
Peneliti lain ~Hoffman) melakukan penelitian menggunakan iradiasi sinar gamma dari
sumber GOCo atau 13 Cs pada nyamuk Anopheles. Imunisasi dengan menggigitkan lebih dari
1000 nyamuk yang diradiasi dengan dosis 150 Gy pada 12 relawan. 11 relawan
menunjukkan proteksi terhadap uji tantang berulang hingga 35 kali selama 6 bulan. Mereka
terproteksi secara komplit, yaitu tidak ditemukan parasit yang keluar dari hati masuk ke
dalam aliran darah. Terhadap satu relawan dilakukan uji tantang 257 minggu (± 5 tahun)
setelah imunisasi kedua dan ternyata tidak memberi efek proteksi. Relawan kembali
memberikan proteksi 2 minggu setelah diimunisasi kembali. Sehingga diyakini bahwa
imunisasi tersebut memberikan proteksi selama 18 hingga 24 bulan [40]. Pemberian
imunisasi kurang dari 1000 gigitan nyamuk yang diradiasi dengan dosis 150 Gy, hanya 50%
menunjukkan proteksi komplit. Nyamuk yang mendapat dosis iradiasi lebih dari 200 Gy gagal
memberikan proteksi karena terjadi overatenuasi
pada sporozoit. Hal ini menunjukkan
adanya hubungan timbal balik antara dosis radiasi dengan jumlah sporozoit yang mempunyai
kemampuan penetrasi dan berkembang.
Dengan demikian dosis 150 - 200 Gy dianggap
sebagai dosis optimal (Tabel 2) [41]
Tabel2.
L
Rekapitulasi data penelitian imunisasi
selama kurun waktu 25 tahun [41]
dan uji tantang
di beberapa
laboratorium
Luke
2003
dosis
6-8
(minggu)
radiasi
dan
uji
tantang
Relawan
120
8150
1007
150
21
987
2927
-Gigitanyang
257
200
150-175
Universitas
379
--622
270
7Sebelumuji
NMRC/WRAIR
-imunisasiterakhir
--11
833
715
05
22terproteksi
--14
76
44
Sumberdata
Hoffman,
2002,
11/12
2/4
2/5
(50%)
(40%)
(91%)
L Waktuantara
Relawanyang
tantang
Imunisasi
Banyaknya
per
Maryland
Relawan yang diimunisasi dengan sporozoit yang diiradiasi tidak memperlihatkan
gejala klinis akan tetapi menunjukkan respon imun terhadap antigen yang diekspresikan oleh
sporozoit yang diiradiasi dan sebagian sporozoit yang teratenuasi yang berkembang dalam
hepatosit. Vaksin sporozoit iradiasi juga memberikan
informasi yang penting untuk
mendefinisikan mekanisme protektif dan target antigenik pada imunitas protektif. Tetapi pada
perkembangan selanjutnya vaksin yang dilemahkan seperti ditinggalkan, karena dirasakan
sulitnya untuk memproduksi sporozoit dalam jumlah banyak, serta imunisasi melalui gigitan
nyamuk dianggap tidak etis dan tidak praktis maka pengembangan vaksin dengan cara
tersebut di atas ditinggalkan.
Pengembangan vaksin kemudian lebih difokuskan pada komponen sporozoit yang
dapat merangsang respon antibodi protektif, seperti antigen CS atau antigen permukaan
sporozoit lainnya yang mudah untuk diproduksi. Vaksinasi dengan menggunakan sporozoit
yang diradiasi dengan sinar gamma dapat menginduksi antibodi dan respon imun seluler
187
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
terhadap bagian tengah dari protein CS (epitop) yang mengandung hampir 40 kali
pengulangan susunan Asn-Ala-Asn-Pro (NANP). Epitop dominan (NANP) P. falciparum
adalah sama pada isolat dari seluruh dunia sehingga protein CS menjadi kandidat utama
vaksin [25]. Pengembangan vaksin rekombinan atau peptida banyak didasarkan pada antigen
CS [21,24]. Selain protein CS terdapat juga sporozoit surface protein 2 (SSP2) dan
trombospondin related antigen protein (TRAP) yang juga dapat merangsang respon imun
inang. [27].
Sebagian besar respon imun sporozoit adalah secara langsung terhadap CSP, maka
banyak kandidat vaksin dibentuk dari protein atau epitop CSP. Vaksin RTS,S singkatan dari
the CSP repeat region (R) dan T-cells epitope (T) sedangkan S adalah polipetida yang terdiri
dari 226 asam amino yang berhubungan dengan HbsAg dimana protein CS digabungkan
dengan HbsAg. Gen yang menyandi antigen sporozoit diklon dan diproduksi dalam
Eschericia coli. Vaksin RTS,S merupakan vaksin rekombinan protein ditemukan oleh Jose A.
Stoute dan kawan kawan, merupakan kandidat vaksin malaria yang sukses sampai pada uji
lapangan fase II S.
Kandidat vaksin CSP lain adalah vaksin yang berbasis peptida sintetik asam amino
102 (CS 102). Perkembangan vaksin ini sudah mencapai tahap uji klinis fase I tetapi gagal
menunjukkan proteksi terhadap uji tantang malaria pada fase liS. Vaksin MVA-CS
merupakan vaksin rekombinan yang menggunakan strain Modified Virus Ankara (MVA) yang
menyandi CSP P. falciparum dengan variasi kombinasi prime-boost. Vaksin lain yang berupa
multipel Antigen DNA adalah suatu kandidat vaksin yang dirancang untuk menyandi 5 Ag
stadium hati (CSP, LSA-1, LSA-2, LSA-3 dan SSP-2) (TabeI1).
Selain protein CSP, protein TRAP juga sedang dikembangkan di Universitas Oxford,
sebagai kandidat vaksin berdasarkan DNA, MVA, dan Fowlpoxvirus (FPV) dengan
mengekspresikan TRAP yang di-fuse ke polyepitopic. Pemakaian vaksin DNA dan MVA
dikombinasi dengan imunisasi prime boost telah dicoba pada relawan di Gambia [25] (Tabel
1)
Vaksin malaria yang pertama kali dikembangkan berdasarkan stadium aseksual
eritrosit adalah kandidat vaksin SPf 66 berupa vaksin peptida sintetik yang multiepitope, dan
multi-stage.
Vaksin ini mengandung peptida pendek susunan dua glycosylphosphatidyl
inositol (GPI)-dasar protein permukaan pada stadium invasive, protein merozoite 1 (MSP1)
dan protein CS, bersama dengan dua fragmen peptida. Awalnya vaksin tersebut
menunjukkan proteksi yang menjanjikan dalam sebuah uji tantang terbuka pada manusia
yang eritrositnya terinfeksi P. falciparum f.1.§] pada uji di lapangan pertama kali di Amerika
Selatan, tetapi gagal memberikan proteksi yang kuat terhadap transmisi malaria di alam
dalam percobaan klinis tahap berikutnya pada daerah endemis [42].
Vaksin ''The Combination S" merupakan kandidat vaksin aseksual eritrositik lain yang
juga tengah dikembangkan. Vaksin ini merupakan kombinasi antara MSP-1 dan MSP-2
dengan antigen permukaan pada stadium cincin (RESA) PJaliparum [42] (Tabel 1). Kandidat
vaksin lain yang sedang dikembangkan adalah berdasarkan protein AMA-1 yang diformulasi
dengan adjuvan AS02. Vaksin rekombinan protein AMA-1 telah uji klinis fase 1 di Mali dan
Kenya [26] (Tabel 1). Kandidat vaksin aseksual eritrosit yang dikembangkan sebagai vaksin
peptida sintetik adalah antigen MSP-3 dan antigen GLURP sudah mencapai uji klinis tahap 1
[43]
188
s-1,
ox/MV
SERA,
A A dan
AMA-1
-3,
Exp-1
DNAlMVA
MEin
stadium
eritrositik
eritrositik
Virus
rekombinan
rekombinan
SA toxin
720
2/MSP-1
mbinan
Heterologous
Multistage
vaccine
diiradiasi
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium sp ... (Ora. Oarlina)
Tabel3.
Seberapa kandidat vaksin Malaria yang sudah mencapai uji klinis tahap 2 dengan
relawan dewasa dari daerah nonendemis [21]
CSP/MSP-2
sel
NANP3-tetanus
Perincian
utuh
vaksin
toxoid
RTS,S
AS02A1SSP-2/TRAP
MuStD05:
NYVAC-7:
CSP,
SSP-2/TRAP,
MSP-1,2/RESA
RTS,S
(AS02)
0/31
1/35
Hasil
(L2/11
0/12
95%
relawan
terproteksi
R32tet32(FSV1
18/41
1/6
):CSP
terproteksi
terproteksi
ada terproteksi/
20
%
terproteksi
dibandingkan RTS,S
CSP
NANP1g/5,1
0/13
0/33
(Exp-1)
Tidak
1/3
terproteksi
ada
proteksi
peningkatan khasiat
Tipe Vaksin
dibandingkan
RTS,S
Imunisasi
L
>
relawan)
1000
gigitan
R32NSI-81
R32toxA: CSP repeats/
Vaksin stadium seksual eritrositik adalah menginduksi antibodi terhadap antigen
stadium seksual. Kandidat vaksin untuk infeksi PJalciparum (Pfs25 dan Pfs28) atau P. vivax
(Pvs25 dan Pvs28) dikembangkan oleh National Institute of Health (NIH) di USA sebagai
vaksin rekombinan protein, dan sudah mencapai uji klinis tahap 1 [44].
Pendekatan terkini dalam pengembangan
vaksin dilakukan berdasarkan pada
antigen parasit murni yang secara spesifik menstimulasi respon imun protektif. Antigen
protektif terdapat pad a beberapa stadium parasit sehingga vaksin yang dikembangkan
mengandung satu atau lebih antigen [23]. Pada Tabel 3 terlihat kandidat vaksin dengan
teknologi iradiasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kandidat vaksin yang lain
dimana diperoleh 95% relawan memberikan efek proteksi.
Hoffman bersama perusahaan Sanaria dan the PATH malaria vaccine Initiative (the
PATH MVI) Maryland USA tetap mengembangkan vaksin sporozoit dengan teknik radiasi.
Saat ini mereka telah memecahkan problem tersebut, imunisasi lewat intravena telah berhasil
dilakukan pad a mencit, dan berhasil memproduksi vaksin sporozoit sebanyak 3000 dosis
dalam waktu 2 jam sehingga siap dilakukan uji klinis tahap berikutnya [40].
4.2.
Penelitian
vaksin malaria di SATAN
Sejak tahun 2005 penelitian malaria di SATAN difokuskan pada pengembangan
vaksin iradiasi yang merupakan Sasaran Utama SATAN dan dimasukan ke dalam Usulan
Kegiatan Pengembangan
teknik deteksi resistensi penyebab penyakit berpola infeksi
berbasis teknologi nuklir. Pada penelitian malaria digunakan model P.berghei fase eritrositik
dan mencit sebagai inangnya. Telah dilakukan penentuan dosis dan laju dosis iradiasi sinar
189
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
gamma yang optimal untuk mengetahui pengaruh radiasi gamma pada P. berghei terhadap
daya tahan mencit dan profil protein parasit.
P.berghei adalah parasit yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia.
P.berghei dan mencit sebagai inangnya merupakan model yang banyak digunakan dalam
penelitian penyakit malaria karena menggunakan mencit kemungkinan dilakukan manipulasi
pad a keduanya sehingga dapat dipelajari perubahan imunologi yang terjadi selama infeksi
[45]. Vaksin fase eritrositik ditujukan untuk menekan keganasan parasit yang merupakan
jenis vaksin yang paling mudah dikembangkan,
P.berghei fase eritrositik yang dilemahkan dengan radiasi, daya infeksinya akan
menurun namun tetap dapat mengaktifkan (merangsang) respon imun mencit. Pengaruh
dosis iradiasi terhadap daya infeksi parasit dievaluasi mulai dari periode prepaten dan
pertumbuhan parasit dengan menghitung angka parasitemia yaitu prosentase sel darah
merah yang terinfeksi parasit per seribu sel darah merah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dosis iradiasi 75-125 Gy tidak mampu melemahkan plasmodium, hal ini diketahui
dengan angka parasitemia yang terus meningkat. Pada dosis iradiasi 150 dan 175 Gy daya
infeksi parasit dapat diturunkan, hal ini ditunjukkan dengan periode prepaten yang panjang
dan angka parasitemia yang rendah [37] (Gambar 4). Perlakuan infeksi kedua pad a dua
minggu setelah infeksi pertama dengan P.berghei yang diiradiasi dengan dosis 150 dan 175
Gy mampu meningkatkan respon imun mencit, yang dinyatakan dengan penurunan densitas
parasit dalam darah.
~
QIctI
C)
a.:
;?
-
20
15
..c
"•..
iij
530
C
.t:
c:
10
25
'ijj
QI
1/1
0
3
o
~o
5
-75
7
9
13
18
Waktu Pengamatan
(Hari)
-100
21
26
-x-125 -+-150 -+-175
Gambar 5. Pengaruh iradiasi terhadap perkembangan
P.berghei pada mencit yang diinfeksi.
Pada penelitian penentuan laju dosis dilakukan pelemahan parasit dengan kisaran
dosis iradiasi yang lebih tinggi yaitu 150 Gy - 225 Gy dengan interval dosis 25 Gy, dengan
dua variasi laju dosis 126,6 Gy/jam dan 380,48 Gy/jam. pengaruh laju dosis iradiasi terhadap
daya infeksi parasit dievaluasi berdasarkan periode prepaten, puncak parasitemia. Hasil
penelitian menunjukan bahwa parasit malaria yang dilemahkan dengan laju dosis 126,6
Gy/jam mempunyai periode prepaten yang lebih panjang serta puncak parasitemia yang lebih
rendah dibandingkan laju dosis 380,5 Gy/jam (tabel 4) [46].
190
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium sp ... (Ora. Oarlina)
Tabel 4. Pengaruh laju dosis terhadap periode prepaten dan puncak parasitemia
12
18
829
26
12
2
8
85parasitemia
8
35,5
58,8
19,6
19,2
1
11,8
9,4
3
7,2
,6
126,6
Puncak
Puncak
parasitemia
Prepaten
(hari)
(%)
(%)
Prepaten
380,5
LA J U
0a
S IS
(Gy/Jam)
Pengaruh iradiasi gamma pad a P. berghei terhadap daya tahan mencit dievaluasi
berdasarkan gejala klinis, berat badan mencit dan daya tahan hid up mencit [47]. Gejala klinis
yang diamati adalah anemia, seperti kepucatan pada selaput lendir mata, moncong, jari kaki
dan ekor. Anemia terjadi karena sel darah merah yang mengandung parasit mengalami
hemolisis akibat fragilitas osmotik yang meningkat Hasil penelitian menunjukkan pada mencit
yang terinfeksi dengan P.berghei yang telah diiradiasi dengan dosis 0, 75, 100, 125 Gy tetap
menampakan gejala anemia seperti selaput lendir mata, moncong, jari kaki dan ekor.yang
menjadi pucat. Seminggu setelah infeksi dengan P.berghei yang diiradiasi dengan dosis 0,
75, 100, 125 Gy mencit akan menjadi lesu, lemah, dan bulu berdiri serta kehilangan nafsu
makan dan minum sehingga terjadi penurunan berat badan dan semua mencit mati pada hari
ke 16-22 setelah infeksi pertama. Berat badan rerata mencit mengalami fluktuatif, tetapi
setelah hari ke 11 hingga menjelang kematian, berat badan mengalami penurunan. Berbeda
pada mencit yang diinfeksi dengan P.berghei yang diiradiasi dengan dosis 150 dan 175 Gy,
terlihat berat badan rerata mengalami kenaikan sampai hari ke-29 dan tidak memperlihatkan
gejala klinis, hal ini diduga karena dosis radiasi 150 dan 175 Gy dapat melemahkan P.
Berghei (Gambar 5). Perlakuan infeksi kedua dengan P.berghei yang diiradiasi dengan dosis
150 dan 175 Gy mampu meningkatkan respon imun mencit, terlihat dari daya tahan hidup
mencit yang lebih lama (Gambar 5)
~•.. 45.00
o
~
.!I:!
~
40.00
~ 35.00
'C
.c 25.00
-"' 20.00
ItS
.c 30.00
E
Q)
ItS
E
ItS
a:::
15.00
o
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Waktu (hari)
[-+-OGY --75Gy
Gambar 6. Hasil pengukuran
100Gy -125
Gy --150
Gy ......e-175Gy]
berat badan mencit yang terinfeksi P.berghei pasca iradiasi
191
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
ISSN 2087-8079
45
40
.~
~ II ~
35
30
:: ~ 25
~
"'=
-==20
t:-:
it
'=
15
Q
10
5
o
o
100
75
125
150
175
Dosis (Gy)
Ir
1 Infeksi I
_
Infeksi II
Gambar 7. Pengaruh tradiasi P.berghei terhadap daya tahan hidup mencit yang diinfeksi.
Protein adalah salah satu bagian sel yang berperan sebagai faktor penyebab
virulensi atau daya infeksi dari parasit. Iradiasi gamma dapat menyebabkan perubahan
struktur atau ikatan protein. Pada P.berghei stadium eritrositik yang diiradiasi dengan variasi
dosis sinar gamma 150, 175, dan 200 Gy, analisis terhadap kandungan protein (metode
Lowry), dan analisis profil protein dengan SDS-PAGE pad a konsentrasi 10% dan be rat
molekul 10 - 220 kDa, menunjukkan kadar protein total P. berghei semakin menurun
sebanding dengan kenaikan dosis radiasi, hal ini diduga bahwa iradiasi menyebabkan
terjadinya pemutusan rantai protein. Dari hasil elektroforesis menunjukkan adanya perubahan
profil protein pada P.berghei yang diiradiasi dengan dosis 150 Gy mengalami kehilangan
protein pada kisaran 15 kDa, sedangkan dosis 175 dan 200 Gy tidak merubah profil tetapi
ada perbedaan ketebalan pita yang menunjukkan adanya perbedaan protein pada points
isoetectric (p i) yang berbeda yang akan dapat diamati apabila dianalisis menggunakan 2
dimensi (Gambar 7) [38]
A
B
c
D
E
200
97.4kD
66 kDa
45 kDa
31 kDa
21.5
14.4
A: darah
B: kultur
C: kultur
D: kultur
E: kultur
tanpa P. berghei;
P. berghei (0 Gy);
P. berghei (150 Gy);
P. berghei (175 Gy);
P. berghei (200 Gy)
Gambar 8. Profit protein kuttur P. berghei hasil iradiasi sinar gamma.
Kerusakan protein akibat iradiasi gamma, dapat berupa denaturasi protein, degradasi
protein, maupun perubahan DNA [47]. Pada penelitian awal P.berghei yang diradiasi pada
dosis iradiasi 150 - 200 Gy menyebabkan penurunan berat total protein serta perubahan dari
192
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium sp ... (Ora. Oarlina)
struktur protein (Gambar 8). Oegradasi protein dapat menyebabkan
protein tersebut
kehilangan fungsinya. Telah diketahui bahwa protein merupakan bagian sel yang berperan
pada virulensi parasit, sehingga P.berghei yang diiradiasi dengan dosis 150 Gy dan 175 Gy
akan mengalami kerusakan protein dan meyebabkan penurunan virulensi.
600
=- 500
E
CJ 400
E
-; 300
'a;
ea.
200
100
o
o
175
150
200
Dosis (Gy)
Gambar 9. Berat protein P. berghei stadium eritrositik pasca iradias gamma
Vaksin stadium eristrositik bertujuan untuk menghambat perkembangan merozoit
sehingga dapat mengurangi angka kesakitan (anti-komplikasi). Oalam upaya mengurangi
atau mencegah terjadinya serangan malaria perlu dilakukan, penelitian pemanfaatan
teknologi nuklir untuk membuat suatu bahan vaksin dari sporozoit yang diisolasi dari
Indonesia. Pada penelitian berikutnya akan dicoba dilakukan pembuatan bahan vaksin
sporozoit dengan pemberian radiasi sinar gamma dosis 125 - 225 Gy pada nyamuk yang
mengandung sporozoit.
BAB V KESIMPULAN
Vaksin adalah suatu bahan yang dapat merangsang sistem imun untuk melawan
suatu penyakit. Pembuatan vaksin dapat ditempuh melalui seluruh tahapan patogen atau
melalui isolasi agen penginfeksi yang diatenuasi atau dinon-aktifkan. Teknik nuklir (iradiasi)
dapat melemahkan agen penyakit dan mengubah agen penyakit yang patogen menjadi non
patogen tanpa menghilangkan daya imunogeniknya. Secara teknik iradiasi merupakan proses
sederhana yang dapat mempertahankan
sifat struktural mikroorganisme patogen tanpa
merusak antigen alamiah atau adjuvant intrinsik. Stadium sporozoit merupakan stadium
parasit yang paling tepat dimanfaatkan untuk pengembangan
bahan vaksin. Oosis iradiasi
150 Gy merupakan dosis yang optimal untuk pelemahan P.falciparum sporozoit dan
memberikan efek perlindungan yang komplit terhadap uji tantang dengan sporozoit infeksius
Oari hasil percobaan yang telah dilakukan di PTKMR SATAN diperoleh hasil yang
berupa dosis optimal untuk melemahkan P.berghei stadium eritrositik yaitu 150-175 Gy
dengan laju dosis 126,6 Gy/jam adanya pengaruh dosis iradiasi pada P.berghei terhadap
daya tahan mencit ditunjukkan oleh umur yang lebih panjang dengan kondisi yang lebih
sehat. Oiketahui pula bahwa sel yang terkena iradiasi gamma akan mengalami pemutusan
ikatan pad a senyawa senyawa penyusun sel, yang mengakibatkan terjadinya perubahan
berat total protein. Semakin besar dosis yang diterima semakin banyak terjadi penurunan
berat total protein dan perubahan struktur protein.
DAFT AR PUST AKA
[1]
[2]
COX F. , History of Human Parasitology, Clin. Microbiol. Rev. 15 (4) (2002) 595-612.
WERNSOORFER WH., The Importance of Malaria in The World, In: Kreier JP (ed)
Malaria, Vol.1 London, Academic press (1980) 1-93.
193
Iptek Nuklir: Bunga Rampai Presentasi IImiah Jabatan Peneliti
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
ISSN 2087-8079
GILES HM, The malaria parasites, in Giles HM, Warrel DA (Eds), Bruce Chwatt,
essential malariaology, 3th. Ed., Edward Arnold, London, (1993) 12-27
HARINASUTA T. & BUNNAY D: The Clinical Features of Malaria, In: Wernsdorfer WHo
& Mc.Gregor SI (eds.) Malaria Principles and Practice of Malariology, Churchills
Livingstone, London, Vo/.1 (1988) 709-734.
WHITE NJ., Malaria, In: Cook GC. (ed), Manson's Tropical Disease, 20th ed. (1996),
W.B. Saunders, London
KROGSTAD DJ., Plasmodium species (Malaria), In: G./. Mandell, I.E. Bennet, R. Dolin
(eds), Mandel, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases,
Churchills Livingstone, USA., 4th ed, (1995)
WORLD HEALTH ORGANIZATION, Initiative for Vaccine Research, State the art of
vaccine research and development, (2005), http:/www.who.intJvaccines-documents
ANONIM, Malaria pada manusia, Info Penyakit Menular; Dirjen Pemberantasan Penyakit
Menular & Penyehatan Lingkungan, DepKes RI, 2 Desember (2004).
BARCUS, M.J., LAIHAD, F., SURURI, M., SISMADI, P., MARWOTO, H., BANGS, M.J.,
and BAIRD, J.K., Epidemic malaria in the Menoreh Hills of Central Java, Am. J. Trap.
Med. Hyg., 66(3) (2002), 287-292.
Peta Malaria tahun 2005 2006, http:/www.depkes.go.id/downloads/whd-08/chartJPetaMalaria.jpg
JAKARTA POST, Malaria cases in Indonesia increases to about 3M in 2007: Health
Oficial Says, January 21, (2008).
LAIHAD F.J., SURIADI GUNAWAN,
Malaria di Indonesia,
In; Harijanto (ed);
Epidemiologi, patogenesis dan manifestasi klinis, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
(2000) 17-25.
ANONIM, Rencana Kerja (Renja) Program Pengendalian Malaria 2005-2009, Subdit
Malaria, Direktorat PPBB, Direktorat Jenderal PP&PL, Departemen Kesehatan RI,
(2006).
DEPARTEMEN
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA,
Direktorat
Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Malaria
Pengobatan, No.3, (1991)
DEPKES R/.. Modu/ Parasit%gi
Malaria. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Manular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, (1999).
TAKKEN Wand KNOLS BGJ, Taxonomic and bionomic review of the malaria vector of
Indonasia. Dalam W.Takken et.al (eds) , Environmental measures for malaria control in
Indonesia, a Historical review on speciies sanitation. Wageningen agricultures university
papers, (1990) 90-7.
BALLOU W.R., Malaria Vaccines in Development., Exapert Opin Emerg Drgs 10, (2005)
489-503.
[18] TARGETT A.G, Malaria vaccine 1985-2005: a full circle, Trends Parasitology vo/. 21 no.
11, November (2005).
[19] ANNATOLE
KRATTIGEN,
STANLEY KOWALSKI,
ROBERT EISS & ANTHONY
TAUBMAN, The Complexities of Malaria Vacciines; Innovation Strategy Today; Meeting
Report (hosted WIPO, Geneva April (2006)
[20] BALLOU WR dkk., Update on The Clinical Development of Candidate
Malaria Vaccine,
Am.J.Trop.Med.Hyg. 71 (2 suppl). (2004). 239-247.
[21] ANONIM, Malaria Vaccines, Patricia M. Graves, Myron M. Levine (Editors) BATTLING
MALARIA Strengthening the US Military Malaria Vaccine Program, Tha National
Academic Press Washington DC, http://www.nap.edu/catalog/11656.htm/.
[22] NUSSENZWEIG
V, NUSSENZWEIG
RS, Rationale for the development
of an
engineered sporozoites malaria vaccine, Adv Immunol 45 (1989),283-334.
[23] KRISTANTO
D., P.N. HARIJANTO, Vaksin Malaria, In; Harijanto (ed); Malaria;
Epidemiologi, patogenesis dan manifestasi klinis,
Penerbit Buku Kedokteran EGC,
(2000). 17-25.
[24] DOOLAN DL., HOFFMAN SL., Multi-gene Vaccination Against Malaria: a Multistage,
multiimmune response approach, Parasitol Today, (13) (1997) 171-177.
[25] publishing group, (2005) ANONIMUS. Parasite control, Nature reviews/immunology,
Nature
[26] LEVINE M.M., CAMPBEL JD., KOTLOFF KL., Overview of Vaccine and Immunisations,
British Medical Bulletin, 62 (2002) 1-13.
194
Prospek Aplikasi Iradiasi Gamma Untuk Atenuasi Plasmodium sp ... (Ora. Oarlina)
[27] ENGERS HD, GODAL T, Malaria vaccines development current status, Parasitologi
Today 14 (1998),56-63.
[28] HALL, E.J., Radiobiology for the radiobiologist,
Lippincott Williams and Walkin,
Philadelphia, (1994).
[29] BENNETH, C., THATCHER, S., TOLMAN-HULSBERG,
J., POWERS, M., MILWARDM
H., NIELSEN, D., AND TENG, D.H.F., Comparison of gamma-irradiated and triazoltreated RNA viruses using the joint biological agent identification and diagnostic, Idaho
Technology Inc., Salt Lake City, UT, (2002).
[30] GIBCO INVITROGEN
CORPORATION,
Effectiveness
of inactivation
by gamma
irradiation for powder trypsin products, Grand Island, USA, (2000).
[31] JENKINS, M.C., Advances and prospects for subunit vaccines againsts protozoa of
veterinary importance, Veterinary Parasitology 101, Elsevier, (2002) 291-310.
[32] YOUNG, BA, Nuclear techniques in animal agruculture, IAEA Bul. 23, 47, (1981).
[33] SMITH, N.C., Concepts and strategies for anti-parasite immunoprophylaxis and therapy,
Int. J. For Parasite 22 (1992)., 1047
[34] BIELLO, D., Irradiated pathogens used to create potent vaccine, Science News, July 26,
(2006)
[35] USMAN SUWANDI,
Perkembangan
Pembuatan
Vaksin,
Pusat Penelitian
dan
Pengembangan, PT. Kalbe Farma Jakarta Cermin Dunia Kedokteran No. 65, 1990 5
[36] WOODROW GC. New generation vaccines. World Biotech Rep, 1985; 3167-178
[37] DARLINA dan TETRIANA, D., Daya infeksi Plasmodium berghei stadium eritrositik yang
diiradiasi sinar gamma, Prosiding Pertemuan IImiah PTKMR Jakarta, (2007).
[38] DEVITA T., DARLlNA, ARMANU, MUKH SYAIFUDIN, Pengaruh Radiasi Gamma
Terhadap Profil Protein Plasmodium berghei Stadium Eritrositik, Prosiding Pertemuan
IImiah PTKMR Jakarta, (2008).
[39] KRZYCH U., RJ. SCHWENK, The dissection of CD8 T cells during liver stage infection,
in: J. Langhorne (ed), Immunology and Immunopathogenesis
of Malaria, Springer,
Berlin, (2005) 2-24.
[40] THOMAS C.LUKE, STEPHEN L.HOFFMAN., Rationale and plans for developing nonreplicating, metabolically active, radiation attenuated Plasmodium falciparum sporozoites
vaccine, The Journal of Experimental Biology, 206 (2003) 3803-3808.
[41] HOFMAN S, GOH L, LUKE T, SCHNEIDER I, Le T, DOOLAN D, SACCI J, DE LA VEGA
P, DOWLER M, PAUL C, STOUTE J, CHURCH L, SEDEGAH M, HEPPNER D,
BALLOU W, RICHIE T, Protection of human against malaria by immunization with
radiation-attenuated
Plamodium falciparum sporozoites, J infect Dist 185 (8) (2002)
1155-1164.
[42] MARC P.GIRARD, ZARIFAH HR., MARTIN FRIEDE, MARIE P.K., A Review of human
vaccine research and development Malaria, Vaccine, 25 (2007): 1567-1580.
[43] ROSAS., J.E., PEDRAZ JL., HERNANDEZ RM., GASCON AR., IGARTUA M., GUZMAN
F., et aI., Remarkably high antibody levels and protection against PJalciparum malaria in
Aotus monkeys
after single immunization
of SPF66 encapsulated
in PLGA
microspheres., Vaccine, 20 (13/14) (2002) 1707-10.
[44] WOEHLBIER U., et ai, Analysis of antibodies directed against merozoites surface
protein I of human malaria parasite Plasmodium falciparum, Infect Immun, 74 (2) (2006)
1313 - 22.
[45] LANDAU, I, GAUTRET P., Animal models rodents In: Malaria, Parasite biology,
pathogenesis, and protection, Ed: Sherman, loW. ASM Press, Washington, DC, (1998).
401-417.
[46] DARLlNA, DEVITA T, ARMANU, Pengaruh laju dosis iradiasi terhadap pertumbuhan
Plasmodium berghei stadium eritrositik, Prosiding Pertemuan dan Presentasi IImiah
Fungsional Pengembangan Teknologi Nuklir II, Jakarta, 29 Juli (2008)
[47] DARLINA DAN DEVITA T, studi awal pengembangan vaksin malaria dengan teknik
nuklir: pengaruh iradiasi gamma pada Plasmodium berghei terhadap daya tahan
mencit,. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir. Bandung 17-18 Juli
2007.
195
Download