BAB IV KESIMPULAN Mansfield Park dan Kalau Tak Untung merupakan novel yang mengandung unsur sosial historis yang kuat, terutama menyangkut kedudukan perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki dan posisi perempuan dalam ranah domestik dan publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada awal abad ke-19 yang dikenal dengan masa kebangkitan romatis (the Romantic Revival), dan Kalau Tak Untung memperlihatkan posisi perempuan di Minangkabau pada masa penjajahan Belanda. Dapat dikatakan, kedua novel berkonsentrasi pada penceritaan mengenai masalah hidup perempuan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kehadiran tokoh perempuan yang lebih banyak dari laki-laki, dimana kedua tokoh utama dalam novel ini adalah dua orang perempuan lajang yang hidup dalam otoritas laki-laki. Berdasarkan penganalisaan yang dilakukan, Jane Austen berusaha menghadirkan sosok perempuan yang mandiri yang walaupun terpisah dari keluarganya tetap berusaha menjalani hidup dengan tetap memegang teguh prinsipnya. Fanny Price dibesarkan di Mansfield Park dimana pendar-pendar patriarki sangat kental ditandai dengan segala aturan yang dibuat oleh Sir Bertram sebagai kepala rumah tangga yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota keluarga. Struktur patriarki masyarakat melukiskan hubungan ketidaksetaraan yang jelas antara perempuan dan laki-laki, menempatkan laki-laki dalam peran dominan sementara wanita harus tetap tunduk dan sekunder sebagai kelas kedua dalam struktur gender. Dalam karyanya, Austen berusaha untuk mengkritik masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai objek penindasan ekonomi dan patriarki yang membuat perempuan seolah tidak berdaya yang hanya ditempatkan dalam ruang domestik dan rumah tangga menjadi individu bebas yang berpikir. Tokoh perempuan dalam novel Austen dengan caranya sendiri menolak dan meninggalkan keyakinan dan keinginan pribadi mereka sendiri mampu menghindari kejahatan yang lebih besar pada masanya dalam ranah domestik yaitu perasaan tidak dicintai, pernikahan pragmatis dan tindakan sukarela untuk terjun ke masa depan yang suram melalui penindasan tidak tertulis dalam masyarakat atas nama pernikahan. Hampir sama dengan Fanny, Rasmani dalam Kalau Tak Untung yang besar dalam masyarakat yang menganut sistem matrilineal yang pada dasarnya meletakkan posisi perempuan pada kedudukan yang istimewa, juga hidup dalam ketimpangan gender antara peran sosial kaum laki-laki dan perempuan. Dalam novel ini terlihat jelas adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja yang sifatnya klasik, laki-laki mencari nafkah di luar rumah, sementara perempuan mengurus rumah. Perbedaan dengan yang terjadi di Inggris dalam karya Austen adalah, bahwa perempuan di Minangkabau juga turut serta bekerja di sawah dan ladang membantu suaminya. Dalam Kalau Tak Untung Rasmani digambarkan sebagai perempuan yang tidak hanya berindak dengan perasaannya, melainkan juga logika. Rasmani yang sadar cintanya tidak bisa berbalas dengan Masrul tidak lantas hanyut dalam perasaannya. Ia malah lebih fokus pada pelajarannya dan cita-citanya untuk mengejar mimpinya akan hidup yang lebih baik. Bisa disimpulkan bahwa Rasmani tidak terlalu memikirkan urusan pernikahan sebagai bentuk penolakan idealisme patriarki yang mengharuskan perempuan untuk menikah. Walaupun dalam kedua novel masing-masing pengarang mencoba menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang mencoba melepaskan diri dari pendarpendar patriarki yang menempatkan perempuan dalam batas ranah domestik dan mengharuskan perempuan menikah, penelitian ini menemukan bahwa Fanny yang besar dalam budaya patriarki yang kental tidaklah sekuat Rasmani dalam memegang prinsipnya. Fanny yang memiliki pemikiran yang kuat tetap menjadi submissive di hadapan cinta dan laki-laki. Pada akhirnya, penerimaan Fanny atas Edmund sebagai otoritas patriarkal dalam pernikahan menyebabkan terlihat sebagai sosok yang tidak terlalu kuat dan stabil independensinya karena masih tunduknya dia pada otoritas laki-laki (Edmund), tetapi dia berhasil dalam pandangan patrarki dalam mencapai financial security melalui pernikahan. Berbeda dengan perempuan di Inggris, Rasmani yang dibesarkan dalam sistem matrilineal yang kuat tidak mengikuti perasaannya dan malah menggunakan logikanya dan tidak melihat pernikahan sebagai jalan keluar mencapai stabilitas ekonomi dan kedudukan sosial dalam masyarakat. Bisa disimpulkan bahwa pernikahan di Minangkabau tidak semata karena alasan finansial, perempuan harus menikah tetapi bukan karena kebutuhan ekonomi. Masyarakat Minangkabau yang mengikuti sistem kekerabatan matrilineal menempatkan perempuan sebagai penjaga dan pelindung harta pusaka suatu kaum. Kekuasaan terhadap harta berada di tangan mereka. Secara garis besar dapat disimpulkan jika perempuan Minangkabau menikah tidak untuk mencari harta, melainkan derajat dan keturunan. Dari seluruh pembacaan dan analisa dari novel Kalau Tak Untung, penulis menyimpulkan bahwa Rasmani cukup sukses dengan independensinya karena dia memegang teguh nilai-nilai yang diyakininya sebagai seorang perempuan sambil terus mengejar mimpi dan cita-citanya untuk menjadi sosok perempuan berguna bagi perempuan disekitarnya. Namun dalam pandangan patriarki, Rasmani merupakan sosok perempuan yang gagal dalam kehidupannya karena dalam budaya patriarki perempuan hanya bisa bahagia dan meraih stabilitas ekonomi melalui pernikahan. Dalam ranah publik melalui kedua novel ini, Austen dan Selasih memperlihatkan struktur sosial masyarakat dimana pendidikan merupakan hal yang mustahil didapat bagi perempuan. Tapi Fanny dan Rasmani mendobrak hal itu dengan belajar dan membekali hidup mereka dengan ilmu pengetahuan. Walaupun secara historis kedua tokoh hidup dalam dua waktu yang perbedaannya hampir satu abad, dalam kedua novel pembaca bisa menemukan adanya dinamika dari isu pendidikan bagi perempuan yang masih bertujuan untuk menyiapkan perempuan dalam tugas-tugas domestiknya, ke pendidikan untuk menyiapkan perempuan bekerja di sektor publik. Melalui deskripsi Rasmani yang bersekolah untuk dapat bekerja sebagai guru, tampak adanya kesadaran pada penulis untuk melawan anggapan masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk domestik. Dalam novel ini juga digambarkan bahwa Rasmani memiliki kesadaran untuk memberikan pendidikan bagi masyarakat sekitarnya yang sebagian besar masih buta huruf dan menjalankan tradisi pingitan. Pendidikan perempuan yang diikuti dengan masuknya perempuan di arena publik juga terdapat dalam novel Mansfield Park. Setelah mendapatkan banyak ilmu pengetahuan dari Edmund, Fanny menerapkannya dengan menjadi penulis. Rintisan karier Fanny sebagai penulis diawali dengan kebiasaannya dari kecil ketika Edmund sering bercerita mengenai hal-hal baru padanya. Dari pembahasan terhadap novel Kalau Tak Untung dan Mansfield Park, tampak adanya perbedaan kedua tokoh dalam menerima dan melawan sistem yang berlaku dalam masyarakat. Fanny yang besar dalam budaya patriarki di Inggris menolah bentuk subjektifitas atas dirinya melalui pernikahan yang diatur melalui perjodohan, tetapi tetap tunduk pada pernikahan dan otoritas laki-laki pada akhirnya untuk mencapai kestabilan ekonomi dan kedudukan sosial dalam masyarakat. Sebaliknya, Rasmani yang lahir dan besar dalam kebudayaan matriakat tidak melihat pernikahan sebagai bentuk mencapai kestabilan ekonomi dan kebahagiaan di dunia. Dapat disimpulkan, Rasmani memiliki independensi yang lebih kuat untuk mendobrak aturan yang menempatkan perempuan dalam ranah domestik melalui pernikahan. Dalam ranah publik keduanya bisa disimpulkan berhasil menjadi individu yang bebas berpikir dan ikut terlibat dalam masyarakat Keduanya tokoh perempuan, yang hidup dalam lingkungan sosial yang masih memegang teguh tradisi bahwa perempuan tempatnya adalah di rumah, telah mendapatkan kebebasan dengan caranya untuk memperoleh ilmu, dan mengamalkan ilmu yang diperolehnya pada lingkungannya. Dalam masyarakatnya, keduanya digambarkan telah menjadi pelopor yang berani mendobrak adat kebiasaan masyarakat yang mendomestikasikan perempuan. Bisa disimpulkan bahwa perempuan bisa terbebas dari otoritas laki-laki dan menghilangkan posisi inferior dan status sebagai warga kelas dua jika mereka mau membantah dan melawan usaha-usaha yang mendomestikan mereka. Jadi perempuan tidaklah selamanya “the other”, mereka juga bisa menjadi “somebody” dalam struktur sosial masyarakat.