Penanganan OPT Pascapanen pada Komoditas Buah – Buahan Komoditas buah – buahan tropis khas nusantara merupakan aset berharga bagi negara Indonesia, dimana memerlukan pengelolaan serta pengembangan yang baik menyangkut tata produksi, penanganan pascapanen, pengolahan serta pemasarannya. Keberhasilan agribisnis komoditas buah – buahan mensyaratkan jumlah dan kontinuitas pasokan dari buah yang terjamin kualitasnya. Panen merupakan kegiatan untuk mengumpulkan buah secepat mungkin dari lahan pertanaman pada tingkat ketuaan yang tepat dengan tingkat kerusakan, kehilangan hasil dan biaya minimum. Jaminan akan kualitas mutu buah tersebut dapat diperoleh melalui penanganan pasca panen yang baik dan memadai dengan memerhatikan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap mutu buah. Penanganan pascapanen buah dirancang dalam bentuk rangkaian kegiatan dari panen hingga buah dikemas dan siap didistribusikan pemasarannya atau untuk mendapatkan perlakuan seperti penyimpanan, pemeraman atau perlakuan khusus lainnya yang dituntut konsumen. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan agribisnis buah pada saat fase pascapanen buah – buahan adalah gangguan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) pada buah. Salah satu strategi keberhasilan yang wajib dilakukan adalah kegiatan pengelolaan OPT pascapanen pada komoditas buah. Pengelolaan OPT pascapanen pada komoditas buah dilakukan berdasarkan pertimbangan harga jenis pestisida kimia dan biaya dalam aplikasinya, risiko polusi yang mungkin ditimbulkan, risiko penolakan publik terhadap penggunaan pestisida, suhu, kelembaban, curah hujan, populasi gulma, serangga dan penyakit serta populasi serangga predator atau parasit yang kemungkinan ada di bangsal penanganan pascapanen buah. Beberapa penyakit pasca panen yang menyerang komoditas buah tropika di Indonesia, diantaranya : a). Jeruk (busuk pangkal, busuk aspergillus, busuk pangkal buah / kapang penicillium); b). Mangga (lalat buah, antraknosa, dan busuk pangkal buah (stem – end rot); c). Pisang (lalat buah, antraknosa, busuk buah (finger rot); d) Nanas (busuk pangkal (butt rotm black rot); e). Pepaya (Antraknosa, busuk Rhizopus, bercak buah Alternaria, busuk pangkal batangm busuk kering (dry rot), papaya ring spot virus; f). Alpukat (antraknosa). Jika terjadi gejala busuk pada buah di dalam tempat penyimpanan setelah panen, buah yang busuk tersebut akan menghasilkan C2H4 yang cukup banyak dan akan mengakibatkan pematangan sebelum waktunya pada buah yang sama dalam ruang penyimpanan tersebut. Proses penularan (infeksi) dimulai dari buah yang masih terdapat dalam pohon yang dapat tertular dari penetrasi langsung jamur patogen yang menembus kutikula yang masih utuh, melalui luka – luka atau melalui lubang – lubang alami pada permukaan tubuh buah. Juga dapat terjadi gejala penyakit pasca panen yang dimulai dari luka – luka pada komoditi buah selama dan sesudah pemanenan, seperti batang dari pohon buah yang dipotong dan juga kerusakan mekanik pada sel – sel permukaan selama penanganan dan pengangkutan. Teknologi pengendalian OPT pascapanen buah diperlukan dalam menjaga mutu selama rantai pemasaran komoditas buah. Pengendalian OPT berawal dari pencegahan infestasi hama dan penyakit dari daerah sentra produksi, sehingga dapat membatasi penyebarannya. Faktor keberhasilan lain dalam agribisnis buah, diantaranya pemilihan tanaman dan kultivar buah yang dilakukan berdasarkan prediksi keuntungan yang akan diperoleh, dukungan program pemerintah menyangkut pengembangan buah, kondisi lahan dan agroklimat, kemampuan adaptasi tanaman buah dan ketahanan terhadap OPT. Penetapan waktu dan cara panen berdasarkan suhu, kelembaban, curah hujan, intensitas cahaya, harga pasar dan prakiraan harga, mutu yang diinginkan pasar, biaya panen termasuk tenaga kerja dan peralatan yang digunakan, laju kematangan dan risiko kehilangan akibat lewat matang atau rusak akibat OPT. Pengendalian OPT, merupakan hal yang sangat penting untuk komoditas buah – buahan tujuan ekspor, mengingat perdagangan dunia telah mensyaratkan ketentuan tentang kesehatan tumbuhan. Penyakit pascapanen dapat menyerang buah ketika masih berada di tanaman atau setelah dilakukan pemanenan. Serangan OPT yang menyerang buah ketika masih berada di pohon,biasanya berupa infeksi laten yaitu gejala penyakit baru terlihat setelah buah matang. Infeksi yang terjadi karena luka pada saat penanganan pascapanen yang tidak sesuai antara lain dapat berupa tangkai buah yang dipatahkan sewaktu dipanen, memar, lecet dan pecah karena terjatuh. Luka tersebut merupakan gerbang masuknya patogen penyebab penyakit. Mikroba penyebab infeksi laten penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporiodes Penz.). Gejala penyakit berupa noda warna cokelat di permukaan kulit buah dengan intensitas warna cokelat meningkat serta meluas, dan masuk ke dalam daging buah kemudian terjadi pembusukan pada buah. Penyakit pascapanen lain yang mungkin timbul diantaranya busuk pangkal buah yang ditimbulkan oleh Botryodiplodia theobromae atau Dithorella dominica Petrack. B. theobromae masuk ke dalam buah melalui luka pada tangkai ditandai dengan noda warna hitam pada kulit di sekitar pangkal buah. Bila buah dibelah terlihat daging buah dan kulit biji yang menghitam dan membusuk. Penularan penyakit pascapanen pada komoditas buah sebelum dilakukan pemanenan, spora dari jamur patogen berkecambah di permukaan buah yang sedang berkembang dan setelah beberapa jam ujung bukuh hifa jamur membengkak untuk membentuk alat pelekat. Setelah 24 – 72 jam, bergantung pada suhu sekitar dan tingkat kemasakan buah, terjadi infeksi laten. Pada saat buah matang beberapa minggu atau bukan kemudian, hifa menjadi aktif kemudian membentuk luka – luka pembusukan yang khas pada buah yang matang. Infeksi jamur dapat berlangsung kapan saja selama perkembangan buah, bila air bebas pada permukaan buah memungkinkan perkecambahan spora – spora dan penembusan kutikula. Alat – alat perkembangbiakan jamur dan bakteri patogen memeroleh jalan masuk ke dalam buah – buah muda melalui lubang – lubang alami seperti mulut kulit, lentisel dan retak – retak pertumbuhan. Buah – buahan segar tidak dapat dipanen tanpa menimbulkan luka pada badan buah, sehingga patogen memeroleh jalan untuk memasuki komoditas tersebut dan akhirnya menyebabkan pembusukan pada buah. Selain pada batang tanaman yang dipotong, juga tidak dapat dihindarkan terjadinya kerusakan pada jaringan – jaringan permukaan tanaman selama masa pemungutan, pengemasan dan pengangkutan. Luka – luka yang mungkin terjadi tersebut harus ditekan seminimal mungkin, baik jumlah luka maupun tingkat keparahannya. Untuk menilai tingkat mutu komoditas buah dapat dibedakan menjadi komponen mutu eksternal dan mutu internal. Komponen eksternal yaitu tampilan buah yang dapat terlihat langsung dan merupakan penilaian pertama yang dapat memberi gambaran tingkat mutu buah yang merupakan refleksi mutu internal atau kondisi dalam buah. Beberapa hal yang memengaruhi mutu eksternal terdiri dari bentuk, ukuran, warna, kesegaran, kebersihan dan kerusakan fisik maupun mikrobiologis. Kerusakan atau cacat pada komoditas buah yang dapat timbul seperti cacat fisik (keriput, layu, terpotong, tergores dan memar); cacat fisiologis (pelukaan akibat pembekuan (chilling injury), pendinginan, terik matahari, bengkak/lepuh dsb); cacat patologis (pembusukan akibat jamur atau bakteri dan cacat atau kelainan / penyimpangan akibat virus. Mutu internal merupakan kondisi di dalam buah, menyangkut mutu konsumsi (eating quality) meliputi jumlah yang dapat dikonsumsi (tebal kulit, rendemen jus dan jumlah kerusakan), tekstur, citarasa dan nilai gizi. Tekstur atau nilai kekerasan merupakan faktor penting yang berkaitan erat dengan tingkat kesegaran buah saat dinikmati, dan juga turut menentukan kemampuan dalam menahan tekanan pada saat dikapalkan atau dalam perjalanan transport. Buah yang lunak bila dikirim hingga jarak jauh akan mengalami kehilangan dan kerusakan cukup tinggi akibat pelukaan secara fisik. Cita rasa merupakan tanggapan atas rasa dan aroma beberapa komponen dalam suatu komoditas hortikultura, sedangkan komponen nilai gizi menjadi bahan pertimbangan di tahap akhir. Mutu pascapanen hasil hortikultura umumnya tidak dapat diperbaiki, tetapi dapat dipertahankan. Mutu yang baik merupakan kombinasi penyesuaian dari mutu komoditas yang dihasilkan produsen dengan sesuatu yang disukai konsumen. Bagi produsen harus memerhatikan komoditasnya, varietas yang bernilai harus berdaya hasil tinggi, tahan terhadap penyakit pascapanen, mudah dipanen, dan tahan untuk dikirim jarak jauh. Bagi penerima dan distributor pasar, mutu tampilan merupakan hal penting, dengan tingkat kekerasan buah yang lebih tinggi dan daya simpan relatif lebih panjang. Salah satu permasalahan dalam usaha tani tanaman buah adalah serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) berupa hama dan penyakit. Serangan hama pada pertanaman biasanya ditandai dengan adanya kerusakan – kerusakan mekanis dan seringkali terlihat wujud fisik dari hama. Beberapa serangga dapat berfungsi sebagai penular atau vektor penyakit – penyakit tanaman yang disebabkan virus dan mikoplasma. Serangan penyakit pada buah dapat dibedakan berdasarkan waktu terjadinya infeksi patogen, sedangkan penyakit pascapanen biasanya disebabkan oleh patogen yang menginfeksi sejak buah masih di pohon, yang gejalanya kemudian berkembang saat buah dalam penyimpanan. Dalam upaya pengendalian penyakit pascapanen buah, usaha pengendalian dapat dilakukan baik saat buah masih ada di kebun maupun setelah panen. Pengendalian penyakit pada saat setelah panen dapat dilakukan dengan beberapa car, seperti penggunaan suhu rendah dalam penyimpanan, pencelupan dalam air panas, penggunaan fungisida, irradiasi dan berbagai kombinasui teknik pengendalian lain. Sebagai contoh perkembangan penyakit antraknose dalam buah matang dapat dihambat dengan penyimpanan pada suhu rendah antara 10 – 150C, tetapi dalam hal ini tidak dapat menghambat proses pembusukan. Contoh kasus pada pengendalian penyakit antraknose pada buah mangga, pengendalian penyakit pada saat di pertanaman dapat dilakukan dengan a). Memotong dan memusnahkan bagian tanaman yang terserang; b). Penyemprotan kombinasi 0,25% mancozeb + 0,2% dichrotophos + 2 g pupuk daun / liter air dalam selang waktu 7 – 10 hari sekali dari saat pembentukan tunas bunga sampai fase penuaan buah. Sedangkan pengendalian penyakit setelah buah dipanen dapat dilakukan dengan pencelupan buah dalam air panas bersuhu 550C selama 5 menit atau menggunakan fungisida seperti Benomil dan Benzimidasol dengan konsentrasi 500-1.000 ppm dengan pencelupan selama 30 detik (Pantastico, 1986). Kombinasi perlakuan tersebut dengan penyimpanan suhu rendah memberikan hasil yang sangat baik, sehingga mutu buah tetap terpelihara dan masa simpan buah dapat diperpanjang. Mutu buah setelah dipanen tidak dapat diperbaiki atau ditingkatkan, tetapi dapat dipertahankan. Mutu buah yang baik akan diperoleh bila pemanenan dilakukan pada tingkat ketuaan yang tepat, dimana perkembangan fisik buah telah mencapai maksimum serta komponen kimiawi penyusunannya telah terbentuk dengan jumlah yang sudah stabil. Selama pemanenan, buah harus dijaga agar tidak mengalami kerusakan mekanis, pemanenan yang tidak sesuai prosedur akan memengaruhi mutu pemasaran secara langsung. Memar dan luka mekanis pada saat pemanenan akan tampak sebagai bercak berwarna cokelat dan kehitaman selama dalam penyimpanan. Luka – luka pada kulit buah akan menjadi pintu masuk bagi patogen penyebab busuk pada buah. Penanganan pacapanen buah – buahan dilakukan untuk tujuan penyimpanan, transportasi dan pemasaran. Rangkaian kegiatan pascapanen terdiri dari pemilihan (sorting), pemisahan berdasarkan ukuran (sizing), pemilihan berdasarkan mutu (grading) dan pengemasan. Semakin panjang proses penanganan ataupun penundaan penanganan akan mengakibatkan kehilangan dan kerusakan seperti susut bobot, pembusukan serta penurunan nilai kandungan gizi dari buah. a. Pencucian Membersihkan buah dari kotoran (tanah) dan residu pestisida. Proses pencucian dilakukan air mengalir untuk menghindari terjadinya penularan penyakit. Penggunaan detergen pada dosis tertentu dapat membersihkan lebih sempurna, sehingga penampakan buah akan lebih bersih. Setelah pencucian, buah dikeringkan dan dikering anginkan dalam hamparan atau dengan cara mengalirkan uap panas. b. Curing Proses penyembuhan luka gores atau lecet pada permukaan produk buah dalam bentuk umbi seperti misal buah bengkuang. Teknis perlakuan dengan membiarkan produk umbi beberapa hari pada suhu ruang, hingga luka goresan dan lecet tertutup kembali. Selain penyembuhan luka pada permukaan umbi buah, setelah proses curing juga terjadi penurunan kadar air umbi. Dengan proses curing masa simpan umbi dapat diperpanjang dan pertumbuhan cendawan patogen penyebab penyakit pascapanen pada buah umbi dapat dicegah. c. Degreening Proses untuk dekomposisi pigmen hijau pada buah – buahan, dilakukan dalam ruangan khusus yang suhu dan kelembaban udaranya terkontrol. Kemudian ke dalam ruang tersebut dialirkan gas etilen pada konsentrasi rendah, sehingga dapat mengaktifkan metabolisme untuk mengubah warna hijau dari buah menjadi berwarna seperti yang dikehendaki konsumen. Proses ini biasa dilakukan untuk buah jeruk, pisang, mangga dan tomat. Umumnya buah yang berwarna hijau terang dan berumur cukup tua memerlukan waktu degreening yang lebih pendek. d. Waxing Proses pelilinan yang dilakukan untuk memperpanjang daya simpan buah – buahan. Dalam pelilinan harus diupayakan agar pori – pori kulit buah tidak tertutup rapat, sehingga terjadi metabolisme anaerobik dalam buah dapat dicegah. Jenis lilin yang digunakan adalah emulsi lilin air, yang dalam penggunaan biasanya dicampur dengan fungisida untuk mencegah pembusukan pada buah. Penggunaan lilin juga akan menambah kilap permukaan buah, sehingga penampakan buah akan lebih baik. Aplikasi pelilinan pada buah – buahan dapat dilakukan dengan cara pencelupan, penyemprotan dan pembusaan. e. Pre-cooling Proses penurunan suhu buah segera setelah panen, terutama bila panen pada siang hari dengan suhu udara yang tinggi. Suhu tinggi berpotensi merusak mutu simpan buah – buahan. Pre-cooling dapat menurunkan proses respirasi buah, kepekaan terhadap serangan patogen penyebab penyakit serta mengurangi jumlah air yang hilang. Pre-cooling dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu air-cooling (pendinginan dengan udara); hydro-cooling (pendinginan dengan air); dan vacuum – cooling (pendinginan dengan vakum). f. Penyimpanan Suatu cara untuk mempertahankan mutu hasil pertanian setelah dipanen dalam jangka waktu tertentu sebelum dijual atau dikonsumsi. Penyimpanan yang umum dilakukan pada suhu dingin, dimana penyimpanan diatur di atas suhu titik beku dan di bawah suhu ruang. Penyimpanan dingin dapat mengurangi aktivitas respirasi dan metabolisme, proses penuaan karena adanya proses pematangan, pelunakan dan perubahan warna serta tekstur; kehilangan air dan pelayuan; kerusakan karena aktivitas mikroba patogen (fungi dan bakteri); serta proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki (misal pertunasan). Penggunaan panas merupakan salah satu teknologi pengendalian OPT yang banyak digunakan berkaitan dengan pelarangan penggunaan senyawa berbahan dasar kimia sintetis seperti etilen dibromida. Metode perlakuan panas dalam pengendalian OPT antara lain menggunakan air panas (Hot Water Treatment, HWT); uap panas (Vapor Heat Treatment, VHT) dan udara panas (Hot Air Treatment, HAT). Proses disinfestasi pada buah dilakukan dengan cara memanaskan buah pada suhu tertentu selama periode waktu tertentu dengan tujuan membunuh hama lalat buah atau mengendalikan penyakit seperti antraknosa dan penyakit busuk pangkal buah (stem end rot) tanpa menyebabkan kerusakan pada buah. Hasil – hasil penelitian terkait aplikasi perlakuan panas yang telah dilakukan, diantaranya telah dilakukan pada buah mangga. Aplikasi perendaman mangga dalam air panas (53 – 55oC) selama 5 menit dapat menunda timbulnya gejala penyakit antraknosa dan busuk pangkal buah masing – masing 9,4 hari dan 9,2 hari lebih lama dibanding tanpa perlakuan (Sulusi et al., 1994). Mangga varietas Irwin dari Okinawa dengan metode VHT pada suhu 46,50C selama 30 menit telah cukup efektif dalam menekan perkembangan penyakit antraknosa dan busuk pangkal buah (stem end rot) serta dapat mempertahankan mutu buah hingga 21 hari selama penyimpanan pada 13oC (Rokhani, 2002). Salah hatu hama pascapanen utama pada komoditas buah - buahan adalah lalat buah. Serangan lalat buah dapat dikatakan sebagai hama potensial perusak aneka buah. Buah yang terinfestasi lalat buah menjadi rusak dan busuk oleh kontaminasi bakteri. Metode VHT merupakan salah satu metode disinfestasi OPT pascapanen aneka buah yang cukup efektif tanpa menggunakan senyawa kimia sehingga tanpa menyisakan residu kimia yang berpotensi merugikan kesehatan. Kombinasi suhu – waktu yang tepat perlu dikaji agar proses disinfestasi tercapai tanpa merusak nutrisi dan mutu aneka buah. Berbagai negara tujuan ekspor seperti Jepang dan Amerika mempersyaratkan aplikasi VHT untuk aneka buah yang akan diimpornya. Pestisida sintetik dengan bahan aktif benomyl dapat digunakan sebagai bahan pengendali untuk mengendalikan serangan patogen penyebab penyakit pascapanen pada buah. Aplikasi 500 ppm benomyl dalam emulsi lilin 6% terhadap mangga Gedong Gincu mampu membatasi pertumbuhan penyakit antraknosa dan busuk pangkal buah hingga minggu ke tiga pada penyimpanan suhu 8-100C (Setyabudi et al., 2007). Penggunaan 1.000 ppm benomyl dalam emulsi lilin 6% pada buah manggis mampu mempertahankan kesegaran buah hingga minggu ke 4 dengan suhu penyimpanan 90C (Setyabudi et al., 2009). Pengendalian penyakit lainnya juga telah banyak dilakukan, seperti penggunaan pestisida dengan bahan aktif thiabendazole pada buah pepaya dan aplikasi aloevera yang dikombinasikan dengan rempah – rempah pada buah belimbing. Faktor – faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit pasca panen pada komoditas buah – buahan : a. Kerentanan Inang Buah – buahan mempunyai sifat – sifat kimiawi dan fisiologi yang dapat mengubah kerentanan terhadap infeksi dan perkembangan penyakit pasca panen. Faktor inang yang akan dapat mempengaruhi berat tidaknya serangan penyakit, dapat pula dipengaruhi oleh lingkungan pasca panen. b. Kemasakan Buah Buah umumnya makin rentan terhadap infeksi patogen pasca panen bila buah menjadi semakin matang karena faktor nutrisi, enzim – enzim, zat – zat racun dan metabolisme energi. Pembusukan pada fase pasca panen dapat ditekan dengan perlakuan seperti penyimpanan dalam suhu rendah, udara terkendali, dan pemberian zat kimia yang menghambat pematangan. c. Penyembuhan Luka Salah satu contoh kasus pada buah jeruk manis yang disimpan pada suhu 86oF dan RH 90% untuk beberapa hari, pembusukan yang disebabkan oleh Penicillium digitatum jauh lebih sedikit dibandingkan buah – buahan yang disimpan pada suhu ruang dalam waktu yang sama. Hal ini disebabkan oleh pembentukan lignin pada jaringan – jaringan flavedo yang terluka dibawah kondisi lingkungan. d. Infeksi oleh lebih dari satu patogen Penyakit – penyakit pasca panen yang teramati sering merupakan hasil infeksi beberapa patogen yang menyerang jaringan inang pada buah yang sama. Laju pembusukan oleh infeksi gabungan lebih besar daripada yang hanya disebabkan satu patogen saja. Suatu penyakit ringan yang dimulai oleh patogen yang lemah, seringkali menjadi pembuka jalan untuk patogen sekunder yang lebih ganas seperti Rhizopus, Fusarium, dan Geotrichum. e. Lingkungan Suhu rendah cenderung mengurangi keparahan penyakit pasca panen dengan memperlambat pematangan inang dan juga dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme parasit. Perlakuan singkat dengan suhu tinggi dapat mematikan sel – sel patogen tanpa merusak sel – sel inangnya. f. Pendinginan Kebanyakan buah tropika mengalami kerusakan pada suhu 50oF dan pada suhu yang lebih rendah dari itu. Pendinginan pada suhu 50-55oF sebelum perlakuan pengawetan, pada 84oF akan meningkatkan keganasan serangan Fusarium oxysporum. Meskipun biasanya kerusakan akibat pendinginan dianggap disebabkan oleh metabolisme abnormal inangnya. g. Pemanasan Perlakuan buah – buahan dengan suhu 110oF dan yang lebih tinggi, dapat mempertinggi kerentanan terhadap pembusukan pasca panen tanpa menunjukan tanda – tanda kerusakan akibat panas. Perlakuan buah – buahan tropika dengan air panas untuk mengendalikan infeksi permulaan dan infeksi laten harus dilakukan dengan hati – hati karena ada kemungkinan peningkatan kerentanan buah terhadap pembusukan. h. Kelembaban RH yang melebihi 90% cenderung mendorong perkembangan penyakit pasca panen karena mempertahankan luka – luka pada permukaan dalam kondisi basah yang memudahkan terjadinya infeksi oleh mikrorganisme parasit. i. Pengemasan Film – film plastik yang mempunyai permeabilitas rendah terhadap uap air banyak digunakan untuk mengemas unit buah – buahan segar bagi para konsumen. Ventilasi pada film pembungkus plastik sangat penting untuk pembuangan uap guna mencegah pembusukan yang berlebihan. Wadah – wadah pengiriman dari papan serat untuk buah – buahan segar biasanya mempunyai lubang ventilasi pada dinding nya untuk memudahkan hilangnya panas dari komoditas. Pengendalian penyakit – penyakit pasca panen pada komoditas buah – buahan Empat pendekatan dasar untuk pengendalian penyakit pasca panen adalah pencegahan, penyembuhan, penundaan timbulnya gejala – gejala dan penghambatan meluasnya penyakit. Biasanya untuk pengendalian diperlukan lebih dari satu pendekatan. a. Pencegahan Infeksi Infeksi laten dan infeksi statik sukar dikendalikan dengan penggunaan fungisida setelah pemanenan, karena biasanya fungisida tidak menembus sampai ke tingkat infeksi pada konsentrasi efektifnya. Maka strategi pengendalian terbaik adalah mengurangi infeksi laten sejauh mungkin dan memberantas sisa yang masih tertinggal dengan perlakuan pasca panen dengan perlakuan panas atau fungisida sintetik. Pendekatan lain yang efektif untuk mencegah infeksi laten dengan penyemprotan tanaman secara berkala dengan fungisida pelindung selama musim pertumbuhan. b. Mengganggu proses penularan penyakit Aplikasi fungisida pada komoditi buah – buahan yang telah dipanen, dapat mencegah penularan penyakit melalui luka pada buah. Waktu antara penularan dan perlakuan yang berhasil baik bergantung pada suhu dan kelembaban sekitarnya, kemasakan buah, laju pertumbuhan patogen, dan sifat perlakuan dengan fungisida. Pertumbuhan patogen seperti Gloeosporium, Thielaviopsis, Botrydiplodia, Rhizopus dan Geotricum dalam lingkungan tropis terjadi dengan cepat, dan perlakuan dengan fungisida secara konvensional yang ditujukan untuk mencegah infeksi harus dilakukan dalam waktu 12 sampai 24 jam setelah pemanenan. Perlakuan di kebun dapat pula dianjurkan, bila tidak ada kemungkinan mengangkut komoditi ke tempat tujuan dalam beberapa jam setelah pemanenan. Pemberian fungisida sebelum pemanenan mungkin merupakan cara pengendalian pembusukan komoditi yang tidak sempat diberi perlakuan setelah pemanenan. Perlakuan pra-pemanenan mungkin memerlukan jumlah fungisida lebih banyak daripada perlakuan pasca panen. c. Pengendalian infeksi yang sudah terjadi Aplikasi fungisida untuk mengendalikan penyakit pasca panen tidak mempunyai daya serap yang diperlukan untuk menghilangkan infeksi yang letaknya di dalam. Perlakuan dengan pemanasan singkat berhasil dalam menggilangkan infeksi laten atau infeksi baru oleh jamur pada beberapa jenis buah. Sel – sel inang lebih tahan panas daripada sel – sel patogen, karena hanya jaringan permukaan inang yang dipanaskan, tidak diperlukan tambahan yang berarti dalam persyaratan perlakuan pendinginan komoditi. Air panas merupakan medium penghantar panas yang paling baik karena mudah diperoleh, kapasitas panasnya, dan tiadanya residu pada buah. Uap air panas merupakan medium penghantar panas yang efisien, karena panas yang laten diteruskan kepada komoditi bila air mengembun pada permukaan. Penanganan OPT pascapanen dapat dilakukan pada saat buah masih berada di tanaman maupun setelah buah dipanen. Untuk mengurangi risiko serangan OPT pascapanen dapat dilakukan beberapa hal antara lain sebagai berikut : a. Pengelolaan kebun buah secara baik, yaitu dengan menerapkan budidaya tanaman sehat di lapangan, dengan cara pemupukan, pengaturan irigasi, drainase, pemangkasan, penyiangan dan pengendalian OPT. b. Menghindari pelukaan pada buah, baik selama buah masih mentah di pohon, maupun saat panen, pengangkutan dan penyimpanan. c. Memisahkan buah terserang dengan buah sehat. d. Buah yang baru dipanen dibersihkan dari sisa – sisa tanaman, dan jangan ditutupi dengan daun – daun kering. e. Untuk mencegah terjadinya infeksi melalui luka potongan, tangkai buah diolesi dengan asam benzoate 10 % dalam etanol, dilakukan paling lambat 5 jam setelah panen, atau dengan pemberian serbuk kalsium hipoklorida. f. Pencucian buah sebaiknya dengan air yang mengalir dari sumber air yang bersih. g. Pencelupan ke dalam air panas (< 55oC) selama 5 menit atau air panas suhu 46 – 49oC selama 20 menit atau ke dalam air panas (52 – 53oC) dicampur dengan fungisida selama 5 menit, untuk mencegah berkembangnya cendawan pada buah. h. Sesudah dicuci atau direndam dengan air hangat atau dengan fungisida, perlu sekali dilakukan pengeringan terhadap buah. i. Setelah buahnkering, sortasi dapat dilakukan dengan tangan atau alat bantu sortasi yang didasarkan pada kriteria ukuran, berat buah dan tingkat kematangan buah. j. Buah yang menunjukan adanya kerusakan pada kulit akibat gesekan atau kerusakan lain perlu untuk dilakukan pemisahan. k. Setelah buah disortasi, pada buah jenis tertentu perlu diberi perlakuan pelapisan dengan menggunakan lilin parafin dan lilin anti jamur untuk memperlambat masaknya buah dan mencegah buah mengerut. Pembungkusan dengan menggunakan jaring spons juga perlu dilakukan guna mencegah gesekan buah satu dengan yang lain pada saat pengepakan dan transportasi buah. l. Buah segera diangkut ke ruang pemeraman atau ke gudang. m. Ruang pemeraman atau gudang agar dijaga kebersihannya, cukup cahaya dan tidak bocor. n. Memerhatikan penyimpanan buah, dapat dipertahankan dalam keadaan baik selama beberapa hari setelah panen, bergantung pada jenis buah, varietas, daerah penghasil dan musim. Perlakuan suhu rendah antara 10 – 12oC mampu untuk menunda proses pemasakan buah. Beberapa metode penyimpanan buah di gudang penyimpanan : a. Metode Refrigeration (Pendinginan) Penyimpanan dengan suhu dingin 15 – 20 oC, merupakan cara paling baik untuk mengendalikan OPT pasca panen. Efektif pula untuk menjaga kesegaran buah serta menekan kerusakan buah karena mikroorganisme. Masalah utama dalam pendinginan buah adalah kerusakan buah karena kedinginan dan pembekuan. Tabel 1. Rekomendasi untuk penyimpanan buah No. Komoditi Suhu (oC) Kelembaban Perkiraan Kandungan (%) lama air (%) penyimpanan 1 Alpukat 4 – 13 85 – 90 2 – 4 minggu 65 2 Jeruk lemon 0 atau 10 – 14 85 – 95 1 – 6 bulan 89 3 Mangga 13 85 – 90 2 – 3 minggu 81 4 Pepaya 7 85 – 90 1 – 3 minggu 91 5 Nanas 7 85 – 90 2 – 4 minggu 85 6 Strawberry -0,5 – 0 90 – 95 5 – 7 hari 90 7 Semangka 4 – 10 80 – 90 2 – 3 minggu 93 b. Metode Controlled Atmosphere Storage Dilakukan dengan cara mengatur suhu, kandungan oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) dalam udara. Tabel 2. Kondisi Controlled Atmoshpere selama transportasi atau penyimpan yang direkomendasikan No. Komoditi Kisaran Suhu Controlled Atmoshpere o ( C) % O2 % CO2 1 Alpukat 5 – 13 2–5 3 – 10 2 Pisang 12 – 15 2–5 2–5 3 Jeruk 5 – 10 10 5 4 Mangga 10 – 15 5 5 5 Pepaya 10 – 15 5 10 6 Nanas 10 – 15 5 10 c. Hypobaric Storage Menempatkan buah pada ruangan bersuhu dingin dan bertekanan udara rendah. Perubahan tekanan udara dalam ruangan dilakukan dengan cara memompa hampa udara ke dalamnya sehingga tekanan udara menurun. Batas tekanan udara dalam hypobaric storage adalah 10 mmHg – 80 mmHg (normal tekanan udara = 760 mmHg). Agar tekanan udara tetap konstan, maka perlakuan pompa hampa udara dilakukan setiap 1 – 4 kali / jam. d. Packaging (Pembungkusan) Mengurangi kerusakan / memar karena banturan, menurunnya kelembaban dan kerusakan karena OPT. Bahan pembungkus dapat mengandung bahan kimia (yang aman bagi manusia) untuk mengurangi kerusakan dalam penyimpanan. Hambatan, perkembangan penyakit, pemencaran dan gejala – gejala penyakit a. Pendinginan Penyimpanan pada suhu dingin merupakan cara yang paling efektif dan bermanfaat untuk memperlambat perkembangan pembusukan pasca panen pada buah – buahan yang disebabkan oleh infeksi patogen di bagian dalam. Tiap buah mempunyai suhu optimum untuk menghambat pematangan dan penuaan proses – proses fisiologis yang membuat komoditi menjadi rentan terhadap kegiatan – kegiatan parasitik jamur dan bakteri patogen. Penyimpanan pada suhu rendah dapat mengendalikan pembusukan pasca panen dengan mempertahankan daya tahan inang terhadap parasit dan dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen. Suhu rendah hanya menghambat perkembangan mikroorganisme patogen pada komoditi yang sudah terinfeksi, dan gejala – gejala pembusukan dapat diharapkan akan muncul dalam beberapa hari setelah komoditi dipindahkan ke lingkungan yang lebih panas. b. Zat – zat pertumbuhan dan Udara Terkendali (UT) Zat – zat kimia yang menghambat permulaan penuaan telah digunakan terhadap buah untuk mengendalikan pembusukan yang timbul dari infeksi dalam yang tidak dapat dikendalikan secara memuaskan dengan fungisida atau suhu rendah yang dapat ditahan oleh komoditinya. Atmosfer penyimpanan yang dinmodifikasikan dengan mengurangi tingkat kandungan O2 dan menaikkan kandungan CO2, dapat memengaruhi perkembangan penyakit pasca panen, baik dengan penghambatan patogen secara langsung, maupun dengan mengubah ketahanan inangnya. c. Rintangan terhadap Pemencaran Penyakit dan Penghambatan Sporulasi Kontaminasi suatu komoditi oleh spora jamur patogen, pertumbuhan miselium pada permukaan, dan sisa – sisa buah yang membusuk di dekatnya, tidak saja mengakibatkan suatu komoditi tercemar dan tidak laku dijual, tetapi juga memberi peluang untuk terjadinya infeksi lebih lanjut,. Jamur patogen seperti Rhizopus, Botrytis dan Trichoderma sering memencar dengan meluasnya miselium antara dua komoditi buah yang saling bersentuhan. Langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan membungkus tiap buah dalam kertas tipis, terutama bila kertas telah diresapi dengan zat fungistatik. Pembungkus buah yang telah diresapi fungisida, tidak dapat menghindarkan pembusukan buah yang sudah terinfeksi, tetapi dapat mencegah pemencaran penyakit ke buah di dekatnya yang masih sehat. Disusun dan diolah dari berbagai sumber oleh : Hendry Puguh Susetyo, SP, M.Si Fungsional POPT Ahli Muda Direktorat Perlindungan Hortikultura LAMPIRAN Gambar 1. Busuk Buah Penicillium yang disebabkan Penicillium italicum Wehmer (biru) (a), dan P. Digitanium Sacc. (kehijauan) pada buah jeruk (b). (Ditlin Horti, 2005) Gambar 2. Lalat buah (Bactrocera dorsalis kompleks) (a), dan gejala serangan lalat buah pada buah mangga (b). (Ditlin Horti, 2005) Gambar 3. Gejala serangan Colletorichum gloesporioides (Penz) Sacc. (a), dan busuk pangkal buah Botryodiplodia thebromae Pat. pada mangga (Ditlin Horti, 2005) Gambar 4. Gejala Serangan lalat buah pada pisang (Ditlin Horti, 2005) Gambar 5.Busuk Pangkal Buah pads Pisang Botryodiplodia theobromae Pat (a) dan Busuk Buah Antraknosa (Colletorichum musae (Berk and Curt) Arx (b) (Ditlin Horti, 2005) Gambar 6. Gejala busuk pangkal pada nanas (Ananas comosus) (Ditlin Horti, 2005) Gambar 7. Gejala serangan antraknose yang disebabkan Colletotrichum gloeosporioides (a), dan C. Capsici pada buah pepaya (Ditlin Horti, 2005) Gambar 8. Gejala serangan Rhizopus stolonifer (Ehrend.) Lind. Dengan miselium warna coklat (a), dan miselium bermacam warna sampai hitam pada buah pepaya (b) (Ditlin Horti, 2005) Gambar 9. Gejala serangan Papaya Ring Spot Virus (PRSV) pada pepaya (a), dan gejala serangan busuk pangkal batang (b) (Ditlin Horti, 2005) Referensi : Broto, W; Yulianingsih; Amiarsi D; dan Thahir, R. 2009. Teknologi Penanganan Pascapanen Buah untuk Pasar. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2005. Pedoman Pengenalan dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Pascapanen Tanaman Hortikultura. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. Direktorat Jenderal Hortikultura. Jakarta. Pantasticco, Er.B, T.K. Chattopadyay and Subramanyan. 1975. Storage and commercial storage operation. P.3-14-336. In Er.B. Pantasticco, ed. Postharvest physiology handling and utilization of tropical and subtropical fruits and vegetables. The AVI Pub.Co.Inc Westport, Connecticut. Pantasticco, ER. B. 1997. Fisiologi Pasca Panen. Penanganan dan Pemanfaatan Buah – Buahan dan Sayur – Sayuran Tropika dan Subtropika. Gadjah Mada University Press. DI Yogyakarta. Rokhani, H. 2002. Studies on the postharvest treatments for export preparation of tropical fruits : Mango. Dissertation. The United Graduate School of Agricultural Sciences, Kagoshima University. Japan. Setyabudi, D.A. Wisnu Broto, Setyadjit, Ridwan Rahmat, Rokhani Hasbullah, Sulusi Prabawati, Kun Tanti Dewandari dan Ira Mulyawanti. 2007. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pascapanen Mangga untuk Pemasaran Lokal dan Ekspor. Laporan Akhir Tahun. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Setyabudi, D.A, Sulusi Prabawati, Sunarmani, Siti M Widayabnti, Asep W. Permana dan Kun Tanti Dewandari. 2009. Peningkatan Daya Simpan Buah Manggis (hingga 30 hari) dengan Metode Pelilinan dan Pengemasan untuk Tujuan Ekspor. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Sulusi Prabawati, Setyadjit dan A.B.S.T Rosmani. 1994. Perlakuan air panas 550C untuk pengendalian antraknosa dan busuk pangkal buah pada mangga cv. Arumanis. Penel. Hort.6(2). 62-73.