pendidikan nasional harus mampu menjamin

advertisement
MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN
Sebuah Dilema Baru Pasca Otonomi Daerah
Oleh: Fauzan, MA1
Prolog
Salah satu dampak positif dari reformasi bidang pemerintahan adalah terjadinya pergeseran
paradigma politik pemerintahan dari sentralistik kepada desentralistik, yang diwujudkan dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian dirubah menjadi
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pembagian Keuangaan antara Pusat dan Daerah.
Lahirnya produk hukum tentang otonomi daerah tersebut dimaksudkan untuk
menciptakan kemandirian daerah di dalam kerangka Negara Kesatuan RI, karenanya otonomi
tersebut tidak dapat diartikan sebagai suatu kebebasan obsolut tanpa mempertimbangkan
kepentingan nasional secara keseluruhan. Karena itu, desentralisasi bukanlah merupakan sistim
yang berdiri sendiri, melainkan dia merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistim yang lebih
besar, yaitu Negara Kesatuan RI.
Realitas ini tidak saja mengabaikan keberadaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
juga bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 11, Ayat (2), yang menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pasal tersebut tentu saja memasukkan di dalamnya
adalah penyelenggaraan Pendidikan Agama.
Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tersebut dijelaskan dalam bagian Menimbang point (c) disebutkan bahwa “sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan
1
Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”. Sedangkan, layanan
dan kemudahan seperti disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (1): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Atas dasar tersebut, Pemerintah dan
Pemerintah
Daerah
menjamin
berlangsungnya
pelaksanaan
pendidikan,
dengan
tidak
membedakan apakah pendidikan tersebut dikategorikan “umum” atau berbasiskan “agama”.
Diperjelas lagi dalam Ayat (2), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
Masalah belum adanya perhatian pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan
agama tersebut muncul, banyak disebabkan oleh pemahaman, interpretasi dan implementasi yang
tidak komprehensif mengenai keberadaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana dalam Pasal 10 Ayat (3) poin (f) yang di dalamnya memuat
tentang sentralisasi masalah “agama” oleh Pemerintah (Pusat). Dalam pasal tersebut disebutkan
bahwa “yang dimaksud dengan urusan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang
berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan
kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu
urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Khusus di
bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagai
upaya meningkatkan keikutsertaan dalam menumbuhkembangkan kehidupan keagamaan”.
Atas dasar Pasal 10 tersebut, banyak Pemerintah Daerah yang memahami bahwa
penyelenggaraan Pendidikan Agama dengan merujuk dianggap menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat cq. Departemen Agama Republik Indonesia. Padahal, jika merujuk pada Pasal 14
Ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah
untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota” dikaitkan dengan poin (f) dalam pasal tersebut “penyelenggaraan pendidikan”.
Karena keterbatasan kemampuan Pemerintah Pusat dan adanya anggapan bahwa Pendidikan
Agama bukan wewenang Pemerintah Daerah, menyebabkan Pendidikan Agama menjadi
terabaikan, dan cenderung tidak diperhatikan, baik dalam konteks pembinaan tenaga guru, tenaga
kependidikan, desain kurikulum, penyediaan sarana dan juga pendanaan penyelenggaraan
pendidikan agama di daerah. Dengan demikian masalah pendidikan agama dan keagamaan yang di
kelola Departemen Agama menjadi posisi yang remang-remang dan bila hal ini tidak terperhatikan
maka dia dapat merugikan berbagai fihak, terutama para penyelenggara dan peserta didik
dilingkungan Departemen Agama.
Madrasah, Pendidikan Keagama, dan Pesantren
Madrasah Menurut Munir Ud-Din Ahmed yang juga dikutip oleh Azyumardi, sebelum
munculnya madrasah, pendidikan muslim sejak masa Nabi Muhammad berlangsung terutama di
seputar masjid dan rumah guru. Pendidikan dilaksanakan dalam halaqoh, majlis alo-Tadris, dan
kuttab 2 . Pendidikan madrasah merupakan pengembangan dari pendidikan yang sudah ada
sebelumnya, menurut hemat penulis, dilihat dari kronologi sejarahnya, pendidikan Islam
disampaikan pertama kalinya mulai dari rumah, lalu seiring dengan berkembangnya Islam dan
terbentuknya masyarakat muslim maka masjid dijadikan tempat pendidikan berikutnya.
Selanjutnya dengan makin banyaknya peminat (pelajar) dan juga pengetahuan tentang keagamaan
makin merata sehingga sering kali terjadi soal-jawab dan debat dalam masjid yang mengganggu
suasana ketenangan masjid sebagai tempat ritual vertikal khususnya, maka muncullah kuttab 3
sebagai implikasi-logis suasana masjid yang tidak begitu kondusif. Syalabi menggambarkan ini:
Sejak masa awal Islam, banyak orang berminat untuk mempelajari Islam. Bertambah tahun,
semakin banyak orang yang menghadiri pertemuan untuk belajar ilmu (halaqah 'ilm). Dari setiap
grup pertemuan terdengar suara dari seorang furu yang memberikan pelajarannya dan dari suarasuara peserta didik yang bertanya dan saling berdebat. Maka terjadilah suara keras dari beberapa
frupo pertemuan itu. Sedikit banyak hal itu menimbulkan gemuruh yang mengganggu pelaksanaan
2
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), Cet.IV, h.11
3
Menurut Asma Hasan Fahmi, Kuttab merupakan Institusi pendidikan Islam yang didirikan oleh orang
Arab pada masa Abu BAkar dan Umar. Kemunculan Institusi ini berkaitan dengan keberhasilan orang-orang
Arab muslim menguasai wilayah-wilayah baru. (lihat: Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan
Islam, terj. Ibrahim Husen, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet.1, h.30
ibadah sebagai mestinya. Jelaslah masjid menjadi sulit untuk dijadikan tempat ibadah dan tempat
belajar sekaligus4.
Menurut George Makdisi, perpindahan lembaga pendidikan Islam dari masjid ke madrasah
terjadi secara tidak langsung, tetapi melalui tahapan perantara, yaitu masjid. Lebih lanjut ia
mengemukakan teori, bahwa asal muasal pertumbuhan madrasah merupakan hasil tiga tahap:
tahap masjid, tahap masjid khon, dan tahap madrasah.5 Masjid dalam tahap pertama yang dimaksud
adalah masjid biasa, bukan masjid jami yang biasanya didirikan oleh pemerintah. Karena biasanya
masjid seperti itu tidak terbuka untuk pendidikan agama bagi umum. Sedangkan yang dimaksud
dengan masjid khon adalah masjid yang dilengkapi fasililtas menginap, seperti asrama atau
pemondokan. Letaknya biasanya bergandengan ataudekat dengan masjid itu sendiri. Tahap
selanjutnya terntulah madrasah yang menjadi lembaga pendidikan sebagai pengembangan dari
masjid dan kuttab.
Lain lagi halnya dengan Ahmad Syalabi, Menurutnya perkembangan dari masjid ke
madrasah terjadi secara langsung, tidak memakai lembaga perantara.6 Nampaknya, Syalabi melihat
adanya madrasah merupakan implikasi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid
dan juga hal yang wajar dari kemajuan pemikiran karena pengaruh perkembangan zaman yang
tidak menutup kemungkinan perlunya ada inovasi-inovasi tertentu.
Munculnya madrasah ini nampaknya sudah ada sejak zaman Abbasiyah, sebagaimana
sedikit telah disinggung di atas. Hassan Muhammad Hassan dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin
menyebutkan lima sistem pendidikan yang ada pada abad keempat hijrah dengan pendeskripsian
sebagai berikut:
1. Filosof menggunakan: Dar al-Hikamah, al-Muntadiyat, Hawanit dan Warraqin.
2. Orang-orang sufi menggunakan: al-Zawaya, al-Masajid dan Halaqot al-Dzikr.
3. Orang-orang Syiah menggunakan: Dar al-Hikmah, al-Masajid, al-Maktabat, Hawanit, alWarraqin, dan al-Muntadiyat.
4
Ahmad Syalabi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Nuzumuha, falsafatuha, Tarikhuha (Kairo, Maktabah alNahdah al-Mishriyah, 1987), Cet. 1, h.43 (dalam footnote "Madrasah Sejarah dan perkembangan", karya: Dr. H.
Maksum, h. 55)
5
George Makdisi, Muslim Institutions of Learning in Eleventh-Century Baghdad, dalam Buletting of the
School of oriental and African Studies 25:1961, h. 1-56 (dalam footnote "Madrasah Sejarah dan
perkembangannya", Karya: Dr. H. Maksum, H. 56-57)
6
Ahmad Syalabi, History of Muslim Education, (Beirut: Dar al-al-Kasyaf, 1954), h. 257-259
4. Mutakallimin menggunakan: al-Masajid, al-Maktabat, Hawanit, al-Warraqin, dan alMuntadiyat.
5. Fuqoha dan Ahli Hadist menggunakan: Al-Katatib, al-Madaris, al-Masajid.7
Meskipun istilah madrasah telah ada pada masa Abbasiyah, namun menurut Al-Suyuthi
sebagai dikutip oleh Abu al-Falah, Istilah 'madrasah' baru digunakan agak luas sejak abad
kesembilan masehi. Institusi yang memperlihatkan ciri-ciri madrasah sebagaimana dikenal
sekarang, didirikan di Nisyapur, Iran, sekitar perempatan pertama abad kesebelas masehi.8 Kajian
tentang sejarah munculnya madrasah pertama didunia Islam masih di debatkan. Syalabi
menyatakan bahwa madrasah yang mula-mula muncul di dunia adalah Nizhamiyah yang didirikan
oleh Nizham Al-Mulk, perdana mentri dari Saljuk, pada tahun 1065-1067 M/ (457- 459 H).
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Phlilip.K.Hitti dalam bukunya "History of the Arabs" (lihat,
Philip K. Hitti 1974:410). Sedangkan Richard W. Bulliet berpendapat bahwa dua abad sebelum
Madrasah Nizamiyah muncul, di Nisapur (Naisabur) sudah berdiri madrasah, yaitu Miyan Dahiyah9
Athiyah Al-Abrasyi, mengutip dari Al-Maqrizi,10 mengemukakan bahwa madrasah al-Baihaqiyah
adalah madrasah yang pertama didirikan pada akhir abad keempat hijrah (abad kesebelas Masehi).11
Hasal Abd al-'Al, yang secara khusus melakukan kajian mengenai pendidikan Islam pada abad
keempat hijrah, mengemukakan bahwa madrasah telah berdiri sejak abad keempat hijrah dan
dihubungkan dengan penduduk Naisabur. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengajukan buktibukti berdasar karya penulis-penulis abad keempat sendiri. Beberapa sumber yang ia kutip antara
lain Ahsan alTaqosim fi Ma'rifat al-"Aqolim karya al-Maqdisi (wafat 378 H), Tobaqot al-Syafi'iyah
al-kubro karya al-Subki (316-388 H), al-Rasail karya Badi' al-Zaman al-Hamadani (wafat 398 H)12
7
Hassan Muhammad Hassan dan Nadiyah Jamaluddin, Madaris al-Tarbiyah fi al-Hadarah al-Islamiyat,
(Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1988), Cet. I h. 16-23 (Dalam Footnote: "Madrasah Sejarah dan
Perkembangannya", karya: Dr. H. Maksum, h. 52)
8
Abu Al-Falah ibn "Abd Al-Hay ibn Al-'Imad, Syadzarat al-Dzahab fi akhbar man Dzahab, 8 Jilid,
(Kairo: Makatabat al-Quds, 1350) cet. II, h. 181-2 (Dalam Footnote, Azumardi Loct.cit h. 11)
9
Richard W. Bulliet, The Patrician of Nisaphur: a study in Medieval Islamic Social History, (Harvard:
Harvard University Press, 1972) cet. I, h. 48 ( Dalam Footnote: Sejarah Pendidikan Islam, Karya: Hanun
Asrohah, M.Ag, h. 100)
10
Al-Maqrizi adalah ahli sejarah di Dar al-'Ilm pada masa dinasti Fatimiyah (lihat: M. Yunus: 1966, h.
57)
11
Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terjemahan Bustami A. Gani dan Djohar
Basri (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) cet. VII, h. 79
12
Maksum, Madrasah Sejarah danperkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. II, h.
60.
nampaknya pendapat Hasal ini berdekatan dengan Richard W. Bulliet, hanya saja ia tidak
menyebutkan madrasah di Naisabur tersebut. Richard Bulliet menjelaskan bahwa madrasah di
Nisapur ini, yang merupakan madrasah periode pertama (awal), nampaknya didirikan oleh ulama
fiqh dengan tujuan utama mengembangkan ajaran mazhabnya. Miyan Dahiya merupakan
madrasah tertuanya yang mengajarkan fiqh Maliki.13
Sementara Pendidikan Keagamaan dimaksudkan sebagai pendidikan yang memberikan
pengetahuan, keterampilan, dan membentuk sikap peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan agama dan Keagamaan ini secara
umum berfungsi untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan antar umat
beragama.
Selain
itu,
pendidikan
agama
dan
keagamaan
menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik dalam
juga
bertujuan
untuk
memahami, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai agama yang mengimbangi penguasaannya dalam ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni. Secara operasional, pendidikan keagamaan bisa berupa diniyah dan pondok
pesantren. Karena itu, ada yang bersifat format dan non-formal.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak
seperti madrasah yang sudah secara eksplisit disebut di dalamnya, term pendidikan agama belum
secara eksplisit muncul dalam pembahasan, sehinggan istilah pendidikan agama lebih
diintegralisasikan dengan pelaksanaan pendidikan secara umum. Dengan kata lain bahwa istilah
pendidikan agama menjadi kajian yang tidak dipisahkan dengan pendidikan secara umum sesuai
yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Sedangkan untuk pendidikan
keagamaan, Undang-undang tersebut sudah menyebutkannya secara eksplisit, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1-5), yakni “Pendidikan Keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja, samanera, dan bentuk lainnya yang sejenis.
Permasalahan Klise Pendidikan Islam
Di kalangan umat Islam, masalah pendidikan mendapat perhatian khusus, karena
berkembangnya Islam sendiri tidak lepas dari peran pendidikan yang begitu besar. Oleh karena itu
13
Richard W. Bulliet, The Patricians of Nishapur, (Cabridge: HUP, 1972),cet. I, h. 48
walaupun perkembangan politik suatu negara (Islam) sedang tidak menentu, atau singkatnya
adanya perkembangan yang menutup ruang partisipasi masyarakat dalam menentukan arah
negaranya, maka bagi dunia pendidikan tetap saja terbuka. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme
masyarakat terhadap pentingnya pendidikan yang mendorong munculnya berbagai lembagalembaga pendidikan yang menawarkan berbagai jenjang. Ini merupakan pandangan profetis
masyarakat khususnya kaum muslimin dalam merencanakan masa depannya menjadi lebih baik.
Pandangan positif masyarakat tersebut di atas akan menjadi sia-sia jika tanpa didukung
oleh pembaharuan di bidang pendidikan itu sendiri, dalam hal ini pendidikan Islam. Pendidikan
Islam khususnya madrasah masih belum menunjukan perkembangan pembaharuan yang
memuaskan. Madrasah ternyata masih kalah bersaing dengan sekolah-sekolah umum yang berada
dalam naungan Departemen Pendidikan Nasional.
Sejalan dengan perkembangan Indonesia, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam juga
terus berkembang namun perkembangan itu cukup eksklusif, di mana aksentuasi pada
pengetahuan keagamaan (Islam) lebih diutamakan. Hal ini juga yang menyebabkan perkembangan
madrasah hanya ada pada kantong-kantong masyarakat Islam. Ekspansi yang dilakukan pun hanya
berkisar di daerah pedesaan sedangkan untuk di perkotaan sangat jarang. Oleh karena itu hingga
saat ini keberadaan madrasah lebih banyak di pedesaan daripada di perkotaan. Dan hal ini juga
yang memicu lambannya perkembangan madrasah, madrasah seakan jauh dari atmosfir
pembaharuan sistem pendidikan, baik secara kelembagaan maupun sistem dari proses pembelajaran
itu sendiri.
Pada tahun 1994, perkembangan madrasah mengalami suatu periode yang sangat penting,
di mana pada tahun tersebut Departemen Agama, tempat di mana madrasah bernaung
memberlakukan sebuah kurikulum baru yang selanjutnya disebut "kurikulum 1994". Pada
kurikulum tersebut mensyaratkan agar madrasah melaksanakan sepenuhnya kurikulum sekolahsekolah umum yang ada dalam naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-sekarang
Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan kurikulum 1995, di
mana kurikulum madrasah memuat 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama
Islam, maka pada kurikulum 1994 ini madrasah wajib melaksanakan 100% dari kurikulum yang
dibebankan pada sekolah-sekolah umum. Sebagai konsekuensinya madrasah mesti menghapus 30%
muatan pendidikan agama Islam dari kurikulumnya dan kedudukannya adalah setaraf dengan
sekolah-sekolah umum lainnya yang berada dalam naungan Departemen Pendidikan Nasional. Hal
ini telah ditegaskan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu
pada pasal 17 ayat 2 dan pasal 18 ayat 3, yaitu:14 Pasal 17 ayat 2 " Pendidikan dasar berbentuk
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat".
Sedangkan pasal 18 ayat 3 yaitu, "Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menegah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat."
Di samping konsekuensi di atas, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam pun
mulai dipertanyakan masyarakat. Madrasah yang pada awalnya diharapkan akan mampu
memunculkan ahli-ahli agama dan para pemimpin Islam mulai diragukan, apakah dengan kondisi
yang seperti itu masih bisa. Seperti yang kita ketahui bahwa paling tidak, ada tiga fungsi tradisional
madrasah, yaitu; pertama, sebagai media penyampai pengetahuan agama (transfer of Islamic
knowledge), kedua, sebagai media pemelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition) dan
yang ketiga, sebagai media pencetak ulama (reproduction of ulama).15
Walupun mempunyai kedudukan yang setingkat dengan sekolah-sekolah umum,
perjalanan madrasah tetap berbeda dengan sekolah-sekolah umum tersebut. Madrasah masih
dianggap lembaga pendidikan "kelas dua", di mana ada pandangan "daripada tidak sekolah lebih
baik masuk madrasah". Ironisnya pandangan ini muncul dari kalangan umat Islam sendiri. Namun
apakah mereka patut disalahkan? Selama madrasah tidak mampu membenahi dirinya agar sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, maka mereka tidak dapat disalahkan.
Perbedaan mencolok antara madrasah dan sekolah-sekolah umum selain dapat dilihat dari
tradisi proses pembelajaran juga akses para alumni terhadap perguruan tinggi dan dunia kerja.
Tradisi proses pembelajaran di madrasah yang lebih memperhatikan gaya-gaya tradisional di mana
14
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 78, 2003 tentang Undang-undang Republik Indonesia No
20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 9
15
Jurnal Madrasah, Vol. I, No. 4, 1998, h. 6
proses pembelajaran lebih didominasi oleh para pendidik atau guru, juga diwarnai dengan kualitas
tenaga pengajar yang kurang memadai. Banyak tenaga pengajar yang mengajar tidak sesuai dengan
keahlian yang dimilikinya.
Dilihat dari akses lulusan, ini sangat berbeda dengan lulusan dari sekolah-sekolah umum di
mana mereka memiliki akses yang lebih terbuka untuk masuk ke perguruan-perguruan tinggi
umum, sementara bagi lulusan madrasah, keterbukaan itu hanya ada pada perguruan-perguruan
tinggi Islam. Dari segi akses ke lapangan kerja, tampaknya kalangan dunia usaha lebih
mempercayai lulusan sekolah-sekolah umum daripada madrasah. Lulusan sekolah-sekolah umum
lebih mampu bersaing dengan lulusan dari madrasah.16 Ini merupakan permasalahan besar bagi
para pemerhati dan para pengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya. Mengapa hal ini
bisa terjadi, padahal muatan pelajaran umum antara mdrasah dengan sekolah-sekolah umum
adalah "sama", pada kasus ini sebenarnya madrasah masih memiliki keunggulan karena muatan
pendidikan agama jelas lebih banyak daripada sekolah-sekolah umum, ini berarti pendidikan moral
yang dikandung dalam pendidikan agama lebih banyak diberikan pada madrasah. Namun
persoalan selanjutnya adalah kenapa dengan keunggulan tersebut madrasah masih kurang mampu
bersaing dengan sekolah-sekolah umum.
Dari keterangan-keterangan di atas nampak adanya persoalan-persoalan mendasar yang
dihadapi madrasah. Persoalan-persoalan tersebut mulai dari kurikulum, managemen, tenaga
pengajar, proses pembelajaran, sarana prasaran, adanya persoalan atau konflik antara tradisi
pemikiran dan pendidikan Islam dengan modernitas, adanya anggapan negatif masyarakat terhadap
madrasah seperti yang disinggung di atas, persoalan kelembagaan hingga pada persoalan legalitas
hukum keberadaan madrasah. Dalam pembahasaan ini, persoalan-persoalan tersebut menjadi
ladang pembaruan pendidikan Islam.
Persoalan pertama, kurikulum bagi suatu madrasah bukanlah hal yang bisa diremehkan
begitu saja, karena pada hakekatnya kurikulum adalah "ruh" dari kegiatan pendidikan itu sendiri.
Kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan sutau pendidikan, tanpa
adanya kurikulum yang tepat maka akan sulit untuk mencapai tujuan ataupun sasaran yang telah
16
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. ke-2, h. 57
digariskan.17 Kurikulum di madrasah yang sarat materi (overloaded) dan bahkan tidak memiliki
keterkaitan di antara mata pelajaran-mata pelajaran yang ada, lagi pula kurikulum tersebut lebih
ditekankan pada ranah kognitif sementara ranah afektif dan psikomotorik menjadi terabaikan,
kondisi ini jelas merupakan area pemabaharuan yang mesti cepat dilakukan. Belum lagi persoalan
kesesuaian antara kebutuhan user atau masyarakat dengan konsep kurikulum yang ada sekarang ini
masih belum mencerminkan sebuah
Persoalan kedua, adalah managemen. Seperti diketahui bahwa managemen adalah "ruh"
bagi jalannya suatu roda organisasi, termasuk juga madrasah. Persoalannya muncul ketika
madrasah didirikan oleh perorangan dan yayasan keagamaan, hal ini karena pihak pendiri
berkedudukan sebagai "pemilik" di mana segala kegiatan yang dilakukan harus dengan seizinnya.
Pada kasus ini, muatan intervensi khususnya dari orang-orang yang merasa lebih berjasa
terhadap pendirian madrasah sulit dihindari, apalagi jika lahan yang digunakan untuk madrasah
tersebut adalah lahan miliknya pribadi. Hal ini mengakibatkan "rancuh"nya suatu managemen
yang diterapkan pada madrasah tersebut. Padahal managemen menduduki posisi vital terhadap
eksistensi suatu lembaga termasuk lembaga pendidikan Islam dalam hal ini madrasah. Sulit
dibayangkan suatu madrasah akan maju, berkembang, menjadi center of excellence dan mampu
berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya jika tidak memiliki managemen
pendidikan yang tangguh.
Persoalan ketiga adalah tenaga pengajar atau pendidik atau sering juga disebut guru.
Keberadaannya merupakan komponen penting dalam pendidikan, karena itu guru adalah garda
terdepan dalam dunia pendidikan. Ia merupakan jabatan profesi yang mengabdikan jasanya dalam
dunia pendidikan. Ia juga merupakan motor penggerak roda pendidikan. Seorang tenaga pengajar
atau guru diharapkan mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif sehingga mampu
mengembangkan daya kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik.18
Pada madrasah banyak sekali guru yang mengajar bukan pada bidang keahliannya. Di sini
aspek profesionalisme guru menjadi terabaikan. Mungkin hanya pada madrasah-madrasah yang
17
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),
cet. ke-1, h. 3
18
H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Ciputat: Yayasan Karsa Utama
Mandiri dan PB. Mathlaul Anwar, 1998), cet. ke-1, h. 20-21
sudah maju saja yang sudah mensyaratkan agar guru yang mengajar haruslah profesional dalam
bidangnya.
Persoalan keempat adalah menyangkut proses pembelajaran itu sendiri. Proses
pembelajaran di sini merupakan interaksi antara komponen-komponen pembelajaran yang di
dalamnya terdapat suatu hubungan yang saling mendukung. Komponen-komponen tersebut paling
tidak meliputi guru, media, ruang dan peserta didik itu sendiri. Komponen-komponen tersebut
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu proses pembelajaran. Jika salah satunya
tidak ada atau katakanlah tidak dapat berfungsi maksimal, maka dapat ditebak proses pembelajaran
tidak akan berjalan maksimal.
Pada madrasah yang terjadi adalah proses pembelajaran di man guru menjadi faktor sentral,
ia menjadi sumber utama pembelajaran. Bahkan proses pembelajaran menjadi superfisialisasi proses
pendidikan, di mana dari luar tampak serius akan tetapi sebenarnya tidak memiliki bobot seperti
yang diharapkan. Dalam hal ini telah terjadi banyak kepura-puraan baik yang dilakukan oleh
pendidik maupun oleh peserta didik itu sendiri. Untuk itu aksentuasi proses pembelajaran pada
peserta didik mesti ditegaskan kembali.
Persoalan kelima adalah sarana prasarana. Persoalan ini terutama menyangkut "tempat" di
mana proses pendidikan itu diselenggarakan. Kita sering mendengar banyaknya tempat-tempat
belajar termasuk juga madrasah yang keberadaannya sudah tidak memungkinkan lagi untuk
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pendidikan. Dalam hal ini banyak sekali sarana dan
prasarana pada madrasah sudah tidak memadai.
Kondisi bangunan yang kurang layak bagi proses pendidikan nampaknya sudah menjadi
pemandangan bagi madrasah, biasanya mereka masih bisa menghibur diri dengan mengatakan
yang penting adalah kualitas proses pembelajarannya. Kalau diamati secara lebih cermat bagaimana
proses pendidikan mau berkualitas jika sarana dan prasarananya tidak mendukung.
Oleh karena itu berkaitan dengan sarana dan prsarana pendidikan adalah bagaimana
menjadikan peserta didik "betah" di madrasah, menjadikan madrasah rumah keduanya pendek kata
menjadikan madrasah sebagai tempat yang aman dan nyaman. Sehingga hal ini akan membuat
peserta didik senang berlama-lama berada di madrasah.
Persoalan keenam adalah adanya persoalan atau konflik antara tradisi pemikiran dan
pendidikan Islam dengan modernitas, ini bermula dari pandangan bahwa modern sama dengan
Barat. Barat sudah terlanjur di cap negatif, adanya pergaulan bebas, sex bebas dan perilaku-perilaku
yang tidak sesuai dengan Islam dianggap datang dari Barat. Untuk itu hal-hal yang berbau Barat
ditolak. Pandangan ini sebenarnya telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, dan Belanda sendiri
ada pada golongan Barat.
Ciri-ciri modernitas yang sering tidak cocok yang sering tidak cocok dengan pemikiran
pendidikan Islam antara lain;
19
paradigma modernitas yang bertolak pada rasionalitas,
individualitas, kajian-kajian atau inquery scientific yaitu penelitian kajian
ilmiah yang lebih
menekankan pada lapangan kerja setelah peserta didik menyelesaikan masa pendidikannya. Ini
sangat berbeda sekali dengan tradisi Isalm, di mana pekerjaan bukanlah merupakan hal yang
penting, karena yang terpenting adalah proses mencari ilmunya, sedangkan persoalan pekerjaan
adalah persoalan kemudian.
Persoalan ketujuh adalah adanya anggapan negatif sebagian masyarakat. Anggapan tersebut
bermula dari kurang mampunya madrasah memecahkan persoalan-persoalan di atas. Anggapan
tersebut dapat berupa bahwa madrasah kurang mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum,
perlengkapan belajar yang masih kurang memadai, kurikulum yang overloaded, peluang lulusan
dari madrasah terhadap perguruan-perguruan tinggi umum dan dunia kerja lebih sedikit
dibandingkan dengan lulusan dari sekolah-sekolah umum hingga adanya anggapan bahwa
madrasah adalah lembaga pendidikan kelas dua.
Persoalan kedelapan, adalah masalah kelembagaan. Kelembagaan pada suatu lembaga
pendidikan menjadi signifikan karena adanya pembaharuan dimulai dari kemauan dan kesiapan
lembaga tersebut. Derasnya gelombang pembaharuan tanpa diiringi kemauan dan kesiapan suatu
lembaga maka perubahan tersebut tidaklah mempunyai arti, karena dominasi suatu lembaga
pendidikan terhadap kegiatan-kegiatan pendidikan sangat kuat.
Pendidikan Islam dan Otonomi Daerah
19
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Kompas,
2002), cet. ke-1, h. 119-120
Kebijakan pengelolaan pendidikan agama, sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan
pelaksanaan pendidikan secara umum, karena sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional. Namun demikian, pelaksanaan pendidikan agama di daerah masih saja
mendapatkan perlakuan yang “diskriminatif” dari pemerintah daerah. Hal ini banyak disebabkan
masih belum komprehensifnya pemahaman pemerintah daerah pada terminologi “pendidikan” dan
“agama” yang termuat dalam kedua Undang-undang tersebut, sehingga banyak memunculkan
penafsiran secara parsial bahwa yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah pendidikan
yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Sementara, pendidikan yang
berada di bawah naungan Departemen Agama yang berbentuk Madrasah dan sekolah agama
lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari pendidikan.
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah,
maka secara eksplisit pelaksanaan pendidikan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
pusat tapi juga sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dengan kata lain bahwa
pelaksanaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, baik dalam konteks
bimbingan maupun dalam konteks subsidi pendanaan pendidikan.
Secara yuridis formal, salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah antara lain adalah
untuk memberdayakan daerah, yakni dengan memberikan kewenangan tertentu bagi daerah dalam
mengatur dan mengurus sendiri segala sesuatu yang dibutuhkan demi kesejahteraan/ keselamatan
semua. Ini berarti bahwa pusat memberikan kepercayaan atau percaya kepada daerah dan
menghargai kemampuan dan “jati diri” daerah. Di samping itu, sesuai dengan spirit otonomi daerah,
maka pelaksanaan otonomi daerah sebagai realisasi atas pengakuan akan kebhinekaan di daerah
juga meniscayakan adanya pelaksanaan otonomi pendidikan. Otonomi pendidikan dimaksudkan
sebagai bentuk keterlibatan dan kepedulian pemerintah daerah dalam mengembangkan dan
meningkatkan mutu pelaksanaan pendidikan di daerah masing-masing.
Salah satu hal yang yang terkandung dalam prinsip otonomi daerah adalah bahwa
pembiayaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah (pusat dan daerah),
masyarakat dan orang tua. Oleh karenanya, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yang
sama dengan pemerintah pusat, masyarakat dan orang tua dalam mengalokasikan anggaran
(pembiayaan) untuk penyelenggaraan pendidikan.
Pada tataran selanjutnya, otonomi pendidikan tidak sekadar dipahami sebagai pemindahan
wewenang penyelenggaraan pendidikan dari departemen kepada sekolah dan masyarakat, tetapi
juga mengandung makna pemberdayaan lembaga pendidikan dalam melakukan inovasi dan
rekayasa organisasi untuk meningkatkan kinerja sekolah dan madrasah. Peran serta masyarakat
dalam manajemen pendidikan dasar dan menengah diwujudkan melalui pembentukan Dewan
Pendidikan (school council) di tingkat Nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Sementara di tingkat
sekolah dan madrasah, peran serta tersebut diwujudkan dalam bentuk Komite Sekolah (school
committee) (Ramly, 2005: 49).
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, pendidikan memerlukan pola pembiayaan
yang tidak diskriminatif dan harus mencerminkan keadilan. Hal ini dapat ditempuh dengan cara
melakukan subsidi silang, imbal swadaya, block grant, dan menerapkan formula subsidi
kontekstual. Subsidi silang harus dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menghindari timbulnya
kesenjangan antara sekolah (madrasah) daerah miskin dan daerah kaya. Imbal swadaya dapat
dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah untuk mendorong
berkembang dan meningkatnya program-program yang menjadi unggulan pusat dan daerah. Block
grant dapat diberikan dengan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas
program-program yang memiliki prospek untuk berkembang lebih lanjut dengan cara
berkompetisi.
Pelaksanaan otonomi pendidikan ini sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah
berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama
terkait dengan pendanaan dan pembiayaan pendidikan. Berdasarkan pada Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut, maka kebijakan pengelolaan
pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sebelumnya hanya
Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang berada di bawah naungan pemerintah daerah dalam
hal ini Dinas Pendidikan Nasional.
Penyerahan kewenangan pendidikan dari pusat (Departemen Pendidikan Nasional) ke
pemerintah daerah bukan hanya sekadar dilihat dari sisi pembiayaan pendidikan, tetapi juga secara
keseluruhan penyelenggaraan teknis pendidikan di daerah. Dalam konteks ini maka selain
kurikulum nasional dan standar pelayanan minimal (SPM), maka pelaksanaan pendidikan di
daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa madrasah, diniyah,
wustho, ma’had ‘aly dan pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan yang lahir dari
bagian masyarakat menjadi sebuah dilemma manakala keberadaanya tidak diperhatikan. Walaupun
banyak persoalan menyangkut keberadaan madrasah, baik menyangkut kesiapan SDM, manajemen,
pembiayaan dan sebagainya, namun semua itu dapat diatasi ketika semua pihak bersatu padu
memberikan kontribusi posistif demi sebuah kemajuan bersama. Ide pengembangan tersebut tidak
saja diperlukan dari masyarakat setempat, namun dari semua lapisan masyarakat di penjuru
Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat, orang tua siswa, dan terlebih lagi sikap pemerintah
dalam membuat kebijakan tidak lagi diskriminatif, karena bagaimanapun juga baik madrasah,
diniyah dan pesantren merupakan bagian integrative dari pendidikan nasional.
Download