PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI

advertisement
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
(S.6)
PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS DENGAN
SKAFFOLDING
(Sebuah Kaus di Kelas Akselerasi SMPN 3 Malang)
Oleh : Turmudi*)
ABSTRAK
Sejak konstruktivisme digunakan sebagai cara berpikir tentang pengetahuan dan
tindakan belajar terjadi perubahan pendekatan pembelajaran di dalam kelas. Pada
pendekatan tradisional menempatkan guru sebagai tokoh sentral dalam proses
pengajaran yang berperan mentransfer pengetahuan mereka kepada siswa, berubah ke
arah pembelajaran yang berpusat kepada siswa.
Perubahan-perubahan terhadap pendekatan pengajaran tradisional akan terwujud
apabila peran guru berubah dari menunjukkan dan mengatakan ke bimbingan yang
responsif untuk pengembangan daya fikir siswa itu sendiri. Seperti dikatakan Heberman
dalam Diaz (2006) bahwa guru yang efektif harus menarik keluar pengetahuan dari
siswa , bukan mengisinya.
Salah satu cara di mana peran guru telah dikonseptualisasikan adalah melalui
penggunaan metafora scaffolding yang pertama kali istilah itu digunakan oleh Wood
dkk (1976) untuk mengeksplorasi sifat interaksi orang dewasa dalam belajar anak-anak,
khususnya dukungan bahwa orang dewasa menyediakan membantu anak untuk belajar
bagaimana melakukan tugas yang tidak dapat dikuasai sendiri.
Kajian ini merupakan studi kasus yang membahas penerapan scaffolding untuk
peningkatan Pembelajaran matematika di kelas Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Studi kasus ini mengambil subjek Guru Matematika di suatu SMP negeri di Malang
yang menyelenggarakan program akselerasi.
Scaffolding pada Kegiatan Kelas
Menurut teori yang diajukan Vygotsky bahwa proses belajar terjadi ketika anak
masih berada pada jangkauan ZPD mereka. Dalam tingkat ZPD, anak mempunyai
kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya
yang lebih mampu (Sheffer, 1996). Bantuan siswa dalam belajar itu dikenalkan oleh
Vygotsky (1978) sebagai scaffolding, yang berarti memberikan kepada seorang anak
sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 236
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah mampu mengerjakan
sendiri. Pengertian itu juga sejalan dengan yang dikemukakan Wood dkk., bahwa
‘scaffolding’ merefleksikan cara orang dewasa membantu siswa ketika dia belajar dan
pada akhirnya melepasnya ketika dia sudah bisa mandiri (Wood, Bruner, & Ross, 1976).
Untuk kegiatan kelas, Angghileri (2006) mengajukan tingkatan penerapan
skoffolding dengan memilah scaffolding pada tiga level dukungan guru. Level 1
merujuk kepada petunjuk (promt) dan rangsangan yang ada di lingkungan, baik sebagai
hasil dari perencanaan yang sadar atau secara tidak sengaja (default), yang melayani
untuk mendukung belajar siswa dalam matematika. Level 2 melibatkan interaksi
langsung antara guru dan siswa yang difokuskan pada tugas. Strategi tersebut bervariasi
dari instruksi langsung yang menunjukkan dan memberitahu kearah membuat makna
yang lebih kolaboratif. Level 3 bertujuan untuk membuat koneksi antara pengetahuan
awal siswa dan pengalaman dengan matematika baru yang akan dipelajari dengan cara
mengembangkan alat representasi dan membangun wacana konseptual adalah dua
daerah yang dipertimbangkan di sini.
A. Perubahan Paradigma Pembelajaran
Abad ke-21 ini ditandai dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi
pembelajaran. Kemajuan ini telah merubah paradigma dalam pendidikan matematika
yang menekankan pada metode-metode kreatif dalam pengajaran dan pembelajaran
matematika yang dapat memupuk kemampuan memecahkan masalah, keterampilan
berpikir tingkat tinggi, belajar mandiri, kerja tim dan kemampuan komunikasi.
Para pakar dan praktisi pendidikan telah aktif terlibat dalam penelitian tentang
pendidikan matematika. Temuannya telah banyak diadops dan digunakan dalam
menentukan kebijakan yang membantu pengajaran matematika yang efektif.
Diharapkan bahwa para siswa akan terlibat dalam pembelajaran lebih bermakna dan
berbagai keterampilan berfikir siswa.
Meskipun banyak laporan yang telah menunjukkan tentang kemajuan kinerja
siswa, matematika tampaknya masih menjadi salah satu mata pelajaran yang sulit bagi
siswa. Von Glaserfeld (1995) mengatakan bahwa 'Pendidik’ telah memperhatikan
bahwa banyak siswa yang cukup mampu untuk mempelajari formula yang diperlukan
dan menerapkannya pada jangkauan terbatas dari situasi buku teks dan tes, tetapi ketika
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 237
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
dihadapkan dengan masalah baru, menunjukkan bahwa mereka jauh dari sudah
mengerti konsep-konsep yang relevan dan hubungan konseptual.
Di Indonesia rendahnya kualitas matematika dapat dilihat dari temuan hasil
penelitian tim Programme of International Student Assessment (PISA) 2001
menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 41 negara pada kategori
literacy matematika. Sementara itu, menurut penelitian Trends in International
Mathematics and Science Study - Repeat (TIMMS-R)1999, yang membandingkan
prestasi matematika dan sains siswa kelas delapan diantara 38
*) Dosen Matematika di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang sedang mengikuti
Program Pendidikan Doktor Falsafah Matematik di Universitas Pendidikan Sultan Idris
Malaysia Angkatan Tahun 2009.
negara, Indonesia adalah salah satu di antara 38 negara yang berpartisipasi dalam
penelitian ini. Temuan menunjukkan bahwa pencapaian rata-rata matematika di semua
lima bidang matematika siswa Indonesia adalah 403, lebih rendah daripada rata
internasional 487. Dalam hal peringkat, Indonesia ditempatkan di nomor 34 dari 38.
Singapura menduduki peringkat pertama dengan rata-rata 604 poin dan Malaysia
peringkat ke 16 dengan rata-rata 519 poin. (TIMMS, 1999).
Setelah sepuluh tahun reformasi sistem pendidikan, peringkat Indonesia tidak
beranjak dari peringkat papan bawah. Seperti ditunjukkan dalam laporan TIMMS tahun
2007, Indonesia berada pada peringkat ke 36 dari 48 negara peserta dengan rata-rata 397
poin, sementara Singapura berada pada peringkat ke 3 dengan rata-rata 593 poin dan
Malaysia berada pada peringkat ke 20 dengan rata 474 poin.(TMMS, 2007).
Peringkat
Indonesia
berada
di
bawah
Malaysia
dan
Singapura,
padahal berdasarkan hasil penelitian TIMMS yang dilakukan oleh Frederick K. S.
Leung (2003) bahwa jumlah jam pelajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak
dibandingkan Malaysia dan Singapura. Dalam satu tahun, siswa kelas 8 di Indonesia
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 238
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika. Sementara di Malaysia hanya
mendapat 120 jam dan Singapura 112 jam. Waktu yang dihabiskan siswa Indonesia di
sekolah tidak sebanding dengan prestasi yang diraih. Itu artinya, ada sesuatu dengan
metode matematika di negara ini, seperti yang ditemukan dalam penelitian Frederick
dari TIMMS. Dalam penelitian itu, Frederick dari Universitas Hongkong menyebutkan,
mayoritas soal yang diberikan guru matematika di Indonesia terlalu kaku. Umumnya,
siswa di Indonesia lebih banyak mengerjakan soal yang diekspresikan dalam bahasa dan
simbol matematika yang diset dalam konteks yang jauh dari realitas kehidupan seharihari (TIMMS,203). Ini berarti bahwa siswa Indonesia kelas delapan dianggap kurang
atau tidak memiliki pemahaman matematika, kompetensi strategis, dan keterampilan
penalaran yang memadai untuk matematika.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi dan berkontribusi bagi pemahaman
matematika dan prestasi siswa. Pemahaman matematika mempunyai implikasi yang luas
dalam pengembangan akademis di sekolah dan mempunyai peran yang yang sangat
penting dalam meningkatkan kemajuan masyarakat khusunya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di masa mendatang. Sebagai contoh, di Singapura yang nilai
matematikanya sangat tinggi, karena
matematika di sekolah dasar
sekolah pertama
menempatkan aspek dan pembelajaran
biasanya dipersiapkan untuk sekolah menengah atau
(Kaur dan Pereira, 2000). Sedangkan di Indonesia seperti
dikemukakan oleh Marpaung (2003) ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya
mutu pendidikan, tanpa mengabaikan faktor eksternal, faktor internal yang tidak kurang
pentinya adalah tidak adanya perubahan dalam proses pengajaran dan pembelajaran
matematika dan assesmenya. Proses pembelajaran pada umumnya berlangsung secara
tradisional, yaitu bersifat mekanistik yang hanya menghasilkan pemahaman
instrumental. Siswa tidak diberdayakan untuk berfikir yang lebih canggih, kemampuan
yang dikembangkan hanyalah kemampuan menghapal dan kemampuan kognitif aras
rendah. Strategi pembelajaran semacam itu mempromosikan penguasaan pengetahuan
secara prosedural, dengan guru sebagai pemberi dan murid sebagai penerima, tetapi
tidak mempromosikan pandangan bahwa siswa memiliki potensi untuk membangun,
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 239
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
membuat rencana, memonitor, mengajukan alasan, dan mengevaluasi pengetahuan
mereka.
Sejak konstruktivisme digunakan sebagai cara berpikir tentang pengetahuan dan
tindakan belajar terjadi perubahan pendekatan pembelajaran di dalam kelas. Pendekatan
tradisional menempatkan guru sebagai tokoh sentral dalam proses pengajaran yang
berperan mentransfer pengetahuan mereka kepada siswa, berubah ke arah pembelajaran
yang berpusat kepada siswa.
Pembelajaran matematika dikatakan memiliki paradigma konstruktivis dalam
proses belajar-mengajar jika siswa secara aktif mengkonstruksi suatu makna ketika
mereka berpartisipasi dalam upaya meningkatkan kemajuan praktek-praktek matematis
(Cobb, Yackel & McClain, 2000).
Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis
tersebut akan mendorong siswa secara aktif mengembangkan belajar mereka sendiri.
Model pembelajaran ini akan memberikan lebih banyak kebebasan siswa dalam
memahami dunia mereka dengan cara menemukan atau mengembangkan diri mereka
sendiri.
Perubahan-perubahan terhadap pendekatan pengajaran tradisional akan terwujud
apabila peran guru berubah dari ‘menunjukkan dan mengatakan’ ke bimbingan yang
responsif untuk pengembangan daya fikir siswa. Seperti dikatakan Heberman dalam
Diaz (2006) bahwa guru yang efektif harus ‘menarik keluar’ pengetahuan dari kepala
siswa , bukan mengisinya.
Agar guru bisa mengajar di lingkungan sekolah yang terus berubah, tentunya
mereka harus mampu menyesuaikan pengetahuan dan keterampilan pada situasi kelas
tertentu dan untuk anak tertentu. Ini berarti bahwa guru harus mampu merenungkan dan
memikirkan praktik mengajar mereka secara kritis dan kreatif. Selanjutnya guru dapat
menyesuaikan peran mereka, yang tidak lagi pemegang penuh otoritas kelas seperti
yang terjadi pada kelas tradisional tetapi lebih berperan sebagai pembimbing belajar dan
pemantau kemajuan pencapaian siswa.
Bimbingan guru kepada siswa membutuhkan sejumlah dukungan bagi
pengembangan daya fikir siswa, yaitu dengan cara mengembangkan daya fikir tiap-tiap
individu agar menjadi generasi mendatang yang memiliki pemahaman matematika yang
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 240
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
valid. Menurut Anghileri hal ini berkaitan dengan semakin diterimanya secara luas
gagasan pembelajaran konstruksi dan paradigma belajar konstruktivis. Selanjutnya
Anghileri menyatakan bahwa fungsi guru sebagai rekan yang memiliki misi khusus dan
kekuasaan di budaya kelas. Oleh karena itu, guru harus mengambil perhatian khusus
terhadap kekayaan budaya kelas, dalam penawaran, tantangan, alternatif, dan model,
termasuk 'languaging' (Anghileri, 2006)
Salah satu cara di mana peran guru telah dikonseptualisasikan adalah melalui
penggunaan metafora scaffolding yang pertama kali digunakan oleh Wood dkk (1976)
untuk mengeksplorasi sifat interaksi orang dewasa dalam belajar anak-anak, khususnya
dukungan bahwa orang dewasa menyediakan dalam membantu anak untuk belajar
bagaimana melakukan tugas yang tidak dapat dikuasai sendiri.
Makalah ini membahas upaya peningkatan pembelajaran matematika di kelas
dengan penerapan scaffolding.
B. Akar Teoritis Pembelajaran dengan Scaffolding
Model pembelajaran konstruktivis didasarkan terutama pada karya psikolog Swiss
Jean Piaget dan teori sosial pikiran Vygotsky. Di satu sisi mereka mempunyai gagasan
yang berbeda tetapi keduanya memandang sama bahwa pengetahuan dibangun dari
aktivitas mental yang dikembangkan oleh siswa itu sendiri. Uraian berikut akan
memberi gambaran tentang teori belajar, baik oleh Piaget maupun Vygotsky, terutama
jika dikaitkan dengan model pembelajaran konstruktivisme.
Menurut Piaget, cara yang yang digunakan organisme untuk mengembangkan
kemajuan intelektual mereka didasarkan pada kedua fungsi yaitu organisasi dan
adaptasi. Slavin juga menggaris bawahi pandangan Piaget bahwa pengetahuan didapat
dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa bergantung pada keaktifannya
berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).
Organisasi mengacu pada kemampuan untuk mengestimasi atau mengorganisasi
proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem yang teratur dan berhubungan.
Sedangkan kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan dikendalikan
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 241
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
melalui organisasi-organisasi mental yang disebut skema. Dengan skema anak akan
memproses dan mengatur informasi dalam mentalnya. Hudojo (2003, p.59) menyatakan
skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Slavin (2000, p.30) juga
menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku dan pemikiran yang disebut
skema. Jadi mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan Slavin, skema adalah pola
tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang kembali. Dengan demikian, skema
adalah struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan dengan
lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan terhadap suatu skema baru
mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa.
Piaget menduga bahwa skema manusia beroperasi sejak mereka dilahirkan, yang
disebut refleks, yang mengendalikan perilaku kebanyakan binatang sepanjang hidup
mereka. Berbeda dengan binatang, manusia sebaliknya, mereka beradaptasi dengan
lingkungan mereka dengan mengganti refleks mereka dengan skema yang dibangun
melalui dunia dengan kedua cara yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi merupakan proses kognitif seseorang yang mengintegrasikan persepsi,
konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Jika seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru pada
skema yang telah ada, karena tidak cocok, maka orang akan melakukan akomodasi. Ini
dilakukan dengan membangun skema baru yang cocok atau memodifikasi skema yang
sudah ada agar menjadi cocok dengan rangsangan atau pengalaman yang baru.
Seseorang melakukan adapatasi jika telah terjadi keseimbangan (equilibrium) antara
asimilasi atau akomodasi. Sebaliknya jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan
lingkungannya maka dikatakan dalam kondisi ketidakseimbangan (disequilibrium).
Dalam keadaan ketidakseimbangan itu individu melakukan akomodasi dan struktur
yang ada mengalami perubahan atau terbangunnya struktur yang baru. Perkembangan
intelektual ini (equilibrium dan disequilibriu) merupakan proses yang terus dalam
aktivitas berfikir seseorang, dan ketika terjadi keseimbangan maka dikatakan bahwa
intelektual individu berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari pada sebelumnya.
Menurtu Piaget bahwa proses belajar terkait dengan tingkat perkembangan
intelektual anak, yaitu Proses kedewasaan individu menjadi faktor utama yang
memepengaruhi pembelajaran siswa. Karena kedewasaan seseorang mencerminkan
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 242
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
karakteristik individual, maka proses pembelajaran menurut Piaget lebih bersifat
internal pada individu itu sendiri. Dari sini teorinya Piaget lebih dikenal dengan teori
kognitif individual.
Namun mendasarkan pada pandangan Piaget yang bersifat individual tersebut
memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting. Jika individu–individu membangun
pengetahuan mereka sendiri, bagaimana suatu kelompok individu (grup sosial) dapat
saling tukar pikiran? Apakah individu yang membangun pengetahuan itu bebas dari
faktor-faktor eksternal? Bagaimana kebenaran yang dibangun oleh individu bisa diakui
kebenarannya secara bersama-sama, dan menjadi milik mereka bersama? Konstruksi
adalah suatu proses dimana pengetahuan dibangun dan diuji secara kontinu.
Pengetahuan mereka harus diuji kebenarannya oleh dunia luar individu atau grup sosial
untuk selajutnya diterima sebagai pengetahuan mereka bersama. Hal ini sejalan dengan
yang disampaikan Ernest (1991) bahwa konstruktivisme merupakan proses sosial antar
pribadi yang diperlukan untuk mengubah pengetahuan matematika subyektif individual
menjadi pengetahuan matematika objektif. Dan objektivitas itu sendiri dipahami sebagai
sosial artinya menjadi pengetahuan yang objektif jika sudah ada pengujian dan
penerimaan secara sosial (social accepted).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas kita biasa menggunakan gagasan
Vygotsky tentang teori kognitif sosial. Konstruktivis Vygotskian memandang bahwa
pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antara individu dan keadaan tersebut dapat
disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi
intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu ekivalen dengan
pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual, yaitu melalui proses regulasi diri
secara internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan
pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individu (Sheffer, 1996. p.274-275).
Ada dua point penting yang dapat di ambil dari teori Vygostsky, yaitu : (1) fungsi
dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai dari proses pencandraan
terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan. (2)
tentang Zona of Proximal Development (ZPD). Guru sebagai mediator memiliki peran
mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan,
pengertian dan kompetensi. (Dixon-Kraus, 1996:8). Dengan demikian dalam pandangan
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 243
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
Vygotsky bahwa pembelajaran merupakan aspek sosiokultural, yaitu proses yang
menekankan pada aspek interkasi sosial masing-masing individu dalam budaya mereka.
Disamping itu menurut Vygostky bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum diperlajari namun tugas tugas itu masih dalam
jangkauan kemampuannya atau disebut bahwa tugas-tugas itu berada dalam Zona of
Proximal Development mereka. Zona of Proximal Development adalah daerah antar
tingkat
perkembangan
sesungguhnya
yang
didefinisikan
sebagai
kemampuan
memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial, yaitu
kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya
yang lebih mampu (Sheffer, 1996).
Teori Vygotsky pada prinsipnya berbeda karakteristik dengan teori Piaget. Jika
teori Piaget lebih bersifat internal individual, secara jelas bahwa teori Vygotsky bersifat
eksternal, karena Vygotsky lebih menekankan pada faktor luar dalam proses
pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa pengetahuan dibangun siswa dalam konteks
budaya dan atas interaksinya dengan teman teman sebaya. Menurut dia bahwa
pengetahuan tidak bisa dibangun tanpa interaksi sosial.
C. Scaffolding dan Level-level pada Kegiatan Kelas
Menurut teori yang diajukan Vygotsky bahwa proses belajar terjadi ketika anak
masih berada pada jangkauan Zona of Proxymal Development, suatu zona tentang
kemampuan memecahkan masalah. Hal ini mengindikasikan tentang kemungkinan
pencapaian siswa terhadap tugas-tugas yang diberikan. Vygotsky mengemukakan ada
tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan masalah, yaitu (1) siswa
memcapai keberhasilan dengan baik secara mandiri, (2) siswa mencapai keberhasilan
dengan bantuan, dan (3) siswa gagal meraih keberhasilan. ZPD adalah daerah level (2),
yaitu antara
Zona of Actual Develompment (ZAD)
yang didefinisikan sebagai
kemampuan memecahkan masalah secara mandiri level (1) dan tingkat perkembangan
potensial level (3), anak tidak mampu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Berarti
dalam tingkat ZPD mereka anak mempunyai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Sheffer, 1996).
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 244
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
Bantuan siswa dalam belajar itu dikenalkan oleh Vygotsky sebagai scaffolding,
yang berarti memberikan kepada seorang anak sejumlah besar bantuan selama tahaptahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar
setelah mampu mengerjakan sendiri (Vygotsky, 1978:5). Pengertian itu juga sejalan
dengan yang dikemukakan Wood dkk., bahwa ‘scaffolding’ merefleksikan cara orang
dewasa membantu siswa ketika dia belajar dan pada akhirnya melepasnya ketika dia
sudah bisa mandiri (Wood, Bruner, & Ross, 1976). Demikian juga Tharpe dan
Gallimore (1988) menggunakan istilah ‘assited learning’ (belajar berbantuan) untuk
mengembangkan pengelompokan interaksi orang dewasa.
Hal ini konsisten dengan gagasan Vygotsky (1978) tentang Zona Proksimal
Development (ZPD) yang menunjukkan hubungan terbalik antara dukungan guru dan
kemandirian siswa. Siswa yang lebih tergantung pada dukungan guru mungkin
diharapkan akan bekerja di marjin (batas) ZPD mereka, membutuhkan guru untuk
model, prompt, mendemonstrasikan, atau melatih, untuk memperoleh pemahaman dan
wawasan baru. Sedangkan siswa yang kurang tergantung pada dukungan guru mungkin
diharapkan akan berjalan dengan baik di dalam ZPD mereka, yang memerlukan sedikit
atau tidak ada intervensi dari guru, dan mengakses berbagai strategi metakognitif yang
tepat untuk memonitor belajar mereka sendiri. Dalam hal ini, serangkaian tindakan guru
yang berbeda mungkin akan diperlukan, untuk contoh, refleksi, mengenalkan, menarik
dan mendengarkan.
Level
scaffolding yang berbeda-beda telah diidentifikasi dalam berbagai
literatur kognisi.
Misalnya, Rogoff (1995) mengidentifikasi tiga perbedaan secara
kualitatif `bidang kegiatan sosial-budaya' dalam suasana out-of-sekolah yang ia disebut
sebagai ‘magang, partisipasi dipandu, dan pembentukan partisipatif’. Tingkat yang
berbeda menelusuri perkembangan individu dalam usaha sosial-budaya dari pemula
bergantung kepada prkatisi independen. Sebuah model tiga tahap yang sama diajukan
oleh Brown, Collins dan Duguid (1989) untuk menggambarkan kemajuan gradual
(bertahap) dari kegiatan tertanam ke ahli reflektif.
Pada masa lampau ketika pembelajaran lebih terfokus pada guru, proses
pengajaran matematika dipandang sebagai prosedur yang standar dengan berlatih dan
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 245
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
berhitung. Beberapa pengajaran hanya menggunakan alat bantu yang minim, seperti
buku buku latihan yang sengaja dibuat dan dinilai hanya dengan penjelasan guru. Ketika
metafor pembelajaran mengarah pada kontruktivistik peran guru lebih meningkat dalam
upaya meningkatkan pembelajaran yang lebih bermakna , dengan mengoptimalkan
bantuan siswa dalam belajar mereka. Scaffolding tidak dimaknai dalam konteks yang
sempit seperti alat bantu mengajar yang digunakan guru, tetapi lebih dari itu. Segala
aspek yang mempengaruhi interaksi siswa di dalam lingkungan belajarnya dapat
dimanfaatkan sebagai scaffolding untuk mecapai pemahaman yang lebih valid tentang
matematika.
Dalam kajian ini digunakan level-level scaffolding yang diajukan oleh Angghileri
(2006), yang membedakan tiga level dukungan guru. Level 1 scaffolding cenderung
untuk merujuk kepada petunjuk (promt) dan rangsangan yang ada di lingkungan, baik
sebagai hasil dari perencanaan yang sadar atau secara tidak sengaja (default), yang
melayani untuk mendukung belajar siswa dalam matematika. Ini mungkin mengambil
bentuk generalisasi poster rekaman atau pengamatan kunci dari pelajaran masa lalu,
pilihan hati-hati, permainan mengoreksi diri, melibatkan tugas atau teka-teki, bahan /
manipulatif, dan / atau alat matematis. Dalam hal ini, keterlibatan langsung guru
mungkin rendah tetapi tingkat dukungan yang bisa digambarkan sebagai tinggi
tergantung pada pemikiran dan usaha dikeluarkan oleh guru dalam menentukan yang
menampilkan, tugas, dan materi akan tersedia.
Level 2 scaffolding melibatkan interaksi langsung antara guru dan siswa secara
khusus difokuskan pada tugas di tangan. Strategi tersebut bervariasi dari instruksi
langsung - menunjukkan dan memberitahu - untuk membuat makna yang lebih
kolaboratif ". Scaffold pada tingkat ini, menurut Anghileri, termasuk jenis pola interaksi
umum ditemukan di pendekatan 'tradisional', yaitu, dimana guru tetap mempertahankan
kontrol, struktur percakapan, menguraikan, dan menjelaskan. Namun, mereka juga
mencakup dua kategori praktek yang melibatkan siswa secara langsung di kegiatan
awal, yaitu, meninjau dan restrukturisasi.
Level 3 scaffolding bertujuan untuk membuat koneksi antara pengetahuan awal
siswa dan pengalaman dan matematika baru yang akan dipelajari. Mengembangkan alat
representasi
dan
membangun
wacana
konseptual
adalah
dua
daerah
yang
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 246
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
dipertimbangkan di sini. Dengan negosiasi norma-norma sosial dan nilai-nilai yang nilai
penjelasan konseptual (sebagai lawan dari komputasi), siswa yang kemungkinan akan
terlibat dalam lagi, diskusi lebih bermakna dan makna yang menjadi milik bersama dari
setiap individu melibatkan tindakan komunal yang membuat makna matematika.
Hal ini secara tidak langsung didukung oleh Turner et al., (1998) yang
membandingkan keterlibatan tinggi dan rendah oleh para guru, dan melaporkan bahwa
tekanan lebih tinggi untuk pemahaman - ditandai dengan penentuan guru untuk tetap
bekerja dengan siswa sampai mereka menghargai koneksi yang relevan, aplikasi,
generalisasi dan perluasan - dikaitkan dengan keterlibatan yang lebih besar dari siswa di
kelas matematika.
Secara skematis level-level scaffolding menurut Anghelery disajikan pada tabel
berikut:
LEVEL 1
environmental provisions
artefacts
classroom
organisation
Peer
squencing and
free play
structured
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 247
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
LEVEL 2
explaining, reviewing, and restructuring
Reviewing
Restructuring
looking,
touching
and
verbalising
promting and
probing
parallel
modelling
students
explaining and
justifying
showing and
telling
providing
meaningful
contexts
rephrasing
student’s
talk
simplifying the
problem
negotiating
meanings
teacher
explaining
Interpreting
LEVEL 3
developing conceptual thingking
making
connection
Developing
representational
tools
Generating
conceptual
discourse
D. Strategi Guru pada Pembelajaran dengan Scaffolding di Kelas.
Menurut Anghileri (2006), dukungan guru tampaknya dikonseptualisasikan
dengan cara yang berbeda baik dalam pendekatan pengajaran maupun literatur kognisi,
terletak pada pengakuan peserta didik ke dalam praktik sosial-budaya tertentu. Praktik
dijelaskan dalam Level 2 dan 3 dari kerangka Anghileri cenderung lebih terfokus secara
khusus pada pola interaksi yang berbeda secara kualitatif. Hal ini mungkin tidak
mengherankan mengingat keragaman praktek yang dianut oleh matematika sekolah, tapi
menawarkan lain, mungkin lebih berguna, cara berbicara tentang sifat peran guru dalam
membentuk komunikasi kelas dan budaya.
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 248
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
Pada penerapan yang paling mendasar bahwa komunikasi verbal menjadi
strategi yang hanpir digunakan oleh guru untuk menscafold belajar siswa. Walalaupun
scaffolding tipe ini bersifat verbal, di masa lalu, sebagian besar kegiatan komunikasi
kelas cenderung berfokus pada strategi ini secara bergiliran
mengambil dan
pengulangan "hampir tak henti-hentinya dari urutan IRF (Initiation, Response,
Feedback) di ranah murid guru" (Pimm, 1994). Guru dan siswa secara refleks belajar
bagaimana berkomunikasi dalam ruang kelas dengan cara yang sangat spesifik. Mereka
belajar dengan mengatakan apa, kapan dan kepada siapa. Hal ini menunjukkan bahwa
guru mungkin sengaja mengadopsi pola interaksi tertentu, seperti `bergerak' hanya
akan efektif untuk sebatas bahwa permainan bahasa `baru' dihargai dan dipahami oleh
siswa (Morine-Dershirner, 1985; Zevenbergen, 1996).
Wood (1994,1996) telah menulis secara luas tentang funnelling dan focussing
pada 'pola interaksi' yang diamati di Tahun 2 kelas matematika. Dia membuat titik
bahwa pola interaksi alternatif untuk interaksi IRF tradisional. Keduanya beroperasi
untuk meningkatkan bukan kendala belajar siswa dan "melayani niat sentral guru
berusaha untuk menciptakan situasi belajar yang memungkinkan siswa untuk
membangun makna matematika untuk diri mereka sendiri" (Wood, 1994, p.159).
Pola funnel secara umum dapat digambarkan sebagai interaksi di mana guru
menciptakan serangkaian pertanyaan yang bertindak untuk terus mempersempit
kemungkinan siswa sampai mereka tiba pada jawaban yang benar. Dalam situasi ini,
guru mengakui bahwa siswa tidak mampu merespons dengan tepat dengan jawaban
yang benar, dan karena itu mencoba untuk menawarkan pedoman pertanyaan untuk
tujuan memungkinkan siswa untuk memecahkan masalah. Bentuk pertukaran selalu
berakhir dengan sebuah solusi untuk masalah yang dihadapi.
Pola focus juga dapat digambarkan sebagai suatu situasi di mana aspek-aspek
penting untuk memecahkan masalah dibawa kedepan. Selain itu, pola interaksi ini dapat
digambarkan sebagai salah satu yang pertanyaan guru bertindak untuk menunjukkan
kepada anak fitur penting dari masalah yang belum dipahami. Dalam interaksi tertentu,
siswa selalu memiliki beberapa aspek masalah masih harus diselesaikan. (Wood, 1994,
hal. 159-160).
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 249
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
Sesuai dengan dengan level scaffolding dijelaskan sebelumnya, pola-pola
interaksi dapat dilihat untuk mewakili berbagai tingkat dukungan guru. Artinya, ketika
tingkat pemahaman siswa meningkat, tingkat dukungan guru berkurang. Namun, sifat
dari dukungan ini jauh lebih jelas dibingkai dalam hal interaksi guru-siswa.
Dengan penekanan pada interaksi kelas, dalam kajian ini, gagasan tentang
pendekatan pembelajaran merujuk pada tindakan komunikatif guru dalam upaya
mereka menscaffolding belajar siswa belajar di kelas matematika.
Berapa tahapan dalam membangun scaffolding di kelas dapat diidentifikasi
dengan pendekatan atau interaksi yang beragam, diantaranya adalah :
1. Penyediaan lingkungan
2. Discussing, Reviewing, dan excavating (penggalian)
3. Tunjukkan pada saya / meyakinkan saya / bertanya/ Focussing
4. Pemodelan/ Membuat eksplisit
Gagasan pendekatan pengajaran pengukuran
dibingkai dalam
tindakan
komunikatif guru dengan tujuan untuk mengakomodasi berbagai praktik. Dalam
menguraikan dan mencontohkan daftar, diakui bahwa praktik-praktik yang dijelaskan
belum tentu baru. Memang, mereka akan diakui secara luas oleh banyak guru sebagai
sesuatu yang mereka "sudah lakukan". Meskipun ini merupakan uji ketahanan dan
relevansi sampai batas tertentu, apa yang baru adalah bahwa daftar praktik scaffolding
memberikan awal bahasa profesional untuk menggambarkan apa yang guru lakukan
ketika mereka berusaha untuk mendukung belajar siswa dalam matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal
of Mathematics Teacher Education (2006), 9, 33-52.
Brown, J., Collins, A., & Duguid, P.1989. Situated Cognition and the Culture of
Learning. Educational Researcher, 18, 32-42.
Diaz, C.F.,Pelletier, C.M.,&Provenzo,E.F.2006. Touch the Future… Teach! Boston:
Pearson Education, Inc.
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 250
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
Dixon-Kraus, L. (1996). Vygotsky in the classroom: Mediated literacy instruction and
assessment. White Plains, New York: Longmans.
Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London: The Falmer
Press.
Hudojo, H. 2003. PembangunanKurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA.
Jakarta: IMSTEP.
Pimm, D. (1994). Spoken mathematical classroom culture: Artifice and Artificiality. In
S. Lerman (Ed). The culture of the mathematics classrooms (p.149-168).
Dordrecht: The Netherlands. Kluwer Academic.
Rogoff, B. (1995). Observer sociocultural activity on three planes: Participatory,
appropriation, guided participation, and apprenticeship. In J. Wertch, P. del Rio,
& A. Alvarez (Eds.). Sociocultural study of minds. New York, NY: Cambridge
University Press.
Slavin, R.E. (2000). Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn &
Bacon.
Stone, A. (1998). the metaphor of scaffolding: its utility for the field of learning
disabilities. Journal of Learning Disabilities, Vol 3, No 4.
Tharpe, R. & Gallimore, R. (1988). Rousing minds to life: Teaching, learning , and
schooling in social context. Cambridge: Cambridge University Press.
Turner, J., Meyer, D. Cox, K. diCintio, & Thomas, C. (1998). Creating contexts for
involvement in mathematics. Journal of Educational Psychology, 90, 730-745.
Vygotsky, L.S. (1978). Mind in society. The development of higher psychological
processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wood, T., Bruner, J. & Ross,G. (1976). The role of tutoring in problem solving. Journal
of Child Psychology and Psychiatry. 17, 89-100.
Wood, T. (1994). Patterns on interaction and the culture of mathematics classrooms. In
S. Lerman(Ed.). The culture of the mathematics classrooms (p.149-168).
Dordrecht: The Netherlands. Kluwer Academic.
Wood, T.(1996). Events in learning mathematics. Insights from research in classrooms.
Educational studies in mathematics. 30, 85-105
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 251
Prosiding
Seminar Nasional Statistika
Universitas Padjadjaran, 13 November 2010
Manajemen Risiko di Bidang Perbankan dan Asuransi | 252
Download