UJI AKTIFITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BANDOTAN (Ageratum Conyzoides) terhadap BAKTERI Staphylococcus Aureus Karya Tulis Ilmiah Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Farmasi Pada Program Studi DIII Farmasi Disusun Oleh: Pitya Suciningtyas Wulandayu 13DF277040 PROGRAM STUDI D-III FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016 UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BANDOTAN (Ageratum conyzoides) Terhadap BAKTERI Staphylococcus aureus1 Pitya Suciningtyas Wulandayu2 Nurhidayati Harun3 Davit Nugraha4 INTISARI Prevalensi penyakit kulit diseluruh Indonesia ditahun 2012 adalah 8,46 % kemudian meningkat ditahun 2013 sebesar 9 %. Pengobatan penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dengan menggunakan antibiotik secara topikal atau oral. Selain menggunakan obat antibiotik, masyarakat biasanya lebih sering menggunakan tanaman berkhasiat sebagai obat, contoh tanaman yang digunakan sebagai obat penyakit kulit adalah bandotan. Dilakukan penelitian uji aktivitas antibakteri yang bertujuan mengetahui uji aktivitas antibakteri dari ekstrak bandotan. Metode yang digunakan adalah metode difusi padat menggunakan cakram kertas. Cakram kertas direndam pada antibiotik, kemudian diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Cakram kertas digunakan untuk menentukan aktivitas antimikroba. Dalam penelitian menggunakan 4 konsentrasi meliputi konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80%. Hasil yang diperoleh semua konsentrasi ekstrak daun bandotan (Ageratum conyzoiddes) mempunyai aktivitas antibakteri. Untuk konsentrasi 80% respon hambatan sangat kuat dengan hasil 23 mm. Untuk konsentrasi 60% menghasilkan zona hambat yang sedikit dengan hasil 13,7 mm. Kata Kunci Keterangan : Daun Bandotan, Bakteri Staphylococcus aureus, Difusi padat : 1 Judul, 2 Nama Mahasiswa, 3 Pemnimbing I, 4 Pembimbing II v 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, terdapat banyak tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan merupakan salah satu makhluk hidup ciptaan Allah SWT yang memiliki banyak sekali manfaat. Tumbuhan dapat mempunyai kandungan zat yang dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya. Dalam surah Al-an’am ayat 99 Allah menjelaskan: Artinya: “Dan Dia lah yang menurunkan hujan dari langit lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu segala jenis tumbuhtumbuhan, kemudian Kami keluarkan daripadanya tanaman yang menghijau, Kami keluarkan pula dari tanaman itu butir-butir (buah) yang bergugus-gugus; dan dari pohon-pohon tamar (kurma), dari mayang-mayangnya (Kami keluarkan) tandan-tandan buah yang mudah dicapai dan dipetik; dan (Kami jadikan) kebun-kebun dari anggur dan zaiton serta buah delima, yang bersamaan (bentuk, rupa dan rasanya) dan yang tidak bersamaan. Perhatikanlah kamu kepada buahnya apabila ia berbuah, dan ketika masaknya. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi tanda-tanda (yang menunjukkan kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang beriman”. Ayat ini menjelaskan tentang tumbuhan mengalami proses pertumbuhan yang sangat rumit. Mulai dari berkecambah dengan melakukan penyerapan air dari dalam tanah, tumbuhan pun memulai perkembangannya. Biji yang tumbuh dikecambah mulai 2 karena perkembangannya. Selanjutnya tumbuhan mulai mengeluarkan akar dan menembus kedalam tanah untuk mencari makanan dan menjalani proses pertumbuhannya. Setelah tumbuh, tanaman dapat mempunyai fungsi sebagai obat yang banyak digunakan untuk pengobatan tradisional. Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai pengobatan adalah tanaman bandotan. Bandotan merupakan rumput-rumputan yang sangat banyak tumbuh diperkebunan atau tanah lapang dan bisa menjadi gulma. Bandotan memiliki rasa pahit, sedikit pedas (Utami, 2012). Bandotan tumbuh pada tanah kering atau lembab didaerah terbuka atau. Daerah penyebarannya meliputi 0-2100 m diatas permukaan laut dan berbunga sepanjang tahun (Moenandir, 2011). Bandotan tergolong kedalam tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak atau bagian bawahnya berbaring, tingginya sekitar 30-90 cm dan bercabang. Batang bulat berambut panjang, daun bertangkai, ujung runcing, tepi bergerigi, panjang 1-10 cm, lebar 0,5-6 cm, warnanya hijau. Bunga majemuk tipe cawan 6-8 mm, dengan tangkai yang berambut (Dalimartha, 2007). Tanaman bandotan banyak juga digunakan untuk mengobati penyakit kulit seperti bisul, bengkak, dan borok. Penyakit kulit dapat disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, dan Streptococcus sp (Utami, 2012). Menurut data depkes RI prevalensi penyakit kulit diseluruh Indonesia ditahun 2012 adalah 8,46 % kemudian meningkat ditahun 2013 sebesar 9 % (Dep.kes 2013). Pengobatan penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dengan menggunakan antibiotik secara topikal atau oral. Selain menggunakan obat antibiotik, masyarakat biasanya lebih sering menggunakan tanaman berkhasiat sebagai obat, contoh tanaman yang digunakan sebagai obat penyakit kulit adalah bandotan. Bandotan memiliki bahan kandungan di antaranya meliputi glikosida, tanin, alkaloid, resin, saponin, flavonoid, terpen, polifenol, 3 dan minyak atsiri. Sedangkan, bagian akarnya mengandung fenolik dan terpenoid (Utami, 2012). Beberapa kandungan kimia yang terdapat pada tanaman bandotan memiliki manfaat seperti antibakteri. B. Batasan Masalah Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah pada penelitian tentang uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun bandotan (Aregatum conyzoides) terhadap bakteri Staphylococcus aureus menggunakan metode difusi padat dengan cakram kertas. C. Rumusan Masalah Berapakah daya hambat ekstrak daun bandotan (Ageratum conyzoides) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan menggunakan metode difusi padat cakram kertas. D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui uji aktivitas antibakteri dari ekstrak bandotan (Ageratum conyzoides) dengan metode difusi padat menggunakan cakram kertas. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat secara khusus Dapat mengetahui kadar hambat minimum ekstrak daun bandotan sebagai antibakeri khususnya bakteri Staphylococcus aureus. 2. Manfaat secara umum Dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan dunia kefarmasian mengenai manfaat tanaman bandotan terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Serta untuk bahan informasi untuk peneliti selanjutnya. 4 F. Keaslian Penelitian Judul Nama Tempat Tahun Perbedaan Uji aktifitas Pitya STIKes a.Sama-sama a.Terhadap bakteri ekstrak etanol Suciningtyas Muhammadiyah aktifitas yang digunakan Ciamis antibakteri dan b.Pada media agar terhadap bakteri sama-sama yang digunakan staphylococcus menggunakan c.Pada seri aureus. sampel daun konsentrasi yang bandotan didapat daun bandotan 2016 Persamaan b.Sama sama melakukan Penelitian KHm c.Sama-sama menggunakan metode difusi padat Uji aktifitas Umi R STIkes antibakteri a.Sama-sama a.Terhadap bakteri Adawyah Muhammadiyah aktifitas yang digunakan Ciamis antibakteri dan b.Pada media agar daun bandotan sama-sama yang digunakan terhadap bakteri menggunakan c.Pada seri Escherichia Colli sampel daun konsentrasi yang bandotan didapat ekstrak etanol 2015 b.Sama sama melakukan Penelitian KHm c.Sama-sama menggunakan metode difusi padat 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Tanaman Bandotan Babandotan merupakan rumput-rumputan yang sangat banyak tumbuh di perkebunan atau tanah lapang dan bisa menjadi gulma. Penduduk di Afrika Tengah telah menggunakan tanaman ini untuk pengobatan pneumonia dan luka bakar. Sedangkan, beberapa suku di India menggunakan bandotan sebagai antibakteri dan anti-diare. Bahkan penduduk di Brazil menggunakan ekstrak untuk mengobati demam, rematik, sakit kepala, dan sebagai tonik. Sedangkan penduduk malaysia menggunakan tanaman ini untuk obat sakit gigi, dan asma, sedangkan akarnya untuk mengobati batuk (Utami, 2012) Kandungan bahan kimia yang terkandung dalam dari daun dan bunga babandotan, di antaranya meliputi glikosida, tanin, alkaloid, resin, saponin, flavonoid, terpen, polifenol, dan minyak atsiri. Sedangkan, bagian akarnya mengandung fenolik dan terpenoid (Utami, 2012) Gambar 2.1 Babandotan (Aregatum conyzoides) (Arief, 2013). 6 a. Klasifikasi tanaman Nama Umum : Babandotan Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Bangsa : Eupatorieae Genus : Ageratum Spesies :Ageratum conyzoides (Tjitrosoepomo Gembong, 2005) 1) Nama Latin Ageratum conyzoides L. 2) Bagian yang digunakan Bagian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah daunnya. 3) Nama daerah Bandotan (melayu), babandotan leutik (sunda), bandotan (jawa), dus-bedusan (madura). 4) Nama asing Celestin, eupatoire blue, bastard agrimon, atau billy goat weed (inggris), sheng hong ji (cina) (Arief, 2013). b. Kandungan Kimia Tanaman Kandungan bahan kimia yang terkandung dalam dari daun dan bunga babandotan, di antaranya meliputi glikosida, tanin, alkaloid, resin, saponin, flavonoid, terpen, polifenol, dan minyak atsiri. Sedangkan, bagian akarnya mengandung fenolik dan terpenoid (Utami, 2012). 2. Ekstrasi Ekstrasi adalah suatu proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut, biasanya berupa air dan pelarut organik (Anonim, 2015). Tujuan 7 ekstrasi adalah untuk menarik bahan atau zat-zat yang dapat larut dalam bahan yang tidak larut dengan menggunakan pelarut cair (Tobo, 2001). Cara-cara ekstrasi meliputi: a. Metode Maserasi Maserasi merupakan cara eksrtraksi yang sederhana, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya (Adrian, 2000). Maserasi umumnya dilakukan dengan cara memasukan simplisia yang sudah diserbukan dengan derajat halus sebanyak 10 bagian kedalam bejena kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari ditutup dan dibiarkan selama 3 hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya sambil sesekali diaduk. Setelah 3 hari disaring, endapan yang terbentuk dan filtratnya dipekatkan (Adrian, 2000). Maserasi dapat dilakukan dengan cara: 1) Digesti Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada suhu 40 – 50o C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan. Keuntungannya antara lain: a) Kekentalan pelarut berkurang, yang dapat mengakibatkan berkurangnya lapisan-lapisan batas. b) Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan tersebut mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan. c) Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolute dan berbanding terbalik dengan kekentalan, sehingga kenaikan suhu akan berpengaruh pada kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan (Anonim, 2013). 8 2) Maserasi dengan mesin pengaduk Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus-menerus, waktu proses maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam (Adrian, 2000). 3) Remaserasi Serbuk simplisia di maserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah diendap tuangkan dan diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari yang kedua (Adrian, 2000). Kelebihan dari metode ini adalah: 1. Unit alat yang dipakai sederhana, hanya dituhkan bejana perendam, 2. Biayanya lebih rendah, 3. Prosesnya relatif hemat penyari dan tanpa pemansan. Kekurangan dari metode ini adalah: 1. Proses penyarinya tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu terekstrasi sebesar 50% saja, 2. Prosesnya lama, butuh waktu beberapa hal. 3. Bakteri Staphylococcus aureus Gambar 2.2 Staphylococcus Aureus (Gould, 2003). 9 a. Sistematika Bakteri Domain : Bakteri Kerajaan : eubacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Cacillales Famili : Staphylococcaceae Genus : Staphyloccus Spesies : S. Aureus (Jawetz, 2005). b. Karakteristik Umum Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk menggerombol yang tidak teratur seperti anggur. Staphylococcus aureus meningkat dengan cepat pada beberapa tipe media dengan aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacammacam pigmen dari warna putih hingga kuning gelap pada temperatur 20 - 35ºC (Jawetz, et al., 2001). Staphylococcus aureus memiliki dinding sel yang terdiri atas peptidoglikan, asam teikoat, fibronectin binding protein, clumping factors, dan collagen binding protein. Komponen utama penyusun dinding sel bakteri ini adalah peptidoglikan yang menyusun hampir 50% dari berat dinding sel. Peptidoglikan tersusun dari polimer ( asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramik ), polipeptida (L-Ala, D-Glu, L-Lys, D-Ala) dan sebuah jembatan pentaglisin ( Boyd, 2015). Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada media cair dan media padat seperti NA (Nutrien Agar) dan BAP (Blood Agar Plate). Pembentukan pigmen akan sangat baik jika koloni Staphylococcus aureus ditumbuhkan dalam media Nutrient Agar miring ( Dowshen, 2002). Ukuran bakteri Staphylococcus aureus dapat berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada media agar, Staphylococcus aureus akan memiliki ukuran diameter antara 0,5-1,0 mm ( Boyd, 2015). 10 c. Mikrobiologi Staphylococcus aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam) yang luas, dan dapat hidup pada konsentrasi NaCl. Habitat alami Staphylococcus aureus pada manusia adalah di daerah kulit, hidung, mulut, dan usus besar, di mana pada keadaan sistem imun normal, Staphylococcus aureus tidak bersifat patogen (mikroflora normal manusia) (Irianto, 2013). Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah karenanya adanya perubahan hormon, adanya luka, penyakit, atau perlakuan menggunakan steroid atau obat lain yang mempengaruhi imunitas sehingga terjadi pelemahan inang dan diikuti dengan abses bernanah. Infeksi Staphylococcus aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, diantaranya bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan infeksi luka. Staphylococcus aureus juga dapat disebabkan oleh keracunan makanan. Hal ini disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi dengan racun yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Gejala biasanya berkembang dalam waktu satu sampai enam jam setelam makan makanan yang terkontaminasi ( Ryan, 2015 ). Infeksi oleh Staphylococcus aureus ini dapat menular selama ada nanah yang keluar dari lesi atau hidung. Selain itu jari jemari juga dapat membawa infeksi Staphylococcus aureus dari satu bagian tubuh yang luka atau robek ( Dowshen, 2015). 4. Media Pertumbuhan Media pertumbuhan adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran zat-zat makanan (nutrisi) membiakkan bakteri (Sutedjo, 2012). yang dugunakan untuk 11 Macam-macam media pertumbuhan antara lain : a. Media padat, yaitu media yang mengandung agar 15% sehingga setelah dingin media menjadi padat. b. Media setengah padat, yaitu media yang mengandung 0,30,4% sehingga menjadi tidak kenyal, tidak padat, tidak begitu cair. c. Media cair, yaitu media yang tidak mengandung agar, contohnya Nutrient Broth, dan Lactose Broth ( Hadioetomo, 2012 ). a. Nutrient Agar (NA) Nutrient agar adalah media umum untuk uji air dan produk dairy. Nutrient agar juga digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme yang tidak selektif. Media ini merupakan media yang dibuat dari ekstrak beef, pepton, dan agar. Pada pembuatan media Nutrient agar ini ditambahkan pepton agar mikroba agar cepat tumbuh, karena banyak mengandung N2 ( Dwidjoseputro, 2005 ). Agar dilarutkan dengan komposisi lain dan sterilisasi dengan autoclaf pada suhu 1210 C selama 15 menit ( Schlegel, 2012 ). b. Blood Agar ( Agar Darah ) Agar darah merupakan media yang digunakan untuk penanaman bakteri yang sukar tumbuh. Darah digunakan pada media ini adalah agar darah domba. Agar darah terdiri dari sumber protein ( pepton ), protein kedelai olahan ( mengandung KH ), NaCl, agar dan darah domba 5%. Bakteri penghasil enzim ekstraseluler yang dapat melisiskan sel darah merah domba pada agar. Aktifitas ini ditandai dengan adanya zona jernih disekeliling koloni, kehijauan, dan untuk bakteri yang tidak menghemolisa darah tidak terjadi perubahan pada sekeliling koloni bakteri. 12 Klasifikasi agar darah: 1) Warna : Transparan 2) Media : Padat Plate 3) Indikator : 7,5 pH 4) Kegunaan : Untuk isolasi bakteri bergranula volutin yang selanjutnya ditanam pada gula-gula untuk difteri, 5) Komposisi : Meat exstract, pepton, darah domba 5%, dan agar. 5. Kloramfenikol Antibiotik merupakan segolongan senyawa alami atau sintesis yang memiliki kemampuan untuk menekan atau menghentikan proses biokimia didalam suatu organisme, khususnya proses infeksi bakteri. Antibiotik berasal dari kata “anti dan bios” yang berarti hidup atau kehidupan. Antibiotik merupakan suatu zat yang dapat membunuh atau melemahkan suatu mikroorganisme, seperti bakteri, parasit atau jamur (Utami, 2012). Berdasarkan sifatnya antibiotik dibedakan menjadi dua bagian yaitu: a. Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif terhadap bakteri. b. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat pertumbuhan bakteri (Mahar, 2011). Antibiotik yang menghambat sintesis protein adalah kloramfenikol, aminoglikosida, kanamycin, dan oxytetracycline (Mahar, 2011). Kloramfenikol adalah antibiotik spektrum luas yang berasal dari beberapa jenis Streptomyces misalnya, venezuelae, phaeochromogenes, dan amiyamensis (Wattimena, 2001). Setelah para ahli berhasil mengelusidasi strukturnya, maka sejak tahun 1950 kloramfenikol sudah dapat disintesis secara total (Wattimena, 2001). 13 Gambar 2.3 Struktur kloramfenikol (Wattimena, 2001). a. Persyaratan : Kloramfenikol mengandung tidak kurang dari 97,0% dan tidak lebih dari 103,0% C11H12Cl2N2O5, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. b. Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih sampai putih kelabu atau putih kekuningan; tidak berbau; rasa sangat pahit. c. Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 7 bagian propilenglikol P; sukar larut dalam kloroform P dan dalam eter P . d. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya. e. Penandaan : Pada etiket harus juga tertera daluarsa. f. Khasiat dan penggunaan : Antibiotikum (Anonim, 1995) g. Mekanisme Kerja Kloramfenikol 1) Bekerja menghambat sintesis protein bakteri. 2) Obat dengan mudah masuk ke dalam sel melalui proses difusi terfasilitasi. 3) Obat mengikat secara reversible unit ribosom 50S, sehingga mencegah ikatan asam amino yang mengandung ujung aminoasil RNA dengan salah satu tempat berikatannya di ribosom. 14 4) Kloramfenikol juga dapat menghambat sistesis protein mitokondria sel mamalia karena ribosom mitokondria mirip dengan ribosom bakteri (Irianto, 2013). 6. Sterilisasi Strerilisasi dalam mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua jenis (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat dalam suatu benda. Proses ini melibatkan aplikasi biocidal agent atau proses fisik bertujuan untuk membunuh atau menghilangkan mikroorganisme. Metode sterilisasi dibagi menjadi dua, yaitu metode fisik dan metode kimia. Metode secara kimia dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Sedangkan metode secara fisik dilkakukan dengan cara panas baik panas kering maupun panas basah, radiasi, dan filtrasi (Pratiwi, 2008). a. Metode Sterilisasi Fisik Metode ini merupakan metode yang sering banyak digunakan. Metode ini digunakan untuk bahan yang tahan panas. Metode sterilisasi dengan penggunaan uap air disebut metode sterilisasi panas lembab atau sterilisasi basah. Sedangkan metode sterilisasi panas tanpa kelembapan disebut sterilisasi panas kering atau sterilisasi kering. Untuk bahan yang sensitif terhadap kelembapan digunakan metode sterilisasi panas kering pada temperatur 160-1800C, sedangkan untuk bahan yang resisten kelembapan digunakan metode sterilisasi panas basah dengan temperatur 115-1340C (Pratiwi, 2008). Sterilisasi panas kering berfungsi untuk mematikan mikroorganisme dengan cara mengoksidasi komponen sel atau mendenaturasi enzim. Metode ini tidak dapat digunakan untuk bahan yang terbuat dari karet atau plastik, waktu lamanya sekitar 2-3 jam. Metode sterilisasi ini tidak perlu memerlukan air sehingga tidak ada uap air yang membasahi alat atau bahan yang disterilkan. Ada dua cara dalam metode ini yaitu dengan pembakaran dengan 15 menggunakan api atau bunsen dengan temperatur sekitar 3500C, dan dengan udara panas oven yang lebih sederhana dan murah dengan temperatur 160-1700C (Pratiwi, 2008). Sterilisasi panas basah dengan perebusan menggunakan air mendidih 1000C selama 10 menit efektif untuk sel-sel vegetatif dan spora eukariot, namun tidak efektik untuk endospora bakteri. Tingkat sterilisasi panas basah pada temperatur kurang dari 1000C tergantung pada temperatur atau waktu sterilisasi. Sterilisasi digunakan untuk bahan yang sensitif panas, peralatan dan cairan disterilisasikan dengan pemanasan pada temperatur 100oC selama 5-10 menit. Sterilisasi panas basah dilakukan dengan uap yaitu menggunakan autoklaf. Prinsip kerja autoklaf adalah terjadinya koagulasi yang lebih cepat dalam keadaan basah dibandingkan keadaan kering. Proses sterilisasi autoklaf ini dapat membunuh mikroorganisme dengan cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran sel mikroorganisme. Proses ini juga membunuh endospora bakteri (Pratiwi, 2008). Metode sterilisasi dengan penyaringan digunakan untuk bahan yang sensitif terhadap panas, misalnya enzim. Pada proses ini digunakan membran filter yang tebuat dari selulosa asetat. Metode sterilisai dengan menggunakan radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar UV ataupun dengan metode ionisasi. Sinar UV dengan panjang gelombang 260 nm memiliki daya penetrasi yang rendah sehingga tidak dapat mematikan mikroorganisme namun dapat menetrasikan gelas, air, dan substansi lainnya (Pratiwi, 2008). Sterilisasi basah biasanya dilakukan dengan menggunakan autoclaf uap dengan menggunakan air jernih pada suhu 1210 C selama 15 menit. Autoclaf merupakan alat yang essensial dalam setiap laboratorium mikrobiologi. Pada umumnya autoclaf dijalankan pada tekanan kira-kira 15-16 per ( 5kg/cm2) pada suhu 1210 C. Waktu yang diperlukan untuk sterilisasi bergantung pada sifat bahan yang 16 disterilkan, tipe wadah dan volume bahan. misalnya 1000 buah tabung reaksi yang masing-masing berisi 10 ml dapat disterilkan dalam waktu 15 menit pada suhu 1210 C, sedangkan wadah yang berukuran 1 liter dengan jumlah wadah 10 akan membutuhkan waktu selama 20-30 menit pada suhu yang sama yaitu pada suhu 121 0 C ( Pelczar dan Schan, 2015 ). b. Metode Sterilisasi Kimia Metode sterilisasi kima dilakukan untuk bahan-bahan yang rusak bila disterilkan pada suhu tinggi (misalnya bahan-bahan dari plastik). Metode sterilisasi kimia dapat dilakukan dengan menggunakan gas (dengan cara pengasapan) atau radiasi. Beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk sterilisasi gas adalah etilen oksida, gas formaldehid, asam parasetat, dan glutaraldehid alkalin. Sterilisasi kimia juga dapat menggunakan cairan disinfektan berupa senyawa aldehid, hipoklorit, fenolik, alkohol. Disinfektan cair memiliki daya antimikroba yang lebih rendah dibandingkan metode sterilisasi yang lain (Pratiwi, 2008). 7. Metode Uji Aktifitas Antibakteri a. Difusi Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi. Metoda difusi agar adalah suatu prosedur yang bergantung pada difusi senyawa antimikrobial ke dalam agar. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengetahui obat-obat yang paling cocok untuk kuman penyebab penyakit terutama pada kasus-kasus yang kronis dan untuk mengetahui adanya resistensi terhadap berbagai macam antibiotik ( Dwidjoseputro, 2012 ). Prinsip pada metode ini adalah penghambatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme, yaitu zona hambatan didaerah jernih disekitar cakram kertas yang mengandung zat antibakteri ( Gaman, 2012 ). Zona hambatan pertumbuhan inilah yang menunjukan 17 sensitivitas bakteri terhadap bahan antibakteri. Metode difusi atas beberapa cara yaitu : 1). Metode silinder plat Metode silinder plat adalah difusi antibiotik dari silinder yang tegak lurus pada lapisan agar padat dalam cawan petri atau lempeng yang berisi biakan mikroba uji pada jumlah tertentu sehingga mikroba dapat dihambat pertumbuhannya ( Djide, 2003). Metode ini memakai alat pecadang berupa silinder kawat. Pada permukaan media pembenihan dibiakkan mikroba secara merata lalu diletakkan pencadang silinder harus benar-benar melekat pada media, kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Setelah inkubasi, pencadang silinder diangkat dan diukur daerah hambat pertumbuhan mikroba (Pratiwi, 2008). 2). Cara cakram Senyawa antimikrobial tersebut diserapkan pada kertas cakram yang berdiameter 6 mm. Kertas cakram ditempatkan pada permukaan media yang telah diinokulasikan dengan bakteri patogen atau jamur yang akan diuji. Setelah diinkubasi selama 24 jam pada temperatur 37oC, diamati diameter daerah hambatan di sekitar kertas cakram. Daerah hambatan yang terbentuk sebagai daerah bening disekitar kertas cakram menunjukkan mikroorganisme yang diuji telah dihambat oleh senyawa yang berdifusi ke dalam kertas cakram. Metode difusi cakram prinsip kerjanya adalah bahan uji dijenuhkan ke dalam kertas cakram (Pratiwi, 2008). 3). Cara cup plat Cara ini juga sama dengan cara cakram, dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi antibiotik yang akan di uji (Pratiwi, 2008). b. Konsentrasi Hambat minimum Cara kerja aktifitas antibakteri ditentukan oleh konsentrasi hambat minimum (KHM). Konsentrasi hambat minimum adalah 18 konsentrasi antibiotika yang terendah yang dapat menghambat mikorganisme menentukan tertentu. konsentrasi Prosedur ini antibiotika dapat yang digunakan masih efektif untuk untuk mencegah pertumbuhan patogen dan mengidentifikasi dosis antibiotik yang efektif dalam mengontrol infeksi. Semakin rendah nilai KHM dari sebuah antibiotik, sensitivitas dari bakteri semakin besar.( Musdja, 2006). Penetapan konsentrasi hambat minimum dilakukan dengan dua cara yaitu: 1). Cara cair Pada cara ini menggunakan media cair yang telah ditambahkan zat yang menghambat pertumbuhan bakteri atau jamur dengan pengenceran tertentu kemudian diinokulasikan biakan bakteri atau jamur dalam jumlah yang sama. Respon zat uji ditandai dengan kejernihan atau keruhan pada tabung setelah diinkubasi. 2). Cara padat Pada cara ini digunakan media padat yang telah dicampuri dengan larutan zat uji dengan berbagai konsentrasi. Dengan cara ini satu cawan petri digores lebih dari satu jenis mikroba untuk memperoleh nilai KHM ( Musdja, 2006). Tabel 2.1 Standart hambatan pertumbuhan bakteri ( Poeloengan, 2010) Diameter zona hambat Respon hambatan pertumbuhan >18 mm Kuat 13-17 mm Sedang <12 mm Lemah 19 B. Hasil yang relevan Umi R Adawyah tahun 2015, melakukan uji aktifitas antibakteri ekstrak etanol daun bandotan (Ageratum conyzoides) terhadap bakteri E. Coli. Hasil akhir menentukan diameter zona hambat memakai konsentrasi 10%, 40%, 70%, dan 100%. Terdapat perbedaan bermakna antara konsentrasi dengan kontrol positif, dan kontrol negatif. Dari hasil penelitian diatas, peneliti ingin meneliti uji aktifitas antibakteri ekstrak etanol daun bandotan (ageratum conyzoides) dengan bakteri yang berbeda, media agar yang digunakan, serta pada konsentrasi yang dipakai berbeda sebagai dasar penelitian yang akan dilakukan. C. Kerangka berfikir Ekstrak daun bandotan Bakteri Staphylococcus aureus Uji aktivitas (metode difusi padat) Konsentrasi (20%, 40%, 60%, 80%) Kontrol (+) Kloramfenikol Diameter zona hambat (mm) Kontrol (-) Aquadest 20 D. Hipotesis Terdapat uji aktivitas antibakteri Staphylococuus aureus dalam daun bandotan. DAFTAR PUSTAKA Adrian, Peyne. 2000. “Analisa Ekstraktif Tumbuhan Sebagai Sumber Obat”. Pusat Penelitian : Universitas Negeri Andalas. Bahan Anonim. 1995. “Farmakope Indonesia edisi IV”. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta. Anonim. 2013. “Penuntun dan Buku Kerja Praktikum Fitokimia I”. Laboratorium Bahan Alam Falkutas Farmasi : Makasar. Anonim. 2015. “Cara Pembuatan Republik Indonesia : Jakarta. Simplisia”. Departemen Kesehatan Arief, Hariana. 2013. “Tumbuhan Obat dan Khasiatnya”. Swadaya Grup. Boyd, R.F. 2015. “Medical Mikrobiologi”. Brown and Company Inc. Dalimartha, Setiawan. 2007. “Atlas Tumbuhan Indonesia Jilid 2”. Trubus Agriwidjaya : Jakarta. Djide, M.N. 2003. “Mikrobiologi Farmasi”. Jurusan Farmasi Unhas : Makasar. Dowshen, et al. 2002. “ Staphylococcus aureus”. Dwidjoseputro, D. 2012. “Dasar-Dasar Mikrobiologi”. Djambatan : Jakarta. Gould, D. 2003. “Mikrobiologi Terapan untuk Perawat I”. EGC : Jakarta. Hadioetomo, R.S. 2012. “Mikrobiologi Dasar dalam Praktek”. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Irianto, Koes. 2013. “Mikrobiologi Medis”. Alfabeta : Bandung. Jawetz, et al. 2001. “Mikrobiologi Kedokteran“. Salemba Medika : Jakarta. Kusnadi, Peristiwati. 2003. “Mikrobiologi”. Universitas Pendidikan Indonesia : Bandunng. Mahar, Mardjono. 2011. “Farmakologi dan Terapi”. Gaya Baru : Jakarta. Moenandir, J. 2011. “Ilmu Persada : Jakarta. gulma dalam sistem pertanian”. Grafindo Musdja MY, 2006, “Pengaruh Ukuran Daerah Hambatan”. Jakarta. Pelczar, dan Schan. 2015. “Dasar-Dasar Mikrobiologi”. Universitas Indonesia : Jakarta. Poelongan, M dan Pratiwi. 2010. “Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana Linn). Artikel Litbang Kesehatan. Pratiwi, T Sylvia. 2008. “Mikrobiologi Farmasi”. Gelora Aksara Pratama : Jakarta. Ryan, K.J. 2015. “Medical Microbiology An Introduction to Infectious Diseases”. Connecticut Appleton&Lange. Schlegel, H.G. 2012. “General Microbiology”. Universitas Press : Australia. Sutedjo. 2012. “Mikrobiologi Tanah”. Rineka Cipta : Jakarta. Tjitrosiepomo, Gembong. 2005. “Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan”. Mada University Pres : Yogyakarta. Gadjah Tjitrosiepomo, Gembong. 2002. “Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta”. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Tobo, Fachruddin. 2001. “Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia Laboratorium Fitokimia Jurusan Farmasi Unhas : Makasar. I”. Utami, Prapti. 2012. “Antibiotik alami untuk mengatasi aneka penyakit”. media : Jakarta Selatan. Argo Wattimena, J. 2001. “Farmakodinamika dan Terapi Antibiotik”. Gajah University Press : Yogyakarta. Mada