hukum dan kebudayaan

advertisement
Block Book HUKUM DAN KEBUDAYAAN Kode Mata Kuliah: MF. 17/2 SKS Planing Group Wayan P. Windia Nyoman Sukeni. Anak Agung Oka Parwatha. I Wayan Koti Cantika Nyoman Wita Anak Agung Istri Atu Dewi FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2009/2010
1. Identitas Mata Kuliah. Nama Mata Kuliah : Hukum dan Kebudayaan. Team Pengajar : Wayan P. Windia. Nyoman Sukeni. I Wayan Koti Cantika Anak Agung Oka Parwatha. I Nyoman Wita. Anak Agung Istri Atu Dewi. Status Mata Kuliah : Mata Kuliah Wajib Fakultas SKS : 2 2. Deskripsi Mata Kuliah. Mata kuliah Hukum dan Kebudayaan mengkaji aspek teoritis dan aspek praktis Hukum dan Kebudayaan. Aspek teoritis meliputi beberapa pokok bahasan seperti: manusia dan masyarakat, masyarakat dan hukum serta manusia dan kebudayaan. Aspek praktis meliputi hubungan hukum dan kebudayaan dan analisis aturan perundang­undang jaman dulu (atita), kini (wartamana) dan akan datang (nagata), dari perspektif nilai budaya lokal dan nasional. Selain itu, analisis atas nilai budaya lokal akan dilakukan dari perspektif HAM, pluralisme hukum dan nilai universal. Hal ini dilakukan mengingat masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis dengan kebudayaannya masing­masing, tidak hidup sendiri melainkan hidup ditengah­tengah ”kampung dunia” atau komunitas global. Untuk menambah pemahaman tentang materi yang disajikan, kepada mahasiswa juga diwajibkan membuat tugas menganalisis aturan perundang­undangan yang kurang memberi ruang pada pluralisme hukum. 3. Tujuan Mata Kuliah. Setelah menyelesaikan mata kuliah Hukum dan Kebudayaan, mahasiswa diharapkan dapat memahami hakikat hukum dan hakikat kebudayaan serta makna
hubungan hukum dan kebudayaan, peranan kebudayaan terhadap hukum, dan memahami eratnya hubungan hukum dan kebudayaan. 4. Metode dan Strategi Proses Pembelajaran. Metode Perkuliahan. Perkuliah dilaksanakan dengan metode Problem Based Learning (PBL), yang berarti bahwa pusat pembelajaran ada pada mahasiswa. Metode yang diterapkan adalah “belajar” (learning) dan bukan “mengajar” (teaching). Strategi Pembelajaran. Kombinasi perkuliahan 50% (6 kali pertemuan perkuliahan) dan tutorial 50% (6 kali pertemuan tutorial). Satu pertemuan untuk Tes Tengah Semester, dan satu kali pertemuan untuk Tes Akhir Semester (TAS). Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial. Perkuliahan Hukum Hukum dan Kebudayaan dilaksanakan sebanyak 12 kali tatap muka, dengan rincian sebagai berikut. Perkuliahan berlangsung selama 6 kali yaitu pertemuan ke 1,3,5,7,9, dan ke 11. Tutorial 6 kali pertemuan yaitu: pertemuan ke 2, 4,6,8, 10 dan ke 12. Strategi Perkuliahan. Perkuliahan berkaitan dengan pokok bahasan akan dipaparkan dengan alat bantu media berupa papan tulis, power point slide, serta penyiapan bahan bacaan tertentu yang dapat diakses oleh mahasiswa. Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa sudah mempersiapkan diri (self study) mencari bahan materi, membaca dan memahami pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Block Book. Tekhnik perkuliahan: pemaparan materi, tanya jawab dan diskusi (proses pembelajaran dua arah). Strategi Tutorial. Mahasiswa mengerjakan tugas­tugas: (discuccion task, study task dan problem task) sebagai bagian dari self study, kemudian berdiskusi di kelas tutorial dan presentasi power point. Dalam 6 kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan: o Menyetor karya tulis sesuai dengan topik tutorial 4, 6 dan 8. Memilih salah satu topik tersebut dan disetor paling lambat pada tutorial ke 6.
o Mempresentasikan tugas tutorial dalam bentuk power point untuk tugas tutorial 4 dan 6. Presentasi dilakukan saat tutorial 4 dan 6. 5. Ujian dan Penilaian. Ujian. Ujian dilaksanakan dua kali dalam bentuk tertulis yaitu Ujian Tengah Smester (UTS) dan Ujian Akhir Smester (UAS). Penilaian. Penilaian akhir dari proses pembelajaran ini berdasarkan rumus nilai akhir sesuai buku pedoman yaitu: (UTS+TT) _________ + 2(UAS) 2 NA ___________________ 3 Nilai Range A 80­100 B+ 70­79 B 65­69 C+ 60­64 C 55­59 D+ 50­54 D 40­49 E 0 – 39
6. Materi dan Organisasi Perkuliahan Manusia dan Masyarakat ­ Manusia dan orang. ­ Hidup bermasyarakat. (Pesaingan, Pertikaian, Konflik, Akomodasi). Masyarakat dan Hukum ­ Pengertian nilai dan norma atau kaedah. ­ Jenis­jenis kaedah. ­ Pengertian hukum. ­ Fungsi hukum. ­ Sanksi hukum. Kebudayaan dan Manusia ­ Pengertian kebudayaan, wujud kebudayaan dan unsur­unsur kebudayaan. ­ Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional (Indonesia). ­ Local genius dan peradaban. Hukum dan Kebudayaan ­ Fungsi hukum terhadap kebudayaan. ­ Budaya hukum dan hukum tentang kebudayaan. ­ Syarat­syarat efektifnya hukum. Analisis undang­undang (dulu, kini dan akan datang), perspektif nilai budaya (lokal, nasional dan internasional). Menganalisis beberapa aturan perundang­undangan dari perspektif kebudayaan.
7. Bahan Bacaan • Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta. • Alisyahbana, S. Takdir, 1977. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Dilihat dari Jurusan Nilai­nilai. Jakarta, Idayu Press. • Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya Paramita. • Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar, Pustaka bali Post. • ____________, 2003. Batas Kebudayaan, religi dan Kebajikan. Denpasar, Sinay. • ____________, 2004. Nilai Makna dan Martabat Kebudayaan. Denpasar, Sinay. • Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya. • Abdulsyani, 1987. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Fajar Agung Jakarta. • _________, 2002. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta, Bumi Aksara. • Hilman Hadikusumah, 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung, Alumni. • Kontjarningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, Gramedia. • ____________, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru. • Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982. Perihal Kaedah Hukum. Bandung, Alumni. • Satjipto Raharjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman­Pengalaman di Indonesia. Alumni, Bandung. • ____________, 1982. Ilmu Hukum. Bandung, Alumni. • Sudikan, Setyo Yuwana, 2001. Metode Penelitian Kebudayaan, Surabaya, Citra Wacana. • Soerjono Soekanto, 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung. • _______________, 2005. Faktor­faktor yang Mempenaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, RajaGrafindo Persada.
• Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994. Teori­Teori Sosial Budaya. Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Dikti, Dep. P & K, 1994. • Wiranata, I Gede A.B.2002. Antropologi Budaya. Bandung, Citra Aditya Bakti. • Wila Huky, 1982. Pengantar Sosiologi. Usaha Nasional, Surabaya. 8. Persiapan Proses Perkuliahan Sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa diwajibkan memiliki Block Book mata kuliah Hukum dan Kebudayaan, dan sudah mempersiapkan materi, sehingga perkuliahan dan tutorial dapat terlaksana dengan lancar dan mahasiswa memiliki persepsi dasar yang mendekati persamaan tentang satu pokok bahasan.
Proses Perkuliahan Perkuliahan I Manusia dan Masyarakat ­ Manusia dan orang. ­ Hidup bermasyarakat. (Pesaingan, Pertikaian, Konflik dan Akomodasi). Manusia • Manusia menunjuk kepada pengertian biologis. Dari sudut biologis, manusia satu dengan yang lainnya, tidak berbeda. Manusia laki, perempuan, dewasa, anak­ anak, sama saja. • Orang menunjuk kepada pengertian yuridis atau hukum. Dari sudut hukum, manusia tidak sama. • Dalam kepustakaan Sosiologi, manusia itu disebut ”individu”. Berasal dari bahasa Latin individum yang artinya: satuan kecil yang tidak dapat dibagi lagi. Individu menurut konsep Sosiologi berarti manusia yang hidup berdiri sendiri, tidak mempunyai kawan (Abdulsyani, 2002: 25). • Manusia memiliki beberapa kebutuhan. Maslow (1984) mengemukakan ada 5 kebutuhan dasar individu manusia, yaitu: (1) Kebutuhan psikologis (faal); (2) Kebutuhan keselamatan; (3) Kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa cinta; (4) Ketubuhan akan harga diri; (5) Kebutuhan akan perwujudan diri. Disamping 5 kebutuhan itu, ada dua kebutuhan lagi yaitu kebutuhan untuk mengetahui dan memahami serta kebutuhan estetis (seni). • Malinowski mengemukakan ada beberapa kebutuhan dasar manusia, seperti: makanan, reproduksi (seks), kenyamanan tubuh, keamanan, kebutuhan gerak dan
kebutuhan untuk tumbuh. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, manusia menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan setempat, sehingga manifestasinya berbeda­beda. Jika kebutuhan tersebut secara minimal tidak terpenuhi, akan terjadi penyimpangan, baik dalam tingkah laku tertutup maupun dalam tingkah laku terbuka. Kebutuhan itu menimbulkan dorongan (drive) untuk memenuhi dalam bentuk usaha atau aktivitas. Ada tiga dorongan dasar (basic drive) manusia, yaitu: basic drive untuk, mempertahankan diri, basic drive untuk melanjutkan keturunan dan basic drive untuk menyatakan diri. • Manusia atau individu menunjuk pengertian biologis, sedangkan orang menunjuk pengertian yuridis. Dari sudut biologis manusia itu sama tetapi dari sudut yuridis, manusia tidak sama. Seorang manusia laki­laki kedudukan hukumnya berbeda dengan seorang manusia perempuan. Seorang manusia dewasa kedudukan hukumnya berbeda dengan manusia anak­anak. Contoh: Orang dewasa dapat melakukan perbuatan hukum, sedangkan orang yang belum dewasa (anak­anak) tidak dapat melakukan perbuatan hukum. • Perbuatan hukum artinya perbuatan tertentu yang sesuai dengan aturan hukum, seperti: perkawinan, jual­beli, sewa­menyewa, dll. Perbuatan tertentu yang tidak sesuai dengan hukum atau dilarang oleh hukum, disebut perbuatan melawan hukum, seperti: pemerkosaan, pembunuhan, penipuan, dll. Masyarakat • Manusia adalah mahluk sosial. Aristoteles menyebutnya sebagai zoon politicon atau mahluk bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, tak selamanya berjalan mulus. Kadang­kadang ada pesaingan, pertikaian, konflik, dan akomodasi (penerimaan kembali). Itu sebabnya diperlukan adanya aturan hukum. • Pertanyaannya, apa yang disebut masyarakat dan kenapa manusia hidup bermasyarakat? Masyarakat dalam bahasa Inggris disebut society yang berasal
dari kata Latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab, syaraka yang berarti “ikut serta”, “berpartisipasi”. Beberapa difinisi masyarakat: • Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan istilah ilmiah saling “berinteraksi” (Koentjaraningrat, 1986: 144). • Mac Iver: Masyarakat adalah suatu sistem kebiasaan dan tatacara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini, kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Masyarakat selalu berubah. • Koentjaraningrat (1986) mengemukakan bahwa dalam hal menganalisa proses interaksi antara individu dalam masyarakat harus membedakan dua hal yaitu: (1) kontak dan (2) komunikasi. Kontak dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung (SMS, telpon, TV, koran, buku, dll). Dalam hal kontak, belum tentu ada komunikasi. Komunikasi timbul setelah kontak terjadi. Dalam proses itu Pihak I mengatakan sesuatu dengan bahasa atau melakukan sesuatu yang berupa tindakan (gerak, ekspresi mukda, ucapan, dll), dan dapat dimengerti serta dapat ditangkap oleh Pihak II. Manusia dapat melakukan kontak dan komunikasi dengan sesama manusia. Manusia tidak dapat melakukan kontak dengan anjing, karena anjing tidak mengerti bahasa, tidak dapat membaca, tetapi dapat berkumonikasi dengan anjing, dengan menggunakan isyarat. Prinsip komunikasi adalah ”kesamaan pengertian”. • Ralph Linton: Masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang tlah lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu mengorgasisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas­batas tertentu.
• Selo Soemardjan: Masyarakat adalah orang­orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. • Berdasarkan difinisi tersebut, Soerjono Soekanto (1982), memerinci unsur­unsur masyarkat adalah sbb: ­ Manusia hidup bersama. ­ Bercampur untuk waktu yang cukup lama. ­ Sadar mereka merupakan satu kesatuan. ­ Mereka merupakan sitem hidup bersama, shg menimbulkan kebudayaan. • Menurut Bouman, P.J (1976), ada beberapa unsur biologis menyebabkan manusia hidup bersama. ­ Dorongan untuk makan. ­ Dorongan untuk mempertahankan diri. ­ Dorongan untuk memiliki keturunan. • Dalam hidup bersama atau bermasyarakat, manusia melakukan interakasi satu dengan yang lainnya. Dalam berinteraksi, dapat terjadi beberapa kemungkinan. ­ Kerja sama (cooperative): masing­masing memiliki kepentingan sama dan harus dicapai secara bersama. ­ Persaingan (compotation): masing­masing memiliki kepentingan sama dan harus dicapai atau dimenangkan oleh salah satu pihak, seperti dalam olahraga. ­ Pertikaian (conflict): persaingan yang mengarah pada kekerasan dan pihak satu berusaha meniadakan pihak yang lainnya. ­ Akomodasi (accommodation): proses penyesuaian setelah melewati persaingan atau pertikaian.
Bahan Bacaan Abdulsyani, 1987. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Fajar Agung Jakarta. Hal 1. Kontjarningrat, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru. Soerjono Soekanto, 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung. Wila Huky, 1982. Pengantar Sosiologi. Usaha Nasional, Surabaya. Wiranata, I Gede A.B, 2002. Antroologi Budaya. Bandung, Citra Aditya Bakti. Perkuliahan II Tutorial 1: Manusia dan Masyarakat Tugas 1. Ada orang tua, pasangan suami istri, remaja, anak­anak dan bayi yang masih dalam kandungan. Pada dasarnya semua mereka adalah manusia, tetapi dalam hal­hal tertentu tidak semua mereka dapat disebut orang. Jelaskan kapan dan dalam keadaan bagaimana mereka dapat disebut orang. Tugas 2 Ada pertandingan sepak sepak bola perebutan piala di sebuah lapangan sepak bola di ibu kota negara. Penonton penuh sesak, ada orang berjualan sendiri maupun bersama temannya, kesebelasan dan permainan sepak bola yang penuh semangat, karena masing­ masing ingin menciptakan gol kemenangan. Perhatikan mereka itu dengan seksama, kemudian jelaskan bahwa di tempat itu ada individu, kelompok, masyarakat, kerjasama, persaingan, pertentangan dan konflik.
Perkuliahan III Masyarakat dan Hukum ­ Pengertian nilai dan norma atau kaedah. ­ Jenis­jenis kaedah. ­ Pengertian hukum. ­ Fungsi hukum. ­ Sanksi hukum. Pengertian Nilai • Wila Huky (1982) dalam bukunya Pengantar Sosiologi, mengemukakan bahwa “nilai” selalu berkaitan dengan “norma”. Walaupun demikian, keduanya dapat dibedakan. • Nilai merupakan sikap dan perasaan perorangan dan masyarakat secara keseluruhan, tentang baik buruk, benar salah serta suka dan tidak suka, terhadap obyek materiil dan non materiil. • Nilai cendrung berkaitan satu dengan yang lainnya secara komunal untuk membentuk pola­pola dan sistem nilai dalam masyarakat. Bila tidak terdapat keharmonisan yang intregral diantara nilai­nilai dalam masyarakat, akan terjadi problem sosial. • Norma merupakan aturan dengan sanksi, dimaksud untuk mendorong atau menekan orang dan masyarakat untuk mencapai nilai­nilai sosial. Nilai dan norma bergandengan dalam mendorong masyarakat untuk mencapai keadaan yang dianggap lebih baik dalam masyarakat. Contoh nilai bagi orang Bali­Hindu: Arah Utara, Timur, danau, laut, diyakini memiliki nilai kesucian. Timur Laut, paling bernilai suci. Kepala lebih bernilai dari kaki.
• Atas dasar bahwa arah Utara dan Timur dianggap lebih bernilai dari pada Selatan dan Barat, kemudian Timur Laut, yang dianggap paling bernilai, kemudian muncul norma atau kaedah yang menentukan: Tempat suci (pura) dibangun di Utara atau Timur. Kalau tidur kepala/bantal ditempatkan di Timur. • Atas dasar bahwa kepala (atas) lebih bernilai dari kaki (bawah) bagi orang Bali, kemudian muncul sikap: Orang Bali tidak mau lewat (masulub) di tempat jemuran. Sebagian laki­laki Bali tidak rela mencuci “cd” wanita/istrinya. Tipe­Tipe Nilai Nilai Utama atau nilai dominan: merupakan susunan inti sistem nilai yang mengekspresikan pandangan umum suatu masyarakat terhadap alam, agama, keluarga, dll. Contoh: Utara/Timur lebih bernilai dibandingkan Selatan/Barat, dll. Nilai Antara (Intermediate): Nilai ini ditarik dari nilai utama yang lebih mudah dipahami dan dimgnerti. Contoh: Membangun tempat suci di Utara/Timur, danau, laut, dll. Nilai Khusus: sangat terbatas jumlahnya, untuk orang atau kelompok tertentu. Contoh: kepala/bantal ada di Utara, dll. Ada orang atau keluarga tertentu yang sangat fanatik tentang hal ini, tetapi ada juga yang tidak begitu hirau, yang penting tempat tidurnya tidak kotor. Fungsi Nilai • Penentu terakhir bagi manusia dalam menentukan peranan sosialnya. Dalam arti, menentukan cara berfikir dan bertindak yang baik dalam masyarakat tertentu. Sebagai alat pengawas bagi tindakan manusia. Nilai dapat menimbulkan rasa bersalah bagi pelanggarnya. Sebagai alat pemersatu atau solidaritas di alangan masyarakatnya.
Norma atau Kaedah • Kata kaedah berasal dari bahasa Arab dan norma dari bahasa Latin, yang berarti “ukuran”. Dimaksud dengan kaidah atau norma ialah ketentuan yang mengatur tingkah laku dan sifat tindak­tanduk manusia dalam masyarakat. • Kaedah diperlukan untk mengatur prilaku manusia. Salah satu unsur dari prilaku itu adalah gerak sosial, yang pada hakikatnya merupakan sistem yang mencakup hierarki pengaturan. (Ada dua buku tentang ”kaedah” yang penting untuk dibaca, yaitu: Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali dan Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1983. Prihal Kaidah Hukum. Bandung: Alumni. • Di dalam perilaku sosial (interaksi sosial) terlibat perilaku beberapa pihak yang kemudian mungkin pula terjadi proses saling mempengaruhi. Interaksi sosial antar pribadi­pribadi kadang­kadang disebut juga sebagai hubungan interpersonal. Intinya adalah adanya hubungan antara manusia dengan manusia yang didasarkan atas kebutuhan­kebutuhan tertentu. Kebutuhan interpersonal, yakni kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, yang apabila tidak terlaksana akan menghasilkan gangguan atau keadaan yang tidak menyenangkan bagi pribadi yang bersangkutan. Walaupun kebutuhan­kebutuhan interpersonal tersebut menghasilkan prilaku yang beranekaragam tetapi pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur. • Untuk tercapainya keteraturan tersebut, di dalam pergaulan hidup diperlukan suatu pedoman atau patokan yang akan memberikan wadah bagi aneka pandangan mengenai keteraturan yang semula merupakan pandangan pribadi. Pedoman atau patokan tersebut lazim disebut norma atau kaidah. Norma atau kaidah yang menjadi pedoman hubungan antar pribadi, dibedakan antara norma atau kaidah kesopanan dengan hukum.
• Norma hukum menetapkan pola hubungan­hubungan antara manusia dan juga merumuskan nilai­nilai yang diterima oleh masyarakat ke dalam pola­pola tertentu sehingga ada batasan­batasan yang jelas tentang pola­pola prilaku yang betentangan dengan nilai­nilai yang telah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Hubungan disini mengandung makna tentang kontak secara timbal balik atau inter­stimulasi dan respon individu­indivdu dan kelompok. • Dalam interaksi sosial yang berlangsung demikian, selalu terjadi empat kemungkinan yang merupakan bentuk interaksi sosial itu sendiri, yaitu: koorporasi (kerjasama), kompetisi, konflik dan akomodasi. • Kooperasi atau kerjasama, dalam hal ini hubungan individu dalam pergaulan terjalin kerjasama yang baik, sehingga segala sesuatunya berlangsung secara harmonis, serasi dan tidak ada ketegangan­ketegangan berarti. Kompetisi atau persaingan, dimana antar unsur­unsur dalam pergaulan hidup, antara kekuatan yang satu dengan kekuatan yang lain sudah mulai ada perasaan ingin unggul. Apabila hal ini berlangsung secara sehat, tentu tidak akan terjadi ketegangan. Namun apabila sebaliknya, akan dapat menimbulkan ketegangan. Konflik atau pertikaian, dimana dalam masyarakat terjadi pertentangan antara kekuatan sosial tertentu dengan yang lain, sampai menimbulkan ketegangan–ketegangan sosial. Akomodasi atau terjadinya penyelesaian kembali, sehingga keadaan tegang akan menjadi reda karena ditangani oleh unsur­unsur pergaulan hidup, sehingga masyarakat akan tertib kembali. Jenis Norma atau Kaedah • Kaedah atau norma dapat digambarkan sebagai aturan tingkah laku: sesuatu yang seharusnya atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam keadaan tertentu. Ada juga yang menyebut kaedah sebagai petunjuk hidup yang mengikat. Kaedah berfungsi untuk mengatur berbagai kepentingan dalam masyarakat.
Gustav Radbruch (Ahmad Ali: 2002), membedakan kaedah menjadi 4 yaitu: kaedah agama, moral/etika, kesopanan dan kaedah hukum. ­ Norma agama. • Sumbernya: ajaran agama. Menentukan: perbuatan baik dan buruk berdasarkan ajaran agama. Sanksinya: dari Tuhan. Kuat: kalau percaya. Lemah: kalau tak percaya. Norma etika. • Sumbernya: hati nurani. Menentukan: perbuatan baik dan buruk berdasarkan hati nurani. Sanksinya: dari hati nurani. Kuat: kalau punya nurani. Lemah: kalau tak punya hati nurai. Norma kesopanan. • Sumbernya: lingkungan sosial. Menentukan: perbuatan benar dan salah berdasarkan lingkungan sosial/tempat tinggal. Sanksinya: sanksi sosial. Kuat: kalau punya rasa malu. Lemah: kalau tak punya. Norma hukum. • Sumbernya: pihak berwenang. Menentukan perbuatan benar dan salah berdasarkan aturan hukum. Sanksinya: tegas dan jelas sesuai hukum. Kuat: kalau penegak hukum bermoral. Lemah: kalau penegak hukum mencla­mencle. Bahan bacaan • Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta. • Abdulsyani, 1987. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Fajar Agung Jakarta. • Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya Paramita Hilman Hadikusumah, 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung, Alumni.
• Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1983. Prihal Kaidah Hukum. Bandung: Alumni. • Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. • Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994. Teori­Teori Sosial Budaya. Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Dikti, Dep. P & K, 1994. • Wila Huky, 1982. Pengantar Sosiologi. Usaha Nasional, Surabaya. Perkuliahan IV Tutorial 2: Masyarakat dan Hukum Pertanyaan/diskusi 1. Faktor apa yang mempengaruhi munculnya nilai tertentu dalam suatu masyarakat? 2. Adakah ”nilai universal” dalam kehidupan umat manusia? 3. Mungkinkah adanya ”norma” yang tidak sejalan dengan ”nilai kehidupan” dalam suatu masyarakat? 4. Faktor apa yang paling membedakan antara ”norma hukum” dengan ”norma­ norma” lainnya dalam kehidupan bermasyarakat? 5. Bagaimana kemungkinannya yang terjadi terhadap ”norma hukum” apabila ”norma hukum” tersebut kurang sejalan dengan ”norma­norma” yang lainnya?
Perkuliahan V Masyarakat dan Hukum (Lanjutan) ­ Pengertian hukum. ­ Fungsi hukum. ­ Sanksi hukum. Pengertian Hukum • Membaca buku Ahmad Ali berjudul Menguak Tabir Hukum (2002), akan diketahui ada banyak difinisi hukum. Beberapa diantaranya adalah: P. Bors • Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia didalam masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan. • Van Kan Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat. • Karl von Savigny Keseluruhan hukum sungguh­sugguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam­diam. • Emmnuel Kant Hukum adalah keseluruhan kondisi­kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan­keinginan pribadi seseorang dengan keinginan­keinginan pribadi orang lain sesuai dengan hukum tentang kemerdekaan.
• John Austin Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyaraka tpolitik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) meruapakan otoritas tertinggi. • Hans Kelsen Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaedah primer yangmenetapkan sanksi­sanksi. Berdasarkan beberapa difinisi di atas, dapat dikemukakan bahwa hukum adalah Himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat yg mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang mereka yang melanggarnya. Mac Iver (Ahmad Ali: 2002), membedakan ada dua jenis hukum, yaitu: (1) Hukum di atas politik adalah konstitusi negara (seperti UUD 1945), dan (2) hukum di bawah politik adalah undang­undang, dan berbagai perangkat aturan hukum yang lainnya. Fungsi hukum • Membatasi kepentingan dari setiap pendukung hukum (subyek hukum),menjamin kepentingan dan hak­hak mereka masing­masing, dan menciptakan pertalian­ pertalian guna mempererat hubungan antar manusia dan menentukan arah bagi adanya kerjasama. Tujuan hukum • Mencapai perdamaian, keadilan, kesejahtraan dan kebahagiaan bersama dengan dilengkapi bentuk­bentuk sanksi yg bersifat tegas dan nyata.
Sanksi hukum • Agar fungsi dan tujuan hukum tercapai, maka setiap aturan hukum disertai dengan ancaman sanksi yang tegas. Sanksi dalam hal ini berarti, akibat dalam bentuk penderitaan (nestapa) yang dijatuhkan oleh penegak hukum, terhadap pelaku pelanggaran hukum. • Mengutip pendapat L. Pospisil (1956) dalam disertasinya yang berjudul The Kapauku Papuans and Their Law, Koentjaraningrat (1984) mengemukakan bahwa hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dan aktivitas­aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam sesuatu masyarakat, seseorang peneliti harus mencari akan adanya empat ciri dari hukum, atau attributes of law. • Attribute yang terutama disebut atributte of law authority. Atribut otoritas menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan­keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh dalam masyarakat. Keputusan­keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena ada, misalnya: (i) serangan­serangan terhadap diri individu, (ii) serangan­serangan terhadap hak orang, (iii) sedangan­ serangan terhadap pihak yang berkuasa, (iv) serangan­serangan terhadap keamanan umum. • Attribute yang kedua disebut attribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan­keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan­keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan yang harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa­ peristiwa yang serupa dalam masa yang akan datang. • Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan­keputusan dari pemegang kuasa itu harus mangandung
perumusan dari kewajiban pihak ke satu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Di dalam hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri dari individu­individu yang hidup. Kalau keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban maupun dari hak tadi, maka keputusan tak akan ada akibatnya, dan karena itu keputusan tidak akan merupakan keputusan hukum. Kalau pihak kedua itu, misalnya nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua itu bukan keputusan hukum, tetapi hanya suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan. • Attribute yang keempat disebut attribute of sanction, dan menentukan bahwa keputusan­keputusan dari pihak berkuasan harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas­luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan depriviasi dari milik (yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem hukum bangsa­bangsa Eropa), tetapi juga berupa sanksi rohani, seperti misalnya menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa benci dan sebagainya. Dengan demikian jelaslah kalau hukum dan sanksi seperti satu paket. Hukum selalu disertai sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak yang mengingkari hukum yang dimaksud. • Para ahli ilmu sosial sanksi ini diberi arti yang lebih luas dari penggunaannya dalam hukum. Radcliffe­Brown menguraikan sanksi menjadi dua yaitu: sanksi negatif dan sanksi positif. Sanksi negatif diberikan bagi orang yang berlaku tidak sesuai dengan aturan hukum. Sanksi positif (pujian) bagi orang yang berlaku taat, tanpa merinci siapa yang memberi pujian ataupun hukuman. (Ihromi, 1984). Jadi sanksi adalah perangkat aturan­aturan yang mengatur bagaimana lembaga­lembaga hukum mencapuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu sistem sosial sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara­cara yang dapat diperhitungkan. Mengacu pada pendapat Radcliffe­Brown, dapat dikemukakan bahwa yang
disebut sanksi negatif dari sudut hukum pidana, disebut “hukuman” atau “pidana”. • Dimaksudkan dengan hukuman (pidana) dalam pengertian Kitab Undang­undang Hukum Pidana (KUHP) ialah : “Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakin dengan ponis kepada orang yang telah melanggar undang­undang hukum pidana”. Hukuman yang biasa dijatuhkan oleh guru kepada murid atau hukuman disiplinair yang diberikan oleh penjabat polisi kepada bawahannya, karena telah melanggar peraturan tata­tertib kepolisian, tidak masuk dalam pengertian ini. Bahan bacaan • Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta. • Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya Paramita Hilman Hadikusumah, 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung, Alumni. • Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1983. Prihal Kaidah Hukum. Bandung: Alumni. • Ihromi, T.O, 1986. Pokok­Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia • Kontjarningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, Gramedia. • ____________, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru. • Satjipto Raharjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman­Pengalaman di Indonesia. Alumni, Bandung. • Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. • Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994. Teori­Teori Sosial Budaya. Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Dikti, Dep. P & K, 1994.
Perkuliahan VI Tutorial 3: Masyarakat dan Hukum Dalam banyak hal, tatanan kehidupan masyarakat tradisional, masyarakat hukum adat (desa pakraman di Bali), berbeda dengan tatanan kehidupan masyarakat modern. Beberapa ciri masyarakat modern antara lain, lebih menghargai keindividuan, lebih mengutamakan kepastian dengan cara berfikir yang rasional. Sementara itu, yang terjadi dalam masyarakat tradisional adalah situasi yang sebaliknya. Betapapun besar perbedaannya, pada dasarnya kedua masyarakat tersebut ada persamaannya, terutama kalau dilihat dari sudut hukum. Pertanyaan/diskusi 1. Bagaimana harus dijelaskan bahwa dalam masyarakat yang paling terkebelakang sekalipun, sebenarnya kehidupan mereka juga diatur oleh hukum. 2. Bagaimana harus dijelaskan bahwa tujuan hukum masyarakat yang paling terkebelakang sekalipun, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat modern. 3. Bacalah dengan seksama pasal 10 KUHP. Perhatikan situasi dan kondisi kelompok masyarakat yang dikenal dengan sebutan ”Petisi 50” pada jaman Orde Baru. Cari beberapa sumber bacaan tentang ”embargo ekonomi” terhadap negara Libya dan Irak, pada tahun 1980­an. Baca juga berita tentang penganaan sanksi adat ”kasepekang” oleh desa pakraman di Bali, terhadap warganya yang dianggap telah melakukan pelanggaran adat. Kemudian jelaskan hal itu dan kaitkan dengan Radcliffe­Brown tentang sanksi.
Perkuliahan VII Kebudayaan dan Manusia ­ Pengertian kebudayaan, wujud kebudayaan dan unsur­unsur kebudayaan. ­ Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional (Indonesia). ­ Local genius dan peradaban. • Dikalangan ahli, masih ada perdebatan istilah: ”kebudayaan” atau ”budaya”. Ada yang mengatakan budaya dan ada juga kebudayaan. Ada yang mengatakan “budaya” itu kata sifat dan “kebudayaan” kata benda. Dalam uraian selanjutnya, akan digunakan istilah “kebudayaan”. • Kebudayaan: Arti sempit = kesenian. Arti luas = hal­hal yang mengakut akal dan budi serta keseluruhan aspek kehidupan. • Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan menjelaskan bahwa kata “kebudayaan”, berasal dari kata Sansekerta “buddhayah”, bentuk jamak dari “budi” atau akal. Maka dari itu, kebudayaan dapat diartikan hal­hal yang bersangkutan dengan akal atau budi. Beberapa Difinisi Kebudayaan • Ada banyak difinisi kebudayaan. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn mencatat, sampai tahun 1950, menemukan 179 buah difinisi kebudayaan. Pemikirannya kemudian diterbitkan dalam buku berjudul: Culture,a critical Review of Concepts and Difinitions (1952).
• E.B.Taylor Kebudayaan sebagai kompleks mencakup pengetahuan,kepercayaan, seni, moral hukum, adat istiadat dan kemampuan­kemampuan serta kebiasaan­kebiasaan yg didapatkan manusia sebagai warga masyarakat. • Herkovits dan Malinowski Kebudayaan super organik, yg hidup turun temurun dan terus menerus berkesinambungan walau anggota masyarakat silih berganti karena irama kematian dan kelahiran.
· R.Linton, 1947 Kebudayaan adalah konfigurasi tingka laku yang dipelajar dan hasil tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggaota masyarakat tertentu. • W.H. Kelly dan C. Kluckhon, 1952 Kebudayaan adalah pola hidup yang tercipta dalam sejarah, yang eksplisit, implisit, rasional, irrasional dan non rasional yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yan gpotensial bagi tingkah laku manusia. • Ariojono Sujono, 1985). Kebudayaan adalah keseuruhan hasil daya budi cipta, karya dan karsa manusia yang dipergunakan untuk memahami lingkungan, serta pengalamannya agar menjadi pedoman bagi tingkah lakunya, sesuai dengan unsur­unsur universal di dalamnya.
· Koentjaraningrat. Kebudayaan itu adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yg harus dibiasakan dengan belajar,beserta dari keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. • Ki Hadjar Dewantara Kebudayaan adalah buah budi manusia (jiwa yang masak dan cerdas dan mampu mencipta), atau hasil perjuangan hidup manusia yang kuat dan abadi yakni alam dan zaman.dan bisa mengatasi pengaruh alam dan zaman yang menyukarkan hidupnya lahir dan bathin dan memperbesar hasil hidupnya. Dari beberapa difinisi kebudayaan tsb di atas dapat diketahui beberapa kesamaan, terkait dengan manusia dan kebudayaan: Bahwa kebudayaan hanya dimiliki oleh masyarakat manusia. Kebudayaan yang dimiliki manusia diturunkan melalui proses belajar dari tiap individu dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan merupakan pernyataan perasaan dan pikiran manusia. Kebudayaan meliputi seluruh eksistensi manusia,mencakup semua aspek kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, sebagai hasil karya, rasa dan cipta manusia dalam masyarakat yg bertujuan meningkatkan mutu hidup dan kehidupan manusia dlm masyarakat. Wujud dan Unsur Kebudayaan Setiap kebudayaan di dunia (menurut Koentjaraningrat), memiliki wujud dan unsur yang sama. • Wujud kebudayaan. ­ Wujud ideal (sistem nilai budaya); ­ Wujud kelakuan (sistem sosial); ­ Wujud fisik (hasil karya manusia).
• Unsur kebudayaan ­ Sistem relegi dan upacara keagamaan. ­ Sistem dan organisasi kemasyarakatan. ­ Sitem pengetahuan. ­ Bahasa. ­ Kesenian. ­ Sitem mata pencaharian hidup. ­ Sitem teknologi dan peralatan. Ketiga wujud kebudayaan itu tidak terpisahkan satu dengan yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran dan idee maupun perbuatan dan karya manusia menghsilkan benda­benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yg makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola perbuatannya, dan bahkan mempengaruhi cara berpikirnya. Kalau digambar, akan tampak “kerangka kebudayaan”, seperti pada gambar di bawah ini.
• Kerangka Kebudayaan Kebudayaan Nasional dan Kebudayaan Daerah • Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, terdapat tiga golongan kebudayaan yang masing­masing mempunyai corak sendiri­sendiri. Ketiga golongan itu satu sama lain saling berbeda tetapi saling berkaitan merupakan satu kesatuan yang namanya kebudayaan Indonesia (Sudikan, 2001). Ketiga golongan kebudayaan tersebut adalah (1) kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indoensia dengan nama kebudaan daerah); (2) kebudayaan umum lokal dan (3) kebudayaan nasional.
Kebudayaan Daerah • Suasana suku bangsa merupakan perwujudan dari kegiatan­kegiatan kehidupan dari para warga masyarakat suku bangsa yang berlandaskan pada pranata sosial yang bersumberkan pada kebudayaan suku bangsa. Suasana ini terwujud dalam kehidupan keluarga, kehidupan komunitas desa khususnya, hubungan­hubungan kekerabatan, dan dalam berbagai upacara dan ritual sosial dan keagamaan. Dalam interaksi sosial para pelakunya menggunkan identitas yang sesuai, yang berdasarkan atas sistem penggolongan sosial dan pranata yang ada dalam kebudayaan suku bangsanya. Inilah yang disebut kebudayaan daerah. Kebudayaan Lokal • Suasana umum lokal merupakan perwujudan dari kegiatan­kegiatan kehidupan dari para warga sesuatu bagian dari masayarakat yang masyarakatnya terdiri atas lebih dari satu suku bangsa, sehingga kegiatan­kegiatan kehidupan tersebut berlandaskan atas pranata­pranata sosial yang bersumberkan atas kebudayaan­ kebudayaan suku bangsa yang berlaku setempat dan dalam beberapa juga dipengaruhi oleh kebudayan nasional. Suasana umum lokal yang terwujud ditempat­tempat umum, pasar, dan di tempat­tempat pergaulan terjadi. Suasana umum lokal dapat didominasi oleh salah satu kebudayaan suku bangsa yang ada setempat, tetapi dapat juga merupkan hasil perpaduan dari berbagai unsur kebudayaan bangsa yang ada setempat tergantung pada corak hubungan kekuatan yang berlaku diantara suku­suku bangsa tersebut. Ini yang disebut kebudayaan lokal. Kebudayaan Nasional • Suasana nasional bisa terwujud dalam berbagai kegiatan­kegiatan pemerintah, sekolah, universitas, ABRI, dan berbagai kegiatan­kegiatan upacara yang bersifat nasional. Karena pada umumnya pusat dari pada kegiatan­kagiatan tersebut adanya di perkotaan dengan kota Jakarta menjadi pusatnya karena kedudukannya sebagai ibu kota Negara Indonesia, maka suasana nasional biasanya juga lebih
terwujud diperkotaan dari pada di pedesaan. Dalam suasana nasional, identitas yang digunakan oleh para pelakunya dalam interaksi adalah bersumber pada sistem penggolongan dan pranata yang ada dalam kebuadayaan nasional. Local Genius atau Kearifan Lokal dan Peradaban • Istilah yang kini lebih dikenal dengan “kearifan lokal”, berasal dari istilah asing local genius. Istilah local genius pertama kali diperkenalkan oleh Dr. H.G. Quaritch Wales (1948), dalam bukunya The Making of Greater India: A Study in South­ East Asia Culture Change. Istilah local genius dipergunakan untuk menyebut unsur­unsur kebudayaan asli (pribumi) dalam proses akulturasi dengan kebudayaan India. (Poespowardojo, 1986: 30; Muljana, 2006: 232). Dari lokal genius, muncul beberapa istilah dalam bahasa Indonesia, seperti “keperibadian kebudayaan lokal” (Muntardjito, 1986), “cerlang budaya” (Ayatrohaedi, 1986), yang umum digunakan sekarang adalah “kearifan lokal”. • Kearifan lokal (local genius) adalah unsur­unsur budaya atau ciri­ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur­unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli (Poespowardojo, 1986). Kearifan lokal (local genius) Bali adalah unsur­unsur budaya Bali atau ciri­ciri tradisional Bali yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur­ unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli. Contoh kearifal lokal atau lokal genius Bali seperti satya, tri hita karana, paras paros. Peradaban • Koentjaraningrat (1974:10) mengemukakan bahwa istilah peradaban biasanya diperguakan untuk bagian­bagian dan unsur­unsur kebudayaan yang halus, dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam satu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Sering kali peradaban dipergunakan untuk menyebut sistem teknologi seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa peradaban, relatif lebih sulit berubah dibandingkan kebudayaan. Contoh: manusia berpakaian, memiliki rumah, berkeluarga sesuai norma yang berlaku, sedangkan cara berkaian, tipe rumah, dapat disebut sebagai kebudayaan. Bahan bacaan • Alisyahbana, S. Takdir, 1977. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Dilihat dari Jurusan Nilai­nilai. Jakarta, Idayu Press. • Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar, Pustaka bali Post. • ____________, 2003. Batas Kebudayaan, religi dan Kebajikan. Denpasar, Sinay. • Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya. • Kontjarningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, Gramedia. • Sudikan, Setyo Yuwana, 2001. Metode Penelitian Kebudayaan, Surabaya, Citra Wacana. • Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994. Teori­Teori Sosial Budaya. Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Dikti, Dep. P & K, 1994. • Wiranata, I Gede A.B.2002. Antropologi Budaya. Bandung, Citra Aditya Bakti. Perkuliahan VIII Tutorial 4: Kebudayaan dan manusia Tugas 1 1. Kajilah dengan contoh bahwa ketujuh unsur kebudayaan mengandung ketiga wujud kebudayaan. 2. Jelaskan mengapa kebudayaan dapat dikatakan mempunyai fungsi identitas dan fungsi integratif terhadap hukum? 3. Dalam hubungan dengan peningkatan kualitas politik luar Indonesia, dikenal adanya “diplomasi kebudayaan”. Coba jelaskan, bagaimana diplomasi itu dilaksanakan.
4. Dalam perjudian di Bali, khususnya sabungan ayam (tajen), dikenal adanya istilah­istilah seperti “cok”, “gasal”, “pada baret”. Jelaskan hal ini dari sudut kebudayaan. 5. Ada “tri hita karana”, “desa pakraman”, “satya”, “eda ngaden awak bisa”. Jelaskan istilah­istilah tersebut dari sudut kearfan lokal (local genius) Bali? Tugas 2 Dalam temu wirasa Gubernur Bali, Mangku Pastika di Kabupaten Bangli bulan Desember 2009 terungkap bahwa banyak warga desa pakraman yang stress. Salah satu penyebabnya adalah beban adat yang berat, dan adanya berbagai ketentuan awig­awig dan pararem desa pakraman yang cendrung sangat ketat mengikat warganya dengan berbagai kewajiban terhadap desa pakraman. Kecendrungan akan banyaknya warga masyarakat yang stress dapat diketahui dari pasien yang menghuni rumah sakit jiwa di Bangli dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dilain pihak, ada yang mengatakan bahwa desa pakraman sebagai komunitas lokal di Bali adalah salah satu local genius yang dapat berfungsi sebagai benteng terakhir untuk melestarikan kebudayaan Bali. Topik Diskusi 1. Apakah awig­awig dan pararem dapat disebut kebudayaan? 2. Mungkinkan desa pakraman dapat melestarikan kebudayaan Bali? 3. Bagaimanakah komentar Anda terhadap pendapat Sutan Takdir Alisyahbana tentang kebudayaan dilihat dari sudut nilai? Buku Refrensi Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya. _________, 2002. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta, Bumi Aksara. Bakker, J.W.M, 1984. Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar. Yogyakarta­Jakarta, Kanisius­BPK Gunung Mulia. Kontjarningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, Gramedia.
Perkuliahan IX Hukum dan Kebudayaan ­ Fungsi hukum terhadap kebudayaan. ­ Budaya hukum dan hukum tentang kebudayaan. ­ Syarat­syarat efektifnya hukum. Hukum Hukum adalah Himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat yg mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang mereka yang melanggarnya. Fungsi hukum • Membatasi kepentingan dari setiap pendukung hukum (subyek hukum), menjamin kepentingan dan hak­hak mereka masing­masing, dan menciptakan pertalian­ pertalian guna mempererat hubungan antar manusia dan menentukan arah bagi adanya kerjasama. Hukum diadakan untuk menyelaraskan hak dan kewajiban anggota masyarakat, sehingga tercipta kehidupan yang aman, tentram, damai, adil dan makmur. • Untuk mencapai tujuan itu, hukum harus dirancang sedemikian rupa agar mencerminkan nilai budaya. Hukum yang berlaku di Bali, harus mencerminkan budaya Bali. Hukum yang berlaku di Indonesia, harus mencerminkan nilai budaya Indonesia. Hukum yang berlaku, harus mencerminkan rasa keadilan dan nilai budaya masyarakat. Fungsi Kebudayaan dalam Hukum Dalam hubungan dengan ”fungsi kebudayaan dalam hukum”, menarik untuk dikemukakan pendapat Friedrich Carl von Savigney dan Lawrence M. Friedman. • Carl von Savigney mengungkapkan hukum harus mencerminkan ”jiwa bangsa” (volksgeist). Lawrence M. Friedman (1997) mengemukakan bahwa sebagai suatu
sistem (atau sub sistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. • Friedrich Carl von Savigny (1779­1861) melihat hukum sebagai fenomena historis, sehingga keberadaan setiap hukum adalah berbeda tergantung kepada tempat dan waktu berlakunya hukum. Hukum menurutnya harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa (volksgeist). • Lawrence M. Friedman melihat faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai­nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. • Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum (Lawrence M. Friedman, 1997). • Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpanya, mencakup tatanan lembaga­lembaga tersebut, hak­hak dan kewajiban­ kewajibannya, dan seterusnya. • Substansi mencakup isi norma­norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. • Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai­nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai­nilai yang merupakan konsepsi­konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai­nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai­nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus
diserasikan. Hal itulah yang akan menjadi pokok pembicaraan didalam bagian mengenai faktor kebudayaan ini. • Berdasaran pendapat von Savigny dan Friedman di atas, dapat dikemukakan bahwa unsur nilai budaya perlu diperhatikan dalam hukum, agar hukum itu lebih mudah ditegakkan dan dilaksanakan. • Secara konsepsional inti arti dari penegakan hukum berarti kegiatan penyerasian hubungan nilai­nilai yang terjabarkan didalam kaedah­kaedah yang mantap dan mengejewantah serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian, pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1979). • Menurut Soerjono Soekanto (2005), ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Faktor­faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut: ­ Faktor hukumnya sendiri (dalam arti undang­undang). ­ Faktor penegak hukum, yakni pihak­pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. ­ Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum ­ Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. ­ Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. • Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi­konsepsi, yg hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal­hal yg harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Erat kaitannya dengan sistem nilai adalah sikap mental. Sikap mental (attitude) di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungan, dipengaruhi oleh sistem nilai budaya. Contoh nilai budaya bagi orang Bali­Hindu: Arah Utara dan Timur diyakini lebih bernilai
dari pada Selatan dan Barat. Timur Laut, paling bernilai. Kepala lebih bernilai dari kaki. • Agar hukum dan norma efektif dalam pelaksanaannya, hendaknya berpedoman kepada sistem nilai budaya. Contohnya seperti dibawah ini. • Atas dasar bahwa arah Utara dan Timur dianggap lebih bernilai dari pada Selatan dan Barat, kemudian Timur Laut, yang dianggap paling bernilai, kemudian muncul norma atau kaedah yang menentukan: Tempat suci (pura) dibangun di Utara atau Timur. Kalau tidur kepala/bantal ditempatkan di Timur. Atas dasar bahwa kepala (atas) lebih bernilai dari kaki (bawah) bagi orang Bali, kemudian muncul sikap khas Bali seperti, tidak mau lewat (masulub) di tempat jemuran. • Atas dasar bahwa suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi­konsepsi, yg hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal­hal yg harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup, maka kalau ada aturan hukum yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai budaya yang hidup dalam masyarakat (volksgeist), maka kemungkinan aturan hukum itu tidak akan berlaku efektif. Dalam hubungan dengan budaya hukum, menarik dikemukakan pendapat Hilman Hadikusuma (1986: 54­59), yang mengemukakan ada tiga type budaya hukum sebagai berikut: • Budaya parokial/picik (parochial culture). Cara berfikir masyarakat masih terbatas. Kaidah hukum peninggalan leluhur pantang dirubah atau dilanggar, sebab penyimpangan terhadap kaidah tersebut akan mendapat kutukan gaib. Dalam masyarakat dengan type budaya hukum seperti ini belum banyak diadakan pembagian kerja, pemimpinnya bersifat multi fungsi atau serba guna. Masyarakat lebih mengutamakan dan membagakan budaya hukumnya sendiri, serta mengganggap hukumnya lebih baik dari hukum orang lain. In put dari warga masyarakat yang berkaitan dengan hukum dan keadilan sangat kecil, apalagi
terhadap system hukum tidak ada sama sekali, mereka percayakan saja kepada pemimpin. • Budaya subjek (takluk). Cara berfikir sudah ada perhatian dan mungkin juga sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Orientasi pandangan terhadap aspek hukum yang baru sudah ada, sudah ada sikap menerima atau menolak, Cuma cara pengungkapannya secara pasif. • Budaya partisipan (berperanserta). Cara berfikir dan berperilaku masyarakat ada yang berbudaya takluk, namun sudah banyak masyarakat merasa berhak dan berkewajiban berperan serta, karena sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta. Orang­orang sudah merasa mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Mereka merasa terlibat dalam masukan dan keluaran hukum, serta ikut menilai peristiwa hukum dan peradilan, serta terlibat dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut kepentingan umum, maupun keluarga dan dirinya sendiri. Syarat­syarat yang menentukan efektifnya hukum • Berlakunya hukum sebagai kaedah (gelding/bhs Belanda atau geltung/bhs Jerman), hendaknya memenuhi syarat, agar dapat berlaku efektif. • Syarat itu adalah (1) Syarat yuridis: memiliki landasan hukum yang lebih tinggi. (2) Syarat sosiologis: sesuai dengan keadaan masyarakat. (3) Syarat filosofis: bermakna bagi masyarakat. • Menurut Soekanto & Musta Adullah (1982), bila hanya memenuhi salah satu syarat, kemungkinannya adalah ­ Bila kaedah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan kaedah merupakan kaedah mati. ­ Bila hanya berlaku secara sosiologis, maka kaedah hukum menjadi aturan pemaksa. ­ Bila hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum hanya merupakan hukum yang dicita­citakan.
Bahan bacaan • Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta. • Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya Paramita. • Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar, Pustaka bali Post. • ____________, 2003. Batas Kebudayaan, religi dan Kebajikan. Denpasar, Sinay. • ____________, 2004. Nilai Makna dan Martabat Kebudayaan. Denpasar, Sinay. • Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya. • Hilman Hadikusumah, 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung, Alumni. • Kontjarningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, Gramedia. • Satjipto Raharjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman­Pengalaman di Indonesia. Alumni, Bandung. • Soerjono Soekanto, 2005. Faktor­faktor yang Mempenaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, RajaGrafindo Persada. • Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1982. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta : Rajawali. • Wiranata, I Gede A.B.2002. Antropologi Budaya. Bandung, Citra Aditya Bakti. Perkuliahan X Tutorial 5: Hukum dan Kebudayaan 1. Jelaskan mengapa kebudayaan dapat dikatakan mempunyai fungsi identitas dan fungsi integratif terhadap hukum? 2. Berikan contoh yang menggambarkan hubungan hukum dan kebudayaan. 3. Jelaskan konsep budaya hokum dan hokum tentang kebudayaan. 4. Bandingkan pendapat Satjito Rahardjo dengan pendapat Himan Hadikoesoema tentang type budaya hukum. 5. Jelaskan bahwa kesadaran hukum merupakan bagian dari budaya hokum.
Perkuliahan XI Analisis undang­undang (dulu, kini dan akan datang), perspektif nilai budaya (lokal, nasional dan internasional). • Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi­ konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal­hal yang dianggap bernilai dalam hidup. • Hukum yang baik dan dapat berlaku efektif adalah hukum yang mencerminkan nilai budaya masyarakat, mencerminkan rasa keadilan masyarakat, tempat hukum itu akan berlaku. Kalau tidak demikian, hukum itu cendrung tidak efektif. Syarat­syarat yang menentukan efektifnya hukum • Berlakunya hukum sebagai kaedah (gelding/bhs Belanda atau geltung/bhs Jerman), hendaknya memenuhi syarat, agar dapat berlaku efektif. Syarat itu adalah (1) Syarat yuridis: memiliki landasan hukum yang lebih tinggi. (2) Syarat sosiologis: sesuai dengan keadaan masyarakat. (3) Syarat filosofis: bermakna bagi masyarakat. • Menurut Soekanto & Musta Adullah (1982), bila hanya memenuhi salah satu syarat, kemungkinannya adalah ­ Bila kaedah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan kaedah merupakan kaedah mati. ­ Bila hanya berlaku secara sosiologis, maka kaedah hukum menjadi aturan pemaksa. ­ Bila hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum hanya merupakan hukum yang dicita­citakan.
Agar kaedah hukum dapat berfungsi seperti yang diharapkan, menurut Soerjono Soekanto (2005), tergantung dari 4 faktor, yaitu: 1. Faktor hukum itu sendiri, yaitu undang­undang atau peraturan. 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak­pihak yang membentuk dan penegak hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan atau penegakan hukum; 4. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Bahan bacaan • Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta. • Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya Paramita. • Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar, Pustaka bali Post. • ____________, 2003. Batas Kebudayaan, religi dan Kebajikan. Denpasar, Sinay. • ____________, 2004. Nilai Makna dan Martabat Kebudayaan. Denpasar, Sinay. • Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya. • Hilman Hadikusumah, 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung, Alumni. • Satjipto Raharjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman­Pengalaman di Indonesia. Alumni, Bandung. • Soerjono Soekanto, 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung. • _______________, 2005. Faktor­faktor yang Mempenaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Perkuliahan XII Tutorial 6: Analisis Aturan Perundang­undangan Ada beberapa ketentuan awig­awig dan undang­undang (dulu, kini dan akan datang), yang layak dianalisis dari perspektif nilai budaya (lokal, nasional dan internasional), seperti: • Sanksi adat kasepekang (dikucilkan) yang dikenal dalam masyarakat hukum adat atau desa pakraman di Bali. • Paswara tentang perkawinan asupudung dan alangkahi karanghulu (larangan perkawinan antarkasta di Bali). • Pasal Undang­Undang No 1/1974 tentang Perkawinan, khususnya ketetuan tentang pendaftaran perkawinan, upacara perkawinan dan perceraian. • Pasal 10 KUHP tentang ketentuan pidana. • Undang­undang Pornografi di Indonesia.
Download