1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dari penjelasan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Mulyowijono, S.H, dari sebanyak 526
orang nara pidana (napi) yang ada di seluruh DIY, terdapat 234 orang napi di
antaranya merupakan napi napza (Mimbar Legislatif: 2003: 32). Ini berarti
bahwa hampir separuh penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang ada di
seluruh DIY, para terpidana kasus napza.
Sementara jumlah pelajar dan mahasiswa di Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terkena kasus napza terus meningkat dari tahun ke tahun.
Mereka yang terkena rata-rata umurnya antara 11 hingga 21 tahun. Hal ini
memprihatinkan karena tahun 2003, DIY menempati urutan ke 8 secara
nasional, sehingga perlu keterlibatan semua pihak dalam penanganan kasus
napza.(Kompas, 12-5-2004)
Sebanyak 245 kasus narkoba yang ditangani
Poltabes Kota Yogyakarta, 127 kasus diantaranya adalah mahasiswa dan
pelajar. Jumlah total pengguna narkoba di DIY meningkat justru disaat angka
pengguna narkoba secara nasional menurun lebih dari 50 % pada tahun 2002.
Peningkatan secara mencolok ini terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Pada tahun 1999, jumlah mahasiswa dan pelajar yang terlibat hanya 51 kasus,
tahun berikutnya meningkat 70 %, meski pada tahun 2001 sempat mengalami
penurunan dan kembali meningkat 43 %. Hingga bulan Maret 2004, Poltabes
1
Kota Yogyakarta telah menangani 21 mahasiswa yang terkena kasus narkoba
(www.pemda-diy.go.id)
Dengan latar belakang seperti itu, maka perlu dikaji lebih jauh upayaupaya yang dilakukan terutama dalam penyembuhan penyalahgunaan napza,
termasuk yang dilakukan Panti Rehabilitasi Ketergantungan Narkoba di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Salah satu tempat penyembuhan ketergantungan napza di Daerah
Istimewa Yogyakarta yaitu Panti Rehabilitasi Ketergantungan Napza Dinas
Sosial Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berada di Kalasan Sleman.
Panti ini merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, yang pengelolaannya ditangani Badan Narkotika
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melibatkan beberapa instansi
seperti Dinas Sosial, Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Rumah Sakit
Ghrasia, Dinas Ketenteraman dan Ketertiban Umum, Fakultas Psikologi UGM
dan beberapa instansi lainnya. Tujuan dirikannya Panti Rehabilitasi ini untuk
membantu korban dalam mengatasai masalah sosial yang diderita klien dan
keluarganya agar dapat hidup secara wajar dan tidak tergantung pada narkoba.
(Sri Astiwi, 13-7)
Kondisi para klien ketergantungan napza yang dirawat di memang
bervariasi, ada yang masih tahap awal dan ada pula yang sudah
memprihatinkan dengan ketergantungan yang tinggi. Menurut Pasal 1, UU
No. 22/1997, ketergantungan narkotika / psikotropika adalah : "Gejala
2
dorongan untuk menggunakan narkotika (atau psikotropika) secara terus
menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan."
Kalau orang ketergantungan obat, sukar bahkan tak mungkin lepas
tanpa bantuan dari luar. Ketergantungan itu bisa bersifat ketergantungan fisik
atau ketergantungan psikologis/emosional. Dasar ketergantungan fisik adalah
neurologik. Interaksi antara pusat-pusat penerima obat dalam otak dengan
“narkoba” dapat melahirkan keterikatan antara obat dengan sel-sel syaraf dan
menimbulkan perilaku ketergantungan (Wiratna: 20 April 2000: hal 2).Ada
pula yang dalam kondisi membahayakan orang lain yang belum dikenal,
karena apabila sedang ketagihan dapat melakukan apa saja termasuk memukul
dan mengancam orang lain.
Saat ini jumlah klien yang mengikuti rehabilitasi di Panti sebanyak 15
orang, yang berasal dari seluruh Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sedangkan Petugas Sosial yang ada di Panti Rehabilitasi sebanyak 5 orang
yang mendapat pelatihan di Badan Narkotika Nasional serta mendapatkan
pengawasan dari Tim yang merupakan gabungan dari berbagai unsur instansi
di Propinsi Daerah Istimewa Yoogyakarta.
Panti Rehabilitasi selain membantu menyembuhkan ketergantungan
klien pada napza, juga memutus penyediaan napza pada klien dengan
penanganan di panti, sehingga menghambat pemenuhan napza dari lingkungan
pengguna lainnya. Dengan penanganan klien di panti, diharapkan dapat
membantu mengurangi pemakaian napza karena terputusnya suplay dari
3
pemasok, serta menghindarkan dari pengembangan bagi pemakai baru. Dalam
kelompok pemakai napza dikembangkan survival system, yaitu semacam
aturan kelompok yang mengandung sistim reproduksi dengan mewajibkan
anggota kelompok untuk mencari pengguna-pengguna baru, sehingga tidak
kehilangan jalur pemasok napza yang dibutuhkan (Sunyoto Usman, 2004: 142143)
Namun demikian meskipun korban penyalahgunaan Napza mengikuti
program rehabilitasi di Panti Rehabilitasi, tingkat kesembuhan masih rendah.
Hal ini disebabkan karena ketergantungan terhadap Napza, juga disebabkan
karena masih rendahnya motivasi peserta rehabilitasi untuk menghilangkan
ketergantungan terhadap Napza. Dengan demikian maka letak permasalahan
lebih pada rendahnya motivasi korban untuk sembuh dari ketergantungan pada
Napza. Upaya melakukan rehabilitasi yang dilakukan di Panti selain untuk
menghilangkan ketergantungan klien pada napza juga bermaksud membatasi
penggunaan napza di kalangan pemakai baru.
1.2. Perumusan Masalah
Program rehabilitasi ketergantungan napza banyak dilakukan di
berbagai tempat, namun masih banyak peserta rehabilitasi yang tidak mengikuti
sampai dinyatakan sembuh dari ketergantungan terhadap napza. Sebagai
konsekuensinya, maka penyelenggaraan rehabilitasi harus berusaha untuk dapat
melaksanakan program hingga peserta dapat mengikuti proses rehabilitasi.
4
Dalam upaya mempertahankan penyelenggaraan program rehabilitasi,
peserta diupayakan untuk :
Bagaimanakah petugas menumbuhkan motivasi klien untuk mengikuti program
rehabilitasi di Panti Rehabilitasi Pamardi Putera?
Motivasi apa saja yang perlu ditumbuhkan dalam proram rehabilitasi korban di
Panti Rehabilitasi Napza ?
Bagaimana dorongan motivasi peserta rehabilitasi terhadap keikutsertaan
mengikuti program rehabilitasi di Panti Rehabilitasi
3. Tujuan Penelitian:
Untuk mendapatkan gambaran mengenai Peranan Petugas Sosial dalam
memberikan motivasi kepada klien di Panti Rehabilitas Pamardi Putera dalam
penyembuhan ketergantungan pada napza di Daerah Istimewa Yogyakarta
Untuk mengetahui motivasi klien dalam mengikuti program rehabilitas di Panti
Rehabilitasi Pamardi Putera.
4. Manfaat Penelitian
-
Dapat mengungkap peranan Petugas Sosial dalam memberikan motivasi klien
dalam upaya rehabilitasi ketergantungan napza di Panti Rehabilitasi Pamardi
Putera
-
Dapat mengetahui motivasi klien mengikuti program rehabilitasi, sehingga
dapat dilakukan perbaikan dan peningkatan penanganan ketergantungan napza.
5
5. Tinjauan Pustaka
Menurut Dadang Hawari, pemakai Napza dapat dikategorikan dalam
kelompok. Ketergantungan pada Napza merupakan korban dari pergaulan,
sehingga korban ketergantungan perlu mendapatkan perawatan dan rehabilitasi,
bukan hukuman. Sementara dari segi kesehatan, korban ketergantungan adalah
pasien, sehingga perlu memperoleh terapi.
Secara umum korban ketergantungan dapat dikategorikan dalam 3
(tiga) kelompok yaitu:
Pertama, kelompok yang ketergantungannya sangat tinggi, sehingga
mengalami gangguan kejiwaan, kecemasan dan depresi, yang umumnya dialami
orang yang kepribadiannya tidak stabil. Sedangkan kelompok kedua kelompok
yang mengalami ketergantungan simtomatis, yaitu kelompok yang berkepribadian
anti sosil (psikopatik). Kelompok ini menggunakan napza untuk kesenangan
semata. Kelompok ini tidak hanya menggunakan untuk dirinya sendiri, tetapi juga
menularkannya kepada orang lain yang belum menggunakan.
Sedangkan kelompok ketiga yang mengalami ketergantungan reaktif,
yaitu dialami para pemakai yang terdorong rasa ingin tahu, karena pengaruh
lingkungan dan tekanan kelompok pergaulannya. Para penederita ini memerlukan
rahabilitasi dan perawatan, agar dapat melepaskan dirinya dari ketergantungan
pada napza.
6
Sementara itu menurut Nugroho Djajusman, pada umumnya orang
memakai napza untuk memperoleh kegembiraan yang berlebihan dan tidak
mengenal lelah. Namun efek yang ditimbulkan dapat berakibat fatal, karena untuk
mempertahankan efek tersebut pemakai selalu menambah dosisnya, dengan tidak
menyadari terjadinya over dosis.
Gejala over dosis berupa perangsangan susunan syarat otak yang
berlebihan dengan akibat timbulnya kegelisahan, pusing, reflrek meninggi,
gemetar, bingung, halusinasi, kejang-kejang, koma hingga meninggal. Dengan
demikian, maka untuk memperoleh kegembiraan tersebut mengandung resiko
sangat besar, sehingga penggunaan napza merupakan ancaman bagi generasi muda
khususnya dan pemakai pada umumnya.
Di Yogyakarta banyak pelajar dan mahasiswa pendatang berpotensi
menjadi konsumen narkoba yang baik di Yogyakarta, sehingga pasar obat
terlarang itu berkembang pesat. Kos-kosan di dekat kampus-kampus ditengarai
sering menjadi sarang transaksi narkoba yang sulit dibendung. Kebanyakan
pecandu telah menggunakan narkoba selama 2 tahun baru ketahuan orang tuanya.
Ibu biasanya diberitahu lebih dahulu, karena Ibu lebih lembut dan tidak hebat
marahnya. Karena itu yang harus dikerjakan, pertama harus menyadarkan bahaya
Narkoba bagi kehidupan manusia, fisik maupun mental serta mencandu Narkoba
berarti menghancurkan masa depan.
7
Kedua, pecandu diajak berobat ke psikiater di praktek swasta atau RS
terdekat untuk minta pengobatan detoksifikasi bisa dengan mondok atau obat jalan
dan sejak itu minimal satu tahun pecandu tidak boleh bertemu teman-temannya
pecandu apapun alasannya. (www. gudeg.net.)
Menurut Wicaksana, (www.kompas.com) kasus-kasus gangguan fisik
yang dilatari atau ada kaitan waktu timbulnya dengan masalah psikologik alias
stres psikis, yang dulu lazim disebut "psikosomatik" atau "faktor psikologik yang
mempengaruhi malfungsi / kondisi fisiologik" meningkat cukup tinggi. Gangguan
ini bisa "ringan" tetapi kronik (sukar disembuhkan), bisa pula tampak berat
sehingga harus mondok.
Hampir semuanya datang atau mondok di RSU negeri dan swasta, tak
satu pun yang datang ke RSJ karena penderita tidak mengakui bahwa dirinya
mengalami konflik-konflik kejiwaan atau tekanan psikologik berat yang melatari
"penyakit fisik"nya. Mereka jauh lebih suka didiagnosis dengan iscemic hearts
desease (penyakit jantung), gastritis (radang lambung), dispepsia (gangguan
pencernaan), cephalgia (sakit kepala), angina pectoris (nyeri dada), low back pain
(nyeri boyok sarafi), paresis (kelumpuhan sarafi), daripada salah satu jenis
gangguan kesehatan jiwa.
Golongan kasus kedua yang juga tampak meningkat adalah kasus-kasus
"concomitan", yaitu kasus gangguan jiwa seperti gangguan cemas menyeluruh
(generalized-anxiety disorders), gangguan panik (panic disorders), dan depresi
8
berat yang terjadi bersama-sama dengan dengan penyakit fisik. Para penderita
tidak mau mengakui bahwa gangguan kesehatan jiwanya itu yang menjadi
problem, sebaliknya menonjolkan penyakit fisiknya yang sesungguhnya tidak
begitu berat. Mereka berdatangan masuk ke kelas I atau VIP RSU negeri maupun
swasta, atau malah berobat keluar negeri. Setelah menjalani berbagai pemeriksaan
baru ketahuan bahwa yang menjadi problem sesungguhnya bukan penyakit
fisiknya tetapi masalah kesehatan jiwanya.
Golongan ketiga belum bisa dimasukkan sebagai satu kesatuan
diagnostik gangguan jiwa, tetapi sudah merupakan kecenderungan-kecenderungan
kuat problem kesehatan jiwa atau masalah psikososial. Yaitu "sindrom paranoia"
di kalangan menengah atas, dan kekejaman (violence) serta agresivitas pada
masyarakat kelas bawah.
Kecenderungan paranoia ditandai dengan kecurigaan yang berlebihan
dan sistematis, merasa terancam, merasa akan dijatuhkan atau dicelakakan oleh
kelompok lain, rasa permusuhan yang kuat, perasaan kebesaran (grandeur) bahwa
dirinya paling benar dan paling tahu, rasa cemburu atau iri berlebihan pada pihak
lain, tidak bisa menghargai jasa orang lain dan suka mengkritik yang destruktif.
Sindrom mental perilaku ini antara lain disebabkan ketidaksesuaian antara ambisi
dan prestasi, banyaknya kegagalan dan ketidakmampuan menerima kenyataan.
Sedang kekejaman dan agresivitas yang bermunculan di sana-sini bisa
dipandang sebagai depresi agitasi massa akibat tekanan keadaan, ketimpangan
9
sosial, dan keputusasaan kolektif. Mau tidak mau kita harus menerima hal ini
semua sebagai problem dan fungsi kesehatan jiwa di masa krisis.
Dari aspek medis tersebut ketergantungan terhadap napza sangat
membahayakan jiwa orang yang bersangkutan, sementara dari penyebaran kota
Yogyakarta menempati peringkat kedua setelah Bali.
5. Kerangka Teori
Makin berkembangnya kawasan kota Yogyakarta yang banyak dihuni pelajar
dan mahasiswa, menjadikan semakin ramai dan padat, terutama karena banyaknya
pelajar dan mahasiswa yang kos di tempat tersebut, sehimgga memungkinkan
penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang lainnya, terutama di kalangan
muda. Menurut Dr. Sumbung, kelompok-kelompok anak muda di kota-kota tumbuh
seperti jamur, mula-mula ada yang kreatif tetapi ada pula yang dimasuki oleh anak
nakal. Semangat ini kadang-kadang berubah menjadi semangat menyebarkan
narkotika, karena salah bimbingan, disamping faktor coba-coba – sebagai manusia
bersifat ingin tahu, demikianlah anak-anak muda ingin mencoba sesuatu yang belum
pernah dirasakannya. (Wilson Nadeak :1978: 37)
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika perlu
melibatkan seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Sebagaimana
dideklarasikan peserta Konferensi Dunia ke 5 tentang Masalah Pencegahan
10
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba bahwa salah satu prinsip utama dalam
pencegahan penyalahgunaan narkoba yaitu:
Upaya pencegahan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan budaya
masyarakat, dan harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat khususnya generasi
muda yang menjadi bagian terpenting dalam proses penyelesaian masalah. Peran
generasi muda sebagai agent of change perlu diberdayakan melalui pemanfaatan
potensi mereka secara tepat dan kreatif. Kenyataan ini semakin menguatkan bahwa
dalam hal penyalahgunaan narkoba semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah
pelaku kejahatan narkoba yang ditangkap pada tahun 1998 sebanyak 1.308 oranag,
pada tahun 1999 sebanyak 2.590 orang (naik 98,01 %), tahun 2000 (Nopember) ada
4.563 orang (naik 76 %). (bknn.co.id)
Merebaknya penyalahgunaan narkoba menjadi pertanyaan besar karena betapa
kompleksnya permasalahan penyalahgunaan narkoba. Menurut dokter Inu Wicaksana
(2005), data perkiraan Bakorlak Inpres tahun 1995, pecandu narkoba di Indonesia
mencapai 0,065 persen dari jumlah penduduk waktu itu. Karena fenomena narkoba
adalah fenomena gunung es, data tersebut harus dikalikan 10. Sekarang ini data
tersebut meningkat drastis karena perdagangan narkotik semakin merata, menjadi 20
kalinya. Yogyakarta yang tahun 1995 itu menempati urutan ke-5 sesudah Jakarta, saat
ini naik peringkat menjadi urutan kedua. Maka, akan semakin sulit kalau penanganan
dilakukan secara parsial dan tidak menyeluruh, baik dengan pencegahan,
pemberantasan dan penindakan pihak-pihak yang telibat dalam penyelahgunaan napza
11
Korban narkotika memerlukan bimbingan untuk meningkatkan kepercayaan
pada dirinya sendiri dan pengertian akan arti kehidupan dengan meningkatkan
ketaqwaan kepada Tuhan agar terlepas dari penyakit batin (khurafat, tahyul, nafsu dan
godaan syetan) dan menggantungkan diri pada Maha Pencipta. Selalu ingat kepada
Tuhan Yang Maha Pencipta akan menjadi obat yang mustajab untuk menyembuhkan
segala penyakit “hati”, sehingga menjadi manusia yang berhasil memerangi musuh
yang bersarang dalam dada. (Dadang Hawari 1999: 63)
Berbekal
pada pengertian di atas, maka Pondok Pesantren Al Islami
melakukan metode penyembuhan dengan memberikan bimbingan rohani berupa dzikir
dan tahlil serta memandikan seluruh badan pasien bila mengalami ketagihan. Dengan
melakukan dzikir secara terus menerus, pasien mempunyai aktivitas yang jelas dan
menebalkan iman kepada Tuhan Yang Mahas Esa, sehingga pikiran menjadi tenang
dan tidak ada keinginan untuk mendekat pada narkotika. Hal ini selain karena aktivitas
yang positif, juga tertanam dalam benak dan hati pasien bahwa ajaran agama tidak
memperbolehkan menggunakan napza.
Mengenai pengertian role atau peranan Ronald Freedman memberikan
definisi: Achieved role are distributed to individual on the basis of their abilities or
skills in the performance of one function or other. (Ronald Freedman: 1952: 147)
Sedangkan Hornby memberikan pengertian bahwa role is person's task or duty in
under taking (Hornby AS: 1963: 856).
Sementara Ralph Linton mengartikan sebagai a role represents the dynamic
aspect of ststus. The individual is socially assigned to status and accupies is with
12
relations to other status. When he puts the duties wich constitute into effect he is
performing a role (Ralph Linton: 1963: 144)
Dari pengertian-pengertian di atas, dapatlah kiranya dikatakan bahwa peranan
itu selalu berhubungan dengan kedudukan atau status tertentu. Jadi pengertian peranan
dalam penelitian ini adalah kedudukan tertentu yang dipunyai seseorang atau lembaga
dalam proses pencapaian tujuan.
Sementara motivasi berasal dari bahasa Inggris motivation, berasal dari kata
kerja /verb to motive berarti membuat alasan atau menggerakkan. Kata benda atau
noun nya diartikan sebagai alasan bergerak; dalam banyak hal orang mengartikan
sebagai alasan batin atau dorongan batin (Pariata Westra: 1983) Sedang pengertian
lain motivasi adalah gambaran yang akan menimbulkan tingkah laku menuju pada
sasaran tertentu bagi seseorang untuk berbuat atau bertindak yang berpengaruh besar
terhadap tingkah laku (Kartini Kartono: 1990). Sedangkan Buchairi Zainun
memberikan pengertian bahwa motivasi dapat ditafsirkan dan diartikan berbeda-beda
oleh setiap orang sesuai dengan tempat dan keadaan masing-masing orang itu, salah
satu diantara penggunaan istilah dan konsep motivasi ini adalah menggambarkan
hubungan antara harapan dan tujuan setiap orang di dalam organisasi dapat mencapai
satu atau beberapa hal yang bertujuan dalam kegiatannya (Buchairi Zainun, 1984)
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian
motivasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan timbulnya kekuatan atau
dorongan dalam diri seseorang untuk berperilaku dan bertindak dalam usaha mencapai
tujuan tertentu. Maka motivasi dapat dikatakan pula sebagai suatu proses untuk
13
mendorong, membangkitkan, menguatkan dan mengarahkan perilaku seseorang.
Motivasi itu merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan, karena
motivasi dapat dikatakan sebagai pendorong semangat untuk terlaksananya kegiatan.
Karena itulah dapat dikatakan ada 3 ( tiga ) komponen utama dalam motivasi
yaitu kebutuhan, dorongan dan tujuan (Sondang P Siagian, 1999). Kebutuhan yang
merupakan segi pertama dari motivasi timbul dalam diri seseorang apabila ia merasa
bahwa adanya kekurangan dalam dirinya, yaitu dalam pengertian homeostatik,
kebutuhan akan timbul atau diciptakan apabila dirasakan adanya ketidakseimbangan
antara apa yang dimiliki dengan apa yang menurut persepsi yang bersangkutan
seyogyanya dimilikinya dalam arti fisiologis dan psikologis.
Untuk mengatasi keseimbangan biasanya menimbulkan dorongan. Dorongan
berarti merupakan usaha pemenuhan kekurangan secara terarah. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dorongan sebagai segi kedua motivasi berorientasi pada
tindakan tertentu yang secara sadar dilakukan oleh seseorang. Dorongan itu dapat
bersumber dari dalam diri seseorang dan dapat pula bersumber dari luar orang
tersebut. Dorongan yang berorientasi pada tindakan itulah yang sesungguhnya menjadi
inti dari motivasi, sebab apabila tidak ada tindakan situasi ketidakseimbangan yang
dihadapi seseorang tidak pernah teratasi.
Segi ketiga dari motivasi adalah tujuan. Tujuan adalah segala sesuatu yang
menghilangkan kebutuhan dan mengurangi dorongan. Dengan perkataan lain,
mencapai tujuan berarti mengembalikan keseimbangan dalam diri seseorang baik yang
14
bersifat fisiologik maupun yang bersifat psikologik. Berarti tercapainya tujuan akan
mengurangi bahkan menghilangkan dorongan tertentu untuk berbuat sesuatu.
Dari apa yang dikemukakan di atas tentang teori motivasi, maka dapat
dikatakan bahwa motivasi klien rehabilitas napza khususnya dalam mengikuti proses
rehabilitasi adalah kekuatan atau dorongan untuk ikut dalam setiap kegiatan dalam
rangka proses rehabilitasi. Motivasi dari klien dalam proses rehabilitasi ini juga
menyangkut keutuhan, dorongan dan tujuan.
Kebutuhan yang ada dalam diri klien yang mengalami ketergantungan pada
napza, untuk sembuh dan menjadi tidak tergantung pada pemakaian / mengkonsumsi
napza. Dengan ikut setiap kegiatan dalam rangka proses rehabilitasi inilah mereka
mempunyai harapan bahwa akan terpenuhi kebutuhannya yaitu tidak tergantung pada
napza.
Sedangkan
dorongan
yang
muncul
dalam
proses
rehabilitasi
akan
mempengaruhi juga motivasi dari klien. Drongan yang muncul dari klien merupakan
usaha untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk tidak tergantung pada napza.
Dorongan ini bisa berasal dari dalam diri klien sendiri, maupun dorongan yang datang
dari pihak luar, dalam hal ini adalah orang yang terkait dalam proses rehabilitasi
tersebeut, diantaranya Petugas Sosial yang ada di Panti Rehabilitasi Pamardi Putera
tersebut. Dari petugas tersebut harus dikembangkan kemampuan mengasuh agar
mereka mengidentifikasi ciri-ciri khas dari kelompok yang ditangani dan menjadi
tanggung jawabnya. Selain itu para Petugas Sosial diharapkan tidak cukup hanya
mempunyai keterampilan teknis saja melainkan juga harus mempunyai kesabaran dan
15
mau berkorban serta peka terhadap situasi yang setiap saat diperlukan dan timbul
dalam bentuk yang berbeda-beda dan segera ditangani. Dorongan yang demikian
inilah yang memunculkan suatu tindakan.
Dalam melihat motivasi klien dalam proses rehabilitasi ini juga tidak terlepas
dari tujuan yang ingin dicapai klien. Dengan proses rehabilitasi yang dilakukan,
mereka berharap bahwa mereka akan dapat hidup secara wajar dan tidak tergantung
pada napza. Keseluruhan motivasi yang dimiliki klien ini biasanya akan diwujudkan
dalam berbagai tindakan yang dilakukan dalam setiap proses rehabilitasi.
Dari berbagai upaya pemerintah untuk mengatasai masalah sosial, termasuk
ketergantungan pada napza adalah dengan rehabilitasi. Dalam rehabilitasi ini
dilakukan kegiatan bantuan berupa bimbingan untuk memulihkan keprcayaan diri dan
rasa bangga diri serta membangkitkan kecintaan kerja serta memberikan pengetahuan
dan keterampilan seperti pengolahan tanah pertanian, peternakan, keterampilan,
pertukangan dan sebagainya ( Dwam Rahardjo: 1984)
Walaupun usaha yang dilakukan pemerintah maupun keluarga untuk
menghilangkan ketergantungan pada napza, tetapi dalam kenyataannya masih banyak
dijumpai klien yang kembali bergaul dengan teman sesama pemakai napza masih saja
kambuh menggunakan napza, sehingga klien yang sudah selesai menjalani
rehabilitasi, kembali mengalami ketergantungan pada napza.
Dari hal itu dapat dikatakan bahwa dalam proses rehabilitasi itu ada beberapa
faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah motivasi klien dalam usaha maupun
proses rehabilitasi menghilangkan ketergantungan pada napza.
16
Usaha yang dilakukan untuk mengembalikan klien agar tidak tergantung pada
napza dilakukan melalui rehabilitasi. Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan
untuk memperbaiki kembali dan mengembangkan kemampuan terutama mental
seseorang sehingga orang itu dapat mengatasi masalah sosial bagi dirinya sendiri
serta keluarganya (Suparlan, 1983) Diharapkan dengan usaha-usaha rehabilitasi
tersebut akan pulih kembali rasa kepercayaan diri, harga diri, tanggung jawab sosial
serta berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan dan
penghidupan klien.
Pada proses rehabilitasi ini mengandung 4 (empat) kegiatan yaitu:
1. Pendekatan awal.
Adalah serangkaian kegiatan untuk mendapatkan pengakuan / dukungan /
bantuan dan peran serta dalam pelaksanaan program termasuk upaya
memperoleh gambaran potensialitas sumber-sumber pelayanan, pasar usaha dan
kerja serta mendapatkan calon penerima pelayanan (klien)
2. Penerimaan
Adalah serangkaian kegiatan administrasi dan teknis penentuan program
pelayanan serta pengelompokan / pembidangan penerimaan pelyanan dalam
berbagai jenis bimbingan keterampilan kerja untuk mendapatkan penerimaan
pelayaan dfinitif dengan kelengkapan biodatanya serta menetapkan jenis
program pelayanan yang tepat sesuai dengan pasaran / usaha penyalurannya,
bakat dan minat penerimaan pelayanan.
3. Bimbingan mental, sosial dan keterampilan kerja
17
Adalah serangkaian kegiatan teknis operasional harga diri, percaya diri, disiplin,
integritas, kesadaran dan tanggung jawab sosial, kemampuan penyesuaian diri
dan penguasaan satu atau lebih jenis keterampilan kerja untuk dipergunakan
setelah selesai menjalani rehabilitas.
4. Penyaluran
Dalam kegiatan ini terdiri dari dua kegiatan yaitu resosialisasi dan bimbingan
lanjut. Resosialisasi adalah serangkaian kegoiatan praktik interaksi untuk
sosialisasi antara klien dengan masyarakat luas. Sedangkan bimbingan lanjut
berupa serangkaian usaha pengemangan kemampuan maupun evaluasi kembali
kemampuan penerimaan pelayanan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Dalam rehabilitasi ini keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh motivasi dari
klien dalam mengikuti seluruh kegiatan dalam proses rehabilitasi. Hal ini
mengingat bahwa klien merupakan sasaran dan pelaku dalam proses rehabilitasi
tersebut, sehingga diharapkan akan adanya kesadaran dan tanggung jawab untuk
melaksanakan usaha dalam kegiatan proses rehabilitasi.
6. Konsep
Sebagaimana diungkapkan dalam bagian terdahulu bahwa peranan merupakan
fungsi yang dijalankan seseorang atau lembaga sehingga mempunyai andil dalam
suatu proses, yang terkait dengan kedudukan seseorang atau lembaga dalam proses
rehabilitasi ketergantungan Napza yang ada di Panti Rehabilitasi Pamardi Putra,
Kalasan.
18
Motivasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan timbulnya kekuatan atau
dorongan dalam diri seseorang untuk berperilaku dan bertindak dalam
usaha dan untuk mencapai tujuan tertentu.
Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan untuk memperbaiki dan mengembangkan
fisik dan kemampuan serta mental seseorang sehingga orang itu dapat
mengatasi masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya sendiri serta
keluarganya
Ketergantungan narkotika = suatu keadaan fisik dan kejiwaan yang tidak wajar
yang dialami seseorang dan hanya dapat diatasi dengan
mengkonsumsi narkotika secara terus menerus.
7. Definisi Operasional
Yang dimaksud dengan peranan adalah kedudukan yang dipunyai petugas
sosial di Panti Rehabilitasi dalam proses penyembuhan ketergantungan terhadap
narkoba bagi peserta rehabilitasi.
Dalam menumbuhkan motivasi peserta rehabilitasi, petugas sosial melakukan
bimbingan baik secara fisik maupun mental agar tumbuh dan terbentuk kondisi
psikis, emosional, integritas dan disiplin peserta rehabilitasi serta mantapnya sikap
mental peserta rehabilitasi. (Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban
Napza: 28)
Rehabilitasi pecandu narkoba selain memperbaiki kualitas hidup yang
bersangkutan juga tidak lepas dari peran petugas sosial dalam memberikan motivasi
19
kepada peserta rehabilitas untuk menghilangkan ketergantungan pada narkoba.
Dengan melalui langkah-langkah secara holistik (bio-psiko-sosio-spiritual), dapat
mendorong perubahan sikap dan perilaku dengan menggunakan metode asesmen
pribadi untuk mengatasi emosi negatif dan terbangunnya kemampuan menghadapi dan
beradaptasi terhadap masalah. (Dit.PRS.Korban Napza: 11)
Dengan demikian maka pecandu untuk dapat mengikuti program rehabilitasi
ketergantungan narkoba, peranan petugas sosial memegang peranan penting dalam
menumbuhkan motivasi kepada peserta rehabilitasi. Peran tersebut dilakukan dengan
beberapa langkah yaitu:
a. Melakukan komunikasi personal dengan peserta rehabilitasi
b. Melakukan bimbingan sosial kelompok
c. Menumbuhkan kesadaran peserta rehabilitasi mengenai kesalahan yang telah
dilakukan
d. Menumbuhkan kesadaran peserta rehabilitasi mengenai perlunya perubahan
untuk menghilangkan ketergantungan terhadap narkoba
e. Menyadarkan
peserta
rehabilitasi
tentang
rehabilitasi
untuk
perlunya
komunitas
yang
mendukung rehabilitasi
f. Menyadarkan
peserta
berani
melawan
keinginan
mengkonsumsi nerkoba.
20
Download