BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya, atau upaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, baik secara individual, maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam (Galtung, 1980 dalam Trijono, 2007). Pada awalnya istilah pembangunan dipakai dalam arti pertumbuhan ekonomi. Sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan, bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau negara setiap tahunnya. Dalam bahasa teknis ekonominya, produktivitas ini diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB atau Gross National Product, GNP) dan Produk Domestik Bruto (PDB atau Gross Domestic Product, GDP), dengan demikian dapat dilihat berapa produksi rata-rata setiap orang dari negara yang bersangkutan (Budimanta, 2000). Pembangunan seharusnya merupakan suatu proses yang saling terkait antara proses pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan demokrasi politik yang terjadi dalam lingkaran sebab akibat kumulatif. Pembangunan dapat dimaknai sebagai : (1) proses perubahan sosial menuju kepada tataran kehidupan masyarakat yang lebih baik, (2) proses sosial yang bebas nilai, (3) upaya manusia yang sadar, terencana dan melembaga, (4) konsep yang sarat nilai, menyangkut proses pencapaian nilai yang dianut suatu bangsa secara makin meningkat, dan (5) pembangunan menjadi culture, specific, situation specific dan time specific (Soetarto, 2007). Berdasarkan beberapa definisi pembangunan yang telah penulis sebutkan diatas, maka dalam pembahasan ini penulis sependapat dengan definisi yang disampaikan oleh Johan Galtung yang menyatakan, bahwa pembangunan adalah upaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun secara kelompok dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam. Dengan alasan bahwa konsep ini sangat universal dan komprehensif serta menekankan antara tujuan dengan cara yang yang digunakan. Hak dan kebutuhan dasar manusia menurut Johan Galtung terdiri dari empat jenis kebutuhan yaitu : (1) kesejahteraan; (2) kebebasan; (3) keamanan; dan (4) identitas budaya. Keempat kebutuhan dasar ini saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya (Trijono, 2007). Sumardjo (2003), mengemukakan bahwa kebutuhan dasar manusia pada tingkat yang paling dasar untuk kesejahteraan manusia yang beradab, paling tidak harus dapat memenuhi lima kebutuhan dasarnya, yaitu kecukupan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Apabila kebutuhan dasar tersebut terpenuhi, maka kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai kondisi tingkat aman pertama dalam kesejahteraan manusia. Pengertian pembangunan nasional yang telah dirumuskan dalam UndangUndang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Tujuan Pembangunan Nasional tertuang dalam Bab II pasal 2 yang berbunyi, bahwa Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2004). 2.1.1. Konsep-Konsep Pembangunan Pembangunan, menurut literatur-literatur ekonomi pembangunan, sering di definisikan sebagai suatu proses berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya (Soetarto, 2007). Terdapat enam pendekatan pembangunan, yaitu pendekatan pertumbuhan, pertumbuhan dan pemerataan, ketergantungan, tata ekonomi baru, kebutuhan pokok, dan pendekatan kemandirian menurut sebagai berikut (Troeller, 1978 dalam Tonny, 2006) : 1. Pertumbuhan (Growth Approach) Konsep ini menggunakan penetapan ICOR (incremental capital output ratio) dan laju pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki sebagai indikator utamanya. Strategi pembangunan dirancang dengan sasaran tunggal, yaitu bagaimana mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam tempo yang singkat. Dalam rangka memenuhi ambisi tersebut, maka diperlukan modal investasi dalam jumlah besar. Sebagai jalan pintas dibukalah pintu lebar-lebar untuk investasi modal asing beserta teknologinya. Asumsi teori ini adalah bila terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagai konsekuensinya akan terjadi “tetesan rejeki ke bawah” (trickle down effect). Tetesan rejeki ke bawah diharapkan juga akan mencapai kelompok masyarakat lapisan bawah. Kenyataannya, hasil pembangunan yang terjadi memicu munculnya permasalahan lain, seperti : meningkatnya tingkat pengangguran pada angkatan kerja; tingkat kejahatan; tingkat migrasi desa ke kota; dan ketimpangan pada berbagai negara Dunia III; 2. Pertumbuhan Dan Pemerataan (Redistribution with Growth Approach), Menurut Adelman & Morris ada tiga tipe indikator yang dapat digunakan untuk mengukur perkembangan pembangunan suatu negara. (1) indikator-indikator sosial-budaya, diantaranya : sektor pertanian, dualisme, urbanisasi, dan kelas menengah; (2) indikator-indikator politik, diantaranya: integrasi, sentralisasi kekuasaan, partisipasi politik, dan kebebasan kelompok; dan (3) indikator-indikator ekonomi, diantaranya; GNP, pertumbuhan riil GNP, keterbengkalaian sumberdaya alam, penanaman modal, dan modernisasi industri. Mereka yakin bahwa indikatorindikator tersebut dapat membedakan antara negara yang belum berkembang, sedang berkembang, dan negara maju. Isu utama dalam pendekatan ini adalah bahwa kemiskinan dilihat sebagai fenomena yang kompleks, dan dapat ditelusuri dari adanya kesenjangan antar kelas sosial-ekonomi; ketimpangan hubungan kota-desa; perbedaan antar suku, agama, dan daerah. strategi pertumbuhan dan pemerataan sebenarnya tidak banyak berbeda dengan pendekatan pertama. 3. Paradigma Ketergantungan (Dependence Paradigm) Teori ketergantungan mencoba menjelaskan “mengapa bantuan yang sudah begitu besar yang diberikan oleh negara-negara Dunia I tidak memberikan hasil yang signifikan pada proses pembangunan negara Dunia III?” dan “mengapa masih banyak negara yang belum ataupun sedang berkembang, yang belum mampu mengelola pembangunan negara mereka tanpa diberikan dukungan oleh negaranegara donor?” Teori ini menunjukkan bahwa munculnya sifat ketergantungan merupakan penyebab terjadinya “keterbelakangan” masyarakat negara yang sedang berkembang, oleh karena itu untuk membebaskan diri dari “keterbelakangan” diperlukan adanya upaya pembebasan masyarakat dari rantai yang membelenggu mereka. 4. Tata Ekonomi Internasional Baru (The New International Economic Order) Pendekatan ini berlandaskan hasil studi yang dilakukan oleh The Club of Rome yang berjudul The Limits to Growth, yang memaparkan suatu prediksi akan munculnya bencana pada kurun waktu seratus tahun yang akan datang apabila pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk, pertumbuhan eksploitasi bahan mentah, dan peningkatan polusi lingkungan masih tetap sama dengan tingkat pertumbuhan pada tahun 1970-an. Gagasan berikutnya adalah menciptakan tata ekonomi internasional baru yang berlandaskan pada kebutuhan negara-negara “selatan” untuk mengelola sumberdaya alam dan ekonomi mereka sendiri. Gagasan tersebut mencakup proses perumusan dan pengambilan keputusan, pengembangan prasyarat investasi, pengadaptasian teknologi baru, dan relasi perdagangan. 5. Kebutuhan Pokok (The Basic Needs Approach) Tiga sasaran pendekatan ini adalah : (1) membuka lapangan kerja; (2) meningkatkan pertumbuhan ekonomi; dan (3) memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Kemudian pendekatan ini diperluas dengan memasukkan beberapa unsur kebutuhan pokok yang bersifat non-material sehingga dapat digunakan sebagai tolok ukur kualitas kehidupan (quality of life) dari kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Soedjatmoko dalam bukunya Policy Implications of the Basic Needs Approach, menyarankan agar pendekatan ini diterapkan secara komprehensif dan melibatkan masyarakat di pedesaan dan sektor informal dengan mengembangkan potensi, kepercayaan, dan kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengorganisir diri serta membangun sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. 6. Kemandirian (The Self-Reliance Approach) Pendekatan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari berbagai upaya negaranegara Dunia III untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara-negara industri. Konsep kemandirian menekankan pada dua perspektif: (1) penekanan lebih diutamakan pada hubungan timbal-balik dan saling menguntungkan dalam perdagangan dan kerjasama pembangunan; dan (2) lebih mengandalkan pada kemampuan dan sumberdaya sendiri untuk kemudian dipertemukan dengan pendekatan internasional tentang pembangunan. Penerapan konsep kemandirian membawa konsekuensi perlunya diterapkan pula pendekatan kebutuhan pokok bagi kelompok miskin, dan strategi pemerataan pendapatan serta hasil-hasil pembangunan. 2.1.2. Perencanaan Pembangunan Nasional Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponan bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Rencana pembangunan nasional meliputi rencana pembangunan jangka panjang untuk periode 20 tahun, rencana pembangunan jangka menengah untuk periode 5 tahun, dan rencana pembangunan tahunan (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2004). Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 telah membawa perubahan yang mendasar pada hampir semua aspek kehidupan, baik di lingkungan masyarakat maupun di dunia organisasi. Pergeseran paradigma dan sudut pandang terhadap penyelenggaraan lembaga pemerintahan telah mendorong masyarakat untuk semakin berani dan terbuka dalam menuntut terwujudnya transparansi dan akuntabilitas menuju penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dalam kerangka “good governance”. Sejalan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadi berbagai pergeseran mendasar dalam sistem pemerintahan yakni dari pemerintahan sentralistik ke desentralistik. Pemerintahan sentralistik kurang populer karena ketidak mampuan aparat pusat untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah, dan secara fisik maupun psikologis warga masyarakat yang tinggal di daerah merasa dekat dan tentram dengan badan pemerintahan daerah (Bonne Rust dalam Napitipulu, 2007). Melalui sistem pemerintahan desentralistik diharapkan dapat dicegah bertumpuknya kekuasaan disatu tangan, dicapainya pemerintahan yang efektif dan efisien, dapat diambil keputusan yang lebih cepat dan tepat dalam mengantisipasi problem masyarakat lantaran perbedaan faktor-faktor geografi, demografi, sosial ekonomi dan kebudayaan, serta dapat diikutsertakannya masyarakat dalam kegiatan pembangunan secara maksimal (Kaho dalam Napitupulu, 2007). Perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang sangat fundamental menuntut perlunya sistem perencanaan pembangunan yang komprehensif dan mengarah kepada perwujudan transparansi, akuntabilitas, demokratisasi, desentralisasi, dan partisipasi masyarakat, yang pada akhirnya dapat menjamin pemanfaatan dan pengalokasian sumber dana pembangunan yang semakin terbatas menjadi lebih efektif, efisien dan berkelanjutan. Salah satu upaya untuk merespon tuntutan tersebut secara sistematis adalah dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). SPPN adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah dan disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan. Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam proses pembangunan diperlukan musyawarah yang selanjutnya disebut dengan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), yang bertujuan untuk menampung aspirasi masyarakat (PP No. 40 Tahun 2006). Pengertian masyarakat dalam kontek ini adalah semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan mulai dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pemuka adat dan pemuka agama, asosiasi profesi serta kalangan dunia usaha (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2004). Tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional adalah sebagai berikut : (1) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; (2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar-daerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah; (3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan (5) menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Tabel 1. Ruang Lingkup Perencanaan Pembangunan NASIONAL Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP Nasional ) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja – KL) Sumber: (Hariyoga, 2007) DAERAH Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah) Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 mencangkup lima pendekatan yaitu pendekatan politik, teknokratik, partisifatif, atas – bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom-up). Proses politik bermakna bahwa pemilihan langsung kepala pemerintahan mulai dari pusat sampai daerah dipandang sebagai proses perencanaan karena menghasilkan visi, misi, dan program pembangunan yang ditawarkan oleh masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye (Hariyoga, 2007). Proses teknokratik adalah perencanaan yang dilakukan oleh profesional dengan memakai metode kerangka berfikir ilmiah atau oleh lembaga yang secara fungsional bertugas untuk itu. Proses partisifatif bermakna bahwa perencanaan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) antara lain melalui Musrenbang. Sementara itu proses bottom-up dan top-down bermakna bahwa perencanaan yang aliran prosesnya dari atas kebawah atau dari bawah ke atas dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan serta diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa (Hariyoga, 2007). Perencanaan pembangunan terdiri dari empat tahapan, yakni : (1) penyusunan rencana; (2) penetapan rencana; (3) pengendalian pelaksanaan rencana; dan (4) evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat tahapan ini diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2004). 2.1.3. Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah daerah telah diberikan wewenang penuh untuk mengurus, mengelola serta mempertanggung-jawabkan pembangunan, oleh karena itu maka diperlukan sebuah proses pembangunan yang lebih desentralistik, partisifatif, transparan dan akuntabel yang menjamin adanya keterpaduan dan sinergi program baik program pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta pihak-pihak swasta dan masyarakat. Hal ini akan lebih mudah terlaksana jika pemerintah daerah memiliki visi dan misi yang jelas yang akhirnya melahirkan suatu strategi pembangunan daerah, baik jangka pendek, menengah, dan jangka panjang yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan kepentingan nasional. Strategi pembangunan adalah langkah-langkah yang berisikan program-program yang mengarah kepada upaya untuk mewujudkan visi dan misi dari sebuah pemerintahan (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2004). Sesuai kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Gagasan tentang perencanaan pembangunan daerah berawal dari pandangan bahwa : (1) Ada yang menganggap bahwa perencanaan pembangunan nasional tidak cukup efektif memahami kebutuhan warga negara yang berdomisili dalam satu wilayah administratif dalam rangka pembangunan daerah. (2) Munculnya kebijakan pemerintah nasional yang memberikan kewenangan lebih luas kepada penyelenggara pemerintahan daerah dalam rangka penetapan kebijakan desentralisasi (Wrihatnolo dan Nugroho, 2006). Argumen tentang pentingnya pembangunan daerah dan perencanaan pembanguan daerah adalah berdasarkan alasan politik, bukan murni alasan ekonomi. Melalui dimensi alasan politik, perencanaan pembangunan daerah dapat dilihat sebagai wahana untuk menciptakan hubungan yang lebih baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Sementara dalam dimensi alasan ekonomi, perencanaan pembangunan dapat dilihat sebagai wahana mencapai sasaran pengentasan kemiskinan dan sasaran pembangunan sosial secara lebih nyata di daerah-daerah. Pengertian pembangunan daerah di sini mengacu kepada penyelenggaraan proses pembangunan, sejak dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi yang dilakukan secara partisifatoris dari masyarakat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Wrihatnolo dan Nugroho, 2006). Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 21 menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak : mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahanya, memilih pemimpin daerah, mengelola aparatur daerah, mengelola kekayaan daerah, memungut pajak dan retribusi daerah, mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainya yang berada didaerah, mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Di sisi lain, daerah mempunyai kewajiban : (a) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; (c) mengembangkan kehidupan demokrasi; (d) mewujudkan keadilan dan pemerataan; (e) meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; (f) menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; (g) menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; (h) mengembangkan sistem jaminan sosial; (i) menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; (j) mengembangkan sumber daya produktif di daerah; (k) melestarikan lingkungan hidup; (l) mengelola administrasi kependudukan; (m) melestarikan nilai sosial budaya; (n) membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan (o) kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Surya, Rukijo, Haryanto, 2004). Teori pembangunan daerah dapat dibagi dalam dua fase yaitu fase pra 1980an dan fase Pasca 1980-an. Pada fase pra 1980-an ciri-cirinya adalah sebagai berikut : (1) pembangunan daerah yang menekankan pada peran pemerintah yang lebih dominan, misalnya dominasi pemerintah melalui bidang kelembagaan dan peraturan perundang-undangan, penguasaan berbagai sektor ekonomi melalui kepemilikan dan pengelolaan BUMN/D, serta kebijaksanaan subsidi impor; (2) hanya menekankan pertumbuhan ekonomi sehingga terjadinya kesenjangan antar daerah dan ketidakmerataan pembangunan; dan (3) pembanguan daerah justru menyebabkan konvergensi antar daerah, menjadi tidak efisien, dan pembangunan daerah dikerdilkan oleh kebijaksanaan pembangunan yang ada. Pada fase pasca 1980–an pembangunan daerah ciri-cirinya adalah sebagai berikut: (1) pembangunan daerah yang pada akhirnya memeratakan pertumbuhan, perdagangan menjadi bebas dan semakin menyatunya ekonomi dunia; (2) sistem monopoli metropolitan dan kotakota besar akan berakhir; (3) peran pemerintah daerah akan semakin besar terutama dalam mengindetifikasi serta menentukan pusat-pusat industri dan kegiatan ekonomi lainnya; dan (4) pihak swasta dan masyarakat akan ikut terlibat secara lebih aktif dalam proses pembangunan daerah (Manuwoto, 2007). Secara umum perencanaan pembangunan daerah didefinisikan sebagai proses dan mekanisme untuk merumuskan rencana jangka panjang, mencegah, dan pendek di daerah yang dikaitkan pada kondisi, aspirasi dan potensi daerah, dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam rangka menunjang pembangunan nasional (Sumodiningrat, 2007). Secara praktis perencanaan pembangunan daerah didefinisikan sebagai suatu usaha yang sistematis dari berbagai pelaku (aktor), baik umum (publik) atau pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat lain pada tingkatan yang berbeda, saling terkait antara aspek-aspek fisik, sosial-ekonomi, dan aspek-aspek lingkungan lainnya dengan cara : (1) secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah; (2) merumuskan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah; (3) menyusun konsep strategi-strategi bagi pemecahan masalah; (4) melaksanakannya dengan mengunakan sumber-sumber daya yang tersedia; dan (5) merebut peluang-peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah secara berkelanjutan (Syahroni, 2001 dalam Wrihatnolo dan Nugroho, 2006). Dalam pembangunan daerah, pemerintah daerah diharapkan mampu melakukan manajemen pembangunan daerah dengan fokus pengembangan kawasan. Potensi wilayah diharapkan dapat dioptimalkan sehingga masyarakat menjadi tuan di atas wilayahnya sendiri dalam satu entitas kawasan pembangunan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip pembangunan. Tantangan pembangunan yang semakin luas menyebabkan perlunya pembangunan daerah dan semakin pentingnya perencanaan pembangunan daerah agar pemerintah dan masyarakat daerah dapat melakukan pendayagunaan sumber daya yang mereka miliki secara efisien. Dengan demikian, melalui wahana perencanaan pembanguan daerah diharapkan semua elemen masyarakat (stakeholders) daerah dapat membina hubungan kerjasama diantara pemerintah , masyarakat sipil serta pihak swasta untuk dapat maju secara bersama, melaksanakan peran dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya membangun pemerintah daerah, untuk kesejahtaan masyarakat daerah (Sumodiningrat, 2007). 2.2. Azas–Azas dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat Pengembangan masyarakat (community development) adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistimatis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya (Budimanta, 2002). Secara hakekat, community development merupakan suatu proses adaptasi sosial budaya yang dilakukan oleh industri, pemerintah pusat dan daerah terhadap kehidupan komuniti lokal (Rudito, 2003). Tujuan dari program community development adalah pemberdayaan masyarakat, bagaimana anggota dapat mengaktualisasikan diri mereka dalam pengelolaan lingkungan yang ada di sekitarnya dan memenuhi kebutuhanya secara mandiri tanpa ketergantungan dengan pihak-pihak perusahaan maupun pemerintah (Budimanta, 2002). Pengembangan masyarakat (community development) sebagai suatu perencanaan sosial perlu berlandaskan pada asas-asas: (1) komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan; (2) mensinerjikan strategi komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait (related parties) dan partisipasi warga; (3) membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta insentif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga; dan (4) mengubah perilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga komunitas (Ife, 1995 dalam Tony, 2006). Perserikatan Bangsa-Bangsa (1957), dalam suatu laporannya mengenai konsep dan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat, memaparkan sepuluh prinsip yang dianggap dapat diterapkan di seluruh dunia. Sepuluh prinsip tersebut adalah : (1) Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan harus berhubungan dengan kebutuhan dasar dari masyarakat, program-program (proyek) pertama harus dimulai sebagai jawaban atas kebutuhan yang dirasakan orang-orang; (2) Kemajuan lokal dapat dicapai melalui upaya-upaya tak saling-terkait dalam setiap bidang dasar, akan tetapi pengembangan masyarakat yang penuh dan seimbang menuntut tindakan bersama dan penyusunan program-program multitujuan; (3) Perubahan sikap orang-orang adalah sama pentingnya dengan pencapaian kemajuan material dari program-program masyarakat selama tahap-tahap awal pembangunan; (4) Pengembangan masyarakat mengarah pada partisipasi orang-orang yang meningkat dan lebih baik dalam masalah-masalah masyarakat, revitalisasi bentuk-bentuk yang ada dari pemerintah lokal yang efektif apabila hal tersebut belum berfungsi; (5) Identifikasi, dorongan semangat, dan pelatihan pemimpin lokal harus menjadi tujuan dasar setiap program; (6) Kepercayaan yang lebih besar pada partisipasi wanita dan kaum muda dalam proyek-proyek pengembangan masyarakat akan memperkuat program-program pembangunan, memapankannya dalam basis yang luas dan menjamin ekspansi jangka panjang; (7) Agar sepenuhnya efektif, proyek-proyek swadaya masyarakat memerlukan dukungan intensif dan ekstensif dari pemerintah; (8) Penerapan program-program pengembangan masyarakat dalam skala nasional memerlukan pengadopsian kebijakan yang konsisten, pengaturan administratif yang spesifik, perekrutan dan pelatihan personil, mobilisasi sumberdaya lokal dan nasional, dan organisasi penelitian, eksperimen, dan evaluasi; (9) Sumberdaya dalam bentuk organisasi-organisasi non-pemerintah harus dimanfaatkan penuh dalam program-program pengembangan masyarakat pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; dan (10) Kemajuan ekonomi dan sosial pada tingkat lokal mensyaratkan pembangunan yang paralel di tingkat nasional (Tonny, 2006). Prinsip-prinsip tersebut, apabila ditelaah satu per satu, akan memberikan keyakinan mendasar bagi mereka yang bekerja secara profesional dalam programprogram pengembangan masyarakat. Mereka belajar bahwa suatu program pengembangan masyarakat tak dapat dipaksakan penerapannya dan apabila ingin berakar, harus bersifat lokalitas. Bagi kebanyakan warga dari negara-negara maju, tekanan pada prinsip-prinsip mengenai bantuan pemerintah mungkin akan dirasakan terlalu kuat. Akan tetapi mereka akan terkejut jika memahami besarnya bantuan dari pemerintah pusat dan daerah yang diberikan kepada masyarakat lokal. Artinya, di negara-negara maju program pengembangan masyarakat menekankan pada aspek non-pemerintah. Oleh karena itu, di negara-negara yang kaya sumberdaya ekonomi dan memiliki pemimpin terlatih, pendekatan perorangan dan sukarela dalam pengembangan masyarakat adalah sangat dimungkinkan. Akan tetapi di banyak negara-negara berkembang perlu waktu yang relatif lama melakukan pengembangan masyarakat dengan peranan pemerintah yang semakin berkurang (Tonny, 2006). Prinsip pengembangan masyarakat tidak bebas satu sama lain, tetapi saling berkaitan mulai dari perspektif ekologi sampai dengan pandangan bahwa pentingnya keadilan sosial sebagai dasar pengembangan masyarakat. Ife (1995) dalam Tony (2006), memaparkan 22 prinsip pengembangan masyarakat (community development) berikut ini : 1. Pembangunan Terpadu (Integrated Development) Proses pengembangan masyarakat tidak berjalan secara parsial, tetapi merupakan satu kesatuan proses pembangunan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, lingkungan, dan personal. Keenam aspek tersebut penting dan saling terkait satu-sama lain. 2. Konfrontasi dengan Kebatilan Struktural (Confronting Structural Disadvantage) Prinsip ini mengakar pada perspektif keadilan sosial dalam pengembangan masyarakat. Seorang community workers harus dapat menyadari adanya cara-cara dimana tekanan pada suatu kelas, gender, suku bangsa berlangsung kompleks. Seorang community workers perlu lebih kritis terhadap faktor kontektual (latar belakang warga komunitas, ras, jenis kelamin, sikap berdasarkan kelas warga komunitas dan partisipasi warga komunitas pada struktur penindasan tersebut). Oleh karena itu community workers harus waspada serta memperhitungkan kompleksitas yang ditemukan dalam suatu komunitas. 3. Hak Asasi Manusia (Human Rights) Hak asasi manusia sangat mendasar dan penting bagi community workers. Struktur masyarakat dan program yang dikembangkan tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat harus mengacu kepada prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, hak untuk ikutserta dalam kehidupan kultural, hak untuk memperoleh perlindungan keluarga, dan hak untuk self-determination. 4. Keberlanjutan (Sustainablity) Program pengembangan masyarakat berada dalam kerangka sustainability yang berupaya untuk mengurangi ketergantungan kepada sumberdaya yang tidak tergantikan (non-renewable) dan menciptakan alternatif serta tatanan ekologis, sosial, ekonomi, dan politik yang berkelanjutan di tingkat lokal. Prinsip ini membutuhkan penggunaan secara minimal dari sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Hal ini berimplikasi pada masyarakat setempat dalam hal penggunaan lahan, gaya hidup, konservasi, transportasi, dan lain-lain. Pengembangan masyarakat berusaha meminimalisasi ketergantungan pada sumberdaya yang tidak dapat diperbarui dan menggantinya dengan sumberdaya yang dapat diperbaharui. 5. Pemberdayaan (Empowerment) Pemberdayaan harus menjadi tujuan program pengembangan masyarakat. Makna pemberdayaan adalah membantu komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas bisa meningkat. 6. Pribadi dan Politik ( Personal and Political) Pengembangan masyarakat perlu membangun keterkaitan antara aspek pribadi dan politik, individu dan struktur, dan isu umum. Keterkaitan tersebut terjalin apabila kebutuhan individu, masalah, aspirasi, penderitaan, dan prestasi yang dirasakan dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan yang efektif di tingkat komunitas yang kemudian menjadi suatu kekuatan komunitas. 7. Kepemilikan Komunitas (Community Ownership) Salah satu dasar dari pengembangan masyarakat adalah kepemilikian komunitas. Kepemilikan tersebut menjadi penting untuk membantu menciptakan identitas dan memberikan alasan untuk aktif dalam program pengembangan masyarakat dan mengefisienkan sumberdaya di tingkat komunitas. Kepemilikan tersebut dapat dipandang dalam dua tingkatan : kepemilikan pada benda material dan kepemilikan pada proses dan struktur yang ada. 8. Kemandirian (Self-Reliance) Secara singkat prinsip ini mengimplikasikan agar warga komunitas mencari atau berusaha menggunakan sumberdaya sendiri apabila memungkinkan daripada menyandarkan diri pada bantuan luar. Hal ini ditujukan pada berbagai bentuk sumberdaya, baik keuangan, teknik, sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia. Kemandirian merupakan prinsip kunci dalam mengidentifikasi dan memanfaatkan sumberdaya untuk menciptakan proses pembangunan yang berkelanjutan dengan berusaha menggunakan potensi lokal. 9. Ketidaktergantungan pada Pemerintah (Independence From the State) Prinsip ini berkaitan erat dengan kemandirian suatu komunitas. Community workers dan warga komunitas agar lebih berhati-hati sebelum menerima bantuan dari pemerintah. Akan tetapi bukan berarti bantuan pemerintah tidak boleh diterima, karena terkadang bantuan tersebut penting dalam memulai proses pembangunan. Dalam hal ini pemerintah berperan sebagai sponsor pengembangan masyarakat, respon dari pemerintah tersebut merupakan kebutuhan untuk mewujudkan dukungan pemerintah dalam program, namun peran yang berlebihan dapat menimbulkan kelemahan pada kekuatan berbasis komunitas. Oleh karena itu, pendekatan pengembangan masyarakat justru harus mengurangi peranan pemerintah. 10. Tujuan dan Visi (Immediate Goals and Ultimate Vision) Tujuan dan visi harus menjadi perhatian dalam pendekatan pengembangan masyarakat, dan tidak perlu menjadikannya sebagai suatu dilema yang harus mendapat perhatian berlebih. Tindakan untuk tujuan langsung tidak dibenarkan bila tidak sesuai dengan visi jangka panjang dan sebaliknya. Dalam pengembangan masyarakat perlu dipertahankan keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan visi masyarakat. Dalam hal ini perlu upaya untuk menghubungkan dan membuat relevansi antara keduanya. 11. Pembangunan Bersifat Organik (Organic Development) Intisari prinsip ini adalah community workers harus mampu menghargai dan menilai sikap tertentu warga komunitas, mengizinkan, dan mendorongnya untuk berkembang pada jalannya yang memiliki keunikan masing-masing. Penerapan pembangunan yang bersifat organik melalui suatu pengertian bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara warga komunitas dan lingkungannya. Dengan kata lain, komunitas lebih organik ketimbang mekanik karena cara kerja komunitas tidak mengikuti hukum sebab-akibat. Komunitas bersifat kompleks dan dinamis, artinya pendekatan pengembangan masyarakat perlu menghargai tatanan dan nilai-nilai komunitas dengan mengikuti alur dan keunikan sesuai dengan lingkungannya (yang bersifat holistik). 12. Kecepatan Gerak Pembangunan (The Pace of Development) Prinsip ini menekankan agar proses pembangunan dibiarkan berjalan dengan sendirinya dan tidak dipercepat. Seringkali seorang perencana mempercepat proses pembangunan agar segera dapat melihat hasilnya tetapi hal ini tidak sesuai dengan pendekatan pengembangan masyarakat. Keberhasilan community workers tergantung kepada pengambilan keputusan dari langkah-langkah dan tindakan yang sesuai dengan proses dinamika komunitas. Secara alamiah, pengembangan masyarakat adalah proses jangka panjang dan merupakan proses belajar komunitas. 13. Keahlian Pihak Luar (External Experties) Keahlian atau pengalaman seseorang serta pengalaman pembangunan di suatu tempat boleh dipelajari sebagai pertimbangan dalam pembangunan di wilayah yang lain, tetapi prinsip external experties mengharapkan tidak ditiru secara mutlak. Pendekatan ini tidak boleh ditetapkan tetapi harus secara alami dikembangkan dengan cara yang sesuai dengan situasi spesifik dan peka terhadap kebudayaan, tradisi masyarakat setempat, dan lingkungan. Artinya, kontribusi konsultan dari luar komunitas sangat berharga apabila warga siap mengadopsi sesuai dengan kemampuan dan cara mereka. 14. Membangun Komunitas (Community Bulding) Prinsip ini diterapkan baik secara formal maupun informal. Hal ini menunjukkan lebih dari sekedar membawa orang-orang menjadi bersama, tetapi melibatkan proses mendorong orang-orang untuk bekerjasama, lebih bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan sesuatu. Prinsip ini mencari cara dimana setiap orang dapat memberikan kontribusi dan menjadi dihargai oleh yang lain. Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat mencakup penguatan interaksi sosial di tingkat komunitas, mengajak kebersamaan, menterjemahkan melalui dialog, pemahaman, dan tindakan sosial. Pengembangan masyarakat membawa warga komunitas ke dalam kegiatan bersama, penyelesaian masalah bersama, dan memperkuat interaksi yang bersifat formal dan informal. 15. Proses dan Hasilnya (process and outcome) Pembangunan seringkali hanya memperhatikan hasil yang dicapai, sehingga bagaimana cara mencapainya dianggap tidak penting. Dalam pengembangan masyarakat, proses dan hasil merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan saling menunjang sehingga keduanya menjadi penting. Implikasi prinsip adalah seorang community workers harus selalu menghubungkan antara proses dan hasil serta sebaliknya. 16. Keterpaduan Proses (The Integrity of The Process) Proses yang digunakan untuk mencapai tujuan harus sesuai dengan hasil yang diharapkan, perihal keberlanjutan, keadilan sosial, dan lain-lain. Dalam pengembangan komunitas proses sama pentingnya dengan hasil. Proses bekerja di komunitas dan perlu dekat dengan penelitian dan pengkajian agar proses integrasi dapat dipertahankan. 17. Tanpa Kekerasan (Non-Violence) Prinsip ini berusaha menemukan cara untuk melawan berbagai bentuk kekerasan atau paksaaan yang nyata, seperti : militerisme, paksaan fisik dalam bentuk-bentuk seperti hukuman fisik, hukuman mati, kebrutalan polisi, dan lain-lain. Tanpa kekerasan diperlukan dalam pengembangan komunitas, namun kekerasan di sini tidak sesederhana diartikan sebagai kekerasan fisik. Lebih dari itu, kekerasan diartikan sebagai kekerasan struktural. Dengan kata lain, pengembangan komunitas dilaksanakan tanpa kekerasan struktural, yakni dengan cara tanpa mengubah lembaga yang ada dan struktur sosial masyarakat. 18. Inklusif (Inclusiveness) Penerapan prinsip ini menekankan agar community workers tetap menghargai orang lain walaupun orang tersebut berlawanan pandangan. Community workers berusaha meyakinkan mereka ketika mereka ingin mengubah pikirannya terhadap sesuatu hal. Community workers seharusnya mempersilahkan tanpa mempermalukan mereka. Meskipun tidak setuju dengan gagasan, nilai, dan politik suatu komunitas tetapi tetap menghargainya dan berupaya merangkulnya daripada mengasingkan mereka. Bekerja di suatu komunitas pada dasarnya selalu mengajak semua pihak sehingga tidak menyisihkan mereka walaupun berbeda pandangan atau pendapat. 19. Konsensus (Consensus) Prinsip ini tidak sekedar persetujuan untuk menerima keinginan dari pihak mayoritas. Lebih jauh penerapannya adalah agar orang-orang yang terlibat dalam proses mencari penyelesaian terhadap suatu masalah dan betul-betul menyadari bahwa keputusan yang diambil adalah yang baik. Pendekatan tanpa kekerasan dan inklusif dalam proses pengembangan masyarakat dibangun berdasarkan pada konsensus, dan proses pengambilan keputusan berdasarkan konsensus harus diterapkan sebisa mungkin. Pendekatan konsensus bekerja dengan persetujuan, dan tujuannya menghasilkan solusi yang menjadi milik bersama. Konsensus harus dibangun dan tidak bisa dicapai dengan cara yang mudah dan waktu yang singkat. 20. Kerjasama (Cooperation) Pendekatan pengembangan komunitas berusaha membuat kerjasama pada tindakan masyarakat setempat, dengan cara membuat orang-orang bersama dan mencari untuk memberi imbalan pada perilaku kerjasama. Pendekatan pengembangan komunitas yang berlandaskan pada konsensus dan tanpa kekerasan memerlukan struktur untuk bekerjasama (cooperation). 21. Partisipasi (Participation) Partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peranserta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dapat dilibatkan secara aktif . Oleh karena itu pendekatan pengembangan komunitas selalu mengoptimalkan partisipasi, dengan tujuan semua warga ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan dan dalam proses implementasi serta evaluasi. Melalui peranserta warga komunitas maka akan diperoleh proses belajar satu-sama lain, mereka dapat mengubah secara alamiah kegiatan tradisional yang eksklusif menjadi kegiatan yang partisifatif, dan secara sportif mereka dapat menjadi tergantung satu-sama lain. 22. Mendefinisikan Kebutuhan (Defining Need) Proses pengidentifikasian kebutuhan merupakan salah satu tugas yang harus dijalankan oleh community workers. Dalam pengembangan komunitas, pendekatan harus mencari persetujuan dari berbagai macam kebutuhan. Untuk itu peranan community workers yang sangat penting adalah membangun konsensus dari beragam kebutuhan warga komunitas, dan batasan kebutuhan datang dari anggota komunitas itu sendiri. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan suatu dialog untuk merumuskan kebutuhan tersebut. Melalui dialog diharapkan dapat dirumuskan sesuatu yang benar-benar menjadi kebutuhan anggota komunitas, bukan keinginan. Di samping itu, pengembangan komunitas diharapkan mampu mengartikulasikan titik temu antara kebutuhan dan tindakan yang harus dilakukan. Berdasarkan pengertian dan prinsip-prinsip di atas, maka maka pada kajian penelitian ini penulis menggunakan konsep yang Budimanta, dimana beliau menegasakan bahwa pengembangan masyarakat merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kuaalitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembanguan sebelumnya. Prinsip-perinsip pengembangan yang penulis gunakan dalam kajian ini adalah berdasarkan konsep dari PBB, yang memaparkan10 prinsip pengembangan masyarakat seperti yang telah dijelaskan diatas. 2.2.1. Konsep Pengembangan Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah Masyarakat beserta kebudayaan yang ada di dalamnya senantiasa akan mengalami perubahan, baik perubahan yang terjadi secara lambat maupun cepat. Perubahan-perubahan ini diangap sebagai sesuatu yang wajar karena pengetahuan dan keadaan fisik masyarakat akan berkembang. Agar warga masyarakat dapat berperanserta dalam proses perubahan tersebut tentu mereka harus memiliki kemampuan. Inilah salah satu bagian tugas pemerintah daerah untuk melakukan upaya pengembangan masyarakat dengan memberdayakan warga masyarakat tempatan, dan menciptakan iklim yang memungkinkan peranserta warga masyarakat sehingga pada gilirannya masyarakat akan ikut berpartisipasi. Konsep pengembangan masyarakat mengandung makna adanya keterkaitan yang tidak hanya secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosiologis. Terutama pada tingkat pengambilan keputusan, upaya pengembangan masyarakat akan menciptakan beragam keterkaitan di tingkat kelompok, komunitas, dan lokalitas (Tonny, 2006). Keterkaitan tersebut (level organisasi) berhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu sistem kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap kehidupan komunitas. Tingkat lokalitas dicirikan oleh kesatuan komunitas yang memiliki relasi sosial dan ekonomi, dengan pusat interaksi sebagai pusat pertumbuhan. Tingkat komunitas digambarkan sebagai unit interaksi sosial ekonomi yang lebih menunjuk kepada sistem administrasi/teritorial yang lebih rendah. Tingkat kelompok, sebagai kesatuan masyarakat yang mengidentifikasi diri berdasarkan karakteristik tertentu, seperti lingkup pekerjaan, kekerabatan, dan sebagainya (Tonny, 2006). Menurut Warren (1990) dalam Budimanta (2008), komunitas adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana seluruh anggotanya berinteraksi satu sama lain, mempunyai pembagian peran dan status yang jelas, mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaturan terhadap angota-anggotanya, biasanya komunitas dikuatkan oleh hubungan kerabat, hubungan kerja dan hubungan profesi. Menurut Tonny (2006), makna komunitas lokal mengandung pengertian : pertama, ikatan sosial yang berlandaskan teritorial di mana masyarakat di daerah tersebut hidup dalam suatu lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua, “ikatan sosial” berdasarkan lingkup pekerjaan (profesi) dimana hubungan antar anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai intensitas interaksi yang tinggi dalam suatu waktu tertentu; dan ketiga, “ikatan sosial” yang dibangun berdasarkan jejaring sosial (social networking) sebagai nilai tambah dari social capital (modal sosial) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat. Dengan demikian, secara sosiologis upaya pengembangan masyarakat perlu didekati dengan pengembangan berbasis lokal (daerah) yang menjalin “ikatan sosial” antara tingkat kelompok, komunitas, dan lokalitas. Prinsip dasar pengembangan masyarakat (community development) yang bersumber dari dunia usaha dan pemerintah pada dasarnya masih memandang komunitas lokal sebagai obyek yang harus diperhatikan dan dirubah agar dapat setara kehidupanya dengan komunitas lainya supaya lebih mandiri. Namun di lain pihak masyarakat lokal memandang industri pertambangan sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan bahkan lebih merupakan sebagai suatu bencana. Pemerintah dan dunia usaha (industri) diposisikan sebagai pendatang yang dengan kekuatan ekonomi dan politiknya mencari kehidupan di wilayah mereka. Untuk itu pihak pemerintah dan pihak industri memastikan keberlanjutan investasinya melalui program-program keterlibatan komunitas lokal, pendekatan kemitraan, pengembangan pola-pola partisipasi, pemberdayaan serta program-program yang berkelanjutan (Budimanta, 2008). Pengembangan masyarakat telah digambarkan atau didefinisikan sebagai suatu gerakan sosial, suatu proses, suatu metode, dan suatu program. Oleh karena itu, suatu konsep komunitas yang bersifat monolitik dapat menghasilkan banyak kontroversi dan pandangan yang berbeda. Dengan demikian, perlu dilakukan pembahasan pengembangan masyarakat dalam konteks beragam pendekatan, yang dapat dipandang sebagai cara-cara alternatif melaksanakan pengembangan masyarakat (Tonny, 2006). Penyelenggaraan pembangunan daerah tidak semata-mata menjadi tanggungjawab pemerintah daerah, tetapi juga berada di pundak masyarakat. Konsep pengembangan masyarakat mengandung makna adanya keterkaitan dan pada level organisasi berhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu kelembagaan lokal yang berpengaruh pada kehidupan komunitas. Untuk itu setiap penyusunan program-program perencanaan pengembangan masyarakat harus melibatkan pemerintah lokal (local government policies). Sebagai implementasi dari makna keterkaitan tersebut perlu dibentuk lembaga organisasi atau kelembagaan yang fungsinya sebagai penghubung antara kepentingan pemerintah lokal dengan kepentingan masyarakat yang lebih bersifat makro (Tonny, 2006). Secara konseptual, ada lima prinsip dasar dari community based development (CBD) (Rubin, 1993) dalam Tonny (2006), yaitu : (1) untuk mempertahankan eksistensinya, CBD memerlukan break even dalam setiap kegiatan yang dikelola. Namun, berbeda dengan organisasi bisnis, kendati pemungutan fee telah menjadi pertimbangan dalam CBD, tetapi keuntungan yang diperoleh harus dapat didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk program atau kegiatan pembangunan lainnya; (2) harus selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program; (3) dalam melaksanakan CBD, antara kegiatan pelatihan dan pembangunan fisik (termasuk di dalamnya kegiatan pengembangan usaha), merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan; (4) dalam mengimplementasikan CBD harus dapat memaksimalkan sumberdaya (resources), khususnya dalam hal dana, baik yang berasal dari pemerintah, swasta, maupun sumber-sumber lainnya, seperti donasi dari sponsor pembangunan sosial; (5) organisasi atau kelembagaan CBD harus lebih memfungsikan diri sebagai “catalist” yang menghubungkan antara kepentingan pemerintah lokal (local government), seperti pemerintah kota dan kabupaten, dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, berdasarkan ke-lima prinsip tersebut di atas, dapat diikhtisarkan bahwa: (1) CBD sangat menekankan pentingnya partisipasi warga komunitas (masyarakat), baik pada tahap perencanaan program, pelaksanaan, maupun pada tahap pengembangannya; (2) CBD selalu tidak memisahkan antara pembangunan fisik proyek dengan pelatihan keterampilan; dan (3) sumber dana bagi CBD umumnya berasal dari alokasi anggaran pemerintah, partisipasi pihak swasta, dan dari partisipasi masyarakat sendiri (Tonny, 2006). Meskipun demikian CBD memiliki kelemahan diantaranya adalah : (1) sumber dana yang dimiliki sangat tergantung pada alokasi anggaran dari pemerintah; (2) terlalu menitikberatkan pada pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pencapaian tujuan program. Sementara itu kualitas dari partisipasi warga komunitas itu sendiri nyaris tidak mendapatkan perhatian. Pada konteks inilah perlu pemahaman akan pentingnya memasukkan variabel seleksi, sebagai unsur penentu dalam pencapai tujuan program pemberdayaan masyarakat, maupun dalam pengembangan hasil yang telah dicapai. Dengan demikian, dalam mengimplementasikan CBD, harus melibatkan pemerintah lokal dalam bentuk local government policies, maupun pihak swasta. Partisipasi dari pihak pemerintah lokal dalam hal ini, antara lain memberikan kemudahan dalam mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki. Sementara partisipasi dari pihak swasta dibawah kebijakan pemerintah lokal sangat diperlukan, utamanya dalam bentuk pendanaan bagi pengembangan masyarakat (Tonny, 2006). 2.2.2. Konsep CSR (Corporate Social Responsibility) Sebagai Strategi Perusahaan Manfaat CSR adalah konsep moral dan etis yang berciri umum, oleh karena itu pada tataran praktisnya harus dialirkan kedalam program-program kongkrit dan salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah pengembangan masyarakat (community development) dalam berbagai aspek (ekonomi, sosial, kesehatan, lingkungan dan hukum) secara berkelanjutan sehingga dapat memberikan dampak positif dan manfaat yang besar baik kepada perusahaan itu sendiri berupa citra dan kepada stakeholders (pemangku kepentingan) yang terkait (Ambadar, 2008). Manfaant CSR bagi perusahaan menurut Untung (2008), sebagai berikut: (1) mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra perusahaan; (2) mendapatkan lisensi untuk beroprasi secara sosial; (3) mereduksi resiko bisnis perusahaan; (4) melebarkan akses sumberdaya bagi operasional usaha; (5) membuka peluang pasar yang lebih luas; (6) mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah; (7) memperbaiki hubungan dengan stakeholders; (8) meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan dan; (9) peluang pendapatan penghargaan. Strategi perusahaan dalam melaksanakan CSR dapat diupayakan dengan sebagai berikut : (1) CD berbasis pada sumber daya lokal; (2) mengutamakan program yang berkelanjutan; (3) pemberdayaan masyarakat; (4) disusun berdasarkan perencanaan partisifatif atau didahului dengan need assessment; (5) link dengan koor bisnis perusahaan; dan (6) fokus pada bidang proritas yang sudah diprogramkan. (Wibisono, 2007 ). Umumnya, perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan CSR mengunakan tahapan sebagai berikut: (1) tahapan perencanaan; (2) tahapan implementasi; (3) tahapan evaluasi; (4) tahapan pelaporan. (Wibisono, 2007). Prinsip-Prinsip dasar yang dapat dipedomani untuk penerapan CSR secara umum adalah sebagai berikut : (1) menyusun perencanaan program CSR; (2) menetapkan visi; (3) memformulasikan misi; (4) menetapkan tujuan; (5) menetapkan kebijakan; (6) merancang struktur organisasi; (7) menyediakan SDM; (8) merencanakan program oprasional; (9) membagi wilayah; (10) mengelola dana; (11) implementasi program; (12) mekanisme; (13) self managing VS outsourcing; (14) evaluasi program; (15) dan reporting program (Wibisono, 2007). 2.2.3. Landasan CSR ( Corporate Social Responsibility) CSR (corporate social responsibility) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan adanya Undang-Undang ini, industri-industri wajib untuk melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan beban yang memberatkan, karena pembangunan merupakan tanggung jawab bersama sesuai dengan perannya masing-masing. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Bab V. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Pasal 74, dapat dijelaskan sebagai berikut : Ayat (1) Perseroan yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. “Perseroan yang menjalankan usahanya di bidang sumber daya alam’’ adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Ayat (2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tentang kewajiban perseroan dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sangsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Ayat (3) tentang yang dimaksud dengan dikenai sangsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah dikenai segala bentuk sangsi yang diatur dalam perundang-undangan yang terkait. Ayat (4) ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di atur Dengan Peraturan (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007). 2.2.4. Prinsip-Prinsip Program CD Di Industri MIGAS Prinsip-prinsip program CD (community development) MIGAS adalah; (1) adanya komitment dari Manajemen Kontraktor KKS; (2) bantuan tidak diberikan dalam bentuk tunai ( in-kind); (3) berdasarkan skala prioritas kebutuhan masyarakat setempat, melalui proses dari bawah ke atas; (4) memberikan manfaat positif jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang dan berdaya imbas; (5) tidak tumpang tindih dan mengambil peran, wewenang serta tanggung jawab pemerintah; (6) diproritaskan pada daerah kegitan kerja, serta (7) tidak berorientasi politik, ideologi dan SARA (Forum Komunikasi Pengembangan Masyarakat (FKPM) di Industri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). 2004). Bagi industri Migas community development adalah instrumen bagi korporasi di dalam mengimplemtasikan CSR (corporate social responsibility) guna mencapai keseimbangan dan keberlanjutan hidup dan jalinan kemitraan timbal balik antara perusahaan dan stakeholders (Forum Komunikasi Pengembangan Masyarakat (FKPM) di Industri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), 2004). 2.2.5. Tahapan Program CD Di Industri MIGAS Tahapan pelaksanaan community development di industri MIGAS ada lima (5) yaitu : (1) indentifikasi program; (2) perancanaan program; (3) penilaian program dan persetujuan; (4) pelaksanaan program; (5) evaluasi; dan (6) pelaporan (Dinas Hupmas MIGAS, 2005). Tahapan-tahapan program CD menurut Dinas Hupmas MIGAS (2005), adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi Program : Identifikasi dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, pemerintah daerah, dan perusahaan. Bentuk indentifikasi ini dapat difasilitasi dengan lokakarya ataupun melalui forum konsultasi yang diadakan secara periodik atau per tahun. Identifikasi kebutuhan dilakukan sampai pada level karyawan dan tenaga kerja serta menganalisa jaringan sosial yang dimiliki oleh masing-masing unit produksi atau jasa penunjang lainnya dalam perusahaan. 2. Perancangan Program: Dalam melakukan rancangan program kepada kelompok-kelompok masyarakat yang mengajukan program community development diberikan panduan mengenai rancangan program yang meliputi proposal yang akan diajukan, pagu dana yang dapat diberikan, tipe-tipe program yang akan digulirkan, dan skala waktu penerimaan proposal sampai dengan proposal yang disetujui. Dalam perancangan perlu dilibatkan Stakeholders tempatan. Perencanaan program dan anggaran dibuat per-kwartal dan diajukan setiap awal bulan kwartal berjalan. 3. Penilaian Program dan Persetujuan: Penilaian dilakukan oleh tim berdasarkan pada kriteria dan indikator yang telah disepakati. Apabila program yang diajukan tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, perusahaan dapat menolak program yang diusulkan. Tim penilaian sebaiknya beranggotakan para pelaku CD, PEMDA, anggota masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat agar hasil penilaianya bersifat realistis dan transparan. Persetujuan terhadap hasil dari penilaian merupakan persetujuan bahwa hal tersebut dapat disetujui untuk dijalankan termasuk didalamnya persetujuan tentang pendanaan dan lembaga-lembaga yang akan terlibat. Beberapa hal yang dapat dijadikan acuan sebelum melakukan persetujuan program adalah apakah program tersebut dapat mengurangi kemiskinan ataupun keterbelakangan masyarakat/ komuniti baik secara langsung maupun tidak langsung; apakah hasil yang diharapkan dan aktifitas yang akan dilakukan telah berdasarkan pada pemampaatan konsep/azas partisifatif didalam perencanaan maupun pelaksanaan program; apakah program lebih bersifat adhoc/ sementara/ terputus ataukah bersifat keberlanjutan. Program yang telah disetujui tersebut dirancang untuk satu tahun dan diajukan kepada Dinas Hupmas untuk mendapat persetujuan. 4. Pelaksanaan : Pelaksanaan program dimulai setelah naskah pejanjian ditanda tangani. Dalam pelaksanaan program ini harus dilakukan pemantauan oleh tim dan stakeholders secara periodik. Hasil pemantauan dijadikan acuan dalam kegiatan evaluasi program lainya. Pelaksanaan program ini dilakukan dengan : (1) mengkaitkan kegiatan-kegiatan usaha penunjang dengan community development; (2) memaksimalkan tenaga kerja lokal, (3) memakai pengusaha lokal sebagai subkontraktor; serta (4) melakukan bentuk-bentuk kerjasama dalam usaha untuk pengembangan komuniti lokal sehingga akan membentuk jaringan sosial yang baru, memperkaya pengetahuan lokal masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pranata sosial komunitas lokal 5. Evaluasi : Evaluasi program dilakukan ketika program tersebut selesai dilaksanakan, hasil evaluasi ini merupakan umpan balik untuk program-program lainya. Kegiatan program CD dinyatakan berakhir apabila kegiatannya sudah selesai atau dibatalkan oleh pihak perusahaan karena suatu alasan yang kuat. Pembatalan kegiatan ini harus dilaporkan kepada Mentri Energi dan Sumberdaya Mineral Cq. Direktorat Jenderal MIGAS dan Pemanfaatan Energi dan Demerintah Daerah setempat. Suatu kegiatan CD tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakan apabila bertentangan dengan program pembangunan daerah, karena program CD dilaksanakan untuk membantu pemerintah dalam proses percepatan pembangunan, dengan latar belakang tesebut maka perusahaan dalam mengevaluasi program harus melibatkan pemerintah. 6. Pelaporan : Menyusun dukumentasi pelaporan, sistem informasi dari tahap perencanaan, pelaksaaan, pengendalian sampai evaluasi ke MIGAS secara periodik setiap kwartal dan Tahunan Jenis program CD dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: (1) community services; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat seperti pembangunan fasilitas umum, bantuan kesehatan, bantuan sarana peribadatan serta sanitasi lingkungan pemungkiman dan kegiatan hari-hari besar nasional dan sebagainya; (2) community empowering adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandirianya. Berkaitan dengan program adalah seperti pengembangan ataupun penguatan kelompok masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal, serta peningkatan kapasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat; (3) community relation adalah kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait, baik pihak masyarakat lokal, pemerintah daerah maupun pihak lain yang membutuhkan bantuan informasi seperti konsultasi publik, penyuluhan dan sebagainya (Forum Komunikasi Pengembangan Masyarakat (FKPM) di Industri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). 2004). Penilaian Program. Tim CD (krteria dan indicator) Proses Pembelajaran kontinyu antar stakeholders Diskusi tim CD dgn unsur Stakeholders Perencanaan program Kelompok masyarakat Identifikasi Lingkungan sosial dan program Kelompok masyarakat, PEMDA, Tim CD Persetujuan Program Tim CD/Lembaga Bentukan baru Pemantauan Program Tim CD/ Instansi Pelaksanaan/ inplementasi lapangan Evaluasi Program Kelompok Masyarakat, PEMDA, TIM CD/ Indenpenden Proyek/ Program Sumber : (Budimanta, 2008) Gambar 1. Model Siklus Pengelolaan Program CD (community development) Misi CD adalah dalam rangka mendukung kelancaran kegiatan Kontrak Kerja Sama (KKS) dan mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pola kemitraan. Tujuan CD adalah meningkatkan produktivitas masyarakat dan kemampuan sosial ekonomi masyarakat secara mandiri di wilayah operasi Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan memberdayakan potensi daerah (Forum Komunikasi Pengembangan Masyarakat (FKPM) di Industri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). 2004). Pada prinsipnya, indikator penting keberhasilan program CD sektor MIGAS adalah terjalinnya hubungan yang harmonis antara perusahaan, masyarakat lokal, dan pemerintah daerah serta terbentuknya suatu tingkatan sosial ekonomi masyarakat lokal yang lebih baik. Indikator keberhasilan ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi internal (tingkat korporat) dan tingkat ekternal dengan dua ciri utama yaitu partisipasi dan keberlanjutan (Forum Komunikasi Pengembangan Masyarakat (FKPM) di Industri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). 2004). Tabel 2. Sasaran Program CD (community developmet) MIGAS Sektor Aktivitas Ekonomi Membantu pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dalam usaha meningkatkan ekonomi Pendidikan dan Memberikan beasiswa, membantu sarana dan prasarana Kebudayaan pendidikan, bidang budaya dan olah raga. Kesehatan Mendukung upaya peningkatan kesehatan masyarakat Fasilitas Sosial dan Mendukung pembangunan sarana dan prasarana sosial di Fasilits Umum daerah operasi Lingkungan Mendukung program peningkatan kesadaran lingkungan Sumber data : (Dinas Hupmas MIGAS, 2005) 2.2.6. Pendanaan Program CD Di Industri MIGAS Prinsip pengelolaan CD (community development) MIGAS dapat dilakukan sebagai berikut : (1) transparan, yaitu harus jelas kepada siapa dan mengapa dana tersebut diberikan sehingga masyarakat luas mengetahuinya; (2) akuntabilitas, yaitu harus jelas pertanggung jawabannya dapat diverifikasi atau di audit dan; (3) fleksibel, yaitu penyalurannya harus jelas kriterianya yang mengandung azaz manfaat, dampak kesesuaian dan keberlanjutan sesuai dengan tujuan program yang telah ditetapkan (Forum Komunikasi Pengembangan Masyarakat (FKPM) di Industri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). 2004). Mengenai pendanan program community development sektor MIGAS diatur dalam PP No. 35 Tahun 2004 Tentang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Pasal 76 PP tersebut menyatakan : (1) kegiatan pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat oleh kontraktor dilakukan dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan; (2) dan kegiatan pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diutamakan untuk masyarakat di sekitar daerah dimana Eksploitasi dilaksanakan. Sementara itu, dalam Pasal 77 disebutkan bahwa pelaksanaan keikutsertaan kontraktor dalam pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 ayat (1) diberikan dalam bentuk nature berupa sarana dan prasarana fisik, atau pemberdayaan usaha dan tenaga kerja setempat (Forum Komunikasi Pengembangan Masyarakat (FKPM) di Industri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). 2004). 2.3. Indentifikasi Pemangku Kepentingan Dalam Rangka Implemetasi CSR Stakeholders (pemangku kepentingan) adalah pihak atau sekelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksestensi atau aktivitas perusahaan dan karena kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh perusahaan. Dengan demikian antara stakeholders dengan perusahaan terjadi hubungan yang saling mempengaruhi, sehingga perubahan pada salah satu pihak akan memicu dan mendorong terjadinya perubahan pada pihak yang lainya. Stakeholders (pemangku kepentingan) dibagi menjadi 5 bagian sebagai berikut; (1) stakeholders internal dan stakeholders ekternal. Internal misalnya stakeholders yang berada dalam organisasi, seperti karyawan, manajer dan pemegang saham, sedangkan stakeholders eksternal adalah orang yang berada di luar organisasi seperti pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, investor dll; (2) stakeholder primer (yang paling penting) dan, stakeholders sekunder (yang kurang penting) serta stakeholders marjinal yaitu yang bisa diabaikan, urutan ini tidaklah kaku namun sewaktu-waktu bisa berubah; (3) stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan, seperti karyawan dan konsumen bisa dikatakan sebagai stakeholders tradisional karena sudah masuk berhubungan dengan organisasi, sedangkan mahasiswa, peneliti, termasuk stakeholders masa depan karena bisa memberikan pengaruhnya; (4) proponents (memihak organisasi), opponents (menentang organisasi), dan uncommunitted (tdak peduli dengan organisasi), dan (5) silent majority dan vocal minority maksudnya adalah ada stakeholders yang vocal dalam mengajukan komplain dan ada yang dengan pasif (Wibisono, 2007). Konsep corporate social responsibilty (CSR) melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga sumberdaya masyarakat, dan juga termasuk komunitas setempat. Hubungan stakeholders dengan perusahaan tidak lagi bersifat pengelolaan saja, tetapi sekaligus melakukan kolaborasi yang dilakukan secara terpadu dan berfokus pada pembangunan kemitraan. Kemitraan tidak lagi sebagai penyangga organisasi saja, tetapi menciptakan kesempatan-kesempatan dan keuntungan bersama dalam jangka panjang yang berkelanjutan (Budimanta, 2004). Pemerintah Kelompok Intres Khusus Pemilik Konsumen Perusahaan Pemasok Asosiasi Bisnis Karyawan Pesaing (Sumber : Wibisono, 2007) Gambar 2. Model Kerjasama Stakeholders Peta stakeholders tersebut memberikan gambaran tentang keragaman para pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Tingkat kepentingan dari masingmasing juga berbeda, sehinga masing-masing mempunyai tingkatan kepuasan dan harapan yang berbeda pula. Karyawan misalnya, mempunyai harapan agar perusahaan dapat memberikan kesejahteraan yang optimal kepada dirinya, sedangkan di sisi lain pemilik mempunyai kepentingan agar perusahaan mampu menyumbangkan profit yang besar. Begitupun dengan pemerintah, tentu mempunyai harapan agar perusahaan dapat mengikuti segala regulasi yang berlaku, dan yang lebih penting perusahaan dapat memberikan pajak yang maksimal. Masyarakat pun juga demikian, mereka mempunyai keinginan agar perusahaan dapat memberikan kontribusi sebanyak-banyaknya bagi mereka (Wibisono, 2007). Di sisi lain juga tergambar konsep kemitraan antar stakeholders, dimana tanggung jawab sosial yang mulanya diberikan oleh perusahaan pada kesejahteraan stakeholders lain pada akhirnya mengumpan balik pada perusahaan kembali. Kemitraan ini menciptakan pembagian keuntungan bersama, dan tidak menciptakan persaingan negative yang berpengaruh pada keberlanjutan perusahaan tersebut (Budimanta, 2004). Pentingnya identifikasi stakeholders adalah dalam rangka untuk terciptanya kejernihan dan proporsionalnya masing-masing pihak pengambil kebijakan dalam melihat permasalahan, sehingga memudahkan penentuan proritas dan penyusunan rencana program dengan strategi-strategi secara proposional serta berbagi peran dapat diambil oleh masing-masing pelaku secara maksimal dengan memahami manfaatnya masing-masing. Diantara konsep pemangku kepentingan adalah bahwa para pihak yang berkedudukan saling mempengaruhi terhadap perusahaan, dan pihak-pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan tersebut sangat menentukan keberhasilan perusahaan dimasa datang, baik pihak tersebut berada di dalam maupun diluar perusahaan itu sendiri (Sumardjo, 2008). 2.4. Model-Model Kemitraan, Manfaat dan Pembagian Peran Stakeholders Wibisono (2007), membagi model-model kemitraan menjadi tiga bagian yaitu : (1) model kemitraan kontra produktif; (2) model kemitraan semi produktif; dan (3) model kemitraan produktif. Model kemitraan konta produktif adalah model yang menekankan pada : (1) perusahaan hanya mengutamakan kepentingan stakeholders internal, secara prakteknya dilapangan mereka hanya mengejar profit jangka pendek sebesarbesarnya, fokus perhatian mereka adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya dan hubungan mereka dengan perusahaan hanya sebagai pemanis belaka; (2) perusahaan hanya berjalan demi targetnya sendiri; (3) pemerintah kurang peduli; (4) masyarakat tidak punya akses apapun ke perusahaan, kecuali hanya beberapa oknum (aparat, preman) dan biaya yang dikeluarkan hanya untuk oknum tersebut, demi keuntungan semu dan keuntungan jangka pendek. Model kemitraan semi produktif adalah model yang menekankan pada; (1) pemerintah dan komonitas sebagai obyek dan masalah di luar perusahaan; (2) perusahaan tidak peduli program pemerintah, dan cirinya di lapangan adalah bahwa masyarakat dinilai pasif serta pemerintahpun tidak memberikan iklim yang kondusif; (3) beroreantasi keuntungan jangka pendek, dilapangan ditemukan sikap dari masyarakat yang terkesan tidak ikut memiliki dan pemerintah kurang mendapat manfaat; (3) mengutamakan public relation kreatif dan; (5) mengutamakan kepentingan diri (self-interest) dan bukan kepentingan bersama perusahaan dan mitra (common interests). Model kemitraan produktif menekankan pada : (1) membangun kepercayaan yang semakin tinggi (high trust, high security level) serta hubungan sinergis antara subyek-subyek dalam paradigma common intrests (mitra ditempatkan sebagai subyek); (2) perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi; (3) pemerintah memberikan iklim yang kondusif; serta (4) mitra dilibatkan menjadi bahagian dari stakeholders dalam hubungan resource-base partnership, misalnya, mitra memperoleh saham stock ownership program (Sumardjo, 2007). Sejalan dengan semangat dunia usaha untuk mengimplementasikan program CSR yang semakin meluas, maka dibutuhkan peran dari pemerintah dan masyarakat lokal untuk bisa memaikan peran masing-masing agar terjain suatu kemitraan yang saling menguntungkan, hal ini disebut dengan konsepsi kemitraan Tripartit (pemerintah, swasta/perusahaan dan masyarakat) (Wibisono, 2008). Peran pemerintah adalah sebagai berikut : (1) memberikan mandat (mandating) dalam hal menyusun standar kinerja bisnis dan peraturan perundangan/Perda terkait; (2) memfasilitasi (facilitating) dalam hal memberikan suasana kondusif serta memberikan intensif bagi praktek CSR dalam bidang perbaikan sosial dan lingkungan; (3) kemitraan (partnering) dalam hal kemitraan strategis (bisnis, masyarakat), masyarakat madani (harmoni sosial dan lingkungan) serta partisipan dan fasilitator; dan (4) memberikan dukungan (endorsing) dalam hal politik, kebijakan dan lain sebagainya. Peran yang bisa dilakukan oleh masyarakat terhadap dunia usaha/perusahaan adalah; (1) mewujudkan rasa aman & kelancaran usaha; (2) memberikan dukungan dalam upaya mensuksesan program CSR dan manfaat timbal balik; (3) ikut berpartisipasi dalam kegiatan CD-CSR baik dalam proses (perencanaan, pelaksanaan, monev, dan menikmati hasil); (4) memberikan dukungan dan izin dari masyarakat (licence to operate) dan; (5) kebanggaan bersama (Sumardjo, 2008). Peran perusahaan adalah memberikan bantuan baik berupa dana maupun bantuan lain yang sesuai dengan kebutuhan (skala proritas) yang sesuai pula dengan aturan pemerintah serta etika moral perusahaan, penyerapan tenaga kerja, dan partisipasi langsung dengan masalah sosial dilingkungan usaha dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (Ambadar, 2008). Menurut CFCD (2006), merumuskan peran perusahaan sebagai pengarah bisnis, manajemen, informasi pasar, penyedia dana awal, dan penciptaan usaha penunjang. Peran dari perguruan tinggi dan LSM adalah dalam rangka sebagai penggerak, penghubung, pencetus, dan sebagai pendamping (Sumardjo, 2008). Manfaat yang bisa diperoleh oleh masyarakat dengan adanya hubungan kemitraan terhadap perusahaan adalah : (1) masyarakat mendapatkan peluang kerja, pelatihan keterampilan, serta pengalaman kerja; (2) masyarakat mendapatkan pendanaan investasi komonitas serta pengembangan infrastruktur; (3) masyarakat mendapatkan keahlian komersial; (4) masyarakat mendapatkan konpensasi tekinis dan personel pekerja; (5) masyarakat mendapatkan pengembangan jaringan kerja lebih luas dari produktif lokal; serta (6) sekaligus mendapatkan reprentasi bisnis dan promosi bagi prakarsa-prakarsa komonitas. Manfaat yang bisa diperoleh oleh perusahaan dengan adanya hubungan kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat adalah; (1) perusahaan mendapatkan reputasi dan citra yang lebih baik sehingga memperoleh lisensi untuk beroperasi secara sosial; (2) perusahaan bisa memanfaatkan tenaga kerja lokal yang kompeten dan komitmen; (3) perusahaan bisa mendapatkan/memperoleh kondisi lingkungan kerja berupa fasilitas infrastuktur dan sosial ekonomi yang lebih baik; (4) perusahaan bisa mendapatkan jaminan keamanan yang lebih besar; serta (5) merupakan laboratorium pembelajaran untuk berinovasi. Manfaat yang bisa diperoleh oleh pemerintah dalam bermitra dengan perusahaan/dunia usaha adalah : (1) pemerintah bisa mendapatkan pajak dan retribusi; (2) pemerintah bisa mendapatkan bantuan-bantuan pengembangan masyarakat dari CSR berupa pendidikan, kesehatan, pemberatasan kemiskinan, dukungan infrastruktur; (3) pemerintah bisa mendapatkan perputaran roda perekonomian dalam mengerakkan pembangunan sehingga terciptanya peluang tenaga kerja, penurunan pengangguran serta peningkatan daya beli; (4) pemerintah akan terbantu karena adanya pengelolaan sumberdaya daerah dari perusahaan; dan (5) terjadinya komunikasi sehingga tidak adanya overlapping program (Sumardjo, 2008). 2.5. Metode Partisifatif Pada hakekatnya upaya-upaya pembangunan di tingkat komunitas memfokuskan pada pemberdayaan warga komunitas dengan melakukan power sharing agar masyarakat memiliki kemampuan dan kesataraan dengan beragam stakeholders lainnya. Oleh karena itu, semua stakeholders sebagai pelaku perubahan dalam proses pembangunan berupaya memberdayakan warga komunitas (dari kurang berdaya menjadi menjadi lebih berdaya) baik pada tingkat individu, keluarga, kelompok-kelompok sosial, ataupun komunitas guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Pandangan lain mengartikan bahwa pemberdayaan secara konseptual pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Prinsip ini pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi, sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh untuk membentuk hari depannya. Selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat terbatas pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil pihak luar. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki kesadaran kritis (Tonny, 2006). Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka (memiliki kesadaran kritis). Partisipasi juga membantu masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial ekonomi yang mengelilingi mempengaruhi mereka. arah Kemampuan serta masyarakat pelaksanaan suatu untuk program mewujudkan ditentukan dan dengan mengandalkan kekuatan yang dimilikinya sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif (Tonny, 2006). Secara sederhana, partisipasi mengandung makna peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang (secara sadar) diinginkan oleh pihak yang berperanserta tersebut. Bila menyangkut partisipasi dalam pembangunan masyarakat maka, menyangkut keterlibatan secara aktif dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Partisipasi harus memenuhi tiga syarat utama yaitu; (1) adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disaari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi; (2) kemauan, yaitu adanya sesuatu yang mendorong/menumbuhkan minat dan sikap rela untuk termotifasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut; dan (3) kemampuan yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga/waktu, atau sarana dan matrial lainya. Jika suatu pembangunan tidak mendapatkan partisipasi dari masyarakat maka kecenderungan yang akan terjadi adalah pembangunan tersebut tidak bermanfaat bagi rakyat tetapi hanya bagi sekelompok orang saja dan selanjutnya akan terjadi ketimpangan, ketidakadilan serta kekacauan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat (Sumardjo, 2008). Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar. Dengan kemampuan warga komunitas berpartisipasi diharapkan komunitas dapat mencapai kemandirian, yang dapat dikategorikan sebagai kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen (Tonny, 2006). Kemandirian material tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri. Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. Kemandirian intelektual merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. Sementara itu kemandirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka. Dengan demikian upaya pemberdayaan merupakan suatu upaya menumbuhkan peranserta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya, memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di lingkungannya (Tonny, 2006). Uphoff (1988) dalam Sumarjo (2008), mengatakan ada tiga alasan pentingnya melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan : (1) sebagai langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk berpartisipasi dan merupakan suatu cara untuk menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pembangunan yang dilaksanakan; (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi, dan sikap masyarakat setempat dan; (3) masyarakat mempunyai hak untuk memberikan pemikiranya dalam menentukan program-program yang akan dilaksanakan di wilayah mereka. Faktor-faktor yang menghambat dan mempersulit terjadinya partisipasi adalah sebagai berikut : (1) adanya anggapan dari para ahli-ahli elite bahwa kalau masayakat dilibatkan terkesan mereka marasa digurui dan mereka merasa lebih tahu; (2) masyarakat memang belum terbiasa dengan pola hidup modern (partisipasi dalam ritus kolektif sangat tinggi); dan (3) adanya kontradiksi antara mengembangkan partisipasi dengan usaha untuk mencapai target-target secepatnya (Sumardjo, 2008). Menurut Ndraha (1987), dalam Sumardjo (2008), ada tujuh bentuk peran masyarakat dalam partisipasi pembangunan sebagai berikut : (1) berpatisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai langkah awal perubahan sosial berencana; (2) partisipasi pada tahap pelaksanaan; (3) partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap inpormasi baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiyakan, menerima dengan syarat, maupun juga dalam arti menolaknya; (4) partisipasi dalam perencanaan, termasuk pengambilan keputusan; (5) partisipasi dalam pelaksanaan oprasional; (6) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembagkan hasil pembangaunan; serta (7) partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksaaan pembangunan sesuai dengan rencana dan tingkatan hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hobley (1996) dalam Sumardjo (2008), mengatakan bahwa ada tujuh tingkatan-tingkatan partisipasi masyarakat dalam suatu tipologi partisipasi, yaitu : (1) tipe partisipasi pasif/manipulatif; (2) tipe partisipasi informatif; (3) tipe partisipasi konsultatip; (4) tipe partisipasi insentif; (5) tipe partisipasi fungsional; (6) tipe partisipasi interaktif; dan (7) tipe partisipasi mandiri (Sumardjo, 2008). Tipologi Partisipasi menurut Sumardjo (2008), adalah sebagai berikut : 1. Tipe partisipasi pasif (1) masyarakat diberi tahu apa yang sedang atau telah terjadi; (2) pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat; (3) informasi yang dikeluarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. Tingkat ini tidak menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak. 2. Tipe partisipasi respon/informaif (1) masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti; (2) masyarakat tidak diberi kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian; (3) akurasi hasil penelitian tidak dibahas barsama masyarakat. Pada tahap ini masyarakat hanya bisa merespon pertanyaan tetapi tidak bisa mempengaruhi keadaan, karena ketidak berdayaan masyarakat lokal. 3. Tipe partisipasi konsultatif (1) masyarakat barpartisipasi dengan cara berkonsultasi; (2) orang luar mendengarkan, menganalisis masalah dengan pemecahannya; (3) tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama; dan (4) para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat sebagai masukan untuk ditindaklanjuti. Pada tahap ini masyarakat hanya diberikan konsultasi dan pendangan-pandanya diperhitungkan namun masih tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. 4. Tipe partisipasi pemberian materi/insentif (1) masyarakat memberikan korbanan/jasanya untuk memperoleh imbalan berupa insentif/upah; (2) masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan; (3) masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. Pada tahap ini biasanya yang dimanfaatkan oleh pemerintah hanya tokoh-tokoh masyarakatnya dan dibayar oleh pemerintah, seolah-olah telah melibatkan masyarakat tetapi sebenarnya hanya dimanfaatkan tanpa dibeikan kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. 5. Tipe partisipasi fungsional (1) masyarakat membentuk kelompok untuk tujuan kelompoknya; (2) pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusan-keputusan utama yang telah disepakati; dan (3) pada tahap awal, masyarakat tergantung pada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandirianya. Pada tahap ini masyarakat sudah bisa tampil dalam berkelompok dan mempunyai tujuan yang sama sehingga bisa mengambil keputusan. 6. Tipe partisipasi interaktif (1) masyarakat berperan dalam analisis untuk merencanakan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan; (2) cendrung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragaman persepektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik; dan (3) masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Pada tahap ini mereka sudah bisa memberikan informasi, merencanakan, inplemtasi dan monitoring dengan mempergunakan metode-metode partisipasi. 7. Tipe partisipasi mandiri (1) masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki; (2) masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan; dan (3) masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada atau pengunaannya. Artinya, mereka yang merencanakan, memutuskan dan juga bisa mempertanggungjawabkannya. Pendekatan kajian publik yang erat kaitanya dengan perencanaan secara partisifatif ada dua pendekatan yaitu pendekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektif digunakan untuk menggali potensi sumberdaya biotik dan sosial secara tepat dan akurat, dan biasanya akan lebih efektif kalau yang melakukanya dari kalangan ilmiah yang mempunyai latar belakang akademis, mempunyai netralitas dan kemampuan yang tinggi, sehingga mereka mampu menyusun renstra jangka panjang mengenai tata ruang daerah/wilayah. Diharapkan mereka bisa menggambarkan/menggali dengan baik adanya kesenjangan antara potensi pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya secara optimal dengan kondisi saat ini. Pendekatan subyektif merupakan kajian yang dimaksudkan untuk menggali secara tepat permasalahan, harapan (kondisi ideal), dan pemikiran masyarakat mengenai cara-cara mewujudkan kondisi ideal tersebut menurut persepsi masyarakat. Dalam pendekatan ini sebaiknya hanya melibatkan partisipasi pihak yang telah berpotensi menjadi stakeholders saja, terutama pihak yang diharapkan akan merencanakan, melaksanakan, menilai/evaluasi dan menikmati hasil suatu kegiatan. Pendekatan subyektif dapat ditempuh dengan berbagai cara seperti FGD (focus group discussion), atau key informant interviews, dan PRA (partisifatory rural appraisal) dan sebagainya (Sumardjo, 2008). 2.6. Konsep Keberlanjutan Salah satu sifat dasar dari pemanfaatan sumber daya pada industri-industri di sektor energi dan sumberdaya mineral ini adalah adanya deplesi yang lambat laun akan mengakibatkan sumber daya tersebut habis. Untuk itu dalam memanfaatkan sumber daya mineral dan energi diperlukan suatu strategi agar program-program pembangunan sektor energi dan sumber daya mineral tersebut dapat berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu gagasan paradigma yang berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan dalam upaya memenuhi kebutuhannya, dan sasaran utama pembangunan berkelanjutan tersebut adalah meningkatkan taraf hidup manusia sehingga kemiskinan dapat ditekan sedemikian rupa (Budimanta, 2004). Keberlanjutan dapat dilihat dari empat dimensi yaitu: (1) manusia (human), (2) sosial (social), (3) lingkungan (environment), dan (4) ekonomi (economic). Keberlanjutan di bidang manusia (human sustainability) diartikan sebagai adanya pemeliharaan terhadap modal manusia (human capital) secara individual, yang terdiri dari kesehatan, pendidikan, keterampilan, pengetahuan, kepemimpinan dan akses terhadap jasa modal manusia. Strategi pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Berpijak dari konsep pembangunan berkelanjutan tersebut diatas maka terdapat tiga elemen yang mendukung masingmasing stakeholders (korporat, pemerintah, dan masyarakat sipil) yaitu keberlanjutan secara ekonomi, keberlanjutan secara sosial dan keberlanjutan secara lingkungan. Untuk itu dibutuhkan suatu partisipasi masing-masing stakeholders agar dapat sinergi sehingga terwujud upaya dialog yang sifatnya komprehensif. Partisipasi di sini diartikan sebagai pelibatan diri secara penuh pada suatu tekad yang telah disepakati di dalam suatu kelompok, atau antar kelompok. Partisipasi akan menuntut keterlibatan penuh dari pelakunya dalam mengambil keputusan, menjalankan keputusan dan bertanggung jawab akan konsekuensi dari keputusan yang disepakatinya. Keterlibatan para pelakunya ini tidak terbatas hanya pada gagasan tetapi mencakup seluruh kemungkinan kontribusi yang dapat diberikan seseorang. Oleh sebab itu, partisipasi mengandung tiga ciri utama, yaitu adanya kesepakatan, adanya tindakan mengenai kesepakatan, dan adanya pembagian kerja dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara (Budimanta, 2004). Prinsip-prinsip dari setiap elemen pembangunan berkelanjutan dapat diringkas menjadi empat hal yaitu : (1) pemerataan dan keadilan sosial, (2) keaneka ragaman, (3) integrasi, dan (4) persfektif jangka panjang (Rudito, 2003). Pembangunan berkelanjutan menjamin pemerataan dan keadilan sosial. Kepedulian utama dari suatu pembangunan yang berkelanjutan adalah menjawab pertanyaan tentang pemerataan untuk generasi masa kini dan generasi masa datang. Strategi pembangunan harus premis seperti : lebih meratanya distribusi sumber lahan dan faktor produksi, lebih meratanya peran dan kesempatan perempuan, serta pemerataan pembangunan ekonomi (Rudito, 2003). Pembangunan berkelanjutan menghargai keaneka-ragaman (diversity). Pemeliharaan keaneka-ragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa depan. Keaneka-ragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan tatanan lingkungan (ekosistem). Pemeliharaan keaneka-ragaman budaya akan mendorong perlakuan yang merata terhadap setiap orang yang membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat (Rudito, 2003). Dalam konteks tersebut maka pembangunan industri di sektor energi dan sumber daya mineral akan dapat terus berkelanjutan apabila memiliki lima elemen dasar yaitu : (1) program pembangunan tersebut memperhatikan misi lingkungan; (2) program pembanguan tersebut memiliki tanggung jawab sosial; (3) konsep keberlanjutan terimplemetasi dalam kebijakan pada tingkat komunitas/ masyarakat, industri maupun pemerintah; (4) program pembangunan tersebut memiliki ketersedian dana yang cukup; dan (5) mempunyai nilai keuntungan. Konsep keberlanjutan harus dilihat dari empat komponen yang merupakan dari keberlanjutan itu sendiri, yaitu : (1) kemanusiaan (human sustainability) artinya kualitas individu meningkat baik dari sisi pendidikan, kesehatan, keterampilan, pengetahuan dan akses terhadap jasa modal manusia; (2) sosial (social sustainability) artinya mempunyai ketahanan modal sosial, adanya kemampuan untuk bisa bekerjasama melalui partisipasi secara sistematis dengan masyarakat, sehingga terhindar dari perusakan kebudayaan yang tercermin pada aturan-aturan hukum; (3) lingkungan hidup (environment sustainability) artinya kemampuan menjaga kestabilan alam sehingga bisa diwariskan untuk generasi masa depan; dan (4) ekonomi (economic sustainability) artinya mampu menggunakan modal ekonomi secara efisien, menjamin produktivitas investasi dan pertumbuhan yang wajar dari seluruh sektor (Budimanta, 2004). Dari sisi internal indikator keberhasilan tersebut dapat diukur antara lain melalui : (1) kebijakan perusahaan tentang program community development; (2) program community development dan alokasi biaya; (3) kinerja atau output yang dihasilkan program; dan (4) institusionalisasi kebijakan dalam organisasi. Sisi eksternal indikator keberhasilan tersebut antara lain : (1) tingkat partisipasi program, mulai dari perencanaan sampai evaluasi; dan (2) tingkat kemandirian masyarakat, kesesuaian dan keberlanjutan program. 2.7. Konsep Sinergi Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinergi diartikan sebagai kegiatankegiatan yang dilakukan secara gabungan, sehingga mencapai sebuah hasil yang efektif dan efisien. Makna lain dari sinergi yang terdapat di dalam english dictionary adalah interaksi antara dua agen atau lebih atau kekuatan sehingga dapat menyatukan efek-efek yang lebih besar daripada efek-efek individu atau dapat juga diartikan sebagai kerjasama interaksi diantara kelompok, terutama diantara cabang-cabang yang diperoleh atau bagian-bagian yang digabungkan dari kerjasama yang menciptakan efek bersama. Sinergi dapat dibangun dengan menggabungkan semua potensi yang ada pada masing-masing pihak yang terlibat untuk mendapatkan hasil yang lebih besar jika dibandingkan dengan secara individual. Tipe kemitraan sinergis berbasis pada kesadaran saling membutuhkan dan saling mendukung pada masing-masing pihak yang bermitra. Sinergi akan timbul jika dua tindakan atau lebih dilakukan secara bersama-sama untuk menimbulkan suatu hasil yang lebih besar dibandingkan jika dilaksanakan secara individu. Para ahli berpendapat bahwa sinergi timbul jika kekuatan-kekuatan yang digabung lebih besar daripada kelemahannya secara bersama-sama (Thompson dan Strikland III, 1998). Berdasarkan pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa sebelum melakukan analisis sinergi, perlu dilakukan analisis terhadap faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) yang terdapat pada masing-masing pihak baik pemerintah maupun pihak perusahaan. Hal ini dilatarbelakangi adanya perbedaan misi dari masing-masing pihak tersebut, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap peluang kebijakan program dan jenis kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan. Jika program-program tersebut disinergikan, akan diperoleh hasil yang sangat efektif dan efisien dari aspek biaya, tenaga kerja, dan waktu.