Penilaian Preferensi Masyarakat Pengungsi terhadap Potensi Konflik Tenurial dan Tingkat Interaksi terhadap Hutan Hasil Survei dan Konsultasi Tim Greenomics Indonesia terhadap Masyarakat Pengungsi di Sepanjang Pantai Barat hingga Pantai Utara (Pebruari 2005) 8 Maret 2005 Jl. Gandaria Tengah VI No. 2 Kebayoran Baru Jakarta 12130 Tel: 7279-7226 Fax: 7280-1148 Email: [email protected] Bagian Satu Potensi Konflik Tenurial (Pertanahan dan Tata Ruang) 1.1. Kekhawatiran Masyarakat Pengungsi sebagai Tipologi Potensi Konflik Potensi konflik tenurial—dalam hal ini terkait dengan bidang pertanahan dan tata ruang—dalam proses rekonstruksi NAD ini berdasarkan hasil survei lapangan dan konsultasi yang dilakukan Greenomics Indonesia selama bulan Pebruari 2005 dari Pantai Barat hingga pantai Utara Aceh, terhadap 1.620 masyarakat pengungsi yang secara proporsional dipilih secara acak di 7 (tujuh) wilayah kabupaten/kota. Kertas Masukan Teknis ini dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yakni; i) kekhawatiran masyarakat pengungsi sebagai tipologi potensi konflik, ii) masalah relokasi pemukiman baru bagi masyarakat pengungsi, dan iii) rekomendasi teknis. Kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap hak kepemilikan tanah/lahannya (lahan lokasi rumah, pertanian, dan tanah-tanah kepemilikan lainnya) sangat mendominasi dalam survei dan konsultasi dengan masyarakat pengungsi yang tersebar mulai dari Kabupaten Nagan Raya hingga Kabupaten Aceh Utara. Kekhawatiran-kekhawatiran masyarakat pengungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kekhawatiran terhadap cetak biru rekonstruksi NAD (blue print) yang berpotensi melibatkan kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi Kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap cetak biru rekonstruksi NAD lebih didasarkan pada proses perencanaannya yang dianggap sangat terbatas dikonsultasikan secara teratur dan terukur dengan masyarakat pengungsi itu sendiri. Masyarakat pengungsi sangat mengkhawatirkan cetak biru tersebut terhadap eksisting hak kepemilikan tanah/lahannya. Bahkan, secara ironis, masyarakat pengungsi ada yang menanyakan, ”Kami mau diapakan dengan rencana itu?”. 1 Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa derajat partisipasi masyarakat pengungsi dalam proses penyusunan cetak biru rekonstruksi NAD dapat disimpulkan masih sangat terbatas sekali. Tentu saja sangat beralasan munculnya kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap arahan rencana pemanfaatan ruang yang akan menjadi salah satu bagian penting dalam cetak biru tersebut. b. Kekhawatiran terhadap rencana pemerintah yang akan membangun infrastruktur/fasilitas umum yang berpotensi melibatkan kepemilikan tanah/lahannya Kekhawatiran ini dipicu rencana pemerintah yang akan melakukan pembangunan kembali infrastruktur umum. Masyarakat pengungsi khawatir jika pembangunan kembali infrastruktur tersebut dilakukan di atas hak kepemilikan tanah/lahannya dengan alasan-alasan tertentu yang diberikan oleh pemerintah. Bahkan, lebih ekstrem lagi, pembangunan infrastruktur umum tersebut dikhawatirkan akan dilakukan tanpa melalui konsultasi dengan masyarakat pengungsi yang memiliki hak atas tanah/lahan tersebut, yang ternyata masih hidup dan sementara ini masih tinggal di barak, tenda pengungsian, atau di tempat sanak keluarganya. Masyarakat pengungsi mengusulkan perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat pengungsi (atau istilah apa pun yang pantas digunakan untuk menggantikan istilah “koordinasi”) dalam hal relokasi pembangunan infrastruktur umum yang berpotensi melibatkan hak kepemilikan masyarakat pengungsi atas tanah/lahan. Sangat dikhawatirkan pemerintah akan menggunakan istilah “mengutamakan kepentingan umum”, yang menyebabkan tanah/lahan milik mereka digunakan secara sepihak tanpa ada kesepakatan atau konsensus apa pun. c. Kekhawatiran terhadap sistem kompensasi (ganti rugi) akibat adanya pembangunan infrastruktur umum yang berpotensi melibatkan kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi Salah satu pertimbangan dari kehawatiran masyarakat pengungsi terhadap rencana pembangunan infrastruktur umum di tanah/lahan kepemilikannya adalah masalah ganti rugi (kompensasi). Masalah ini dikhawatirkan kurang atau bahkan tidak mendapatkan perhatian khusus dari pihak pemerintah. Mereka juga mengkhawatirkan adanya mekanisme penggantian tanah/lahan (land swap) ke lokasi yang tidak mereka kehendaki. 2 Masyarakat pengungsi berharap bahwa ganti rugi ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber permodalan mereka, baik untuk membangun rumah sendiri maupun memulai kegiatan suatu mata pencaharian. Masyarakat pengungsi berpendapat bahwa kekhawatiran mereka sangat beralasan, karena dalam keadaan normal saja, mereka berpandangan, pemerintah sering memberikan kompensasi yang tidak sesuai (rendah) sebagai biaya ganti rugi untuk pembebasan tanah/lahan masyarakat, apalagi dalam situasi yang seperti sekarang ini. d. Kekhawatiran terhadap okupasi sepihak oleh pihak-pihak tertentu atas tanah/lahan masyarakat pengungsi Masyarakat pengungsi juga mengkhawatirkan terjadinya okupasi sepihak oleh pihak-pihak tertentu di luar rencana pemerintah atau mengatasnamakan pemerintah atau kepentingan umum lainnya terhadap tanah/lahan kepemilikannya. Okupasi yang dilakukan melalui proses klaim sepihak dengan menggunakan dasar-dasar pertimbangan sepihak tersebut tentu akan merugikan masyarakat pengungsi, yang memiliki berbagai keterbatasan dalam ”menjaga” tanah/lahan kepemilikannya dalam situasi seperti saat ini. Masyarakat pengungsi memberi contoh bahwa saat ini sudah mulai terlihat adanya pihakpihak tertentu yang mulai menunjukkan agresivitasnya dalam penguasaan tanah/lahan milik mereka dengan berbagai modus operandi. Proses okupasi sepihak ini ada yang berjalan secara vulgar, dan ada juga yang secara tidak langsung. e. Kekhawatiran terhadap ketidakjelasan penjaminan pemerintah atas hak milik tanah/lahan masyarakat pengungsi Ketidakjelasan penjaminan pemerintah atas hak milik tanah/lahan masyarakat pengungsi merupakan faktor yang paling dominan yang memunculkan kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap tanah/lahan kepemilikannya. Masyarakat pengungsi melihat bahwa begitu banyaknya rencana-rencana pemerintah terhadap rekonstruksi NAD, namun masih belum diimbangi oleh penjaminan yang jelas terhadap tanah/lahan mereka. Sehingga tidak mengherankan, sebagai bentuk kekhawatiran tersebut, sebagian masyarakat pengungsi mengambil inisiatif untuk memagar atau mematok (atau bahkan menjaganya secara bergantian hampir setiap hari) di lokasi rumah mereka yang hancur, termasuk di lahan-lahan kepemilikan mereka lainnya. Tentu tidak semua dari mereka mampu melakukan hal tersebut, belum lagi 3 sebagian dari masyarakat pengungsi tersebut masih belum kuat untuk berinteraksi secara psikologis dengan lokasi rumahnya yang terkena bencana atau lahan-lahan kepemilikan mereka lainnya. f. Kekhawatiran terhadap rencana pemerintah membangun ’green belt’ (zona penyangga hijau), yang melibatkan tanah/lahan kepemilikan masyarakat pengungsi Rencana pemerintah membangun green belt (zona penyangga hijau) di wilayah pesisir pantai, setidaknya perlu memperhatikan 3 (tiga) tipologi preferensi masyarakat pengungsi, yakni: i) masyarakat pengungsi tetap ingin menempati lokasi semula/tidak mau direlokasi ke wilayah lain, ii) masyarakat pengungsi bersedia direlokasi, namun tetap di wilayah pesisir dengan meminta ganti rugi yang sesuai dari pemerintah, dan iii) masyarakat bersedia direlokasi ke wilayah lain dengan alasan trauma, namun tetap meminta ganti rugi yang sesuai. Masyarakat pengungsi mengkhawatirkan bahwa pembangunan zona penyangga hijau oleh pemerintah akan dianggap sebagai masalah sederhana saja, dengan cara merelokasi mereka dengan membangun rumah baru di lokasi lain. Masyarakat pengungsi meminta agar pemerintah dapat duduk bersama dan mencapai kesepakatan-kesepakatan mengenai lokasi, cara, dan mekanisme lokal jika pembangunan zona penyangga hijau melibatkan wilayah mereka, yang di dalamnya ada hak kepemilikan tanah/lahannya. Artinya, pembangunan zona penyangga hijau tersebut bukan dengan ’mengusir’ mereka dari wilayahnya, yang secara turun-temurun dipertahankan sebagai daerah tumpah darahnya. g. Kekhawatiran terhadap ‘pemaksaan’ dalam pelaksanaan cetak biru rekonstruksi NAD yang berpotensi melibatkan tanah/lahan kepemilikan masyarakat pengungsi Masyarakat pengungsi khawatir terhadap ’pemaksaan’ yang terjadi ketika cetak biru rekonstruksi NAD dilaksanakan di tingkat lapangan, yang akan menyebabkan hak kepemilikan tanah/lahannya menjadi tidak jelas statusnya. Masyarakat pengungsi mengkhawatirkan adanya pilihan-pilihan yang ditawarkan oleh rencana cetak biru tersebut yang tidak sesuai dengan preferensinya, yang melibatkan hak kepemilikannya atas tanah/lahan. Misalnya, jika masyarakat pengungsi tidak setuju dengan tawaran pemerintah untuk relokasi, maka pemerintah tidak memberikan bantuan. 4 ’Pemaksaan’ secara tidak langsung tersebut dikhawatirkan oleh masyarakat pengungsi bukan tidak mungkin terjadi, sehingga akan sangat sulit dihadapi, di tengah-tengah berbagai keterbatasan yang mereka alami. Sehingga, wajar saja kehawatiran tersebut mencuat. Masyarakat pengungsi mengkhawatirkan posisi tawar mereka terhadap hak kepemilikan tanah/lahan menjadi ”diperlemah” jika banyak pihak yang mendukung rencana dan pelaksanaan cetak biru tersebut. h. Kekhawatiran terhadap penanganan tanah/lahan kepemilikannya yang didominasi melalui konsultasi dengan ”pihak-pihak tertentu” saja, yang belum jelas mewakili aspirasi masyarakat pengungsi yang mana dan tipologi kasus kepemilikan tanah/lahan masyarakat yang seperti apa Kekhawatiran masyarakat pengungsi ini merupakan refleksi sangat terbatasnya tingkat konsultasi dengan masyarakat pengungsi dalam proses perencanaan rekonstruksi NAD, terutama yang terkait dengan penanganan masalah hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi. Masyarakat pengungsi mengkhawatirkan, penanganan terhadap kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi hanya dikonsultasikan dengan ”tokoh-tokoh masyarakat Aceh” atau pihak-pihak lain yang mengatasnamakan telah mewakili aspirasi masyarakat pengungsi. Kekhawatiran masyarakat pengungsi tersebut sangat beralasan, karena mereka menganggap bahwa mereka perlu ”diajak bicara” dengan mekanisme yang disepakati, agar penanganan masalah hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi dalam rencana cetak biru rekonstruksi NAD dapat mewakili preferensi masyarakat pengungsi. Sehingga, dalam pelaksanaan cetak biru tersebut, partisipasi masyarakat pengungsi dapat difasilitasi secara partisipatif. 1.2. Masalah Relokasi: Kasus Relokasi Pemukiman Masyarakat Pengungsi Masalah relokasi rumah untuk pemukiman baru bagi masyarakat pengungsi memiliki keterkaitan dengan aspek kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi dan penataan ruang. Hasil dari survei dan konsultasi Greenomics Indonesia di sepanjang Pantai Barat hingga Pantai Utara dipaparkan berikut ini sebagai salah satu studi kasus preferensi masyarakat pengungsi dalam permasalahan relokasi pemukiman. 5 a. Informasi Pembangunan Rumah Distribusi informasi tentang calon lokasi rencana pembangunan rumah oleh pemerintah kepada masyarakat pengungsi terlihat belum proporsional. Sebanyak 47% responden menyatakan tidak tahu calon lokasi rumah bantuan pemerintah tersebut, termasuk cara mendapatkannya. Sedangkan 45% lainnya menyatakan kebingungan dengan informasi calon lokasi rumah untuk mereka. Artinya, hanya 8% dari responden yang dapat memperkirakan di mana calon lokasi bantuan rumah dari pemerintah (Grafik 1). Grafik 1. Pendapat Responden terhadap Informasi Calon Lokasi Bantuan Rumah dari Pemerintah 47% 45% 50 40 30 8% % 20 10 0 Tidak Tahu Bingung Tahu (tapi tidak pasti) b. Keyakinan Masyarakat Pengungsi terhadap Bantuan Rumah dari Pemerintah Yang paling menarik untuk diperhatikan adalah tentang keyakinan masyarakat pengungsi terhadap bantuan rumah dari pemerintah. Hanya 35% responden yakin akan mendapatkan bantuan rumah dari pemerintah, sedangkan 41% menyatakan tidak yakin dan 24% masih ragu-ragu (lihat Grafik 2). Grafik 2. Pendapat Responden terhadap Keyakinannya terhadap Bantuan Rumah dari Pemerintah 41% 35% 45 40 24% 35 30 % 25 20 15 10 5 0 Yakin Tidak Yakin Ragu-ragu 6 Ketidakyakinan dan keragu-raguan tersebut dapat dilihat dari tingkat motivasi masyarakat pengungsi yang berusaha membangun rumahnya sendiri dalam waktu satu tahun ini. Mencapai 34% responden menyatakan akan berupaya untuk membangun rumah sendiri, sedangkan 58% responden menyatakan belum segera membangun rumahnya dalam satu tahun ini. Namun, mereka akan bertindak cepat semampunya jika bantuan rumah pemerintah tersebut terlalu lama realisasinya dan tidak sesuai lokasinya. Sisanya (8%), tidak menjawab (lihat Grafik 3). Grafik 3. Pendapat Responden tentang Apakah Mereka akan Membangun Rumah dalam Satu Tahun Ini 58% 34% 60 50 40 % 7% 30 20 10 0 Tidak (tapi, Tidak menjawab menunggu program pemerintah) Ya c. Pilihan Lokasi Pembangunan Rumah Masyarakat Pengungsi Mencapai 34,1% responden berencana membangun rumah di lokasi rumah yang telah hancur, sementara 12,9% lainnya menyatakan tetap membangun rumah di wilayah pesisir, namun di lokasi lain. Hanya 4,8% dari responden yang berencana membangun rumah yang jauh dengan lokasi wilayah pesisir. Namun, perlu diperhatikan bahwa mencapai 43,2% dari responden yang menyatakan ragu-ragu terhadap lokasi pembangunan rumahnya karena masih kebingungan terhadap kejelasan kebijakan dari pihak pemerintah. Sisanya (5%), tidak menjawab (lihat Grafik 4). Grafik 4. Pendapat Responden tentang Lokasi Pembangunan Rumah 43.2% 34.1% 45 40 35 % 30 25 12.9% 20 15 5% 4.8% 10 5 0 Lokasi Rumah Semula Di Wilayah Pesisir Lain Jauh dari Wilayah Pesisir Ragu-ragu Tidak Menjawab 7 Terkait dengan masalah apakah masyarakat pengungsi pernah mendapatkan informasi agar mereka tidak membangun rumah di lokasi semula, sebanyak 33% responden menyatakan pernah tahu dari bincang-bincang sesama masyarakat pengungsi. Namun, mencapai 65% responden menyatakan tidak memperoleh informasi tentang ’larangan’ tersebut. Sedangkan sisanya (2%), tidak menjawab (lihat Grafik 5). Grafik 5. Pendapat Responden tentang Apakah Pernah Diberitahu agar Tidak membangun Rumah di Lokasi Semula 65% 70 33% 60 50 % 40 2% 30 20 10 0 Pernah Tidak Pernah Tidak Menjaw ab Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa masalah relokasi pemukiman harus melalui pendekatan dari bawah (bottom-up)—memulai dari mendengar dan mencatat aspirasi masyarakat pengungsi. ”Mendengar dan mencatat aspirasi masyarakat pengungsi” adalah pendekatan yang telah digarisbawahi oleh Bappenas dalam proses penyusunan rencana rekonstruksi Aceh. Namun, praktik dari pendekatan tersebut sangat terbatas dilakukan, sehingga proses mendengar dan mencatat menjadi belum mencapai sasarannya. 1.3. Rekomendasi Teknis Dari hasil survei dan konsultasi tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan tentatif—mengingat perkembangan di lapangan demikian cepat dan dinamis— sebagai berikut: a) Belum adanya suatu mekanisme konsultasi praktis antara pemerintah dan masyarakat pengungsi, terutama yang berada di penampungan sementara (camp dan barak). Mekanisme konsultasi dianggap oleh masyarakat pengungsi perlu dibangun bersama masyarakat pengungsi, dengan memperhatikan berbagai model mekanisme konsultasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pengungsi, sehingga mekanisme tersebut dapat berjalan dalam proses 8 pelaksanaannya. Mekanisme konsultasi praktis antara pemerintah dan masyarakat pengungsi tersebut perlu dilakukan secara teratur dan terukur, sehingga proses membangun harapan masa depan masyarakat pengungsi dapat difasilitasi oleh pemerintah secara efektif. b) Proses perencanaan partisipatif (participatory planning) menjadi sebuah pertanyaan serius dalam upaya memperkuat terakomodasikannya esensi preferensi masyarakat pengungsi di dalam suatu struktur perencanaan yang bersifat “paling menyentuh masa depan masyarakat pengungsi”, seperti masalah relokasi pemukiman baru dan bantuan rumah bagi masyarakat pengungsi. Derajat perencanaan partisipatif di tingkat masyarakat pengungsi masih terlihat sangat terbatas. Kondisi tersebut berpotensi mempengaruhi tingkat keyakinan masyarakat pengungsi terhadap berbagai program dan perencanaan pemerintah di masa akan datang. c) Terjadinya keragu-raguan dan kekhawatiran masyarakat pengungsi terhadap hak kepemilikan tanah/lahan (tenurial) yang terkait dengan masalah relokasi terlihat belum terfasilitasi secara efektif di tingkat lapangan. Tingkat keragu-raguan atau kekhawatiran masyarakat pengungsi tersebut ternyata sangat signifikan, yang tentu saja memiliki potensi konflik dalam kebijakan relokasi dan perencanaan tata ruang yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Tindakan-tindakan yang antisipatif untuk mengurangi tingkat keragu-raguan dan kekhawatiran masyarakat pengungsi tersebut perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah, sehingga blue-print Rekonstruksi NAD tidak dianggap sebagai ancaman terhadap hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat pengungsi. d) Faktor geopolitik lokal berperan sangat signifikan dalam proses relokasi—yang tentu saja terkait erat dengan penataan ruang, misalnya saja dalam penentuan lokasi barak. Faktor geopolitik lokal antar kampung, kemukiman dan kecamatan ternyata membutuhkan membutuhkan perhatian khusus, bukan melalui pendekatan relokasi dan penataan ruang secara generalis dan kaku. 9 Bagian Dua Tingkat Interaksi terhadap Hutan Pemenuhan bahan baku kayu merupakan salah satu faktor paling menentukan dalam proses rekonstruksi NAD secara berkelanjutan, tidak terkecuali bagi masyarakat pengungsi yang berencana membangun rumahnya sendiri. Artinya, interaksi terhadap hutan harus dilihat secara proporsional dengan melihat prilaku pemenuhan bahan baku kayu dari pelakupelaku rekonstruksi NAD yang terkait dengan pembangunan fisik, seperti bantuan rumah, sekolah, perkantoran, rumah ibadah, fasilitas umum, pembuatan armada nelayan, dan lain sebagainya. Penilaian tingkat interaksi tersebut juga didasarkan atas survei lapangan dan konsultasi yang dilakukan Greenomics Indonesia selama bulan Pebruari 2005 dari Pantai Barat hingga pantai Utara Aceh, terhadap 1.620 masyarakat pengungsi yang secara proporsional dipilih secara acak di 7 (tujuh) wilayah kabupaten/kota. 2.1. Tipologi Interaksi Setidaknya terdapat 4 (empat) tipologi interaksi terhadap hutan sebagai sumber pemenuhan bahan baku kayu dalam proses rekonstruksi NAD. Keempat tipologi interaksi tersebut adalah (lihat Tabel): i) Tipologi interaksi untuk memanfaatkan kayu di kawasan hutan yang relatif dekat dengan tempat tinggal sebagian masyarakat pengungsi guna mendapatkan bahan baku kayu untuk membangun sendiri rumah mereka. Namun, interaksi tersebut merupakan solusi paling akhir yang ditempuh sebagian masyarakat pengungsi, jika tidak ada jalan keluar dari pemerintah atau terlalu lamanya bantuan rumah dari pemerintah. ii) Tipologi interaksi sebagian masyarakat pengungsi dengan para pemasok kayu, yang dijual dengan harga terjangkau. Interaksi ini hanya terbatas bagi masyarakat pengungsi yang masih relatif mampu atau dibantu oleh sanak saudaranya atau bantuan langsung dari pihak-pihak tertentu untuk membeli kayu. Tipologi interaksi ini terjadi karena ada pasokan kayu, dengan tidak memperhatikan sumber pasokan kayu tersebut, apakah legal atau ilegal. Tipologi 10 interaksi ini sangat mengkhawatirkan dalam fase rekonstruksi NAD, setidaknya hingga 5 tahun ke depan. iii) Tipologi interaksi yang diciptakan melalui bantuan rumah atau fasilitas umum lainnya yang diberikan oleh organisasi-organisasi bantuan internasional dan LSM Internasional dengan mengkontrakkan pekerjaan dari bantuan mereka tersebut kepada kontraktor. Organisasi-organisasi bantuan internasional dan LSM Internasional tersebut hanya menyerahkan tanggung jawab penyelesaian pekerjaan tersebut kepada kontraktor, termasuk tanggung jawab terhadap pemenuhan bahan baku kayu, tanpa mengingat pengadaan bahan baku kayu yang harus diperoleh secara legal melalui sebuah monitoring yang dilakukan secara khusus oleh pihak donor tersebut. iv) Tipologi interaksi mengambang (floating interaction) yang bersumber dari kebijakan pemerintah yang tidak jelas terhadap pemenuhan bahan baku kayu dalam rekonstruksi NAD. Di satu pihak, pemerintah berencana menciptakan suatu proses rekonstruksi yang memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan, sementara di pihak lain, kebutuhan bahan baku kayu yang dibutuhkan untuk rekonstruksi NAD masih belum diperjelas sumber-sumber pemenuhannya secara legal dan lestari. Tipologi interaksi ini sangat berbahaya, karena prilaku pemenuhan bahan baku kayu untuk rekonstruksi NAD dapat mengikuti pola pemenuhan bahan baku industri kayu nasional, di mana 70-80% bahan bakunya berasal dari sumber ilegal dan tidak lestari. Tipologi interaksi ini bukan hanya akan memberikan ancaman terhadap hutan alam NAD, namun juga hutan alam di Pulau Sumatera (seperti Riau), serta pulau-pulau lainnya. 11 Tipologi Interaksi terhadap Hutan Tipologi Interaksi Pelaku Interaksi Alasan Interaksi Pendorong Interaksi Tingkat Interaksi Memanfaatkan kayu di kawasan hutan yang relatif dekat dengan tempat tinggal sebagian masyarakat pengungsi Sebagian masyarakat pengungsi Memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk membangun sendiri rumah mereka Jika tidak ada jalan keluar dari Pemerintah, atau terlalu lamanya bantuan Pemerintah Tidak mengkhawatirkan Membeli kayu dengan harga terjangkau dari pemasok kayu Pemasok kayu Melayani kebutuhan masyarakat pengungsi terhadap bahan baku kayu Karena ada pasokan kayu, tanpa memperhatikan sumber pasokan kayu legal atau ilegal Sangat mengkhawatirkan, karena disesuaikan dengan tingkat permintaan Bantuan rumah atau fasilitasi umum dari organisasi bantuan dan LSM internasional Kontraktor Memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk melaksanakan kontrak kerja dengan organisasi-organisasi internasional Organisasiorganisasi bantuan internasional yang menyerahkan tanggung jawab pemenuhan bahan baku kayu kepada kontraktor Sangat mengkhawatirkan, karena tidak ada jaminan bahan baku kayu berasal dari pasokan legal Kebijakan pemerintah yang tidak jelas yang menciptakan interaksi mengambang Para pihak terkait dengan proyek pemerintah dan bantuan luar negeri dalam rekonstruksi NAD Memenuhi kebutuhan kayu untuk membangun barak, rumah, fasilitas umum lainnya, serta pengadaan armada penangkapan ikan Tidak jelasnya kebijakan pemerintah terhadap sumber pemenuhan bahan baku kayu dalam rekonstruksi NAD . Sangat berbahaya, karena dapat mengikuti pola pemenuhan bahan baku industri nasional, di mana 7080% adalah pasokan ilegal. Sumber: Hasil Studi Lapangan Greenomics Indonesia, Maret 2005 12 2.2. Tingkat Interaksi Masyarakat Pengungsi terhadap Hutan Survei dan konsultasi Greenomics Indonesia memperlihatkan bahwa sebanyak 55% responden menyatakan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu untuk pembangunan rumahnya sendiri. Hanya 2% yang menyatakan tidak mengalami kesulitan. Namun, sebanyak 43% responden menyatakan belum tahu, namun mereka hanya mengatakan pemerintah seharusnya mencarikan jalan keluarnya (lihat Grafik 6). Grafik 6. Pendapat Responden tentang Sulit Tidaknya Pemenuhan Bahan Baku Kayu untuk Membangun Rumahnya 55% 43% 60 50 40 % 2% 30 20 10 0 Sulit Tidak Sulit Belum Tahu (Tapi, pemerintah harus cari jalan keluarnya) Ketika dikonsultasikan tentang sumber pemenuhan bahan baku kayu, sebanyak 20% responden menyatakan akan berupaya memanfaatkan sisa-sisa kayu pasca bencana yang masih bisa dimanfaatkan, itu pun jika masih ada. Hanya 5% yang menyatakan akan berpikir untuk mendapatkannya dari hutan terdekat. Sedangkan 3% lainnya, memilih untuk menggunakan bahan baku pengganti kayu, seperti kayu kelapa (lihat Grafik 7). Grafik 7. Pendapat Responden tentang Sumber Kayu Jika mereka Membangun Rumahnya Sendiri 51% 60% 21% 20% 50% 40% 5% 3% % 30% 20% 10% 0% Kayu Sisa Kayu di Bencana Bahan Kayu dari Beli kayu Hutan Baku Pemerintah dengan terdekat Pengganti harga murah 13 Namun, mencapai 21% responden yang akan membeli kayu dengan harga murah (terjangkau) untuk membangun rumahnya dari bantuan sanak saudaranya atau pihak-pihak lain (kayu yang dibeli berpotensi bersumber dari aktivitas ilegal). Yang perlu diperhatikan di sini adalah sebanyak 51% responden yang menyatakan bahwa itu adalah bagian dari bantuan pemerintah. Hasil survei dan konsultasi tersebut memperlihatkan bahwa interaksi langsung masyarakat pengungsi terhadap hutan untuk pemenuhan bahan baku kayu—yang diantaranya untuk membangun rumahnya sendiri—dapat disimpulkan tidak signifikan. Artinya, justru interaksi yang paling tinggi datang dari bukan masyarakat pengungsi, yang berpotensi memasok bahan baku kayu ilegal. 2.3. Rekomendasi Teknis Berdasarkan temuan di atas, terhadap proses penyusunan cetak biru rekonstruksi NAD, berikut beberapa rekomendasi teknis yang perlu diperhatikan: a) Cetak biru rekonstruksi NAD seharusnya dapat memperjelas kebijakan, tindakan konkret, indikator keberhasilan, peta sebaran dan potensi pasokan kayu legal/lestari, serta instrumen monitoring di tingkat lapangan guna mengantisipasi keempat tipologi interaksi terhadap hutan tersebut. b) Cetak biru rekonstruksi NAD juga harus memberikan panduan kebijakan dan operasional yang jelas terhadap pasokan kayu legal dan lestari yang dapat dibeli/digunakan oleh organisasi-organisasi internasional yang bergiat membantu proses rekonstruksi NAD. c) Cetak biru rekonstruksi NAD harus benar-benar dapat menjawab permasalahan kebutuhan bahan baku kayu dalam proses rekonstruksi NAD dengan tidak membiarkan mekanisme pasar bekerja. 14