5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik Bakteri asam laktat (BAL) pertama kali ditemukan oleh Pasteur, seorang profesor kimia di University of Lille. Pada tahun 1878, Lister melaporkan isolasi bakteri asam laktat asal susu yang tengik. Beberapa bakteri asam laktat dapat ditemukan juga pada saluran pencernaan manusia maupun hewan (Surono 2004). Bakteri asam laktat dan Bifidobacteria termasuk dalam kelompok bakteri baik bagi manusia dan umumnya memenuhi status Generally Recognized As Safe (GRAS), yaitu dianggap aman bagi manusia. Kelompok bakteri ini tidak membusukkan protein, dan dapat memetabolisme berbagai jenis karbohidrat secara fermentatif menjadi asam laktat sehingga disebut bakteri asam laktat. Beberapa jenis bakteri asam laktat memiliki potensi sebagai bakteri probiotik. Perhatian terhadap bakteri probiotik dimulai sejak tahun 1908, ketika Ellie Metchnikoff seorang ahli mikrobiologi dari Institut Pasteur di Perancis, menyarankan untuk mengonsumsi susu fermentasi agar berumur panjang. Pada tahun 1960 definisi probiotik juga digunakan pada pemberian pakan ternak yang disuplementasi dengan mikroba untuk membantu hewan ternak khususnya dalam saluran pencernaannya. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan, pada tahun 1965 konsep probiotik sudah mulai dikenal pertama kali digunakan oleh Lily dan Stillwell. Istilah probiotik berasal dari bahasa Yunani yang berarti for life. Kemudian Fuller pada tahun 1989 mencoba memperbaiki definisi probiotik yang berasal dari kata probios yang berarti kehidupan, probiotik adalah suplemen mikroba hidup yang memberikan efek positif kepada manusia dan hewan dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora usus. Hingga tahun 1990, masih diperdebatkan apakah konsep probiotik itu fakta, fiksi, mitos atau suatu relitas. Tahun 1995 diakui, mulai memasuki era probiotik (Surono 2004). Definisi lain juga menjelaskan bahwa probiotik adalah makanan suplemen berupa mikroba hidup yang memiliki keuntungan kepada manusia khususnya dalam keseimbangan mikroflora usus (Shortt 1999; Fuller 1999). Sejalan dengan perkembangan zaman maka banyak dilakukan penelitian mengenai mekanisme probiotik yang menggunakan hewan percobaan untuk diekstrapolasikan pada manusia (Fuller 1999). 6 De Vrese & Schrezenmeir (2008), juga mendefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme potensial yang memiliki jumlah yang cukup untuk mencapai usus dalam keadaan aktif dan memberikan efek positif untuk kesehatan. Bakteri probiotik juga didefinisikan sebagai bakteri hidup dalam kultur tunggal atau campuran yang mempunyai manfaat bagi kesehatan manusia (Salminen 1998). Probiotik adalah organisme hidup yang apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat memberi manfaat bagi kesehatan (WHO 2001). Probiotik yang efektif harus memenuhi beberapa kriteria yaitu; (a) memberikan efek menguntungkan inangnya, (b) tidak patogenik dan tidak toksik, (c) mengandung sejumlah besar sel hidup, (d) mampu bertahan dan melakukan kegiatan metabolisme dalam usus, (e) tetap hidup selama penyimpanan, (f) mempunyai sifat sensori yang baik, (g) diisolasi dari inangnya (De Vrese & Schrezenmeir 2008; Fuller 1989). Bakteri asam laktat untuk dapat berfungsi sebagai probiotik harus memenuhi berbagai persyaratan sebagai berikut (Shortt 1999): 1) Tahan terhadap asam, terutama asam lambung yang memiliki pH antara 1,5-2,0 sewaktu tidak makan dan pH 4,0-5,0 sehabis makan, sehingga mampu bertahan dan hidup lama ketika melalui lambung dan usus. Ketahanan probiotik terhadap asam lambung dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian yang menjelaskan bahwa bakteri ini dapat hidup pada kisaran pH yang sangat luas. Apabila bakteri ini masuk ke dalam saluran pencernaan manusia maka harus mampu bertahan pada pH asam lambung yaitu sekitar 3,5. Pada kondisi yang sangat asam membran sel bakteri akan mengalami kerusakan yang mengakibatkan hilangnya komponen-komponen intraseluler, seperti Mg, K dan lemak dari sel, kerusakan ini akan menyebabkan kematian pada sel (Bender & Marquis 1987). Ketahanan Lactobacillus pada pH rendah terjadi karena (1) kemampuannya dalam mempertahankan pH internal lebih alkali daripada pH eksternal (2) mempunyai membran sel yang lebih tahan terhadap kebocoran sel akibat terpapar pH rendah (Bender & Marquis 1986). Zavaglia et al. (1998) menguji daya tahan isolat klinis Bifidobacteria pada pH 3 selama 1 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 11 dari 25 isolat 7 Bifidobacteria masih hidup dalam kondisi pH rendah, dengan ketahanan lebih besar dari 1%. 2) Stabil terhadap garam empedu dan mampu bertahan hidup selama berada pada bagian usus kecil. Empedu disekresikan ke dalam usus untuk membantu absorbsi lemak dan asam empedu yang terkonjugasi dan diserap dari usus kecil. Bakteri asam laktat mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap garam empedu yang berhubungan dengan kerusakan terhadap membran luar sel bakteri. Semakin tinggi konsentrasi garam empedu, maka jumlah sel Lactobacillus yang mati juga akan meningkat (Ngatirah et al. 2000; Kusumawati 2002). 3) Memproduksi senyawa antimikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. 4) Mampu menempel pada sel usus manusia, faktor penempelan oleh probiotik merupakan syarat untuk pengkolonisasian, aktivitas antagonis terhadap patogen, pengaturan sistem daya tahan tubuh dan mempercepat penyembuhan infeksi. 5) Tumbuh baik dan berkembang dalam saluran pencernaan, sebagai probiotik tentu saja kemampuan untuk tumbuh harus diperhatikan. Pada beberapa genus Bifidobacteria dan Lactobacillus dapat tumbuh baik pada saluran pencemaan tanpa adanya oksigen. 6) Koagregasi membentuk lingkungan mikroflora normal dan seimbang, koagregasi juga mencerminkan kemampuan interaksi antar kultur untuk saling menempel. 7) Aman digunakan oleh manusia. Uji secara in vivo merupakan salah satu indikator bahwa probiotik tersebut dapat dikonsumsi oleh manusia. 8) Tahan terhadap mikrobisida dan spermisidal vaginal. Sifat ini diperlukan untuk probiotik yang ditujukan untuk mengobati infeksi saluran urinovaginal. Bakteri asam laktat potensi probiotik memiliki mekanisme kerja mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel. Bakteri asam laktat melakukan kontak dengan sistem imun saluran usus melalui sel M atau sel folikel epitelium dari Peyer’s patch atau melalui sel epitelial saluran usus halus atau usus besar. Interaksi antara 8 bakteri asam laktat dengan sel M hanya menstimulasi respon imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel folikel epitel menstimulasi respon imun non spesifik atau peradangan meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik (Surono 2004). Probiotik selain mempunyai efek modulasi flora normal saluran pencernaan, bakteri ini juga mampu berperan sebagai modulator sistem imun. Salah satu contohnya adalah Lactobacillus yang mampu meningkatkan fungsi imunitas seluler dan humoral (Vanderhoof 1999). Bakteri ini mampu menstimulasi sistem imun antara lain meningkatkan fungsi fagositosis makrofag, sel natural killer (NK), monosit dan netrofil. Lactobacillus GG mampu merangsang sekresi IgM setelah vaksinasi rotavirus dan meningkatkan produksi IgA dengan hasil akhir meningkatkan produksi imunoglobulin. Pada penerapanya agar dapat berfungsi sebagai probiotik pada berbagai produk fermentasi seperti susu fermentasi, yoghurt, kultur yoghurt, susu acidophilus, kefir, kuyms jumlah bakteri BAL minimal sebesar 107 CFU/g (Codex 2003). The International Dairy Federation dalam laporannya menyebutkan bahwa jumlah minimal sel probiotik pada produk susu untuk dapat berperan dalam menigkatkan kesehatan pencernaan adalah 106 CFU/g sel per gram produk (Sultana et al. 2000), sehingga berdasarkan acuan ini, maka pada studi ini dilakukan penambahan BAL lebih banyak dengan perbandingan (108:103) antara BAL dengan C. sakazakii. Isolat bakteri yang umum digunakan dalam probiotik adalah L. acidophillus dan berbagai Bifidobacteria spp., yang merupakan organisme yang dominan dalam usus kecil dan usus besar. Mikroba ini mempunyai peranan dalam menghambat pertumbuhan mikroba patogen melalui produksi asam organik dan bakteriosin dan dengan dekonjugasi garam empedu. Saat ini sediaan probiotik yang ada mengandung L. delbrueckii subsp bulgaricus, L. acidophilulus, L. casei, L. fermentum, L. plantarum, L. brevis, L. cellobiosus, L. lactis dan L. reuteri (Fuller 1992). Bifidobacteria yang saat ini digunakan sebagai probiotik adalah Bifidobacterium adolescentis, B. animalis, B. bifidum, B. infantis, B. longum dan B. thermophilus (Fuller 1992). Vinderola dan Reinheimer (2003) menyatakan bahwa L. delbrueckii subsp bulgaricus merupakan spesies starter asam laktat 9 dengan karakteristik probiotik terbaik diantara spesies starter yang dianalisis. Bakteri ini tahan terhadap asam lambung dan empedu dan menunjukkan nilai tinggi untuk aktivitas β-galactosidase. Aplikasi probiotik pada produk pangan diantaranya dimanfaatkan untuk fermentasi beberapa produk pangan dan dilaporkan dapat mencegah kerusakan makanan baik oleh bakteri patogen serta bakteri perusak pangan (Budiana 1997). Kelompok bakteri probiotik juga lazim digunakan sebagai kultur starter baik pada pengolahan yoghurt, keju, atau proses fermentasi lainnya. Penggunaan BAL juga banyak digunakan karena memiliki sifat antimikroba baik sebagai anti bakteri maupun sebagai antimikotik (ldawati 1996; Ismail 2002). Sifat antimikroba tersebut dihasilkan oleh kemampuan BAL untuk menghasilkan asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Axelsson 1998). Selain itu bakteri probiotik dewasa ini sering dimanfaatkan oleh industri penghasil susu formula bubuk sebagai mikroba potensial untuk menghambat pertumbuhan patogen sehingga dapat ditambahkan dalam bentuk bubuk kering beku. Jenis bakteri probiotik yang telah dimanfaatkan untuk dikeringbekukan adalah B. lactis dan L. acidophillus (Gerber 2011). 2.2 Pengeringan Bakteri Asam Laktat Untuk mengawetkan kultur BAL yang mengandung sel hidup dalam jumlah tinggi dan tahan lama maka BAL dapat diawetkan dengan cara pengeringan semprot (spray drying), pengeringan beku (freeze drying), dibekukan (freezing), atau pengeringan dengan oven vakum (Fu dan Etzel 1995; Nuraida et al. 1995; Harmayani et al. 2001). Pengeringan beku atau liofilisasi adalah teknik pengeringan dimana produk dibekukan terlebih dahulu kemudian dengan menggunakan energi dalam bentuk panas dan pada tekanan yang rendah, kandungan air bahan yang berupa es akan diuapkan dengan cara sublimasi. Pengeringan beku merupakan pengeringan yang terbaik untuk mencegah terjadinya perubahan kimia dan meminimumkan kehilangan nutrien selama proses pengeringan berlangsung. Kultur kering beku mempunyai penampakan jernih, padat dan memiliki viabilitas sel yang baik. Pengeringan beku dapat mempertahankan bentuk kaku dari bahan yang 10 dikeringkan sehingga dapat menghasilkan produk kering yang berpori dan tidak berkerut. Selama proses pengeringan beku, kandungan air bahan akan hilang sebanyak 90%, dan kandungan air bahan tidak berada pada fase cair sehingga dapat mencegah transpor zat-zat yang dapat larut dalam air dan memperkecil terjadinya reaksi degradasi (King 1971 dalam Endry 2000). Terdapat beberapa keunggulan dan kelemahan pada produk pangan yang dikeringkan dengan pengeringan beku. Keunggulan produk yang dikeringkan melalui pengeringan beku adalah produk lebih kering, stabil, menempati volume yang kecil sehingga dapat menekan biaya penyimpanan dan pengiriman. Adapun kelemahanya adalah proses pengeringan beku membutuhkan biaya operasional mahal, biasanya diproduksi dalam skala besar. Produksi lambat atau rendah karena proses pengeringan beku biasanya dengan sistem batch dan pengeringan melalui sublimasi berjalan lambat (Jhonson & Etzel 1995). Pengeringan beku dapat menyebabkan beberapa perubahan, diantaranya perubahan fisik, kimiawi maupun biokimia pada sel bakteri. Selama proses pembekuan kemungkinan terjadi kerusakan sel karena perbedaan sensitivitas untuk setiap jenis mikroba terhadap pembekuan, terbentuknya kristal es baik ekstraseluler maupun intraseluler. Kerusakan yang terjadi akibat proses pembekuan ini akan mengakibatkan perubahan morfologi sel, struktur sel, perubahan fungsi sel dan perubahan stabilitas genetik (Ray & Speck 1973). Kemampuan sel untuk bertahan selama pembekuan dipengaruhi oleh ukuran dan tipe sel, umur sel, permeabilitas membran sel, metode penyimpanan dan metode thawing. Secara umum respon BAL terhadap pembekuan yaitu, BAL akan mensintesis senyawa-senyawa protein dan terjadinya perubahan komposisi asam lemak pada membran bakteri (Wang et al. 2005). Beberapa penelitian menjelaskan bahwa proses pembekuan dapat mempengaruhi BAL yang dibekukan, seperti terjadinya perubahan rasio antara asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang dapat menentukan resistensi dari BAL terhadap pembekuan (Goldberg & Eschar 1977; Beal et al. 2001; Wang et al. 2005). Hal yang serupa telah dilaporkan oleh Murga et al. (2000), yang telah mengamati kenaikan C16:0 dan C18:2 pada L. acidopilus. Siuta dan Goulet (2001), menjelaskan bahwa 11 enkapsulasi L. acidophilus R0052 menyebabkan viabilitas sel dapat bertahan dari 9,l x 109 CFU menjadi 5,3 x 109 CFU pada hari ke 50 pada penyimpanan 40 °C dengan kelembaban (RH) 75%. De Vrese dan Schrezenmeir (2008), dalam laporannya juga menyebutkan bahwa pengeringan probiotik melalui spray drying dapat melindungi sel bakteri yang dikeringkan hingga suhu 70 °C. Untuk dapat melindungi sel agar tetap hidup selama proses pengeringan beku, maka beberapa cara dapat dilakukan, yaitu melalui penambahan bahan pelindung (kriogenik) pada sel bakteri yang akan dikeringkan. Bahan pelindung adalah bahan yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan dinding sel dan membran sel, tetapi ada juga bahan yang hanya dapat menahan kerusakan membran sel. Bahan kriogenik sangat berperan penting dalam mencegah kerusakan akibat proses pengeringan ataupun pengeringan beku. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, menjelaskan bahwa bahan pelindung dapat mencegah terjadinya penurunan jumlah sel selama proses pengeringan, pengeringan beku atau pembekuan. Nasombat dan Sriwong (2000), mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa penggunaan Lyoprotective agents (9,1% b/b) jenis laktosa dapat mempertahankan kemampuan hidup bakteri Lactococcus lactis sebesar 64,17±3,00% dan L. sakei sebesar 56,42 ± 2,35%. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Puspawati et al. (2010) yang menyatakan bahwa pengeringan beku P. pentosaceus A16, Lactobacillus brevis, L. rhamnosus R21 setelah disalut dengan kriogenik mengalami sedikit penurunan yaitu masingmasing 1,24; 1,42; dan 2,13 log CFU/g. Laktosa merupakan salah satu jenis bahan pelindung atau kriogenik yang umum digunakan pada proses pengeringan beku. Laktosa merupakan golongan karbohidrat yang utama terdapat pada susu. Laktosa merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Penggunaan laktosa sebagai bahan pelindung sudah banyak diaplikasikan. Hasil penelitian yang dilakukan Zamora et al. (2006) menunjukkan bahwa penggunaan laktosa 12% sebagai bahan pelindung pada proses pengeringan beku dapat mempertahankan ketahanan L. murinus-PS85 yang selama penyimpanan pada suhu 20 °C selama 60 hari, mencapai 20% sedangkan pada suhu 5 °C sebesar 4%. Pada kultur Enterococcus raffinosus-PS7, penggunaan laktosa 12% 12 sebagai bahan pelindung mampu mempertahankan viabilitasnya selama penyimpanan pada suhu 5 °C sebesar 60%, sedangkan pada suhu 20 °C selama 60 hari dapat menyebakan penurunan sebesar 100%. Puspawati et al. (2010), juga mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa penggunaan laktosa sebagai pelindung pada proses freeze dried Pediococcus pentosaceus A16 dapat mengurangi penurunan jumlah bakteri ini, besarnya penurunan jumlah total bakteri akibat freeze dried sebesar 0,91 log CFU/g. 2.3 Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu Bakteri asam laktat bersifat anaerob, aerotoleran, tahan asam, fermentatif, berbentuk batang dan bulat, habitatnya harus kaya nutrisi(fastidious), komposisi basa nitrogen DNA kurang dari 50 % mol G+C (Axelsson 2004; Adam & Moss 1995). Bakteri asam laktat secara alami dapat berasal dari saluran pencernaan manusia, produk-produk susu dan permukaan tanaman tertentu. Klasifikasi BAL menjadi beberapa genus didasarkan pada perbedaan morfologi, jenis fermentasi glukosa, perbedaan suhu pertumbuhan, produksi asam laktat, kemampuan untuk tumbuh pada konsentrasi garam tinggi dan toleransi terhadap asam, alkali, serta garam yang berbeda-beda. Pada pengklasifikasian beberapa genus baru, penambahan karakteristik seperti komposisi asam lemak dan sifat motil juga digunakan sebagai dasar. BAL terdiri dari dua bentuk yaitu kokus (Lactococcus, Vagococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Aerococcus, Tetragenococcus, Streptococcus, Enterococcus) dan batang (Lactobacillus, Carnobacterium, Bifidobacterium). Bakteri dan Streptococcus secara tradisional digunakan sebagai kultur starter untuk fermentasi makanan dan minuman karena berkontribusi terhadap flavor dan aroma serta menghambat kerusakan (De Vuyst & Vandamme 1994). ASI merupakan salah satu sumber BAL. Salminen et al. (2004), meneliti isolat B. bifidum (yang kemudian dikenal sebagai L. bifidus) di dalam ASI. Hal ini berkaitan dengan keberadaan N-acetylglucosamine sebagai faktor bifidus di dalam ASI, yaitu sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen dan dapat menunjang pertumbuhan bakteri L. bifidus (Surono 2004). Nuraida et al. (2008), mengisolasi BAL yang berasal dari ASI. Dari tiga puluh satu sampel ASI diperoleh 87 isolat macam kultur BAL. Melalui uji 13 fisiologis dan biokimia yang dilakukan pada uji identifikasi awal diperoleh 54 isolat yang teridentifikasi sebagai Lactobacillus homofermentatif, 18 isolat teridentifikasi sebagai Lactobacillus heterofermentatif, 9 isolat teridentifikasi sebagai Bifidobacteria, 1 isolat teridentifikasi sebagai Pediococcus, serta 6 isolat teridentifikasi sebagai Streptococcus. Bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif kurang baik untuk dikembangkan menjadi produk probiotik yang berupa susu fermentasi. Hal ini disebabkan gas CO 2 yang dihasilkan akan merusak tekstur produk probiotik yang berupa susu fermentasi. Sehingga dalam pengujian ketahanan terhadap asam hanya BAL yang bersifat homofermentatif yang diikutsertakan. Beberapa isolat yang diperoleh dari isolasi ASI ini adalah L. rhamnosus, yang merupakan salah satu BAL yang banyak mengkolonisasi mukosa usus. Bakteri asam laktat jenis ini sangat stabil pada rentang suhu yang luas dan pada berbagai tingkat pH. Pada penggunaanya L. rhamnosus sering sekali dikombinasikan dengan bakteri lain seperti L. acidopilus maupun L. casei untuk meningkatkan efisiensi kerja bakteri tersebut (Legowo 2007). Berdasarkan hasil penelitian Nuraida et al. (2008), isolat L. rhamnosus R21 asal ASI yang diperoleh memiliki ketahanan yang baik terhadap kondisi asam (pH 2) dimana terjadi penurunan log <1 dan juga tahan pada kondisi garam empedu 0,5% dengan penurunan jumlah bakteri sebesar 2,23 log CFU/g (Nuraida et al. 2008). Selain isolat R21, isolat lain yang juga diperoleh oleh Nuraida et al. (2008), asal ASI adalah L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus 25, L. rhamnosus R27 dan isolat R32, memiliki ketahanan hidup yang baik pada kondisi pH asam (pH 2 selama 5 jam) dan konsentrasi garam empedu sebesar 0,5% secara in vitro, serta isolat-isolat ini memiliki daya hambat terhadap Bacillus cereus, Salmonella thypii, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Hartanti (2010), juga melaporkan bahwa isolat-isolat asal ASI tersebut di atas, mampu menghambat pertumbuhan enteropatogenik E. coli (EPEC) K1.1. > 2 log CFU/mL dengan jumlah EPEC 105 CFU/mL dan dapat menghambat isolat Lactobacillus lainnya sebesar 106 CFU/mL, hal ini disebabkan oleh kemampuan isolat ini menghasilkan L-asam laktat dengan konsentrasi yang tinggi (Wang et al. 2005). Berikut di bawah ini visualisasi BAL pada Gambar 1. 14 (a) (b) Gambar 1 BAL isolat asal ASI (a) L. rhamnosus R14; (b) L. rhamnosus R21 2.4 Ketahanan Bakteri Asam Laktat Terhadap Pemanasan Pemanasan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kemampuan suatu bakteri untuk bertahan dan tumbuh. Proses pemanasan dapat mengakibatkan terjadinya pembentukan lubang atau pori pada membran sel bakteri. Panas juga sangat berkontribusi penting dalam menginaktifkan enzimenzim dan ribosoma, yang pada akhirnya dapat menurunkan atau mereduksi aktivitas biologi bakteri yang terpapar sehingga dapat mengalami kematian (Tabatabaie & Mortazavi 2008). Ketahanan panas setiap mikroba berbeda-beda, hal ini sangat bergantung pada keragaman genetik yang dimiliki oleh masingmasing Isolat, jumlah sel, umur sel, kondisi fisiologis bakteri, suhu pertumbuhan inokulum, air, lemak, garam dan faktor lainnya. BAL merupakan bakteri yang mampu tumbuh pada suhu yang bervariasi. Beberapa jenis BAL bersifat mesofilik dan termofilik, yaitu tumbuh pada suhu 5 dan 45 °C (Jay 2000). Niamsup et al. (2003), juga menjelaskan beberapa isolat L. thermotolerans sp. dapat tumbuh pada kisaran suhu yang tinggi, seperti L. thermotolerans G35 T dapat tumbuh pada suhu 50 °C dan L. thermotolerans lainnya yakni G12, G22 ,G43 dan G44 mampu tumbuh pada suhu 45 °C. Beberapa BAL juga bersifat termodurik artinya bakteri ini tahan terhadap suhu pasteurisasi, yaitu 72 °C selama 15 detik. BAL termodurik optimum tumbuh pada suhu 45 °C. BAL termodurik tidak harus tumbuh pada suhu tinggi. Beberapa jenis BAL termodurik diantaranya, Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus (Fardiaz 1992; Helfrerich & Westhoff 1980). 15 Rizqiati et al. (2008), melakukan seleksi ketahanan panas BAL jenis L. plantarum. Hasil yang diperoleh menunjukkan 10 isolat probiotik L. plantarum yang diuji pada suhu pemanasan 100 °C selama satu menit menyebabkan terjadinya penurunan BAL sebesar 44-75%, sehinga yang tersisa hanya 25-56%. 2.5 Cronobacter spp. (Enterobacter sakazaki) Cronobacter sakazakii merupakan bagian dari famili Enterobacteriaceae, genus Enterobacter dan secara biologis Cronobacter spp. merupakan bakteri yang bersifat motil, tidak membentuk spora, Gram negatif, dan anaerob fakultatif. Genus baru Cronobacter spp. dikelompokkan berdasarkan karakterisasi molekuler terhadap gen 16 sRNA, gen DNAG dan gluA ; uji biokimia (API 20E, ID 32E) dan α-glukosidase, pigmen kuning, dan pertumbuhannya pada media kromogenik (Iversen 2007). Cronobacter spp. merupakan bakteri patogen oportunis yang dapat mengakibatkan infeksi pada bayi dan memiliki tingkat mortalitas yang tinggi (40-80 %). Bakteri ini dikenal mengontaminasi susu formula bubuk untuk bayi dan beberapa isolatnya mampu bertahan sampai 2 tahun pada susu formula bubuk. Selain terdapat pada susu bubuk bayi, bakteri ini juga ditemukan mengontaminasi berbagai macam produk makanan seperti sereal. Infeksi yang disebabkan C. sakazakii mengancam seluruh kelompok usia namun bayi adalah kelompok usia yang paling rawan terserang infeksi. C. sakazakii mampu tumbuh pada rentang pH 5-10 dan konsentrasi NaCl hingga 7% (Iversen 2008). Bakteri ini dapat membelah dirinya sekitar 75 menit pada suhu 21 oC dalam susu formula bayi yang direkonstitusi (Iversen 2003). Kandhai et al. (2006) menyatakan C. sakazakii dapat tumbuh pada suhu rekonstitusi 8 dan 47 oC pada susu formula dengan menggunakan air steril. C. sakazakii merupakan patogen yang dapat menyebabkan meningitis yaitu, infeksi dan inflamasi pada meninges atau lapisan penutup otak; sepsis adalah beredarnya bakteri pembentuk nanah atau toksinnya melalui sirkulasi darah yang dapat berada dalam darah atau jaringan; sedangkan brain cyst adalah munculnya kista pada otak. Van Acker et al. (2001) dan Hunter et al. (2008) melaporkan bahwa C. sakazakii dapat menyebabkan penyakit necrotizing enterocolitis (NEC). Adanya C. sakazakii memicu apoptosis pada sel epitelial usus atau Intestinal 16 Epithelial Cell (IEC) dan meningkatkan produksi interleukin-6 di dalam sel IEC-6 pada hewan percobaan (Hunter et al. 2008). Meskipun tidak ada bukti secara epidemiologis tentang dosis infeksinya, laporan Iversen dan Forsythe (2003) memperkirakan 1000 sel sebagai konsentrasi awal Cronobacter spp. yang dapat menyebabkan infeksi. Jumlah ini sama dengan dosis infeksi bakteri patogen lain seperti Neiserria meningitis, E. coli O157, dan L. monocytogenes 4b. Dosis infeksi C. sakazakii bervariasi tergantung pada respon bakteri ini terhadap stres, kondisi kesehatan inang, dan komponen pada makanan (Iversen & Forsythe 2003). Penderita imuno-compromised akan cepat terinfeksi dengan dosis lebih kecil jika dibandingkan dengan manusia sehat. Nazarowec-White dan Farber (1997) melaporkan bahwa C. sakazakii dapat menimbulkan infeksi pada mencit bila diinokulasikan sebanyak 105 CFU/mL secara oral dan sebanyak 103 CFU/mL secara interperitoneal. Muytjens et al. (1988) dan Nazarowec-White dan Farber (1997) menyatakan laju pertumbuhan organisme ini dapat digunakan untuk menghitung waktu yang diperlukan untuk menggandakan diri (14 generasi) pada dosis infeksi (103 sel) dengan suhu inkubasi yang berbeda. Suhu inkubasi yang digunakan yakni 10, 18, 21, dan 37 oC dengan waktu penggandaan berturut-turut 13,6; 2,9; 1,3; dan 0,5 jam. Bakteri C. sakazakii pada level yang rendah (≤0,36 sel/100 g) diduga tidak menyebabkan infeksi asalkan tidak ada penyimpangan suhu atau kontaminasi dalam preparasi. Di Indonesia tidak ada laporan mengenai kasus infeksi yang disebabkan oleh C. sakazakii. 2.6 Sumber Cronobacter sakazakii Bakteri ini dapat diisolasi dari berbagai makanan termasuk keju, roti, tahu, teh asam, daging yang di-curing, minced beef, dan sosis. C. sakazakii juga ditemukan pada kamir roti dikarenakan bakteri ini merupakan bagian dari flora permukaan biji sorgum (Gassem 1999). Bakteri ini juga ditemukan pada biji padi (Cottyn et al. 2001). Sumber utama bakteri C. sakazakii yang terkait pada kasuskasus infeksi pada bayi yang baru dilahirkan adalah dari makanan bayi dan susu formula, namun beberapa peneliti juga telah mengisolasinya dari berbagai sumber seperti lingkungan dan makanan lain, karena bakteri ini bukan merupakan bagian 17 dari flora normal manusia dan hewan, maka dimungkinkan bahwa tanah, air, dan sayur-sayuran merupakan sumber kontaminasinya pada makanan. Susu formula bayi diasosiasikan sebagai sumber kontaminan bakteri C. sakazakii penyebab infeksi pada bayi. Beberapa penelitian mutakhir telah dilakukan, seperti hasil penelitian Estuningsih et al. (2006) yang menjelaskan bahwa dari 74 sampel makanan bayi di Indonesia dan Malaysia, ditemukan 35 sampel (47%) positif Enterobactericiae dan 10 sampel (13,5%) positif mengandung C. sakazakii. Meutia (2009) juga berhasil mengisolasi 8 isolat C. sakazakii dari 4 sampel susu formula bayi (n=25). Identifikasi dengan API 20E dan DNA sekuensing menunjukkan bahwa isolatnya memiliki kemiripan sebesar 92-97% dengan genom lengkap C. sakazakii ATCC BAA-894. Dewanti-Haryadi et al. (2010), juga telah berhasil mengisolasi beberapa isolat yang diduga sebagai kelompok C. sakazakii, berdasarkan hasil identifikasi takson dan tingkat kemiripan isolat dengan program apiwebTM, dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat 6 isolat yang diisolasi dari produk makanan bayi, maizena, dan bubuk coklat diantaranya DES c13, DES b10, DES b7a, DES d3 dan lainnya (Dewanti-Hariyadi et al. 2010). Selain itu C. sakazakii juga telah berhasil diisolasi dari sumber pangan jenis bumbu bubuk komersial dan produk bubuk lainnya (Hamdani 2012 in press). Haryani et al. (2008) mengisolasi bakteri ini dari sumber makanan ready-toeat (street food) di Malaysia. Dari tujuh isolat diketahui enam isolat positif C. sakazakii berdasarkan uji biokimiawi standar (API 20E) dan uji genetik dengan metode RAPD PCR finger printing. Isolat didapatkan dari lima lokasi berbeda di Malaysia yakni yang berasal dari kuah chutney, curry samosa, surimi lobster, kuih lapis, dan kuih koci. Tiga puluh isolat C. sakazakii juga berhasil diisolasi dari tiga sumber yang berbeda di industri, yakni penyaring udara (24 isolat), lingkungan (3 isolat), dan produk bubuk (3 isolat) dengan metode Pulsed-Field Gel Electrophoresis (PFGE) (Mullane et al. 2008). Meskipun bakteri ini terdapat secara luas namun Muytjens dan Kollee (1990) tidak berhasil mengisolasi bakteri ini dari susu sapi mentah, ternak, tikus, padi-padian, kotoran burung, hewan peliharaan, permukaan air, tanah, lumpur, atau akar kayu (Iversen & Forsythe 2003). 18 2.7 Ketahanan C. sakazakii Terhadap Suhu Tinggi dan Kekeringan Menurut Iversen dan Forsythe (2003) Cronobacter spp., dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas (6-47 oC). Kondisi optimum perkembangan bakteri ini berada pada kisaran suhu 37-44 oC, namun tidak termasuk dalam golongan tahan panas karena pada suhu 60 oC dapat mengalami kematian (Edelson et al. 2004). Karakteristik adaptasi dan berkembang bakteri ini menurut Food Safety Athority of Ireland, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Karakter tingkat adaptasi dan perkembangan C. sakazakii Parameter Suhu untuk pertumbuhan Waktu generasi 0) saat suhu 22 °C D-value pada suhu 60 °C (isolat Cronobacter spp. berasal dari PIF) Keterangan : 0) Kisaran 6- 45 °C Optimum 37-43 °C 37-44 menit - 3,52-3,58 - Waktu generasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat populasi bakteri menjadi 2x lipat. Sumber: Iversen & Forsythe (2003) C. sakazakii merupakan jenis bakteri yang mungkin terdapat pada makanan pendamping ASI, jenis patogen ini memiliki karakteristik yang kurang tahan terhadap panas namun beberapa galur bakteri ini memiliki ketahanan panas yang bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian nilai D 56 pada berbagai isolat lokal asal susu formula, MP-ASI, dan lainnya seperti DESc13; DESb10; DESb7a; YRC3a; dan YRT2a yakni masing-masing 11,36; 5,48; 8,55; 4,10; dan 5,83 menit (Seftiono 2012). Banyak faktor yang mempengaruhi ketahanan panas bakteri. Beberapa diantaranya yakni perbedaan galur, kondisi fisiologis bakteri, suhu pertumbuhan dari inokulum, dan menstruum pemanasan (termasuk kadar lemak, total solid, dan total gula), metode yang digunakan, dan metodologi dalam recovery mikroba (Nazarowec-White & Farber 1997; Kim & Park 2007). Selain memiliki ketahanan terhadap panas, bakteri patogen ini juga memiliki kemampuan untuk bertahan pada kondisi kering. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa bakteri ini mampu bertahan pada kondisi kering selama 2,5 tahun pada susu bubuk formula. 19 2.8 Susu Formula Bayi dan Proses Produksinya Susu formula bayi adalah susu yang dihasilkan secara fabrikasi untuk memenuhi keperluan asupan gizi bayi. Produk susu formula diformulasikan menyerupai nilai gizi ASI (Breeuwer et al. 2003). Proses pembuatan susu formula (Gambar 2) dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu pencampuran kering (dry mixing), pencampuran basah (wet mixing) atau kombinasi keduanya. Proses pencampuran kering adalah proses pengolahan dimana seluruh bahan yang berbentuk kering (bahan baku dan bahan tambahan) dicampurkan dengan pencampur kering untuk mendapatkan produk akhir dengan tingkat homogenitas yang diinginkan. Kelebihan dari pencampuran kering adalah tidak adanya air yang terlibat dalam proses pengolahan sehingga lini proses dapat dijaga tetap kering dalam jangka waktu lama (BPOM 2011). Metode pencampuran kering memiliki kekurangan dari segi kualitas dan keamanannya karena semua bahan baku yang digunakan tidak memiliki ukuran partikel yang sama sehingga akan sangat sulit untuk menghasilkan pencampuran yang homogen (Heredia et al. 2009). Hal ini akan mempengaruhi kualitas nutrisi susu yang dihasilkan. Proses produksi susu formula dengan tipe pencampuran basah dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan dalam kondisi basah (pencampuran bahan baku dalam wujud cair, proses pasteurisasi, penambahan ingredient yang sensitif terhadap perlakuan termal serta spray drying) (BPOM 2011). Secara teoritis proses panas yang dilakukan dalam proses pembuatan susu dapat membunuh semua sel vegetatif bakteri yang ada sebelum proses spray drying, namun kontaminasi setelah perlakuan panas (post heat treatment contamination) seperti kontaminasi dari lingkungan pabrik juga harus dipertimbangkan. Kontaminasi bakteri C. sakazakii (Gambar 2) pada proses produksi susu dapat berasal dari faktor instrinsik dan ekstrinsik. Kontaminasi intrinsik terjadi ketika susu formula terpapar C. sakazakii pada tahapan pemrosesan susu formula, misalnya ketika penambahan bahan baku yang sensitif terhadap perlakuan panas seperti, vitamin, mineral, dan lesitin setelah proses spray drying. Kontaminasi ekstrinsik terjadi melalui peralatan, misalnya blender, sendok pada saat penyiapan susu formula. 20 Bahan baku basah (susu segar) Bahan baku kering (premix vitamin atau BTP Penerimaan di pabrik SOP Penyimpanan di gudang SOP Penimbangan bahan baku & BTP Pencampuran SOP Homogenisasi SOP Pasteurisasi Evaporasi Penampungan sementara SOP Pemindahan ke jalur pengeringan Pengeringan dengan pengeringan semprot Pendinginan Aglomerasi SOP Pengayakan Kemasan Pengisian ke dalam pengemas N2 atau CO2 Penghembusan dengan gas inert SOP SOP Penutupan kemasan Pemberian label atau kode Distribusi Pengepakan ke dalam kemasan sekunder Susu formula Penyimpanan sementara untuk konfirmasi hasil uji Gambar 2 Proses pengolahan susu formula dengan tipe pengolahan pencampuran basah yang berasal dari bahan basah dan kering (CAC 2004) SOP 21 Selama proses produksi dan penyiapan susu formula bubuk ada kemungkinan terjadinya kontaminasi oleh bakteri-bakteri patogen seperti Bacillus spp., Cronobacter spp., Salmonella spp., L. monocytogenes, Staphylococcus spp. dan Enterobacter spp. Sehingga diperlukan regulasi batas cemaran mikroba yang boleh terdapat dalam produk akhir. Indonesia mengatur batas cemaran mikroba produk susu formula bayi dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi Peraturan Kepala Badan POM RI (2009) (Tabel 2). Tabel 2 Batas maksimum cemaran mikroba untuk produk susu formula bayi dan formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi No. 1 2 3 4 5 6 Jenis mikroba ALT (30 °C, 72 jam) Enterobacteriaceae Enterobacter sakazakii Salmonella sp. Staphylococcus aureus Bacillus cereus Batas cemaran 1 x 104 koloni/mL negatif/10 g* negatif/10 g** negatif/25 g 1 x 101 koloni/mL 1 x 102 koloni/mL Sumber: BPOM (2009) 2.9 Rekonstitusi Susu Formula Bayi Rekonstitusi adalah proses persiapan susu formula atau makanan bayi yang berbentuk bubuk dengan cara mencampurkannya dengan air sehingga susu bubuk atau makanan bayi tersebut siap dikonsumsi. Pada saat melakukan praktek rekonstitusi ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, salah satunnya adalaha suhu rekonstitusi. Suhu rekonstitusi menjadi sangat penting bilamana pada produk pangan yang akan direkonstitusi ada kemungkinan terkontaminasi oleh mikroba patogen yang dapat memberikan dampak serius terhadap kesehatan konsumen. Suhu rekonstitusi merupakan salah satu faktor penting dalam mereduksi jumlah bakteri patogen berbahaya salah satu contonya adalah C. sakazakii yang dewasa ini banyak ditemukan pada makanan atau susu formula bubuk bayi. Efektivitas suhu rekonstitusi menjadi sangat penting dikaji untuk menentukan seberapa besar pengaruh suhu rekonstitusi untuk mereduksi bakteri-bakteri patogen yang mungkin mengontaminasi produk pangan. 22 Beberapa suhu rekonstitusi yang digunakan pada praktek di rumah tangga yakni 45, 50, 60, dan 70 oC. Beberapa penelitian telah menguji efektivitas beberapa suhu untuk merekonstitusi susu formula dan prroduk pangan lainnya diantaranya adalah suhu 50, 60, dan 70 oC. Pemilihan suhu rekonstitusi 50 oC didasarkan pada pertimbangan pola kebiasaan masyarakat Indonesia ketika menyeduh atau menyiapkan minuman hangat, termasuk susu formula dengan Penggunaan suhu sekitar 50 o C ini dikenal dengan istilah suwam kuku. o Suhu rekonstitusi 60 C dipilih karena merupakan suhu rekonstitusi yang umum digunakan pada praktek rekonstitusi di rumah tangga. Selain itu suhu rekonstitusi 60 oC sering digunakan pada beberapa penelitian uji inaktivasi patogen jenis Cronobacter spp. Ogihara et al. (2009) pada penelitian uji ketahanan panas bakteri C. sakazakii menggunakan suhu 60 oC. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu rekonstitusi 60 oC mampu menurunkan jumlah bakteri C. sakazakii ATCC 29004 sebesar 0,37-1 siklus log. Selain itu penggunaan suhu rekonstitusi 60 oC ini dinilai lebih aman untuk menjaga kerusakan nutrien yang terkandung pada produk pangan, seperti yang dijelaskan oleh FAO/WHO (2004) bahwa penggunaan suhu yang tidak terlalu tinggi dapat mencegah terjadinya kehilangan dan kerusakan nutrien komponen pangan lainnya, salah satunya adalah vitamin C yang terdapat pada produk pangan termasuk susu formula bubuk . Sementara itu, pemilihan suhu 70 oC pada penelitian ini didasarkan atas rekomendasi FAO/WHO (2004) dan BPOM (2009) tentang prosedur persiapan susu formula rekonstitusi. Suhu rekonstitusi 70 oC juga dinilai efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen berbahaya seperti laporan Meutia (2009) yang menyebutkan bahwa suhu rekonstitusi 70 oC dapat mengurangi jumlah sel C. sakazakii sebesar 2,74-6,72 log (CFU/mL).