Identitas Komunitas Masjid di Era Globalisasi: studi pada komunitas

advertisement
BAB II
ERA DAN TEORI GLOBALISASI
Bab ini menjelaskan kerangka teori utama studi ini,
yakni globalisasi sebagai kekuatan eksternal pengubah
dunia sosial di tingkat lokal. Penjelasan teoritisnya terdiri
dari pendekatan historis globalisasi sebagai periodisasi
zaman, definisi dan dimensi-dimensi globalisasi, serta
karangka
teoritis
yang
komprehensif
mengenai
globalisasi yang dikemukakan oleh para pakar, terutama
dalam perspektif ekonomi-politik maupun kebudayaan,
hubungan globalisasi, agama dan budaya, respon agama
terhadap globalisasi.
2.1.
Asal Mula dan Pengertian Globalisasi
Kata globalisasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu
globe dan globalization yang berarti dunia atau proses
masuk ke ruang lingkup dunia. 1 Globalisasi secara
harafiah mengandung arti proses penduniaan segala
sesuatu mengenai kehidupan umat manusia menjadi satu
dunia yang utuh dan bulat. Dalam sejarah, globalisasi
telah dimulai kemunculannya cukup lama.
2
Hanya
wujudnya yang menimbulkan masalah serius tidak hanya
bagi bangsa-bangsa yang tertinggal, akan tetapi juga bagi
1 http://www.kbbi.web.id/globalisasi, Diunduh pada tanggal 2
November 2014.
2 Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses Dialektika Sistemik (Jakarta:
Yayasan Sad Staria Bhakti, 2007), 29-30.
28 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
penduduk planet bumi akhir-akhir ini. Oleh karena itu,
globalisasi,
terutama
yang
berkembang
menjadi
kapitalisme Barat harus diketahui sejarahnya dengan
cermat, sehingga dapat disikapi dengan tepat.
Dalam pertumbuhan sejarah bangsa-bangsa di
dunia, globalisasi telah ada sejak dahulu kala. Kalau
dimulai dari hitungan sejarah Macedonia tahun 330-an
SM, Alexander Yang Agung (Raja Iskandar Agung) sudah
melakukannya.3 Dengan menggunakan alat transportasi
yang masih sangat sederhana waktu itu, wilayah yang
dikuasai Alexander Agung terbentang dari Macedonia
sampai ke sungai Indus di India. Berbagai kota yang
dikuasainya mengalami sentuhan Hellenisme berupa
gymnasium, amphithater, kuil Zeus, dan sebagainya.
Nama-nama kota, seperti Alexandria muncul di manamana, seperti di Mesir. Alexander Agung berhasil
meneruskan
jejak-jejaknya
lewat
Hellenisme
yang
berlaku dan diminati secara universal, yang pengaruhnya
masih terasa sampai saat ini dalam peradaban Barat.
Wilayah luas ini ia rebut dari tangan Kerajaan Persia
dengan agama Zoroasternya, yang juga memiliki wilayah
yang luas. Akan tetapi pengaruh Zoroaster tidak seluas
dan sehebat Hellenisme. Pengaruh itu diteruskan oleh
Kekaisaran Romawi, yang pada waktunya adalah juga
kekaisaran yang menguasai dunia. Dalam peradaban
Islam, globalisasi juga bukan hal baru. Demikian pula
3 Lihat Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary
Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1985), 439-440.
Era dan Teori Globalisasi 29
pengaruh peradaban Islam yang begitu besar, dari Dinasti
Abbasiyah di Irak, Dinasti Umayyah di Syria, sampai
terakhir
lewat
Kekaisaran
Ottoman
adalah
bukti
globalisasi bangsa Turki dengan agama Islamnya.
Pengaruh Kekaisaran Ottoman sampai ke Eropa Timur
meninggalkan bekas dalam era modern ini dalam wujud
perang di Bosnia dan Slovakia.4
Dalam lingkup Nusantara, hal serupa itu pernah
terjadi. Kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan
dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur adalah wujud
globalisasi, kalau pengaruhnya juga terasa sampai ke
Madagaskar di benua Afrika. Jadi globalisasi adalah
sesuatu kenyataan yang bersifat alamiah yang sudah ada
sejak dulu. Oleh karena itu, globalisasi bukan hal baru.
Semua bangsa di dunia ini apabila berkesempatan dapat
melakukannya, termasuk bangsa Indonesia. Masalahnya
globalisasi yang pernah terjadi di sepanjang sejarah masa
lalu itu tidak menimbulkan dampak yang besar sebesar
dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi kapitalisme
Barat saat ini yang mengancam lingkungan hidup umat
manusia, dengan timbulnya pemanasan global. Globalisasi
yang terjadi kini benar-benar besar dampak yang
dirasakan oleh umat manusia. Tentu dampak lingkungan
ini adalah salah satu dari masalah globalisasi yang
ditimbulkan oleh kapitalisme Barat.5 Masalah besar lain
Bdk., Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses..., 30.
Kapitalisme bagi Marx tidak hanya menghasilkan keuntungan
ekonomi, melainkan melahirkan kelas sosial yang timpang. Dalam sejarah,
4
5
30 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
adalah ketidakadilan yang dialami oleh para buruh,
terutama
di
negara-negara
berkembang
yang
membutuhkan lapangan kerja bagi rakyatnya. Dari sisi
itu, globalisasi kapitalisme perlu dikaji.6
Satu hal yang menarik diketahui dari rangkaian
peristiwa historis itu, adalah sebagai fenomena alamiah
manusia dapat hidup eksis karena kebutuhan ekonomi. Namun karena
sumber-sumber ekonomi terbatas, sesuai tabiat dasarnya sebagai makhluk
ekonomi, manusia dengan akal fikiran yang ditempa oleh pengalaman hidup
sehari-hari berusaha menguasai sumber-sumber ekonomi yang terbatas itu
untuk memenuhi kebutuhannya yang terus meningkat. Dalam dunia sosial,
penguasaan atas sumber-sumber ekonomi melahirkan dua kelas yang
berhadapan (dialektik), yakni kelas yang menguasai sumber-sumber
ekonomi dan kelas yang tidak menguasai. Pada masyarakat feodal yang
berbasis pada pertanian, kelas yang menguasai sumber-sumber ekonomi
disebut kelompok pemilik tanah yang terdiri dari kaum bangsawan dan rajaraja. Sedangkan yang tidak menguasai tanah, disebut budak yang kemudian
berubah menjadi kelas petani. Perkembangan dari masyarakat feodal ke
masyarakat kapitalis terjadi seiring dengan revolusi industri di Eropa, di
mana kedua kelas itu bermetamorfosis menjadi kelas pemodal dan buruh,
atau kelas borjuis versus proletariat. Marx dalam analasis kritisnya,
menyaksikan kelas buruh karena ketiadaan modal dipaksa oleh situasi atau
karena memaksakan diri seiring dengan terbatasnya pilihan
mensejahterakan diri, menyediakan tenaganya ke pemilik modal. Mereka
bekerja memproduksi barang yang menghasilkan keuntungan bagi pemilik
modal. Namun tidak bagi buruh, keuntungan yang diperoleh kecil tergantung
imbalan uang dari keuntungan penjualan barang. Buruh tidak memiliki hak
menjual barang yang diproduksinya sendiri, kecuali imbalan yang diterima
berdasarkan kerja memproduksi barang. Buruh diupah murah karena
ketiadaan modal yang menjadi ukuran tertinggi nilai masyarakat kapitalis.
Pada masyarakat kapitalis, pemodal menjadi kelompok dominan dalam
menentukan kesejahteraan masyarakat, semakin besar modal yang dimiliki,
ia kian sejahtera. Sementara buruh dihargai dengan kesejahteraan rendah
sebagaimana tenaganya yang dinilai sebanding dengan mesin produksi,
bahkan harganya lebih murah dari mesin-mesin itu. Pada sistem kapitalistik
ini, ketimpangan pendapatan berujung pada lahirnya ketidakadilan sosial,
dan kapitalisme berubah menjadi sistem kekuasaan politik. Selain
ketidakadilan sosial, timbul pula keterasingan bagi buruh di tengah sistem
yang kapitalistik itu. Lih., Robert C. Tucker, The Marx-Engels: Reader (USA:
W. W. Norton,1978), 110-200.
6 Lihat
misalnya kajian kritis James Goldsmith, Perangkap,
diterjemahkan oleh Soemitro dengan Kata Pengantar oleh Mochtar Lubis
(Jakarta: Yayasan Obot Indonesia, 1995).
Era dan Teori Globalisasi 31
yang mendunia, globalisasi pada awalnya terkait dengan
peningkatan interdependensi antarbangsa melalui jalur
perdagangan, kemudian berlanjut ke politik, perjalanan,
budaya populer, dan bahkan bentuk interaksi sosial lain
yang mengakibatkan batas-batas suatu negara dan bangsa
menjadi hilang. Globalisasi merupakan proses interaksi
sosial tanpa jarak yang menjadikan ruang lingkup
kehidupan umat manusia bertambah luas, terutama
dalam memainkan peranan sosialnya ketika dunia
menjadi kesatuan yang tunggal. 7 Batasan jarak yang
hilang dalam berinteraksi, menunjukkan globalisasi
mampu
melenyapkan
batas
geografis
mendorong
dunia
semakin
sehingga
dan
waktu,
terintegrasi;
peristiwa di suatu tempat yang jauh jaraknya dapat
diketahui di tempat lain di dunia ini dalam waktu yang
bersamaan.
Pertumbuhan globalisasi terjadi seiring dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang maju ke
seluruh dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dengan
penemuan-penemuan baru menghasilkan pandangan
baru bagi peningkatan mutu kehidupan masyarakat.
Tuntutan akademik dengan ukuran apapun yang bersifat
ilmiah menjadi standar yang menentukan kebaikan hidup
masyarakat. Perkembangan teknologi memberi jalan bagi
ilmu pengetahuan dalam memperbesar pengaruhnya ke
berbagai lapisan sosial. Teknologi, terutama teknologi
7May T. Rudy, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah
Masalah Global (Bandung: Rafika Aditama, 2003), 5.
32 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
transportasi, informasi dan komunikasi menjadi sarana
efektif dan efisien bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan pengaruhnya pada kehidupan yang lebih luas, seperti
di bidang politik, ekonomi dan perdagangan. Pada bidang
perdagangan
antar
negara,
globalisasi
membuka
transaksi bisnis yang dilakukan secara cepat dan efisien
melalui sistem online, sehingga masing-masing negara
dengan mudah dapat menjual produk ekonominya.
Kecenderungan
ini
mengakibatkan
barang
yang
diperdagangkan oleh suatu negara tidak berbeda dengan
negara lain.8
Pada
pertumbuhannya
sebagai
studi,
istilah
globalisasi pertama kali diperkenalkan oleh wartawan
Theodore Levitt pada tahun 1980-an. 9 Periode tahun
1990-an, istilah globalisasi menjadi tema utama diskusi di
kalangan akademisi Barat dan dunia pers. 10 Sebagian
besar aspek globalisasi membahas persoalan di sekitar
pertanyaan bagaimana istilah itu dipahami, apakah ia
merupakan
istilah
baru
atau
tidak,
dan
apa
8 Komputerisasi
dan kecepatan komunikasi mengakibatkan
kemampuan memperluas jaringan kendali atas satu sentral ke seluruh dunia,
peningkatan kecepatan efisiensi transportasi, baik orang maupun barang
yang diperdagangkan memungkinkan pelenturan proses produksi, sehingga
menghasilkan pemusatan ekonomi yang tajam pada dunia tertentu. Lih., Ali
Sugiharto, Globalisasi Perspektif Sosialis (Jakarta: Penerbit Cubuc, 2001), 3.
9 Ashad Kusuma Djaya, Teori-Teori Modernitas dan Globalisasi
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012), 81.
10 Peter Beyer, Religion and Global Society (New York: Routledge,
2006), 18.
Era dan Teori Globalisasi 33
konsekuensinya?11 Istilah globalisasi kian populer dalam
dunia perekonomian yang melibatkan hubungan global di
Dunia
Barat.
mengungkap
Paul
Hirst
perekonomian
dan
yang
Graham
Thomsom
mengglobal
lahir
seiring dengan perkembangan kapitalisme perusahaan
transnasional.12
Liberalisasi ekonomi dan kapitalisme tumbuh sejak
penandatanganan kesepakatan internasional General
Agreement Tariff and Trade (GATT) pada bulan April
1994
di
Marrakesh
Maroko,
yang
menetapkan
pemberlakuan pasar bebas (free trade). 13 Pada Dunia
Barat, globalisasi ekonomi dimulai dengan perluasan
pasar keuangan dunia sejak periode 1970-1990-an.
Kapitalisme yang semula bersifat regional berubah
menjadi jaringan internasional. 14
Kapitalisme kemudian meninggalkan pelabuhan di
negeri asalnya, bertarung di tengah lautan ekonomi dunia
yang ganas. Upaya mencari keuntungan dan surplus yang
tidak mengenal lelah telah merambah ke seluruh pelosok
dunia.
Para
pemain
ekonomi
adalah
korporasi
transnasional yang tidak tunduk pada negara tertentu. Ia
beroperasi di berbagai negara tetapi tidak untuk negara
itu. Dampak yang nyata ialah pasar ikut mendunia dengan
11 Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan
Demokrasi Sosial, diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000), 32.
12 Ibid., 33.
13 Ashad Kusuma Djaya, Teori-Teori Modernitas...., 82.
14 Ibid.
34 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
ideologi kapitalisme yang membentuk tata dunia baru. 15
Apabila seseorang datang ke supermarket dan melihat
produk yang dijual berasal dari berbagai belahan negara,
dapat dipastikan globalisasi telah menjadi kenyataan
pahit, bukan sekedar mitos dalam sentimen nasionalisme
negara.
Globalisasi muncul bersamaan dengan keruntuhan
pembangunan di Asia Timur. Era globalisasi meyakinkan
rakyat miskin di Dunia Ketiga, memberikan janji dan
harapan baru bagi kebaikan hidup umat manusia di masa
depan. Akan tetapi globalisasi juga melahirkan kecemasan
bagi mereka yang memikirkan permasalahan kemiskinan,
marjinalisasi masyarakat, dan persoalan keadilan sosial.16
Praktek globalisasi berkembang secara tidak adil.
Bagi masyarakat yang tinggal di luar Eropa dan Amerika
Utara, globalisasi menjadi tidak adil sebab ia identik
dengan Westernisasi atau Amerikanisasi. Amerika Serikat,
misalnya kian tampak sebagai satu-satunya negara
adidaya di bidang ekonomi, budaya, militer, dan politik.
Banyak wujud kultural yang berwajah Amerika Serikat,
seperti Coca Cola, McDonald, atau CNN. Perusahaan
transnasional raksasa ini juga berbasis di negeri Paman
Sam itu.17
15 Fredric Jameson, and Masao Miyoshi (ed.), The Cultures of
Globalization (USA: Duke University Press, 2004), 164.
16 Einar Sitompul dan Hetty Siregar (ed.), Globalisasi Alternatif
Mengutamakan Rakyat dan Bumi: Sebuah Dokumen Latar Belakang (Jakarta:
PMK HKBP, 2008), iii.
17 Anthony Giddens, Runway World
(Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2001), 194.
Era dan Teori Globalisasi 35
Pada perkembangan lebih lanjut, globalisasi tidak
hanya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi
juga berhubungan dengan transformasi ruang dan waktu.
Revolusi informasi merupakan satu gejala penting lain
dalam fenomena globalisasi. Kehadiran komunikasi satelit
menandai keterpisahan dramatis dengan masa lalu.
Satelit komersial pertama diluncurkan pada tahun 1969,
dan kini lebih dari 200 satelit beredar di atas bumi.18
Kecanggihan teknologi satelit terlihat dengan alatalat elektronika mutakhir yang menghubungkan satu
dunia dengan dunia lain. Melalui satelit NASA, umat
manusia menembus jagad luar angkasa. Dengan bantuan
televisi dan komputer, seseorang yang berada di
Indonesia dapat mengetahui peristiwa perang yang
terjadi di Palestina dan Israel, pemilihan presiden yang
berlangsung di Amerika, dan berbagai peristiwa lain yang
mempengaruhi seluruh kehidupan umat manusia. Manuel
Castells, sosiolog dari Spanyol, menyebut fenomena ini
dengan kemunculan masyarakat jaringan.19 Masyarakat
jaringan yang lahir di era global merupakan masyarakat
yang hidup dan berinteraksi dalam jejaring sosial yang
mendunia akibat ketergantungannya pada teknologi
informasi dan komunikasi.
Dalam
perspektif
kebudayaan,
globalisasi
mendorong interaksi sosial antar bangsa, menciptakan
18 Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan...., 35-36;
Idem, Runway World...., 190.
19 Lih., Manuel Castells, The Rise of the Network Society (UK: Blackwell
Publishing, 2000).
36 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
kebudayaan
populer
yang
bersifat
mendunia dan
kekinian (trend). Internasionalisasi kebudayaan ini yang
menimbulkan masalah baru bagi hubungan antar
kebudayaan di berbagai bangsa. Pada satu sisi karena
terjadi internasionalisasi budaya, kebudayaan dominan
pada suatu bangsa mengekspansi kebudayaan yang tidak
dominan. Namun pada sisi lain terjadi penguatan
kebudayaan
yang
tidak
dominan
ke
dalam
internasionalisasi kebudayaan. Di sini interaksi sosial
suatu
bangsa
dengan
bangsa
lain,
menghasilkan
kebudayaan baru, dan atau melahirkan percampuran dua
atau lebih kebudayaan.20
Dalam
pengertian
tersebut,
globalisasi
telah
menghasilkan transformasi kehidupan umat manusia
yang terintegrasikan pada jaringan kebudayaan global,
yang ditandai dari kemunculan modernitas, kapitalisme
global, produksi massal, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dominasi bangsa Barat, dan sekulerisasi ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, globalisasi menjadi satu
fenomena kebudayaan mendunia yang kehadirannya
dapat dirasakan di berbagai belahan dunia manapun.
Sebagai contoh, hanya dengan bantuan “si kotak ajaib”
bernama televisi, seseorang yang bertempat tinggal di
Indonesia dapat melihat secara langsung (live) peristiwa
penting yang terjadi di Hongkong, Belanda, Amerika
Serikat maupun negara-negara lain. Melalui supermarket20
Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses...., 25.
Era dan Teori Globalisasi 37
supermarket, seseorang dengan mudah membeli produkproduk komersial made in luar negeri tanpa perlu pergi
ke negara luar yang memproduksinya. Masih banyak
contoh lain yang menandai abad baru kehidupan umat
manusia dewasa ini, di mana globalisasi menghadirkan
kesadaran dunia yang menyatu, namun dalam praktek
yang berbeda-beda; “the worldwide diffusion of practices,
expansion of relations accross continents, organization of
social life on a global scale, and growth of shared a global
consiousness”.21
Kini globalisasi sebagaimana diungkapkan oleh
Anthony Giddens, bukan sekedar soal apa yang ada “di
luar
sana”
tetapi
kenyataan
riil
“di
sini”
yang
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan umat manusia.22
Ia merupakan serangkaian proses sosial kompleks dalam
wujudnya yang kontradiktif. Globalisasi menjadi suatu
rentangan proses rumit, yang digerakkan oleh berbagai
pengaruh politik dan ekonomi. Ia mengubah kehidupan
sehari-hari, terutama kebudayaan di negara berkembang,
dan pada saat yang sama menciptakan sistem dan
kekuatan transnasionalisme baru.
23
Kenyataan dan
perspektif globalisasi yang sedemikian kompleks dan luas
tersebut, mennginspirasi lahirnya berbagai teori tentang
globalisasi yang digagas oleh para pemikir sosial
kontemporer.
21 George Ritzer, The Globalization of Nothing (Thousand Oaks: Pine
Forge Press, 2004), 72.
22 Anthony Giddens, The Third Way...., 31.
23 Ibid., 38.
38 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Untuk menfokuskan kerangka teoritik tentang
globalisasi, berikut adalah perspektif globalisasi dari para
pemikir
sosial
pemahaman
mempengaruhi
yang
berguna
komprehensif
interaksi
dalam
bagaimana
sosial
pada
memberikan
globalisasi
komunitas-
komunitas lokal di seluruh dunia. Gagasan teoritis
pertama dikemukakan oleh William I. Robinson yang
melihat globalisasi sebagai produk kapitalisme Barat yang
berkembang mendunia dengan dampak ketidakadilan
sosial yang ditimbulkannya di wilayah regional, terutama
di negara-negara berkembang. 24 Kemudian Anthony
Giddens yang memandang globalisasi sebagai anak
kandung dari modernisasi sehingga melahirkan alternatif
jalan ketiga. Sebagai jalan ketiga, globalisasi memberikan
alternatif sosial diantara pilihan jalan berideologi kiri
(sosialisme) dan kanan (kapitalisme) dalam pertumbuhan
modernitas. 25 Selanjutnya juga akan diuraikan secara
detil bagaimana hubungan interaksi globalisasi dengan
lokalitas dalam teori yang digagas oleh Roland Robertson,
di mana globalisasi sebagai sistem dunia melahirkan
glokalisasi dalam menganalisis menguatnya kebudayaan
24 Lih., William I. Robinson, A Theory of Global Capitalism: Production,
Class, and State in a Transnational World (Baltimotre and London: The Johns
Hopkins University Press, 2004).
25 Lihat antara lain Anthony Giddens and Cristopher Pierson,
Conversation with Anthony Giddens, “Making Sense of Modernity” (CambridgeUSA: Polity Press, 1998).
Era dan Teori Globalisasi 39
lokal yang berjalin kelindan dengan globalisasi.
26
Sementara dalam aspek teknologi dan hubungan dengan
dunia
sosial,
globalisasi
perspektif
membantu
Arjun
Appadurai
menganalisis
tentang
bagaimana
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
mengubah sekaligus membangun dunia sosial yang
terintegrasi
dalam
lima
lanskap
terbantuknya komunitas terbayang
global,
dengan
(maya). 27
Terakhir,
terbentuknya komunitas terbayang itu diteorisasikan
secara praksis oleh Thomas L. Friedman, di mana
globalisasi yang menghadirkan komunitas terbayang itu
melahirkan secara sosial individu dan sekelompok orang
yang kreatif dalam suatu komunitas lokal. Merekalah
sebenarnya yang menjadi aktor utama globalisasi di
tengah dunia yang telah diratakan. Globalisasi menjadi
bersifat bio-regional atau disebut globalisasi lokal.28
Namun dari kelima perspektif globalisasi tersebut,
Rebecca Peters menyederhanakannya ke dalam empat
pengertian.29 Pertama, globalisasi dipahami sebagai neoliberalisme. Pemahaman ini lahir dari ideologi yang
mengembangkan
pertumbuhan
dan
keuntungan
26 Lih., Roland Robertson, Mapping the Global Condition: Globalization
as the Global Concept: Theory, Culture and Society, Vol. 7, (London: SAGE
Publications, 1990).
27 Lih., Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in the Global
Cultural Economy”, dalam G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and
Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell Publishing, 2006).
28 Lih., Thomas L. Friedman, The World is Flat: A Brief History of
Twenty-First Century (USA: Fattar, Straus and Giroux New York, 2015).
29 Rebecca Todd Peters, In Search of the Good Life: The Ethics of
Globalization (New York-London: Continuum, 2004), 10-12.
40 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
perdagangan
antar
bangsa
melalui
perusahaan-
perusahaan besar. Pandangan ini dikumandangkan
terutama oleh mereka yang mendukung “pasar bebas”,
pendukung
World
Trade
Organizations
(WTO),
perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional.
Pandangan kedua yang memahami globalisasi sebagai
developmentalisme. Dalam pengertian ini pembangunan
dinilai sebagai segala-galanya, sehingga gagasan-gagasan
konstruktifnya sangat terkait dengan program-program
yang dicetuskan oleh Bank Dunia, UNDP, USAID, dan lain
lain. Dalam perspektif developmentalisme, pembangunan
dilihat dari dua sisi, yaitu sisi perusahaan-perusahaan
besar, pembangunan adalah setara dengan pertumbuhan
ekonomi dan keprihatinan atas negara-negara belum
berkembang (underdeveloped countries). Sedangkan dari
perspektif rakyat kecil, pembangunan dipahami sebagai
pembangunan rakyat ketika keadilan sosial bagi rakyat
adalah ukuran keberhasilannya.
Pandangan Ketiga, adalah yang melihat globalisasi
sebagai kekuatan masyarakat kecil dalam pengembangan
ekonomi, bukan lagi bertumpu pada perusahaanperusahaan besar atau transnasional, seperti McDonald,
dan sebagainya. Pandangan ini disebut juga sebagai
“earthism”, yaitu pengembangan ekonomi masyarakat
akar rumput atau “globalisasi dari bawah,” “model
bioregional” atau “lokalisasi.” Pandangan terakhir, yaitu
pandangan
globalisasi
sebagai
pasca-kolonial
yang
melihat globalisasi sebagai bentuk baru neo-kolonialisme.
Era dan Teori Globalisasi 41
Dalam pengertian ini, perhatian lebih diberikan kepada
masyarakat kecil yang merasa tercabut dari proses
pembuatan keputusan yang menyangkut diri mereka
sendiri. Penolakan yang dimulai dari negara-negara
Selatan mulai mendapat dukungan dari mereka di negaranegara Utara lewat berbagai penolakan atas arus
globalisasi dari negara-negara Utara.
2.2.
Teori-Teori Globalisasi
2.2.1. William I. Robinson: Kapitalisme Global
Pada
tahun
1990,
Presiden
George
Bush
mengucapkan pidato di depan Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), yang isinya menjelaskan bahwa
dunia telah masuk ke dalam era baru, yaitu globalisasi.
Era baru ini tercipta ketika Tembok Berlin yang dibangun
Jerman Timur untuk mencegah warganya menyeberang
ke Jerman Barat runtuh. Runtuhnya Tembok Berlin pada
tahun 1989 memungkinkan warga Jerman Timur leluasa
pergi ke Jerman Barat dan sebaliknya, sebagai tanda
berakhirnya hegemoni Uni Soviet (USSR) atas Jerman
Timur. Dua tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1987,
sewaktu Presiden Ronald Reagen berkunjung ke Berlin
(Barat)
ia
pernah
menyerukan
kepada
Presiden
Gorbachev, agar “Runtuhkan Tembok Berlin”.
Keruntuhan
memudarnya
Tembok
hegemoni
Berlin
USSR
atas
ini
menandai
negara-negara
satelitnya di Eropa Timur yang berhaluan komunis. Tiga
negara bagian USSR, yaitu Latvia, Lituania dan Estonia
42 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
kemudian memisahkan diri dari USSR ketika parlemenparlemen tiga negara bagian itu mendeklarasikan
pemisahan dirinya secara sepihak dari USSR. Pemisahan
itu terjadi tanpa ada perlawanan dari USSR setelah
mendapat dukungan internasional. Dua tahun setelah itu,
USSR sendiri runtuh dan digantikan Confederation of
Independent States (CIS), suatu bentuk kehidupan yang
hanya nama saja, karena ternyata hegemoni Rusia atas
negara-negara konfederasi itu juga hilang. Lenyapnya
kekuatan USSR menyebabkan dunia hanya memiliki satu
kekuatan politik ekonomi, yaitu kapitalisme.
Dapat dipahami kalau satu tahun kemudian dari
runtuhnya Tembok Berlin, yaitu pada tahun 1990,
Presiden
Bush
menggunakan
istilah
globalisasi.
Globalisasi dari sisi ini memiliki pengertian suatu politik
ekonomi kapitalistik yang menguasai kehidupan umat
manusia di seluruh dunia. Pada saat ini, kecuali Kuba,
negara-negara yang pernah menerapkan politik ekonomi
sosialis telah runtuh, termasuk China. Semua negara
masuk dalam sistem ekonomi pasar bebas yang
kapitalistik. Globalisasi dengan demikian, memiliki makna
baru, yaitu kapitalisme yang telah menjadi kapitalisme
global. Era ini dibayangkan secara optimistik akan
bertahan minimal sekitar 60 tahunan, bahkan ada yang
Era dan Teori Globalisasi 43
memperkirakan abad berikutnya akan menjadi abad
kapitalisme global.30
Namun sebelum memasuki dekade kedua tahun
2008-2009, Amerika Serikat mengalami resesi ekonomi
yang parah akibat spekulasi investasi industri real estate
yang salah yang berakibat pada anjloknya pasar modal
dan merosotnya nilai tukar mata uang dolar AS terhadap
mata uang asing lain yang diikuti oleh kebangkrutan yang
dialami lembaga perbankan AS dan lembaga perbankan
internasional, serta bangkrutnya industri-industri besar
di AS, seperti perusahaan asuransi dan industri mobil,
yang dampaknya terasa ke seluruh dunia, optimisme
kapitalisme global ini pun diragukan. Ketika kelemahan
ekonomi
satu
negara,
seperti
AS
mengakibatkan
terjadinya goncangan ekonomi juga di negara-negara lain,
dalam situasi ketika politik ekonomi seluruh dunia sudah
menyatu, maka globalisasi telah berada pada puncak
perkembangannya. Seluruh dunia telah menjadi satu
secara ekonomi, dengan AS sebagai penggerak utamanya.
Oleh karena itu, goncangan ekonomi yang terjadi di AS,
menimbulkan goncangan juga di berbagai bagian lain
dunia.
Robinson
menyebutnya
sebagai
tahapan
kapitalisme global yang memuncak dengan intensive
capitalism ketika kebutuhan manusia di berbagai dunia
telah menjadi komoditas ekonomi, yang muncul setelah
30 John Kotter, “Cultures and Coalition”, dalam Rowan Gibson (ed.),
Rethinking the Future: Bussiness, Principles, Competition, Control, Leadership,
Markets, and the World, Foreword by Alvin & Heidi Toffler (London: Nicholas
Brealy Publishing, 1997), 165.
44 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
perkembangan extensive capitalism berupa penyebaran
kapitalisme ke berbagai belahan dunia.31
Indonesia yang mau atau tidak mau, termasuk juga
ke dalam politik ekonomi kapitalistik itu tidak terkecuali
terkena dampaknya. Pemberhentian buruh pabrik terjadi
di
mana-mana
karena
produksi
merosot
akibat
melemahnya pasar di AS. Buruh menjadi korban dengan
pemutusan
Menariknya,
hubungan
kerja
menghadapi
(PHK)
persoalan
secra
sepihak.
ekonomi
yang
demikian itu, mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono
(SBY) menyerukan perlunya dipertimbangkan kebijakan
ekonomi syariah sebagai alternatif atas krisis yang sedang
terjadi secara global. Kapitalisme global yang mengalami
resesi seperti halnya terjadi pada tahun 1930-an,
dianggap sudah tidak memadai lagi, sehingga hendak
digantikan oleh perkonomian berlabel syariah.
Anggapan yang ada dibalik upaya ini nampaknya
adalah anggapan yang mengaitkan pengertian globalisasi
sebagai
suatu
politik ekonomi yang ada hakikat
agamanya, sehingga perlu diganti pula dengan politik
ekonomi agama lain. Kenyataan ini bukanlah hanya
masalah Indonesia saja. Ada kecenderungan juga untuk
mempelajari sistem perekonomian Islam sebagaimana
ditunjukkan oleh keinginan berbagai negara untuk
mempelajari sistem ekonomi tersebut. Globalisasi dengan
demikian dianggap memiliki juga arti keagamaan di
31
William I. Robinson, A Theory of Global Capitalism..., 6-7.
Era dan Teori Globalisasi 45
dalamnya. Paling sedikit ia diwaspadai sebagai kenyataan
dari
Barat,
dan
kemudian
Kristen.
Untuk
itu
kebangkrutannya berarti perlu diganti oleh politik
ekonomi agama lain. 32 Pertanyaan naifnya kemudian,
apakah globalisasi harus dihadapi juga dengan agama?
Namun
Robinson
berkeyakinan
berbeda,
globalisasi yang melahirkan kekuatan kapitalisme Barat
itu dalam perkembangan sejarahnya tumbuh dalam 4
tahap sejarah.33 Tahap pertama antara tahun 1492-1789
adalah tahap peralihan dari masyarakat feodal ke
masyarakat kapitalisme di Eropa dan ekspansi keluarnya.
Era ini disebut juga sebagai era penemuan dan
penaklukan
yang
disimbolkan
dengan
kedatangan
Colombus di Amerika. Pada tahap ini bangsa-bangsa Barat
tersebar ke seluruh dunia dan mendiami berbagai
wilayah bumi dimulai sebagai minoritas pada tempat
baru itu. Minoritas yang kemudian berhasil secara
ekonomi ini meningkatkan statusnya menjadi yang
mayoritas
secara
politik
yang
berakhir
dengan
pemerdekaan dirinya sebagai bangsa dan negara baru. AS
adalah contoh utama dari negara dan bangsa baru pada
era ini.
Tahap kedua terjadi akhir tahun 1900. Pada tahap
ini terjadi revolusi industri diikuti dengan munculnya
kelas borjuis dan kehadiran negara-bangsa (nation state)
32 Lihat Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
translated by Talcott Parsons (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958).
33 William I. Robinson, A Theory of Global Capitalism...., 4-5.
46 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
baru yang disimbolkan dengan keberhasilan Revolusi
Perancis dan revolusi manufaktur di Inggris. Tahap ketiga
yang terjadi sampai dengan awal tahun 1970-an, adalah
tahap munculnya kapitalisme monopoli korporasi dengan
terbentuknya satu pasar dunia bersama dan sistem
negara-bangsa ketika kapitalisme telah diorganisasikan
dengan baik. Kehadiran badan-badan dunia, seperti Bank
Dunia, IMF, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah
simbol tahap ini.
Tahap keempat, yaitu tahap yang sedang dimasuki
kapitalisme
Barat
yang
didukung
oleh
teknologi
microchips dan komputer, atau disebut pula zaman
teknologi informasi, yang secara politik diikuti oleh
keruntuhan sosialisme abad ke-20 M., serta kegagalan
negara-negara Dunia Ketiga untuk menawarkan gerakan
pembebasan sebagai alternatif bagi kapitalisme global.
Tahap yang merupakan tahap perubahan dari negarabangsa ke tahap transnasional, negara tanpa batas. Ini
suatu perubahan yang secara kualitatif baru dalam
globalisasi. Perubahan-perubahan ini telah menempatkan
kapitalisme Barat yang dimotori oleh AS itu menjadi satusatunya kekuatan politik dan ekonomi dunia, terutama
ketika China Daratan yang komunis juga telah memeluk
politik ekonomi kapitalistik itu, dan diikuti pula oleh Blok
Eropa Timur dengan Rusia sebagai pemacu utama.
Persoalannya kemudian, mengapa Amerika Serikat
menjadi
satu-satunya
kekuatan
ekonomi
politik
kapitalisme dunia? Apa keistimewaan Amerika Serikat,
Era dan Teori Globalisasi 47
sehingga bangsa-bangsa lain di dunia harus ikut
menderita
akibat
kapitalismenya
itu?
ulah
para
Mengutip
eksekutif
dengan
pandangan
Richard
Hofstadter, Speth mengingatkan bahwa akar kapitalisme
Amerika Serikat ternyata tertanam kuat pada konstitusi
negara Amerika sendiri.34 Konstitusi yang menghargai
sangat tinggi upaya untuk mengejar kepuasan duniawi
yang
sebesar-besarnya
sehingga pemerintah
harus
melindungi hak-hak itu, termasuk di dalamnya hak milik
pribadi
yang
pemerintah
mengakibatkan
untuk
mendukung
adanya
apa
kewajiban
yang
disebut
Hofstadter sebagai timbul dan menyebarnya kapitalisme
industrial di Amerika Serikat. Tugas pemerintah adalah
melindungi hak dasar ini.
Oleh
karena
itu
dapat
dimengerti
kalau
perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat, terutama
setelah Perang Dunia II bergerak dengan sangat leluasa.
Itulah latar belakang perkembangan kapitalisme tahap
ketiga, yaitu ketika korporasi mulai menyebar menjadi
korporasi
transnasional.
Kedudukan
pada
dasar
konstitusional ini yang menyebabkan Amerika Serikat
berkembang menjadi negara kapitalis besar. Dan dari
latar belakang konstitusional itu pula dapat dimengerti
ketika Presiden Bush (senior) mengungkapkan di depan
Sidang Umum PBB pada tahun 1990, bahwa dunia kini
34 James Gustave Speth, The Bridge at the Edge of the World:
Capitalism, The Ernvironment, and the Crossing from Crisis to Sustainability
(New Haven and London: Yale University Press, 2008), 65-66.
48 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
telah memasuki era globalisasi (kapitalisme). Ini artinya
dengan kapitalisme global, Amerika Serikat tampil
sebagai satu-satunya negara adikuasa yang kehadirannya
menimbulkan dampak yang besar bagi bangsa-bangsa
lain di dunia.
Menurut Korten yang menganalisis pemerintahan
korporasi atau transnational state dengan kapitalisme
globalnya itu paling sedikit berdampak pada munculnya
tiga masalah sosial utama. Pertama, semakin tingginya
keyataan unemployment, penutupan berbagai perusahaan,
upah
di
bawah
merebaknya
standar, dan
kegelisahan
sosial
sebagainya. Kedua,
dengan
semakin
meningkatnya angka kejahatan, penggunaan obat-obat
terlarang, angka perceraian yang semakin tinggi, dan
sebagainya. Ketiga, adalah krisis ekologi yang semakin
serius. 35 Goldsmith menambahkan bahwa korporasikorporasi tersebut dengan mudah dapat memindahkan
(re-locate) pabrik-pabrik mereka dari satu negara ke
negara lain, termasuk negara mereka sendiri karena
alasan profit untuk mendapatkan upah buruh yang lebih
murah tanpa memperhitungkan akibat sosial yang harus
dipikul oleh kehidupan para pekerja yang ditinggalkan. 36
Krisis-krisis yang ditimbulkan ini mengindikasikan
lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pranata-
35 David C. Korten, When Corporations Rule the World (London:
Earthscan Publication Ltds., 1996), 18-21.
36 James Goldsmith, The Response to GATT and Global Free Trade
(London: MacMillan, 1995), 37.
Era dan Teori Globalisasi 49
pranata sosial, seperti demokrasi, pemerintah, dan
sebagainya.
2.2.2. Anthony Giddens: Globalisasi Jalan Ketiga
Manusia merupakan makhluk multidimensi yang
mempunyai potensi menciptakan kreatifitas berfikir dan
mengembangkan
diri.
Secara
biologi,
manusia
membutuhkan berbagai fasilitas untuk menyambung
kelangsungan hidup maupun habitatnya yang disebut
kebutuhan. Kebutuhan manusia akan meningkat seiring
dengan pertumbuhan fisiknya. Berbagai cara ditempuh
oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik
secara individu maupun sosial, baik kebutuhan primer
maupun sekunder. Dari sini asal mula kesadaran
mengenai daya produksi di masyarakat lahir, sehingga
memicu perkembangan rasionalitasnya yang disebut
modernisasi.
Giddens mengawali uraian tentang modernisasi
dengan
beberapa
tahapan
perkembangan
sejarah
masyarakat sebelum mencapai puncak modernisasi.
Tahap pertama, masyarakat pemburu dan berkelompok.
Ciri-ciri menonjol dari masyarakat ini terkait dengan
jumlah masyarakat yang cenderung kecil, ikatan sosial
berprofesi sama, yaitu berburu di hutan, penangkapan
ikan dan penanaman tumbuhan yang menghasilkan
makanan. Klasifikasi sosial pada masyarakat ini dilihat
dari segi umur dan jenis kelamin. Tahap kedua,
masyarakat agraris (agrarian societies), yakni segolongan
50 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
masyarakat yang mempunyai ikatan politik yang agak
luas. Ikatan politik berdampak pada peleburan perbedaan
identitas.
Pada
tahap
ini
masyarakat
mempunyai
karakteristik bercocok tanam, dengan dikepalai oleh
kepemimpinan tradisional. Namun belum menamakan
wilayah kekuasaannya sebagai desa atau kota. Corak
ekonomi masyarakat ini ialah berburu dan bercocok
tanam dengan sistem perladangan.
Tahap ketiga, pastoral societies, yakni masyarakat
yang tergolong besar dan mulai tinggal di pedusunan, dan
bermata pencaharian sebagai penggembala, berprofesi
utama beternak hewan. Dalam kepemimpinan sosial,
masyarakat pastoral societies dikepalai oleh ketua atau
kepala suku. Tahap keempat, masyarakat tradisional,
yakni fase masyarakat yang mulai mengalami pengikisan
terhadap kebudayaan tradisional secara evolutif. Pada
tahap ini, masyarakat mulai mengenal industrialisasi
secara
sederhana
dan
poros
perekonomian
yang
bertumpu pada hasil-hasil pertanian. Kepemimpinan
dalam masyarakat ini di bawah kontrol raja37.
Setelah mengetahui tahap-tahap evolusi masyarakat
secara historis, penting melihat proses perubahan
masyarakat
dari
tradisional
ke
modern.
Giddens
mengidentifikasi hal itu dengan memasukkan tiga unsur
utama. Yakni, tahap dari perubahan (face of change),
wilayah perubahan (scope of change) dan watak dari
37
112.
Anthony Giddens, Sociology 6th Edition (USA: Polity Press, 2009),
Era dan Teori Globalisasi 51
kelembagaan modern (nature of modern institution)38.
Apabila melihat tahapan perubahan masyarakat dari
tradisional ke modern, sama halnya melihat fase dari
perubahan pekerjaan masyarakat tradisional ke modern.
Sedangkan untuk melihat variabel perubahan sosial,
wilayah yang menjadi obyek perubahan modern menjadi
bagian terpenting. Terakhir, agar dapat melakukan
tinjauan kelembagaan modern, pengklasifikasian bentuk
organisasi
merupakan
mengkategorikan
institusi
koridor
utama
berdasarkan
jenis
dalam
dan
tujuannya pada masyarakat modern.39
Sementara untuk memahami wujud modernisasi,
Giddens menerangkan dalam beberapa poin. Pertama,
perilaku masyarakat yang merujuk pada trend global.
Tahap ini menunjukkan di mana ruang-ruang dunia
menjadi
mudah
mempengaruhi
perilaku
umum
masyarakat. Kedua, adanya ekonomi kompleks, terutama
dalam hal produksi dan pemasaran barang seiring dengan
pembentukan pasar yang bertambah luas. Ketiga,
timbulnya jarak dalam institusi politik yang melibatkan
negara dan masyarakat yang ditandai dari pembentukan
institusi-institusi independen40. Selain itu beberapa gejala
yang dipahami sebagai bagian dari globalisasi dalam
pengertian modernisasi adalah pertukaran ekonomi yang
38 Anthony Giddens, The Consequences of
Modernity (USA: Polity
Press, 1996), 6.
39 Ibid., 6.
40 Anthony Giddens and Cristopher Pierson, Conversation with
Anthony Giddens....., 94.
52 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
meluas dan perserikatan kontrak politik internasional
menuju pariwisata global, teknologi komunikasi dan
elektronika, pola migrasi sosial, dan lebih dari semuanya,
timbul gejala modernisasi, yakni masyarakat mampu
berhubungan dengan masyarakat di belahan dunia lain
dalam waktu yang singkat.41
Dari penjelasan di atas, secara historis modernisasi
sebenarnya merupakan akar dari globalisasi yang
ditandai dari perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Selain itu durasi waktu dengan skup area
dunia yang luas menjadi dorongan kuat pertumbuhan
globalisasi di mana dunia telah menjadi bagian dari
rumah bagi siapa saja atau global citizens42 atau rational
human control 43 . Ruang-ruang yang tersedia dalam
jejaring teknologi media global yang menghubungkan
masyarakat dunia menjadi bagian dari proses interaksi
sosial. Hanya saja proses interaksi ini tidak berada dalam
ruang nyata, tetapi dalam ruang imajinasi. Kondisi sosial
ini yang disebut oleh Giddens sebagai
sociological
imajination44.
Itu artinya terdapat pengaruh interaksional dalam
dunia modernitas global. Dalam hukum sosial sebab
akibat, modernitas global mempunyai pengaruh besar
dalam berbagai bidang kehidupan seiring dengan
Anthony Giddens, Sociology 6th....., 110.
Ibid., 142.
43 S. Mestrovic,
Anthony Giddens The Last Modernist (New York:
Routledge, 1998), 28.
44 Anthony Giddens, Sociology 6th......., 110.
41
42
Era dan Teori Globalisasi 53
meluasnya ruang interaksi sosial yang tidak lagi dibatasi
oleh tempat dan waktu. Kemunculan pengaruh tersebut
lahir karena pemanfaatan fasilitas teknologi yang
berkembang pesat.45
Menurut Giddens titik tekan dari globalisasi adalah
konsekuensi
lahirnya
kapitalisme,
industrialisme,
kekuatan keamanan, dan militer. Dua poin pertama yang
berupa kapitalisme dan industrialisme merupakan ambisi
semua negara. Sedangkan dua poin terakhir, yaitu
kekuatan keamanan dan militer adalah bagian dari
pembentengan diri dari ancaman kekacauan global.
Beberapa inspirasi yang melahirkan sikap pembentengan
diri terhadap ancaman keamanan dan militer dilakukan
dengan pembelajaran terhadap pengalaman masa lalu.
Tidak jarang pengalaman traumatik yang bersifat
violence, berpengaruh dalam membangun perencanaan
dan harapan yang lebih damai di masa depan.46
Konsekuensi lain dari globalisasi adalah pilihan
mengkategorikan dunia dalam ordo sosial yang dicirikan
dari adanya masyarakat informasi (information societies)
dan
konsumeristik
Mengkategorikan
(consumeris
masyarakat
informasi
societies).
berarti
menyandarkan sistem sosial modern yang tergantung
pada perkembangan teknologi informasi yang tidak
terkendali. Jika mengkategorikan masyarakat konsumeris
Ibid., 117.
Steven Loyal, The Sociology of Anthony Giddens (London: Pluto
Press, 2003), 115.
45
46
54 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
berarti menjadikan masyarakat modern dalam struktur
jaringan pasar yang memperluas konsumen produk yang
dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Menurut Giddens,
terdapat
langkah
perencanaan
dalam
merespon
globalisasi, yang disebut dengan perencanaan masa
depan
atau
colonization
of
the
future.
47
Perlu
digarisbawahi bahwa colonization of the future diartikan
sebagai pengelompokan masa depan kehidupan sosial
guna mencapai target-target tertentu dalam perubahan
masyarakat dalam mewujudkan cita-cita sosial bersama.
Proses interaksi sosial yang terjadi dalam globalisasi
juga membentuk pilihan tentang gaya hidup (life style)
masyarakat melalui teknologi, sehingga mendorong
proses transformasi gaya hidup (transformation of
lifestyle).
48
Obyek
transformasi
gaya
hidup
tidak
mengenal siapa, di mana dan bagaimana, tetapi semua
kalangan masyarakat. Hanya saja hal itu tergantung pada
sikap yang diambil oleh masyarakat, apakah menolak
atau sebaliknya menerima. Pada pihak lain, individu
sebagai bagian terkecil dari masyarakat mempunyai
peran besar dalam proses perubahan. Individu tidak lagi
dapat menghindarkan diri dalam dinamika dunia yang
terus berubah. Karena dalam bahasa Giddens, globalisasi
juga menciptakan global world. 49 Dalam cengkeraman
Ibid., 120.
Ibid., 118.
49 Ibid., 115.
47
48
Era dan Teori Globalisasi 55
global world, individu menjadi agen terkecil dari
perubahan dunia.
Dalam perspektif identitas, modernisasi global
membawa konsekuensi pada kemurnian hubungan (pure
relationship),
pelibatan
(involve),
komitmen
(commitment) dan tuntutan kesetiaan (demands for
intimacy) masyarakat.50 Jika dilihat dari keempat poin itu,
interaksi masyarakat terhubung oleh identitas sosialnya.
Konsep
kemurnian
hubungan
(pure
relationship),
misalnya akan membentuk pondasi awal identitas
individu pada kelompok di mana ia bertempat tinggal dan
bergabung dengan kelompoknya. Setelah bergabung,
tuntutan melibatkan diri (involve) dilakukan individu
dalam berperan secara sosial. Bersamaan itu, komitmen
(commitment) terhadap peraturan, nilai maupun norma
yang disepakati kelompok dijalankan oleh individu, yang
selanjutnya melahirkan kesetiaan (demands for intimacy)
pada cita-cita yang dicapai bersama.51
Giddens juga melihat globalisasi sebagai proses dua
arah yang saling mempengaruhi. Meskipun globalisasi
didominasi oleh kekuatan Barat pada umumnya, dan
Amerika khususnya dengan keempat unsur pokok yang
diusung oleh kekuatan globalisasi itu. Namun keduanya
juga
dipengaruhi
oleh
globalisasi
itu
sendiri.
Desentralisasi atas globalisasi memberikan peluang dan
peran bagi bangsa-bangsa di luar Barat. Pada satu sisi
50
51
Ibid., 118.
Ibid., 119.
56 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
globalisasi
dominasi
melemahkan
kebudayaan
kebudayaan
Barat. Namun
lain
melalui
di sisi
lain,
globalisasi juga menghidupkan kebudayaan lokal, ia
menjadi faktor utama kebangkitan identitas lokal di
berbagai belahan dunia. Giddens memberi contoh
peristiwa orang-orang Skotlandia yang menghendaki
kemerdekaan yang lebih besar dari Monarkhi Inggris, dan
kemunculan gerakan sparatis di Quebech. Bagi Giddens,
nasionalisme lokal merebak sebagai respon terhadap
globalisasi.52
Globalisasi juga berdampak menekan ke samping,
menciptakan zona-zona ekonomi dan kebudayaan baru
dalam hubungan antarbangsa. Sebagai contoh, regio
Hongkong, Italia Utara, Lembah Silikon di California,
Barcelona di Spanyol hingga Perancis dan Catalona.
Giddens
menyebut
fundamentalisme
timbul
dengan
benturan
kosmopolitanisme.
antara
53
Oleh
karena itu kosmopolitanisme, bahkan kekuatan utama
yang menentangnya, yaitu fundamentalisme merupakan
produk globalisasi itu sendiri. Gerakan fundamentalisme
juga memanfaatkan kekuatan global, seperti media massa
dalam memperluas tujuan-tujuannya, dengan mengambil
berbagai
bentuk
identitas,
seperti
agama,
etnis,
nasionalisme dan politik. Namun apa pun bentuk
identitasnya, gerakan fundamentalisme tetap menjadi
Anthony Giddens, Runway...., 192.
George Ritzer & Dauglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern,
diterjemahkan oleh Alimandan (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 591592.
52
53
Era dan Teori Globalisasi 57
problem krusial globalisasi, karena ia dekat dengan
perilaku kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai
perdamaian pada kosmopolitanisme global.54
Oleh karena itu dalam merespon globalisasi,
Giddens telah merumuskan alternatif yang ia beri nama
“Jalan Ketiga”. Pada tanggal 21 September 1998, ia
bersama dengan Tony Blair, Perdana Menteri Inggris dan
Presiden AS, Bill Clinton menggelar seminar tentang
gagasan Jalan ketiga. Program Jalan Ketiga meliputi
negara demokrasi baru, kekuasaan pusat yang radikal,
civil society yang aktif, keluarga yang demokratis,
ekonomi campuran baru, kesamaan sebagai inklusi,
kesejahteraan positif masyarakat, social investement state,
bangsa kosmopolitan, dan demokrasi kosmopolit.55 Bagi
Giddens, Jalan Ketiga akan mendorong globalisasi
menjadi jembatan interaksi manusia di seluruh dunia
yang menghubungkan lokalitas-lokalitas, sehingga apa
yang terjadi di suatu tempat juga terhubung dengan
peristiwa di tempat lain dalam jarak yang bermil-mil.56
2.2.3.
Roland
Robertson:
Globalisasi
Sebagai
Glokalisasi
Teori Robertson tentang globalisasi terfokus pada
ide glokalisasi lawan dari globalisasi. Glokalisasi adalah
Ibid., 592.
Anthony Giddens, The Third Way...., 36-37.
56 Annabelle Sreberny, “The Global and the Local in International
Communications”, dalam M.G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and
Culturul Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006), 605.
54
55
58 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
proses integrasi antara “yang global” dan “yang lokal”
yang menekankan keberagaman yang semakin meningkat
terkait dengan percampuran unik (hibrid) antara
globalitas dengan lokalitas. Robertson menjelaskan empat
unsur penting globalisasi yang melahirkan glokalisasi,
yaitu:
1. Dunia tumbuh semakin pluralistik. Teori glokalisasi
sangat sensitif terhadap perbedaan di dalam dan
diantara wilayah-wilayah dunia.
2. Individu dan kelompok-kelompok lokal mempunyai
kekuasaan besar menyesuaikan diri, memperbaharui,
dan melakukan manuver dalam dunia yang glokal.
Teori glokalisasi melihat individu-individu dan
kelompok-kelompok
sebagai
agen
penting
dan
kreatif.
3. Proses-proses sosial adalah berhubungan dan saling
tergantung. Globalisasi membangkitkan berbagai aksi
umpan balik dari kubu nasionalis atau etnis sehingga
menghasilkan glokalisasi.
4. Komoditas-komoditas dan media, arena dan kekuatan
kunci dalam perubahan budaya pada akhir abad ke20 dan awal abad ke-21 M, tidak dilihat sebagai
kekuatan yang memaksa, namun sebagai penyedia
materi untuk dimanfaatkan dalam kreasi individual
dan kolektif pada seluruh wilayah dunia yang
terglokalisasi.57
57
Ashad Kusuma Djaya, Teori Teori Modernitas..., 122.
Era dan Teori Globalisasi 59
Jadi glokalisasi merupakan konsep integrasi yang
mengandung
relasi
glokal-global,
homogenisasi-
heterogenisasi, yang menekankan pentingnya yang glokal
dan eksistensi heterogenitas. Dalam definisi lain adanya
interpenetrasi global dan lokal yang menghasilkan
keluaran unik dalam ruang geografis yang berbeda.
Sementara
globalisasi
menekankan
pada
ambisi
imperialistik negara, korporasi, organisasi yang melihat
kekuasaan, pengaruh dan pertumbuhan keuntungan
ekonomi, yang mengandung variasi subproses dari tiga
hal,
yaitu
kapitalisme,
Amerikanisasi,
dan
McDonaldisasi.58
Ini berarti globalisasi merupakan modernisasi yang
menekankan
pertumbuhan
kemampuan
dunia,
khususnya organisasi kapitalistik dan negara modern
dalam meningkatkan kekuasaan di seluruh dunia,
menciptaan
ekspansi
transnasional
dan
praktek
homogenitas. Sementara glokalisasi mengandung interaksi
antara budaya global yang masuk dan budaya lokal untuk
menghasilkan
bentuk
baru,
pencampuran
variasi
kebudayaan (heterogenitas). Dalam kehidupan politik,
glokalisasi juga melahirkan ide “jihad”, yakni perlawanan
atas kekuatan politik yang menolak ide “McWorld”. Untuk
58 Hubungan imperialisme ekonomi dan globalisasi tampak lebih
nyata setelah penaklukan orang-orang Eropa ke benua Amerika sehingga
melahirkan ideologi Amerika yang membentuk hegemoni dunia; yang dilihat
sebagai sumber kemajuan kehidupan materi yang digabungkan dengan
kemajuan moral, praktek demokrasi dan perdamaian universal. Bdk., Ali
Sugiharto, dkk., Globalisasi Perspektif...., 55; Martin Wolf, Globalisasi Jalan
Meunju Kesejahteraan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 26.
60 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
lebih jelasnya, perbedaan antara glokalisasi dengan
globalisasi dapat disarikan dalam uraian berikut.59
a) Glocalization
Kata glokalisasi (glocalization) identik dengan
heterogenitas, yaitu suatu istilah yang menekankan
perbedaan karakteristik pluralitas dalam glokalisasi, dan
sama
sekali
kontras
dengan
homogenitas
yang
mendampingi globalisasi. Bentuk dari glokalisasi adalah
hybridization yang menggabungkan antara yang global
dengan lokal. Namun berbeda dengan istilah uniformity
yang
melekat
pada
globalisasi
yang
berarti
penyeragaman. Hibrid mengkombinasikan dua atau lebih
elemen
dari
kebudayaan
yang
berbeda
sehingga
menghasilkan percampuran kebudayaan. Sebagai contoh
adalah seorang Argentina yang melihat pertunjukan
musik Rap Asia dinyanyikan oleh band Amerika Serikat di
Bar yang dimiliki oleh warga Arab Saudi. Sinonim lain
dari
glokalisasi
adalah
creolization.
Istilah
creole
menunjuk pada individu yang mempunyai ras campuran,
contohnya adalah kombinasi dua bahasa yang digunakan
dalam berkomunikasi, disebut creolization of languange.
Lawan dari creolization adalah purification.60
Dalam
kontek
interaksi
sosial,
glokalisasi
memberikan kemampuan adaptasi dan inovasi kreatif
dalam berkontekstualisasi sosial. Individu dan kelompok
59
60
George Ritzer, The Globalization of Nothing....., 77.
Ibid.
Era dan Teori Globalisasi 61
menjadi agen perubahan, bahkan mampu menciptakan
relasi sosial yang bersifat satu kesatuan dalam perbedaan,
dengan menggunakan secara efektif media dan teknologi
canggih
ketika
melakukan
perubahan.
Robertson
menunjuk perubahan itu dapat dilakukan melalui proses
bottom up yang memiliki pengaruh secara global. Dengan
perspektif
ini,
globalisasi
bukan
proses
tunggal,
melainkan proses yang mendorong kekuatan lokal
mempengaruhi
lingkungan
global,
yang
disebut
glokalisasi.61 Glokalisasi atau disebut proses globalisasi
dari bawah terjadi dalam wujud ekspresi kebudayaan
yang
berbeda-beda,
menggunakan
di
jaringan
mana
kelompok
teknologi
informasi
lokal
dan
komunikasi, seperti media internet untuk terlibat intensif
dalam kampanye-kampanye global.62
b) Globalization
Kata globalisasi
pandangan
dunia
(globalization) merujuk pada
yang
semakin
tunggal
akibat
memudarnya batasan tempat dan waktu. Dunia dibangun
dalam
kesamaan
sehingga
kehilangan
perbedaan.
Interaksi antara kelompok kehilangan daya kreatif dan
inovatifnya
sebagai
terglobalkan
yang
konsekuensi
dari
dunia
lahir
satu
kebudayaan.
dari
yang
Kemampuan interaksi individu dan kelompok akibat
61 Jim Ife & Frank Tesoriero, Community Development: Alternatif
Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, diterjemahkan oleh Sasrtrawan
Manullang, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 378-379.
62 Ibid., 380-390.
62 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
globalisasi
mengalami
determinasi
seiring
arus
penyeragaman kebudayaan di seluruh dunia. Ini artinya
globalisasi
menjadi
subproses
pembaratan
dari
kapitalisme, McDonaldization, dan Americanization yang
mempunyai
ciri
homogenization,
purification.
Tujuan
globalisasi
uniformity,
adalah
dan
penyebaran
ideologi Amerika ke masyarakat dunia, sehingga menjadi
bersifat
kapitalistik,
lebih
Amerika,
terasionalisasi,
terkodifikasi, dan terbatas ruang geraknya. 63
Selanjutnya bagi Robertson, globalisasi tidak dapat
disederhanakan
sebagai
peningkatan
tingkat
kesalinghubungan kebudayaan yang bersifat subyektif. 64
Robertson menganggap globalisasi juga sebagai fenomena
sejarah pra-modern dan peningkatan kapitalisme; yang
kemunculannya dimulai sejak dunia belum memasuki
zaman modern dan terus bergerak sampai kini. Oleh
sebab itu, ia membagi kemunculan globalisasi dalam lima
tahapan sejarah, yakni sejak pra-modern hingga era
kapitalisme, yaitu : 65
1) Fase pertama pada tahun 1400-1750 adalah awal
mula globalisasi yang ditandai oleh peningkatan
peran dan kekuasaan Gereja Katolik Roma dan
perluasan sistem kalender Gregorian. Pada fase ini,
63 Bdk., Geroge Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern....,
564-566; Firmanzah, Globalisasi: Sebuah Proses...., 10.
64Agus Kristiawan, “Globalisasi Pernahkah Kalian Merasakan?”, dalam
http://www.kristiawan.blogspot.com. Diunduh pada tanggal 1 Juni 2014.
65 A. Safril Mubah, Perkembangan Proses Globalisasi (Surabaya:
Universitas Airlangga, tt.), 2-3.
Era dan Teori Globalisasi 63
pertumbuhan
negara
bangsa
dan
penguatan
komunitas nasional semakin menemukan bentuknya
secara lengkap. Perjanjian Westphalia pada tahun
1648 yang menjadi tonggak penting lahirnya negarabangsa turut memberi kontribusi bagi penguatan
negara-negara bangsa pada waktu itu.
2) Fase kedua pada tahun 1750-1875 ditandai oleh
peningkatan internationalism. Negara bangsa yang
mulai
terbentuk
pada
fase
sebelumnya
telah
terbangun kokoh pada fase ini. Negara-negara
menemukan identitas dan postur kuatnya sehingga
mulai aktif menjalin hubungan satu sama lain.
3) Fase ketiga pada tahun 1875-1925 merupakan
penemuan
alat-alat
komunikasi
baru
serta
peningkatan hubungan ekonomi dan transportasi
antarnegara. Penemuan alat radio, telepon dan
pesawat terbang menunjukkan peradaban umat
manusia semakin progresif, sehingga memungkinkan
masyarakat terhubung dan berkomunikasi secara
cepat. Bersamaan dengan itu, koneksi kebudayaan
antara masyarakat dari negara yang berbeda kian
erat dan terbentuk.
4) Fase keempat pada tahun 1925-1969 menjadi saksi
penemuan atom dan lahirnya Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dengan jaringan yang mengglobal.
Penemuan atom merupakan pertanda kemajuan ilmu
pengetahuan
dan
penyalahgunaannya
teknologi.
yang
Terlepas
dari
menghancurkan
kota
64 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Nagasaki dan Hiroshima pada masa Perang Dunia II,
atom tetap mengakselerasi kemajuan umat manusia.
Di luar itu, terbentuknya PBB yang menguatkan
hubungan antarnegara dalam suatu wadah. Ini
artinya hubungan antarnegara menjadi intensif
setelah PBB berdiri.
5) Fase kelima pada tahun 1969-1992 menghadirkan
aneka perubahan yang mendorong kemajuan global.
Pada fase ini, untuk pertama kali manusia mampu
mendarat di bulan, eksplorasi luar angkasa gencar
dilakukan, perang dingin berakhir, dan institusiinstitusi global bermunculan. Isu-isu baru, seperti hak
asasi manusia, ras, gender, seksualitas, pluralisme
agama, dan etnisitas mencuat ke permukaan dan
menjadi perdebatan akademik di seluruh dunia.
Pada perkembangan sejarah globalisasi, Robertson
menambahkan fase keenam yang dimulai setelah tahun
1992 dan masih berjalan hingga kini. Fase ini merupakan
era ketidakpastian global yang ditandai dari kemunculan
penyakit-penyakit baru yang menyerang umat manusia,
seperti AIDS, kerusakan lingkungan, dan juga peningkatan
ide-ide multikulturalisme, pertumbuhan gerakan Islam
fundamentalistik, dan kebangkitan isu-isu etnisitas.66
Dengan
demikian
bagi
Robertson,
analisis
globalisasi terfokus pada studi ilmu-ilmu sosial. Ia dilihat
66
Ibid., 2-3.
Era dan Teori Globalisasi 65
sebagai fenomena masyarakat dunia yang dapat menjadi
obyek studi yang luas, meliputi ilmu sosial, politik,
hubungan internasional, ekonomi maupun kebudayaan
yang terkoneksi.67
Dalam kontek kebudayaan, Robertson melihat
globalisasi memicu penguatan identitas lokal di ruang
publik yang disebut glocalization sebagaimana diuraikan
di atas. Gejala penguatan identitas pada kebudayaankebudayaan lokal lahir sebagai bagian dari pengobat rasa
rindu dengan “lingkungan rumah” yang dulu pernah
dilalui. 68 Identitas lokal menguat di tengah meluasnya
peran media informasi dan kontestasi dengan budayabudaya baru. Dampak dari kontestasi budaya, adalah
adanya penguatan identitas lokal, atau sebaliknya secara
ekstrim membiarkan identitas lokal tergerus seiring
dengan dominasi budaya-budaya baru yang muncul.
Penguatan
identitas
di
tengah
globalisasi
merupakan wujud kekuatiran kehilangan situasi masa
lampau yang termemori dalam diri individu maupun
kelompok, yang kemudian melahirkan ekspresi identitas.
Ekspresi identitas muncul dalam rupa tradisi-tradisi dan
kebudayaan lokal yang menyejarah di masyarakat.
Jaringan globalisasi yang terkoneksi seperti buntalan
benang yang kompleks memberikan pengaruh signifikan
Roland Robertson, “Mapping the Global Condition...., 20.
Richard Giulianotti, and Roland Robertson, “Glocalization,
Globalization and Migration: The Case of Scottish Football Supporters in
North America”, International Sociology, March 2006, Vol. 21 (London: Sage
Publications, 2006), 171-198.
67
68
66 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
dalam membentuk ekspresi identitas, tradisi dan kearifan
lokal (local wisdom) masyarakat.69
Robertson juga menganalisis globalisasi merupakan
tatanan satu tempat atau a single place,70 yaitu struktur
masyarakat dunia yang menyatu tanpa dinding pembatas,
tanpa sekat antara satu tempat dengan tempat lain. A
single place merupakan tata hubungan antara kondisi
lokal dengan situasi global (Local-global nexus), atau
kondisi global dan situasi lokal (global-local nexus) yang
saling terhubung. 71 Ini artinya ruang-ruang lokalitas
terkoneksi
menjadi
bagian
dari
ruang
globalitas.
Sebaliknya ruang globalitas menjadi bagian dari lokalitas
dalam interaksi kebudayaan yang saling mempengaruhi.
Keterhubungan
antara
yang
lokal
dengan
global
mendorong dunia menjadi satu tempat yang tidak
mempersoalkan lagi perbedaan jarak, batasan ruang dan
selisih waktu dalam berinteraksi.
Dalam ruang-ruang publik yang dipandang sebagai
sistem dunia, globalisasi mendorong lahirnya tanggung
jawab bersama mengenai masalah-masalah kemanusiaa
(Communal-spaces world system
global-human).
72
69 Roland Robertson, “Globalization Theori and Civilizational
Analysis”, Comparative Civilizations Review, 1987, 21, Downloaded onjournals.lib.byu.edu. Diunduh pada tanggal 12 Januari 2015.
70 John Tomlinson, “Globalization and Culture”, Paper was Presented
at University of Nottingham Ningbo China (UNNC) Research Seminar Series
2006-2007” (Publication on IAPS website), 2. Diunduh pada tanggal 12
Januari 2005.
71 Roland Robertson, “Mapping the Global Condition....., 21.
72 Roland Robertson, Globalization Theori and Civilizational Analysis....,
23-25.
Era dan Teori Globalisasi 67
Tanggung jawab kemanusiaan mengandung arti bahwa
masalah kemanusiaan berskala lokal menjadi bagian dari
problem kemanusiaan global, begitu juga sebaliknya,
seperti penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaan yang
menguat seiring dengan tantangan yang dihadapi.
Globalisasi juga menjadi pendorong terbesar bagi
pergeseran sistem sosial pada skala lokal maupun global
yang melahirkan perubahan. Perubahan atau moved
menjadi bagian perubahan individu maupun kelompok
dalam memperluas interaksi kemanusiaannya untuk
menjadi bagian dari individu atau kelompok lain, tidak
sekedar menjadi it self atau dirinya sendiri73 Ini artinya
dampak
globalisasi
telah
menciptakan
hubungan
internasional antar individu atau kelompok dalam
membangun etika kemanusiaan bersama (individuals and
of humankinds).74 Dengan etika kemanusiaan bersama,
penghargaan atas hak-hak pribadi (personal humanright)
dan kelompok tidak terjatuh dalam dehumanisasi.
2.2.4. Arjun Appadurai: Globalisasi dan Komunitas
Terbayang
Proses hibridisasi
budaya
yang dibawa oleh
globalisasi juga ditemukan pada pandangan Arjun
Appadurai, dengan munculnya lima aliran global, yaitu
ethnoscape, mediascape, technoscape, financescpae, dan
idioscape. Kelima aliran globalisasi itu berinteraksi secara
73
74
Roland Robertson, “Mapping the Global Condition...., 23.
Ibid., 25.
68 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
cair, tidak teratur (irreguler) dan variatif.75 Appadurai
melihat scape-scape pada aliran globalisasi pada akhirnya
dikonstruksi
oleh
individu
melahirkan
“Komunitas
atau
kelompok
Terbayang”.
yang
Komunitas
terbayang muncul berdasarkan situasi politik, linguistik,
dan historis dari beragam aktor yang menyusun formasi
sosial,
seperti
agen
negara-bangsa,
multinasional,
komunitas diasporik, dan kelompok subnasional.
76
Sedikitnya terdapat lima landscape yang melahirkan
komunitas terbayang, yaitu :
a) Ethnoscape meliputi berbagai kelompok dan individu
yang bergerak mobile dan memainkan peran penting
dalam dunia yang terus berubah. Hal ini meliputi
pergerakan sebenarnya dan berbagai imajinasi
pergerakan. Pada satu dunia yang terus berubah,
individu-individu
tidak
sanggup
membiarkan
imajinasi mereka berhenti terlalu lama, dan oleh
sebab itu mereka terus menerus menghidupkan
imajinasi dunia.
b) Technoscape adalah konfigurasi-konfigurasi global
yang senantiasa cair dari perkembangan teknologi
informasi yang bersifat mekanik, yang tinggi dan
rendah, dan berupa sederetan bahan-bahan informasi
(file-file unduhan, email, dan lain-lain) yang bergerak
begitu bebas dan cepat di seluruh dunia untuk
diakses semua orang. Ia melintasi pembatasan75
76
George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern...., 598.
Ibid.
Era dan Teori Globalisasi 69
pembatasan yang dulu tidak dapat dilalui pergerakan
tersebut.
c) Financescape meliputi proses-proses pergerakan
uang lintas bangsa, dalam jumlah yang besar dan
perputaran uang dengan kecepatan yang tinggi
melalui spekulasi komoditas, pasar mata uang, bursa
saham nasional, dan semacamnya sebagai bagian dari
transaksi komoditas global.
d) Mediascape meliputi kemampuan elektronik yang
menghasilkan dan menyebarluaskan informasi dan
berita ke seluruh dunia dan citra-citra dunia yang
diciptakan dan disebarkan oleh media elektronika.
Internet dan stasiun televisi atau radio merupakan
ujung tombak mediascape.
e) Ideoscape seperti mediascape adalah kumpulan citracitra sosial. Tetapi sebagian besar terbatas pada citracitra politik yang diproduksi oleh negara dan sejalan
dengan ideologi masing-masing. Citra-citra dan
kontra-ideologi dihasilkan oleh gerakan-gerakan
yang
berusaha
menggantikan
kekuasaan,
atau
setidaknya memperoleh sedikit dari kekuasaan.77
Dengan demikian, menurut Appadurai, globalisasi
yang berbasis utama pada ketergantungan pada teknologi
informasi dan komunikasi telah melahirkan tata sosial
baru yang disebut komunitas terbayang, yakni komunitas
yang hidup dalam ketergantungannya pada dunia maya;
77
Ashad Kusuma Djaya, Teori-Teori Modernitas...., 126; Arjun
Appadurai, “Disjuncture and Difference....., 589.
70 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
di mana individu dan kelompok berinteraksi dengan
memanfaatkan
jaringan
teknologi
informasi
dan
komunikasi dalam lanskap global. Interaksi di dunia maya
mendorong tumbuhnya komunitas yang melakukan
mobilitas yang terus berubah dalam mengembangkan
dunia imajinasinya.
Bagi Appadurai, dalam kontek interaksi sosial
terbentuknya
komunitas
terbayang,
paling
tidak
ditentukan oleh kelima scape yang berbeda. Namun
bukan berarti kelima scape itu saling terpisah. Kelima
scape dapat saling terkait dan terhubung dengan tingkat
elastisitas yang berbeda-beda, tergantung pengaruh dari
beragam faktor, seperti kelompok, negara, multinegara,
komunitas diaspora, migrasi, agama, dan budaya.78 Pada
satu komunitas, misalnya bisa jadi hanya menggunakan
dua lanskap (scape) pada jaringan teknologi informasi
dan komunikasi ketika membangun dunia sosialnya,
seperti pemanfaatan technoscape dan media scape.
2.2.5. Thomas L. Friedman: Globalisasi Lokal
Menurut
Friedman, globalisasi
yang
diartikan
sebagai dunia tanpa tapal batas (borderless world)
semakin
menjadi
nyata
wujudnya.
Apapun
dapat
diselesaikan di tempat yang jauh di luar batas negaranya,
dunia menjadi diratakan pada abad 21 M. ini oleh sekatsekat pembatas dunia itu sendiri. Namun dalam
78
Ibid.
Era dan Teori Globalisasi 71
rentangan argumen sejarah yang menghasilkan dunia
yang telah diratakan, globalisasi jika dirunut lahir dalam
tiga gelombang sejarah, yaitu globalisasi versi pertama
yang berlangsung sejak 1492 ketika Columbus membuka
perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru hingga
sekitar tahun 1800. Pada masa ini, negara maupun
pemerintah
yang
biasanya
dipicu
oleh
imperialisme atau
gabungan
keduanya
agama,
mendobrak
dinding pembatas dan menjalin dunia menjadi satu
hingga terjadi penyatuan global oleh ekspansi bangsabangsa Barat. Penyatuan global ini melihat dunia yang
semula berukuran besar menjadi berukuran menengah.79
Kedua, globalisasi versi kedua yang berlangsung dari
sekitar tahun 1800 hingga 2000 dengan diselingi oleh
masa depresi besar dan meletusnya Perang Dunia I dan II.
Pelaku utama dalam proses penyatuan global versi kedua
adalah
perusahaan
multinasional.
Perusahaan-
perusahaan ini mendunia demi pasar dan tenaga kerja
yang dipelopori oleh Belanda dan Inggris sejak timbulnya
revolusi industri di Eropa. Proses penyatuan global
dimotori dengan jatuhnya biaya transportasi berkat
kemajuan mesin uap, kereta api dan jatuhnya biaya
telekomunikasi berkat telegraf, telepon, PC, satelit dan
serat optic dan w.w.w. (world wide web). Kekuatan di
balik globalisasi masa ini adalah terobosan di bidang
perangkat keras berawal dari kapal uap dan kereta api
79
Thomas L. Friedman, The World is Flat...., 9.
72 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
sampai telepon dan komputer, sehingga dunia yang
berukuran menengah menjadi diratakan semakin kecil.80
Ketiga, globalisasi versi ketiga yang dimulai sekitar tahun
2000.
Motor penggerak globalisasi versi ini adalah
kekuatan baru yang ditemukan untuk bekerjasama dan
berkompetisi secara individual dalam kancah global.
Proses penyatuan global masa ini memberdayakan, dan
melibatkan individu serta kelompok kecil di seluruh
dunia sebagai aktor global dalam ‘tatanan dunia yang
datar’ (flat-world platform) yang menggantikan aktor
globalisasi versi pertama dan kedua yang dikendalikan
Eropa dan Amerika.81
Friedman juga menjelaskan 10 peristiwa yang
menyebabkan dunia menjadi datar atau diratakan oleh
momentum sejarah, yaitu Pertama, keruntuhan Tembok
Berlin di Jerman pada tahun 1989 yang mempengaruhi
kekuasaan di seluruh dunia ke arah pemerintahan
demokratis, berlandaskan konsensus dan berorientasi
pada
pasar
bebas,
serta
meninggalkan
dukungan
terhadap pemerintahan otoriter. Kejadian ini mendorong
dunia dilihat sebagai sesuatu yang utuh tanpa sekat.
Dunia tidak lagi dilihat sebagaimana di masa perang
dingin yang tersekat ke dalam dua blok ekonomi-politik;
komunis dan kapitalis.82
Ibid., 9-10.
Ibid., 10-11.
82 Ibid, 48-55.
80
81
Era dan Teori Globalisasi 73
Kedua, kemunculan Netscape yang menghidupkan
internet yang mudah diakses oleh siapapun. Semakin
internet dihidupkan, semakin beragam individu di
seluruh dunia melakukan banyak hal di web. Ketiga,
kehadiran Perangkat Lunak Alur Kerja (work flow
software) yang mendunia sebagai revolusi sunyi yang
tidak disadari oleh kebanyakan orang. Padahal revolusi
sunyi ini mendorong lebih banyak individu di berbagai
tempat untuk merancang, mempertunjukkan, mengelola
dan berkolaborasi menangani data bisnis. Pekerjaan yang
dilakukan oleh individu maupun kelompok mengalir lebih
cepat, baik pekerjaan yang dilakukan di dalam maupun
antar perusahaan, antar negara, bahkan antar benua.83
Keempat,
kehadiran
Perangkat
Lunak
Karya
Komunitas (open sourcing) yang mendorong banyak
orang menawarkan opini dan kabar mereka di web,
mengantikan surat kabar manual, menulis ensiklopedia
mereka sendiri lalu meng-upload-nya ke dunia internet.
Mereka bahkan dapat menawarkan lagu, video, puisi dan
komentar mereka sendiri ke seluruh dunia yang
terglobalkan. Kelima, outsourcing. Friedman berargumen
outsourcing mengijinkan perusahaan-perusahaan untuk
membelah layanan dan manufaktur menjadi komponen
per komponen dalam cara paling efisien dan biaya yang
efektif. Setiap layanan, call center, operasi pendukung
bisnis atau pengetahuan yang diubah ke dalam bentuk
83
Ibid, 56-103.
74 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
digital dapat dilimpahkan secara global kepada siapa pun
yang mampu memberi layanan yang murah, pandai, dan
efisien. Keenam, offshoring, yakni pengadaan pabrik di
negara lain yang dapat dilakukan dengan biaya operasi
minimal, pajak lebih rendah, energi tersubsidi, namun
tetap menghasilkan kualitas produk yang sama di negara
pusat pabrik itu berada. Friedman mengilustrasikan
politik terbuka yang dilakukan negara China pada masa
sekarang setelah menyetujui kesepakatan dalam World
Trade Organization (WTO), merupakan bentuk offshoring
paling kentara yang menyebabkan banyak perusahaan
berlomba-lomba memindahkan produksi mereka ke
negeri China untuk diintegrasikan ke mata rantai
pemasok global.84
Ketujuh, Supply-Chaining atau rantai
pemasok
adalah cara berkolaborasi secara horisontal, antara
pemasok, pengecer, dan konsumen dalam menciptakan
nilai keuntungan. Rantai pemasok ini di satu sisi
dimungkinkan oleh adanya pendataran dunia, namun di
sisi
lain
sekaligus menjadi
pendatar
dunia yang
berpengaruh. Terkait hal tersebut, maka kian banyak
mata rantai pemasok, kian besar pula tekanan atas
terbentuknya keseragaman standar atas perusahaan,
sehingga setiap mata rantai pemasok yang satu dapat
bersesuaian dengan mata rantai yang lain. Efisiensi mata
rantai pemasok perusahaan ini kemudian ditiru oleh
84
Ibid., 103-127.
Era dan Teori Globalisasi 75
perusahaan lain, sehingga semakin besar peluangnya
untuk melakukan kolaborasi. Kedelapan, insourcing yang
hadir di saat dunia semakin datar dan kecil, akan tetapi
mampu bertindak dalam skala besar. Sebagai sistem
komprehensif, insourcing diilustrasikan sebagai sistem
yang dikembangkan oleh layanan UPS, yang saat ini tidak
hanya berperan sebagai perusahaan ekspedisi yang
menangani logistik namun juga sebagai perusahaan
substitusi
bagi
perusahaan
lain
sebagai
upaya
memberikan pelayanan optimal dan cepat. Saat ini UPS
memberi fasilitas pelayanan dan perbaikan bagi berbagai
produk terkenal dunia, seperti pizza Papa John’s, Nike,
HP, Jockey, Plow & Hearth, serta Eskew. Insourcing
muncul menjawab tantangan dunia yang menjadi “datar”
untuk mengefisiensikan proses menjual, memproduksi
atau membeli bahan baku dalam berkolaborasi yang kian
meratakan dunia.85
Kesembilan,
informing,
yaitu
analogi
pribadi
perorangan untuk uploading, outsourcing, insourcing,
supply-chaining, dan offshoring. Informing merupakan
kemampuan untuk menggunakan rantai pemasok pribadi,
seperti rantai pemasok informasi, pengetahuan dan
hiburan. Informing
adalah kolaborasi diri menjadi
peneliti, editor, dan penikmat hiburan swakarsa dan
swadaya tanpa harus pergi ke perpustakaan, bioskop atau
melalui jaringan televisi. Semua individu dan kelompok
85
Ibid., 128-150.
76 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
secara kreatif dapat terlibat dengan mudah menggunakan
informing. Kesepuluh, nirkabel, yaitu teknologi yang
memperkuat dan mempercepat semua pendatar lain.
Teknologi ini mengambil semua bentuk kolaborasi yang
disorot di bagian ini, seperti outsourcing, offshoring,
uploading, supply-chaining, insourcing, informing. Selain
itu, teknologi nirkabel mendorong individu melakukan
semua itu dengan cara digital, bergerak visual dan
personal. Suatu dunia yang datar dengan sistem rantai
pemasok
global
membutuhkan
dan
luas,
pada
perimbangan
perusahaan-perusahaan
global
akhirnya
kekuatan
dengan
tetap
antara
komunitas-
komunitas independen yang beroperasi di tingkat lokal.
Kekuatan perimbangan ini menjadi penting karena sistem
kapitalisme besar tidak akan memenangkan dirinya
sendiri sebagai perusahaan raksasa, tanpa dukungan
komunitas lokal yang menjadi penyokong terciptanya
rantai pemasok perusahaan dalam dunia yang semakin
rata.86
Menurut
diuraikan
di
Friedman,
atas
kesepuluh
berdampak
pendatar
menghasilkan
yang
tiga
konvergensi global di mana dunia mulai menyatu dan
saling mendukung sehingga menciptakan lapangan
permainan baru yang semakin datar yang disebutnya
konvergensi pertama. Sedangkan konvergensi kedua,
sejalan dengan terbentuknya lapangan permainan ini,
86
Ibid., 150-172.
Era dan Teori Globalisasi 77
baik dunia usaha maupun perorangan mulai mengambil
kebiasaan, ketrampilan, dan proses yang baru untuk
memanfaatkannya secara maksimal dan kreatif. Semua
bergeser dari cara penciptaan nilai yang umumnya
bersifat vertikal menjadi horizontal. Penyatuan lapangan
permainan bisnis dan aktivitas beserta cara-cara berlaku
baru di dalamnya, ikut semakin mendatarkan dunia.
Akhirnya konvergensi ketiga, ketika pendataran dunia ini
terjadi, sekelompok orang baru dari China, India dan
bekas Uni Soviet yang beberapa miliar jumlahnya,
misalnya ikut memasuki lapangan permainan yang datar.
Berkat dunia datar beserta perangkatnya, mereka semua
dengan cepat bisa tancap-kerja (plug and play), bersaing,
terkoneksi dan berkolaborasi dengan semua orang secara
lebih langsung, murah, dan kuat.87
Namun proses pendataran dunia dengan ketiga
konvergensinya itu juga memunculkan perasaan kuatir
bahwa globalisasi tetap dipandang sebagai proses
Amerikanisasi ke seluruh dunia. Kekuatiran ini timbul
karena adanya anggapan bahwa aneka pabrik, penyedia
layanan, merek, pembuat film, penyanyi, penghibur,
perancang busana, serta jaringan restoran fast food dari
Amerika berada di posisi terbaik untuk mendapatkan
keuntungan dari dunia yang telah diratakan oleh sepuluh
peristiwa monumental itu. Namun dalam perpektif
kebudayaan lokal, “dunia yang telah rata” itu tidak serta
87
Ibid., 173-200.
78 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
merta memberikan jalan yang lapang bagi penyeragaman
kebudayaan, melainkan berpotensi menumbuhsuburkan
keanekaragaman budaya. Ini artinya melalui ke sepuluh
pendatar yang mendorong globalisasi menjadi bersifat
horisontal, menyebabkan dunia kian terkonvergensi
sekaligus memberikan peluang kebudayaan lokal dapat
hidup dan terlestarikan. Sebagai contoh, sekalipun
banyak individu telah tercabut dari akar budaya lokalnya
dengan bermigrasi dari negara berkembang ke negara
Barat,
mereka
dapat
mengambil
manfaat
dari
mendatarnya dunia ini, untuk tetap berpegang pada
banyak aspek kebudayaan lokal mereka sendiri. Berkat
kemungkinan membaca surat kabar lokal secara online;
berkomunikasi dengan keluarga dan kolega melalui
teknologi pengiriman suara, dan jaringan internet dari
tempat-tempat yang jaraknya jauh. Dengan demikian,
kekuatan globalisasi yang telah memberi warna dan
spesifikasi yang bersifat lokal atau disebut “lokalisasi” ini
setara kekuatannya dengan penyeragaman dunia yang
terglobalkan.
2.3. Agama, Budaya dan Globalisasi
Berbagai pengertian dan pemahaman terhadap
istilah dan konsep globalisasi tersebut menarik, karena ia
menunjukkan suatu dinamika dari sudut bahasa. Paling
sedikit uraian dari sisi bahasa menunjukkan bahwa satu
istilah dapat digunakan dengan pengertiannya sendirisendiri. Ketika istilah digunakan oleh kelompok yang
Era dan Teori Globalisasi 79
berhubungan
dengan
ras,
etnik
dan
kebangsaan,
globalisasi bermakna antropologik. Ketika digunakan oleh
pelaku ekonomi dan politik, ia dimengerti secara
ekonomik. Demikian juga ketika ia digunakan oleh kaum
agamawan, ia memiliki makna yang sangat berbeda. Hal
itu wajar saja. Ia menjadi tidak wajar ketika salah satu
makna itu telah dipolitisasi apalagi kalau dikaitkan
dengan agama. Masalahnya menjadi sangat rawan ketika
agama yang dipolitisasi itu telah dilibatkan di dalamnya.
Rawan
karena agama
kebenaran
mutlak
biasanya berbicara tentang
(truth
claim).
Padahal
ketika
percakapan sudah sampai ke masalah kebenaran, tidak
seorang manusia pun yang dapat mengklaimnya secara
mutlak.88
Dikatakan demikian, karena pemutlakan kebenaran
itu hanya berada dalam diri Yang Mutlak itu sendiri.
Ketika percakapan sudah menyangkut Yang Mutlak, tidak
seorang manusiapun yang dapat memverifikasinya, yakni
keyakinan dari hampir semua agama bahwa Yang Mutlak,
yang disebut dengan Tuhan melalui berbagai nama oleh
berbagai agama dan tradisi keagamaan, seperti Yahweh
bagi bangsa Yahudi, Trinitas bagi bangsa Barat yang
Kristen, Allah Swt bagi bangsa Arab, Puang Matua bagi
orang Toraja, dan sebagainya, adalah yang menciptakan
langit dan bumi serta segala isinya termasuk, manusia
88 Lih.,
John A. Titaley, Religiositas di Alenia Ketiga: Pluralisme,
Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Waca
Unversity Press, 2013), 29.
80 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
adalah pemahaman manusia-manusia tersebut dalam
budaya mereka masing-masing. Oleh karena itu ketika
dipahami secara budayawi seperti itu, lalu ia menjadi
Yahudi, Barat, Arab, Toraja dan sebagainya.89
Masalahnya adalah, apakah ada seorang manusia
yang dapat membuktikan secara empirik kebenaran
keyakinan seperti itu? Kesulitan membuktikan terjadi
karena; Pertama, Yang Mutlak itu tidak empirik sifatnya,
seperti halnya manusia. Keberadaan-Nya tidak dapat
dibuktikan secara empirik dan rasional. Keberadaan-Nya
hanya dapat dirasakan, disadari dan diyakini. Perasaan,
kesadaran dan keyakinan ini tidak pernah dapat
dibuktikan seperti halnya menunjukkan video yang dapat
dilihat. Jadi pemahaman tersebut bersifat subyektif. Oleh
karena itu, pemahaman atas keberadaan-Nya tidak dapat
dirasakan oleh semua orang secara sama; obyektif. Kedua,
komunikasi Yang Mutlak dengan manusia dibangun di
atas interpretasi. Karena keberadaan Yang Mutlak yang
tidak empirik itu, maka komunikasi dengan-Nya menjadi
subyektif. Ia tidak pernah hadir secara empirik dalam
kehidupan manusia, sehingga manusia juga tidak dapat
berkomunikasi secara langsung dan empirik dengan-Nya.
Penampakan Yang Mutlak dalam kenyataannya selalu
secara tidak langsung, melalui penglihatan atau dalam
mimpi. Kenyataan ini tidak dapat membuktikan suatu
kebenaran secara empirik. Kenyataan seperti ini adalah
89
Ibid., 33.
Era dan Teori Globalisasi 81
kenyataan yang tidak rasional, tidak berhubungan dengan
akal fikiran manusia. Ini tidak berarti juga bahwa sesuatu
yang tidak rasional lalu tidak benar. Hanya tidak dapat
dijelaskan menurut akal sehat manusia dengan ukuranukurannya. Oleh karena itu, belum ada seorang manusia
yang dapat membuktikan secara empirik pula bahwa ia
telah berjumpa dengan Yang Mutlak itu.
Ini artinya bahwa kalau ada pemahaman seperti itu,
maka pemahaman itu adalah pemahaman manusia
sendiri.
Bagaimana
cara
manusia
memahaminya?
Manusia itu sendiri yang dapat menjawabnya, terutama
manusia yang mengakui memiliki hubungan dengan Yang
Mutlak. Masalahnya, apakah pemahaman manusia seperti
itu
dapat
juga
dibuktikan
kebenarannya
dengan
pembuktian secara sah seperti halnya para polisi
mengatakan ketangkap basah seseorang yang berbuat
kejahatan? Atau paling tidak pembuktian itu dapat
dilakukan dengan cara memutarkan kembali video berisi
rekaman peristiwa hubungan antara manusia itu dengan
Yang Mutlak. Kalau pembuktian seperti itu tidak dapat
dilakukan, lalu pertanyaan mendasar yang muncul adalah,
“Atas dasar apa Yang Mutlak itu dapat dikatakan terlibat
atau berhubungan dengan manusia dan alam semesta?
Tidakkah manusia itu yang mengungkapkannya hanya
berdasarkan pada penafsirannya sendiri bahwa Yang
Mutlak itu berhubungan dengannya. Hal itu terjadi karena
ia merasakan atau mengalami sesuatu yang tidak
biasanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia
82 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
lain, sehingga menyimpulkan sebagai sesuatu yang luar
biasa atau supra alam (super natural). Kalau sesuatu itu
super natural, lalu apakah itu berarti dapat diduga kuat
atau dipastikan berasal dari Yang Mutlak? Apakah tidak
ada kemungkinan itu juga berasal dari roh-roh atau
kenyataan-kenyataan lain? Tidak seorang manusia pun
dapat membuktikannya, kecuali Yang Mutlak itu sendiri.
Oleh karena itu, semua yang berasal dari Yang Mutlak itu
patut dipahami dari sisi ini, kalau tidak dapat dikatakan
patut dipertanyakan keabsahannya.
Memang Yang Mutlak itu ada dan dipahami
berhubungan dengan manusia. Tetapi tidak pernah boleh
seorang
manusia
pun
mengatakan
secara
mutlak
pengalaman dan pemahamannya adalah benar 100%
berasal dari Yang Mutlak. Selalu saja unsur kemanusiaan
terlibat, dalam pengertian pemahaman (interpretasi)
dirinya terhadap Yang Mutlak. Dari sisi inilah agama
harus
dipahami.
Agama
adalah
pemahaman
atau
interpretasi manusia atas pengalaman dan pemahaman
manusia dengan Yang Mutlak itu. Agama karenanya
bukan Yang Mutlak. Kalau ini benar, maka semua yang
berasal dari agama adalah hasil interpretasi manusia
dalam memahami dunianya.
Oleh karena itu, ketika agama telah masuk dalam
pengertian globalisasi, masalah menjadi semakin rancu.
Apakah memang globalisasi yang berkembang kini,
terutama globalisasi Barat memiliki dimensi agama di
dalamnya, sehingga harus hadapi pula secara religius?
Era dan Teori Globalisasi 83
Kalau benar ada, agama seperti apa, agama dari mana
yang dimaksudkan? Oleh karena perspektif kebudayaan
menjadi diperlukan untuk melihat hubungan agama
dengan globalisasi.
Dalam perspektif kebudayaan, globalisasi juga
menyebabkan
terjadinya
transparansi
sosial,
yaitu
lenyapnya kategori sosial, batas sosial, dan kelas atau
hirarki sosial di masyarakat yang berdampak pada
perubahan nilai dan moralitas sosial. Batas-batas moral
antara dunia anak dan dunia orang dewasa lenyap di
tangan gambar maupun film; batas sosial antara
proletariat
dengan
borjuis
lenyap
dalam
arena
virtualisme konsumsi; batas antara penguasa dan teroris
lenyap di tangan terorisme virtual; batas antara bencana
ekonomi dan rekayasa ekonomi lenyap dalam bencana
ekonomi virtual; dan batas antara kebenaran dan
kepalsuan lenyap di tangan virtualitas media informasi.90
Jaringan informasi menjadi transparan dan virtual
manakala kategori-kategori moral dan ukuran nilai yang
mengikat menghilang. Ketika segala sesuatu berputar
bebas dalam sirkuit global cyberspace, hukum yang
mengatur masyarakat tidak lagi hukum kemajuan,
melainkan hukum orbit. Melalui hukum orbit segala
sesuatu berputar secara global, dari satu tempat ke
tempat lain, dari satu teritori ke teritori lain, dari satu
90 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas
Kebudayaan Menjelang Melenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme
(Bandung: Mizan, 1998), 73.
84 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
kebudayaan
ke
kebudayaan
lain.
Dalam
proses
perputaran itu semua berubah wujud menjadi virtual.
Ada orbit televisi, orbit ekonomi, orbit politik, orbit
ekstasi, dan orbit party-line. 91
Globalisasi juga menimbulkan perubahan institusi
dan
budaya,
bahkan
dalam
beragama.
Lalu,
pertanyaannya ialah bagaimana kehidupan beragama
merespon globalisasi yang menjadi bagian dari dinamika
masyarakat dunia.92 Merujuk analisis Robertson, terdapat
dua hal yang dirumuskan untuk mengetahui bagaimana
globalisasi dan agama saling berhubungan responsif,
yaitu pertama, menggali historisitas dari kemunculan
globalisasi. Kedua, menelisik proses saling tarik-menarik
hubungan antara agama dengan globalisasi. 93 Agama
merupakan struktur terdalam masyarakat. Hal itu dapat
dilihat
dari
pengaruh
agama
terhadap
individu,
masyarakat, antar kelompok dan respon agama terhadap
globalisasi. Robertson merujuk pandangan Durkheim
mengenai
hakikat
dasar
agama
di
mana
faktor
interpretasi ajaran mempunyai pengaruh signifikan
dalam membentuk individu dan negara atau masyarakat.
Proses saling mempengaruhi terjadi dari konstruksi
institusional (institusionalized construction) agama yang
terintegrasi
dalam
masyarakat.
Proses
konstruksi
Ibid., 73-74.
Anthony Giddens, Sociology 6th...., 127.
93 William R. Garret, “Thinking Religion in the Global Circumstance: A
Critique of Roland Robertson’s Globalization Theory”, Journal for the
Scientific Study of Religion, Vol. 31, No. 4, 1992, 299.
91
92
Era dan Teori Globalisasi 85
institusi ini yang mengajarkan dan membatasi nilai luhur
agama mengenai bagaimana cara bersikap di tengah
globalisasi.94
Sebagai seperangkat norma atau nilai, agama
menjadi pembentuk way of life dari kelompok yang
mempercayainya. Pandangan agama mau tidak mau
dituntut untuk merespon globalisasi, sehingga pilihan
rasional menjadi bagian dari pilihan yang tersedia.
Karena rasionalisasi dapat menjelaskan
bagaimana
relevansi nilai agama dan kebudayaan yang diyakini.95.
Relasi agama dengan globalisasi juga dapat dilihat
dari beberapa perubahan yang terjadi pada diri agama itu
sendiri. Perubahan dipahami dalam tiga poin yakni,
perubahan nilai, struktur sosial dan perubahan tatanan
serta karakter institusi agama. 96 Perubahan nilai agama
merupakan unsur terpenting dari perubahan pola
berpikir pemeluk agama yang memudahkannya untuk
melakukan transformasi nilai, sehingga melahirkan
perubahan struktur agama. Dengan kata lain, perubahan
struktur agama merupakan dampak dari perubahan tata
nilai agama. Sementara perubahan karakter institusi
agama terjadi pada pelaksanaan nilai dan norma yang
terlembagakan.
Ibid., 299-304.
Anthony Giddens, New Roles of Sociological Methode (California:
Stanford University Press, 1993), 90.
96 Lorne L. Dawson, “The Cultural Significance of New Religious
Movements and Globalization: Theoritical Prolegomenon”, Journal for The
Scientific Study of Religion, Vol. 37, No. 4, Dec, 1998, 581.
94
95
86 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Relasi globalisasi dengan kebudayaan yang dtandai
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan sekulerisasi,
juga telah mengakibatkan tradisi dan adat kebiasaan yang
diterima masyarakat dianggap sebagai warisan masa lalu.
Tradisi dianggap tidak lagi mempunyai nilai filosofis
mengenai ajaran tertentu, tetapi hanya dilihat sebagai
warisan
nenek
moyang
yang
established.
Dengan
masuknya ilmu pengetahuan yang mengubah, semua
tradisi dapat dirasionalisasi dan diklarifikasi secara
ilmiah, tidak lagi dipandang sekumpulan mitos yang tidak
dapat dibuktikan kebenarannya.97
Globalisasi
juga berdampak bagi
menguatnya
identitas lokal yang dapat memicu timbulnya konflik
etnik dan kekerasan atas nama hak asasi manusia. 98
Statemen ini merupakan bagian pemaknaan globalisasi
sebagai “ruang kontestasi eksistensi”, yakni kontestasi
identitas diri, kelompok, etnis atau budaya tertentu dalam
melakukan dominasi terhadap kebudayaan lain, yang
sebenarnya
menjadi
ambisi
setiap
etnik
maupun
kebudayaan di seluruh dunia.
Gempuran terberat globalisasi adalah permasalahan
mengenai pemarjinalan budaya dan problem identitas
kebudayaan. Dua permasalahan ini yang memunculkan
97 William R.Garret, “Thinking Religion...., 302;
Sociology 6t...., 125.
98 Ibid., 131.
Anthony Giddens,
Era dan Teori Globalisasi 87
resistensi
agama
permasalahan
dan
bagi
kebudayaan.
agama
dan
Titik
temu
kebudayaan
ialah
99
menempatkan globalisasi sebagai faktor yang mendorong
penafsiran teks dan praktik dalam kehidupan sosial. Ini
artinya penafsiran mempunyai hubungan erat dalam
memaknai individu dan identitas sosialnya dalam tradisi
yang terdapat pada doktrin, etika, ritual, praktik, dan
sejarah sebagai pembeda dan alat kontestasi. 100 Namun
kebudayaan dan agama, selalu menyimpan dua unsur
yang
bertolak
belakang,
yaitu
kekuatan
dan
pertentangan.101 Unsur kekuatan agama dan kebudayaan
adalah solidaritas sosial dari segi internal. Sementara
pada lain pihak, ia menjadi bagian dari pertentangan, baik
dari segi internal maupun eksternal (dengan kelompok
lain). Unsur kekuatan sekaligus pertentangan ini menjadi
bagian dari proses introspeksi, hambatan ataupun konflik
yang menjadi variasi dinamika agama dan kebudayaan itu
sendiri, dan pilihan rasionalisasi menjadi cara dalam
mencapai cita-cita masyarakat.102
Globalisasi juga memberikan pengaruh dalam
kehidupan sosial, terutama dalam tiga hal; media (media),
99 Peter Beyer and Lori Beaman (ed.), Religion, Globalization and
Culture: International Studies in Religion and Society (Leiden: Hotey
Publishing, 2007), 124.
100 Ibid., 125.
101 Simon Coleman, The Globalization of
Charismatic Cristianity:
Spreading the Gospel of Prosperity (New York: Cambridge University Press,
2000), 55.
102 Anthony Giddens, New Roles of Sociological Methode....., 90.
88 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
organisasi (organization) dan orientasi (orientation). 103
Melalui kontak dengan media, berbagai informasi
diperoleh masyarakat. Setelah mendapatkan informasi,
perubahan institusi terjadi seiring dengan perubahan
tujuan atau orientasi yang hendak dicapai bersama.
Perubahan dalam agama dan kebudayaan dimulai dari
perubahan individu. Individu menjadi bagian dari sistem
sosial melalui kebiasaan yang berlaku pada pelembagaan
sosial. Melalui pembiasaan pada kelembagaan sosial,
perubahan menjadi bagian dari praktik yang ada di
masyarakat. Institusi akan melakukan kontekstualisasi
melalui beberapa proses, yakni aktivitas keseharian,
pertemuan kebudayaan baru, regionalisasi budaya lokal,
kontekstualisasi budaya lokal dan persimpangan budaya
lokal. Merujuk pada pengertian agama yang dikemukakan
oleh Thomas Luckman, ia merupakan hasil konstruksi
sosial yang diekspresikan dalam simbol kebudayaan. 104
Burke menambahkan bahwa kebudayaan merupakan
seperangkat sistem pembagian makna, sikap, nilai dan
bentuk simbolik. 105 Sebagaimana juga diperjelas oleh
Faucoult, kebudayaan merupakan dimensi sosial dari
ideologi, dan pengetahuan yang mempunyai serangkaian
kekuatan sosial. Oleh karena itu kemungkinan lain
Simon Coleman, The Globalization of Charismatic...., 55-57.
Michele Dillon (ed.), Handbook of the Sociology of Religion (New
York: Cambridge University Press, 2003), 51.
105 Kaspar Von Greyerz, translated by Thomas Dunlap, Religion and
Culture in Early Modern Europe 1500–1800 (London: Oxford University Press,
2008), 24.
103
104
Era dan Teori Globalisasi 89
pengaruh globalisasi adalah munculnya sekulerisasi atau
privatisasi agama. 106 Privatisasi artinya menempatkan
ajaran agama sebagai nilai yang eksklusif personal,
sehingga dunia menjadi tersekulerkan.
Sementara itu, Michael Hsio menemukan empat
model relasi globalisasi dengan kebudayaan lokal yang
terjadi di masyarakat, seperti di Indonesia, yaitu, pertama,
relasi
yang
meniadakan
akibat
globalisasi
yang
berorientasi pada nilai penyeragaman atau homogenitas,
di mana kebudayaan lokal digeser oleh kebudayaan
global yang dominan, seperti kebiasaan makan ubi yang
telah diganti dengan makanan roti pada sebagian
masyarakat
mendominasi
Indonesia.
Kebudayaan
mengakibatkan
global
kebudayaan
yang
lokal
kehilangan kepercayaan diri. Kedua, antara kebudayaan
lokal dengan globalisasi hidup dalam prinsip relasi ko
eksistensi atau independensi, yaitu berdampingan damai,
tetapi tetap terpisah sebagai konsekuensi dari sikap
independensinya, seperti pasar tradisional dengan pasar
swalayan modern yang didirikan di tempat yang sama,
tetapi memiliki fungsi ekonomi yang berbeda karena
perbedaan status sosial konsumen, dan juga karena
perbedaan gaya hidup (life style).
Ketiga, relasi kebudayaan lokal dengan kebudayaan
global yang menghasilkan sintesis kebudayaan, seperti
arsitektur candi di Jawa berbentuk gunungan yang
106 Clare O’Farrell,
2005), 96-100.
Michael Foucault, (London: Sage Publications,
90 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
bercorak animistik dengan arsitektur Hindu dari India
yang bergambar lukisan dewa dewi yang dipahat di
bebatuan candi, seperti ditunjukkan di kompeks Candi
Prambanan, atau bangunan Gereja-gereja Protestan
berukiran batu artistik di Bali yang memadukan
aristektur Eropa dengan kebudayaan lokal Bali, seperti
juga gereja-gereja di tanah Toraja, gereja tanah Papua,
gereja di pulau Timor, gereja di tanah Batak dan terakhir
pertunjukan wayang kulit yang bercampur dengan
muatan ajaran Islam yang dimainkan oleh sang dalang
untuk menyampaikan pesan Islam sebagai agama etik
yang dapat menjadi pedoman berperilaku di masyarakat,
seperti cerita Jimat Kalimasada. Keempat, relasi resistensi
globalisasi oleh kebudayaan lokal, seperti kehidupan
sosial suku Samin di Blora, Jawa Tengah, dan orang-orang
Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur. Kebudayaan lokal
menguat karena dihidupkan oleh masyarakat dalam
rangka menolak kebudayaan global.107
Globalisasi juga secara luas berdampak bagi
menguatnya isu-isu multikulturalisme dan toleransi
religius. Ia menjadi fenomena sosial yang tidak dapat
diabaikan di berbagai negara, individu maupun kelompok
di seluruh dunia, bahkan pada komunitas-komunitas
lokal. Dari sisi etimologi, istilah multikultural berasal dari
kata multi yang berarti majemuk dan cultural yang berarti
107 Michael Hsiao, Coexistence and Synthesis: Cultural Globalization
and Localization in Contemporary Taiwan (Oxford: Scholarship Online
Monographs, 2002), 48-68.
Era dan Teori Globalisasi 91
budaya.
Sedangkan
secara
epistimologi,
multikulturalisme dimaknai sebagai ekspresi pengakuan
atas keragamaan budaya, baik keragaman tradisional,
seperti suku, ras, budaya dan agama, maupun keragaman
subkultur masyarakat.108
Multikulturalisme merupakan sikap yang mesti
dilakukan di tengah keberagaman masyarakat. Banyak
istilah yang dipadukan dengan multikulturalisme dalam
berbagai studi yang dikaitkan dengan studi teologi.
Dengan menggunakan potensi truth claim pada studi
teologi yang dipadukan dengan fundamental values dari
setiap ajaran agama, konsep teologi multikulturalisme
dapat menciptakan jalan keluar di tengah kemelut konflik
agama yang timbul di masyarakat.109
Pemahaman nilai pada multikulturalisme yang
melahirkan perbedaan dapat menimbulkan konflik,
sebagaimana Wieviorka mengungkap terdapat tiga faktor
pemicu konflik, yaitu pertama, produksi identitas (the
production
of
identities)
di
masyarakat.
Identitas
merupakan karakter kelompok, seperti unsur agama,
etnik, ras, sejarah, asal-usul bangsa, gender, dan
perbedaan kondisi fisik yang saling bertentangan. Kedua,
ketegangan (tensions) yang terjadi karena perbedaan
tujuan dari dua kelompok yang berbeda identitas. Ketiga,
108
Ana
Irhandayaningsih,
“Kajian
Filosofis
terhadap
Multikulturalisme di Indonesia”, ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika.
Diunduh pada tanggal 18 Maret 2015.
109 Tri Astutik Haryati, “Teologi Multikultural (Resolusi Konflik
Religiositas di Indonesia)”, Jurnal Religia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2011, 148.
92 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
sikap
individualistik
dan
perbedaan
kebudayaan
(individualism and cultural difference). Sikap ini dipicu
oleh latar belakang bahasa, agama, pemahaman kolektif
dan pengalaman yang berbenturan, sehingga melahirkan
sikap egoisme dalam berkebudayaan.110
Keragaman
masyarakat
dalam
memahami
multikulturalisme mempunyai dua sisi yang tidak dapat
dipisahkan. Pada satu sisi masyarakat memahami
multikulturalisme dapat mendorong harmonisasi dalam
wujud tumbuhnya nilai-nilai toleransi universal. Namun
di sisi lain, timbul arogansi eksistensi maupun identitas
kelompok yang berujung pada sikap intoleransi. Sikap
intoleransi terjadi karena pandangan mengenai ajaran
agamanya yang paling benar, sementara yang lain salah
sehingga menimbulkan konflik. Tetapi terdapat cara lain
untuk mengurangi potensi konflik, seperti berpikir positif
mungkin saja orang itu lebih benar memahami dari pada
dirinya sendiri.111
Sementara kata toleransi merupakan derivasi dari
bahasa Latin, yakni tolerantia, yang artinya kelembutan
hati, kelonggaran, kesabaran dan keinginan. Ia juga
berarti tolerar yang bermakna saling menghargai,
110 Michel Wieviorka, “Is Multiculturalism the Solution?” Ethnic and
Racial Studies, Vol. 21, Number 5, September 1998, Routledge Taylor &
Francis Group, Published Online 02 December 2010, 890-894. Diunduh pada
tanggal 20 Maret 2015.
111 John Hick, Problem of Religious Pluralism (London: Macmillan
Press, 1985), 89.
Era dan Teori Globalisasi 93
membiarkan dan membolehkan.112 Pengertian toleransi
ini mendorong sikap longgar dan sabar, memberikan hak
orang
lain
meskipun
berbeda
sehingga
tumbuh
keterbukaan dan sikap lapang dada.113 Badan UNESCO
PBB mengartikan toleransi sebagai sikap menghormati,
menerima dan menghargai di tengah kebudayaan yang
beragam, kebebasan berekspresi maupun beragama.
Selain itu toleransi dinilai sebagai sikap positif dalam
menghargai orang lain yang sejalan dengan prinsip hak
asasi manusia. 114 Sebagaimana abad ke-17 M., pada
pertumbuhan sejarah agama di Eropa, toleransi telah
mencairkan kondisi politik, menuntaskan masalah sosial,
dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang
berbeda.115
Kata toleransi di Indonesia mulai mencuat menjadi
isu akademik sejak Orde Baru, seiring merebaknya
konflik antar suku dan agama yang terjadi di Indonesia.
Untuk mengatasi, pemerintah mengambil kebijakan
pemberlakukan penataran P4 dari tingkat SD sampai
instansi
pemerintah.
Namun
kebijakan
itu
tidak
membuahkan hasil maksimal, sebagaimana ditunjukkan
112 Lucia Herma, dkk., “Toleransi dalam Interdiskursus Teks Sastra
dan Teks Non-Sastra”, Jurnal MAKARA, Sosial Humaniora, Vol. 7, No. 2,
Desember 2003, 2.
113 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme
dan Multikulturalisme (Jakarta Selatan: Penerbit Fitrah, 2007), 81.
114 Ibid., 181.
115 Jonathan Israel, and Stuart B. Schwartz, The Expension of
Tolerance: Religion in Dutch Brazil (1624-1654) (Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2007), 6.
94 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
dari peristiwa 1998-an yang justru mencerminkan
merebaknya sikap intoleransi masyarakat Indonesia.116
Zuhairi
toleransi,
Misrawi
yaitu
menawarkan
inklusivisme,
tiga
paradigma
pluralisme,
117
dan
multikulturalisme. Paradigma toleransi yang bermula dari
problem teologi, dapat dikembangkan di tiga ranah studi,
yaitu filsafat, sosiologi dan kebudayaan. 118 Selain itu,
paradigma toleransi dapat ditinjau dari pergulatan
sejarah politik dan agama-agama dari bangsa lain, yang
akan
memperkuat
pergumulan
antara
pergumulan
wacana
toleransi
idealisme
idealisme
dan
dan
dari
sudut
realitas.
Sebab
realitas,
seringkali
menimbulkan ketegangan dalam memaknai kata toleransi
itu sendiri dalam kehidupan nyata. 119
Menurut
Walzer,
terdapat
lima makna yang
ditemukan pada sikap toleransi, yaitu pertama, menerima
perbedaan menuju kehidupan damai. Kedua, membentuk
keragaman
sebagai
wujud
penghargaan
terhadap
perbedaan sehingga setiap kelompok dapat berekspresi
Lucia Herma, dkk. “Toleransi dalam Interdiskursus.....
Dalam tradisi Teologi Kekristenan, istilah inklusivisme dipahami
sebagai seluruh karya keselamatan Kristus diperlakukan untuk semua orang.
Ini artinya semua orang beragama terbuka memperoleh keselamatan selama
ia bertindak menghadirkan karya keselamatan (the salvific presence),
sehingga karya keselamatan itu hadir tidak hanya untuk orang Kristen,
melainkan orang lain, yang disebut dengan Kristen anonim (anonymous).
Begitu pula pada pluralisme yang dipahami maknanya sebagai jalan
keselamatan itu mengalami pergeseran revolusioner dari jalan keselamatan
yang berpusat pada Kristosentris ke Teosentris. Lih., Kalvinus Javak, Teologi
Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) (Salatiga: Program Studi
Doktor Sosiologi Agama Fakultas Teologi UKSW, 2013), 111, 115.
118 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi...., 179.
119 Ibid.
116
117
Era dan Teori Globalisasi 95
dengan cara yang berbeda. Ketiga, membangun moral
stoisisme, artinya menerima hak orang lain meskipun hak
itu tidak menarik dengan cara bersikap simpatik.
Keempat, mengekspresikan keterbukaan kepada orang
lain, menumbuhkan rasa ingin tahu, menghargai, sikap
ingin mendengarkan dan keinginan belajar dengan orang
lain. Kelima, antusiasme mendukung perbedaan dengan
menfokuskan pada kekuatan otonomi.120
Lebih jauh toleransi juga dimengerti sebagai sikap
yang positif terhadap perbedaan, atau dapat berarti sikap
yang menghormati dan menerima perbedaan dalam
berfikir dan bersikap.121 Asyraf Abdul Wahhab menilai
sikap toleransi merupakan keharusan kebudayaan,
karena pada dasarnya manusia hidup di
tengah
masyarakat plural yang membutuhkan perdamaian dan
kedamaian. 122 Ini artinya kebutuhan akan perdamaian
dan toleransi adalah keharusan kebudayaan. Hanya saja
di masing-masing tempat atau daerah dengan berbagai
latar belakang sosial dan keagamaan yang berbeda
mempunyai langkah, cara dan pendekatan yang berbeda
dalam
mengembangkan
berbanding
terbalik,
toleransi.
misalanya
Pandangan
dengan
ini
sebagian
kelompok Muslim yang menghendaki mengembalikan
tatanan sosial monolitik sebagaimana zaman klasik yang
serba seragam. Oleh karena itu, berbeda dengan
Ibid., 181.
Oliver McTernan, Violence in God’a Name: Religion in an Age
Conflict (London: Darton, Longman and Todd, 2003), 149.
122 Ibid.
120
121
96 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Mohammad Iqbal, sebenarnya Islam tidak secara paten
memberikan hukum, tata tertib dan peraturan tentang
kehidupan bermasyarakat. Tetapi ada hal yang menjadi
kewenangan umat untuk memutuskan kebutuhan apa
yang diperlukan, misalnya dalam mengatur permasalahan
ekonomi.123 Misi kenabian (profetik) Nabi Muhammad
ketika diutus ke dunia, secara teologis menjadi pembawa
kasih sayang dan rahmat bagi semesta dunia (totality
human being) atau rahmatan lil’alamin, sebagaimana
dibuktikan dengan pembebasan umat Kristen pada tahun
6 Hijriyah.124 Dari sini, agama Islam sebenarnya telah
menanamkan sejak awal penghargaan atas keragaman
religius. Walaupun dalam perjalanan sejarahnya yang
turbulance, ia mengalami metamorfosis ideologi militan
oleh sebagian pengikutnya sehingga menjadi begitu keras
dan rigit, yang menimbulkan berbagai sikap intoleransi.
Dalam konsep teologi dan pergumulan sejarahnya,
toleransi menjadi bagian dari pesan dasar Islam,
sebagaimana tujuan dari toleransi itu sendiri membangun
kedamaian di tengah keragaman. Lebih lagi jika melihat
keragaman kelompok internal Islam sendiri dengan latar
belakang sejarah, kebudayaan serta identitas sosial yang
berbeda-beda.125
Sedangkan untuk memahami intoleransi lawan dari
toleransi tidak dapat dilihat dengan tafsir tunggal.
123 Mohammad Iqbal, The Mission of Islam (New Delhi: Vikas
Publishing, 1977), 6.
124 Ibid., 122.
125 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi....., 182.
Era dan Teori Globalisasi 97
Misalnya sikap diskriminasi dapat dikategorikan sebagai
sikap intoleransi. Dengan mengambil contoh sikap
diskriminatif terhadap kelompok minoritas dengan tidak
memberikan
akses
dasar
manusia
untuk
belajar,
berpolitik dan berinteraksi dalam dunia sosial. Sikap
diskriminatif dapat memicu respon buruk, bahkan protes
yang merupakan reaksi atas ketidaksetujuan terhadap
ketidakadilan.126
Dalam bahasa Inggris, intoleransi berasal dari kata
intolerance yang secara harafiah berarti keratan garis.
Secara epistemologis intolerance mengandung arti, yaitu
pertama, merasa ragu menerima pendapat, keyakinan
dan kepercayaan yang berbeda (unwillingness to accept
views, beliefs, or behaviour that differ from ones own).
Kedua, ketidakmampuan mengambil makanan atau obat
tanpa dampak yang berarti (an inability to eat a food or
take a drug without adverse affects).127 Dari penjelasan ini,
intoleransi yang diartikan sebagai rasa enggan menerima
keragaman pandangan, kepercayaan maupun perilaku
yang berbeda lebih tepat dalam memahami sikap
intoleransi yang muncul di masyarakat Indonesia.
Namun demikian, sikap toleransi di masyarakat
Indonesia, terutama dalam kebudayaan Jawa lebih
tampak ke permukaan dibanding intoleransi. Jika
mengacu pandangan Walzer, terdapat lima alternatif
126
127
2014.
Oliver McTernan, Violence in God’a Name...., 14.
www.oxford dictionaries.com. Diunduh pada tanggal 11 Desember
98 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
sikap toleransi yang pernah terjadi dalam sejarah, yaitu
pertama,
sikap
toleransi
yang
mengacu
pada
keberagamaan masyarakat Eropa pada abad ke-16 dan 17
M. yang menunjukkan sikap toleransi pasif dengan
menerima kepercayaan agama lain setelah mengalami
peristiwa traumatik yang cukup panjang. Kedua, sikap
toleransi
yang
melahirkan
pengakuan
terhadap
perbedaan, tetapi menganggap eksistensi pihak lain tidak
ada. Ketiga, sikap toleransi yang melahirkan pengakuan
secara prinsip atas pihak lain meski ekspresinya tidak
diakui. Keempat, sikap toleransi yang memperlihatkan
pengakuan, keterbukaan dan keingintahuan pada pihak
lain. Kelima, sikap toleransi yang bermakna tidak hanya
mengakui dan menerima perbedaan, tetapi mendukung,
merawat dan merayakan perbedaan.128
2.4. Respon Agama terhadap Globalisasi
Hubungan agama dengan globalisasi seringkali
mengalami
ambivalensi,
Di
satu
pihak globalisasi
mendorong terwujudnya harmoni di tengah masyarakat
multikultural, di lain pihak ia menjadi sebuah peringatan
atas penyeragaman kebudayaan yang mendunia. Berbagai
dampak positif dan negatif itu melahirkan respon yang
berbeda, satu pihak tidak menerima globalisasi sehingga
timbul penolakan dan menghendaki penegakan kembali
128 Trisno Sutanto, “Melampaui Toleransi? Merenung Bersama
Walzer”, dalam Ihsan Ali Fauzi, dkk., Demi Toleransi Demi Pluralisme
(Jakarta: Democracy Project, 2012), 376.
Era dan Teori Globalisasi 99
nilai-nilai lama. Ada pula kelompok agama yang
menerima globalisasi dengan cukup optimistik.129
Agama biasanya memberi responsi ganda terhadap
globalisasi, yakni ekternal dan internal. Secara eksternal,
agama hidup di tengah agama-agama lain, sehingga
terjadi kompetisi memperebutkan pengikut. Sebaliknya
secara internal, agama selalu melakukan kontrol atas
ketaatan pengikutnya.130 Menurut Berger, agama sering
memberikan
konsekuensi
negatif
bagi
masyarakat,
menimbulkan konflik akibat perebutan sumber-sumber
ekonomi dan politik pengikutnya sebagaimana yang
terjadi antara Israel dan Palestina. 131
Berger membagi beberapa bentuk responsi agama
secara
sosiologis
mengenai
kondisi
global
dalam
beberapa variasi. Dalam dunia Islam, responsinya
cenderung tidak memihak pemberdayaan masyarakat
(sipil), terutama di beberapa negara, sebagaimana di
kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah dan juga Balkan
serta benua kecil di India. Dalam dunia Yahudi juga tidak
berpihak pada masyarakat sipil seperti yang terjadi di
Israel. Dalam dunia Katolik dan Protestan banyak
melakukan
demonstrasi
di
Irlandia
utara
dalam
memperebutkan wilayah politik. Namun dalam dunia
129 Mark Juergensmeyer, “Introduction: Religious Ambivalence to
Global Civil Society”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil
Society (New York: Oxford University Press, 2005), 5.
130 Peter Berger. “Religion and Global Society”, dalam Mark
Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil Society (New York: Oxford
University Press, 2005),15.
131 Ibid.
100 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Hindu dan Buddha tergolong sebagai agama toleran,
meskipun sebenarnya mereka yang hidup di India dan
Srilangka mempunyai potensi untuk saling menyerang
karena
perbedaan
pemahaman
konsep
ketuhanan
keduanya.132
Dalam Islam sendiri responsi terhadap globalisasi
menciptakan wajah yang kompleks, sebagaimana dapat
dilihat dari Barat sampai Timur Selatan Asia dan
tersebarnya Islam di Eropa serta Amerika masih
tergolong tradisionalistik. Pengertian tradisionalistik
merujuk masih ketatnya syariat Islam dalam diri
pemeluknya, dan terkadang tidak memberi ruang sedikit
pun bagi pengembangan independensi institusi dari
hukum agama. Bersamaan dengan itu, dimensi kekerasan
seringkali muncul, misalnya keleluasaan bagi perempuan
untuk beraktivitas ruang publik masih dianggap suatu hal
yang melanggar perintah agama. Di lain pihak, wajah
Islam yang moderat dan toleran dapat pula ditemukan
dalam sejarah Islam Spanyol dan India di bawah
kekuasaan dinasti Mughal. 133
Dalam agama Katolik,
respon globalisasi dapat dilihat dari sikap gereja terhadap
para pengikutnya yang cenderung tidak memihak
masyarakat sipil. Perubahan sistem gereja justru terjadi
karena faktor lain, yaitu selama dan setelah perang
masyarakat sipil di Spanyol pada tahun 1930. Gereja
Vatican II (Paus) kemudian melakukan perubahan besar,
132
133
Ibid., 20.
Ibid., 18-19.
Era dan Teori Globalisasi 101
dengan merubah pola pikir gereja agar berpihak pada
masyarakat sipil, bersikap toleran dan memberikan
kebebasan beragama yang diekspresikan dalam aktifitas
politik gereja secara global.134
Respon globalisasi juga menimbulkan problem
fundamentalisme akibat berhadapan dengan agama lain,
sekularisme,
nasionalisme
ideologi-ideologi
lain.
atau
135
kontestasi
Dalam
dengan
Islam,
aksi
fundamentalisme dapat dilihat dalam peperangan antar
umat Islam pada pertengahan abad 17 M., dan gerakan
jihad
di
Afrika
Barat
dan
Sudan.
Selain
itu,
fundamentalisme dapat diartikan pula sebagai respon
dari ketidakterimaan masyarakat terhadap keprihatinan
atas kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mereka
hadapi.
Permasalahan
kemasyarakatan
kemudian
mengantarkan pada sebuah klaim bahwa mereka harus
kembali pada identitas syariat karena adanya anggapan
kebenaran adalah bagi mereka yang berpegang pada
otoritas syariat.
136
Di pihak lain, Islam memberi
gambaran wajah lain mengenai pemisahan agama dan
state atau yang sering dipahami sebagai liberalism Islam
yang cenderung ke arah sekulerisasi. Tindakan ini
dianggap memisahkan diri dari bentuk praktik Islam
Ibid., 19.
Abdullahi A. An-Na’im. “The Politics of Religion and the Morality of
Globalization”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil
Society (New York: Oxford University Press, 2005), 28.
136 Ibid. 28-29.
134
135
102 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
otentik sebagaimana anggapan masa awal agama ini
diturunkan.137
Pengikut gerakan Islamisme atau revivalist atau
fundamentalist
yang
merujuk
pada
Muslim
di
semenanjung Arab mempunyai responsi yang berbeda
dengan
globalisasi.
Mereka
membentuk
gagasan
persaudaraan yang disebut ummah. Latar belakang
pemakaian istilah ini adalah untuk membentuk persepsi
yang sama mengenai keterpurukan yang dihadapi umat
karena ketidakadilan dan dominasi yang dilakukan oleh
pihak luar.138 Mereka juga menggunakan perspektif lokal
dalam merespon tatanan global.139
Namun Berger menambahkan responsi agama di
era global sering diperlihatkan sebagai quasi-theological
postscript, yakni agama digunakan sebagai agenda
ideologi,
politik
dan
sosial.
Hal
ini
memancing
penerimaan maupun penolakan dari pengikut masingmasing agama. Pengetahuan agama membangkitkan rasa
kekuatiran bagaimana kondisi sosial politik saat ini. Dari
sisi itu dapat diketahui bahwa agama ternyata tidak
dipahami sebagaimana kebenaraan manfaatnya bagi
umat manusia, tetapi hanya kebenaran teologisnya yang
melangit.140
Ibid. 31-32.
Carrie Rosefsky Wickham, “the Islamist Alternative to
Globalization”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil
Society (New York: Oxford University Press, 2005), 149-152.
139 Ibid., 162.
140 Peter Berger. “Religion and Global...., .21.
137
138
Era dan Teori Globalisasi 103
Era globalisasi juga menimbulkan pertentangan
antara agama dan ilmu pengetahuan.141 Agama sebagai
sistem kepercayaan yang hidup terlebih dahulu, sebelum
manusia
menemukan
Pertentangan
berbagai
muncul
karena
ilmu
pengetahuan.
adanya
perbedaan
pandangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Agama
dianggap sebagai suatu pengetahuan yang kebenarannya
bersifat absolut, sedangkan ilmu pengetahuan merupakan
penemuan manusia yang cenderung subyektif dan belum
tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pada
dasarnya asumsi itu tidak selamanya benar, karena ilmu
pengetahuan pun terikat dengan kode etik.142
Gandhi sendiri bereaksi mengkritik globalisasi
sebagai
sebuah
sistem
yang
menimbulkan
ketidakharmonisan
dunia.
Menurutnya,
agama
merupakan sumber spiritual yang menjadi pegangan
hidup manusia. Adapun budaya, politik dan ekonomi
merupakan wujud pengembangan dari agama itu sendiri.
Pembagian ini mencoba mempolakan antara agama
sebagai ruang privat dan yang lainnya sebagai ruang
publik.143 Namun seringkali bagian dari wacana maupun
simbol agama tidak menguntungkan baik dalam skala
lokal maupun global.144
141 Mehrzad Boroujerdi, “Subduing Globalization: the Challenge of the
Indigenization Movement” dalam Birgit Schaebler dan Leif Stenberg (ed.),
Globalization and the Muslim World: Culture, Religion and Modernity (New
York: Syracuse University Press, 2004), 31.
142 Ibid., 35.
143 Abdullahi A. An-Na’im, The Politics of Religion...., 27.
144 Ibid., 28.
104 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Globalisasi juga menimbulkan identitas ganda bagi
masyarakat Islam, misalnya Islam di Barat. Semenjak
Napoleon Bonaparte memasuki Kairo pada tahun 1798,
masyarakat Mesir harus mengahadapi tradisi baru, yaitu
demokrasi. 145 Permasalahan etnik juga menimbulkan
krisis identitas, yakni konsekuensi untuk melindungi diri
dari pengaruh luar sekaligus mempertahankan identitas
kebangsaannya
sebagai
orang
Islam.
146
Benturan
kebudayaan Barat dan Timur tersebut menimbulkan
kekuatiran dalam Islam, yaitu tantangan sekulerisme.147
Heather J. Sharkey yang melakukan riset migrasi
umat Islam dari tahun 1800 sampai 2000 menemukan
kesimpulan bahwa benturan budaya dan agama yang
terjadi antara dua kebudayaan atau lebih mendorong
beberapa hal. Pertama, secara internal suatu kelompok
berpindah tempat untuk mempertahankan identitas
kesukuan mereka dalam skala kelompok kecil. Kedua,
dalam menghadapi benturan lintas budaya, anggota
kelompok
akan
menonjolkan
identitas
untuk
mempertahankan budaya di tengah keterbelahan dunai
mereka. Ketiga, banyak dari kelompok migrasi mengalami
perubahan budaya dari waktu ke waktu melalui proses
145 Jocelyne Cesari, “Islam in the West: Modernity and Globalization
Revisited”, dalam Birgit Schaebler and Leif Stenberg (ed.), Globalization and
the Muslim World: Culture, Religion and Modernity (New York: Syracuse
University Press, 2004), 82-83.
146 Ibid., 84.
147 Ibid., 85-92.
Era dan Teori Globalisasi 105
asimilasi dan penggabungan.148 Benturan kebudayaan di
tengah terbukanya ruang globalisasi tentu melahirkan
sebuah respon yang berbeda-beda. Respon tersebut
sesuai dengan alasan dan keinginan agen-agen baik
individu
maupun
kelompok
sebagai
pelaku.
Pada
Simposium Islam Internasional baru-baru ini di Istambul
Turki, terutama dalam merespon isu pemanasan global,
para ulama menyerukan agar negara-negara di dunia
membuat kesepakatan yang mengikat dan adil tentang
perubahan iklim global. Dalam deklarasinya, mereka
menyampaikan
dukungan
moral
terhadap
hal
ini
berdasarkan ajaran agama. Mereka meminta negaranegara kaya dan produsen minyak untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca dan menghentikan sama sekali
produksi bahan bakar fosil pada tahun 2050. Selain itu
seruan keras juga disampaikan kepada negara dan pelaku
bisnis agar hanya menggunakan energi yang terbarukan.
Deklarasi ini juga menyatakan bahwa 1,6 miliar Muslim
mempunyai
kewajiban
untuk
berjuang
melawan
perubahan iklim dan meminta agar Muslim patuh pada
perintah al-Quran untuk "tidak berlaku sombong di muka
bumi"149
Dari semua perspektif tentang globalisasi terdapat
terdapat satu hal yang tidak dapat diingkari dampaknya,
148 Heather J. Sharkey. “Globalization, Migration and Identity: Sudan
1800-2000”, dalam Birgit Schaebler dan Leif Stenberg (ed.), Globalization
and the Muslim World: Culture, Religion and Modernity (New York: Syracuse
University Press, 2004), 137.
149 http://www.bbc.com. Diunduh pada tanggal 17 Agustus 2015.
106 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
yaitu soal rasa keadilan yang hilang, terutama bagi
mayoritas masyarakat kecil di dunia yang tidak dapat
menikmati apa yang terjadi dalam kehidupan sosial
mereka. Pendapatan berlebihan yang diperoleh para
eksekutif dari berbagai bonus yang mereka tetapkan
sendiri dalam berbisnis sangat tidak menghargai rasa
keadilan buruh mereka. Pendapatan ini sudah bukan lagi
diperoleh
karena
prestasi
dan
kehebatan
yang
ditunjukkan, akan tetapi sudah merupakan demonstrasi
keserakahan (greed) manusia. Demonstrasi yang tidak
lagi menghargai perasaan sesama, baik bawahannya
maupun sesama dalam kehidupan masyarakat, sehingga
sangat menyudutkan rasa keadilan dan kemanusiaan.
Ketika resesi itu terjadi dan Pemerintah AS berusaha
menyelamatkan berbagai perusahaan besar dengan dana
penalangan, yang sudah tentu diambil dari uang rakyat,
mereka masih tetap menuntut pendapatan besar, maka
ada masalah besar dalam diri para eksekutif itu. Masalah
besar tersebut adalah di manakah hati nurani mereka?
Tidaklah mengherankan kalau gaya hidup seperti itu
mendapatkan kritik yang keras dari lembaga-lembaga
keagamaan. Sikap yang tidak lagi menghargai sesama itu
telah merusak citra Penciptanya sendiri.
Dari sisi inilah kritik tajam yang dilakukan oleh
Uskup Gereja Katolik di Amerika Serikat pada tahun 1986
dalam surat Penggembalaan mereka dan Pengakuan
Gereja-Gereja Reformasi di Harare tahun 2008 perlu
Era dan Teori Globalisasi 107
disimak. Dalam alinea 13 dari Surat Penggembalaan Para
Uskup Gereja Katolik itu, mereka katakan :
13. In short, nations separated by geography,
culture, and ideology are linked in a complex
commercial, financial, technological, and
environmental network. These links have two
direct consequences. First, they create hope
for a new form of community among peoples,
one build on dignity, solidarity and justice.
Second, this rising global awareness calls for
greater attention to the stark inequities
across countries in the standards of living
and control of resources. We must not look at
the welfare of U.S. citizens as the only good to
be sought. Nor may we overlook the
disparities of power in the relationships
between this nation and the developing
countries. The United States is the major
supplier of food to other countries, a major
source of arms sales to developing nations,
and a powerful influence in multilateral
institutions such as the International
Monetary Fund, the World Bank, and the
United Nations. What Americans see as a
growing interdependence is regarded by
many in the less developed countries as a
pattern of domination and dependence.
Pernyataan itu menegaskan negara-negara yang
dipisahkan oleh geografi, budaya, dan ideologi yang
terkait dalam jaringan komersial, keuangan, teknologi,
dan
lingkungan
yang
kompleks,
membawa
dua
108 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
konsekuensi pada, yaitu pertama, adanya harapan baru
dari
masyarakat
untuk
membangun
kesadaran
meningkatkan martabat kehidupan, solidaritas sosial dan
rasa keadilan. Kedua, kesadaran global yang melahirkan
panggilan gereja dalam melihat ketidakadilan antara AS
dan negara-negara berkembang di mana AS yang lebih
sejahtera menjadi pemasok utama makanan untuk
negara-negara lain, sumber utama penjualan senjata ke
negara-negara berkembang, dan pengaruh kuat di
lembaga-lembaga multilateral seperti Dana Moneter
Internasional, Bank Dunia, dan PBB. Kondisi ini membuat
negara-negara berkembang berada dalam dominasi dan
ketergantungan.
Oleh karena itu sudah ada kesadaran yang kuat
bahwa Amerika Serikat dan Dunia berada dalam saling
ketergantungan satu terhadap yang lain, sehingga
ketidaksetaraan di bagian lain dari dunia akan berakibat
juga bagi kehidupan bangsa Amerika Serikat sendiri,
demikian juga sebaliknya. Sebagai bangsa yang memiliki
tingkat perkembangan ekonomi yang tertinggi, bangsa
Amerika harus terpanggil untuk juga memperhatikan
sesamanya di bagian lain dunia ini. Bangsa Amerika tidak
dapat menutup mata terhadap ketidakadilan seperti
itu.150
Dalam pada itu statemen yang lebih keras juga
datang dari Aliansi Gereja-Gereja Reformasi se Dunia
150 Economic Justice for All: Pastoral Letter on Catholic Social Teaching
and the U.S. Economy U.S. Catholic Bishops, 1986.
Era dan Teori Globalisasi 109
(World Alliance of Reformed Churches – WARC),
sebagaimana kutipan di bawah ini.151
19. Therefore, we reject the current world
economic order imposed by global neoliberal
capitalism and any other economic system,
including absolute planned economies, which
defy God’s covenant by excluding the poor,
the vulnerable and the whole of creation
from the fullness of life. We reject any claim
of economic, political, and military empire
which subverts God’s sovereignty over life
and acts contrary to God’s just rule.
20. We believe that God has made a covenant
with all of creation (Genesis 9.8-12). God has
brought into being an earth community
based on the vision of justice and peace. The
covenant is a gift of grace that is not for sale
in the market place (Isaiah 55.1). It is an
economy of grace for the household of all of
creation. Jesus shows that this is an inclusive
covenant in which the poor and marginalized
are preferential partners, and calls us to put
justice for the “least of these” (Matius 25.40)
at the centre of the community of life. All
creation is blessed and included in this
covenant (Hos2.18ff).
21. Therefore we reject the culture of
rampant consumerism and the competitive
greed and selfishness of the neoliberal global
market system, or any other system, which
claims there is no alternative.
151 Accra Confessions of World Alliance of Reformed Churches 24th
General Council, Accra, Ghana July 30-August 13, 2004.
110 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi
Pernyataan itu secara eksplisit menegaskan kritik
keras
Gereja
Reformasi
terhadap
tata
ekonomi
kapitalisme global yang melahirkan sistem ekonomi,
politik dan militer yang absolut yang tidak sejalan dengan
iman Kekristenan, terutama rasa ketidakadilan yang tidak
mau lagi memikirkan kesejahteraan masyarakat yang
terpinggirkan.
Pernyataan tersebut juga mempelihatkan sikap
penolakan Gereja-Gereja Reformasi (Protestan) atas
ketidakadilan ekonomia akibat neoliberalisme yang
menguasai dunia saat ini. Hal ini disadari sebagai akibat
keserakahan hidup yang berlebihan kaum kapitalistik,
sehingga mengakibatkan jatuh korban. John Perkins
menggambarkan
keserakahan
ini
dalam
bukunya,
“Confessions of an Economic Hitman”. 152 Dapatlah
dibayangkan betapa borosnya kehidupan para eksekutif
korporasi itu, sehingga ada perusahaan asuransi yang
memiliki
pesawat
jet
tersendiri
yang
hanya
diperuntukkan bagi General Manajernya yang tidak mau
menggunakan
pesawat
penumpang
umum
dalam
melakukan bisnis. Sudah dapat dibayangkan betapa
besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mendukung gaya
hidup para eksekutif tersebut.
152 Lih., John Perkins, Confessions of an Economic Hitman: Pengakuan
Seorang Ekonom Perusak (Jakarta: Abdi Tandur, 2005).
Download