profesionalisme guru dan hasil sertifikasi guru

advertisement
Al-‘Ulum; Vol. 2, Tahun 2013
Nifsi Syahbani, Profesionalisme …
PROFESIONALISME GURU DAN
HASIL SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN
OLEH : NISFI SYAHBANI, M.PD.I
A. PENDAHULUAN
Pada Peringatan Hari Guru Nasional XI tahun 2004 Presiden
mencanangkan Jabatan Guru sebagai Profesi. Pencanangan itu diharapkan
menjadi tonggak kebangkitan guru untuk senantiasa terus meningkatkan
profesionalismenya, dan sebagai upaya agar jabatan sebagai guru menjadi satu
profesi yang mempunayi daya tarik tersendiri bagi putra-putri terbaik negeri
ini. Dan sejak pencanangan itu pula, gairah untuk segera menetapkan undangundang profesi guru dan dosen berikut dengan berbagai perangkat
pendukungnya, menjadi semakin kuat.
Setelah sejumlah perangkat perundang-undangan dan anggaran yang
awalnya terasa agak berat sudah “terpenuhi”, diantaranya dengan lahirnya UU
No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta dihasilkannya amandemen
ke 4 atas UUD RI 1945 (diantaranya pasal 31 ayat 4), yang akhirnya berbunyi,
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional, kini wacana bergeser dari sekitar persoalana undangundang profesi guru dan dosen berikut berbagai perangkat pendukungnya ke
sekitar masalah kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru. Pergeseran ini
memang sangat logis, karena tiga persoalan terakhir ini memang menjadi
syarat yang harus dipenuhi bagi satu Jabatan Profesi dimana jabatan itu harus
dilakoni secara profesional.
Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi (memiliki
bukti formal berupa sertifikat pendidik) dan akan tersertifikasi; dan sejumlah
guru telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan
profesi. Secara formal, sertifikat pendidik yang digenggam oleh seorang guru
adalah merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru tersebut telah
memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi guru yang dipersyaratkan
sesuai dengan spesialisasi yang disebutkan di dalam sertifikat pendidik yang
dimilikinya, yang mencakup empat jenis kompetensi, yaitu (1) kompetensi
pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4)
kompetensi kepribadian.
Persoalan yang muncul kemudian, bahwa guru yang diasumsikan telah
memiliki kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka
telah tersertifikasi, tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat
dipertanggung jawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru
83
84
Al-‘Ulum; Vol. 2, Tahun 2013
adalah kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya
guru sesaat setelah sertifikasi. Oleh karena sertifikasi erat kaitannya dengan
proses belajar, maka sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan
kompetensi yang unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya
merupakan tonggak awal bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi
dengan cara belajar sepanjang hayat. Untuk memfasilitasi peningkatan
kompetensi guru, diperlukan manajemen pengembangan kompetensi guru.
Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena
peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan
profesionalisme guru itu sendiri.
Saat ini ada isu yang berkembang (meskipun mungkin baru sebatas
asumsi yang bukan didasarkan atas suatu penelitian ilmiyah?) bahwa hasil dari
proses sertifikasi yang mulai digulirkan pada tahun 2007 yang lalu belum
memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan profesionalitas
guru yang tersertifikasi, yang ditandai dengan belum terlihatnya peningkatan
yang signifikan atas kualitas hasil belajar siswa yang nota bene merupakan hasil
kerjanya.
Terkait dengan isu ini, Kabid Dikdas pada Dinas Pendidikan Kota Jambi,
dalam forum Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) SD/MI sekecamatan Kota
Baru (Nopember 2012) mengatakan bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) yang
dilaksanakan pada tahun 2012 bagi guru yang sudah tersertifikasi di Provinsi
Jambi memang menunjukkan hasil yang sangat tidak menggembirakan,
dengan kelulusan kurang dari 25%. Namun demikian ditegaskannya pula
bahwa, kegagalan para guru ini sebagian terbesarnya bukan karena
kompetensi keguruannya yang lemah, tetapi karena para guru banyak yang
tidak menguasai IT, yang merupakan tehnologi yang digunakan pada UKG
tersebut. Alasan ini didasarkan pada hasil UKG yang dilakukan secara tertulis
(konvensional) dengan kelulusan mencapai lebi dari 85%.
Dalam tulisan ini penulis ingin mengangkat hal-hal yang boleh jadi
merupakan penyebab seandainya isu tersebut di atas mengandung unsur
kebenaran, berikut dengan analisis tentang alternatif mengatasi atau
mengantisifasinya, dengan merujuk pada beberapa pendapat para ahli yang
berhubungan dengan masalah ini. Pertanyaan sentralnya adalah mengapa
guru masih belum profesional pada saat dimana dia sudah harus profesional.
B. PEMBAHASAN
Mudjia Rahardjo, dalam tulisannya yang berjudul Profesi dan
Profesionalisasi Keguruan mengemukan Guru sebagai profesi perlu diiringi
dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada
keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru,
antara lain: Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru,
melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai guru.
85
Nifsi Syahbani, Profesionalisme …
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi1.
Lalau bagaimana dengan pekerjaan keguruan? Tidak diragukan lagi,
guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu
banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma
tertentu. Oleh sebab itu, maka pekerjaan sebagai guru secara substansial
sudah merupakan profesi meskipun belum dicanangkan presiden.
1. Syarat-Syarat Profesi
Mengutip Ritzer (1972), Mujia Raharjo menjelaskan tentang 3
sayarat pekerjaan profesi, yaitu:
a. Syarat pertama profesi adalah memiliki pengetahuan teoretik (theoretical
knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata
pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga
membutuhkan pengetahuan teoretik2. Sekedar contoh, siapa pun bisa
trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi
hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki
pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.
Demikian pula dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil
mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan
profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman
teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya
bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu3.
Seorang guru harus memiliki kompetensi guru yang meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi
pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta
didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian
yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan
peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan
penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi
sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.4
Kendati syarat kualifikasi pendidikan dan kompetensi terpenuhi, tak
berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga
1
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13 Maret 2007.
3
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
4
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
2
86
Al-‘Ulum; Vol. 2, Tahun 2013
b.
5
harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena
itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik diperoleh melalui
proses sertifikasi merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan
dosen sebagai tenaga profesional. (Sertifikasi adalah proses pemberian
sertifikat pendidik untuk Guru.(Pasal 1 ayat 3) . Sertifikat Pendidik adalah
bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada Guru sebagai
tenaga profesional (pasal 1 ayat 4).5
Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang
diatur secara mandiri. Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah
pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan
profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung
bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan
dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai
bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan,
pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi
ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan
praktik tanpa sertifikasi terkait.
Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan
guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih
bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat
otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa
sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi
kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung
pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang
studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan
kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang,
dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai
yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.
Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara
otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem
kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional
secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen
profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang
dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak
sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang
bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah
dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik
Nifsi Syahbani, Profesionalisme …
otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian
moral seorang tenaga profesional.
Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik
hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar
mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak
berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat
profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien.
Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para
profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa
pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh
pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang
profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis
masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggungjawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa
didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat
apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua
mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang
guru.
Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat,
karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu
diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk
menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun
demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik
adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), yang
bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.
c. Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya
yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi. Pekerjaan
profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain dan
kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk
memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati
penghasilan tinggi, bobot cinta pada profesi memungkinkan diperolehnya
pula prestise sosial tinggi.
Selain mengemukan 3 syarat profesi ini, Mujia Raharjo juga menjelaskan
bahwa karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuantemuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang
guru, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2)
menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara
pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui
berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang
PP No 74 Tahun 2008 tentang guru
87
88
Al-‘Ulum; Vol. 2, Tahun 2013
Nifsi Syahbani, Profesionalisme …
dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif
masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.6
Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi
akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai
karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional,
dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran
yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang
pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan
yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6)
memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimiliki.
Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan
pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang
diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan
profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini.
Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa
diagendakan di luar kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok
profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan
merupakan sosok profesional yang utuh.
Memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan
profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi,
kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal
dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan.
Kalau dari perspektif kemauan politik sudah ada pengakuan terhadap profesi
guru dan dosen yakni dengan sudah diundangkannya UUGD, maka dari
perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan
profesinya.
Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak
kendali profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan
pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi
keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi
profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi,
dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat
dengan konflik kepentingan.
Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi
pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang
kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas?
Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin
memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi
redistribusi kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi
keguruan?
Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas
masyarakat berorientasi serba-negara ini menjadi masyarakat yang
berorientasi pada jasa nyata dan prestasi ? Beranikah para guru mengambilalih kembali sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan
kepada negara dan atau pemerintah?
Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan
kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah.
Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi
keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan
oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan
hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional.
2. Kondisi –Kondisi Yang Menyebabkan Guru Kurang Profesional
Menurut Dedi Supriyadi (1999) menyatakan bahwa guru sebagai suatu
profesi di Indonedia baru dalam taraf sedang tumbuh yang tingkat
kematangannya belum sampai pada yang telah dicapai oleh profesi-profesi
lainnya, sehingga guru dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau
semi profesional7. Mengapa hal ini jadi begini? Merujuk kepada apa yang
dikemukan oleh Mujia Raharjo di atas tadi, penulis berkesimpulan, sebabsebabnya adalah:
a. Banyak guru yang menekuni pekerjaan lain.
Satu penelitian membuktikan bahwa banyak guru, dengan berbagai
alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga tidak jarang
mereka lupa terhadap tujuan pendidikan yang menjadi kewajiban dan
tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang
rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas
utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai
penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna
karena guru menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya.
Menurut Pidarta (1999) Guru pada prinsipnya memiliki potensi yang
cukup tinggi untuk berkreasi guna meningkatkan kinerjanya. Namun
potensi yang dimiliki guru untuk berkreasi sebagai upaya meningkatkan
kinerjanya tidak selalu berkembang secara wajar dan lancar disebabkan
adanya pengaruh dari berbagai faktor baik yang muncul dalam pribadi
6
7
Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1998.
89
Muhlisin, profesionalisme kinerja guru Menyongsong masa depan (artikel)
90
Al-‘Ulum; Vol. 2, Tahun 2013
b.
c.
guru itu sendiri maupun yang terdapat diluar pribadi guru. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kondisi dilapangan mencerminkan keadaan guru yang
tidak sesuai dengan harapan seperti adanya guru yang bekerja sambilan
baik yang sesuai dengan profesinya maupun diluar profesi mereka,
terkadang ada sebagian guru yang secara totalitas lebih menekuni
kegiatan sambilan dari pada kegiatan utamanya sebagai guru di sekolah.
Kenyataan ini sangat memprihatinkan dan mengundang berbagai
pertanyaan tentang konsistensi guru terhadap profesinya. Disisi lain
kinerja guru pun dipersoalkan ketika memperbicangkan masalah
peningkatan mutu pendidikan. Kontroversi antara kondisi ideal yang harus
dijalani guru sesuai harapan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 dengan kenyataan yang terjadi dilapangan
merupakan suatu hal yang perlu dan patut untuk dicermati secara
mendalam tentang faktor penyebab munculnya dilema tersebut, sebab
hanya dengan memahami faktor yang berpengaruh terhadap kinerja guru
maka dapat dicarikan alternatif pemecahannya.
Bila pekerjaan sampingan dikerjakan murni atas dasar gaji tidak cukup
untuk biaya hidup, maka seyogianya persoalan sudah terselesaikan
dengan tunjangan profesi (bagi yang sudah memiliki sertifikat pendidik).
Hanya masalahnya kemudiaan adalah akan sebegitu mudahkan untuk
merubah kebiasaan yang kurang baik tersebut, sementara ia sudah dilalui
dalam waktu yang lama. Semoga ada upaya percepatan peroses
profesionalisasi bagi setiap guru, terutama bagi yang telah tersertifikasi.
Paling tidak sebagai bentuk upaya balancing antara hak dan
kewajibannya.
Guru kurang profesional karena otoritas profesinya sering terganjal oleh
otoritas organisasi. Padahal otoritas profesi mestinya bersifat independen
(terbebas dari segala bentuk intervensi dari dan oleh siapapun), dan
karena itu pula seorang profesional bertanggung jawab penuh atas segala
yang dilakukan dalam wilayah profesinya.
Guru kurang profesional karena tidak memiliki kemampuan akademik
yang memadai. Hal ini bisa terjadi dengan beberapa sebab, misalnya:
Karena ia mengampu mata pelajaran yang bukan atau tidak sesuai dengan
kualifikasi akademiknya, misalnya karena kekurangan atau kelebihan
guru; atau karena pada waktu ia dirukrut masalah kuafikasi akademik
tidak dipertimbangkan, sementara ia dimungkinkan untuk tersertifikasi
pada mata pelajaran tersebut (Guru dalam jabatan yang telah memiliki
Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV yang tidak sesuai dengan mata
pelajaran, rumpun mata pelajaran, atau satuan pendidikan yang
diampunya, keikutsertaannya dalam pendidikan profesi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 atau uji kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 yang diikutinya dilakukan berdasarkan mata pelajaran,
91
Nifsi Syahbani, Profesionalisme …
d.
rumpun mata pelajaran, dan/atau satuan pendidikan yang diampunya
(Pasal 65 huruf c))8;
Guru kurang profesional karena kurikulum pada proses pendidikan atau
latihan profesi dalam rangka sertifikasi bagi guru dalam jabatan tidak
utuh.
Walaupun untuk point c dan d bersifat emergensi yang berlaku selama
paling lama 10 tahun semenjak diundangkannya UU No. 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen, dan PP No. 74 tahun 2008 tentang guru. Masa
peralihan (Kualifikasi tidak pas, kurikulum tidak utuh, dilakukan oleh
penguasa) Orientasi pada kepentingan pribadi
3. Upaya Untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru
a. Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Guru.
Langkah yang dilakukan guna merealisasikan program peningkatan
kualifikasi pendidikan guru ini dapat ditempuh dengan dua cara yaitu :
1). Dinas Pendidikan setempat memberikan beasiswa agar guru
bersekolah lagi.
2). Guru yang bersangkutan bersekolah lagi yang dibiayai oleh
pemerintah dan guru itu sendiri.
3). Guru yang bersangkutan agar bersekolah lagi dengan menggunakan
swadana atau dibiayai sendiri).
b. Program Penyetaraan dan Sertifikasi
Program ini diperuntukan bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan
latar belakang pendidikannya atau bukan berasal dari program
pendidikan keguruan.
Langkah yang dilakukan dengan cara :
1). Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran lain yang merupakan
satu rumpun, misalnya guru PPKn dengan guru IPS.
2). Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran yang tidak serumpun
misalnya guru IPS menjadi guru muatan lokal dengan memberikan
tambahan penataran khusus (program penyetaraan/sertifikasi).
c. Program Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi
Guna meningkatkan profesionalisme guru perlu dilakukan pelatihan
dan penataran yang intens pada guru. Pelatihan yang diperlukan adalah
pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan guru yaitu pelatihan
yang mengacu pada tuntutan kompetensi guru. Selama ini terkesan
pelatihan yang dilakukan hanya menghabiskan anggaran, waktu dan
sering tumpang tindih akibatnya banyak penataran yang tidak
memberikan hasil yang maksimal dan tidak membawa perubahan pada
peningkatan mutu pendidikan malah justru keberadaan pelatihan tidak
8
PP No. 74 Tahun 2008 tentang guru)
92
Al-‘Ulum; Vol. 2, Tahun 2013
Nifsi Syahbani, Profesionalisme …
jarang mengganggu aktivitas kegiatan belajar mengajar karena guru
sering mengikuti kegiatan pelatihan yang terkadang satu orang guru
bisa mengikuti pelatihan beberapa kali pelatihan sebaliknya ada juga
guru yang jarang bahkan tidak pernah mengikuti pelatihan.
d. Program Supervisi Pendidikan
Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas tidak selamanya
memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, ada saja
kekurangan dan kelemahan yang dijumpai pada guru saat
melaksanakan proses pembelajaran maka untuk memperbaiki kondisi
demikian peran supervisi pendidikan menjadi sangat penting untuk
dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan prestasi kerja guru yang
pada gilirannya meningkatkan prestasi sekolah. Pelaksanaan supervisi
bukan untuk mencari kesalahan guru tetapi pelaksanaan suparevisi
pada dasarnya adalah proses pemberian layanan bantuan kepada guru
untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang dilakukan guru dan
meningkatkan kualitas hasil belajar.
Kepala sekolah yang melaksanakan supervisi pada guru harus mampu
menempatkan diri sebagai pemberi bantuan bukan sebagai pencari
kesalahan, hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman dan
penafsiran yang berbeda antara guru dengan kepala sekolah, selain itu
untuk memberikan rasa nyaman guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran dan menerima segala perbaikan yang diberikan kepala
sekolah. Tujuan akhir dari kegiatan supervisi pendidikan adalah untuk
memperbaiki guru dalam hal proses belajar mengajar agar tercapai
kualitas proses belajar mengajar dan meningkatkan kualitas hasil
belajar siswa.
e. Program Pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
MGMP adalah forum atau wadah kegiatan profesional guru mata
pelajaran sejenis. Hakekat MGMP berfungsi sebagai wadah atau sarana
komunikasi, konsultasi dan tukar pengalaman. Dengan MGMP ini
diharapkan akan dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam
melaksanakan pembelajaran yang bermutu sesuai dengan kebutuhan
peserta didik.
f.
Melakukan penelitian (khususnya Penelitian Tindakan Kelas).
Peningkatan profesionalisme guru dapat juga dilakukan melalui
optimalisasi pelaksanaan Penelitian tindakan kelas yang merupakan
kegiatan sistimatik dalam rangka merefleksi dan meningkatkan praktik
pembelajaran secara terus menerus sebab berbagai kajian yang bersifat
reflektif oleh guru dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional,
memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan dalam
melaksanakan tugasnya, dan memperbaiki kondisi dimana praktik
pembelajaran berlangsung.
C.
93
94
PENUTUP
Kesimpulan
1. Jabatan guru adalah jabatan profesi, yang harus dikerjakan secara
profesional. Oleh sebab itu, maka seorang guru harus pula memenuhi
persyaratan profesi guru yang meliputi kualifikasi akademik,
kompetensi keguruan, dan sertifikat pendidik.
2. Ada beberapa penyebab profesionalitas guru hasil proses sertifgikasi
era masa peralihan, diantaranya:
a. Guru sudah terlanjur menekuni pekerjaan lain selain guru.
b. Guru mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan
kualifikasinya.
c. Otoritas profesi terganjal oleh otoritas organisasi.
d. Kurikulum diklat sertifikasi tidak utuh.
3. Alternatif jalan keluarnya:
a. Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Guru.
b. Program Penyetaraan dan Sertifikasi
c. Program Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi
d. Program Supervisi Pendidikan
e. Program Pemberdayaan MGMP
f. Melakukan penelitian, khususnya PTK)
DAFTAR PUSTAKA
Muhlisin, Profesionalisme Kinerja Guru Menyongsong Masa Depan (artikel)
------------,Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
------------,Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13 Maret
2007.
Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
------------,Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
http://gudangmakalah.blogspot.com/2011/10/tesis-kinerja-profesional-gurudalam.html
www.mudjiarahardjo.com
Download