COREMAP-CTI Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI Penulis: Udhi Eko Hernawan Nurul D. M. Sjafrie Indarto H. Supriyadi Suyarso Marindah Yulia Iswari Kasih Anggraini Rahmat PUSAT PENELITIAN OSEANOGRAFI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2017 STATUS PADANG LAMUN INDONESIA 2017 © 2017 Pusat Penelitian Oseanografi Penulis Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Marindah Yulia Iswari, Kasih Anggraini, Rahmat Desain & Ilustrasi Dudy Ramdhana, Raditya Pratama Udhi Eko Hernawan Status Padang Lamun Indonesia 2017/ Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Marindah Yulia Iswari, Kasih Anggraini, Rahmat -- Jakarta : Puslit Oseanografi - LIPI. 24 hlm.; 25 cm x 17 cm Bibliografi : hlm. 23 ISBN 978-602-6504-06-7 Daftar Isi 1. Wali Data Lamun 5 2. Sekilas Tentang Lamun 7 3.Manfaat Lamun 12 4. Luasan Lamun Di Indonesia 15 5. Kondisi Lamun Di Indonesia 17 6. Ancaman Kerusakan Lamun 19 7. Daftar Pustaka 23 foto: Udhi Eko Hernawan PENGANTAR Padang lamun memberikan manfaat besar baik secara ekologi maupun bagi kehidupan manusia. Ekosistem ini sangat menunjang keberlangsungan sumber daya perikanan di Indonesia. Agar padang lamun tetap memberikan manfaat bagi masyarakat secara berkelanjutan, kebijakan pengelolaan yang tepat harus sesuai dengan perubahan kondisi yang terjadi di ekosistem ini. Oleh karena itu, ketersediaan informasi berkala yang dapat dipertanggugjawabkan secara ilmiah tentang kondisi padang lamun di Indonesia sangat diperlukan sebagai dasar kebijakan pengelolaan padang lamun. Sampai dengan tahun 2015, informasi mengenai kondisi dan potensi padang lamun secara menyeluruh di Indonesia belum terkelola dengan baik dalam satu sistem basis data yang mapan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai pemegang otoritas keilmuan (scientific authority) memiliki tanggung jawab moral untuk akses dan pengelolaan data dan informasi (Walidata) tentang status padang lamun di Indonesia. Sebagai bagian dari luaran tugas Walidata Lamun Indonesia, buku ini disusun dengan tujuan untuk memberikan informasi kepada mengenai kondisi padang lamun di Indonesia pada tahun 2017. Buku ini dipersembahkan kepada para pengambil kebijakan dan masyarakat secara umum yang berkepentingan dengan padang lamun di Indonesia. Buku ini tersusun atas dukungan dari berbagai pihak. Data yang diolah dalam buku ini merupakan kontribusi dari berbagai institusi di Indonesia. Oleh karena itu, penyusun menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang ikut berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Penyusun berharap semoga kehadiran buku ini dapat mengisi kekosongan informasi mengenai kondisi padang lamun di Indonesia. Akhirnya, kami mengundang kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan buku ini. Jakarta, Mei 2017 Penyusun 5 1 WaliData Lamun Informasi mengenai kondisi padang lamun menjadi kebutuhan yang mendasar dalam pengelolaan ekosistem pesisir di Indonesia. Padang lamun merupakan ekosistem penting yang menunjang kehidupan beragam jenis mahluk hidup, sekaligus sebagai lumbung protein bagi masyarakat. Namun demikian, ekosistem tersebut rentan terhadap ancaman kerusakan baik akibat manusia maupun faktor alam. Agar padang lamun tetap mampu memberikan manfaat bagi masyarakat secara berkelanjutan, program pengelolaan yang tepat harus menyesuaikan dengan perubahan kondisi yang terjadi di ekosistem ini, baik berupa peningkatan maupun penurunan. Oleh karena itu, penelitian yang bersifat rutin tentang kondisi padang lamun perlu dilakukan. Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kondisi padang lamun secara akurat. Penelitian tentang padang lamun memang telah banyak dilakukan oleh berbagai institusi di Indonesia. Waktu, lokasi, metode serta fokus penelitian yang beragam membentuk variasi yang besar pada hasil data dan informasi tentang status/kondisi padang lamun. Selain itu, data dan informasi mengenai status padang lamun di Indonesia tersebar dan tidak terkelola dengan baik. Sebelum tahun 2015, tidak ada lembaga yang secara khusus bertugas sebagai pengelola hasil penelitian (walidata) padang lamun di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O–LIPI), sebagai institusi riset milik pemerintah yang telah lama melakukan penelitian tentang padang lamun di berbagai wilayah di Indonesia, mendapatkan mandat sebagai walidata lamun Indonesia sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 54 tahun 2015 pada tanggal 22 Desember 2105. Tugas ini merupakan kontribusi nyata P2O LIPI dalam kebijakan One Map Policy dalam Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2011. 7 Dalam Kamus Merriem Webster (2003) lamun atau seagrass definisikan sebagai: “any of various grass like plants that inhabit coastal areas”. Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi (Antophyta) yang hidup dan terbenam di lingkungan laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizome), berakar dan berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas). 2 SEKILAS TENTANG LAMUN Kata seagrass sendiri di benua Amerika baru muncul di tahun 60-an dan di Eropa di tahun 70-an dengan terbitnya publikasi hasil-hasil penelitian yang menggunakan kata seagrass. Sebenarnya puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya telah muncul nama-nama Inggris (common name) dari jenis-jenis lamun yang disesuaikan dengan bentuk luar (morfologi) atau sebagai makanan dari binatang tertentu, misal; eelgrass (Zostera marina), turtle/dugonggrass (Thallassia testudinum), manatee grass (Halodule wrightii), spoongrass (Halophila spp.) Di Indonesia, seagrass memiliki berbagai nama daerah. Di Teluk Banten seagrass dikenal sebagai lamun; di Kepulauan Seribu disebut ’rumput pama’, ’oseng’, ’samo-samo’; di Kepulauan Riau disebut rumput setu atau setu laut; di Sulawesi Selatan disebut rumput ’samo-samo’, ’rumput anang’; di Maluku disebut ’lalamong’, ’samo-samo’, ’pama’, ’ilalang laut’; di Maluku Utara disebut ’rumput gussumi’, ’guhungiri’, ’alinumang’; di Pulau Kabaena, Muna, Buton dan Sulawesi Tenggara foto: Udhi Eko Hernawan Tumbuhan lamun yang membentuk hamparang padang lamun di daerah laut dangkal 8 disebut sebagai ’rumput lelamong’ atau ’rumpat lela’. Di Pulau Maratua, Kalimantan Timur, lamun jenis Enhalus acoroides dikenal sebagai ’rumput unas’. Jumlah Jenis dan Sebaran Lamun dapat tumbuh di daerah pesisir dan lingkungan laut wilayah tropis dan ugahari, kecuali pantai perairan kutub karena banyak tertutup es. Lamun tumbuh mulai dari mintakat intertidal sampai kedalaman lebih kurang 90 m (Duarte, 1991). Di perairan Indonesia lamun umumnya tumbuh di daerah pasang surut dan sekitar pulau-pulau karang (Nienhuis et al., 1989). Tumbuh pada substrat dengan dasar lumpur, pasir berlumpur, pasir dan pecahan karang. Jumlah jenis lamun di dunia adalah 60 jenis, yang terdiri atas 2 suku dan 12 marga (Kuo & McComb, 1989). Di perairan Indonesia terdapat 15 jenis, yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Jenis lamun yang dapat dijumpai adalah 12 jenis, yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halophila decipiens, H. ovalis, H. minor, H. spinulosa, Haludole pinifolia, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum. Tiga jenis lainnya, yaitu Halophila sulawesii merupakan jenis lamun baru yang ditemukan oleh Kuo (2007), Halophila becarii yang ditemukan herbariumnya tanpa keterangan yang jelas, dan Ruppia maritima yang dijumpai koleksi herbariumnya dari Ancol-Jakarta dan Pasir PutihJawa Timur. I stilah lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan tingkat tinggi (Anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut; berpembuluh, berimpang (rhizome), berakar, dan berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruasruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur dan pecahan karang. Padang Lamun (seagrass bed) adalah hamparan tumbuhan lamun yang menutupi suatu area pesisir/laut dangkal yang dapat terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan tanaman yang padat (dense) sedang (medium) atau jarang (sparse). Ekosistem lamun (seagrass ecosystem) adalah satu sistem (organisasi) ekologi padang lamun, di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik dan komponen biotik hewan dan tumbuhan. Cymodocea rotundata Ciri khusus: - Tepi daun tidak bergerigi - Seludang daun menutup sempurna 9 Enhalus acoroides Ciri khusus: - Berukuran paling besar (daun bisa mencapai 1 meter) - Rambut pada rhizoma Halodule pinifolia Ciri khusus: - Daun pipih panjang, tapi berukuran kecil - Satu urat tengah daun jelas - Rhizome halus dengan bekas daun jelas menghitam - Ujung daun agak membulat Thalassodendron ciliatum Halophila ovalis Ciri khusus: - Daun pita, terkumpul membentuk cluster - Satu cluster daun terbentuk dari ‘tangkai’ daun yang panjang dari rhizoma Ciri khusus: - Daun oval, berpasangan dengan tangkai pada tiap ruas dari rimpang - Tulang daun 8 atau lebih - Permukaan daun tidak berambut 10 Halophila decipiens Cymodocea serulata Ciri khusus: - Daun lebih cenderung oval-lonjong, ukuran kecil - 6-8 tulang daun - Permukaan daun berambut Ciri khusus: - Tepi daun, bulat bergerigi - Seludang daun membentuk segitiga, tidak menutup sempurna Thalassia hemprichii Halodule uninervis Ciri khusus: -Mirip Cymodocea rotundata, tapi rhizoma beruas-ruas dan tebal - Garis/bercak coklat pada helaian daun Ciri khusus: - Daun pipih panjang, tapi berukuran kecil - Satu urat tengah daun jelas - Rhizome halus dengan bekas daun jelas menghitam - Ujung daun seperti trisula 11 Halophila minor Ciri khusus: - Daun oval, ukuran kecil, berpasangan dengan tangkai pada setiap ruas dari rimpang - Tulang daun kurang dari 8 Halophila spinulosa Syringodium isoetifolium Ciri khusus: - Daun berbentuk silindris Ciri khusus: - Satu tangkai daun yang keluar dari rhizome terdiri dari beberapa pasang daun yang tersusun berseri Gambar : Seagrass Watch 12 Fungsi dan manfaat padang lamun di ekosistem perairan dangkal adalah sebagai produsen primer, habitat biota, stabilisator dasar perairan, penangkap sedimen dan pendaur hara. Berikut penjelasan lebih lanjut dari peran-peran tersebut: a Sebagai Produsen Primer Sebagai tumbuhan autotrofik, lamun ­mengikat karbondioksida (CO2) dan mengubahnya menjadi energi yang sebagian besar ­ memasuki rantai makanan, baik melalui ­ pemangsaan langsung oleh herbivora maupun melalui dekomposisi sebagai serasah. Produktivitas primer padang lamun relatif tinggi di pesisir. mangrove Makroalga 91 - 552 394 - 1000 Produktivitas Primer (netto; g C m-2 yr-1) 0 1000 padang lamun 394 - 449 Satuan: gram karbon, per meter persegi per tahun sumber: Duarte, 2017, doi:10.5194/bg-14-301-2017) Foto: Istimewa 3 FUNGSI & MANFAAT LAMUN 13 b Sebagai Habitat Biota Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai macam organisme. Selain itu, padang lamun dapat juga berfungsi sebagai daerah asuhan, padang penggembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang. Sejumlah jenis biota tergantung pada padang lamun, walaupun mereka tidak mempunyai hubungan dengan lamun itu sendiri. Banyak dari organisme tersebut mempunyai kontribusi terhadap keragaman pada komunitas lamun. Lamun juga penting bagi beberapa biota terancam punah (endangered species) seperti dugong dan penyu karena mereka memanfaatkan lamun sebagai makanan utamanya. foto: Udhi Eko Hernawan Padang lamun sebagai habitat beragam jenis ikan 14 c Sebagai Penangkap Sedimen serta Penahan Arus dan Gelombang Daun lamun yang lebat akan memperlambat aliran air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Di samping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Daun lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen serta penahan arus dan gelombang yang berperan dalam mencegah erosi pantai. d Sebagai Pendaur Zat Hara Lamun memegang fungsi yang utama dalam daur berbagai zat hara dan elemen-elemen langka (mikro nutrien) di lingkungan laut. Fosfat yang diambil oleh daun-daun lamun dapat bergerak sepanjang helai daun dan masuk ke dalam algae epifitik. Akar lamun dapat menyerap fosfat yang keluar dari daun yang membusuk yang terdapat pada celah-celah sedimen. Zat hara tersebut secara potensial dapat digunakan oleh epifit apabila mereka berada dalam medium yang miskin fosfat. Padang lamun menangkap dan menstabilkan sedimen, sehingga air menjadi lebih jernih. Ketika gelombang air mengenai padang lamun, energinya menjadi turun, sehingga sedimen yang terlarut di air bisa mengendap ke dasar laut. Ketika sedimen terendapkan di dasar, sistem perakaran padang lamun menjebak dan menstabilkan sedimen tersebut. 15 4 LUASAN LAMUN DI INDONESIA Ekosistem lamun bersifat dinamis, dimana kondisi-nya tidak selalu sama setiap saat. Perubahan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi pertumbuhan lamun, menjadi naik atau turun, sehingga luasan padang lamun di suatu lokasi bisa berubah setiap saat. Informasi luasan padang lamun dapat memberikan indikasi status lamun secara menyeluruh. Jika terjadi penurunan, ini menunjukkan adanya tekanan atau ancaman pada ekosistem tersebut. Sebaliknya jika luasannya stabil atau naik, ini menunjukkan tingginya peluang padang lamun untuk lestari. Penghitungan luasan lamun dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui analisis citra satelit LandsatETM+, Landsat 8 OLI, SPOT-5 yang sudah diverifikasi di lapangan (ground truth) pada 22 lokasi monitoring lamun di Indonesia. Kedua, mengumpulkan data luasan lamun yang dihasilkan dari kegiatan pemetaan yang dilakukan oleh berbagai instansi seperti Badan Informasi Geospasial(BIG), Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan juga oleh The Nature Concervancy Hasil analisis menunjukkan bahwa luasan lamun Indonesia adalah 150.693,16 ha. Di Indonesia Barat, luas lamun yang dihitung adalah 4.409.48 ha, sedangkan di wilayah Indonesia Timur adalah 146.283,68 ha. Sebaran jenis lamun Secara umum, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii adalah jenis-jenis lamun yang sering ditemukan di perairan Indonesia. Dari informasi yang dikumpulkan dari 423 lokasi, diketahui bahwa Thallasia hemprichii memiliki sebaran yang lebih luas, T. hemprichii dijumpai di 371 lokasi, sementara Enhalus acoroides dijumpai di 357 lokasi. Jumlah lokasi Jumlah lokasi yang dijumpai Enhalus acoroides 423 357 Thallasia hemprichii 423 371 Cymodocea rotundata 423 311 Cymodocea serrulata 423 141 Halodule pinnifolia 423 85 Halodule uninervis 423 201 Halophila ovalis 423 247 Halophila minor 423 21 Halophila spinulosa 423 3 Halophila decipiens 423 2 Thalassodendron cyliatum 423 37 Siringodium isoetifolium 423 200 Jenis 16 Peta sebaran jenis lamun Indonesia 17 5 Di Indonesia, kondisi padang lamun telah dikategorikan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004. Dalam Kepmen tersebut, kondisi padang lamun terbagi menjadi 3 kategori, yaitu sehat, kurang sehat dan miskin. Kategori sehat jika penutupan lamun di suatu daerah > 60%, kurang sehat jika 30-59,9% dan tidak sehat jika pentupan antara 0-29,9%. Penghitungan kondisi lamun dilakukan dengan menggunakan beberapa sumber data. Sumber data pertama berasal dari data monitoring kondisi lamun yang dilakukan oleh P2O-LIPI melalui proyek COREMAP-CTI. Sumber data kedua, berasal dari hasil-hasil penelitian oleh berbagai institusi, universitas, LSM dan sebagainya. Secara umum persentase tutupan lamun di Indonesia yang dihitung dari 166 stasiun pengamatan adalah 41,79%. Apabila nilai tersebut digolongkan mengikuti Kepmen LH 200 tahun 2004, maka status padang lamun di Indonesia termasuk dalam kondisi ’kurang sehat”. Dibawah ini memperlihatkan fluktuasi kondisi lamun selama kurun waktu 2015-2016. KONDISI LAMUN DI INDONESIA Kondisi padang lamun Indonesia dari data monitoring tahun 2015 – 2016. 18 Peta status padang lamun Indonesia 2017 19 6 ANCAMAN KERUSAKAN LAMUN Permasalahan utama yang mempengaruhi ekosistem lamun di seluruh dunia adalah kerusakan ekosistem lamun akibat kegiatan pengerukan dan penimbunan yang terus menerus dan pencemaran air termasuk pembuangan limbah garam dari kegiatan desalinisasi dan fasilitasfasilitas produksi minyak, pemasukan pencemaran di sekitar fasilitas industri, dan limbah air panas dari pembangkit tenaga listrik. Sampai saat ini kerusakan lamun dunia telah mencapai 58% dan sejak tahun 1980 setiap 30 menit, dunia kehilangan lamun sebesar lapangan sepak bola (Dennison 2009). Menurut Waycott, et al., (2009), sebaran padang lamun global telah hilang sekitar 29% sejak abad ke-19. Penyebab utama hilangnya padang lamun secara global adalah penurunan kecerahan air, baik karena peningkatan kekeruhan air maupun kenaikan masukan zat hara ke perairan. Pada daerah sub tropis (temperate), kehilangan padang lamun disebabkan oleh alih fungsi wilayah pesisir menjadi kawasan industri, pemukiman penduduk dan banjir dari daratan. Sementara itu, penyebab utama hilangnya padang lamun di daerah tropis adalah peningkatan masukan sedimen ke perairan pesisir akibat pembalakan hutan di daratan dan penebangan mangrove di pesisir yang bersamaan dengan pengaruh langsung dari kegiatan budi daya perikanan. Aktivitas manusia dalam pemanfaatan ekosistem lamun memberikan ancaman tersendiri bagi keberlanjutan ekositem tersebut. Pengaruh limbah domestik berupa amonium dengan konsentrasi sebesar 158.3 – 663.4 µM akan mengurangi biomasa dari Zostera noltii di Ria Formosa, bagian selatan Portugis. Cabaco et al. (2008). Taylor dan Raheed (2011) meneliti pengaruh tumpahan minyak terhadap padang lamun di Gladstone Australia. Mereka melakukan perbandingan biomasa di lokasi yang terkena tumpahan minyak dan lokasi kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 bulan pasca tumpahan terjadi penurunan biomasa di kedua lokasi. Delapan bulan kemudian terjadi kenaikan biomasa lamun. Dikatakan bahwa penurunan biomasa kemungkinan disebabkan oleh variasi musim alami dan dampak antropogenik Penurunan luas padang lamun di Indonesia dapat disebabkan oleh faktor alami dan hasil aktivitas manusia terutama di lingkungan pesisir. Faktor alami tersebut antara lain gelombang dan arus yang kuat, badai, gempa bumi, dan tsunami. Sementara itu, kegiatan manusia yang berkontribusi terhadap penurunan area padang lamun adalah reklamasi pantai, pengerukan dan penambangan pasir, serta pencemaran. Sebagai contoh tutupan lamun di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) telah berkurang sebesar 25 % dari tahun 1999 hingga 2004 diduga akibat maraknya pembangunan di pulau tersebut. 20 Beberapa dampak antropogenik terhadap ekosistem lamun 1 Reklamasi 2 Run-off - Berasal dari penebangan hutan, tambang dan pertanian - Meningkatkan jumlah polutan ke badan air yang berbahaya untuk kehidupan lamun -Meningkatkan sedimentasi 3 Limbah - Limbah organik dan kimia mengganggu pertumbuhan lamun - Menimbulkan penyakit bagi organism yang ada di lamun - Limbah organik dan kimia dapat menimbukan eutrofikasi dan mengganggu pertumbuhan lamunn 4 - Menghilangkan mangrove dan tumbuhan pantai yang berfungsi sebagai penyaring sediment - Sedimen yang berlebihan menyebabkan kekeruhan dan menghambat pertumbuhan lamun Budidaya Pemberian pakan yang berlebihan akan menimbulkan blomming algae dan menyebabkan kondisi kurang cahaya dan oksigen. 21 5 6 Kesadaran tentang lamun rendah Penggunaan alat tangkap yang merusak 8 Pada level masyarakat, manager, aparat pemerintah, sehingga sulit untuk membuat aturan baru dan mentaati aturan lama -Menyebabkan kerusakan fisik dari lamun -Mengganggu komunitas biota yang ada di lamun - Jika lamun hilang makaikan dan invertebrata juga menghilang 7 Kurangnya alat & informasi Manager dan pengambil keputusan memerlukan alat dan informasi untuk menjalankan konservasi Pengembangan Pantai - Konstruksi dan pembangunan infrastruktur merusak lamun, meningkatkan sedimentasi, polusi, yang berakibat pada kondisi lamun dan perikanan - Buangan minyak dari perahu menghambat pertumbuhan lamun 23 7 daftar pustaka Cabaco, S., R. Machas, V. Vieira and R. Santos. 2008. Impacts urban wastewater discharge on seagrass meadow (Zostera noltii). Estuarine, Coastal and Shelf Science 78: 1-13. Dennison, W.C. 2009. Global Trajectories of Seagrass, the Biological Sentinels of Coastal Ecosystem. In Global Loss of Coastal Habitat Rates, Causes and Consequencies (Duarte C.M. ed.): 91-107. Duarte, C. 2017. Reviews and syntheses: Hidden forests, the role of vegetated coastal habitats in the ocean carbon budget. Biogeosciences, 14, 301–310. www. biogeosciences.net/14/301/2017/ doi:10.5194/bg-14-301-2017 Duarte, C., 1991. Seagrass depth limits. Aquatic Botany, 40(4), pp. 366-377. Kamus Merriam Webster 2003 Kuo, J. 2007. New monoecious seagrass of Halophilla sulawesii (Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic Botany 87: 171-175. Nienhuis, P., Coosen, J. & Kiswara, W., 1989. Community structure and biomass distributionof seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Neth. J. of Sea Res., 23(3), pp. 197-214. Taylor, H.A. and M.A. Rasheed. 2011. Impacts of a fuel oil spill on seagrass meadows in a subtropical port, Gladstone, Australia. Marine Pollution Bulletin 63: 431-437. Waycott, M., C.M. Duarte, T.J.B. Carruthers, S. Olyamik, A. Calladine, J.W. Fourqurean, K.L.Heck Jr., A.R.Hughes, G.A. Kendrick, W.J. Kenworthy, F.T.Short and S.L. Williams. 2009. Accelerating loss of seagrass across the globe threaten coastal ecosystems. PNAS, 106(30), pp. 12377-12381. www.Seagrass-watch.com TIM walidata Nurul Dhewani Mirah Sjafrie Marindah Yulia Iswari (ekologi, pengelolaan sumber daya pesisir) (GIS spesialist) anggota anggota Indarto Happy Supriyadi Kasih Anggraini (GIS spesialist, pengelolaan sumber daya pesisir dan Laut) (GIS operator) anggota anggota Udhi Eko Hernawan suyarso Rahmat (Ekologi, Genetic Population) (GIS spesialist) (Database spesialist) ketua anggota anggota ISBN 978-602-6504-06-7 9 786026 504067