Ali Anwar, Review Artikel STUDI KOMPARASI TENTANG PEMIKIRAN TEOLOGI HARUN NASUTION DAN NURCHOLISH MADJID: Review Terhadap Artikel Muniron Ali Anwar* Abstrak Terjadinya perbedaan pemikiran teologis ini disebabkan Harun bertolak dari kejadian di masyarakat, sementara Nurcholish bertolak dari doktrin kasb-nya Asy`ari itu sendiri. Perbedaan itu kemungkinan juga disebabkan perbedaan spesialisasi keilmuan Harun dan Nurcholish. Tampaknya Disertasi yang mereka tulis mempengaruhi pemikiran teologisnya. Harun yang menulis The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views untuk disertasinya cenderung menolak kasb-nya Asy`ari. Sementara Nurcholish yang menulis Ibn Taimiyya on Kalam and Falsafa untuk disertasinya, sebagaimana Ibn Taymiyyah yang mempunyai pendapat bahwa Allah telah menciptakan dalam diri manusia kehendak, yang dengan kehendak itu manusia mampu memilih jalan hidupnya. Berdasarkan ide dan upaya sosialisasikannya, penulis menganggap bahwa teologi yang coba dikembangkannya, masih tetap berangkat dari realitas kognitif. Oleh karena itu, orang-orang yang memasuki dunia itu juga orang-orang yang secara kognitif matang, para pelajar, dan elit. Tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa teologi yang ditawarkan juga bersifat elitis. Padahal teologi yang dibutuhkan dalam pembangunan tidak teologi yang hanya berkembang pada tataran retorika tetapi teologi yang menjawab permasalahan empiris. Pemikiran teologis yang bertolak dari realitas empiris masyarakat itu akan mempunyai peranan dalam masyarakat bila disosialisasikan tidak hanya pada masyarakat terpelajar dan elit tetapi sampai kepada masyarakat bawah. Upaya sosialisasi itu tidak hanya lewat tulisan dan lisan, tetapi juga tindakan nyata. Kata kunci: Teologi, Harun Nasution, Nurcholish Madjid Pendahuluan Dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Islam di Indonesia: Sejarah Sosial dan Intelektual Islam II pada Program Doktor IAIN * Penulis adalah Asisten Direktur I Program Pascasarjana IAIT Kediri dan Dosen di STAIN Kediri Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 1 Ali Anwar, Review Artikel (sekarang (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diampu oleh Azyumardi Azya, Muniron mengadakan penelitian dengan topik Harun Nasution dan Nurcholish Madjid: Studi Komparasi tentang Pemikiran Teologinya. Hasil penelitian itu edisi ringkasnya dalam 14 halaman dan dipresentasikan dalam Seminar Kelas. Review Artikel Muniron mengawali artikelnya dengan sedikit paparan tentang perkembangan Islam sampai zaman Orde Baru dan bagaimana umat Islam merespons modernisasi yang menjadi komitmen Orde Baru dengan mengutip pendapat beberapa penulis. Konsentrasi artikel Muniron adalah bagaimana respons teologis Harun Nasution dan Nurcholish Madjid terhadap pembangunan. Setelah mempresentasikan biografi kedua tokoh yang menjadi kajiannya, baik latar belakang kehidupan, sejarah pendidikan, dan sejarah intelektualnya, Muniron mendeskripsikan dan membandingkan pemikiran teologi kedua tokoh tersebut. Dari paparan biografi itu Muniron memahami bahwa baik Harun Nasution maupun Nurcholish Madjid merupakan tokoh pembaharu yang hidup di zaman Orde Baru, saat digulirkan ide modernisasi atau pembangunan. Oleh karena itu, maka sudah selayaknya kalau pemikiran intelektualnya senantiasa memiliki kaitan dengan problema yang muncul saat itu. Di samping itu, kedua tokoh ini selain memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup memadai, keduanya juga berlatar pendidikan Barat, di Amerika. Latar belakang ini tentu sangat berpengaruh terhadap corak pemikirannya di kemudian hari (hlm. 4-5). Menurut Muniron, bahwa respons kedua tokoh itu tampaknya didasari oleh suatu keprihatinan bahwa umat Islam Indonesia itu secara kuantitas bersifat mayoritas, tetapi secara kualitas --yang antara lain diindikasikan oleh kontribusinya dalam pembangunan-- bersifat minoritas (hlm. 4). Dengan mengajukan sebuah tesis, bahwa ada hubungan antara sikap dan perilaku seseorang dengan corak teologi yang dihayatinya, Harun berasumsi bahwa teologi rasional-Mu`tazilah akan menumbuhkan sikap dinamis, dan sebaliknya teologi tradisional-Asy`ariyah akan melahirkan sikap dan perilaku fatalistik-statis (hlm. 4 dan 6). Berangkat dari tesis tersebut, Harun mengasumsikan bahwa teologi tradisionalAsy`ariyah merupakan penyebab lambannya umat Islam Indonesia ambil bagian dalam proses modernisasi. Asumsi ini didasarkan pada dua argumen, yaitu argumen historis dan doktrinal. Secara historis, teologi Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 2 Ali Anwar, Review Artikel Asy`ariyah merupakan teologi yang dominan ketika dunia Islam sudah berada pada fase kemuundurannya, dan karena itu tidak mustahil kalau ia merupakan cerminan dari kemunduran itu. Dan kemudian dari sudut doktrinal, Harun menunjuk doktrin Asy`ariyah tentang takdir (rukun iman ke-6 bagi Asy`ariyah) yang kemudian diformulasikan ke dalam teori kasbnya, yang menurut penilaian Harun identik dengan jabariyah (hlm. 5). Secara spesifik Harun berpendapat bahwa teologi Asy`ariyah menempatkan manusia pada posisi yang sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari teori kasb-nya, yang menempatkan kekuasaan mutlak Tuhan sebagai penentu. Inilah tampaknya yang melatari mengapa Harun mengkualifikasikannya sebagai fatalisme, yang di tempat lain ia sebut dengan Teologi Kehendak Mutlak Tuhan, antitesa dari Teologi Sunnatullah (hlm. 5). Dalam hal ini Nurcholish tidak sefaham dengan Harun yang menempatkan Asy`ariyah, sebagaimana terlihat dalam kasb-nya, sebagai faham fatalistik-jabbariyah. Bagi Nurcholish, Asy`ari dengan teori kasbnya sama sekali tidak bermaksud menjadikan umat Islam fatalis sebagaimana yang dituduhkan Harun, tetapi ingin melakukan semacam sintesis dengan mengambil jalan tengah antara dua ektremis, qaddari dan jabbari. Sebagaimana dalam bidang metodologinya dia bermaksud menengahi Hanbali yang sangat naqli dengan Mu`tazilah yang sangat aqli (hlm. 10-11). Dengan tegas Nurcholish berpendapat manusia itu tetap dibebani kewajiban melakukan kasb, yaitu berusaha melakukan pekerjanaannya, meskipun sebenarnya usaha itu tidak akan berpengaruh pada hasil pekerjanaannya. Karena kewajiban usaha dan kasb ini, maka manusia bukanlah dalam keadaan tak berdaya sebagaimana pandangan kaum jabbari, tetapi karena usahanya tidak berpengaruh apa-apa pada kegiatannya, maka iapun bukanlah bebas sebagai kaum qaddari. Dan jika Allah memberi pahala pada kita, itu hanyalah karena kemurahan-Nya, bukan karena amal kebaikan kita, dan jika Dia menyiksa kita, maka itu hanyalah karena keadilan-Nya, bukan karena dosa kita (hlm. 11). Meskipun demikian, Nurcholish mengakui kalau teori kasb Asy`ari itu sebagai suatu konsep yang sangat rumit, sehingga tidak jarang menjerumuskan para pengikutnya yang lebih belakangan kepada sikap yang lebih jabbariyah, tidak ke jalan tengah seperti yang dikehendaki. Namun, di dalam kerumitan itu akan muncul hal-hal yang sesungguhnya, jika dipahami, dipedomani, dan dilaksanakan dengan baik, sehingga orientasi kepada kerja akan tetap kuat pada kebanyakan umat Islam (hlm. 11). Nurcholish bahkan menunjukkan nilai positif dari teori kasb Asy`ari, karena inheren di dalamnya sikap zuhd-sufisme. Di satu sisi, kasb Asy`ari Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 3 Ali Anwar, Review Artikel mengajarkan bahwa keselamatan itu sudah ditentukan sebelumnya, tetapi di sisi lain keselamatan ini juga menuntut adanya usaha di dunia ini, dan usaha bukan untuk kepentingan dunia semata, melainkan juga untuk mencari rizha Allah. Di sinilah Nurcholish melihat bahwa kasb itu sebenarnya mengandung nilai positif; di samping akan menumbuhkan kondisi psikologis yang positif dalam memandang kekayaan dunia, sekaligus juga akan mendatangkan keuntungan materi yang melimpah. Dengan demikian, kasb Asy`ari, bagi Nurcholish, justru memiliki dampak positif terhadap modernisasi dan pembangunan bangsa Indonesia, bukan seperti yang dituduhkan oleh Harun Nasution (hlm. 12-13). Berangkat dari analisis di atas, Harun berkesimpulan supaya modernisasi dan pembangunan berjalan lancar, maka sikap mental tradisional tersebut haruslah diganti dengan sikap-mental yang rasional. Dengan ungkapan lain, teologi tradisional-Asy`ariyah harus diganti dengan teologi rasional-Mu`tazilah, teologi yang mengantarkan umat Islam ke puncak kemajuannya Zaman Klasik. Setidaknya ada dua hal yang begitu diapresiasi oleh Harun dari teologi rasional-Mu`tazilah ini, yaitu rasionalitas dan kebebasan manusia. Kedua karakter ini, lanjut Harun, tidak saja sejalan dengan tuntutan masyarakat modern, tetapi juga sesuai dengan eksistensi manusia itu sendiri (hlm. 6). Sebagai implikasi dari pemikiran di atas, Harun menolak keberadaan taqdir dalam kapasitasnya sebagai rukun iman. Bagi Harun, penolakan itu didasarkan atas tiga argumen, pertama, tidak ada ayat al-Qur’an yang mewajibkan beriman kepada taqdir; kedua, iman kepada taqdir telah membawa dampak negatif bagi umat Islam seperti kemalasan, kebodohan, dan yang semisal dengannya; dan ketiga, menafikan karunia Tuhan yang berupa akal (hlm. 9). Sementara Nurcholish mengajukan terapinya, bukan dengan melakukan penggantian teologi Asy`ariyah dengan Mu`tazilah, melainkan cukup dengan melakukan reinterpretasi terhadap teori kasb Asy`ari secara lebih dinamis dan juga dilakukan berbagai dialog kultural untuk menyadarkan para penganut teologi Asy`ariyah akan watak dinamis dari sistem teologi, terutama kasb-nya, yang sudah dianutnya selama ini, sehingga psychological striking force (daya gerak psikologis) mereka bangkit kembali dan kemudian merefleksi ke dalam bentuk partisipasi aktif dalam proses modernisasi yang sedang dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru (hlm. 13). Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 4 Ali Anwar, Review Artikel Analisis Artikel Dari paparan di atas, penulis beranggapan bahwa Muniron hanya mendeskripsikan sedikit pemikiran teologis kedua tokoh yang dikaji tanpa memberikan penilaian secara kritis. Hal ini terlihat dengan tidak dipermasalahkannya beberapa hal, pertama tentang latar belakang perbedaan pemikiran kedua tokoh tentang kasb-nya Asy`ari; apakah itu pengaruh budaya masyarakatnya, pengaruh perjalanan pendidikannya, pengaruh spesialiasi keilmuannya, atau mungkin sebab-sebab lain, kedua bagaimana mereka mensosialisasikan dan mengaplikasikan ide-idenya, dan ketiga bagaimana ketepatan pemikiran kedua tokoh itu dalam menjawab permasalahan pembangunan. Penulis menganggap bahwa perbedaan pemikiran kedua tokoh itu adalah sebuah kewajaran, karena: Terjadinya perbedaan sudut pandang, di mana Harun bertolak dari kejadian di masyarakat, walaupun sejauh yang penulis ketahui Harun belum mengadakan penelitian khusus tentang itu, sementara Nurcholish bertolak dari doktrin kasb-nya Asy`ari1 itu sendiri. Pendapat itu didasarkan dengan pernyataan Nurcholish bahwa konsep kasb Asy`ari semestinya tidak bermaksud jabbari, tetapi karena kerumitannya sehingga tidak jarang menjerumuskan para pengikutnya yang lebih belakangan kepada sikap yang lebih jabbariyah.2 Perbedaan itu kemungkinan juga disebabkan perbedaan spesialisasi keilmuan Harun dan Nurcholish. Tampaknya Disertasi yang mereka tulis mempengaruhi pemikiran teologisnya. Harun yang menulis The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views untuk disertasinya cenderung menolak kasb-nya Asy`ari. Hal ini barangkali terpengaruh oleh Abduh yang menurut penelitiannya sebagai 1 2 Untuk teori kasb-nya Asy`ari bisa dibaca dalam karyanya Kitab al-Luma`, Ed. Richard J. McCarthy S.J., Beyrouth: Imprimerie Catholique, 1952, 71—2. Konsep ini semestinya sudah mengalami perkembangan di tangan para penerusnya, misalnya Al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazalî. Baca Mohammad `Imarah, Tayyarat al-Fikr, Kairo: Dar al-Fikr, 1991, 185; Jalal Mousa, Nasy’at al-Asy`ariyah wa Tathawuruha, Beirut: Dar al-Kitab Libnani, 1975, 317—8 dan 440—2. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992, 282—4; lihat juga dalam tulisannya “Abduhisme Pak Harun”, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: LSAF, 1989, 106. Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 5 Ali Anwar, Review Artikel seorang Mu`tazili sejati3 juga berpendapat bahwa manusia bebas untuk memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya.4 Sementara Nurcholish yang menulis Ibn Taimiyya on Kalam and Falsafa untuk disertasinya, sebagaimana Ibn Taymiyyah yang mempunyai pendapat bahwa Allah telah menciptakan dalam diri manusia kehendak, yang dengan kehendak itu manusia mampu memilih jalan hidupnya,5 Nurcolish walau mengkritik pendapat kasb Asy`ari sebagai konsep yang rumit tetapi dia berpendapat bila dipahami dengan baik akan tetap mempunyai pengaruh yang positif terhapa etos kerja penganutnya. Melihat kecenderungan itu, tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa Harun berusaha mengembangkan teologi liberal sebagai antitesis teologi tradisional, dan berakar pada teologi rasional Mu`tazilah, sementara Nurcholish berusaha mengembangkan teologi alternatif6 yang memadu antara teologi tradisional dan liberal. Sementara penolakan Harun terhadap taqdir, menurut hemat penulis masih perlu dipermasalahkan. Penulis setuju untuk mengatakan bahwa taqdir sebagai rukun iman keenam memang masih diperselisihkan. Hadits yang diriwayatkan Nabi dari Abdullah ibn Umar ibn al-Khaththab yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan Muslim, yang banyak digunakan sebagai sandaran ulama yang menganggap sebagai rukun iman dan beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang taqdir memang tidak secara jelas-jelas menyebutkan rukun. Di sana seseorang yang tidak dikenal, yang kemudian diidentifikasi Nabi dengan Jibril, hanya meminta Rasulullah untuk memberi tahu tentang iman. Walau taqdir di sana tidak bisa disebut rukun iman, tetapi penulis berpendapat ia sebagai bagian dari sesuatu yang harus diimani. Anggapan Harun bahwa iman kepada taqdir telah membawa dampak negatif bagi umat Islam seperti kemalasan, kebodohan, dan yang semisal dengannya, menurut penulis, perlu didiskusikan. Sejauh penitian penulis terhadap ayat-ayat al-Qur’an, 3 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu`tazilah, Jakarta: UI Press, 1987, 95; lihat karya Harun lainnya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press, 1985, 43. 4 Muhammad Abduh, Risalat al-Tawhîd, Kairo: Dar al-Manar, 1366 H., 64. 5 `Abd al-Salam Hasyim Hafizh, al-Imam ibn Taymiyyah, Kairo: Musthafa alHalabî, 1969, 15. 6 Dalam kasus organisasi keagamaan di Indonesia, Nurcholish mengandaikan alangkah baiknya kalau terjadi penggabungan antara kekayaan tradisi intelektual Islam yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama dengan kekayaan wawasan masa kini yang dimiliki oleh Muhammadiyah, sehingga lahirlah modernisme yang berakar para tradisi. Untuk elaborasi baca Nurcholish Madjid, “Menegakkan Ahlussunnah wal Jama`ah Baru”, dalam Haidar Baqir, Satu Islam Sebuah Dilema, Bandung: Mizan, 1986, 33—4. Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 6 Ali Anwar, Review Artikel misalnya QS. Al-Babaqarah: 148, al-An`am: 97, al-Furqan:2, al-Hijr: 21 berkesimpulan bahwa bila dikatakan Allah telah menakdirkan demikian itu mengandung arti bahwa telah memberi kadar, ukuran, batas tertentu dari diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluknya. Taqdir di sana lebih mempunyai arti ukuran, misalnya bila dingin air mencapai 0 derajat, maka ia akan menjadi es. Di samping itu, bahwa taqdir yang juga banyak dijelaskan dalam hadits, di sana menurut penulis lebih mengandung arti sebuah sebuah hasil akhir dari usaha perbuatan manusia. Bila ia banyak dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai ketentuan Allah dengan tidak bisa dijamah oleh usaha, maka berarti yang keliru adalah anggapan umat. Jadi, yang perlu dirubah adalah anggapan umat, bukan keimanan kepada taqdir yang perlu ditolak. Dalam rangka mensosialisasikan dan mengaplikasikan pemikirannya, Harun di samping menyampakaiannya pada seminar kelas yang dibimbing di IAIN Ciputat untuk program S1 dan IAIN seluruh Indonesia untuk program Pascasarjana, juga memberikan ceramah di berbagai tempat, antara lain di ruang kuliah IKIP, Unas, UI, dan IAIN Jakarta, dan juga menulis buku-buku daras untuk mahasiswa IAIN. Sementara Nurcholish berupaya mensosialisikan pemikirannya di samping lewat seminar di berbagai tempat, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai kota di Indonesia, utamanya di Yayasan Paramadina, menerbitkan makalah-makalahnya, menulis di media masa cetak ceramah di media masa elektronik, juga menerjemahkan beberapa karya penulis klasik. Berdasarkan ide dan upaya sosialisasikannya, penulis menganggap bahwa teologi yang coba dikembangkannya, utamanya sosialisasi pemikiran Harun, masih tetap berangkat dari realitas kognitif. Oleh karena itu, orang-orang yang memasuki dunia itu juga orang-orang yang secara kognitif matang, para pelajar, dan elit. Tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa teologi yang ditawarkan juga bersifat elitis. Sebagaimana teologi yang berkembang dalam Islam mulai zaman klasik yang bersifat elitis. Teologi seperti itu tidak pernah berkembang di kalangan umat, hanya ada di alam pikiran orang-orang elit saja. Penutup Berdasarkan data di atas, penulis berpendapat bahwa teologi yang dibutuhkan dalam merespons pembangunan adalah teologi yang berangkat dari realitas sosial yang dihadapi kini. Jadi, teologi yang relevan adalah yang berangkat dari kebutuhan, realitas, dan tantangan-tantangan yang dirasakan sekarang ini. Penulis menganggap bahwa teologi yang Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 7 Ali Anwar, Review Artikel dimbangkan baik oleh Mu`tazilah maupun Asy`ariyah tidak banyak menyentuh permasalahan dalam pembangunan ini, karena ia hanya membicarakan masalah akhirat, Tuhan, segala macam yang tidak dialami, dan tidak dirasakan oleh umat kini. Teologi yang tidak hanya lahir dari pengandaian-pengandaian yang kebanyakan hanya memuaskan lompatanlompatan logika saja. Sehingga kalau realitas yang banyak dirasakan masyarakat sekarang ini masalah keadilan, maka keadilan bukanlah keadilan Tuhan di akhirat nanti, tetapi keadilan yang memang menjadi tanggung jawab manusia untuk ditegakkan di dunia ini. Kalau pembangunan ini membutuhkan rasionalitas, maka tidak rasionalitas dalam pengandaian bila wahyu belum turun untuk mengetahui Tuhan dan semacamnya, tetapi betul-betul rasionalitas yang dibutuhkan untuk merencanakan, mengorganisasikan, menjalankan, dan mengevaluasi pembangunan ini. Penulis berkesimpulan bahwa teologi yang dibutuhkan dalam pembangunan tidak teologi yang hanya berkembang pada tataran retorika tetapi teologi yang menjawab permasalahan empiris. Pemikiran teologis yang bertolak dari realitas empiris masyarakat itu akan mempunyai peranan dalam masyarakat bila disosialisasikan tidak hanya pada masyarakat terpelajar dan elit tetapi sampai kepada masyarakat bawah. Upaya sosialisasi itu tidak hanya lewat tulisan dan lisan, tetapi juga tindakan nyata. Wallah A`lam bi al-Shawwab. DAFTAR PUSTAKA Abduh, Muhammad. Risalat al-Tawhid, Kairo: Dar al-Manar, 1366 H “Abduhisme Pak Harun”, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: LSAF, 1989 Baqir, Haidar. Satu Islam Sebuah Dilema, Bandung: Mizan, 1986 Hasyim Hafizh, Abd al-Salam. al-Imam ibn Taymiyyah, Kairo: Musthafa al-Halabi, 1969. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press, 1985 Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992 Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu`tazilah, Jakarta: UI Press, 1987 Tribakti, Volume 14 No.1 Januari 2005 8