TINJAUAN PUSTAKA Biologi Bunga Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoecious), artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tanaman dan masing-masing terangkai dalam satu tandan. Rangkaian bunga jantan terpisah dengan bunga betina. Setiap rangkian bunga muncul dari pangkal pelepah daun. Sebelum bunga mekar dan masih diselubungi seludang, bunga dapat dibedakan antara bunga jantan dan bunga betina dengan melihat bentuknya (Yan Fauzi, et al., 2008). Tiap tandan bunga kelapa sawit mempunyai stalk sepanjang 30-45 cm, yang mendukung banyak spikelet yang tersusun spiral. Tandan bunga sawit awalnya tertutup oleh dua lapis seludang berserat. Enam minggu sebelum mekar, seludang bagian luar akan pecah dan 2 atau 3 minggu kemudian seludang bagian dalam ikut pecah sehingga tandan bunga akan membuka. Jumlah spikelet bunga kelapa sawit meningkat dari 60 pada umur 3 tahun menjadi 150 pada umur 10 tahun (Tandon et al., 2001; Adam et al.,2005; Price et al., 2007). Rangkaian bunga betina kelapa sawit disusun oleh sejumlah spikelet secara spiral pada rakila atau sumbu pembungaan. Sedangkan tiap spikelet disusun oleh 10-26 individu bunga. Rangkaian bunga tersebut dibungkus oleh dua lapis seludang, seludang bagian luar bertekstur kasar dan berwarna cokelat kusam sedangkan bagian dalam mempunyai ciri agak tebal dan kaku. Biasanya rangkaian bunga muncul dari ketiak pelepah daun pada lingkaran keempat yaitu suatu kumpulan pelepah daun keempat dihitung dari lingkaran pelepah daun muda dari bagian atas tanaman (Hetharie, et al.,2007). Universitas Sumatera Utara Tandan bunga betina berukuran panjang 24-45 cm, mengandung 700 – 6000 bulir bunga betina tergantung pada lokasi dan umur tanaman (Tandon et al., 2001). Waktu yang diperlukan agar semua bunga betina mekar (reseptif) pada setiap tandan bunga betina sekitar 3 hari yang dimulai dari bagian pangkal tandan: biasanya 15% pada hari pertama, 60% mekar pada hari kedua, dan sisanya 15% lagi mekar pada hari ketiga (Pardede, 1990). Pada waktu bunga-bunga mekar, suhu di dalam pembungaan 0 meningkat 5-10ºC dan bunga mengeluarkan bau seperti adas (Foeniculum vulgare) yang kuat. Pada waktu mekar, warna bunga putih kekuningan dengan kepala putik yang terlihat mengeluarkan cairan. Setelah bunga mekar, kepala putik menghasilkan anthosianin yang dapat menghambat perkecambahan polen yang ditandai dengan perubahan warna putik bunga menjadi merah keunguan. a Gambar 1.a. Tandan bunga betina mekar (reseptif); b. Spikelet bunga betina; c. Bulir bunga betina Sumber : Prasetyo, 2012. Spikelet tandan bunga jantan berukuran panjang 12-20 cm, terdiri dari 400-1500 bulir bunga. Bunga jantan berwarna kuning muda, berukuran kecil yang mulai mekar (anthesis) dari bagian pangkal ke bagian ujung tandan bunga jantan. Setiap bunga jantan rata-rata dapat menghasilkan serbuk sari atau polen sekitar 40 Universitas Sumatera Utara gram/tandan (Price et al., 2007; Key et al., 2008). Masa bunga jantan anthesis dapat berlangsung selama 4-5 hari dengan periode pelepasan serbuk sari berlangsung selama 2-3 hari. Serbuk sari pada bunga jantan mengeluarkan bau seperti adas yang sangat kuat, dan jauh lebih kuat dari bau bunga betina (Key et al., 2008). a b c Gambar 2.a. Tandan bunga jantan mekar (anthesis); b. Spikelet bunga jantan; c. Bulir bunga jantan Sumber : Prasetyo, 2012. Organ bunga dari bunga jantan normal terususun pada tiga lingkaran bunga yaitu satu daun pelindung bertekstur kusam dan berwarna hijau cokelat berada pada posisi lingkaran bunga pertama, enam perhiasan bunga pada lingkaran kedua, dan lingkaran ketiga terdapat enam stamen, stamen terdapat gimnosium rudimenter, berbeda dengan hasil dalam penelitian ini karena dilakukan secara visual (Hetharie, et al.,2007). Satu tandan bunga hermaprodit terdiri dari beberapa spikelet bunga jantan dan beberapa spikelet bunga betina. Umumnya, spikelet bunga jantan berada di antara bawah bunga betina dan akan mekar terlebih dahulu. Tandan bunga seperti ini dianggap abnormal meskipun bila penyerbukan terjadi dengan baik, beberapa spikelet bunga betina dapat membentuk buah yang bisa dipanen (Prasetyo, 2012). Universitas Sumatera Utara Gambar 3. Bunga hermaprodit kelapa sawit lewat mekar Sumber : Prasetyo, 2012. Penyerbukan Kelapa Sawit Penyerbukan merupakan kunci awal mencapai produktivitas yang tinggi dalam budidaya kelapa sawit (Pallas et al., 2013). Karena kelapa sawit bersifat monoecionus yang kemekaran bunga jantan dan bunga betina jarang bersamaan maka proses penyerbukan kelapa sawit bersifat penyerbukan silang yang sangat tergantung pada agen penyerbuk yaitu angin (anemophili) dan serangga (entomophili) (Appiah dan Dwarko, 2013). Penyerbukan adalah jasa yang dihasilkan oleh serangga-serangga yang hidup dan makan dari pollen yang ditawarkan oleh serangga. Adalah E. kamerunicus yang memiliki jasa sedemikian besar, sehingga minyak sawit menjadi salah satu tulang punggung ekspor di luar minyak bumi dan gas. E. kamerunicus (Coleoptera: Curculionidae) merupakan serangga yang berperan penting dalam proses penyerbukan kelapa sawit ini. Pelepasan kumbang E. kamerunicus di Indonesia pada tahun 1982 secara signifikan meningkatkan produktivitas kelapa sawit dari 40% ke 60% (Nurindah,2015). Sejarah penyerbukan kelapa sawit di Indonesia mempunyai dua fase yaitu fase sebelum dan sesudah tahun 1983 (Prasetyo et.al., 2012). Efek yang diberikan Universitas Sumatera Utara E. kamerunicus ini sangat nyata pada perbaikan fruit set dan produktivitas kelapa sawit (Hutahuruk, 1986). Oleh sebab itu penyerbukan kelapa sawit di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi E. kamerunicus, kondisi polen, serta lingkungan yang mempengaruhi proses interaksi penyerbukan tersebut (Purba et.al., 2010) Biologi Elaeidobius kamerunicus (Coleoptera : Curculionidae) 1.Telur Telur berwarna kuning bening, berbentuk lonjong dengan cangkangnya licin. Ukuran panjang telur sekitar 0,65 mm dan lebar 0,4 mm. Telur diletakkan dengan ovipositor (alat/organ peletak telur serangga yang terletak di bagian belakang tubuhnya) ke dalam lubang pada bagian luar tangkai sari bunga jantan yang anthesis (Simatupang, 2016). Gambar 4. Siklus hidup E.kamerunicus. Sumber : Sumber : Prasetyo, 2012. 2. Larva Larva berkembang dalam tiga instar. Larva instar pertama berwarna putih kekuningan berada di sekitar tempat peletakan telur. Setelah 1-2 hari, larva menjadi larva instar kedua yang kemudian pindah ke pangkal bunga jantan yang sama (selama 1-2 hari), larva menjadi larva instar ketiga terus memakan pangkal Universitas Sumatera Utara tangkai sari sampai tinggal bagian atasnya saja (5-9 hari). Bagian yang tertinggal tersebut mengering, dan selanjutnya larva instar ketiga membuat sebuah lubang melalui periantium bunga jantan menuju ke tangkai sari bunga di sebelahnya. Larva instar ketiga, berwarna kuning terang, dapat memakan lima sampai enam bunga jantan. Ukuran rata-rata kepala larva berturut-turut mulai larva instar pertama sampai dengan instar ketiga dengan panjang berturut-turut 0,29 mm; 0,46 mm dan 0,72 mm serta lebar 0,31 mm; 0,44 mm dan 0,56 mm (Syed, 1979). 3. Pupa (kepompong): Satu hari sebelum menjadi kepompong, larva instar tiga memasuki masa inaktif terlebih dahulu. Kepompong berwarna kuning terang dengan bentuk morfologi yang sudah mirip kumbang dengan calon sayap berwarna putih. Kepompong ini biasanya terletak di dalam bunga jantan yang terakhir dimakannya. Larva instar ketiga yang akan memasuki masa inaktif terlebih dahulu menggigit bagian ujung bunga jantan hingga lepas dan membentuk lubang. Hal tersebut dilakukan untuk persiapan perubahan stadia dari kepompong menjadi dewasa. Lubang yang terbentuk akan dijadikan jalan keluar saat serangga telah dewasa. Periode kepompong berlangsung dalam waktu 2-6 hari (Simatupang, 2016). 4. Dewasa (Kumbang) Kumbang E. kamerunicus memakan tangkai sari bunga jantan yang sudah mekar. Perkawinan (kopulasi) terjadi pada siang hari, antara 2-3 hari sesudah kumbang menjadi dewasa, akan tetapi ada juga yang berkopulasi lebih awal. Perbandingan jumlah kumbang jantan dan betina di lapangan 1 : 2. Kumbang jantan memiliki moncong lebih pendek, 2 benjolan pada pangkal elitra (sayap) Universitas Sumatera Utara dan bulu yang lebih banyak pada elytra dan aktif pada pagi hari pukul 09.0011.00. Kumbang betina memiliki moncong lebih panjang, tidak ada benjolan pada elitra dan bulu pada elitra lebih sedikit. Ukuran tubuh E. kamerunicus jantan: 3-4 mm. Ukuran tubuh E. kamerunicus betina: 2-3 mm. Kumbang E. kamerunicus jantan dapat membawa polen (serbuk sari) lebih banyak dibandingkan dengan kumbang betina. Hal ini disebabkan oleh ukuran tubuh jantan yang lebih besar serta banyaknya bulu pada sayap kumbang jantan. Kumbang E. kamerunicus tidak pernah ditemukan pada bunga jantan yang belum anthesis, tetapi segera mengunjungi bunga jantan begitu ada bunga yang mulai anthesis. Jumlah E. kamerunicus pada tandan bunga jantan tergantung pada jumlah bunga yang mekar pada bulir. E. kamerunicus akan ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada hari pertama bunga anthesis, tetapi jumlahnya akan meningkat pada hari kedua dan ketiga serta akan mencapai maksimum pada hari keempat, bertepatan dengan waktu mekarnya semua bunga. Kemudian jumlah kumbang akan menurun dengan cepat pada hari kelima. Pada hari keenam sudah sedikit kumbang ditemukan pada tandan bunga jantan (Syed, 1979; Lubis et al.,1989). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Populasi E. kamerunicus Perubahan populasi kumbang E. kamerunicus berpengaruh terhadap produksi dan fruit set kelapa sawit. Pada saat populasi E. kamerunicus tinggi, maka diduga fruit set juga tinggi. Sebaliknya, jika populasi E. kamerunicus rendah, diduga fruit set juga rendah (Harun & Noor 2002). Oleh karenanya, perlu dilakukan pengamatan populasi E. kamerunicus di lapangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi naik turunnya ukuran populasi. Salah satu faktor penting Universitas Sumatera Utara yang mempengaruhi turunnya populasi E. kamerunicus adalah musuh alamnya. (Kahono, 2012). Syed 1979, mengemukakan bahwa perkembangan populasi kumbang E. kamerunicus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Predator terutama tikus Dari hasil analisa isi lambung tikus sebelum periode E. kamerunicus di jumpai banyak sisa-sisa serangga antara lain yang dominan yaitu adalah cocopet (Chelisoches morris), siput (Parmorian pupillaris) dan semut angkrang (Oecophylla smaragdina). Setelah periode SPKS, larva dan kepompong E.kamerunicus menduduki tempat kedua setelah cocopet. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan hampir semua tandan bunga jantan yang telah melewati masa anthesis, dimana larva dan kepompong E. kamerunicus banyak dijumpai tidak terlepas dari cakaran tikus. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengendalian tikus ini perlu untuk mempertahankan tingkat kepadatan populasi SPKS yang optimal. 2. Banyak bunga jantan mekar Lebih jauh dijelaskan bahwa terdapat hubungan yang linier antara ratarata kepadatan populasi dan kepadatan rata-rata tandan bunga jantan yang sedang mekar. Apabila jumlah bunga jantan yang mekar sedikit maka populasi akan turun dengan cepat. Dari kenyataan ini dapat diketahui bahwa faktor makanan merupakan faktor penting dalam kendali populasi dilapangan. 3. Curah hujan Selain adanya musuh alami dan ketersediaan bunga jantan, curah hujan juga menjadi faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan populasi E. Universitas Sumatera Utara kamerunicus. Di Indonesia, perkembangan populasi E. kamerunicus lebih cepat pada musim penghujan dibandingkan dengan musim kemarau walaupun secara perilaku lebih aktif pada musim kemarau. Perkembangan populasi E. kamerunicus akan pesat jika curah hujan bulanan mencapai lebih dari 250 mm (Prasetyo et al.,2012). 4. Penggunaan Insektisida Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilaksanakan dilaboratorium dan di lapangan oleh (Hutauruk et al., 1985) diketahui bahwa pada umumnya semua jenis insektisida yang sudah biasa digunakan untuk pengendalian ulat api (Limacodidae) dan ulat kantong (Psychidae) melalui penyemprotan atau injeksi batang, beracun terhadap E. kamerunicus. Apabila penyemprotan dilakukan pada mahkota daun, maka pengaruh sampingan insektisida yang digunakan hanya kecil. Satu sampai tiga hari setelah perlakuan, E. kamerunicus sudah kembali pada bunga kelapa sawit. Apabila larutan insektisida disemprotkan langsung pada bunga, maka pengaruhnya sangat besar, E. kamerunicus tidak dijumpai pada 1 – 3 hari setelah penyemprotan. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memilih pestisida kimiawi terutama insektisida untuk pengendalian hama yang memiliki selektifitas tinggi terhadap hama sasaran dan bersifat lebih ramah lingkungan. Pengaruh Insektisida Terhadap Serangga Insektisida merupakan kelompok pestisida yang terbesar dan terdiri atas beberapa sub kelompok kimia yang berbeda yaitu: 1. Organoklorin merupakan insektisida chlori-nated hydrocarbon secara kimiawi tergolong insektisida yang relatif stabil dan kurang reaktif, ditandai dengan dampak residunya yang lama terurai dilingkungan, 2. Organofosfat insektisida ini merupakan ester asam fosfat Universitas Sumatera Utara atau asam tiofosfat. Pestisida ini umumnya merupakan racun pembasmi serangga yang paling toksik secara akut terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung, cicak dan mamalia, 3. Karbamat kelompok ini merupakan ester asam Nmetilkarbamat. Bekerja menghambat asetil kolinesterase. Tetapi pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak berlangsung lama, karena prosesnya cepat reversible, 4. Piretroid dan yang berasal dari tanaman lainnya (Raini, 2007). Meskipun pestisida mempunyai banyak keuntungan seperti cepat menurunkan populasi hama, mudah penggunaannya dan menguntungkan secara ekonomi, namun dampak negatif penggunaan semakin lama semakin dikirasakan masyarakat. Dampak negatif pestisida yang merugikan kesehatan masyarakat dan lingkungan semakin lama semakin menonjol dan perlu mendapat perhatian. Munculnya resistensi, resurgensi atau peletusan hama kedua dapat menurunkan keuntungan ekonomis pestisida (Untung, 2001). Penggunaan insektisida yang tidak bijaksana akan menyebabkan permasalahan hama semakin kompleks, banyak musuh alami yang mati sehingga populasi serangga bertambah tinggi disamping berkembangnya resistensi, resurgensi dan munculnya hama sekunder. Resistensi terhadap insektisida bisa terjadi kalau digunakan jenis Insektisida yang lama (bahan aktif sama atau kelompok senyawa yang sama) secara terus-menerus, terutama dosis yang digunakan tidak tepat (dosis sublethal). Pada populasi serangga di alam terjadi keragaman genetik antara individu - individunya. Ada individu yang tahan terhadap suatu jenis insektisida dan ada yang tidak tahan. Bila digunakan jenis insektisida yang sama secara terus menerus maka individu yang ada dalam populasi tersebut akan terseleksi menjadi individu yang tahan (Susniahti,2005). Universitas Sumatera Utara Beberapa penyerbuk alami, seperti lebah madu dan kupu-kupu, sangat sensitif terhadap pestisida. Pestisida dapat membunuh lebah dan sangat mempengaruhi perkembangan serangga penyerbuk, sehingga hilangnya spesies yang menyerbuki tanaman (Hackenberg, 2007). Gejala keracunan yang diakibatkan insektisida antara lain permukaan tubuh robek, kejang, kesulitan bernafas, muntah, ganguan sistem pencernaan, dan kelumpuhan. Pestisida sistemik biasanya ditranslokasikan ke jaringan tanaman melalui akar atau jaringan daun, dan bergerak ke titik tumbuh tanaman. Selain itu Pestisida sistemik dapat ditranslokasikan melalui pembuluh floem. Serangga yang memakan jaringan pembuluh seperti xilem atau floem khususnya serangga dengan tipe mulut menusuk-mengisap akan sangat rentan terhadap keracunan insektisida (Capinera, 2011). Insektisida bahan aktif asefat Asefat merupakan insektisida dengan golongan organofosfat dengan cara kerja menyerang saraf Insektisida sistemik, racun kontak dan lambung, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng (Ardiyanto,2009). Asefat mengeluarkan asap beracun berupa fosfor, nitrogen, dan sulfur oksida ketika dipanaskan hingga terurai. Gejala paparan asefat berupa iritasi ringan pada mata dan kulit. Bahan aktif Asefat berbentuk bubuk dan granular dan toksisitas asefat akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Berdasarkan hasil percobaan pada beberapa mamalia toksisitas tertinggi akut oral dari asefat berada LD50 = 50 – 500 mg/kg untuk kelinci 2.000 mg/kg dan untuk tikus jantan dan betina berada dalam LD50 = 361 mg/kg dan LD50 = 866 mg/kg. Asefat juga Universitas Sumatera Utara dapat mempengaruhi serangga non target seperti lebah, LD50 untuk lebah 1,2 ug / bee. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa asefat memiliki aktivitas residual terpanjang untuk Aphytis melinus kematian lebih besar selama periode waktu yang lebih lama dibandingkan bahan uji yang lain (Valent,1994). Insektisida bahan aktif Klorantraniliprol Klorantraniliprol merupakan bahan dari golongan diamida dengan cara kerja menyerang saraf. Klorantraniliprol terbukti efektif mengendalikan Spodoptera exigua. Klorantraniliprol lebih unggul dibandingkan dengan flubendiamid karena selain untuk mengendalikan lepidoptera, klorantraniliprol juga aktif mengendalikan beberapa coleoptera, diptera dan isopteran (Zhang et al., 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Abdellaue et al., 2010) dan (Lavtizar, 2015) pada beberapa spesies serangga bahwa insektisida bahan aktif Klorantraniliprol dapat mengakibatkan toksisitas pada lebah LD50 > 104 mg / bee, toksisitas bersifat kontak dan dapat meracuni lebah melalui paparan langsung dengan tubuh serangga. Klorantraniliprol juga dapat mempengaruhi kontraksi dan relaksasi otot sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan. Insektisida bahan aktif dimehipo Insektisida yang berbahan aktif dimehipo merupakan insektisida racun kontak, lambung dan sistemik berbentuk pekatan yang dapat larut di dalam air dan berwarna kemerahan. Insektisida yang berbahan aktif dimehipo dapat diserap dan diangkut ke seluruh bagian tanaman, sehingga serangga hama yang memakan setiap bagian tanaman akan mati. Serangga hama akan mati bila terkena langsung semprotan atau bersentuhan dengan permukaan daun/bagian lain dari tanaman Universitas Sumatera Utara yang di semprot Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yurista (2014) bahwa insektisida dengan bahan aktif dimehipo dapat mengurangi intensitas serangan hama Liriomyza chinensis Kato (Diptera: Agromyzidae) sampai dengan 1.33% dibandingkan dengan pengendalian tanpa dengan insektisida sebesar 50.86%. Insektisida dimehipo memiliki mekanisme kerja menyerang sistem saraf serangga, dengan cara bereaksi dengan enzim asetilkolinesterase melalui proses fosforilasi bagian ester anion dari asetilkolinesterase. Ikatan fosfor yang terbentuk sangat kuat dan bersifat irreversible, sehingga kerja enzim asetilkolinesterase akan tetap terhambat sampai terbentuk enzim yang baru (Lubis, 2002). Jika kerja enzim asetilkolinesterase dihambat akibatnya tidak akan terjadi repolarisasi, karena kanal ion Na+ terus terbuka sedangkan kanal ion K+ tetap tertutup. Pada batas tertentu kanal ion Na+ akan tertutup sedangkan kanal ion K+ tetap tertutup. Hal ini akan mengakibatkan impuls tidak dapat diteruskan, sehingga semua sistem yang ada pada tubuh larva akan mengalami gangguan, karena sistem saraf merupakan pusat koordinasi yang mengatur semua proses yang terjadi didalam tubuh mahluk hidup. Sedangkan Asetilkolin merupakan neurotransmiter yang membuka kanal ion Na+ pada membran sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel mengakibatkan terjadi depolarisasi pada sel, sehingga muatan di dalam sel akan lebih positif dibandingkan dengan di luar sel. Jika depolarisasi melewati batas ambang akan mengakibatkan terjadinya potensial aksi (Widiastuti, 2002; Campbell et al., 2004). Universitas Sumatera Utara