BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar 3). Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 16) terlihat bahwa rata-rata suhu tertinggi alat pengering pada siang hari, yaitu pukul 12.00 (78 ºC) dan terjadi penurunan suhu seiring dengan berkurangnya intensitas panas matahari pada saat malam hingga pagi hari (25 ºC – 29 ºC). Suhu memiliki peran penting dalam pengeringan, semakin besar perbedaan suhu antara alat pengering dengan bahan pangan, semakin cepat pula proses pengurangan kadar air dari bahan tersebut, tetapi jika proses pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi, maka dapat menyebabkan terjadinya case hardening yaitu bagian luar bahan sudah kering tetapi pada bagian dalam masih basah (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Ditambahkan oleh Afrianti (1995), bahwa untuk pengeringan ikan yang berukuran sedang sampai besar dan memiliki kadar lemak sedang hingga tinggi sebaiknya menggunakan suhu di atas 45 ºC tetapi lebih rendah dari 70 ºC, hal ini dilakukan agar proses penguapan air pada ikan lebih maksimal. Gambar 3. Alat pengering rumah kaca 4.2 Penelitian Utama 4.2.1 Rendemen Perhitungan rendemen berdasarkan perbandingan berat akhir ikan bandeng asin dan berat awal ikan sebelum diolah yang dinyatakan dalam persen (%). Hasil perhitungan rendemen (Gambar 4) menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi konsentrasi garam dan lama proses penggaraman, semakin rendah pula rendemen ikan bandeng asin kering. Hal ini karena adanya penyiangan (tanpa tulang keras dan isi perut) dan pada proses penggaraman sebagian besar air pada ikan berkurang, selain itu pada pengeringan terjadi penguapan air pada ikan tersebut sehingga kadar air semakin rendah dan berpengaruh terhadap rendemen dari ikan bandeng asin kering. Rendemen (%) 50 40 38.7 41.6 A B 41.5 40.1 41.3 41.6 43.3 44.5 45.4 E F G H I 30 20 10 0 C D Perlakuan Gambar 4. Rendemen ikan bandeng asin kering berdasarkan konsentrasi garam dan lama penggaraman Keterangan : A : Perlakuan 35 % : 9 jam B : Perlakuan 25 % : 9 jam C : Perlakuan 15 % : 9 jam D : Perlakuan 35 % : 7 jam E : Perlakuan 25 % : 7 jam Haryati (2006) pada penelitiannya F G H I : Perlakuan 15 % : 7 jam : Perlakuan 35 % : 5 jam : Perlakuan 25 % : 5 jam : Perlakuan 15 % : 5 jam mengenai ikan asin jambal roti, menyatakan bahwa rendemen dari jambal roti ikan patin kering berkisar 39.2 % 50.18 %, hal ini disebabkan pada tahap awal pengolahan dilakukan penyiangan (tanpa kepala dan isi perut), kemudian pada proses penggaraman dan penjemuran sebagian besar air pada ikan semakin berkurang dan berpengaruh terhadap rendemen jambal roti ikan patin kering. 4.2.2 Nilai organoleptik ikan bandeng (Chanos chanos) asin kering a) Kenampakan Kenampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai dalam mengkonsumsi suatu produk. Apabila kesan kenampakan produk baik atau disukai, maka konsumen baru akan melihat karakteristik yang lain. Konsumen biasanya menyukai produk dalam bentuk utuh, permukaan rata dan warna menarik (Lestary, 2007). Nilai rata-rata uji hedonik untuk kenampakan ikan bandeng asin kering (Gambar 5) menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis berkisar 5.48 – 6.56 dengan kriteria agak suka sampai suka. Perlakuan H memiliki nilai terendah 5.48 (agak suka) dengan kriteria mutu utuh, kurang bersih, agak kusam dan nilai tertinggi 6.56 terdapat pada dua perlakuan, yaitu perlakuan G dan I (suka) yang terletak pada kriteria mutu utuh, bersih, agak kusam. Kenampakan 9 Nilai Organoleptik 8 7 6.24 6.09 6.56 6.03 5.72 5.73 5.83 C D E F 6 6.56 5.48 5 4 3 2 1 A B G H I Perlakuan Gambar 5. Nilai rata-rata uji hedonik kenampakan Keterangan : A : Perlakuan 35 % : 9 jam B : Perlakuan 25 % : 9 jam C : Perlakuan 15 % : 9 jam D : Perlakuan 35 % : 7 jam E : Perlakuan 25 % : 7 jam Hasil perhitungan F G H I Kruskal-Wallis : Perlakuan 15 % : 7 jam : Perlakuan 35 % : 5 jam : Perlakuan 25 % : 5 jam : Perlakuan 15 % : 5 jam uji hedonik untuk kenampakan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi dan lama penggaraman tidak memberikan perbedaan yang nyata pada kenampakan ikan bandeng asin kering (P < 0.05). Kenampakan ikan bandeng asin terlihat sama untuk semua perlakuan dan tidak terdapat kerusakan fisik serta tidak adanya perubahan warna yang berarti, selain itu konsentrasi garam dan lama penggaraman yang semakin tinggi, membuat penerimaan panelis cenderung semakin menurun. Konsentrasi garam dan lama penggaraman yang semakin tinggi diduga menyebabkan kenampakan ikan bandeng asin kering terlihat lebih putih karena kristal garam yang terdapat pada permukaan tubuh ikan sehingga tingkat kesukaan panelis berkurang. Ikan bandeng termasuk ikan yang berlemak tinggi (Tabel 1), sehingga penetrasi garam dalam tubuh ikan menjadi tidak sempurna dan mengakibatkan kristal garam lebih banyak tertinggal pada bagian luar tubuh ikan bandeng asin kering. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rinto, dkk. 2009, yang menyatakan bahwa tingginya konsentrasi garam pada pengolahan ikan asin dan dilakukannya penggaraman berulang akan menyebabkan ikan asin menjadi lebih putih karena adanya kristal garam. Ditambahkan juga oleh Rahmani, dkk. (2007) bahwa, semakin tinggi konsentrasi garam dan lama penggaraman akan menyebabkan semakin banyak butiran garam pada ikan asin. Sedjati (2006), pada penelitiannya mengenai ikan teri asin kering, melaporkan bahwa penggunaan konsentrasi garam di atas 10 % akan membuat kenampakan dari ikan teri asin menjadi agak kusam, karena garam yang menempel pada permukaan ikan akan menimbulkan warna keputihan. Giyatmi (1988) pada penelitiannya mengenai ikan kembung asin melaporkan bahwa, penggunaan konsentrasi larutan garam yang tinggi dan semakin jenuh menyebabkan deposit garam pada permukaan kulit lebih banyak dan kecemerlangan ikan asin berkurang, selain itu diskolorisasi akibat oksidasi lemak dan pencucian yang kurang bersih membuat nilai penerimaan panelis berkurang. Menurut Rahayu, dkk. (1992) dalam Desniar, dkk. (2009) bahwa, garam mampu menyerap air pada suatu bahan pangan dan terjadi penurunan kadar air, bila kadar air pada ikan menurun maka kandungan lemaknya akan meningkat sehingga ikan lebih mudah mengalami oksidasi lemak, oksidasi lemak akan menyebabkan kenampakan ikan kurang menarik karena terjadi perubahan warna sperti kecoklatan. Pada proses penggaraman bahan pangan yang dilanjutkan pengeringan sering terjadi pencoklatan (browning) karena terjadinya oksidasi lemak pada ikan, sehingga mengurangi nilai penerimaan panelis terhadap kenampakan. Hadiwiyoto (2012) menyatakan bahwa, oksidasi lemak, degradasi protein dan komponen-komponen lainnya dapat menyebabkan kerusakan sel-sel daging sehingga kenampakan fisik ikan akan berubah. Ditambahkan oleh Haris (1996) dalam Lestary (2007) bahwa molekulmolekul oksigen yang kontak dengan produk akan segera memasuki rantai reaksi dan menyebabkan terjadinya oksidasi lemak, kerusakan vitamin, protein dan oksidasi pigmen, sehingga terjadi perubahan warna pada produk. b) Rasa Rasa merupakan faktor yang penting dalam menentukan keputusan bagi konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan, meskipun parameter lain nilainya baik, jika rasa tidak enak atau tidak disukai, maka produk akan ditolak (Nurjanah, dkk. 2005). Nilai rata-rata uji hedonik (Gambar 7) untuk rasa ikan bandeng asin kering menunjukkan bahwa nilai kesukaan panelis terendah 5.56 (agak suka) terdapat pada perlakuan A (konsentrasi garam 35 % dengan lama penggaraman 9 jam) dengan kriteria mutu enak, spesifik jenis, sedikit rasa tambahan dan nilai tertinggi berdasarkan kesukaan panelis 7.02 (suka) pada perlakuan H (konsentrasi garam 25 % dengan lama penggaraman 5 jam) dengan kriteria mutunya sangat enak, spesifik jenis, tanpa rasa tambahan. Nilai Organoleptik Rasa 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 5.56 A 6.03 6.14 B C 5.74 6.06 D E 7.02 6.63 6.13 5.83 F G H I Perlakuan Gambar 7. Nilai rata-rata rasa uji hedonik. Keterangan : A : Perlakuan 35 % : 9 jam B : Perlakuan 25 % : 9 jam C : Perlakuan 15 % : 9 jam D : Perlakuan 35 % : 7 jam E : Perlakuan 25 % : 7 jam F G H I : Perlakuan 15 % : 7 jam : Perlakuan 35 % : 5 jam : Perlakuan 25 % : 5 jam : Perlakuan 15 % : 5 jam Hasil analisis Kruskal-Wallis (P > 0.05) untuk uji hedonik rasa pada ikan bandeng asin (Lampiran 3) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kombinasi perlakuan konsentrasi garam dan lama waktu penggaraman terhadap rasa dari ikan bandeng asin kering. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menyatakan perlakuan H memberikan perbedaan yang nyata terhadap semua perlakuan. Berdasarkan nilai rata-rata pada uji hedonik, terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi garam dan lama penggaraman, semakin rendah pula nilai penerimaan panelis terhadap rasa dari ikan bandeng asin kering. Konsentrasi garam yang tinggi dan penggaraman yang semakin lama diduga menyebabkan tingkat keasinan ikan bandeng asin kering semakin tinggi. Selain itu, subyektifitas dari panelis mungkin berpengaruh terhadap penilaian rasa dari ikan bandeng asin kering yaitu ada yang menyukai produk dengan konsentrasi garam yang tinggi dan ada juga yang tidak menyukai. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahmani, dkk. (2007) mengenai ikan gabus asin menyatakan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap ikan asin cenderung semakin menurun dengan meningkatnya lama penggaraman, karena garam yang meresap ke dalam daging ikan semakin banyak sehingga menimbulkan rasa yang lebih asin. Ditambahkan oleh Zaitsev, dkk. (1965) dalam Afrianti (1995), bahwa konsentrasi garam yang tinggi menyebabkan rasa dari produk menjadi asin sekali dan kadang tidak disukai konsumen. Menurut Moelyanto (1982) dalam Syamsiar (1986), bahwa jumlah garam yang digunakan sangat menentukan tingkat keasinan dan daya simpan ikan asin yang dihasilkan. Ditambahkan juga bahwa jumlah garam yang ideal untuk penggaraman ikan-ikan berukuran sedang seperti mujair, kembung, layang dan jenis ikan lainnya berkisar antara 15 % - 25 % dari berat ikan sesudah disiangi. c) Tekstur Tekstur merupakan salah satu dari parameter uji sensoris yang berhubungan dengan sentuhan dan rabaan. Menurut Purnomo (1995) dalam Nurjanah (1995), tekstur adalah sekelompok sifat-sifat fisik yang ditimbulkan oleh elemen struktural bahan pangan yang dapat dirasa oleh perabaan, terkait dengan deformasi, desintegrasi dan aliran dari bahan pangan dibawah tekanan yang diukur secara obyektif. Berdasarkan nilai rata-rata uji hedonik pada Gambar 9 untuk parameter tekstur ikan bandeng asin kering menunjukkan nilai penerimaan panelis berkisar 5.79 – 6.57. Nilai penerimaan terendah 5.79 (agak suka) terdapat pada perlakuan I dengan kriteria mutu terlalu keras, tidak rapuh dan nilai tertinggi 6.57 (suka) pada perlakuan F dengan kriteria mutu padat, tidak rapuh. Nilai Organoleptik Tekstur 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 6.41 6.25 6.19 6.23 6.50 A B C D E 6.57 F 6.11 6.03 5.79 G H I Perlakuan Gambar 9. Nilai rata-rata parameter tekstur uji hedonik Keterangan : A : Perlakuan 35 % : 9 jam B : Perlakuan 25 % : 9 jam C : Perlakuan 15 % : 9 jam D : Perlakuan 35 % : 7 jam E : Perlakuan 25 % : 7 jam F G H I : Perlakuan 15 % : 7 jam : Perlakuan 35 % : 5 jam : Perlakuan 25 % : 5 jam : Perlakuan 15 % : 5 jam Hasil analisis Kruskal-Wallis (Lampiran 3) menunjukkan bahwa konsentrasi garam dan lama penggaraman tidak berbeda nyata terhadap tekstur dari ikan bandeng asin kering (P < 0.05). Nilai rata-rata penerimaan panelis pada uji hedonik menunjukkan bahwa, penilaian panelis hampir sama dan range nilai yang tidak terlalu jauh untuk setiap perlakuan. Walaupun demikian penilaian panelis cenderung meningkat dengan bertambahnya konsentrasi garam dan lama penggaraman. Kadar air yang semakin rendah terjadi karena peningkatan konsentrasi garam dan lama penggaraman sehingga tekstur ikan menjadi padat dan kompak serta berpengaruh pada tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur ikan bandeng asin kering. Rahmani, dkk. (2007) melaporkan bahwa rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur ikan gabus asin cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam dan lama perendaman, perlakuan tersebut menyebabkan ikan asin terlihat lebih kering karena kadar air yang rendah. Menurut Sofiyanto (2001), bahwa penggunaan garam yang bersifat higroskopis pada ikan asin menyebabkan tekstur ikan menjadi kompak dan padat. Menurut Voskresensky (1965) dalam Syamsiar (1986), bahwa penggaraman dengan menaburkan kristal garam pada tubuh ikan air terekstraksi keluar dari jaringan tubuh ikan, karena kristal garam yang ditaburkan akan menyerap air pada tubuh ikan sehingga daging ikan mengkerut dan lebih kompak. Reo (2011), menyatakan bahwa konsentrasi larutan garam dan lama pengeringan yang berbeda dapat mempengaruhi nilai konsistensi dari ikan layang asin, karena garam akan menarik air pada tubuh ikan sehingga kadar air dari ikan berkurang dan konsistensi dari ikan asin yang dihasilkan menjadi lebih baik. Ditambahkan juga oleh Soeparno (1998) dalam Hakim (2001), bahwa daya ikat air oleh daging akan berpengaruh dan menurunkan tingkat kekerasan produk apabila terdapat perlakuan seperti penggaraman, pengeringan, pemanasan maupun tekanan mekanik. d) Aroma Aroma merupakan salah satu faktor yang penting bagi konsumen dalam menentukan atau memilih makanan yang disukai. Pada umumnya aroma atau bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran dari empat bau utama yaitu harum, tengik, asam dan hangus (Sani, 2001). Dari nilai rata-rata aroma uji hedonik (Gambar 11) terlihat bahwa nilai penerimaan terendah 5.77 (agak suka) oleh panelis terdapat pada perlakuan H dengan kriteria mutu netral, sedikit bau tambahan. Sedangkan nilai tertinggi 6.66 (suka) pada perlakuan yaitu A dengan kriteria mutu hampir netral, sedikit bau tambahan. Nilai Organoleptik Aroma 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 6.66 A 6.29 6.47 B C 6.33 6.09 6.19 6.03 5.77 6.10 D E F G H I Perlakuan Gambar 11. Nilai rata-rata aroma uji hedonik Keterangan : A : Perlakuan 35 % : 9 jam B : Perlakuan 25 % : 9 jam C : Perlakuan 15 % : 9 jam D : Perlakuan 35 % : 7 jam E : Perlakuan 25 % : 7 jam F G H I : Perlakuan 15 % : 7 jam : Perlakuan 35 % : 5 jam : Perlakuan 25 % : 5 jam : Perlakuan 15 % : 5 jam Hasil analisis Kruskal-Wallis (Lampiran 3) menyatakan bahwa konsentrasi garam dan lama penggaraman tidak berbeda nyata terhadap parameter aroma dari ikan bandeng asin kering (P < 0.05). Hasil pengujian hedonik pada parameter aroma dari ikan bandeng asin kering terlihat bahwa perlakuan A memiliki nilai penerimaan tertinggi, dengan bertambahnya konsentrasi garam dan lama penggaraman membuat penilaian panelis semakin meningkat. Penyebabnya diduga karena proses oksidasi yang belum berlanjut sehingga ketengikan terhambat prosesnya. Selain itu ikan bandeng asin ini belum mengalami penyimpanan sehingga proses perombakan lemak oleh enzim belum terjadi. Sesuai yang dilaporkan oleh Rahmani, dkk. (2007), bahwa perlakuan konsentrasi garam dan lama perendaman tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk aroma ikan gabus asin, karena kemungkinan garam tidak terlalu memberikan pengaruh pada aroma ikan asin. Menurut Rahayu, dkk. (1992) dalam Rochima (2005), menyatakan bahwa meskipun oksidasi lemak dapat mengakibatkan ketengikan (rancidity), namun apabila prosesnya belum berlanjut, maka akan menghasilkan aroma yang justru disukai oleh konsumen. Ditambahkan juga oleh Rinto, dkk. (2009), bahwa ikan asin yang baru diproduksi / diolah cenderung lebih disukai oleh konsumen, karena belum adanya penyimpangan secara fisik seperti bau. Winarno (1997) dalam Lestary (2007) menyatakan bahwa, perubahan atau penguraian lemak dapat mempengaruhi bau dan rasa suatu bahan makanan khususnya pada masa penyimpanan, sehingga kerusakan lemak dapat menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan bau dan rasa. 4.3 Karakteristik Mutu Produk Terpilih Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal (Marimin, 2004 dalam Nurwati, 2011). Sebelum dilakukan analisis menggunakan metode Bayes, dilakukan perangkingan terhadap beberapa parameter yang diamati berdasarkan indeks kepentingan dari pendapat para ahli (Tabel 3). Tabel 3. Indeks kepentingan ikan bandeng asin kering berdasarkan parameter sensori No. Parameter 1 Rasa 2 Kenampakan 3 Tekstur 4 Aroma Dasar Pertimbangan Rasa merupakan faktor utama dalam menentukan enak tidaknya suatu produk berdasarkan penilaian konsumen. Penerimaan konsumen terhadap rasa ikan asin dipengaruhi oleh sifat fisiologis per individu, kadar garam yang rendah lebih disukai konsumen (Rahmani, dkk. 2007). Bahan pangan yang diasinkan dan dilanjutkan dengan pengeringan sering mengalami oksidasi lemak, apalagi jika memiliki kandungan lemak yang tinggi. Proses oksidasi lemak akan mengakibatkan perubahan warna pada ikan sehingga konsumen cenderung kurang menyukai (Hadiwiyoto, 2012). Tekstur berkaitan erat dengan kadar air pada bahan pangan. Pada ikan asin kering tekstur dipengaruhi oleh kadar air, kadar air yang rendah membuat konsistensi ikan asin menjadi lebih baik (Reo, 2012). Aroma ikan asin kering sering dipengaruhi oleh proses hidrolosis lemak yang terjadi pada proses pengeringan. Apabila terjadi hidrolisis lemak maka suatu produk akan beraroma tengik. Keberadaan air akan mempercepat terjadinya hidrolisis lemak (Lestary, 2007). Indeks Kepentingan 5 4 3 2 Penentuan produk terbaik dilihat berdasarkan total nilai tertinggi pada perlakuan yang diuji. Hasil Pengujian dengan metode Bayes (Tabel 4) didapatkan produk terpilih yaitu perlakuan F (konsentrasi garam 15 % dan lama penggaraman 7 jam). Produk terpilih ini selanjutnya dilakukan pengujian mikrobiologi dan kimia. Tabel 4. Hasil analisis metode Bayes Parameter Rasa Kenampakan Tekstur Aroma Total nilai Rangking A 1 7 7 7 B 4 6 6 5 C 6 5 3 7 D 2 2 5 6 Perlakuan E 5 3 8 2 F 7 4 9 5 G 3 8 4 3 H 8 1 2 1 I 5 8 1 4 4.84 6 5.06 4 5.52 2 3.27 9 4.18 7 5.97 1 4.58 5 3.66 8 5.11 3 Keterangan : A : Perlakuan 35 % : 9 jam B : Perlakuan 25 % : 9 jam C : Perlakuan 15 % : 9 jam D : Perlakuan 35 % : 7 jam E : Perlakuan 25 % : 7 jam F G H I Nilai bobot 0.36 0.29 0.22 0.14 : Perlakuan 15 % : 7 jam : Perlakuan 35 % : 5 jam : Perlakuan 25 % : 5 jam : Perlakuan 15 % : 5 jam Secara keseluruhan karakteristik mutu ikan bandeng asin kering (Tabel 5) dengan perlakuan F (konsentrasi garam 15 % dan lama penggaraman 7 jam) telah sesuai dengan persyaratan mutu dan keamanan pangan SNI ikan asin kering (SNI.2721[1].1-2009) pada Lampiran 15. Tabel 5. Karakteristik mutu produk terbaik Produk Terpilih Rasa F 7 Organoleptik Kenampakan Tekstur 6 7 Aroma Mikrobiologi Kapang 7 Negatif Kimia Kadar Air Kadar Garam 29.5 % / bk 10.3 % / bk 4.3.1 Kapang Kapang dan khamir umumnya memiliki ketahanan untuk tumbuh pada lingkungan yang lebih ekstrim dibandingkan dengan bakteri. Namun, pada kondisi yang ideal seperti pH substrat yang netral, kadar air yang tinggi, dan adanya nutrisi yang ideal, kapang dan khamir pertumbuhannya justru cenderung lebih lambat dibandingkan dengan bakteri karena kalah dalam kompetisi pertumbuhan (Wicaksono, 2007). Dari hasil pengujian kapang pada Tabel 5 menunjukan bahwa produk ikan bandeng asin kering dengan perlakuan F (konsentrasi garam 15 % dan lama penggaraman 7 jam) tidak terdeteksi adanya kapang/khamir ataupun jamur. Pada pengujian organoleptik mutu hedonik juga menyatakan hasil yang sama bahwa pada semua perlakuan ikan bandeng asin kering belum adanya kapang. Ikan bandeng asin kering yang diuji baru diolah dan ikan bandeng sebagai bahan utama tergolong sangat segar, selain itu ikan bandeng asin kering tidak mengalami perlakuan penyimpanan, sehingga hal inilah yang menyebabkan tidak terdeteksi adanya kapang pada produk ikan bandeng asin kering. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryati (2006) mengenai penyimpanan ikan asin jambal roti yang menyatakan bahwa pertumbuhan jamur dan kapang tidak terdeteksi pada minggu ke-0, karena produk jambal roti tergolong masih baru dan belum lama disimpan sehingga pengamatan aktivitas pertumbuhan jamur dan kapang hasilnya negatif, akan tetapi pada pengamatan minggu ke-3 dan ke-4 pertumbuhan jamur dan kapang sangat signifikan. Hasil penelitian oleh Dwiari (2003), menyatakan bahwa pada penyimpanan minggu ke-3 sampai ke-6 pertumbuhan kapang cenderung bertambah, namun pada awal penyimpanan cumicumi asin kering belum ditemukannya kapang pada setiap perlakuan, hal ini diduga karena dalam proses pengolahannya menggunakan bahan baku yang segar, selain itu belum terkontaminasinya bahan baku selama proses penggaraman dan pengeringan. 4.3.2 Kadar air Kadar air merupakan karakteristik yang sangat mempengaruhi bahan pangan, karena kandungan air dapat memberikan pengaruh terhadap aktivitas mikrobiologi, fisik dan sifat kimia dari bahan pangan. Menurut Winarno (1997) dalam Sofiyanto (2001), bahwa kadar air yang tinggi dapat mengakibatkan bakteri, kapang dan khamir lebih mudah untuk berkembang biak sehingga akan mengakibatkan kerusakan secara mikrobiologi, mempengaruhi sifat fisik dan sifat fisiko-kimia pada ikan asin. Hasil pengujian kadar air pada ikan bandeng asin kering adalah 29.5 % / bk (Tabel 5). Berdasarkan persyaratan mutu ikan asin kering (SNI.2721[1].1-2009) pada Lampiran 15, maka kadar air ikan bandeng asin kering memenuhi standar yang telah ditetapkan yaitu maksimal 40 %. Apabila dibandingkan dengan kadar air bahan baku (Tabel 1) sebelum mengalami perlakuan, terlihat bahwa kadar air ikan bandeng asin kering mengalami penurunan sekitar 50 %. Penarikan molekul air oleh garam terjadi karena proses osmosis pada saat proses penggaraman, selain itu pada proses pengeringan juga terjadi penguapan air pada ikan bandeng asin kering, sehingga terjadi penurunan kadar air. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Reo (2011), yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi garam dan lama pengeringan pada ikan layang asin kering maka semakin banyak pula air yang keluar dari tubuh ikan, pada perlakuan konsentrasi garam 15 % dan lama pengeringan 8 jam memiliki kadar air 25.12 % dan pada konsentrasi garam 5 % dengan lama pengeringan 4 jam memiliki kadar air yanng cukup tinggi yaitu 51.31 %. 4.3.3 Kadar garam Kadar garam pada ikan bandeng asin kering dengan perlakuan F (konsentrasi garam 15 % dan lama penggaraman 7 jam) diperoleh hasil 10.3 % / bk. Kadar garam pada ikan asin dipengaruhi oleh penetrasi garam pada proses penggaraman, tingkat kesegaran dan kandungan lemak yang tinggi pada ikan menyebabkan kecepatan penetrasi garam semakin berkurang. Selain itu lama waktu penggaraman berpengaruh terhadap penetrasi garam pada tubuh ikan, sehingga kadar garam pada ikan asin lebih rendah dari konsentrasi garam yang digunakan. Kadar garam ikan bandeng asin kering yang dihasilkan masih sesuai dengan standar mutu SNI ikan asin kering (Lampiran 15) yaitu maksimal 20 %. Pada penelitian yang dilakukan oleh Syamsiar (1986) mengenai penggaraman ikan lemuru (Sardinella longiceps), melaporkan bahwa pada penggaraman kering air yang keluar lebih banyak dan kadar garam pada tubuh ikan akan meningkat karena proses osmosis yang terjadi, selain itu lama penggaraman akan mempengaruhi penetrasi garam dalam tubuh ikan sehingga berpengaruh terhadap kadar garam ikan ikan lemuru asin yang dihasilkan. Ditambahkan oleh Rahmani, dkk. (2007), bahwa nilai kadar garam pada ikan gabus asin kering semakin meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi garam dan lama perendaman ikan asin pada larutan garam.