BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Organ

advertisement
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Organ Pendengaran
2.1.1 Anatomi telinga dalam
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua atau satu-setengah
putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi saraf
dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Bagian atas adalah skala vestibuli,
berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana
Reissner yang tipis (gambar 2.1). Bagian bawah adalah skala timpani juga
mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina
spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala
berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus
koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema (Liston &
Duvall, 1997).
Gambar 2.1 A. Anatomi telinga; B. Daerah koklea yang paling sering
mengalami kerusakan akibat paparan bising yang lama dan berhubungan
dengan ONIHL (occupational noise induced hearing loss) (Kurmis & Apps,
2007)
6
Universitas Sumatera Utara
7
Terletak diatas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ
Corti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf
perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut (3.000)
dan tiga baris sel rambut luar (12.000). Ujung saraf aferen dan eferen
menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut
terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung diatasnya yang
cenderung datar, bersifat gelatinosa dan asesular, dikenal sebagai
membran tektoria (gambar 2.2) (Liston & Duvall, 1997).
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan
kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang
diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah lapisan
gelatinosa yang ditembus oleh silia (Liston & Duvall, 1997).
Gambar 2.2 Gambaran koklea bagian tengah (Mills, Khariwala & Weber
2006).
Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus yang
sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus.
Makula utrikulus terletak pada bidang tegak lurus terhadap makula
sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masingmasing kanalis mempunyai ujung yang melebar membentuk ampula dan
mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut menonjol pada kupula
Universitas Sumatera Utara
8
gelatinosa.
Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis
akan
menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia selsel rambut krista dan merangsang sel reseptor (Liston & Duvall, 1997).
2.1.2 Fisiologi pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara dan
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani
diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran
dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong
(foramen ovale). Energi getar yang telah diamplifikasi akan diteruskan ke
stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala
vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basillaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang
mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari
badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus
temporalis (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2007).
2.2 Bising
Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara
dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu. Di sektor industri,
bising berarti bunyi yang sangat menggangu dan menjengkelkan serta
sangat membuang energi (Harrianto, 2010). Tiga aspek gelombang bising
yang perlu diperhatikan untuk terjadinya gangguan pendengaran yaitu
frekuensi, intensitas dan waktu (Agrawal, et al, 2008; Harrianto, 2010).
Universitas Sumatera Utara
9
Frekuensi bunyi menentukan pola nada, dinyatakan dalam berapa
getaran/detik atau siklus/detik, yang satuannya disebut Hertz (Hz).
Intensitas bunyi (amplitudo/derajat kekerasan bunyi/sound pressure level
(SPL)) adalah besarnya daya atau tinggi gelombang suara yang
merupakan ukuran derajat intensitas suatu bunyi. Besar intensitas bunyi
dipadatkan dalam satuan desibel (dB). Selain intensitas bunyi, derajat
gangguan bising bergantung pada lamanya pajanan (Harrianto, 2010).
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program konversi
pendengaran
terdiri
atas
beberapa
undang-undang,
Peraturan
Pemerintah, Kepres dan Peraturan Tingkat Menteri. Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor fisik
dalam lingkungan kerja, termasuk didalamnya tentang kebisingan (tabel
2.1) (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2007).
Tabel 2.1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51/MEN/1999.
Nilai ambang batas kebisingan (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2007).
Waktu pajanan per hari
8
4
2
1
30
15
7,5
3,75
1,88
0,94
28,12
14,06
7,03
3,52
1,76
0,44
0,22
0,11
Jam
Menit
Detik
Intensitas kebisingan dalam (dB)
85
88
91
94
97
100
103
106
109
112
115
118
121
124
127
133
136
139
Frekuensi suara bising biasanya terdiri dari campuran sejumlah
gelombang suara dengan berbagai frekuensi atau disebut juga spektrum
Universitas Sumatera Utara
10
frekuensi suara. Nada kebisingan dengan demikian sangat ditentukan
oleh jenis-jenis frekuensi yang ada. Berdasarkan sifatnya bising dapat
dibedakan menjadi : (Roestam, 2004)
1. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas
Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas
amplitudo kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut. Contoh:
dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji sirkuler, suara katup mesin gas,
kipas angin, dsb.
2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit
Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (misal
5000, 1000, atau 4000 Hz), misalnya suara gergaji sirkuler, suara katup
gas.
3. Bising terputus-putus
Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu kebisingan
tidak berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang.
Contoh kebisingan ini adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan
terbang, dll.
4. Bising impulsif
Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB
dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya.
Contoh bising impulsif misalnya suara ledakan mercon, tembakan,
meriam, dll.
5. Bising impulsif berulang-ulang
Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya
pada mesin tempa.
Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah
bising yang bersifat kontinu, terutama yang memiliki spektrum frekuensi
lebar dan intensitas yang tinggi (Roestam, 2004).
Efek fisiologis kebisingan terhadap kesehatan manusia dibedakan
dalam efek jangka pendek dan efek jangka panjang (Arifiani, 2004).
Universitas Sumatera Utara
11
2.2.1 Efek jangka pendek
Efek jangka pendek berlangsung sampai beberapa menit setelah
pajanan terjadi, berupa kontraksi otot-otot, refleks pernafasan berupa
takipneu
dan
respon
sistem
kardiovaskuler
berupa
takikardi,
meningkatnya tekanan darah, dan sebagainya. Namun dapat pula terjadi
respon pupil mata berupa miosis, respon gastrointestinal yang dapat
berupa gangguan dismotilitas sampai timbulnya keluhan dispepsia
(Arifiani, 2004; Bashiruddin, 2009).
2.2.2 Efek jangka panjang
Efek jangka panjang terjadi sampai beberapa jam, hari ataupun lebih
lama. Efek jangka panjang terjadi akibat adanya pengaruh hormonal. Efek
ini dapat berupa gangguan homeostasis tubuh karena hilangnya
keseimbangan simpatis dan parasimpatis yang secara klinis dapat berupa
keluhan psikosomatik akibat gangguan saraf otonom, serta aktivasi
hormon kelenjar adrenal seperti hipertensi, disritmia jantung, dan
sebagainya (Arifiani, 2004).
2.3 Sumber Bising
Suara bising pada lingkungan (juga dikenal sebagai kebisingan pada
umumnya) didefinisikan sebagai suara bising yang berasal dari semua
sumber bising tanpa terkecuali suara bising di tempat kerja. Sumber
utama suara bising dari lingkungan adalah lalu lintas, industri, konstruksi
dan tempat kerja pada umumnya (Zir, et al, 2008).
2.4 Dampak Bising
Pajanan bising menyebabkan berbagai gangguan terhadap tenaga
kerja, seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan
komunikasi dan ketulian, atau ada yang menggolongkan gangguannya
berupa
gangguan
pendengaran,
misalnya
gangguan
terhadap
pendengaran dan gangguan non pendengaran seperti komunikasi yang
Universitas Sumatera Utara
12
terganggu, ancaman bahaya keselamatan, menurunnya kemampuan
kerja, kelelahan dan stres (Buchari, 2007).
2.4.1 Gangguan keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang
angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis
berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual (Roestam, 2004; Buchari,
2007).
2.4.2 Gangguan fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi
bila terputus-putus atau datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa
peningkatan tekanan darah (mmHg), peningkatan nadi, konstriksi
pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki serta dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris (Roestam, 2004; Buchari,
2007).
2.4.3 Gangguan psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang
konsentrasi, susah tidur, cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam
waktu jangka lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa
gastritis, stres, kelelahan dan lain-lain (Roestam, 2004; Buchari, 2007;
Bashiruddin, 2009).
2.4.4 Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi
yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara.
Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak.
Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada
kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau
tanda
bahaya;
gangguan
komunikasi
ini
secara
tidak
langsung
membahayakan keselamatan pekerja (Roestam, 2004; Buchari, 2007).
Universitas Sumatera Utara
13
2.4.5. Gangguan pendengaran
Efek pada pendengaran adalah gangguan yang paling serius karena
dapat menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya
bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari
sumber bising, namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya
dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali
(Roestam, 2004; Buchari, 2007).
Efek bising terhadap pendengaran dapat dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu
reaksi
adaptasi,
peningkatan
ambang
pendengaran
yang
berlangsung sementara (noise induced temporary threshold shift) dan
peningkatan ambang dengar yang berlangsung permanen (noise induced
permanent threshold shift) (Arifiani, 2004; Kusmindari, 2008).
A. Reaksi adaptasi
Adaptasi merupakan fenomena fisiologis, keadaan ini terjadi bila
telinga mendapat stimulasi oleh bunyi dengan intensitas 70 dB atau lebih
kecil lagi. Pemulihan dapat terjadi dalam waktu setengah detik. Keadaan
ini disebut juga perstimulatory fatique (Bashiruddin & Soetirto, 2007; Abdi,
2008; Kusmindari, 2008).
B. Peningkatan ambang dengar sementara / tuli sementara (PADS)
Peningkatan ambang dengar sementara (PADS) adalah perubahan
pendengaran sesudah terpapar bising yang dapat sembuh dengan
sendirinya dalam 24 – 48 jam (Dobie, 2006; Buchari, 2007; Agrawal, et al,
2008; Kusmindari, 2008; Arts, 2010).
Pada keadaan PADS terjadi kenaikan nilai ambang pendengaran
secara sementara setelah adanya pajanan terhadap suara dan bersifat
reversibel.
Untuk menghindari kelelahan auditorik,
maka ambang
pendengaran diukur kembali 2 menit setelah pajanan suara. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya pergeseran nilai ambang pendengaran ini
adalah derajat suara, durasi pajanan, frekuensi yang diuji, spektrum suara
dan faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin, status kesehatan, obatobatan (beberapa obat dapat bersifat ototoksik sehingga menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
14
kerusakan permanen) dan keadaan pendengaran sebelum pajanan
(Arifiani, 2004).
Luasnya PADS dapat diprediksi pada penyebab intensitas bising,
frekuensi bising, dan pola temporal dari paparan bising (misal: intermiten
atau terus menerus). PADS selalu pada frekuensi antara 3000 – 6000 Hz
dan sering pada frekuensi 4000 Hz. Frekuensi bising yang tinggi lebih
merusak dibandingkan frekuensi bising rendah, oleh sebab itu intensitas
bising tidak dapat menjadi faktor resiko tunggal (Mathur, 2009).
Ambang batas sementara sering ditandai oleh gejala umum kerusakan
pendengaran, termasuk tinitus, suara bising, dan diplakusis. Peningkatan
ambang dengar sementara (PADS/tuli sementara) bergantung pada
durasi paparan bising, pemulihan PADS/tuli sementara dapat terjadi dalam
beberapa periode berkisar antara menit hingga jam dan hari (Martin &
Martin, 2010).
Untuk suara yang lebih besar dari 85 dB dibutuhkan waktu bebas
paparan atau istirahat 3 – 7 hari, bila waktu istirahat tidak cukup dan
tenaga kerja kembali terpapar bising semula, dan keadaan ini berlangsung
terus menerus maka ketulian sementara akan bertambah setiap hari
kemudian menjadi ketulian menetap (Roestam, 2004).
C. Peningkatan ambang dengar permanen ( PADP / tuli menetap)
Setelah
paparan
bising
ulangan
yang
pada
awalnya
hanya
disebabkan oleh PADS, pekerja yang mengalami perubahan ambang
dengar tidak dapat pulih kembali. Hal ini disebut peningkatan ambang
dengar permanen (PADP) yang disebabkan oleh bising. Pada penelitian
epidemiologi,
sebagai
contoh
peneliti
menemukan
bahwa
PADP
disebabkan oleh paparan bising 100 dB selama 10 tahun dengan
mengukur ambang batas pendengaran pekerja dan kemudian dikurangi
dengan perkiraan kehilangan pendengaran oleh usia (Dobie, 2006).
PADP adalah gangguan pendengaran permanen yang tidak dapat
disembuhkan. Paparan bising menyebabkan hilangnya stereosilia sel
rambut secara permanen disertai adanya kerusakan pada struktur-struktur
Universitas Sumatera Utara
15
saraf sensori. Penderita PADP harus dilakukan pemeriksaan audiometri
setelah periode pemulihan dalam 24 jam diikuti dengan menghindari
paparan bising pada tingkat bising yang berbahaya (Agrawal, et al, 2008).
2.5 Pengukuran Pajanan Bising
Pengukuran terhadap pajanan bising diperlukan bila dicurigai adanya
suatu pajanan atau sumber bising yang dapat menimbulkan pengaruh
pada lingkungan sekitarnya. Secara umum tujuan pengukuran bising
adalah memisahkan dan mendeskripsikan secara khusus tentang sumber
bising (Abdi, 2008).
Pengukuran
objektif
terhadap
bising
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan alat sound level meter (Abdi, 2008; Harrianto, 2010).
Sound level meter (SLM)
Cara yang terbaik untuk menentukan besarnya pajanan bising pada
seseorang individu pekerja adalah dengan mengukur derajat pajanan
bising di lokasi tempat kerja, dengan peralatan yang disebut sound level
meter (SLM). SLM merupakan instrumen dasar untuk mengukur variasi
tekanan bunyi di udara, yang dapat mengubah bising menjadi suatu sinyal
elektrik, dan hasilnya dapat dibaca secara langsung pada monitor dengan
satuan desibel (dB). Alat ini berisi mikrofon dan amplifier, pelemah bunyi
yang telah dikalibrasi, satu set network frequency response dan sebuah
monitor. Beberapa SLM mempunyai rentang pengukuran 40 -140 dB.
Seperti lazimnya peralatan lainnya, SLM harus dikalibrasi sebelum dan
sesudah pengukuran bising, biasanya dengan menggunakan kalibrator
akustik (Harrianto, 2010).
2.6 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB)
GPAB adalah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat
terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup
lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja (Bashiruddin
Universitas Sumatera Utara
16
& Soetirto, 2007; Nandi & Dhatrak, 2008). GPAB adalah kerusakan
irreversibel pada sel rambut koklea di telinga dalam. GPAB dapat parsial
atau bilateral dan bergantung pada beratnya paparan bising dan intensitas
bising (Azizi, 2010; Kirchner, et al, 2012). Hal yang mempermudah
seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising antara lain intensitas bising
yang lebih tinggi, frekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, mendapat
pengobatan yang bersifat racun terhadap telinga (obat ototoksik) seperti
streptomisin, kanamisin, garamisin (golongan aminoglikosida), kina,
asetosal dan lain-lain (Bashiruddin & Soetirto, 2007; Nandi & Dhatrak,
2008).
GPAB biasanya terjadi pada frekuensi tinggi (3 kHz, 4 kHz atau 6 kHz)
(gambar 2.3) dengan adanya perbaikan pada frekuensi 8000 Hz
(Rabinowitz, 2000; Nandi & Dhatrak, 2008; Kirchner, et al, 2012;
Mostaghaci, 2013). Kerusakan pendengaran pada frekuensi tinggi pada
mulanya disebabkan ketidakjelasan suara yang dirasakan dan didengar
dan kemudian mengganggu aktifitas sehari-hari yang berkembang
menjadi kehilangan pendengaran (Nandi & Dhatrak, 2008).
Suara frekuensi antara 3000 dan 5000 Hz (terutama 4000 Hz)
biasanya menyebabkan kerusakan pada sel rambut dan secara bertahap
kerusakan meluas ke frekuensi lainnya, misalnya frekuensi 6000 dan 8000
Hz (Mohammadi, et al, 2010). GPAB hampir tidak pernah menghasilkan
profound hearing loss. Sebagai lanjutan dari GPAB, frekuensi rendah
menjadi terlibat, tetapi GPAB pada frekuensi 3 – 6 Khz adalah selalu lebih
buruk (Arts, 2010).
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar
2.3
Audiogram
standar
dengan
“speech
banana”
yang
menggambarkan pola ciri khas GPAB pada pekerja di frekuensi 4000 Hz
(Kurmis & Apps, 2007).
2.6.1 Patofisiologi GPAB
Suara yang berasal dari telinga luar akan diteruskan ke membran
timpani, yang kemudian menyebabkan getaran dan getaran ini diteruskan
ke telinga tengah dimana sel-sel rambut didalam koklea bertanggung
jawab untuk memulai impuls saraf yang akan diteruskan ke otak. Koklea
pada manusia merupakan susunan sel-sel rambut telinga dalam dan selsel rambut telinga luar. Susunan sel-sel rambut telinga luar merupakan
rangkaian di sepanjang koklea. Sel-sel rambut bertanggung jawab pada
suara frekuensi tinggi yang berdekatan dengan ujung basal koklea dan
sel-sel rambut lebih sensitif terhadap suara pada frekuensi rendah yang
dapat dijumpai mendekati bagian ujung apikal dari koklea (Nandi &
Dhatrak; 2008).
Kerusakan sel rambut luar bergantung pada intensitas dari kebisingan.
Paparan terhadap bising pada derajat subtraumatik memperlihatkan
sensitifitas perubahan ambang dengar kembali ke normal seiring
berjalannya waktu yang dimulai dari paparan bising. Bagaimanapun,
derajat kebisingan pada frekuensi tinggi membuat kerusakan pada sel-sel
Universitas Sumatera Utara
18
rambut telinga luar, stereosilia dan membutuhkan penyembuhan yang
cukup lama (Nandi & Dhatrak; 2008).
Kebisingan pada frekuensi tinggi juga menyebabkan rusaknya
stereosilia, sel-sel rambut telinga dan pada akhirnya menyebabkan
kerusakan permanen. Jika sel-sel rambut telinga luar tidak berfungsi
normal, membutuhkan stimulasi yang lebih besar untuk memulai impuls
saraf, dengan demikian sensitifitas ambang dengar dari sel-sel rambut
telinga dalam meningkat, yang diartikan sebagai gangguan pendengaran.
Sekali rusak, sel-sel sensori pendengaran tidak dapat diperbaiki kembali,
juga tidak dapat diobati dengan pengobatan medis untuk mengembalikan
pada keadaan normal (Nandi & Dhatrak; 2008).
Paparan bising menyebabkan peningkatan aliran darah didalam
koklea. Dalam waktu singkat terjadi penurunan sirkulasi darah didalam
koklea yang disebabkan oleh agregasi sel darah merah, vasokonstriksi
kapiler dan stasis. Aktivitas metabolik dan aliran darah koklea yang
menurun dimulai dari paparan bising, mendorong pembentukan radikal
bebas. Radikal bebas juga dapat dihasilkan oleh berbagai mekanisme.
Radikal bebas dalam bentuk invivo sebagai produk dari respirasi
mitokondria yang disebut Reactive Oxygen Species (ROS), timbul dari ion
dan radiasi ultraviolet. ROS termasuk ion superoksida (O2), hidrogen
peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH), hipoklorit (OCl) dan oksida
nitrat (NO). Sebagai tambahan, ROS dapat merusak DNA sel, protein dan
lipid serta mempercepat proses apoptosis yang menyebabkan kematian
sel dan kerusakan struktur pendengaran tidak dapat diperbaiki (Seidman
& Standring; 2010).
Terdapat bukti bahwa apoptosis (kematian sel terprogram) dan
nekrosis berperan penting dalam GPAB. Perkembangan dari sel rambut
luar yang mati setelah istirahat dari kebisingan melibatkan mekanisme
apoptosis. Perubahan apoptosis didalam sel rambut luar chinchilla
(terutama kondensasi nuklear dan penyusutan sel tubuh) telah terdeteksi
Universitas Sumatera Utara
19
5 menit setelah paparan bising, dimana 30 menit setelah paparan bising
terjadi nekrosis (pembengkakan nuklear) (Baguley & McCombe; 2008).
Penelitian fokus terhadap peran caspases (turunan dari cysteindependent aspartate-specific proteases) didalam sel rambut koklear yang
mengalami apoptosis. Bukti mengenai perubahan metabolisme dan
struktur dalam organ Corti setelah paparan bising adalah indikasi dari
keterlibatan mekanisme nekrosis (Baguley & McCombe; 2008).
2.6.2 Diagnosis dan prognosis
a. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis GPAB, dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan serta pemeriksaan
penunjang
untuk
pendengaran
dengan
audiometri
(Dobie,
2006;
Bashiruddin & Soetirto, 2007; Azizi, 2010).
Diagnosis GPAB pada pekerja adalah sederhana dengan melihat
riwayat lama paparan bising pada telinga yang tidak memakai alat
pelindung telinga terhadap paparan bising yang berlebihan, serta tidak
dijumpai adanya kelainan pada telinga dan gambaran audiogram
memperlihatkan frekuensi bising yang signifikan pada frekuensi tinggi
yaitu 4 – 6 kHz (Baguley & McCombe, 2008; Azizi, 2010).
Anamnesis riwayat paparan bising pada pekerja dengan intensitas
kebisingan yang berbahaya serta durasi paparan bising harus dapat
diperoleh. Pengukuran paparan bising dimulai dari tempat kerja sangat
membantu. Riwayat pekerjaan semua pekerja harus diperiksa dengan
seksama, termasuk militer, dimana militer sering terpapar bising. Faktor
etiologi lainnya dari gangguan pendengaran sensorineural, misal:
herediter, riwayat pemakaian obat-obatan ototoksik, trauma pada kepala,
dan lain-lain harus di ekslusi dari riwayat paparan bising pada pekerja.
Pemeriksaan fisik pada telinga termasuk pekerja yang menderita penyakit
pada telinga luar dan tengah harus diekslusi (Dobie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
20
Cornerstone
(2000)
mengidentifikasi
GPAB
dengan
memakai
audiometri nada murni untuk melihat hantaran udara dan tulang pada
telinga. Frekuensi audiometri secara klinis biasanya dicoba pada frekuensi
3 dan 6 kHz. Gambaran audiometri dari GPAB adalah pada nada tinggi
dengan derajat bising pada frekuensi 4 atau 6 kHz, terkadang terdapat
pada frekuensi 8 kHz (gambar 2.4) (Baguley & McCombe, 2008).
Gambar 2.4 Gambaran audiogram menunjukkan takik (notch) di frekuensi
4000 Hz (Vinodh & Veeranna, 2010)
Penelitian yang dilakukan oleh Turkkahraman et al (2003) di Turkey
memperlihatkan gambaran audiometri pada frekuensi 4000, 6000, 14000
dan 16000 Hz menunjukkan bahwa nilai audiometri pada frekuensi tinggi
dipakai untuk mendeteksi dan tindak lanjut terhadap individu yang
berpotensi
menimbulkan
risiko
terjadinya
gangguan
pendengaran
(Mehrparvar, et al, 2011). Kuronen (2003) pada penelitiannya menemukan
peningkatan ambang dengar sementara yang berarti dan nilai audiometri
pada frekuensi tinggi setelah paparan bising (Mehrparvar, et al, 2011).
b. Prognosis
Setelah penghentian aktifitas dari lingkungan bising, GPAB tidak akan
berlanjut lagi. Alasan inilah yang dipakai mengapa pemakaian alat
pelindung diri digunakan secara rutin untuk mengurangi dampak buruk
dari lingkungan kerja yang bising yang dapat menghentikan berlanjutnya
gangguan pendengaran (Agrawal, et al, 2008; Ganzer & Arnold, 2010).
Universitas Sumatera Utara
21
Jika GPAB berlanjut setelah pekerja dipindahkan dari sumber bising,
berlanjutnya GPAB adalah hasil dari beberapa penyebab yaitu penyakit
degeneratif, kongenital atau kelainan metabolik. Meskipun perlindungan
terhadap kebisingan memadai adalah hal yang penting sekali dan harus
selalu dianjurkan, meski dengan memakai alat pelindung telinga yang
adekuat, faktor-faktor penyebab lainnya berperan terhadap prognosis
penderita. Presbikusis dapat ditambahkan menjadi penyebab GPAB pada
penderita yang berusia tua, dan GPAB pada penderita dapat juga
disebabkan oleh dampak buruk dari obat-obatan yang bersifat ototoksik
seperti
antibiotik
aminoglikosida,
loop
diuretics
dan
obat-obatan
antineoplastik yang digunakan dalam pengobatan antikanker (Agrawal, et
al, 2008).
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli
sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati
dengan obat maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh
karena itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian
(Bashiruddin & Soetirto, 2007).
2.6.3 Pemeriksaan pendengaran
a. Pemeriksaan audiometri
Audiometri nada murni adalah tes yang paling sering digunakan untuk
mengevaluasi sensitivitas pendengaran. Sinyal nada murni auditori
terutama menghubungkan hantaran udara dan hantaran tulang. Lembaga
standarisasi Amerika (The American National Standards Institute / ANSI)
mendefinisikan ambang batas kemampuan mendengar sebagai derajat
tekanan suara minimum yang efektif menghasilkan sinyal akustik sebagai
sensasi pendengaran (Kileny & Zwolan, 2010).
Audiometri nada murni adalah pengukuran sensitifitas pendengaran
yang menggunakan rangsangan frekuensi nada mulai dari 250 hingga
8000 Hz, dan biasanya diantara dua nada frekuensi (3000 dan 6000 Hz).
Pendengaran normal pada usia muda (dibawah 20 tahun) telinga
merespon frekuensi nada mulai dari 20 – 20.000 Hz. Hasil tes
Universitas Sumatera Utara
22
digambarkan dalam bentuk grafik pada audiogram (Sweetow & Sabes,
2008).
Pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal seperti
nada murni, bising NB (narrow band) dan WN (wide noise), frekuensi,
intensitas bunyi, ambang dengar, nilai nol audiometrik, International
Standard Organization (ISO) dan American Standard Organization (ASA),
jenis dan derajat ketulian serta gap dan masking (Soetirto, Hendarmin &
Bashiruddin, 2007).
Nada murni (pure tone) : merupakan bunyi yang hanya mempunyai
satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.
Bising : merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri
dari spektrum terbatas (narrow band) dan spektrum luas (wide
noise).
Intensitas bunyi : dinyatakan dalam dB (decibell). Ambang dengar
ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang
masih dapat didengar oleh telinga seseorang.
Nilai nol audiometrik dalam dB HL (hearing level) dan dB SL
(sensation level) yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada
suatu frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga
rata-rata orang dewasa muda yang normal (18 – 30 tahun). Pada
tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama.
Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat di dengar oleh telinga
seseorang. Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC)
dan konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubunghubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan
didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan
derajat ketulian.
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang
dengar hantaran udaranya (AC) saja. Derajat ketulian ISO : normal (0 – 25
dB), tuli ringan (> 25 – 40 dB), tuli sedang (> 40 – 55 dB), tuli sedang
Universitas Sumatera Utara
23
berat ( > 55 – 70 dB), tuli berat (> 70 – 90 dB), tuli sangat berat (> 90 dB)
(Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2007).
Gambaran audiogram pada jenis ketulian : (Soetirto, Hendarmin &
Bashiruddin, 2007).
Pendengaran normal : - AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB.
- AC dan BC berhimpit, tidak ada gap.
Tuli sensorineural :
- AC dan BC lebih dari 25 dB.
- AC dan BC berhimpit (tidak ada gap).
Tuli konduktif
:
- BC normal atau kurang dari 25 dB.
- AC lebih dari 25 dB.
- Antara AC dan BC terdapat gap.
Tuli campur
: - BC lebih besar dai 25 dB.
- AC lebih besar dari BC, terdapat gap.
2.6.4 Penatalaksanaan dan pencegahan
a. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan
kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat
dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat
telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helm)
(Bashiruddin, 2007).
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang
bersifat menetap (irreversible), bila gangguan sudah mengakibatkan
kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba
pemasangan alat
bantu pendengaran/ABD (hearing
aid).
Apabila
pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD
pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan
psikoterapi agar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran
(auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan
ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading),
mimik dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat
berkomunikasi (Bashiruddin, 2007).
Universitas Sumatera Utara
24
Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat
dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant)
(Bashiruddin, 2007).
b. Pencegahan
Tempat kerja yang memiliki pajanan bising ≥85 dB selama 8 jam kerja
sehari, diwajibkan melaksanakan program perlindungan terhadap bahaya
tuli akibat kerja bagi para pekerjanya. Terdapat 4 langkah program
perlindungan terhadap bahaya tuli akibat kerja (occupational hearing
conservation), yaitu : (Baguley & McCombe, 2008; Harrianto, 2010)
1. Identifikasi sumber bising di tempat kerja.
2. Upaya mengurangi intensitas bising.
3. Melindungi penerima bising dengan alat pelindung diri, bila pajanan
bising tidak dapat dihindarkan.
4. Melaksanakan tes pendengaran awal kerja (baseline hearing test)
dan dilanjutkan tes pendengaran periodik, untuk mengevaluasi
efektifitas hearing conservation program.
Alat pelindung bising seperti sumbat telinga, tutup telinga dan
pelindung telinga melindungi telinga terhadap bising yang berfrekuensi
tinggi dan masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Tutup
telinga memberikan proteksi lebih baik dari pada sumbat telinga,
sedangkan helm selain pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus
sebagai pelindung kepala. Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup
telinga memberikan proteksi yang terbaik (Bashiruddin & Soetirto, 2007;
Baguley & McCombe, 2008).
Semua usaha pencegahan akan lebih berhasil bila diterapkan
Program Konservasi Pendengaran (PKP) yang bertujuan untuk mencegah
atau
mengurangi
tenaga
kerja
dari
kerusakan
atau
kehilangan
pendengaran akibat kebisingan di tempat kerja yang terpajan bising
berdasarkan data-data. Untuk mencapai keberhasilan PKP, diperlukan
pengetahuan tentang seluk beluk pemeriksaan audiometri, kemampuan
Universitas Sumatera Utara
25
dan keterampilan pelaksana pemeriksaan audiometri, kondisi audiometer
dan penilaian hasil audiogram (Bashiruddin & Soetirto, 2007).
2.7 Kerangka Teori
Bising
Dibawah NAB (≤85 dB)
Diatas NAB (>85dB)
Auditori
Tinitus
Kerusakan sel
rambut koklea
PADS
(peningkatan
ambang dengar
sementara)
Non Auditori
Aman
Gangguan fisiologis :
- Metabolisme
- Sistem
kardiovaskuler
- Sistem pernafasan
Gangguan psikologis :
- Emosi
- Komunikasi
- Konsentrasi
- Produktifitas
PADM
(peningkatan
ambang dengar
menetap)
Universitas Sumatera Utara
26
2.8 Kerangka Konsep
Usia
Masa
Kerja
Intensitas
kebisingan
Gangguan
Pendengaran Akibat
Bising (GPAB)
Tempat
Kerja
Pakai APD
: Variabel bebas
: Variabel tergantung
Universitas Sumatera Utara
Download