PENGEMBANGAN MEDIA BERBASIS STRATEGI SCAFFOLDING MELALUI PENDEKATAN INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA (Tesis) Oleh RAHMAH PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 ABSTRAK PENGEMBANGAN MEDIA BERBASIS STRATEGI SCAFFOLDING MELALUI PENDEKATAN INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA Oleh RAHMAH Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan pada siswa saat mengalami kesulitan dalam pembelajaran, scaffolding dibuat berdasarkan karakteristik matematika, yaitu dari abstrak ke konkret, dan diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah guided inquiry, yaitu pendekatan yang menuntut siswa untuk menemukan konsep. Subjek pada penelitian pengembangan ini adalah siswa-siswi SMPIT Ar-Raihan Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2015-2016 dan beberapa ahli pada setiap tahapan pengembangan. Pengembangan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. Produk dikembangkan mengikuti tahapan Akker yang meliputi pendahuluan dan uji formatif, selanjutnya uji formatif mengacu pada tahapan Tessemer yang terdiri dari 1) evaluasi diri, 2) uji ahli dengan kategori kelayakan sangat baik, 3) uji perseorangan dengan kategori kelayakan sangat baik, 4) uji kelas kecil dengan kategori kelayakan sangat baik, dan 5) uji terbatas. Setelah dilakukan pengembangan, produk diimplementasikan pada kelas uji terbatas, yaitu kelas VIIC SMPIT Ar-Raihan. Siswa kemudian diberi tes untuk mendapatkan data kemampuan komunikasi matematis, dan diberi skala kemandirian belajar untuk mendapatkan skor kemandirian belajar. Berdasarkan hasil dan pembahasan, diketahui bahwa media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dengan kategori efektif, namun belum dapat meningkatkan kemandirian belajar siswa. Kata Kunci: inquiry, kemandirian belajar, komunikasi matematis, scaffolding ABSTRACT SCAFFOLDING BASED INSTRUCTIONAL MEDIA TROUGH INQUIRY APPROACH TO IMPROVE STUDENTS’ MATHEMATICAL COMMUNICATION AND SELF-REGULATED LEARNING By RAHMAH Scaffolding is the assistance given to students when experiencing difficulties in learning, scaffolding is made based on the characteristics of mathematics, that is from abstract to concrete, and driven by the needs of students. The approach used is guided inquiry, which requires students to discover concepts. The subjects in this research development were students of SMPIT Ar-Raihan Bandar Lampung of academic year of 2015-2016 and some experts at each stage of development. The scaffolding strategy based instructional media through inquiry approach aimed to improve students' mathematical communication skills and self-regulated learning. The products were developed following Akker stages covering preliminary and formative test, further, the formative testing refers to the stages of Tessemer consisting of 1) self-evaluation, 2) expert review, 3) one-to-one, 4) small group, and 5) limited test. After the development, the product was being implemented in the limited class; VII C SMPIT Ar-Raihan. Then the students were given a test to obtain data of mathematical communication, and also self-regulated learning scale to obtain scores on self-regulated learning. Based on the results and discussion it showed that the scaffolding based instructional media through inquiry approach can improve the students' mathematical communication skills with effective gain category, but failed to improve students’ self-regulated learning. Keywords: inquiry, self-regulated learning, mathematical communication, scaffolding PENGEMBANGAN MEDIA BERBASIS STRATEGI SCAFFOLDING MELALUI PENDEKATAN INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA Oleh RAHMAH Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER PENDIDIKAN Pada Program Pascasarjana Magister Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 31 Agustus 1986 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Fauzi Cikdin, dan Ibu Maisuruh. Penulis pernah menempuh pendidikan di TK Al-Quran Fajar Bulan Lampung Barat diselesaikan pada tahun 1992, MI Al-Ikhlas Fajar Bulan sampai kelas 3 lalu meneruskan ke SDN 1 Fajar Bulan dan selesai pada tahun 1998, MTs Al-Ikhlas Fajar Bulan diselesaikan pada tahun 2001, SMA Al-Kautsar Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis diterima di Universitas Lampung sebagai mahasiswi Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Pada tahun 2010 penulis diangkat menjadi guru kontrak di Sekolah Darma Bangsa Bandar Lampung sebagai guru Matematika, namun pada tahun 2014 penulis mengundurkan diri, dan melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. MOTO Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Al-Mujaadilah: 11) PERSEMBAHAN Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kupersembahkan karya ini teruntuk pihak-pihak di bawah ini. Suamiku (Aan Suhanra) dan putriku (As'Shadiqa Anraf Nazhifa) yang selalu mendukung dan sabar menemani dalam setiap perjuangan menyelesaikan tesis ini. Bak (Fauzi Cikdin) dan umak (Maisuruh) yang telah membesarkan dan mendidikku dengan segenap kasih sayang demi keberhasilanku, yang selalu mendoak dan tak pernah bosan memberikan semangat, bimbingan dan nasihat. Semoga Bak dan Umak mendapat cinta ALLAH. Bapak mertua (Mahmudin) dan Ibu mertua (Ayu Cik) yang selalu mendukung dan mendoakan keberhasilanku. Kakak-kakak dan adikku yang selalu memberiku semangat. Keluarga besarku yang selalu mendoakan demi keberhasilanku. Para pendidik yang kuhormati. Teman-teman seperjuangan. Almamater tercinta. UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengembangan Media Berbasis Strategi Scaffolding Melalui Pendekatan Inquiry Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa”, sebagai syarat untuk mencapai gelar Magister Pendidikan Matematika pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Penulis menyadari dan merasakan sepenuhnya bahwa dalam penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyempaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak sebagai berikut. 1. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Lampung. 2. Bapak Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. 3. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Magister Pendidikan Matematika sekaligus Pembimbing I dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan dengan sabar, motivasi dan saran pada penyusunan tesis ini. 4. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd., selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, motivasi, dan arahan dengan sabar bagi penulis sehingga terselesaikannya tesis ini. 5. Bapak Dr. Undang Rosidin, M.Pd., selaku Pembahas yang telah memberikan saran dan kritik yang mendukung perbaikan tesis ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen Magister Pendidikan Matematika Universitas Lampung yang telah memberikan bekal ilmu yang sangat berharga bagi pengembangan wawasan keilmuan dan kemajuan berpikir untuk berbuat sesuatu yang lebih baik, serta memberikan bimbingan dan motivasi selama mengikuti studi. 7. Bapak Zaiyad Namiri, M.Pd.I., selaku Kepala SMPIT Ar-Raihan Bandar Lampung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 8. Ibu Julianti Mustika, S.Pd., selaku Guru Matematika kelas VII SMPIT ArRaihan Bandar Lampung yang telah memberi masukan dan informasi dalam penelitian. 9. Siswa-siswi SMPIT Ar-Raihan Tahun Pelajaran 2015/2016 selaku subjek penelitian yang telah bekerja sama dengan baik. Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan mereka terhadap penulis dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan. Bandar Lampung, 3 November 2016 Penulis Rahmah DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ I. ix PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 10 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10 D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 11 E. Definisi Operasional........................................................................... 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Scaffolding ........................................................................................ 13 B. Media Pembelajaran ......................................................................... 22 C. Pendekatan Inquiry ........................................................................... 26 D. Komunikasi Matematis ..................................................................... 32 E. Kemandirian Belajar ......................................................................... 34 F. Penelitian yang Relevan ................................................................... 39 G. Kerangka Pikir .................................................................................. 41 III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian .................................................................................. 44 B. Tempat , Waktu dan Subjek Penelitian ............................................... 44 C. Prosedur Penelitian ............................................................................. 45 D. Instrumen Penelitian .......................................................................... 49 E. Teknik Analisis Instrumen ................................................................ 59 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .................................................................................. 63 1. Deskripsi Desain Pengembangan Media Berbasis Strategi Scaffolding Melalui Pendekatan Inquiry ....................................... 63 2. Kemampuan Komunikasi Matematis dengan Media Berbasis Strategi Scaffolding Melalui Pendekatan Inquiry .......................... 78 3. Kemandirian Belajar Siswa dengan Media Berbasis Strategi Scaffolding Melalui Pendekatan Inquiry ........................... 81 B. Pembahasan ........................................................................................ 83 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ........................................................................................ 93 B. Saran .................................................................................................. 93 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2.1 Ilustrasi Zone of Proximal Development ............................................... 14 2.2 Siklus Inquiry ........................................................................................ 30 2.3 Siklus SRL ............................................................................................ 37 3.1 Prosedur Penelitian ............................................................................... 46 4.1 Uji Coba Media Berbasis Strategi Scaffolding Melalaui Pendekatan Inquiry Pada Tahap Uji Perorangan .................................. 71 4.2 Uji Coba Media Berbasis Strategi Scaffolding Melalaui Pendekatan Inquiry Pada Tahap Uji Kelas Kecil .................................. 73 4.3 Kegiatan Siswa Saat Melakukan Diskusi Kelompok ............................ 75 4.4 Kegiatan Siswa Saat Mengajukan Diri Untuk Mempresentasikan Hasil Kerja ............................................................. 77 4.5 Kegiatan Siswa Saat Menuliskan Hasil Kerja Kelompok ..................... 77 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 2.1 Jenis-jenis Scaffolding dan cara menggunakannya ................................ 19 2.2 Kriteria Pemberian Skor Komunikasi Matematis ................................. 34 2.3 Fase SRL ............................................................................................... 38 3.1 Pedoman Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis ..................... 51 3.2 Skor Validitas Tes Uji Coba ................................................................ 52 3.3 Kriteria Validitas Instrumen Tes ............................................................ 53 3.4 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran .................................................... 54 3.5 Skor TK Tes Uji Coba ......................................................................... 55 3.6 Skor Daya Pembeda Tes Uji Coba ....................................................... 55 3.7 Interpretasi Nilai Daya Beda ................................................................. 56 3.8 Rekapitulasi Hasil Tes Uji Coba ............................................................ 56 3.9 Skor Pernyataan Skala Kemandirian Belajar Siswa .............................. 58 3.10 Interval Nilai Tiap Kategori Penilaian .................................................. 60 3.11 Nilai Rata-rata Gain Ternormalisasi dan Klasifikasinya ...................... 61 4.1 Penilaian Hasil Validasi Ahli Materi ..................................................... 67 4.2 Penilaian Hasil Validasi Ahli Bahasa .................................................... 68 4.3 Penilaian Hasil Validasi Ahli Desain ..................................................... 69 4.4 Hasil Validasi Uji Perorangan ................................................................ 71 4.5 Hasil Validasi Uji Kelas Kecil ............................................................... 73 4.6 Skor Awal Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ........................ 78 4.7 Data Pencapaian Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sebelum Pembelajaran ................................................................ 79 4.8 Skor Akhir Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ....................... 79 4.9 Data Pencapaian Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Setelah Pembelajaran ................................................................... 80 4.10 Data Indeks Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ............. 81 4.11 Pencapaian Indikator Kemandirian Belajar Sebelum Pembelajaran ..... 82 4.12 Pencapaian Indikator Kemandirian Belajar Setelah Pembelajaran ....... 83 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman A.1 RPP ........................................................................................................ 99 A.2 Lembar Diskusi Siswa (LDS) ............................................................. 175 A.3 Set Cards .............................................................................................. 207 A.4 Lembar Latihan Siswa (LLS) ............................................................... 218 A.5 Scaffolding LDS ................................................................................... 242 A.6 Scaffolding LLS .................................................................................. 275 B.1 Kisi-kisi Soal Pretest ............................................................................. 292 B.2 Kisi-kisi Soal Posttest ........................................................................... 293 B.3 Soal Pretest ........................................................................................... 294 B.4 Soal Posttest ......................................................................................... 295 B.5 Kunci Jawaban Pretest ......................................................................... 296 B.6 Kunci Jawaban Posttest ......................................................................... 299 B.7 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ............ 302 B.8 Validitas Isi .......................................................................................... 303 B.9 Kisi-kisi Skala Kemandirian Belajar Siswa .......................................... 306 B.10 Skala Kemandirian Belajar Siswa ........................................................ 307 B.11 Lembar Observasi Media Pembelajaran Matematika Kelas VII Sekolah Menengah Pertama ................................................................ 309 B.12 Lembar Wawancara Media Pembelajaran Matematika Kelas VII Sekolah Menengah Pertama ................................................................ 311 B.13 Lembar Angket Siswa Kelas VIII SMP ............................................... 312 C.1 Validitas Soal ....................................................................................... 316 C.2 Reliabilitas Soal ..................................................................................... 317 C.3 Daya Beda dan Tingkat Kesukaran Soal ............................................... 318 C.4 Perhitungan Skor Masing-masing Kategori Tiap Butir Pernyataan Skala Kemandirian Belajar Siswa ......................................................... 319 C.5 Data Hasil Validasi oleh Ahli Materi ................................................... 323 C.6 Data Hasil Validasi oleh Ahli Desain.................................................... 324 C.7 Data Hasil Validasi oleh Ahli Bahasa ................................................... 325 C.8 Data Hasil Respon Uji Perorangan ....................................................... 326 C.9 Data Hasil Respon Uji Kelas Kecil ....................................................... 327 C.10 Data Kemampuan Komunikasi Awal (Pretest) ................................... 328 C.11 Data Kemampuan Komunikasi Akhir (Posttest) .................................. 329 C.12 Pencapaian Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Awal ..... 330 C.13 Pencapaian Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Akhir .... 331 C.14 Gain Kemampuan Komunikasi Matematis ......................................... 332 C.15 Lembar Observasi Pemberian Scaffolding Pada LDS ........................ 333 C.16 Rekapitulasi Pemberian Scaffolding LLS ........................................... 337 C.17 Data Kemandirian Belajar Siswa Awal ............................................... 338 C.18 Data Kemandirian Belajar Siswa Akhir ............................................... 340 D.1 Hasil Uji Ahli Materi .......................................................................... 342 D.2 Hasil Uji Ahli Bahasa........................................................................... 346 D.3 Hasil Uji Ahli Desain .......................................................................... 350 D.4 Angket Tanggapan Siswa pada Uji Perorangan ................................... 354 D.5 Angket Tanggapan Siswa pada Uji Kelas Kecil .................................. 357 D.6 Hasil Validasi Skala Kemandirian Belajar ........................................... 363 D.7 Surat Izin Penggunaan Instrumen Disertasi ......................................... 366 D.8 Hasil Revisi Media yang Dikembangkan ............................................ 367 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan suatu negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan yang berkualitas memberikan sumbangan besar dalam membangun sebuah negara. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 tentang Sisdiknas mendefinisikan pendidikan sebagai berikut. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Definisi di atas menerangkan bahwa ada tiga pokok pikiran utama yang terkandung di dalamnya, yaitu (1) usaha sadar dan terencana, (2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa aktif mengembangkan potensi dirinya, dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan seharusnya dilakukan dengan usaha yang terencana, agar terarah dengan baik. Jika rencana telah dibuat dengan baik maka akan terbentuk suasana yang aktif dan terarah sehingga siswa akan aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga tujuan-tujuan yang dibuat pada masa perencanaan akan tercapai. Dapat dipahami bahwa secara formal sistem pendidikan Indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban 2 bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, pendidikan di Indonesia saat ini jauh dari kata maju, padahal pendidikan merupakan penentu kemajuan suatu negara, jika pendidikan di sebuah negara itu maju maka majulah negara tersebut dan sebaliknya. Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007, pendidikan Indonesia menempati urutan ke-53 dari 55 negara pada tahun 2007. Data Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2012 yang dirilis akhir Desember 2013 menunjukkan bahwa kemampuan matematika Indonesia menduduki peringkat ke-64 dari 65 negara atau peringkat kedua dari bawah dengan skor 375. Hasil survei menunjukkan kurang dari satu persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan baik di bidang matematika, selanjutnya di bidang kemampuan membaca Indonesia mendapatkan skor 396 dan di bidang kemampuan sains mendapatkan skor 382. Survei ini melibatkan 510 ribu pelajar dari 65 negara dunia yang mewakili populasi 28 juta siswa berusia 1516 tahun di dunia serta 80% ekonomi global. Hasil survei yang lain, seperti Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007 dan 2011 di bidang Matematika dan IPA untuk siswa kelas 2 SMP menunjukkan lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level menengah dalam pengerjaan soal-soal tersebut, sementara di negara lain misalnya di Taiwan, hampir 50% siswanya mampu mencapai level tinggi dan advance. Fakta ini menggambarkan kondisi pendidikan di Indonesia yang mutunya masih rendah dan jauh tertinggal dari negara-negara maju dan negara-negara berkembang lainnya. Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia erat kaitannya dengan pembelajaran di dalam kelas. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 20 3 tentang Sisdiknas mendefinisikan pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bagian yang sangat penting dalam peningkatan mutu pendidikan, oleh karena itu perlu diperhatikan keberlangsungan pembelajaran tersebut. Pada dasarnya pembelajaran yang baik memerlukan proses interaksi oleh semua komponen yang terlibat dalam pembelajaran di kelas, baik antara guru dengan siswa, hingga antar sesama siswa itu sendiri. Seorang guru hendaknya dapat menciptakan pembelajaran yang aktif, sehingga siswa dapat terlibat secara langsung dalam pembelajaran dan kemampuannya dapat tergali secara maksimal. Dalam pembelajaran matematika seorang guru harus mengetahui karakteristik matematika, menurut Hamzah (2014: 92), karakteristik matematika yaitu (1) memiliki objek kajian abstrak, (2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola pikir deduktif, (4) memiliki simbol yang kosong dari arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, dan (6) konsisten dalam sistemnya. Jika guru mengetahui karakteristik matematika maka guru akan lebih jelas dalam menentukan media dan pendekatan yang akan digunakan. Dari hasil wawancara dengan beberapa guru matematika, terungkap bahwa penggunaan media pembelajaran belum maksimal. Ketika mengajar guru tidak menyiapkan media pembelajaran, saat siswa belum memahami konsep matematik, guru hanya mengulang penjelasan tanpa mencari alternatif lain berupa mediamedia yang dapat mendukung konsep tersebut. Hal ini didukung oleh Nia (2015) yang menyatakan bahwa salah satu kelemah guru dalam pembelajaran adalah seringkali dalam mengajar guru tidak membawa media atau alat pembelajaran di kelas. Jika berpegang pada Permendikbud No.65 tahun 2013 tentang standar proses pembelajaran, yang di dalamnya mengisyaratkan tentang pentingnya 4 penyediaan media pembelajaran, maka seharusnya guru menyediakan media yang disusun berdasarkan karakteristik matematika dan karakteristik siswa secara terencana untuk membantu siswa dalam memahami suatu konsep matematika. Hasil wawancara dengan guru dan siswa yang telah menempuh materi himpunan, didapat informasi bahwa materi himpunan dianggap masih sulit oleh sebagian siswa. Oleh sebab itu dibutuhkan media pembelajaran untuk membantu siswa dalam memahami konsep himpunan, materi himpunan juga merupakan salah satu materi yang penting dan berkesinambungan dengan pembelajaran matematika selanjutnya seperti materi Relasi Fungsi, Sistem Persamaan Linear Dua Variabel, dan Peluang. Jika materi Himpunan tidak dikuasai, maka siswa akan mengalami kesulitan saat mempelajari materi-materi tersebut. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dibutuhkan suatu media atau pendekatan yang perlu dikembangkan pada materi himpunan untuk membantu siswa dalam pembelajaran. Seorang guru seharusnya dapat menyediakan media dalam mengkonkretkan sesuatu yang abstrak untuk memperjelas penyajian materi. Hamzah (2014: 92) juga menyatakan bahwa objek kajian yang abstrak dimiliki oleh matematika alasannya adalah objek dasar matematika pada umumnya abstrak seperti objek pikiran yaitu: fakta, konsep, keterampilan dan prinsip. Oleh karena itu sangat dibutuhkan media dalam sebuah pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk menyampaikan isi pelajaran, memperjelas, dan menarik perhatian siswa sehingga dapat mendorong pembelajaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar. Media pembelajaran sebaiknya mudah digunakan, tidak berbahaya, mudah dicari, dan ekonomis. Dalam penggunaan suatu media juga dibutuhkan strategi yang sesuai. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendekatan dalam pembelajaran. 5 Seperti yang sudah dikemukakan bahwasannya pendekatan atau strategi pembelajaran turut andil dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami suatu konsep, dengan kolaborasi penggunaan media pembelajaran dan pendekatan yang tepat maka diharapkan siswa mudah menyerap konsep-konsep tersebut. Selama ini siswa belum biasa menemukan konsep secara mandiri, mereka mendapat penjelasan dari guru dan masih enggan untuk bertanya. Seharusnya kemampuan bertanya dikembangkan secara maksimal, karena bertanya dapat membantu mengembangkan proses berpikir siswa. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu pendekatan yang dapat menggali kemampuan siswa untuk bertanya, dan mengarah pada penemuan suatu konsep. Inquiry merupakan pendekatan yang menekankan pada penemuan oleh siswa. Hosnan (2014: 270), menyatakan bahwa inquiry berarti proses pembelajaran berdasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pada pendekatan inquiry siswa dituntut untuk menemukan konsep, jika siswa menemukan konsep dengan bantuan media pembelajaran dan dilakukan oleh dirinya sendiri atau atas bantuan guru maka konsep tersebut akan bertahan lama dalam pikiran mereka. Untuk memaksimalkan kemampuan siswa, mereka membutuhkan bantuan dari orang dewasa, dalam hal ini adalah guru. Namun bantuan atau dukungan ini tidak dapat diberikan terus menerus. Bantuan atau dukungan ini dikenal dengan Scaffolding. Menurut Echols dan Shadily (2003: 502) istilah scaffolding berasal dari kata ’scaffold’ artinya tangga atau perancah, yang biasa digunakan oleh pekerja bangunan. Scaffold yang merupakan struktur sementara yang mendukung pekerja untuk menyelesaikan pekerjaaan yang mereka tidak dapat lakukan. Istilah scaffolding ini berasal dari istilah ilmu teknik sipil, saat siswa diberi masalah dan 6 tidak dapat menyelesaikannya maka guru akan memberikan scaffolding, setelah itu siswa diminta melanjutkan tugasnya sendiri, bantuan ini sifatnya sementara. Scaffolding sangat erat kaitannya dengan ZPD (Zone of Proximal Development) dari Vygotsky, ZPD didefinisikan sebagai “This is an important concept that relates to the difference between what a child can achieve independently and what a child can achieve with guidance and encouragement from a skilled partner”, Vygotsky (McLeod, 2010). Maknanya adalah scaffolding merupakan konsep penting yang berhubungan dengan perbedaan antara apa yang dapat dicapai anak secara mandiri dan apa yang dapat dicapai anak dengan bimbingan dan dorongan dari guru atau orang dewasa yang ahli. Definisi yang dikemukakan oleh Vygotsky di atas menunjukkan bahwa untuk memaksimalkan kemampuan siswa diperlukan scaffolding. McLeod (2010) mengungkapkan: Vygotsky also views interaction with peers as an effective way of developing skills and strategies. He suggests that teachers use cooperative learning exercises where less competent children develop with help from more skillful peers - within the zone of proximal development. Jadi Vygotsky juga memandang interaksi dengan teman sebaya sebagai cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan dan strategi. Dia menunjukkan bahwa guru menggunakan latihan pembelajaran kooperatif di mana anak-anak kurang kompeten berkembang dengan bantuan dari rekan-rekan yang lebih terampil dalam zona perkembangan proksimalnya. Zona perkembangan proksimal adalah pencapaian maksimal yang dapat dicapai siswa dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih berkompetensi dalam suatu materi pembelajaran. Pemberian scaffolding dikategorikan dalam beberapa tingkatan, hal ini berdasarkan karakteristik scaffolding dan karakteristik matematika yang abstrak dan sesuai 7 dengan kebutuhan siswa yang dilihat dari kemampuan matematikanya. Siswa yang memiliki kemampuan tinggi dalam matematika, diindikasi memiliki scaffolding rendah artinya dengan memberikan sedikit bantuan siswa tersebut dapat mengerjakan tugasnya. Siswa yang memiliki kemampuan rendah dalam matematika, diindikasi membutuhkan scaffolding tingkat tinggi atau membutuhkan banyak bantuan. Menentukan scaffolding sangat erat kaitannya dengan karakteristik matematika dan media pembelajaran. Siswa dengan kemampuan matematika tinggi, dapat diberikan scaffolding secara lisan berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada penyelesaian masalah. Siswa yang memiliki kemampuan matematika rendah, dapat diberi gambar atau video yang berkaitan dengan media visual, berupa audio visual yang dapat membantu siswa membayangkan objek atau materi pembelajaran secara mudah. Siswa yang membutuhkan scaffolding dengan intensitas tinggi, akan lebih banyak berinteraksi dengan guru, sehingga komunikasi yang baik akan terbangun. Dengan pemberian scaffolding, siswa dengan kemampuan menengah kebawah dapat memaksimalkan kemampuan komunikasi mereka terutama kemampuan komunikasi matematis. Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau hubungan yang terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa, misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah matematika. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas adalah guru dan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat secara lisan maupun tertulis. 8 Komunikasi merupakan salah satu kemampuan matematika yang ingin dicapai dalam National Council for Teachers of Mathematics (NCTM), beberapa standar kemampuan komunikasi yang seharusnya dicapai siswa dari jenjang TK sampai kelas 12, NCTM (2004: 21) mengemukakan bahwa siswa hendaknya: (1) organize and consolidate their mathematical thinking though communication, (2) communicate their mathematical thinking coherently and clearly to peers, teachers, and other, (3) analyze and evaluate the mathematical thinking and strategies of others, and (4) use the language of mathematics to express mathematical ideas precisely. Siswa dituntut untuk dapat mengorganisasi dan mengonsolidasikan pikiran matematika mereka melalui komunikasi, mengomunikasikan pikiran matematika mereka secara logis dan jelas kepada teman, guru, ataupun orang lain, menganalisis dan mengevaluasi pikiran matematika dan strategi yang digunakan orang lain dan menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide-ide matematika secara tepat. Berdasarkan standar komunikasi yang diungkapkan oleh NCTM, terlihat bahwa komunikasi matematis merupakan kebutuhan urgent yang harus dikembangkan. Namun berdasarkan wawancara dengan beberapa guru matematika, terungkap bahwa siswa masih jarang memberikan tanggapan saat pembelajaran berlangsung, sulit menggunakan bahasa matematis dalam mengungkapkan gagasan-gagasan matematika dan sulit menuliskan simbol-simbol matematika. Hal tersebut mengindikasikan kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah, oleh karena itu diperlukan strategi untuk meningkatkan hal tersebut. Telah dijelaskan di atas bahwa pemberian scaffolding hanya bersifat sementara, pada saat kemampuan siswa meningkat maka scaffolding secara bertahap dikurangi dan akhirnya siswa secara mandiri mampu menyelesaikan tugasnya. Setelah mendapatkan scaffolding di sekolah, diharapkan siswa akan lebih mandiri 9 saat belajar di rumah. Dimungkinkan dengan banyaknya interaksi saat penerimaan scaffolding, siswa akan lebih mandiri dan pemahamannya terhadap suatu materi lebih kuat. Siswa akan mengingat scaffolding yang diberikan oleh guru dan hal ini akan sangat membantunya dalam mengerjakan tugas di rumah. Kemandirian merupakan sikap penting yang harus dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran matematika baik di sekolah maupun di rumah dan perlu ditumbuhkembangkan. Pentingnya kemandirian dalam belajar tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa: pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kebijakan pendidikan nasional tahun 2010 juga memfokuskan pada penguatan dan internalisasi pendidikan budaya dan karakter bangsa dan kemandirian merupakan karakter yang ingin dicapai dalam sebuah pembelajaran. Perlunya pengembangan kemandirian belajar pada individu yang belajar matematika juga didukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu, Sulistiyaningsih, Budiyono dan Purwoko (2013: 38) mendapatkan suatu kesimpulan bahwa guru sebaiknya memperhatikan kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran, karena kemandirian belajar siswa akan mempengaruhi kegiatan belajar siswa dan selanjutnya berpengaruh terhadap prestasi belajar. Dari hasil penelitian Rosyidah (2010: 66) diketahui bahwa semakin tinggi tingkat kemandirian belajar, maka akan semakin tinggi hasil belajar matematika siswa. Senada dengan penelitian di atas, Tahar (2006: 99) mengungkapkan bahwa semakin tinggi kemandirian belajar seseorang siswa, maka semakin tinggi hasil 10 belajar. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut terlihat bahwa kemandirian belajar adalah hal yang penting dan harus dimiliki setiap siswa. Semakin tinggi tingkat kemandirian belajar siswa maka akan semakin tinggi hasil belajar matematika siswa. Dari permasalahan-permasalahan di atas dikembangkan seperangkat media berbasis strategi scaffolding untuk membantu siswa memaksimalkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar dengan menggunakan pendekatan inquiry. Diharapakan pembelajaran di kelas dapat maksimal dengan diterapkannya kolaborasi antara strategi scaffolding dan pendekatan inquiry. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. 1. Bagaimanakah mengembangkan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry untuk membantu upaya peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa? 2. Bagaimanakah peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang dikenai strategi scaffolding dengan pendekatan inquiry? 3. Bagaimanakah peningkatan kemandirian belajar siswa yang dikenai strategi scaffolding dengan pendekatan inquiry? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini. 1. Menghasilkan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry untuk membantu upaya peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. 11 2. Mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang dikenai media scaffolding melalui pendekatan inquiry. 3. Mengetahui peningkatan kemandirian siswa yang dikenai media scaffolding melalui pendekatan inquiry. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dalam penelitian ini diharapkan akan dihasilkan suatu produk dalam pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. Dengan demikian hal ini merupakan sumbangan berharga bagi upaya peningkatan kualitas pendidikan matematika. E. Definisi Operasional Agar penelitian ini terfokus maka pembatasan masalah dengan memunculkan definisi secara jelas. Berikut beberapa definisi operasional dalam penelitian ini. 1. Scaffolding adalah dukungan pembelajaran agar siswa dapat mengembangkan pengetahuan dan strategi untuk menanggapi masalah yang diberikan dan pemberian dukungan tersebut bersifat sementara. 2. Pendekatan inquiry adalah pembelajaran yang diawali dengan mengondisikan siswa agar siap dan responsif dalam menerima pembelajaran, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan merumuskan kesimpulan. 3. Komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam hal mengorganisasi dan mengonsolidasikan pikiran matematika mereka melalui komunikasi, mengomunikasikan pikiran matematika mereka secara logis dan jelas kepada teman, guru, ataupun orang lain, menganalisis dan mengevaluasi pikiran 12 matematika dan strategi yang digunakan orang lain dan menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide-ide matematika secara tepat. Indikator dari komunikasi matematis dalam penelitian ini meliputi kemampuan menggambar (drawing), kemampuan menulis (written text), dan kemampuan ekspresi matematika (mathematical expression). Dalam penelitian ini yang akan diamati hanya komunikasi tulisan. 4. Kemandirian belajar adalah perilaku dalam belajar yang memiliki indikator (1) merencanakan pembelajaran, (2) memantau pembelajaran, (3) mengevaluasi pembelajaran, dan (4) dapat merefleksi pembelajaran untuk memperoleh umpan balik. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Scaffolding 1. Pengertian Scaffolding Scaffolding mengambil peran yang sangat penting pada perkembangan belajar siswa. Machmud (2011: 432), mengungkapkan bahwa scaffolding adalah istilah dalam dunia pendidikan yang ada pada teori konstruktivis moderen pembelajaran. Dalam pembelajaran, scaffolding memiliki peran yang sangat penting pada perkembangan belajar siswa. Setiap kali siswa mencapai tahap perkembangan tertentu, yang ditandai dengan pemenuhan indikator-indikator yang telah ditentukan, siswa akan memerlukan scaffolding. Scaffolding erat kaitannya dengan interaksi, Slavin (Machmud, 2011: 432) menyatakan bahwa scaffolding relevan dengan pandangan bahwa dalam pembelajaran Matematika dibutuhkan berbagai interaksi yakni antar guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan materi. Berdasarkan pengalamannya tersebut siswa dapat mengembangkan pengetahuan dan strategi untuk menanggapi masalah yang diberikan. Scaffolding adalah penyediaan beberapa bantuan untuk siswa selama tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan pada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang lebih besar setelah mereka dapat melakukannya. Scaffolding merupakan metode yang efektif dalam mengamati proses belajar siswa untuk mencapai potensi pembelajarannya. Hal ini dikemukakan oleh Amiripour, Mofidi, dan Shahvarani (2012: 3328). 14 Scaffolding is a mechanism for observing the process by which a learner is helped to achieve his or her potential learning. Regard to nature of scaffolding, it seems that scaffolding process can have an effect on learning and teaching procedure. Hal ini menyatakan bahwa scaffolding merupakan mekanisme untuk mengamati proses belajar siswa, yang dibantu untuk mencapai pembelajaran maksimal mereka, dalam hal ini dikenal dengan perkembangan potensial. Berkaitan dengan sifat alamiah scaffolding, terlihat bahwa proses scaffolding memiliki pengaruh terhadap kegiatan belajar mengajar. Pernyataan Amiripour, Mofidi dan Shahvarani tersebut berkaitan dan mengarah pada teori Zone of Proximal Development (ZPD) yang dikembangkan oleh Vygotsky. ZPD didefinisikan oleh Vygotsky (McLeod, 2010) sebagai berikut. The distance between the actual development level as determined by independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance, or in collaboration with more capable peers. Dapat dimaknai bahwa ZPD merupakan perbedaan antara tingkat perkembangan aktual yang ditunjukkan melalui pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang ditunjukkan melalui pemecahan masalah di bawah arahan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih berkompetensi. McLeod menggambarkan ZPD pada Gambar 2.1. Zone Of Proximal Development What is known Skills too difficult for a child to master on his/her own, but that can be done with guidance and encouragement from a knowledgeable person What is not known Learning Gambar 2.1 Ilustrasi Zone of Proximal Development 15 Senada dengan hal tersebut, Sutiarso (2009: 528) menyatakan bahwa ZPD adalah daerah antara apa yang siswa dapat lakukan sendiri pada tingkat perkembangannya saat ini, dengan apa yang siswa capai dengan bantuan orang yang lebih ahli pada tingkat perkembangan potensial, scaffolding memainkan peran dalam pencapaian tersebut. Kata ‘guidance and encouragement’ yang diartikan dorongan dan bimbingan pada ilustrasi Gambar 2.1 merupakan scaffolding. Dari pendapat-pendapat di atas dapat simpulkan bahwa scaffolding merupakan dukungan atau bimbingan dalam pembelajaran agar siswa dapat mengembangkan pengetahuan dan menanggapi masalah yang diberikan. Pemberian dukungan tersebut bersifat sementara, setelah siswa dianggap dapat melakukannya scaffolding akan dikurangi. Ini artinya guru sekedar memberi bantuan dan menyediakan sarana serta situasi agar proses konstruksi belajar lancar dan pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri. 2. Karakteristik Scaffolding Suatu strategi dalam pembelajaran memiliki karakteristik tertentu, begitupula scaffolding. Menurut McKenzie (1999) setidaknya ada delapan karakteristik scaffolding dalam pembelajaran. 1) Scaffolding memberikan instruksi yang jelas Instruksi pada langkah-langkah scaffolding harus diberikan dengan jelas untuk mencapai target kegiatan belajar. Seorang guru seharusnya membuat langkahlangkah yang mudah dipahami dan meminimalisir kebingungan siswa. 2) Scaffolding memperjelas tujuan Hal utama pada Scaffolding adalah tujuan dan motivasi. Scaffolding yang digunakan harus sesuai dengan tujuan, siswa dibuat tertarik dan diberikan kebebasan untuk menambahkan, memperluas, memperhalus, dan mengelaborasi, 16 membangun pandangan yang lebih mendalam terhadap pertanyaan atau kasus yang terjadi. 3) Scaffolding mendukung siswa selalu belajar Scaffolding dapat memandu siswa untuk terus berada pada tugas yang diberikan, dan membantu siswa agar tidak keluar dari jalur pembelajaran. Siswa dapat menyelesaikan tugas dengan berbagai jenis bantuan. 4) Scaffolding menawarkan asesmen untuk memperjelas tujuan Scaffolding menyediakan contoh kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh orang lain, berupa rubrik dan standar yang akan dicapai. Tanpa kriteria yang jelas, akan sangat sulit menjelaskan tentang kerja yang berkualitas. 5) Scaffolding memberikan sumber yang berharga pada siswa Scaffolding adalah poin awal bagi siswa untuk mengakses sumber lain dari informasi yang berguna untuk penyelesaian suatu masalah. 6) Scaffolding mengurangi ketidakpastian, keterkejutan dan kekecewaan Para perancang pembelajaran scaffolding diharapkan selalu menguji tiap langkah pada pembelajaran untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan. Tujuannya adalah untuk memaksimakan pembelajaran dengan memberikan wawasan yang baru bagi siswa, sehingga dapat menghilangkan rasa frustasi yang dapat mengganggu siswa ketika belajar. 7) Scaffolding memberikan efesiensi Jika dikerjakan dengan baik, maka pembelajaran dengan teknik scaffolding memiliki efisiensi yang baik. 8) Scaffolding menciptakan momentum Scaffolding menciptakan suatu momentum melalui proses mencari, bertanya, merenung, mengingat, dan mempertimbangkan setiap bantuan yang diperoleh oleh siswa. 17 3. Kelebihan dan kekurangan Scaffolding Suatu teknik pembelajaran tidak ada yang sempurna, pasti memiliki kekurangan. Lawson (Sutiarso, 2009: 529) mengungkapkan bahwa scaffolding dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran, mereka dapat merespon dengan antusias, berani mengambil resiko, mengakui keberhasilan, dan menampakkan rasa ingin tahu yang kuat pada sesuatu yang akan datang. Namun kekurangannya adalah sulitnya guru membuat rencana scaffolding dan sulitnya memetakan ZPD setiap siswa. Pemahaman guru Matematika terhadap karakteristik scaffolding dan jenisjenis media berbasis startegi scaffolding akan meminimalisir kekurangan scaffolding. Seorang guru juga hendaknya mengenal setiap karakteristik dan kemampuan siswanya agar scaffolding yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. 4. Jenis-jenis Scaffolding Pemberian scaffolding untuk setiap siswa tidaklah sama, tergantung kebutuhan siswa, hal inilah yang sebenarnya sulit bagi seorang guru. Oleh karena itu, guru harus mengenali karakteristik dan kebutuhan siswa. Hal ini didukung oleh Putri (2015: 178), yang menyatakan bahwa konten yang lebih kompleks mungkin memerlukan sejumlah scaffolding untuk diberikan pada waktu yang berbeda dalam rangka membantu siswa menguasai konten. The Math Forum (2006) menyatakan beberapa contoh proses scaffolding berupa jenis verbal dan non-verbal dalam Matematika sebagai berikut. 1) Writing to figure out a solution path Menanyakan pada siswa solusi apa yang dapat berikan pada masalah yang diajukan. Contoh pertanyaan yang dapat diajukan sebagai berikut: (a) apa informasi penting dalam masalah ini? (b) apa yang dapat kamu pahami dari 18 soal ini? apakah kamu memiliki pertanyaan pada soal ini? Dari pertanyaan ini siswa diharapkan dapat memberikan solusi. 2) Writing to explain a solution Meminta siswa untuk menjelaskan solusi yang ia berikan dengan memberikan pertanyaan. Contoh pertanyaan sebagai berikut: (a) apa yang kamu lakukan? (b) mengapa kamu melakukannya? (c) apa yang kamu ketahui? Melalui pertanyaan tersebut, siswa akan berpikir bagaimana cara menjelaskan solusi yang mereka berikan. 3) Learning to ask good questions when stuck Mencoba untuk bertanya ketika siswa mengalami kebuntuan dalam memecahkan masalah. Misalnya dengan bertanya tentang informasi khusus yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, meminta pendapat anak untuk memancing pemikirannya, menanyakan apakah strategi yang digunakan benar. 4) Reflection that improves and extends solutions Melakukan refleksi yang dapat meningkatkan dan memperluas alternatif solusi dengan cara memberi pertanyaan kepada siswa. Contoh pertanyaan sebagai berikut: (a) bagaimana kamu memeriksa jawabanmu? (b) apakah kamu menggunakan pendekatan lain untuk menyelesaikan masalah tersebut? (c) apakah solusimu dapat diterima? (d) apakah ada masalah baru saat kamu menyelesaikan masalah tersebut? (e) bagian mana dari proses pemecahan masalah yang paling menarik menurutmu? (f) apa yang dapat kamu pahami pada pemecahan masalah Matematika, sehingga dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari? 19 Tabel 2.1 di bawah ini menyajikan jenis-jenis scaffolding dan cara menggunakannya dalam pembelajaran, scaffolding tersebut diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa pada saat mengalami kesulitan. Tabel 2.1 Jenis-Jenis Scaffolding dan Cara Menggunakannya Jenis Scaffolding Cara-Cara Menggunakan Scaffolding Organisator Tingkat Tinggi Menggunakan alat-alat untuk mengenalkan konten dan tugas baru untuk membantu peserta didik mempelajari topik tersebut. Contoh diagram venn untuk menggabungkan dan membandingkan informasi. Contoh Contoh, spesimen, ilustrasi, masalah. Contoh objek nyata. Kartu Petunjuk Menyiapkan kartu-kartu yang kemudian diberikan kepada individu atau kelompok peserta didik untuk membantu diskusi mereka tentang sebuah topik atau daerah konten khusus. Contoh konsep untuk mendefinisikan. Anjuran Informasi yang lebih detail untuk membawa siswa berada pada tugas atau dalam pemikirannya mengenai sebuah konsep. Contoh penjelasan verbal tentang bagaimana sebuah proses kerja. Petunjuk Saran-saran dan petunjuk-petunkuk yang membuat siswa memahami. Contoh “cari subjek dari kata kerja.” Penjelasan Sebuah petunjuk fisik atau verbal untuk mengingatkan dan membantu dalam memunculkan pengetahuan sebelumnya atau dugaan. Contoh fisik: pergerakan tubuh seperti menunjukkan tanda dengan jari. Contoh verbal: kata-kata, pernyataan dan pertanyaan. Kartu Pertanyaan Menyiapkan kartu-kartu dengan konten dan tugas pertanyaan spesifik yang diberikan kepada individu atau kelompok peserta didik untuk saling mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan topik atau konten khusus. Akar Pertanyaan Kalimat tidak lengkap yang harus siswa lengkapi: mendukung pemikiran mendalam dengan menggunakan pertanyaan tingkat tinggi “bagaimana seandainya.” Cerita Cerita-cerita yang menghubungkan materi-materi kompleks dan abstrak menjadi situasi yang lebih dikenal peserta didik. Ceritakan cerita-cerita yang menginspirasi dan memotivasi peserta didik. Alibali (Putri, 2015: 181) 5. Rancangan Pembuatan Media Berbasis Strategi Scaffolding Ada beberapa tahap dalam merancang media berbasis strategi scaffolding dalam penelitian ini. 1) Tahap perancangan Lembar Diskusi Siswa (LDS) yang berguna untuk memandu diskusi siswa dalam menemukan suatu konsep, LDS ini akan 20 didukung beberapa media, yaitu set cards, kartu pertanyaan, dan tali rafia berupa lingkaran pada materi diagram venn. 2) Tahap perancangan petunjuk LDS yang berguna sebagai petunjuk penggunaan media-media yang telah disiapkan oleh guru dan petunjuk pengerjaan LDS, petunjuk penggunaan LDS ini akan berdampingan dengan LDS dan akan muncul pada setiap pertemuan. 3) Tahap perancangan media berupa set cards, kartu pertanyaan dan tali rafia sebagai media bantuan pembuatan diagram venn. Berikut penjelasan dari media-media tersebut. a. Set cards; kegunaan set cards ini adalah membantu siswa dalam mengelompokkan suatu himpunan atau bukan himpunan, menentukan himpunan semesta dan kardinalitas suatu himpunan, menentukan irisan, gabungan, komplemen serta selisih suatu himpunan. Set cards ini dapat berupa himpunan yang berhubungan dengan makhluk hidup atau hal-hal yang berhubungan dengan Matematika secara langsung. b. Kartu pertanyaan; kegunaan dari kartu pertanyaan ini adalah mengarahkan siswa dalam penemuan konsep dengan cara menjawab pertanyaan tersebut, kemudian menentukan anggota-anggota suatu himpunan. Contoh pertanyaan yang ada pada kartu pertanyaan sebagai berikut: adakah himpunan manusia yang hidup di air? adakah himpunan manusia yang umurnya lebih dari 1.000 tahun? dapatkah kamu menuliskan himpunan bilangan genap prima?. c. Tali rafia berupa lingkaran pada materi diagram venn; kegunaan dari tali rafia ini agar memudahkan siswa dalam memahami diagram venn. Pemahaman diagram venn ini akan sangat membantu dalam memahami materi irisan, gabungan, komplemen dan selisih suatu himpunan. 21 4) Tahap perancangan media scaffolding merupakan tahapan inti, namun ketiga tahapan di atas tak dapat lepas dari tahap perancangan media scaffolding. Ini dikarenakan untuk menentukan media scaffolding dibutuhkan suatu jembatan berupa media awal yang kemudian akan diketahui bagian mana yang membutuhkan media scaffolding. Dalam setiap pertemuan siswa akan melakukan diskusi, dalam diskusi tersebut dimungkinkan ada siswa yang mengalami kesulitan, media scaffolding akan dimunculkan ketika siswa mengalami kesulitan. Media scaffolding dibuat berdasarkan karakteristik scaffolding dan karakteristik Matematika, pada penelitian ini media yang dibuat berupa pertanyaan, arahan, instruksi, gambar, kartu petunjuk, contohcontoh, organisator tingkat tinggi, dan cerita. Tahap-tahap di atas merupakan rancangan dalam pembuatan media berbasis strategi scaffolding, scaffolding dapat dimunculkan jika ada jembatan atau media awal yang diberikan, media awal ini dapat berupa pemberian materi secara langsung, modul, lembar kerja siswa, dan lembar diskusi siswa. Tahap awal pada penelitian ini adalah memberikan LDS dan media yang telah disipkan oleh guru. 6. Langkah-langkah pemberian scaffolding Berikut langkah-langkah pemberian scaffolding pada penelitian ini. 1) Siswa diberikan masalah terlebih dahulu melalui media awal yang berupa Lembar Diskusi Siswa (LDS), petunjuk LDS dan set cards (kartu himpunan). Pemberian LDS, petunjuk LDS dan set cards tersebut membantu siswa menemukan konsep pada himpunan. 2) Scaffolding 1 akan diberikan ketika siswa mengalami kesulitan dalam menemukan konsep, scaffolding 1 ini berupa pertanyaan-pertanyaan pendukung. Contoh pertanyaan tersebut antara lain: apakah kamu yakin 22 dengan jawabanmu? apa informasi penting dalam masalah ini? coba kamu ingat kembali materi yang berhubungan dengan masalah ini. Jika dengan scaffolding 1 siswa sudah dapat menyelesaikan masalahnya, diindikasi siswa tersebut memiliki kemampuan Matematika yang tinggi. (Contoh dapat dilihat pada Lampiran A. 5 halaman 242 scaffolding pertemuan 1, kode Scf I 1a rendah). 3) Scaffolding 2 akan diberikan jika siswa masih mengalami kesulitan, scaffolding 2 dapat berupa pemberian contoh melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru atau teman sebaya yang lebih kompeten, atau dengan memberikan penjelasan berupa petunjuk fisik atau verbal untuk mengingatkan dan membantu dalam memunculkan pengetahuan sebelumnya atau dugaan. (Contoh dapat dilihat pada Lampiran A. 5 halaman 242 scaffolding pertemuan 1 kode Scf I 1a sedang). 4) Scaffolding 3 akan diberikan jika siswa masih mengalami kesulitan, scaffolding 3 dibuat lebih konkret dari scaffolding 2, misalnya dengan menunjukkan gambar. (Contoh dapat dilihat pada Lampiran A. 5 halaman 242 scaffolding pertemuan 1 kode Scf I 1a tinggi) 5) Jika siswa masih mengalami kesulitan maka scaffolding yang lain akan diberikan, pemberian scaffolding tersebut dapat datang dari guru atau teman yang kompeten, namun harus diingat bahwa scaffolding adalah dukungan dalam menyelesaikan kesulitan bukan memberikan jawaban secara langsung. Pada penjelasan sebelumnya telah dikatakan bahwa kekurangan pada strategi scaffolding adalah sulitnya membuat rencana scaffolding dan sulitnya memetakan ZPD setiap siswa. Oleh karena itu, guru harus mengenal setiap karakteristik dan kemampuan siswanya agar scaffolding yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. 23 B. Media Pembelajaran 1. Pengertian Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa Latin, medium dalam bentuk jamak yang berarti perantara atau pengantar. Ada beberapa pendapat mengenai media, diantaranya Sanjaya (2012: 57), menyatakan bahwa media adalah perantara dari sumber informasi ke penerima informasi, contohnya video, televisi, radio, computer, Koran, dan lain sebagainya. Senada dengan itu Assosiation for Educational Technology (Hosnan, 2014: 111), menyatakan bahwa media adalah segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi. Secara khusus Kustandi dan Sutjipto (2013: 8), mendefinisikan media pembelajaran sebagai sarana untuk meningkatkan proses belajar mengajar. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala bentuk alat yang dipergunakan untuk membantu kegiatan belajar mengajar, menyampaikan pesan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan baik, yang berfungsi untuk meningkatkan proses belajar mengajar. Jadi, penggunaan media ini sangat penting dalam membantu siswa pada pembelajaran. 2. Fungsi Media Pembelajaran Dalam sebuah pembelajaran media merupakan unsur yang sangat penting dalam membantu guru menyampaikan sebuah informasi. Seperti yang dikemukakan Kustandi dan Sutjipto (2013: 19) bahwa media memiliki kedudukan sebagai alat bantu dalam menyampaikan informasi secara teliti, jelas dan menarik. Menurut Levied dan Lentz (Kustandi dan Sutjipto, 2013: 19), ada empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual. 1) Fungsi atensi Fungis atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pembelajaran yang berkaitan 24 dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Jadi, media yang dibuat harus menarik agar siswa berminat untuk memperhatikan materi yang diajarkan dan tujuan pembelajaran akan tercapai. 2) Fungsi afektif Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar teks yang bergambar. Media yang dibuat oleh guru sebaiknya dapat menggugah sikap siswa dalam pembelajaran, saat ini sikap merupakan hal mendesak yang ingin ditingkatkan, pemerintahpun menggalakkan pendidikan berkarakter. 3) Fungsi kognitif Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian, yang mengungkapkan bahwa lambang visual memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar. Fungsi kognitif merupakan salah satu fungsi yang penting, siswa diminta untuk memahami isi dari sebuah pembelajaran. 4) Fungsi kompensatoris Fungsi kompensatoris media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks, membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Kelebihan dari media visual ini adalah dapat dibaca berulang oleh siswa. Hosnan (2014: 112) mengelompokkan media berdasarkan sifatnya. 1) Media visual Media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara. Yang termasuk ke dalam media ini adalah film slide, foto, tranparansi, lukisan, gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis. 25 2) Media Audio Media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara. 3) Media Audio Visual Karakteristik dari media audio visual adalah mengutamakan objek yang bergerak, berwarna, bersuara, dan didukung oleh efek suara maupun visual, dapat menyajikan animasi apabila perlu menyajikan suatu proses, mudah menyajikannya dan tidak memerlukan ruang gelap. Senada dengan pendapat di atas, Dale (Kustandi, 2013: 21) mengemukakan bahwa bahan-bahan audio visual dapat memberikan banyak manfaat, asalkan guru berperan aktif dalam pembelajaran. Media audio visual juga mudah didapatkan dan dibuat dengan majunya perkembangan teknologi saat ini. 3. Manfaat Media Pembelajaran Media pembelajaran merupakan sarana untuk meningkatkan kegiatan belajar mengajar. Ada banyak manfaat media pembelajaran, Kustandi (2013: 23) mengungkapkan ada empat manfaat media pembelajaran. 1) Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar, serta meningkatkan proses dan hasil belajar. Hal ini dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahamannya tentang suatu materi. 2) Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya, dan memberi kesempatan pada siswa untuk belajar sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. 26 3) Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu. Semua menjadi lebih mudah dengan media dan kecanggihan teknologi saat ini, siswa belajar lebih cepat, mempelajari hal yang belum mereka lihat sebelumnya dan mengeksplorasi sesuatu yang jauh dari jangkauannya. 4) Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa di lingkungan mereka, serta memberi kesempatan terjadinya interaksi langsung dengan teman, guru, masyarakat, dan lingkungannya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa penggunaan media pembelajaran bermanfaat untuk membantu siswa dalam memahami proses dan materi pembelajaran, ini artinya media sangat dibutuhkan dalam pembelajaran. C. Pendekatan Inquiry Inquiry merupakan komponen kedua dari pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), inti dari pembelajaran kontekstual adalah menemukan (inquiry). Namun inquiry dapat berdiri sendiri sebagai suatu pembelajaran, dalam pendekatan inquiry proses pembelajaran berdasarkan pada penemuan melalui proses berpikir secara sistematis, salah satu karakteristik dari Matematika sendiri adalah sistematis, hal ini menggambarkan bahwa pendekatan inquiry cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran Matematika. 1. Pengertian Inquiry Kuhlthau (2007: 2), mendefinisikan inquiry sebagai berikut: “inquiry is an approach to learning whereby students find and use a variety of sources of information and ideas to increase their under standing of a problem, topic, or issue.” Dapat dimaknai bahwa inquiry adalah suatu pendekatan pembelajaran, yang membantu siswa menemukan, dan menggunakan berbagai sumber informasi dan ide untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang masalah, topik, atau isu. 27 Senada dengan pendapat tersebut, Hosnan (2014: 341) menyatakan bahwa pembelajaran inquiry menekankan pada proses mencari dan menemukan konsep. 2. Ciri-ciri Pendekatan Inquiry Hosnan (2014: 342) menyatakan ciri-ciri pendekatan inquiry sebagai berikut. 1) Pendekatan inquiry menekankan pada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan. 2) Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri. 3) Tujuan dari penggunaan pendekatan inquiry adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Salah satu tujuan dari pembelajaran Matematika adalah membentuk siswa agar mampu berpikir secara sistematis, logis dan kritis. Hal ini sejalan dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh pendekatan inquiry. Oleh sebab itu, pendekatan inquiry merupakan salah satu pendekatan yang dapat diterapkan pada pembelajaran Matematika. 3. Prinsip-prinsip pendekatan Inquiry Hosnan (2014: 342) menyatakan prinsip-prinsip pendekatan inquiry. 1) Berorintasi pada Pengembangan Intelektual Tujuan dari pendekatan inquiry adalah pengembangan kemampuan berpikir, pembelajaran selalu berorientasi pada hasil dan proses belajar. 2) Prinsip Interaksi Pada dasarnya pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan lingkungan. Ini memberi arti 28 bahwa guru bukanlah sumber satu-satunya, guru hanya sebagai fasilitator dalam sebuah pembelajaran. 3) Prinsip Bertanya Bertanya merupakan tahap penting dalam sebuah pembelajaran, pertanyaan dapat terlontar jika siswa berpikir, namun pertanyaan tidak hanya selalu harus datang dari siswa dengan sendirinya, guru dapat memancing siswa untuk bertanya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan. 4) Prinsip Belajar untuk Berpikir Belajar merupakan proses berpikir, belajar bagaimana berpikir, yakni mengembangkan potensi seluruh otak dan pemanfaatan otak secara maksimal. 5) Prinsip Keterbukaan Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan hipotesis, dan secara terbuka membuktikan hipotesis yang digunakan. 4. Langkah-langkah Pelaksanaan Pendekatan Inquiry Ada beberapa langkah pelaksanaan pendekatan inquiry, Hosnan (2014: 342) menyatakan sebagai berikut. 1) Orientasi Pada tahap orientasi guru dapat mengkondisikan siswa agar siap dan responsif dalam menerima pembelajaran. Guru dapat merangsang dan mengajak siswa untuk memecahkan masalah. 2) Merumuskan Masalah Pada tahap perumusan masalah, siswa dibawa pada persoalan yang mengandung teka-teki. Maksud dari kata teka-teki tersebut adalah masalah 29 pasti ada jawabannya. Siswa didorong menemukan jawaban, proses menemukan sangat penting pada pendekatan inquiry. 3) Merumuskan Hipotesis Pada tahap perumusan hipotesis, siswa harus memiliki landasan berpikir yang kokoh sehingga hipotesis yang dikemukakan bersifat logis dan rasional. Kemampuan membuat hipotesis dipengaruhi oleh kedalaman wawasan setiap siswa, dan keluasan pengalamannya. 4) Mengumpulkan Data Mengumpulkan data adalah menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pendekatan inquiry mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektualnya. 5) Menguji Hipotesis Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan informasi, yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. 6) Merumuskan Kesimpulan Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Merumuskan kesimpulan merupakan puncak dalam sebuah pembelajaran. Senada dengan itu, Trianto (2009: 114) mengungkapkan langkah-langkah pendekatan inquiry sebagai berikut: (1) merumuskan masalah, (2) mengamati atau melakukan observasi, (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya, (4) mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiensi lain. Kedua pendapat tersebut menggambarkan bahwa pada pendekatan inquiry 30 menekankan penemuan melalui pengumpulan data, kemudian dikomunikasikan kepada teman sekelas atau guru. Pada penelitian ini langkah-langkah yang diterapkan adalah orientasi, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan. Lebih lanjut dinyatakan dalam siklus inquiry seperti pada gambar di bawah ini. Gambar 2.2 Siklus Inquiry 5. Keunggulan dan Kelemahan Pendekatan Inquiry Suatu pendekatan atau teknik tidak ada yang sempurna, pasti memiliki keunggulan dan kelemahan. Hosnan (2014: 344), menyatakan bahwa pendekatan inquiry merupakan pembelajaran yang banyak dianjurkan, pendekatan ini memiliki beberapa keunggulan, diantaranya sebagai berikut. 1) Pendekatan inquiry menekankan kepada pengembangan aspek kognitf, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran inquiry ini dianggap lebih bermakna. Pada suatu pembelajaran, perkembangan setiap aspek harus seimbang agar siswa dapat menjadi manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, sikap dan sosial yang baik. 31 2) Pendekatan inquiry dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka. Setiap siswa memiliki gaya belajar masing masing, inquiry memfasilitasi hal tersebut. 3) Inquiry merupakan pendekatan yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar moderen yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku, berkat adanya pengalaman. Perubahan tingkah laku dapat terjadi setelah adanya proses belajar, belajar dapat menciptkan pengalamanpengalaman baru bagi siswa. 4) Pendekatan inquiry dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar. Di samping memiliki keunggulan, pendekatan inquiry juga mempunyai kelemahan, diantaranya sebagai berikut. 1) Jika pendekatan ini digunakan sebagai pembelajaran, maka akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa. Hal ini dapat diatasi dengan mendatangkan observer saat pembelajaran, misalnya dengan melakukan kolaborasi dengan guru dibidang yang sama. 2) Pada pendekatan inquiry, terdapat kesulitan dalam merencanakan pembelajaran karena terbentur dengan kebiasaan belajar siswa. Setiap siswa memiliki kebiasaan belajar, seorang guru harus mengetahui karakteristik dan kebiasaan setiap siswanya agar perencanaan belajar tidak terasa sulit. 3) Terkadang dalam mengimplementasikannya memerlukan waktu yang panjang sehingga siswa sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan. 4) Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka pembelajaran inquiry ini akan sulit 32 diimplementasikan oleh setiap pendidik. Pencapaian dalam suatu pembelajaran pada setiap siswa berbeda, adakalanya siswa hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat penerapan saja misalnya menerapkan rumusrumus yang ada, namun ada juga siswa yang memiliki pencapaian yang lebih tinggi, dan ia dapat mengajarkan kembali apa yang ia dapat. D. Komunikasi Matematis 1. Komunikasi Pada dasarnya pembelajaran merupakan penyampaian informasi dari guru kesiswa, dari siswa keguru atau dari siswa kesiswa. Pada kamus besar Bahasa Indonesia (2008: 721), komunikasi didefinisikan sebagai pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Menurut Sanjaya (2012: 79), komunikasi dapat diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari sumber pesan ke penerima pesan dengan maksud untuk mempengaruhi penerima pesan. Senada dengan pendapat di atas Berlo (Iriantara, 2014: 3), menyatakan bahwa komunikasi sebagai proses mengirimkan, menerima dan memahami gagasan dan perasaan dalam bentuk pesan verbal atau non verbal secara sengaja atau tidak disengaja. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses, yaitu aktivitas untuk mencapai tujuan komunikasi itu sendiri, dalam suatu komunikasi harus ada sumber pesan, pesan dan penerima pesan. 2. Komunikasi Matematis Komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan penting yang ingin dicapai pada pembelajaran Matematika. Pada standar dan prinsip National Council of Teacher Of matematis sebagai berikut. Mathematics (2004: 4), didefinisikan komunikasi 33 Mathematical communication is a way of sharing ideas and clarifying understanding. Through communication, ideas become objects of reflection, refinement, discussion, and amendment. When students are challenged to communicate the results of their thinking to others orally or in writing, they learn to be clear, convincing, and precise in their use of mathematical language. Hal tersebut dimaknai bahwa komunikasi matematis adalah sebuah cara berbagi ide dan mengklarifikasi pemahaman. Melalui komunikasi, gagasan bertransformasi sebagai objek refleksi, perbaikan, diskusi dan perubahan. Saat siswa ditantang untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, baik secara lisan atau tertulis, mereka belajar untuk menyampaikannya dengan bahasa Matematika yang jelas, meyakinkan, dan tepat. Komunikasi dalam pembelajaran Matematika merupakan suatu hal yang sangat penting. Sumarmo (2006: 3), menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan yang dapat menyertakan, dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam beberapa bentuk: (1) merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide Matematika, (2) membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkret, grafik, dan aljabar, (3) menyatakan peristiwa seharihari dalam bahasa atau simbol Matematika, (4) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang Matematika, (5) membaca dengan pemahaman suatu presentasi Matematika tertulis, (6) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi, dan (7) menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang tentang Matematika yang telah dipelajari. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dieksplorasi pada pembelajaran matematika, untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa dibutuhkan indikator yang jelas. Merujuk pada Ansari (2009), siswa dikatakan mempunyai kemampuan komunikasi yang baik apabila telah memenuhi indikatorindikator kemampuan komunikasi Matematika sebagai berikut. 1) Kemampuan menggambar (drawing), yaitu meliputi kemampuan siswa mengungkap ide Matematika ke dalam bentuk gambar, diagram atau grafik. 34 2) Kemampuan menulis (written text), yaitu berupa kemampuan memberikan penjelasan dan alasan secara Matematika dengan bahasa yang benar. 3) Kemampuan ekspresi Matematika (mathematical expression), yaitu kemampuan membuat model Matematika. Penelitian ini lebih fokus pada komunikasi dalam bentuk tulisan, dengan indikator kemampuan komunikasi matematis yang mengacu pada Ansari. Pada tiap pertemuan siswa dilatih untuk mengerjakan soal komunikasi di akhir pertemuan. Tabel 2.2 Kriteria Pemberian Skor Komunikasi Matematika Skor 0 1 2 3 4 Ekspresi Matematis (Mathematical Expression) Tidak ada jawaban, kalaupun ada hanya memperlihatkan tidak memahami konsep sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa. Menulis (Written texts) Menggambar (Drawing) Hanya sedikit dari penjelasan yang benar. Penjelasan secara matematis masuk akal namun hanya sebagian lengkap dan benar. Hanya sedikit gambar, diagram, atau tabelbenar. Melukiskan diagram, gambar, atau tabel namun kurang lengkap dan kurang benar. Melukiskan diagram, gambar, atau tabel namun kurang lengkap dan benar. Hanya sedikit dari model Matematika yang benar. Membuat model Matematika kurang benar, namun salah dalam mendapatkan solusi. Membuat model Matematika dengan benar, namun salah dalam mendapatkan solusi. Melukiskan diagram, gambar atau tabel secara lengkap dan benar. Membuat model Matematika dengan benar, kemudian melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi secara benar dan lengkap. Skor Maksimal = 4 Skor Maksimal = 4 Penjelasan secara matematis masuk akal dan benar, meskipun tidak tersusun secara logis atau terdapat sedikit kesalahan bahasa. Penjelasan secara matematis masuk akal dan jelas serta tersusun secara logis. Skor Maksimal = 4 E. Kemandirian Belajar 1. Kemandirian Kata kemandirian menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2008: 872), adalah “hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain.” Kata kemandirian berasal dari kata dasar mandiri yang mendapat awalan ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. 35 Kemandirian termasuk ke dalam lingkup sifat pribadi seseorang, sifat merupakan struktur mental seseorang yang menunjukkan adanya suatu konsistensi. Oleh sebab itu, dalam mempelajari konsep mandiri, kemandirian harus dilihat sebagai bagian dari kepribadian seseorang. 2. Belajar Belajar merupakan kebutuhan bagi setiap individu, dengan belajar manusia akan memperoleh pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain, sebagai akibatnya ada perubahan tingkah laku bagi yang melakukannya. Banyak pengertian belajar yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut. 1. Menurut Slameto (2013: 2), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Secara psikologi belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 2. Teori belajar purposeful learning dalam Slameto (2013: 15), mengemukakan bahwa belajar dapat terjadi atas keinginan sendiri atau akibat dorongan orang lain seperti orang tua, guru atau teman. Dalam suatu kegiatan belajar hendaknya siswa menentukan tujuan belajarnya. 3. Dimyati dan Mudjiono (2013: 17), menyatakan bahwa belajar merupakan aktivitas yang kompleks yang melibatkan siswa dan guru, kompleksitas ini dapat datang dari guru atau dari siswa tersebut. Belajar merupakan suatu proses yang melibatkan mental dalam menghadapi pembelajaran. 4. Menurut Jean Piaget (Sanjaya, 2012: 38) dengan teori konstruktivistnya, belajar merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman siswa. Pengetahuan tidak didapat dari pemberian orang lain, melainkan hasil 36 dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap siswa, oleh sebab itu belajar adalah proses mental seseorang. Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah sebuah proses untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan melalui pengalaman yang mengakibatkan perubahan pemahaman, tingkah laku, dan sikap seseorang, akibat adanya interaksi dengan lingkungan sekitar. Proses belajar ini dapat terjadi akibat kemauan sendiri atau atas dasar dorongan orang lain, namun belajar yang baik adalah belajar atas keinginan sendiri. 3. Kemandirian Belajar Kemandirian belajar yang dikenal dengan self-regulated learning (SRL) merupakan hal yang dibutuhkan dalam pembelajaran, dalam hal ini peneliti memandang kemandirian belajar sebagai hasil dari sebuah proses pembelajaran. Menurut Tirtarahardja (2005: 50), kemandirian belajar adalah aktivitas belajar yang keberlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Ini artinya kemandirian ini adalah upaya sadar yang bertanggung jawab dari dalam diri sendiri, hal yang sama diungkapkan oleh Vohs dan Baumeister (2004: 2), “one definition of selfregulation encompasses any efforts by the human self to alter any of its own inner states or response” yang memaknai self-regulation sebagai cakupan upaya apapun oleh diri sendiri, untuk mengubah atau menanggapi setiap bagian dari dalam diri. Zimmerman (Nakata, 2010: 2) mendefinisikan SRL sebagai pemikiran, perasaan, dan tindakan yang dihasilkan oleh diri sendiri, direncanakan dan secara bersiklus disesuaikan dengan pencapaian tujuan pribadi yang ingin dicapai. 37 Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar adalah kegiatan belajar atas kemauan sendiri yang dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, strategi, dan perilaku sendiri untuk pencapain tujuan dengan penuh tanggung jawab. Kemandirian belajar diperlukan agar mereka mempunyai tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya. Menurut Schunk dan Zimmerman (Sumarmo: 2010), terdapat tiga fase utama dalam siklus SRL. a) Merancang belajar b) Memantau kemajuan belajar selama menerapkan rancangan c) Mengevaluasi hasil belajar secara lengkap. Gambar 2.3 di bawah ini menggambarkan siklus SRL pada ketiga fase tersebut, dan pada gambar di bawah ini terlihat bahwa fase refleksi berfungsi meninjau ulang setiap fase yang telah dilakukan. Plan Reflection Reflection Evaluate Monitor Gambar 2.3 Siklus SRL Pada setiap fase terdapat beberapa kegiatan yang mencirikan SRL, kegiatankegiatan tersebut termuat pada Tabel 2.3, kegiatan dimulai dari merancang, memantau, mengevaluasi dan merefleksi setiap kegiatan yang dilakukan. 38 Tabel 2.3 Fase SRL Fase Merancang belajar Memantau Mengevaluasi Merefleksi Kegiatan 1. Menganalisis tugas belajar 2. Menetapkan tujuan pembelajaran dan memastikan tujuan belajar dengan jelas 3. Merancang strategi pembelajaran dan mempertimbangkan berbagai cara untuk menyelesaikan tugas belajar (Berlangsung kegiatan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri) 1. Apakah strategi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana? 2. Apakah saya kembali kepada kebiasaan lama? 3. Apakah saya tetap fokus? 4. Apakah strategi telah berjalan dengan baik? 5. Apakah saya perlu menyesuaikan strategi? (Memuat kegiatan memeriksa bagaimana jalannya strategi) 1. Apakah strategi telah dilaksanakan dengan baik? (Evaluasi proses) 2. Hasil belajar apa yang telah dicapai? (Evaluasi produk) 3. Sesuaikah strategi dengan jenis tugas belajar yang dihadapi? Pada dasarnya, tahap ini tidak hanya berlangsung pada tahap keempat dalam siklusSRL, namun refleksi berlangsung pada tiap tahap selama siklus berjalan. Schunk dan Zimmerman (Sumarmo: 2010) Pada fase merancang terlihat kegiatan siswa mulai dari menganalisis tugas, menganalisis merupakan keterampilang Matematika yang seharusnya dikembangkan, lalu ada kegiatan menetapkan tujuan dan mencari cara bagaimana cara mengerjakan tugas, hal ini melatih pemikiran mandiri siswa. Pada fase memantau siswa dapat mengontrol diri mereka sendiri, jika siswa dapat mengontrol kegiatan belajar mereka maka kemandirianpun dengan sendirinya akan terbentuk. Pada fase mengevaluasi siswa diharapkan dapat memeriksa pekerjaan mereka, dengan melihat hasil-hasil dari kegiatan belajar, apakah telah berjalan dengan baik, hasil belajar apa yang telah didapat dan sesuaikah pendekatan yang digunakan. Pada setiap fase tertesebut akan selalu ada fase refleksi, refleksi tidak hanya terdapat diakhir pembelajaran namun dalam seluruh kegiatan pembelajaran. Pintrich (Nodoushan, 2012: 8), menyarankan empat fase pada self-regulation yang biasa disebut model temporal dengan tahap-tahap sebagai berikut. 1) Pemikiran meliputi perencanaan, penetapan tujuan dan aktivasi. 2) Pemantauan meliputi pemantauan proses pembelajaran. 39 3) Manajemen mencakup penggunaan strategi regulasi dan kontrol. 4) Refleksi meliputi evaluasi, penilaian, dan atribusi. Empat fase yang dikemukakan oleh Pintrich senada dengan fase SRL yang dikemukakan oleh Schunk dan Zimmerman, begitupula kegiatan-kegiatan yang ada pada fase tersebut. Namun fase refleksi merupakan fase akhir menurut pendapat Pintrich, sedangkan menurut Schunk dan Zimmerman refleksi berlangsuang pada tiap fase selama siklus berjalan. Berdasarkan definisi dan fase SRL yang dikemukakan oleh para ahli, disimpulkan ciri-ciri kemandirian belajar siswa, yaitu (1) tidak menyandarkan diri pada orang lain, (2) percaya pada kemampuan diri, (3) bertanggung jawab, (4) merencanakan pembelajaran, (5) memantau pembelajaran, (6) mengevaluasi pembelajaran, dan (7) merefleksi pembelajaran. Merujuk ciri-ciri kemandirian belajar di atas, indikator yang akan ditetapkan pada penelitian ini adalah merencanakan pembelajaran, memantau pembelajaran, mengevaluasi pembelajaran, dan merefleksi pembelajaran F. Penelitian Yang Relevan Pujiastuti (2014: 264), dalam penelitiannya yang berjudul ‘Pembelajaran Inquiry Co-Operation Model untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi, dan Self-Esteem Matematis Siswa SMP’ mendapat kesimpulan anatara lain: (1) pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan self-esteem matematis siswa yang mendapat pembelajaran inquiry co-operation model lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, (2) tidak ada interaksi antara pembelajaran dan kemampuan awal matematis dan peringkat sekolah, terhadap 40 pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa, dan (3) ada korelasi yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah, komunikasi, dan self-esteem matematis. Dari kesimpulan yang ada, dapat dimaknai bahwa pembelajaran inquiry dapat meningkatkan komunikasi matematis siswa. Senada dengan penelitian di atas, Febriastuti (2013: 51) pada penelitiannya yang berjudul ‘Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa SMPN 2 Geyer Melalui Pembelajaran Inquiry Berbasis Proyek’ menyimpulkan, bahwa penerapan pembelajaran model inquiry berbasis proyek dapat meningkatkan kemandirian belajar siswa. Dari beberapa penelitian tersebut, disimpulkan bahwa pembelajaran inquiry dapat meningkatkan kemandirian belajar dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Prabawanto (2013: 311), pada penelitiannya yang berjudul ‘Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi, dan Self- Efficacy Matematis Mahasiswa Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding’ menyimpulkan, bahwa adanya peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa yang memperoleh pendekatan metacognitive scaffolding lebih tinggi, daripada mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan langsung. Senada dengan kesimpulan di atas, Anjani (2013: 64) pada penelitiannya yang berjudul ‘Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Menggunakan Pendekatan Kontekstual Dengan Teknik Scaffolding’ menyimpulkan adanya peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa, yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual dengan teknik scaffolding 41 lebih baik, dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa scaffolding dapat meningkatkan komunikasi matematis siswa. G. KERANGKA PIKIR Inquiry adalah pendekatan pembelajaran berdasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pendekatan inquiry memiliki ciri yang menekankan pada aktivitas siswa secara maksimal, untuk mencari dan menemukan konsep dari suatu materi. Pada pendekatan inquiry terdapat beberapa tahap yang harus dilalui oleh siswa, yaitu (1) orientasi, (2) merumuskan masalah, (3) merumuskan hipotesis, (4) mengumpulkan data, (5) menguji hipotesis, dan (5) merumuskan kesimpulan. Pada tahap orientasi guru memberi motivasi dan mengkondisikan kelas, tujuan dari tahap orientasi adalah memusatkan konsentrasi siswa, hal ini akan membantu siswa untuk mengetahui apa saja yang akan mereka pelajari. Selanjutnya tahap merumuskan masalah, ketika siswa siap untuk belajar, guru memberi teka-teki berupa pertanyaan yang mengacu pada konsep himpunan, kegiatan ini memancing siswa untuk menemukan jawaban, dari teka-teki yang diberikan oleh guru. Tahap selanjutnya, siswa berdiskusi dengan teman kelompok untuk merumuskan hipotesis. Tahap selanjutnya adalah mengumpulkan data, pada tahap ini siswa diberi LDS, petunjuk LDS dan Set Cards. Melalui penggunaan media awal tersebut, siswa diminta melakukan disksusi bersama teman kelompoknya, diskusi mengarah pada mencari jawaban dari pertanyaan yang diberikan di awal pembelajaran. Pada tahap ini siswa diminta membaca dan menjawab pertanyaan yang ada pada LDS, 42 jika mereka mengalami kesulitan dan semua anggota kelompok tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka guru akan memberikan scaffolding. Scaffolding merupakan strategi penting, yang berhubungan dengan perbedaan antara apa yang anak dapat capai secara mandiri, dan apa yang anak dapat capai dengan bimbingan dan dorongan dari guru atau orang dewasa yang lebih kompeten, scaffolding yang diberikan membantu siswa mencapai kemampuan optimalnya. Jika siswa sudah mampu melanjutkan diskusi, scaffolding akan dikurangi dan akhirnya diberhentikan ketika siswa benar-benar mandiri. Scaffolding yang diberikan memiliki beberapa level, level 1 berupa pertanyaanpertanyaan pendukung dan arahan. Level 2 berupa gambar, penjelasan, kartu pertanyaan, atau contoh dan level 3 berupa organisator tingkat tinggi. Siswa yang membutuhkan scaffolding dengan intensitas tinggi, akan lebih banyak berinteraksi dengan guru, sehingga komunikasi yang baik akan terbangun. Siswa yang berkemampuan rendah, dapat memaksimalkan kemampuan komunikasi matematis melalui media berbasis strategi scaffolding, dan diharapkan scaffolding yang diberikan akan membantu siswa lebih mandiri dalam pembelajaran. Tahapan selanjutnya adalah menguji hipotesis, dengan cara membandingkan jawaban setiap kelompok. Siswa diminta untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok ke depan kelas, kegiatan ini dapat meningkatkan komunikasi matematis siswa, misalnya dengan memberikan tanggapan atas jawaban temannya dan diskusi antar kelompok. Jika jawaban teman di depan kelas belum benar, maka kelompok lain dapat membantu. Guru dalam tahapan ini berperan sebagai fasilitator yang memandu jalannya diskusi dan merumuskan jawaban yang benar. Merumuskan kesimpulan merupakan tahapan terakhir dari pendekatan inquiry, pada tahapan ini siswa dibimbing oleh guru untuk menyimpulkan hasil diskusi, 43 sehingga didapat jawaban akhir yang merupakan kesimpulan atau jawaban dari masalah yang diberikan oleh guru, pada tahap merumuskan masalah. Tahapan ini juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. dengan cara meminta siswa merumuskan kesimpulan kelompoknya. III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan atau Research and Development. Penelitian ini mengacu pada prosedur Akker, Nieveen, dan McKenney (2006: 233) dengan 2 tahap, yaitu preliminary (tahap pendahuluan) dan tahap prototyping melalui formative evaluation (uji formatif) mengacu pada tahapan Tessemer (1993: 15), yang meliputi self-evaluation (evaluasi diri), expert reviews (uji ahli), one-to-one (uji perseorangan), small group (uji kelas kecil) kemudian uji terbatas. Produk yang dikembangkan pada penelitian ini adalah media berbasis strategi scaffolding, dibuat berdasarkan karakteristik scaffolding dan karakteristik Matematika pada materi himpunan kelas VII SMP melalui pendekatan inquiry, untuk membantu upaya peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. B. Tempat , Waktu, dan Subjek Penelitian Penelitian dilakukan di SMP IT Ar-Raihan semester genap tahun pelajaran 2015/2016. Subjek-subjek dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap. 1. Subjek Studi Pendahuluan Pada studi pendahuluan dilakukan beberapa langkah sebagai analisis kebutuhan, yaitu observasi dan wawancara. Subjek pada saat observasi adalah siswa kelas VII C dan VII D, subjek pada saat wawancara adalah siswa kelas VII dan guru yang mengajar Matematika di kelas VII. 45 2. Subjek Validasi Ahli Media Berbasis Strategi Scaffolding Subjek validasi media dalam penelitian ini adalah tiga orang ahli yang terdiri atas satu ahli materi, satu ahli bahasa dan satu ahli desain. Ahli materi, yaitu Ibu Nicky Dwi Puspaningtyas, yang merupakan guru SMA Kebangsaan dan pernah menjadi dosen di Universitas Muhamadiyah Bandar Lampung. Ahli bahasa, yaitu Ibu Megaria, yang merupakan dosen FKIP Jurusan Bahasa dan Seni Universitas Lampung. Ahli desain, yaitu Bapak Widodo Tri Hardjanto, yaitu kepala sekolah SMP Az-Zahra Bandar Lampung. 3. Subjek Uji Perseorangan Subjek pada tahap ini adalah tiga orang siswa kelas IX yang sudah menempuh materi himpunan. Tiga orang siswa tersebut berinisial FAC, RAP, dan WFK. Ketiga siswa tersebut memiliki kemampuan matematis tinggi, sedang, dan rendah. 4. Subjek Uji Kelas Kecil Subjek pada tahap ini adalah enam orang siswa kelas VII yang belum menempuh materi himpunan. Enam orang siswa tersebut adalah siswa kelas VII D, yang berinisial ASR, NPC, BAP, NDH, MILR, dan RBSP. Keenam orang tersebut memiliki kemampuan matematis tinggi, sedang, dan rendah. 5. Subjek Terbatas Subjek pada tahap ini adalah seluruh siswa pada kelas VII C tahun pelajaran 2015/2016. Terdapat 23 orang siswa dengan kemampuan matematis rendah, sedang dan tinggi di kelas tersebut. C. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dan pengembangan ini mengikuti tahapan Akker, Nieveen, McKenney dan Tessemer, prosedur penelitian dan pengembangan dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini. 46 Prosedur penelitian pengembangan Tahap Pengumpulan Data 1.Tahap Pendahuluan Tahap Pendesainan Prototype 1 Evaluasi Diri (Self-Evaluation) Uji ahli (Expert Review) Revisi Uji perseorangan (One-to-one) Revisi 2. Tahap Uji Formatif Prototype 2 Uji kelas kecil (Small Group) Revisi Prototype 3 Uji Terbatas Gambar 3.1 Prosedur Penelitian Berikut ini penjelasan dari tahap-tahap prosedur penelitian di atas. a. Tahap Pendahuluan Tahap ini dibagi menjadi 2 tahapan, antara lain tahap pengumpulan data dan tahap pendesainan. 47 1. Pada tahap pengumpulan data, dilakukan observasi terhadap media-media yang digunakan guru di kelas VII. Wawancara dilakukan dengan guru Matematika untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, terkait dengan hasil observasi yang telah dilakukan, dan memperjelas beberapa hal terkait media yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Selanjutnya memberikan beberapa pertanyaan kepada siswa, berkaitan dengan media yang digunakan selama pembelajaran, dan bagaimana pembelajaran yang telah diterapkan selama ini. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan buku teks dan bahan ajar yang digunakan guru saat mengajar, kemudian mengkaji buku-buku tersebut sebagai acuan penyusunan Lembar Diskusi Siswa (LDS) dan media berbasis strategi scaffolding. Analisis terhadap kompetensi inti, kompetensi dasar, silabus Matematika kelas VII, dan indikator kemampuan komunikasi matematis dilakukan sebagai bahan pertimbangan penyusunan LDS dan Lembar Latihan Siswa (LLS). 2. Pada tahap pendesainan, dilakukan pendesainan media berbasis strategi scaffolding, produk yang dikembangkan sesuai dengan data-data pada tahap pengumpulan data. Media berbasis strategi scaffolding dikembangkan berdasarkan karakteristik Matematika dan karakteristik scaffolding, mediamedia tersebut dapat berupa lisan dan tulisan, media visual dan audio visual. Media ini tidak sama untuk setiap materinya dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa, dan untuk melihat scaffolding yang dibutuhkan siswa, digunakan media lain berupa Set Cards, LDS, dan petunjuk LDS. Media-media tersebut akan membantu siswa menemukan konsep dan menyelesaikan masalah komunikasi matematis. Produk yang telah didesain pada tahap ini dinamakan prototype 1. 48 b. Tahap Uji Formatif Tahap uji formatif ini mengikuti alur Tessemer (1993: 15), yang terdiri dari beberapa uji, yaitu (1) evalusi diri, (2) uji ahli, (3) uji perseorangan, (4) uji kelas kecil, dan (5) uji terbatas. Berikut ini uraian dari tahap-tahap tersebut. 1) Evaluasi Diri Pada tahap ini dilakukan evaluasi oleh diri sendiri terhadap hasil desain prototype 1 media berbasis strategi scaffolding. Evaluasi ini dilakukan berdasarkan kelayakan materi, bahasa dan desain. 2) Uji Ahli Prototype 1 yang telah di evaluasi kemudian divalidasi oleh ahli materi, bahasa dan desain yang berkompeten dibidangnya melalui skala validasi media. Validasi yang dilakukan oleh ahli materi bertujuan untuk mengetahui kebenaran isi LDS dan media berbasis strategi scaffolding, meliputi kebenaran konsep Matematika dan komunikasi matematis. Sedangkan validasi oleh ahli bahasa bertujuan untuk melihat kaidah penulisan yang baik dan benar, dan validasi oleh ahli desain bertujuan untuk melihat kesesuaian format yang digunakan dalam media berbasis strategi scaffolding dengan tingkat keterbacaan siswa. Adapun tanggapan dan saran dari para pakar terhadap produk yang telah dibuat, ditulis pada lembar validasi yang telah disiapkan sebagai bahan untuk revisi. 3) Uji Perseorangan Prototype 1 yang telah divalidasi oleh ahli, diujicobakan pada 3 orang siswa dengan kemampuan matematis rendah, sedang dan tinggi. Ketiga siswa tersebut merupakan siswa kelas IX yang sudah menempuh materi himpunan. Pada akhir kegiatan, mereka diberikan lembar skala untuk mengukur keterbacaan dan tanggapan terhadap media berbasis startegi scaffolding. Hasil validasi dan saran dijadikan bahan perbaikan prototype 1, hasil revisi dinamakan prototype 2. 49 4) Uji Kelas Kecil Pada tahap ini, prototype 2 diujicobakan pada kelas kecil yang terdiri dari 6 orang siswa yang memiliki kemampuan matematis rendah sedang dan tinggi. Keenam siswa tersebut merupakan siswa kelas VII yang belum mendapatkan materi himpunan. Selama pembelajaran, keenam siswa diobservasi dan diminta untuk memberikan komentar terhadap media pembelajaran tersebut. Berdasarkan saran dan masukan siswa pada uji kelas kecil, prototype 2 direvisi dan hasil revisi dinamakan prototype 3. 5) Uji Terbatas Uji terbatas media berbasis strategi scaffolding dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. Uji terbatas dilakukan pada kelas VII C SMPIT Ar-Raihan Bandar Lampung tahun pelajaran 2015/2016. Diawal dan akhir pembelajaran, siswa diberi tes kemampuan komunikasi matematis dan skala kemandirian belajar. Pemberian tes komunikasi matematis dan skala kemandirian belajar tersebut, bertujuan untuk mengetahui peningkatan setelah menggunakan media berbasis stategi scaffolding. D. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis instrumen, yaitu nontes dan tes. Instrumen-instrumen ini diberikan sesuai dengan subjek pada penelitian pengembangan. 1. Instrumen Studi Pendahuluan Instrumen yang digunakan pada studi pendahuluan berupa lembar observasi dan wawancara. Lembar observasi digunakan saat melakukan pengamatan mengenai kebutuhan media dalam pembelajaran. Lembar wawancara, digunakan untuk melakukan wawancara dengan guru setelah melakukan observasi di kelas. 50 2. Instrumen Validasi Media Berbasis Strategi Scaffolding Instrumen dalam validasi media berbasis strategi scaffolding diserahkan kepada ahli materi, ahli bahasa dan ahli desain. Instrumen yang diberikan berupa pernyataan skala likert dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, serta dilengkapi dengan komentar dan saran dari para ahli. Kriteria yang menjadi penilaian dari ahli materi meliputi beberapa aspek, yaitu (1) materi ajar, (2) keakuratan materi, (3) urutan materi, dan (4) kemampuan siswa. Selanjutnya kriteria yang menjadi penilaian dari ahli bahasa meliputi empat aspek, yaitu (1) kesesuaian bahasa dengan tingkat perkembangan siswa, (2) istilah atau simbol yang digunakan, (3) lugas, (4) komunikatif dan (5) kesesuaian kata dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penilaian ahli selanjutnya adalah desain yang meliputi tiga aspek, yaitu (1) kemudahan menggunakan media, (2) kemenarikan dalam penyajian, dan (3) keamanan. Pemberian skala ini bertujuan untuk menilai media berbasis strategi scaffolding ditinjau dari kesesuaian antara materi, bahasa dan desain yang digunakan. Kisi-kisi dan deskripsi lembar penilaian oleh ketiga ahli selengkapnya dapat dilihat pada lampiran D.1 halaman 342, D.2 halaman 346, dan D.3 halaman 350. 3. Instrumen Uji Perseorangan Instrumen ini diberikan kepada siswa yang menjadi subjek pada uji perseorangan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry, untuk mengetahui bagaimana keterbacaan dan tanggapan siswa terhadap produk yang dikembangkan. Instrumen yang diberikan berupa pernyataan skala likert dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. 51 4. Instrumen Uji Kelas Kecil Instrumen ini diberikan kepada siswa yang menjadi subjek uji kelas kecil media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry, untuk mengetahui bagaimana keterbacaan dan tanggapannya terhadap produk yang dikembangkan. Instrumen yang diberikan berupa pernyataan skala likert dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. 5. Instrumen Uji Terbatas Terdapat instrumen tes dan nontes yang digunakan dalam penelitian ini. Instrumen tersebut dijelaskan sebagai berikut. a) Instrumen ini berupa tes kemampuan komunikasi matematis. Tes ini diberikan secara individual dan bertujuan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis. Penilaian hasil tes dilakukan sesuai dengan pedoman penilaian yang tertera pada Tabel 3.1 di bawah ini. Tabel 3.1. Pedoman Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis Skor 0 1 2 3 4 Menulis Menggambar Ekspresi Matematis Tidak ada jawaban, kalaupun ada hanya memperlihatkan tidak memahami konsep sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa. Hanya sedikit dari Hanya sedikit gambar, Hanya sedikit dari model penjelasan yang benar. diagram, atau tabel Matematika yang benar. benar. Penjelasan secara Melukiskan diagram, Membuat model matematis masuk akal gambar, atau tabel Matematika kurang benar, namun hanya sebagian namun kurang lengkap namun salah dalam lengkap dan benar. dan kurang benar. mendapatkan solusi. Penjelasan secara Melukiskan diagram, Membuat model matematis masuk akal gambar, atau tabel Matematika dengan benar, dan benar, meskipun namun kurang lengkap namun salah dalam tidak tersusun secara dan benar. mendapatkan solusi. logis atau terdapat sedikit kesalahan bahasa. Penjelasan secara Melukiskan diagram, Membuat model matematis masuk akal gambar atau tabel secara Matematika dengan benar, dan jelas serta tersusun lengkap dan benar. kemudian melakukan secara logis. perhitungan atau mendapatkan solusi secara benar dan lengkap. Skor Maksimal = 4 Skor Maksimal = 4 Skor Maksimal = 4 52 Sebelum diberikan di akhir pembelajaran, instrumen ini diujicobakan terlebih dulu pada kelas lain yang telah menempuh materi himpunan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda soal. Uji-uji tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1) Validitas Validitas yang digunakan pada penelitian ini didasarkan pada validitas isi dan validitas butir soal. Validitas isi dari tes kemampuan komunikasi matematis ini dapat diketahui dengan cara membandingkan isi yang terkandung dalam tes kemampuan komunikasi matematis dengan indikator pembelajaran yang telah ditentukan. Tes yang dikategorikan valid adalah yang telah dinyatakan sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator yang diukur. Untuk mengetahui validitas butir soal, dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment. = rxy = Koefisien korelasi (∑ { ∑ ) − (∑ )(∑ ) − (∑ ) }{ ∑ − (∑ ) } N = Jumlah responden yang diuji X = Skor setiap item Y = Skor seluruh item responden uji coba Dasar pengambilan keputusan adalah jika r hitung > r tabel, jika instrumen atau item soal berkorelasi signifikan terhadap skor total maka item dinyatakan valid. N pada kelas ujicoba adalah 20, didapat rtabel sebesar 0,468 pada uji 2 sisi (2-tailed). Pada ujicoba ini semua r hitung > r tabel, maka semua soal ujicoba dinyatakan valid, skor lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Skor Validitas Tes Uji Coba 1 2 3 4 5 6 Skor Validitas 0,51 0,71 0,71 0,66 0,83 0,84 Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid No Soal 53 Digunakan kriteria validitas yang bersumber dari Arikunto, untuk menafsirkan skor validitas suatu butir soal. Tabel 3.3 Kriteria Validitas Instrumen Tes Nilai r 0,81 – 1,00 0,61 – 0,80 0,41 – 0,60 0,21 – 0,40 0,00 – 0,20 Interpretasi Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah Arikunto (2008: 89) Kriteria soal tes yang digunakan dalam penelitian ini memiliki validitas cukup, tinggi dan sangat tinggi. Keenam soal tersebut telah memenuhi kriteria soal yang baik, kevalidan dari soal-soal tersebut dilihat dari validitas isi dan validitas butir soal, selengkapnya hasil perhitungan validitas butir soal dapat dilihat pada lampiran C.1 halaman 316. 2) Reliabilitas Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Perhitungan untuk mencari nilai reliabilitas instrumen didasarkan pada pendapat Arikunto (2008: 109) yang menyatakan bahwa untuk menghitung reliabilitas dapat digunakan rumus Alpha. 2 n i 1 r11 2 t n 1 r11 : nilai reliabilitas instrumen (tes) n : banyaknya butir soal (item) t 2 2 i : jumlah varians dari tiap-tiap item tes : varians total 54 Sudijono (2008: 209), berpendapat bahwa suatu tes dikatakan baik apabila memiliki nilai reliabilitas ≥ 0,70. Berdasarkan hasil perhitungan uji coba instrumen komunikasi matematis, diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,70. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen yang diujicobakan memiliki reliabilitas yang tinggi, sehingga instrumen tes ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa. Hasil perhitungan reliabilitas dapat dilihat pada lampiran C.2 halaman 317. 3) Tingkat Kesukaran Sudijono (2008: 372), menyatakan bahwa suatu tes dikatakan baik jika memiliki derajat kesukaran sedang, tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Perhitungan tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan rumus sebagai berikut. TK = J I TK : tingkat kesukaran suatu butir soal JT : banyak skor yang diperoleh siswa pada butir soal yang diperoleh IT : banyak skor maksimum yang diperoleh siswa pada suatu butir soal Untuk menginterpretasikan tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan kriteria indeks kesukaran sebagai berikut. Tabel 3.4 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran Nilai Interpretasi 0,00 ≤ TK ≤ 0 ,15 Sangat sukar Sukar Sedang 0,16 ≤ TK ≤ 0 ,30 0,31 ≤ TK ≤ 0 ,70 0,71 ≤ TK ≤ 0 ,85 0,86 ≤ TK ≤ 1,00 Mudah Sangat mudah Sudijono (2008: 372) 55 Kriteria soal yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal dengan interpretasi sedang, yaitu memiliki nilai tingkat kesukaran 0,16 ≤ TK ≤ 0,85. Soal yang memiliki tingkat kesukaran dengan kategori sangat sukar akan direvisi, skor selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.5 di bawah ini. Tabel 3.5 Skor TK Tes Uji Coba No Soal 1 2 3 4 5 6 Skor TK 0,79 0,14 0,68 0,53 0,35 0,33 Mudah Sangat Sukar Sedang Sedang Sedang Sedang Keterangan 4) Daya Pembeda Daya beda suatu butir tes adalah kemampuan suatu butir untuk membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah. Daya beda butir dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya tingkat diskriminasi atau angka yang menunjukkan besar kecilnya daya beda. Sudijono (2008: 120) mengungkapkan menghitung daya pembeda ditentukan dengan rumus di bawah ini. DP = DP : indeks daya pembeda satu butir soal tertentu JA : jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah JB : jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah IA : jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah) Berdasarkan hasil perhitungan, didapat skor daya pembeda pada tes uji coba yang tertera pada Tabel 3.6 di bawah ini. Hasil perhitungan daya pembeda dan tingkat kesukaran pada tes uji coba dapat dilihat pada lampiran C.3 halaman 318. 56 Tabel 3.6 Skor Daya Pembeda Tes Uji Coba No Soal Skor Daya Pembeda Keterangan 1 2 3 4 5 6 0,13 0,29 0,39 0,56 0,61 0,46 Buruk Perlu Revisi Baik Sangat Baik Sangat Baik Baik Skor daya pembeda diinterpretasi berdasarkan klasifikasi pada Tabel 3.7 di bawah ini. Tabel 3.7 Interpretasi Nilai Daya Pembeda Nilai Negatif ≤ DP ≤ 0,10 0,10 ≤ DP ≤ 0,19 0,20 ≤ DP ≤ 0,29 0,30 ≤ DP ≤ 0 ,49 DP ≥ 0,50 Interpretasi Sangat Buruk Buruk Agak baik, perlu revisi Baik Sangat Baik Sudijono (2008: 121) Tes yang akan diberikan diujicobakan pada kelas VIII. Dari Tabel 3.8 di bawah ini, terlihat bahwa soal no 1 adalah soal yang tidak memenuhi kriteria soal yang baik, untuk pengambilan data soal tersebut tidak digunakan. Soal yang akan digunakan hanya 4 soal, yaitu soal no 2 dengan dilakukan revisi terlebih dahulu, soal no 3, 5 dan 6. Di bawah ini rekapitulasi dan kesimpulan dari hasil tes uji coba. Tabel 3.8 Rekapitulasi Hasil Tes Uji Coba No Soal 1 Reliabilitas Validitas 0,70 (Reliabilitas tinggi) 0,51 (valid) 0,71 (valid) 0,71 (valid) 0,66 (valid) 0,83 (valid) 0,84 (valid) 2 3 4 5 6 Tingkat Kesukaran 0,79 (mudah) 0,14 (sangat sukar) 0,68 (sedang) 0,53 (sedang) 0,35 (sedang) 0,33 (sedang) Daya Pembeda 0,13 (buruk) 0,29 (perlu revisi) 0,39 (baik) 0,56 (sangat baik) 0,61 (sangat baik) 0,46 (baik) Kesimpulan Dibuang Perlu revisi Dapat dipakai Dapat dipakai Dapat dipakai Dapat dipakai 57 Berdasarkan hasil perhitungan uji coba instrumen komunikasi matematis, semua soal dinyatakan valid, dan memiliki reliabilitas yang tinggi, maka instrumen tes ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa. Selanjutnya untuk tingkat kesukaran berada pada kategori sedang dan daya pembeda pada kategori baik dan sangat baik. Soal-soal yang akan digunakan telah memenuhi kriteria soal yang, dan soal tersebut layak digunakan pada kelas terbatas. b) Skala Kemandirian Belajar Skala kemandirian belajar pada penelitian ini mengukur empat indikator, yaitu merencanakan pembelajaran, memantau pembelajaran, mengevaluasi pembelajaran dan merefleksi pembelajaran. Skala kemandirian belajar pada penelitian ini mengacu dan mengadaptasi pada skala kemandirian belajar yang dibakukan dalam disertasi karya Ibu Sri Hastuti Noer. Skala kemandirian belajar ini dibuat untuk melihat kemandirian belajar siswa sebelum dan sesudah mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan produk yang telah dikembangkan. Skala ini dibuat berdasarkan skala likert dengan pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Sebelum digunakan pada uji lapangan, skala kemandirian belajar divalidasi oleh ahli, yaitu Mirra Septia Veranika. Beliau adalah counselor di Sekolah Darma Bangsa. Tujuan dari validasi ini adalah melihat kesesuaian isi dengan indikator dan tujuan pembuatan skala. Kriteria yang menjadi penilaian antara lain; (1) keterkaitan indikator dengan tujuan, (2) kesesuaian pernyataan dengan indikator yang diukur, (3) kesesuaian antara pernyataan dengan tujuan, serta (4) penggunaan bahasa yang baik 58 dan benar. Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh ahli, skala kemandirian belajar memenuhi kriteria baik dan dinyatakan layak digunakan pada kelas terbatas. Kisi-kisi kemandirian belajar dapat dilihat pada Lampiran B.9 halaman 306. Perhitungan skor skala kemandirian belajar siswa menggunakan penskalaan respon menurut Azwar (2016). Prosedur perhitungannya sebagai berikut. a. Menghitung frekuensi masing-masing kategori tiap butir pernyataan. b. Menentukan proporsi masing-masing kategori. c. Menghitung besarnya proporsi kumulatif. d. Menghitung nilai dari = kumulatif dalam kategori sebelah kiri. + , dimana = proporsi e. Mencari dalam tabel distribusi normal standar bilangan baku (z) yang sesuai dengan pktengah. f. Menjumlahkan nilai z dengan suatu konstanta k sehingga diperoleh nilai terkecil dari z + k = 1 untuk suatu kategori pada satu pernyataan. g. Membulatkan hasil penjumlahan pada langkah f. Hasil pembulatan ini merupakan skor untuk masing-masing kategori tiap butir pernyataan skala kemandirian belajar. Skor untuk setiap kategori adalah sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju setiap pernyataan bervariasi antara 1 sampai dengan 6 dengan skor maksimum ideal 138 yang dapat dilihat pada Tabel 3.9 dan perhitungan lengkap terdapat pada Lampiran C.4 halaman 319. Skala kemandirian belajar ini diberikan sebelum dan setelah pembelajaran untuk melihat kemandirian belajar setiap siswa pada kelas terbatas. 59 Tabel 3.9 Skor Pernyataan Skala Kemandirian Belajar Siswa Nomor Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 SS 6 6 1 6 5 1 6 5 6 6 Skor S TS 4 3 4 3 2 3 4 3 3 2 3 4 5 3 4 3 3 2 4 3 STS 1 1 4 1 1 6 1 1 1 1 Nomor Pernyataan 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 SS 1 5 4 1 6 4 6 4 6 4 Skor S TS 3 5 4 3 3 2 4 5 5 3 3 2 4 3 3 2 4 3 2 2 STS 6 1 1 6 1 1 1 1 1 1 E. Teknik Analisis Instrumen Teknik analisis data pada penelitian ini dijelaskan berdasarkan jenis instrumen yang digunakan dalam setiap tahapan penelitian dan pengembangan. 1. Teknik Analisis Instrumen Studi Pendahuluan Data studi pendahuluan berupa hasil observasi dan wawancara dianalisis secara deskriptif sebagai latar belakang diperlukannya media. Hasil review berbagai buku teks serta KI dan KD Matematika SMP juga dianalisis secara deskriptif sebagai acuan untuk menyusun media. 2. Teknis Analisis Instrumen Kelayakan Data yang diperoleh saat validasi media berbasis strategi scaffolding adalah hasil penilaian validator terhadap media melalui skala kelayakan. Analisis yang dilakukan berupa deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif berupa komentar dan saran dari validator dideskripsikan secara kualitatif sebagai acuan untuk memperbaiki media. Data kuantitatif berupa penilaian ahli materi, bahasa dan desain dideskripsikan secara kuantitatif menggunakan skala likert dengan skor 4, kemudian dijelaskan secara kualitatif. Skala yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan ini adalah kurang baik dengan skor 1, cukup baik dengan skor 2, baik dengan skor 3, dan sangat baik dengan skor 4. 60 Langkah-langkah menyusun kriteria penilaian sebagai berikut. 1) Menentukan jumlah interval 2) Menentukan rentang skor, yaitu skor maksimum dan skor minimum 3) Menghitung panjang kelas (p), yaitu rentang skor dibagi jumlah kelas 4) Menyusun kelas interval dimulai dari skor terkecil sampai terbesar Kategori penilaian dan interval nilai setiap kategori ditunjukkan pada Tabel 3.10. Tabel 3.10 Interval Nilai Tiap Kategori Penilaian No. 1 2 3 4 Kategori Penilaian Sangat Baik Baik Kurang Sangat Kurang Interval Nilai (S min + 3p) < S ≤ S maks (S min + 2p) < S < (S min + 3p – 1) (S min + p) < S < (S min + 2p – 1) (S min) < S < (S min + p – 1) Keterangan S : Skor responden p : Panjang interval kelas S min : Skor terendah S max : Skor tertinggi 3. Teknik Analisis Instrumen Uji Perseorangan dan Kelas Kecil Teknik analisis data pada saat uji perseorangan dan kelas kecil, dilakukan dengan menganalisis lembar skala yang diberikan pada siswa setelah uji media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry pada materi himpunan selesai dilakukan. Teknik Analisis ini digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan siswa dalam memahami media berbasis strategi scaffolding. Skala respon siswa dianalisis menggunakan skala likert dengan empat kriteria, interval nilai dan kriteria penilaian yang digunakan sama dengan analisis saat tahap validasi media oleh ahli, yaitu pada Tabel 3.10. 61 4. Teknik Analisis Instrumen Uji Terbatas Teknik analisis data yang diperoleh saat pemberian instrumen di uji terbatas ada dua, yaitu data kemampuan komunikasi matematis dan data kemandirian belajar siswa. Keduanya dijelaskan sebagai berikut. (a) Kemampuan Komunikasi Matematis Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan tes kemampuan komunikasi matematis sebelum dan setelah pembelajaran. Untuk mengukur besarnya peningkatan kemampuan komunikasi matematis, dilakukan dengan cara melihat gain ternormalisasinya. Besarnya peningkatan dan kategori efektivitas dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (g). ( )= (g) = gain ternormalisasi (Sf) = nilai posttest (Si) = nilai pretest Sm = nilai maksimum −( ) − Hasil perhitungan gain diintepretasikan dengan menggunakan klasifikasi Hake. Tingkat efektivitas berdasarkan rata-rata nilai gain ternormalisasi dapat dilihat pada Tabel 3.11. Tabel 3.11 Nilai Rata-rata Gain Ternormalisasi dan Klasifikasinya Rata-rata Gain Klasifikasi Tingkat Efektivitas (g) ≥ 0,70 Tinggi Efektif 0,30 ≤ (g) < 0,70 Sedang Cukup Efektif (g) < 0,30 Rendah Kurang Efektif Ternormalisasi Sumber (Hake, 1999: 1) 62 Dari Tabel 3.11 terlihat bahwa peningkatan dikatakan efektif jika gain ≥ 0,70 dengan klasifikasi tinggi, cukup efektif jika didapat gain ≥ 0,30 dan < 0,70 dengan klasifikasi sedang dan kurang efektif jika gain < 0,30 dengan klasifikasi rendah. (b) Kemandirian Belajar Skala kemandirian belajar yang digunakan adalah angket berupa daftar cek. Pengukuran skor untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dilakukan menggunakan acuan pada Tabel 3.9. Skala kemandirian belajar diberikan pada awal dan akhir pembelajaran, kemudian untuk melihat peningkatan dilakukan dengan membandingkan skor yang didapat pada awal dan akhir pembelajaran. V. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai berikut. A. Kesimpulan 1. Pengembangan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekaan inquiry untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa, dikembangkan melalui dua tahap, yaitu pendahuluan dan uji formatif. Tahap uji formatif melalui beberapa uji, yaitu (1) evalusi diri yang dilakukan untuk meninjau ulang produk yang telah dibuat, (2) uji ahli dengan kelayakan pada kategori sangat baik, (3) uji perseorangan dengan kelayakan pada kategori sangat baik, (4) uji kelas kecil dengan kelayakan pada kategori sangat baik, dan (5) uji terbatas. 2. Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas uji terbatas, yaitu 78% dan peningkatan ini dalam kategori efektif. 3. Terdapat peningkatan kemandirian belajar siswa pada kelas uji terbatas, yaitu 17% namun peningkatan ini masuk dalam kategori kurang efektif. B. Saran Berdasarkan hasil kesimpulan dari penelitian ini, dikemukakan saran-saran sebagai berikut. 1. Guru yang ingin menggunakan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry untuk membantu peningkatan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa hendaknya memperhatikan hal-hal berikut. 94 a. Media-media berbasis strategi scaffolding yang diberikan hendaknya mudah dimengerti oleh siswa. b. Waktu yang digunakan pada pendekatan inquiry, agar semua tahapan tercapai. c. Membiasakan siswa untuk lebih mandiri, dengan cara meminta siswa memperhatikan tujuan belajar, membuat strategi belajar, mengevaluasi dan merefleksi pembelajaran dan menggunakan media-media scaffolding yang diberikan oleh guru. 2. Peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian lanjutan hendaknya memperhatikan hal-hal berikut. a. Melakukan penelitian dalam jangka waktu lebih lama, terutama untuk melihat kemandirian belajar siswa. Ini dikarenakan untuk merubah sikap seseorang membutuhkan waktu yang lama. b. Membuat media-media berbasis strategi scaffolding yang komunikatif agar mudah dimengerti oleh siswa. C. Rekomendasi Berdasarkan hasil kesimpulan dari penelitian ini, rekomendasi yang dapat diajukan sebagai berikut. 1. Penggunaan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekaan inquiry dalam pembelajaran Matematika hendaknya menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan komunikasi matematis siswa. 2. Pendekatan inqury dalam pembelajaran Matematika dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas siswa, terutama dalam menemukan suatu konsep Matematika. 95 DAFTAR PUSTAKA Akker J., Nieveen, N., dan McKenney, S. 2006. Education Design Research. London and Newyork: Routledge. Anjani, 2013. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Menggunakan Pendekatan Kontekstual Dengan Teknik Scaffolding. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia di repository.upi.edu. [Diakses 23 September 2015]. Ansari, B. I. 2009. Komunikasi Matematika Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Pena. Amiripour, P., Mofidi, S.A., Shahvarani, A.2012. ‘Scaffolding as Effective Method for Mathematical Learning’. Indian Journal of Science and Technology Vol. 5. No. 9 (Sep. 2012). Arikunto, S. 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Azwar, S. 2016. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Dimyati dan Mudjiono. 2013. Belajar dan Pembelajaran. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Echols, J. M dan Shadily, H. 2003. An English-Indonesian Dictionary. PT. Gramedia: Jakarta. Febriastuti, Y. D. 2013. Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa SMPN 2 Geyer Melalui Pembelajaran Inquiry Berbasis Proyek. Skripsi. Semarang. Hake, R. 1999. Analizing Change/Gain Scores. Tersedia di http://www.physics. indiana.edu. [Diakses 15 Oktober 2015]. Hamalik, O. 2003. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinarbaru Algesindo. Hamzah dan Muhlisrarini. 2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta: Rajawali Pers. 96 Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia. Iriantara, Y. 2014. Komunikasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Kamus Besar Bahasa Indonesia online. 2015. http://kbbi.web.id/komunikasi. [Diakses 26 Mei 2015] Kemendikbud. 2013. Permendikbud No 65 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kuhlthau, C.C., Maniotes, L. K., and Caspari, A K. 2007. Guided inquiry: learning in the 21st century school. Libraries Unlimited. Kustandi, C. dan Sutjipto, B. 2013. Media Pembelajaran. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Machmud, T. 2011. ‘Scaffolding Strategy In Mathematics Learning’. International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics Education 2011. Department of Mathematics Education, Yogyakarta State University: Yogyakarta. Malawi, I. dan Tristiar, AA. 2013. ‘Pengaruh Konsentarasi dan Kemampuan Berpikir Kritis Terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Manisrejo I Kabupaten Magetan’. Jurnal Premiere educandum. Vol 3, no 2. http://e-journal.ikippgrimadiun.ac.id. [Diakses 6 Juni 2016]. McKenzie, J. 1999. ‘Scaffolding for Success’. The Educational Technology Journal, Vol. 9, No. 4, Desember 1999. Tersedia di http://fno.org/dec99/ scaffold.html. [Diakses 10 September 2015]. McLeod, S. 2010. Zone of Proximal Development. Tersedia di: http://www. simplypsychology.org/Zone-of-Proximal-Development.html. [Diakses 24 Agustus 2015]. Nakata, Y. 2010. ‘Toward a Framework for Self-Regulated Language-Learning’. Jurnal Vol. 27, No 2, Spring 2010. Canada. Tersedia di http://files.eric.ed. gov/fulltext/EJ924054.pdf. [Diakses 23 April 2015]. National Council for Teachers of Mathematics. 2004. Executive Summary Principles and Standards for School Mathematic. http://www.nctm.org. [Diakses 26 Mei 2015]. Nia, D. 2015. 13 Kelemahan Guru dalam Mengajar dan Solusinya. Artikel. Tersedia di http://www.sekolahdasar.net. [Diakses 11 November 2016]. Nodoushan, M.A.S,. ‘Self-regulated Learning (SRL): Emergence of the RSRLM Model. Iran’. Jurnal internasional Vol. 6(3), 2012 (pp. 1-16). Tersedia di http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED533138.pdf. [Diakses 25 April 2015]. 97 Prabawanto, 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi, Dan Self- Efficacy Matematis Mahasiswa Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding. Disertasi. Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia di repository.upi.edu. [Diakses 23 September 2015]. Pujiastuti. 2014. Pembelajaran Inquiry Co-Operation Model Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi, dan Self-Esteem Matematis Siswa SMP. Disertasi. Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia di repository.upi.edu. [Diakses 23 September 2015]. Putri, N. D. 2015. ‘Penggunaan Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika’. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9. SNMPM Undip. Rosyidah. 2010. Hubungan antara kemandirian belajar dengan hasil belajar matematika pada siswa MTsN Parung Bogor. Skripsi. UIN: Jakarta. Tersedia di http://repository.uinjkt.ac.id. [Diakses 24 April 2015]. Rusman. 2014. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sanjaya, W. 2012. Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri. Sardiman, A.M. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Suara Pembaruan. 2015. Persentase Minat Baca Indonesia Hanya 0,01 Persen. Berita. Tersedia di http://sp.beritasatu.com. [Diakses 3 Juni 2016]. Sudijono, A. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Pustaka. Sumarmo, U. 2006. Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika Pada siswa sekolah menengah. Tersedia di https://iissipit.files.wordpress.com. [Diakses 26 Mei 2015]. Sumarmo, U. 2010. Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada peserta didik. Tersedia di http://math.sps.upi.edu. [Diakses 25 April 2015] Sulistiyaningsih, Budiyono, dan Purwoko, R.W. 2013. ‘Kemandirian Belajar dan Prestasi Belajar Matematika siswa SMPN 27 Purworejo’. Jurnal Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo: Purworejo. Sutiarso. 2009. ‘Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika’. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. 98 Tahar I, dan Enceng. 2006. ‘Hubungan Kemandirian Belajar dan Hasil Belajar Pada Pendidikan Jarak Jauh’. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume. 7, Nomor 2, September 2006. Tersedia di http://lppm.ut.ac.id. [Diakses 24 April 2015]. Tessemer, M. 1993. Planning and Conducting Formative Evaluations. London dan New York: Routledge Taylor dan Francis Croup. The Math Forum. 2006. Scaffolding for the Math Writing (and talking) Process. Drexel University: Drexel School of Education. Tirtarahardja, U. dan Sulo, L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Trianto. 2009. Pembelajaran Inovatif Berorientasi kontruktivistik. Jakarta: Bumi Aksara. Vohs, K. D. dan Baumeister, R. F. 2011. Handbook of Self-Regulation second edition. New York: The Guilford Press.