Peranan Lembaga Adat

advertisement
Potret Pergulatan Lembaga Adat Tuva dan Marena dalam
Menjamin Akses atas Tanah
Bernadinus Steni
Abstrak
Akses terhadap tanah merupakan keinginan sebagian besar warga di dua lokasi penelitian dalam
tulisan ini yang, meskipun sudah diperjuangkan sejak lama, sulit terwujud karena ada kebijakan
pemerintah yang membatasi akses tersebut. Karena itu, isu kunci studi ini adalah bagaimana
masyarakat yang mengklaim dirinya sebagai masyarakat adat berjuang membuka akses atas tanah.
Di sini salah satu forum utama yang berperan memperjuangkan akses tersebut adalah lembaga adat.
Lembaga adat dalam penelitian ini adalah lembaga yang sehari-hari rutin berhubungan dengan
masyarakat dan memainkan peranan penting dalam mendistribusikan tanah dibandingkan dengan
forum-forum lain, seperti BPN dan Balai Taman Nasional. Di dua lokasi penelitian ini, peranan
lembaga adat masih diakui masyarakat adat meskipun operasionalisasinya dipengaruhi oleh
banyak faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh bagi bekerjanya lembaga adat dalam menjamin
akses warga adat atas tanah adalah: pengetahuan hukum adat, status sosial, cakupan jaringan yang
dimiliki para pemangku atau tokoh-tokoh lembaga adat, informasi yang diperoleh warga
masyarakat adat, relasi lembaga adat dengan institusi negara, ketaatan warga masyarakat adat,
sikap dan perilaku migran, tanggapan birokrat lapangan, kepentingan ekonomi masing-masing
aktor.
Studi ini dilakukan di Dusun I Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa dan Dusun Marena Desa
Bolapapu, Kecamatan Kulawi, keduanya di Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.
Warga kedua dusun ini dihuni oleh berbagai etnis, tapi ada etnis tertentu yang mengklaim dirinya
sendiri sebagai masyarakat adat. Klaim mereka didasarkan pada argumen historis bahwa mereka
adalah orang-orang yang merupakan penghuni pertama wilayah tersebut. Di Dusun I Tuva berdiam
masyarakat adat Sinduru, sementara di Marena terdapat orang Kulawi sebagai masyarakat adat.
Warga kedua dusun, baik adat maupun migran, mengalami persoalan akses atas tanah karena
sebagian besar kawasan yang dulunya mereka manfaatkan untuk berkebun dan mengumpulkan
bahan-bahan untuk keperluan rumah tangga, sejak era 1970-an hingga sekarang telah ditetapkan
Departemen Kehutanan sebagai hutan lindung, hutan produksi dan taman nasional. Pemerintah
Daerah juga mengambil sebagian wilayah Marena sebagai areal perkebunan. Situasi-situasi ini
merupakan pengalaman warga yang mendorong mereka dengan berbagai cara mendapatkan hak
atas tanah. Lembaga adat adalah salah satu forum yang dituju maupun digunakan warga untuk
mendapatkan akses atas tanah. Sebaliknya, lembaga adat mengartikulasikan tuntutan tersebut
dalam berbagai bentuk, baik dengan menggunakan otoritasnya sendiri, menggandeng otoritas lain
atau mengajukan ke otoritas yang lebih kuat (lembaga negara).
Karena itu fokus studi ini adalah menyangkut faktor dan aktor yang mempengaruhi
bekerjanya lembaga adat sebagai forum yang dituju warga untuk mendapatkan akses atas tanah.
Pendahuluan
Penelitian ini dilakukan di Dusun Marena dan Desa Tuva, dua daerah yang multietnis di
Sulawesi Tengah. Penduduk Marena, yang menurut data 2001 dihuni oleh 60 kepala keluarga
atau 230 jiwa, sebagian besar berasal dari Kulawi yang berbahasa Moma. Selebihnya berasal dari
Rampi, Seko, Toraja, Bugis, Mandar, Pekurehua, Bada, Kaili, Da’a, Manado, Jawa dan etnis
1
Kulawi yang berbahasa Uma seperti Peana, Kantewu, Kalamanta, Winatu dan Siwongi.
Sedangkan di Tuva, sebagian besar penduduknya adalah penghuni baru dari etnis Bugis dan
Mandar (45%). Sisanya adalah Toraja, Seko dan Kaili. Sementara orang Sinduru, yang
merupakan penghuni pertama, hanya tersisa sedikit (5%), setelah gelombang migrasi ke pantai
barat Sulawesi Tengah. 1 Umumnya, matapencaharian mereka adalah petani. Masyarakat Marena
menyebut diri sebagai orang Marena atau Kulawi Moma. Sementara orang Sinduru, di Tuva,
mengidentifikasi diri sebagai orang Tuva atau orang Sinduru.
Menurut Mahori, tokoh adat Tuva, penguasaan atas tanah merupakan otoritas lembaga
adat kedua entitas tersebut. Penguasaan mencakup wewenang peruntukan dan pemanfaatan
wilayah adat. Di Tuva, misalnya, wewenang peruntukan tanah hingga sekarang masih di bawah
wewenang lembaga adat, demikian juga pembagian tanah, baik ke orang Sinduru (Tuva) sendiri
maupun pendatang, hingga 1980-an. Namun wewenang lembaga adat untuk membagikan tanah
mulai tergerus sejak keputusan pemerintah menetapkan sebagian besar wilayah timur Tuva
sebagai Taman Nasional. Lembaga adat kemudian kehilangan otoritasnya di wilayah itu 2
Belakangan, kawasan tersebut menjadi ajang perebutan para pendatang untuk membuka
perkebunan kakao.
Masalah berkurangnya akses terhadap tanah dimulai dari periode 1970-an. Ketika itu,
Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan penetapan Taman Nasional Lore Lindu, Hutan
Lindung, Hutan Produksi Terbatas persis beririsan dengan wilayah adat. Di Marena, sebagian
tanah yang sedang dikerjakan sebagai lahan pertanian dan penggembalaan ternak ditetapkan
sebagai daerah penghijauan dinas kehutanan Provinsi Sulteng yang ternyata diperuntukan bagi
perkebunan cengkih Perusahaan Daerah Sulteng (PD Sulteng). Wilayah adat pun menyempit.
Sebagian masyarakat adat memprotes kebijakan tersebut. Namun, periode 1970 masih sangat
dekat dengan trauma pembantaian orang-orang yang dicap PKI pada 1965-1966. Tak jarang
tuduhan sebagai PKI menciutkan nyali protes, sehingga mereka pun diam dan bungkam
sepanjang era Orde Baru. 3 Intimidasi tidak hanya berupa simbol-simbol aparat koersif seperti
polisi dan aparat keamanan lainnya. Di Marena, intimidasi untuk mengambil alih tanah, pertamatama dengan menggunakan adat untuk menjinakkan protes masyarakat. Tokoh adat Marena yang
dipercaya masyarakat masa itu bahkan menjadi negosiator penyerahan tanah orang Kulawi
Moma ke perkebunan cengkih PD Sulteng. Tokoh adat menjadi salah satu perantara pertama
yang membujuk masyarakat untuk mengalihkan hak mereka ke PD Sulteng. 4
Box 1
Sejarah Taman Nasional Lore Lindu
Taman Nasional Lore Lindu terletak sekitar 60 kilometer selatan kota Palu dan berada di antara 119°90’ - 120°16’ di
sebelah timur dan 1°8’ - 1°3’ di sebelah selatan.
Taman Nasional ini meliputi kawasan 217.991.18 ha (sekitar 1.2% wilayah Sulawesi yang luasnya 189.000
km² atau 2.4% dari sisa hutan Sulawesi yakni 90.000 km²) dengan ketinggian bervariasi antara 200 sampai dengan
2.610 meter di atas permukaan laut. Taman Nasional ini sebagian besar terdiri atas hutan pegunungan dan subpegunungan (±90%) dan sebagian kecil hutan dataran rendah (±10%).
Embrio Taman Nasional Lore Lindu dimulai dari penetapan Suaka Margasatwa Lore Kalamanta tahun
1973. Daerah ini berseberangan dengan wilayah adat orang Marena. Tahun 1977, Lore Lindu mendapat dukungan
1
LPA Awam Green, 2001, Dokumen Advokasi, Palu.
Mahori, wawancara 28-2-2009, di Tuva, Sulawesi Tengah.
3
Trauma penyiksaan dekil dan pembunuhan massal PKI di Sulawesi Tengah, termasuk daerah Tuva
sebagian diulas dalam buku yang diedit Roosa et al. (2004:152-9)
4
Yenny Buha dan Nixen, wawancara 18-2-2009, di Palu; Rince dan Fredy, wawancara 3-3-2009, di
Marena.
2
2
bantuan teknis internasional, setelah ditetapkan sebagai Cagar Biosfir oleh UNESCO. Pada tahun 1982, Surat
Menteri Pertanian No. 736/Menteri/X/1992 tanggal 14 Oktober 1982 menetapkan luas kawasan Taman Nasional
Lore Lindu adalah 231.000 ha. Luas wilayahnya diubah lagi lewat Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
593/Kpts-II/1993 yang menetapkan luas kawasan Taman Nasional Lore Lindu adalah 229.000 ha. Namun
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999,
Taman Nasional Lore Lindu dikukuhkan dengan luas kawasan 217.991,18 ha. Luas inilah yang menjadi dasar
pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu saat ini.
Taman Nasional Lore Lindu secara fisik berbatasan langsung dengan ±61 desa yang tersebar dalam 6
kecamatan di 2 kabupaten yaitu sebagai berkut:
•
Di dalam kawasan di luar enclave: Katu; di enclave di luar kawasan: (1) lembah Besoa: desa-desa
Doda, Bariri, Lempe dan Hanggira serta desa translok Baliura. (2) lembah Lindu: desa-desa Puroo,
Langko, Tomado dan Anca.
•
Di luar Taman Nasional Lore Lindu tapi berbatasan langsung dengan batas fisik Taman Nasional Lore
Lindu ada 51 desa dalam 6 Kecamatan yaitu dari timur searah jarum jam: Kec. Lore Utara, Lore
Tengah, Lore Selatan (ketiga Kec. ini di Kab Poso); Kec Kulawi, Kec. Sigibiromaru, dan Kec Palolo
(ketiga Kec.ini di Kab Donggala).
Berdasarkan data resmi sensus penduduk jumlah penduduk dari 6 (enam) wilayah kecamatan di sekitar
Taman Nasional Lore Lindu adalah 68.377 jiwa dari 16.600 KK. 5
Di Tuva, penetapan taman nasional di kawasan sebelah timur yang dulunya dianggap
masyarakat Sinduru sebagai wilayah adat Sinduru mengakibatkan banyak kebun warga dan
bekas kampung Tuva dikategorikan sebagai Taman Nasional. Menurut undang-undang, daerah
yang sudah ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional tidak bisa dialokasikan untuk
peruntukan yang lain. Pemanfaatan tanah maupun peruntukan lainnya harus ditertibkan demi
mendukung sistem penyanggah kehidupan. Lihat Box 2.
Box 2: Pembatasan Pemanfaatan Tanah di Kawasan Taman Nasional
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Pasal 9 ayat 2
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah mengatur
serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak
pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8.
Pasal 33
1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan zona inti taman nasional.
2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta
menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Dalam rangka menegakan pembatasan akses terhadap kawasan taman nasional, Balai
Taman Nasional bersama aparat kepolisian menjaga wilayah tersebut dengan ketat, sering kali
dengan metode intimidasi. Di Marena, misalnya, aparat pernah membuang tembakan ke udara
yang menimbulkan kecemasan bagi warga. 6
5
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=4617&Itemid=1504,
download, Jakarta, 12 April 2009 dan www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/lorelindu_NP.htm,
akses terakhir 12-4-209
6
Yenny Buha, wawancara 18-2-2009.
3
Dalam perkembangan selanjutnya, semakin banyak tanah yang diambilalih pendatang
baik lewat jual beli maupun klaim atas kawasan hutan yang mereka anggap sebagai tanah
kosong. 7 Umumnya mereka tidak tinggal di situ, tapi di Palu atau kota lain. Masyarakat hanya
tahu bahwa beberapa bidang tanah yang sangat luas dimiliki oleh pejabat atau pengusaha tertentu.
Kehilangan tanah membuat masyarakat kesulitan untuk berladang dan mencari padang
penggembalaan. Selain itu, di wilayah-wilayah yang sudah diklaim pemerintah atau pejabat
pemerintah, lembaga adat tidak lagi berperan mengkontrol dan mengawasi peruntukan dan
pemanfaatan wilayah. Di sini, perjumpaan dengan agensi negara, secara tidak langsung,
memangkas wilayah kerja dan otoritas lembaga adat. Dia hanya berlaku ke dalam masyarakatnya
sendiri, di atas wilayah yang tersisa.
Pasca-kejatuhan Orde Baru, perubahan di tingkat nasional juga diikuti oleh pergeseran
politik di skala lokal. Isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) menyebar hingga ke
kampung-kampung lewat berbagai perantara. NGO adalah satu di antara aktor perantara yang
cukup sukses menyebarkan pengetahuan tentang demokrasi dan HAM di tingkat kampung. Di
Marena dan Tuva, sejumlah NGO memfasilitasi lembaga adat dengan informasi-informasi baru
mengenai hukum agraria versi negara. LPA Awam Green, misalnya, melalui sejumlah pelatihan
menginformasikan peraturan-peraturan yang relevan mendukung apa yang mereka sebut sebagai
hak-hak masyarakat adat. Yang paling sering dikutip adalah: UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Selanjutnya, informasi tersebut dipakai tokoh-tokoh lembaga adat, sering kali untuk memperkuat
dan menghidupkan legitimasi kontrol maupun penguasaan tanah yang berbasis klaim adat,
terutama ketika mereka berhadapan dengan migran. Selain itu, hukum adat dan hukum negara
kerap dipakai secara bersamaan manakala lembaga adat berhadapan dengan klaim institusi
negara. Ada semacam rasa percaya diri yang menguat ketika petikan pasal hukum negara
diperdengarkan. Menurut para tokoh adat, pasal-pasal hukum negara tersebut mendukung
keberadaan masyarakat adat, terutama wilayah adat. 8
Dalam pembicaraan dengan tokoh adat di Marena dan Tuva, pemberlakuan hukum adat
diharapkan memperkuat dan menghidupkan otoritas lembaga adat. Misalnya, sejak lama dalam
tradisi orang Sinduru dan Kulawi Moma, pembagian tanah selalu dilakukan oleh lembaga adat.
Lembaga adat berhak memutuskan boleh atau tidaknya suatu wilayah dimanfaatkan maupun
dibagi, baik untuk etnisnya sendiri maupun untuk pendatang. Izin atau restu dari lembaga adat
merupakan keharusan. Jika tidak, pelakunya akan dikenakan sanksi 9 Lembaga adat juga
berperanan dalam menjaga tetap berlakunya hukum adat lewat sidang-sidang adat. Mekanisme
sidang adat, mengeluarkan petuah, perintah atau larangan dan juga memeriksa pelaku
pelanggaran adat. Meskipun sanksi yang dijatuhkan ditegakan secara kolektif, namun lembaga
adat tetap memantau pelaksanaan hukuman agar tetap berjalan sebagaimana disepakati dalam
sidang adat (Prabowo 2006). Dalam hal adanya irisan dengan hukum lain, tokoh-tokoh adat di
Marena dan Tuva menguraikan bahwa meskipun belakangan ini hukum negara dirujuk oleh
masyarakat adat, rujukan tersebut semata-mata dalam upaya memperkuat pemberlakuan hukum
adat. Singkat cerita, lembaga adat berbenah diri dengan menggunakan peluang yang ada,
terutama konsep hak masyarakat adat.
7
Seorang Jaksa dari Palu memiliki lahan ratusan hektar di Tuva, demikian juga seorang purnawirawan TNI.
Mahori, wawancara 28-2-2009,
8
Nixen, Wawancara 18-2-2009, di Palu.
9
Rince dan Fredy, wawancara 3-3-2009 di Marena; Mahori, Arifin, Roni, wawancara 28-2-2009 di Tuva.
4
Di wilayah konservasi, ada pengakuan Balai Taman Nasional terhadap wilayah adat.
Marena mengalami itu lewat kesepakatan bersama dengan balai taman nasional Lore Lindu.
Dalam kesepakatan tertulis itu, lembaga adat Marena memiliki wewenang untuk mengkontrol
wilayah adatnya, termasuk di kawasan yang sudah ditetapkan sebagai taman nasional. Menurut
tokoh-tokoh lembaga adat, kesepakatan tersebut merupakan bentuk pengakuan atas masyarakat
adat, termasuk peran lembaga adat Marena. 10 Namun orang Sinduru tidak mengalami perubahan
seperti itu. Meski difasilitasi NGO Konservasi yang dikenal dekat dengan pihak Balai Taman
Nasional, masih banyak orang Sinduru yang bolak-balik dipanggil pihak Balai Taman Nasional
karena diduga melakukan perambahan kawasan konservasi. Padahal, dalam peta wilayah adat,
kawasan tersebut juga merupakan wilayah adat yang harus dijaga oleh lembaga adat Sinduru.
Sejak lama, adat memang telah bergeser. Larangan menjual tanah dilanggar berkali-kali
bahkan sering kali dipicu oleh para tokoh adat. Kenyataannya, saat ini, sebagian besar tanah
dikuasai secara individu. Di Tuva, tanah-tanah tersebut sering kali diperjualbelikan dengan
migran yang datang secara bergelombang pada penghujung 1990-an pasca-melonjaknya harga
komoditi kakao di pasar internasional (Li 2007:109-11). Para migran segera merebut status
ekonomi kelas menengah. Mereka memiliki kios kecil, rumah mewah, kendaraan bermotor, TV
dengan antena parabola, sementara tetangganya, penduduk asli orang Sinduru, hidup dalam
keterpurukan (Sitorus 2002). Dalam penyelesaian kasus-kasus adat, hampir tidak pernah terjadi
sengketa atas jual beli tanah. Lembaga adat goyah menegakkan hukum adat atas mekanisme jualbeli yang secara masif dikembangkan migran dan seterusnya menggoda orang Sinduru untuk
terlibat dalam mekanisme itu dan untuk meramaikan pasar kakao.
Pasca-gelombang gerakan masyarakat adat, dukungan dan penolakan terhadap peran
lembaga adat senantiasa datang silih berganti atau secara bersamaan. Dalam banyak kasus yang
akan diperlihatkan studi ini, program NGO, perilaku pendatang, kehadiran taman nasional dan
birokrat taman nasional, polisi hutan, camat dan pemerintah desa saling tumpang tindih
bersamaan maupun silih berganti, mempengaruhi posisi dan peran lembaga adat. NGO, misalnya,
menggerakan programnya dengan misi memfungsikan lembaga adat. Tapi pada saat yang
bersamaan program-program tersebut juga melucuti peran lembaga adat melalui skema yang
mengalihkan sebagian otoritas lembaga adat ke lembaga-lembaga bentukan baru. Demikian
halnya dengan pendatang. Dalam satu kasus mereka tunduk pada lembaga adat tapi dalam kasus
lain, terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan penjatuhan sanksi adat, mereka sama
sekali tidak menghiraukan bahkan menyerang balik lembaga adat.
Konsep Masyarakat Adat
Jika diperiksa ke belakang, rujukan masyrakat adat yang dipakai NGO agak lepas dari konteks
historis masyarakat adat versi kolonial Belanda 11 Di era kolonial istilah yang kerap dipakai
adalah rechtsgemeenschap atau volksgemeenschap yang, kalau tidak dapat dikatakan sama,
paling tidak mendekati pengertian Gemeinschaft dalam bahasa Jerman yang digunakan oleh
sosiolog Jerman, Ferdinand Tönnies. Istilah Gemeinschaft yang digunakan Tönnies ini dalam
bahasa Inggris diterjemahkan dengan istilah community. Konsep Gemeinschaft atau community
10
Fredy dan Rince, wawancara 3-3-2009, di Marena, Sulawesi Tengah.
Belanda menggunakan istilah pribumi dan masyarakat hukum adat untuk menunjuk komunitas yang
memiliki hukum sendiri, di luar hukum kolonial Belanda. Studi-studi ini dipelopori oleh Van Vollenhoven (1987
[1928]).
11
5
menunjukkan suatu ikatan sosial primer yang hubungan antara anggotanya akrab, bersifat pribadi
dan eksklusif (Zakaria 2000:43-44).
Para pemikir masyarakat hukum adat era kolonial memberi ciri masyarakat hukum adat
yang lebih antropologis daripada politik. F.D Hollemann, misalnya, mengkonstruksikan empat
sifat umum dari masyarakat adat yaitu magis-religius, komunal, konkret dan kontan. Sifat magis
diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada religiositas yakni keyakinan masyarakat
tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sifat komunal berkaitan dengan pemikiran bahwa
dalam masyarakat adat anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara
keseluruhan. Konkret berkaitan dengan corak hubungan yang serba jelas dan nyata, sehingga
setiap hubungan hukum yang terjadi tidak dilakukan secara samar-samar atau diam-diam.
Kontan mengandung arti kesertamertaan, terutama dalam pemenuhan prestasi (Holleman, dalam:
Soemadiningrat 2002:29-34). Ter Haar, seorang pemikir hukum adat era Belanda juga
memberikan formulasi mengenai masyarakat adat, yakni persekutuan hukum masyarakat yang
memiliki kekuasaan sendiri, yang percaya bahwa masyarakat tersebut terjadi karena alam atau
kekuasaan gaib, memiliki kekayaan sendiri dan tidak seorang pun anggotanya memiliki pikiran
untuk membubarkan persekutuan tersebut. Tetapi, anggotanya bisa keluar dari persekutuan
tersebut, namun hal ini tergantung karakteristik masing-masing daerah (Ter Haar 2001:6-8).
Berbeda halnya dengan NGO, yang menggunakan istilah masyarakat adat dalam
kaitannya dengan perkembangan tuntutan masyarakat adat di tingkat internasional, menempatkan
masyarakat adat sebagai komunitas marginal yang diakui secara historis memiliki landasan klaim
hak yang bersifat khusus tapi dalam perkembangannya mengalami ketidakadilan struktural
akibat penerapan kebijakan pemerintah maupun dampak operasi korporasi multi-nasional di
wilayah mereka. Menurut Anaya, secara historis indigenous bukan hanya orang (people) tapi
terlebih sebagai suatu kolektif (peoples). Di situ, berbagai ketidakadilan yang mereka hadapi,
dialami tidak hanya sebagai pengalaman individual tapi terutama sebagai suatu pengalaman
kolektif. 12
Selanjutnya, seorang ilmuwan hukum Benedict Kingsbury, mengusulkan definisi yang
cair dan fleksibel terhadap masyarakat adat mengingat kemajemukan yang mereka miliki baik
dalam komunitas maupun antar-komunitas. Kingsbury mengajukan empat syarat esensial
cakupan masyarakat adat, yakni:
1. Identifikasi diri sebagai grup etnik yang berbeda;
2. Pengalaman sejarah pernah dan terus merasakan ketidakadilan, dipecah belah hingga
berantakan, dipindahkan dari kampung halaman dan dieksploitasi;
3. Memiliki hubungan yang lama dengan wilayah;
4. Harapan untuk meneruskan identitas yang berbeda (Corntassel, dalam: Erni (ed)
2008:56-7).
Ketidakadilan yang digarisbawahi Kingsbury, dalam gerakan masyarakat adat yang
dipelopori oleh NGO, sering dikaitkan dengan akses terhadap tanah. Dalam berbagai forum
masyarakat adat, hubungan antara masyarakat adat dengan tanah senantiasai digarisbawahi
sekaligus menempatkan tanah sebagai salah satu prioritas paling utama yang diperjuangkan
masyarakat adat dewasa ini. IWGIA (International Working Group for Indigenous Affairs),
misalnya, secara rutin mengeluarkan laporan tahunan mengenai situasi ketidakadilan yang
dihadapi masyarakat adat di berbagai belahan dunia. Dalam laporan tahun 2008, IWGIA
12
Lihat definisi Cobo, http://www.iwgia.org/sw310.asp (diunduh pada 4-2009). Lihat juga Anaya
(1996:77).
6
memaparkan sejarah ketidakadilan tersebut dengan memakai kasus Papua sebagai salah satu
contoh. IWGIA menulis sebagai berikut:
Pemerintah Indonesia mengeruk sumber daya alam Papua Barat dalam jumlah yang sangat besar.
Hutannya dibabat dan kandungan mineralnya dikeruk tanpa konsultasi dengan komunitas adat, dan
tanpa sedikit pun manfaat balik bagi komunitas adat itu. Dengan program transmigrasi yang
disponsori negara sejak 1970-an, pemerintah Indonesia telah menempatkan lebih dari 10.000
keluarga setiap tahun yang didatangkan dari Jawa dan bagian-bagian lain Indonesia. Selain itu, ada
juga orang yang berpindah atas inisiatif mereka sendiri ke Papua Barat, yang jumlahnya tak terlacak.
Diperkirakan bahwa lebih dari 750.000 orang dari bagian lain Indonesia telah bermukim di Papua
Barat, yang perbandingannya sekarang adalah lebih dari 30% dari total 2,2 juta penduduk di Papua
Barat. Ada kekhawatiran yang besar bahwa perlahan-lahan orang Papua akan menjadi minoritas di
tanah mereka sendiri (IWGIA 2006:266)
Sedikit menengok ke belakang, perjuangan kelompok pendukung hak masyarakat adat di
tingkat internasional dimulai dari hak ekonomi, sosial budaya lewat berbagai advokasi NGO dan
organisasi rakyat di Amerika Latin yang mencetuskan Konvensi ILO No. 169/1989 tentang
Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries. Upaya lobi dan tekanan terus berlanjut
ke berbagai hak lain, termasuk hak sipil dan politik. Pada 2007, gerakan indigenous peoples dari
berbagai belahan dunia akhirnya berhasil mendorong Majelis Umum PBB mengeluarkan United
Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), tanggal 12 September
tahun 2007. Persoalan ketidakadilan juga menjadi pertimbangan yang melatarbelakangi
terbentuknya UNDRIP. Dalam pembukaan deklarasi disebutkan bahwa masyarakat adat telah
mengalami penderitaan dari sejarah ketidakadilan sebagai akibat dari, antara lain, penjajahan dan
pencerabutan tanah-tanah, wilayah dan sumber-sumber daya mereka, sehingga menghalangi
mereka untuk menggunakan, terutama, hak mereka atas pembangunan sesuai dengan kebutuhankebutuhan dan kepentingan-kepentingannya. 13
Di Indonesia, gerakan NGO untuk mendukung hak masyarakat adat secara teroganisir
tampak dalam tercetusnya JAPHAMA (Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat) pada
1993 sebagai respons atas permasalahan ketidakadilan struktural yang dihadapi kelompok
masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat adat. Istilah tersebut juga merupakan respons
atas kategori masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang
berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan yang kerap digunakan
pemerintah dalam kebijakan maupun program. Istilah-istilah itu merupakan “stempel” yang
menurut NGO dan pengalaman sejumlah komunitas, sarat dengan tuduhan diskriminatif dan
melecehkan kelompok masyarakat adat. Masyarakat terasing, misalnya, bisa dimaknai sebagai
masyarakat yang tidak mengenal peradaban lain, terkunci di suatu tempat yang tidak dikenal.
Demikian halnya dengan istilah peladang liar, bisa diterjemahkan sebagai seolah-olah
masyarakat adat tidak memiliki aturan bercocok tanam sehingga dikerjakan secara liar tanpa
kontrol. 14 Selanjutnya, melihat ada banyak kemiripan antara konsep dan pengalaman masyarakat
adat dengan konsep indigenous peoples dalam kerangka hukum internasional maka masyarakat
adat kerap dipadankan dengan indigenous peoples (Moniaga 2003:1). 15 Sehingga kerangka hak
13
Pembukaan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, diadopsi Majelis Umum PBB, 12
September 2007.
14
Perdebatan dan kritik atas penggunaan istilah-istilah ini terjadi dalam kongres Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara, 17-22 Maret 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta.
15
Diakses dari www.huma.or.id, 10-1-2009.
7
dalam konsep indigenous peoples digunakan juga dalam tuntutan hak dari masyarakat adat,
misalnya hak atas identitas kolektif, tanah kolektif, sistem nilai kolektif dan seterusnya.
Gelombang perubahan sebagai efek lanjutan kejatuhan Soeharto juga merembet ke
perjuangan NGO dan sejumlah masyarakat adat. Pada 1999, JAPHAMA mencetuskan sebuah
organisasi masyarakat adat, yang disebut AMAN. AMAN menyepakati bahwa masyarakat adat
“adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah
geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan
wilayah sendiri (Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999 dalam rumusan keanggotaan)
(Moniaga 2002).
Konsep masyarakat adat versi AMAN kerap dirujuk tokoh-tokoh adat, terutama yang
memiliki jaringan dengan NGO atau dengan AMAN. Fredy, seorang pendeta di Marena
misalnya, menggunakan istilah bermartabat secara budaya, berdaulat secara politik dan mandiri
secara ekonomi yang merupakan konsep AMAN, dalam merumuskan gerakan masyarakat adat
di Marena. Ketidakadilan penguasaan tanah dan ancaman-ancaman baru pengambilalihan tanah,
dijawab dengan konsep masyarakat adat yang menurut para tokoh adat, seperti Fredy di Marena,
Arifin di Tuva, harus diakui dan dilindungi.
Istilah masyarakat adat dan kekhususan haknya, sebetulnya menimbulkan sejumlah kritik
tajam, antara lain menyangkut kerumitan definisi dan ukuran-ukurannya secara normatif maupun
konsekuensi sosial politik dari kekhususan tersebut. Namun gerakan NGO, pemerintah,
Organisasi Internasional dan para ilmuwan lainnya yang umumnya menggunakan argumen
berbasis hak, tetap mendorong hak masyarakat adat, sehingga lambat laun terserap dalam
kerangka hukum (Bedner dan Van Huis 2008).
Dalam sejumlah hukum nasional maupun internasional, masyarakat adat diwarisi
keistimewaan untuk mendapat keutamaan dalam sejumlah hak, terutama hak atas tanah, wilayah
dan hukum adat. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan hak
masyarakat adat atas tanah, khususnya dalam Pasal 6, yaitu sebagai berikut:
1)
2)
Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat
hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah;
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras
dengan perkembangan zaman.
Selain itu, dalam konstitusi pasca-amendemen, keistimewaan masyarakta adat juga
diakui. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merumuskan sebagai berikut:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Meski demikian, secara historis adat dalam hukum nasional tidak terdefinisikan. Henley
dan Davidson memaparkan adat, sebagaimana halnya dengan konsep-konsep identitas lainnya,
mempunyai banyak arti. Dalam konteks modern, adat cenderung dipahami sebagai institusi
tertentu yang diwariskan dalam tradisi-tradisi lokal dan dalam konteks Indonesia wacananya
berkisar antara sejarah, tanah dan hukum. Sebagian lagi bersentuhan dengan ideologi politik
yang samar-samar tetapi juga daya tarik secara nasional yang mengidentifikasikan adat sebagai
otensitas, komunitas, keteraturan dan keadilan (Davidson dan Henley 2007:19).
Pencari Keadilan: Masyarakat Adat Tuva dan Marena
8
Gelombang pengakuan masyarakat adat dan introduksi hak-hak atas tanah yang diperkenalkan
oleh sejumlah NGO diakui tokoh adat Marena dan Tuva turut mendorong upaya orang Marena
dan Tuva untuk mengembalikan tanah yang telah diambil-alih pemerintah maupun pengusaha.
Dengan merujuk pada sejumlah peraturan nasional maupun hukum Internasional, mereka
menyebut syarat-syarat masyarakat adat yang mirip dengan karakter mereka sebagai suatu
komunitas adat. Mahori dan Rince, berturut-turut ketua lembaga adat Tuva dan tokoh adat
Marena, memperkenalkan karakter adat yang mereka miliki, antara lain memiliki sejarah, hukum,
wilayah dan komunitasnya. Karakter ini kurang lebih mirip dengan ciri atau keunikan
masyarakat adat yang diperkenalkan oleh NGO lewat berbagai pelatihan, diskusi kampung
maupun penelitian advokasi. Karakter dikutip dari referensi gerakan masyarakat adat di tingkat
internasional maupun nasional (ICRAF et al. 2003) Di sini, orang Marena dan Tuva kemudian
mengklaim diri sebagai masyarakat adat. Salah satu argumen yang kerap dihadirkan adalah,
sebagai penghuni pertama di wilayah tersebut, merekalah yang layak disebut sebagai masyarakat
adat. Penguasaan berbasis historis ini kurang lebih mirip dengan pemikiran Anaya, Kingsbury
maupun Cobo yang memberi kekuatan ilmiah pada konsep ini di skala internasional.
Aturan hukum yang dinilai melindungi hak masyarakat adat sering kali dikutip dan
diambil oleh sejumlah tokoh adat untuk menegaskan ke birokrat daerah bahwa hak mereka pun
dilindungi dan diakui oleh peraturan Negara. Menurut Nixen, tokoh adat Marena, informasi
keberadaan peraturan tersebut diperoleh dari sejumlah NGO, misalnya, TAP MPR No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UndangUndang Pokok Agraria dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Klaim orang Sinduru dan Tuva pada gilirannya berimplikasi pada penguasaan tanah,
penentuan sejarah wilayah dan implementasi hukum adat. Jika mengikuti konsep hukum adat
maka seluruh tanah di dua kawasan tersebut merupakan milik orang Sinduru dan orang Kulawi
Moma. Apabila suatu kawasan hendak dibuka, di sana telah tersedia aturan tentang akses
terhadap tanah. Sejumlah prosedur tercantum secara lisan dalam warisan ingatan tokoh-tokoh
lembaga adat. Karena itu, sejarah penguasaan wilayah menjadi kunci keabsahan klaim.
Sebagaimana dipaparkan Mahori, kehadiran nenek moyang mereka sebagai pendahulu atau
penghuni pertama juga sekaligus bermakna memiliki kawasan tersebut. Dalam hal ini, hanya
dengan merujuk sejarah penguasaan pertama kali, klaim sebagai masyarakat adat relevan untuk
dihubungkan dengan klaim atas wilayah. Wilayah dan sejarah dijaga oleh hukum adat untuk
meneruskan dan merawat relasi yang terdapat di dalamnya. Artinya, dalam wilayah adat
diharapkan tetap berlaku hukum-hukum adat.
Dalam praktiknya, sejumlah kerangka konseptual dan normatif tentang masyarakat adat
terartikulasi dalam kategori keistimewaan unsur-unsur atau komponen masyarakat adat misalnya
sejarah asal muasal, kearifan ekologis, penguasaan wilayah dan hukum adat. Di Sulawesi Tengah,
keistimewaan tersebut, antara lain dipromosikan oleh NGO, seperti Bantaya, LPA Awam Green,
Yayasan Merah Putih, Aliansi Masyarakat Adat Sulawesi Tengah.
Peran NGO lewat penyebaran informasi dan pengetahuan baru juga mendorong
restrukturisasi adat. Para tokoh adat sering kali menggunakan konsep hak asasi manusia maupun
representasi stakeholders sebagai argumentasi untuk membentuk struktur baru. Di Marena
misalnya, muncul anggota lembaga adat yang mewakili perempuan dan pemuda adat. Isu
perempuan sering kali dibawa oleh NGO yang bergerak di isu tersebut dan mendorong
9
pemerintah maupun NGO lainnya atau langsung melakukan intervensi ke lembaga-lembaga adat
untuk menempatkan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan. 16
Namun, ciri masyarakat adat yang kerap menonjol di Marena dan Tuva berkaitan erat
dengan posisinya di pinggiran kawasan konservasi, yakni ciri kearifan ekologis yang menurut
tokoh-tokoh adat telah diterapkan dari generasi ke generasi. Konsep ini menekankan kapasitas
masyarakat adat menjaga stok sumber daya alam dalam kualitas dan kuantitas yang memadai. 17
Konsep ini didukung dan dipromosikan oleh banyak NGO, sering kali dengan cara
dipertandingkan dengan konsep konservasi taman nasional versi negara atau versi lembaga
konservasi internasional, seperti TNC, yang dianggap sebagai pinjaman dari konsep Barat yang
tidak membumi bahkan cenderung mengabaikan masyarakat adat. Dalam konsep kearifan
ekologis tersebut, kerangka hukum adat dijadikan rujukan, bahkan didokumentasikan oleh
masyarakatnya dengan difasilitasi oleh sejumlah NGO. Dokumentasi tersebut mencatat jenis
hukum sumber daya alam (terutama tanah, sungai, mata air, hutan), larangan, hingga sanksi bila
hukum tersebut dilanggar.
Informasi konseptual maupun kerangka normatif yang intensif mengenai hak masyarakat
adat pada giliran berikutnya menjadi rujukan bagi masyarakat adat sendiri ketika mereka bertutur
tentang dirinya sendiri. Setidaknya itulah yang tersampaikan ketika Arifin dan Rince, berturutturut adalah tokoh adat Sinduru dan tokoh adat Marena, memaparkan keberadaan masyarakat
adat secara konseptual, persis seperti kerangka yang diperkenalkan oleh sejumlah NGO, seperti
Awam Green dan Bantaya. 18 Arifin diajak Awam Green menjadi salah seorang periset yang
menggali data mengenai mekanisme penyelesaian adat terhadap konflik tenurial di Tuva.
Laporan riset memang tidak langsung berhubungan dengan penyelesaian sengketa tetapi lebih
cenderung memaparkan seluk-beluk orang Sinduru dalam berbagai aspek, yakni sejarah asalmuasal, lembaga adat, wilayah adat, hukum adat dan kearifan lokalnya dalam kaitannya dengan
upaya menjaga keberlanjutan hutan. Singkatnya, skema laporan ini persis seperti panduan yang
diperkenalkan oleh LSM yang mempromosikan eksistensi masyarakat adat.
Di sisi lain, Arifin dan tokoh masyarakat adat lainnya berulang kali menegaskan bahwa
motif mereka menguatkan adat dan perannya antara lain agar hukum adat ditegakkan secara
efektif, lembaga adat bisa bekerja dengan baik dan wilayah adat dipertahankan. 19 Motif tersebut
16
Dalam sejarah lembaga adat di Marena, beberapa kali perempuan pernah mengisi struktur adat. Menurut
tokoh adat, pengalaman itu tidak membuat mereka merasa asing dengan kehadiran perempuan dalam struktur adat.
Modal sosial tersebut dipikirkan kembali setelah informasi dan perkembangan baru diterima dan direfleksikan dalam
keputusan lembaga adat. Wawancara degan Nixen, 18-2-2009.
17
Seorang aktivis NGO misalnya berulang-ulang menggarisbawahi cara hidup masyarakat adat yang
memperlihatkan hubungan yang saling mendukung antara manusia dengan lingkungan. Cara berpikir ini sebetulnya
sangat kuat dipengaruhi oleh kemunculan isu lingkungan hidup dalam wacana Internasional sebagai protes atas
cara pembangunan top-down yang eksploitatif. Gerakan pro-lingkungan di berbagai negara sejak era 1960-an
melahirkan banyak konsep antara lain konsep hubungan yang setara dengan alam yang segera ditemukan dalam
pola relasi masyarakat tradisional dengan lingkungannya. Cara pemenuhan kebutuhan mereka yang subsisten
dengan meramu dan mengumpulkan makanan dari alam dianggap sebagai salah satu wudud pola relasi yang
menjamin sustainability sumber daya, sehingga harus dipromosikan sebagai bentuk kearifan (Durning dalam
Brown 1995:204-61).
18
Beberapa NGO memang mengambil sikap bahwa konsep tentang masyarakat adat yang mereka bawa
dikemas secara hati-hati agar pada tingkat komunitas menjadi tawaran dan bukan pilihan yang harus ditaati oleh
para tokoh adat. Namun bagi tokoh-tokoh adat, sebagaimana diterangkan Nixen, informasi-informasi tersebut adalah
rujukan baru yang dipakai untuk memperkuat posisi mereka.
19
Wawancara Arifin Panjaitan dan Roni, bekas anggota Lembaga Adat Sinduru di Tuva, 28-2-2009.
10
sering kali dibarengi dengan contoh pelanggaran hukum adat dan peran lembaga adat dalam
menyelesaikan pelanggaran tersebut dengan logika hukum adat yang tegas dan konsisten.
Akses Terhadap Tanah: Sebuah Persoalan
Pasca-pengambilalihan tanah oleh PD Sulteng, data statistik menunjukkan ketimpangan
penguasaan tanah di kedua wilayah. Di Marena, beberapa fakta, antara lain, dari 80 kepala
keluarga, 14 keluarga menguasai tanah 0,5 ha dengan tanggungan rata-rata 2-4 jiwa, 12 keluarga
menguasai masing-masing 1 ha dengan tanggungan 4-5 jiwa. Selain itu, terdapat 15 keluarga
yang tidak memiliki tanah, namun mereka rata-rata memiliki tanggungan 2-4 orang anggota
keluarga. Terdapat 1 KK yang menguasai tanah hanya 0,25 ha tapi memiliki tanggungan 6 orang.
Jika dimasukkan dalam prosentase, rata-rata per orang menguasai tanah di bawah 0,5 ha.
Penguasaan ini dikelola secara tradisional sehingga jumlah penghasilannya pun terbatas, sering
kali hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, anggota keluarga tersebut minta restu
tetangga, sesama warga Marena agar dipinjami kebun untuk tanaman berumur pendek seperti
jagung, ubi dan berbagai jenis tanaman pangan untuk keperluan sendiri.
Statistik serupa tidak jauh berbeda dengan di Tuva. Setelah dijepit oleh taman nasional,
sebagian tanah di wilayah ini juga beralih ke tangan para pejabat dan pengusaha dari kota. Dari
19,22 km² luas wilayah Tuva, 10,08 km² merupakan hak milik 6 orang dan 1 perusahaan atau
54% dari wilayah Tuva. Mereka umumnya pendatang dari wilayah lain. Seorang Jaksa di Palu
(Amir Pakude) memiliki tanah seluas 104 ha yang diperoleh dengan cara menyerobot wilayah
yang sudah dikuasai dan dimanfaatkan sejak lama oleh orang Sinduru. Sejumlah pejabat, polisi
kehutanan, aparat militer dan pengusaha juga menguasai tanah di Tuva dalam jumlah yang luas,
antara 8-70 ha. Mereka berargumen, kawasan-kawasan tersebut merupakan tanah kosong yang
bisa diajukan hak milik sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan. Selain itu, CV
Satria Abadi dan Koperasi Unit Desa Singgani, berbekal SK Bupati No. 188.45/0307/BAG.PEM
dan No. 188.4/0310/BAG.PEM tanggal 11 Mei 1994 tentang mengelola tanah Negara, bebas
juga beroperasi di Tuva. Seharusnya, izin lokasi tidak sampai ke wilayah Tuva, tapi praktiknya
KUD tersebut masuk ke Tuva untuk melakukan penebangan kayu. Wilayah itu, menurut hukum
adat Sinduru, merupakan bagian dari wilayah adat mereka.
Menurut Konstruksi UU No. 56 Prp 1960, komposisi luas tanah pertanian adalah sebagai
berikut:
Hak
Penguasaan tanah dalam
bentuk: Hak milik,
Sewa, Hak Pakai, HGU,
Bagi Hasil
Hak milik per keluarga
Luas tanah
• 20 hektar
• Mengingat keadaan daerah,
bisa ditambah 5 ha
Diusahakan pemerintah minimum
2 ha
Peruntukan
• Sawah atau tanah kering
• Sawah dan tanah kering
Tanah pertanian
Pasal
1 ayat (1) &
(2)
8
Namun hampir semua komposisi ini sama sekali tidak terwujud di Tuva dan Marena.
Yang terwujud justru pelanggaran atas undang-undang ini yakni penguasaan tanah hak milik
pertanian melampaui 20 hektar oleh pengusaha, politisi dan pejabat dari Palu (LPA Awam
Green 2001).
11
Sejak lama, orang Sinduru dan Kulawi Moma resah dengan persoalan tersebut. Pascakejatuhan Soeharto, mereka mulai melakukan lobi dan negosiasi dengan pemerintah maupun
pengusaha dengan menggarisbawahi status mereka sebagai masyarakat adat. Konsep itu dengan
segala kekhususannya merupakan terminologi yang tidak dikenal dalam kosa kata Sinduru
maupun Marena. Sehari-hari, mereka menyebut dirinya orang Sinduru atau orang Kulawi Moma.
Penyebutan tersebut tidak lebih dari identifikasi diri untuk memastikan dari mana mereka
berasal, dengan membedakan diri dari Bugis, Sarudu, Jawa maupun suku lain di sekitar mereka,
tanpa suatu pesan dan maksud politik seperti keistimewaan yang tersedia bagi istilah masyarakat
adat.
Namun, pasca-1998 istilah masyarakat adat menyeruak masuk ke kedua komunitas ini,
terutama oleh peran NGO. Berbagai NGO yang mendukung gerakan masyarakat adat menyebut
istilah ini dan memaparkan acuan kerangka konseptualnya yang diterima oleh hukum nasional
dan tercantum dalam hukum internasional. Istilah ini banyak mengubah makna dan cakupan
penamaan sebagai Sinduru dan Kulawi Moma; bukan lagi sekadar panggilan atau penamaan diri
untuk membedakan diri dari etnis lain tapi segera menjadi benefit. Singkatnya, istilah tersebut
membawa banyak konsekuensi baru bagi orang Kulawi dan Sinduru, terutama dalam kaitannya
dengan tanah.
Peran Penengah Konflik
Sebagai komunitas di tepi kawasan konservasi, relasi Sinduru dan Marena dengan kawasan hutan
sudah berlangsung lama, tapi awal 1990-an juga menjadi perhatian berbagai organisasi lain.
Kehadiran program TNC tahun 1992 dan beberapa LSM lain menandai silih berganti informasi
yang diterima masyarakat adat dalam isu konservasi. Beberapa NGO seperti Bantaya, Yayasan
Merah Putih, Yayasan Tanah Merdeka dan LPA Awam Green cenderung menggunakan
perspektif hak masyarakat atas otonominya sendiri untuk mendorong masyarakat dari situasi
kurang melek (unperceived injurious experience, unPIE) menjadi menyadari (perceived
injurious experience, PIE) kegagalan kebijakan pemerintah, ketidakadilan relasi sosial-politik,
dan dampak-dampak langsung yang mereka hadapi akibat konservasi dan kebijakan peruntukan
kawasan lainnya. 20
Berbasis otonomi tersebut, kelompok NGO ini percaya bahwa masyarakat adat sanggup
mengolah dan melestarikan kawasannya, tanpa harus diceramahi oleh konsep konservasi yang
berasal dari luar. Sebagian di antaranya mengkategorikan konservasi ala TNC sebagai konservasi
fasis karena semata-mata mengedepankan penghargaan atas hak hewan dan tumbuhan,
sementara keberadaan manusia hampir terlupakan. 21 Dalam implementasi konsep pun, dua kubu
ini berbeda satu sama lain. LPA Awam Green percaya bahwa konsep konservasi harus berasal
dari komunitas sendiri dan didukung serta digerakan oleh lembaga adat. Sementara TNC
menggunakan aturan negara sebagai rujukan utama dan menempatkan komunitas adat serta
komunitas lainnya dalam posisi yang sama. Keistimewaan nilai tradisional suatu komunitas,
dalam pandangan TNC, diberlakukan sejauh mendukung konservasi.
Program TNC tidak lepas dari pengaruh perkembangan konsep konservasi di tingkat
internasional. Sebelum 1970, perspektif koservasi sangat dikuasai oleh paradigma biosphere
reserve yang menempatkan tujuan konservasi pertama-tama sebagai upaya perlindungan
20
Konsep unPIE dan PIE dapat dilihat dalam Felstiner et al. (1980/1981:633)
Acciaioli 2006 http://dlc.dlib.indiana.edu/archive/00001815/00/Acciaioli_Greg.pdf, diunduh pada 17-42009; lihat juga Fakih dalam Dietz (1998:x-xi).
21
12
lingkungan hidup non-manusia. Selain itu, pengelolaannya pun menjadi monopoli pemerintah
dan sejumlah organisasi konservasi internasional, termasuk TNC. Dekade 1970-an kemudian
ditandai dengan berbagai tuntutan di belahan dunia yang mendorong agar paradigma dan
pengelolaan konservasi seharusnya melibatkan komunitas di dalam dan sekitar kawasan
konservasi, terutama masyarakat adat. TNC, sebagai salah satu pionir terkemuka dalam
mendukung kawasan taman nasional, juga tidak luput dari tuntutan tersebut. Dia
mengembangkan konsep eco-region dan memperlihatkan komitmen untuk co-management atau
pengelolaan kolaboratif melalui kerja bersama partner lokal, termasuk masyarakat adat. Meski
tetap mengembangkan kerja sama dengan masyarakat adat namun program TNC tetap
mendukung keberadaan zona inti taman nasional sebagai wilayah yang sama sekali tidak boleh
disentuh oleh manusia. Dalam hal ini, jendela paradigma biosphere reserve sebetulnya masih
dominan dalam perspektif konservasi TNC. Di Indonesia, TNC bekerja sama dengan Dirjen
PHKA Departemen Kehutanan untuk mendorong semakin berkembangnya kawasan konservasi.
Program inti mereka adalah pengembangan kawasan konservasi yang didukung oleh dana dari
berbagai perusahaan internasional, seperti General Motors, American Electric Power,
Caterpillar. 22 Kedekatan dengan perusahaan-perusahaan ini acap kali mendapat sindiran dan
kritik tajam dari sejumlah NGO. Seorang pengkritik, Keith, dalam website TNC bahkan menulis
The Nature Conservancy: Partnering with Poisoners. 23 Kritik ini kurang lebih mirip dengan
kritik sejumlah aktivis di Indonesia, termasuk di wilayah kerja TNC, Taman Nasional Lore
Lindu (lih. Acciaoli 2006).
Di Taman Nasional Lore Lindu, setelah inisiatif ko-manajemen konservasi dituangkan
oleh berbagai NGO, TNC mengembangkan konsep Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM).
Konsep ini tidak menempatkan lembaga masyarakat adat sebagai satu-satunya pilihan partner
pengelolaan konservasi tapi hanya menyebut komunitas pinggiran kawasan konservasi sebagai
mitra pelaksanaan program. Artinya, dia tidak memperlakukan masyarakat adat dan pendatang
secara berbeda. Sehingga lembaga konservasi hasil kesepakatan tersebut ditempatkan di tingkat
desa, bukan di lembaga adat. Namun, meski mempromosikan kesamaan, program KKM ini
justru menggunakan konsep yang biasa dipakai mendukung keberadaan masyarakat adat.
Misalnya, penelusuran sejarah desa dan kearifan lokal sebagai dua konsep yang kerap digunakan
para pembela hak masyarakat adat.
NGO pendukung masyarakat adat pun, meski sadar membela hak masyarakat adat, juga
melihat pentingnya penghargaan terhadap hak kelompok lain, seperti perempuan dan etnis
pendatang. Namun barisan NGO ini cenderung mengedepankan promosi hak masyarakat adat
tanpa kritik, karena menurut mereka fakta di lapangan hak-hak tersebut dilanggar secara
telanjang oleh pemerintah maupun pemilik modal. Bagi mereka, di tengah perjuangan
memulihkan hak, agak kontraproduktif jika secara bersamaan dialamatkan juga kritik atas hak
tersebut. 24 Sebagian NGO ini memiliki program khusus yang didanai sejumlah donor. Mereka
bekerja mengikuti target output yang direncanakan, tapi juga sering kali dimodifikasi sedemikian
rupa agar fleksibel mengikuti situasi di lapangan. Bantaya, misalnya, mensyaratkan keterlibatan
anggota masyarakat adat dalam aktivitas-aktivitasnya. Dalam istilah mereka, tidak dikenal
konsep masyarakat dampingan atau wilayah kerja tetapi menggunakan istilah rekan kerja. Istilah
“rekan” lebih menampilkan makna egaliter daripada “masyarakat dampingan” yang bisa
22
http://www.cbd.int/financial/businessfunding.shtml, Jakarta, April 2009.
http://thesietch.org/mysietch/keith/2008/04/19/the-nature-conservancy-partnering-with-poisoners/
24
Sahrun, wawancara 18-2-2009, di Palu.
23
13
dimaknai top-down. 25 Selain itu, beberapa aktivitas mereka tidak berbasis program yang
terencana, tapi merespons kasus yang terjadi di lapangan. Pengalaman LPA Awam Green dalam
kasus illegal logging di Tuva dan reklaiming di Marena, sama sekali tidak tercantum dalam
program yang didanai.
Perlawanan: Mengembalikan Tanah Adat
Tokoh adat Marena, Rince dan Nixen, mengungkapkan bahwa rasa tidak adil mengenai
penguasaan tanah yang timpang sebetulnya sudah berlangsung sejak lama, namun tuntutan
tersebut tenggelam dalam gerutuan sehari-hari dan tidak terungkap ke lembaga-lembaga
pemerintah karena takut diintimidasi aparat dan dikategorikan sebagai PKI, sebuah cap
mematikan terutama semasa Orde Baru bagi siapa saja yang kritis dan progresif menentang
penguasa dan kroninya. Sekarang ini, setelah mendapat banyak informasi dan pengetahuan dari
berbagai sumber, terutama NGO, semua peristiwa pengambilan tanah tersebut mereka
kategorikan sebagai bentuk ketidakadilan terhadap keberadaan mereka sebagai masyarakat
adat. 26 Menurut mereka, ada beberapa tingkat ketidakadilan yang mereka alami:
Pertama, kebijakan pemerintah. Ada dua kebijakan pemerintah yang langsung
berpengaruh terhadap akses atas tanah, yakni penetapan peruntukan kawasan konservasi dan
peruntukan kawasan produksi. Penetapan Taman Nasional Lore Lindu yang dimulai tahun 1970an, memiliki implikasi pembatasan akses atas sumber daya alam secara langsung bagi
masyarakat adat di Tuva dan Marena. Menurut orang Marena dan Tuva, proses dan substansi
penetapan kawasan taman nasional sangat tertutup. Warga selanjutnya diminta untuk tidak
masuk ke dalam kawasan tapi pada awalnya tidak begitu jelas mengapa ada larangan (lihat Box
3). Kepatuhan akhirnya terjadi melalui sejumlah ancaman dan intimidasi dari pihak taman
nasional.
Box 3:
Proses Penetapan Tata Batas Taman Nasional
Ketika tata batas Taman Nasional Lore Lindu berupa patok-patok semen dibuat oleh Dinas Kehutanan setempat,
mereka mempekerjakan warga setempat untuk mengangkut patok-patok tersebut agar ditanam mengikuti instruksi
petugas dari Dinas Kehutanan. Ami dan Mahori, orang Sinduru masih mengalami langsung proses itu. Menurut
mereka, tidak ada informasi mengenai fungsi patok-patok tersebut. Masyarakat diberi upah untuk memikul patok
tersebut. Sebagian patok tersebut ditancapkan begitu saja di kebun orang karena para pekerja tidak sanggup
memikul patok dalam jarak yang jauh dan medan yang berat. Alhasil, di kemudian hari patok-patok tersebut menjadi
acuan bagi petugas Taman Nasional untuk memastikan tata batas kawasan, tapi juga sekaligus terbatasnya bahkan
terputusnya akses para pemilik kebun atas kebunnya sendiri.
Selain Taman Nasional, bentuk kebijakan negara yang lain adalah menggunakan
argumen konservasi untuk menutupi bisnis terselubung sejumlah aparat pemerintah daerah.
Kasus Perkebunan Cengkih Pronvinsi Sulawesi Tengah menjadi contoh untuk kebijakan ini.
Lihat box 4.
Box 4:
Penghijauan untuk Kebun Cengkih
Rince, tokoh adat Marena, mengalami langsung peristiwa pengambilalihan tanahnya pada tahun 1970. Tanah yang
25
26
Hedar Laudjeng, wawancara 12-2-2008 di Palu.
Nixen, wawancara 18-2-2009 di Palu, Rince, wawancara 3-3-2009.
14
dibuka generasi pertama orang Marena tahun 1932, diambilalih Dinas Kehutanan sebagai kawasan penghijauan.
Total luas tanah yang diambil adalah 125 ha. Sebetulnya, total tanah yang diambilalih untuk proyek perkebunan
cengkih adalah 625 ha. Sebagian kawasan lainnya diambil dari tanah warga di Salua (50 ha), waTuvalih (325 ha),
Makuhi (100 ha). 27 Akibat program tersebut, masyarakat dilarang untuk berkebun dan membuka tempat
penggembalaan ternak di wilayah itu.
Pengambilalihan tanah orang Marena oleh PD Sulteng untuk perkebunan Cengkih, menurut kedua tokoh ini
dan sebagian besar masyarakat adat Marena, telah meninggalkan rasa sakit hati yang terus dikenang. Mereka tidak
mendapat ganti rugi apa pun. Sebagian warga yang mendapat ganti rugi, hanya memperoleh Rp 2.500/ha. Seorang
tokoh lembaga adat dari kalangan perempuan, Yenny, menyampaikan rasa ketidakadilan tersebut ketika masyarakat
melakukan negosiasi pengembalian tanah dengan jajaran petinggi PD Sulteng, sebagai berikut “karena
pengkaplingan lahan oleh PD Sulteng, suami-suami kami tidak lagi dapat bekerja karena tidak punya lahan lagi
untuk diolah, karena kami tidak punya tanah lagi. Olehnya hal ini dapat dipertimbangkan oleh bapak-bapak di PD
Sulteng untuk mengembalikan lahan kami” 28
Tanah PD Sulteng tersebut dulunya merupakan kawasan pertanian dan tempat penggembalaan ternak orang
Marena. Sepeninggalan PD Sulteng, tanah tersebut tidak lagi terawat tapi larangan pemanfaatan tanah masih terus
berlanjut. Masyarakat Adat Marena memperoleh informasi bahwa 25 ha dari tanah itu sudah dimiliki oleh dua orang
pengusaha dari Palu. Sebuah informasi yang membuat mereka semakin merasa diperlakukan tidak adil oleh
Pemerintah. Karena itu, mereka berupaya menggarap tanah secara diam-diam, meski sering kali berada di bawah
bayang-bayang intimidasi aparat kecamatan. Sepanjang periode 1990-an sampai awal 2000, pemanfaatan tanah
secara diam-diam adalah kegiatan sembunyi-sembunyi. Beberapa kali tokoh adat dipanggil pihak kecamatan untuk
memastikan tanah PD Sulteng tidak diambilalih warga.
Alex Sibala dan direktur PD Sulteng sendiri dihukum karena korupsi dana penghijauan. Sementara PD
Sulteng menunggak pajak lebih dari 50 juta rupiah. Memang ada komitmen lisan PD Sulteng untuk mengembalikan
tanah tersebut tapi menyerahkan keputusan formal ke tangan Gubernur. Menurut warga, situasi yang semrawut dan
memperlihatkan bobroknya PD Sulteng seharusnya menjadi alasan untuk mengembalikan tanah tersebut secara
resmi ke masyarakat adat Marena. Namun, tanah itu tak kunjung kembali. Perjuangan mereklaiming tanah tersebut
sudah dilakukan dan atas inisiatif lembaga adat tanah tersebut dibagikan ke masing-masing warga. Tapi pengakuan
pemerintah, yang mereka tunggu, tidak kunjung muncul.
Masyarakat Adat Marena merasa bahwa pemerintah masih enggan melepaskan tanah
bekas PD Sulteng secara formal karena mereka masih memiliki misi terselubung. Alasan
formalnya, alas hak PD Sulteng adalah hak pengguna-usahaan yang harus dikembalikan ke
Gubernur. Untuk mendpatkan hak baru, harus ada bentuk pelepasan dari hak pengguna-usahaan
ke hak baru tersebut. Namun hak pengguna-usahaan sangat suram dalam hukum nasional. Lihat
Box 5.
Box 5:
Hak Pengguna-usahaan
Hak pengguna-usahaan keluar dari dapur Departemen dalam Negeri. Hasil dari fragmentasi Departemen akibat
manajemen sektoral juga menghasilkan kebijakan-kebijakan sektoral. Dalam urusan tanah, tidak hanya BPN yang
memiliki kewenangan mengatur pertanahan, tapi juga departemen-departemen lain, termasuk Depdagri. Penyebutan
konsep hak pengguna-usahaan sulit dicari rujukan definisinya, tapi secara normatif, tertuang dalam sejumlah
peraturan. Misalnya, Perda DKI No. 5 Tahun 1997 ttg Penyertaan Modal Daerah DKI dalam Pembentukan PT
Pembangunan Pantai Utara Jakarta menyebut pengguna-usahaan tanah hasil reklamasi. Dalam skema peraturan
tersebut, hak pengguna-usahaan dapat ditingkatkan statusnya menjadi Hak Pengelolaan yang terdapat dalam
Undang-Undang Pokok Agraria. Skema selanjutnya mengikuti skema UUPA, yakni di atas tanah Hak Pengelolaan
(HPL) atas nama Pemerintah Daerah diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada perseroan dalam bentuk Hak
Guna Bangunan (HGB) Induk .
Pasca-reformasi, sebutan hak pengguna-usahaan dikeluarkan dalam beberapa peraturan Menteri dalam
27
Dokumen Advokasi LPA Awam Green.
Catatan LSM LPA Awam Green dalam dialog dengan PD Sulteng (5 Juni 2001, pukul 14.00 WITA,
Kantor PD Sulteng).
28
15
Negeri. Pasal 1 angka 29 Kepmendagri No. 11 Thn 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah menyebut
pengguna-usahaan sebagai salah satu bentuk pemanfaatan barang Daerah oleh instansi dan atau Pihak Ketiga.
Pengguna-usahaan sebagai bentuk pemanfaatan juga disebut dalam materi diklat Teknis Manajemen Aset
Daerah, Departemen dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara (Juni 2007), modul 3. Di sana disebutkan
bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik adalah penyewaan, pinjam pakai dan pengguna-usahaan.
Hak pengguna-usahaan bukan merupakan hak yang berasal dari UUPA. Dalam tuntutan
orang Marena, hak yang mereka inginkan adalah hak adat, sebagaimana disebutkan dalam
UUPA, pasal 3:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Tuntutan pengakuan hak ulayat diajukan berdasarkan klaim bahwa orang Kulawi Moma
di Marena adalah masyarakat adat. Dalam surat resmi ke Gubernur Sulawesi Tengah, warga
Marena berharap bahwa tanah yang sudah mereka kelola diakui secara resmi oleh Gubernur
sebagai tanah adat Marena.
Kedua, kehadiran migran. Pada 2000, Indonesia menempati urutan ketiga produsen kakao
terbesar dunia. Sebagian besar produksi disumbang oleh petani-petani kecil dari Sulawesi (Li
2007:110). Dalam sejarah kakao di nusantara, Sulsel sudah mengenalnya sejak lama, kurang
lebih pada periode 1820-1880 (Faust et al. 2003:12). Tapi, di Sulteng kakao diperkenalkan ke
masyarakat setempat baru pada tahun 1980-an oleh migran dari Bugis. Warga setempat
mengakui, jika tidak diperkenalkan oleh orang Bugis mereka sama sekali tidak mengenal kakao
dan keuntungan ekonomi yang dihasilkannya (Li 2007:109). Lihat Box 6:
Box 6:
Migran dan Kebutuhan Akan Tanah
Hidup koeksisten dengan etnis lain merupakan sesuatu yang lumrah dalam sejarah suku-suku di pinggiran Taman
Nasional Lore Lindu. Sejak 1950-an, mereka sudah menerima migrasi besar-besaran yang terdiri dari orang Seko
dan Rampi dari Sulsel yang mencari suaka akibat pemberontakan DI/TII Kaharmuzakar. Hingga penghujung 1980an, suku-suku lain, seperti Jawa, Bugis, Batak, Toraja, Flores juga masuk ke sana tapi tidak dalam jumlah yang
besar. Namun, pada era 1990-an, migrasi spontan Bugis/Mandar dari Sulsel mulai meningkat. Dalam survei yang
dilakukan STORMA 2000/2001, motif migrasi spontan tersebut terutama dipicu oleh ketersediaan tanah (45%) dan
kesempatan kerja (39%) (Faust et al. 2003:11). Mereka mendapatkan tanah lewat jual beli dengan masyarakat
setempat atau dipandu oleh para “bos”, jaringan sosial sebagai pedagang atau petani Bugis. Para calon migran
bahkan menyewa bis dari Sulsel untuk mencari tanah yang cocok di Sulteng. Pemandu yang sudah beberapa dekade
mendiami dataran tinggi Sulteng memfasilitasi kedatangan mereka dan menghubungkan dengan broker penjualan
tanah (Li 2007:109-11). Jaringan ini semakin intensif ketika permintan kakao meningkat.
Di Watumaeta, wilayah Napu, Sekertaris Desa yang baru menyadari jumlah kaum migran Bugis begitu
besar pada tahun 2001 yakni 63% dari jumlah penduduk. Perkembangan serupa terjadi di daerah lain, seperti Sigi
Biromaru, Palolo, Kulawi dan Lore Utara (Li 2007:111, 311). Statisktik yang sama diperlihatkan di Tuva.
Komposisi penduduk pada tahun 2004 adalah orang Sinduru (5%), Mandar (25%), Bugis (20%), Toraja (10%), Seko
(10%), Kaili (20%), lain‐lain (10%). (Dokumen Advokasi LPA Awam Green 2001).
Kehadiran migran para pemburu kawasan baru (tanah) menghadirkan sejumlah kondisi. Pertama
peningkatan jumlah penduduk yang bergantung pada tanah, apalagi dengan skala yang luas untuk perkebunan
kakao, juga meningkatkan tekanan terhadap kebutuhan atas tanah. Pembukaan kawasan taman nasional dan wilayahwilayah baru semakin meluas. Di Tuva, sebagian besar warga dusun dua, yang umumnya migran memiliki kebun di
kawasan Taman Nasional. Kedua, kehadiran migran di penghujung 1990-an hingga 2000-an diikuti dengan rentetan
16
persoalan komunikasi dan relasi dengan masyarakat setempat. Migran Seko, Rampi dan migran lain dalam periode
sebelumnya, meminta izin secara resmi kepada kepala adat untuk diperbolehkan tinggal di tempat itu. Kepala adat
selanjutnya membagikan mereka tanah. Sementara, migran Bugis/Mandar yang menghuni tepian kawasan atau di
dalam kawasan Taman Nasional, dipandu oleh para broker tanah dan jaringan etnisnya sendiri, sehingga sering kali
di luar jangkauan lembaga adat dan administrasi desa. Banyak di antaranya tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga
menyulitkan komunikasi. Secara perlahan komunitas-komunitas pendatang ini menjadi eksklusif. Letupan konflik
kerap terjadi, sering kali hanya dipicu oleh sindiran yang remeh-temeh. 29
Perkembangan ekonomi di awal tahun 2000 tersebut pada giliran berikutnya juga memicu
peningkatan transaksi tanah dan meningkatkan jumlah penduduk. Mahori dan Arifin mengakui
bahwa pembukaan kawasan taman nasional di wilayah Tuva dan sekitarnya mulai terjadi secara
besar-besaran pasca-tahun 2000-an. Umumnya daerah baru tersebut ditanami kakao. Pionirnya
adalah migran Sulsel. Pada pendatang ini menjadi kelompok ekonomi baru yang mendapatkan
tanah dalam jumlah yang luas dari warga setempat maupun pembukaan taman nasional,
sementara warga setempat semakin kehilangan tanah. Mereka membangun etos kerja sebagai
perantau yang kompetitif membuka dan mengerjakan lahan (Sitorus 2002:9-11).
Dalam pandangan tokoh-tokoh adat Marena dan Tuva, kaum pendatang ini harusnya
menghormati adat istiadat setempat dengan mengakui hukum adat setempat. Dalam mengakses
tanah, seharusnya mereka minta restu lembaga-lembaga adat sebagaimana sudah terjadi pada
generasi pendatang sebelumnya. Seperti kata Mahori, “Tidak ada pembukaan tanah main
sembarang begitu, dulu harus izin lembaga adat dan dibagi oleh lembaga adat. Orang tua saya
selaku kepala adat dulu membagikan tanah ke pendatang dan orang Sinduru.”
Mahori, Arifin, Maida dan beberapa tokoh adat Sinduru menegaskan perlunya
mengembalikan situasi di Tuva ke dalam kontrol adat, bukan ke tangan kepala desa. Pemerintah
Desa harus mengakui masyarakat adat dan wilayah adat. Penegasan ini selanjutnya dihubungkan
dengan kearifan ekologis yang dimiliki masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Di bawah
kontrol adat, hutan adat yang juga merupakan hutan konservasi dan hutan lindung, masih terjaga.
Ketika kontrol adat diambilalih pemerintah (desa), justru kawasan konservasi dijarah. Apalagi,
kepala desa saat ini dipegang oleh orang yang berasal dari etnis mayoritas yang menjadi pionir
pembukaan kawasan taman nasional. Orang Sinduru yang jumlahnya minor sangat rentan
dituduh sebagai pelaku perambahan taman nasional.
Situasi ketidakadilan ini hanya bisa diatasi jika kewenangan adat atas wilayah Tuva
dikembalikan dan untuk itu Peraturan Daerah yang menempatkan adat di bawah kontrol desa
harus dicabut. Menurut Arifin, Peraturan Daerah yang seharusnya ada adalah Perda yang
mengakui hak-hak masyarakat adat sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945. Dengan
merujuk pasal 18B ayat 2 dan pasal 28I ayat 3 UUD 1945, Arifin menyampaikan bahwa hak
masyarakat adat adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh diingkari negara.
Pengingkaran merupakan pelanggaran sistematis oleh negara atas hak-hak konstitusional
masyarakat adat.
Analisis Hukum
29
Arifin, wawancara di Tuva, 27-2-2009.
17
Masalah akses tanah di kawasan hutan sebagiannya telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di skala nasional. Rujukan utamanya adalah Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Lihat Box 7.
Box 7:
1)
2)
3)
Pasal 67
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya,
berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
a. Syarat-Syarat
Undang-undang ini memberi ruang dalam batasan tertentu terhadap masyarakat hukum adat,
bukan masyarakat adat. Namun, tidak ada kejelasan mengenai relasi antara konsep masyarakat
hukum adat dengan konsep indigenous peoples. Pasal ini hanya menyebut dua hal penting dalam
hubungannya dengan syarat terhadap masyarakat hukum adat yakni: pertama, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, dan kedua, jika keberadaannya sudah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Dalam bagian lain, pasal 4 ayat 3 undang-undang ini, tercantum syarat lain
yakni sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Syarat-syarat ini juga
berkembang biak dalam peraturan-peratuan yang lain seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, UU
No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air hingga
UU No. 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam temuan Rikardo Simarmata, syarat-syarat ini sebagiannya merupakan kelanjutan
dari ketentuan yang berlaku pada era kolonial Belanda. Namun, pada era pemerintah kolonial
Belanda syarat-syarat pengakuan masyarakat hukum adat dicantumkan untuk mengakui hukum
adat dan pemerintahan desa. Tetapi, pasca-kemerdekaan, syarat-syarat ini berkembang biak ke
objek-objek lainnya, antara lain hak ulayat, hukum adat, mengatur adat istiadat, kebiasaankebiasaan masyarakat dan lembaga adat (Simarmata 2006: 309-14).
Di Kabupaten Donggala, skema pengakuan hukum masyarakat adat di tingkat nasional
juga diterapkan dalam Perda Kabupaten Donggala No. 13 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan,
Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Dalam perda ini, berbagai
promosi dan dukungan terhadap masyarakat adat, selain menekankan kekhususan masyarakat
adat, juga mendorong terbentuknya struktur-struktur baru dalam lembaga adat. Perda tersebut
menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah melalui unit desa memfasilitasi maupun membentuk
lembaga-lembaga adat untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan,
kelangsungan pembangunan dan peningkatan ketahanan nasional serta turut serta mendorong
18
mensejahterakan warga masyarakat setempat. 30 Struktur baru dalam Perda tersebut melahirkan
beberapa lembaga adat bentukan baru seperti pitu nggota yang mengklaim diri sebagai lembaga
adat yang mendapat mandat sebagai pemimpin lembaga-lembaga adat lainnya di tingkat
kabupaten. Perda ini juga menyebutkan bahwa bupati merupakan pembina lembaga adat,
semacam “raja” adat yang posisinya berada di atas semua struktur adat di tingkat kampung, desa
dan kecamatan.
b. Kelembagaan
Dalam semua peraturan perundang-undangan yang mengakui masyarakat adat saat ini, tidak
begitu jelas lembaga mana yang TUPOKSI-nya (tugas pokok dan fungsi) mengatur dan
mengurus masyarakat hukum adat sebagai entitas yang utuh, tidak terpecah-pecah berdasarkan
sektor. Ketiadaan lembaga semacam itu membuat pengaturan tentang masyarakat hukum adat
menjadi kesulitan dalam program. Dalam temuan Rikardo di sejumlah daerah, pertanyaanpertanyaan teknis seperti, lembaga mana yang mengajukan anggaran untuk melaksanakan
identifikasi hak ulayat justru menjadi persoalan yang hampir sama sulitnya dengan pemahaman
tentang masyarakat adat itu sendiri (Simarmata 2006:339-45). Situasi ini ditegaskan oleh Yanis,
Kepala Bagian Umum dan Informasi BPN Provinsi Sulteng yang melihat tidak ada inisiatif
pemerintah daerah untuk mengakui tanah ulayat sebagaimana tertera dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria No. 5 Tahun 1999. Dalam peraturan tersebut, Pemerintah Daerah harusnya
segera membentuk tim untuk melakukan penelitian mengenai tanah ulayat masyarakat hukum
adat. Menurut Yanis, kegiatan ini belum dimulai di Sulawesi Tengah, sehingga status klaim
tanah-tanah adat, secara hukum belum jelas. Masalah pendanaan juga diuraikan Yannis. Tidak
ada alokasi khusus dalam APBD untuk mengidentifikasi maupun meregistrasi tanah-tanah ulayat,
sehingga upaya-upaya melakukan identifikasi tanah, sebagaimana dikerjakan BPN, dilakukan
berbasis TUPOKSI masing-masing sektor, tidak dikerjakan secara bersama-sama yang
melibatkan banyak sektor. Akibatnya, sering kali terjadi tumpang tindih klaim tanah atau
wilayah, terutama antara masyarakat adat dengan Dinas Kehutanan. 31
Dalam kaitannya dengan pengaturan peruntukan dan distrisusi tanah, BPN merupakan
lembaga yang memiliki peran sentral. Menurut Tugas Pokok dan Fungsinya, Badan Pertanahan
Nasional, memiliki sejumlah fungsi. Dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006, fungsi BPN,
antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah
khusus;
penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah
bekerjasama dengan Departemen Keuangan;
pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
30
Dalam studi Simarmata, inisiatif Perda ini tidak semata-mata didorong oleh reformasi tapi sudah
terbentuk sejak lama di bawah panduan yang telah disediakan oleh Depdagri di bawah Ditjen Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa sejak tahun 1984 melalui Permendagri No 11 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan. Lihat Simarmata (2006:79-80).
31
Yannis, wawancara 5-3-2009, di Palu.
19
Fungsi ini dalam kaitannya dengan akses masyarakat adat terhadap tanah sudah diatur
dalam peraturan sebelumnya, Peraturan Mentri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini
menyebutkan beberapa langkah institusional dalam pengakuan hak ulayat masyarakat hukum
adat (pasal 5), yakni:
1.
2.
Penelitian dan penentuan masih adanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan
mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di
daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi
yang mengelola sumber daya alam.
Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan dalam
peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan
apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam
daftar tanah.
Namun fungsi BPN, tidak bisa bekerja dalam kawasan konservasi dan kehutanan. Aturan
dan otoritas pada areal konservasi merupakan bagian dari regim hukum konservasi dan
kehutanan, dalam hal ini Departemen Kehutanan. Otoritas tersebut berasal dari politik hukum
sumber daya alam sejak awal Orde Baru.
Dalam sejarah Orde baru, dengan berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Kehutanan segera dikenal konsep kawasan hutan negara yang merupakan
interpretasi lebih lanjut dari pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”. Istilah “dikuasai oleh negara” dalam kawasan hutan dikenal dengan istilah
“hutan negara”. Istilah ini kemudian melebar dalam berbagai strategi dan pelaksanaan fungsi
departemen kehutanan. Sebagaimana dipaparkan McCarthy:
Untuk memperkuat penguasaan negara atas wilayah hutan luas yang ditemukan di wilayah ini,
pemerintah Orde Baru memulai serangkaian pelatihan pemetaan hutan. Pelatihan pemetaan ini
bertujuan untuk mengatasi masalah perencanaan antara pelbagai sektor Negara untuk membantu
pengembangan industri kehutanan dengan memfasilitasi alokasi hak pengusahaan atas tanah hutan.
Puncak dari proses ini terjadi pada 1980, ketika Menteri Pertanian (kemudian bertanggung jawab
untuk kehutanan) meminta masing-masing gubernur provinsi (di daerah luar Jawa) mempersiapkan
Tata Guna Hutan Kesepakatan atau TGHK. Menurut klasifikasi TGHK terdapat 143.800.000 ha
permukaan tanah di Indonesia (sekitar 75% dari wilayah negara) sebagai “tanah hutan” – wilayah
tanah yang kemudian berada di bawah jurisdiksi Departemen Kehutanan ((Mc Carthy 1999:3-4)
Berdasarkan konsep TGHK maka kawasan hutan taman nasional, hutan lindung maupun
hutan produksi terbatas di Tuva dan Marena dikategorikan sebagai hutan negara. Di situ terjadi
tumpang tindih klaim antara klaim wilayah adat oleh berbagai komunitas adat termasuk Tuva
dan Marena.
c. Larangan di Area konservasi
Sebagai kelanjutan dari besarnya porsi kewenangan Departemen Kehutanan di kawasan
konservasi, kontrol terhadap kawasan tersebut diambil sepenuhnya oleh birokrat dari
Departemen Kehutanan. Di kawasan yang diklaim sebagai wilayah adat Tuva maupun Marena,
hukum konservasi juga berlaku secara ketat. Menurut Yakobus, pejabat PPNS di Balai Besar
20
Taman Nasional Lore Lindu, Balai Taman mengedepankan hukum negara terutama UndangUndang Konservasi No. 5 Tahun 1990, UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 untuk melarang
aktivitas apa pun dalam kawasan hutan konservasi. Dalam salah satu pasal UU Kehutanan
disebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang: (a) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau
menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (b) merambah kawasan hutan; (c) membawa alatalat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Rumusan ini sering kali menjadi pasal tuntutan atas
warga Sinduru yang diduga melakukan pelanggaran (lihat Box 8).
Box 8:
Penerapan Kebijakan Taman Nasional
Sahrun, seorang warga Sinduru, pernah dipanggil Balai Taman Nasional karena tuduhan merambah kawasan Taman
Nasional berdasarkan pasal 50 ayat 3 huruf a dan b UU No. 41 Tahun 1999 jo pasal 78 ayat 2 UU No. 41 Tahun
1999. Sahrun merasa tuduhan pelanggaran atas dirinya dan keempat orang adiknya tidak adil. Menurut dia, daerah
yang mereka buka adalah bekas kebun nenek moyang mereka ketika kampung Tuva masih berada di lereng bukit.
Setelah Tuva bergeser ke dataran rendah seperti saat ini, kawasan yang ditinggalkan tersebut dikategorikan sebagai
kawasan Taman Nasional. Sahrun tahu ada larangan membuka kawasan Taman Nasional, namun banyak orang lain
yang sudah membuka kawasan tersebut, meskipun mereka bukan orang Sinduru. Kata Sahrun, “Daripada daerah itu
habis dirambah orang lain, lebih baik kita yang punya hak ini cepat-cepat paras (membuka kawasan) juga”. 32
Dokumen resmi Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu No. LK/02/III/2008 tanggal 8 April 2008 menyebutkan
saksi pelapor dalam kasus Sahrun adalah seorang migran (Abdul Manaf, Kepala Dusun I, Desa Tuva) yang menurut
orang Sinduru tidak paham dengan sejarah wilayah adat orang Sinduru. Di kepala Sahrun, kehadiran Taman
Nasional memang menjadi salah satu masalah utama bagi orang Sinduru, terutama dalam akses atas tanah.
Berharap pada Lembaga Pemerintah
Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat adat Kulawi Moma di Marena dan Sinduru di Tuva
sering kali menghadapkan mereka pada beberapa forum yang menawarkan diri seperti BPN
maupun yang hadir karena forum tersebut langsung bersinggungan dengan tanah yang dikuasai
atau diklaim sebagai wilayah adat, dalam hal ini Balai Taman Nasional.
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Beberapa kali, pejabat BPN melakukan kunjungan lapangan ke Marena. Namun kehadiran
mereka kurang mendapat respons, dalam arti penyampaian klaim, oleh warga. Beberapa tokoh
adat di Marena seperti Rince dan Fredy, merasa tidak begitu penting berhubungan dengan BPN
yang tidak banyak berurusan dengan kawasan hutan. Selain itu, anggota masyarakat tidak tahu
benar peran dan kerja lembaga tersebut. Peran BPN yang pernah mereka temukan adalah mereka
pernah mendapat tawaran dari Dinas Pertanahan Donggala untuk mensertifikatkan tanah melalui
program Prona. Prona adalah program dalam sistem ajudikasi dengan biaya sangat murah agar
masyarakat bisa mengakses dengan lebih mudah. Namun pengalaman Rince dan warga di
Marena, program sertifikat dengan sistem ajudikasi (Prona) pernah berjalan tetapi dengan biaya
yang tidak terjangkau oleh sebagian besar warga Marena kecuali segelintir pengusaha. Untuk
pendaftaran hak atas bangunan (rumah) dikenakan biaya administrasi Rp 800.000. Untuk tanah
pertanian, jumlahnya lebih dari 1 juta. Dalam hal ini, BPN lewat Prona, menjadi forum yang
hadir tapi tidak diakses warga.
32
Sahrun, wawancara 27-2-2009, di Tuva.
21
Masyarakat juga pernah menghabiskan banyak biaya ketika kasus mereka dibawa ke
lembaga-lembaga pemerintah. Pengalaman itu, menurut Arifin, membuat mereka menahan diri,
sedapat mungkin tidak membawa kasus ke lembaga pemerintah atau aparat hukum. Lihat Box 9.
Box 9:
Berkorban untuk Sejengkal Tanah
Dalam kasus pembukaan kawasan hutan adat Tuva oleh CV Satria Abadi dan Koperasi Unit Desa Singganiyang,
masyarakat melakukan lobi dan negosiasi dengan Dinas Kehutanan Provinsi. Mereka menjual ayam, anyaman rotan
bahkan kambing agar bisa melakukan lobi ke Palu. Mahori misalnya melepaskan kambingnya di Kecamatan
Gumbasa agar memiliki bekal dana ke Palu.
Meskipun penguasaan KUD dan CV Satria Abadi yang lebih dari 20 hektar itu dilarang
oleh UU No. 56 Prp 1960, fungsi BPN tidak bekerja dengan efektif. Menurut Yannis, belum
terwujudnya kelembagaan mengenai masalah tanah ulayat di tingkat daerah merupakan sebab
utama mengapa upaya pendaftaran tanah-tanah ulayat belum berjalan di Sulawesi Tengah.
Namun, menurut Rince, di Marena peran sertifikasi justru terjadi untuk wilayah sengketa antara
orang Marena dengan PD Sulteng. Ada isu suap di belakang peran tersebut karena meskipun
sengketa tersebut telah sampai ke gubernur, beberapa pihak dari Palu serta-merta mengklaim
telah memiliki sertifikat milik atas tanah sengketa tersebut.
Balai Taman Nasional
Balai Taman Nasional merupakan forum yang selalu mengalami perjumpaan dengan masyarakat
adat Marena dan Sinduru. Kehadirannya yang mengklaim wilayah yang juga diklaim sebagai
wilayah adat mengakibatkan tegangan tapi juga negosiasi atas akses terhadap tanah.
Di Marena, Balai Taman Nasional menandatangani kesepakatan konservasi bersama
masyarakat dengan memberi pengakuan atas wilayah adat yang berada dalam kawasan taman
nasional dan memberi mandat bagi lembaga adat untuk mengkontrol kawasan tersebut.
Masyarakat adat Marena pun memberlakukan hukum adat di wilayah itu dan menjatuhkan
sanksi-sanksi adat atas para pelaku yang masuk tanpa izin lembaga adat di wilayah itu. Namun,
jika penyelesaian masalah tidak tuntas secara adat, misalnya, pernah terjadi pelaku
membangkang terhadap keputusan adat, maka lembaga adat membawa kasus tersebut ke hukum
negara, dalam hal ini ke Balai Taman Nasional dan Kepolisian. Pola ini tidak hanya menunjukan
forum yang majemuk tapi juga lapisan forum. Di Marena, forum adat masih membatasi diri pada
kasus-kasus yang bisa ditangani secara adat. Sebagaimana dikatakan oleh Rince dan Fredy,
forum adat akan mengadili kasus agar menimbulkan damai atau ketenangan dalam wilayah
Marena. Jika terjadi keonaran maka forum itu diserahkan ke pihak kepolisian. 33
Bermuara pada Lembaga Adat
Dalam hukum adat Sinduru dan Kulawi Moma, lembaga adat memiliki wewenang
menyelesaikan kasus-kasus adat maupun membentuk hukum adat. Lembaga adat di sini adalah
dalam pengertian forum bukan perorangan yang secara tidak sengaja ada untuk menangani
ketidakadilan dan keluhan warga, penggunaan kata aturan atau prinsip mengindikasikan bahwa
akses kepada keadilan memerlukan aturan atau prinsip yang memandu prosedur menuju hasil
33
Fredy dan Rince, wawancara 3-3-2009, di Marena.
22
(Bedner dan Vel 2009:12). Meski demikian, efektitivitas lembaga adat sebagai forum juga
ditentukan oleh peranan tokoh adat, baik dalam kedudukan menjadi perantara pengaduan
masyarakat adat ke forum yang lain, seperti pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten, juga
dalam perilaku individual yang memberikan contoh dan panutan bagi warga adat. Untuk
kedudukan yang terakhir ini, Nixen memberi gambaran spesifik mengenai kriteria orang-orang
yang mengisi lembaga adat di Marena, antara lain keteladanan, moralitas, kemampuan
merumuskan hukum adat, diterima warga.
Perilaku individual menentukan peranan sebagai anggota lembaga adat dan demikian
sebaliknya. Keduanya saling mendukung dalam penyelesaian sengketa adat. Saya menyebut
wewenang penyelesaian sengketa dan pembentukan hukum adat sebagai forum pengaduan.
Sementara peran adat dalam mengartikulasikan pengaduan masyarakat adat saya kategorikan
sebagai forum pengadu. Dalam dua kategori ini, peta dinamika lembaga adat tampak berbeda
antara Kulawi Moma di Marena dan Sinduru di Tuva.
Dalam konteks forum pengadu, mulai pertengahan 1990-an, sejumlah tokoh adat dari
Marena berusaha mengkomunikasikan situasi warga tanpa tanah ke Camat Kulawi waktu itu,
Livingstone Sango. Mereka mengajukan permintaan agar tanah yang tidak terawat oleh PD
Sulteng dikembalikan ke warga. Namun camat bersikukuh bahwa tanah itu adalah milik PD
Sulteng.
Pasca-reformasi 1998, artikulasi pengaduan orang Marena semakin diperkuat oleh tokohtokoh lembaga adat. Nixen, Rince, Yohanes, dan Yenny adalah sejumlah tokoh adat yang aktif
memperjuangkan pengembalian tanah adat eks-perkebunan PD Sulteng. Sebagai artikulator, ada
beberapa tingkat sikap yang mereka temui. Pertama, sikap camat masih ombang-ambing
menjawab tuntutan warga. Ketika para tokoh meminta camat untuk menandatangani pernyataan
setuju atas reklaiming, dia menghindar dengan alasan dia aparat negara. Kedua, Sikap aparat
Desa lebih mendukung gerakan reklaiming. Kepala Desa Bolapapu yang membawahi Marena,
selalu menandatangani surat-surat tuntutan warga yang terartikulasi lewat lembaga-lembaga adat.
Sementara Kepala Dusun Marena, Rince, lebih menempatkan diri sebagai perwakilan
masyarakat dengan mendukung dan menyuarakan segala bentuk usulan pengembalian tanah ke
berbagai forum pemerintah. Ketiga, lembaga pemerintah pada tingkat kabupaten di Donggala
kurang sering ditemui warga karena jarak yang jauh. Ongkos transport bisa puluhan ribu. Di sana
belum tentu mereka bisa menemui pejabat terkait. Mereka sendiri tidak begitu mengenal
lembaga pemerintah mana yang menjadi tujuan komplain. Sejumlah tokoh adat pun hanya
mengenal BPN sebagai lembaga yang mengurus tanah, Dinas Kehutanan mengurus masalah
kehutanan dan DPR tempat mengadukan segala tetek bengek persoalan. Fungsi detail dan
peranan masing-masing lembaga tersebut masih kabur dan gelap. Sehingga, bersama sejumlah
NGO, komplain dan pengaduan kerap dilakukan melalui surat yang dibawa oleh aktivis NGO
dari Palu ke lembaga-lembaga yang bersangkutan. Aktivis NGO inilah yang mengemas kembali
surat-surat tersebut dalam bahasa yang layak untuk disampaikan ke berbagai instansi pemerintah
tersebut.
Sebagai forum pengaduan, bagi masyarakat Marena, Lembaga Adat Marena mewujudkan
kebutuhan mereka atas tanah. Para pendatang juga merasa lembaga adat memfasilitasi mereka
dan tidak pernah mengintimidasi pendatang. Lihat Box 10.
Box 10:
Lembaga adat Marena di Mata Migran
Ibu Ismawati, seorang etnis Toraja, sudah 10 tahun tinggal di Marena. Sejak lama dia dan keluarganya tidak
memiliki tanah. Kehidupan sangat susah, sementara mereka punya tiga orang anak. Untuk memenuhi kebutuhan
23
hidup sehari-hari, Ismawati dan suaminya meminjam tanah tetangga untuk ditanami jagung dan sayur-sayuran. Dari
tanah pinjaman tersebut mereka bisa mendapatkan kebutuhan pokok.
Pada tahun 2000, keluarga Ismawati mulai mengerjakan bidang tanah yang ditelantarkan PD Sulteng.
Lembaga Adat Marena mendukung upaya sporadik warganya. Di mata Ismawati, lembaga adat melindungi mereka,
tidak berlaku kasar dan semena-mena. Dalam penyelesaian sengketa adat, mereka juga dimintai pertimbangan dan
pendapat mengenasi kasus yang diadili. Sehingga, bagi Ismawati, orang Marena sudah dianggap sebagai keluarga
sendiri. 34 Ismawati sendiri bisa berbahasa Kulawi sehingga mudah melakukan komunikasi dengan orang Kulawi
Moma, sebagai penduduk asli di Marena.
Kehadiran migran tidak menjadi masalah yang serius di Marena. Mayoritas etnisnya
adalah Kulawi Moma, sehingga hukum adat yang dipakai adalah hukum adat Kulawi Moma.
Namun, masalah migran muncul pasca-pembukaan taman nasional oleh etnis Mandar/Bugis
untuk perkebunan kakao. Masalah tersebut sulit terselesaikan dalam lembaga adat karena
menurut tokoh-tokoh adat, selain karakter pelaku yang keras juga tidak ada inisiatif dari pihak
balai taman nasional untuk menegakkan hukum dalam kasus tersebut. Padahal sudah ada
kesepakatan tertulis antara Marena dan Balai Taman Nasional. Lihat Box 11.
Box 11:
Penegakan Hukum Adat
Beberapa orang migran Mandar/Bugis yang dipelopori Umar Paewah membuka kebun di kawasan taman nasional
diajukan dalam sidang adat. Namun, adat tingkat Dusun merasa perlu mengajukan kasus tersebut ke lembaga adat di
tingkat desa karena pelaku terlanjur resisten sembari mengeluarkan kata-kata penghinaan. Untuk meredakan amarah
warga di tingkat dusun, maka lembaga adat desa menyelesaikan kasus tersebut. Desa menjatuhkan hukuman Rongu
Rompulu Rongkau yang disetarakan dengan uang Rp 1.250.000 kepada umar Paewah.
Namun sanksi yang dijatuhkan tidak ditaati pelaku. Para tokoh adat menyerahkan implementasinya kepada
pihak Balai Taman Nasional agar pelaku segera diperiksa karena membuka kebun dalam kawasan taman nasional.
Apa yang terjadi justru sebaliknya, Kepala Satpolhut yang merupakan orang Bugis, mendatangi rumah pelaku dan
berbicara dengan menggunakan bahasa Bugis sebagai media komunikasi. Hingga saat ini, pelaku tidak sekalipun
diperiksa oleh Balai Taman Nasional. Bagi ibu Yenny, perlakuan tersebut adalah diskriminasi berbasis etnis, tapi
juga sekaligus alasan untuk semakin memperkuat adat.
Struktur adat Marena relatif baru. Didukung oleh kehadiran Perda dan pernyataan lisan
bupati yang mendukung pembentukan lembaga-lembaga adat, Marena juga mereorganisasi
lembaga adatnya. Beberapa etnis migran seperti Jawa, Toraja dan Kaili diundang sebagai
representasi etnik dalam lembaga adat. Selain itu, Rince selaku Kepala Dusun Marena lebih
kerap menggunakan argumen adat daripada peraturan negara. Posisinya sebagai kepala dusun
turut mendukung lancarnya komunikasi antara Marena dengan Kepala Desa di Bolapapu.
Peran perempuan juga diakui dalam lembaga adat Marena. Seorang tokohnya, Yenny
Buha, mewakili struktur perempuan adat juga aktif dalam sidang-sidang adat. Dalam negosiasi
dan lobi untuk mendapatkan kembali tanah dari PD Sulteng, Yenny Buha menjadi perempuan
yang paling aktif di semua tingkat gerakan, baik dalam komunitas Marena maupun tindakan
keluar. Menurut Yenny, kalau dia tidak berjuang, siapa lagi yang akan memperjuangkan tanah
untuk kehidupan anak-anak mereka di masa depan. 35 Posisi Yenny juga didukung oleh tokohtokoh lembaga adat lain, seperti tokoh berpengaruh dari kalangan pemuda Nixen, kepala dusun
Rince, dan seorang pemangku adat, Gapar. Dukungan para tokoh tersebut membuat Yenny selalu
diberi kesempatan berbicara dalam forum-forum adat.
34
35
Ismawati, wawancara 4-3-2009, di Marena.
Yenny Buha, wawancara 17-2-2009, di Palu.
24
Seorang tokoh lain, Fredy, adalah seorang pendeta. Sebagai tokoh agama mayoritas di
Marena, pandangannya yang luas karena latar belakang pendidikan yang memadai dan jaringan
dengan berbagai LSM lokal maupun nasional membuat informasi-informasi yang disampaikan
sering kali menjadi rujukan tokoh adat lainnya. Sebelum pindah ke Marena, 2001, Fredy adalah
pendeta di Ngata Toro, sebuah wilayah yang menjadi rujukan daerah lain karena adanya
pengakuan hak masyarakat adat, tidak hanya dari pemerintah Indonesia tapi juga dari badan
dunia UNESCO. 36 Latar belakang itu juga mendorong Fredy untuk memperjuangkan hak
masyarakat adat Marena. Dukungan Fredy dalam berbagai bentuk, memberikan kontribusi
penting dalam menjadikan Marena sebagai kampung kedua, setelah Toro, yang wilayah adatnya
dalam taman nasional diakui secara resmi oleh Balai Taman Nasional Lore Lindu.
Dalam menjalankan peran sebagai forum pengaduan, upaya penyelesaian sengketa
maupun pembuatan keputusan adat dalam sidang-sidang adat senantiasa melibatkan warga
marena, termasuk etnis lain. Dalam upaya reklaiming tanah PD Sulteng, lembaga adat
melakukan upaya kolektif melibatkan semua etnis. Selain itu, berbagai aktivitas, seperti
peresmian rumah ibadah, pembukaan sekolah di bekas reklaiming dan penyelesaian sengketa,
direlasikan dengan adat atau merujuk pada adat. Dalam pelaksanaannya, mereka mengundang
berbagai institusi negara, seperti Koramil, Kepolisian, Kecamatan, Desa bahkan Bupati dan
DPRD. Sebagian besar institusi negara tersebut mendukung acara-acara tersebut dengan berbagai
versi. Bupati, misalnya, mendukung pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan
dikembalikan ke masyarakat adat. DPRD mengusulkan agar daerah sebaiknya memiliki
wewenang atas taman nasional, sehingga masyarakat adat juga bisa dilibatkan. 37 Berbagai
dukungan tersebut akhirnya menempatkan lembaga adat versi baru sebagai intitusi yang tampil
di tingkat bawah yang menjadi harapan warga dalam penyelesaian banyak sengketa, termasuk
pengatur distribusi sumber daya, terutama tanah. Dalam distribusi tanah, peran lembaga adat
Marena pun sangat signifikan terutama untuk menjamin semua warga mendapatkan haknya.
Lihat Box 12.
Box 12:
Distribusi Tanah oleh Lembaga Adat
Pasca-peresmian reklaiming tanah PD Sulteng oleh orang Marena, Lembaga Adat mengeluarkan aturan mengenai
distribusi dan larangan-larangan dalam pemanfaatan tanah. Dalam konteks distribusi, 15X15 m² dialokasikan untuk
perumahan, 0,5 ha-1 ha untuk tanah pertanian. Sebagian penduduk yang tak bertanah mendapat jatah 1 ha.
Sementara penduduk yang sudah memiliki tanah, umumnya mendapatkan tanah 0,5 ha. Sisa pembagian tersebut
dialokasikan untuk sekolah, bangunan ibadah dan rumah pertemuan.
Di mata migran, seperti Ismawati, peran lembaga adat dalam distribusi tanah diterima
sebagai upaya untuk memberikan kenyamanan bagi warga, termasuk pendatang. Peran tersebut,
menurut Ismawati, penting untuk dipertahankan dan diperkuat.
Dinamika Forum Adat: Antara Asli dan Bentukan dari Luar
36
Ngata Toro mendapat penghargaan Equator Prize dari UNESCO tahun 2004 karena dianggap melindungi
biosphere di kawasan taman nasional lore lindu.
37
Fredy, wawancara 3-3-2009, di Marena.
25
Setidaknya ada dua lembaga adat yang dipicu oleh kehadiran pihak lain non-adat. Pertama
adalah lembaga adat yang terbentuk karena interpretasi atas PERDA. Kedua, lembaga adat yang
dibentuk karena dipicu oleh implementasi proyek NGO.
a. Lembaga Adat yang Dibentuk karena Dipicu PERDA
Melalui Perda, Pemerintah Daerah membentuk sebuah wadah kelembagaan adat yang disebut
Pitu Nggota. Lembaga ini diberi amanat sebagai representasi adat se-Kabupaten Donggala.
Dalam kasus antara Marena dan Balai Taman Nasional, lembaga ini berjuang mendapat tempat
sebagai forum pengadu dan pengaduan orang Marena. Namun orang Marena tidak mengenal
forum ini karena dia hadir oleh penunjukan Bupati bukan melalui proses pemilihan sebagaimana
dipakai dalam pemilihan ketua dan dewan adat di Marena. Forum ini pun dianggap sebagai
boneka pemerintah daerah untuk mengkontrol masyarakat adat.
Lembaga bentukan baru juga memicu pembentukan sejumlah lembaga adat di tingkat
desa, termasuk Desa Bolapapu, di mana wilayah Marena ada. Secara prosedural lembagalembaga adat bentukan ini memang mengikuti pola yang berlaku di masing-masing wilayah.
Namun secara struktural mengikuti langgam administrasi pemerintah. Sehingga prosedur
penyelesaian sengketa juga akan mengikuti struktur administrasi. Dalam hal ini, lembaga adat di
tingkat dusun bisa melimpahkan kasus ke desa, dari desa ke kecamatan dan dari kecamatan ke
bupati, selaku pembina adat.
Hierarki adat ini merupakan variasi baru yang secara kuat melibatkan kekuasaan politik
daerah. 38 NGO seperti LPA Awam Green mengkritik Perda ini sebagai manifestasi dari
feodalisme dan merusak tatanan masyarakat adat. Namun menurut Fredy, pengaturan tersebut
merupakan bentuk dukungan dan perlindungan atas lembaga dan masyarakat adat. Apalagi
bupati sendiri menjadi pembina yang memerintahkan pembentukan sejumlah lembaga adat,
mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Pada tingkat tertentu, sebagian wewenang
adat untuk memastikan hukumnya bekerja efektif ikut diambil ke tingkat lebih tinggi, desa,
kecamatan dan kabupaten. 39
Dalam kasus hukuman terhadap seorang pendatang di Marena, karena membuka kebun di
wilayah adat yang beririsan dengan taman nasional, tersangka membangkang dan menolak
hukuman adat di tingkat dusun. Untuk menghindari konflik lebih besar, kepala dusun dan para
tokoh adat Marena membawa kasus ini ke tingkat adat desa. Di sana pelaku diadili dan dijatuhi
hukuman adat. Namun, sekali lagi pelaku membangkang. Pada akhirnya, kasus ini diserahkan ke
Polisi Hutan Taman Nasional. Namun hingga sekarang sanksi tersebut belum diterapkan.
Menurut tokoh adat Marena, adat di tingkat desa kurang tegas terhadap pelaku. Jika kasus itu
diselesaikan di Marena tanpa ada ketegangan, implementasi sanksi akan lebih tegas.
Di sisi lain, kehadiran Perda memicu konflik politik serius antara adat dengan desa.
Kasus ini terjadi di Tuva. Meskipun menggunakan konsep masyarakat adat dan didukung oleh
sejumlah NGO, legitimasi dan peran sentral yang sejak lama dimainkan Lembaga Adat Sinduru
justru goyah. Sebagai forum pengaduan, lembaga adat Tuva retak parah oleh konflik antar-elite
lembaga adat. Perbedaan interpretasi penggunaan baruga, tempat pertemuan adat, yang baru
dibangun, antara tokoh-tokoh adat memicu pertikaian. Mahori menghendaki agar semua prosesi
adat dipenuhi sebelum baruga tersebut digunakan. Namun tokoh-tokoh lain menganggap aturan
38
Di beberapa tempat, struktur serupa juga dikerjakan di era Orde Baru, seperti Dewan Adat tingkat
Kecamatan dan Kabupaten di Kalimantan Barat; lihat Andasputra dan Vincentius Julipin (1997:1-2).
39
Fredy, wawancara 3-3-2009, di Marena.
26
tersebut kuno. Tokoh-tokoh lain didukung oleh kepala desa yang kemudian membubarkan
lembaga adat yang dipimpin Mahori dan menunjuk pengurus yang baru.
Menurut Kepala Desa (Kades), pembubaran lembaga adat dilakukan berdasarkan
kewenangan yang tertuang dalam Perda No. 13 Tahun 2001. Di sana dikatakan bahwa Kades
diberi kewenangan menetapkan susunan organisasi lembaga adat (pasal 8). Kewenangan itu
diinterpretasikan sebagai kewenangan untuk membubarkan lembaga adat yang lama dan
membentuk yang baru. Meskipun pasal tersebut mengharuskan adanya persetujuan BPD, Kades
kemudian membentuk lembaga adat baru dengan menunjuk tetua adat lain dari etnis Sinduru
yang mendukung posisi Kades dan berlawanan dengan Mahori. Kesemrawutan baru pun muncul
karena orang yang mengisi lembaga adat hasil penunjukan Kades tidak paham benar dengan
hukum adat sehingga beberapa putusan mereka dalam peradilan adat keliru. Beberapa orang
yang mengisi lembaga itu kemudian mundur karena malu. Lihat Box 13.
Box 13:
Lembaga Adat Bentukan Kepala Desa
Pasca-pembubaran lembaga adat yang diketuai oleh Mahori, kepala desa segera membentuk lembaga adat baru.
Beberapa anggotanya ditunjuk dari orang-orang bekas anggota lembaga adat sebelumnya. Sebagian lainnya ditunjuk
dari orang-orang baru. Menurut Arifin, dalam satu kasus perzinahan yang diselesaikan oleh lembaga adat, keputusan
lembaga adat ternyata keliru, tidak sesuai dengan tradisi Sinduru yang telah berlaku sebelumnya. Keputusan keliru
ini menjatuhkan pamor lembaga adat, sehingga beberapa orang di antaranya, termasuk Arifin, mengundurkan diri.
Arifin adalah migran dari Batak. Nama lengkapnya Arifin Panjaitan. Dia sudah berada di Tuva sejak 1970-an dan
beristrikan orang Sinduru. Kedekatannya dan penghargaannya terhadap adat Sinduru membuat dia diterima dengan
baik oleh orang Sinduru. Dia pun mendapat tempat dalam struktur adat Sinduru. Dalam kasus yang membuat malu
tersebut Arifin yang paham adat istiadat Sinduru merasa malu karena seharusnya orang yang menduduki lembaga
adat adalah orang-orang yang paham hukum adat. Tidak pernah ada kesalahan seperti itu sebelumnya. Hingga kini,
lembaga adat sudah tidak bekerja lagi. Sejumlah kasus-kasus adat dibawa ke kepala desa, sehingga Kades merasa
bebannya makin bertambah. Dalam pendekatan informal dengan Arifin, Kades berusaha untuk mendekati kembali
lembaga adat agar kasus-kasus adat bisa diselesaikan lagi oleh lembaga adat.
Lembaga adat sebagai forum pengadu di Tuva memang kurang didukung oleh berbagai
forum lain. Meski ada dukungan migran seperti Arifin Panjaitan, seorang Batak, namun
dukungan tersebut tidak signifikan secara kuantitatif. Jumlah migran dari etnis yang
berkepentingan terhadap akses atas tanah jauh lebih besar. Jumlah tersebut memiliki pengaruh
langsung terhadap peta politik lokal di tingkat Desa. Dalam pemilihan 10 tahun terakhir, Kades
selalu berasal dari migran yang sering kali tidak merujuk adat sebagai basis hukum tanah, tapi,
sering kali mementingkan dirinya sendiri. Lihat Box 14.
Box 14:
Kepala Desa Dalam 10 Tahun Terakhir di Tuva
Kepala Desa Agustinus T. Hikara adalah orang Toraja yang menjadi salah satu tokoh transaksi jual beli tanah di
Tuva. Atas persetujuan Hikara pada tahun 2000, sebuah Izin Pemungutan Kayu Tanah Milik (IPKTM) dari
pengusaha kayu asal Palu, Saofan, beroperasi di Tuva. Izin tersebut dikeluarkan atas permintaan Tjalikoro, ketua
Kelompok Tani Lalere Jaya yang menginginkan agar tanah mereka diberdayakan oleh Saofan untuk perkebunan
kakao. Dalam praktik, IPKTM justu meluas hingga menebang hutan adat orang Sinduru. Saofan sendiri adalah
seorang pengusaha sekaligus anggota LSM Yayasan Bantuan Hukum Rakyat di Palu. Dalam beberapa kesempatan,
LSM ini mendukung Saofan secara hukum dan terlibat dalam lobi agar IPKTM yang dia peroleh tetap berjalan.
Namun, tahun 2001, melalui desakan yang beruntun oleh lembaga adat Tuva dan jaringan LSM ke lembaga-lembaga
pemerintah, sekaligus ancaman melaporkan Agustinus atas korupsi dana subsidi Bantuan Langsung Tunai sebesar
Rp 30.600.000, maka Agustinus akhirnya menandatangani surat ke Kepala Dinas Kehutanan Provinsi agar
mempertimbangkan kembali IPKTM yang diberikan ke Saofan karena praktiknya telah meresahkan warga
(Dokumen LPA Awam Green).
27
Setelah periode Hikara, kades sekarang adalah Djumadil Suraila, orang Mandar. Menurut penuturan Arifin
dan Mahori, Kades ini adalah orang yang dulu pernah dikenakan sanksi hukum adat. Dia masuk ke Tuva tahun
1970-an. Tapi karena melakukan pelanggaran serius yakni menebang kayu secara serampangan tanpa izin adat, oleh
tetua adat Sinduru dia dikeluarkan dari Tuva. Tahun 1980-an dia masuk lagi ke Tuva dan mendapatkan lahan untuk
bertani. Ketika terpilih sebagai Kades, bekas pembangkang ini menilai tidak tahu soal adat karena menurut dia,
penduduk setempat menggunakan adat Kulawi. Sesuatu yang sangat berbeda karena adat Sinduru berbeda dengan
Kulawi. 40 Pembubaran lembaga adat, menurut seorang tokoh adat, merupakan bentuk balas dendam Kades terhadap
ketegasan aturan adat yang pernah dia alami.
b. Lembaga Adat Bentukan NGO
NGO merupakan forum lain yang diharapkan mendukung lembaga adat dan bisa menjadi
fasilitator fungsi lembaga adat sebagai pengadu dan pengaduan. Pada tahun 2005, sebuah proyek
TNC masuk. Program TNC adalah untuk membangun kesepakatan konservasi masyarakat. Salah
satu output-nya adalah pembentukan Lembaga Konservasi di tingkat desa. Dalam studi Greg
Acciaioli (2006) dipaparkan bahwa program ini bertujuan membangun kesepakatan konservasi
dari masyarakat di pinggiran kawasan hutan, tidak melulu masyarakat adat tapi semua anggota
masyarakat. Menurut Arifin dan Mahori, dulunya wilayah adat termasuk kawasan hutan terjaga
dengan baik. Hampir tiap hari ada patroli rutin dari lembaga adat untuk menjaga agar tidak ada
orang yang merambah kawasan Taman Nasional.
Berdasarkan hasil KKM TNC dikeluarkan sejumlah tindak lanjut, antara lain
memfasilitasi pembentukan lembaga konservasi di tingkat desa yang disebut Badan Pengelolaan
Sumber Daya Alam (BPSDA). Proses pembentukannya bergulir menggunakan sistem demokrasi
modern (lihat Box 15). Penentuan para pengurusnya pun ditentukan berdasarkan kesepakatan
mayoritas warga bersama Kepala Desa. Hasilnya, lembaga yang sejak awal dirancang untuk
memperkuat konservasi versi tradisi masyarakat adat justru diisi oleh para pendatang. Lembaga
ini diberi kepercayaan untuk mengkontrol kawasan konservasi menggantikan peran-peran adat.
Sejak itu, lembaga adat minggir ke tepi dan melepaskan kontrolnya atas kawasan taman nasional.
Beberapa NGO dan elite adat menilai, lepasnya kontrol adat menjadi awal semakin
ditinggalkannya adat oleh para pendatang dan kawasan TN pun dibuka untuk kebun warga.
Box 15:
Harapan terhadap BPSDA
Mahori, tokoh adat Tuva, sebetulnya berharap banyak terhadap BPSDA. Dia mendambakan kesepakatan yang
tertuang dalam teks tersebut menjadi acuan untuk memperkuat peran lembaga adat dalam menjaga kawasan Taman
Nasional Lore Lindu. Karena itu, lembaga adat menyerahkan otoritas kawasan tersebut ke BPSDA dan hanya
mengkontrol wilayah hutan adat sebelah barat Tuva yang merupakan hutan adat tersisa yang belum dimanfaatkan.
Namun, ternyata kawasan itu diisi oleh para pendatang yang tidak sepenuhnya tahu hukum adat. Mahori mempunyai
misi membuka kawasan hutan. Adat yang sejak lama mereka curigai tidak lagi menjadi acuan. Lembaga ini pun
berjalan tanpa orientasi konservasi, bahkan beberapa anggotanya justru menjadi pionir pembukaan kawasan taman
nasional.
Alhasil, lembaga adat dalam 4 tahun terakhir tidak lagi memiliki peranan dalam mengatur
dan mengawasi wilayah adat yang beririsan dengan kawasan taman nasional. BPSA yang
dibentuk tidak menggantikan peran tersebut, sehingga sepenuhnya beralih ke Polisi Kehutanan
dari Balai Taman Nasional Lore Lindu. Kehadiran BPSDA tidak menjadikan lembaga adat
menjadi rujukan Balai Taman Nasional dalam penyelesaian masalah yang berhubungan dengan
40
Djumadil Suraila, wawancara 28-2-2009, di Tuva.
28
kawasan Taman Nasional di wilayah Tuva. Melemahnya lembaga adat dan kembalinya
kewenangan konservasi ke tangan Polhut, menurut tokoh-tokoh adat Sinduru, membuat posisi
orang Sinduru sebagai minoritas menjadi kambing hitam dalam perambahan kawasan taman
nasional. Kasus pemanggilan Sahrun adalah contoh konkret bahwa Sinduru akan menjadi target
operasi kawasan taman nasional.
Kesimpulan
Kasus di Tuva dan Marena menunjukkan beberapa pelajaran penting dalam isu masyarakat adat
dan lembaga adat. Pertama-tama, definisi masyarakat adat dalam praktiknya sangat beragam.
Dalam studi atas dua komunitas adat ini, klaim masyarakat adat utamanya berbasis etnis yang
merasa menjadi penghuni pertama suatu wilayah. Berbasis klaim tersebut, mereka
mengembangkan klaimnya atas tanah, hukum, sejarah, lembaga politik dan penyelesaian
sengketa. Dalam konteks itu, peran lembaga adat menjadi sangat penting karena dari situ keluar
otoritas yang mengendalikan dan menggunakan klaim adat.
Namun peran lembaga adat didukung oleh berbagai aktor dan faktor. Lembaga adat akan
kuat jika aktor-aktor seperti warga adat, migran, pemerintah, NGO mendukung fungsi lembaga
adat. Dalam konteks masalah tanah, dukungan tersebut bisa hadir lewat pengakuan otoritas
lembaga adat dalam mengurus wilayah adat. Di sisi lain, aktor juga bisa melemahkan lembaga
adat bila pembangkangan atas putusan adat atau pengabaian atas lembaga adat membesar,
terutama dalam jumlah. Kehadiran migran dalam jumlah besar yang merasa tidak perlu taat pada
lembaga adat berpengaruh sangat signifikan terhadap eksistensi lembaga adat. Migran bisa
menggunakan jumlahnya untuk memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan politik tingkat
desa dan menggunakan kekuasaan tersebut untuk mempertahankan akses mereka terhadap
sumber daya di wilayah itu. Kekuasaan politik di tingkat desa sangat penting dalam
menempatkan adat apakah diakui dalam kualitas tertentu atau sama sekali disingkirkan.
Lebih dari itu, konsep masyarakat adat tampaknya akan kesulitan jika mengacu pada
definisi “keaslian” karena percampuran masyarakat yang begitu rupa mengharuskan lembagalembaga adat bertoleransi untuk memberikan ruang bagi percampuran dalam berbagai bentuk,
entah lewat perkawinan, sistem nilai bahkan hukum. Lembaga adat pun tidak lepas dari pengaruh,
baik dalam hubungan dengan NGO, pemerintah maupun migran. Pengaruh-pengaruh itu sampai
pada titik bahwa basis nilai dan hukum pembentukan dan operasionalisasi lembaga adat tidak
lagi murni berasal dari suatu etnis tapi percampuran dari berbagai pengaruh. Menempatkan
lembaga adat sebagai sesuatu yang murni tanpa pengaruh dari faktor dan aktor bertentangan
dengan kenyataan bahwa masyarakat sudah berubah.
Pada titik yang lain, pengaruh-pengaruh eksternal terhadap lembaga adat juga berdampak
pada akses terhadap keadilan. Dalam kasus di Tuva, semakin tergerusnya peran lembaga adat
juga menjadi awal semakin sulitnya orang Sinduru mengakses tanah. Lembaga adat yang
memiliki peranan signifikan dalam pembagian tanah dibungkam oleh kehadiran institusi-institusi
bentukan baru, baik dari negara maupun oleh NGO. Di situ, mempertimbangkan perlunya
kehadiran lembaga adat juga berarti memberi kesempatan bagi kelompok yang minim akses
untuk segera mendapatkan akses atas tanah. Contoh akses yang adil sudah diterapkan oleh
lembaga adat Marena yang mendistribusikan tanah kepada semua warga Marena. Dalam praktik,
lembaga adat Marena tidak lagi menggunakan konsep “asli” dan “tidak asli”, tapi cenderung
mengakomodasi kepentingan semua warga. Di situ, adat memainkan peranan penting dalam
menjamin akses semua warga atas tanah.
29
Referensi:
Acciaioli, Greg
2006 ‘Environmentality Reconsidered: Indigenous To Lindu Conservation Strategies and
the Reclaiming of the Commons in Central Sulawesi, Indonesia’, makalah tidak
diterbitkan, http://www.indiana.edu/~iascp/bali/papers/Acciaioli_Greg.pdf,
diunduh
pada 17-4-2009 di Jakarta.
Anaya, S. James
1996 Indigenous Peoples in International Law, Oxford: Oxford University Press.
Andasputra, Nico dan Julipin, Vincentius
1997 “Orang Kanayatnkah atau orang Bukit?”, dalam Nico Andasputra dan Vincentius Julipin
(eds), Mencermati Dayak Kanayatn, hlm. 1-2. Pontianak: Institute of Dayakology
Research and Development.
Bedner, Adriaan dan Stijn van Huis
2008 “The return of the native in Indonesian law: Indigenous communities in Indonesian
legislation”, Journal Bijdragen 164 (2/3).
Bedner, Adriaan dan Jacqueline Vel
2009 “Akses Keadilan dan Rule of law (Negara Hukum)”,,Makalah Konsepsi No. 1: Jakarta:
VVI.
Davidson, James S. dan David Henley
2007 “Introduction: Radical Conservatism – The Protean Politics of Adat”, dalam James S.
Davidson dan David Henley (eds), The Revival of Traditon in Indonesian Politics: The
Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism, hlm. 19. Routledge Contemporary
Southeast Asia Series.
Durning, Alan Thein dalam Lester R. Brown
1995 Masa Depan Bumi, hlm. 204-61. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Corntassel, Jeff J. dalam Christian Erni (ed)
2008 The Concept of Indigenous Peoples in Asia. A Resource Book, hlm. 56-7. IWGIA dan
AIPP.
Fakih, Mansour
1998 “Kata Pengantar” dalam Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam: Kontur
Geografi Lingkungan Politik (Diterjemahkan oleh Roem Topatimasang dari Entitlements
to Natural Resources: Countours of Political Environmental Geography. Utrecht:
International Books. 1996). hlm. x-xi. Yogyakarta: INSISTPress.
Roosa, John, Hilmar Farid dan Ayu Ratih (eds)
2004 Tahun yang Tak Pernah Berakhir. Jakarta: ELSAM.
Felstiner, William L. F., Richard Abel, Austin Sarat
1980/81 “The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming”, Law
and Society Review 15-3/4:633.
Haar, Ter
2001 Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto, cetakan
ketigabelas, Jakarta: Pradnya Paramita.
Hollema, F.D. dalam Otje Salman Soemadiningrat
30
2002
Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis Terhadap Hukum Adat
Sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Bandung: Alumni.
ICRAF, AMAN, FPP
2003 Satu yang Kami Tuntut: Pengakuan. Jakarta: ICRAF, AMAN, FPP.
IWGIA
2006 The Indigenous World, Denmark: Copenhagen.
Li, Tania Murray
2007 The Will to Improve: Governmentality, Development and the Practice of Politics, Duke
University Press.
Mc Carthy, John
1999 “Village and State Regimes on Sumartra’s Forest Frontier. A Case from the Leuseur
Ecosystem, South Aceh”, paper presented in the Resource Management in Asia Pasific
Project Seminar Series, November 1999, hlm.3-4.
Moniaga, Sandra
2002 “Hak-Hak Masyarakat Adat dan Masalah Serta Kelestarian Lingkungan Hidup di
Indonesia”, dalam WACANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia 10-II (12 Juni
2002), Jakarta.
Moniaga, Sandra
2003 “Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hidup di
Indonesia”, di www.huma.or.id, hlm. 1, akses pada 10-1-2009.
Prabowo, Wing
2006 Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Menurut Kebiasaan Masyarakat Adat Kulawi
Moma, Skripsi S1, Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.
Simarmata, Rikardo
2006 Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: UNDP.
Sitorus, Felix
2002 “REVOLUSI COKELAT, Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in
Upland Sulawesi, Indonesia”, STORMA Discussion Paper Series, Sub-program A on
Social and Economic Dynamics in Rain Forest Margins No. 9 (November 2002),
Research Project on Stability of Rain Forest Margins (STORMA).
Van Vollenhoven, Cornelis
1987 Penemuan Hukum Adat (terj. dari De Ontdekking van het adatrecht, 1928). Jakarta:
Djambatan.
Zakaria, Yando
2000 Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Elsam.
31
Download