BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perhatian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Perhatian masyarakat dunia mengenai keterwakilan perempuan dalam
parlemen semakin meningkat dan menjadi diskusi yang cukup menarik. Hal
tersebut disebabkan oleh semakin berkembangnya peranan perempuan yang lebih
kompleks dalam kehidupan sosial. Perempuan memiliki peran penting dalam
pembangunan suatu bangsa. Peranan tersebut ditunjang dan ditegaskan dalam
konvensi Convention on the elimination of All Forms of Discrimination against
Women (CEDAW) dan kebijakan-kebijakan pada masing-masing negara dan
menempatkan perempuan sebagai makhluk sosial yang berhak memiliki hak yang
sama dengan laki-laki dalam sistem sosial dan politik. India merupakan negara
yang telah meratifikasi CEDAW kedalam konstitusi India pada tahun 1993. Salah
satu yang menjadi bahasan dan diskusi menarik adalah India sebagai salah satu
negara yang demokrasi memiliki problematika dalam permasalahan perempuan
dalam parlemen baik dalam sistem peranan maupun kuota perempuan dalam
parlemen.
Isu kesetaraan hak perempuan merupakan problematika yang rumit. Hal
tersebut disebabkan oleh kompleksnya permasalahan hak dan kesetaraan
perempuan dalam politik. Kesetaraan perempuan dalam bidang politik tidak
semata-mata berdasarkan jumlah kuota namun juga menyangkut status sosial
perempuan dalam kehidupan sosial. Selain itu juga dapat dilihat dari
13
perbandingan biologis perempuan dan laki-laki, budaya dan tradisi setempat
(sistem patriarkal), tingkatan sosial (sistem kasta), rendahnya tingkat pendidikan
perempuan, dan ketidakstabilan sistem ekonomi.
Pasca diratifikasinya CEDAW dalam konstitusi India, muncul berbagai
gerakan perempuan India sebagai wadah dalam memperjuangkan kesetaraan.
Dasar dari munculnya gerakan perempuan adalah sebagai usaha terpenuhinya
kuota perempuan dalam parlemen. Beberapa aktivis perempuan di India antara
lain, Sister Nivedita (1867-1911), Sarala Devi Chowdhury (1872-1945), Sarojini
Naidu (1879-1949), Asa Lata Sen (1894-1986), Manorama Basu (1897-1987),
Swanrakumari Devi, Vasundhara Raje dan Mayawati. Dalam studi kasus
penelitian ini penulis akan mengambil tokoh Mayawati sebagai tokoh yang
berperan aktif dalam parlemen.
Pada tahun 1984 Mayawati muncul sebagai anggota partai BJP (Bahujan
Shamaj Party) yang banyak memberikan perhatian mengenai hak perempuan
Dalit (outer class) dalam politik pemerintahan India. Mayawati merupakan salah
satu perempuan Dalit pertama yang maju mencalonkan diri didalam parlemen
melalui wilayah Uttar Pradesh. Mayawati membawa salah satu misi yakni
penyetaraan perempuan dalam politik parlemen India khususnya perempuan Dalit.
Pada saat Mayawati masuk menjadi anggota parlemen, Mayawati berusaha
memperbaiki posisi Dalit dan kelompok minoritas lainnya melalui tindakan
afirmatif dengan membuka lapangan pekerjaan bagi Dalit dalam jabatan
pemerintahan dan menyediakan program-program pembangunan pedesaan.
Mayawati mengatakan dalam sebuah jumpa pers di ibukota negara Locknow,
14
bahwa Kongres sangat bias terhadap kaum Dalit dan tidak melakukan tindakan
apapun untuk memperbaiki situasi kasta (Liz, 2 Desember 2013). Mayawati juga
mendesak Partai Kongres untuk memelihara kepemimpinan Dalit sistematis di
setiap tingkat, dari panchayat (dewan desa) ke tingkat parlemen (Liz, 2 Desember
2013). Tindakan-tindakan tegas diambil Mayawati sebagai upaya penghapusan
segala bentuk diskriminasi kaum Dalit terutama kaum Dalit perempuan untuk
masuk dalam parlemen.
Setiap partisipasi politik perempuan di India memerlukan studi tentang
peranan mereka selama gerakan kebebasan dan peran mereka dalam proses politik
dan organisasi. Peran ini seperti diketahui dipengaruhi oleh agama, adat istiadat,
patriarkhi, dan faktor lainnya. Jika melihat dari beberapa laporan mengenai
keterlibatan perempuan dalam parlemen, India masih berada pada peringkat yang
cukup jauh dibandingkan dengan negara demokrasi lainnya.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh SIGI (Social Institutions and Gender
Index) pada tahun 2012 mengenai diskriminasi terhadap wanita India berada pada
peringkat 56 dari berapa negara 102 negara (Index, 2012). Sedangkan pada
laporan UNDP (India Factsheet Gender and Social Exclusion Indicators) yang
dikeluarkan pada tahun 2011 dalam perhitungan GDI (Gender Related
Development Index) pada poin 0.5904 pada peringkat 96 dari 136 negara
(Jeyalakshmi S dkk. Ministry of Women and Child Development, 2009), GEM
(Gender Empowerment Measure) 0.497 peringkat 58 dari 126 negara (UNDP,
2011), dan pada perhitungan GII (Gender Inequality Index) pada poin 0.617
peringkat ke 129 dari 146 negara (UNDP, 2011). Ini menyatakan bahwa
15
diskriminasi terhadap anak dan perempuan di india masih berada pada posisi yang
kurang baik.
Reformasi hukum dan kebijakan di India menuntut analisis untuk
menentukan bagaimana perempuan Dalit turut aktif dalam memperjuangkan hak
mereka dalam hal partisipasi politik dan sejauh mana partisipasi menjadi alat yang
efektif untuk memperjuangkan hak-hak kaum minoritas.
I.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, membawa
penulis pada pertanyaan:
Bagaimana peran Mayawati dalam memperjuangkan hak dan representasi
politik perempuan Dalit dalam pemerintahan India?
I.3
Landasan Konseptual
Landasan konseptual adalah serangkaian konsep, definisi dan preposisi
yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis
tentang suatu fenomena pada umumnya. Adapun beberapa konsep yang menjadi
landasan berfikir penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
I.3.1
Hak Asasi Manusia dalam Convention on the elimination of All
Forms of Discrimination against Women (CEDAW)
Convention on the elimination of All Forms of Discrimination
against Women (CEDAW) adalah salah satu konvensi utama internasional
hak asasi manusia yang membahas secara spesifik penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan sosial.
16
Diawali dengan konferensi internasional tahunan perempuan yang
diadakan di Mexico city pada tahun 1975 dan kemudian konferensi
internasional forum LSM di Kopenhagen tahun 1980 dan 1985 serta di
Nairobi pada tahun 1990 dan kenferensi besar yaitu konferensi Wina pada
tahun 1993 (Rhona, 2006 p. 27). Berdasarkan resolusi Mahkamah Umum
No. 34/180 tanggal 18 Desember 1979, CEDAW terbuka untuk diadopsi
dan diratifikasi oleh negara anggota PBB. Tiga tahun kemudian CEDAW,
yang memuat 30 pasal, secara formal dinyatakan sebagai dokumen
internasional (entry into force) tertanggal 3 September 1981.
CEDAW pada dasarnya memiliki tiga prinsip utama. Pertama,
prinsip persamaan menuju persamaan substantif yakni memandang
persamaan hak lelaki dan perempuan. Kedua, prinsip non-diskriminasi
terutama diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pemenuhan
kebebasan-kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Ketiga, prinsip
kewajiban negara bahwa negara peserta adalah aktor utama yang memiliki
tanggungjawab untuk memastikan terwujudnya persamaan hak lelaki dan
perempuan dalam menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan
politik (Rhona, 2006, p. 24-25).
CEDAW melihat ada beberapa masalah yang dihadapi kaum
perempuan. Pertama, kebijakan-kebijakan negara termasuk peraturan
perundang-undangan
yang
memuat
aturan
diskriminatif
terhadap
perempuan masih belum menemukan titik terang. Kedua, situasi dimana
partisipasi perempuan ditingkat politik, sosial, ekonomi dan budaya masih
17
rendah bahkan diabaikan. Ketiga, adanya fakta dimana kemiskinan kaum
perempuan berkaitan erat dengan pelanggaran terhadap akses atas pangan,
kesehatan, pendidikan, pelatihan dan peluang untuk mendapatkan
pekerjaan. Keempat, penghapusan dan eliminasi terhadap dominansi atas
perempuan masih merupakan hal kontroversial, negara sering enggan
bersentuhan dengan sistem domestik seperti peraturan adat, dan agama
(Rhona, 2006, p 148-150).
I.3.2
Sistem Kasta
Kata kasta berasal dari bahasa Portugis, Casta yang berarti
berkembang biak, ras, atau jenis. Di antara istilah India yang kadangkadang diterjemahkan sebagai kasta adalah varna atau warna, sebenarnya
mengacu pada divisi besar yang meliputi berbagai kasta, atau istilah lain
termasuk jati, biradri, dan Samaj kasta dan subdivisi dari kasta kadangkadang disebut sub-kasta (Sekhar, 2010, p. 1-6). Secara historis sistem
kasta telah membentuk kerangka sosial dan ekonomi bagi kehidupan
orang-orang di India. Dalam bentuk esensial, kasta sebagai sistem
pemerintahan sosial dan ekonomi didasarkan pada prinsip-prinsip dan
aturan adat yang:
Melibatkan pembagian orang ke dalam kelompok-kelompok sosial
(kasta) dimana tugas dan hak ditentukan oleh kelahiran turuntemurun.
Penetapan hak-hak dasar di antara berbagai kasta adalah tidak sama
dan hirarkis.
18
Sistem ini dipertahankan melalui penegakan kaku pengucilan sosial
(sistem hukuman sosial dan ekonomi) dalam hal terjadi
penyimpangan.
Secara tradisional, kasta, ditentukan oleh kelahiran darah,
pernikahan dan pekerjaan. Asal muasal keturunan secara historis adalah
inti dari sistem kasta. Sehingga dengan dasar unsur-unsur filosofis kasta
tersebut yang kemudian membentuk dan membangun dasar-dasar moral,
sosial dan hukum masyarakat Hindu (Indianet.nl, 2006, p. 6).
Sistem kasta adalah struktur kelas hirarki Hindu yang berakar di
India sejak ribuan tahun. Dalam tingkatannya yang disebut Varna, sistem
kasta terdiri dari Brahmana (pendeta), Ksyatriyas (prajurit), Vaisyas
(petani atau pedagang), Sudra (buruh-pengrajin), (Hanchinamani, 2013, p.
6), dan Dalit, yang dianggap begitu tercemar karena berada di luar kasta.
Dalit adalah arti secara bahasa tulisan Hindi India adalah “orang yang
berantakan, rusak, tertekan atau tertindas (Indianet.nl, 2006, p 3),
untouchable (Andharia, 2008, p. 1), atau backward caste”, maka dengan
demikian Dalit merpakan golongan atau kelompok dari orang-orang
anggota terendah dari sistem kasta Hindu di India. Kemudian dalam
sisitem politik India dalit diganti dengan istilah Schedule caste.
I.3.3
Patriarkhi Perempuan di India
Sistem patriarkhi merupakan sebuah sistem sosial dimana dalam
tata kekeluargaan ayah menguasai menguasai segalanya mulai dari anggota
keluarga, harta sampai pengambilan keputusan. Dewasa ini Pengertian
19
sistem sosial patriarkhi mengalami perkembangan dari “hukum ayah (role
of father)” ke hukum suami, hukum laki-laki secara umum pada hampir
semua aspek sosial, politik, ekonomi (Steans, 1998, p. 19). Perkembangan
Stereotype tersebut melekat pada masyarakat terutama laki-laki India yang
menyatakan bahwa perempuan hanya bekerja pada pekerjaan reproduksi
bukan produksi, begitu pula di dunia politik (Raman, 2009, p. 43).
I.3.4
Feminis Liberal
Feminis liberal berkembang pada abad ke-18, dimana kehidupan
kaum perempuan dianggap sebagai kaum marginal oleh sekelompok
masyarakat dan pemerintah dalam berbagai kebijakan. Feminis liberal
beranggapan bahwa secara sejarah turun-temurun segala perilaku dan
kebijakan negara tidak pernah berdasarkan pada kesetaraan terhadap
perempuan
(Steans,
1998).
Munculnya
paham
Feminis
Liberal
berkembang, ditulis oleh Mary Wollstonecraft pada tahun 1792 atau pada
abad ke 18 dengan karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman.
Pada Feminis liberal yang dimaksudkan pada masa tersebut adalah
berfokus
pada
tahun-tahun
1830-1840
dimana
sejalan
terhadap
pemberantasan praktek perbudakan, perempuan hanya dijadikan sebagai
alat reproduksi dalam lingkup keluarga dan sosial. Hal tersebut diharapkan
Wollstoncraft untuk dirubah menjadi keturutsertaan perempuan dalam
aspek sosial dan politik sehingga perempuan tidak lagi sebagai alat namun
menjadi aktor. Sehingga dalam konteks lebih dalam mereka diberi
kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih. Yang kemudian
20
menjadikan kesimpulan Wallstoncraft dalam memberikan kesetaraan yang
layak bagi perempuan dan memberikan kebebasan setiap individu
termasuk perempuan dalam memainkan peranan politik dan sosial (T.
Rosemarie, 2009, p. 11-45).
Pada
abad
ke-19
kemudian
partisipasi
perempuan
yang
dimaksudkan oleh Wallstonecraft tersebut berkembang menjadi partisipasi
aktif. Partisipasi aktif yang kemudian melibatkan beberapa kelompokkelompok
sosial.
Kelompok-kelompok
sosial
tersebut
kemudian
membentuk organisasi baik independen swasta maupun berbasis negara
untuk membawa masalah ini ke permukaan publik. Kelompok-kelompok
sosial atau organisasi tersebut kemudian memperjuangkan hak-hak
perempuan. Tujuan umum dari kelompok ini adalah untuk meningkatkan
status perempuan dengan menerapkan hukum, sosial, dan lainnya.
Perkembangan feminis liberal kemudian mengarah kepada bagaimana
memberikan pendidikan berbasis feminis dan perjuangan-perjuangan hak
perempuan secara setara dalam sosial politik ini.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan
rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama
dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan lakilaki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias
gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar
prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya
memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan
21
di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk
menentang diskriminasi baik secara diskriminasi seksual, bidang politik,
sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks India, reformasi hukum
yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan
dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
Dalam perkembangan berikutnya, pandangan kaum Feminis
Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruh tersendiri
terhadap perkembangan pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk
melakukan kegiatan politik seperti keterwakilan dalam membuat kebijakan
di sebuah negara. Kesetaraan yang dimaksud adalah kesetaraan dalam hal
kuota (Dahlerup, 2005). Dan feminis liberal beranggapan bahwa negara
harus menjamin hal ini dalam bentuk sebuah legalitas undang-undang
sehingga kesetaraan yang diharapkan dapat tercapai (Steans, 1998).
Menurut Karam dan Lovenduski beranggapan bahwa keterwakilan
perempuan merupakan hal penting, karena diyakini dapat memberikan
perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik
untuk masyarakat.
Azza Karam dan Joni Lovenduski tidak hanya melihat pentingnya
jumlah perempuan di parlemen saja, sebaliknya mengalihkan ke titik apa
yang sebenarnya dapat kaum perempuan lakukan di parlemen (bagaimana
mereka dapat mempengaruhi), berapa pun jumlah mereka. Menurut
keduanya, perempuan mempelajari aturan main, dan menggunakan
pengetahuan dan pemahaman ini untuk mengangkat isu dan persoalan
22
perempuan dari dalam di badan pembuat undang-undang (legislatur)
dunia.
Karam dan Lovenduski menekankan bahwa kendati hanya satu
kehadiran perempuan pun di dalam parlemen, maka diyakini ia mampu
membawa suatu perubahan. Namun tentunya untuk perubahan yang
signifikan diperlukan juga keterwakilan perempuan dalam jumlah yang
signifikan. Perubahan yang diusung oleh anggota parlemen perempuan ini
dikarenakan mereka memiliki perbedaan dengan kaum laki-laki dalam hal
isi dan prioritas pembuatan keputusan. Isi dan prioritas pembuatan
keputusan antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh kepentingan,
latar belakang dan pola kerja kedua jenis kelamin itu. Perempuan
cenderung memberikan prioritas pada masalah-masalah kemasyarakatan,
seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan masyarakat, isu anak-anak dan
perempuan. Sedangkan laki-laki mendominasi arena politik: laki-laki
memformulasikan aturan-aturan permainan politik cenderung memberikan
prioritas pada masalah-masalah kemasyarakatan, seperti jaminan sosial,
pelayanan kesehatan masyarakat, isu anak-anak dan perempuan.
Sedangkan
laki-laki
mendominasi
arena
politik:
laki-laki
memformulasikan aturan-aturan permainan politik (Lovenduski, 2005).
Menurut Karam dan Lovenduski anggota parlemen perempuan
akan melalui tiga tahap untuk mewujudkannya. Langkah pertama yang
dilakukan perempuan anggota parlemen adalah untuk memahami
bagaimana bekerjanya legislator dalam rangka untuk dapat menggunakan
23
pengetahuannya sehingga dapat bekerja secara lebih efektif. Tahap kedua,
yakni dengan mempelajari bagaimana menggunakan aturan-aturan yang
ada, sehingga perempuan dapat meraih peluang untuk ikut serta dalam
posisi dan komite-komite kunci, membuat diri mereka didengar dalam
pembahasan dan debat-debat, dan dapat menggunakan sepenuhnya
keahlian dan kemampuan mereka. Hal terakhir yang akan dilakukan oleh
para anggota parlemen perempuan adalah dengan mengawal perubahan
aturan dan struktur yang ada, dan untuk membantu generasi baru politis
perempuan. Setelah tiga tahapan tersebut dilewati, maka anggota parlemen
yang perempuan tersebut akan melakukan perubahan di dalam empat
bidang yakni meliputi institusional atau prosedural, representasi, pengaruh
terhadap output dan diskursus (Lovenduski, 2005, p 141-153).
Kemudian dapat disimpulkan bahwa konsep feminis liberal dan
keterwakilan politik menekankan bahwa pengecualian perempuan berakar
dalam keterbatasan hukum adat atau budaya tradisional sehingga
menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik atau politik
(Held, 2006). Kembali kepada akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan
kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, yang
memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak
yang sama juga dengan laki-laki. Kini perempuan telah mempunyai
kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus
menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas
berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
24
I.4
Hipotesa
Di masa sekarang, perempuan tidak lagi dipandang dalam logika patriarki
yang sangat tradisional. Perempuan telah dipandang memiliki hak yang sama
dengan laki-laki dalam pemerintahan. Cara pandang tersebut juga berlaku di
India. Mayawati misalnya, adalah salah satu contoh tokoh perempuan yang
memiliki peranan cukup penting di India. Mayawati yang juga merupakan
perempuan dalit, memperjuangkan
hak perempuan dalit dalam pemerintahan
dimana dia menjadi dewan perwakilan dari salah satu partai BSP (Bahujan Samaj
Party). Namun politik perwakilan melalui kuota tidak menyebabkan partisipasi
politik yang efektif bagi mayoritas perempuan Dalit. Kendala utama adalah
diskriminasi para perempuan yang berasal dari hirarki kasta yang telah tertanam
secara historis. Karena kasta mempengaruhi profil, loyalitas, dan tugas dari para
wakil rakyat di Parlemen India. Oleh sebab itu, sekalipun India bisa dikatakan
telah membuat kemajuan dalam memberikan kesempatan berpolitik bagi
perempuan, tetapi kesempatan bagi perempuan untuk berpolitik di India masih
terhalang oleh sistem kasta, terutama bagi kasta Dalit yang masih menerima
diskriminasi dan penganiayaan oleh anggota kasta atas (elit).
I.5
Metode Penelitian
Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif. Dengan metode kualitatif penulis mencari sumber data melalui studi
kepustakaan. Penulis akan menggunakan metode studi literatur yang bersumber
dari karya tulis dan bahasan-bahasan pada buku-buku, artikel, jurnal, website,
25
surat kabar, dan majalah untuk merumuskan jawaban yang komprehensif bagi
rumusan masalah.
I.6
Jangkauan Penelitian
Penelitian ini akan dibatasi pada periode tahun 1989-2011. Hal ini
mengacu pada periode waktu dimana Mayawati mulai masuk dalam pemerintahan
India pada 1989 dengan diusung oleh Bahjan Samaj Party dan berakhir pada
2011. Hal ini dilakukan guna melihat signifikansi tingkat keterwakilan perempuan
di India melalui perjuangan Mayawati terhadap hak perempuan Dalit dalam
politik pemerintahan di India.
I.7
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi yang berjudul Peran Mayawati dalam
memperjuangkan hak perempuan dalit dalam politik pemerintahan India
diantaranya:
Bab I akan menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, hipotesa, metode penelitian, jangkauan penulisan dan sistematika
penulisan.
Bab II, dalam bab ini penulis menguraikan sistem perpolitikan di India dan
posisi perempuan dan perempuan dalit pada khususnya dalam Posisi Perempuan
Dalit dalam Politik Pemerintahan India. Kemudian penulis menguraikan
Mayawati sebagai wanita Dalit yang dapat masuk kedalam parlemen dan
26
menduduki posisi yang tinggi disebuah negara bagian dan menjadi anggota
parlemen.
Bab III, Peran dan tindakan-tindakan yang dilakukan Mayawati dalam
Memperjuangkan Hak Perempuan Dalit dalam Politik pemerintahan India.
Perjuangan dalam pengupayaan peninjauan kembali women reservation bill.
BAB IV, dalam bab ini penulis akan mencoba menganalisis dari presfektif
hak asasi dan feminis liberal dalam melihat tindakan-tindakan Mayawati dalam
memperjuangkan hak perempuan Dalit dalam Politik Pemerintahan India.
BAB V, dalam bab ini penulis akan menarik kesimpulan dari permasalah
yang telah dibahas dari bab-bab sebelumnya.
27
Download