Laporan Bulanan - Badan Kebijakan Fiskal

advertisement
DAN
Minggu III / Juni / 2016
http://www.fiskal.kemenkeu.go.id
“Setelah isu Fed fund rate mereda, perkembangan ekonomi global masih
dibayangi oleh perkembangan hasil referendum UK (Brexit)”.
17 Juni
‘16
Indikator
Sumber Data : Bloomberg,Reuters,CNBC,The Street,Investing,WSJ,CNN Money,Channel News Asia,BBC,New York Times,BPS,Kontan, Kompas,Media
Indonesia,Tempo,Antara News,Bisnis Indonesia,Vibiz news.
Perekonomian negara maju
The Fed memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan
pada level 0,25 – 0,50 persen mengingat masih tingginya ketidakpastian
pada outlook ekonomi AS, terutama laju perbaikan sektor tenaga kerja dan
investasi bisnis AS yang melambat, serta kemungkinan terjadinya Brexit.
Sementara itu, data ekonomi AS pekan ini menunjukkan hasil yang
bervariasi. Penjualan ritel bulan Mei mengalami ekspansi didorong oleh
meningkatnya belanja rumah tangga, sedangkan produksi sektor industri
mengalami kontraksi seiring dengan penurunan produksi manufaktur di
tengah penguatan dolar AS, penurunan permintaan global, dan pelemahan
pada sektor energi. Dari sektor perumahan, pembangunan rumah baru,
tercermin dalam data housing starts, pada bulan Mei mengalami kontraksi.
Namun demikian, berlanjutnya tren peningkatan permohonan izin building
permits memberikan sinyal akan adanya potensi rebound yang diharapkan
dapat mendukung pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua.
Produksi sektor industri zona Eropa mengalami rebound pada bulan April
setelah mengalami perlambatan dalam dua bulan berturut-turut.
Perkembangan tersebut sejalan dengan rilis data inflasi bulan Mei yang
menunjukan adanya perbaikan meskipun masih berada di zona deflasi.
Badan statistik zona Eropa menyatakan bahwa harga sewa dan tembakau
menyumbang kenaikan angka inflasi sementara harga bahan bakar dan
gas memberikan dampak penurunan yang lebih besar. Di tengah
perkembangan inflasi tersebut, Bank of England (BoE) mempertahankan
suku bunganya pada level 0,5 persen sebagai upaya untuk menjaga
stabilitas keuangan terhadap kemungkinan risiko dari hasil referendum
pada 23 Juni mendatang bagi keuangan global.
Bank of Japan (BoJ) mempertahankan suku bunganya di level -0,1 persen
meskipun yen menguat dan inflasi masih berada jauh dari target BoJ. BoJ
menyatakan akan menunggu hingga keluarnya hasil referendum UK yang
kemungkinan dapat berdampak pada stabilitas keuangan global.
Sementara itu, data produksi sektor industri Jepang mengalami kenaikan
yang lebih besar dibandingkan proyeksi.
Perekonomian negara berkembang
WoW
Perubahan (%)
YoY
Ytd
T1 ---- Nilai Tukar/USD ---Euro
Yen
GBP
Real
Rubel
Rupiah
Rupee
Yuan
KRW
SGD
Ringgit
Baht
Peso
1,1277
106,01
1,5609
0,3168
0,01754
13339
67,1525
6,5818
1173,19
1,3526
4,098
35,24
45,245
(0,23)
(0,34)
(0,50)
1,97
0,79
(0,34)
(0,49)
(0,37)
(0,67)
0,80
(0,72)
0,03
(0,72)
(0,73)
13,62
3,45
21,11
25,90
9,22
(1,40)
(3,33)
1,80
5,33
6,51
2,52
(1,18)
(3,88)
13,60
(5,55)
14,72
(19,81)
3,55
(1,43)
(1,44)
(0,04)
4,45
4,49
2,17
(2,65)
8,34
7,24
(12,76)
0,54
8,81
14,48
7,05
14,86
(4,80)
(6,70)
(2,44
0,57
3,23
10,18
1,44
1,33
(18,04)
(0,40)
12,81
6,57
(19,48)
5,27
(7,96)
(18,48)
(4,14)
(4,04)
10,35
9,64
T2 ---- Pasar Modal ---DJIA
S&P500
Nikkei
KOSPI
Brazil IBX
MICEX
SENSEX
JCI
Hangseng
Shanghai
STI
FBMKLCI
SET
PCOMP
17675,16
2071,22
15599,66
1953,4
20457,32
1877,07
21063,62
4835,143
20169,98
2885,105
2763,42
1624,18
1421,32
7622,07
(1,06)
(1,19)
(6,03)
(3,18)
0,19
(1,39)
1,47
(0,27)
(4,15)
(1,44)
(2,11)
(1,04)
(0,55)
1,49
T3 ---- Surat Berharga Negara ---Yield FR56
Kep, Asing*
7,59
38,62
0 bps
50 bps
N/A
15 bps
87 bps
41 bps
T4 ---- Komoditas ---Oil
CPO
Gold
Coal
Nickel
48
2450,00
1285,22
50,9
9,065,00
(2,71)
(5,04)
1,92
1,57
1,09
(9,10)
6,94
13,30
(12,32)
(28,90)
17,60
0,57
22,4
10,05
6,58
T5 ---- Rilis Data Minggu ini ---Produksi
sektor
industri
Inflasi
Penjualan
Ritel
Produksi sektor industri dan penjualan ritel Tiongkok pada bulan Mei masih
Suku Bunga
melanjutkan tren pertumbuhan positif pada bulan sebelumnya. Sementara
Acuan
itu, tingkat investasi Tiongkok melambat secara yoy akibat penurunan
investasi pada komoditas batu bara dan besi. Meskipun perkembangan
sektor industry dan retail relative stabil tetapi perlambatan investasi
meningkatkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi jangka menengah.
Tiongkok
Mei : 6.0
Apr : 6,0
Inggris
Eropa
AS
Mei : 0,3
Mei : -0,1
Mei : 0,5
Apr : 0,3
Apr : -0,1
Apr : 1,3
Inggris
AS
Mei : 0,9
Juni: 0,5
Apr : 1,9
Mei : 0,5
Inggris Juni: 0,5
Mei : 0,5
*) Data kepemilikan asing per (16 Juni 2016)
Inflasi India pada bulan Mei tercatat naik ke level tertinggi dalam 21 bulan terakhir didorong kenaikan harga bahan pangan dan
bahan bakar. Hasil tersebut menurunkan kemungkinan bagi bank sentral India untuk memangkas suku bunga acuannya tahun ini.
Penjualan ritel Brazil pada bulan April mengalami kenaikan dibanding bulan sebelumnya seiring dengan pertumbuhan penjualan bahan
pangan dan pakaian. Sebelumnya, para ekonom telah meningkatkan outlook ekonomi bagi negara tersebut untuk tahun 2016.
Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan
Penyusun: Syaifullah, Ronald Yusuf, Munafsin Al Arif, Alfan Mansur, Priska Amalia, Nurul Fatimah
Didukung oleh Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
Dokumen ini disusun hanya sebatas sebagai informasi. Semua hal yang relevan telah dipertimbangkan untuk memastikan informasi ini benar, tetapi tidak ada jaminan
bahwa informasi tersebut akurat dan lengkap serta tidak ada kewajiban yang timbul terhadap kerugian yang terjadi atas tindakan yang dilakukan dengan
mendasarkan pada laporan ini. Hak cipta Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
Perekonomian nasional
Neraca perdagangan Indonesia pada bulan Mei mencatatkan surplus sebesar USD0,38 miliar, lebih rendah dari surplus bulan
sebelumnya yang sebesar USD0,66 miliar. Penurunan surplus tersebut disebabkan oleh penurunan surplus nonmigas akibat peningkatan
impor nonmigas, seperti plastik dan barang dari plastik, serealia, gula dan kembang gula, biji-bijian berminyak, serta kapal terbang
dan bagiannya. Selain itu, penurunan surplus juga disebabkan oleh peningkatan defisit migas yang dipengaruhi oleh kenaikan impor
migas, khususnya minyak mentah.
Bank Indonesia (BI) menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,50 persen dan menetapkan suku bunga Deposit Facility turun sebesar
25 bps menjadi 4,50 persen serta Lending Facility turun sebesar 25 bps menjadi 7,00 persen. BI juga menetapkan penurunan BI 7-day
(Reverse) Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen. Dari sisi makroprudensial, BI melakukan pelonggaran kebijakan melalui
pelonggaran ketentuan Loan to Value Ratio (LTV) dan Financing to Value Ratio (FTV) pembiayaan properti untuk Rumah Tapak, Rumah
Susun, dan Ruko/Rukan serta pelonggaran pembiayaan melalui mekanisme inden dengan pengaturan pencairan kredit bertahap sesuai
perkembangan pembangunan untuk Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Ruko/Rukan sampai dengan fasilitas pembiayaan kedua. Lebih
lanjut, untuk mendorong kredit perbankan, BI menyesuaikan batas bawah Loan to Funding Ratio terkait Giro Wajib Minimum (GWMLFR) dari 78 persen menjadi 80 persen, dengan batas atas tetap di level 92 persen. Ketentuan mengenai suku bunga akan mulai
berlaku pada tanggal 17 Juni 2016 sementara mengenai makroprudensial mulai diberlakukan pada Agustus 2016.
Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2016 tercatat sebesar USD319,0 miliar atau tumbuh 6,3 persen yoy. Berdasarkan
jangka waktu, ULN jangka panjang meningkat 8,3 persen yoy sementara ULN jangka pendek masih mengalami penurunan sebesar 5,5
persen yoy. Berdasarkan kelompok peminjam, ULN sektor publik meningkat sebesar 15,7 persen yoy sementara ULN sektor swasta
masih mengalami penurunan 1,1 persen yoy.
Perkembangan komoditas global
Harga minyak mentah global ditutup menguat pada akhir perdagangan akibat pelemahan dolar AS serta di tengah wait and see atas
perkembangan Brexit. Namun demikian, secara mingguan harga minyak mentah masih menunjukkan pelemahan sebesar 2%. Harga
emas pada pekan ini ditutup menguat didorong oleh pelemahan dolar AS. Sejalan dengan penguatan harga logam mulia di pasar
global, harga batubara pada pekan ini ditutup menguat dipicu oleh penurunan persediaan batubara Tiongkok. Harga CPO di pasar
global ditutup menguat akibat pelemahan mata uang ringgit serta kenaikan harga minyak mentah.
Perkembangan sektor keuangan
Indeks global sebagian besar ditutup melemah secara mingguan ditengah keputusan FOMC Meeting yang tetap mempertahankan
tingkat suku bunga acuan serta wait and see atas perkembangan Brexit. Sejalan dengan pelemahan indeks saham global, nilai tukar
secara umum melemah terhadap dolar AS.
Di pasar keuangan domestik, IHSG mengalami pelemahan mingguan sebesar 0,27 persen didorong oleh sentimen ekonomi global. Dari
sisi aktivitas perdagangan, walaupun mengalami pelemahan, transaksi IHSG pada pekan ini membukukan volume transaksi yang lebih
tinggi dibandingkan pekan sebelumnya dengan transaksi investor non residen yang mencatatkan net buy sebesar 2,4 triliun.
Nilai tukar rupiah mencatatkan pelemahan mingguan, ditutup pada level Rp13,339 per USD. Pelemahan rupiah sejalan dengan
pelemahan sebagian besar nilai tukar global kecuali Dolar Singapura, Real, Rubel dan Baht yang melemah secara mingguan. Tekanan
terhadap nilai tukar rupiah mengalami volatilitas yang meningkat di akhir pekan sebagaimana tercermin dari spread antara nilai spot
dan non deliverable forward 1 bulan. Di tengah kebijakan terkini the Fed yang cenderung dovish, nilai tukar rupiah diperkirakan akan
mengalami tekanan dalam jangka pendek didorong oleh kebijakan BI yang menurunkan suku bunga acuan.
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report
2
ISU UTAMA: Momen Positif Pertumbuhan Ekonomi Diharapkan Akan Terus Berlanjut





The Fed masih berhati-hati dalam memutuskan suku bunga acuan.
Neraca perdagangan bulan Mei 2016 mencatatkan surplus.
BI rate dan BI 7-day (Reverse) Repo Rate turun masing-masing sebesar 25 bps.
Kebijakan makroprudensial diperlonggar.
Harapan untuk permintaan domestik dapat meningkat akan dihadapkan pada tantangan kondisi moneter yang sedang berada
dalam tren menurun.
The Fed masih berhati-hati
Perkembangan pasar tenaga kerja AS terkini, seperti misalnya jumlah tambahan pekerjaan selama bulan Mei 2016 yang
mencatatkan rekor terendah sejak 2010, menunjukkan bahwa pemulihan perekonomian AS belum terlalu kuat. Kondisi inilah yang
kemudian melatarbelakangi keputusan the Fed pada minggu lalu (16/06) untuk mempertahankan suku bunga acuannya tetap di
level 0,25 persen-0,5 persen. Selain kondisi dalam negeri AS yang belum solid, keputusan the Fed tersebut sedikit banyak juga
dipengaruhi oleh kondisi global, terutama ancaman keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) yang referendumnya akan
dilaksanakan pada 23 Juni mendatang. Sampai dengan akhir 2016, the Fed mengindikasikan bahwa peluang untuk kenaikan FFR
masih terbuka seiring peningkatan proyeksi inflasi AS pada tahun ini yang menuju ke level 2 persen.
Surplus neraca perdagangan Indonesia
Di tengah perkembangan perekonomian AS dan global yang belum solid, neraca perdagangan Indonesia untuk bulan Mei 2016
mencatatkan surplus sebesar 0,38 miliar dolar AS, lebih rendah dari surplus bulan sebelumnya sebesar 0,66 miliar dolar AS. Hal
ini disebabkan oleh surplus sektor nonmigas yang mengalami penurunanan dan defisit sektor migas yang mengalami peningkatan.
Dari sisi ekspor, AS, Jepang, dan Tiongkok merupakan tiga negara terbesar tujuan ekspor nonmigas Indonesia. Mengingat belum
solidnya kondisi perekonomian di negara-negara tersebut, kontribusi ekspor terhadap perekonomian Indonesia juga akan terbatas.
Sementara itu dari sisi impor, nilai impor bahan baku dan barang modal selama periode Januari-Mei 2016 secara rata-rata
mengalami penurunan sebesar 14,80 persen yoy, sebaliknya impor barang konsumsi pada periode yang sama mengalami
peningkatan sebesar 14,15 persen yoy. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat daya saing dan produktivitas industri di dalam negeri
semakin menurun, sehingga hal ini perlu dicermati oleh Pemerintah khususnya oleh Pembina sektor terkait.
Pelonggaran kebijakan moneter
Menyusul keputusan the Fed yang menahan suku bunga acuannya, melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, BI rate diturunkan
sebesar 25bps menjadi 6,50 persen. Deposit facility rate, lending facility rate, dan BI 7-day (Reverse) Repo Rate juga diturunkan
menjadi masing-masing 4,50 persen, 7,00 persen, dan 5,25 persen. Berlanjutnya stabilitas makroekonomi di dalam negeri,
rendahnya inflasi, dan defisit transaksi berjalan yang relatif terkendali serta nilai tukar rupiah yang relatif stabil merupakan halhal yang melatarbelakangi keputusan BI tersebut. Hal yang menjadi perhatian adalah pelonggaran kebijakan moneter BI tidak
diikuti penurunan suku bunga kredit perbankan secara signifikan. BI rate tercatat telah turun sebesar 75 bps hingga bulan Mei dan
100 bps hingga bulan ini, sementara suku bunga kredit perbankan, misalnya untuk investasi dan modal kerja, hanya turun sebesar
±39-50 bps dan hanya ±12 bps hingga Mei 2016. Suku bunga perbankan yang mengalami penurunan relatif hampir sama
besarnya dengan BI rate adalah suku bunga deposito jangka pendek (tenor 1 bulan dan 2 bulan). Oleh karena itu, NIM perbankan
telah mengalami kenaikan sebesar 3,19 persen secara ytd hingga April 2016.
Pelonggaran kebijakan makroprudensial dan kondisi moneter
Selain pelonggaran kebijakan moneter, BI juga melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial melalui relaksasi ketentuan
Loan to Value Ratio (LTV), Financing to Value Ratio (FTV), dan Loan to Funding Ratio terkait Giro Wajib Minimum (GWM-LFR) serta
ketentuan pembiayaan melalui mekanisme inden dengan pengaturan pencairan kredit bertahap sesuai perkembangan
pembangunan untuk Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Ruko/Rukan sampai dengan fasilitas pembiayaan kedua. Pelonggaran
kebijakan makroprudensial bersama dengan pelongggaran kebijakan moneter diharapkan akan mampu mendorong peningkatan
permintaan domestik secara signifikan, sehingga pada akhirnya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan melalui kredit.
Hanya saja, hal yang patut dicermati adalah kondisi moneter di dalam negeri termasuk permintaan atas pinjaman baru yang
berada dalam tren menurun. Sejak Q3 2015 hingga Q1 2016, berdasarkan survei BI, permintaan atas pinjaman baru telah
mengalami penurunan secara berturut – turut. Sementara itu, pertumbuhan uang beredar luas secara riil juga melambat dari 5,37
persen yoy pada Q4 2015 menjadi 3,01 persen yoy pada Q1 2016. Pertumbuhan kredit baik dari bank maupun nonbank juga
tercatat terus menurun masing-masing menjadi sebesar 9,70 persen yoy dan 0,55 persen yoy pada Q1 2016. Kondisi inilah yang
kan menjadi tantangan tersendiri pada tahun ini.
Kebijakan yang berorientasi supply side seperti penurunan suku bunga dan berbagai paket kebijakan yang telah diluncurkan oleh
Pemerintah sebelumnya memang penting, tetapi dampaknya baru akan terasa dalam jangka panjang (Basri, 2016). Oleh karena
itu, kombinasi dengan kebijakan yang berorientasi jangka pendek juga sangat diperlukan, sehingga dapat mendorong peningkatan
permintaan domestik secara cepat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Kebijakan pemerintah, seperti program cash
transfer dan proyek–proyek jangka pendek, termasuk juga realisasi gaji ke-13 dan 14 serta kenaikan batas Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah
pengendalian inflasi dan harga bahan makanan untuk menjaga daya beli masyarakat tetap stabil. Berbagai hal tersebut akan
dapat mendorong peningkatan konsumsi masyarakat secara instan yang pada gilirannya akan memberikan efek pengganda untuk
peningkatan investasi dan akhirnya ekonomi nasional dapat tumbuh mengingat konsumsi masyarakat merupakan komponen
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 3
penggerak utama.
Perkembangan Ekonomi Global dan Domestik
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report
4
Download