BAB II ERA DAN TEORI GLOBALISASI Bab ini menjelaskan kerangka teori utama studi ini, yakni globalisasi sebagai kekuatan eksternal pengubah dunia sosial di tingkat lokal. Penjelasan teoritisnya terdiri dari pendekatan historis globalisasi sebagai periodisasi zaman, definisi dan dimensi-dimensi globalisasi, serta karangka teoritis yang komprehensif mengenai globalisasi yang dikemukakan oleh para pakar, terutama dalam perspektif ekonomi-politik maupun kebudayaan, hubungan globalisasi, agama dan budaya, respon agama terhadap globalisasi. 2.1. Asal Mula dan Pengertian Globalisasi Kata globalisasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu globe dan globalization yang berarti dunia atau proses masuk ke ruang lingkup dunia. 1 Globalisasi secara harafiah mengandung arti proses penduniaan segala sesuatu mengenai kehidupan umat manusia menjadi satu dunia yang utuh dan bulat. Dalam sejarah, globalisasi telah dimulai kemunculannya cukup lama. 2 Hanya wujudnya yang menimbulkan masalah serius tidak hanya bagi bangsa-bangsa yang tertinggal, akan tetapi juga bagi 1 http://www.kbbi.web.id/globalisasi, Diunduh pada tanggal 2 November 2014. 2 Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses Dialektika Sistemik (Jakarta: Yayasan Sad Staria Bhakti, 2007), 29-30. 28 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi penduduk planet bumi akhir-akhir ini. Oleh karena itu, globalisasi, terutama yang berkembang menjadi kapitalisme Barat harus diketahui sejarahnya dengan cermat, sehingga dapat disikapi dengan tepat. Dalam pertumbuhan sejarah bangsa-bangsa di dunia, globalisasi telah ada sejak dahulu kala. Kalau dimulai dari hitungan sejarah Macedonia tahun 330-an SM, Alexander Yang Agung (Raja Iskandar Agung) sudah melakukannya.3 Dengan menggunakan alat transportasi yang masih sangat sederhana waktu itu, wilayah yang dikuasai Alexander Agung terbentang dari Macedonia sampai ke sungai Indus di India. Berbagai kota yang dikuasainya mengalami sentuhan Hellenisme berupa gymnasium, amphithater, kuil Zeus, dan sebagainya. Nama-nama kota, seperti Alexandria muncul di manamana, seperti di Mesir. Alexander Agung berhasil meneruskan jejak-jejaknya lewat Hellenisme yang berlaku dan diminati secara universal, yang pengaruhnya masih terasa sampai saat ini dalam peradaban Barat. Wilayah luas ini ia rebut dari tangan Kerajaan Persia dengan agama Zoroasternya, yang juga memiliki wilayah yang luas. Akan tetapi pengaruh Zoroaster tidak seluas dan sehebat Hellenisme. Pengaruh itu diteruskan oleh Kekaisaran Romawi, yang pada waktunya adalah juga kekaisaran yang menguasai dunia. Dalam peradaban Islam, globalisasi juga bukan hal baru. Demikian pula 3 Lihat Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1985), 439-440. Era dan Teori Globalisasi 29 pengaruh peradaban Islam yang begitu besar, dari Dinasti Abbasiyah di Irak, Dinasti Umayyah di Syria, sampai terakhir lewat Kekaisaran Ottoman adalah bukti globalisasi bangsa Turki dengan agama Islamnya. Pengaruh Kekaisaran Ottoman sampai ke Eropa Timur meninggalkan bekas dalam era modern ini dalam wujud perang di Bosnia dan Slovakia.4 Dalam lingkup Nusantara, hal serupa itu pernah terjadi. Kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur adalah wujud globalisasi, kalau pengaruhnya juga terasa sampai ke Madagaskar di benua Afrika. Jadi globalisasi adalah sesuatu kenyataan yang bersifat alamiah yang sudah ada sejak dulu. Oleh karena itu, globalisasi bukan hal baru. Semua bangsa di dunia ini apabila berkesempatan dapat melakukannya, termasuk bangsa Indonesia. Masalahnya globalisasi yang pernah terjadi di sepanjang sejarah masa lalu itu tidak menimbulkan dampak yang besar sebesar dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi kapitalisme Barat saat ini yang mengancam lingkungan hidup umat manusia, dengan timbulnya pemanasan global. Globalisasi yang terjadi kini benar-benar besar dampak yang dirasakan oleh umat manusia. Tentu dampak lingkungan ini adalah salah satu dari masalah globalisasi yang ditimbulkan oleh kapitalisme Barat.5 Masalah besar lain Bdk., Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses..., 30. Kapitalisme bagi Marx tidak hanya menghasilkan keuntungan ekonomi, melainkan melahirkan kelas sosial yang timpang. Dalam sejarah, 4 5 30 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi adalah ketidakadilan yang dialami oleh para buruh, terutama di negara-negara berkembang yang membutuhkan lapangan kerja bagi rakyatnya. Dari sisi itu, globalisasi kapitalisme perlu dikaji.6 Satu hal yang menarik diketahui dari rangkaian peristiwa historis itu, adalah sebagai fenomena alamiah manusia dapat hidup eksis karena kebutuhan ekonomi. Namun karena sumber-sumber ekonomi terbatas, sesuai tabiat dasarnya sebagai makhluk ekonomi, manusia dengan akal fikiran yang ditempa oleh pengalaman hidup sehari-hari berusaha menguasai sumber-sumber ekonomi yang terbatas itu untuk memenuhi kebutuhannya yang terus meningkat. Dalam dunia sosial, penguasaan atas sumber-sumber ekonomi melahirkan dua kelas yang berhadapan (dialektik), yakni kelas yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan kelas yang tidak menguasai. Pada masyarakat feodal yang berbasis pada pertanian, kelas yang menguasai sumber-sumber ekonomi disebut kelompok pemilik tanah yang terdiri dari kaum bangsawan dan rajaraja. Sedangkan yang tidak menguasai tanah, disebut budak yang kemudian berubah menjadi kelas petani. Perkembangan dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalis terjadi seiring dengan revolusi industri di Eropa, di mana kedua kelas itu bermetamorfosis menjadi kelas pemodal dan buruh, atau kelas borjuis versus proletariat. Marx dalam analasis kritisnya, menyaksikan kelas buruh karena ketiadaan modal dipaksa oleh situasi atau karena memaksakan diri seiring dengan terbatasnya pilihan mensejahterakan diri, menyediakan tenaganya ke pemilik modal. Mereka bekerja memproduksi barang yang menghasilkan keuntungan bagi pemilik modal. Namun tidak bagi buruh, keuntungan yang diperoleh kecil tergantung imbalan uang dari keuntungan penjualan barang. Buruh tidak memiliki hak menjual barang yang diproduksinya sendiri, kecuali imbalan yang diterima berdasarkan kerja memproduksi barang. Buruh diupah murah karena ketiadaan modal yang menjadi ukuran tertinggi nilai masyarakat kapitalis. Pada masyarakat kapitalis, pemodal menjadi kelompok dominan dalam menentukan kesejahteraan masyarakat, semakin besar modal yang dimiliki, ia kian sejahtera. Sementara buruh dihargai dengan kesejahteraan rendah sebagaimana tenaganya yang dinilai sebanding dengan mesin produksi, bahkan harganya lebih murah dari mesin-mesin itu. Pada sistem kapitalistik ini, ketimpangan pendapatan berujung pada lahirnya ketidakadilan sosial, dan kapitalisme berubah menjadi sistem kekuasaan politik. Selain ketidakadilan sosial, timbul pula keterasingan bagi buruh di tengah sistem yang kapitalistik itu. Lih., Robert C. Tucker, The Marx-Engels: Reader (USA: W. W. Norton,1978), 110-200. 6 Lihat misalnya kajian kritis James Goldsmith, Perangkap, diterjemahkan oleh Soemitro dengan Kata Pengantar oleh Mochtar Lubis (Jakarta: Yayasan Obot Indonesia, 1995). Era dan Teori Globalisasi 31 yang mendunia, globalisasi pada awalnya terkait dengan peningkatan interdependensi antarbangsa melalui jalur perdagangan, kemudian berlanjut ke politik, perjalanan, budaya populer, dan bahkan bentuk interaksi sosial lain yang mengakibatkan batas-batas suatu negara dan bangsa menjadi hilang. Globalisasi merupakan proses interaksi sosial tanpa jarak yang menjadikan ruang lingkup kehidupan umat manusia bertambah luas, terutama dalam memainkan peranan sosialnya ketika dunia menjadi kesatuan yang tunggal. 7 Batasan jarak yang hilang dalam berinteraksi, menunjukkan globalisasi mampu melenyapkan batas geografis mendorong dunia semakin sehingga dan waktu, terintegrasi; peristiwa di suatu tempat yang jauh jaraknya dapat diketahui di tempat lain di dunia ini dalam waktu yang bersamaan. Pertumbuhan globalisasi terjadi seiring dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang maju ke seluruh dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan baru menghasilkan pandangan baru bagi peningkatan mutu kehidupan masyarakat. Tuntutan akademik dengan ukuran apapun yang bersifat ilmiah menjadi standar yang menentukan kebaikan hidup masyarakat. Perkembangan teknologi memberi jalan bagi ilmu pengetahuan dalam memperbesar pengaruhnya ke berbagai lapisan sosial. Teknologi, terutama teknologi 7May T. Rudy, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah Masalah Global (Bandung: Rafika Aditama, 2003), 5. 32 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi transportasi, informasi dan komunikasi menjadi sarana efektif dan efisien bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pengaruhnya pada kehidupan yang lebih luas, seperti di bidang politik, ekonomi dan perdagangan. Pada bidang perdagangan antar negara, globalisasi membuka transaksi bisnis yang dilakukan secara cepat dan efisien melalui sistem online, sehingga masing-masing negara dengan mudah dapat menjual produk ekonominya. Kecenderungan ini mengakibatkan barang yang diperdagangkan oleh suatu negara tidak berbeda dengan negara lain.8 Pada pertumbuhannya sebagai studi, istilah globalisasi pertama kali diperkenalkan oleh wartawan Theodore Levitt pada tahun 1980-an. 9 Periode tahun 1990-an, istilah globalisasi menjadi tema utama diskusi di kalangan akademisi Barat dan dunia pers. 10 Sebagian besar aspek globalisasi membahas persoalan di sekitar pertanyaan bagaimana istilah itu dipahami, apakah ia merupakan istilah baru atau tidak, dan apa 8 Komputerisasi dan kecepatan komunikasi mengakibatkan kemampuan memperluas jaringan kendali atas satu sentral ke seluruh dunia, peningkatan kecepatan efisiensi transportasi, baik orang maupun barang yang diperdagangkan memungkinkan pelenturan proses produksi, sehingga menghasilkan pemusatan ekonomi yang tajam pada dunia tertentu. Lih., Ali Sugiharto, Globalisasi Perspektif Sosialis (Jakarta: Penerbit Cubuc, 2001), 3. 9 Ashad Kusuma Djaya, Teori-Teori Modernitas dan Globalisasi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012), 81. 10 Peter Beyer, Religion and Global Society (New York: Routledge, 2006), 18. Era dan Teori Globalisasi 33 konsekuensinya?11 Istilah globalisasi kian populer dalam dunia perekonomian yang melibatkan hubungan global di Dunia Barat. mengungkap Paul Hirst perekonomian dan yang Graham Thomsom mengglobal lahir seiring dengan perkembangan kapitalisme perusahaan transnasional.12 Liberalisasi ekonomi dan kapitalisme tumbuh sejak penandatanganan kesepakatan internasional General Agreement Tariff and Trade (GATT) pada bulan April 1994 di Marrakesh Maroko, yang menetapkan pemberlakuan pasar bebas (free trade). 13 Pada Dunia Barat, globalisasi ekonomi dimulai dengan perluasan pasar keuangan dunia sejak periode 1970-1990-an. Kapitalisme yang semula bersifat regional berubah menjadi jaringan internasional. 14 Kapitalisme kemudian meninggalkan pelabuhan di negeri asalnya, bertarung di tengah lautan ekonomi dunia yang ganas. Upaya mencari keuntungan dan surplus yang tidak mengenal lelah telah merambah ke seluruh pelosok dunia. Para pemain ekonomi adalah korporasi transnasional yang tidak tunduk pada negara tertentu. Ia beroperasi di berbagai negara tetapi tidak untuk negara itu. Dampak yang nyata ialah pasar ikut mendunia dengan 11 Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial, diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 32. 12 Ibid., 33. 13 Ashad Kusuma Djaya, Teori-Teori Modernitas...., 82. 14 Ibid. 34 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi ideologi kapitalisme yang membentuk tata dunia baru. 15 Apabila seseorang datang ke supermarket dan melihat produk yang dijual berasal dari berbagai belahan negara, dapat dipastikan globalisasi telah menjadi kenyataan pahit, bukan sekedar mitos dalam sentimen nasionalisme negara. Globalisasi muncul bersamaan dengan keruntuhan pembangunan di Asia Timur. Era globalisasi meyakinkan rakyat miskin di Dunia Ketiga, memberikan janji dan harapan baru bagi kebaikan hidup umat manusia di masa depan. Akan tetapi globalisasi juga melahirkan kecemasan bagi mereka yang memikirkan permasalahan kemiskinan, marjinalisasi masyarakat, dan persoalan keadilan sosial.16 Praktek globalisasi berkembang secara tidak adil. Bagi masyarakat yang tinggal di luar Eropa dan Amerika Utara, globalisasi menjadi tidak adil sebab ia identik dengan Westernisasi atau Amerikanisasi. Amerika Serikat, misalnya kian tampak sebagai satu-satunya negara adidaya di bidang ekonomi, budaya, militer, dan politik. Banyak wujud kultural yang berwajah Amerika Serikat, seperti Coca Cola, McDonald, atau CNN. Perusahaan transnasional raksasa ini juga berbasis di negeri Paman Sam itu.17 15 Fredric Jameson, and Masao Miyoshi (ed.), The Cultures of Globalization (USA: Duke University Press, 2004), 164. 16 Einar Sitompul dan Hetty Siregar (ed.), Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi: Sebuah Dokumen Latar Belakang (Jakarta: PMK HKBP, 2008), iii. 17 Anthony Giddens, Runway World (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 194. Era dan Teori Globalisasi 35 Pada perkembangan lebih lanjut, globalisasi tidak hanya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berhubungan dengan transformasi ruang dan waktu. Revolusi informasi merupakan satu gejala penting lain dalam fenomena globalisasi. Kehadiran komunikasi satelit menandai keterpisahan dramatis dengan masa lalu. Satelit komersial pertama diluncurkan pada tahun 1969, dan kini lebih dari 200 satelit beredar di atas bumi.18 Kecanggihan teknologi satelit terlihat dengan alatalat elektronika mutakhir yang menghubungkan satu dunia dengan dunia lain. Melalui satelit NASA, umat manusia menembus jagad luar angkasa. Dengan bantuan televisi dan komputer, seseorang yang berada di Indonesia dapat mengetahui peristiwa perang yang terjadi di Palestina dan Israel, pemilihan presiden yang berlangsung di Amerika, dan berbagai peristiwa lain yang mempengaruhi seluruh kehidupan umat manusia. Manuel Castells, sosiolog dari Spanyol, menyebut fenomena ini dengan kemunculan masyarakat jaringan.19 Masyarakat jaringan yang lahir di era global merupakan masyarakat yang hidup dan berinteraksi dalam jejaring sosial yang mendunia akibat ketergantungannya pada teknologi informasi dan komunikasi. Dalam perspektif kebudayaan, globalisasi mendorong interaksi sosial antar bangsa, menciptakan 18 Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan...., 35-36; Idem, Runway World...., 190. 19 Lih., Manuel Castells, The Rise of the Network Society (UK: Blackwell Publishing, 2000). 36 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi kebudayaan populer yang bersifat mendunia dan kekinian (trend). Internasionalisasi kebudayaan ini yang menimbulkan masalah baru bagi hubungan antar kebudayaan di berbagai bangsa. Pada satu sisi karena terjadi internasionalisasi budaya, kebudayaan dominan pada suatu bangsa mengekspansi kebudayaan yang tidak dominan. Namun pada sisi lain terjadi penguatan kebudayaan yang tidak dominan ke dalam internasionalisasi kebudayaan. Di sini interaksi sosial suatu bangsa dengan bangsa lain, menghasilkan kebudayaan baru, dan atau melahirkan percampuran dua atau lebih kebudayaan.20 Dalam pengertian tersebut, globalisasi telah menghasilkan transformasi kehidupan umat manusia yang terintegrasikan pada jaringan kebudayaan global, yang ditandai dari kemunculan modernitas, kapitalisme global, produksi massal, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi bangsa Barat, dan sekulerisasi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, globalisasi menjadi satu fenomena kebudayaan mendunia yang kehadirannya dapat dirasakan di berbagai belahan dunia manapun. Sebagai contoh, hanya dengan bantuan “si kotak ajaib” bernama televisi, seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia dapat melihat secara langsung (live) peristiwa penting yang terjadi di Hongkong, Belanda, Amerika Serikat maupun negara-negara lain. Melalui supermarket20 Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses...., 25. Era dan Teori Globalisasi 37 supermarket, seseorang dengan mudah membeli produkproduk komersial made in luar negeri tanpa perlu pergi ke negara luar yang memproduksinya. Masih banyak contoh lain yang menandai abad baru kehidupan umat manusia dewasa ini, di mana globalisasi menghadirkan kesadaran dunia yang menyatu, namun dalam praktek yang berbeda-beda; “the worldwide diffusion of practices, expansion of relations accross continents, organization of social life on a global scale, and growth of shared a global consiousness”.21 Kini globalisasi sebagaimana diungkapkan oleh Anthony Giddens, bukan sekedar soal apa yang ada “di luar sana” tetapi kenyataan riil “di sini” yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan umat manusia.22 Ia merupakan serangkaian proses sosial kompleks dalam wujudnya yang kontradiktif. Globalisasi menjadi suatu rentangan proses rumit, yang digerakkan oleh berbagai pengaruh politik dan ekonomi. Ia mengubah kehidupan sehari-hari, terutama kebudayaan di negara berkembang, dan pada saat yang sama menciptakan sistem dan kekuatan transnasionalisme baru. 23 Kenyataan dan perspektif globalisasi yang sedemikian kompleks dan luas tersebut, mennginspirasi lahirnya berbagai teori tentang globalisasi yang digagas oleh para pemikir sosial kontemporer. 21 George Ritzer, The Globalization of Nothing (Thousand Oaks: Pine Forge Press, 2004), 72. 22 Anthony Giddens, The Third Way...., 31. 23 Ibid., 38. 38 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi Untuk menfokuskan kerangka teoritik tentang globalisasi, berikut adalah perspektif globalisasi dari para pemikir sosial pemahaman mempengaruhi yang berguna komprehensif interaksi dalam bagaimana sosial pada memberikan globalisasi komunitas- komunitas lokal di seluruh dunia. Gagasan teoritis pertama dikemukakan oleh William I. Robinson yang melihat globalisasi sebagai produk kapitalisme Barat yang berkembang mendunia dengan dampak ketidakadilan sosial yang ditimbulkannya di wilayah regional, terutama di negara-negara berkembang. 24 Kemudian Anthony Giddens yang memandang globalisasi sebagai anak kandung dari modernisasi sehingga melahirkan alternatif jalan ketiga. Sebagai jalan ketiga, globalisasi memberikan alternatif sosial diantara pilihan jalan berideologi kiri (sosialisme) dan kanan (kapitalisme) dalam pertumbuhan modernitas. 25 Selanjutnya juga akan diuraikan secara detil bagaimana hubungan interaksi globalisasi dengan lokalitas dalam teori yang digagas oleh Roland Robertson, di mana globalisasi sebagai sistem dunia melahirkan glokalisasi dalam menganalisis menguatnya kebudayaan 24 Lih., William I. Robinson, A Theory of Global Capitalism: Production, Class, and State in a Transnational World (Baltimotre and London: The Johns Hopkins University Press, 2004). 25 Lihat antara lain Anthony Giddens and Cristopher Pierson, Conversation with Anthony Giddens, “Making Sense of Modernity” (CambridgeUSA: Polity Press, 1998). Era dan Teori Globalisasi 39 lokal yang berjalin kelindan dengan globalisasi. 26 Sementara dalam aspek teknologi dan hubungan dengan dunia sosial, globalisasi perspektif membantu Arjun Appadurai menganalisis tentang bagaimana perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengubah sekaligus membangun dunia sosial yang terintegrasi dalam lima lanskap terbantuknya komunitas terbayang global, dengan (maya). 27 Terakhir, terbentuknya komunitas terbayang itu diteorisasikan secara praksis oleh Thomas L. Friedman, di mana globalisasi yang menghadirkan komunitas terbayang itu melahirkan secara sosial individu dan sekelompok orang yang kreatif dalam suatu komunitas lokal. Merekalah sebenarnya yang menjadi aktor utama globalisasi di tengah dunia yang telah diratakan. Globalisasi menjadi bersifat bio-regional atau disebut globalisasi lokal.28 Namun dari kelima perspektif globalisasi tersebut, Rebecca Peters menyederhanakannya ke dalam empat pengertian.29 Pertama, globalisasi dipahami sebagai neoliberalisme. Pemahaman ini lahir dari ideologi yang mengembangkan pertumbuhan dan keuntungan 26 Lih., Roland Robertson, Mapping the Global Condition: Globalization as the Global Concept: Theory, Culture and Society, Vol. 7, (London: SAGE Publications, 1990). 27 Lih., Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”, dalam G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell Publishing, 2006). 28 Lih., Thomas L. Friedman, The World is Flat: A Brief History of Twenty-First Century (USA: Fattar, Straus and Giroux New York, 2015). 29 Rebecca Todd Peters, In Search of the Good Life: The Ethics of Globalization (New York-London: Continuum, 2004), 10-12. 40 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi perdagangan antar bangsa melalui perusahaan- perusahaan besar. Pandangan ini dikumandangkan terutama oleh mereka yang mendukung “pasar bebas”, pendukung World Trade Organizations (WTO), perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Pandangan kedua yang memahami globalisasi sebagai developmentalisme. Dalam pengertian ini pembangunan dinilai sebagai segala-galanya, sehingga gagasan-gagasan konstruktifnya sangat terkait dengan program-program yang dicetuskan oleh Bank Dunia, UNDP, USAID, dan lain lain. Dalam perspektif developmentalisme, pembangunan dilihat dari dua sisi, yaitu sisi perusahaan-perusahaan besar, pembangunan adalah setara dengan pertumbuhan ekonomi dan keprihatinan atas negara-negara belum berkembang (underdeveloped countries). Sedangkan dari perspektif rakyat kecil, pembangunan dipahami sebagai pembangunan rakyat ketika keadilan sosial bagi rakyat adalah ukuran keberhasilannya. Pandangan Ketiga, adalah yang melihat globalisasi sebagai kekuatan masyarakat kecil dalam pengembangan ekonomi, bukan lagi bertumpu pada perusahaanperusahaan besar atau transnasional, seperti McDonald, dan sebagainya. Pandangan ini disebut juga sebagai “earthism”, yaitu pengembangan ekonomi masyarakat akar rumput atau “globalisasi dari bawah,” “model bioregional” atau “lokalisasi.” Pandangan terakhir, yaitu pandangan globalisasi sebagai pasca-kolonial yang melihat globalisasi sebagai bentuk baru neo-kolonialisme. Era dan Teori Globalisasi 41 Dalam pengertian ini, perhatian lebih diberikan kepada masyarakat kecil yang merasa tercabut dari proses pembuatan keputusan yang menyangkut diri mereka sendiri. Penolakan yang dimulai dari negara-negara Selatan mulai mendapat dukungan dari mereka di negaranegara Utara lewat berbagai penolakan atas arus globalisasi dari negara-negara Utara. 2.2. Teori-Teori Globalisasi 2.2.1. William I. Robinson: Kapitalisme Global Pada tahun 1990, Presiden George Bush mengucapkan pidato di depan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang isinya menjelaskan bahwa dunia telah masuk ke dalam era baru, yaitu globalisasi. Era baru ini tercipta ketika Tembok Berlin yang dibangun Jerman Timur untuk mencegah warganya menyeberang ke Jerman Barat runtuh. Runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 memungkinkan warga Jerman Timur leluasa pergi ke Jerman Barat dan sebaliknya, sebagai tanda berakhirnya hegemoni Uni Soviet (USSR) atas Jerman Timur. Dua tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1987, sewaktu Presiden Ronald Reagen berkunjung ke Berlin (Barat) ia pernah menyerukan kepada Presiden Gorbachev, agar “Runtuhkan Tembok Berlin”. Keruntuhan memudarnya Tembok hegemoni Berlin USSR atas ini menandai negara-negara satelitnya di Eropa Timur yang berhaluan komunis. Tiga negara bagian USSR, yaitu Latvia, Lituania dan Estonia 42 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi kemudian memisahkan diri dari USSR ketika parlemenparlemen tiga negara bagian itu mendeklarasikan pemisahan dirinya secara sepihak dari USSR. Pemisahan itu terjadi tanpa ada perlawanan dari USSR setelah mendapat dukungan internasional. Dua tahun setelah itu, USSR sendiri runtuh dan digantikan Confederation of Independent States (CIS), suatu bentuk kehidupan yang hanya nama saja, karena ternyata hegemoni Rusia atas negara-negara konfederasi itu juga hilang. Lenyapnya kekuatan USSR menyebabkan dunia hanya memiliki satu kekuatan politik ekonomi, yaitu kapitalisme. Dapat dipahami kalau satu tahun kemudian dari runtuhnya Tembok Berlin, yaitu pada tahun 1990, Presiden Bush menggunakan istilah globalisasi. Globalisasi dari sisi ini memiliki pengertian suatu politik ekonomi kapitalistik yang menguasai kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Pada saat ini, kecuali Kuba, negara-negara yang pernah menerapkan politik ekonomi sosialis telah runtuh, termasuk China. Semua negara masuk dalam sistem ekonomi pasar bebas yang kapitalistik. Globalisasi dengan demikian, memiliki makna baru, yaitu kapitalisme yang telah menjadi kapitalisme global. Era ini dibayangkan secara optimistik akan bertahan minimal sekitar 60 tahunan, bahkan ada yang Era dan Teori Globalisasi 43 memperkirakan abad berikutnya akan menjadi abad kapitalisme global.30 Namun sebelum memasuki dekade kedua tahun 2008-2009, Amerika Serikat mengalami resesi ekonomi yang parah akibat spekulasi investasi industri real estate yang salah yang berakibat pada anjloknya pasar modal dan merosotnya nilai tukar mata uang dolar AS terhadap mata uang asing lain yang diikuti oleh kebangkrutan yang dialami lembaga perbankan AS dan lembaga perbankan internasional, serta bangkrutnya industri-industri besar di AS, seperti perusahaan asuransi dan industri mobil, yang dampaknya terasa ke seluruh dunia, optimisme kapitalisme global ini pun diragukan. Ketika kelemahan ekonomi satu negara, seperti AS mengakibatkan terjadinya goncangan ekonomi juga di negara-negara lain, dalam situasi ketika politik ekonomi seluruh dunia sudah menyatu, maka globalisasi telah berada pada puncak perkembangannya. Seluruh dunia telah menjadi satu secara ekonomi, dengan AS sebagai penggerak utamanya. Oleh karena itu, goncangan ekonomi yang terjadi di AS, menimbulkan goncangan juga di berbagai bagian lain dunia. Robinson menyebutnya sebagai tahapan kapitalisme global yang memuncak dengan intensive capitalism ketika kebutuhan manusia di berbagai dunia telah menjadi komoditas ekonomi, yang muncul setelah 30 John Kotter, “Cultures and Coalition”, dalam Rowan Gibson (ed.), Rethinking the Future: Bussiness, Principles, Competition, Control, Leadership, Markets, and the World, Foreword by Alvin & Heidi Toffler (London: Nicholas Brealy Publishing, 1997), 165. 44 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi perkembangan extensive capitalism berupa penyebaran kapitalisme ke berbagai belahan dunia.31 Indonesia yang mau atau tidak mau, termasuk juga ke dalam politik ekonomi kapitalistik itu tidak terkecuali terkena dampaknya. Pemberhentian buruh pabrik terjadi di mana-mana karena produksi merosot akibat melemahnya pasar di AS. Buruh menjadi korban dengan pemutusan Menariknya, hubungan kerja menghadapi (PHK) persoalan secra sepihak. ekonomi yang demikian itu, mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menyerukan perlunya dipertimbangkan kebijakan ekonomi syariah sebagai alternatif atas krisis yang sedang terjadi secara global. Kapitalisme global yang mengalami resesi seperti halnya terjadi pada tahun 1930-an, dianggap sudah tidak memadai lagi, sehingga hendak digantikan oleh perkonomian berlabel syariah. Anggapan yang ada dibalik upaya ini nampaknya adalah anggapan yang mengaitkan pengertian globalisasi sebagai suatu politik ekonomi yang ada hakikat agamanya, sehingga perlu diganti pula dengan politik ekonomi agama lain. Kenyataan ini bukanlah hanya masalah Indonesia saja. Ada kecenderungan juga untuk mempelajari sistem perekonomian Islam sebagaimana ditunjukkan oleh keinginan berbagai negara untuk mempelajari sistem ekonomi tersebut. Globalisasi dengan demikian dianggap memiliki juga arti keagamaan di 31 William I. Robinson, A Theory of Global Capitalism..., 6-7. Era dan Teori Globalisasi 45 dalamnya. Paling sedikit ia diwaspadai sebagai kenyataan dari Barat, dan kemudian Kristen. Untuk itu kebangkrutannya berarti perlu diganti oleh politik ekonomi agama lain. 32 Pertanyaan naifnya kemudian, apakah globalisasi harus dihadapi juga dengan agama? Namun Robinson berkeyakinan berbeda, globalisasi yang melahirkan kekuatan kapitalisme Barat itu dalam perkembangan sejarahnya tumbuh dalam 4 tahap sejarah.33 Tahap pertama antara tahun 1492-1789 adalah tahap peralihan dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalisme di Eropa dan ekspansi keluarnya. Era ini disebut juga sebagai era penemuan dan penaklukan yang disimbolkan dengan kedatangan Colombus di Amerika. Pada tahap ini bangsa-bangsa Barat tersebar ke seluruh dunia dan mendiami berbagai wilayah bumi dimulai sebagai minoritas pada tempat baru itu. Minoritas yang kemudian berhasil secara ekonomi ini meningkatkan statusnya menjadi yang mayoritas secara politik yang berakhir dengan pemerdekaan dirinya sebagai bangsa dan negara baru. AS adalah contoh utama dari negara dan bangsa baru pada era ini. Tahap kedua terjadi akhir tahun 1900. Pada tahap ini terjadi revolusi industri diikuti dengan munculnya kelas borjuis dan kehadiran negara-bangsa (nation state) 32 Lihat Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by Talcott Parsons (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958). 33 William I. Robinson, A Theory of Global Capitalism...., 4-5. 46 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi baru yang disimbolkan dengan keberhasilan Revolusi Perancis dan revolusi manufaktur di Inggris. Tahap ketiga yang terjadi sampai dengan awal tahun 1970-an, adalah tahap munculnya kapitalisme monopoli korporasi dengan terbentuknya satu pasar dunia bersama dan sistem negara-bangsa ketika kapitalisme telah diorganisasikan dengan baik. Kehadiran badan-badan dunia, seperti Bank Dunia, IMF, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah simbol tahap ini. Tahap keempat, yaitu tahap yang sedang dimasuki kapitalisme Barat yang didukung oleh teknologi microchips dan komputer, atau disebut pula zaman teknologi informasi, yang secara politik diikuti oleh keruntuhan sosialisme abad ke-20 M., serta kegagalan negara-negara Dunia Ketiga untuk menawarkan gerakan pembebasan sebagai alternatif bagi kapitalisme global. Tahap yang merupakan tahap perubahan dari negarabangsa ke tahap transnasional, negara tanpa batas. Ini suatu perubahan yang secara kualitatif baru dalam globalisasi. Perubahan-perubahan ini telah menempatkan kapitalisme Barat yang dimotori oleh AS itu menjadi satusatunya kekuatan politik dan ekonomi dunia, terutama ketika China Daratan yang komunis juga telah memeluk politik ekonomi kapitalistik itu, dan diikuti pula oleh Blok Eropa Timur dengan Rusia sebagai pemacu utama. Persoalannya kemudian, mengapa Amerika Serikat menjadi satu-satunya kekuatan ekonomi politik kapitalisme dunia? Apa keistimewaan Amerika Serikat, Era dan Teori Globalisasi 47 sehingga bangsa-bangsa lain di dunia harus ikut menderita akibat kapitalismenya itu? ulah para Mengutip eksekutif dengan pandangan Richard Hofstadter, Speth mengingatkan bahwa akar kapitalisme Amerika Serikat ternyata tertanam kuat pada konstitusi negara Amerika sendiri.34 Konstitusi yang menghargai sangat tinggi upaya untuk mengejar kepuasan duniawi yang sebesar-besarnya sehingga pemerintah harus melindungi hak-hak itu, termasuk di dalamnya hak milik pribadi yang pemerintah mengakibatkan untuk mendukung adanya apa kewajiban yang disebut Hofstadter sebagai timbul dan menyebarnya kapitalisme industrial di Amerika Serikat. Tugas pemerintah adalah melindungi hak dasar ini. Oleh karena itu dapat dimengerti kalau perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat, terutama setelah Perang Dunia II bergerak dengan sangat leluasa. Itulah latar belakang perkembangan kapitalisme tahap ketiga, yaitu ketika korporasi mulai menyebar menjadi korporasi transnasional. Kedudukan pada dasar konstitusional ini yang menyebabkan Amerika Serikat berkembang menjadi negara kapitalis besar. Dan dari latar belakang konstitusional itu pula dapat dimengerti ketika Presiden Bush (senior) mengungkapkan di depan Sidang Umum PBB pada tahun 1990, bahwa dunia kini 34 James Gustave Speth, The Bridge at the Edge of the World: Capitalism, The Ernvironment, and the Crossing from Crisis to Sustainability (New Haven and London: Yale University Press, 2008), 65-66. 48 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi telah memasuki era globalisasi (kapitalisme). Ini artinya dengan kapitalisme global, Amerika Serikat tampil sebagai satu-satunya negara adikuasa yang kehadirannya menimbulkan dampak yang besar bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Menurut Korten yang menganalisis pemerintahan korporasi atau transnational state dengan kapitalisme globalnya itu paling sedikit berdampak pada munculnya tiga masalah sosial utama. Pertama, semakin tingginya keyataan unemployment, penutupan berbagai perusahaan, upah di bawah merebaknya standar, dan kegelisahan sosial sebagainya. Kedua, dengan semakin meningkatnya angka kejahatan, penggunaan obat-obat terlarang, angka perceraian yang semakin tinggi, dan sebagainya. Ketiga, adalah krisis ekologi yang semakin serius. 35 Goldsmith menambahkan bahwa korporasikorporasi tersebut dengan mudah dapat memindahkan (re-locate) pabrik-pabrik mereka dari satu negara ke negara lain, termasuk negara mereka sendiri karena alasan profit untuk mendapatkan upah buruh yang lebih murah tanpa memperhitungkan akibat sosial yang harus dipikul oleh kehidupan para pekerja yang ditinggalkan. 36 Krisis-krisis yang ditimbulkan ini mengindikasikan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pranata- 35 David C. Korten, When Corporations Rule the World (London: Earthscan Publication Ltds., 1996), 18-21. 36 James Goldsmith, The Response to GATT and Global Free Trade (London: MacMillan, 1995), 37. Era dan Teori Globalisasi 49 pranata sosial, seperti demokrasi, pemerintah, dan sebagainya. 2.2.2. Anthony Giddens: Globalisasi Jalan Ketiga Manusia merupakan makhluk multidimensi yang mempunyai potensi menciptakan kreatifitas berfikir dan mengembangkan diri. Secara biologi, manusia membutuhkan berbagai fasilitas untuk menyambung kelangsungan hidup maupun habitatnya yang disebut kebutuhan. Kebutuhan manusia akan meningkat seiring dengan pertumbuhan fisiknya. Berbagai cara ditempuh oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik secara individu maupun sosial, baik kebutuhan primer maupun sekunder. Dari sini asal mula kesadaran mengenai daya produksi di masyarakat lahir, sehingga memicu perkembangan rasionalitasnya yang disebut modernisasi. Giddens mengawali uraian tentang modernisasi dengan beberapa tahapan perkembangan sejarah masyarakat sebelum mencapai puncak modernisasi. Tahap pertama, masyarakat pemburu dan berkelompok. Ciri-ciri menonjol dari masyarakat ini terkait dengan jumlah masyarakat yang cenderung kecil, ikatan sosial berprofesi sama, yaitu berburu di hutan, penangkapan ikan dan penanaman tumbuhan yang menghasilkan makanan. Klasifikasi sosial pada masyarakat ini dilihat dari segi umur dan jenis kelamin. Tahap kedua, masyarakat agraris (agrarian societies), yakni segolongan 50 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi masyarakat yang mempunyai ikatan politik yang agak luas. Ikatan politik berdampak pada peleburan perbedaan identitas. Pada tahap ini masyarakat mempunyai karakteristik bercocok tanam, dengan dikepalai oleh kepemimpinan tradisional. Namun belum menamakan wilayah kekuasaannya sebagai desa atau kota. Corak ekonomi masyarakat ini ialah berburu dan bercocok tanam dengan sistem perladangan. Tahap ketiga, pastoral societies, yakni masyarakat yang tergolong besar dan mulai tinggal di pedusunan, dan bermata pencaharian sebagai penggembala, berprofesi utama beternak hewan. Dalam kepemimpinan sosial, masyarakat pastoral societies dikepalai oleh ketua atau kepala suku. Tahap keempat, masyarakat tradisional, yakni fase masyarakat yang mulai mengalami pengikisan terhadap kebudayaan tradisional secara evolutif. Pada tahap ini, masyarakat mulai mengenal industrialisasi secara sederhana dan poros perekonomian yang bertumpu pada hasil-hasil pertanian. Kepemimpinan dalam masyarakat ini di bawah kontrol raja37. Setelah mengetahui tahap-tahap evolusi masyarakat secara historis, penting melihat proses perubahan masyarakat dari tradisional ke modern. Giddens mengidentifikasi hal itu dengan memasukkan tiga unsur utama. Yakni, tahap dari perubahan (face of change), wilayah perubahan (scope of change) dan watak dari 37 112. Anthony Giddens, Sociology 6th Edition (USA: Polity Press, 2009), Era dan Teori Globalisasi 51 kelembagaan modern (nature of modern institution)38. Apabila melihat tahapan perubahan masyarakat dari tradisional ke modern, sama halnya melihat fase dari perubahan pekerjaan masyarakat tradisional ke modern. Sedangkan untuk melihat variabel perubahan sosial, wilayah yang menjadi obyek perubahan modern menjadi bagian terpenting. Terakhir, agar dapat melakukan tinjauan kelembagaan modern, pengklasifikasian bentuk organisasi merupakan mengkategorikan institusi koridor utama berdasarkan jenis dalam dan tujuannya pada masyarakat modern.39 Sementara untuk memahami wujud modernisasi, Giddens menerangkan dalam beberapa poin. Pertama, perilaku masyarakat yang merujuk pada trend global. Tahap ini menunjukkan di mana ruang-ruang dunia menjadi mudah mempengaruhi perilaku umum masyarakat. Kedua, adanya ekonomi kompleks, terutama dalam hal produksi dan pemasaran barang seiring dengan pembentukan pasar yang bertambah luas. Ketiga, timbulnya jarak dalam institusi politik yang melibatkan negara dan masyarakat yang ditandai dari pembentukan institusi-institusi independen40. Selain itu beberapa gejala yang dipahami sebagai bagian dari globalisasi dalam pengertian modernisasi adalah pertukaran ekonomi yang 38 Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (USA: Polity Press, 1996), 6. 39 Ibid., 6. 40 Anthony Giddens and Cristopher Pierson, Conversation with Anthony Giddens....., 94. 52 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi meluas dan perserikatan kontrak politik internasional menuju pariwisata global, teknologi komunikasi dan elektronika, pola migrasi sosial, dan lebih dari semuanya, timbul gejala modernisasi, yakni masyarakat mampu berhubungan dengan masyarakat di belahan dunia lain dalam waktu yang singkat.41 Dari penjelasan di atas, secara historis modernisasi sebenarnya merupakan akar dari globalisasi yang ditandai dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu durasi waktu dengan skup area dunia yang luas menjadi dorongan kuat pertumbuhan globalisasi di mana dunia telah menjadi bagian dari rumah bagi siapa saja atau global citizens42 atau rational human control 43 . Ruang-ruang yang tersedia dalam jejaring teknologi media global yang menghubungkan masyarakat dunia menjadi bagian dari proses interaksi sosial. Hanya saja proses interaksi ini tidak berada dalam ruang nyata, tetapi dalam ruang imajinasi. Kondisi sosial ini yang disebut oleh Giddens sebagai sociological imajination44. Itu artinya terdapat pengaruh interaksional dalam dunia modernitas global. Dalam hukum sosial sebab akibat, modernitas global mempunyai pengaruh besar dalam berbagai bidang kehidupan seiring dengan Anthony Giddens, Sociology 6th....., 110. Ibid., 142. 43 S. Mestrovic, Anthony Giddens The Last Modernist (New York: Routledge, 1998), 28. 44 Anthony Giddens, Sociology 6th......., 110. 41 42 Era dan Teori Globalisasi 53 meluasnya ruang interaksi sosial yang tidak lagi dibatasi oleh tempat dan waktu. Kemunculan pengaruh tersebut lahir karena pemanfaatan fasilitas teknologi yang berkembang pesat.45 Menurut Giddens titik tekan dari globalisasi adalah konsekuensi lahirnya kapitalisme, industrialisme, kekuatan keamanan, dan militer. Dua poin pertama yang berupa kapitalisme dan industrialisme merupakan ambisi semua negara. Sedangkan dua poin terakhir, yaitu kekuatan keamanan dan militer adalah bagian dari pembentengan diri dari ancaman kekacauan global. Beberapa inspirasi yang melahirkan sikap pembentengan diri terhadap ancaman keamanan dan militer dilakukan dengan pembelajaran terhadap pengalaman masa lalu. Tidak jarang pengalaman traumatik yang bersifat violence, berpengaruh dalam membangun perencanaan dan harapan yang lebih damai di masa depan.46 Konsekuensi lain dari globalisasi adalah pilihan mengkategorikan dunia dalam ordo sosial yang dicirikan dari adanya masyarakat informasi (information societies) dan konsumeristik Mengkategorikan (consumeris masyarakat informasi societies). berarti menyandarkan sistem sosial modern yang tergantung pada perkembangan teknologi informasi yang tidak terkendali. Jika mengkategorikan masyarakat konsumeris Ibid., 117. Steven Loyal, The Sociology of Anthony Giddens (London: Pluto Press, 2003), 115. 45 46 54 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi berarti menjadikan masyarakat modern dalam struktur jaringan pasar yang memperluas konsumen produk yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Menurut Giddens, terdapat langkah perencanaan dalam merespon globalisasi, yang disebut dengan perencanaan masa depan atau colonization of the future. 47 Perlu digarisbawahi bahwa colonization of the future diartikan sebagai pengelompokan masa depan kehidupan sosial guna mencapai target-target tertentu dalam perubahan masyarakat dalam mewujudkan cita-cita sosial bersama. Proses interaksi sosial yang terjadi dalam globalisasi juga membentuk pilihan tentang gaya hidup (life style) masyarakat melalui teknologi, sehingga mendorong proses transformasi gaya hidup (transformation of lifestyle). 48 Obyek transformasi gaya hidup tidak mengenal siapa, di mana dan bagaimana, tetapi semua kalangan masyarakat. Hanya saja hal itu tergantung pada sikap yang diambil oleh masyarakat, apakah menolak atau sebaliknya menerima. Pada pihak lain, individu sebagai bagian terkecil dari masyarakat mempunyai peran besar dalam proses perubahan. Individu tidak lagi dapat menghindarkan diri dalam dinamika dunia yang terus berubah. Karena dalam bahasa Giddens, globalisasi juga menciptakan global world. 49 Dalam cengkeraman Ibid., 120. Ibid., 118. 49 Ibid., 115. 47 48 Era dan Teori Globalisasi 55 global world, individu menjadi agen terkecil dari perubahan dunia. Dalam perspektif identitas, modernisasi global membawa konsekuensi pada kemurnian hubungan (pure relationship), pelibatan (involve), komitmen (commitment) dan tuntutan kesetiaan (demands for intimacy) masyarakat.50 Jika dilihat dari keempat poin itu, interaksi masyarakat terhubung oleh identitas sosialnya. Konsep kemurnian hubungan (pure relationship), misalnya akan membentuk pondasi awal identitas individu pada kelompok di mana ia bertempat tinggal dan bergabung dengan kelompoknya. Setelah bergabung, tuntutan melibatkan diri (involve) dilakukan individu dalam berperan secara sosial. Bersamaan itu, komitmen (commitment) terhadap peraturan, nilai maupun norma yang disepakati kelompok dijalankan oleh individu, yang selanjutnya melahirkan kesetiaan (demands for intimacy) pada cita-cita yang dicapai bersama.51 Giddens juga melihat globalisasi sebagai proses dua arah yang saling mempengaruhi. Meskipun globalisasi didominasi oleh kekuatan Barat pada umumnya, dan Amerika khususnya dengan keempat unsur pokok yang diusung oleh kekuatan globalisasi itu. Namun keduanya juga dipengaruhi oleh globalisasi itu sendiri. Desentralisasi atas globalisasi memberikan peluang dan peran bagi bangsa-bangsa di luar Barat. Pada satu sisi 50 51 Ibid., 118. Ibid., 119. 56 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi globalisasi dominasi melemahkan kebudayaan kebudayaan Barat. Namun lain melalui di sisi lain, globalisasi juga menghidupkan kebudayaan lokal, ia menjadi faktor utama kebangkitan identitas lokal di berbagai belahan dunia. Giddens memberi contoh peristiwa orang-orang Skotlandia yang menghendaki kemerdekaan yang lebih besar dari Monarkhi Inggris, dan kemunculan gerakan sparatis di Quebech. Bagi Giddens, nasionalisme lokal merebak sebagai respon terhadap globalisasi.52 Globalisasi juga berdampak menekan ke samping, menciptakan zona-zona ekonomi dan kebudayaan baru dalam hubungan antarbangsa. Sebagai contoh, regio Hongkong, Italia Utara, Lembah Silikon di California, Barcelona di Spanyol hingga Perancis dan Catalona. Giddens menyebut fundamentalisme timbul dengan benturan kosmopolitanisme. antara 53 Oleh karena itu kosmopolitanisme, bahkan kekuatan utama yang menentangnya, yaitu fundamentalisme merupakan produk globalisasi itu sendiri. Gerakan fundamentalisme juga memanfaatkan kekuatan global, seperti media massa dalam memperluas tujuan-tujuannya, dengan mengambil berbagai bentuk identitas, seperti agama, etnis, nasionalisme dan politik. Namun apa pun bentuk identitasnya, gerakan fundamentalisme tetap menjadi Anthony Giddens, Runway...., 192. George Ritzer & Dauglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Alimandan (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 591592. 52 53 Era dan Teori Globalisasi 57 problem krusial globalisasi, karena ia dekat dengan perilaku kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai perdamaian pada kosmopolitanisme global.54 Oleh karena itu dalam merespon globalisasi, Giddens telah merumuskan alternatif yang ia beri nama “Jalan Ketiga”. Pada tanggal 21 September 1998, ia bersama dengan Tony Blair, Perdana Menteri Inggris dan Presiden AS, Bill Clinton menggelar seminar tentang gagasan Jalan ketiga. Program Jalan Ketiga meliputi negara demokrasi baru, kekuasaan pusat yang radikal, civil society yang aktif, keluarga yang demokratis, ekonomi campuran baru, kesamaan sebagai inklusi, kesejahteraan positif masyarakat, social investement state, bangsa kosmopolitan, dan demokrasi kosmopolit.55 Bagi Giddens, Jalan Ketiga akan mendorong globalisasi menjadi jembatan interaksi manusia di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas, sehingga apa yang terjadi di suatu tempat juga terhubung dengan peristiwa di tempat lain dalam jarak yang bermil-mil.56 2.2.3. Roland Robertson: Globalisasi Sebagai Glokalisasi Teori Robertson tentang globalisasi terfokus pada ide glokalisasi lawan dari globalisasi. Glokalisasi adalah Ibid., 592. Anthony Giddens, The Third Way...., 36-37. 56 Annabelle Sreberny, “The Global and the Local in International Communications”, dalam M.G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Culturul Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006), 605. 54 55 58 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi proses integrasi antara “yang global” dan “yang lokal” yang menekankan keberagaman yang semakin meningkat terkait dengan percampuran unik (hibrid) antara globalitas dengan lokalitas. Robertson menjelaskan empat unsur penting globalisasi yang melahirkan glokalisasi, yaitu: 1. Dunia tumbuh semakin pluralistik. Teori glokalisasi sangat sensitif terhadap perbedaan di dalam dan diantara wilayah-wilayah dunia. 2. Individu dan kelompok-kelompok lokal mempunyai kekuasaan besar menyesuaikan diri, memperbaharui, dan melakukan manuver dalam dunia yang glokal. Teori glokalisasi melihat individu-individu dan kelompok-kelompok sebagai agen penting dan kreatif. 3. Proses-proses sosial adalah berhubungan dan saling tergantung. Globalisasi membangkitkan berbagai aksi umpan balik dari kubu nasionalis atau etnis sehingga menghasilkan glokalisasi. 4. Komoditas-komoditas dan media, arena dan kekuatan kunci dalam perubahan budaya pada akhir abad ke20 dan awal abad ke-21 M, tidak dilihat sebagai kekuatan yang memaksa, namun sebagai penyedia materi untuk dimanfaatkan dalam kreasi individual dan kolektif pada seluruh wilayah dunia yang terglokalisasi.57 57 Ashad Kusuma Djaya, Teori Teori Modernitas..., 122. Era dan Teori Globalisasi 59 Jadi glokalisasi merupakan konsep integrasi yang mengandung relasi glokal-global, homogenisasi- heterogenisasi, yang menekankan pentingnya yang glokal dan eksistensi heterogenitas. Dalam definisi lain adanya interpenetrasi global dan lokal yang menghasilkan keluaran unik dalam ruang geografis yang berbeda. Sementara globalisasi menekankan pada ambisi imperialistik negara, korporasi, organisasi yang melihat kekuasaan, pengaruh dan pertumbuhan keuntungan ekonomi, yang mengandung variasi subproses dari tiga hal, yaitu kapitalisme, Amerikanisasi, dan McDonaldisasi.58 Ini berarti globalisasi merupakan modernisasi yang menekankan pertumbuhan kemampuan dunia, khususnya organisasi kapitalistik dan negara modern dalam meningkatkan kekuasaan di seluruh dunia, menciptaan ekspansi transnasional dan praktek homogenitas. Sementara glokalisasi mengandung interaksi antara budaya global yang masuk dan budaya lokal untuk menghasilkan bentuk baru, pencampuran variasi kebudayaan (heterogenitas). Dalam kehidupan politik, glokalisasi juga melahirkan ide “jihad”, yakni perlawanan atas kekuatan politik yang menolak ide “McWorld”. Untuk 58 Hubungan imperialisme ekonomi dan globalisasi tampak lebih nyata setelah penaklukan orang-orang Eropa ke benua Amerika sehingga melahirkan ideologi Amerika yang membentuk hegemoni dunia; yang dilihat sebagai sumber kemajuan kehidupan materi yang digabungkan dengan kemajuan moral, praktek demokrasi dan perdamaian universal. Bdk., Ali Sugiharto, dkk., Globalisasi Perspektif...., 55; Martin Wolf, Globalisasi Jalan Meunju Kesejahteraan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 26. 60 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi lebih jelasnya, perbedaan antara glokalisasi dengan globalisasi dapat disarikan dalam uraian berikut.59 a) Glocalization Kata glokalisasi (glocalization) identik dengan heterogenitas, yaitu suatu istilah yang menekankan perbedaan karakteristik pluralitas dalam glokalisasi, dan sama sekali kontras dengan homogenitas yang mendampingi globalisasi. Bentuk dari glokalisasi adalah hybridization yang menggabungkan antara yang global dengan lokal. Namun berbeda dengan istilah uniformity yang melekat pada globalisasi yang berarti penyeragaman. Hibrid mengkombinasikan dua atau lebih elemen dari kebudayaan yang berbeda sehingga menghasilkan percampuran kebudayaan. Sebagai contoh adalah seorang Argentina yang melihat pertunjukan musik Rap Asia dinyanyikan oleh band Amerika Serikat di Bar yang dimiliki oleh warga Arab Saudi. Sinonim lain dari glokalisasi adalah creolization. Istilah creole menunjuk pada individu yang mempunyai ras campuran, contohnya adalah kombinasi dua bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, disebut creolization of languange. Lawan dari creolization adalah purification.60 Dalam kontek interaksi sosial, glokalisasi memberikan kemampuan adaptasi dan inovasi kreatif dalam berkontekstualisasi sosial. Individu dan kelompok 59 60 George Ritzer, The Globalization of Nothing....., 77. Ibid. Era dan Teori Globalisasi 61 menjadi agen perubahan, bahkan mampu menciptakan relasi sosial yang bersifat satu kesatuan dalam perbedaan, dengan menggunakan secara efektif media dan teknologi canggih ketika melakukan perubahan. Robertson menunjuk perubahan itu dapat dilakukan melalui proses bottom up yang memiliki pengaruh secara global. Dengan perspektif ini, globalisasi bukan proses tunggal, melainkan proses yang mendorong kekuatan lokal mempengaruhi lingkungan global, yang disebut glokalisasi.61 Glokalisasi atau disebut proses globalisasi dari bawah terjadi dalam wujud ekspresi kebudayaan yang berbeda-beda, menggunakan di jaringan mana kelompok teknologi informasi lokal dan komunikasi, seperti media internet untuk terlibat intensif dalam kampanye-kampanye global.62 b) Globalization Kata globalisasi pandangan dunia (globalization) merujuk pada yang semakin tunggal akibat memudarnya batasan tempat dan waktu. Dunia dibangun dalam kesamaan sehingga kehilangan perbedaan. Interaksi antara kelompok kehilangan daya kreatif dan inovatifnya sebagai terglobalkan yang konsekuensi dari dunia lahir satu kebudayaan. dari yang Kemampuan interaksi individu dan kelompok akibat 61 Jim Ife & Frank Tesoriero, Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, diterjemahkan oleh Sasrtrawan Manullang, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 378-379. 62 Ibid., 380-390. 62 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi globalisasi mengalami determinasi seiring arus penyeragaman kebudayaan di seluruh dunia. Ini artinya globalisasi menjadi subproses pembaratan dari kapitalisme, McDonaldization, dan Americanization yang mempunyai ciri homogenization, purification. Tujuan globalisasi uniformity, adalah dan penyebaran ideologi Amerika ke masyarakat dunia, sehingga menjadi bersifat kapitalistik, lebih Amerika, terasionalisasi, terkodifikasi, dan terbatas ruang geraknya. 63 Selanjutnya bagi Robertson, globalisasi tidak dapat disederhanakan sebagai peningkatan tingkat kesalinghubungan kebudayaan yang bersifat subyektif. 64 Robertson menganggap globalisasi juga sebagai fenomena sejarah pra-modern dan peningkatan kapitalisme; yang kemunculannya dimulai sejak dunia belum memasuki zaman modern dan terus bergerak sampai kini. Oleh sebab itu, ia membagi kemunculan globalisasi dalam lima tahapan sejarah, yakni sejak pra-modern hingga era kapitalisme, yaitu : 65 1) Fase pertama pada tahun 1400-1750 adalah awal mula globalisasi yang ditandai oleh peningkatan peran dan kekuasaan Gereja Katolik Roma dan perluasan sistem kalender Gregorian. Pada fase ini, 63 Bdk., Geroge Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern...., 564-566; Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses...., 10. 64Agus Kristiawan, “Globalisasi Pernahkah Kalian Merasakan?”, dalam http://www.kristiawan.blogspot.com. Diunduh pada tanggal 1 Juni 2014. 65 A. Safril Mubah, Perkembangan Proses Globalisasi (Surabaya: Universitas Airlangga, tt.), 2-3. Era dan Teori Globalisasi 63 pertumbuhan negara bangsa dan penguatan komunitas nasional semakin menemukan bentuknya secara lengkap. Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 yang menjadi tonggak penting lahirnya negarabangsa turut memberi kontribusi bagi penguatan negara-negara bangsa pada waktu itu. 2) Fase kedua pada tahun 1750-1875 ditandai oleh peningkatan internationalism. Negara bangsa yang mulai terbentuk pada fase sebelumnya telah terbangun kokoh pada fase ini. Negara-negara menemukan identitas dan postur kuatnya sehingga mulai aktif menjalin hubungan satu sama lain. 3) Fase ketiga pada tahun 1875-1925 merupakan penemuan alat-alat komunikasi baru serta peningkatan hubungan ekonomi dan transportasi antarnegara. Penemuan alat radio, telepon dan pesawat terbang menunjukkan peradaban umat manusia semakin progresif, sehingga memungkinkan masyarakat terhubung dan berkomunikasi secara cepat. Bersamaan dengan itu, koneksi kebudayaan antara masyarakat dari negara yang berbeda kian erat dan terbentuk. 4) Fase keempat pada tahun 1925-1969 menjadi saksi penemuan atom dan lahirnya Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dengan jaringan yang mengglobal. Penemuan atom merupakan pertanda kemajuan ilmu pengetahuan dan penyalahgunaannya teknologi. yang Terlepas dari menghancurkan kota 64 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi Nagasaki dan Hiroshima pada masa Perang Dunia II, atom tetap mengakselerasi kemajuan umat manusia. Di luar itu, terbentuknya PBB yang menguatkan hubungan antarnegara dalam suatu wadah. Ini artinya hubungan antarnegara menjadi intensif setelah PBB berdiri. 5) Fase kelima pada tahun 1969-1992 menghadirkan aneka perubahan yang mendorong kemajuan global. Pada fase ini, untuk pertama kali manusia mampu mendarat di bulan, eksplorasi luar angkasa gencar dilakukan, perang dingin berakhir, dan institusiinstitusi global bermunculan. Isu-isu baru, seperti hak asasi manusia, ras, gender, seksualitas, pluralisme agama, dan etnisitas mencuat ke permukaan dan menjadi perdebatan akademik di seluruh dunia. Pada perkembangan sejarah globalisasi, Robertson menambahkan fase keenam yang dimulai setelah tahun 1992 dan masih berjalan hingga kini. Fase ini merupakan era ketidakpastian global yang ditandai dari kemunculan penyakit-penyakit baru yang menyerang umat manusia, seperti AIDS, kerusakan lingkungan, dan juga peningkatan ide-ide multikulturalisme, pertumbuhan gerakan Islam fundamentalistik, dan kebangkitan isu-isu etnisitas.66 Dengan demikian bagi Robertson, analisis globalisasi terfokus pada studi ilmu-ilmu sosial. Ia dilihat 66 Ibid., 2-3. Era dan Teori Globalisasi 65 sebagai fenomena masyarakat dunia yang dapat menjadi obyek studi yang luas, meliputi ilmu sosial, politik, hubungan internasional, ekonomi maupun kebudayaan yang terkoneksi.67 Dalam kontek kebudayaan, Robertson melihat globalisasi memicu penguatan identitas lokal di ruang publik yang disebut glocalization sebagaimana diuraikan di atas. Gejala penguatan identitas pada kebudayaankebudayaan lokal lahir sebagai bagian dari pengobat rasa rindu dengan “lingkungan rumah” yang dulu pernah dilalui. 68 Identitas lokal menguat di tengah meluasnya peran media informasi dan kontestasi dengan budayabudaya baru. Dampak dari kontestasi budaya, adalah adanya penguatan identitas lokal, atau sebaliknya secara ekstrim membiarkan identitas lokal tergerus seiring dengan dominasi budaya-budaya baru yang muncul. Penguatan identitas di tengah globalisasi merupakan wujud kekuatiran kehilangan situasi masa lampau yang termemori dalam diri individu maupun kelompok, yang kemudian melahirkan ekspresi identitas. Ekspresi identitas muncul dalam rupa tradisi-tradisi dan kebudayaan lokal yang menyejarah di masyarakat. Jaringan globalisasi yang terkoneksi seperti buntalan benang yang kompleks memberikan pengaruh signifikan Roland Robertson, “Mapping the Global Condition...., 20. Richard Giulianotti, and Roland Robertson, “Glocalization, Globalization and Migration: The Case of Scottish Football Supporters in North America”, International Sociology, March 2006, Vol. 21 (London: Sage Publications, 2006), 171-198. 67 68 66 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi dalam membentuk ekspresi identitas, tradisi dan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat.69 Robertson juga menganalisis globalisasi merupakan tatanan satu tempat atau a single place,70 yaitu struktur masyarakat dunia yang menyatu tanpa dinding pembatas, tanpa sekat antara satu tempat dengan tempat lain. A single place merupakan tata hubungan antara kondisi lokal dengan situasi global (Local-global nexus), atau kondisi global dan situasi lokal (global-local nexus) yang saling terhubung. 71 Ini artinya ruang-ruang lokalitas terkoneksi menjadi bagian dari ruang globalitas. Sebaliknya ruang globalitas menjadi bagian dari lokalitas dalam interaksi kebudayaan yang saling mempengaruhi. Keterhubungan antara yang lokal dengan global mendorong dunia menjadi satu tempat yang tidak mempersoalkan lagi perbedaan jarak, batasan ruang dan selisih waktu dalam berinteraksi. Dalam ruang-ruang publik yang dipandang sebagai sistem dunia, globalisasi mendorong lahirnya tanggung jawab bersama mengenai masalah-masalah kemanusiaa (Communal-spaces world system global-human). 72 69 Roland Robertson, “Globalization Theori and Civilizational Analysis”, Comparative Civilizations Review, 1987, 21, Downloaded onjournals.lib.byu.edu. Diunduh pada tanggal 12 Januari 2015. 70 John Tomlinson, “Globalization and Culture”, Paper was Presented at University of Nottingham Ningbo China (UNNC) Research Seminar Series 2006-2007” (Publication on IAPS website), 2. Diunduh pada tanggal 12 Januari 2005. 71 Roland Robertson, “Mapping the Global Condition....., 21. 72 Roland Robertson, Globalization Theori and Civilizational Analysis...., 23-25. Era dan Teori Globalisasi 67 Tanggung jawab kemanusiaan mengandung arti bahwa masalah kemanusiaan berskala lokal menjadi bagian dari problem kemanusiaan global, begitu juga sebaliknya, seperti penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaan yang menguat seiring dengan tantangan yang dihadapi. Globalisasi juga menjadi pendorong terbesar bagi pergeseran sistem sosial pada skala lokal maupun global yang melahirkan perubahan. Perubahan atau moved menjadi bagian perubahan individu maupun kelompok dalam memperluas interaksi kemanusiaannya untuk menjadi bagian dari individu atau kelompok lain, tidak sekedar menjadi it self atau dirinya sendiri73 Ini artinya dampak globalisasi telah menciptakan hubungan internasional antar individu atau kelompok dalam membangun etika kemanusiaan bersama (individuals and of humankinds).74 Dengan etika kemanusiaan bersama, penghargaan atas hak-hak pribadi (personal humanright) dan kelompok tidak terjatuh dalam dehumanisasi. 2.2.4. Arjun Appadurai: Globalisasi dan Komunitas Terbayang Proses hibridisasi budaya yang dibawa oleh globalisasi juga ditemukan pada pandangan Arjun Appadurai, dengan munculnya lima aliran global, yaitu ethnoscape, mediascape, technoscape, financescpae, dan idioscape. Kelima aliran globalisasi itu berinteraksi secara 73 74 Roland Robertson, “Mapping the Global Condition...., 23. Ibid., 25. 68 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi cair, tidak teratur (irreguler) dan variatif.75 Appadurai melihat scape-scape pada aliran globalisasi pada akhirnya dikonstruksi oleh individu melahirkan “Komunitas atau kelompok Terbayang”. yang Komunitas terbayang muncul berdasarkan situasi politik, linguistik, dan historis dari beragam aktor yang menyusun formasi sosial, seperti agen negara-bangsa, multinasional, komunitas diasporik, dan kelompok subnasional. 76 Sedikitnya terdapat lima landscape yang melahirkan komunitas terbayang, yaitu : a) Ethnoscape meliputi berbagai kelompok dan individu yang bergerak mobile dan memainkan peran penting dalam dunia yang terus berubah. Hal ini meliputi pergerakan sebenarnya dan berbagai imajinasi pergerakan. Pada satu dunia yang terus berubah, individu-individu tidak sanggup membiarkan imajinasi mereka berhenti terlalu lama, dan oleh sebab itu mereka terus menerus menghidupkan imajinasi dunia. b) Technoscape adalah konfigurasi-konfigurasi global yang senantiasa cair dari perkembangan teknologi informasi yang bersifat mekanik, yang tinggi dan rendah, dan berupa sederetan bahan-bahan informasi (file-file unduhan, email, dan lain-lain) yang bergerak begitu bebas dan cepat di seluruh dunia untuk diakses semua orang. Ia melintasi pembatasan75 76 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern...., 598. Ibid. Era dan Teori Globalisasi 69 pembatasan yang dulu tidak dapat dilalui pergerakan tersebut. c) Financescape meliputi proses-proses pergerakan uang lintas bangsa, dalam jumlah yang besar dan perputaran uang dengan kecepatan yang tinggi melalui spekulasi komoditas, pasar mata uang, bursa saham nasional, dan semacamnya sebagai bagian dari transaksi komoditas global. d) Mediascape meliputi kemampuan elektronik yang menghasilkan dan menyebarluaskan informasi dan berita ke seluruh dunia dan citra-citra dunia yang diciptakan dan disebarkan oleh media elektronika. Internet dan stasiun televisi atau radio merupakan ujung tombak mediascape. e) Ideoscape seperti mediascape adalah kumpulan citracitra sosial. Tetapi sebagian besar terbatas pada citracitra politik yang diproduksi oleh negara dan sejalan dengan ideologi masing-masing. Citra-citra dan kontra-ideologi dihasilkan oleh gerakan-gerakan yang berusaha menggantikan kekuasaan, atau setidaknya memperoleh sedikit dari kekuasaan.77 Dengan demikian, menurut Appadurai, globalisasi yang berbasis utama pada ketergantungan pada teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan tata sosial baru yang disebut komunitas terbayang, yakni komunitas yang hidup dalam ketergantungannya pada dunia maya; 77 Ashad Kusuma Djaya, Teori-Teori Modernitas...., 126; Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference....., 589. 70 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi di mana individu dan kelompok berinteraksi dengan memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi dalam lanskap global. Interaksi di dunia maya mendorong tumbuhnya komunitas yang melakukan mobilitas yang terus berubah dalam mengembangkan dunia imajinasinya. Bagi Appadurai, dalam kontek interaksi sosial terbentuknya komunitas terbayang, paling tidak ditentukan oleh kelima scape yang berbeda. Namun bukan berarti kelima scape itu saling terpisah. Kelima scape dapat saling terkait dan terhubung dengan tingkat elastisitas yang berbeda-beda, tergantung pengaruh dari beragam faktor, seperti kelompok, negara, multinegara, komunitas diaspora, migrasi, agama, dan budaya.78 Pada satu komunitas, misalnya bisa jadi hanya menggunakan dua lanskap (scape) pada jaringan teknologi informasi dan komunikasi ketika membangun dunia sosialnya, seperti pemanfaatan technoscape dan media scape. 2.2.5. Thomas L. Friedman: Globalisasi Lokal Menurut Friedman, globalisasi yang diartikan sebagai dunia tanpa tapal batas (borderless world) semakin menjadi nyata wujudnya. Apapun dapat diselesaikan di tempat yang jauh di luar batas negaranya, dunia menjadi diratakan pada abad 21 M. ini oleh sekatsekat pembatas dunia itu sendiri. Namun dalam 78 Ibid. Era dan Teori Globalisasi 71 rentangan argumen sejarah yang menghasilkan dunia yang telah diratakan, globalisasi jika dirunut lahir dalam tiga gelombang sejarah, yaitu globalisasi versi pertama yang berlangsung sejak 1492 ketika Columbus membuka perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru hingga sekitar tahun 1800. Pada masa ini, negara maupun pemerintah yang biasanya dipicu oleh imperialisme atau gabungan keduanya agama, mendobrak dinding pembatas dan menjalin dunia menjadi satu hingga terjadi penyatuan global oleh ekspansi bangsabangsa Barat. Penyatuan global ini melihat dunia yang semula berukuran besar menjadi berukuran menengah.79 Kedua, globalisasi versi kedua yang berlangsung dari sekitar tahun 1800 hingga 2000 dengan diselingi oleh masa depresi besar dan meletusnya Perang Dunia I dan II. Pelaku utama dalam proses penyatuan global versi kedua adalah perusahaan multinasional. Perusahaan- perusahaan ini mendunia demi pasar dan tenaga kerja yang dipelopori oleh Belanda dan Inggris sejak timbulnya revolusi industri di Eropa. Proses penyatuan global dimotori dengan jatuhnya biaya transportasi berkat kemajuan mesin uap, kereta api dan jatuhnya biaya telekomunikasi berkat telegraf, telepon, PC, satelit dan serat optic dan w.w.w. (world wide web). Kekuatan di balik globalisasi masa ini adalah terobosan di bidang perangkat keras berawal dari kapal uap dan kereta api 79 Thomas L. Friedman, The World is Flat...., 9. 72 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi sampai telepon dan komputer, sehingga dunia yang berukuran menengah menjadi diratakan semakin kecil.80 Ketiga, globalisasi versi ketiga yang dimulai sekitar tahun 2000. Motor penggerak globalisasi versi ini adalah kekuatan baru yang ditemukan untuk bekerjasama dan berkompetisi secara individual dalam kancah global. Proses penyatuan global masa ini memberdayakan, dan melibatkan individu serta kelompok kecil di seluruh dunia sebagai aktor global dalam ‘tatanan dunia yang datar’ (flat-world platform) yang menggantikan aktor globalisasi versi pertama dan kedua yang dikendalikan Eropa dan Amerika.81 Friedman juga menjelaskan 10 peristiwa yang menyebabkan dunia menjadi datar atau diratakan oleh momentum sejarah, yaitu Pertama, keruntuhan Tembok Berlin di Jerman pada tahun 1989 yang mempengaruhi kekuasaan di seluruh dunia ke arah pemerintahan demokratis, berlandaskan konsensus dan berorientasi pada pasar bebas, serta meninggalkan dukungan terhadap pemerintahan otoriter. Kejadian ini mendorong dunia dilihat sebagai sesuatu yang utuh tanpa sekat. Dunia tidak lagi dilihat sebagaimana di masa perang dingin yang tersekat ke dalam dua blok ekonomi-politik; komunis dan kapitalis.82 Ibid., 9-10. Ibid., 10-11. 82 Ibid, 48-55. 80 81 Era dan Teori Globalisasi 73 Kedua, kemunculan Netscape yang menghidupkan internet yang mudah diakses oleh siapapun. Semakin internet dihidupkan, semakin beragam individu di seluruh dunia melakukan banyak hal di web. Ketiga, kehadiran Perangkat Lunak Alur Kerja (work flow software) yang mendunia sebagai revolusi sunyi yang tidak disadari oleh kebanyakan orang. Padahal revolusi sunyi ini mendorong lebih banyak individu di berbagai tempat untuk merancang, mempertunjukkan, mengelola dan berkolaborasi menangani data bisnis. Pekerjaan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok mengalir lebih cepat, baik pekerjaan yang dilakukan di dalam maupun antar perusahaan, antar negara, bahkan antar benua.83 Keempat, kehadiran Perangkat Lunak Karya Komunitas (open sourcing) yang mendorong banyak orang menawarkan opini dan kabar mereka di web, mengantikan surat kabar manual, menulis ensiklopedia mereka sendiri lalu meng-upload-nya ke dunia internet. Mereka bahkan dapat menawarkan lagu, video, puisi dan komentar mereka sendiri ke seluruh dunia yang terglobalkan. Kelima, outsourcing. Friedman berargumen outsourcing mengijinkan perusahaan-perusahaan untuk membelah layanan dan manufaktur menjadi komponen per komponen dalam cara paling efisien dan biaya yang efektif. Setiap layanan, call center, operasi pendukung bisnis atau pengetahuan yang diubah ke dalam bentuk 83 Ibid, 56-103. 74 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi digital dapat dilimpahkan secara global kepada siapa pun yang mampu memberi layanan yang murah, pandai, dan efisien. Keenam, offshoring, yakni pengadaan pabrik di negara lain yang dapat dilakukan dengan biaya operasi minimal, pajak lebih rendah, energi tersubsidi, namun tetap menghasilkan kualitas produk yang sama di negara pusat pabrik itu berada. Friedman mengilustrasikan politik terbuka yang dilakukan negara China pada masa sekarang setelah menyetujui kesepakatan dalam World Trade Organization (WTO), merupakan bentuk offshoring paling kentara yang menyebabkan banyak perusahaan berlomba-lomba memindahkan produksi mereka ke negeri China untuk diintegrasikan ke mata rantai pemasok global.84 Ketujuh, Supply-Chaining atau rantai pemasok adalah cara berkolaborasi secara horisontal, antara pemasok, pengecer, dan konsumen dalam menciptakan nilai keuntungan. Rantai pemasok ini di satu sisi dimungkinkan oleh adanya pendataran dunia, namun di sisi lain sekaligus menjadi pendatar dunia yang berpengaruh. Terkait hal tersebut, maka kian banyak mata rantai pemasok, kian besar pula tekanan atas terbentuknya keseragaman standar atas perusahaan, sehingga setiap mata rantai pemasok yang satu dapat bersesuaian dengan mata rantai yang lain. Efisiensi mata rantai pemasok perusahaan ini kemudian ditiru oleh 84 Ibid., 103-127. Era dan Teori Globalisasi 75 perusahaan lain, sehingga semakin besar peluangnya untuk melakukan kolaborasi. Kedelapan, insourcing yang hadir di saat dunia semakin datar dan kecil, akan tetapi mampu bertindak dalam skala besar. Sebagai sistem komprehensif, insourcing diilustrasikan sebagai sistem yang dikembangkan oleh layanan UPS, yang saat ini tidak hanya berperan sebagai perusahaan ekspedisi yang menangani logistik namun juga sebagai perusahaan substitusi bagi perusahaan lain sebagai upaya memberikan pelayanan optimal dan cepat. Saat ini UPS memberi fasilitas pelayanan dan perbaikan bagi berbagai produk terkenal dunia, seperti pizza Papa John’s, Nike, HP, Jockey, Plow & Hearth, serta Eskew. Insourcing muncul menjawab tantangan dunia yang menjadi “datar” untuk mengefisiensikan proses menjual, memproduksi atau membeli bahan baku dalam berkolaborasi yang kian meratakan dunia.85 Kesembilan, informing, yaitu analogi pribadi perorangan untuk uploading, outsourcing, insourcing, supply-chaining, dan offshoring. Informing merupakan kemampuan untuk menggunakan rantai pemasok pribadi, seperti rantai pemasok informasi, pengetahuan dan hiburan. Informing adalah kolaborasi diri menjadi peneliti, editor, dan penikmat hiburan swakarsa dan swadaya tanpa harus pergi ke perpustakaan, bioskop atau melalui jaringan televisi. Semua individu dan kelompok 85 Ibid., 128-150. 76 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi secara kreatif dapat terlibat dengan mudah menggunakan informing. Kesepuluh, nirkabel, yaitu teknologi yang memperkuat dan mempercepat semua pendatar lain. Teknologi ini mengambil semua bentuk kolaborasi yang disorot di bagian ini, seperti outsourcing, offshoring, uploading, supply-chaining, insourcing, informing. Selain itu, teknologi nirkabel mendorong individu melakukan semua itu dengan cara digital, bergerak visual dan personal. Suatu dunia yang datar dengan sistem rantai pemasok global membutuhkan dan luas, pada perimbangan perusahaan-perusahaan global akhirnya kekuatan dengan tetap antara komunitas- komunitas independen yang beroperasi di tingkat lokal. Kekuatan perimbangan ini menjadi penting karena sistem kapitalisme besar tidak akan memenangkan dirinya sendiri sebagai perusahaan raksasa, tanpa dukungan komunitas lokal yang menjadi penyokong terciptanya rantai pemasok perusahaan dalam dunia yang semakin rata.86 Menurut diuraikan di Friedman, atas kesepuluh berdampak pendatar menghasilkan yang tiga konvergensi global di mana dunia mulai menyatu dan saling mendukung sehingga menciptakan lapangan permainan baru yang semakin datar yang disebutnya konvergensi pertama. Sedangkan konvergensi kedua, sejalan dengan terbentuknya lapangan permainan ini, 86 Ibid., 150-172. Era dan Teori Globalisasi 77 baik dunia usaha maupun perorangan mulai mengambil kebiasaan, ketrampilan, dan proses yang baru untuk memanfaatkannya secara maksimal dan kreatif. Semua bergeser dari cara penciptaan nilai yang umumnya bersifat vertikal menjadi horizontal. Penyatuan lapangan permainan bisnis dan aktivitas beserta cara-cara berlaku baru di dalamnya, ikut semakin mendatarkan dunia. Akhirnya konvergensi ketiga, ketika pendataran dunia ini terjadi, sekelompok orang baru dari China, India dan bekas Uni Soviet yang beberapa miliar jumlahnya, misalnya ikut memasuki lapangan permainan yang datar. Berkat dunia datar beserta perangkatnya, mereka semua dengan cepat bisa tancap-kerja (plug and play), bersaing, terkoneksi dan berkolaborasi dengan semua orang secara lebih langsung, murah, dan kuat.87 Namun proses pendataran dunia dengan ketiga konvergensinya itu juga memunculkan perasaan kuatir bahwa globalisasi tetap dipandang sebagai proses Amerikanisasi ke seluruh dunia. Kekuatiran ini timbul karena adanya anggapan bahwa aneka pabrik, penyedia layanan, merek, pembuat film, penyanyi, penghibur, perancang busana, serta jaringan restoran fast food dari Amerika berada di posisi terbaik untuk mendapatkan keuntungan dari dunia yang telah diratakan oleh sepuluh peristiwa monumental itu. Namun dalam perpektif kebudayaan lokal, “dunia yang telah rata” itu tidak serta 87 Ibid., 173-200. 78 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi merta memberikan jalan yang lapang bagi penyeragaman kebudayaan, melainkan berpotensi menumbuhsuburkan keanekaragaman budaya. Ini artinya melalui ke sepuluh pendatar yang mendorong globalisasi menjadi bersifat horisontal, menyebabkan dunia kian terkonvergensi sekaligus memberikan peluang kebudayaan lokal dapat hidup dan terlestarikan. Sebagai contoh, sekalipun banyak individu telah tercabut dari akar budaya lokalnya dengan bermigrasi dari negara berkembang ke negara Barat, mereka dapat mengambil manfaat dari mendatarnya dunia ini, untuk tetap berpegang pada banyak aspek kebudayaan lokal mereka sendiri. Berkat kemungkinan membaca surat kabar lokal secara online; berkomunikasi dengan keluarga dan kolega melalui teknologi pengiriman suara, dan jaringan internet dari tempat-tempat yang jaraknya jauh. Dengan demikian, kekuatan globalisasi yang telah memberi warna dan spesifikasi yang bersifat lokal atau disebut “lokalisasi” ini setara kekuatannya dengan penyeragaman dunia yang terglobalkan. 2.3. Agama, Budaya dan Globalisasi Berbagai pengertian dan pemahaman terhadap istilah dan konsep globalisasi tersebut menarik, karena ia menunjukkan suatu dinamika dari sudut bahasa. Paling sedikit uraian dari sisi bahasa menunjukkan bahwa satu istilah dapat digunakan dengan pengertiannya sendirisendiri. Ketika istilah digunakan oleh kelompok yang Era dan Teori Globalisasi 79 berhubungan dengan ras, etnik dan kebangsaan, globalisasi bermakna antropologik. Ketika digunakan oleh pelaku ekonomi dan politik, ia dimengerti secara ekonomik. Demikian juga ketika ia digunakan oleh kaum agamawan, ia memiliki makna yang sangat berbeda. Hal itu wajar saja. Ia menjadi tidak wajar ketika salah satu makna itu telah dipolitisasi apalagi kalau dikaitkan dengan agama. Masalahnya menjadi sangat rawan ketika agama yang dipolitisasi itu telah dilibatkan di dalamnya. Rawan karena agama kebenaran mutlak biasanya berbicara tentang (truth claim). Padahal ketika percakapan sudah sampai ke masalah kebenaran, tidak seorang manusia pun yang dapat mengklaimnya secara mutlak.88 Dikatakan demikian, karena pemutlakan kebenaran itu hanya berada dalam diri Yang Mutlak itu sendiri. Ketika percakapan sudah menyangkut Yang Mutlak, tidak seorang manusiapun yang dapat memverifikasinya, yakni keyakinan dari hampir semua agama bahwa Yang Mutlak, yang disebut dengan Tuhan melalui berbagai nama oleh berbagai agama dan tradisi keagamaan, seperti Yahweh bagi bangsa Yahudi, Trinitas bagi bangsa Barat yang Kristen, Allah Swt bagi bangsa Arab, Puang Matua bagi orang Toraja, dan sebagainya, adalah yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya termasuk, manusia 88 Lih., John A. Titaley, Religiositas di Alenia Ketiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Waca Unversity Press, 2013), 29. 80 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi adalah pemahaman manusia-manusia tersebut dalam budaya mereka masing-masing. Oleh karena itu ketika dipahami secara budayawi seperti itu, lalu ia menjadi Yahudi, Barat, Arab, Toraja dan sebagainya.89 Masalahnya adalah, apakah ada seorang manusia yang dapat membuktikan secara empirik kebenaran keyakinan seperti itu? Kesulitan membuktikan terjadi karena; Pertama, Yang Mutlak itu tidak empirik sifatnya, seperti halnya manusia. Keberadaan-Nya tidak dapat dibuktikan secara empirik dan rasional. Keberadaan-Nya hanya dapat dirasakan, disadari dan diyakini. Perasaan, kesadaran dan keyakinan ini tidak pernah dapat dibuktikan seperti halnya menunjukkan video yang dapat dilihat. Jadi pemahaman tersebut bersifat subyektif. Oleh karena itu, pemahaman atas keberadaan-Nya tidak dapat dirasakan oleh semua orang secara sama; obyektif. Kedua, komunikasi Yang Mutlak dengan manusia dibangun di atas interpretasi. Karena keberadaan Yang Mutlak yang tidak empirik itu, maka komunikasi dengan-Nya menjadi subyektif. Ia tidak pernah hadir secara empirik dalam kehidupan manusia, sehingga manusia juga tidak dapat berkomunikasi secara langsung dan empirik dengan-Nya. Penampakan Yang Mutlak dalam kenyataannya selalu secara tidak langsung, melalui penglihatan atau dalam mimpi. Kenyataan ini tidak dapat membuktikan suatu kebenaran secara empirik. Kenyataan seperti ini adalah 89 Ibid., 33. Era dan Teori Globalisasi 81 kenyataan yang tidak rasional, tidak berhubungan dengan akal fikiran manusia. Ini tidak berarti juga bahwa sesuatu yang tidak rasional lalu tidak benar. Hanya tidak dapat dijelaskan menurut akal sehat manusia dengan ukuranukurannya. Oleh karena itu, belum ada seorang manusia yang dapat membuktikan secara empirik pula bahwa ia telah berjumpa dengan Yang Mutlak itu. Ini artinya bahwa kalau ada pemahaman seperti itu, maka pemahaman itu adalah pemahaman manusia sendiri. Bagaimana cara manusia memahaminya? Manusia itu sendiri yang dapat menjawabnya, terutama manusia yang mengakui memiliki hubungan dengan Yang Mutlak. Masalahnya, apakah pemahaman manusia seperti itu dapat juga dibuktikan kebenarannya dengan pembuktian secara sah seperti halnya para polisi mengatakan ketangkap basah seseorang yang berbuat kejahatan? Atau paling tidak pembuktian itu dapat dilakukan dengan cara memutarkan kembali video berisi rekaman peristiwa hubungan antara manusia itu dengan Yang Mutlak. Kalau pembuktian seperti itu tidak dapat dilakukan, lalu pertanyaan mendasar yang muncul adalah, “Atas dasar apa Yang Mutlak itu dapat dikatakan terlibat atau berhubungan dengan manusia dan alam semesta? Tidakkah manusia itu yang mengungkapkannya hanya berdasarkan pada penafsirannya sendiri bahwa Yang Mutlak itu berhubungan dengannya. Hal itu terjadi karena ia merasakan atau mengalami sesuatu yang tidak biasanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia 82 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi lain, sehingga menyimpulkan sebagai sesuatu yang luar biasa atau supra alam (super natural). Kalau sesuatu itu super natural, lalu apakah itu berarti dapat diduga kuat atau dipastikan berasal dari Yang Mutlak? Apakah tidak ada kemungkinan itu juga berasal dari roh-roh atau kenyataan-kenyataan lain? Tidak seorang manusia pun dapat membuktikannya, kecuali Yang Mutlak itu sendiri. Oleh karena itu, semua yang berasal dari Yang Mutlak itu patut dipahami dari sisi ini, kalau tidak dapat dikatakan patut dipertanyakan keabsahannya. Memang Yang Mutlak itu ada dan dipahami berhubungan dengan manusia. Tetapi tidak pernah boleh seorang manusia pun mengatakan secara mutlak pengalaman dan pemahamannya adalah benar 100% berasal dari Yang Mutlak. Selalu saja unsur kemanusiaan terlibat, dalam pengertian pemahaman (interpretasi) dirinya terhadap Yang Mutlak. Dari sisi inilah agama harus dipahami. Agama adalah pemahaman atau interpretasi manusia atas pengalaman dan pemahaman manusia dengan Yang Mutlak itu. Agama karenanya bukan Yang Mutlak. Kalau ini benar, maka semua yang berasal dari agama adalah hasil interpretasi manusia dalam memahami dunianya. Oleh karena itu, ketika agama telah masuk dalam pengertian globalisasi, masalah menjadi semakin rancu. Apakah memang globalisasi yang berkembang kini, terutama globalisasi Barat memiliki dimensi agama di dalamnya, sehingga harus hadapi pula secara religius? Era dan Teori Globalisasi 83 Kalau benar ada, agama seperti apa, agama dari mana yang dimaksudkan? Oleh karena perspektif kebudayaan menjadi diperlukan untuk melihat hubungan agama dengan globalisasi. Dalam perspektif kebudayaan, globalisasi juga menyebabkan terjadinya transparansi sosial, yaitu lenyapnya kategori sosial, batas sosial, dan kelas atau hirarki sosial di masyarakat yang berdampak pada perubahan nilai dan moralitas sosial. Batas-batas moral antara dunia anak dan dunia orang dewasa lenyap di tangan gambar maupun film; batas sosial antara proletariat dengan borjuis lenyap dalam arena virtualisme konsumsi; batas antara penguasa dan teroris lenyap di tangan terorisme virtual; batas antara bencana ekonomi dan rekayasa ekonomi lenyap dalam bencana ekonomi virtual; dan batas antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan virtualitas media informasi.90 Jaringan informasi menjadi transparan dan virtual manakala kategori-kategori moral dan ukuran nilai yang mengikat menghilang. Ketika segala sesuatu berputar bebas dalam sirkuit global cyberspace, hukum yang mengatur masyarakat tidak lagi hukum kemajuan, melainkan hukum orbit. Melalui hukum orbit segala sesuatu berputar secara global, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu teritori ke teritori lain, dari satu 90 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Melenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme (Bandung: Mizan, 1998), 73. 84 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi kebudayaan ke kebudayaan lain. Dalam proses perputaran itu semua berubah wujud menjadi virtual. Ada orbit televisi, orbit ekonomi, orbit politik, orbit ekstasi, dan orbit party-line. 91 Globalisasi juga menimbulkan perubahan institusi dan budaya, bahkan dalam beragama. Lalu, pertanyaannya ialah bagaimana kehidupan beragama merespon globalisasi yang menjadi bagian dari dinamika masyarakat dunia.92 Merujuk analisis Robertson, terdapat dua hal yang dirumuskan untuk mengetahui bagaimana globalisasi dan agama saling berhubungan responsif, yaitu pertama, menggali historisitas dari kemunculan globalisasi. Kedua, menelisik proses saling tarik-menarik hubungan antara agama dengan globalisasi. 93 Agama merupakan struktur terdalam masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari pengaruh agama terhadap individu, masyarakat, antar kelompok dan respon agama terhadap globalisasi. Robertson merujuk pandangan Durkheim mengenai hakikat dasar agama di mana faktor interpretasi ajaran mempunyai pengaruh signifikan dalam membentuk individu dan negara atau masyarakat. Proses saling mempengaruhi terjadi dari konstruksi institusional (institusionalized construction) agama yang terintegrasi dalam masyarakat. Proses konstruksi Ibid., 73-74. Anthony Giddens, Sociology 6th...., 127. 93 William R. Garret, “Thinking Religion in the Global Circumstance: A Critique of Roland Robertson’s Globalization Theory”, Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 31, No. 4, 1992, 299. 91 92 Era dan Teori Globalisasi 85 institusi ini yang mengajarkan dan membatasi nilai luhur agama mengenai bagaimana cara bersikap di tengah globalisasi.94 Sebagai seperangkat norma atau nilai, agama menjadi pembentuk way of life dari kelompok yang mempercayainya. Pandangan agama mau tidak mau dituntut untuk merespon globalisasi, sehingga pilihan rasional menjadi bagian dari pilihan yang tersedia. Karena rasionalisasi dapat menjelaskan bagaimana relevansi nilai agama dan kebudayaan yang diyakini.95. Relasi agama dengan globalisasi juga dapat dilihat dari beberapa perubahan yang terjadi pada diri agama itu sendiri. Perubahan dipahami dalam tiga poin yakni, perubahan nilai, struktur sosial dan perubahan tatanan serta karakter institusi agama. 96 Perubahan nilai agama merupakan unsur terpenting dari perubahan pola berpikir pemeluk agama yang memudahkannya untuk melakukan transformasi nilai, sehingga melahirkan perubahan struktur agama. Dengan kata lain, perubahan struktur agama merupakan dampak dari perubahan tata nilai agama. Sementara perubahan karakter institusi agama terjadi pada pelaksanaan nilai dan norma yang terlembagakan. Ibid., 299-304. Anthony Giddens, New Roles of Sociological Methode (California: Stanford University Press, 1993), 90. 96 Lorne L. Dawson, “The Cultural Significance of New Religious Movements and Globalization: Theoritical Prolegomenon”, Journal for The Scientific Study of Religion, Vol. 37, No. 4, Dec, 1998, 581. 94 95 86 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi Relasi globalisasi dengan kebudayaan yang dtandai dari perkembangan ilmu pengetahuan dan sekulerisasi, juga telah mengakibatkan tradisi dan adat kebiasaan yang diterima masyarakat dianggap sebagai warisan masa lalu. Tradisi dianggap tidak lagi mempunyai nilai filosofis mengenai ajaran tertentu, tetapi hanya dilihat sebagai warisan nenek moyang yang established. Dengan masuknya ilmu pengetahuan yang mengubah, semua tradisi dapat dirasionalisasi dan diklarifikasi secara ilmiah, tidak lagi dipandang sekumpulan mitos yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.97 Globalisasi juga berdampak bagi menguatnya identitas lokal yang dapat memicu timbulnya konflik etnik dan kekerasan atas nama hak asasi manusia. 98 Statemen ini merupakan bagian pemaknaan globalisasi sebagai “ruang kontestasi eksistensi”, yakni kontestasi identitas diri, kelompok, etnis atau budaya tertentu dalam melakukan dominasi terhadap kebudayaan lain, yang sebenarnya menjadi ambisi setiap etnik maupun kebudayaan di seluruh dunia. Gempuran terberat globalisasi adalah permasalahan mengenai pemarjinalan budaya dan problem identitas kebudayaan. Dua permasalahan ini yang memunculkan 97 William R.Garret, “Thinking Religion...., 302; Sociology 6t...., 125. 98 Ibid., 131. Anthony Giddens, Era dan Teori Globalisasi 87 resistensi agama permasalahan dan bagi kebudayaan. agama dan Titik temu kebudayaan ialah 99 menempatkan globalisasi sebagai faktor yang mendorong penafsiran teks dan praktik dalam kehidupan sosial. Ini artinya penafsiran mempunyai hubungan erat dalam memaknai individu dan identitas sosialnya dalam tradisi yang terdapat pada doktrin, etika, ritual, praktik, dan sejarah sebagai pembeda dan alat kontestasi. 100 Namun kebudayaan dan agama, selalu menyimpan dua unsur yang bertolak belakang, yaitu kekuatan dan pertentangan.101 Unsur kekuatan agama dan kebudayaan adalah solidaritas sosial dari segi internal. Sementara pada lain pihak, ia menjadi bagian dari pertentangan, baik dari segi internal maupun eksternal (dengan kelompok lain). Unsur kekuatan sekaligus pertentangan ini menjadi bagian dari proses introspeksi, hambatan ataupun konflik yang menjadi variasi dinamika agama dan kebudayaan itu sendiri, dan pilihan rasionalisasi menjadi cara dalam mencapai cita-cita masyarakat.102 Globalisasi juga memberikan pengaruh dalam kehidupan sosial, terutama dalam tiga hal; media (media), 99 Peter Beyer and Lori Beaman (ed.), Religion, Globalization and Culture: International Studies in Religion and Society (Leiden: Hotey Publishing, 2007), 124. 100 Ibid., 125. 101 Simon Coleman, The Globalization of Charismatic Cristianity: Spreading the Gospel of Prosperity (New York: Cambridge University Press, 2000), 55. 102 Anthony Giddens, New Roles of Sociological Methode....., 90. 88 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi organisasi (organization) dan orientasi (orientation). 103 Melalui kontak dengan media, berbagai informasi diperoleh masyarakat. Setelah mendapatkan informasi, perubahan institusi terjadi seiring dengan perubahan tujuan atau orientasi yang hendak dicapai bersama. Perubahan dalam agama dan kebudayaan dimulai dari perubahan individu. Individu menjadi bagian dari sistem sosial melalui kebiasaan yang berlaku pada pelembagaan sosial. Melalui pembiasaan pada kelembagaan sosial, perubahan menjadi bagian dari praktik yang ada di masyarakat. Institusi akan melakukan kontekstualisasi melalui beberapa proses, yakni aktivitas keseharian, pertemuan kebudayaan baru, regionalisasi budaya lokal, kontekstualisasi budaya lokal dan persimpangan budaya lokal. Merujuk pada pengertian agama yang dikemukakan oleh Thomas Luckman, ia merupakan hasil konstruksi sosial yang diekspresikan dalam simbol kebudayaan. 104 Burke menambahkan bahwa kebudayaan merupakan seperangkat sistem pembagian makna, sikap, nilai dan bentuk simbolik. 105 Sebagaimana juga diperjelas oleh Faucoult, kebudayaan merupakan dimensi sosial dari ideologi, dan pengetahuan yang mempunyai serangkaian kekuatan sosial. Oleh karena itu kemungkinan lain Simon Coleman, The Globalization of Charismatic...., 55-57. Michele Dillon (ed.), Handbook of the Sociology of Religion (New York: Cambridge University Press, 2003), 51. 105 Kaspar Von Greyerz, translated by Thomas Dunlap, Religion and Culture in Early Modern Europe 1500–1800 (London: Oxford University Press, 2008), 24. 103 104 Era dan Teori Globalisasi 89 pengaruh globalisasi adalah munculnya sekulerisasi atau privatisasi agama. 106 Privatisasi artinya menempatkan ajaran agama sebagai nilai yang eksklusif personal, sehingga dunia menjadi tersekulerkan. Sementara itu, Michael Hsio menemukan empat model relasi globalisasi dengan kebudayaan lokal yang terjadi di masyarakat, seperti di Indonesia, yaitu, pertama, relasi yang meniadakan akibat globalisasi yang berorientasi pada nilai penyeragaman atau homogenitas, di mana kebudayaan lokal digeser oleh kebudayaan global yang dominan, seperti kebiasaan makan ubi yang telah diganti dengan makanan roti pada sebagian masyarakat mendominasi Indonesia. Kebudayaan mengakibatkan global kebudayaan yang lokal kehilangan kepercayaan diri. Kedua, antara kebudayaan lokal dengan globalisasi hidup dalam prinsip relasi ko eksistensi atau independensi, yaitu berdampingan damai, tetapi tetap terpisah sebagai konsekuensi dari sikap independensinya, seperti pasar tradisional dengan pasar swalayan modern yang didirikan di tempat yang sama, tetapi memiliki fungsi ekonomi yang berbeda karena perbedaan status sosial konsumen, dan juga karena perbedaan gaya hidup (life style). Ketiga, relasi kebudayaan lokal dengan kebudayaan global yang menghasilkan sintesis kebudayaan, seperti arsitektur candi di Jawa berbentuk gunungan yang 106 Clare O’Farrell, 2005), 96-100. Michael Foucault, (London: Sage Publications, 90 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi bercorak animistik dengan arsitektur Hindu dari India yang bergambar lukisan dewa dewi yang dipahat di bebatuan candi, seperti ditunjukkan di kompeks Candi Prambanan, atau bangunan Gereja-gereja Protestan berukiran batu artistik di Bali yang memadukan aristektur Eropa dengan kebudayaan lokal Bali, seperti juga gereja-gereja di tanah Toraja, gereja tanah Papua, gereja di pulau Timor, gereja di tanah Batak dan terakhir pertunjukan wayang kulit yang bercampur dengan muatan ajaran Islam yang dimainkan oleh sang dalang untuk menyampaikan pesan Islam sebagai agama etik yang dapat menjadi pedoman berperilaku di masyarakat, seperti cerita Jimat Kalimasada. Keempat, relasi resistensi globalisasi oleh kebudayaan lokal, seperti kehidupan sosial suku Samin di Blora, Jawa Tengah, dan orang-orang Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur. Kebudayaan lokal menguat karena dihidupkan oleh masyarakat dalam rangka menolak kebudayaan global.107 Globalisasi juga secara luas berdampak bagi menguatnya isu-isu multikulturalisme dan toleransi religius. Ia menjadi fenomena sosial yang tidak dapat diabaikan di berbagai negara, individu maupun kelompok di seluruh dunia, bahkan pada komunitas-komunitas lokal. Dari sisi etimologi, istilah multikultural berasal dari kata multi yang berarti majemuk dan cultural yang berarti 107 Michael Hsiao, Coexistence and Synthesis: Cultural Globalization and Localization in Contemporary Taiwan (Oxford: Scholarship Online Monographs, 2002), 48-68. Era dan Teori Globalisasi 91 budaya. Sedangkan secara epistimologi, multikulturalisme dimaknai sebagai ekspresi pengakuan atas keragamaan budaya, baik keragaman tradisional, seperti suku, ras, budaya dan agama, maupun keragaman subkultur masyarakat.108 Multikulturalisme merupakan sikap yang mesti dilakukan di tengah keberagaman masyarakat. Banyak istilah yang dipadukan dengan multikulturalisme dalam berbagai studi yang dikaitkan dengan studi teologi. Dengan menggunakan potensi truth claim pada studi teologi yang dipadukan dengan fundamental values dari setiap ajaran agama, konsep teologi multikulturalisme dapat menciptakan jalan keluar di tengah kemelut konflik agama yang timbul di masyarakat.109 Pemahaman nilai pada multikulturalisme yang melahirkan perbedaan dapat menimbulkan konflik, sebagaimana Wieviorka mengungkap terdapat tiga faktor pemicu konflik, yaitu pertama, produksi identitas (the production of identities) di masyarakat. Identitas merupakan karakter kelompok, seperti unsur agama, etnik, ras, sejarah, asal-usul bangsa, gender, dan perbedaan kondisi fisik yang saling bertentangan. Kedua, ketegangan (tensions) yang terjadi karena perbedaan tujuan dari dua kelompok yang berbeda identitas. Ketiga, 108 Ana Irhandayaningsih, “Kajian Filosofis terhadap Multikulturalisme di Indonesia”, ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2015. 109 Tri Astutik Haryati, “Teologi Multikultural (Resolusi Konflik Religiositas di Indonesia)”, Jurnal Religia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2011, 148. 92 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi sikap individualistik dan perbedaan kebudayaan (individualism and cultural difference). Sikap ini dipicu oleh latar belakang bahasa, agama, pemahaman kolektif dan pengalaman yang berbenturan, sehingga melahirkan sikap egoisme dalam berkebudayaan.110 Keragaman masyarakat dalam memahami multikulturalisme mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Pada satu sisi masyarakat memahami multikulturalisme dapat mendorong harmonisasi dalam wujud tumbuhnya nilai-nilai toleransi universal. Namun di sisi lain, timbul arogansi eksistensi maupun identitas kelompok yang berujung pada sikap intoleransi. Sikap intoleransi terjadi karena pandangan mengenai ajaran agamanya yang paling benar, sementara yang lain salah sehingga menimbulkan konflik. Tetapi terdapat cara lain untuk mengurangi potensi konflik, seperti berpikir positif mungkin saja orang itu lebih benar memahami dari pada dirinya sendiri.111 Sementara kata toleransi merupakan derivasi dari bahasa Latin, yakni tolerantia, yang artinya kelembutan hati, kelonggaran, kesabaran dan keinginan. Ia juga berarti tolerar yang bermakna saling menghargai, 110 Michel Wieviorka, “Is Multiculturalism the Solution?” Ethnic and Racial Studies, Vol. 21, Number 5, September 1998, Routledge Taylor & Francis Group, Published Online 02 December 2010, 890-894. Diunduh pada tanggal 20 Maret 2015. 111 John Hick, Problem of Religious Pluralism (London: Macmillan Press, 1985), 89. Era dan Teori Globalisasi 93 membiarkan dan membolehkan.112 Pengertian toleransi ini mendorong sikap longgar dan sabar, memberikan hak orang lain meskipun berbeda sehingga tumbuh keterbukaan dan sikap lapang dada.113 Badan UNESCO PBB mengartikan toleransi sebagai sikap menghormati, menerima dan menghargai di tengah kebudayaan yang beragam, kebebasan berekspresi maupun beragama. Selain itu toleransi dinilai sebagai sikap positif dalam menghargai orang lain yang sejalan dengan prinsip hak asasi manusia. 114 Sebagaimana abad ke-17 M., pada pertumbuhan sejarah agama di Eropa, toleransi telah mencairkan kondisi politik, menuntaskan masalah sosial, dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang berbeda.115 Kata toleransi di Indonesia mulai mencuat menjadi isu akademik sejak Orde Baru, seiring merebaknya konflik antar suku dan agama yang terjadi di Indonesia. Untuk mengatasi, pemerintah mengambil kebijakan pemberlakukan penataran P4 dari tingkat SD sampai instansi pemerintah. Namun kebijakan itu tidak membuahkan hasil maksimal, sebagaimana ditunjukkan 112 Lucia Herma, dkk., “Toleransi dalam Interdiskursus Teks Sastra dan Teks Non-Sastra”, Jurnal MAKARA, Sosial Humaniora, Vol. 7, No. 2, Desember 2003, 2. 113 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta Selatan: Penerbit Fitrah, 2007), 81. 114 Ibid., 181. 115 Jonathan Israel, and Stuart B. Schwartz, The Expension of Tolerance: Religion in Dutch Brazil (1624-1654) (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007), 6. 94 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi dari peristiwa 1998-an yang justru mencerminkan merebaknya sikap intoleransi masyarakat Indonesia.116 Zuhairi toleransi, Misrawi yaitu menawarkan inklusivisme, tiga paradigma pluralisme, 117 dan multikulturalisme. Paradigma toleransi yang bermula dari problem teologi, dapat dikembangkan di tiga ranah studi, yaitu filsafat, sosiologi dan kebudayaan. 118 Selain itu, paradigma toleransi dapat ditinjau dari pergulatan sejarah politik dan agama-agama dari bangsa lain, yang akan memperkuat pergumulan antara pergumulan wacana toleransi idealisme idealisme dan dan dari sudut realitas. Sebab realitas, seringkali menimbulkan ketegangan dalam memaknai kata toleransi itu sendiri dalam kehidupan nyata. 119 Menurut Walzer, terdapat lima makna yang ditemukan pada sikap toleransi, yaitu pertama, menerima perbedaan menuju kehidupan damai. Kedua, membentuk keragaman sebagai wujud penghargaan terhadap perbedaan sehingga setiap kelompok dapat berekspresi Lucia Herma, dkk. “Toleransi dalam Interdiskursus..... Dalam tradisi Teologi Kekristenan, istilah inklusivisme dipahami sebagai seluruh karya keselamatan Kristus diperlakukan untuk semua orang. Ini artinya semua orang beragama terbuka memperoleh keselamatan selama ia bertindak menghadirkan karya keselamatan (the salvific presence), sehingga karya keselamatan itu hadir tidak hanya untuk orang Kristen, melainkan orang lain, yang disebut dengan Kristen anonim (anonymous). Begitu pula pada pluralisme yang dipahami maknanya sebagai jalan keselamatan itu mengalami pergeseran revolusioner dari jalan keselamatan yang berpusat pada Kristosentris ke Teosentris. Lih., Kalvinus Javak, Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) (Salatiga: Program Studi Doktor Sosiologi Agama Fakultas Teologi UKSW, 2013), 111, 115. 118 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi...., 179. 119 Ibid. 116 117 Era dan Teori Globalisasi 95 dengan cara yang berbeda. Ketiga, membangun moral stoisisme, artinya menerima hak orang lain meskipun hak itu tidak menarik dengan cara bersikap simpatik. Keempat, mengekspresikan keterbukaan kepada orang lain, menumbuhkan rasa ingin tahu, menghargai, sikap ingin mendengarkan dan keinginan belajar dengan orang lain. Kelima, antusiasme mendukung perbedaan dengan menfokuskan pada kekuatan otonomi.120 Lebih jauh toleransi juga dimengerti sebagai sikap yang positif terhadap perbedaan, atau dapat berarti sikap yang menghormati dan menerima perbedaan dalam berfikir dan bersikap.121 Asyraf Abdul Wahhab menilai sikap toleransi merupakan keharusan kebudayaan, karena pada dasarnya manusia hidup di tengah masyarakat plural yang membutuhkan perdamaian dan kedamaian. 122 Ini artinya kebutuhan akan perdamaian dan toleransi adalah keharusan kebudayaan. Hanya saja di masing-masing tempat atau daerah dengan berbagai latar belakang sosial dan keagamaan yang berbeda mempunyai langkah, cara dan pendekatan yang berbeda dalam mengembangkan berbanding terbalik, toleransi. misalanya Pandangan dengan ini sebagian kelompok Muslim yang menghendaki mengembalikan tatanan sosial monolitik sebagaimana zaman klasik yang serba seragam. Oleh karena itu, berbeda dengan Ibid., 181. Oliver McTernan, Violence in God’a Name: Religion in an Age Conflict (London: Darton, Longman and Todd, 2003), 149. 122 Ibid. 120 121 96 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi Mohammad Iqbal, sebenarnya Islam tidak secara paten memberikan hukum, tata tertib dan peraturan tentang kehidupan bermasyarakat. Tetapi ada hal yang menjadi kewenangan umat untuk memutuskan kebutuhan apa yang diperlukan, misalnya dalam mengatur permasalahan ekonomi.123 Misi kenabian (profetik) Nabi Muhammad ketika diutus ke dunia, secara teologis menjadi pembawa kasih sayang dan rahmat bagi semesta dunia (totality human being) atau rahmatan lil’alamin, sebagaimana dibuktikan dengan pembebasan umat Kristen pada tahun 6 Hijriyah.124 Dari sini, agama Islam sebenarnya telah menanamkan sejak awal penghargaan atas keragaman religius. Walaupun dalam perjalanan sejarahnya yang turbulance, ia mengalami metamorfosis ideologi militan oleh sebagian pengikutnya sehingga menjadi begitu keras dan rigit, yang menimbulkan berbagai sikap intoleransi. Dalam konsep teologi dan pergumulan sejarahnya, toleransi menjadi bagian dari pesan dasar Islam, sebagaimana tujuan dari toleransi itu sendiri membangun kedamaian di tengah keragaman. Lebih lagi jika melihat keragaman kelompok internal Islam sendiri dengan latar belakang sejarah, kebudayaan serta identitas sosial yang berbeda-beda.125 Sedangkan untuk memahami intoleransi lawan dari toleransi tidak dapat dilihat dengan tafsir tunggal. 123 Mohammad Iqbal, The Mission of Islam (New Delhi: Vikas Publishing, 1977), 6. 124 Ibid., 122. 125 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi....., 182. Era dan Teori Globalisasi 97 Misalnya sikap diskriminasi dapat dikategorikan sebagai sikap intoleransi. Dengan mengambil contoh sikap diskriminatif terhadap kelompok minoritas dengan tidak memberikan akses dasar manusia untuk belajar, berpolitik dan berinteraksi dalam dunia sosial. Sikap diskriminatif dapat memicu respon buruk, bahkan protes yang merupakan reaksi atas ketidaksetujuan terhadap ketidakadilan.126 Dalam bahasa Inggris, intoleransi berasal dari kata intolerance yang secara harafiah berarti keratan garis. Secara epistemologis intolerance mengandung arti, yaitu pertama, merasa ragu menerima pendapat, keyakinan dan kepercayaan yang berbeda (unwillingness to accept views, beliefs, or behaviour that differ from ones own). Kedua, ketidakmampuan mengambil makanan atau obat tanpa dampak yang berarti (an inability to eat a food or take a drug without adverse affects).127 Dari penjelasan ini, intoleransi yang diartikan sebagai rasa enggan menerima keragaman pandangan, kepercayaan maupun perilaku yang berbeda lebih tepat dalam memahami sikap intoleransi yang muncul di masyarakat Indonesia. Namun demikian, sikap toleransi di masyarakat Indonesia, terutama dalam kebudayaan Jawa lebih tampak ke permukaan dibanding intoleransi. Jika mengacu pandangan Walzer, terdapat lima alternatif 126 127 2014. Oliver McTernan, Violence in God’a Name...., 14. www.oxford dictionaries.com. Diunduh pada tanggal 11 Desember 98 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi sikap toleransi yang pernah terjadi dalam sejarah, yaitu pertama, sikap toleransi yang mengacu pada keberagamaan masyarakat Eropa pada abad ke-16 dan 17 M. yang menunjukkan sikap toleransi pasif dengan menerima kepercayaan agama lain setelah mengalami peristiwa traumatik yang cukup panjang. Kedua, sikap toleransi yang melahirkan pengakuan terhadap perbedaan, tetapi menganggap eksistensi pihak lain tidak ada. Ketiga, sikap toleransi yang melahirkan pengakuan secara prinsip atas pihak lain meski ekspresinya tidak diakui. Keempat, sikap toleransi yang memperlihatkan pengakuan, keterbukaan dan keingintahuan pada pihak lain. Kelima, sikap toleransi yang bermakna tidak hanya mengakui dan menerima perbedaan, tetapi mendukung, merawat dan merayakan perbedaan.128 2.4. Respon Agama terhadap Globalisasi Hubungan agama dengan globalisasi seringkali mengalami ambivalensi, Di satu pihak globalisasi mendorong terwujudnya harmoni di tengah masyarakat multikultural, di lain pihak ia menjadi sebuah peringatan atas penyeragaman kebudayaan yang mendunia. Berbagai dampak positif dan negatif itu melahirkan respon yang berbeda, satu pihak tidak menerima globalisasi sehingga timbul penolakan dan menghendaki penegakan kembali 128 Trisno Sutanto, “Melampaui Toleransi? Merenung Bersama Walzer”, dalam Ihsan Ali Fauzi, dkk., Demi Toleransi Demi Pluralisme (Jakarta: Democracy Project, 2012), 376. Era dan Teori Globalisasi 99 nilai-nilai lama. Ada pula kelompok agama yang menerima globalisasi dengan cukup optimistik.129 Agama biasanya memberi responsi ganda terhadap globalisasi, yakni ekternal dan internal. Secara eksternal, agama hidup di tengah agama-agama lain, sehingga terjadi kompetisi memperebutkan pengikut. Sebaliknya secara internal, agama selalu melakukan kontrol atas ketaatan pengikutnya.130 Menurut Berger, agama sering memberikan konsekuensi negatif bagi masyarakat, menimbulkan konflik akibat perebutan sumber-sumber ekonomi dan politik pengikutnya sebagaimana yang terjadi antara Israel dan Palestina. 131 Berger membagi beberapa bentuk responsi agama secara sosiologis mengenai kondisi global dalam beberapa variasi. Dalam dunia Islam, responsinya cenderung tidak memihak pemberdayaan masyarakat (sipil), terutama di beberapa negara, sebagaimana di kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah dan juga Balkan serta benua kecil di India. Dalam dunia Yahudi juga tidak berpihak pada masyarakat sipil seperti yang terjadi di Israel. Dalam dunia Katolik dan Protestan banyak melakukan demonstrasi di Irlandia utara dalam memperebutkan wilayah politik. Namun dalam dunia 129 Mark Juergensmeyer, “Introduction: Religious Ambivalence to Global Civil Society”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil Society (New York: Oxford University Press, 2005), 5. 130 Peter Berger. “Religion and Global Society”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil Society (New York: Oxford University Press, 2005),15. 131 Ibid. 100 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi Hindu dan Buddha tergolong sebagai agama toleran, meskipun sebenarnya mereka yang hidup di India dan Srilangka mempunyai potensi untuk saling menyerang karena perbedaan pemahaman konsep ketuhanan keduanya.132 Dalam Islam sendiri responsi terhadap globalisasi menciptakan wajah yang kompleks, sebagaimana dapat dilihat dari Barat sampai Timur Selatan Asia dan tersebarnya Islam di Eropa serta Amerika masih tergolong tradisionalistik. Pengertian tradisionalistik merujuk masih ketatnya syariat Islam dalam diri pemeluknya, dan terkadang tidak memberi ruang sedikit pun bagi pengembangan independensi institusi dari hukum agama. Bersamaan dengan itu, dimensi kekerasan seringkali muncul, misalnya keleluasaan bagi perempuan untuk beraktivitas ruang publik masih dianggap suatu hal yang melanggar perintah agama. Di lain pihak, wajah Islam yang moderat dan toleran dapat pula ditemukan dalam sejarah Islam Spanyol dan India di bawah kekuasaan dinasti Mughal. 133 Dalam agama Katolik, respon globalisasi dapat dilihat dari sikap gereja terhadap para pengikutnya yang cenderung tidak memihak masyarakat sipil. Perubahan sistem gereja justru terjadi karena faktor lain, yaitu selama dan setelah perang masyarakat sipil di Spanyol pada tahun 1930. Gereja Vatican II (Paus) kemudian melakukan perubahan besar, 132 133 Ibid., 20. Ibid., 18-19. Era dan Teori Globalisasi 101 dengan merubah pola pikir gereja agar berpihak pada masyarakat sipil, bersikap toleran dan memberikan kebebasan beragama yang diekspresikan dalam aktifitas politik gereja secara global.134 Respon globalisasi juga menimbulkan problem fundamentalisme akibat berhadapan dengan agama lain, sekularisme, nasionalisme ideologi-ideologi lain. atau 135 kontestasi Dalam dengan Islam, aksi fundamentalisme dapat dilihat dalam peperangan antar umat Islam pada pertengahan abad 17 M., dan gerakan jihad di Afrika Barat dan Sudan. Selain itu, fundamentalisme dapat diartikan pula sebagai respon dari ketidakterimaan masyarakat terhadap keprihatinan atas kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mereka hadapi. Permasalahan kemasyarakatan kemudian mengantarkan pada sebuah klaim bahwa mereka harus kembali pada identitas syariat karena adanya anggapan kebenaran adalah bagi mereka yang berpegang pada otoritas syariat. 136 Di pihak lain, Islam memberi gambaran wajah lain mengenai pemisahan agama dan state atau yang sering dipahami sebagai liberalism Islam yang cenderung ke arah sekulerisasi. Tindakan ini dianggap memisahkan diri dari bentuk praktik Islam Ibid., 19. Abdullahi A. An-Na’im. “The Politics of Religion and the Morality of Globalization”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil Society (New York: Oxford University Press, 2005), 28. 136 Ibid. 28-29. 134 135 102 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi otentik sebagaimana anggapan masa awal agama ini diturunkan.137 Pengikut gerakan Islamisme atau revivalist atau fundamentalist yang merujuk pada Muslim di semenanjung Arab mempunyai responsi yang berbeda dengan globalisasi. Mereka membentuk gagasan persaudaraan yang disebut ummah. Latar belakang pemakaian istilah ini adalah untuk membentuk persepsi yang sama mengenai keterpurukan yang dihadapi umat karena ketidakadilan dan dominasi yang dilakukan oleh pihak luar.138 Mereka juga menggunakan perspektif lokal dalam merespon tatanan global.139 Namun Berger menambahkan responsi agama di era global sering diperlihatkan sebagai quasi-theological postscript, yakni agama digunakan sebagai agenda ideologi, politik dan sosial. Hal ini memancing penerimaan maupun penolakan dari pengikut masingmasing agama. Pengetahuan agama membangkitkan rasa kekuatiran bagaimana kondisi sosial politik saat ini. Dari sisi itu dapat diketahui bahwa agama ternyata tidak dipahami sebagaimana kebenaraan manfaatnya bagi umat manusia, tetapi hanya kebenaran teologisnya yang melangit.140 Ibid. 31-32. Carrie Rosefsky Wickham, “the Islamist Alternative to Globalization”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil Society (New York: Oxford University Press, 2005), 149-152. 139 Ibid., 162. 140 Peter Berger. “Religion and Global...., .21. 137 138 Era dan Teori Globalisasi 103 Era globalisasi juga menimbulkan pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan.141 Agama sebagai sistem kepercayaan yang hidup terlebih dahulu, sebelum manusia menemukan Pertentangan berbagai muncul karena ilmu pengetahuan. adanya perbedaan pandangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Agama dianggap sebagai suatu pengetahuan yang kebenarannya bersifat absolut, sedangkan ilmu pengetahuan merupakan penemuan manusia yang cenderung subyektif dan belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pada dasarnya asumsi itu tidak selamanya benar, karena ilmu pengetahuan pun terikat dengan kode etik.142 Gandhi sendiri bereaksi mengkritik globalisasi sebagai sebuah sistem yang menimbulkan ketidakharmonisan dunia. Menurutnya, agama merupakan sumber spiritual yang menjadi pegangan hidup manusia. Adapun budaya, politik dan ekonomi merupakan wujud pengembangan dari agama itu sendiri. Pembagian ini mencoba mempolakan antara agama sebagai ruang privat dan yang lainnya sebagai ruang publik.143 Namun seringkali bagian dari wacana maupun simbol agama tidak menguntungkan baik dalam skala lokal maupun global.144 141 Mehrzad Boroujerdi, “Subduing Globalization: the Challenge of the Indigenization Movement” dalam Birgit Schaebler dan Leif Stenberg (ed.), Globalization and the Muslim World: Culture, Religion and Modernity (New York: Syracuse University Press, 2004), 31. 142 Ibid., 35. 143 Abdullahi A. An-Na’im, The Politics of Religion...., 27. 144 Ibid., 28. 104 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi Globalisasi juga menimbulkan identitas ganda bagi masyarakat Islam, misalnya Islam di Barat. Semenjak Napoleon Bonaparte memasuki Kairo pada tahun 1798, masyarakat Mesir harus mengahadapi tradisi baru, yaitu demokrasi. 145 Permasalahan etnik juga menimbulkan krisis identitas, yakni konsekuensi untuk melindungi diri dari pengaruh luar sekaligus mempertahankan identitas kebangsaannya sebagai orang Islam. 146 Benturan kebudayaan Barat dan Timur tersebut menimbulkan kekuatiran dalam Islam, yaitu tantangan sekulerisme.147 Heather J. Sharkey yang melakukan riset migrasi umat Islam dari tahun 1800 sampai 2000 menemukan kesimpulan bahwa benturan budaya dan agama yang terjadi antara dua kebudayaan atau lebih mendorong beberapa hal. Pertama, secara internal suatu kelompok berpindah tempat untuk mempertahankan identitas kesukuan mereka dalam skala kelompok kecil. Kedua, dalam menghadapi benturan lintas budaya, anggota kelompok akan menonjolkan identitas untuk mempertahankan budaya di tengah keterbelahan dunai mereka. Ketiga, banyak dari kelompok migrasi mengalami perubahan budaya dari waktu ke waktu melalui proses 145 Jocelyne Cesari, “Islam in the West: Modernity and Globalization Revisited”, dalam Birgit Schaebler and Leif Stenberg (ed.), Globalization and the Muslim World: Culture, Religion and Modernity (New York: Syracuse University Press, 2004), 82-83. 146 Ibid., 84. 147 Ibid., 85-92. Era dan Teori Globalisasi 105 asimilasi dan penggabungan.148 Benturan kebudayaan di tengah terbukanya ruang globalisasi tentu melahirkan sebuah respon yang berbeda-beda. Respon tersebut sesuai dengan alasan dan keinginan agen-agen baik individu maupun kelompok sebagai pelaku. Pada Simposium Islam Internasional baru-baru ini di Istambul Turki, terutama dalam merespon isu pemanasan global, para ulama menyerukan agar negara-negara di dunia membuat kesepakatan yang mengikat dan adil tentang perubahan iklim global. Dalam deklarasinya, mereka menyampaikan dukungan moral terhadap hal ini berdasarkan ajaran agama. Mereka meminta negaranegara kaya dan produsen minyak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghentikan sama sekali produksi bahan bakar fosil pada tahun 2050. Selain itu seruan keras juga disampaikan kepada negara dan pelaku bisnis agar hanya menggunakan energi yang terbarukan. Deklarasi ini juga menyatakan bahwa 1,6 miliar Muslim mempunyai kewajiban untuk berjuang melawan perubahan iklim dan meminta agar Muslim patuh pada perintah al-Quran untuk "tidak berlaku sombong di muka bumi"149 Dari semua perspektif tentang globalisasi terdapat terdapat satu hal yang tidak dapat diingkari dampaknya, 148 Heather J. Sharkey. “Globalization, Migration and Identity: Sudan 1800-2000”, dalam Birgit Schaebler dan Leif Stenberg (ed.), Globalization and the Muslim World: Culture, Religion and Modernity (New York: Syracuse University Press, 2004), 137. 149 http://www.bbc.com. Diunduh pada tanggal 17 Agustus 2015. 106 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi yaitu soal rasa keadilan yang hilang, terutama bagi mayoritas masyarakat kecil di dunia yang tidak dapat menikmati apa yang terjadi dalam kehidupan sosial mereka. Pendapatan berlebihan yang diperoleh para eksekutif dari berbagai bonus yang mereka tetapkan sendiri dalam berbisnis sangat tidak menghargai rasa keadilan buruh mereka. Pendapatan ini sudah bukan lagi diperoleh karena prestasi dan kehebatan yang ditunjukkan, akan tetapi sudah merupakan demonstrasi keserakahan (greed) manusia. Demonstrasi yang tidak lagi menghargai perasaan sesama, baik bawahannya maupun sesama dalam kehidupan masyarakat, sehingga sangat menyudutkan rasa keadilan dan kemanusiaan. Ketika resesi itu terjadi dan Pemerintah AS berusaha menyelamatkan berbagai perusahaan besar dengan dana penalangan, yang sudah tentu diambil dari uang rakyat, mereka masih tetap menuntut pendapatan besar, maka ada masalah besar dalam diri para eksekutif itu. Masalah besar tersebut adalah di manakah hati nurani mereka? Tidaklah mengherankan kalau gaya hidup seperti itu mendapatkan kritik yang keras dari lembaga-lembaga keagamaan. Sikap yang tidak lagi menghargai sesama itu telah merusak citra Penciptanya sendiri. Dari sisi inilah kritik tajam yang dilakukan oleh Uskup Gereja Katolik di Amerika Serikat pada tahun 1986 dalam surat Penggembalaan mereka dan Pengakuan Gereja-Gereja Reformasi di Harare tahun 2008 perlu Era dan Teori Globalisasi 107 disimak. Dalam alinea 13 dari Surat Penggembalaan Para Uskup Gereja Katolik itu, mereka katakan : 13. In short, nations separated by geography, culture, and ideology are linked in a complex commercial, financial, technological, and environmental network. These links have two direct consequences. First, they create hope for a new form of community among peoples, one build on dignity, solidarity and justice. Second, this rising global awareness calls for greater attention to the stark inequities across countries in the standards of living and control of resources. We must not look at the welfare of U.S. citizens as the only good to be sought. Nor may we overlook the disparities of power in the relationships between this nation and the developing countries. The United States is the major supplier of food to other countries, a major source of arms sales to developing nations, and a powerful influence in multilateral institutions such as the International Monetary Fund, the World Bank, and the United Nations. What Americans see as a growing interdependence is regarded by many in the less developed countries as a pattern of domination and dependence. Pernyataan itu menegaskan negara-negara yang dipisahkan oleh geografi, budaya, dan ideologi yang terkait dalam jaringan komersial, keuangan, teknologi, dan lingkungan yang kompleks, membawa dua 108 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi konsekuensi pada, yaitu pertama, adanya harapan baru dari masyarakat untuk membangun kesadaran meningkatkan martabat kehidupan, solidaritas sosial dan rasa keadilan. Kedua, kesadaran global yang melahirkan panggilan gereja dalam melihat ketidakadilan antara AS dan negara-negara berkembang di mana AS yang lebih sejahtera menjadi pemasok utama makanan untuk negara-negara lain, sumber utama penjualan senjata ke negara-negara berkembang, dan pengaruh kuat di lembaga-lembaga multilateral seperti Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan PBB. Kondisi ini membuat negara-negara berkembang berada dalam dominasi dan ketergantungan. Oleh karena itu sudah ada kesadaran yang kuat bahwa Amerika Serikat dan Dunia berada dalam saling ketergantungan satu terhadap yang lain, sehingga ketidaksetaraan di bagian lain dari dunia akan berakibat juga bagi kehidupan bangsa Amerika Serikat sendiri, demikian juga sebaliknya. Sebagai bangsa yang memiliki tingkat perkembangan ekonomi yang tertinggi, bangsa Amerika harus terpanggil untuk juga memperhatikan sesamanya di bagian lain dunia ini. Bangsa Amerika tidak dapat menutup mata terhadap ketidakadilan seperti itu.150 Dalam pada itu statemen yang lebih keras juga datang dari Aliansi Gereja-Gereja Reformasi se Dunia 150 Economic Justice for All: Pastoral Letter on Catholic Social Teaching and the U.S. Economy U.S. Catholic Bishops, 1986. Era dan Teori Globalisasi 109 (World Alliance of Reformed Churches – WARC), sebagaimana kutipan di bawah ini.151 19. Therefore, we reject the current world economic order imposed by global neoliberal capitalism and any other economic system, including absolute planned economies, which defy God’s covenant by excluding the poor, the vulnerable and the whole of creation from the fullness of life. We reject any claim of economic, political, and military empire which subverts God’s sovereignty over life and acts contrary to God’s just rule. 20. We believe that God has made a covenant with all of creation (Genesis 9.8-12). God has brought into being an earth community based on the vision of justice and peace. The covenant is a gift of grace that is not for sale in the market place (Isaiah 55.1). It is an economy of grace for the household of all of creation. Jesus shows that this is an inclusive covenant in which the poor and marginalized are preferential partners, and calls us to put justice for the “least of these” (Matius 25.40) at the centre of the community of life. All creation is blessed and included in this covenant (Hos2.18ff). 21. Therefore we reject the culture of rampant consumerism and the competitive greed and selfishness of the neoliberal global market system, or any other system, which claims there is no alternative. 151 Accra Confessions of World Alliance of Reformed Churches 24th General Council, Accra, Ghana July 30-August 13, 2004. 110 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi Pernyataan itu secara eksplisit menegaskan kritik keras Gereja Reformasi terhadap tata ekonomi kapitalisme global yang melahirkan sistem ekonomi, politik dan militer yang absolut yang tidak sejalan dengan iman Kekristenan, terutama rasa ketidakadilan yang tidak mau lagi memikirkan kesejahteraan masyarakat yang terpinggirkan. Pernyataan tersebut juga mempelihatkan sikap penolakan Gereja-Gereja Reformasi (Protestan) atas ketidakadilan ekonomia akibat neoliberalisme yang menguasai dunia saat ini. Hal ini disadari sebagai akibat keserakahan hidup yang berlebihan kaum kapitalistik, sehingga mengakibatkan jatuh korban. John Perkins menggambarkan keserakahan ini dalam bukunya, “Confessions of an Economic Hitman”. 152 Dapatlah dibayangkan betapa borosnya kehidupan para eksekutif korporasi itu, sehingga ada perusahaan asuransi yang memiliki pesawat jet tersendiri yang hanya diperuntukkan bagi General Manajernya yang tidak mau menggunakan pesawat penumpang umum dalam melakukan bisnis. Sudah dapat dibayangkan betapa besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mendukung gaya hidup para eksekutif tersebut. 152 Lih., John Perkins, Confessions of an Economic Hitman: Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Jakarta: Abdi Tandur, 2005).