BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa hukum lainnya yang juga akan dilalui manusia salah satunya yang terpenting adalah perkawinan. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita akan menimbulkan akibat lahir maupun batin antara mereka, terhadap masyarakat dan juga hubungannya dengan harta kekayaan yang diperoleh di antara mereka baik sebelum, selama maupun sesudah perkawinan berlangsung. Di Indonesia, aturan mengenai perkawinan tidak saja dipengaruhi adat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai macam ajaran agama, seperti agama Hindu, Budha, Kristen serta agama Islam. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya banyak aturan yang mengatur berbagai masalah perkawinan. Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.1 Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), maka telah ada unifikasi 1 H. Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan Ketiga, Mandar Maju, Bandung, h. 8. hukum dalam perkawinan di Indonesia. Sehingga pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga negara. Menurut ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan dirumuskan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk tercapainya tujuan perkawinan tersebut, suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya sehingga akan tercapai kesejahteraan spiritual dan material.2 Perkawinan yang telah dilangsungkan oleh suami istri selain membawa konsekuensi dalam pergaulan hidup di masyarakat juga membawa konsekuensi dalam hukum keperdataan, diantaranya adalah pengaturan mengenai harta benda suami istri, baik yang diperoleh sebelum perkawinan sebagai harta bawaan, maupun harta bersama yaitu harta yang diperoleh suami istri selama perkawinan. Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kawin. Harta bersama yang selama perkawinan itu berlangsung tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan tanpa adanya suatu persetujuan antara suami istri. Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang yang tidak bergerak suami istri itu, baik yang sudah ada 2 Ibid, h. 21. maupun yang akan ada, juga barang yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang diwariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas maka hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu dan boleh menjualnya, memindahtangankannya, dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali istri berdasarkan perjanjian kawin tidak mengurangi haknya untuk mengurus hartanya.3 Perjanjian kawin atau prenuptual agreement bukanlah hal yang popular dalam masyarakat, karena dalam masyarakat terdapat pemikiran bahwa suamiistri yang membuat perjanjian kawin dianggap tidak mencintai pasangannya sepenuh hati, karena tidak mau membagi harta yang diperolehnya. Perjanjian kawin juga sering dianggap tabu oleh masyarakat terutama bagi calon pasangan yang sebelumnya sudah memiliki kondisi finansial/bisnis yang dapat dikatakan mantap. Hal tersebutlah yang mendasari perkembangan yang terjadi di masyarakat sekarang ini, dimana banyak terjadi permasalahan yang mungkin dihadapi oleh suami atau istri terutama menjalankan kehidupan perkawinan, maka perjanjian kawin dapat dijadikan sebuah solusi tepat untuk melindungi harta masing-masing. Perjanjian kawin dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan pembuatan perjanjian tersebut harus dibuat dengan akta Notaris yang sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Jika tidak dibuat dengan akta Notaris maka perjanjian tersebut batal dan demikian pula untuk 3 Ibid, h. 113. perubahan perjanjian kawin harus juga dibuat dalam akta Notaris. Hal inilah yang mengantarkan peran Notaris sebagai pejabat publik mempunyai kedudukan yang sangat penting saat ini. Kebutuhan masyarakat akan jasa Notaris sebagai pembuat akta semakin meningkat dalam kehidupan seharihari, dikarenakan semakin banyak orang melakukan perjanjian yang dibuat secara tertulis dan dituangkan ke dalam bentuk akta notariil. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) yang menentukan : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud Undang-Undang ini”. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, dirumuskan : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa suatu perjanjian kawin dapat juga berlaku bagi pihak ketiga, setelah perjanjian kawin tersebut didaftar dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau yang lebih dikenal dengan Catatan Sipil. Namun dalam kenyataannya banyak pihak yang justru masih keliru dalam melakukan pendaftaran perjanjian kawin kepada Panitera Pengadilan Negeri, sesuai dengan ketentuan dalam Buku I Bab VII Pasal 152 KUHPerdata yang menentukan bahwa perjanjian kawin dapat berlaku setelah didaftarkan kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri atau dalam daerah hukumnya perkawinan tersebut dilangsungkan. Sehingga dalam hal ini, permasalahan tentang pendaftaran perjanjian kawin ini masih menimbulkan kesimpang-siuran atau dapat dikatakan belum jelas. Meskipun dalam ketentuan Pasal 66 UU Perkawinan telah dirumuskan bahwa : Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undangundang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pemahaman masyarakat mengenai segala sesuatunya yang berkaitan dengan perjanjian kawin khususnya pendaftaran akta perjanjian kawin yang sebagaimana telah dibuat dihadapan Notaris seringkali tidak mendapat perhatian. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai pendaftaran perjanjian kawin tidak secara lantang dirumuskan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, baik mengenai keabsahan maupun akibat hukum jika perjanjian kawin tidak didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil karena isi daripada perjanjian kawin tidak hanya mengikat suami-istri tetapi dapat juga mengikat terhadap pihak ketiga. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka hal inilah kiranya menajdi bahan kajian untuk dilakukan penelitian dan dibahas hal-hal yang berhubungan dengan pendaftaran perjanjian kawin serta akibat hukum yang timbul dari perjanjian kawin tersebut terhadap pihak ketiga yang dituangkan ke dalam bentuk skripsi dengan judul : “Kekuatan Hukum Dari Pendaftaran Perjanjian Kawin Terhadap Pihak Ketiga (Studi Pada Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dalam penulisan skripsi ini akan dikaji permasalahan yaitu : 1. Bagaimanakah kekuatan hukum dan mengikatnya perjanjian kawin terhadap pihak ketiga? 2. Bagaimanakah akibat hukumnya apabila perjanjian kawin tersebut tidak didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil terhadap pihak ketiga? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari terjadinya penguraian yang menyimpang dari pokok permasalahan di atas, maka ruang lingkup permasalahan dalam penulisan skripsi ini dibatasi yaitu yang meliputi : 1. Terhadap permasalahan yang pertama akan dibahas mengenai kekuatan hukum dan mengikatnya perjanjian kawin yang telah dibuat di hadapan Notaris terhadap pihak ketiga. 2. Terhadap permasalahan yang kedua akan dibahas mengenai akibat hukumnya apabila perjanjian kawin tersebut tidak didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil terhadap pihak ketiga. 1.4 Landasan Teoritis Landasan teoritis mengetengahkan teori, asas, ketentuan perundangundangan, maupun pendapat sarjana atau ahli yang erat hubungannya dengan pokok permasalahan yang akan dibahas atau yang dalam hal ini landasan teoritis merupakan dasar berpijak untuk membahas permasalahan. Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan isteri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Pengertian perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yaitu : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian perkawinan menurut ketentuan pasal di atas menempatkan kedudukan agama sebagai dasar pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini juga berarti bahwa suatu perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional bukan saja merupakan perikatan keperdataan tetapi juga merupakan perikatan keagamaan.4 Akibat hukum daripada adanya perkawinan berdasarkan ketentuan di dalam Bab VI KUHPerdata mengenai harta bersama menurut undang-undang dan pengurusannya adalah terjadinya campur kekayaan dari suami-istri secara 4 Ibid, h. 7. bulat. Semua kekayaan dari masing-masing suami dan istri, baik terhadap kekayaan yang dibawa pada permulaan perkawinan maupun kekayaan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, dicampur menjadi satu kekayaan milik bersama dari suami dan istri. Namun sebelum terjadinya perkawinan, antara calon suami dan istri mempunyai kesempatan untuk saling berjanji sebelumnya untuk tidak akan ada campur kekayaan secara bulat, melainkan akan ada campur kekayaan secara terbatas atau akan tidak ada sama sekali suatu campur kekayaan.5 UU Perkawinan juga telah mengatur tentang harta benda bersama dalam perkawinan, yaitu pada Bab VII Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Dalam UU Perkawinan harta benda bersama dalam perkawinan dibagi atas : 1. Harta bawaan dari suami atau istri Harta bawaan merupakan harta yang telah dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan dilangsungkan dan harta yang diperoleh oleh suami atau istri sepanjang perkawinan yang berasal dari hadiah atau warisan. 2. Harta bersama Harta bersama merupakan segala harta yang diperoleh oleh suami atau istri sepanjang perkawinan kecuali yang diperoleh karena hibah atau warisan. Maksudnya harta yang diperoleh oleh suami-istri sepanjang perkawinan berlangsung sampai terjadinya perceraian. 5 R. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Cetakan Ketujuh, Sumur Bandung, Bandung, (Selanjutnya disingkat R. Wirjono Prodjodikoro I), h. 113. Pengaturan harta dalam perkawinan ini merupakan sebuah dilema tersendiri, karena tidak jarang dari harta bersama sering menimbulkan perselisihan dalam pemakaiannya, baik yang dilakukan oleh suami maupun sebaliknya. Termasuk apabila terjadi putusnya perkawinan atau perceraian, harta bersama tidak jarang menjadi masalah yang sangat sulit dalam pembagiannya, bahkan seringkali menjadi masalah yang berlarut-larut yang tentunya akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pihak yang bercerai. Untuk menghindari hal-hal yang meresahkan tersebut, yang mungkin akan timbul di kemudian hari dalam suatu perkawinan, sebenarnya UU Perkawinan telah memberikan solusi dengan melakukan penyimpangan terhadap pembentukan harta bersama yaitu dengan jalan melakukan perjanjian kawin sebelum dilangsungkannya Prawirohamidjojo dalam perkawinan bukunya yang tersebut. Menurut Soetojo berjudul Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, alasan-alasan pembuatan perjanjian kawin yang dikutip oleh Titik Triwulan yaitu : 1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak yang lain. 2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar. 3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh (failliet), yang lain tidak tersangkut. 4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin masing-masing akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.6 Mengenai latar belakang atau alasan dibuatnya sebuah perjanjian kawin maka perjanjian kawin tidak semata-mata dibuat mengenai harta kekayaan 6 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, h. 121. saja. Perjanjian kawin dibuat oleh calon pasangan suami-istri untuk melindungi kehidupan rumah tangga yang akan mereka bina agar dapat berlangsung dengan baik. Dalam UU Perkawinan, perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan yang merumuskan : (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Perjanjian kawin ialah persetujuan antara calon suami atau istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka yang menyimpang dari persatuan harta kekayaan. Perjanjian kawin sebagai suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.7 Secara formil, perjanjian kawin merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau calon istri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut : 1. Timbulnya hubungan antara suami-istri. 7 R. Subekti, 2004, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Cetakan Keempat, Intermasa, Jakarta, (Selanjutnya disingkat R. Subekti I), h. 9. 2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan. 3. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak.8 Mengenai isi perjanjian kawin, dalam KUHPerdata terkadung asas bahwa kedua belah pihak adalah bebas dalam menentukan isi perjanjian kawin yang dibuatnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 139 KUHPerdata dimana kedua calon suami istri dapat melakukan penyimpangan dari ketentuan yang ditetapkan dalam kebersamaan harta kekayaan, asalkan tidak bertentangan dengan tata susila dan tata tertib umum. Asas kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian kawinnya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum; 2. Perjanjian kawin tidak boleh mengurangi hak-hak karena kekuasaan suami, hak-hak karena kekuasaan orang tua, hak-hak suami-istri yang hidup terlama; 3. Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan; 4. Tidak dibuat janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul utang lebih besar daripada bagiannya dalam aktiva; 5. Tidak dibuat janji-janji, bahwa harta perkawinan akan diatur oleh undangundang negara asing.9 8 Mulyadi, 1992, Hukum Perkawinan Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang, h. 41. 9 Titik Triwulan Tutik, op.cit, h. 122-123. Persoalan yang rentan timbul dalam perjanjian kawin ini adalah ketidaktahuan atau minimnya pemahaman mengenai arti penting dan pendaftaran perjanjian kawin yang telah dibuat dihadapan Notaris tersebut pada Kantor Catatan Sipil daerah setempat. Hal ini tentu saja akan menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap pihak ketiga yang dilibatkan. Jika demikian, maka perjanjian kawin yang tidak didaftarkan tersebut tetap dianggap sah namun isi perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat mengikat pihak ketiga. Dalam kaitannya dengan tidak dilakukannya pendaftaran perjanjian kawin, maka terdapat hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian. Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan yang dalam hal ini tidak didaftarkannya perjanjian kawin ke Kantor Catatan Sipil adalah sebab dari suatu kerugian, maka perlu diikuti teori adequate veroorzaking dari Von Kries. Menurut teori ini yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, yang dalam hal ini kerugian. Jadi antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung.10 1.5 Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 10 Achmad Ichsan, 1969, Hukum Perdata, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, h. 14. a. Tujuan umum 1. Untuk dapat mengetahui tentang hukum perkawinan khususnya perjanjian kawin dan eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Untuk mengetahui dan meningkatkan ilmu pengetahuan hukum khususnya dalam perjanjian kawin yang semakin komplek di dalam kehidupan masyarakat, dimana sering menimbulkan permasalahan dan akibat hukum terhadap pihak ketiga. b. Tujuan khusus 1. Untuk memahami kekuatan hukum dan mengikatnya suatu perjanjian kawin yang telah dibuat di hadapan Notaris terhadap pihak ketiga. 2. Untuk memahami lebih dalam tentang pendaftaran perjanjian kawin serta akibat hukumnya terhadap pihak ketiga. 1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Sebagai tambahan khasanah dalam ilmu pengetahuan tentang hukum perdata khususnya perjanjian kawin dan memberikan sumbangan pemikiran mengenai akibat hukum yang timbul terhadap pihak ketiga apabila perjanjian kawin tersebut tidak didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. b. Manfaat praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu pengetahuan bagi semua pihak, dimana dengan perjanjian kawin dapat terciptanya suatu keadilan dalam lingkup harta kekayaan serta dapat memberikan kepastian hukum mengenai arti penting pendaftaran perjanjian kawin pada Kantor Catatan Sipil baik bagi para pihak yang membuatnya maupun terhadap pihak ketiga. 1.7 Metode Penelitian Ada beberapa macam metode penelitian tertentu yang pada umumnya digunakan dalam setiap penulisan karya ilmiah khususnya dalam bidang hukum sesuai dengan judul yang telah ditetapkan dalam materi yang akan dibahas, sehingga akan diperoleh pemecahan dari masalah-masalah yang nantinya akan diuraikan. Dalam skripsi ini digunakan beberapa macam metode penelitian yaitu : a. Jenis penelitian Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode yuridis empiris. Hal ini dikarenakan pengambilan data dalam skripsi ini didapat dari melakukan penelitian terhadap suatu permasalahan yang ada di dalam bidang hukum perdata khususnya mengenai pendaftaran perjanjian kawin. b. Sifat penelitian Sifat penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif. Maksudnya bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan serta menganalisa peraturan perundangundangan yang berlaku mengenai bagaimana sebuah perjanjian kawin mengikat dan akibat hukumnya terhadap pihak ketiga. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.11 Menggambarkan masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut, sehingga dapat ditarik simpulan. c. Data dan sumber data Untuk menunjang pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan maka sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sumber data primer dan sekunder. 1. Data primer Data primer diperoleh dari penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara terhadap para informan ataupun responden. Wawancara dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui 11 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, h. 43. lebih mendalam tentang bagaimana sebuah perjanjian kawin mengikat dan akibat hukumnya terhadap pihak ketiga. 2. Data sekunder Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumbernya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumen dalam bentuk bahan-bahan hukum yang berupa : a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat terutama berpusat pada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu : Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam. b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang digunakan terutama yaitu pendapat ahli hukum, hasil penelitian hukum, serta hasil ilmiah dari kalangan hukum.12 12 Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 195. d. Teknik pengumpulan data Data yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini menggunakan teknik pengumpulan data yang ditempuh melalui dua cara, yaitu : 1. Teknik studi dokumen Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen, yaitu dengan jalan membaca dan menganalisa bukubuku atau literatur serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 2. Teknik wawancara (interview) Terhadap sumber data lapangan dikumpulkan dengan teknik wawancara atau interview. Interview adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik dengan melihat tanya jawab lisan dengan maksud dipublikasikan.13 Wawancara dilakukan pada Notaris, Kepala Seksi Pelayanan Akta Catatan Sipil Kota Denpasar, Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Denpasar. e. Teknik penentuan sampel penelitian Teknik penentuan sampel yang dipergunakan adalah teknik nonprobabilitas/non-random sampling. Maksud dari digunakannya teknik ini agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan 13 Kartini Kartono, 1983, Pengantar Penelitian Research Sosial, Alumni, Bandung, h. 17. penelitian, dimana semua populasi mempunyai kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk ditetapkan menjadi sampel.14 Sampel dalam penelitian skripsi yang berjudul Kekuatan Hukum Dari Pendaftaran Perjanjian Kawin Terhadap Pihak Ketiga (Studi Pada Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar) ini antara lain dilakukan di Kantor Notaris, Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar, serta di Pengadilan Negeri Denpasar. Pengambilan sampel di beberapa lokasi tersebut diharapkan dapat mewakili keadaan yang sebenarnya baik mengenai prosedur pembuatan perjanjian kawin dan pendaftaran perjanjian kawin. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka subyek-subyek yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah : a. Pejabat Kantor Catatan Sipil Kota Denpasar b. Notaris Kota Denpasar (5 sampel Notaris) c. Pejabat Pengadilan Negeri Denpasar. f. Teknik pengolahan dan analisis data Data yang diperoleh diolah dan dianalisa secara kualitatif, yaitu metode dan teknik pengumpulan datanya memakai observasi yang berperan serta dengan wawancara terbatas terhadap beberapa informan dan responden, dengan memuat catatan pertanyaan sebagai pegangan dalam wawancara, dalam lokasi yang terbatas.15 Kemudian disajikan 14 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 149. 15 Haliman Adi Kusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 99. secara deskriptif analisis, yaitu : “Dipaparkan dalam bentuk uraianuraian yang berhubungan dengan teori-teori hukum yang ada sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah”.16 16 Bambang Sunggono, op.cit, h. 134.