2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alergi Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1906. Alergi dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas dan dapat diartikan sebagai reaksi imunologi terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah terpapar dengan antigen bersangkutan (Kresno 2001). Secara garis besar, reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu reaksi tipe cepat (immediate hypersensitivity) dan tipe lambat (delayed type hypersensitivity). Reaksi alergi tipe cepat dimediasi oleh sistem imun humoral (humoral-mediated) yang menunjukkan gejala secara cepat dalam hitungan menit atau jam setelah tubuh terpapar oleh antigen. Reaksi tipe lambat dimediasi oleh sel (cell-mediated) dan gejala yang ditimbulkan muncul setelah beberapa hari terpapar oleh antigen. Berdasarkan mekanisme terjadinya reaksi, alergi terdiri atas empat jenis yaitu tipe I (IgE-mediated hypersensitivity), tipe II (Antibodymediated cytotoxic hypersensitivity), tipe III (Immune complex-mediated hypersensitivity) dan tipe IV (Delayed-type hypersensitivity, DTH). Tipe I hingga III termasuk reaksi alergi tipe cepat, sedangkan tipe IV termasuk reaksi alergi tipe lambat (Kuby 2007). Mekanisme umum terjadinya beberapa tipe alergi dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Empat tipe reaksi alergi (Kuby 2007) 6 Reaksi alergi tipe I terjadi dengan cara alergen memicu sel limfosit B untuk berubah menjadi sel plasma dan mengeluarkan IgE. IgE ini kemudian terikat dengan reseptornya pada permukaan sel mastosit dan sel basofil darah. Hal ini menyebabkan sel mastosit dan basofil mengalami degranulasi dan mengeluarkan efektor. Reaksi alergi tipe II melibatkan antibodi untuk merusak sel asing. Mekanisme seperti ini dijalankan dengan mengaktifkan sistem komplemen dan membentuk lubang pada sel asing. Mekanisme ini juga dapat dijalankan dengan melibatkan sel sitotoksik dan antiobdi untuk menghancurkan sel asing tersebut. Pada reaksi alergi tipe III, kompleks imun yang dibentuk oleh antigen dengan antibodi menjadikan sel fagosit mengenali kompleks imun ini dan menghancurkan kompleks tersebut. Namun jika kompleks imun yang dibentuk sangat banyak, hal ini dapat membahayakan jaringan tubuh. Reaksi alergi tipe IV berlangsung dengan melibatkan pelepasan sitokin. Ketika sel T pembantu mengenali antigen, sel ini akan mengeluarkan sitokin yang dapat menginduksi terjadinya reaksi peradangan yang dikenal dengan reaksi alergi yang tertunda. Reaksi ini ditandai dengan adanya sel penyebab radang seperti sel makrofag dalam jumlah besar (Kuby 2007). 2.1.1. Alergi Pangan Alergi yang sering timbul karena konsumsi bahan pangan disebut dengan alergi pangan. Alergi pangan merupakan reaksi yang merugikan dari makanan yang didasarkan pada mekanisme imonologi (Houben dan Penninks 1996). Timbulnya reaksi alergi pangan disebabkan di dalam bahan pangan tersebut terdapat senyawa penyebab alergi atau lebih dikenal dengan alergen. Alergen dalam makanan dapat berupa protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan enzim proteolitik (Hasyimi et al. 1992). Reaksi alergi pangan merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) dan termasuk dalam reaksi alergi tipe I (Adelman et al. 2002). Reaksi alergi tipe I diawali dengan tahap pengenalan, yaitu saat protein alergenik kontak dengan tubuh untuk pertama kalinya. Protein alergenik tersebut kemudian difagosit dan dihancurkan oleh makrofag menjadi fragmen-fragmen peptida. Fragmen-fragmen ini kemudian dipresentasikan oleh APC (Antigen- 7 Presenting Cell) melalui MHC II (Major Histocompatibility Complex II). Kemudian sel T helper 1 (Th 1) akan menempel pada kompleks MHC II-fragmen peptida, sehingga sel Th 1 mensekresikan sitokin yang merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Sel plasma inilah yang menghasilkan sel memori dan IgE. IgE merupakan salah satu anggota imunoglobulin darah yang berperan dalam reaksi alergi dan infeksi parasit. Molekul IgE yang dihasilkan ini akan terikat pada reseptor spesifik Fc pada sel mastosit dan basofil pada darah. Pada pemaparan yang kedua, alergen akan membentuk ikatan dengan IgE yang menancap pada permukaan sel mastosit dan basofil. Setiap alergen harus dapat mengikat dua atau lebih molekul IgE (cross linking). Ikatan tersebut menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi biokimia, sehingga terjadi degranulasi dalam sel mastosit dan basofil. Hasil degranulasi adalah terlepasnya mediator alergi yang sebelumnya telah ada dalam sel seperti histamin, serotonin, kinin, prostaglandin dan leukotrien. Histamin yang dilepaskan dapat memperlebar pembuluh darah arteri dan pembuluh darah kapiler, meningkatkan permeabilitas pembuluh kapiler, dan mempersempit aliran darah pada saluran pernafasan. Mekanisme umum terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I dapat dilihat pada Gambar 2 (Kuby 2007). Gambar 2. Mekanisme umum reaksi hipersensitif tipe I (Kuby 2007). 8 Reaksi alergi terhadap susu, kacang-kacangan, ikan, kerang-kerangan, gandum dan kedelai merupakan alergi pangan yang signifikan terjadi di Amerika Serikat, namun sejumlah makanan lain juga dapat menyebabkan respon alergi (Sicherer dan Sampson 2009). Reaksi hipersensitivitas yang timbul karena konsumsi kerang-kerangan merupakan salah satu bentuk alergi pangan yang serius. Di Amerika Serikat, lebih dari enam juta orang beresiko memiliki respon hipersensitif setelah konsumsi kerang (Wild dan Lehrer 2005). Diantara kerangkerangan, kepiting diasumsikan menjadi penyebab utama reaksi hipersensitif di China, terdapat lebih dari 600 jenis kepiting di China. Hasil survey terhadap status alergi pangan pelajar China mengindikasikan bahwa sekitar 6% subyek dalam kelompok usia 15-24 tahun menderita sedikitnya menderita alergi pangan, dan alergenik pangan utamanya adalah makanan laut, termasuk kepiting (Lu et al. 2005). 2.1.2. Alergen dalam makanan Istilah alergen secara sepesifik mengacu pada antigen nonparasit yang mampu menstimulasi respon hipersensitivitas tipe I pada individu atopik. Beberapa individu yang cinderung lebih mudah mengalami reaksi hipersensitivitas tipe I jika terpapar oleh antigen atau alergen, disebut dengan atopik. Respon abnormal IgE pada individu atopik sebagian karena genetik, yang diturunkan dari keluarga (Kuby 2007). Makanan tersusun dari karbohidrat, protein dan lemak. Alergen yang utama dalam makanan merupakan protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul yang berkisar dari 10.000 dan 60.000 D, larut air, tahan panas dan tahan enzim proteolitik (Adelman et al. 2002). Alergen pangan biasanya hanya sebagian kecil dari keseluruhan protein yang terdapat dalam makanan. Protein dari jenis makanan seperti telur, susu sapi, kacang-kacangan, gandum, makanan laut (ikan, kerang-kerangan, lobster dan udang) dan jenis makanan lain seperti kentang, apel, kacang polong dapat menjadi penyebab terjadinya alergi atau reaksi hipersensitif tipe I ( Kuby 2007). Protein alergen pada tiap individu berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan karena reaksi alergi merupakan interaksi antara protein dan sistem imun yang sulit untuk diprediksi. Alergenisitas suatu protein ditentukan oleh epitop yang 9 dimilikinya (Huby et al. 2000). Epitop merupakan bagian molekul alergen yang berikatan dengan antibodi IgE dan menentukan spesifitas reaksi protein alergen dan antibodi IgE. Jumlah epitop pada satu molekul alergen berbeda dengan jumlah epitop pada alergen yang lain (Kresno 2001). Berbagai penelitian membuktikan bahwa suatu alergen sedikitnya harus memiliki 2 epitop, yang masing-masing memiliki sekitar 15 residu asam amino. Hal ini menunjukkan bahwa protein alergen minimal mengandung sekitar 30 residu asam amino (BM sekitar 3 kDa). Sebagai contoh, alergen kacang Ara h 1 dan Ara h 3 memiliki sedikitnya 23 dan 4 epitop, sedangkan alergen kedelai Gly m Bd memiliki 16 epitop (Huby et al. 2000). Suatu alergen yang mampu bereaksi dengan 50% IgE serum individu penderita alergi disebut dengan alergen mayor. Alergen minor hanya dapat bereaksi dengan 10% IgE serum atau bahkan tidak begitu kuat untuk menyebabkan alergi. Contoh alergen mayor antara lain β-laktalbumin, kasein, αlaktalbumin susu dan antigen I, antigen II pada udang. Laktoferin, laktoperoksidase, alkalifosfatase dan katalase susu merupakan jenis protein yang tergolong sebagai alergen minor (Bush dan Hefle 1996). Protein alergen pertama masuk ke dalam tubuh melalui intestinal. Dalam hal ini, protein alergen memiliki ketahanan terhadap kondisi asam dalam lambung serta enzim protease dalam saluran pencernaan seperti tripsin, kimotripsin dan pepsin. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar alergen mempunyai epitop kontinyu yang dapat tahan terhadap panas dan sistem pencernaan seperti garam empedu, asam dan enzim proteolitik. Namun demikian, jika saluran pencernaan sesorang dalam kondisi sehat dan dapat mencerna makanan dengan sempurna, alergen yang merupakan peptida ini tidak akan terserap oleh usus halus sehingga tidak akan menyebabkan alergi walaupun secara genentik orang tersebut memiliki riwayat alergi. Alergen dapat terserap jika pada dinding usus halus seseorang terdapat lubang yang memungkinkan alergen masuk. Pembentukan lubang ini dapat disebabkan oleh cacing, bakteri atau bahan kimia. Oleh karena itu, kelainan genetik saja tidak cukup untuk menjelaskan terjadinya reaksi alergi. ada kecinderungan bahwa faktor lingkungan juga mempunyai pengaruh penting dalam reaksi hipersensitivitas terhadap protein alergen (Garn dan Renz 2007). 10 2.1.3. Deteksi Alergi Alergi tipe I umumnya dapat dideteksi dengan melalui uji tusuk kulit. Uji ini dilakukan dengan menggunakan ekstrak alergen dan cairan kontrol diteteskan pada permukaan volar lengan bawah. Bagian superfisial kulit ditusuk menggunakan jarum khusus tanpa berdarah. Untuk setiap alergen harus digunakan jarum yang berbeda untuk menghindari tercampurnya cairan uji. Dalam melakukan uji tusuk kulit, sebagai kontrol positif dipakai histamin dan untuk kontrol negatif dipakai bahan pelarut (Mygind et al. 1994). Tes dibaca setelah 15 menit, reaksi positif dinyatakan adanya kemerahan dan bentol pada kontrol positif histamin dengan minimal diameter 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol negatif. Keunggulan uji tusuk kulit adalah sederhana, pembacaan dapat dilakukan dengan cepat, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat menguji sejumlah besar alergen sekaligus (Rusznak & Davies 1998; Jarvis & Burney 2004). Uji lain yang dapat digunakan untuk diagnosa alergi adalah uji oral double blind challange. Uji ini dilakukan untuk memastikan makanan penyebab alergi pada pasien dalam keadaan puasa. Metode dilakukan dengan cara pemberian makanan yang mengandung alergen dalam bentuk kapsul dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15-30 menit. Pengujian biasanya membutuhkan waktu 4-8 jam. Uji ini membutuhkan tenaga ahli yang terampil dan berpengalaman (Groce 2007). Selain itu, juga masih banyak uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab alergi diantaranya yaitu analisa total IgE, analisis IgE spesifik, uji degranulasi basofil dan mastosit, uji pelepasan histamin dan uji permeabilitas intestinal. 2.2. Makanan Laut Penyebab Alergi Di seluruh dunia, makanan laut berupa ikan, udang dan kerang-kerangan memiliki peranan penting dalam zat gizi manusia. Namun, makanan laut juga merupakan alergen yang kuat pada individu yang sensitif dan menyebabkan reaksi alergi. Alergi pangan karena makanan laut paling mudah terdeteksi karena gejala yang ditimbulkan relatif cepat. Biasanya kurang dari 8 jam keluhan alergi sudah bisa dikenali. Jenis makanan laut yang sering mengakibatkan gangguan adalah jenis yang berukuran kecil seperti udang, cumi, kerang, kepiting dan sebagainya. 11 Ikan laut yang agak besar seperti salmon, tuna dan sebagainya relatif lebih ringan. Klasifikasi makanan laut utama yang dapat menyebabkan reaksi alergi dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah (ALLSA 2008). Tabel 1. Klasifikasi makanan laut penyebab alergi (ALLSA 2008) Grup Kelas Spesies Mollusca Gastropoda Bivalvia Cephalopoda Abalone, Siput Tiram, Remis Cumi-cumi, Gurita Arthropoda Crustacea Lobster, Udang, Lobster air tawar (crayfish) Chordata Osteichthyes Condrichthyes Ikan Cod, Tuna, Salmon, Makerel Ikan hiu,cucut Kelompok crustacea dan moluska merupakan janis pangan yang paling sering menyebabkan reaksi hipersensitif yang diperantarai oleh antibodi IgE, yang menimbulkan gejala alergi berupa urtikaria (gatal di kulit), angiodema, asma atau kombinasi dari beberapa gejala tersebut (Motoyama et al. 2006). Penelitian Clark et al. (2004) menunjukkan bahwa alergen ikan laut dapat mengakibatkan terjadinya 10% reaksi anafilaksis. Sifat alergi dari protein ikan dipengaruhi oleh kondisi fisiologis lambung, terutama pada individu yang sensitif terhadap jenis pangan ini (Untersmayr et al. 2005). Protein ikan berdasarkan kelarutannya dibagi menjadi 3 jenis yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma. Protein sarkoplasma berisi beberapa jenis protein yang larut air dan dapat diekstrak dengan larutan garam berkekuatan ion rendah. Protein miofibril merupakan protein yang dapat diekstrak dengan larutan garam dengan kekuatan ion tinggi. Protein stroma merupakan jenis protein yang tidak larut baik dalam larutan garam, asam maupun basa. Protein miofibril merupakan bagian terbesar dari protein ikan yaitu sekitar 66-77% dari total protein ikan. Protein sarkoplasma terdapat dalam jumlah sekitar 10% dari total protein ikan, sedangkan protein stroma berkisar antara 3-5%. Kandungan protein sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi tergantung jenis ikan. Pada umumnya ikan pelagik mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal (Suzuki 1981). 12 2.2.1. Ikan Tongkol Ikan merupakan salah satu diantara delapan jenis pangan penyebab alergi dan menempati urutan kedua terpenting setelah telur (Lopata dan Potter 2000). Beberapa jenis ikan terutama ikan laut yang paling umum menyebabkan alergi pangan diantaranya berasal dari famili Scombridae yaitu ikan tuna, tongkol, cakalang, tenggiri, kembung. Selain itu juga ikan teri, ikan cod, kerapu, marlin, salmon, sarden, hiu dan kakap (CFIA 2010). Ikan tongkol merupakan salah satu famili Scombridae, bagian dari ikan konsumsi penting di Indonesia. Dapat tumbuh sampai 1 meter dengan berat maksimal 14 kg. merupakan ikan pelagis yang hidup di pantai sampai laut lepas dengan kedalaman 200 meter (Kuncoro dan Wiharto 2009). Klasifikasi ikan tongkol (Auxis thazard) adalah sebagai berikut (Saanin 1984) : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombroidea Famili : Scombridae Genus : Auxis Spesies : Auxis thazard Komposisi protein daging putih ikan mackerel yang juga merupakan famili Scombridae terdiri dari 33-37% protein sarkoplasma, 59-61% protein miofibril dan 1-2% protein stroma (Hashimoto et al. 1979). Hasil penelitian Benjakul et al. (2001) terhadap komposisi protein miofibril dari dua jenis ikan bigeye snapper (Priacanthus tayenus dan Priacanthus macracanthus) memberikan hasil yang mirip, yaitu berkisar antara 44-45% dari total protein. Hasil elektroforesis fraksi protein miofibril dari kedua jenis spesies memperlihatkan band protein yang merupakan miosin rantai panjang, aktin, troponin, tropomiosin dan juga miosin rantai panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis alergen mayor pada ikan cod Gadus callaria adalah parvalbumin (dikenal sebagai Gad c1), merupakan suatu 13 protein sarkoplasma yang berikatan dengan kalsium dengan berat molekul sekitar 12 kDa (Elsayed dan Aas 1971 dalam Hamada et al. 2003). Selain itu juga diketahui adanya alergen minor pada beberapa jenis ikan lain melalui teknik immunoblotting dan salah satunya telah dimurnikan dan diidentifikasi sebagai kolagen (Hamada et al. 2001). 2.2.2. Kerang Hijau Kerang hijau merupakan salah satu jenis sumber daya laut yang memiliki nilai ekonomis penting. Kerang ini tergolong dalam filum Mollusca. Daging segar kerang hijau umumnya sangat lunak, berwarna putih atau oranye mengkilap dan berair. Presentase daging kerang hijau lebih besar dibandingkan dengan jenis kerang-kerangan lainnya, seperti kerang darah dan kerang bulu. Berikut ini adalah klasifikasi kerang hijau (Perna viridis) berdasarkan NIMPIS (2002) : Filum : Mollusca Kelas : Bivalvia Sub kelas : Pteriomorphia Ordo : Mytiloida Famili : Mytilidae Genus : Perna Spesies : Perna viridis Beberapa alergen dari moluska adalah Tod p 1 dalam cumi-cumi, Hal m1 dalam abalone, Cra g 1 dalam tiram telah dikarakterisasi dengan menggunakan teknik biokimia. Leung et al. (1996) menyatakan bahwa suatu protein 38 kDa diidentifikasi sebagai tropomiosin yang juga ditemukan sebagai alergen pada berbagai spesies moluska. Tropomiosin ditetapkan sebagai penyebab alergi utama dan merupakan alergen yang umum ditemukan pada penelitian alergen kerang. Tropomiosin dari beberapa spesies telah diklon dan disekuen dan epitop mayor yang berikatan dengan IgE telah diidentifikasi. Tropomiosin dikenal sebagai alergen yang menyebabkan reaksi silang yang terdapat pada otot dan sel-sel lain dari kerang tersebut (Leung et al. 1996). Beberapa bivalvia terbukti memiliki minimal 2 bentuk tropomiosin, namun hanya salah satu bentuk yang ditemukan dalam spesies kerang 14 M.galloprovincialis (Fujinoki 2006) yang memiliki identitas 100% asam amino daripada kerang biru (M.edulis) (Taylor 2008). Beberapa alergen selain tropomiosin telah ditemukan dalam spesies moluska lain namun belum teridentifikasi secara rinci. Alergen ini diusulkan sebagai hemosianin, miosin rantai panjang dan amilase (Taylor 2008). Adanya alergen selain tropomiosin pada spesies moluska menunjukkan bahwa alergen lain juga mungkin ada dalam kerang juga. Serum pasien yang mempunyai alergi terhadap udang bereaksi juga dengan band kedua dari kerang hijau Asia (P.viridis) (Leung et al. 1996). 2.2.3. Udang Jerbung Salah satu spesies dari famili Penaeidae yang bernilai ekonomis tinggi dan tersebar luas hampir di seluruh Indonesia adalah udang jerbung (Penaeus merguiensis). Seperti hewan laut lainnya, dua komponen yang dominan pada udang adalah air dan protein. Protein udang juga terdiri dari protein sarkoplasma, miofibril dan stroma (Suzuki 1981). Penelitian Sriket et al. (2007) terhadap dua jenis udang Penaeus monodon dan Penaeus vannamei menunjukkan bahwa komponen protein utama adalah miofibril yang terdiri dari aktin dan myosin heavy chain (MHC). Perbedaan kandungan protein miofbril, sarkoplasma dan stroma dari jenis udang putih (P.vannamei) dan udang P.monodon disebabkan karena perbedaan sifat dan karakteristik dari kedua jenis spesies udang tersebut. Udang jerbung memiliki klasifikasi sebagai berikut (Racek dan Dall 1965 dalam Naamin et al. 1992) : Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Penaeidae Genus : Penaeus Spesies : Penaeus merguiensis Dari sejumlah pangan penyebab alergi, kelompok udang-udangan ditetapkan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya alergi pangan yang dikarenakan semakin meningkatnya konsumsinya, terutama di negara-negara pesisir (Lehrer et al. 2003). Udang merupakan satu diantara delapan sumber utama alergen pangan 15 yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia dan merupakan jenis pangan yang banyak disukai karena rasa dan nilai gizinya yang tinggi (Yu et al. 2011). Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui jenis alergen utama dari udang-udangan, seperti yang dikemukakan dalam penelitian Motoyama et al. (2007), alergen utama pada kelompok udang adalah tropomiosin, yaitu suatu protein miofibril 35-38 kDa yang terdapat di dalam kontraksi otot. Pengujian alergenisitas terhadap ekstrak protein udang putih (Penaeus merguensis) menunjukkan bahwa ekstrak protein baik fraksi sarkoplasma dan miofibril mampu menimbulkan terjadinya reaksi alergi pada subyek penderita alergi (Ispurwanto 1998). 2.3. SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis) Elektroforesis merupakan metode yang sering digunakan untuk memisahkan fraksi-fraksi suatu zat berdasarkan muatannya dengan memanfaatkan medan listrik. Migrasi fraksi-fraksi tersebut dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, serta muatan fraksi (Walsh 2001) Proses pemisahan fraksi-fraksi protein umumnya menggunakan gel poliakrilamida sebagai media elektroforesis atau sering disebut sebagai PAGE (Polyacrilamide Gel Electrophoresis). Keunggulan penggunaan gel poliakrilamida pada proses elektroforesis adalah karena bersifat inert, tidak bereaksi dengan sampel, tidak bermuatan, stabil pada kisaran pH yang luas, dan transparan sehingga pengamatan terhadap pita-pita protein mudah dilakukan. Selain itu, ukuran pori-pori gel poliakrilamida juga dapat diatur sesuai dengan molekul yang akan dipisahkan. Semakin kecil ukuran molekul yang akan dipisahkan, maka semakin tinggi konsentrasi poliakrilamida yang digunakan dan sebaliknya. Umumnya protein dengan kisaran BM 24-205, 14-205 dan 14-66 kDa berturut-turut baik dipisahkan oleh gel poliakrilamida 8%, 10% dan 12% (Bollag dan Edelstein 1991). SDS-PAGE merupakan modifikasi PAGE, yaitu proses elektroforesis yang menggunakan sampel terdenaturasi serta mempunyai muatan negatif. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan pemberian β-merkaptoetanol sebagai denaturan yang memecah ikatan disulfida. Denaturasi protein juga dapat dilakukan melalui pemanasan pada suhu kurang lebih 80°C selama 2 menit. Pemberian SDS 16 menyebabkan polipeptida bermuatan negatif sehingga sampel akan tertarik menuju elektroda positif. Polipeptida berukuran lebih kecil akan bermigrasi lebih cepat dibandingkan polipeptida yang berukuran lebih besar (Walsh 2001). Penggunaan teknik SDS-PAGE untuk identifikasi jenis protein alergen telah banyak dilakukan. Sahabudin et al. (2011) melaporkan bahwa analisis ekstrak protein udang Penaeus monodon menghasilkan 23 band protein dengan berat molekul berkisar 15-200 kDa. Misnan et al. (2005) mengkarakterisasi ekstrak protein ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) dengan elektroforesis SDSPAGE dan menghasilkan 26 band protein dengan berat molekul 11-175 kDa. Karakterisasi ekstrak protein udang putih (Penaeus merguensis) menunjukkan bahwa protein sarkoplasma terdiri dari 11 jenis protein (17-75 kDa) dan protein miofibril terdiri dari 11 jenis protein dengan berat molekul berkisar 16-81 kDa. 2.4. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) ELISA atau enzyme linked immunosorbent assay merupakan teknik immunoassay yang digunakan untuk mendeteksi atau mengkuantifikasi suatu senyawa dasar dalam reaksi imunologi (Kemeny 1991). Pada awalnya, ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG dan IgA pada saat terjadi infeksi pada tubuh manusia khususnya. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga digunakan untuk bidang-bidang lainnya (Fossceco et al. 2007). Penerapan teknik ELISA meliputi lima komponen dasar yaitu lempeng padat, adsorbsi ke lempeng padat, penyangga dan larutan pencuci, konjugat enzim dan substrat serta pembacaan hasil dari lempeng mikrotiter. Komponen yang paling umum digunakan dalam ELISA adalah lempeng padat. Bahan yang diperlukan untuk membuat lempeng padat berasal dari gelas atau plastik. Diantara kedua bahan tersebut plastik lebih umum digunakan dibanding bahan yang terbuat dari gelas. Pemakaian lempeng padat bertujuan untuk meletakkan antigen maupun antibodi. Malcolm (1995) menerangkan bahwa antigen atau antibodi secara pasif dapat menempel pada permukaan lempeng padat. Sementara komponen penyangga (buffer) dan larutan pencuci merupakan komponen yang berpengaruh terhadap hasil pengujian terutama pengaruh dari pH dan kekuatan ion. 17 Larutan pencuci biasanya mengandung deterjen yang ditujukan untuk mengurangi reaksi-reaksi pengikatan non spesifik. Adapun konjugat enzim merupakan komponen yang akan diikatkan pada antibodi indikator. Konjugat enzim ini akan memecah substrat sehingga reaksi dapat dideteksi dengan melihat perubahan warna yang terjadi. Komponen dasar yang terakhir adalah pembacaan hasil ELISA, yang utamanya berkaitan dengan pemilihan panjang gelombang yang sesuai. Panjang gelombang primer harus bertepatan dengan absorbansi puncak (Burgess 1995). Beberapa keunggulan teknik ELISA dibandingkan uji-uji imunologi yang lain antara lain, ELISA mengukur lebih cepat, tidak menghasilkan limbah radioaktif sehingga tidak membahayakan kesehatan, mudah diotomatisasi, ekonomis dan cukup sensitif dengan reagen yang memiliki umur simpan panjang serta dapat dibaca dengan spektrofotometer biasa (Kresno 2001). Hamada et al. (2003) melakukan pengujian reaktivitas IgE serum subyek penderita alergi ikan dengan protein ikan Evynnis japonica menggunakan ELISA. Hasilnya menunjukkan bahwa protein parvalbumin (12 kDa) memiliki reaktivitas paling kuat dengan IgE serum dibandingkan dengan protein lain. Menggunakan teknik ELISA, Shriver et al. (2011) melaporkan bahwa perlakuan Pulsed Ultraviolet Light (PUV) menurunkan reaktivitas alergen mayor tropomiosin yang terdapat dalam ekstrak udang putih (Litopenaeus setiferus) dan dapat menurunkan kapasitas pengikatan terhadap IgE serum. 2.5. Immunoblotting Suatu modifikasi dari prinsip imunoelektroforesis adalah teknik yang disebut immunoblotting. Salah satu metode yang populer dari immunoblotting adalah western blotting. Western blotting biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Metode ini menggabungkan selektivitas elektroforesis gel dengan spesifitas immunoassay, sehingga setiap jenis protein dapat dideteksi dan dianalisis dengan menggunakan probe antibodi yang sesuai (Kresno 2001). Proses pemindahan protein dari matriks gel ke suatu membran nitroselulosa dan proses deteksinya secara imunologi inilah yang sering disebut dengan western blotting (Rybicki et al. 1996). 18 Dalam uji ini, protein-protein dalam campuran akan dipisahkan satu dengan yang lain dengan cara elektroforesis gel, khususnya cara sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Posisi akhir setiap jenis protein dalam gel poliakrilamida setelah elektroforesis dihentikan sesuai dengan berat molekul masing-masing. Protein-protein yang telah dipisahkan satu dengan yang lain itu kemudian dipindahkan dari gel ke suatu membran pendukung melalui proses kapiler (blotting) sedimikian rupa sehingga membran tersebut mendapatkan replika dari susunan makromolekul seperti yang terdapat pada gel. Posisi antigen yang dicari dapat diidentifikasi pada membran dengan mereaksikannya dengan antibodi spesifik yang bertanda atau dilabel dengan radioisotop atau enzim (Abbas et al. 2000). Pita protein (misalnya, protein alergen) yang tercetak dalam membran nitroselulosa dapat diidentifikasi dengan menginkubasi membran dalam serum darah pasien yang positif alergi, sehingga protein tersebut akan berikatan spesifik dengan IgE. Interaksi tersebut dapat terlihat setelah membran direaksikan dengan substrat yang dapat berpendar, sedangkan bobot molekulnya diketahui dari migrasinya pada gel SDS-PAGE (Rybicki et al. 1996). Beberapa jenis alergen ikan berhasil diidentifikasi menggunakan teknik imunoblotting diantaranya Gad c 1, yaitu protein parvalbumin12 kDa dari ikan cod (Lopata dan Potter 2001), kolagen dengan berat molekul ~100 kDa (Hamada et al. 2001) dan aldehid dehidrogenase (APDH) yang merupakan protein alergen ikan cod dengan berat molekul ~41 kDa (Das Dores et al. 2002).