BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN

advertisement
BAB II
PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN
DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK
A. Sejarah Hubungan Diplomatik
Meningkatnya kerja sama antar negara dalam menggalang perdamaian dunia
demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial maka
tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan
diplomatik khususnya perkembangan kodifikasi hukum diplomatik memang tidak
begitu pesat sebelum didirikannya badan Perwakilan Bangsa-Bangsa.20
Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan
hubungan diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada Kongres Wina tahun 1815
raja-raja yang ikut dalam konferensi sepakat untuk mengodifikasi hukum kebiasaan
tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai dan mereka
hanya menghasilkan satu naskah saja yaitu hirarki diplomat yang kemudian
dilengkapi dengan protokol Aix-La-Chapelle pada tanggal 21 November 1818.
Kongres Wina dari segi substansi praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik
yang sudah ada sebelumnya selain menjadikannya sebagai hukum tertulis. 21
20
Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Bandar Maju, 1992, Halaman:
32.
21
Niam, Sejarah Hubungan Diplomatik Antar Negara,Sumber:
https://masniam.wordpress.com/2009/03/21/sejarah-hubungan-diplomatik-antar-negara/ Diakses: 28
Januari 2015
Universitas Sumatera Utara
Kemudian pada tahun 1927 dalam kerangka Liga bangsa-bangsa (LBB)
diupayakanlah kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai
komisi ahli ditolak oleh dewan LBB tersebut. Alasannya yaitu belum waktunya untuk
merumuskan kesepakatan global mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan
diplomatik yang cukup kompleks. karena itu, memutuskan untuk tidak memasukkan
masalah tersebut dalam agenda konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada
tahun 1930 untuk kodifikasi hukum internasional. 22
Disamping itu, di Havana pada tahun 1928 konferensi ke-6 organisasi negaranegara amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama Convention of Diplomatik
Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara Amerika, kecuali Amerika Serikat
yang mendatangani saja dan tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan
yang menyetujui pemberian suaka politik. Mengingat sifatnya yang regional
implementasi konvensi ini tidak menyeluruh. 23
Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis
Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut: 24
“1. majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulanusulan (recoomendations) dengan tujuan: Memajukan kerjasama internasional di
bidang politik, dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional
secara progresif dan pengodifikasiannya; Memajukan kerjasama internasional di
bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan
membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan
dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin,
bahasa, ataupun agama.”
22
Ibid.
Ibid.
24
Ayunika, Peranan Hukum Diplomatik Terhadap Perlindungan Hak-Hak Tenaga Kerja
Indonesia Di Luar Negeri, Skripsi Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara, 2013, Halaman: 60.
23
Universitas Sumatera Utara
Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik
pembahasan yang didalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik, terutama
mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai
hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas. 25
Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat
perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik,
maka atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada tahun 1953 menerima
resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional memberikan prioritas untuk
melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.
Pada tahun 1954, Komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan
kekebalan diplomatik, dan sebelum berakhir 1959 Majelis Umum melalui resolusi
1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional
guna membahas maslah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan
keistimewaan diplomatik. 26
Konferensi tersebut dinamakan “The United Nations Conference on
Diplomatik Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2
Maret 1961–14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena
kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut
pada 1815. Konferensi ini dihadiri oleh delegasi dari 81 negara, 75 diantaranya
25
26
Ibid.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
adalah anggota-anggota PBB dan enam lagi adalah delegasi dari badan-badan yang
berhubungan
dengan
Mahkamah
Internasional. 27
Konferensi
menghasilkan
instrumen-instrumen, yaitu:
1. Vienna Convention on Diplomatik Relations,
2. Optional Protocol Concerning Aqcuisition of Nationality, dan
3. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
Di antara ketiga instrumen tersebut Konvensi Wina tentang hubungan
diplomatik (Convention on Diplomatik Relations), 18 april 1961 merupakan yang
terpenting.28
Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan
hanya satu negara abstain. Pada 18 april 1961, wakil dari 75 negara menandatangani
Konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun
kemudian, pada 24 april 1964, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini
dinyatakan mulai berlaku. Kini hampir seluruh negara didunia telah meratifikasi
konvensi tersebut,termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU Nomor 1
Tahun 1982 pada 25 Januari 1982. Pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam
Konvensi Wina tersebut digarisbawahi oleh Mahkamah Internassional dalam kasus
United States Diplomatik and Consular Staff in
Teheran melalui ordonansinya
tertanggal 15 Desember 1979, dan pendapat hukumnya (Advisory Opinion) tertanggal
27
Edy Suryono. Op.Cit Halaman : 37
T. May Rudi, Teori, Etika Dan Kebijakan Hubungan Internasional, Angkasa, Bandung,
1993. Halaman: 3
28
Universitas Sumatera Utara
24 Mei 1980. Konvensi wina ini merupakan kode diplomatik yang sebenarnya.
Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi ini tetap berlaku sepertii tersebut dalam
alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan: “…that
the rules of customary international law should continue to govern question not
expressly regulated by the provisions of the present Convention.” 29
B. Fungsi dan Tujuan Pejabat Missi Diplomatik
Secara tradisional, fungsi pejabat missi diplomatik, baik duta besar maupun
pejabat diplomatiknya adalah untuk mewakili negaranya dan mereka itu bertindak
sebagai suara dari pemerintahnya disamping sebagai penghubung antara pemerintah
negara penerima dan negara pengirim. Mereka juga bertugas untuk melaporkann
mengenai keadaan dan perkembangan di negara dimana mereka di akreditasikan
termasuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan negaranya dan warga
negaranya di negara penerima. 30
Fungsi pejabat missi diplomatik pada dasarnya hanya berhubungan dengan
persoalan politik, tetapi pada saat ini sulit bagi kita untuk memisahkakn antara politik
dengan aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itulah fungsi
pejabat
missi
diplomatik
lama
kelamaan
juga
berubah,
bukan
hanya
menyelenggarakan hubungan politik saja, tetapi sudah jauh masuk ke bidang
29
Syahmin, Hukum Diplomatik, Rajagrafindo, Jakarta, 2008, Halaman : 16-17
Sumaryo Suryokusummo, Hukum Diplomatik Dan Konsuler, Jakarta : Tatanusa, 2013,
Halaman : 69
30
Universitas Sumatera Utara
perdagangan, keuangan, perindustrian dan lain sebagainya, yang sbenarnya
merupakan wewenang konsuler.
Pejabat missi diplomatik ada yang bersifat tetap (permanent), dan ada pejabat
missi diplomatik yang bersifat sementara (ad hoc). Lingkup fungsi pejabat missi
diplomatik sementara (ad hoc) sangat terbatas, begitu pula rentang waktu dan
urusannya misalnya dalam menghadiri konferensi antarnegara, menandatangani
perjanjian, melakukan negoisasi khusus. 31
Fungsi pejabat missi diplomatik tetap (permanent) adalah melaksanakan
seluruh tugas yang dibebankan oleh negara pengirim dinegara penerima sesuai
dengan kesepakatan kedua negara sepanjang tidak bertentangan dengan Konvensi
Wina tahun 1961 dan konvensi lain yang berkaitan dengan hubungan diplomatik. 32
Berikut ini beberapa fungsi pejabat missi diplomatik seperti yang tercantum dalam
Konvensi Wina 1961 :
Article 3
1. The function of a diplomatik mission consist, inter alia, in:
(a) Representing the sending state in the receiving state;
(b) Protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its
national, within the limits permitted by international law;
(c) Negotiating with the government of the receiving state;
(d) Ascertaining by all lawful means conditions and developments in the
receiving state, and reposting thereon to the government of the sending
state;
(e) Promoting friendly relations between the sending state and the receiving
state, and developing their economic cultural and scientific relations.
31
32
Widodo, Hukum Kekebalan Diplomatik, Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2009, Halaman: 50.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi pejabat missi diplomatik adalah sebagai berikut:
1. Mewakili negaranya dinegara penerima
Perwakilan diplomatik yang dibuka oleh suatu negara ke negara lain
merupakan suatu perwakilan yang permanen (permanent mission) dan
mempunyai tugas dan fungsi yang cukup beragam (ius representationis
omnimodo) yaitu hak keterwakilan sesuatu negara secara keseluruhan. Tugas
utama seorang duta besaar adalah untuk mewakili negara pengirim di negara
penerima dan untuk bertindak sebagai saluran hubungan yang resmi antara
pemerintah dari kedua negara. Disamping itu tujuan pokok dari pembukaan
hubungan diplomatik adalah untuk memudahkan hubungan resmi antara
negara dan para diplomatnya, dapat melakukan negosiasi dan menyampaikan
pandangan dari pemerintahnya mengenai berbagai maslah kepada negara
dimana dia diakreditasi.
Dengan demikian apa yang dilakukan oleh para diplomat dalam suatu
perwakilan
diplomatik
di
negara
penerima
pada
hakekatnya
harus
mencerminkan kepentingan dari negara pengirim dan pemerintahnya. Mereka
harus menjaga harkat dan martabat serta kehormatan negaranya sebagai
negara yang berdaulat. 33
33
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Dan Konsuler, Tatanusa, Jakarta, 2013,
Halamn 70.
Universitas Sumatera Utara
2. Perlindungan terhadap kepentingan negara pengirim dan warga negaranya
Tugas kedua yang juga penting dari pejabat missi diplomatik adalah untuk
melindungi kepentingan dari negara pengirim dan kepentingan dari warga
negarnya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh
hukum internasional. Perlindungan itu harus pula diberikan oleh negara
penerima kepada para pejabat diplomatik dinegaranya. Bahkan negara ketiga
pun harus memberikan fasilitas dan perlindungan diplomatik kepada para
pejabat diplomatik yang sedang in transit di negara ketiga yang bersangkutan
(Pasal 46 Konvensi Wina 1961). Walaupun memiliki fungsi proteksi, bukan
berarti Duta Besar boleh langsung campur tangan dalam persoalan rumah
tangga negara penerima. 34
Hanya
saja
jika
warga
negaranya
meminta pertolongan, ia
wajib
memberikannya dalam batas-batas kekuasaannya sejauh diperkenankan
hukum internasional. Sebagai contoh, warga negaranya dirugikan oleh suatu
badan atau lembaga dari negara penerima maka sang duta boleh memberikan
perlindungan diplomatik kepada mereka berupa tuntutan ganti rugi melalu
saluran diplomatik atau jika ada warga negaranya terlantar, duta dapat
memberikan pertolongan keuangan seandainya memang tersedia anggaran
untuk itu atau mengajak warga negaranya yang lain untuk mengulurkan
34
Novi Monalisa Anastasia Tambun, Penerobosan dan Perusakan Gedung konsulat Amerika
Serikat Di Benghazi, Libya Ditinjau Dari Hukm Diplomatik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2013. Halaman: 35-36
Universitas Sumatera Utara
tangan untuk memulangkan yang bersangkutan dengan biaya yang akan
diperhitungkan kemudia secara gotong royong.
3. Melakukan perundingan dengan negara penerima
Pejabat
missi diplomatik
juga
mempunyai tugas untuk
melakukan
perundingan mengenai berbagai masalah yang menjadi kepentingan
negaranya di negara penerima yang pada umumnya dilakukan oleh duta besar.
Perundingan-perundingan
tersebut
bukan
saja
menyangkut
berbagai
permasalahan termasuk kerja sama bilateral baik dibidang politik, ekonomi,
perdagangan, kebudayaan, militer ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
Disamping itu fungsi pejabat missi diplomatik juga untuk memberikan
penafsiran mengenai pendapat atau sikap negara pengirim serta mencari
dukungan mengenai setiap masalah dari negara penerima termasuk untuk
mengadakan konsultasi mengenai masalah-masalah internasional. Demikian
juga mengenai kekecewaan dan ketidak-puasan yang dialami oleh negara
pengirim terhadap sikap pemerintah negara penerima mengenai sesuatu
masalah. 35
4. Laporan perwakilan diplomatik kepada pemerintahnya
Fungsi perwakilan diplomatik lainnya yang juga penting adalah menyangkut
kewajiban untuk memberikan laporan kepada negaranya mengenai keadaan
dan perkembangan negara penerima dengan cara-cara yang tidak bertentangan
dengan hukum mengenai berbagai aspek baik politik, ekonomi, sosial, budaya
35
Sumaryo Suryokusumo, Op.cit, Halaman: 74
Universitas Sumatera Utara
dan lain-lain . Dengan demikian perwakilan diplomatik memainkan peranan
yang penting bukan saja dalam menyampaikan informasi dari pemerintah
negara penerima kepada negaranya tetapi juga sebaliknya. pejabat missi
diplomatik tersebut juga harus secara aktif mengambil prakarsa dalam
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dinegara penerima dan
menganalisanya sebelum menyampaikannya kepada pemerintah negara
pengirim. Didalam praktek hal itu bisa juga timbul masalah, karena beberapa
negara menurut undang-undangnya melarang adanya azas kebebasan dalam
informasi. Oleh karena itu bisa saja terjadi bahwa cara-cara untuk
memperoleh informasi itu dianggap biasa dan sah di satu negara, tetapi oleh
sesuatu negara lainnya bisa dilihat sebagai suatu tindak kriminal mata-mata.36
5. Meningkatkan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang
Fungsi pejabat missi diplomatik juga mencakup hal yang penting seperti
kewajiban untuk meningkatkan hubungan persahabatan dengan negara
penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. pejabat missi diplomatik juga bertugas untuk meningkatkan
hubungan ekonomi perdagangan atas dasar prinsip saling menguntungkan.
Duta
besar
sebagai
kepala
perwakilan
diplomatik
bertugas
untuk
meningkatkan pengertian antara dua negara karena itu melibatkan bukan saja
yang berhubungan dengan pemerintah negara penerima tetapi juga dalam
rangka menjelaskan kebijakan dan sikap pemerintahnya dan pandangan
36
Ibid, Halaman: 75
Universitas Sumatera Utara
mereka terhadap rakyat dan negara melalui media dan dalam acara-acara yang
layak serta memberikakn pengertian terhadap pemerintah dan rakyat
mengenai maksud, harapan dan kehendak dari negaranya.37
Fungsi pejabat missi diplomatik ini menurut pasal 13 Konvensi Wina 1961
mulai berlaku apabila
“kepala missi diplomatik dianggap telah memulai tugasnya di negara
penerima, baik saat ia menyerahkan surat-surat kepercayaannya maupun ia
memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan sebuah salinan asli surat
kepercayannya kepada menteri luar negeri negara penerima, atau menteri lain yang
ditunjuk untuk itu, sesuai denngan praktik yang berlaku di negara penerima yang
akan diperlakukan secara seragam”
Urutan-urutan penyerahan surat-surat kepercayaan atau sebuah salinan asli
akan ditentukan oleh hati, tanggal, dan saat kedatangan kepala misi yang
bersangkutan.
Pada umumunya tugas seorang kepala missi diplomatik akan berakhir karena
telah habis masa jabatannya yang diberikan kepadanya. Tugas itu dapat pula berakhir
karena ia ditarik kembali recalled oleh pemerintah negaranya. Bisa juga berakhir
karena sang diplomat yang bersangkutan tidak disukai lagi persona non-garata. Jika
antara negara pengirim dan negara penerima terjadi perang, tugas seorang diplomat
juga kan terganggu (terhenti) dan ia biasanya dipanggil pulang. Kemudian, jika
kepala pemerintahan (presiden/raja/ratu) wafat, turun tahta, atau terjadi suksesi
kepemimpinan nasional, dapat pula menyebabkan berhentinya tugas missi diplomatik
seorang pejabat diplomatik, (pada saat sekarang, kematian kepala negara atau kepala
37
Ibid, Halaman: 76
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan, tidak lagi dipergunakan sebagai alasan untuk menarik kembali kepala
perwakilannya diluar negeri) 38
Menurut J.G Starke, sebuah pejabat missi diplomatik dapat berakhir dengan
cara yang berbeda-beda diantaranya: 39
8. Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat
penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala
menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang
bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang
memberitahukan penarikannya.
9. Pemberitahuan oleh negar apengirim kepada negara penerima bahwa tugas
perutusan itu telah berakhir (pasal 43 Konvensi Wina).
10. Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled).
Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan
tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina), akan tetapi seperti dalam kasus
permintaan Australia pada bulan Juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali
negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tetang
tuduhan tindakakn yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu
tertentu untuk keberangkatanyya (sepuluh hari seperti yang ditanyakan dalam
permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas).
38
39
Syahmin, Hukum Diplomatik, Raja grafindo, Jakarta, 2008, Halaman: 85
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Halaman 571-
572
Universitas Sumatera Utara
Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara etgas diisyaratkan
oleh Konvensi Wina.
11. Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya
oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara
pengirim dan negara penerima.
12. Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan
itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau
tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak
mengakuinya lagi sebagai anggota misi (pasal 9 dan 43 Konvensi Wina).
13. Tujuan misi tersebut telah terpenuhi.
14. Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya
untuk waktu terbatas.
Tujuan pejabat missi diplomatik, Menurut ketetapan Konggres Wina 1815 dan
Konggres Aux La Chapella 1818 (konggres Achen), pelaksanaan peranan perwakilan
diplomatik guna membina hubungan dengan negara lain dilakukan oleh perangkatperangkat berikut : 40
a. Duta Besar Berkuasa Penuh (ambassador), adalah tingkat tertinggi dalam
perwakilan diplomatik yang mempunyai kekuasaan penuh dan luar biasa.
Ambassador ditempatkan pada negara yang banyak menjalin hubungan
timbale balik.
40
Ryeza, Menganalisis Fungsi Perwakilan Diplomatik, Sumber:
http://ryezamanutd.blogspot.com/2013/06/menganalisis-hubungan-internasional.html, Diakses: 29
Januari 2015
Universitas Sumatera Utara
b.
Duta (gerzant), adalah wakil diplomatik yang pangkatnya lebih rendah dari
duta besar, Dalam menyelesaikn segala persoalan kedua negara dia harus
berkonsultasi dengan pemerintah negaranya.
c. Menteri Residen, seorang menteri residen dianggap bukan wakil pribadi
kepala negara. Dia hanya mengurus urusan negara dan pada dasarnya tidak
berhak mengadakan pertemuan dengan kepala negara dimana dia berugas.
d.
Kuasa Usaha (charge d’Affair). Dia tidak ditempatkan oleh kepala negara
kepada kepala negara tetapi ditempatkan oleh menteri luar negeri kepada
menteri luar negeri.
e. Atase-atase, adalah pejabat pembantu dari duta besar berkuasa penuh. Atase
terdiri atas dua bagian, yaitu:
1. Atase Pertahanan
Atase ini dijabat oleh seorang perwira militer yang diperbantukan departemen
Luar negeri dan ditempatkan di kedutaan besar negara bersangkutan, serta
diberi kedudukan sebagai seorang diplomat. Tugasnya adalah memberikan
nasehat di bidang militer dan pertahanan keamanan kepada duta besar
berkuasa penuh.
2. Atase Teknis
Atase ini dijabat oleh seorang pegawai negeri sipil tertentu yang tidak berasal
dari lingkungan Departemen Luar Negeri dan ditempatkan di salah satu
Universitas Sumatera Utara
kedutaan besar untuk membantu duta besar. Dia berkuasa penuh dalam
melaksanakan
departemennya
tugas-tugas
sendiri.
teknis
sesuai
dengan
tugas
Misalnya
Atase
Perdagangan,
pokok
dari
Perindustrian,
Pendidikan Kebudayaan. 41
C. Teori-Teori Kekebalan Diplomatik
Kekebalan Diplomatik merupakan hal yang penting bagi wakil dari negaranegara dalam melakukan hubungannya dengan negara lain. Dalam melakukan
diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Agar wakil-wakil
negara tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik dan efisien, maka para wakilwakil negara dalam berdiplomasi tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan.
Sehubungan dengan itu terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian
kekebalan dan keisitimewaan diplomatik luar negeri, yaitu sebagai berikut :
1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory)
Menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak
meninggalkan negaranya, ia hanya berada diluar wilayah negara penerima,
walaupun pada kenyataannya ia sudah jelas berada diluar negeri sedang
melaksanakan tugas-tugasnya dinegara dimana ia ditempatkan. Demikian juga
halnya gedung perwakilan, jadi pemberian kekebalan dan keistimewaan
diplomatik itu disebabkan faktor eksterritorialitas tersebut. Oleh karena itu,
41
Ibid,
Universitas Sumatera Utara
seorang diplomat itu dianggap tetap berada dinegaranya sendiri, ia tidak
tunduk pada hukum negara penerima dan tidak dapat dikuasai oleh negara
penerima. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik tersebut adalah
dikuasai oleh hukum dari negara pengirim. 42
Dalam praktiknya, teori eksterritorialitas sangat berat untuk diterima karena
dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan atas suatu fiksi dan bukan
realita yang sebenarnya. 43
Jadi, teori eksterritorialitas dalam arti, seorang wakil diplomatik dianggap
tetap berada di wilayah negaranya sendiri 44.
Teori ini didalam kehidupan sangat sullit diterapkan, dan mayoritas ahli
hukum menyangkal kebenarannya. Kejanggalan teori tersebut dapat disimak
dalam ilustrasi berikut : 45
a. Seorang diplomat dalam kesehariannya sulit memaksakan diri untuk
melaksanakan ketentuan hukum negara pengirim di negara penerima,
misalnya diplomat Indonesia tidak dapat mengendarai mobil pribadi pada
jalan raya untuk jalur dua arah di negara Saudi Arabia dengan menerapkan
peraturan
lalu
lintas
Indonesia.
Apabila
diplomat
Indonesia
mengemudikan kendaraan di jalan lajur sebelah kiri maka pasti
42
Sigit Fahrudin, Hak istimewa Dan Kekebalan Diplomatik, sumber:
http://mukahukum.blogspot.com/2009/04/hak-istimewa-dan-kekebalan-diplomatik.html , diakses 29
Januari 2015
43
Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan
Keistimewaannya, Bandung, Angkasa, 1991. Halaman: 31
44
Syahmin, Op.Cit, Halaman: 117
45
Widodo, Op.Cit,Halaman: 117-118
Universitas Sumatera Utara
bertabrakan dengan pengendara lain, karena di Saudi Arabia pengguna
jalan raya harus mengendarai kendaraan pada lajur sebelah kanan.
b. Apabila terdapat anggapan bahwa kantor perwakilan diplomatik beserta
tempat tinggal diplomat dianggap berada diwilayah negara pengirim, para
diplomat setiap bulan atau setiap tahun wajib membayar berbagai pajak
dan iuran (misalnya pajak bumi dan bangunan, retribusi pengelolaan
sampah), padahal dalam praktik mereka tidak melakukan kewajiban
tersebut. Andaikata mereka harus membayar, negara pengirim harus
membuka dinas-dinas terkait dinegara diplomat. Meskipun demikian
bukan berarti kantor kedutaan terbebas dari pembayaran biaya, karena
dalam praktik ada beberapa rekening kantor kedutaan dan rumah
kediaman resmi diplomat yang wajib dibayar pihak kedutaan asing kepada
negara penerima, misalnya rekening telepon, air, dan listrik.
c. Andaikata para diplomat dianggap tinggal dinegara pengirim maka tidak
perlu memperoleh kekebalan dan keistimewaan mutlak pada warga
negaranya sendiri diwilayahnya.
2. Teori Diplomat sebagai wakil negara berdaulat atau wakil kepala negara
(Representative Character)
Teori ini mengajarkan bahwa baik pejabat diplomatik maupun perwakilan
diplomatik, mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas
itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa
Universitas Sumatera Utara
dan kekebalan kepada pejabat-pejabat diplomatik asing juga berarti bahwa
negara penerima menghormati negara pengirim, kebesaran dan kedaulatan
serta kepala negaranya.
Teori ini berasal dari era kerjaan masa lalu dimana negara penerima
memberikan semua hak, kebebasan, dan perlindungan kepada utusan-utusan
raja sebagai penghormatan terhadap raja itu sendiri. Namun seperti halnya
dengan teori eksterritorialitas, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan
diplomatik ini tidak mempunyai batas yang jelas dan menimbulkan
kebingungan hukum. 46
Teori ini sulit juga diterapkan Karena sampai saat ini orang yang mendapat
kekebalan diplomatik bukan hanya diplomat, tetapi termasuk anggota
keluarga diplomat yang membentuk rumah tangganya dan tinggal di negara
penerima, padahal bukan berstatus diplomat yang mewakili negara pengirim.
Dalam praktik juga sulit dibedakan antara perbuatan seorang diplomat dalam
kapasitasnya sebagai wakil negara atau wakil kepala negara, dengan
perbuatan diplomat dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Padahal menurut
hukum diplomatik seluruh perbuatan diplomat baik perbuatan atas nama
negara maupun atas nama pribadi memperoleh kekebalan dan keistimewaan.47
46
47
Syahmin, Op.Cit, Halaman: 118
Widodo, Op.Cit, Halaman : 119
Universitas Sumatera Utara
3. Teori kebutuhan fungsional
Teori ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan
diplomatik dan misi diplomatik hanya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan
fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan
tugasnnya dengan baik dan lancar. Dengan memberikan tekanan pada
kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan
kekebalan-kekebalan
sehingga
dapat
diciptakan keseimbangan antara
kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini kemudian
didukung untuk menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina 1961.
Dalam muadimah Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik
dirumuskan “...that the purpose of such privilages and immunities is not to
benefit individuals but to ensure the efficient performance of the function of
diplomatik missions as representing states.” Artinya, bahwa tujuan pemberian
kekebalan dan keistimewaan tersebut bukan untuk meenguntungkan orang
perseorangan, tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi
missi diplomatik sebagai wakil dari negara.
Maka dari itu, jelaslah bahwa landasan yuridis pemberian semua kemudahan,
hak-hak istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada para agen diplomatik
asing di suatu negara adalah untuk memperlancar atau memudahkan
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas
pertimbangan-pertimbangan lain. 48
D. Hak Kekebalan Dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik
Dalam abad ke 16- dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara
permanen antarnegara-negara di Eropa, sudah mulai menjadi umum, kekebalan dan
keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan
telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti bahwa
seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau penghianatan melawan
kedaulatan negara penerima. Seorang duta besar dapat diusir, tetapi tidak dapat
ditangkap dan diadili. 49
Kekebalan duta besar dari yurisdiksi pidana di negara penerima telah mulai
dilakukan oleh banyak negara dalam abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional.
Kemudian pada pertengahan abad ke-18 aturan-aturan kebiasaan hukum
internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai
ditetapkan, termasuk harta milik, gedung dan komunikasi para diplomat.
A. Kekebalan
Bahwa didalam istilah kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu kekebalan
(immunity), dan tidak dapat diganggugugat atau inviolabilitas (Inviolability) adalah
kekebalan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan
48
49
Syahmin, Op.Cit. Halaman: 118
Hans Kelsen , Principles of Internatioonal Law, New York, 1952. Halaman: 97
Universitas Sumatera Utara
terhadap segala gangguan yang merugikan. Sedangkan immunity diartikan sebagai
kekebalan terhadap Juridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun
hukum perdata.
1. Kekebalan pribadi
Ketentuan-ketentuan yang bermaksud melindungi diri pribadi seorang wakill
diplomatik atau kekebalan-kekebalan memngenai diri pribadi seorang wakil
diplomatik diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “the Person
of a diplomatik agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrest
or detention. The receiving state shall terat him with due respect and shall tahe all
propriate steps to prevent ant attack on his person, freedom or dignity”50. Berarti
bahwa pejabat diplomatik adalah inviolable. Ia tidak dapat ditangkap dan ditahan.
Jadi, sesuai dengan pengertian inviolabilitiy sebagai kekebalan terhadap alatalat kekuasaan dari negara penerima, maka pejabat diplomatik atau seorang wakil
diplomatik mempunyai hak untuk tidak dapat dikenakan tindakan kekuasaan oleh
alat-alat kekuasaan negara penerima yaitu misalnya berupa penahanan dan
penangkapan.
a. Yurisdiksi pidana
Kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan pidana yang dapat dinikmati oleh
para pejabat diplomatik ditentukan didalam Konvensi Wina 1961 sebagai berikut:
50
Konvensi Wina 1961
Universitas Sumatera Utara
“seorang pejabat diplomatik kebal dari yurisdiksi pidana negara penerima” 51 (Pasal
31 ayat 1 Konvensi Wina 1961)
Apabila seorang pejabat diplomatik membuat kesalahan yang dapat
mengganggu keamanan atau ketertiban dalam negeri atau turut dalam suatu
komplotan yang ditujukan kepada negara penerima, maka untuk menjaga agar
tindakan-tindakannya itu tidak akan membawa akibat yang tidak diinginkan, negara
penerima untuk sementara dapat menahan, walaupun kemudian ia masih harus
dikirim pulang kembali ke negrinya. Dan menurut hukum kebiasaan internasional
bahwa negara penerima tidak mempunyai hak, dalam keadaan yang menuntut dan
menghukum seorang pejabat diplomatik. 52
b. Yurisdiksi perdata dan adminisrasi
Hukum kebiasaan internasional tidak saja memberikan kekebalan dari
yurisdiksi pidana dari negara penerima, tetapi juga para pejabat diplomatik kebal dari
yurisdiksi perdata dan administrasi. Ketentuan yang mengatur adanya kekebalan
seorang pejabat diplomatik dari yurisdiksi perdata atau sipil, terdapat dalam
ketentuan pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961, sebagai berikut: “he shall also enjoy
immunity from its civil and administrative jurisdiction”
Tuntutan perdata dan administrasi dalam bentuk apapun tidak dapat dilakukan
terhadap seorang pejabat diplomatik dan tidak ada tindakan atau eksekusi apapun
yang berhubungnan dengan hutang-hutang dan lain-lainnya yang serupa dapat
51
52
Article 31 Konvensi Wina 1961
Edy Suryono, Op.Cit, Halaman : 47-48
Universitas Sumatera Utara
diajukan terhadap para pejabat diplomatik didepan pengadian perdata atau pengadilan
administrasi negara penerima. 53
2. Kekebalan keluarga seorang wakil diplomatik
Kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa yang diberikan pada seorang
wakil diplomatik tidaklah berbatas pada diri pribadi saja melainkan juga anggotaanggota keluarganya turut pula menikmati kekebalan dan hak-hak istimewa tersebut.
Ketentuan mengenai kekebalan keluarga pejabat diplomatik terdapat dalam
Pasal 37 ayat (1) Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “the members of family of a
diplomatik agent forming part of his household shall, if they are not nationals of the
receiving state, enjoy the privileges and immunities specifies in article 29 to 36”.
Yang artinya anggota keluarga dari seorang wakil diplomatik yang merupakan bagian
dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara penerima akan meikmati hak-hak
istimewa dan kekebalan sebagaimana diatur dalam pasal 29 sampai 36. 54
Dengan demikian agar seorang dapat dianggap sebagai anggota keluarga
pejabat diplomatik, maka tidak hanya adanya sesuatu hubungan darah atau
perkawinan yang mencantumkan kedudukan anggota keluarganya, tetapi ia harus
bertempat tinggal bersama pejabat diplomatik atau merupakan bagian dari rumah
tangganya dan bahkan pula bukan berwarganegara Negara penerima. Keluarga
pejabat diplomatik yang dapat menerima kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini,
termasuk pula pelayanan-pelayanan perwakilan dan pelayan rumah tangga.
53
54
Ibid. Halaman : 49
Ayunika, Op.Cit, Halaman :73
Universitas Sumatera Utara
3. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi
Dalam pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuaan yang
berbunyi sebagai berikut. “a diplomatic agent is not obliged to give as a withness”
maka seeorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi di muka
pengadilan negara setempat, baik yang menyangkut perkara perdata maupun
menyangkut perkara pidana, dan administasi. 55
Seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksanakan untuk bertindak sebagai
seorang saksi dan untuk memberikaan kesaksiannya di depan pengadilan, hal mana
termasuk pula anggota keluarga dan pengikut-pengikutnya, juga tidak dapat dipaksa
untuk bertindak sebagai saksi didepan pengadilan.
Kemungkinan yang terjadi dalam hubungannya dengan persolan kekebalan
seorang wakil diplomatik dari kewajiban untuk menjadi saksi wakil diplomatik
tersebut secara sukarela (voluntarily) memberikan kesaksiannya didepan peradilan
atas perintah dan persetujuan dari pemerintahnya
4. Kekebalan korespondensi
Kekebalan korespondensi adalah kekebalan dari pihak perwakilan asing
sesuatu negara yaitu pejabat diplomatiknya untuk mengadakan komunikasi dengan
bebas guna kepentingan tujuan-tujuan resmi atau official purposes dari perwakilan
asing tersebut, tanpa mendapat halangan yang berupa tindakan pemeriksaan atau
tindakan penggeledahan yang dilakukan oleh negara-negara lainnya.
55
Edy, Suryono, Op.Cit. Halaman : 51
Universitas Sumatera Utara
Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi
perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk
berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan
surat- menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubunngan komunikasi.
Hubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik tersebut dengan
pemerintahnya sendiri, dengan pemerintah negara penerima, maupun dengan
perwakilan diplomatik asing lainnya. 56
Selanjutnya di dalam pasal 27 ayat 2 Konvensi Wina 1961 ditetapkan bahwa
korespondansi didalam arti yang luas atau resmi adalah dinyatakan kebal atau tidak
dapat diganggu gugat. Tetapi harus dingat bahwa kebebasan hubungan komunikasi
tersebut haruslah dijalankan didalam hubungan yang resmi dan berkaitan dengan misi
perwakilan dan fungsinya.
5. Kekebalan kantor perwakilan Asing dan tempat kediaman seorang wakil
diplomatik
Dalam Konvensi Wina 1961 telah dicantumkan mengenai pengakuan secara
universal tentang kekebalan diplomatik yang meliputi tempat kediaman dan tempat
kerja atau kantor perwakilan pejabat diplomatik. Secara jelas terdapat di dalam pasal
22 dan 30 Konvensi Wina 1961. Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas
kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina
1961. Namun, hak kekebalan disini diartikan sebagai suatu hak dari gedung
perwakilan atau tempat kerja dan tempat kediaman seorang pejabat diplomatik utnuk
56
Ayunika, Op.cit, Halaman: 78
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan perlindungan special dari negara penerima, gedung perwakilan dan
tempat kediaman dari pejabat diplomatik dinyatakan tidak dapat diganggu gugat atau
inviolable.57
6. Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit.
Secara substansial kekebalan para pejabat diplomatik in transit biasanya
diberikan. Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun beberapa negara seperti
Belanda dan Perancis telah meneytujui untuk memasukkan ketentuan-ketentuan
dalam perundang-undangan masing-masing mengenai perlakuan para diplomat yang
ditempatkan di negara tersebut.
Didalam Konvensi Wina 1961 telah mengambil pendekatan Fungsional secara
tegas dalam memberikan hak kekebalan dan keistimewaan bagi pada diplomat yang
berpergian melalui negara ketiga baik menuju atau dari posnya. Negara ketiga hanya
wajib memberikan hak tidak diganggu gugatnya dan kekebalan-kekebalan lainnya
yang diperlukan dalam rangka menjamin perjalanan diplomat itu dalam transit atau
kembali. Hak-hak yang sama juga diperlukan dalam hal anggota keluarga diplomat
yang menyertainya atau kepergian secara terpisah untuk bergabung dengannya atau
dalam perjalanan kembali ke negaranya. Para diplomat beserta anggota keluarganya
yang dalam perjalanan transit juga memperoleh perlindungan khusus dan bebas dari
penahanan sesuai dengan haknya yang tidak dapat diganggu-gugat, tetapi dapat pula
kepada mereka diadakan tuntutan terhadap perkara perdata dengan ketentuan bahwa
57
Widodo, Op.Cit. Halaman: 125
Universitas Sumatera Utara
tuntutan ini tidak melibatkan penahana mereka dan mereka tidak mempunyai
keistimewaan seperti bebas dari pemeriksaan koper milik mereka. 58
7. Perjalanan karena force majeure
Seorang diplomat diberikan kekebalan terbatas semacam itu tanpa melihat
hubungan antara penerima dan pengirim di satu pihak dan negara ketiga di lain pihak.
Kewajiban-kewajiban di dalam ketentuan Konvensi Wina 1961 tersebut dapat
diterapkan bahwa dalam hal diplomat itu terpaksa harus transit karena force majeure
antara lain adanya pesawat yang dipaksakam harus mendarat dinegara ketiga. Dalam
kasus R.v. Governer of Pentoville Prison pada tahun 1971. Pengadilan di inggris
menolak untuk memberikan kekebalan terhadap proses ekstradisi kepada seorang
mata-mata dari Costa Rica yang bernama Dr. Teja, pemegang paspor diplomatik,
dimana ia tidak ditempatkan atau tidak menjadi tamu pemerintah sesuatu negara.
Penting
pula
bahwa
diplomat
harus
diangkat
oleh
pemerintahnya
yang
pengangkatannya juga diakui oleh negara ketiga. 59
B. Keistimewaan
Pengertian keistimewaan adalah berbagai hak istimewa privilege yang
melekat pada perwakilan diplomatik (sebagai institusi) dan anggota misi (sebagai
individu) di negara penerima. 60
1. Pembebasan pajak-pajak
58
Edy Suryono, Op.Cit, Halaman: 70
Ibid. Halaman: 73
60
Wasito, Konvensi-Konvensi Wina, Andi Offset, Yogyakarta, 1999, Halaman: 5
59
Universitas Sumatera Utara
Keistimewaan pembebasan pajak-pajak ini dapat dinikmati oleh pejabat
diplomatik beserta keluarganya, staf administrasi dan teknik, staf pelayanan,
pembantu-pembantu rumah tangga berdasarkan daftar yang diserahkan kepada
kementerian luar negeri setempat. Pada umumnya keistimewaan dalam perpajakan ini
meliputi pembebasan pajak-pajak langsung, pajak penghasilan, pajak atas barang
pribadi bergerak seperti kendaraan bermotor, perabot, bagasi dan sebagainya. 61
Dalam Konvensi Wina 1961 dikatakan bahwa, seorang pejabat diplomatik
akan dibebaskan dari semua pajak pribadi baik regional, nasional kecuali:
a. Pajak tidak langsung, sehingga tak berlaku pada pembelian barang di toko
umum yang pajak penjualannya telah diperhitungkan didalamnya.
b. Pajak atas barang-barang yang tidak bergerak yang terletak didalam daerah
negara penerima, misalnya rumah, tanah, kecuali yang dikuasai oleh pejabatpejabat diplomatik tersebut atas nama negara pengirim untuk keperluan dan
maksud yang resmi dari misi perwakilan.
c. Pajak untuk jasa-jasa pelayanan yang diberikan.
d. Registrasi, pembayaran pengafilan, hipotek, pajak perangko sehubungan
dengan barang-barang bergerak.
2. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi.
Pada umumnya pembebasan bea cukai dan bagasi ini meliputi barang-barang
yang diimpor untuk keperluan perwakilan diplomatik dan keperluan rumah tangga
61
Ibid. Halaman: 64
Universitas Sumatera Utara
para pejabat diplomatik. Dalam hubungan ini pula bagasi-bagasi milik para pejabat
diplomatik bebas dari pemeriksaan petugas-petugas doane.
Pembebasan bea cukai dan bagasi ini diakui pula dalam Konvensi Wina 1961,
yang memberikan pembebasan bea cukai dan bagasi, baik bea masuk maupun bea
keluar dari pajak-pajak lainnya yang mempunyai hubungan dnegan itu, tanpa
memasukkan biaya penyimpangan atau pajak yang ada hubungannya dengan
pelayangan terhadap: 62
a. Barang-barang keperluan dinas perwakilan diplomatik
b. Barang-barang untuk keperluan pribadi dari pejabat diplomatik atau anggota
keluarganya sebagai barang keperluan rumah tangga, termasuk barang-barang
yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga.
3. Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial
Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial dimaksudkan bahwa para
pejabat diplomatik bebas daripada ketentuan kewajiban kemanan sosial yang
mungkin berlaku di dalam negara penerima, seperti kewajiban siskamling, jaga
malam dan lain lain. Pembebasan demikian juga berlaku untuk pelayan-pelayan
pribadi yang turut serta didalam melayani kepentingan seorang pejabat diplomatik. 63
4. Pembebasan dri pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer.
Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer disini
dijamin oleh Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa negara penerima harus
62
63
Ibid. Halaman: 65
Ibid. Halaman: 66
Universitas Sumatera Utara
memmbebaskan para pejabat diplomatik dari semua pelayanan pribadi, pelayanan
umum macam apapun dan dari kewajiban militer seperti yang berhubungan dengan
pengambilalihan, sumbangan militer. 64
5. Pembebasan dari kewarganegaraan
Dalam protokol opsional Konvensi Wina 1961 mengenai hal memperoleh
kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik yang
bukan warga negara Negara penerima dan keluarganya tidak akan memperoleh
kewarganegaraan Negara penerima tersebut semata-mata karena berlakunya hukum
negara penerima tersebut.
Dengan demikian terhadap kelahiran anak seorang pejabat diplomatik
dinegara penerima maka anak tersebut tidak akan memperoleh kewarganegaraan
negara penerima yang semata-mata karena berlakunya negara penerima, anak tersebut
tetap mengikuti kewarganegaraann orang tuanya. 65
E. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi
Diplomatik.
Pengertian kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah berkembang dari
masa ke masa. Pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik dilakukan secara
timbal-balik (reciprocity principles) yang memang mutlak diperlukan dalam rangka
64
65
Ibid. Halaman: 67
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan atau mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, tidak
memandang sistem politik maupun sosial budaya yang berbeda.
Kekebalan dan keistimewaan para pejabat diplomatik ini tidak seterusnya
dapat diberikan kepada seorang diplomat. Terdapat batas waktu kapan dapat dimulai
kekebalan pejabat missi diplomatik dan kapan kekebalan para pejabat missi
diplomatik itu berakhir.
A. Mulai dinikmatinya kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Kekebalan dan Keistimewaan pejabat missi diplomatik ini mulai berlaku sejak
mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses menempati pos
kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya, atau jika sebelum diangkat oleh
negara pengirim untuk menduduki jabatan diplomatik tertentu mereka telah
berkedudukan di negara penerima maka awal berlakunya kekebalan hukum dan hakhak istimewa diplomatik dianggap telah ada sejak mereka diangkat oleh negara
pengirim atau dapat dikatakan pula sejak calon diplomat mendapatkan letter of
credentials dari pemerintahnya maka hak kekebalan dan keistimewaan pejabat missi
diplomatik sudah dapat diberikan kepada calon diplomat tersebut. Pengangkatan
pejabat tersebut harus diberitahukan oleh negara pengirim kepada negara penerima
melalui kementrian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Konvensi Wina 1961 secara jelas
berbunyi “Setiap orang yang berhak akan kekebalan hukum dan hak-hak istimewa
akan mendapatnya sejak saat ia memasuki wilayah Negara penerima dalam proses
Universitas Sumatera Utara
menempati posnya, atau jika ia sudah di dalam wilayahnya, sejak saat
pengangkatannya itu diberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri atau
kementerian lainnya yang disetujui.” 66
Ketentuan mengenai awal dinikmatinya kekebalan dan keistimewaan
diplomatik bagi orang- orang yang berhak menikmati ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 22 Konvensi Havana tahun 1928 tentang Diplomatic Officer Pasal 14
menyebutkan petugas diplomatik harus terhormat untuk orang-orang mereka, tempat
tinggal mereka, swasta atau pejabat, dan harta benda mereka. Diganggu gugat ini
meliputi:
a. Semua kelas petugas diplomatik;
b. Seluruh personil resmi misi diplomatik;
c.
Para anggota keluarga masing-hidup di bawah atap yang sama;
d.
Kertas, arsip dan korespondensi misi.
Serta pada Pasal 22 tentang kapan hak diplomatic officer dapat dinikmati
“Petugas diplomatik dapat kenikmatan kekebalan mereka dari saat mereka melewati
perbatasan negara di mana mereka akan menjalani misinya dan dimana posisi mereka
telah diketahui. Hak kekebalan akan terus ada selama periode
misi dan bahkan
setelah itu akan dihentikan, untuk waktu yang diperlukan bagi petugas diplomasi
dalam misi. Sehingga dapat dikatakan bahwa keistimewaan dan kekebalan diplomatik
berlaku sejak diplomat memasuki wilayah negara penerima dalam rangka
66
Murti, Hak Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik, Sumber:
http://murtiblogz.blogspot.com/2013/04/hak-kekebalan-dan-keistimewaan.html , diakses: 30 Januari
2015
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan fungsi resminya. Dengan diberlakukan pemberitahuan terlebih dahulu
terhadap negara penerima. 67
B. Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik
Pada Pasal 39 ayat (2) menegaskan, jika fungsi- fungsi dari orang- orang yang
memperoleh kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu berakhir maka kekebalan
dan keistimewaan yang melekat padanya secara normal akan berakhir, yaitu pada saat
ia meninggalkan negara penerima, atau pada saat berakhirnya suatu periode yang
layak, akan tetapi kekebalan dan keistimewaan akan terus ada sampai saat
berakhirnya periode yang dimaksud tersebut, bahkan dalam hal terjadinya konflik
bersenjata antara negara penerima dengan negara pengirim pun kekebalan dan
keistimewaan tetap ada.
Namun, atas perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh orang – orang tersebut
dalam rangka pelaksanaan fungsinya sebagai seorang anggota misi, kekebalan dan
keistimewaannya akan terus disandang. Untuk menentukan berapa lama rentang
waktu yang dianggap sebagai suatu periode yang layak sangat sulit karena Konvensi
Wina sendiri tidak menjelaskan kuantitasnya, karena itu untuk menentukan lamanya
waktu berdasarkan kesepakatan negara terkait, dan pemberian waktu tersebut
didasarkan pada kebiasaan serta sopan santun internasional. Lalu berakhirnya hak
tersebut dapat juga diakibatkan atas penanggalan hak kekebalan dan keistimewaan
oleh negara pengirim.
67
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 32 ayat (1), kekebalan dan keistimewaan harus ditanggalkan
oleh negara penerima. Penanggalan atas hak tersebut harus dilakukan secara tegas
(Pasal 32 ayat (2) ). Kekebalan dan keistimewaan diplomatik bersumber pada hukum
internasional sehingga yang mempunyai hak untuk memberi dan menanggalkannya
adalah subjek hukum internasional, sehingga dalam konteks ini subjek hukum
internasional adalah negara, bukan diplomat karena posisi diplomat dalam hal ini
sebagai alat negara, bukan individu.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kekebalan dan hak- hak istimewa kepala
perwakilan, penanggalan dapat dilakukan oleh kepala negara pengirim melalui
menteri luar negeri, karena untuk pengurusan perwakilan diplomatik ini kepala
negara telah mempercayakan pada menteri luar negeri. Sedangkan yang memutuskan
apakah penanggalan kekebalan dan keistimewaan diplomatik atas kepala perwakilan
tersebut, tetap berada pada kewenangan kepala negara berdasar pada kewenangan
kepala negara berdasar pada pengaduan negara penerima dan pertimbanganpertimbangan yang diberikan oleh menteri luar negeri negara pengirim dan mungkin
berdasarkan saran dan pendapat anggota parlemen negara terkait. 68
F. Praktek Negara Penerima Dalam Penerapan kekebalan Diplomatik
Terhadap Anggota Missi Diplomatik
Seperti telah disebutkan di atas bahwa gedung perwakilan asing tidak dapat
diganggu-gugat, bahkan petugas maupun alat negara setempat tidak dapat
68
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
memasukinya tanpa izin perwakilan. Maka negara penerima tidak akan sanggup
berbuat apa-apa jika fungsi gedung diplomat disinyalir atau dicurigai melakukan
praktik pelanggaran pidana seperti penyelundupan senjata,obat obatan terlarang dan
lain-lain karena untuk membuktikannya harus masuk langsung ke gedung diplomatik
hal semacam itu pernah terjadi di dalam kasus Kedutaan Besar Irak di Islamabad. 69
Kasus tersebut terjadi di dalam bulan Februari 1973. Kejadian ini bermula
ketika sebuah peti kemas yang dialamatkan kepada Kedutaan Besar Irak di Islamabad
secara tidak sengaja mengalami kerusakan sehingga terungkap oleh pejabat Bea
Cukai Pakistan bahwa sebenarnya peti kemas tersebut berisi senjata yang jumlahnya
cukup banyak. Atas terjadinya peristiwa tersebut Kementerian Luar Negeri Pakistan
meminta kepada Duta Besar Irak untuk mengizinkan polisi setempat memeriksanya
di gedung Kedutaan Besar Irak di Islamabad. Permintaan tersebut ditolak oleh Duta
Besar Irak, kemudian polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak
dengan paksa, dan ternyata benar telah menemukan 59 peti yang berisi senjata, bahan
peledak dan amunisi yang harus diserahkan kepada pemberontak Belouchistan
Hal ini dapat dibenarkan secara hukum internasional, karena apabila terjadi
dakwaan atau adanya bukti-bukti yang memperkuat bahwa fungsi perwakilan asing
tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina
69
Nizar Fikri, Tinjauan Yuridis Terhadap Kekebalan Gedung Diplomatik (Studi Terhadap
Kasus Kedutaan Besar Irak di Islamabad Februari 1973), Sumber :
http://nizarfikkri.blogspot.com/2011/12/tinjauan-yuridis-terhadap-kekebalan.html, Diakses: 30 Januari
2015
Universitas Sumatera Utara
1961, maka pemerintah negara penerima dapat memasuki gedung tersebut dan
disaksikan oleh Duta Besar dari negara pengirim. Oleh karena itu dinyatakan oleh
Brierly bahwa dalam hal-hal yang luar biasa, meskipun tidak dinyatakan dalam
konvensinya sendiri. Kedua, prinsip tidak diganggu gugat itu menurut pendapat
Komisi Hukum Internasional tidak menutup adanya kemungkinan bagi negara
penerima untuk mengambil tindakan terhadap diplomat atau perwakilan asing di
negara tersebut dalam rangka bela diri atau menghindarkan adanya tindak pidana
Jadi pada dasarnya negara penerima dapat memasuki gedung diplomatik yang
tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan sebagaimana yang sudah diatur dalam
Konvensi Wina 1961 khususnya pasal 41 ayat 3 selain itu negara penerima dapat
memasuki secara paksa gedung diplomatik yang disinyalir atau diduga kuat
digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan suatu tindak pidana dengan dasar hak
bela diri dari suatu negara penerima untuk menghindarkan adanya tindak pidana di
negara penerima.
70
Kasus lainnya, berawal dari gugatan yang diajukan oleh seorang warga negara
Filipina bernama Corazon Tabion, yang merupakan pembantu rumah tangga bagi
pasangan suami istri Yordania, Faris dan Lana Mufti. Faris Mufti adalah seorang
pejabat konsuler Yordania untuk Distrik TS Ellis Amerika Serikat. Gugatan diajukan
Tabion pada bulan Februari tahun 1996 ke Pengadilan Distrik TS Ellis Amerika
Serikat. Tabion melaporkan bahwa selama dua tahun ia bekerja bagi keluarga Mufti
dengan hanya dibayar sekitar $ 50 per minggu selama lebih dari 60 jam kerja. Mufti
70
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa ia dan istrinya tidak dapat digugat karena ia memiliki kekebalan
diplomatik sebagai seorang pejabat diplomatik, sehingga pengadilan Distrik TS Ellis
Amerika Serikat menghentikan proses kasus ini. 71
Kasus berikutnya dimana negara pengirim mematuhi adanya kekebalan
diplomatik bagi seorang diplomat adalah, pada tanggal 18 Maret 2013, seorang
Diplomat Arab Saudi yang diakreditasikan di Iran mengemudi mobil dalam keadaan
mabuk dan dengan kecepatan tinggi di atas normal. Hal ini menyebabkan Diplomat
Arab Saudi tersebut menabrak sebuah mobil yang dikemudikan oleh seorang warga
Iran yang mengakibatkan warga Iran tersebut meninggal dunia dan tak hanya sampai
disitu ia juga menabrak seorang warga Iran lainnya yang sedang berjalan kaki
melintasi jalan tersebut hingga tak sadarkan diri. Hasil penyelidikan kepolisian
setempat telah ditemukan 4 (empat) botol minuman keras di dalam mobil sang
Diplomat Arab Saudi tersebut.
Kementerian Luar Negeri Iran menindaklanjuti kasus ini melalui jaringan
diplomatik dan yudikatif. Iran sendiri juga telah mengajukan nota protes kepada
Kedutaan Arab Saudi di Teheran, Iran atas insiden tersebut dan memprotes kelakuan
salah satu diplomat Arab Saudi yang dinilai tidak pantas.
71
Minarty, Analisis Kasus The Tabion V. Mufti (Filipina V. Yordania) Terkait Kekebalan
Bagi Pejabat Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961, Sumber :
http://minartyplace.blogspot.com/2010/08/analisis-kasus-tabion-v-mufti-filipina.html , Diakses : 30
Januari 2015
Universitas Sumatera Utara
Dari kasus tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa Diplomat Arab Saudi telah
bersalah melakukan pelanggaran, dalam hal ini pelanggaran lalu lintas, yakni
mengemudi dengan batas kecepatan yang melebihi normal, dan berkendara dengan
kondisi mabuk yang menyebabkan meninggalnya seorang warga Iran dan tidak
sadarnya seorang warga Iran lain. Dalam kasus tersebut juga dapat dilihat tidak ada
bentuk pertanggungjawaban dari sang Diplomat Arab Saudi kepada para korban yang
timbul atas tindakan yang ia lakukan. Hal ini terlihat jelas di mana Diplomat Arab
Saudi tersebut langsung meninggalkan para korban yang ia tabrak, baik korban yang
berada di dalam mobil hingga meninggal maupun korban yang sedang berjalan kaki
hingga tak sadarkan diri.
Iran sebagai negara sang Diplomat tersebut diakreditasi atau ditugaskan jelas
mempunyai hak untuk mem-persona non-grata-kan sang Diplomat Arab Saudi
tersebut. Jelas bahwa sang Diplomat Arab Saudi telah melakukan pelanggaran, telah
membuat kerugian kepada negara Iran. Sehingga unsur dalam Pasal 9 ayat (1)
Konvensi Wina 1961 terpenuhi. 72
Praktek negara penerima lainnya yang mana mematuhi adanya hak kekebalan
terhadap diplomat yaitu pada kasus Sultan Johor pada abad 19, Pengadilan Inggris
menyatakan tidak berwenang untuk mengadili Sultan Johor yang digugat oleh
seorang wanita Inggris, karena tergugat adalah seorang Sultan atau Raja atau Kepala
Negara yaitu seseorang yang memiliki kekebalan kedaulatan atau kekebalan sebagai
72
Gandi Misseyer, Hukum Diplomatik Dan Konsuler Tinjauan Hukum Tentang Pelanggaran
Yang Dilakukan, Sumber : http://lawlowlew.blogspot.com/2013/07/hukum-diplomatik-dan-konsulertinjauan.html , Diakses : 30 Januari 2015
Universitas Sumatera Utara
kepala Negara. Dalam hal ini, Kerajaan Inggris mengakui kerajaan Malaka sebagai
Negara berdaulat (Par in parem non habet imperium), Raja Malaka (termasuk Sultan
Johor) serta keluarganya menikmati kekebalan ketika berada di negeri Inggris,
sebagaimana halnya Raja Inggris serta keluarganya menikmati kekebalan di negeri
Malaka (Azas Resiprositas). Kasus Sultan Johor adalah kasus kekebalan dari
yurisdiksi territorial yang menyangkut kekebalan dari proses hukum di Negara
setempat. Namun kekebalan dari yurisdiksi territorial tidak hanya menyangkut
kekebalan dari proses hukum setempat, tetapi juga kekebalan dari eksekusi keputusan
pengadilan setempat (harta kekayaan/ asset Negara asing tidak bisa disita atau
dieksekusi oleh aparat hukum Negara setempat). 73
Kasus lainnya, Militer Uni Soviet di Jakarta, Lenal Kolonel Sergei P. Egorove
bersama Finenko melakukan kegiatan mata-mata di Indonesia. Kegiatan mata-mata
ini (spionase) untuk kepentingan negara pengirim merupakan pelanggaran yang
sudah biasa terjadi terhadap kewajiban para anggota staf misi perwakilan asing untuk
menghormati tata hukum dinegara penerima. Pada bulan Februari 1982 dengan
tertangkapnya Militer Uni Soviet di Jakarta, Letnal Kolonel Sergei P. Egorove
bersama Finenko dari perwakilan penerbangan Aeroflot di Jakarta, tatkala melakukan
transaksi sejumlah dokumen rahasia dari Letnan Kolonel Sus Daryanto dari Indonesia
bertempat dirumah makan di Jakarta. Mengingat Letnan Kolonel Sergei P. Egorove
seseorang Atase militer Uni Soviet di Kedutaan Besar Uni Soviet di Jakarta dan
73
Minarty, Imunitas Terhadap Yurisdiksi Negara,
http://minartyplace.blogspot.com/2009_03_01_archive.html , Diakses 1 Februari 2015.
Universitas Sumatera Utara
menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatic maka berdasarkan pasal 29
Konvensi WIna 1961, ia tidak dapat diganggu gugat bukan saja dari penahanan atau
penangkapan, tetapi juga negara penerima wajib melindunginya jika terjadi serangan
baik terhadap pribadinya maupun kehormatannya. Karena itu pemerintah Indonesia
tidak dapat pengadakan penangkapan dan mengadilinya karena sebagai diplomat ia
akan dibebaskan dari jurisdiksi pidana, perdata maupun administrasi dari pemerintah
Indonesia (pasal 31) , kecuali menyatakan persona non grata kepada Letnan Kolonel
Engrove (pasal 9). Untuk itu, kementerian luar negeri RI tela hmeminta duta besar
Uni Soviet dan memberitahukan keputusan pemerintah Indonesia tersebut agar
Letnan Kolonel Egorove segera meninggalkan Indonesia . Dilain pihak, Finenko
perwakilan dari kantor Aeroflot telah diusir dari Indonesia, sedangkan Sus Daryanto
ditangkap dan kemudian diadili melalui pengadilan subversi. 74
74
Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit, Halaman: 123-125
Universitas Sumatera Utara
Download