PERADILAN DI REPUBLIK ARAB MESIR

advertisement
PERADILAN DI REPUBLIK ARAB MESIR
( ‫) اﻟﻘﻀﺎء ﻓﻲ ﺟﻤﮭﻮرﯾﺔ ﻣﺼﺮ اﻟﻌﺮﺑﯿﺔ‬
Oleh : Anshoruddin
I.
PENDAHULUAN
Antara Indonesia dan Mesir terdapat beberapa kemiripan dalam sejarah hukum.
Pertama, sebelum datangnya penjajahan barat, dalam bidang peradilan, Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syar’iyyah adalah lembaga peradilan yang dominan di kedua
negara. Kedua, Indonesia dan Mesir sama-sama merasakan dualisme pendidikan hukum
dan peradilan. Di satu pihak terdapat pendidikan hukum untuk hukum warisan colonial
yang bermuara ke Pengadilan Umum dan di lain pihak terdapat pendidikan syari’ah untuk
hukum Islam yang bermuara ke Pengadilan Agama. Ketiga, kedua Negara sama-sama
berbasis tradisi civil law di mana asal usul hukum materiil dan acara berasal dari Prancis.
Mesir mengambilnya melalui Code Napoleon dan perundang-undangan Perancis modern,
dan Indonesia mengambilnya melalui Belanda karena Belanda pernah dijajah Perancis.
Keempat, kedua Negara berusaha untuk menyatukan kedua sistem hukum dan peradilan
dalam kerangka hukum nasional masing-masing. Di Mesir, hukum private Islam sudah
menyatu dengan hukum private umum dan Peradilan Agama (Mahkama Syar’iyyah)
sudah menyatu dengan Peradilan Umum, sedang di Indonesia pada tanggal 30 Juni 2004
Menteri Agama , telah menyerahkan Organisasi, Administrasi, dan finansial lingkungan
Peradilan Agama kepada ketua Mahkamah Agung RI: (pasal 42 ayat (2) Undang-Undang
No. 4 tahun 2004 dan KEPRES No. 21 tahun 2004).1
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yang menjadi inti
pembahasan adalah :
1. Bagaimana bentuk dan sistem peradilan di Negara Republik Arab Mesir, dan apa sisi
persamaan dan perbedaannya dengan bentuk dan sistem peradilan Indonesia ?
2. Bidang-bidang apa saja yang mungkin dikembangkan di Indonesia dari apa yang ada
di Mesir ?
3. Apakah secara khusus pengalaman Mesir dalam bidang hukum materiil dan hukum
acara keluarga dapat memperkaya hukum materiil dan hukum acara keluarga di
lingkungan Peradilan Agama ?
1
Anshoruddin ; Makalah Peradilan Satu Atap Dan Positivisasi Hukum Islam
1
II.
POSISI AGAMA DALAM NEGARA
Sebelum revolusi tahun 1952, Mesir adalah sebuah kerajaan berkonstitusi, yaitu
konstitusi tahun 1923 yang menyatakan bahwa Mesir adalah sebuah negara Islam
independen yang berdaulat dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan mempunyai
dewan perwakilan rakyat. Konstitusi tahun 1923 ini dihapuskan, lalu partai-partai politik
dibubarkan pada tahun 1953, dan sebuah konstitusi baru diumumkan pada tahun 1956
yang diikuti dengan proklamasi Republik Mesir. Antara tahun 1958 dan 1961, Mesir dan
Syria melebur diri menjadi satu Negara, disebut Republik Persatuan Arab. Setelah Syria
menarik diri pada tahun 1961, Nama Republik Persatuan Arab masih tetap dipakai oleh
Mesir. Persatuan Nasional didirikan pada tahun 1957 menggantikan partai-partai politik
yang dihapuskan pada tahun 1953 dan menjadi Persatuan Sosialis Arab pada tahun 1962.
Pada tahun 1971, Mesir, Libya dan Syria sepakat mendirikan Konfederasi
Republik-Republik Arab. Sebuah draft konstitusi diterima oleh kepala Negara setiap
negeri dan dikukuhkan melalui referendum di ketiga negara anggota. Kairo dipilih
menjadi ibukota konfederasi ini. Pada tahun 1979 konfederasi bubar berikut
penandatanganan perdamaian antara Mesir dan Israel.
Pada tanggal 11 September 1971, sebuah konstitusi baru Mesir dikukuhkan
melalui referendum. Dalam proklamasinya dinyatakan bahwa Republik Arab Mesir
adalah sebuah Republik Sosials Demokratis dengan Islam sebagai agama negara
dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional. Juga dinyatakan bahwa Syari’at Islam
adalah sumber perundang-undangan negara. Konstitusi mengakui tiga bentuk
kepemilikan, yaitu kepemilikan umum, koperasi dan pribadi. Konstitusi juga menjamin
persamaan setiap warga di depan hukum dan memberikan perlindungan terhadap mereka
dari intervensi sewenang-wenang dalam proses hukum. Konstitusi juga menegaskan
tentang hak untuk berkumpul secara damai, hak pendidikan, hak kesehatan dan hak
keamanan sosial serta hak untuk mendirikan organisasi atau perhimpunan dan juga hak
untuk memilih dan dipilih.
Menurut konstitusi dan beberapa amandemen selanjutnya, presiden republik
adalah kepala negara dan bersama-sama dengan kabinet menjalankan kekuasaan
eksekutif. Presiden harus orang Mesir asli, lahir dari orang tua yang juga Mesir asli dan
usianya tidak kurang dari 40 tahun. Pemilihan presiden dilakukan setiap 6 tahun sekali
dan bisa dicalonkan kembali. Presiden mempunyai kekuasaan untuk memilih dan
2
memberhentikan satu atau lebih wakil presiden, perdana menteri, menteri-menteri dan
wakil-wakilnya. Lembaga Legislatif adalah Majelis Rakyat (Majlis asy-Sya’b) yang
memilih presiden dengan suara mayoritas dua pertiga anggota Majelis. Kandidat
kemudian dikukuhkan oleh plebisit nasional (referendum).
Presiden adalah komandan tertinggi angkatan bersenjata dan mempunyai hak
untuk memberikan amnesti dan mengurangi hukuman, mempunyai kekuasaan untuk
memilih pegawai sipil dan militer dan untuk memberhentikan mereka seperti ditetapkan
oleh undang-undang, dan memiliki kekuasaan melaksanakan referendum untuk
kepentingan yang sangat mendesak. Presiden dalam kasus-kasus pengecualian, dapat
mengeluarkan dekrit yang mempunyai kekuatan hukum, tetapi hanya untuk masa tertentu
saja.
Kekuasaan legislatif terletak di tangan Majelis Rakyat, yang terdiri dari 444
anggota terpilih. Beberapa orang anggota harus wanita dan 10 anggota tambahan yang
ditunjuk oleh presiden. Majelis dipilih berdasarkan sistem proporsional untuk jangka
waktu 5 tahun. Setiap warga Negara yang sudah berumur 18 tahun ke atas dan sudah
mendaftar dapat menggunakan hak pilihnya. Presidenlah yang membuka dan menutup
masa sidang Majelis Rakyat.
Fungsi untuk Majelis Rakyat adalah untuk menetapkan kebijakan. Para anggota
harus mengesahkan semua undang-undang dan memeriksa serta menetapkan anggaran
nasional. Majelis juga membuat program yang dijalankan oleh kabinet yang baru terpilih.
Majelis harus menarik anggotanya yang seharusnya sudah berhenti/pensiun. Presiden
tidak dapat membubarkan Majelis kecuali dalam situasi tertentu atau setelah ada
persetujuan melalui referendum rakyat. Pemilihan anggota Majelis yang baru harus
diadakan tidak lebih dari 60 hari setelah pembubaran Majelis.
Konstitusi juga menetapkan independensi peradilan dari kekuasaankekuasaan yang lain. Tugas dan wewenangnya diatur oleh perundang-undangan khusus.
Sebagai hasil dari amandemen UUD yang dilakukan oleh sebuah referendum pada tahun
1980, konstitusi juga menetapkan Majelis Syura’ sebagai badan penasehat nasional yang
dipilih secara parsial. Sementara itu Dewan Pertahanan Nasional yang diketuai oleh
presiden bertanggung jawab dalam masalah yang berhubungan dengan keamanan dan
pertahanan.
3
Sampai dengan tahun 1960, administrasi pemerintahan sangat bersifat sentralisasi.
Pada tahun tersebut,
sistem administrasi pemerintah daerah
didirikan untuk
mengembangkan desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam
pemerintahan daerah.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Tahun 1960 menetapkan tiga tingkatan
administrasi daerah, yaitu muhafazhah (propinsi), markaz (distrik atau kabupaten), dan
qaryah (desa). Struktur ini mengkombinasikan ciri-ciri antara pemerintah daerah dan
pemerintah otonomi daerah. Pada setiap tingkat administratif terdapat dua dewan, yaitu
dewan yang dipilih oleh rakyat dan dewan yang ditunjuk oleh dewan eksekutif.
Walaupun dewan-dewan ini menjalankan kekuasaan legislatif yang luas, tetapi keduanya
dikontrol oleh pemerintah pusat.
Mesir dibagi kepada 26 muhafazhah. Lima kota, yaitu Kairo, Alexandria, Ismailia,
Port Said dan Suez mempunyai status muhafazhah. Gubernur ditunjuk dan dapat
diberhentikan oleh presiden. Gubernur memegang kekuasaan eksekutif tertinggi di
muhafazah.
Ia mempunyai kekuasaan administratif terhadap
seluruh personil
pemerintahan, kecuali para hakim, dalam muhafazahnya dan bertanggung jawab untuk
menjalankan kebijakan.
Mayoritas dewan Muhafazhah terdiri dari anggota yang dipilih. Menurut
peraturan, paling tidak setengan dari anggota Dewan Muhafazah terdiri dari para petani
dan pekerja, tetapi tidak jalan dalam praktek. Dewan kota atau Dewan Distrik dan Dewan
Desa dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada Dewan Muhafazhah.
Dewan-dewan daerah melakukan fungsi-fungsi yang beragam dalam pendidikan,
kesehatan, sarana umum, perumahan, pertanian dan komunikasi. Dewan-dewan ini juga
bertanggungjawab mempromosikan gerakan koperasi dan melaksanakan bagian dari
perencanaan nasional. Dewan daerah mendapatkan dana dari pendapatan nasional, pajak
tanah dan bangunan di muhafazhah, berbagai macam pajak daerah, keuntungan dari
fasilitas umum, perusahaan-perusahaan dagang dan subsidi nasional, bantuan dan
pinjaman.2
2
Disarikan dari CD-ROOM Encyclopedia Britannica 2002, Artikel “Egypt: Government and Social
Conditions”.
4
III.
SISTIM PERADILAN MESIR
A. Sejarah Peradilan Mesir
Secara historis, sistem peradilan Republik Arab Mesir telah dikenal sejak
zaman kuno, yakni kurang lebih 3000 SM, yang telah meletakkan asas-asas peradilan
modern seperti pemeringkatan peradilan, karakteristik peradilan, sistem peradilan,
sengketa administrasi, asas-asas peradilan serta indepedensi hakim seperti
kemandirian dan kehati-hatian hakim.
Pada waktu itu penguasa di setiap wilayah secara ex officio menjabat sebagai
hakim. System peradilan pada zaman Islam, dimulai pada masa pemerintahan ‘Amar
bin ‘Ash ketika menjabat sebagai Gubernur Mesir. Kemudian pada masa
pemerintahan dinasti Mamalik, terbentuk empat macam peradilan. Pada masa
pemerintahan Muhammad ‘Ali, terbuka pengaruh sistem peradilan Eropah modern
yang ditandai dengan pendirian Dewan Wali pada tahun 1735.
Dengan masuknya pendatang asing ke Mesir didirikan peradilan campuran
(al-Mahkamah al-Mukhtalathah) sehingga peradilan dibagi menjadi dua macam
yakni, al-Mahkamah al-Ahliyah (al-Qawmiyyah) dan al-Mahkamah asy-Syar’iyyah
(tentang hukum keluarga). Selanjutnya berdiri peradilan Milliyyah bagi non Muslim
di bidang hukum keluarga. Sistem ini kemudian dihapus dengan Montrel Act tahun
1937, sehingga peradilan Qaumiyyah dan peradilan Syar’iyyah mempunyai
kewenangan mutlak. Peradilan Syar’iyyah kemudian dihapus dan wewenangnya
dimasukkan ke dalam peradilan perdata (al-Qadha al-Madani).
B. Lembaga-Lembaga Peradilan Mesir
Sistem peradilan Mesir mempunyai 5 (lima) bentuk lembaga peradilan :
1.
Al-Mahkama ad-Dusturiyah al-‘Ulya (Mahkam Agung Konstitusi);
2.
Majlis ad-Dawalah (Dewan Negara), yang meliputi:
3.
a.
Mahakim al-Qadha’ al-‘Idary (Peradilan Tata Usaha Negara);
b.
Qismu al-Fatawa (Komisi Fatwa);
c.
Qismu at-Tasyri’ (Komisi Perundang-undangan).
As-Sulthah
Al-Qadha’iyyah
/
Al-Qadha’
Yudikatif/Peradilan Biasa), yang meliputi:
a.
Peradilan (Mahkamah)
b.
Kejaksaan (Niyabah)
5
al-‘Adiyah
(Kekuasaan
4.
Hai’ah Qadhaya ad-Daulah (Lembaga Kasus-Kasus Negara);
5.
An-Niyabah al-Idariyyah (Kejaksaan Administrasif).
Di samping ke lima lembaga peradilan tersebut, ada juga peradilan istimewa
(exceptional court) yang dikenal denagn Mahkama Amnu ad- Daulah (Peradilan
Keamanan Negara) yang mempunyai kewenangan mengadili perkara subversi dan
pembunuhan terhadap Kepala Negara seperti tindak pidana pembunuhan terhadap
Presiden Anwar Sadat.
1.
Tingkatan-Tingkatan Peradilan
a.
Peradilan Bagian (Al-Mahkamah Al-Juz’iyyah)
b.
Peradilan Pertama (Al-Mahkamah Al-Ibtida’iyyah)
c.
Peradilan Banding (Al-Mahkamah Al-Isti’nafiyyah)
d.
Peradilan Kasasi (Mahkama an-Naqdh)
a) Peradilan Bagian (al-Mahkamah Al-Juz’iyyah)
Peradilan
Juz’iyyah
diketuai
oleh
hakim
tunggal,
yang
berkewenangan memeriksa perkara pidana dan perdata sesuai peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
antara
lain
menangani
kasus
pelanggaran delik pers. Di bidang perdata, peradilan Juz’iyyah memeriksa
dan mengadili perkara-perkara antara lain:
1.
Gugatan tentang penggunaan air.
2.
Gugatan tentang pemanfaatan lahan dan bangunan.
3.
Gugatan tentang upah dan gaji.
4.
Gugatan tentang hukum keluarga seperti tentang nafkah istri dan anak,
mahar dan peralatan rumah tangga di bawah L.E. 1000 (seribu pound
Mesir),- hadhanah, nafkah saudara-saudara, kewarisan yang lebih dari
L.E. 2.000 (dua ribu pound Mesir), perwalian atas pribadi dan harta
penetapan testamenters (washi).
b)
Peradilan Tingkat Pertama (al-Mahkamah al-Ibtida’iyyah)
Peradilan tingkat pertama (al-Mahkamah al-Ibtidai’yyah) juga
merupakan
peradilan
ulang
bagi
al-mahkamah
al-juz’iyyah
yang
mempunyai kewenangan mengadili perkara pidana dengan tuntutan selain
denda atau tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Dalam bidang
perdata, peradilan ibtida’iyyah mengadili perkara perdata dengan ciri-ciri:
6
pertama, perkara yang dimintakan pengadilan ulang dari pengadilan
juz’iyyah dan kedua, perkara perdata yang nilainya lebih dari L.E. 5.000
(lima ribu pound Mesir).
c) Peradilan Banding (al-Mahkamah al-Isti’nafiyyah)
Persidangan dilakukan dengan siding majelis yang beranggotakan 3
orang kanselir (al-Mustasyar). Peradilan ini juga mengadili perkara pidana
yang tempat kejadian perkara dalam wilayah hukumnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d) Peradilan Kasasi (Mahkamah al-Naqdh)
Berbeda dengan peradilan tingkat banding, yang berwenang
menangani perkara ulangan, maka peradilan kasasi urgensinya adalan
pengawasan terhadap keabsahan dalam penerapan hukum terhadap perkara
yang dimohonkan kasasi, dengan tujuan:
1.
Meluruskan cacat yang terdapat dalam penerapan hukum.
2.
Untuk mencapai manfaat yang lebih, yaitu menemukan unsur
kemaslahatan bagi para pihak yang bermuara pada kepentingan
(maslahah) umum.
Syarat-syarat permohonan kasasi adalah :
1.
Adanya kesalahan dalam penerapan hukum.
2.
Permohonan berdasarkan ketidaksesuaian hukum dengan keputusankeputusan final pada semua tingkat peradilan.
3.
Diajukan oleh jaksa (an-Naib al-‘Am)
Permohonan kasasi dibidang pidana dapat diajukan karena alasan-
alasan sebagai berikut:
1.
Karena kekeliruan / bertentangan dengan hukum.
2.
Bila terdapat cacat dalam putusan.
3.
Terdapat kesalahan dalam penerapan hukum acara yang berakibat cacat
hukum.
Berbeda dengan perkara pidana, perkara kasasi bidang perdata tidak
menghalangi eksekusi, kecuali hakim tingkat kasasi memerintahkan
penundaan eksekusi, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Permohonan kasasi memenuhi syarat formal.
7
2.
Putusan memungkinkan pelaksanaan eksekusi.
3.
Prioritas dikabulkanya besar.
Peradilan kasasi mempunyai lembaga al-Maktab al-Fanni (Biro
Teknis) yang mempunyai fungsi :
1.
Mempublikasikan putusan kasasi.
2.
Penerbitan juirnal hukum.
3.
Mengadakan penelitian.
4.
Mengawasi court calender Mahkamah an-Naqdh dan lain sebagainya
sesuai dengan perintah Ketua Mahkamah an-Naqdh.
2.
Kejaksaan Agung (An-Niyabah al-‘Ammah)
Prosedur proses permohonan kasasi melalui pra persidangan ,Majelis
Kejaksaan (an-niyadah al-‘ammah) dalam perkara perdata, pidana dan
keludarga. Adapun Struktur organisasi Kelaksaan Agung adalah:
3.
1.
Jaksa Agung
2.
Wakil-awkil (Pengawas Peradilan);
3.
Jaksa-Jaksa Tinggi;
4.
Al-Muhamy al-‘Am al-Awwal (Penasehat Hukum Pertama);
5.
an-Niyabah al-Kulliyah (Jaksa Umum);
6.
an-Niyabah al-Juz’iyyah (Jaksa Bagian);
7.
an-Niyabah al-Mukhtashshash (Jaksa Khusus)
Lingkungan Peradilan
Di Mesir ada tiga lingkungan peradilan, yaitu;
a. Al-Mahakim al-Madani (Peradilan Perdata)
b. Al-Mahakaim al-Jina’I (Peradilan Pidana)
c. Al- Mahakaim al-Idari (Peradilan Tata Usaha Negara)
Ketiga lembaga peradilan tersebut mempunyai tugas dan wewenang yang
berbeda sesuai dengan peranan dan fungsinya masing-masing. Peradilan perdata
antara lain menangani perkara kebebasan dalam menyampaikan pendapat, hak
membentuk partai politik dan hak mencalonkan diri dalam ke anggotaan asosiasi
bagi seluruh warga Negara.
Selain ketiga lingkungan peradilan tersebut, berdasarkan UU nomor 5
Tahub 1980, dibentuk peradilan Keamanan Negara (Mahkamah Amni ad8
daulah) yang terdiri dari Pengadilan Tinggi Keamanan Negara (Mahkamah
Amni ad-Dawlah al-‘Ulya ) dan Pengadilan Bagian Keamanan Negara
(Mahkaman Amni ad-Dawlah al-Juz Iyyah) yang bersidang dengan dua orang
hakim militer dan dua orang hakim peradalin biasa (koneksitas). Putusan
Mahkamah Amni ad-Dawlah dapat diajukan banding pada kamar Mahkamah
Ibtida’iyyah, dan dapat diajukan ke Mahkamah Kasasi, adapun pejabat yang
berhak mengajukan banding adalah Jaksa.
Mahkamah Amni ad-Dwlah al-juz‘iyah terdapat pada setiap Mahkamah
Ibtida’iyyah yang susunan majelisnya terdiri dari dua orang militer berpangkat
naqib (kapten/Letnen) dan seorang hakim peradilan biasa. Disamping itu
dibentuk juga Pengadilan Darurat (Mahkamah at-Thawary) yang bersidang
dengan hakim majelis terdiri dari 5 (lima) orang hakim, dua orang hakim
berpangkat mustasyar dan 3 orang hakim militer berpangkat kolonel.
Peradilan Darurat dibentuk bila Negara dianggap dalam keadaan darurat.
Peradilan ini disebut peradilan pengecualian (exceptional court). Putusannya
tidak boleh dibanding. Mengenai peradilan darurat ini kekuasaan Presiden sangat
dominan, karena ia berwenang mengukuhkan, membatalkan, menunda atau
meninjau kembali putusan yang dikeluarkan oleh Peradilan Darurat.3
C. Mahkamah Agung Konstitusi (al-Mahkamah ad-Dusturiyyah al-‘Ulya)
Sebelum lahirnya Mahkamah Agung Konstitusi, pada tahun 1969 dibentuk
Mahkamah Agung (al-Mahkamah al-‘Ulya) yang merupakan cikal bakal Mahkamah
Agung Konstitusi yang mempunyai fungsi pengawasan terhadap Undang-Undang
Dasar.
Sesuai pasal 174, Mahkamah Agung Konstitusi adalah lembaga peradilan
yang independen berkedudukan di ibu kota Kairo, yang mempunyai wewenang
peninjauan terhadap Undang-Undang Dasar, peraturan-peraturan di bawahnya serta
peninjauan terhadap rancangan undang-undang termasuk peraturan pelaksanaannya.
Pada tahun 1979 dibentuklah Mahkamah Agung Konstitusi berdasarkan UndangUndang Nomor 48 Tahun 1979 tentang Mahkamah Agung Konstitusi.
3
Dr. Hamid Muhammad Abu Tholib, Nidhoomu Al-Khodhooi Al-Mishriyyi Fii Miizaani Assyarii’ah, Daru al
Fikri Al ‘arobiyyi, Kairo- Mesir, 1993 Hal. 54-60.
9
Beradsarkan pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1979, kewenangan
Mahkamah Agung Konstitusi dibatasi dalam hal-hal sebagai berikut:
1.
Peninjauan terhadap Undang-Undang Dasar serta peraturan di bawahnya.
2.
Memutus sengketa kewenangan antara lembaga dan badan peradilan.
3.
Menyelesaikan sengketa yang berkenaan dengan eksekusi terhadap dua putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
4.
Menafsirkan teks-teks undang-undang yang dikeluarkan lembaga legislatif serta
keputusan-keputusan Presiden.
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang ini, dalam melakukan pengawasan
terhadap undang-undang, Mahkamah Tinggi Konstitusi melaksanakan tugasnya
dengan salah satu di antara dua cara:
Pertama, apabila pada saat proses gugatan ditemukan fakta bahwa perkara
yang diajukan tidak berdasarkan hukum, maka pemeriksaan terhadap perkara ini
harus segera dihentikan, dan dialihkan ke Mahkamah Agung Konstitusi.
Kedua, apabila pada saat proses persidangan ada eksepsi terhadap salah satu
lembaga peradilan tentang gugatan yang tidak ada dasar hukumnya, dan Mahkamah
Agung Konstitusi memandang bahwa eksepsi tersebut beralasan, maka ia diberi
kesempatan untuk mengajukan gugatan tersebut ke Mahkamah Agung Konstitusi
dalam tengang waktu tidak lebih dari tiga bulan.
Berdasarkan pasal 49 Undang-Undang ini, bahwa putusan yang dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung Konstitusi berkenaan gugatan yang ada kaitanya dengan
konstitusi, begitu juga terhadap putusan-putusan tentang penafsiran undang-undang,
wajib di taati oleh semua lembaga kekuasaan negara. Putusan tersebut harus dimuat
dalam lembaran resmi negara, paling lama lima belas hari sejak putuasan tersebut
ditetapkan, dan terhadap putusan yang tanpa berdasarkan hukum dimuat dalam surat
kabar harian nasional satu hari setelah putusan dibacakan.
Kenyatannya Mahkamah Agung Konstitusi, telah mempunyai andil yang
sangat besar dalam menjaga keutuhan dan wibawa konstitusi, bahkan telah
mempunyai pengaruh yang sangat besar di tengah masyarakat sebagai lembaga
peradilan yang mempunyai posisi penting.
Mahkamah Agung Konstitusi mempunyai pengaruh dan andil yang sangat
besar, antara lain dalam menghapus hak-hak istimewa yang diberikan kepada
10
individu dan profesi tertentu. Mahkamah Agung Konstitusi berpendapat bahwa hak
istimewa merupakan pelecehan terhadap asas persamaan, kesempatan dan peluang
untuk menikmati hak yang dimiliki oleh warga negara.
Berdasarkan Pasal 8 dan 40 Undang-Undang Dasar Mesir tentang dasar
hukum hak-hak menikmati bagi seluruh warga negara, maka Mahkamah Agung
Konstitusi pernah membatalkan hak-hak istimewa yang pernah diberikan secara
khusus kepada sebagian kecil masyarakat seperti anak dosen pada Perguruan Tinggi,
anak, isteri serta saudara angkatan besenjata yang gugur atau hilang, pekerja sipil di
instansi angkatan bersenjata, pemegang tanda jasa, putera daerah terpencil dan
propinsi yang terletak di perbatasan.
Mahkamah Agung Konstitusi juga mempunyai andil yang besar dalam
melindungi hak warga negara tentang kebebasan mengemukakan pendapat dan hak
membentuk partai politik. Pada saat warga negara melakukan aksi protes untuk
menolak perjanjian damai antara Mesir dan Israel pada tahun 1979, pemerintah
Mesir mengeluarkan kebijakan untuk melarang warga Negara mendirikan partai
politik. Mahkama Agung Konstitusi menetapkan, bahwa meskipun pemerintah
mendapatkan tekanan, karena perjanjian internasional tersebut menibatkan banyak
negara, semestinya perjanjian tersebut dibicarakan dan dimusyawarahkan terlebih
dahulu di tengah-tengah masyarakat.
Berkenaan dengan larangan pemerintah untuk mendirikan partai politik, maka
Mahkamah agung Konstitusi memberi putusan, bahwa laranga tersebut menyimpang
dari ketentuan Pasal 5 dan 47 Undang-Undang Dasar tentang hak membentuk partai
politik serta hak mencalonkan diri dalam suatu partai politik merupakan hak asasi
dalam sistem demokrasi yang sehat.
D. Al-Majlis al-A’la li al-Qadha (Majelis Tinggi Peradilan / Komisi Yudisial)
Al-Majlis al-A’la li al-Qadha’ adalah lembaga peradilan semacam dewan
kehormatan hakim, yang mempunyai fungsi melakukan pengawasan terhadap hakim.
Di antara tugas-tugas pokok komisi yudisial ini adalah:
1.
Merekomendasikan pengangkatan hakim;
2.
Promosi hakim;
3.
Tindakan (memberikan hukuman terhadap hakim yang nakal);
11
4.
IV.
Mutasi.4
HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA
A. Kompetensi Peradilan Pidana
Peradilan pidana mewakili negara dalam menyelesikan kasus-kasus dan
perkara pelanggaran dan tindak pidana kejahatan dalam rangka menegakkan
kemaslahatan umum. Pada hakekatnya peradilan pidana tidak melindungi
kepentingan-kepentingan individu sebagaimana dalam peradilan perdata, akan tetapi
melindungi kepentingan umum yang dilanggar oleh setiap individu yang ada dalam
masyarakat.
Dalam menyelesaikan kasu-kasus pidana harus diperhatikan asas:
Pertama, legalitas substantif, yaitu asas yang menggariskan bahwa tidak
seorangpun dapat di hukum kecuali telah ditentukan oleh undang-undang.
Kedua,
asas
“asy-Syr’iyyah
al-Ijra’iyyah”,
yaitu
proses
berperkara
menggunakan hukum acara.
Peradilan diberi kewenangan untuk mengadili perkara-perkara pidana secara
internasional sesua dengan jenis pidana yang berlaku di negara tersebut (alIkhtishash ad-Duali).
Al-Ikhtishash ad-Duali, adalah tindak pidana yang berlaku secara
internasional sehingga pelakunya pun dapat diadili dengan pidana di negara tempat ia
melakukan tindak pidana. Kaidah ini memberikan pengecualian terhadap Kepala
Negara atau yang mewakilinya, misalnya duta besar dan keluarga mereka.
Dalam kaidah ini dirumuskan, apabila seorang warga Negara Mesir
membunuh seorang asing di negara lain, maka hukum pidana Mesir tidak berlaku.
Sebaliknya, orang asing yang melakukan tindak pidana di Mesir, maka yang berkaku
adalah hukum pidana Mesir. Apabila seorang warga negara Mesir melakukan tindak
pidana di negara asing, akan tetapi belum dihukum, ketika ia pulang, maka ia dapat
diadili di Mesir, Tindak pidana yang menyangkut keamana negara Mesir, harus
diadili dengan hukum Mesir, meskipun ia telah dihukum di negara asing.
4
Ceramah Dr. ‘Izzat Sa’ad, Duta Besar Republik Arab Mesir untuk Indonesia, Tgl. 12 Juli 2002.
12
B. Sumber Hukum Pidana Mesir
Menurut Undang-Undang Dasar Mesir, sumber hukum utama Mesir adalah
syari’at Islam, akan tetapi terhadap jarimah (kejahatan) al-hudud syari’at Islam sulit
untuk dapat diterapkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya tentang
zina yang sulit sekali dalam acara pembuktiannya. Karena peristiwa tersebut harus
dilihat langsung di tempat kejadian perkara serta disaksikan oleh 4 (empat orang)
saksi. Karena itu terhadap tindak pidana perzinahan, kadang kala Mesir
memberlakukan hukum at-ta’zir, meskipundalam memberi putusan hukuman at
ta’zir tersebut, kadangkala sampai kepada hukuman pidana mati. Demikian juga
hukum al-hudud terhadap tindak pidana pencurian yang hanya dapat dilaksanakan
apabila pelaku mempunyai tingkat ekonomi yang memadai, akan tetapi tidak berlaku
terhadap rakyat yang dibawah garis kemiskinan, yang melakukan tindak pidana
pencurian karena alasan terpaksa.
Meskipun Mesir menganut asas legalitas substantif, akan tetapi apabila
negara dalam keadaan darurat, kewenangan legislasi peraturan perundang-undangan
hanya ada ditangan Presiden. Mesir menganut pembagian kekuasaan sesuai teori
Trias Politika, yaitu kewenangan membuat peraturan perundang-undangan ada
ditangan Dewan Perwakilan Rakyat (Majlis asy-Sya’ab). Sedangkan pemerintah,
selain berwenang melakukan peraturan perundang-undangan, juga mempunyai
kewenangan melaksanakan undang-undang. Sedangkan pengawasan terhadap
pelaksanaan undang-undang ada ditangan lembaga yudikatif.
Dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,
pemerintah tidak boleh melakukan intervensi dalam bentuk apapun. Dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1966, semua golongan dan lapisan masyarakat hanya
tunduk pada peradilan biasa (al-Mahkamah al-‘Adiyah). Akan tetapi sejak terbitnya
undang-undang tersebut dibentuk badan peradilan militer (al-Mahkamah alAskariyyah), yang mempunyai pompetensi:
Pertama, mengadili anggota militer.
Kedua, mengadili masyarakat sipil dalam perkara-perkara tertentu yang
berhubungan dengan keamanan negara.
Termasuk yang harus diajukan ke Mahkamah Militer adalah anggota hansip,
resimen mahasiswa, pegawai sipil militer, pasukan sekutu yang bertugas pada suatu
13
negara, tawanan perang serta kejahatan-kejahatan yang terjadi di kamp-kamp dan
barak-barak militer, meskipun pelakunya warga sipil.
C. Proses Penuntutan:
1.
Tahap pengumpulan bukti atau penyelidikan (Jam’u al-Istidlal).
2.
Tahap penyidikan (at-Tahqiq).
3.
Tahap persidangan.
Pada tahap pengumpulan bukti atau penyelidikan dilakukan oleh petugas
yang berwenang sebagaimana disebutkan dalam pasal 21 Hukum Acara Pidana
Mesir, yaitu “al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ (Pejabat Penertib Peradilan). Adapun
tugas al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ ini adalah:
Pertama, mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan.
Kedua, mencari pelaku tindak pidana (tersangka).
Al-ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ ini tunduk dibawah kejaksaan yang
wewenagnya diatur dalam pasal 23 Hukum Acara Pidana Mesir, yaitu ada yang
berwenang menyelidiki dalam wilayah hukumnya saja (pasal 23 Ayat (1)) dan ada
yang berwenang menyelidiki di seluruh wilayah Mesir (pasal 23 ayat (2) ). Temasuk
juga dalam kategori al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ adalah:
1.
Para anggota kejaksaan dan stafnya.
2.
Anggota kepolisian da stafnya.
3.
Kepala polisi ditingkat kecamatan
4.
Para lurah dan camat.
5.
Para kepala stasiun kereta api.
6.
Pejabat bea cukai.
Di antara wewenang al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadh’ adalah menerima laporan
atau pengaduan tentang adanya perbuatan tindak pidana. Bila hal tersebut terjadi, ia
harus mencatat dalam berita acara, selanjutnya dikirim kekejaksaan untuk disidik
lebih lanjut, setelah mendapat bukti-bukti permulaan yang cukup. Dalam
pengumpulan bukti-bukti permulaan, ia dapat meminta informasi tentang identitas
tersangka.
Al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ tidak dapat menangkap tersangka kecuali
dalam keadan tertangkap tangan (at-Talabbus), misalnya menemukan langsung
14
mayat tergeletak ditengah jalan yang berlumuran darah. Jika ia melihat langsung
tersangka di tempat kejadian perkara, maka ia dapat secara langsung menangkap
terasngka tersebut. Jika disitu terdapat banyak orang, ia harus berhati-hati dalam
melakukan penagkapan. Dalam hal ini tersangka dapat ditahan Selama 3 (tiga) bulan.
Menurut Pasal 30 Hukum Acara Pidana Mesir, seorang dianggap tertangkap
tangan jika:
1.
Pada saat terjadi tindak pidana itu, ia dalam waktu yang berdekatan.
2.
Ada korban dan disaksikan halayak ramai.
3.
Korban berteriak di tempat kejadian perkara.
4.
Tersangka membawa senjata, berkas-berkas, tanda-tanda atau barang lain yang
dapat dijadikan alat bukti.
Apabila tersangka tidak ada ditempat, apa yang harus dilakukan oleh al-
Ma’mur bi Dhabt al-Qadha? Dalam keadaan semacam ini, ia dapat mencari
informasi tentang keberadaan tersangka. Jika tersangka telah dapat diidentifikasikan,
maka ia dapat melaporkan kepada pihak kejaksaan untuk dilakukan penagkapan.
Tersangka tidak dapat ditangkap di rumah kediamannya, kecuali atas izin pihak yang
berwenang.
Pada dasarnya al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’ hanya berwenang melakukan
penyelidikan (jam’u al-istidlal), tetapi dalam hal tertentu ia dapat melakukan
penyidikan (tahqiq) atas mandat dari pihak kejaksaan. Setelah mendapat laporan dari
al-Ma’mur bi Dhabt al-Qadha’, pihak kejaksaan menindaklanjuti perkara tersebut
dengan melakukan penyidikan. Apabila dipandang cukup bukti maka perkara
tersebut diajukan kepengadilan untuk disidangkan. Apabila pihak kejaksaan
memandang tidak cukup alasan, maka ia dapat mendeponir perkara tersebut.5
V.
HUKUM KELUARGA (AL-AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH) DAN HUKUM
ACARA KELUARGA
A. Hukum Keluarga
Hukum keluarga berkaitan dengan keadaan individu dan kecakapannya dalam
bertindak hukum. Pada tahun 1931, peradilan keluarga menjadi wewenang
5
Ceramah Pada Pelatihan Hakim Di Mesir oleh Kanselir Mohammad Ahmad Hasan Tgl. 15 Juli 2002.
15
Mahkamah Syar’iyyah, akan tetapi sejak tahun 1955 dihapus dan dimasukkan ke
dalam peradilan perdata.
Undang-undang yang berlaku di Mesir pada umumnya mengacu kepada
syari’at Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits serta fiqh para fuqaha’.
Permasalahan baru yang tidak di singgung oleh undang-undang diambilkan dari
pendapat yang terkuat dalam mazhab Imam Abu Hanifah.
Hukum Keluarga Mesir terdiri dari:
1.
Wilayah ‘ala an-Nafs (kekuasan atas jiwa)
2.
Wilaya ‘ala al-Mal (kekuasaan atas harta)
3.
Qanun al-Washaya (Undang-Undang Wasiat)
4.
Qanun al-Mawarits (Undang-Undang Waris)
5.
Qanun al-Waqf (Undang-Undang Wakaf)
Setiap bagian memiliki hukum materiil dan hukum acara tersendiri. Hukum
materiil wilayah ‘ala an-Nafs di atur oleh Undang-Undang Nomor 100 Tahun 1985
sebagai perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 20 dan 25 Tahun 1929.
sedangkan hukum acara diatur oleh undang-undang nomor 1 tahun 2000. Hukum
materiil wilayah ‘ala al-Mal diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 119 Tahun
1952, dan hukum acaranya berdasarkan undang-undang nomor 1 tahun 2000.6
Berikut ini yang disampaikan hanya menyangkut (1) Wilayah ‘ala an-Nafs
dan (2) Wilayah ‘ala al-Mal.
1.
Wilayah ‘ala an-Nafs
Wilayah ‘ala al-Nafs dapat dibagi menjadi:
a.
Pertunangan (al-Khitbah).
b.
Perkawinan (al-Jawaz).
c.
Talak (ath-Thalaq).
d.
Nafkah (an-Nafaqah).
e.
Pengasuh / pemeliharaan (al-Hadhanah).
f.
Perwalian (al-Wilayah) dan lain sebagainya.
Perbedaan antar wilayah ‘ala al-nafs dan wilayah ‘ala al-mal dapat
digambarkan sebagai berikut:
6
Anwar Al-‘Amri Wasyyi, Ushulu Al-Muroofa’ati Asyar ‘iiyyati Fii masaaili Al-Ahwaali Asyyakhshiyyati,
Cecakan ke Tujuh, Iskandariya, Mesir, 1989. Hal. 58.
16
Pertama: Wilayah ‘ala al-nafs diterapkan hukum agama. Dengan kata
lain, untuk muslim berlaku hukum Islam dan non-muslim berlaku hukum
agamanya masing-masing. Sedangkan wilayah ‘ala al-mal diterapkan untuk
seluruh warga negara Mesir tanpa memandang agamanya.
Kedua: Wilayah ‘ala al-nafs berakhir apabila anak telah mencapai usia
16 tahun untuk anak laki-laki, dan 18 tahun untuk anak perempuan. Sedangkan
wilayah ‘ala al-mal apabila seseorang telah mencapai usia 21 tahun.
2.
Wilayah ‘ala al-Mal
Wilayah ‘ala al- mal ditetapka atas dasar :
Pertama, usia muda (anak di bawah umur).
Kedua, pemilik harta cacat mental.
Undang-undang menetapkan, untuk meminta perlindungan supaya harta
dapat dipelihara hingga usia 21 tahun. Apabila melewati usia 21 tahun harta
dapat diserahkan kepada anak. Undang-undang menetapkan bahwa harta anakanak dibawah usia 21 tahun harus ada yang mengelolanya : begitu juga terhadap
harta penyandang cacat, meskipun ia telah melewati usia 21 tahun. Cacat yang
dimaksud adalah : (1). Gila, (2). Safah, (3). Ghaflah dan lain-lain.
Kehilangan ingatan dapat menyebabkan seseorang menghamburhamburkan uangnya secara tidak benar. Oleh karenanya, undang-undang
menetapkan harus ada orang yang mengelola hartanya yang dikenal dengan
Istilah
“hijr”. Hak pengelolaan tersebut harus dibuktikan beradasarkan
pemeriksaan dokter tentang keadaan gila, tuli, bisu dan buta begitu juga tentang
sembuhnya juga harus melalui pemeriksaan dokter.7
B. Hukum Acara Peradilan Keluarga (al-Murafa’at)
Hukum keluarga mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu proses penyelesaaian
perkaranya harus mudah dan cepat. Sebelum tahun 2000, undang-undang yang
berlaku di Mesir, hanya diperuntukan dan berlaku bagi orang Mesir, atau salah satu
pihak yang berperkara adalah orang Mesir. Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2000, ketentuan tersebut dihapus, dan sejak itu tidak lagi ada perbedaan dalam
hukum keluarga bagi penduduk Mesir maupun non Mesir.
7
Dr. Nashr Farid Washil, Al-Wilaayatu Al-Khooshotu, Al-Wilayatu ‘ala an-Nafs wa al-Mal, Daru Asysyuruuq,
Mesir, 2002, Hal.9-12.
17
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 ini berdasarkan hukum Islam dan
berlaku untuk semua warga negara Mesir dan untuk semua golongan dan agama di
seluruh wilayah Mesir, baik itu agama Islam, Katolik, Kristen, Kopti, Ortodoks
Yunani dan lain-lain sebagainya. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000
diatur tentang:
Pertama, wilayah ‘ala an-nafs (hal-hal yang berkaitan dengan diri
seseorang), misalnya pelamaran, talak, rujuk, cerai dan lain sebagainya.
Kedua, wilayah ‘ala al-mal (yang berkaitan dengan harta benda), misalnya
nafkah anak, nafkah isteri, hadhanah, mut’ah, harta cacat mental dan lain-lain
sebagainya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 menganut prinsip sederhana, cepat
dan mudah. Dalam undang-undang ini diatur juga tentang hukum acara (murafa’at).
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 adalah
pasal 1, yaitu tentang peradilan hukum keluarga, misalnya tentang masalah isteri
yang pergi keluar negeri. Dalam hal ini Undang-undang Mesir memberi hak kepada
Menteri Luar Negeri untuk memberi izin perempuan (isteri) yang ingin pergi ke luar
negeri, dengan dua syarat:

Seorang isteri yang pergi ke luar negeri harus mendapatkan izin dari suaminya.

Surat izin tersebut harus dicantumkan di dalam paspor, dan apabila tidak
dicantumkan, maka paspor tersebut tidak dapat diberlakukan.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka isteri dilarang pergi ke
luar negeri. Sungguhpun demikian, masih didapatakan ada isteri yang bersikeras
untuk tetap berpergian ke luar negeri karena alasan pekerjaan. Bila hal tersebut
terjadi, isteri apat mengajukan hukum banding ke Mahkamah Idariyah (Pengadilan
Tata Usaha Negara). Setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2000, ketentuan
tersebut dihapus dan masuk menjadi kewenangan Pengadilan Keluarga. Apabila
isteri tidak puas karena adanya larangan pengadilan keluarga untuk pergi keluar
negeri, dan cukup alasan misalnya untuk berobat, maka ia dapat mengajukan ke
Mahkamah Konstitusi.
Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 memberlakukan syari’at
Islam bagi semua golongan agama, akan tetapi dalam hal suami isteri berbeda sekte,
misalnya Kristen dan kopti, maka perkara tersebut diserahkan kepada Gereja.
18
Dalam penyelesaian perkara keluarga, pada dasarnya tidak memerlukan
pengacara, tetapi bagi perempuan yang mampu boleh menggunakan jasa pengacara.
Dalam hal ini gugatan isteri tersebut harus ditandatangani oleh pengacara, dan
seluruh biaya perkara dibebankan kepada negara. Hal tersebut dimaksudkan untuk
membela kepentingan yang lemah dalam upaya menyampaikan hak dan
kepentingannya di depan pengadilan.
Dalam undang-undang ini diatur tentang pemberitahuan kepada para pihak
yang berperkara bahwa gugatan yang keluar dari koridor hukum harus dinyatakan
ditolak. Juga dianggap penting, bahwa dalam persidangan hakim dapat menghadirkan
seorang ahli sosiologi untuk didengar pendapat mereka tentang masalah perceraian.
Dalam pasal 5 dirumuskan bahwa persidangan perceraian harus tertutup
untuk umum sebab orang lain tidak boleh mengetahui hal-hal yang menyangkut
masalah keluarga. Dalam pasal 6 diatur tentang kemungkinan pihak kejaksaan
berperan dalam mengajukan gugatan ke peradilan Keluarga.
Menurut Pasal 18, selama persidangan berlangsung pengadilan harus ikut
aktif mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, dan dalam upaya perdamaian
hakim harus memiliki dua hal:
Pertama, harus cakap untuk melakukan perdamaian.
Kedua, harus menyediakan waktu yang cukup.
Oleh karena menurut ketentuan hak talak ada pada suami, maka sering timbul
permasalahan, apakah pernyataan talak terhadap isteri tersebut harus dinyatakan
secara kinayah atau sharih? Untuk menjawab masalah ini, menurut pasal 21 Undangundang Nomor 1 Tahun 2000 pernyataan talak itu harus dilakukan secara sharih,
kecuali dibarengi dengan bukti yang kuat atau dengan saksi.8
VI.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1) Pengalaman sejarah, sistem peradilan dan kondisi masyarakat Mesir yang
pluralistik hampir mirip dengan Indonesia. Dalam kaitannya dengan sejarah, kedua
8
Anwar Al-‘Amri Wasi, Ushulu al-Muroofa’aati Asysyariyyati fii Masaaili al Ahwaali Asyakhsyiyyati, cetakan
ke tujuh, Iskandariyah, Mesir, 1989, Hal. 63
19
negara sama-sama pernah dijajah oleh kolonial Barat dalam kurun waktu yang cukup
lama, sehingga mempengaruhi sistem peradilan masing-masing. Meskipun demikian,
Mesir mempunyai karakteristik tersendiri dalam mengantisipasi dan membendung
pengaruh kolonial terhadap sistem hukum yang ada. Hal tersebut terbukti dengan adanya
konsesi nasional untuk menempatkan syari’at Islam sebagai satu-satunya sumber dari
segala sumber hukum di Mesir.
2) Meskipun secara kelembagaan peradilan keluarga Mesir adalah peradilan
khusus yang menangani masalah keluarga berada dalam lingkungan peradilan perdata,
akan tetapi peradilan keluarga mempunyai kompetensi yang luas, dilengkapi dengan
materi hukum dan hukum acara yang komplit. Bahkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2000, peradilan keluarga mesir berdasarkan syari’at Islam berlaku dan
mengikat setiap warga negara dan untuk semua agama , di Indonesia antara lain model
Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mencakup untuk semua agama
dan mengikat setiap warga negara.
3) Peradilan pidana, adalah peradilan yang mewakili pemerintah dalam
menyelesaikan perkara dan kasus hukum yang menyangkut kemaslahatan umum.
Artinya, peradilan pidana tidak melindungi kepentingan individu-individu masyarakat
melainkan melindungi kepentingan umum dari pribadi-pribadi yang ada dalam
masyarakat. Sama halnya dengan Indonesia, peradilan pidana Mesir juga menganut asas
legalitas dan proses beracara. Apabila di Indonesia mengklasifikasikan tindak pidana itu
kepada pelanggaran dan kejahatan, maka Mesir mengklasifikasikan perkara menjadi
junah, mukhalafah dan jinayah.
4) Dalam menerapkan syari’at Islam negara-negara Arab mengalami pasang
surut. Hal tersebut disebabkan penjajahan asing, kecuali Arab Saudi. Namun setelah
merdeka negara-negara Arab mulai secara berangsur-angsur menerapkan kembali syari’at
Islam. Mesir, Sudan, Kuwait, Libia, Irak dan Yordania telah memberlakukan syari’at
Islam khususnya dalam bidang perdata. Dalam menggodok legislasi hukum nasional dari
syari’at Islam dan perkembangan hukum kontemporer, Mesir sejak lama telah
mempunyai lembaga kajian hukum yang dikenal dengan “Majma’ al-Buhuts alIslamiyyah” (Akademi atau Lembagai Penelitihan Islam) yang di ketuai langsung oleh
Syeikh al-Azhar dan anggotanya terdiri dari ulama-ulama dalam berbagai aspek ilmu
pengetahuan. Lembaga ini telah banyak mengeluarkan fatwa hukum antara lain
mengharamkan bunga bank, cloning, adu banteng dan lain- lain.
20
Pontianak, Kamis 19 Januari 2017
21
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Al-‘Amri wasyyi, Ushulu Al-Muroofa’ati Asyar ‘iiyyati fii Masaaili Al-Ahwaali
Asyyakhshiyyati, cetakan ke tujuh, Iskandariya, Mesir, 1989.
Ceramah Dr. ‘Izzat Sa’ad, Duta Besar Republik Arab Mesir untuk Indonesia, Tgl. 12Juli
2002.
Ceramah pada pelatihan Hukum di Mesir oleh kanselir Mohammad Ahmad Hasan Tgl. 15 Juli
2002.
Disarikan dari CD-Room Encyclopedia Britannica, Artikel “Eqypt: Government and Social
Conditions.
Dr. Hamid MuhammadAbu Tholib, Nidhoomu Al-Khodhooi Al-Mishriyyi Fii Miizaani
Assyarii’ah, Dru al Fikri Al ‘arobiyyi, Kairo-Mesir, 1993’.
Dr. Nashr Farid Washil, Al-Wilaayatu Al-Khooshotu, Al-Wilayaatu ‘ala an-Nafs wa al-Mai,
Daru Asysyuruq, Mesir, 2002.
Anshoruddin , Makalah tentang Peradilan Satu Atap dan Positivisasi Hukum Islam.
22
Download