1 Pendahuluan Mitokondria merupakan organel yang dapat mengubah material organik menjadi energi sel berupa ATP. Energi ini oleh sel hidup kemudian digunakan sebagai bahan bakar untuk menjalankan berbagai fungsi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Mitokondria memiliki genomnya sendiri yang terdapat pada matriks mitokondria dan berbeda dari genom inti. DNA mitokondria manusia adalah molekul doubel helix yang berbentuk sirkuler, memiliki 5-10 cincin DNA yang membawa 16.569 pasang basa dengan panjang 1/300.000 dari panjang molekul DNA pada inti sel manusia. DNA mitokondria memiliki sifat unik yang berbeda dengan DNA inti, yaitu hanya diturunkan dari jalur ibu tanpa mengalami rekombinasi dari DNA mitokondria ayah. Pada genom mitokondria terdapat suatu bagian yang tidak mengkode protein apapun dan belum diketahui fungsinya, yaitu daerah D-loop. Daerah D-loop merupakan daerah non-coding DNA dan merupakan titik awal dimulainya replikasi dan transkripsi. Daerah D-loop juga merupakan daerah yang mempunyai tingkat polimorfisme yang tinggi, sehingga dapat digunakan untuk menelusuri identitas seseorang atau etnis tertentu. D-loop memiliki dua daerah yang bervariasi, yaitu Hypervariable segment I (HVSI) pada nukleotida 16024-16383 dan Hypervariable segment II (HVSII) pada nukleotida 57-372. Hasil analisis urutan daerah HVSI mtDNA manusia menunjukkan beberapa mutasi, salah satunya mutasi T16189C. Mutasi T16189C ini menghasilkan rangkaian poli sitosin (poli-C) yang menyebabkan penentuan urutan melalui direct sequencing tidak bisa lengkap karena tidak terbacanya urutan setelah rangkaian tersebut. Penelitian terdahulu telah berhasil menjawab masalah ini melalui proses kloning. Ketidakberhasilan direct sequencing dan keberhasilan sekuensing setelah kloning diduga karena adanya fenomena heteroplasmi (Siti, 2005). Peneliti sebelumnya juga telah berhasil menentukan urutan nukleotida daerah HVSI beberapa klon DNA rekombinan sampel yang memiliki rangkaian poli-C. Hasil ini membuktikan adanya heteroplasmi pada sampel tersebut berupa variasi panjang rangkaian poli-C (Dwiyanti, 2006). Heteroplasmi adalah suatu keadaan dimana di dalam sel terjadi pencampuran lebih dari satu tipe mtDNA (terdapat subpopulasi DNA). Keadaan ini disebabkan sel induk memiliki 1 mitokondria yang materi genetiknya (mtDNA) ada yang mengalami mutasi dan ada yang tidak. Ketika terjadi pembelahan sel, mtDNA ini akan didistribusikan secara acak ke sel anak, suatu proses yang disebut replicative segregation (Finnila, 2000), sehingga terdapat sel anak yang mtDNAnya adalah tipe liar semua atau mutan semua, suatu keadaan yang disebut homoplasmi, tetapi ada juga sel anak yang memiliki kedua tipe mtDNA, suatu keadaan yang disebut dengan heteroplasmi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hipotesis di atas yang menyatakan bahwa heteroplasmi merupakan penyebab tidak berhasilnya penentuan urutan daerah HVSI individu yang memiliki urutan poli-C melalui direct sequencing dan baru berhasil ketika sekuensing dilakukan setelah kloning. Untuk itu, penentuan urutan daerah HVSI yang memiliki urutan poli-C dilakukan setelah mencampurkan hasil klon DNA rekombinan yang mewakili subpopulasi yang berbeda dengan komposisi yang bervariasi. Adapun sampel klon DNA rekombinan yang digunakan adalah klon GMR1 dan GMR3. Terdapat lima tahapan metode penelitian yaitu screening klon rekombinan yang diperoleh dari penelitian sebelumnya, penyiapan templat DNA yang dilakukan dengan pemecahan dinding sel (lisis), perbanyakan DNA dengan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR), penentuan urutan fragmen 0,4 kb daerah HVSI mtDNA manusia, dan pencampuran klon DNA yang memiliki variasi panjang poli-C. Terhadap hasil PCR masingmasing klon dan hasil campuran klon DNA ini kemudian dilakukan proses sekuensing sehingga diperoleh elektroforegram dan data urutan nukleotida sampel. 2