Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, www.bmkg.go.id - 6 Januari 2011 Waspadai Ancaman Banjir Lahar Merapi di Puncak Musim Hujan Oleh: Daryono, S.Si.,M.Si. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Email: [email protected] BANJIR lahar yang terjadi di sejumlah sungai yang berhulu di puncak Merapi pada hari Senin (3/1) merupakan yang terbesar pascaerupsi Merapi 2010. Namun demikian, menurut laporan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, hingga saat ini diperkirakan baru 10 persen dari sekitar 130 juta meter kubik material vulkanik Merapi yang terangkut oleh banjir lahar. Untuk itu, kepada seluruh warga yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai yang berhulu di Merapi dihimbau untuk selalu waspada, karena peluang terjadinya banjir lahar yang lebih besar dapat terjadi mengingat tingginya intensitas curah hujan selama puncak musim hujan pada bulan JanuariPebruari 2011. Puncak Musim Hujan Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya intensitas curah hujan selama puncak musim hujan pada bulan Januari dan Pebruari 2011. Secara global, prediksi anomali suhu muka laut di Pasifik tengah bulan Januari 2011 menunjukkan kondisi cukup dingin. Sementara, anomali suhu muka laut di sekitar Indonesia diprediksi cukup hangat hingga Pebruari 2011 dan mulai mendingin pada Maret 2011. Kondisi ini memberi indikasi bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan lebih banyak turun hujan pada puncak musim hujan saat ini, karena adanya dorongan massa uap air dari Samudera Pasifik menuju Indonesia hingga menyebabkan penambahan curah hujan di wilayah Indonesia. Secara regional saat ini di Pulau Jawa sedang berlangsung monsun baratan sehingga cukup besar peluang terbentuknya daerah konvergensi berupa sabuk awan hujan. Data citra satelit cuaca menunjukkan bahwa pada saat ini wilayah Indonesia di selatan khatulistiwa sedang berlangsung pembentukan zona konvergensi berupa penumpukan awan hujan. Liputan awan superklaster ini memanjang dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali dan Nusatenggara, kondisi ini akan memicu terjadinya hujan deras dalam wilayah yang luas. Bersamaan dengan terbentuknya daerah konvergensi, gangguan tropis juga muncul berupa pola-pola tekanan rendah di sebelah barat Australia dan di Samudra Hindia sebelah selatan Jawa. Kondisi cuaca ini sudah cukup mempengaruhi wilayah Indonesia dengan timbulnya angin kencang disertai hujan yang lebih lebat diiringi petir serta gelombang laut yang tinggi. Memperhatikan dinamika atmosfir dan suhu muka laut di atas, tampak ada kecenderungan akan terjadi peningkatan intensitas curah hujan pada periode puncak musim hujan saat ini. Berdasarkan data curah hujan selama lebih satu dekade terakhir diketahui kawasan Kaliurang terjadi rata-rata curah hujan bulanan mencapai 508 milimeter pada bulan Januari dan 514 milimeter pada bulan Pebruari. Tingginya curah hujan pada bulan-bulan tersebut menunjukkan bahwa puncak musim hujan di puncak Merapi terjadi bulan Januari dan Pebruari pada setiap tahunnya. Gambar 1. Prediksi La nina oleh institusi meteorologi dunia menyimpulkan adanya dorongan massa uap air dari Samudera Pasifik menuju Indonesia hingga menyebabkan penambahan curah hujan di wilayah Indonesia. Sebagai antisipasi meningkatnya intensitas curah hujan di puncak musim hujan, dihimbai kepada seluruh warga yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai yang berhulu di puncak Merapi perlu lebih waspada terhadap banjir lahar yang dipicu oleh tingginya intensitas curah hujan di puncak Merapi. Ancaman banjir lahar hendaknya tidak dianggap remeh, mengingat material vulkanik selama erupsi saat ini telah memenuhi alur sungai yang berhulu di Merapi. Banjir Lahar Erupsi gunungapi selalu menghasilkan deposisi material vulkanik berupa abu dan debris gunungapi yang menimbun di lereng badan gunung. Selanjutnya lahar terbentuk jika turun curah hujan dengan intensitas tinggi bercampur dengan material lepas gunungapi hingga membentuk aliran. Meskipun material lahar tersusun atas abu gunungapi dan fragmen batuan, tetapi banjir lahar mampu mengalir lebih deras dan lebih cepat jika dibandingkan dengan aliran air biasa. Material lumpur dan pasir dengan cepat mengalir menuruni lereng-lereng gunung dengan kecepatan mencapai 65 kilometer per jam dan dapat mengalir deras hingga jarak lebih dari 80 kilometer. Aliran debris dengan masajenis besar ini meluncur dengan percepatan makin besar, karena laju alirannya ditopang gaya gravitasi. Semakin cepat laju banjir lahar maka semakin besar potensi kerusakan yang ditimbulkan. Ancaman bahaya banjir lahar tidak saja di sepanjang jalur sungai di lereng gunung, tetapi di kawasan dataran kaki justru lebih berbahaya karena menjadi zona luncur bebas seperti halnya luapan Kali Putih yang memutuskan jalur transportasi Magelang-Yogyakarta. Salah satu contoh bencana banjir lahar paling merusak di dunia adalah banjir lahar pasca erupsi Gunungapi Nevado del Ruiz di Columbia tahun 1985. Dalam waktu empat jam setelah letusan yang disusul hujan deras, lahar meluncur deras sejauh 100 km hingga hanya menyisakan kehancuran kota: lebih dari 23.000 orang tewas, sekitar 5.000 orang terluka, dan lebih dari 5.000 rumah hancur di sepanjang Chinchiná, Gualí, dan sungai Lagunillas. Kerusakan paling parah menimpa kota Armero yang berlokasi di mulut ngarai Lagunillas Río, terletaknya di tengah foto (Gambar 2). Tiga perempat dari 28.700 penduduk kota tewas dengan tragis akibat banjir lahar pada 13 November 1985. Peristiwa mengerikan ini selanjutnya dikenang sebagai tregedi Armero-Chinchina, sebagai satu-satunya bencana banjir lahar paling mematikan yang tercatat dalam sejarah. Ini adalah fakta bahwa dampak banjir lahar justru bisa lebih berbahaya daripada erupsi gunungapi itu sendiri. Contoh lain Gunungapi Pinatubo di Filipina, sejak meletus tahun 1991, banjir lahar telah menghancurkan rumah lebih dari 100.000 orang di lereng dan dataran kaki gunung tersebut. Terkait dengan besarnya deposit lahar Merapi, maka untuk menghabiskan material vulkanik hasil erupsi tampaknya butuh waktu tiga hingga empat periode musim hujan. Diperkirakan ancaman banjir lahar bisa berlangsung hingga beberapa tahun kedepan. Rusaknya jembatan Kali Krasak tahun 1974, justru diterjang oleh banjir lahar hasil erupsi Merapi tahun 1969. Gambar 2. Lebih dari 23.000 orang tewas akibat banjir lahar di Kota Armero, Columbia Sebagai upaya mitigasi bencana banjir lahar Merapi tampaknya perlu dikembangkan sebuah sistem peringatan dini banjir lahar, berupa sistem monitor dan warning banjir lahar. Peralatan yang dinilai penting, selain sinyal transmisi dan kamera CCTV yang sudah terpasang di beberapa titik di Merapi adalah beroperasinya sistem pemantau curah hujan otomatis yang dipasang di puncak Merapi. Alat ini mampu memantau tingginya intensitas curah hujan secara telematri, realtime dan terintegrasi di pusat pemantauan. Instrumen peringatan dini lain yang perlu dipertimbangkan adalah sistem monitor aliran lahar yang dapat mendeteksi vibrasi tanah saat terjadi rayapan banjir lahar. Seluruh sistem ini memungkinkan memberi peringatan dini untuk menekan sekecil mungkin kerugian baik harta maupun jiwa penduduk di sekitar jalur sungai yang berhulu di puncak Merapi.***