BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan

advertisement
8
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan diuraikan teori yang digunakan dalam penelitian ini.
Landasan teori ini dimulai dari psikologi perkembangan remaja, body image,
konsep perilaku, perilaku konsumtif, dan pengertian high-heels sehingga dapat
menggambarkan teori yang terhubung satu dengan yang lainnya guna
mempermudah pemahaman.
2.1.Psikologi PerkembanganRemaja
Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi
sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Pengertian ini sesuai
dengan yang dikatakan Van den Daele (Hurlock, 2004 : 2) :
“Perkembangan adalah perubahan secara kualitatif, bukan sekedar
penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau
peningkatan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang,
melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang
kompleks. Perkembangan juga diartikan sebagai ”perubahan-perubahan
yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya
atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis,
progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah)
maupun psikis (rohaniah)”.
Sementara itu, Yusuf (2001) berpendapat senada, bahwa perkembangan
dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan pada diri individu atau
organisme, baik fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) menuju tingkat
kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif,
dan berkesinambungan. Mubin (2006) juga sependapat, bahwa perkembangan
adalah suatu proses perubahan pada seseorang ke arah yang lebih maju dan
lebih dewasa.
9
Pendapat-pendapat tersebut hampir senada, bahwa perkembangan
merupakan proses perubahan perilaku pada seorang individu secara teratur dan
berkelanjutan. Adapun perbedaan pendapat dari para ahli tersebut hanya pada
tahap-tahap proses perubahan atau terjadinya perubahan perilaku tersebut,
meski perubahan perilaku yang terjadi bersifat pasti terjadi atau hakiki.
Terkait hal ini, Syamsudin (2003) membagi tahap perkembangan perilaku
menjadi :
1. Perkembangan
Perilaku
Kognitif.
Dengan
menggunakan
hasil
pengukuran tes inteligensi yang mencakup General Information and
Verbal Analogies, Jones dan Conrad (dalam Loree, 1970) menunjukkan
bahwa laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai
masa
remaja,
lalu
kepesatannya
berangsur
menurun.
Puncak
perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung masa remaja
akhir. Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50 tahun, dan
setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai dengan usia 60 tahun
selanjutnya berangsur menurun.
2. Perkembangan Perilaku Afektif. Perkembangan ini meliputi aspek
emosional dari suatu perilaku yang pada umumnya selalu melibatkan
tiga variabel : a) Rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); b)
Perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu; dan c) Pola
sambutan (respon). Variabel kesatu (stimulus) dan ketiga (respon)
mungkin bisa berubah, sedangkan variabel kedua tidak mungkin
dirubah, karena terjadinya pada individu secara mekanis.
3. Perkembangan Perilaku Psikomotorik. Perkembangan ini memerlukan
adanya koordinasi fungsional antara sistem syaraf dan otot, dengan
fungsi psikis (kognitif, afektif, konatif). Dua prinsip utama dalam
perkembangan
psikomotorik
adalah,
bahwa
perkembangan
itu
10
berlangsung dari yang sederhana menuju yang kompleks, dan dari
yang kasar dan global menuju yang halus, spesifik dan terkoordinasi.
Dalam perkembangan perilaku kognitif, Piaget (dalam Syamsudin, 2003)
menjelaskan, bahwa secara kualitatif mengikuti tahap berikut : 1) Tahap SensoriMotor (0 – 2 tahun), 2) Tahap Pra Operasional (2 – 7 tahun), 3) Tahap konkretoperasional (7 – 11 tahun), dan 4) Tahap formal-operasional (11 tahun –
dewasa).
Terkait dengan fokus kajian penelitian tentang perkembangan perilaku
remaja, berdasarkan pendapat Piaget tersebut, remaja berada pada tahap formal
operasional, yang mana pada periode ini seorang remaja telah memiliki
kemampuan mengkoordinasikan, baik secara simultan maupun berurutan dua
ragam kemampuan kognitif yaitu kapasitas menggunakan hipotesis, yaitu
kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan
masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan
lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip
abstrak; serta kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, yaitu kemampuan
untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan
mendalam.
Menurut Papalia (2007), masa remaja adalah transisi perkembangan dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa yang didalamnya terdapat perubahan fisik,
kognitif,
dan
psikososial.
Sementara
Jersild
(dalam
Cahyadi,
2006)
mengungkapkan, bahwa masa remaja adalah suatu periode transisi selama
pertumbuhan seseorang dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Berdasarkan definisi-definisi tesebut, dapat disimpulkan bahwa remaja
adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa yang melibatkan
aspek fisik, kognitif, dan psiko-sosial dalam berbagai perilakunya. Seluruh
11
perubahan tersebut ada yang terjadi dengan sendirinya, ada juga yang terjadi
melalui proses pengalaman dan pembelajaran, atau dipengaruhi faktor di luar
individu remaja tersebut.
Batasan usia remaja menurut Monk (2000) adalah antara 12 – 21 tahun,
dan membaginya dalam tiga fase, yaitu : 1) Remaja awal (12 – 15 tahun), 2)
Remaja tengah (15 – 18 tahun), dan 3) Remaja akhir (18 – 21 tahun). Pada
tahapan-tahapan usia ini, menurut Agustiani (2006), terjadi transisi masa kanakkanak dan dewasa yang ditandai dengan berbagai perubahan, baik fisik maupun
psikis.
Hurlock (2004) mengatakan ciri remaja (masa remaja) adalah usia
bermasalah dan masa mencari identitas diri dimana mereka harus mempelajari
pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah
ditinggalkan. Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit
diatasi, karena sebelumnya masalah diselesaikan oleh orangtua dan guru,
sehingga kebanyakan remaja kurang berpengalaman dalam mengatasi masalah,
maka mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan
orangtua dan guru karena merasa mandiri.
Menurut Monks (2000), terdapat tiga tahap dan karakteristik proses
perkembangan yang dilalui remaja menuju kedewasaannya, yaitu :
1. Remaja awal (12 – 15 tahun). Pada tahap ini, remaja masih
merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahanperubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang
menyertai
perubahan-perubahan
tersebut.
Mereka
mulai
mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan
jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang
berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian
12
terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan
dimengerti oleh orang dewasa;
2. Remaja madya (15-18 tahun). Pada tahap ini, remaja sangat
membutuhkan teman-teman. Ada kecendrungan narsistik, yaitu
mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai temanteman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya.
Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan, karena
masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramairamai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya;
3. Remaja akhir (18-21 tahun). Tahap ini adalah masa mendekati
kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian :
a. Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orangorang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
c. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
Bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya jauh
lebih mengganggu remaja daripada anak kecil. Egosentrisme
(terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan
orang lain.
d. Tumbuh
dinding
pemisah
antara
diri
sendiri
dengan
masyarakat umum.
Dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode yang sangat
penting, karena merupakan masa peralihan yang sering menimbulkan masalah,
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang tua dan gurunya, yang disebabkan
13
oleh masa pencarian identitas dari yang bersangkutan sebagai bukti egoisme
serta kekhawatiran terhadap potensi dan kelemahan yang ada pada dirinya.
Perkembangan remaja, menurut Hill (dalam Agustiani, 2006), juga
merupakan perubahan fundamental dan universal remaja yang meliputi :
1. Perubahan biologis, yaitu menyangkut tampilan fisik (ciri-ciri
secara primer dan sekunder). Perubahan ini mengakibatkan
remaja harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya.
Perubahan fisik ini juga berpengaruh terhadap self image remaja,
dan juga menyebabkan perasaan tentang diri pun berubah..
2. Perubahan kognitif, yaitu perubahan dalam kemampuan berpikir,
yang lebih baik daripada waktu anak-anak tentang situasi secara
hipotesis, memikirkan sesuatu yang belum terjadi tetapi akan
terjadi, serta telah mampu berpikir tentang konsep-konsep yang
abstrak seperti pertemanan, demokrasi, dan moral.
3. Perubahan sosial, yaitu perubahan dalam status sosial dengan
mendapatkan peran-peran baru dan terikat pada kegiatankegiatan baru. Dalam kehidupan sosial, remaja dituntut untuk
membuat suatu pilihan dan keputusan tentang yang akan
dilakukan bila dewasa.
Terkait dengan perkembangan tersebut, Havighurst (dalam Hurlock,
2004) mengemukakan tugas perkembangan remaja, yaitu :
1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman
sebaya, baik pria maupun wanita.
2. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara
efektif.
14
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab.
5. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang
dewasa lainnya.
6. Mempersiapkan karir ekonomi.
7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan
untuk berperilaku, dan mengembangkan ideologi.
Berdasarkan uraian tersebut, pada masa ini individu mulai meninggalkan
peran sebagai anak-anak dan berusaha mengmbangkan diri sebagai individu
yang unik dan tidak bergantung pada orang tua. Sebagian remaja ada yang
mengalami perubahan peran secara drastis, menjadi dewasa lebih awal
dibandingkan dengan teman-teman sebayanya, sehingga dapat dikatakan
mengalami masa remaja yang pendek. Sebaliknya, tidak sedikit yang mengalami
masa remaja yang panjang, yaitu bila setelah melewati usia remaja masih
bergantung dan berada dibawah otoritas orangtua, sehingga dapat membuat
perkembangan remaja menuju proses kedewasaan menjadi terhambat.
Terkait dengan hal ini peran dari orang-orang sekelilingnya untuk
mengarahkan tugas perkembangan remaja sangat penting, sehingga remaja
mampu melewati masa peralihan tanpa permasalahan yang berarti, dan mampu
menginjakkan dirinya pada masa dewasa dengan lebih siap dan matang.
2.2 Body Image
Dari sejumlah uraian tentang tugas perkembangan masa remaja, dapat
dikatakan, bahwa masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan
yaitu suatu masa dimana berbagai permasalahan yang terkait dengan peralihan
15
peran anak-anak ke arah dewasa yang kadang sulit dipahami oleh orang-orang
sekelilingnya. Bahkan remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil, tidak
terkendali dan tampak irasional.
Berbagai permasalahan yang terkait dengan peralihan peran anak-anak
ke arah dewasa yang kadang sulit dipahami oleh orang-orang sekelilingnya.
Bahkan remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil, tidak terkendali dan
tampak irasional.
Piaget mengungkapkan perubahan kognitif yang dialami pada masa
remaja yang disebut formal operation, yang mana remaja tidak lagi terikat pada
realitas fisik yang konkrit dari apa yang ada, melainkan remaja mulai mampu
berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotesis dan abstrak dari realitas.
Bahkan terkait dengan perubahan sosial, remaja harus menyesuaikan diri
dengan lawan jenis dalam membentuk hubungan yang baru dan juga
menyesuaikan diri dengan orang dewasa lainnya diluar lingkungan keluarga dan
sekolah (Hurlock, 2004).
Masa remaja secara umum dimulai dengan pubertas, yaitu proses yang
mengarah kepada kematangan seksual dan kemampuan untuk bereproduksi,
termasuk
perubahan
permasalahan-permasalahan
perkembangan
tersebut.
yang
Menurut
timbul
Levine
sebagai
&
akibat
Smolak
dari
(dalam
Rey,2002), permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan pada masa
remaja awal ketika mereka mengalami pubertas sedangkan pada masa remaja
tengah dan akhir permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan
ketidakpuasan/keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimilikinya,
yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkannya dan kemudian
sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola yang
menjadi rujukan mereka (artis) yang kemudian mengakibatkan mereka menjadi
kurang percaya diri .
16
Salah satu dampak psikologis dari perubahan tubuh di masa puber yaitu,
remaja cenderung merasa cemas dengan tubuh mereka dan membentuk citra
diri mengenai bagaimana keadaan tubuh mereka. Hal ini dikenal dengan body
image, yaitu gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya,
bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang ia
pikirkan dan rasakan terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, dan bagaimana
kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Padahal sebenarnya, apa yang dia
pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan
yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang bersifat subyektif
(Honigman dan Castle, dalam de Villiers, 2006).
Dapat disimpulkan bahwa body image adalah persepsi subyektif
seseorang (kebanyakan wanita atau remaja wanita) akan penampilannya sendiri.
Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan pertama kali oleh Schilder dalam
penelitiannya The Image and Appearance of the Human Body (1935) dalam
Wikipedia (2011), bahwa body image merujuk kepada persepsi seseorang
tentang keindahan (estetis) dan daya tarik seksual dari tubuh yang dimilikinya.
Persepsi ini menurut Schilder, merupakan akibat penilaian masyarakat dari masa
ke masa tentang nilai utama kecantikan dari tubuh seseorang (wanita), sehingga
menyebabkan persepsi seseorang terhadap tubuh yang dimilikinya harus sesuai
dengan standar penilaian yang dimiliki oleh orang kebanyakan.
Sementara itu, Lightstone (1999 :1) mengemukakan “body image involves
our perception, imagination, emotions, and physical sensations of and about our
bodies”. (Body image meliputi persepsi, imajinasi, emosi, dan sensasi fisik orang
tentang tubuhnya).
Konsep body image digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti
psikologi, kedokteran, psikiatri, psikoanalisis, filosofi dan budaya, serta studi
kewanitaan. Karena itu, wajar kalau definisi dari body image tidak memiliki
17
konsensus tertentu. Terkait tentang studi kewanitaan, terdapat perbedaan
gender dalam persepsi remaja mengenai tubuh mereka.
Proses pembentukan body image yang baru pada masa remaja ke dalam
diri adalah bagian dari tugas perkembangan yang sangat penting, dan biasanya
remaja wanita mengalami penyesuaian yang lebih sulit daripada remaja pria
(Dacey dan Kenny, 2001). Bahkan menurut Gunn dan Pikoff (dalam Santrock,
2003), selama masa puberitas secara umum remaja wanita tidak begitu senang
dengan tubuh mereka dan memiliki body image yang lebih negatif dibandingkan
dengan remaja laki-laki.
Selanjutnya Gross (dalam Santrock, 2003) mengemukakan ketidakpuasan
remaja wanita pada tubuh mereka mungkin lebih disebabkan karena kadar lemak
tubuh mereka yang meningkat, sehingga menyebabkan peningkatan berat tubuh
mereka dan hal ini membuat mereka terlihat lebih gemuk. Fakta ini didukung oleh
hasil penelitian Levine dan Smolak (dalam Rey, 2002), bahwa 40 – 70 persen
remaja wanita merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian
tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, bokong, perut dan paha.
Dengan demikian, body image menurut persepsi wanita sebagai daya
tariknya terdapat pada bagian pinggul, bokong, perut, dan paha. Daya tarik fisik
inilah yang berperan penting dalam hubungan sosial, sebagaimana dikemukakan
oleh Cross dan Cross (dalam Hurlock, 2004), kecantikan dan daya tarik fisik
merupakan hal yang penting bagi remaja.
Dengan adanya daya tarik fisik bagi seorang remaja wanita, dukungan
sosial, popularitas, pemilihan calon pasangan hidup dan karir diharapkan lebih
tinggi. Remaja wanita beranggapan bahwa dengan memiliki tubuh yang ideal dan
menarik, mereka akan lebih mudah untuk terlibat dalam hubungan yang
romantis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Erickson (dalam Dacey dan Kenny,
2001), bahwa wanita dalam menilai penampilan fisik lebih mengarah kepada
18
upaya untuk menarik perhatian lawan jenis, sedangkan pria lebih memfokuskan
pada kemampuan bersaing dan kekuatan.
Remaja wanita yang memiliki body image positif akan menerima lebih
banyak ajakan berkencan dibanding yang memiliki body image negatif, karena
mereka yang merasa bahwa diri mereka cantik dan terlihat menarik di mata
orang lain akan lebih memungkinkan untuk terlibat dalam hubungan yang
romantis (de Villiers, 2006).
Dengan demikian, remaja wanita yang memiliki body image positif
biasanya cenderung memiliki self-esteem yang tinggi, sedangkan remaja yang
memiliki body image negatif cenderung memiliki self-esteem yang rendah,
sehingga mereka akan merasa kesulitan memulai hubungan yang romantis
dengan lawan jenis dibandingkan remaja yang memiliki body image positif.
Selain itu, remaja yang memiliki body image negatif, cenderung merasa ditolak
dan tidak diinginkan, sehingga bisa membawa remaja lari ke hal-hal negatif,
sebagaimana hasil penelitian Moore dan Franko (dalam Cash dan Pruzinsky,
2002) bahwa body image adalah komponen yang penting dalam hidup manusia
karena apabila terdapat gangguan pada body image dapat mengakibatkan
banyak hal, seperti perasaan minder dan tidak percaya diri, gangguan pola
makan (eating disorder), diet yang tidak sehat, anxiety, bahkan depresi.
Terkait dengan berbagai masalah yang timbul akibat persepsi terhadap
body image, beberapa definisi muncul. Meski berbeda, namun substansinya
sama, yaitu penilaian seseorang terhadap penampilan tubuh atau fisik yang
dimilikinya. Dacey dan Kenny (2001) menyatakan, bahwa body image yaitu
keyakinan seseorang akan penampilan mereka di hadapan orang lain.
Sementara Wright (dalam Santrock, 2003) mendefinisikan, body image individu
membangun citranya sendiri mengenai bagaimana kelihatannya bentuk tubuh
mereka. Adapun definisi Papalia, Olds, dan Feldman (2007), body image adalah
19
suatu gambaran dan evaluasi mengenai penampilan seseorang”. Bahkan
menurut Grogan (1999), body image adalah persepsi, pikiran dan perasaan
seseorang tentang tubuhnya.
Selain itu, Schilder (dalam Grogan, 1999) mengartikan body image
sebagai gambaran mengenai tubuh seseorang yang terbentuk dalam pikiran
individu itu sendiri, atau dengan kata lain gambaran tubuh individu menurut
individu itu sendiri, selanjutnya, Schilder (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) body
image adalah pemikiran seseorang terhadap tubuhnya terdiri dari tiga elemen,
yaitu elemen persepsi yang diidentifikasikan dengan estimasi ukuran tubuh,
elemen pikiran yang diidentifikasikan dengan evaluasi daya tarik tubuh, dan
elemen perasaan yang diidentifikasikan dengan emosi yang terkait dengan
bentuk dan ukuran tubuh.
Fisher (dalam Grogan, 1999) juga mengemukakan, bahwa body image
adalah persepsi, pikiran dan perasaan seseorang mengenai tubuhnya.
Sementara Cash (2002) mendeskripsikan body image sebagai kumpulan
kumulatif dari gambaran, fantasi dan pemahaman tentang tubuh dan bagianbagian serta fungsi-fungsinya yang merupakan komponen utuh pada gambaran
diri dan dasar dari representasi diri.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
body image adalah gambaran mental, persepsi, pikiran dan perasaan yang
dimiliki seseorang terhadap ukuran tubuh, bentuk tubuh dan berat tubuh yang
mengarah kepada penampilan fisik. Evaluasi berbicara tentang apa yang
dirasakan individu, seperti kepuasannya terhadap tubuhnya, perhatian dan
kecemasan terhadap tubuh, dan sikap berupa penilaian positif atau negatif
terhadap tubuh. Selain itu, body image juga merupakan representasi seseorang
mengenai bagaimana penampilan yang terlihat oleh orang lain, bagaimana
20
seseorang
mempersepsikan
tubuhnya
sendiri,
dan
bagaimana
individu
menggambarkan tubuhnya berdasarkan pikirannya sendiri.
Definisi lain yang lebih rinci dikemukakan oleh Cash dan Pruzinsky
(2002), bahwa body image merupakan sikap yang dimiliki seseorang terhadap
tubuhnya yang dapat berupa penilaian positif dan negatif. Kemudian Thompson,
dkk (2001) juga menyatakan Body image adalah evaluasi seseorang terhadap
ukuran tubuhnya, berat ataupun aspek tubuh lainnya yang mengarah kepada
penampilan fisik. Evaluasi dibagi menjadi tiga area, yaitu komponen persepsi,
yang secara umum mengarah kepada keakuratan dalam mempersepsi ukuran
(perkiraan terhadap ukuran tubuh); komponen subyektif yang mengarah kepada
kepuasan, perhatian, evaluasi kognitif dan kecemasan; serta komponen perilaku
yang memfokuskan kepada penghindaran individu terhadap situasi yang
mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap penampilan fisiknya sendiri.
Selanjutnya, Cash (2000) menegaskan ada lima komponen body image., yaitu :
1. Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan), yaitu penilaian
individu mengenai keseluruhan tubuh dan penampilan dirinya,
apakah menarik atau tidak menarik, memuaskan atau tidak
memuaskan terhadap penampilan secara keseluruhan.
2. Appearance Orientation (Orientasi Penampilan), yaitu perhatian
individu terhadap penampilan dirinya dan usaha yang dilakukan
untuk memperbaiki dan meningkatkan penampilan dirinya.
3. Body Areas Satisfaction (Kepuasan terhadap Bagian Tubuh), yaitu
kepuasan individu terhadap bagian tubuh secara spesifik, seperti
wajah, rambut, payudara, tubuh bagian bawah (pinggul, bokong,
kaki), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), dan keseluruhan
tubuh.
21
4. Overweight Pre-occupation (Kecemasan Menjadi Gemuk), yaitu
menggambarkan kecemasan individu terhadap kegemukan dan
kewaspadaan terhadap berat badan yang ditampilkan melalui
perilaku nyata dalam aktivitas sehari-hari seperti kecenderungan
melakukan diet untuk menurunkan berat badan dan membatasi
pola makan.
5. Self-Clasified Weight (Pengkategorisasian Ukuran Tubuh), yaitu
persepsi dan penilaian individu terhadap berat badannya, seperti
kekurangan berat badan atau kelebihan berat badan.
Lima komponen inilah yang merupakan fokus kajian dalam penelitian ini
terkait dengan body image dari remaja putri terhadap kondisi atau penampilan
fisik tubuh yang dimilikinya. Komponen ini kemudian diklasifikasikan sebagai
indikator tingkat kepuasan remaja putri terhadap penampilan fisik tubuhnya.
Hal lain yang terkait dengan penelitian tentang body image ini adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi body image, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Thompson (2001), yaitu :
1. Persepsi, yang berhubungan dengan ketepatan individu dalam
mempersepi atau memperkirakan ukuran tubuhnya. Perasaan
puas atau tidaknya seorang individu dalam menilai bagian tubuh
tertentu berhubungan dengan komponen ini.
2. Perkembangan, yaitu pengalaman di masa kecil dan remaja
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan body image-nya saat ini,
khususnya saat pertama kali menstruasi serta perkembangan
seksual sekunder yang terkait dengan kejadian penting terhadap
body image.
3. Sosiokultural, bahwa masyarakat akan menilai apa yang baik dan
apa yang tidak, tidak terkecuali dalam kecantikan. Teori feminis
22
menjelaskan
bahwa
kebanyakan
wanita
terlalu
mengidentifikasikan dirinya dengan tubuhnya, dan hal tersebut
menyebabkan mereka mengikuti sosok ideal (idola) yang ada di
masyarakat bahwa mereka akan dianggap menarik jika memiliki
tubuh yang ideal (Bergner, dkk dalam Thompson, 2001).
Sementara terkait dengan faktor sosiokultural, terdapat subfaktor lain yang
juga mempengaruhi body image seseorang, di antaranya media massa,
keluarga, dan hubungan interpersonal, sebagaimana penjelasan berikut :
1. Media massa. Tiggeman (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002)
berpendapat media massa yang ada dimana-mana memberikan
gambaran ideal mengenai fitur perempuan dan laki-laki yang dapat
mempengaruhi body image seseorang. Menurut Lakoff dan Scherr
(dalam Thompson, 2001), media massa juga memberikan pengaruh
yang besar dalam menentukan standar tubuh yang menarik.
2. Keluarga. Menurut teori social learning, orangtua merupakan model
yang penting dalam proses sosialisasi, sehingga mempengaruhi body
image anak-anaknya melalui modeling feedback, dan instruksi. Ikeda
dan Narwoski (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) menyatakan, bahwa
komentar yang dibuat orang tua dan anggota keluarga mempunyai
pengaruh yang besar dalam gambaran tubuh anak-anak.
3. Hubungan
interpersonal.
Hubungan
interpersonal
membuat
seseorang cenderung membandingkan diri dengan orang lain dan
feedback yang diterima ini mempengaruhi konsep diri termasuk
mempengaruhi bagaimana perasaan terhadap penampilan fisik.
Menurut Dunn dan Gokke (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002),
menerima feedback mengenai penampilan fisik berarti seseorang
23
mengembangkan persepsi tentang bagaimana oranglain memandang
dirinya. Keadaan tersebut dapat membuat mereka melakukan
perbandingan sosial sebagai salah satu proses pembentukan dalam
penilaian diri mengenai daya tarik fisik.
Dengan demikian, body image terbentuk dari pengalaman-pengalaman
yang dimiliki seseorang baik dari keluarga, teman, lingkungan atau media yang
mempengaruhinya untuk mempersepsikan nilai penting dari bentuk dan ukuran
tubuh. body image dianggap sebagai persepsi seseorang terhadap bentuk dan
ukuran tubuhnya, meliputi penilaian atau persepsinya tentang : pentingnya body
image terhadap penampilan sehari-hari, pentingnya body image dengan
pengaturan pola dan frekuensi makan, body index mass atau kondisi tubuhnya
sekarang (kurus atau normal, dan seterusnya).
Selain itu, terlihat bahwa remaja peduli dengan bagaimana orang lain
melihat tubuhnya, dan merupakan hal penting pada remaja karena mereka
cenderung sadar dan peka terhadap bayangan (image) mengenai bagaimana
penilaian orang lain terhadap dirinya. Oleh karena itu, remaja (wanita) sangat
memperhatikan perubahan fisik yang dialaminya, dan sangat mementingkan
penampilan fisik dan pembentukan tubuh agar mendapatkan tubuh yang ideal.
Proses pembentukan body image yang baru pada masa remaja merupakan
bagian penting dari tugas perkembangan body image seseorang, bahkan
menurut Cash dan Pruzinsky (2002), sebagai aspek penting dari perkembangan
psikososial dan interpersonal pada remaja.
Dengan memiliki tubuh yang langsing, mereka lebih percaya diri.
Meskipun demikian, sebagian wanita ada yang tidak terlalu memperhatikan
bentuk tubuhnya dan tetap percaya diri dengan bentuk tubuh yang sekarang
dimilikinya. Karena itu, body image banyak terjadi pada wanita, khususnya
24
wanita dewasa yang belum berkeluarga. Tujuannya, yaitu berusaha menarik
perhatian dari lawan jenis atau calon pasangannya. Body image yang terbentuk
yang terbentuk di kalangan wanita pada umumnya akan mempengaruhi pola dan
perilaku hidup mereka termasuk keinginan dan kebutuhannya untuk membeli
suatu produk yang sesuai dengan selera body image-nya.
2.3 Konsep Perilaku
Perilaku adalah setiap cara reaksi atau respon manusia sebagai mahluk
hidup terhadap manusia lain, atau aksi dan reaksi terhadap perangsangan dari
lingkungan. Menurut Soekidjo (1993), perilaku manusia adalah suatu aktivitas
manusia itu sendiri. Sementara menurut Kusmiyati dan Desminiarti (1990),
perilaku manusia pada hakikatnya adalah proses interaksi individu dengan
lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah makhluk hidup.
Secara operasional, perilaku dapat diartikan sebagai suatu respon
organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut.
Perilaku
juga
diartikan
sebagai
suatu
aksi-reaksi
organisme
terhadaplingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang
diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti
rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Perilaku
adalah tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan
dapat dipelajari.
Menurut Gunarsa (2000), perilaku orang ada yang terlihat dan ada juga
yang terselubung. Perilaku terlihat terbagi menjadi :
1. Perilaku yang disadari, dilakukan dengan kesadaran penuh,
tergantung dari aksi dalam otak besar.
2. Perilaku reflektoris, yaitu gerakan refleks yang dalam tahap
pertama berkaitan dengan sumsum tulang belakang dan belum
25
disadari. Kemudian tingkah laku refleks disadari, bila kesan
sudah sampai ke pusat syaraf.
3. Perilaku di luar pengaruh kehendak, yaitu tidak disadari dan
berpusat pada sumsum penyambung atau gerakan otot karena
kepekaan otot.
Sementara perilaku yang tidak mudah terlihat atau terselubungi terbagi
menjadi :
1. Kognisi, yaitu penyadaran melalui proses penginderaan terhadap
rangsang dan interpretasinya. Perilaku meliputi segala hal
berupa reaksi terhadap rangsang, menyadarinya dan memberi
arti atau belajar dan mengingat arti yang dipelajari.
2. Emosi, yaitu perasaan dan suasana di dalam diri yang
dimunculkan oleh penyadaran terhadap isi perangsangan.
3. Konasi, yaitu pemikiran, pengambilan keputusan untuk memilih
sesuatu bentuk perilaku.
4. Penginderaan, yaitu penyampaian atau pengantaran pesan
(rangsangan).
Perilaku seseorang terhadap sesuatu obyek (inovasi) yang baru tidak
terlepas dari tahapan orang tersebut menyadari, menilai dan memutuskan untuk
berperilaku tertentu. Menurut Rogers (1994), sebelum orang mengadopsi
perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni :
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam
arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.
26
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik-tidaknya stimulus bagi
dirinya), yang menunjukkan bahwa sikap responden sudah baik.
4. Trial, orang telah mulaim encoba perilaku baru.
5. Adoption,
subjek
telah
berperilaku
baru
sesuai
dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Terkait dengan hal tersebut, suatu perilaku memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Perilaku adalah perkataan dan perbuatan individu. Jadi apa yang
dikatakan dan dilakukan oleh seseorang merupakan karakteristik dari
perilakunya.
2. Perilaku mempunyai satu atau lebih dimensi yang dapat diukur, yaitu :
frekuensi, durasi, dan intensitas.
3. Perilaku dapat diobservasi, dijelaskan, dan direkam oleh orang lain atau
orang yang terlibat dalam perilaku tersebut.
4. Perilaku mempengaruhi lingkungan, lingkungan fisik atau social
5. Perilaku dipengaruhi lingkungan
6. Perilaku bisa tampak atau tidak tampak.
Dengan demikian, perilaku atau aktivitas pada individu atau organisme
tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima
oleh organisme yang bersangkutan, baik stimulus eksternal maupun stimulus
internal. Perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, dan juga
dapat
mempengaruhi
lingkungan,
dan
sebaliknya,
lingkungan
dapat
mempengaruhi individu. Perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara
seseorang individu dengan lingkungannya.
27
Berdasarkan uraian tersebut, secara garis besar, perilaku manusia
diakibatkan oleh : 1) genetika (keturunan); 2) sikap, yaitu suatu ukuran tingkat
kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu; 3) norma sosial dalam bentuk
tekanan sosial; dan 4) kontrol perilaku pribadi, yaitu kepercayaan seseorang
mengenai sulit-tidaknya melakukan suatu perilaku.
2.4 Perilaku Konsumtif
Terkait dengan konsep perilaku seseorang dalam bermasyarakat dengan
orang lain (konsumen) dan lingkungannya, maka dalam suatu organisasi pun
kedudukan konsumen semakin penting, terutama kedudukannya dalam suatu
organisasi. Biasanya konsumen menunjukkan perilaku menuntut tidak hanya
sebatas terpenuhi kebutuhannya, tetapi juga keinginannya.
Perilaku konsumen tersebut merupakan suatu tindakan individu-individu
untuk mendapatkan, mengkonsumsi produk, jasa, ide dan pengalaman. Tuntuan
dan tindakan seperti inilah yang merupakan perilaku konsumtif yang dilakukan
seseorang terhadap suatu obyek yang ada di sekelilingnya (Engel, dkk 1994).
Menurut Soegitodalam Parma (2007), perilaku konsumtif masyarakat
Indonesia tergolong berlebihan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa di Asia
Tenggara. Keadaan ini dilihat dari rendahnya tingkat tabungan masyarakat
Indonesia dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Philipina dan Singapura.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia lebih senang mengunakan
uang untuk memenuhi kebutuhan yang tidak penting dengan berperilaku
konsumtif atau hidup dalam dunia konsumerisme yang menjadi syarat mutlak
untuk kelangsungan status dan gaya hidup.
Dalam menentukan seseorang orang konsumtif dan tidak, kita harus
melihat nilai investasi didalamnya. Seorang peragawati atau bintang film yang
membeli dan menggunakan high-heels yang mahal tidak bisa dikatakan
28
konsumtif karena dia bekerja dengan sepatu high-heels tersebut,.sedangkan
seorang mahasiswi yang membeli dan menggunakan high-heels yang sama,
harus kita golongkan sebagai tingkah laku yang semata-mata konsumtif.
Hidup dalam dunia konsumerisme tidak pandang umur, jenis kelamin
ataupun status sosial. Remaja merupakan salah satu contoh yang paling banyak
terkena dampak konsumerisme atau mudah terpengaruh gaya hidup konsumtif,
sebagaimana pendapat Loudon dan Bitta (1993 : 149), bahwa “remaja adalah
kelompok yang berorientasi konsumtif karena remaja suka mencoba hal-hal yang
baru, tidak realistik dan cenderung boros”. Penyebab lain, lingkungan pergaulan
remaja punya banyak pengaruh terhadap minat, sikap, pembicaraan, penampilan
dan perilaku lebih besar dibandingkan keluarga(Hurlock 2004). Temuan dari
Meilaratri (2004 : 19-28) dalam Parma (2007), “remaja sadar dukungan sosial
dipengaruhi penampilan yang menarik berdasarkan apa yang dikenakan dan
dimiliki, sehingga tidak mengherankan bila pembelian kosmetik dan pembelian
terhadap pakaian dan aksesoris pada awal masa remaja dianggap penting”.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif
adalah perilaku membeli dan menggunakan secara berlebihan dan tidak rasional
tanpa mementingkan kebutuhan.Perilaku konsumtif tidak mengenal jenis kelamin
dan umur, karena remaja termasuk kelompok yang berperilaku konsumtif.
Remaja
melakukan
pembelian
secara
berlebihan
tanpa
memperhatikan
kebutuhan dan kegunaannya melainkan untuk bisa diterima oleh lingkungannya,
menaikkan prestise, dan untuk tampil beda dari lingkungannya.
Perubahan
pola
hidup
remaja
dalam
melakukan
pembelian
dan
penggunaan atribut-atribut yang dapat diterima oleh lingkungannya menjadi
sangat menonjol.Media telah menempatkan remaja sebagai salah satu kelompok
sasaran yang strategis sebagai konsumen media.Media memang memiliki peran
yang sangat besar dalam membentuk perilaku konsumtif.
29
Pola hidup konsumtif dalam pembelian dan penggunaan atribut yang
dibutuhkan bila tidak diiringi dengan konsep dan perilaku diri yang matang
akhirnya membawa ke pola perilaku konsumtif remaja dan akan terus mengakar
dalam gaya hidup remaja. Menurut Fromm (1955), Perilaku konsumtifdapat
berakibat consumption hungry yaitu
adalah keinginan untuk mengkonsumsi
sesuatu secara berlebihan demi memenuhi rasa puas yang dapat membuat
seseorang menjadi konsumtif.
Uraian di atas menunjukkan bahwa perilaku konsumtif remaja putri dalam
pembelian dan penggunaan atribut remaja semakin meningkat, karena remaja
berorientasi terhadap diri sendiri sehingga mengalami krisis percaya diri atau
konsep diri negatif, bila dilihat secara psikologis remaja dalam keadaan labil dan
mudah terpengaruh dalam perilaku konsumtifnya.
“Pada umumnya remaja putri berperilaku konsumtif berkaitan dengan
produk yang berwujud mode, fashion, asesoris atau style popular. Sifat remaja
yang mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, iklan, romantis, impulsif, tidak
dapat berpikir hemat, dan berpikir kurang realistis dapat membawa remaja pada
perilaku konsumtif“(Lina dan Rosyid, 1997 : 6).
Perilaku konsumtif pada remaja putri, menurut
Parma (2007), adalah
tindakan yang terlihat secara nyata dalam mendapatkan, mengkonsumsi
(menggunakan), dan menghabiskan barang hasil industri dan jasa tanpa batas
dan lepas kendali yang ditandai dengan kehidupan mewah dan berlebihan.
Perilaku konsumtif ini, menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) dalam Sari
(2009), dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut :
1. Kebudayaan, sebagai bentuk kreativitas dari satu generasi ke
generasi berikutnya akan membentuk perilaku yang mengakar;
2. Kelas sosial, tingkat seseorang dalam berinteraksi sosial akan
mempengaruhi bentuk perilakunya;
30
3. Kelompok referensi, yaitu kelompok yang sangat mempengaruhi
perilaku seseorang;
4. Situasi, berupa suasana hati dan kondisi seseorang akan
mempengaruhi bentuk perilakunya;
5. Keluarga, berbentuk keyakinan dan kebiasaan yang berfungsi
langsung menetapkan keputusan perilaku untuk membeli atau
menggunakan produk atau jasa tertentu;
6. Kepribadian, yaitu bentuk sifat-sifat yang terdapat dalam diri
individu yang mempengaruhi keputusan untuk berperilaku;
7. Konsep diri, yaitu persepsi dan perilaku seseorang untuk membeli
(dan menggunakan produk/jasa tertentu);
8. Motivasi, yang mendorong seseorang untuk membeli (dan
menggunakan) suatu produk;
9. Pengalaman belajar, yaitu tindakan pengamatan dan pelajaran
dari stimulus berupa informasi untuk melakukan pembelian
(penggunaan);
10. Gaya hidup, yaitu pola rutinitas kehidupan dan aktivitas seseorang
dalam menggunakan waktu dan uang.
Dalam penelitian ini digunakan indikator perilaku konsumtif berdasarkan ciri
perilaku konsumtif menurut Erich Fromm (1955) yaitu:
1. Pemenuhan keinginan (wants)
“It relieves anxiety, because what one has cannot be taken
away; but it is also acquires one to consume even more, because
previous consumption soon losses its satisfactory character”
(Fromm. 1955 : 36)
Rasa puas pada manusia tidak berhenti pada satu titik saja
melainkan selalu meningkat. Oleh karena itu dalam pengkonsumsian
31
suatu hal, manusia selalu ingin lebih, untuk memenuhi rasa puasnya,
walaupun sebenarnya tidakada kebutuhan akan barang tersebut.
2. Barangdiluar jangkauan
“Acquisition ---> transitory having and using – throwing away
(or if possible, profitable exchange for a better mode) --- > new
acquisition =, constitutes the vicious” (Fromm. 1955 : 122)
Jika manusia menjadi konsumtif, tindakan konsumsinya
menjadi kompulsif dan tidak rasional.Ia selalu merasa “belum
lengkap” dan mencari-cari kepuasan akhir dengan mendapatkan
barang-barang baru. Ia tidak lagi melihat pada kebutuhan dirinya dan
kegunaan barang itu bagi dirinya.
3. Barang tidak produktif
“…regard to many things, there is not even the pretense of
use we acquire them to “have: them. We are satisfied with
useless possession” (Fromm. 1955:121)
Jika pengkonsumsian barang menjadi berlebihan maka
kegunaan konsumsi menjadi tidak jelas.
4. Status
Perilaku individu bisa digolongkan sebagai konsumtif jika ia
memiliki barang-barang lebih karena pertimbangkan status. Manusia
mendapatkan barang-barang untuk memilikinya. Tindakan konsumsi
itu sendiri tidak lagi merupakan pengalaman yang berarti, manusiawi
dan produktif karena hanya merupakan pengalaman “pemuasan
angan-angan” untuk mencapai sesuatu (status) melalui barang atau
kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kebutuhan dirinya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka selain faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku konsumtif juga terdapat indikator-indikator yang merujuk
ke arah perilaku tersebut.
32
2.5
Pengertian High-Heels
High-heels adalah istilah yang digunakan pada sepatu yang berhak tinggi.
Bagi sebagian kaum hawa, menggunakan high-heels bisa meningkatkan rasa
percaya diri, khususnya bagi mereka yang selalu ingin tampil anggun dan yang
memiliki postur tubuh tidak terlalu tinggi. Menggunakan high-heels seolah
menjadi faktor wajib untuk mempercantik penampilan. Sepatu tidak hanya
berfungsi untuk melindungi kaki, akan tetapi juga dirancang untuk kebutuhan
trend mode. Wanita seolah tidak bisa dipisahkan dari high-heels, malah sudah
berlangsung sejak dulu high-heels menjadi must-have items wanita yang ingin
terlihat stylish. Dengan high-heels bisa membuat kaki tampak jenjang, bokong
seksi, kita pun terlihat lebih tinggi. Mengenakannya bersama busana yang tepat
akan membuat seseorang jadi lebih sedap dipandang.
Pada awalnya, sepatu dibuat datar saja, karena cara jalan yang benar
menuntut tumit menjejak tanah lebih dulu daripada jari kaki, namun desain awal
tumit sepatu ini cepat usang, sehingga desainer sepatu kemudian memperkuat
sepatu
dengan
menciptakan
sepatu
berhak.
Seiring
dengan
semakin
berkembangnya fashion, hak sepatu bertambah tinggi, bahkan mencapai tinggi
yang sulit dibayangkan sekarang ini.
Menurut Dewi (2010), sepatu mungkin tidak bisa dilepaskan dari
lingkaran fashion wanita, tapi perlu diketahui bahwa flat shoes (hak sepatu) sama
bahayanya dengan high-heels. Meskipun tampak lebih nyaman saat digunakan
dan aksesoris yang bagus dalam fashion wanita sesungguhnya flat shoes dapat
menyebabkan sakit pada kaki, seperti bengkak pada ibu jari kaki hingga
menyebabkan peradangan, nyeri pada punggung belakang dan juga berisiko
mengalami arthritis atau radang sendi.
33
Menurrut seorang konsultan bedah Ortope
edik, Mike O’Neil,
O
seseo
orang yang
m
mengenaka
un high-heells dalam jan
ngka waktu lama atau
n sepatu teplek ataupu
l
lebih
dari en
nam bulan berisiko
b
menimbulkan be
erbagai massalah keseha
atan tubuh.
F
Flat
shoes yang memiliki pijakan kaki datar, bisa berbahaya karena
a pemakai
s
sepatu
teple
ek ini cenderrung berjalan
n dengan ca
ara menyere
et langkahny
ya, padahal
i berbahayya karena dapat
ini
d
memp
perburuk pos
stur tubuh. Sepatu teplek ini juga
d
dapat
melon
nggarkan tu
ulang sendi dan urat daging
d
dan menyebabkkan radang
s
sendi
pada tempurung
t
lutut.
Semen
ntara itu, high-heels berbahaya karena
k
pema
akainya ren
ntan terkilir
y
yang
bahka
an bisa me
enyebabkan
n patah tulang kaki. High-heels juga bisa
m
menyebabka
an bengkakk pada ibu jari kaki karena beban tubuh bertu
umpu pada
u
ujung
kaki, nyeri lutut, nyeri
n
punggu
ung, dan be
eberapa efekk buruk lainn
nya. Meski
d
demikian,
banyak wanitta yang menggilai high-heelskarena bisa mem
mbuat betis
t
tampak
kenccang, seksi dan
d pelengkkap akeseso
oris dalam urrusan fashio
on wanita.
. Terkkait dengan hal ini, O’Neil menya
arankan ting
ggi tumit se
epatu ideal
a
adalah
sekittar 1 inchi attau 2,5 cm, sebagaiman
s
a gambar be
erikut :
G
Gambar 2.1.
Perb
bandingan Effek Pengguna
aan High-heels Shoes den
ngan Flat Sho
oes
Sumberr : Dewi (2010
0)
34
Terkait dengan hal ini pula, Akhwat (2011), memberikan gambaran
secara medis tentang high-heels, yaitu :
1. Memakai high-heels berarti memberi tekanan pada jari-jari kaki
yang
menjadi
tumpuan
tubuh.
Dalam
waktu
lama
akan
menimbulkan kelelahan, pegal dan nyeri pada daerah kaki dan
betis.
2. Penggunaan high-heels dalam waktu lama dan terus menerus
dapat menimbulkan kerusakan bentuk anatomi kaki.
3. Beberapa kelainan bisa muncul seperti neurona morton, yang
merupakan tumor jinak yang menimbulkan rasa nyeri akibat
penebalan jaringan yang biasa terjadi antara jari ke-3 dan ke-4.
4. Timbul Haglund’s deformity yang merupakan pembesaran tulang
di daerah tumit belakang dan menyebabkan nyeri yang dirasakan
pada pertemuan antara tendon achilles dan tumit belakang.
5. Dapat
mengalami
pemendekan
dan
penebalan tendon
achilles yang juga dapat menimbulkan rasa nyeri.
6. Dapat
menyebabkan
nyeri
punggung
karena
saat
menggunakan high-heels, posisi tubuh kita tidak dalam posisi
yang sesuai dengan allignment tubuh yang seharusnya.
Menurut Firdawati (2010), berdasarkan hasil polling terhadap 3000 wanita
terkait dampak pemakaian high-heels dalam keseharian mereka, menunjukkan,
bahwa meski 89% pemakai hak tinggi mengaku bahwa alas kaki tak nyaman
tersebut seringkali mengganggu aktivitas, namun 6 dari 10 wanita memutuskan
akan tetap mengenakan high-heels demi mendapatkan pujian “cantik” dari
sekitarnya. Seperlima partisipan (18-65 tahun) mengaku sangat terobsesi
dengan high-heels, sehingga seringkali mereka cenderung mengabaikan cedera
35
pergelangan kaki yang dialami. Tragisnya lagi, sepertiga dari mereka bahkan
pernah mengalami patah gigi atau pinggang retak karena jatuh dengan muka
terbentur lantai akibat terpeleset saat mengenakan high-heels. Bahkan, hanya 2
persen wanita saja yang didapati tak mengenakan high-heels sama sekali.
Lisa McCarten selaku spesialis kenyamanan sepatu dari Hotter Shoes
mengatakan, membeli sepatu memang memerlukan usaha ekstra, sebab para
wanita masa kini cenderung membeli sepatu yang membuat mereka tampak
cantik, sementara kenyamanan dan kesehatan menjadi nomor dua. Menurut
Kelly (2009), para ahli telah menemukan beberapa masalah yang bisa terjadi
akibat pemakaian high-heels. Namun, bukan berarti high-heels benar-benar
terlarang. Selanjutnya, khususnya remaja putri diharapkan mengetahui beberapa
batasan pembelian, penggunaan, dan relaksasi high-heels yang memenuhi
kriteria kesehatan dan kenyamanan tubuh, di antaranya :
1. Tinggi hak. Tinggi hak sepatu high heels yang masih bisa ditoleransi
adalah 6 – 7,5 cm, tidak lebih dari 9 cm. Tinggi hak datar yang dianjurkan
adalah 1,5 – 2 cm.
2. Bentuk hak. Hindari sepatu yang ujung depannya runcing. Carilah sepatu
yang memiliki bantalan di ujung depan, sehingga bisa meredam tekanan
pada jari dan ball of the foot. Untuk hak belakang, pilih yang tebal, tidak
runcing dan tipis
3. Bahan dari kulit.
4. Cara berjalan. Saat berjalan dengan high-heels tariklah perut ke dalam,
agar langkah ringandan
tumit harus dalam keadaan vertikal saat
berjalan.
5. Relaksasi. Memijat atau melakukan pedicure sederhana.
36
2.6 Kerangka Berfikir
Salah satu masalah mahasiswi yang masih tergolong remaja dalam
menjalankan tugas perkembangan adalah ketidakpuasan/keprihatian terhadap
fisik yang dimilikinya (Rey,2002) dan selama masa puberitas secara umum
remaja wanita tidak begitu senang dengan tubuh mereka dan memiliki body
image yang lebih negatif dibandingkan dengan remaja laki-laki. Levine dan
Smolak (dalam Rey, 2002) mengatakan bahwa 40-70 persen remaja wanita
merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya
pada bagian pinggul, bokong, perut dan paha’. Asumsi peneliti dengan
ketidakpuasan remaja putri tersebut, timbul usaha dalam memperbaiki
penampilan/body image-nya. Dugaan peneliti tindakan memperbaiki penampilan
adalah membeli dan menggunakan high-heels. Asumsi peneliti body image
mahasiswi memiliki hubungan signifikan terhadap perilaku konsumtif terkait highheels.
Body Image (X)
r
Appearance Evaluation (x1)
Appearance Orientation(x2)
Body Areas Satisfaction (x3)
Overweight Pre-occupational (x4)
Selc Clasified Weight (x5)
Perilaku Konsumtif (Y)
Pemenuhan keinginan (y1)
Barang Diluar Jangkauan (y2)
Barang Tidak Produktif (y3)
Status (y4)
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir
Sumber:Peneliti
2.7 Hipotesis
H0 : ρ = 0
:Tidak terdapat hubungan antara body image dengan
perilaku konsumtif terkait high-heels padamahasiswi.
Ha : ρ ≠ 0
:Terdapat hubungan antara body image dengan
perilaku konsumtif terkait high-heelspada mahasiswi.
Download