pengembangan media berbasis strategi scaffolding melalui

advertisement
PENGEMBANGAN MEDIA BERBASIS STRATEGI SCAFFOLDING
MELALUI PENDEKATAN INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN
KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA
(Tesis)
Oleh
RAHMAH
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRAK
PENGEMBANGAN MEDIA BERBASIS STRATEGI SCAFFOLDING
MELALUI PENDEKATAN INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN
KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA
Oleh
RAHMAH
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan pada siswa saat mengalami
kesulitan dalam pembelajaran, scaffolding dibuat berdasarkan karakteristik
matematika, yaitu dari abstrak ke konkret, dan diberikan sesuai dengan kebutuhan
siswa. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah guided inquiry, yaitu
pendekatan yang menuntut siswa untuk menemukan konsep. Subjek pada
penelitian pengembangan ini adalah siswa-siswi SMPIT Ar-Raihan Bandar
Lampung Tahun Pelajaran 2015-2016 dan beberapa ahli pada setiap tahapan
pengembangan. Pengembangan media berbasis strategi scaffolding melalui
pendekatan inquiry ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis dan kemandirian belajar siswa. Produk dikembangkan mengikuti
tahapan Akker yang meliputi pendahuluan dan uji formatif, selanjutnya uji formatif
mengacu pada tahapan Tessemer yang terdiri dari 1) evaluasi diri, 2) uji ahli
dengan kategori kelayakan sangat baik, 3) uji perseorangan dengan kategori
kelayakan sangat baik, 4) uji kelas kecil dengan kategori kelayakan sangat baik,
dan 5) uji terbatas. Setelah dilakukan pengembangan, produk diimplementasikan
pada kelas uji terbatas, yaitu kelas VIIC SMPIT Ar-Raihan. Siswa kemudian diberi
tes untuk mendapatkan data kemampuan komunikasi matematis, dan diberi skala
kemandirian belajar untuk mendapatkan skor kemandirian belajar. Berdasarkan
hasil dan pembahasan, diketahui bahwa media berbasis strategi scaffolding melalui
pendekatan inquiry dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis
dengan kategori efektif, namun belum dapat meningkatkan kemandirian belajar
siswa.
Kata Kunci: inquiry, kemandirian belajar, komunikasi matematis, scaffolding
ABSTRACT
SCAFFOLDING BASED INSTRUCTIONAL MEDIA TROUGH INQUIRY
APPROACH TO IMPROVE STUDENTS’ MATHEMATICAL
COMMUNICATION AND SELF-REGULATED LEARNING
By
RAHMAH
Scaffolding is the assistance given to students when experiencing difficulties in
learning, scaffolding is made based on the characteristics of mathematics, that is
from abstract to concrete, and driven by the needs of students. The approach used is
guided inquiry, which requires students to discover concepts. The subjects in this
research development were students of SMPIT Ar-Raihan Bandar Lampung of
academic year of 2015-2016 and some experts at each stage of development. The
scaffolding strategy based instructional media through inquiry approach aimed to
improve students' mathematical communication skills and self-regulated learning.
The products were developed following Akker stages covering preliminary and
formative test, further, the formative testing refers to the stages of Tessemer
consisting of 1) self-evaluation, 2) expert review, 3) one-to-one, 4) small group,
and 5) limited test. After the development, the product was being implemented in
the limited class; VII C SMPIT Ar-Raihan. Then the students were given a test to
obtain data of mathematical communication, and also self-regulated learning scale
to obtain scores on self-regulated learning. Based on the results and discussion it
showed that the scaffolding based instructional media through inquiry approach can
improve the students' mathematical communication skills with effective gain
category, but failed to improve students’ self-regulated learning.
Keywords: inquiry, self-regulated learning, mathematical communication,
scaffolding
PENGEMBANGAN MEDIA BERBASIS STRATEGI SCAFFOLDING
MELALUI PENDEKATAN INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN
KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA
Oleh
RAHMAH
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER PENDIDIKAN
Pada
Program Pascasarjana Magister Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 31 Agustus 1986 sebagai anak ketiga
dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Fauzi Cikdin, dan Ibu Maisuruh.
Penulis pernah menempuh pendidikan di TK Al-Quran Fajar Bulan Lampung Barat
diselesaikan pada tahun 1992, MI Al-Ikhlas Fajar Bulan sampai kelas 3 lalu
meneruskan ke SDN 1 Fajar Bulan dan selesai pada tahun 1998, MTs Al-Ikhlas
Fajar Bulan diselesaikan pada tahun 2001, SMA Al-Kautsar Bandar Lampung
diselesaikan pada tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis diterima di Universitas
Lampung sebagai mahasiswi Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan
Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Pada tahun 2010 penulis diangkat menjadi guru kontrak di Sekolah Darma Bangsa
Bandar Lampung sebagai guru Matematika, namun pada tahun 2014 penulis
mengundurkan diri, dan melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana
Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lampung.
MOTO
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
(Al-Mujaadilah: 11)
PERSEMBAHAN
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kupersembahkan karya ini teruntuk pihak-pihak di bawah ini.
Suamiku (Aan Suhanra) dan putriku (As'Shadiqa Anraf Nazhifa) yang selalu
mendukung dan sabar menemani dalam setiap perjuangan menyelesaikan tesis ini.
Bak (Fauzi Cikdin) dan umak (Maisuruh) yang telah membesarkan dan mendidikku
dengan segenap kasih sayang demi keberhasilanku, yang selalu mendoak dan tak
pernah bosan memberikan semangat, bimbingan dan nasihat. Semoga Bak dan
Umak mendapat cinta ALLAH.
Bapak mertua (Mahmudin) dan Ibu mertua (Ayu Cik) yang selalu mendukung dan
mendoakan keberhasilanku.
Kakak-kakak dan adikku yang selalu memberiku semangat.
Keluarga besarku yang selalu mendoakan demi keberhasilanku.
Para pendidik yang kuhormati.
Teman-teman seperjuangan.
Almamater tercinta.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul “Pengembangan Media Berbasis Strategi Scaffolding Melalui
Pendekatan Inquiry Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan
Kemandirian Belajar Siswa”, sebagai syarat untuk mencapai gelar Magister
Pendidikan Matematika pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lampung.
Penulis menyadari dan merasakan sepenuhnya bahwa dalam penyelesaian tesis ini
tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis menyempaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak-pihak sebagai berikut.
1. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Magister
Pendidikan Matematika sekaligus Pembimbing I dan Pembimbing Akademik
yang telah memberikan bimbingan, arahan dengan sabar, motivasi dan saran
pada penyusunan tesis ini.
4. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd., selaku Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, motivasi, dan arahan dengan sabar bagi penulis
sehingga terselesaikannya tesis ini.
5. Bapak Dr. Undang Rosidin, M.Pd., selaku Pembahas yang telah memberikan
saran dan kritik yang mendukung perbaikan tesis ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Magister Pendidikan Matematika Universitas Lampung
yang telah memberikan bekal ilmu yang sangat berharga bagi pengembangan
wawasan keilmuan dan kemajuan berpikir untuk berbuat sesuatu yang lebih
baik, serta memberikan bimbingan dan motivasi selama mengikuti studi.
7. Bapak Zaiyad Namiri, M.Pd.I., selaku Kepala SMPIT Ar-Raihan Bandar
Lampung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan
penelitian.
8. Ibu Julianti Mustika, S.Pd., selaku Guru Matematika kelas VII SMPIT ArRaihan Bandar Lampung yang telah memberi masukan dan informasi dalam
penelitian.
9. Siswa-siswi SMPIT Ar-Raihan Tahun Pelajaran 2015/2016 selaku subjek
penelitian yang telah bekerja sama dengan baik.
Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan mereka
terhadap penulis dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan.
Bandar Lampung, 3 November 2016
Penulis
Rahmah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
I.
ix
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 11
E. Definisi Operasional........................................................................... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Scaffolding ........................................................................................ 13
B. Media Pembelajaran ......................................................................... 22
C. Pendekatan Inquiry ........................................................................... 26
D. Komunikasi Matematis ..................................................................... 32
E. Kemandirian Belajar ......................................................................... 34
F. Penelitian yang Relevan ................................................................... 39
G. Kerangka Pikir .................................................................................. 41
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .................................................................................. 44
B. Tempat , Waktu dan Subjek Penelitian ............................................... 44
C. Prosedur Penelitian ............................................................................. 45
D. Instrumen Penelitian .......................................................................... 49
E. Teknik Analisis Instrumen ................................................................ 59
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .................................................................................. 63
1. Deskripsi Desain Pengembangan Media Berbasis Strategi
Scaffolding Melalui Pendekatan Inquiry ....................................... 63
2. Kemampuan Komunikasi Matematis dengan Media Berbasis
Strategi Scaffolding Melalui Pendekatan Inquiry .......................... 78
3. Kemandirian Belajar Siswa dengan Media Berbasis
Strategi Scaffolding Melalui Pendekatan Inquiry ........................... 81
B. Pembahasan ........................................................................................ 83
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................................ 93
B. Saran .................................................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1
Ilustrasi Zone of Proximal Development ............................................... 14
2.2
Siklus Inquiry ........................................................................................ 30
2.3
Siklus SRL ............................................................................................ 37
3.1
Prosedur Penelitian ............................................................................... 46
4.1
Uji Coba Media Berbasis Strategi Scaffolding Melalaui
Pendekatan Inquiry Pada Tahap Uji Perorangan .................................. 71
4.2
Uji Coba Media Berbasis Strategi Scaffolding Melalaui
Pendekatan Inquiry Pada Tahap Uji Kelas Kecil .................................. 73
4.3
Kegiatan Siswa Saat Melakukan Diskusi Kelompok ............................ 75
4.4
Kegiatan Siswa Saat Mengajukan Diri Untuk
Mempresentasikan Hasil Kerja ............................................................. 77
4.5
Kegiatan Siswa Saat Menuliskan Hasil Kerja Kelompok ..................... 77
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
2.1
Jenis-jenis Scaffolding dan cara menggunakannya ................................ 19
2.2
Kriteria Pemberian Skor Komunikasi Matematis ................................. 34
2.3
Fase SRL ............................................................................................... 38
3.1
Pedoman Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis ..................... 51
3.2
Skor Validitas Tes Uji Coba ................................................................ 52
3.3
Kriteria Validitas Instrumen Tes ............................................................ 53
3.4
Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran .................................................... 54
3.5
Skor TK Tes Uji Coba ......................................................................... 55
3.6
Skor Daya Pembeda Tes Uji Coba ....................................................... 55
3.7
Interpretasi Nilai Daya Beda ................................................................. 56
3.8
Rekapitulasi Hasil Tes Uji Coba ............................................................ 56
3.9
Skor Pernyataan Skala Kemandirian Belajar Siswa .............................. 58
3.10 Interval Nilai Tiap Kategori Penilaian .................................................. 60
3.11 Nilai Rata-rata Gain Ternormalisasi dan Klasifikasinya ...................... 61
4.1
Penilaian Hasil Validasi Ahli Materi ..................................................... 67
4.2
Penilaian Hasil Validasi Ahli Bahasa .................................................... 68
4.3
Penilaian Hasil Validasi Ahli Desain ..................................................... 69
4.4
Hasil Validasi Uji Perorangan ................................................................ 71
4.5
Hasil Validasi Uji Kelas Kecil ............................................................... 73
4.6
Skor Awal Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ........................ 78
4.7
Data Pencapaian Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa Sebelum Pembelajaran ................................................................ 79
4.8
Skor Akhir Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ....................... 79
4.9
Data Pencapaian Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa Setelah Pembelajaran ................................................................... 80
4.10 Data Indeks Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ............. 81
4.11 Pencapaian Indikator Kemandirian Belajar Sebelum Pembelajaran ..... 82
4.12 Pencapaian Indikator Kemandirian Belajar Setelah Pembelajaran ....... 83
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
A.1
RPP ........................................................................................................ 99
A.2
Lembar Diskusi Siswa (LDS) ............................................................. 175
A.3 Set Cards .............................................................................................. 207
A.4
Lembar Latihan Siswa (LLS) ............................................................... 218
A.5 Scaffolding LDS ................................................................................... 242
A.6 Scaffolding LLS .................................................................................. 275
B.1
Kisi-kisi Soal Pretest ............................................................................. 292
B.2
Kisi-kisi Soal Posttest ........................................................................... 293
B.3
Soal Pretest ........................................................................................... 294
B.4
Soal Posttest ......................................................................................... 295
B.5
Kunci Jawaban Pretest ......................................................................... 296
B.6
Kunci Jawaban Posttest ......................................................................... 299
B.7
Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ............ 302
B.8
Validitas Isi .......................................................................................... 303
B.9
Kisi-kisi Skala Kemandirian Belajar Siswa .......................................... 306
B.10 Skala Kemandirian Belajar Siswa ........................................................ 307
B.11 Lembar Observasi Media Pembelajaran Matematika Kelas VII
Sekolah Menengah Pertama ................................................................ 309
B.12 Lembar Wawancara Media Pembelajaran Matematika Kelas VII
Sekolah Menengah Pertama ................................................................ 311
B.13 Lembar Angket Siswa Kelas VIII SMP ............................................... 312
C.1
Validitas Soal ....................................................................................... 316
C.2
Reliabilitas Soal ..................................................................................... 317
C.3
Daya Beda dan Tingkat Kesukaran Soal ............................................... 318
C.4
Perhitungan Skor Masing-masing Kategori Tiap Butir Pernyataan
Skala Kemandirian Belajar Siswa ......................................................... 319
C.5
Data Hasil Validasi oleh Ahli Materi ................................................... 323
C.6
Data Hasil Validasi oleh Ahli Desain.................................................... 324
C.7
Data Hasil Validasi oleh Ahli Bahasa ................................................... 325
C.8
Data Hasil Respon Uji Perorangan ....................................................... 326
C.9
Data Hasil Respon Uji Kelas Kecil ....................................................... 327
C.10 Data Kemampuan Komunikasi Awal (Pretest) ................................... 328
C.11 Data Kemampuan Komunikasi Akhir (Posttest) .................................. 329
C.12 Pencapaian Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Awal ..... 330
C.13 Pencapaian Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Akhir .... 331
C.14 Gain Kemampuan Komunikasi Matematis ......................................... 332
C.15 Lembar Observasi Pemberian Scaffolding Pada LDS ........................ 333
C.16 Rekapitulasi Pemberian Scaffolding LLS ........................................... 337
C.17 Data Kemandirian Belajar Siswa Awal ............................................... 338
C.18 Data Kemandirian Belajar Siswa Akhir ............................................... 340
D.1
Hasil Uji Ahli Materi .......................................................................... 342
D.2
Hasil Uji Ahli Bahasa........................................................................... 346
D.3
Hasil Uji Ahli Desain .......................................................................... 350
D.4
Angket Tanggapan Siswa pada Uji Perorangan ................................... 354
D.5
Angket Tanggapan Siswa pada Uji Kelas Kecil .................................. 357
D.6
Hasil Validasi Skala Kemandirian Belajar ........................................... 363
D.7
Surat Izin Penggunaan Instrumen Disertasi ......................................... 366
D.8
Hasil Revisi Media yang Dikembangkan ............................................ 367
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan suatu negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan yang berkualitas memberikan sumbangan besar dalam
membangun sebuah negara. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1
tentang Sisdiknas mendefinisikan pendidikan sebagai berikut.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Definisi di atas menerangkan bahwa ada tiga pokok pikiran utama yang
terkandung di dalamnya, yaitu (1) usaha sadar dan terencana, (2) mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa aktif mengembangkan potensi
dirinya, dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan seharusnya dilakukan dengan usaha yang terencana, agar terarah
dengan baik. Jika rencana telah dibuat dengan baik maka akan terbentuk suasana
yang aktif dan terarah sehingga siswa akan aktif mengembangkan potensi dirinya
sehingga tujuan-tujuan yang dibuat pada masa perencanaan akan tercapai. Dapat
dipahami bahwa secara formal sistem pendidikan Indonesia diarahkan pada
tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban
2
bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, pendidikan di Indonesia
saat ini jauh dari kata maju, padahal pendidikan merupakan penentu kemajuan
suatu negara, jika pendidikan di sebuah negara itu maju maka majulah negara
tersebut dan sebaliknya.
Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai
tahun 2007, pendidikan Indonesia menempati urutan ke-53 dari 55 negara pada
tahun 2007. Data Program for International Student Assessment (PISA) pada
tahun 2012 yang dirilis akhir Desember 2013 menunjukkan bahwa kemampuan
matematika Indonesia menduduki peringkat ke-64 dari 65 negara atau peringkat
kedua dari bawah dengan skor 375. Hasil survei menunjukkan kurang dari satu
persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan baik di bidang matematika,
selanjutnya di bidang kemampuan membaca Indonesia mendapatkan skor 396 dan
di bidang kemampuan sains mendapatkan skor 382. Survei ini melibatkan 510
ribu pelajar dari 65 negara dunia yang mewakili populasi 28 juta siswa berusia 1516 tahun di dunia serta 80% ekonomi global.
Hasil survei yang lain, seperti Trends in International Mathematics and Science
Study (TIMSS) tahun 2007 dan 2011 di bidang Matematika dan IPA untuk siswa
kelas 2 SMP menunjukkan lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu
mencapai level menengah dalam pengerjaan soal-soal tersebut, sementara di
negara lain misalnya di Taiwan, hampir 50% siswanya mampu mencapai level
tinggi dan advance.
Fakta ini menggambarkan kondisi pendidikan di Indonesia yang mutunya masih
rendah dan jauh tertinggal dari negara-negara maju dan negara-negara berkembang lainnya. Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia erat kaitannya dengan
pembelajaran di dalam kelas. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 20
3
tentang Sisdiknas mendefinisikan pembelajaran adalah proses interaksi siswa
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bagian yang sangat penting dalam peningkatan mutu pendidikan, oleh
karena itu perlu diperhatikan keberlangsungan pembelajaran tersebut. Pada
dasarnya pembelajaran yang baik memerlukan proses interaksi oleh semua
komponen yang terlibat dalam pembelajaran di kelas, baik antara guru dengan
siswa, hingga antar sesama siswa itu sendiri. Seorang guru hendaknya dapat
menciptakan pembelajaran yang aktif, sehingga siswa dapat terlibat secara
langsung dalam pembelajaran dan kemampuannya dapat tergali secara maksimal.
Dalam pembelajaran matematika seorang guru harus mengetahui karakteristik
matematika, menurut Hamzah (2014: 92), karakteristik matematika yaitu
(1) memiliki objek kajian abstrak, (2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola
pikir deduktif, (4) memiliki simbol yang kosong dari arti, (5) memperhatikan
semesta pembicaraan, dan (6) konsisten dalam sistemnya. Jika guru mengetahui
karakteristik matematika maka guru akan lebih jelas dalam menentukan media
dan pendekatan yang akan digunakan.
Dari hasil wawancara dengan beberapa guru matematika, terungkap bahwa
penggunaan media pembelajaran belum maksimal. Ketika mengajar guru tidak
menyiapkan media pembelajaran, saat siswa belum memahami konsep matematik,
guru hanya mengulang penjelasan tanpa mencari alternatif lain berupa mediamedia yang dapat mendukung konsep tersebut. Hal ini didukung oleh Nia (2015)
yang menyatakan bahwa salah satu kelemah guru dalam pembelajaran adalah
seringkali dalam mengajar guru tidak membawa media atau alat pembelajaran di
kelas. Jika berpegang pada Permendikbud No.65 tahun 2013 tentang standar
proses pembelajaran, yang di dalamnya mengisyaratkan tentang pentingnya
4
penyediaan media pembelajaran, maka seharusnya guru menyediakan media yang
disusun berdasarkan karakteristik matematika dan karakteristik siswa secara
terencana untuk membantu siswa dalam memahami suatu konsep matematika.
Hasil wawancara dengan guru dan siswa yang telah menempuh materi himpunan,
didapat informasi bahwa materi himpunan dianggap masih sulit oleh sebagian
siswa. Oleh sebab itu dibutuhkan media pembelajaran untuk membantu siswa
dalam memahami konsep himpunan, materi himpunan juga merupakan salah satu
materi yang penting dan berkesinambungan dengan pembelajaran matematika
selanjutnya seperti materi Relasi Fungsi, Sistem Persamaan Linear Dua Variabel,
dan Peluang. Jika materi Himpunan tidak dikuasai, maka siswa akan mengalami
kesulitan saat mempelajari materi-materi tersebut. Berdasarkan hasil wawancara
tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dibutuhkan suatu media atau pendekatan yang perlu dikembangkan pada materi himpunan untuk membantu siswa dalam
pembelajaran.
Seorang guru seharusnya dapat menyediakan media dalam mengkonkretkan
sesuatu yang abstrak untuk memperjelas penyajian materi. Hamzah (2014: 92)
juga menyatakan bahwa objek kajian yang abstrak dimiliki oleh matematika
alasannya adalah objek dasar matematika pada umumnya abstrak seperti objek
pikiran yaitu: fakta, konsep, keterampilan dan prinsip. Oleh karena itu sangat
dibutuhkan media dalam sebuah pembelajaran matematika yang dapat digunakan
untuk menyampaikan isi pelajaran, memperjelas, dan menarik perhatian siswa
sehingga dapat mendorong pembelajaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
hasil belajar. Media pembelajaran sebaiknya mudah digunakan, tidak berbahaya,
mudah dicari, dan ekonomis. Dalam penggunaan suatu media juga dibutuhkan
strategi yang sesuai. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendekatan dalam pembelajaran.
5
Seperti yang sudah dikemukakan bahwasannya pendekatan atau strategi pembelajaran turut andil dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami
suatu konsep, dengan kolaborasi penggunaan media pembelajaran dan pendekatan
yang tepat maka diharapkan siswa mudah menyerap konsep-konsep tersebut.
Selama ini siswa belum biasa menemukan konsep secara mandiri, mereka mendapat penjelasan dari guru dan masih enggan untuk bertanya. Seharusnya
kemampuan bertanya dikembangkan secara maksimal, karena bertanya dapat
membantu mengembangkan proses berpikir siswa. Oleh sebab itu dibutuhkan
suatu pendekatan yang dapat menggali kemampuan siswa untuk bertanya, dan
mengarah pada penemuan suatu konsep.
Inquiry merupakan pendekatan yang menekankan pada penemuan oleh siswa.
Hosnan (2014: 270), menyatakan bahwa inquiry berarti proses pembelajaran
berdasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara
sistematis. Pada pendekatan inquiry siswa dituntut untuk menemukan konsep, jika
siswa menemukan konsep dengan bantuan media pembelajaran dan dilakukan
oleh dirinya sendiri atau atas bantuan guru maka konsep tersebut akan bertahan
lama dalam pikiran mereka. Untuk memaksimalkan kemampuan siswa, mereka
membutuhkan bantuan dari orang dewasa, dalam hal ini adalah guru. Namun
bantuan atau dukungan ini tidak dapat diberikan terus menerus. Bantuan atau
dukungan ini dikenal dengan Scaffolding.
Menurut Echols dan Shadily (2003: 502) istilah scaffolding berasal dari kata
’scaffold’ artinya tangga atau perancah, yang biasa digunakan oleh pekerja
bangunan. Scaffold yang merupakan struktur sementara yang mendukung pekerja
untuk menyelesaikan pekerjaaan yang mereka tidak dapat lakukan. Istilah
scaffolding ini berasal dari istilah ilmu teknik sipil, saat siswa diberi masalah dan
6
tidak dapat menyelesaikannya maka guru akan memberikan scaffolding, setelah
itu siswa diminta melanjutkan tugasnya sendiri, bantuan ini sifatnya sementara.
Scaffolding sangat erat kaitannya dengan ZPD (Zone of Proximal Development)
dari Vygotsky, ZPD didefinisikan sebagai “This is an important concept that
relates to the difference between what a child can achieve independently and what
a child can achieve with guidance and encouragement from a skilled partner”,
Vygotsky (McLeod, 2010). Maknanya adalah scaffolding
merupakan konsep
penting yang berhubungan dengan perbedaan antara apa yang dapat dicapai anak
secara mandiri dan apa yang dapat dicapai anak dengan bimbingan dan dorongan
dari guru atau orang dewasa yang ahli.
Definisi yang dikemukakan oleh Vygotsky di atas menunjukkan bahwa untuk
memaksimalkan kemampuan siswa diperlukan scaffolding. McLeod (2010)
mengungkapkan:
Vygotsky also views interaction with peers as an effective way of developing
skills and strategies. He suggests that teachers use cooperative learning
exercises where less competent children develop with help from more skillful
peers - within the zone of proximal development.
Jadi Vygotsky juga memandang interaksi dengan teman sebaya sebagai cara yang
efektif untuk mengembangkan keterampilan dan strategi. Dia menunjukkan bahwa
guru menggunakan latihan pembelajaran kooperatif di mana anak-anak kurang
kompeten berkembang dengan bantuan dari rekan-rekan yang lebih terampil
dalam zona perkembangan proksimalnya. Zona perkembangan proksimal adalah
pencapaian maksimal yang dapat dicapai siswa dengan bantuan orang dewasa atau
teman sebaya yang lebih berkompetensi dalam suatu materi pembelajaran.
Pemberian scaffolding dikategorikan dalam beberapa tingkatan, hal ini berdasarkan karakteristik scaffolding dan karakteristik matematika yang abstrak dan sesuai
7
dengan kebutuhan siswa yang dilihat dari kemampuan matematikanya. Siswa
yang memiliki kemampuan tinggi dalam matematika, diindikasi memiliki
scaffolding rendah artinya dengan memberikan sedikit bantuan siswa tersebut
dapat mengerjakan tugasnya. Siswa yang memiliki kemampuan rendah dalam
matematika, diindikasi membutuhkan scaffolding tingkat tinggi atau membutuhkan banyak bantuan.
Menentukan scaffolding sangat erat kaitannya dengan karakteristik matematika
dan media pembelajaran. Siswa dengan kemampuan matematika tinggi, dapat
diberikan scaffolding secara lisan berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengacu
pada penyelesaian masalah. Siswa yang memiliki kemampuan matematika rendah,
dapat diberi gambar atau video yang berkaitan dengan media visual, berupa audio
visual yang dapat membantu siswa membayangkan objek atau materi pembelajaran secara mudah. Siswa yang membutuhkan scaffolding dengan intensitas tinggi,
akan lebih banyak berinteraksi dengan guru, sehingga komunikasi yang baik akan
terbangun. Dengan pemberian scaffolding, siswa dengan kemampuan menengah
kebawah dapat memaksimalkan kemampuan komunikasi mereka terutama kemampuan komunikasi matematis.
Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan
siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog
atau hubungan yang terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan.
Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa,
misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah
matematika. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas
adalah guru dan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat secara lisan maupun
tertulis.
8
Komunikasi merupakan salah satu kemampuan matematika yang ingin dicapai
dalam National Council for Teachers of Mathematics (NCTM), beberapa standar
kemampuan komunikasi yang seharusnya dicapai siswa dari jenjang TK sampai
kelas 12, NCTM (2004: 21) mengemukakan bahwa siswa hendaknya:
(1) organize and consolidate their mathematical thinking though
communication, (2) communicate their mathematical thinking coherently and
clearly to peers, teachers, and other, (3) analyze and evaluate the
mathematical thinking and strategies of others, and (4) use the language of
mathematics to express mathematical ideas precisely.
Siswa dituntut untuk dapat mengorganisasi dan mengonsolidasikan pikiran
matematika mereka melalui komunikasi, mengomunikasikan pikiran matematika
mereka secara logis dan jelas kepada teman, guru, ataupun orang lain,
menganalisis dan mengevaluasi pikiran matematika dan strategi yang digunakan
orang lain dan menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide-ide
matematika secara tepat.
Berdasarkan standar komunikasi yang diungkapkan oleh NCTM, terlihat bahwa
komunikasi matematis merupakan kebutuhan urgent yang harus dikembangkan.
Namun berdasarkan wawancara dengan beberapa guru matematika, terungkap
bahwa siswa masih jarang memberikan tanggapan saat pembelajaran berlangsung,
sulit menggunakan bahasa matematis dalam mengungkapkan gagasan-gagasan
matematika dan sulit menuliskan simbol-simbol matematika. Hal tersebut
mengindikasikan kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah, oleh
karena itu diperlukan strategi untuk meningkatkan hal tersebut.
Telah dijelaskan di atas bahwa pemberian scaffolding hanya bersifat sementara,
pada saat kemampuan siswa meningkat maka scaffolding secara bertahap
dikurangi dan akhirnya siswa secara mandiri mampu menyelesaikan tugasnya.
Setelah mendapatkan scaffolding di sekolah, diharapkan siswa akan lebih mandiri
9
saat belajar di rumah. Dimungkinkan dengan banyaknya interaksi saat penerimaan
scaffolding, siswa akan lebih mandiri dan pemahamannya terhadap suatu materi
lebih kuat. Siswa akan mengingat scaffolding yang diberikan oleh guru dan hal ini
akan sangat membantunya dalam mengerjakan tugas di rumah. Kemandirian
merupakan sikap penting yang harus dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran
matematika baik di sekolah maupun di rumah dan perlu ditumbuhkembangkan.
Pentingnya kemandirian dalam belajar tercantum dalam tujuan pendidikan
nasional. Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa:
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kebijakan pendidikan nasional tahun 2010 juga memfokuskan pada penguatan
dan internalisasi pendidikan budaya dan karakter bangsa dan kemandirian
merupakan karakter yang ingin dicapai dalam sebuah pembelajaran.
Perlunya pengembangan kemandirian belajar pada individu yang belajar
matematika
juga
didukung
oleh
beberapa
hasil
penelitian
terdahulu,
Sulistiyaningsih, Budiyono dan Purwoko (2013: 38) mendapatkan suatu
kesimpulan bahwa guru sebaiknya memperhatikan kemandirian belajar siswa
dalam pembelajaran, karena kemandirian belajar siswa akan mempengaruhi
kegiatan belajar siswa dan selanjutnya berpengaruh terhadap prestasi belajar. Dari
hasil penelitian Rosyidah (2010: 66) diketahui bahwa semakin tinggi tingkat
kemandirian belajar, maka akan semakin tinggi hasil belajar matematika siswa.
Senada dengan penelitian di atas, Tahar (2006: 99) mengungkapkan bahwa
semakin tinggi kemandirian belajar seseorang siswa, maka semakin tinggi hasil
10
belajar. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut terlihat bahwa kemandirian
belajar adalah hal yang penting dan harus dimiliki setiap siswa. Semakin tinggi
tingkat kemandirian belajar siswa maka akan semakin tinggi hasil belajar
matematika siswa.
Dari permasalahan-permasalahan di atas dikembangkan seperangkat media berbasis strategi scaffolding untuk membantu siswa memaksimalkan kemampuan
komunikasi matematis dan kemandirian belajar dengan menggunakan pendekatan
inquiry. Diharapakan pembelajaran di kelas dapat maksimal dengan diterapkannya
kolaborasi antara strategi scaffolding dan pendekatan inquiry.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
1.
Bagaimanakah mengembangkan media berbasis strategi scaffolding melalui
pendekatan inquiry untuk membantu upaya peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa?
2.
Bagaimanakah peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang dikenai
strategi scaffolding dengan pendekatan inquiry?
3.
Bagaimanakah peningkatan kemandirian belajar siswa yang dikenai strategi
scaffolding dengan pendekatan inquiry?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini.
1.
Menghasilkan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry
untuk membantu upaya peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan
kemandirian belajar siswa.
11
2.
Mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang dikenai media
scaffolding melalui pendekatan inquiry.
3.
Mengetahui peningkatan kemandirian siswa yang dikenai media scaffolding
melalui pendekatan inquiry.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dalam penelitian ini diharapkan akan
dihasilkan suatu produk dalam pembelajaran matematika yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar
siswa. Dengan demikian hal ini merupakan sumbangan berharga bagi upaya
peningkatan kualitas pendidikan matematika.
E. Definisi Operasional
Agar penelitian ini terfokus maka pembatasan masalah dengan memunculkan
definisi secara jelas. Berikut beberapa definisi operasional dalam penelitian ini.
1.
Scaffolding adalah dukungan pembelajaran agar siswa dapat mengembangkan
pengetahuan dan strategi untuk menanggapi masalah yang diberikan dan
pemberian dukungan tersebut bersifat sementara.
2.
Pendekatan inquiry adalah pembelajaran yang diawali dengan mengondisikan
siswa agar siap dan responsif dalam menerima pembelajaran, merumuskan
masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan
merumuskan kesimpulan.
3.
Komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam hal mengorganisasi
dan mengonsolidasikan pikiran matematika mereka melalui komunikasi,
mengomunikasikan pikiran matematika mereka secara logis dan jelas kepada
teman, guru, ataupun orang lain, menganalisis dan mengevaluasi pikiran
12
matematika dan strategi yang digunakan orang lain dan menggunakan bahasa
matematika untuk menyatakan ide-ide matematika secara tepat. Indikator dari
komunikasi matematis dalam penelitian ini meliputi kemampuan menggambar (drawing), kemampuan menulis (written text), dan kemampuan
ekspresi matematika (mathematical expression). Dalam penelitian ini yang
akan diamati hanya komunikasi tulisan.
4.
Kemandirian belajar adalah perilaku dalam belajar yang memiliki indikator
(1) merencanakan pembelajaran, (2) memantau pembelajaran, (3) mengevaluasi pembelajaran, dan (4) dapat merefleksi pembelajaran untuk memperoleh umpan balik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Scaffolding
1.
Pengertian Scaffolding
Scaffolding mengambil peran yang sangat penting pada perkembangan belajar
siswa. Machmud (2011: 432), mengungkapkan bahwa scaffolding adalah istilah
dalam dunia pendidikan yang ada pada teori konstruktivis moderen pembelajaran.
Dalam pembelajaran, scaffolding memiliki peran yang sangat penting pada
perkembangan belajar siswa. Setiap kali siswa mencapai tahap perkembangan
tertentu, yang ditandai dengan pemenuhan indikator-indikator yang telah ditentukan, siswa akan memerlukan scaffolding.
Scaffolding erat kaitannya dengan interaksi, Slavin (Machmud, 2011: 432)
menyatakan bahwa scaffolding relevan dengan pandangan bahwa dalam
pembelajaran Matematika dibutuhkan berbagai interaksi yakni antar guru dengan
siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan materi. Berdasarkan pengalamannya
tersebut siswa dapat mengembangkan pengetahuan dan strategi untuk menanggapi
masalah yang diberikan. Scaffolding adalah penyediaan beberapa bantuan untuk
siswa selama tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan
memberikan kesempatan pada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang
lebih besar setelah mereka dapat melakukannya. Scaffolding merupakan metode
yang efektif dalam mengamati proses belajar siswa untuk mencapai potensi
pembelajarannya. Hal ini dikemukakan oleh Amiripour, Mofidi, dan Shahvarani
(2012: 3328).
14
Scaffolding is a mechanism for observing the process by which a learner is
helped to achieve his or her potential learning. Regard to nature of scaffolding,
it seems that scaffolding process can have an effect on learning and teaching
procedure.
Hal ini menyatakan bahwa scaffolding merupakan mekanisme untuk mengamati
proses belajar siswa, yang dibantu untuk mencapai pembelajaran maksimal
mereka, dalam hal ini dikenal dengan perkembangan potensial. Berkaitan dengan
sifat alamiah scaffolding, terlihat bahwa proses scaffolding memiliki pengaruh
terhadap kegiatan belajar mengajar.
Pernyataan Amiripour, Mofidi dan Shahvarani tersebut berkaitan dan mengarah
pada teori Zone of Proximal Development (ZPD) yang dikembangkan oleh
Vygotsky. ZPD didefinisikan oleh Vygotsky (McLeod, 2010) sebagai berikut.
The distance between the actual development level as determined by
independent problem solving and the level of potential development as
determined through problem solving under adult guidance, or in collaboration
with more capable peers.
Dapat dimaknai bahwa ZPD merupakan perbedaan antara tingkat perkembangan
aktual yang ditunjukkan melalui pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang ditunjukkan melalui pemecahan masalah di bawah
arahan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih berkompetensi. McLeod
menggambarkan ZPD pada Gambar 2.1.
Zone Of Proximal Development
What is
known
Skills too difficult for a
child to master on his/her
own, but that can be done
with guidance and
encouragement from a
knowledgeable person
What is
not known
Learning
Gambar 2.1 Ilustrasi Zone of Proximal
Development
15
Senada dengan hal tersebut, Sutiarso (2009: 528) menyatakan bahwa ZPD adalah
daerah
antara
apa
yang
siswa
dapat
lakukan
sendiri
pada
tingkat
perkembangannya saat ini, dengan apa yang siswa capai dengan bantuan orang
yang lebih ahli pada tingkat perkembangan potensial, scaffolding memainkan
peran dalam pencapaian tersebut.
Kata ‘guidance and encouragement’ yang diartikan dorongan dan bimbingan pada
ilustrasi Gambar 2.1 merupakan scaffolding. Dari pendapat-pendapat di atas dapat
simpulkan bahwa scaffolding merupakan dukungan atau bimbingan dalam
pembelajaran agar siswa dapat mengembangkan pengetahuan dan menanggapi
masalah yang diberikan. Pemberian dukungan tersebut bersifat sementara, setelah
siswa dianggap dapat melakukannya scaffolding akan dikurangi. Ini artinya guru
sekedar memberi bantuan dan menyediakan sarana serta situasi agar proses
konstruksi belajar lancar dan pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2.
Karakteristik Scaffolding
Suatu strategi dalam pembelajaran memiliki karakteristik tertentu, begitupula
scaffolding. Menurut McKenzie (1999) setidaknya ada delapan karakteristik
scaffolding dalam pembelajaran.
1) Scaffolding memberikan instruksi yang jelas
Instruksi pada langkah-langkah scaffolding harus diberikan dengan jelas untuk
mencapai target kegiatan belajar. Seorang guru seharusnya membuat langkahlangkah yang mudah dipahami dan meminimalisir kebingungan siswa.
2) Scaffolding memperjelas tujuan
Hal utama pada Scaffolding adalah tujuan dan motivasi. Scaffolding yang
digunakan harus sesuai dengan tujuan, siswa dibuat tertarik dan diberikan
kebebasan untuk menambahkan, memperluas, memperhalus, dan mengelaborasi,
16
membangun pandangan yang lebih mendalam terhadap pertanyaan atau kasus
yang terjadi.
3) Scaffolding mendukung siswa selalu belajar
Scaffolding dapat memandu siswa untuk terus berada pada tugas yang diberikan,
dan membantu siswa agar tidak keluar dari jalur pembelajaran. Siswa dapat
menyelesaikan tugas dengan berbagai jenis bantuan.
4) Scaffolding menawarkan asesmen untuk memperjelas tujuan
Scaffolding menyediakan contoh kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh orang
lain, berupa rubrik dan standar yang akan dicapai. Tanpa kriteria yang jelas, akan
sangat sulit menjelaskan tentang kerja yang berkualitas.
5) Scaffolding memberikan sumber yang berharga pada siswa
Scaffolding adalah poin awal bagi siswa untuk mengakses sumber lain dari
informasi yang berguna untuk penyelesaian suatu masalah.
6) Scaffolding mengurangi ketidakpastian, keterkejutan dan kekecewaan
Para perancang pembelajaran scaffolding diharapkan selalu menguji tiap langkah
pada pembelajaran untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan. Tujuannya
adalah untuk memaksimakan pembelajaran dengan memberikan wawasan yang
baru bagi siswa, sehingga dapat menghilangkan rasa frustasi yang dapat
mengganggu siswa ketika belajar.
7) Scaffolding memberikan efesiensi
Jika dikerjakan dengan baik, maka pembelajaran dengan teknik scaffolding
memiliki efisiensi yang baik.
8) Scaffolding menciptakan momentum
Scaffolding menciptakan suatu momentum melalui proses mencari, bertanya,
merenung, mengingat, dan mempertimbangkan setiap bantuan yang diperoleh
oleh siswa.
17
3.
Kelebihan dan kekurangan Scaffolding
Suatu teknik pembelajaran tidak ada yang sempurna, pasti memiliki kekurangan.
Lawson (Sutiarso, 2009: 529) mengungkapkan bahwa scaffolding dapat
memotivasi siswa dalam pembelajaran, mereka dapat merespon dengan antusias,
berani mengambil resiko, mengakui keberhasilan, dan menampakkan rasa ingin
tahu yang kuat pada sesuatu yang akan datang. Namun kekurangannya adalah
sulitnya guru membuat rencana scaffolding dan sulitnya memetakan ZPD setiap
siswa. Pemahaman guru Matematika terhadap karakteristik scaffolding dan jenisjenis media berbasis startegi scaffolding akan meminimalisir kekurangan
scaffolding. Seorang guru juga hendaknya mengenal setiap karakteristik dan
kemampuan siswanya agar scaffolding yang diberikan sesuai dengan kebutuhan.
4.
Jenis-jenis Scaffolding
Pemberian scaffolding untuk setiap siswa tidaklah sama, tergantung kebutuhan
siswa, hal inilah yang sebenarnya sulit bagi seorang guru. Oleh karena itu, guru
harus mengenali karakteristik dan kebutuhan siswa. Hal ini didukung oleh Putri
(2015: 178), yang menyatakan bahwa konten yang lebih kompleks mungkin
memerlukan sejumlah scaffolding untuk diberikan pada waktu yang berbeda
dalam rangka membantu siswa menguasai konten.
The Math Forum (2006) menyatakan beberapa contoh proses scaffolding berupa
jenis verbal dan non-verbal dalam Matematika sebagai berikut.
1) Writing to figure out a solution path
Menanyakan pada siswa solusi apa yang dapat berikan pada masalah yang
diajukan. Contoh pertanyaan yang dapat diajukan sebagai berikut: (a) apa
informasi penting dalam masalah ini? (b) apa yang dapat kamu pahami dari
18
soal ini? apakah kamu memiliki pertanyaan pada soal ini? Dari pertanyaan ini
siswa diharapkan dapat memberikan solusi.
2) Writing to explain a solution
Meminta siswa untuk menjelaskan solusi yang ia berikan dengan memberikan
pertanyaan. Contoh pertanyaan sebagai berikut: (a) apa yang kamu lakukan?
(b) mengapa kamu melakukannya? (c) apa yang kamu ketahui? Melalui
pertanyaan tersebut, siswa akan berpikir bagaimana cara menjelaskan solusi
yang mereka berikan.
3) Learning to ask good questions when stuck
Mencoba untuk bertanya ketika siswa mengalami kebuntuan dalam
memecahkan masalah. Misalnya dengan bertanya tentang informasi khusus
yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, meminta pendapat anak
untuk memancing pemikirannya, menanyakan apakah strategi yang
digunakan benar.
4) Reflection that improves and extends solutions
Melakukan refleksi yang dapat meningkatkan dan memperluas alternatif
solusi dengan cara memberi pertanyaan kepada siswa. Contoh pertanyaan
sebagai berikut: (a) bagaimana kamu memeriksa jawabanmu? (b) apakah
kamu menggunakan pendekatan lain untuk menyelesaikan masalah tersebut?
(c) apakah solusimu dapat diterima? (d) apakah ada masalah baru saat kamu
menyelesaikan masalah tersebut? (e) bagian mana dari proses pemecahan
masalah yang paling menarik menurutmu? (f) apa yang dapat kamu pahami
pada pemecahan masalah Matematika, sehingga dapat diterapkan pada
kehidupan sehari-hari?
19
Tabel 2.1 di bawah ini menyajikan jenis-jenis scaffolding dan cara menggunakannya dalam pembelajaran, scaffolding tersebut diberikan sesuai dengan kebutuhan
siswa pada saat mengalami kesulitan.
Tabel 2.1 Jenis-Jenis Scaffolding dan Cara Menggunakannya
Jenis Scaffolding
Cara-Cara Menggunakan Scaffolding
Organisator
Tingkat Tinggi
Menggunakan alat-alat untuk mengenalkan konten dan tugas baru untuk
membantu peserta didik mempelajari topik tersebut. Contoh diagram venn
untuk menggabungkan dan membandingkan informasi.
Contoh
Contoh, spesimen, ilustrasi, masalah. Contoh objek nyata.
Kartu Petunjuk
Menyiapkan kartu-kartu yang kemudian diberikan kepada individu atau
kelompok peserta didik untuk membantu diskusi mereka tentang sebuah
topik atau daerah konten khusus. Contoh konsep untuk mendefinisikan.
Anjuran
Informasi yang lebih detail untuk membawa siswa berada pada tugas atau
dalam pemikirannya mengenai sebuah konsep. Contoh penjelasan verbal
tentang bagaimana sebuah proses kerja.
Petunjuk
Saran-saran dan petunjuk-petunkuk yang membuat siswa
memahami. Contoh “cari subjek dari kata kerja.”
Penjelasan
Sebuah petunjuk fisik atau verbal untuk mengingatkan dan membantu
dalam memunculkan pengetahuan sebelumnya atau dugaan.
Contoh fisik: pergerakan tubuh seperti menunjukkan tanda dengan jari.
Contoh verbal: kata-kata, pernyataan dan pertanyaan.
Kartu Pertanyaan
Menyiapkan kartu-kartu dengan konten dan tugas pertanyaan spesifik yang
diberikan kepada individu atau kelompok peserta didik untuk saling mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan topik atau konten khusus.
Akar Pertanyaan
Kalimat tidak lengkap yang harus siswa lengkapi: mendukung pemikiran
mendalam dengan menggunakan pertanyaan tingkat tinggi “bagaimana
seandainya.”
Cerita
Cerita-cerita yang menghubungkan materi-materi kompleks dan abstrak
menjadi situasi yang lebih dikenal peserta didik. Ceritakan cerita-cerita
yang menginspirasi dan memotivasi peserta didik.
Alibali (Putri, 2015: 181)
5.
Rancangan Pembuatan Media Berbasis Strategi Scaffolding
Ada beberapa tahap dalam merancang media berbasis strategi scaffolding dalam
penelitian ini.
1) Tahap perancangan Lembar Diskusi Siswa (LDS) yang berguna untuk
memandu diskusi siswa dalam menemukan suatu konsep, LDS ini akan
20
didukung beberapa media, yaitu set cards, kartu pertanyaan, dan tali rafia
berupa lingkaran pada materi diagram venn.
2) Tahap perancangan petunjuk LDS yang berguna sebagai petunjuk
penggunaan media-media yang telah disiapkan oleh guru dan petunjuk
pengerjaan LDS, petunjuk penggunaan LDS ini akan berdampingan dengan
LDS dan akan muncul pada setiap pertemuan.
3) Tahap perancangan media berupa set cards, kartu pertanyaan dan tali rafia
sebagai media bantuan pembuatan diagram venn. Berikut penjelasan dari
media-media tersebut.
a. Set cards; kegunaan set cards ini adalah membantu siswa dalam
mengelompokkan suatu himpunan atau bukan himpunan, menentukan
himpunan semesta dan kardinalitas suatu himpunan, menentukan irisan,
gabungan, komplemen serta selisih suatu himpunan. Set cards ini dapat
berupa himpunan yang berhubungan dengan makhluk hidup atau hal-hal
yang berhubungan dengan Matematika secara langsung.
b. Kartu pertanyaan; kegunaan dari kartu pertanyaan ini adalah mengarahkan
siswa dalam penemuan konsep dengan cara menjawab pertanyaan
tersebut, kemudian menentukan anggota-anggota suatu himpunan. Contoh
pertanyaan yang ada pada kartu pertanyaan sebagai berikut: adakah
himpunan manusia yang hidup di air? adakah himpunan manusia yang
umurnya lebih dari 1.000 tahun? dapatkah kamu menuliskan himpunan
bilangan genap prima?.
c. Tali rafia berupa lingkaran pada materi diagram venn; kegunaan dari tali
rafia ini agar memudahkan siswa dalam memahami diagram venn.
Pemahaman diagram venn ini akan sangat membantu dalam memahami
materi irisan, gabungan, komplemen dan selisih suatu himpunan.
21
4) Tahap perancangan media scaffolding merupakan tahapan inti, namun ketiga
tahapan di atas tak dapat lepas dari tahap perancangan media scaffolding. Ini
dikarenakan untuk menentukan media scaffolding dibutuhkan suatu jembatan
berupa media awal yang kemudian akan diketahui bagian mana yang
membutuhkan media scaffolding. Dalam setiap pertemuan siswa akan
melakukan diskusi, dalam diskusi tersebut dimungkinkan ada siswa yang
mengalami kesulitan, media scaffolding akan dimunculkan ketika siswa
mengalami kesulitan. Media scaffolding dibuat berdasarkan karakteristik
scaffolding dan karakteristik Matematika, pada penelitian ini media yang
dibuat berupa pertanyaan, arahan, instruksi, gambar, kartu petunjuk, contohcontoh, organisator tingkat tinggi, dan cerita.
Tahap-tahap di atas merupakan rancangan dalam pembuatan media berbasis
strategi scaffolding, scaffolding dapat dimunculkan jika ada jembatan atau media
awal yang diberikan, media awal ini dapat berupa pemberian materi secara
langsung, modul, lembar kerja siswa, dan lembar diskusi siswa. Tahap awal pada
penelitian ini adalah memberikan LDS dan media yang telah disipkan oleh guru.
6.
Langkah-langkah pemberian scaffolding
Berikut langkah-langkah pemberian scaffolding pada penelitian ini.
1) Siswa diberikan masalah terlebih dahulu melalui media awal yang berupa
Lembar Diskusi Siswa (LDS), petunjuk LDS dan set cards (kartu himpunan).
Pemberian LDS, petunjuk LDS dan set cards tersebut membantu siswa
menemukan konsep pada himpunan.
2) Scaffolding 1 akan diberikan ketika siswa mengalami kesulitan dalam
menemukan konsep, scaffolding 1 ini berupa pertanyaan-pertanyaan
pendukung. Contoh pertanyaan tersebut antara lain: apakah kamu yakin
22
dengan jawabanmu? apa informasi penting dalam masalah ini? coba kamu
ingat kembali materi yang berhubungan dengan masalah ini. Jika dengan
scaffolding 1 siswa sudah dapat menyelesaikan masalahnya, diindikasi siswa
tersebut memiliki kemampuan Matematika yang tinggi. (Contoh dapat dilihat
pada Lampiran A. 5 halaman 242 scaffolding pertemuan 1, kode Scf I 1a
rendah).
3) Scaffolding 2 akan diberikan jika siswa masih mengalami kesulitan,
scaffolding 2 dapat berupa pemberian contoh melalui pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan oleh guru atau teman sebaya yang lebih kompeten, atau dengan
memberikan
penjelasan
berupa
petunjuk
fisik
atau
verbal
untuk
mengingatkan dan membantu dalam memunculkan pengetahuan sebelumnya
atau dugaan. (Contoh dapat dilihat pada Lampiran A. 5 halaman 242
scaffolding pertemuan 1 kode Scf I 1a sedang).
4) Scaffolding 3 akan diberikan jika siswa masih mengalami kesulitan,
scaffolding 3 dibuat lebih konkret dari scaffolding 2, misalnya dengan
menunjukkan gambar. (Contoh dapat dilihat pada Lampiran A. 5 halaman
242 scaffolding pertemuan 1 kode Scf I 1a tinggi)
5) Jika siswa masih mengalami kesulitan maka scaffolding yang lain akan
diberikan, pemberian scaffolding tersebut dapat datang dari guru atau teman
yang kompeten, namun harus diingat bahwa scaffolding adalah dukungan
dalam menyelesaikan kesulitan bukan memberikan jawaban secara langsung.
Pada penjelasan sebelumnya telah dikatakan bahwa kekurangan pada strategi
scaffolding adalah sulitnya membuat rencana scaffolding dan sulitnya memetakan
ZPD setiap siswa. Oleh karena itu, guru harus mengenal setiap karakteristik dan
kemampuan siswanya agar scaffolding yang diberikan sesuai dengan kebutuhan.
23
B. Media Pembelajaran
1.
Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin, medium dalam bentuk jamak yang berarti
perantara atau pengantar. Ada beberapa pendapat mengenai media, diantaranya
Sanjaya (2012: 57), menyatakan bahwa media adalah perantara dari sumber
informasi ke penerima informasi, contohnya video, televisi, radio, computer,
Koran, dan lain sebagainya. Senada dengan itu Assosiation for Educational
Technology (Hosnan, 2014: 111), menyatakan bahwa media adalah segala bentuk
yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi. Secara khusus Kustandi
dan Sutjipto (2013: 8), mendefinisikan media pembelajaran sebagai sarana untuk
meningkatkan proses belajar mengajar. Berdasarkan uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala bentuk alat yang
dipergunakan untuk membantu kegiatan belajar mengajar, menyampaikan pesan
agar tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan baik, yang berfungsi untuk
meningkatkan proses belajar mengajar. Jadi, penggunaan media ini sangat penting
dalam membantu siswa pada pembelajaran.
2.
Fungsi Media Pembelajaran
Dalam sebuah pembelajaran media merupakan unsur yang sangat penting dalam
membantu guru menyampaikan sebuah informasi. Seperti yang dikemukakan
Kustandi dan Sutjipto (2013: 19) bahwa media memiliki kedudukan sebagai alat
bantu dalam menyampaikan informasi secara teliti, jelas dan menarik. Menurut
Levied dan Lentz (Kustandi dan Sutjipto, 2013: 19), ada empat fungsi media
pembelajaran, khususnya media visual.
1) Fungsi atensi
Fungis atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan
perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pembelajaran yang berkaitan
24
dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran.
Jadi, media yang dibuat harus menarik agar siswa berminat untuk
memperhatikan materi yang diajarkan dan tujuan pembelajaran akan tercapai.
2) Fungsi afektif
Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa
ketika belajar teks yang bergambar. Media yang dibuat oleh guru sebaiknya
dapat menggugah sikap siswa dalam pembelajaran, saat ini sikap merupakan
hal mendesak yang ingin ditingkatkan, pemerintahpun menggalakkan
pendidikan berkarakter.
3) Fungsi kognitif
Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian, yang
mengungkapkan bahwa lambang visual memperlancar pencapaian tujuan
untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam
gambar. Fungsi kognitif merupakan salah satu fungsi yang penting, siswa
diminta untuk memahami isi dari sebuah pembelajaran.
4) Fungsi kompensatoris
Fungsi kompensatoris media visual yang memberikan konteks untuk
memahami teks, membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk
mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali.
Kelebihan dari media visual ini adalah dapat dibaca berulang oleh siswa.
Hosnan (2014: 112) mengelompokkan media berdasarkan sifatnya.
1) Media visual
Media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara. Yang
termasuk ke dalam media ini adalah film slide, foto, tranparansi, lukisan,
gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis.
25
2) Media Audio
Media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang hanya memiliki
unsur suara, seperti radio dan rekaman suara.
3) Media Audio Visual
Karakteristik dari media audio visual
adalah mengutamakan objek yang
bergerak, berwarna, bersuara, dan didukung oleh efek suara maupun visual,
dapat menyajikan animasi apabila perlu menyajikan suatu proses, mudah
menyajikannya dan tidak memerlukan ruang gelap.
Senada dengan pendapat di atas, Dale (Kustandi, 2013: 21) mengemukakan
bahwa bahan-bahan audio visual dapat memberikan banyak manfaat, asalkan guru
berperan aktif dalam pembelajaran. Media audio visual juga mudah didapatkan
dan dibuat dengan majunya perkembangan teknologi saat ini.
3.
Manfaat Media Pembelajaran
Media pembelajaran merupakan sarana untuk meningkatkan kegiatan belajar
mengajar. Ada banyak manfaat media pembelajaran, Kustandi (2013: 23)
mengungkapkan ada empat manfaat media pembelajaran.
1) Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi
sehingga dapat memperlancar, serta meningkatkan proses dan hasil belajar.
Hal ini dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahamannya tentang
suatu materi.
2) Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian siswa
sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung
antara siswa dan lingkungannya, dan memberi kesempatan pada siswa untuk
belajar sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya.
26
3) Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu.
Semua menjadi lebih mudah dengan media dan kecanggihan teknologi saat
ini, siswa belajar lebih cepat, mempelajari hal yang belum mereka lihat
sebelumnya dan mengeksplorasi sesuatu yang jauh dari jangkauannya.
4) Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa
tentang peristiwa di lingkungan mereka, serta memberi kesempatan terjadinya
interaksi langsung dengan teman, guru, masyarakat, dan lingkungannya.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa penggunaan media pembelajaran
bermanfaat untuk membantu siswa dalam memahami proses dan materi pembelajaran, ini artinya media sangat dibutuhkan dalam pembelajaran.
C. Pendekatan Inquiry
Inquiry merupakan komponen kedua dari pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL), inti dari pembelajaran kontekstual adalah menemukan (inquiry).
Namun inquiry dapat berdiri sendiri sebagai suatu pembelajaran, dalam
pendekatan inquiry proses pembelajaran berdasarkan pada penemuan melalui
proses berpikir secara sistematis, salah satu karakteristik dari Matematika sendiri
adalah sistematis, hal ini menggambarkan bahwa pendekatan inquiry cocok untuk
diterapkan dalam pembelajaran Matematika.
1.
Pengertian Inquiry
Kuhlthau (2007: 2), mendefinisikan
inquiry sebagai berikut: “inquiry is an
approach to learning whereby students find and use a variety of sources of
information and ideas to increase their under standing of a problem, topic, or
issue.” Dapat dimaknai bahwa inquiry adalah suatu pendekatan pembelajaran,
yang membantu siswa menemukan, dan menggunakan berbagai sumber informasi
dan ide untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang masalah, topik, atau isu.
27
Senada dengan pendapat tersebut, Hosnan (2014: 341) menyatakan bahwa
pembelajaran inquiry menekankan pada proses mencari dan menemukan konsep.
2.
Ciri-ciri Pendekatan Inquiry
Hosnan (2014: 342) menyatakan ciri-ciri pendekatan inquiry sebagai berikut.
1) Pendekatan inquiry menekankan pada aktivitas siswa secara maksimal untuk
mencari dan menemukan.
2) Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan
menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga
diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri.
3) Tujuan dari penggunaan pendekatan inquiry adalah mengembangkan
kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis atau mengembangkan
kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental.
Salah satu tujuan dari pembelajaran Matematika adalah membentuk siswa agar
mampu berpikir secara sistematis, logis dan kritis. Hal ini sejalan dengan ciri-ciri
yang dimiliki oleh pendekatan inquiry. Oleh sebab itu, pendekatan inquiry
merupakan salah satu pendekatan yang dapat diterapkan pada pembelajaran
Matematika.
3.
Prinsip-prinsip pendekatan Inquiry
Hosnan (2014: 342) menyatakan prinsip-prinsip pendekatan inquiry.
1) Berorintasi pada Pengembangan Intelektual
Tujuan dari pendekatan inquiry adalah pengembangan kemampuan berpikir,
pembelajaran selalu berorientasi pada hasil dan proses belajar.
2) Prinsip Interaksi
Pada dasarnya pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan
siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan lingkungan. Ini memberi arti
28
bahwa guru bukanlah sumber satu-satunya, guru hanya sebagai fasilitator
dalam sebuah pembelajaran.
3) Prinsip Bertanya
Bertanya merupakan tahap penting dalam sebuah pembelajaran, pertanyaan
dapat terlontar jika siswa berpikir, namun pertanyaan tidak hanya selalu harus
datang dari siswa dengan sendirinya, guru dapat memancing siswa untuk
bertanya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan.
4) Prinsip Belajar untuk Berpikir
Belajar merupakan proses berpikir, belajar bagaimana berpikir, yakni
mengembangkan potensi seluruh otak dan pemanfaatan otak secara maksimal.
5) Prinsip Keterbukaan
Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan
berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan hipotesis, dan secara
terbuka membuktikan hipotesis yang digunakan.
4.
Langkah-langkah Pelaksanaan Pendekatan Inquiry
Ada beberapa langkah pelaksanaan pendekatan inquiry, Hosnan (2014: 342)
menyatakan sebagai berikut.
1) Orientasi
Pada tahap orientasi guru dapat mengkondisikan siswa agar siap dan
responsif dalam menerima pembelajaran. Guru dapat merangsang dan
mengajak siswa untuk memecahkan masalah.
2) Merumuskan Masalah
Pada tahap perumusan masalah, siswa dibawa pada persoalan yang
mengandung teka-teki. Maksud dari kata teka-teki tersebut adalah masalah
29
pasti ada jawabannya. Siswa didorong menemukan jawaban, proses
menemukan sangat penting pada pendekatan inquiry.
3) Merumuskan Hipotesis
Pada tahap perumusan hipotesis, siswa harus memiliki landasan berpikir yang
kokoh sehingga hipotesis yang dikemukakan bersifat logis dan rasional.
Kemampuan membuat hipotesis dipengaruhi oleh kedalaman wawasan setiap
siswa, dan keluasan pengalamannya.
4) Mengumpulkan Data
Mengumpulkan data adalah menjaring informasi yang dibutuhkan untuk
menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pendekatan inquiry mengumpulkan
data merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan
intelektualnya.
5) Menguji Hipotesis
Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima
sesuai dengan informasi, yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data.
6) Merumuskan Kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang
diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Merumuskan kesimpulan
merupakan puncak dalam sebuah pembelajaran.
Senada dengan itu, Trianto (2009: 114) mengungkapkan langkah-langkah
pendekatan inquiry sebagai berikut: (1) merumuskan masalah, (2) mengamati atau
melakukan observasi, (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan,
gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya, (4) mengomunikasikan atau
menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiensi lain.
Kedua pendapat tersebut menggambarkan bahwa pada pendekatan inquiry
30
menekankan penemuan melalui pengumpulan data, kemudian dikomunikasikan
kepada teman sekelas atau guru. Pada penelitian ini langkah-langkah yang
diterapkan adalah orientasi, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan. Lebih lanjut
dinyatakan dalam siklus inquiry seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.2 Siklus Inquiry
5.
Keunggulan dan Kelemahan Pendekatan Inquiry
Suatu pendekatan atau teknik tidak ada yang sempurna, pasti memiliki
keunggulan dan kelemahan. Hosnan (2014: 344), menyatakan bahwa pendekatan
inquiry merupakan pembelajaran yang banyak dianjurkan, pendekatan ini
memiliki beberapa keunggulan, diantaranya sebagai berikut.
1) Pendekatan inquiry menekankan kepada pengembangan aspek kognitf,
afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran inquiry ini
dianggap lebih bermakna. Pada suatu pembelajaran, perkembangan setiap
aspek harus seimbang agar siswa dapat menjadi manusia yang memiliki ilmu
pengetahuan, sikap dan sosial yang baik.
31
2) Pendekatan inquiry dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar
sesuai dengan gaya belajar mereka. Setiap siswa memiliki gaya belajar
masing masing, inquiry memfasilitasi hal tersebut.
3) Inquiry merupakan pendekatan yang dianggap sesuai dengan perkembangan
psikologi belajar moderen yang menganggap belajar adalah proses perubahan
tingkah laku, berkat adanya pengalaman. Perubahan tingkah laku dapat terjadi
setelah adanya proses belajar, belajar dapat menciptkan pengalamanpengalaman baru bagi siswa.
4) Pendekatan inquiry dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki
kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan
belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.
Di samping memiliki keunggulan, pendekatan inquiry juga mempunyai
kelemahan, diantaranya sebagai berikut.
1) Jika pendekatan ini digunakan sebagai pembelajaran, maka akan sulit
mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa. Hal ini dapat diatasi dengan
mendatangkan observer saat pembelajaran, misalnya dengan melakukan
kolaborasi dengan guru dibidang yang sama.
2) Pada pendekatan inquiry, terdapat kesulitan dalam merencanakan pembelajaran karena terbentur dengan kebiasaan belajar siswa. Setiap siswa
memiliki kebiasaan belajar, seorang guru harus mengetahui karakteristik dan
kebiasaan setiap siswanya agar perencanaan belajar tidak terasa sulit.
3) Terkadang dalam mengimplementasikannya memerlukan waktu yang panjang
sehingga siswa sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan.
4) Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa
menguasai materi pelajaran, maka pembelajaran inquiry ini akan sulit
32
diimplementasikan
oleh
setiap
pendidik.
Pencapaian
dalam
suatu
pembelajaran pada setiap siswa berbeda, adakalanya siswa hanya dapat
memahami hal-hal yang bersifat penerapan saja misalnya menerapkan rumusrumus yang ada, namun ada juga siswa yang memiliki pencapaian yang lebih
tinggi, dan ia dapat mengajarkan kembali apa yang ia dapat.
D. Komunikasi Matematis
1.
Komunikasi
Pada dasarnya pembelajaran merupakan penyampaian informasi dari guru
kesiswa, dari siswa keguru atau dari siswa kesiswa. Pada kamus besar Bahasa
Indonesia (2008: 721), komunikasi didefinisikan sebagai pengiriman dan
penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang
dimaksud dapat dipahami.
Menurut
Sanjaya (2012: 79), komunikasi dapat
diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari sumber pesan ke penerima
pesan dengan maksud untuk mempengaruhi penerima pesan. Senada dengan
pendapat di atas Berlo (Iriantara, 2014: 3), menyatakan bahwa komunikasi
sebagai proses mengirimkan, menerima dan memahami gagasan dan perasaan
dalam bentuk pesan verbal atau non verbal secara sengaja atau tidak disengaja.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan
proses, yaitu aktivitas untuk mencapai tujuan komunikasi itu sendiri, dalam suatu
komunikasi harus ada sumber pesan, pesan dan penerima pesan.
2.
Komunikasi Matematis
Komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan penting yang ingin
dicapai pada
pembelajaran Matematika. Pada standar dan prinsip National
Council of Teacher Of
matematis sebagai berikut.
Mathematics (2004: 4), didefinisikan komunikasi
33
Mathematical communication is a way of sharing ideas and clarifying
understanding. Through communication, ideas become objects of reflection,
refinement, discussion, and amendment. When students are challenged to
communicate the results of their thinking to others orally or in writing, they
learn to be clear, convincing, and precise in their use of mathematical
language.
Hal tersebut dimaknai bahwa komunikasi matematis adalah sebuah cara berbagi
ide dan mengklarifikasi pemahaman. Melalui komunikasi, gagasan bertransformasi sebagai objek refleksi, perbaikan, diskusi dan perubahan. Saat siswa
ditantang untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, baik secara lisan atau
tertulis, mereka belajar untuk menyampaikannya dengan bahasa Matematika yang
jelas, meyakinkan, dan tepat.
Komunikasi dalam pembelajaran Matematika merupakan suatu hal yang sangat
penting. Sumarmo (2006: 3), menyatakan bahwa
kemampuan komunikasi
matematis merupakan kemampuan yang dapat menyertakan, dan memuat berbagai
kesempatan untuk berkomunikasi dalam beberapa bentuk:
(1) merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide
Matematika, (2) membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode
lisan, tertulis, konkret, grafik, dan aljabar, (3) menyatakan peristiwa seharihari dalam bahasa atau simbol Matematika, (4) mendengarkan, berdiskusi,
dan menulis tentang Matematika, (5) membaca dengan pemahaman suatu
presentasi Matematika tertulis, (6) membuat konjektur, menyusun argumen,
merumuskan definisi, dan generalisasi, dan (7) menjelaskan dan membuat
pertanyaan tentang tentang Matematika yang telah dipelajari.
Kemampuan-kemampuan
tersebut
dapat
dieksplorasi
pada
pembelajaran
matematika, untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis
siswa
dibutuhkan indikator yang jelas. Merujuk pada Ansari (2009), siswa dikatakan
mempunyai kemampuan komunikasi yang baik apabila telah memenuhi indikatorindikator kemampuan komunikasi Matematika sebagai berikut.
1) Kemampuan menggambar (drawing), yaitu meliputi kemampuan siswa
mengungkap ide Matematika ke dalam bentuk gambar, diagram atau grafik.
34
2) Kemampuan menulis (written text), yaitu berupa kemampuan memberikan
penjelasan dan alasan secara Matematika dengan bahasa yang benar.
3) Kemampuan
ekspresi
Matematika
(mathematical
expression),
yaitu
kemampuan membuat model Matematika.
Penelitian ini lebih fokus pada komunikasi dalam bentuk tulisan, dengan indikator
kemampuan komunikasi matematis yang mengacu pada Ansari. Pada tiap
pertemuan siswa dilatih untuk mengerjakan soal komunikasi di akhir pertemuan.
Tabel 2.2 Kriteria Pemberian Skor Komunikasi Matematika
Skor
0
1
2
3
4
Ekspresi Matematis
(Mathematical
Expression)
Tidak ada jawaban, kalaupun ada hanya memperlihatkan tidak memahami konsep
sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa.
Menulis
(Written texts)
Menggambar
(Drawing)
Hanya sedikit dari penjelasan
yang benar.
Penjelasan secara matematis
masuk akal namun hanya
sebagian lengkap dan benar.
Hanya sedikit gambar,
diagram, atau tabelbenar.
Melukiskan diagram,
gambar, atau tabel
namun kurang lengkap
dan kurang benar.
Melukiskan diagram,
gambar, atau tabel
namun kurang lengkap
dan benar.
Hanya sedikit dari model
Matematika yang benar.
Membuat model
Matematika kurang benar,
namun salah dalam
mendapatkan solusi.
Membuat model
Matematika dengan benar,
namun salah dalam
mendapatkan solusi.
Melukiskan diagram,
gambar atau tabel secara
lengkap dan benar.
Membuat model
Matematika dengan benar,
kemudian melakukan
perhitungan atau
mendapatkan solusi secara
benar dan lengkap.
Skor Maksimal = 4
Skor Maksimal = 4
Penjelasan secara matematis
masuk akal dan benar,
meskipun tidak tersusun
secara logis atau terdapat
sedikit kesalahan bahasa.
Penjelasan secara matematis
masuk akal dan jelas serta
tersusun secara logis.
Skor Maksimal = 4
E. Kemandirian Belajar
1.
Kemandirian
Kata kemandirian menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2008: 872), adalah
“hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain.” Kata
kemandirian berasal dari kata dasar mandiri yang mendapat awalan ke dan
akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda.
35
Kemandirian termasuk ke dalam lingkup sifat pribadi seseorang, sifat merupakan
struktur mental seseorang yang menunjukkan adanya suatu konsistensi. Oleh
sebab itu, dalam mempelajari konsep mandiri, kemandirian harus dilihat sebagai
bagian dari kepribadian seseorang.
2.
Belajar
Belajar merupakan kebutuhan bagi setiap individu, dengan belajar manusia akan
memperoleh pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain,
sebagai akibatnya ada perubahan tingkah laku bagi yang melakukannya. Banyak
pengertian belajar yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut.
1.
Menurut
Slameto (2013: 2), belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungan. Secara psikologi belajar merupakan suatu proses
perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.
Teori belajar purposeful learning dalam Slameto (2013: 15), mengemukakan
bahwa belajar dapat terjadi atas keinginan sendiri atau akibat dorongan orang
lain seperti orang tua, guru atau teman. Dalam suatu kegiatan belajar hendaknya siswa menentukan tujuan belajarnya.
3.
Dimyati dan Mudjiono (2013: 17), menyatakan bahwa belajar merupakan
aktivitas yang kompleks yang melibatkan siswa dan guru, kompleksitas ini
dapat datang dari guru atau dari siswa tersebut. Belajar merupakan suatu
proses yang melibatkan mental dalam menghadapi pembelajaran.
4.
Menurut Jean Piaget (Sanjaya, 2012: 38) dengan teori konstruktivistnya,
belajar merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman
siswa. Pengetahuan tidak didapat dari pemberian orang lain, melainkan hasil
36
dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap siswa, oleh sebab itu
belajar adalah proses mental seseorang.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah sebuah
proses untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan melalui
pengalaman yang mengakibatkan perubahan pemahaman, tingkah laku, dan sikap
seseorang, akibat adanya interaksi dengan lingkungan sekitar. Proses belajar ini
dapat terjadi akibat kemauan sendiri atau atas dasar dorongan orang lain, namun
belajar yang baik adalah belajar atas keinginan sendiri.
3.
Kemandirian Belajar
Kemandirian belajar yang dikenal dengan self-regulated learning (SRL)
merupakan hal yang dibutuhkan dalam pembelajaran, dalam hal ini peneliti
memandang kemandirian belajar sebagai hasil dari sebuah proses pembelajaran.
Menurut Tirtarahardja (2005: 50), kemandirian belajar adalah aktivitas belajar
yang keberlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan
tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Ini artinya kemandirian ini adalah
upaya sadar yang bertanggung jawab dari dalam diri sendiri, hal yang sama
diungkapkan oleh Vohs dan Baumeister (2004: 2), “one definition of selfregulation encompasses any efforts by the human self to alter any of its own inner
states or response” yang memaknai
self-regulation sebagai cakupan upaya
apapun oleh diri sendiri, untuk mengubah atau menanggapi setiap bagian dari
dalam diri. Zimmerman (Nakata, 2010: 2) mendefinisikan SRL sebagai
pemikiran, perasaan, dan tindakan yang dihasilkan oleh diri sendiri, direncanakan
dan secara bersiklus disesuaikan dengan pencapaian tujuan pribadi yang ingin
dicapai.
37
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar
adalah kegiatan belajar atas kemauan sendiri yang dipengaruhi oleh pemikiran,
perasaan, strategi, dan perilaku sendiri untuk pencapain tujuan dengan penuh
tanggung jawab. Kemandirian belajar diperlukan agar mereka mempunyai
tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya.
Menurut Schunk dan Zimmerman (Sumarmo: 2010), terdapat tiga fase utama
dalam siklus SRL.
a)
Merancang belajar
b) Memantau kemajuan belajar selama menerapkan rancangan
c)
Mengevaluasi hasil belajar secara lengkap.
Gambar 2.3 di bawah ini menggambarkan siklus SRL pada ketiga fase tersebut,
dan pada gambar di bawah ini terlihat bahwa fase refleksi berfungsi meninjau
ulang setiap fase yang telah dilakukan.
Plan
Reflection
Reflection
Evaluate
Monitor
Gambar 2.3 Siklus SRL
Pada setiap fase terdapat beberapa kegiatan yang mencirikan SRL, kegiatankegiatan tersebut termuat pada Tabel 2.3, kegiatan dimulai dari merancang,
memantau, mengevaluasi dan merefleksi setiap kegiatan yang dilakukan.
38
Tabel 2.3 Fase SRL
Fase
Merancang
belajar
Memantau
Mengevaluasi
Merefleksi
Kegiatan
1. Menganalisis tugas belajar
2. Menetapkan tujuan pembelajaran dan memastikan tujuan belajar dengan
jelas
3. Merancang strategi pembelajaran dan mempertimbangkan berbagai cara
untuk menyelesaikan tugas belajar
(Berlangsung kegiatan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri)
1. Apakah strategi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana?
2. Apakah saya kembali kepada kebiasaan lama?
3. Apakah saya tetap fokus?
4. Apakah strategi telah berjalan dengan baik?
5. Apakah saya perlu menyesuaikan strategi?
(Memuat kegiatan memeriksa bagaimana jalannya strategi)
1. Apakah strategi telah dilaksanakan dengan baik? (Evaluasi proses)
2. Hasil belajar apa yang telah dicapai? (Evaluasi produk)
3. Sesuaikah strategi dengan jenis tugas belajar yang dihadapi?
Pada dasarnya, tahap ini tidak hanya berlangsung pada tahap keempat
dalam siklusSRL, namun refleksi berlangsung pada tiap tahap selama siklus
berjalan.
Schunk dan Zimmerman (Sumarmo: 2010)
Pada fase merancang terlihat kegiatan siswa mulai dari menganalisis tugas,
menganalisis merupakan keterampilang Matematika yang seharusnya dikembangkan, lalu ada kegiatan menetapkan tujuan dan mencari cara bagaimana cara
mengerjakan tugas, hal ini melatih pemikiran mandiri siswa. Pada fase memantau
siswa dapat mengontrol diri mereka sendiri, jika siswa dapat mengontrol kegiatan
belajar mereka maka kemandirianpun dengan sendirinya akan terbentuk. Pada
fase mengevaluasi siswa diharapkan dapat memeriksa pekerjaan mereka, dengan
melihat hasil-hasil dari kegiatan belajar, apakah telah berjalan dengan baik, hasil
belajar apa yang telah didapat dan sesuaikah pendekatan yang digunakan. Pada
setiap fase tertesebut akan selalu ada fase refleksi, refleksi tidak hanya terdapat
diakhir pembelajaran namun dalam seluruh kegiatan pembelajaran.
Pintrich (Nodoushan, 2012: 8), menyarankan empat fase pada self-regulation yang
biasa disebut model temporal dengan tahap-tahap sebagai berikut.
1) Pemikiran meliputi perencanaan, penetapan tujuan dan aktivasi.
2) Pemantauan meliputi pemantauan proses pembelajaran.
39
3) Manajemen mencakup penggunaan strategi regulasi dan kontrol.
4) Refleksi meliputi evaluasi, penilaian, dan atribusi.
Empat fase yang dikemukakan oleh Pintrich senada dengan fase SRL yang
dikemukakan oleh Schunk dan Zimmerman, begitupula kegiatan-kegiatan yang
ada pada fase tersebut. Namun fase refleksi merupakan fase akhir menurut
pendapat Pintrich, sedangkan menurut Schunk dan Zimmerman refleksi
berlangsuang pada tiap fase selama siklus berjalan.
Berdasarkan definisi dan fase SRL yang dikemukakan oleh para ahli, disimpulkan
ciri-ciri kemandirian belajar siswa, yaitu (1) tidak menyandarkan diri pada orang
lain, (2) percaya pada kemampuan diri, (3) bertanggung jawab, (4) merencanakan
pembelajaran, (5) memantau pembelajaran, (6) mengevaluasi pembelajaran, dan
(7) merefleksi pembelajaran. Merujuk ciri-ciri kemandirian belajar di atas,
indikator yang akan ditetapkan pada penelitian ini adalah merencanakan
pembelajaran,
memantau
pembelajaran,
mengevaluasi
pembelajaran,
dan
merefleksi pembelajaran
F. Penelitian Yang Relevan
Pujiastuti (2014: 264), dalam penelitiannya yang berjudul ‘Pembelajaran Inquiry
Co-Operation Model untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah,
Komunikasi, dan Self-Esteem Matematis Siswa SMP’ mendapat kesimpulan
anatara lain: (1) pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan self-esteem matematis siswa
yang mendapat pembelajaran inquiry co-operation model lebih baik daripada
siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, (2) tidak ada interaksi antara
pembelajaran dan kemampuan awal matematis dan peringkat sekolah, terhadap
40
pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi
matematis siswa, dan (3) ada korelasi yang signifikan antara kemampuan
pemecahan masalah, komunikasi, dan self-esteem matematis. Dari kesimpulan
yang ada, dapat dimaknai bahwa pembelajaran inquiry dapat meningkatkan
komunikasi matematis siswa.
Senada dengan penelitian di atas, Febriastuti (2013: 51) pada penelitiannya yang
berjudul ‘Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa SMPN 2 Geyer Melalui
Pembelajaran Inquiry Berbasis Proyek’ menyimpulkan, bahwa penerapan
pembelajaran model inquiry berbasis proyek dapat meningkatkan kemandirian
belajar siswa. Dari beberapa penelitian tersebut, disimpulkan bahwa pembelajaran
inquiry dapat meningkatkan kemandirian belajar dan kemampuan komunikasi
matematis siswa.
Prabawanto (2013: 311), pada penelitiannya yang berjudul ‘Peningkatan
Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi, dan Self- Efficacy Matematis
Mahasiswa Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding’
menyimpulkan, bahwa adanya peningkatan kemampuan komunikasi matematis
mahasiswa yang memperoleh pendekatan metacognitive scaffolding lebih tinggi,
daripada mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
langsung.
Senada dengan kesimpulan di atas, Anjani (2013: 64) pada penelitiannya yang
berjudul ‘Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Menggunakan
Pendekatan Kontekstual Dengan Teknik Scaffolding’ menyimpulkan adanya
peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa, yang memperoleh
pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual dengan teknik scaffolding
41
lebih baik, dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
scaffolding dapat meningkatkan komunikasi matematis siswa.
G. KERANGKA PIKIR
Inquiry adalah pendekatan pembelajaran berdasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pendekatan inquiry memiliki
ciri yang menekankan pada aktivitas siswa secara maksimal, untuk mencari dan
menemukan konsep dari suatu materi. Pada pendekatan inquiry terdapat beberapa
tahap yang harus dilalui oleh siswa, yaitu (1) orientasi, (2) merumuskan masalah,
(3) merumuskan hipotesis, (4) mengumpulkan data, (5) menguji hipotesis, dan
(5) merumuskan kesimpulan.
Pada tahap orientasi guru memberi motivasi dan mengkondisikan kelas, tujuan
dari tahap orientasi adalah memusatkan konsentrasi siswa, hal ini akan membantu
siswa untuk mengetahui apa saja yang akan mereka pelajari. Selanjutnya tahap
merumuskan masalah, ketika siswa siap untuk belajar, guru memberi teka-teki
berupa pertanyaan yang mengacu pada konsep himpunan, kegiatan ini memancing
siswa untuk menemukan jawaban, dari teka-teki yang diberikan oleh guru. Tahap
selanjutnya, siswa berdiskusi dengan teman kelompok untuk merumuskan
hipotesis.
Tahap selanjutnya adalah mengumpulkan data, pada tahap ini siswa diberi LDS,
petunjuk LDS dan Set Cards. Melalui penggunaan media awal tersebut, siswa
diminta melakukan disksusi bersama teman kelompoknya, diskusi mengarah pada
mencari jawaban dari pertanyaan yang diberikan di awal pembelajaran. Pada
tahap ini siswa diminta membaca dan menjawab pertanyaan yang ada pada LDS,
42
jika mereka mengalami kesulitan dan semua anggota kelompok tidak ada yang
dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka guru akan memberikan scaffolding.
Scaffolding merupakan strategi penting, yang berhubungan dengan perbedaan
antara apa yang anak dapat capai secara mandiri, dan apa yang anak dapat capai
dengan bimbingan dan dorongan dari guru atau orang dewasa yang lebih
kompeten, scaffolding yang diberikan membantu siswa mencapai kemampuan
optimalnya. Jika siswa sudah mampu melanjutkan diskusi, scaffolding akan
dikurangi dan akhirnya diberhentikan ketika siswa benar-benar mandiri.
Scaffolding yang diberikan memiliki beberapa level, level 1 berupa pertanyaanpertanyaan pendukung dan arahan. Level 2 berupa gambar, penjelasan, kartu
pertanyaan, atau contoh dan level 3 berupa organisator tingkat tinggi. Siswa yang
membutuhkan scaffolding dengan intensitas tinggi, akan lebih banyak berinteraksi
dengan guru, sehingga komunikasi yang baik akan terbangun. Siswa yang
berkemampuan rendah, dapat memaksimalkan kemampuan komunikasi matematis
melalui media berbasis strategi scaffolding, dan diharapkan scaffolding yang
diberikan akan membantu siswa lebih mandiri dalam pembelajaran.
Tahapan selanjutnya adalah menguji hipotesis, dengan cara membandingkan
jawaban setiap kelompok. Siswa diminta untuk mempresentasikan hasil kerja
kelompok ke depan kelas, kegiatan ini dapat meningkatkan komunikasi matematis
siswa, misalnya dengan memberikan tanggapan atas jawaban temannya dan
diskusi antar kelompok. Jika jawaban teman di depan kelas belum benar, maka
kelompok lain dapat membantu. Guru dalam tahapan ini berperan sebagai
fasilitator yang memandu jalannya diskusi dan merumuskan jawaban yang benar.
Merumuskan kesimpulan merupakan tahapan terakhir dari pendekatan inquiry,
pada tahapan ini siswa dibimbing oleh guru untuk menyimpulkan hasil diskusi,
43
sehingga didapat jawaban akhir yang merupakan kesimpulan atau jawaban dari
masalah yang diberikan oleh guru, pada tahap merumuskan masalah. Tahapan ini
juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. dengan cara
meminta siswa merumuskan kesimpulan kelompoknya.
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan atau Research and
Development. Penelitian ini mengacu pada prosedur Akker, Nieveen, dan
McKenney (2006: 233) dengan 2 tahap, yaitu preliminary (tahap pendahuluan)
dan tahap prototyping melalui formative evaluation (uji formatif) mengacu pada
tahapan Tessemer (1993: 15), yang meliputi self-evaluation (evaluasi diri), expert
reviews (uji ahli), one-to-one (uji perseorangan), small group (uji kelas kecil)
kemudian uji terbatas. Produk yang dikembangkan pada penelitian ini adalah
media berbasis strategi scaffolding, dibuat berdasarkan karakteristik scaffolding
dan karakteristik Matematika pada materi himpunan kelas VII SMP melalui
pendekatan inquiry, untuk membantu upaya peningkatan kemampuan komunikasi
matematis dan kemandirian belajar siswa.
B. Tempat , Waktu, dan Subjek Penelitian
Penelitian dilakukan di SMP IT Ar-Raihan semester genap tahun pelajaran
2015/2016. Subjek-subjek dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap.
1.
Subjek Studi Pendahuluan
Pada studi pendahuluan dilakukan beberapa langkah sebagai analisis kebutuhan,
yaitu observasi dan wawancara. Subjek pada saat observasi adalah siswa kelas VII
C dan VII D, subjek pada saat wawancara adalah siswa kelas VII dan guru yang
mengajar Matematika di kelas VII.
45
2.
Subjek Validasi Ahli Media Berbasis Strategi Scaffolding
Subjek validasi media dalam penelitian ini adalah tiga orang ahli yang terdiri atas
satu ahli materi, satu ahli bahasa dan satu ahli desain. Ahli materi, yaitu Ibu Nicky
Dwi Puspaningtyas, yang merupakan guru SMA Kebangsaan dan pernah menjadi
dosen di Universitas Muhamadiyah Bandar Lampung. Ahli bahasa, yaitu Ibu
Megaria, yang merupakan dosen FKIP Jurusan Bahasa dan Seni Universitas
Lampung. Ahli desain, yaitu Bapak Widodo Tri Hardjanto, yaitu kepala sekolah
SMP Az-Zahra Bandar Lampung.
3.
Subjek Uji Perseorangan
Subjek pada tahap ini adalah tiga orang siswa kelas IX yang sudah menempuh
materi himpunan. Tiga orang siswa tersebut berinisial FAC, RAP, dan WFK.
Ketiga siswa tersebut memiliki kemampuan matematis tinggi, sedang, dan rendah.
4.
Subjek Uji Kelas Kecil
Subjek pada tahap ini adalah enam orang siswa kelas VII yang belum menempuh
materi himpunan. Enam orang siswa tersebut adalah siswa kelas VII D, yang
berinisial ASR, NPC, BAP, NDH, MILR, dan RBSP. Keenam orang tersebut
memiliki kemampuan matematis tinggi, sedang, dan rendah.
5.
Subjek Terbatas
Subjek pada tahap ini adalah seluruh siswa pada kelas VII C tahun pelajaran
2015/2016. Terdapat 23 orang siswa dengan kemampuan matematis rendah,
sedang dan tinggi di kelas tersebut.
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dan pengembangan ini mengikuti tahapan Akker, Nieveen,
McKenney dan Tessemer, prosedur penelitian dan pengembangan dapat dilihat
pada Gambar 3.1 di bawah ini.
46
Prosedur penelitian pengembangan
Tahap
Pengumpulan Data
1.Tahap
Pendahuluan
Tahap
Pendesainan
Prototype 1
Evaluasi Diri
(Self-Evaluation)
Uji ahli
(Expert Review)
Revisi
Uji perseorangan
(One-to-one)
Revisi
2. Tahap Uji
Formatif
Prototype 2
Uji kelas kecil
(Small Group)
Revisi
Prototype 3
Uji Terbatas
Gambar 3.1 Prosedur Penelitian
Berikut ini penjelasan dari tahap-tahap prosedur penelitian di atas.
a.
Tahap Pendahuluan
Tahap ini dibagi menjadi 2 tahapan, antara lain tahap pengumpulan data dan tahap
pendesainan.
47
1. Pada tahap pengumpulan data, dilakukan observasi terhadap media-media yang
digunakan guru di kelas VII. Wawancara dilakukan dengan guru Matematika
untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, terkait dengan hasil observasi
yang telah dilakukan, dan memperjelas beberapa hal terkait media yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Selanjutnya memberikan beberapa pertanyaan
kepada siswa, berkaitan dengan media yang digunakan selama pembelajaran,
dan bagaimana pembelajaran yang telah diterapkan selama ini.
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan buku teks dan bahan ajar yang digunakan guru saat mengajar, kemudian mengkaji buku-buku tersebut sebagai
acuan penyusunan Lembar Diskusi Siswa (LDS) dan media berbasis strategi
scaffolding. Analisis terhadap kompetensi inti, kompetensi dasar, silabus
Matematika kelas VII, dan indikator kemampuan komunikasi matematis
dilakukan sebagai bahan pertimbangan penyusunan LDS dan Lembar Latihan
Siswa (LLS).
2. Pada tahap pendesainan, dilakukan pendesainan media berbasis strategi
scaffolding, produk yang dikembangkan sesuai dengan data-data pada tahap
pengumpulan data. Media berbasis strategi scaffolding dikembangkan
berdasarkan karakteristik Matematika dan karakteristik scaffolding, mediamedia tersebut dapat berupa lisan dan tulisan, media visual dan audio visual.
Media ini tidak sama untuk setiap materinya dan disesuaikan dengan
kebutuhan siswa, dan untuk melihat scaffolding yang dibutuhkan siswa,
digunakan media lain berupa Set Cards, LDS, dan petunjuk LDS. Media-media
tersebut akan membantu siswa menemukan konsep dan menyelesaikan masalah
komunikasi matematis. Produk yang telah didesain pada tahap ini dinamakan
prototype 1.
48
b. Tahap Uji Formatif
Tahap uji formatif ini mengikuti alur Tessemer (1993: 15), yang terdiri dari
beberapa uji, yaitu (1) evalusi diri, (2) uji ahli, (3) uji perseorangan, (4) uji kelas
kecil, dan (5) uji terbatas. Berikut ini uraian dari tahap-tahap tersebut.
1) Evaluasi Diri
Pada tahap ini dilakukan evaluasi oleh diri sendiri terhadap hasil desain prototype
1 media berbasis strategi scaffolding. Evaluasi ini dilakukan berdasarkan
kelayakan materi, bahasa dan desain.
2) Uji Ahli
Prototype 1 yang telah di evaluasi kemudian divalidasi oleh ahli materi, bahasa
dan desain yang berkompeten dibidangnya melalui skala validasi media. Validasi
yang dilakukan oleh ahli materi bertujuan untuk mengetahui kebenaran isi LDS
dan media berbasis strategi scaffolding, meliputi kebenaran konsep Matematika
dan komunikasi matematis. Sedangkan validasi oleh ahli bahasa bertujuan untuk
melihat kaidah penulisan yang baik dan benar, dan validasi oleh ahli desain
bertujuan untuk melihat kesesuaian format yang digunakan dalam media berbasis
strategi scaffolding dengan tingkat keterbacaan siswa. Adapun tanggapan dan
saran dari para pakar terhadap produk yang telah dibuat, ditulis pada lembar
validasi yang telah disiapkan sebagai bahan untuk revisi.
3) Uji Perseorangan
Prototype 1 yang telah divalidasi oleh ahli, diujicobakan pada 3 orang siswa
dengan kemampuan matematis rendah, sedang dan tinggi. Ketiga siswa tersebut
merupakan siswa kelas IX yang sudah menempuh materi himpunan. Pada akhir
kegiatan, mereka diberikan lembar skala untuk mengukur keterbacaan dan
tanggapan terhadap media berbasis startegi scaffolding. Hasil validasi dan saran
dijadikan bahan perbaikan prototype 1, hasil revisi dinamakan prototype 2.
49
4) Uji Kelas Kecil
Pada tahap ini, prototype 2 diujicobakan pada kelas kecil yang terdiri dari 6 orang
siswa yang memiliki kemampuan matematis rendah sedang dan tinggi. Keenam
siswa tersebut merupakan siswa kelas VII yang belum mendapatkan materi
himpunan. Selama pembelajaran, keenam siswa diobservasi dan diminta untuk
memberikan komentar terhadap media pembelajaran tersebut. Berdasarkan saran
dan masukan siswa pada uji kelas kecil, prototype 2 direvisi dan hasil revisi
dinamakan prototype 3.
5) Uji Terbatas
Uji terbatas media berbasis strategi scaffolding dilakukan untuk mengetahui
peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.
Uji terbatas dilakukan pada kelas VII C SMPIT Ar-Raihan Bandar Lampung
tahun pelajaran 2015/2016. Diawal dan akhir pembelajaran, siswa diberi tes
kemampuan komunikasi matematis dan skala kemandirian belajar. Pemberian tes
komunikasi matematis dan skala kemandirian belajar tersebut, bertujuan untuk
mengetahui peningkatan setelah menggunakan media berbasis stategi scaffolding.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis instrumen,
yaitu nontes dan tes. Instrumen-instrumen ini diberikan sesuai dengan subjek pada
penelitian pengembangan.
1. Instrumen Studi Pendahuluan
Instrumen yang digunakan pada studi pendahuluan berupa lembar observasi dan
wawancara. Lembar observasi digunakan saat melakukan pengamatan mengenai
kebutuhan media dalam pembelajaran. Lembar wawancara, digunakan untuk
melakukan wawancara dengan guru setelah melakukan observasi di kelas.
50
2. Instrumen Validasi Media Berbasis Strategi Scaffolding
Instrumen dalam validasi media berbasis strategi scaffolding diserahkan kepada
ahli materi, ahli bahasa dan ahli desain. Instrumen yang diberikan berupa
pernyataan skala likert dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat baik, baik,
cukup baik, kurang baik, serta dilengkapi dengan komentar dan saran dari para
ahli.
Kriteria yang menjadi penilaian dari ahli materi meliputi beberapa aspek, yaitu
(1) materi ajar, (2) keakuratan materi, (3) urutan materi, dan (4) kemampuan
siswa. Selanjutnya kriteria yang menjadi penilaian dari ahli bahasa meliputi empat
aspek, yaitu (1) kesesuaian bahasa dengan tingkat perkembangan siswa, (2) istilah
atau simbol yang digunakan, (3) lugas, (4) komunikatif dan (5) kesesuaian kata
dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penilaian ahli selanjutnya
adalah desain yang meliputi tiga aspek, yaitu (1) kemudahan menggunakan media,
(2) kemenarikan dalam penyajian, dan (3) keamanan. Pemberian skala ini
bertujuan untuk menilai media berbasis strategi scaffolding ditinjau dari
kesesuaian antara materi, bahasa dan desain yang digunakan. Kisi-kisi dan
deskripsi lembar penilaian oleh ketiga ahli selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran D.1 halaman 342, D.2 halaman 346, dan D.3 halaman 350.
3. Instrumen Uji Perseorangan
Instrumen ini diberikan kepada siswa yang menjadi subjek pada uji perseorangan
media berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry, untuk mengetahui
bagaimana
keterbacaan
dan
tanggapan
siswa
terhadap
produk
yang
dikembangkan. Instrumen yang diberikan berupa pernyataan skala likert dengan
empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak
setuju.
51
4. Instrumen Uji Kelas Kecil
Instrumen ini diberikan kepada siswa yang menjadi subjek uji kelas kecil media
berbasis strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry, untuk mengetahui
bagaimana keterbacaan dan tanggapannya terhadap produk yang dikembangkan.
Instrumen yang diberikan berupa pernyataan skala likert dengan empat pilihan
jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju.
5.
Instrumen Uji Terbatas
Terdapat instrumen tes dan nontes yang digunakan dalam penelitian ini. Instrumen
tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a)
Instrumen ini berupa tes kemampuan komunikasi matematis. Tes ini
diberikan secara individual dan bertujuan untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematis. Penilaian hasil tes dilakukan sesuai dengan pedoman
penilaian yang tertera pada Tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1. Pedoman Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis
Skor
0
1
2
3
4
Menulis
Menggambar
Ekspresi Matematis
Tidak ada jawaban, kalaupun ada hanya memperlihatkan tidak memahami konsep
sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa.
Hanya sedikit dari
Hanya sedikit gambar,
Hanya sedikit dari model
penjelasan yang benar.
diagram, atau tabel
Matematika yang benar.
benar.
Penjelasan secara
Melukiskan diagram,
Membuat model
matematis masuk akal
gambar, atau tabel
Matematika kurang benar,
namun hanya sebagian
namun kurang lengkap
namun salah dalam
lengkap dan benar.
dan kurang benar.
mendapatkan solusi.
Penjelasan secara
Melukiskan diagram,
Membuat model
matematis masuk akal
gambar, atau tabel
Matematika dengan benar,
dan benar, meskipun
namun kurang lengkap
namun salah dalam
tidak tersusun secara
dan benar.
mendapatkan solusi.
logis atau terdapat sedikit
kesalahan bahasa.
Penjelasan secara
Melukiskan diagram,
Membuat model
matematis masuk akal
gambar atau tabel secara Matematika dengan benar,
dan jelas serta tersusun
lengkap dan benar.
kemudian melakukan
secara logis.
perhitungan atau
mendapatkan solusi secara
benar dan lengkap.
Skor Maksimal = 4
Skor Maksimal = 4
Skor Maksimal = 4
52
Sebelum diberikan di akhir pembelajaran, instrumen ini diujicobakan terlebih
dulu pada kelas lain yang telah menempuh materi himpunan untuk
mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda soal.
Uji-uji tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1) Validitas
Validitas yang digunakan pada penelitian ini didasarkan pada validitas isi dan
validitas butir soal. Validitas isi dari tes kemampuan komunikasi matematis
ini dapat diketahui dengan cara membandingkan isi yang terkandung dalam
tes kemampuan komunikasi matematis dengan indikator pembelajaran yang
telah ditentukan. Tes yang dikategorikan valid adalah yang telah dinyatakan
sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator yang diukur. Untuk
mengetahui validitas butir soal, dilakukan perhitungan dengan menggunakan
rumus korelasi Product Moment.
=
rxy = Koefisien korelasi
(∑
{ ∑
) − (∑ )(∑ )
− (∑ ) }{ ∑
− (∑ ) }
N = Jumlah responden yang diuji
X = Skor setiap item
Y = Skor seluruh item responden uji coba
Dasar pengambilan keputusan adalah jika r hitung > r tabel, jika instrumen
atau item soal berkorelasi signifikan terhadap skor total maka item dinyatakan
valid. N pada kelas ujicoba adalah 20, didapat rtabel sebesar 0,468 pada uji 2
sisi (2-tailed). Pada ujicoba ini semua r hitung > r tabel, maka semua soal
ujicoba dinyatakan valid, skor lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Skor Validitas Tes Uji Coba
1
2
3
4
5
6
Skor Validitas
0,51
0,71
0,71
0,66
0,83
0,84
Keterangan
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
No Soal
53
Digunakan kriteria validitas yang bersumber dari Arikunto, untuk
menafsirkan skor validitas suatu butir soal.
Tabel 3.3 Kriteria Validitas Instrumen Tes
Nilai r
0,81 – 1,00
0,61 – 0,80
0,41 – 0,60
0,21 – 0,40
0,00 – 0,20
Interpretasi
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat Rendah
Arikunto (2008: 89)
Kriteria soal tes yang digunakan dalam penelitian ini memiliki validitas
cukup, tinggi dan sangat tinggi. Keenam soal tersebut telah memenuhi kriteria
soal yang baik, kevalidan dari soal-soal tersebut dilihat dari validitas isi dan
validitas butir soal, selengkapnya hasil perhitungan validitas butir soal dapat
dilihat pada lampiran C.1 halaman 316.
2) Reliabilitas
Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali
untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama.
Perhitungan untuk mencari nilai reliabilitas instrumen didasarkan pada
pendapat Arikunto (2008: 109) yang menyatakan bahwa untuk menghitung
reliabilitas dapat digunakan rumus Alpha.
2
 n   i 
 1 
r11  
2
 t 
 n  1 
r11
: nilai reliabilitas instrumen (tes)
n
: banyaknya butir soal (item)

t
2
2
i
: jumlah varians dari tiap-tiap item tes
: varians total
54
Sudijono (2008: 209), berpendapat bahwa suatu tes dikatakan baik apabila
memiliki nilai reliabilitas ≥ 0,70. Berdasarkan hasil perhitungan uji coba
instrumen komunikasi matematis, diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar
0,70. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen yang diujicobakan memiliki
reliabilitas yang tinggi, sehingga instrumen tes ini dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa. Hasil perhitungan
reliabilitas dapat dilihat pada lampiran C.2 halaman 317.
3) Tingkat Kesukaran
Sudijono (2008: 372), menyatakan bahwa suatu tes dikatakan baik jika
memiliki derajat kesukaran sedang, tidak terlalu sukar dan tidak terlalu
mudah. Perhitungan tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan rumus
sebagai berikut.
TK =
J
I
TK
: tingkat kesukaran suatu butir soal
JT
: banyak skor yang diperoleh siswa pada butir soal yang diperoleh
IT
: banyak skor maksimum yang diperoleh siswa pada suatu butir soal
Untuk menginterpretasikan tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan
kriteria indeks kesukaran sebagai berikut.
Tabel 3.4 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran
Nilai
Interpretasi
0,00 ≤ TK ≤ 0 ,15
Sangat sukar
Sukar
Sedang
0,16 ≤ TK ≤ 0 ,30
0,31 ≤ TK ≤ 0 ,70
0,71 ≤ TK ≤ 0 ,85
0,86 ≤ TK ≤ 1,00
Mudah
Sangat mudah
Sudijono (2008: 372)
55
Kriteria soal yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal dengan
interpretasi sedang, yaitu memiliki nilai tingkat kesukaran 0,16 ≤ TK ≤ 0,85.
Soal yang memiliki tingkat kesukaran dengan kategori sangat sukar akan
direvisi, skor selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.5 di bawah ini.
Tabel 3.5 Skor TK Tes Uji Coba
No Soal
1
2
3
4
5
6
Skor TK
0,79
0,14
0,68
0,53
0,35
0,33
Mudah
Sangat Sukar
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Keterangan
4) Daya Pembeda
Daya beda suatu butir tes adalah kemampuan suatu butir untuk membedakan
antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah.
Daya beda butir dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya tingkat
diskriminasi atau angka yang menunjukkan besar kecilnya daya beda.
Sudijono (2008: 120) mengungkapkan menghitung daya pembeda ditentukan
dengan rumus di bawah ini.
DP =
DP : indeks daya pembeda satu butir soal tertentu
JA : jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah
JB : jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah
IA : jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah)
Berdasarkan hasil perhitungan, didapat skor daya pembeda pada tes uji coba
yang tertera pada Tabel 3.6 di bawah ini. Hasil perhitungan daya pembeda
dan tingkat kesukaran pada tes uji coba dapat dilihat pada lampiran C.3
halaman 318.
56
Tabel 3.6 Skor Daya Pembeda Tes Uji Coba
No Soal
Skor Daya Pembeda
Keterangan
1
2
3
4
5
6
0,13
0,29
0,39
0,56
0,61
0,46
Buruk
Perlu
Revisi
Baik
Sangat
Baik
Sangat
Baik
Baik
Skor daya pembeda diinterpretasi berdasarkan klasifikasi pada Tabel 3.7 di
bawah ini.
Tabel 3.7 Interpretasi Nilai Daya Pembeda
Nilai
Negatif ≤ DP ≤ 0,10
0,10 ≤ DP ≤ 0,19
0,20 ≤ DP ≤ 0,29
0,30 ≤ DP ≤ 0 ,49
DP ≥ 0,50
Interpretasi
Sangat Buruk
Buruk
Agak baik, perlu revisi
Baik
Sangat Baik
Sudijono (2008: 121)
Tes yang akan diberikan diujicobakan pada kelas VIII. Dari Tabel 3.8 di
bawah ini, terlihat bahwa soal no 1 adalah soal yang tidak memenuhi kriteria
soal yang baik, untuk pengambilan data soal tersebut tidak digunakan. Soal
yang akan digunakan hanya 4 soal, yaitu soal no 2 dengan dilakukan revisi
terlebih dahulu, soal no 3, 5 dan 6. Di bawah ini rekapitulasi dan kesimpulan
dari hasil tes uji coba.
Tabel 3.8 Rekapitulasi Hasil Tes Uji Coba
No
Soal
1
Reliabilitas
Validitas
0,70
(Reliabilitas
tinggi)
0,51
(valid)
0,71
(valid)
0,71
(valid)
0,66
(valid)
0,83
(valid)
0,84
(valid)
2
3
4
5
6
Tingkat
Kesukaran
0,79
(mudah)
0,14
(sangat sukar)
0,68
(sedang)
0,53
(sedang)
0,35
(sedang)
0,33
(sedang)
Daya
Pembeda
0,13
(buruk)
0,29
(perlu revisi)
0,39
(baik)
0,56
(sangat baik)
0,61
(sangat baik)
0,46
(baik)
Kesimpulan
Dibuang
Perlu revisi
Dapat dipakai
Dapat dipakai
Dapat dipakai
Dapat dipakai
57
Berdasarkan hasil perhitungan uji coba instrumen komunikasi matematis,
semua soal dinyatakan valid, dan memiliki reliabilitas yang tinggi, maka
instrumen tes ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi
matematis siswa. Selanjutnya untuk tingkat kesukaran berada pada kategori
sedang dan daya pembeda pada kategori baik dan sangat baik. Soal-soal yang
akan digunakan telah memenuhi kriteria soal yang, dan soal tersebut layak
digunakan pada kelas terbatas.
b) Skala Kemandirian Belajar
Skala kemandirian belajar pada penelitian ini mengukur empat indikator,
yaitu merencanakan pembelajaran, memantau pembelajaran, mengevaluasi
pembelajaran dan merefleksi pembelajaran. Skala kemandirian belajar pada
penelitian ini mengacu dan mengadaptasi pada skala kemandirian belajar
yang dibakukan dalam disertasi karya Ibu Sri Hastuti Noer.
Skala kemandirian belajar ini dibuat untuk melihat kemandirian belajar siswa
sebelum dan sesudah mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan
produk yang telah dikembangkan. Skala ini dibuat berdasarkan skala likert
dengan pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat
tidak setuju. Sebelum digunakan pada uji lapangan, skala kemandirian belajar
divalidasi oleh ahli, yaitu Mirra Septia Veranika. Beliau adalah counselor di
Sekolah Darma Bangsa. Tujuan dari validasi ini adalah melihat kesesuaian isi
dengan indikator dan tujuan pembuatan skala.
Kriteria yang menjadi penilaian antara lain; (1) keterkaitan indikator dengan
tujuan, (2) kesesuaian pernyataan dengan indikator yang diukur, (3) kesesuaian antara pernyataan dengan tujuan, serta (4) penggunaan bahasa yang baik
58
dan benar. Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh ahli, skala kemandirian
belajar memenuhi kriteria baik dan dinyatakan layak digunakan pada kelas
terbatas. Kisi-kisi kemandirian belajar dapat dilihat pada Lampiran B.9
halaman 306.
Perhitungan skor skala kemandirian belajar siswa menggunakan penskalaan
respon menurut Azwar (2016). Prosedur perhitungannya sebagai berikut.
a. Menghitung frekuensi masing-masing kategori tiap butir pernyataan.
b. Menentukan proporsi masing-masing kategori.
c. Menghitung besarnya proporsi kumulatif.
d. Menghitung nilai dari
=
kumulatif dalam kategori sebelah kiri.
+
, dimana
= proporsi
e. Mencari dalam tabel distribusi normal standar bilangan baku (z) yang
sesuai dengan pktengah.
f. Menjumlahkan nilai z dengan suatu konstanta k sehingga diperoleh nilai
terkecil dari z + k = 1 untuk suatu kategori pada satu pernyataan.
g. Membulatkan hasil penjumlahan pada langkah f.
Hasil pembulatan ini merupakan skor untuk masing-masing kategori tiap butir
pernyataan skala kemandirian belajar. Skor untuk setiap kategori adalah
sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju setiap pernyataan
bervariasi antara 1 sampai dengan 6 dengan skor maksimum ideal 138 yang
dapat dilihat pada Tabel 3.9 dan perhitungan lengkap terdapat pada Lampiran
C.4 halaman 319. Skala kemandirian belajar ini diberikan sebelum dan
setelah pembelajaran untuk melihat kemandirian belajar setiap siswa pada
kelas terbatas.
59
Tabel 3.9 Skor Pernyataan Skala Kemandirian Belajar Siswa
Nomor
Pernyataan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
SS
6
6
1
6
5
1
6
5
6
6
Skor
S
TS
4
3
4
3
2
3
4
3
3
2
3
4
5
3
4
3
3
2
4
3
STS
1
1
4
1
1
6
1
1
1
1
Nomor
Pernyataan
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
SS
1
5
4
1
6
4
6
4
6
4
Skor
S
TS
3
5
4
3
3
2
4
5
5
3
3
2
4
3
3
2
4
3
2
2
STS
6
1
1
6
1
1
1
1
1
1
E. Teknik Analisis Instrumen
Teknik analisis data pada penelitian ini dijelaskan berdasarkan jenis instrumen
yang digunakan dalam setiap tahapan penelitian dan pengembangan.
1.
Teknik Analisis Instrumen Studi Pendahuluan
Data studi pendahuluan berupa hasil observasi dan wawancara dianalisis secara
deskriptif sebagai latar belakang diperlukannya media. Hasil review berbagai
buku teks serta KI dan KD Matematika SMP juga dianalisis secara deskriptif
sebagai acuan untuk menyusun media.
2.
Teknis Analisis Instrumen Kelayakan
Data yang diperoleh saat validasi media berbasis strategi scaffolding adalah hasil
penilaian validator terhadap media melalui skala kelayakan. Analisis yang
dilakukan berupa deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif berupa
komentar dan saran dari validator dideskripsikan secara kualitatif sebagai acuan
untuk memperbaiki media. Data kuantitatif berupa penilaian ahli materi, bahasa
dan desain dideskripsikan secara kuantitatif menggunakan skala likert dengan skor
4, kemudian dijelaskan secara kualitatif. Skala yang digunakan dalam penelitian
dan pengembangan ini adalah kurang baik dengan skor 1, cukup baik dengan skor
2, baik dengan skor 3, dan sangat baik dengan skor 4.
60
Langkah-langkah menyusun kriteria penilaian sebagai berikut.
1) Menentukan jumlah interval
2) Menentukan rentang skor, yaitu skor maksimum dan skor minimum
3) Menghitung panjang kelas (p), yaitu rentang skor dibagi jumlah kelas
4) Menyusun kelas interval dimulai dari skor terkecil sampai terbesar
Kategori penilaian dan interval nilai setiap kategori ditunjukkan pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10 Interval Nilai Tiap Kategori Penilaian
No.
1
2
3
4
Kategori Penilaian
Sangat Baik
Baik
Kurang
Sangat Kurang
Interval Nilai
(S min + 3p) < S ≤ S maks
(S min + 2p) < S < (S min + 3p – 1)
(S min + p) < S < (S min + 2p – 1)
(S min) < S < (S min + p – 1)
Keterangan
S
: Skor responden
p
: Panjang interval kelas
S min : Skor terendah
S max : Skor tertinggi
3.
Teknik Analisis Instrumen Uji Perseorangan dan Kelas Kecil
Teknik analisis data pada saat uji perseorangan dan kelas kecil, dilakukan dengan
menganalisis lembar skala yang diberikan pada siswa setelah uji media berbasis
strategi scaffolding melalui pendekatan inquiry pada materi himpunan selesai
dilakukan. Teknik Analisis ini digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan
siswa dalam memahami media berbasis strategi scaffolding. Skala respon siswa
dianalisis menggunakan skala likert dengan empat kriteria, interval nilai dan
kriteria penilaian yang digunakan sama dengan analisis saat tahap validasi media
oleh ahli, yaitu pada Tabel 3.10.
61
4.
Teknik Analisis Instrumen Uji Terbatas
Teknik analisis data yang diperoleh saat pemberian instrumen di uji terbatas ada
dua, yaitu data kemampuan komunikasi matematis dan data kemandirian belajar
siswa. Keduanya dijelaskan sebagai berikut.
(a) Kemampuan Komunikasi Matematis
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan tes
kemampuan komunikasi matematis sebelum dan setelah pembelajaran. Untuk
mengukur besarnya peningkatan kemampuan komunikasi matematis,
dilakukan dengan cara melihat gain ternormalisasinya. Besarnya peningkatan
dan kategori efektivitas dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (g).
( )=
(g)
= gain ternormalisasi
(Sf)
= nilai posttest
(Si)
= nilai pretest
Sm
= nilai maksimum
−( )
−
Hasil perhitungan gain diintepretasikan dengan menggunakan klasifikasi
Hake. Tingkat efektivitas berdasarkan rata-rata nilai gain ternormalisasi
dapat dilihat pada Tabel 3.11.
Tabel 3.11 Nilai Rata-rata Gain Ternormalisasi dan Klasifikasinya
Rata-rata Gain
Klasifikasi
Tingkat Efektivitas
(g) ≥ 0,70
Tinggi
Efektif
0,30 ≤ (g) < 0,70
Sedang
Cukup Efektif
(g) < 0,30
Rendah
Kurang Efektif
Ternormalisasi
Sumber (Hake, 1999: 1)
62
Dari Tabel 3.11 terlihat bahwa peningkatan dikatakan efektif jika gain
≥ 0,70 dengan klasifikasi tinggi, cukup efektif jika didapat gain ≥ 0,30 dan
< 0,70 dengan klasifikasi sedang dan kurang efektif jika gain < 0,30 dengan
klasifikasi rendah.
(b) Kemandirian Belajar
Skala kemandirian belajar yang digunakan adalah angket berupa daftar cek.
Pengukuran skor untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dilakukan
menggunakan acuan pada Tabel 3.9. Skala kemandirian belajar diberikan
pada awal dan akhir pembelajaran, kemudian untuk melihat peningkatan
dilakukan dengan membandingkan skor yang didapat pada awal dan akhir
pembelajaran.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai berikut.
A. Kesimpulan
1.
Pengembangan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekaan inquiry
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian
belajar siswa, dikembangkan melalui dua tahap, yaitu pendahuluan dan uji
formatif. Tahap uji formatif melalui beberapa uji, yaitu (1) evalusi diri yang
dilakukan untuk meninjau ulang produk yang telah dibuat, (2) uji ahli dengan
kelayakan pada kategori sangat baik, (3) uji perseorangan dengan kelayakan
pada kategori sangat baik, (4) uji kelas kecil dengan kelayakan pada kategori
sangat baik, dan (5) uji terbatas.
2.
Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas
uji terbatas, yaitu 78% dan peningkatan ini dalam kategori efektif.
3.
Terdapat peningkatan kemandirian belajar siswa pada kelas uji terbatas, yaitu
17% namun peningkatan ini masuk dalam kategori kurang efektif.
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan dari penelitian ini, dikemukakan saran-saran
sebagai berikut.
1.
Guru yang ingin menggunakan media berbasis strategi scaffolding melalui
pendekatan inquiry untuk membantu peningkatan komunikasi matematis dan
kemandirian belajar siswa hendaknya memperhatikan hal-hal berikut.
94
a. Media-media berbasis strategi scaffolding yang diberikan hendaknya
mudah dimengerti oleh siswa.
b. Waktu yang digunakan pada pendekatan inquiry, agar semua tahapan
tercapai.
c. Membiasakan siswa untuk lebih mandiri, dengan cara meminta siswa
memperhatikan tujuan belajar, membuat strategi belajar, mengevaluasi
dan merefleksi pembelajaran dan menggunakan media-media scaffolding
yang diberikan oleh guru.
2.
Peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian lanjutan hendaknya
memperhatikan hal-hal berikut.
a. Melakukan penelitian dalam jangka waktu lebih lama, terutama untuk
melihat kemandirian belajar siswa. Ini dikarenakan untuk merubah sikap
seseorang membutuhkan waktu yang lama.
b. Membuat media-media berbasis strategi scaffolding yang komunikatif
agar mudah dimengerti oleh siswa.
C. Rekomendasi
Berdasarkan hasil kesimpulan dari penelitian ini, rekomendasi yang dapat
diajukan sebagai berikut.
1.
Penggunaan media berbasis strategi scaffolding melalui pendekaan inquiry
dalam pembelajaran Matematika hendaknya menjadi salah satu alternatif
untuk meningkatkan komunikasi matematis siswa.
2.
Pendekatan inqury dalam pembelajaran Matematika dapat digunakan untuk
meningkatkan aktivitas siswa, terutama dalam menemukan suatu konsep
Matematika.
95
DAFTAR PUSTAKA
Akker J., Nieveen, N., dan McKenney, S. 2006. Education Design Research.
London and Newyork: Routledge.
Anjani, 2013. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Menggunakan
Pendekatan Kontekstual Dengan Teknik Scaffolding. Skripsi. Universitas
Pendidikan Indonesia. Tersedia di repository.upi.edu. [Diakses 23
September 2015].
Ansari, B. I. 2009. Komunikasi Matematika Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh:
Pena.
Amiripour, P., Mofidi, S.A., Shahvarani, A.2012. ‘Scaffolding as Effective
Method for Mathematical Learning’. Indian Journal of Science and
Technology Vol. 5. No. 9 (Sep. 2012).
Arikunto, S. 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Azwar, S. 2016. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dimyati dan Mudjiono. 2013. Belajar dan Pembelajaran. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Echols, J. M dan Shadily, H. 2003. An English-Indonesian Dictionary. PT.
Gramedia: Jakarta.
Febriastuti, Y. D. 2013. Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa SMPN 2 Geyer
Melalui Pembelajaran Inquiry Berbasis Proyek. Skripsi. Semarang.
Hake, R. 1999. Analizing Change/Gain Scores. Tersedia di http://www.physics.
indiana.edu. [Diakses 15 Oktober 2015].
Hamalik, O. 2003. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinarbaru Algesindo.
Hamzah dan Muhlisrarini. 2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran
Matematika. Jakarta: Rajawali Pers.
96
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran
Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.
Iriantara, Y. 2014. Komunikasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia online. 2015. http://kbbi.web.id/komunikasi.
[Diakses 26 Mei 2015]
Kemendikbud. 2013. Permendikbud No 65 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar
dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kuhlthau, C.C., Maniotes, L. K., and Caspari, A K. 2007. Guided inquiry:
learning in the 21st century school. Libraries Unlimited.
Kustandi, C. dan Sutjipto, B. 2013. Media Pembelajaran. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia.
Machmud, T. 2011. ‘Scaffolding Strategy In Mathematics Learning’.
International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics
Education 2011. Department of Mathematics Education, Yogyakarta State
University: Yogyakarta.
Malawi, I. dan Tristiar, AA. 2013. ‘Pengaruh Konsentarasi dan Kemampuan
Berpikir Kritis Terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas V SDN
Manisrejo I Kabupaten Magetan’. Jurnal Premiere educandum. Vol 3, no 2.
http://e-journal.ikippgrimadiun.ac.id. [Diakses 6 Juni 2016].
McKenzie, J. 1999. ‘Scaffolding for Success’. The Educational Technology
Journal, Vol. 9, No. 4, Desember 1999. Tersedia di http://fno.org/dec99/
scaffold.html. [Diakses 10 September 2015].
McLeod, S. 2010. Zone of Proximal Development. Tersedia di: http://www.
simplypsychology.org/Zone-of-Proximal-Development.html. [Diakses 24
Agustus 2015].
Nakata, Y. 2010. ‘Toward a Framework for Self-Regulated Language-Learning’.
Jurnal Vol. 27, No 2, Spring 2010. Canada. Tersedia di http://files.eric.ed.
gov/fulltext/EJ924054.pdf. [Diakses 23 April 2015].
National Council for Teachers of Mathematics. 2004. Executive Summary
Principles and Standards for School Mathematic. http://www.nctm.org.
[Diakses 26 Mei 2015].
Nia, D. 2015. 13 Kelemahan Guru dalam Mengajar dan Solusinya. Artikel.
Tersedia di http://www.sekolahdasar.net. [Diakses 11 November 2016].
Nodoushan, M.A.S,. ‘Self-regulated Learning (SRL): Emergence of the RSRLM
Model. Iran’. Jurnal internasional Vol. 6(3), 2012 (pp. 1-16). Tersedia di
http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED533138.pdf. [Diakses 25 April 2015].
97
Prabawanto, 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi,
Dan Self- Efficacy Matematis Mahasiswa Melalui Pembelajaran Dengan
Pendekatan Metacognitive Scaffolding. Disertasi. Universitas Pendidikan
Indonesia. Tersedia di repository.upi.edu. [Diakses 23 September 2015].
Pujiastuti. 2014. Pembelajaran Inquiry Co-Operation Model Untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi, dan Self-Esteem Matematis
Siswa SMP. Disertasi. Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia di
repository.upi.edu. [Diakses 23 September 2015].
Putri, N. D. 2015. ‘Penggunaan Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika’.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
UNDIP 2015, ISBN: 978-979-097-402-9. SNMPM Undip.
Rosyidah. 2010. Hubungan antara kemandirian belajar dengan hasil belajar
matematika pada siswa MTsN Parung Bogor. Skripsi. UIN: Jakarta.
Tersedia di http://repository.uinjkt.ac.id. [Diakses 24 April 2015].
Rusman. 2014. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, W. 2012. Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: PT Fajar
Interpratama Mandiri.
Sardiman, A.M. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Suara Pembaruan. 2015. Persentase Minat Baca Indonesia Hanya 0,01 Persen.
Berita. Tersedia di http://sp.beritasatu.com. [Diakses 3 Juni 2016].
Sudijono, A. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Pustaka.
Sumarmo, U. 2006. Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika Pada
siswa sekolah menengah. Tersedia di https://iissipit.files.wordpress.com.
[Diakses 26 Mei 2015].
Sumarmo, U. 2010. Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana
dikembangkan pada peserta didik. Tersedia di http://math.sps.upi.edu.
[Diakses 25 April 2015]
Sulistiyaningsih, Budiyono, dan Purwoko, R.W. 2013. ‘Kemandirian Belajar dan
Prestasi Belajar Matematika siswa SMPN 27 Purworejo’. Jurnal Program
Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo:
Purworejo.
Sutiarso. 2009. ‘Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika’. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
98
Tahar I, dan Enceng. 2006. ‘Hubungan Kemandirian Belajar dan Hasil Belajar
Pada Pendidikan Jarak Jauh’. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh,
Volume. 7, Nomor 2, September 2006. Tersedia di http://lppm.ut.ac.id.
[Diakses 24 April 2015].
Tessemer, M. 1993. Planning and Conducting Formative Evaluations. London
dan New York: Routledge Taylor dan Francis Croup.
The Math Forum. 2006. Scaffolding for the Math Writing (and talking) Process.
Drexel University: Drexel School of Education.
Tirtarahardja, U. dan Sulo, L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Trianto. 2009. Pembelajaran Inovatif Berorientasi kontruktivistik. Jakarta: Bumi
Aksara.
Vohs, K. D. dan Baumeister, R. F. 2011. Handbook of Self-Regulation second
edition. New York: The Guilford Press.
Download