BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ikan Teri (Stolephorus sp) Klasifikasi ikan Teri (Stolephorus sp) berdasarkan ikan yang termasuk cartilaginous (bertulang rawan) atau bony ( bertulang keras), menurut Young (1962) dan De Bruin et al (1994) dalam Hastuti (2010) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Sub-Filum : Vertebrae Class : Actinopterygii Ordo : Clupeiformess Famili : Engraulididae Genus : Stolephorus Species : Stolephorus sp Gambar 1. Ikan Teri (Stolephorus sp) Ikan teri (Stolephorus sp) yang termasuk dalam famili Engraulididae ini mempunyai banyak spesies. Spesies umum yang teridentifikasi adalah (Stolephorus heterobolus), (S.devisii), (S.buccaneeri), (S.indicus), dan (S.commersonii) (De Bruin et al,1994) dalam Hastuti (2010). 2.1.1 Habitat dan Penyebaran Ikan Teri (Stolephorus sp) Ikan teri bersifat pelagis dan menghuni perairan pesisir dan estuaria, tetapi beberapa jenis dapat hidup pada salinitas rendah antara 10-15%. Berdasarkan sifatnya, ikan teri hidup bergerombol, sering melakukan migrasi, sehingga ikan teri memiliki 5 daerah penyebaran yang dipengaruhi oleh perubahan musim pada daerah tertentu. Pola musim ikan teri itu sendiri terjadi secara periodik setiap tahunnya (Hardenberg 1934 vide Hutomo et al.1987) dalam Dwiari (2003). Ikan teri mempunyai daerah penyebaran yang luas di laut Pasifik bahkan sampai ke daerah Tahiti dan Madagaskar (Nontji 2005) dalam Hastuti (2010). Penyebaran ikan teri di Indonesia di wilayah antara 950BT – 1400BT dan 100LU – 100LS, dengan kata lain mencakup hampir di seluruh wilayah Indonesia (DJPT, 1987) dalam Mayrita (2010). 2.1.2 Komposisi Kimia Ikan Teri (Stolephorus sp) Ikan teri (Stolephorus sp) merupakan sumber nutrisi yang penting bagi masyarakat Indonesia. Menurut Opstvedt (1988) dalam Sedjati (2006), pada umumnya ikan teri mengandung protein sekitar 16%, namun proses penggaraman pada pengolahan ikan secara tradisional mengakibatkan hilangnya protein ikan yang mencapai 5%, tergantung pada kadar garam dan lama penggaraman. Adanya variasi dalam komposisi kimia disebabkan karena faktor biologis dan alami. Faktor biologis antara lain jenis ikan, umur dan jenis kelamin. Faktor alami yaitu faktor luar yang tidak berasal dari ikan, yang dapat mempengaruhi komposisi daging ikan. Golongan faktor ini terdiri atas daerah kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia (Muchtadi dan Sugiyono, 1989) dalam Mayrita (2010). Secara ringkas komposisi nutrisi pada ikan teri (Stolephorus sp) asin kering dapat dilihat pada Tabel 1. 6 Tabel 1. Komposisi Ikan Teri (Stolephorus sp) (per 100 gram bahan). Kandungan Gizi Jenis Olahan Segar Kering Tawar Kering Asin Energi (Kkal) 77 331 193 Protein (gram) 16 68.7 42 Lemak (gram) 1 4.2 1.5 Kalsium (mg) 500 2381 2000 Fosfor (mg) 500 1500 300 Besi (mg) 1 23.4 2.5 Vitamin A (RE) 47 62 - Vitamin B (RE) 0.05 0.1 0.01 Air (%) 80 16.7 40 Sumber : Direktorat Gizi (1990) dalam Sedjati (2006) 2.2 Deskripsi Produk Ikan Teri (Stolephorus sp) 2.2.1 Produk ikan teri (Stolephorus sp) Produk ikan yang dipasarkan bentuknya sangat bervariasi. Keanekaragaman tersebut akan semakin bervariasi seiring dengan permintaan pasar. Ikan teri segar merupakan salah satu contoh jenis produk yang banyak diminati konsumen. Ikan segar memiliki pengertian sebagai ikan yang baru saja ditangkap, belum mengalami pengawetan, atau yang sudah diawetkan hanya dengan pendingin (Syafitri, 2007). Suhu penyimpanan terbaik untuk ikan segar adalah -10C, sedangkan untuk titik beku berkisar antara -1,10C sampai -2,20C. selama ikan teri dalam penyimpanan dilakukan dengan menggunakan bantuan garam dan es, karena ikan teri merupakan ikan yang mudah busuk (Ilyas 1983) dalam Syafitri (2007). 7 2.2.2 Produk ikan teri (Stolephorus sp) kering Proses pembuatan ikan teri kering yaitu dengan proses pengeringan. Proses pengolahan diawali dengan pembersihan teri yang diterima dari para nelayan. Ikan teri yang sudah membusuk sebaiknya tidak ikut diolah. Ikan teri dicuci dengan air dingin untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang tercampur dengan ikan, menghilangkan darah dan lendir. Isi perut dan insang ikan teri yang dicuci tidak perlu dibuang. Ikan teri dibersihkan dengan air bersih yang kemudian direbus dalam air mendidih dengan kadar garam 5-6% atau tidak menggunakan garam sama sekali pada suhu 1000-1030C. Garam yang digunakan untuk pembuatan ikan teri kering berbeda dengan garam dalam pembuatan ikan teri asin untuk pasar lokal. Ikan teri tersebut kemudian dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari secara langsung (Sedjati, 2006). Ikan teri tawar yang sudah diolah ini perlu dijaga dari kontaminasi jamur jika tidak sempurna keringnya, karena hal ini bisa membuat warna ikan teri tidak bersih (kecoklatan). Ikan teri yang kering dilakukan proses sorting, yaitu pemisahan teri dari kotoran dan jenis ikan lain yang ikut tersaring dalam jaring nelayan. Proses pemisahan ikan teri berdasarkan ukuran panjangnya (sizeing). Kemudian ikan teri tersebut melewati tahapan finishing yang dikemas dan siap didistribusikan (Hutomo et al. 1987) dalam Susianawati (2006). 2.3 Prinsip Dasar Pengolahan Ikan Kering Proses pengolahan dilakukan sebagai suatu usaha untuk memanfaatkan ikan agar dapat digunakan semaksimal mungkin sebagai bahan pangan. Ikan yang baru saja ditangkap dapat dipertahankan nilai kesegarannya dalam jangka waktu yang cukup lama, dengan cara diolah menjadi produk atau diawetkan dalam berbagai bentuk bahan pangan lainnya (Hadiwiyoto (1993) dalam Sedjati (2006). 8 Pada dasarnya usaha-usaha tersebut hanya dengan memanfaatkan prosesproses alami saja yang dikerjakan secara tradisional, tetapi karena perkembangan ilmu dan teknologi maka berkembang pula pembuatan alat-alat mekanis yang dapat menunjang dan mempercepat proses, memperbanyak produk akhir sekaligus memperbaiki mutunya. Faktor-faktor alami yang banyak dimanfaatkan adalah panasnya sinar matahari. Dengan menjemur ikan pada sinar matahari, kandungan air dapat dikurangi sehingga ikan menjadi kering dan awet. Menurut Hadiwiyoto (1993) dalam Sedjati (2006) prinsip pengolahan dan pengawetan ikan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi empat golongan besar, yaitu: a). Pengolahan dan pengawetan ikan dengan memanfaatkan faktor-faktor fisika kimiawi. Pada metode ini yang banyak dikerjakan adalah pemanfaatan suhu tinggi ataupun suhu rendah yang dapat digolongkan pada metode dan pengawetan ini misalnya proses-proses pengeringan, pengasapan, sterilisasi (pengalengan), pendinginan, pembekuan, termasuk pula proses radiasi dan pengeringan beku. b). Pengolahan dan pengawetan ikan dengan menggunakan bahan-bahan pengawet. Tujuan penggunaan bahan pengawet antara lain : 1). Menghambat pertumbuhan mikroba. 2).Menghambat proses enzimatik. 3).Memberikan sifat fisika kimiawi dan organoleptik (sensorik) khas yang dapat memberikan nilai estetika tinggi, tergolong pada metode pengolahan dan pengawetan ini misalnya proses-proses penggaraman, pengasaman dan penggunaan bahan-bahan pengawet atau tambahan. 9 c). Pengolahan dan pengawetan ikan dengan metode gabungan kedua metoda tersebut di atas. Ini banyak dikerjakan untuk mencegah resiko kerusakan lebih besar pada bahan, meningkatkan faktor keamanan dan kesehatan, peningkatkan tingkat penerimaan (aseptabilitas) produk dengan tidak mengurangi mutu hasil akhir. d). Pengolahan yang bersifat merubah sifat bahan menjadi produk semi akhir (setengah jadi) atau produk akhir . Metode ini banyak dikerjakan misalnya pada pembuatan tepung ikan (penggilingan), pengolahan minyak ikan, pengolahan kecap ikan, pengolahan terasi dan sosis ikan. 2. 4 Kerusakan Ikan Teri (Stolephorus sp) Asin Kering Menurut Afrianto dan Liviawaty (1994) dalam Sedjati (2006), kerusakan yang sering terjadi pada ikan asin adalah kerusakan mikrobiologis. Kerusakan pada ikan asin dapat ditimbulkan oleh bakteri halofilik yang mampu mengubah tekstur maupun rupa. Bakteri halofilik dapat tumbuh pada ikan asin dengan nilai aktifitas air 0,75%. Penggunaan peralatan dan air yang bersih saat proses pengolahan adalah merupakan metode yang efektif untuk mengurangi kontaminasi bakteri halofilik. Selain disebabkan oleh bakteri ini, kerusakan mikrobiologis pada ikan asin juga dapat disebabkan oleh jamur, ragi dan beberapa serangga dalam bentuk larva. Jamur Sporendonemia epizoum sering tumbuh pada ikan asin yang mengakibatkan bercakbercak pada permukaan daging. Meskipun tidak semua jamur berbahaya bagi kesehatan, kerusakan yang ditimbulkan dapat menurunkan penerimaan konsumen. Sementara kerusakan kimia yang terjadi pada ikan asin merupakan salah satu penyebab terjadinya kemunduran mutu dari ikan asin, diantaranya yang paling sering 10 terjadi adalah adanya kerusakan lemak sebagai dampak samping dari proses penjemuran. Kerusakan lemak pada ikan asin itu sendiri diakibatkan oleh adanya faktor dari dalam seperti enzim dan adanya reaksi kimia dari senyawa yang ada pada ikan asin (Dwiari, 2003). Kerusakan lemak dapat pula terjadi karena proses oksidasi. Reaksi oksidasi yang tidak disebakan oleh oksigen bebas disebut autooksida. Reaksi autooksida pasti berjalan dan tidak dapat dicegah meskipun ikan terdapat dalam kemasan. Adanya logam dan oksigen akan mempercepat proses oksidasi. Penyimpanan ikan sebaiknya dilakukan pada suhu rendah, tanpa kemasan logam dan terlindung dari sinar matahari dengan tujuan untuk mengurangi proses oksidasi Winarno (1997) dalam Dwiari (2003). Kerusakan lainnya adalah rust spoilage, yaitu kerusakan akibat reaksi amino dan senyawa karbonil hasil oksidasi lemak. Reaksi ini dapat membentuk pigmen coklat dan bau tengik yang mencolok. Cara pencegahannya dapat dilakukan dengan memberikan antioksidan seperti asam askorbat, senyawa phenolik dan bumbu (merica, abe, dan lain-lain),( Zaitsev, et al (1969) dalam Dwiari (2003). 2.5 Mutu Menurut Goetsch dan Davis (1994) dalam Irna (2001), mutu (quality) merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Gasperz (1992) dalam Irna (2001) menyatakan bahwa, konsep mutu lebih berkaitan dengan evaluasi subjektif dari konsumen, yaitu bahwa konsumen yang menilai sejauh mana tingkat mutu suatu produk yang dikonsumsi. Berdasarkan rumusan dari organiasasi pengendalian mutu Eropa (EOQC = the European organization for quality control) 11 mutu didefinisikan sebagai totalitas keistimewaan dan karakteristik suatu produk atau jasa yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan tertentu. Mutu didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembuatan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan (Feigenbun, 1992). Mutu suatu produk adalah penting dalam suatu perdagangan internasional untuk menghadapi pasar bebas. Industri-industri di Indonesia harus meningkatkan mutu produk yang dihasilkannya karena hanya mutu terbaik yang diinginkan oleh konsumen dan mampu bersaing diperdagangan internasional (Irna, 2001). 2.6 Standar Mutu Ikan Teri (Stolephorus sp) Asin Kering Standar ikan teri (Stolephorus sp) asin kering ini disusun mengingat produk ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan diekspor, namun dalam pengolahan ikan teri (Stolephorus sp) asin kering ini masih menggunakan cara dan peralatan yang tidak selalu memenuhi persyaratan teknis, sanitasi dan higiene. Standar ini berlaku untuk ikan teri (Stolephorus sp) asin kering dan tidak berlaku untuk produk yang mengalami pengolahan lebih lanjut. Menurut (BSN,1992) dalam Sedjati (2006), ikan teri (Stolephorus sp) asin kering adalah ikan teri segar yang mengalami perlakuan pencucian, penggaraman dengan perebusan atau tanpa perebusan dan pengeringan.Persyaratan ikan teri dapat dilihat dalam Tabel 2. 12 Tabel 2 . Standar Mutu Ikan Teri (Stolephorus sp) Asin Kerig SNI 01- 27081992 Jenis analisa Persyaratan mutu Organoleptik - Nilai minimum 7,0 - Kapang Negatif Mikrobiologi - Jumlah bakteri (TPC) koloni /gr; maksimum 1 x 105 koloni/g - Escherichia coli (APM/gr); maksimum 3g - Salmonella *) Negatif - Staphylococcus aureus *) Negatif - Vibrio cholera *) Negatif Kimia - Air, %bobot/bobot; maksimum 40% - Garam, % bobot/bobot; maksimum 15% - Abu tak larut dalam asam, % bobot/bobot 0,3 % maksimum Sumber : BSN (1992) dalam Sedjati (2006) 2.7 Sifat Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Ikan Teri (Stolephorus sp) Asin Kering Sifat kimia ikan teri meliputi kadar air, kadar abu tak larut asam, kadar garam dan formalin sedangkan sifat mikrobiologi meliputi TPC (Total Plate Count) dan kapang. 2.7.1 Sifat kimia a). Kadar Air Pengawetan ikan teri secara tradisional bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, salah satu caranya adalah dengan pembuatan ikan teri (Stolephorus 13 sp) asin kering, karena ikan teri mudah mengalami proses pembusukan. Oleh sebab itu pengawetan ikan teri telah diketahui oleh semua lapisan masyarakat (Suhartini dan Hidayat, 2005) dalam Tutianvia (2006). Zaitsev, et al (1969) dalam Fadly (2009) menyatakan bahwa kadar air merupakan pemegang peranan penting, kecuali aktifitas air mempunyai tempat tersendiri dalam proses pembusukan dan ketengikan. Kerusakan bahan makanan pada umumnya merupakan proses mikrobiologi, kimiawi, dan enzimatik atau kombinasi antara ketiganya. Berlangsungnya ketiga proses tersebut memerlukan air, kini telah diketahui bahwa hanya air bebas yang dapat membantu berlangsung proses tersebut. b). Kadar Abu tak larut asam Menurut Anggorodi (1990) dalam Fadly (2009), abu merupakan zat-zat mineral sebagai suatu golongan dalam bahan makanan. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Tujuan Pengujian kadar abu tak larut asam yang dimaksudkan yaitu mengetahui jumlah silikat yang berasal dari tanah atau pasir (debu), sedangkan abu larut asam yaitu untuk melarutkan kalium karbonat, alkali klorida, yang berasal dari kadungan garam yang digunakan pada ikan teri asin kering. Yaitu Ca, Na, K, Cl, c). Kadar Garam Garam merupakan faktor utama dalam proses penggaraman dan pengeringan ikan. Sebagai bahan pengawet dalam proses pengeringan, kemurnian garam sangat mempengaruhi mutu ikan teri asin yang dihasilkan (Afrianto dan Liviawaty,2005 ) dalam Tutianvia (2006). Menurut Sudarmadji dkk (1997) dalam Tutianvia (2006) , penentuan kadar garam NaCl dapat dilakukan dengan cara Kohman, yaitu dengan 14 prinsip mengekstraksi sampel sehingga garam NaCl dipisah dengan lemak kemudian dititrasi. Pada proses penggaraman, pembusukan ikan teri dapat dihambat sehingga dapat disimpan lebih lama. Penggunaan garam sebagai bahan pengawet terutama diandalkan pada kemampuannya menghambat pertumbuhan bakteri dan kegiatan enzim penyebab pembusukan yang terdapat dalam tubuh ikan teri (Afrianto dan Liviawaty, 1989) dalam Hastuti (2010). d). Formalin Menurut catatan badan pengawasan obat dan makanan (BPOM) penggunaan formalin sepanjang tahun 2006 masih sekitar 5-10%. Pada mie basa dan tahu penggunaan formalin 5% sedangkan pada ikan asin dan makanan laut lainnya 10% ((Pramono 2007) dalam Anggrahini (2008). Formalin biasanya digunakan sebagai bahan pengawet mayat. Formalin bersifat bakterisidal sehingga mampu membunuh semua mikrobia. Oleh karena itu formalin dapat menjaga keawetan bahan yang menggunakannya. Namun sifat tersebut juga dapat membunuh dan merusak sel-sel yang ada pada jaringan manusia ((Lu, 2006) dalam Rinto dkk (2009). Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Didalam formalin mengandung sekitar 37% formaldehid dalam air, biasanya ditambah methanol hingga 15% sebagai pengawet. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, 15 Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith ( Astawan, 2006 ). 1. Penggunaan Formalin Penggunaan formalin antara lain sebagai pembunuh kuman sehingga digunakan sebagai pembersih lantai, gudang, pakaian dan kapal, pembasmi lalat dan serangga lainnya, bahan pembuat sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Dalam dunia fotografi biasanya digunakan untuk pengeras lapisan gelatin dan kertas, bahan pembentuk pupuk berupa urea, bahan pembuatan produk parfum, bahan pengawet produk kosmetik dan pengeras kuku, pencegah korosi untuk sumur minyak, bahan untuk isolasi busa, bahan perekat untuk produk kayu lapis (playwood), dalam konsentrasi yang sangat kecil ( < 1 % ) digunakan sebagai pengawet, pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampo mobil, lilin dan karpet (Permadi, 2008). 2. Bahaya Formalin Bahaya utama apabila formalin tertelan akan mengakibatkan bahaya kanker pada manusia. Bahaya jangka pendek (akut) yaitu jika tertelan maka mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit menelan, mual, muntah, dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kejang, tidak sadar hingga koma. Selain itu juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pancreas, sistem susunan saraf pusat dan ginjal. Sedangkan bahaya jangka panjang (kronik) yaitu Jika tertelan akan menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan, muntah-muntah dan kepala pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa gatal didada (Permadi, 2008). 16 2.7.2 Analisis Mikrobiologi a). TPC Menurut Icho (2001) dalam Susianawati (2006) mengatakan bahwa penyimpanan ikan teri asin setelah beberapa lama sering timbul warna kemerahan pada permukaan ikan teri kering atau timbulnya bintik-bintik putih yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang tahan terhadap garam. Hal ini dapat dijumpai dengan penentuan jumlah mikroba dengan uji TPC (Total Plate Count). TPC yaitu jenis uji mutu secara bakteriologis yang digunakan sebagai indikator keberadaan mikroba yang berada pada bahan media Potato Dextrose Agar (PCA). Perhitungan secara tidak langsung yaitu mengukur jumlah mikroba keseluruhan baik hidup atau mati hanya menentukan jumlah mikroba yang hidup saja tergantug pada cara yang dipergunakan (Adawyah, 2007). b). Kapang Kapang adalah sekelompok mikroba yang tergolong dalam fungi dengan ciri khas memiliki filamen (miselium). Kapang termasuk mikroba yang penting dalam mikrobiologi pangan karena selain berperan penting dalam industri makanan seperti ikan asin, abon ikan, ikan asap, dan produk perikanan lainnya (Adawyah,2007). Kapang juga banyak menjadi penyebab kerusakan pangan, pertumbuhannya mulamula akan berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang (Syarif dan Halid,1993) dalam Adawyah (2007). Menurut Adwyah (2007) beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri yaitu : 1. Nutrisi, 2. Media, 3. Kondisi Fisik meliputi kadar air, suhu, oksigen dan pH dapat dijelaskan sebagai berikut : 17 1. Nutrisi Nutrisi untuk bakteri yang diperlukan untuk pertumbuhan dan fungsinya yang normal. Sehingga diketahui beberapa tipe nutrisi bakteri yaitu Autotrof (Fotoautotrof dan Kemoautotrof.), Heterotrof (bakteri saprofit dan bakteri parasit). a. Bakteri Autotrof adalah bakteri yang mampu membuat makanannya sendiri. Bakteri autrof dibedakan dalam dua kelompok berdasarkan asal energi untuk mensintesis makanannya, yaitu fotoautotrof dan kemoautotrof. Bakteri fotoautotrof adalah bakteri yang menggunakan energi cahaya matahari untuk membuat makanannya. Jenis pigmen bakteri autotrof utama adalah klorofil dan karoten. Contoh: (Thiocystis sp) bakteri memperoleh makanannya melalui proses fotosintesis. Bakteri kemoautotrof adalah bakteri yang menggunakan energi kimia untuk mensintesis makanannya. Energi kimia diperoleh dari proses oksidasi senyawa anorganik. Contoh: (Nitrosomonas dan Nitrosococcus) (bakteri nitrit) yang mengoksidasi senyawa amonia menjadi ion nitrit Nitrobacter (bakteri nitrat) mengoksidasi ion nitrit menjadi ion nitrat Gallionella (bakteri besi) mengoksidasi ion fero menjadi ion feri. Hydrogenobacter (bakteri hydrogen) yang mengoksidasi gas hydrogen menjadi air. b. Bakteri Heterotrof adalah bakteri yang makanannya berupa senyawa organik dari organisme lain. Bakteri heterotrof terbagi menjadi bakteri saprofit dan bakteri parasit. Bakteri Saprofit adalah bakteri yang memperoleh makanan dari sisa- sisa organisme atau produk organisme lain. Sisa-sisa organisme, misalnya daun yang gugur dan kotoran hewan, sedangkan produk organisme, 18 misalnya susu dan daging. Sisa organisme atau produk organisme yang mengandung bakteri akan mengalami proses penguraian. Bakteri saprofit merupakan salah satu organisme pengurai (decomposer) di alam. Contoh bakteri saprofit adalah (E. coli), (Lactobacillus bulgaricus) dan (Mycobacterium) (bakteri pengurai sampah). Bakteri parasit adalah bakteri yang memperoleh makanan dari inangnya. Inang tempat hidup bakteri adalah tumbuhan, hewan atau manusia. Jika menimbulkan penyakit pada inangnya, maka bakteri disebut bakteri pathogen. Contoh: (Mycobacterium tuberculosis) ; (Bacillus anthracis) dan (Clostridium tetani). 2. Media Media pertumbuhan bakteri untuk menumbuhkan dan mengembangbiakan mikroba diperlukan suatu substansi yang disebut media. Media dapat dibuat dari bahan alam seperti toge, kentang, wortel, daging, telur, susu atau dari bahan buatan yaitu senyawa kimia organik ataupun anorganik. Syarat media yaitu harus dipenuhi sebagai berikut : 1. Mengandung semua unsur hara yang diperlukan 2. Memenuhi semua faktor yang dibutuhkan oleh mikroba, seperti pH 3. Harus dalam keadaan steril. 4. Bentuk susunan dan sifat media, 5. Bentuk media ditentukan oleh ada tidaknya penambahan zat pemadat seperti agar, gelatin. 19 a. Tiga bentuk media yaitu seperti berikut : 1. Media cair (kaldu cair) yaitu tidak ditambahkan zat pemadat, dipergunakan untuk bakteri atau ragi. 2. Media padat menggunakan agar, merupakan media umum yang dipergunakan untuk pertumbuhan bakteri heterotrof, ragi dan jamur. 3. Media semi padat atau semi cair: penambahan zat padat 50%, dipergunakan untuk pertumbuhan mikroba yang banyak memerlukan air, anaerobik atau fakultatif. b. Susunan Media yang mengandung air, protein, asam amino, energi dan vitamin dapat berbentuk sebagai berikut : 1. Media alami: media yang disusun oleh bahan alami, kentang, daging, susu, telur. 2. Media sintetik: media yang disusun dari senyawa kimia 3. Media semi sintetis: media yang disusun berdasarkan campuran bahan alami dan bahan sintetis c. Sifat-sifat media sebagai berikut : Sifat media mempunyai tujuan yaitu untuk isolasi, seleksi, evaluasi dan diferensiasi biakan yang didapat, artinya penggunaan zat tertentu yang mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembang biakan. Setiap media mempunyai sifat (spesifikasi) tersendiri sesuai dengan maksudnya. Pembagian media berdasarkan sifat : 1. Media umum , contoh nutrien agar dan agar kentang dekstrosa, 2. Media pengaya, 3. Media selektif, 4. Media differensial, 5. Media penguji, 6. Media perhitungan. 20 1. Media umum digunakan untuk pertumbuhan dan perkembang biakan satu atau lebih kelompok mikroba secara umum, seperti agar kaldu nutrisi untuk bakteri dan agar kentang dekstrosa untuk jamur. 2. Media Pengaya digunakan dengan maksud memberikan kesempatan terhadap suatu jenis atau kelompok mikroba untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat dari jenis/kelompok lainnya yang sama-sama berada di dalam satu bahan. Misalnya untuk memisahkan bakteri penyebab tifus dari feses manusia. 3. Media selektif yaitu media yang hanya dapat ditumbuhi oleh satu atau lebih jenis mikroba tertentu tetapi akan menghambat atau mematikan untuk jenisjenis lainnya . Contoh : (Menia SS) (Salmonella-Shigella). 4. Media Differensial yaitu media yang digunakan untuk menumbuhkan mikroba tertentu serta penentuan sifat-sifatnya seperti media agar darah yang dipergunakan untuk pertumbuhan bakteri hemolitik, sehingga bakteri non hemolitik tidak dapat tumbuh atau dihambat. 5. Media penguji yaitu media yang dipergunakan untuk pengujian senyawa atau benda tertentu dengan bantuan mikroba. Misalnya media penguji vitamin, asam amino, antibiotika, residu pestisida. Media ini mengandung senyawa dasar untuk pertumbuhan dan perkembang biakan mikroba juga ditambahkan sejumla senyawa tertentu yang akan diuji. 6. Media Perhitungan yaitu media yang dipergunakan untuk menghitung jumlah mikroba pada suatu bahan. Media ini dapat berbetuk media umum, media selektif, media differensial atau media penguji. 21 3. Kondisi Fisik a. Kadar air pada ikan teri merupakan media pertumbuhan kapang dan TPC pada kisaran kadar air diatas 40% yang tidak sesuai dengan badan standar nasional. b. Suhu adalah salah satu faktor dalam proses pertumbuhan bakteri Kapang dan TPC, tergantung pada reaksi kimiawi dan laju reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu. Sehingga pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh suhu. Berdasarkan suhu, bakteri dibagi menjadi beberapa kelompok diantaranya Psikrofil yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu 0 – 300C, Mesofil, yaitu kelompok bakteri yang tumbuh pada suhu 25-400C dan Termofil, yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu 500C atau lebih. c. Oksigen juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri yaitu oksigen dan karbon dioksida. Berdasarkan kebutuhan oksigen, bakteri dibagi menjadi lima kelompok, yaitu bakteri Aerobik yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen. Bakteri Anaerobik yaitu bakteri yang dapat tumbuh tanpa oksigen, bakteri Anaerobik fakultatif yaitu bakteri yang dapat tumbuh pada keadaan aerob maupun anaerob dan bakteri Mikroaerofilik yaitu bakteri yang tumbuh baik bila ada oksigen bebas dalam jumlah kecil dan bakteri Kapnofilik yaitu bakteri yang membutuhkan CO2. d. pH merupakan faktor pertumbuhan bakteri yang membutuhkan pH optimum antara 6,5 dan 7,5. Tetapi ada beberapa bakteri yang dapat tumbuh pada pH rendah, atau tumbuh pada pH tinggi (basa). Kondisi fisik perlu dipertimbangkan di dalam penyediaan kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri. Pada kondisi lain, yaitu pada konsentrasi garam tinggi dikenal bakteri halofilik yaitu bakteri 22 yang dapat hidup pada air asin di laut. Mikroorgansime yang membutuhkan konsentrasi garam tinggi untuk pertumbuhannya disebut halofil obligat. Bakteri yang dapat tumbuh pada keadaan tanpa garam maupun mengandung garam disebut halofil fakultatif. 23