PERAN PENDIDIKAN DAN PENGARUHNYA - E

advertisement
PERAN PENDIDIKAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESIAPAN TENAGA
KERJA
Yahdi Kusnadi
Bina Sarana Informatika
Jl. Margonda Raya No. 18 Depok
Email : [email protected]
Abstract
Education and the workplace are the two things that can not be separated and become part of a
mutually supportive of each other. A good education will give a good briefing with the expectation
that its graduates are able to compete in the workforce with the skills they have. As known, the
country faces such a complex educational problems. UNESCO puts Indonesia in the Human
Development Index (HDI) in order to-112 among 174 countries studied. On the other hand, the
Political and Economics Risk Consultancy (PERC), based in Hong Kong has put the education
system in Indonesia in order to 12th among 12 countries studied. This shows that the quality of
education in this country is still low. To solve the problem of education is required extra effort
from all parties hard in synergy, among others, by constantly making changes and development of
curricula adapted to the conditions that required the working world today.
Keywords: Education, World of Work, Curriculum
I.
1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Permasalahan
di
bidang
ketenagakerjaan dan ketersediaan lapangan
kerja yang memadai di Indonesia tidak
dipungkiri masih menjadi sebuah masalah.
Walaupun kondisi dunia usaha, ekonomi dan
investasi sering diberitakan kondusif, namun
pada kenyataannya tingkat pengangguran di
Indonesia masih tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
per Februari 2010 jumlah pengangguran di
Indonesia kini mencapai 8,59 juta orang atau
7,41 persen dari total angkatan kerja di
nusantara sebanyak 116 juta orang.
Angkatan kerja tersebut didominasi lulusan
sekolah dasar (SD) ke bawah yaitu sekitar
55,31 juta orang atau 51,50 persen
sedangkan pekerja
dengan pendidikan
diploma sebesar 2,89 juta orang atau sekitar
2,69 persen dan pekerja dengan pendidikan
sarjana sebesar 4,94 juta orang atau 4,50
persen, sehingga apabila terdapat sepuluh
orang pencari kerja hanya tersedia tiga
lowongan pekerjaan dan dari tiga lowongan
itu hanya dua yang bisa diisi, sementara satu
lagi tidak bisa dipenuhi akibat tidak
memiliki keterampilan.
Dari segi persaingan internasional hasil
survei "World Economic Forum 2010"
menunjukkan Indonesia berada pada
peringkat 54 dari 133 negara yang disurvei.
Dibanding dengan negara tetangga seperti
Singapura yang menempati peringkat ketiga,
Malaysia ke-24, Brunei Darussalam ke-32
dan Thailand ke-36, sehingga kondisi
ketenagakerjaan di Indonesia sangat parah.
Masalah ketenagakerjaan merupakan
salah satu masalah serius yang erat
kaitannya
dengan
kemajuan
dan
kemakmuran suatu Negara. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh seorang
ekonom terkenal asal India, Mahbub UlHaq, yaitu ”Let us take care of employment,
employment will take care of growth.”
Pengangguran
memberikan
problematika tersendiri bagi negara.
Pengangguran dapat mempengaruhi daya
beli masyarakat. Karena tidak adanya
pendapatan yang diterima, pengeluaran
untuk membiayai kehidupan sehari-hari pun
menjadi terganggu. Hal ini kemudian akan
membuat masyarakat menjadi miskin atau
semakin miskin. Selain itu, meningkatnya
pengangguran terbuka sebagai akibat tidak
terkelolanya ketenagakerjaan dengan baik
dapat memberikan dampak serius, seperti
meningkatnya kriminalitas yang selanjutnya
dapat menganggu stabilitas negara. makin
tinggi jenjang pendidikan si penganggur,
akan semakin berbahaya bagi negara.
Pendidikan merupakan hal yang amat
penting dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM
yang baik diharapkan dapat mengisi
lapangan-lapangan pekerjaan yang sesuai
dengan keahliannya dan selanjutnya dapat
memajukan negara. Sebagaimana diketahui
bahwa masyarakat berharap banyak dengan
mengenyam pendidikan tinggi, yakni untuk
mendapatkan pekerjaan yang didambakan
dan kemudian meningkatkan taraf hidup
mereka.
Namun
demikian,
kendala
terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan
menyebabkan tak terserapnya tenaga kerja
yang berpendidikan tinggi oleh pasar tenaga
kerja. Hal ini akan memberikan stimulus
kekecewaan dan selanjutnya menanamkan
sifat
ketidakpercayaan
atau
kekurangpercayaan
terhadap
lembaga
pendidikan. Selain itu, kesempatan kerja
yang terbatas telah membuat kompetisi
semakin ketat antar pencari kerja dan
seringkali mereka melamar dan menerima
pekerjaan apa saja meskipun tidak sesuai
dengan kualifikasi pendidikannya.
2.
Identifikasi Masalah
Upaya peningkatan mutu pendidikan
dipengaruhi oleh faktor majemuk. Faktor
yang satu saling berpengaruh terhadap faktor
yang lainnya. Namun demikian, faktor yang
paling penting adalah guru, karena hitamputihnya proses belajar mengajar di dalam
kelas banyak dipengaruhi oleh mutu
gurunya. Guru dikenal sebagai 'hidden
curriculum' atau kurikulum tersembunyi,
karena sikap dan tingkah laku, penampilan
profesional, kemampuan individual, dan apa
saja yang melekat pada pribadi sang guru,
akan diterima oleh peserta didiknya sebagai
rambu-rambu untuk diteladani atau dijadikan
bahan pembelajaran. Bagi sebagian besar
orangtua siswa, sosok pendidik atau guru
masih dipandang sebagai wakil orangtua
ketika anak-anaknya tidak berada di dalam
keluarga.
Fasilitas pendidikan berupa buku sudah
demikian canggih disusun. Bahkan banyak
bahan ajar yang kini telah disusun dalam
bentuk CD ROM, bukan buku yang tebal
dan biasanya disusun tidak semenarik komik
atau majalah. Dengan demikian peserta didik
memiliki pilihan lain berupa sumber
informasi yang tinggal 'ngeklik' di komputer
pribadinya. Sumber informasi dengan
mudah dicari dengan cara 'surfing' melalui
bahan ajar virtual melalui internet. Nah,
dalam kondisi seperti itu, apakah peran
pendidik masih diperlukan lagi?
Pada era teknologi informasi, guru
memang tidak lagi dapat berperan sebagai
satu-satunya sumber informasi dan ilmu
pengetahuan. Peran guru telah berubah lebih
menjadi
fasilitator,
motivator,
dan
dinamisator bagi peserta didik. Dalam era
teknologi informasi peserta didik dengan
mudah dapat mengakses informasi apa saja
yang tersedia melalui internet. Dalam
kondisi seperti itu, maka guru diharapkan
dapat memberikan peran yang lebih besar
untuk memberikan rambu-rambu etika dan
moral dalam memilih informasi yang
diperlukan. Dengan kata lain, peran pendidik
tidak dapat digantikan oleh apa dan siapa,
serta dalam era apa saja. Untuk dapat
melaksanakan peran tersebut secara efektif
dalam proses pendidikan, pendidik dan
tenaga kependidikan harus ditingkatkan
mutunya dengan skenario yang jelas.
Proses belajar mengajar merupakan
suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas dasar
hubungan timbal balik yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam proses belajar
mengajar tersirat adanya satu kesatuan
kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa
yang belajar dan guru yang mengajar. Agar
proses pembelajaran dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien, maka guru
mempunyai tugas dan peranan yang penting
dalam mengantarkan peserta didiknya
mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu, sudah selayaknya guru
mempunyai berbagai kompetensi yang
berkaitan
dengan
tugas
dan
tanggungjawabnya. Dengan kompetensi
tersebut, maka akan menjadikan guru
profesional, baik secara akademis maupun
non akademis.
Masalah kompetensi guru merupakan
hal urgen yang harus dimiliki oleh setiap
guru dalam jenjang pendidikan apapun.
Guru yang terampil mengajar tentu harus
pula memiliki pribadi yang baik dan mampu
melakukan social adjustment
dalam
masyarakat. Kompetensi guru sangat penting
dalam rangka penyusunan kurikulum. Ini
dikarenakan kurikulum pendidikan haruslah
disusun berdasarkan kompetensi yang
dimiliki oleh guru. Tujuan, program
pendidikan, sistem penyampaian, evaluasi,
dan sebagainya, hendaknya direncanakan
sedemikian rupa agar relevan dengan
tuntutan kompetensi guru secara umum.
Dengan demikian diharapkan guru tersebut
mampu menjalankan tugas dan tanggung
jawab sebaik mungkin.
Dalam hubungan dengan kegiatan dan
hasil belajar siswa, kompetensi guru
berperan penting. Proses belajar mengajar
dan hasil belajar para siswa bukan saja
ditentukan oleh sekolah, pola, struktur dan
isi kurikulumnya, akan tetapi sebagian besar
ditentukan oleh kompetensi guru yang
mengajar dan membimbing para siswa. Guru
yang berkompeten akan lebih mampu
mengelola kelasnya, sehingga belajar para
siswa berada pada tingkat optimal. Agar
tujuan pendidikan tercapai, yang dimulai
dengan lingkungan belajar yang kondusif
dan efektif, maka guru harus melengkapi
dan meningkatkan kompetensinya. Di antara
kriteria-kriteria kompetensi guru yang harus
dimiliki meliputi:
1) Kompetensi kognitif, yaitu kompetensi
yang berkaitan dengan intelektual.
2) Kompetensi afektif, yaitu kompetensi
atau kemampuan bidang sikap,
menghargai pekerjaan dan sikap dalam
menghargai hal-hal yang berkenaan
dengan tugas dan profesinya.
3) Kompetensi
psikomotorik,
yaitu
kemampuan guru dalam berbagai
keterampilan atau berperilaku.
3.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan
Untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan oleh guru sebagai tenaga
kependidikan, maka profesi guru harus
memiliki dan menguasai perencanaan
kegiatan belajar mengajar, melaksanakan
kegiatan yang direncanakan dan melakukan
penilaian terhadap hasil dari proses belajar
mengajar.
Kemampuan
guru
dalam
merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran merupakan faktor utama
dalam
mencapai
tujuan
pengajaran.
Keterampilan
merencanakan
dan
melaksanakan proses belajar mengajar ini
sesuatu yang erat kaitannya dengan tugas
dan tanggung jawab guru sebagai pengajar
yang mendidik.
Guru sebagai pendidik mengandung arti
yang sangat luas, tidak sebatas memberikan
bahan-bahan pengajaran tetapi menjangkau
etika dan estetika perilaku dalam
menghadapi tantangan kehidupan di
masyarakat.
Sebagai
pengajar,
guru
hendaknya memiliki perencanaan (planing)
pengajaran yang cukup matang. Perencanaan
pengajaran tersebut erat kaitannya dengan
berbagai unsur seperti tujuan pengajaran,
bahan pengajaran, kegiatan belajar, metode
mengajar, dan evaluasi. Unsur-unsur
tersebut merupakan bagian integral dari
keseluruhan tanggung jawab guru dalam
proses pembelajaran.
Secara umum terdapat beberapa langkah
strategi yang dapat diimplementasikan
dalam lingkungan kependidikan dengan
tujuan bahwa peningkatan mutu pendidik
dan tenaga kependidikan akan behasil
melalui strategi- strategi berikut ini:
1)
Evaluasi diri (self assessment)
Evaluasi diri sebagai langkah awal bagi
setiap
sekolah
yang
ingin,
atau
merencanakan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Kegiatan ini dimulai
dengan curah pendapat brainstorming yang
diikuti oleh kepala sekolah, guru, dan
seluruh staf, dan diikuti juga anggota komite
sekolah.
Kegiatan evalusi diri ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi sekolah saat ini dalam
segala aspeknya (seluruh komponen
sekolah), kemajuan yang telah dicapai,
maupun masalah-masalah yang dihadapi
ataupun kelemahan yang dialami. Kegiatan
evaluasi
diri
ini
juga
merupakan
refleksi/mawas diri, untuk membangkitkan
kesadaran / keprihatinan akan penting dan
perlunya pendidikan yang bermutu, sehingga
timbul
komitmen
bersama
untuk
meningkatkan mutu sense of quality, serta
merumuskan titik tolak point of departure
bagi sekolah/madrasah yang ingin atau akan
mengembangkan diri terutama dalam hal
mutu.
2) Perumusan visi, misi, dan tujuan
Bagi pihak sekolah yang baru berdiri
atau baru didirikan, perumusan visi dan misi
serta tujuan merupakan langkah awal /
pertama yang harus dilakukan yang
menjelaskan kemana arah pendidikan yang
ingin dituju oleh para pendiri/ penyelenggara
pendidikan. Dalam kasus sekolah/madrasah
negeri kepala sekolah bersama guru
mewakili pemerintah kab/kota sebagai
pendiri dan bersama wakil masyarakat
setempat ataupun orang tua siswa harus
merumuskan kemana sekolah kemasa depan
akan dibawa, sejauh tidak bertentangan
dengan tujuan pendidikan nasional seperti
tercantum dalam UU Nomor 23 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3)
Perencanaan
Perencanaan pada tingkat sekolah
adalah kegiatan yang ditujukan untuk
menjawab : apa yang harus dilakukan dan
bagaimana
melakukannnya
untuk
mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan /
disepakati pada sekolah yang bersangkutan,
termasuk anggaran yang diperlukan untuk
membiayai kegiatan yang direncanakan.
4)
Pelaksanaan
Apabila kita bertitik tolak dari fungsifungsi manajemen yang umumnya kita kenal
sebagai
fungsi
perencanaan,
pengorganisasian,
pengarahan/penggerakkan
atau
pemimpinan dan kontrol/pengawasan serta
evaluasi, maka langkah pertama sampai
dengan ketiga dapat digabungkan fungsi
perencanaan yang secara keseluruhan (untuk
sekolah)
sudah
dibahas.
Didalam
pelaksanaan tentu masih ada kegiatan
perencanaan-perencanaan yang lebih mikro
(kecil) baik yang terkait dengan penggalan
waktu
(bulanan,semesteran,
bahkan
mingguan), atau yang terkait erat dengan
kegiatan khusus, misalnya menghadapi
lomba bidang studi, atau kegiatan lainnya.
II.
LANDASAN TEORI (KAJIAN
PUSTAKA)
Bagaimanapun
sederhananya
peradaban suatu masyarakat, di dalamnya
terjadi atau berlangsung suatu proses
pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan
pendidikan telah ada sepanjang peradaban
umat manusia. Pendidikan menjadikan
sumber daya manusia lebih cepat mengerti
dan siap dalam menghadapi perubahan di
lingkungan kerja. Oleh karena itu tidaklah
heran apabila negara yang memiliki
penduduk dengan tingkat pendidikan yang
tinggi akan mempunyai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang pesat.
a. Pengertian Tenaga Kerja
Menurut Payaman Simanjuntak (2006 :
2)
Adalah
mencakup penduduk yang
sudah atau sedang bekerja, yang sedang
mencari pekerjaan dan yang melakukan
kegiatan lain seperti bersekolah dan
mengurus runah tangga
Menurut Undang-undang Republik
Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Bab 1 Ketentuan Umum,
Pasal 1 ayat 2 :
Adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan
sendiri
maupun
untuk
masyarakat.
b. Pengertian Pendidikan
Manusia merupakan makhluk yang
bergelut secara intens dengan pendidikan.
Itulah manusia dijuluki sebagai animal
educandum dan animal educandus sekaligus
yaitu sebagai makhluk yang dididik dan
makhluk yang mendidik. Dengan kata lain,
manusia adalah makhluk yang senantiasa
terlibat dalam proses pendidikan, baik yang
dilakukan terhadap orang lain maupun
terhadap dirinya sendiri. Dalam arti inilah
organisasi pendidikan, Ilmu Pengetahuan
dan Kebudayaan PBB (Unesco) sebagai
badan internasional yang menangani tentang
masalah pendidikan dan kebudayaan,
mencanangkan
konsep
”Pendidikan
Sepanjang Hayat” (Life Long Education)
yang berlangsung sejak dari buaian hingga
ke liang lahat (from The Candle to The
Grave). (Sukardjo, 2009:1)
Untuk memahami hakekat pendidikan, ada
dua istilah yang dapat mengarahkan pada
pemahaman hakekat pendidikan yaitu kata
paedagogie dan paedagogiek (Purwanto,
Ngalim M,2003:3). Paedagogie bermakna
pendidikan dan paedagogiek bermakna ilmu
pendidikan.
c. Hubungan Pendidikan dengan Tenaga
Kerja
Berdasarkan
fungsi
dan
tujuan
pendidikan nasional yang tertuang dalam
UU No.20 Tahun 2003 (Sisdiknas, pasal 3).
Pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa
yang
bermartabat
dalam
rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa serta
mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hal ini harus dibarengi dengan pengingkatan
mutu tenaga pendidik dan pendidikan dalam
segi rekruitmen, kompetensi dan manejemen
pengembangan sumber daya manusianya.
Salah satu contoh nyata yang terjadi
dalam era reformasi, yaitu sebagian besar
keberhasilan agenda reformasi di bidang
pendidikan pada akhirnya ditentukan oleh
unsur yang berada di front terdepan, yaitu
tenaga pendidik. Hak-hak tenaga pendidik
sebagai pribadi, pemangku profesi keguruan,
anggota masyarakat dan warga negara yang
selama ini terabaikan, perlu mendapat
prioritas dalam era pasca reformasi kini.
Selama ini berbagai pandangan dan
pemikiran kurang terpusat pada guru sebagai
andalan utama pelaksana acara kurikuler.
Para ahli lebih sering membahas kurikulum
sebagai pokok permasalahan pendidikan di
sekolah.
Para ahli di bidang pendidikan, secara
terus terang mengakui bahwa pokok
persoalan pendidikan yang sering dibahas
dalam berbagai kesempatan selama ini lebih
terfokus
kepada
masalah
kurikulum
ketimbang dengan masalah pendidik
(Kompas, 28 Februari 2006). Padahal, telah
menjadi pemahaman umum bahwa masalah
pendidik jauh lebih penting daripada
masalah
kurikulum
dan
komponen
pendidikan lain. Pernyataan tersebut
memberikan gambaran bahwa masalah
pendidik atau guru memang belum
sepenuhnya mendapatkan perhatian yang
memadai oleh para praktisi pendidikan,
apalagi
oleh
pengambil
kebijakan
pendidikan.
Sebagaimana diketahui, negeri ini
menghadapi masalah pendidikan yang
demikian rumit. UNESCO meletakkan
Indonesia dengan Human Development
Index (HDI) pada urutan ke-112 di antara
174 negara yang diteliti. Di lain pihak, The
Political dan Economics Risk Consultancy
(PERC) yang berpusat di Hongkong telah
meletakkan sistem pendidikan di Indonesia
pada urutan ke-12 di antara 12 negara yang
diteliti. Pendek kata, kondisi bangsa ini
menang sedang tidak nyaman, termasuk
dunia pendidikannya. Ahmad Sjafii Maarif,
ketua umum Persyarikatan Muhammadiyah,
sebagai
contoh,
menyebut
masalah
pendidikan
sebagai
'wajah
bopeng
pendidikan kita' (Republika, 9 Mei 2005).
Singkat kata, mutu pendidikan di negeri ini
memang masih rendah. Untuk memecahkan
masalah pendidikan tersebut diperlukan
usaha ekstra keras dari semua pihak secara
sinergis. Tidak ada kata putus ada bagi orang
yang masih percaya kepada kekuasaan-Nya.
Saat ini, dalam segi kurikulum salah
satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan mutu pendidikan adalah
dengan memberlakukan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Yang paling
penting dalam hal ini adalah faktor guru.
Sebab secanggih apapun suatu kurikulum
dan sehebat apapun sistem pendidikan, tanpa
kualitas guru yang baik, maka semua itu
tidak akan membuahkan hasil yang
maksimal. Oleh karena itu, guru diharapkan
memiliki kompetensi yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya secara
efektif dan efisien. Kompetensi merupakan
salah satu kualifikasi guru yang terpenting.
Bila kompetensi ini tidak ada pada diri
seorang guru, maka ia tidak akan
berkompeten dalam melakukan tugasnya dan
hasilnya pun tidak akan optimal.
Dengan komptensi yang dimiliki, selain
menguasai materi dan dapat mengolah
program belajar mengajar, guru juga dituntut
dapat
melaksanakan
evaluasi
dan
pengadministrasiannya. Kemampuan guru
dalam melakukan evaluasi merupakan
kompetensi guru yang sangat penting.
Evaluasi dipandang sebagai masukan yang
diperoleh dari proses pembelajaran yang
dapat dipergunakan untuk mengetahui
kekuatan dan kelemahan berbagai komponen
yang terdapat dalam suatu proses belajar
mengajar.
Sedemikian pentingnya evaluasi ini
sehingga kelas yang baik tidak cukup hanya
didukung oleh perencanaan pembelajaran,
kemampuan guru mengembangkan proses
pembelajaran serta penguasaannya terhadap
bahan ajar, dan juga tidak cukup dengan
kemampuan guru dalam menguasai kelas,
tanpa diimbangi dengan kemampuan
melakukan evaluasi terhadap perencanaan
kompetensi siswa yang sangat menentukan
dalam konteks perencanaan berikutnya, atau
kebijakan perlakuan terhadap siswa terkait
dengan konsep belajar tuntas.3 Atau dengan
kata lain tidak ada satupun usaha untuk
memperbaiki mutu proses belajar mengajar
yang dapat dilakukan dengan baik tanpa
disertai langkah evaluasi.
Guru
harus
mampu
mengukur
kompetensi yang telah dicapai oleh siswa
dari setiap proses pembelajaran atau setelah
beberapa unit pelajaran, sehingga guru dapat
menentukan keputusan atau perlakuan
terhadap siswa tersebut. Apakah perlu
diadakannya perbaikan atau penguatan, serta
menentukan
rencana
pembelajaran
berikutnya baik dari segi materi maupun
rencana strateginya.
Oleh karena itu, guru setidaknya mampu
menyusun instrumen tes maupun non tes,
mampu membuat keputusan bagi posisi
siswa-siswanya, apakah telah dicapai
harapan penguasaannya secara optimal atau
belum. Kemampuan yang harus dimiliki
oleh guru yang kemudian menjadi suatu
kegiatan rutin yaitu membuat tes, melakukan
pengukuran,
dan
mengevaluasi
dari
kompetensi
siswa-siswanya
sehingga
mampu menetapkan kebijakan pembelajaran
selanjutnya.
III. PEMBAHASAN
Masalah ketenagakerjaan merupakan
salah satu masalah serius yang erat
kaitannya
dengan
kemajuan
dan
kemakmuran suatu Negara. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh seorang
ekonom terkenal asal India, Mahbub UlHaq, yaitu ”Let us take care of employment,
employment will take care of growth.”
Kutipan tersebut mempertegas betapa
ketenagakerjaan
sangat
mempengaruhi
sendi-sendi pertumbuhan suatu negara.
Karena ketenagakerjaan meliputi dimensi
politik,
sosial,
ekonomi,
dan
kemasyarakatan.
Pada bulan Februari 2009, angkatan
kerja Indonesia adalah sebesar 113,7 juta
orang dengan 104,5 juta orang bekerja dan
9,3 juta orang pengagguran terbuka.Menurut
BPS pengangguran terbuka merupakan
bagian dari angkatan kerja yang tidak
bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik
bagi mereka yang belum pernah bekerja
sama sekali maupun yang sudah penah
berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu
usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan
karena merasa tidak mungkin untuk
mendapatkan pekerjaan dan mereka yang
sudah memiliki pekerjaan tetapi belum
mulai
bekerja.
Gambar 1. keadaan ketenagakerjaan di Indonesia periode 2004 sampai 2009
Pengangguran
memberikan
problematika tersendiri bagi negara.
Pengangguran dapat mempengaruhi daya
beli masyarakat. Karena tidak adanya
pendapatan yang diterima, pengeluaran
untuk membiayai kehidupan sehari-hari pun
menjadi terganggu. Hal ini kemudian akan
membuat masyarakat menjadi miskin atau
semakin miskin. Selain itu, meningkatnya
pengangguran terbuka sebagai akibat tidak
terkelolanya ketenagakerjaan dengan baik
dapat memberikan dampak serius, seperti
meningkatnya kriminalitas yang selanjutnya
dapat mengganggu stabilitas negara. Makin
tinggi jenjang pendidikan si penganggur,
akan semakin berbahaya bagi negara.
1.
Permasalahan
Pendidikan
dan
Pengangguran
Pendidikan merupakan hal yang amat
penting dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM
yang baik diharapkan dapat mengisi
lapangan-lapangan pekerjaan yang sesuai
dengan keahliannya dan selanjutnya dapat
memajukan negara.
Sebagaimana
diketahui
bahwa
masyarakat berharap banyak dengan
mengenyam pendidikan tinggi, yakni untuk
mendapatkan pekerjaan yang didambakan
dan kemudian meningkatkan taraf hidup
mereka.
Namun
demikian,
kendala
terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan
menyebabkan tak terserapnya tenaga kerja
yang berpendidikan tinggi oleh pasar tenaga
kerja. Hal ini akan memberikan stimulus
kekecewaan dan selanjutnya menanamkan
sifat ketidak percayaan atau kekurang
percayaan terhadap lembaga pendidikan.
Selain itu, kesempatan kerja yang
terbatas telah membuat kompetisi semakin
ketat antar pencari kerja dan seringkali
mereka melamar dan menerima pekerjaan
apa saja meskipun tidak sesuai dengan
kualifikasi pendidikannya.
Pengangguran berpendidikan tinggi,
baik diploma maupun sarjana, selama
periode 2004-2009 bertambah 529.662 jiwa,
yaitu dari 585.358 jiwa pada tahun 2004
menjadi 1.115.020 jiwa pada tahun 2009.
Jika diratakan, maka setiap tahun
pengangguran
berpendidikan
tinggi
bertambah hampir 106.000 jiwa. Sementara
grafik berikut menjunjukkan bahwa pada
tahun 2008 sebanyak 23,80 persen
penganggur adalah mereka yang memiliki
ijazah pendidikan tinggi (diploma/sarjana).
Angka tersebut naik menjadi 26,74 persen
pada
tahun
2009.
Gambar 2. Tingkat pengangguran terbuka berdasarkan jenjang pendidikan
Grafik di atas juga menunjukkan
bahwa
pengangguran
di
Indonesia
cenderung memiliki jenjang pendidikan
yang cukup tinggi, sehingga dapat diartikan
bahwa pendidikan formal tidak serta merta
dapat menurunkan tingkat pengangguran.
Bahkan ada kesan (orang yang pesimis)
bahwa jenjang pendidikan hanya akan
mencetak pengangguran-pengangguran di
masa depan karena lulusan melebihi batas
kesempatan kerja.
Selain
itu,
grafik
di
atas
menggambarkan pula bahwa pengangguran
yang paling tinggi terjadi pada penduduk
dengan jenjang pendidikan tertinggi Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Padahal
sebenarnya konsep SMK sangat baik,
dimana pelajar dididik untuk siap bekerja
dan dibekali pula dengan kemandirian. Di
satu pihak, SMK diklaim menjadi salah satu
solusi dalam mengurangi pengangguran
yang berpendidikan. Namun, pihak lain
menilai bahwa pola pembentukan SMK di
Indonesia lebih berbasis pada kuantitas dan
kurang
memperhatikan
mutu
atau
kualitasnya. Jika demikian, maka gejala ini
tentu perlu segera diperbaiki agar tidak
semakin mengakar, dan lulusan SMK benarbenar siap bekerja, dan kalau bisa bekerja
mandiri atau menciptakan lapangan kerja
baru.
Saat ini, banyak perusahaan yang
cenderung lebih senang merekrut lulusan
SMA karena lulusan SMA dianggap lebih
memiliki kreativitas. Lulusan SMK memang
dapat bekerja dengan baik selama 1-3 tahun
pertama, tetapi kualitas kerja mereka
menurun pada tahun ke-4. Sebaliknya
kinerja lulusan SMA justru lemah pada dua
tahun pertama, tetapi membaik setelah tahun
ke-3 bekerja. Hal ini kemudian membuat
lulusan SMK justru kalah bersaing dengan
lulusan SMA.
Dalam mengatasi masalah tersebut,
diperlukan penyelenggaraan pusat-pusat
keunggulan keahlian untuk memetakan
lulusan SMK agar lulusan SMK lebih
bermutu dan berdaya saing. Disamping itu,
upaya sosialisasi SMK sekarang ini, perlu
diimbangi pula dengan peningkatan kualitas
dan bertumpu pada lulusan yang bermutu.
Kesan bahwa SMK merupakan pelarian bagi
mereka yang tidak diterima di SMA, juga
dapat dihapuskan dengan perbaikan kualitas
tersebut. Dengan demikian SMK dapat
berperan sebagaimana mestinya, yakni
mengurangi pengangguran berpendidikan.
Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar Dan Sedang Menurut Sub Sektor, 2004-2009
Subsektor
2004
2005
2006
2007
2008
15 Makanan dan Minuman
732,945
636,625
784,129
748,155
721,457
16 Tembakau
258,678
272,343
316,991
334,194
346,042
17 Tekstil
545,507
567,042
572,710
558,766
484,732
18 Pakaian jadi
444,904
451,975
583,634
523,118
495,518
19 Kulit dan barang dari kulit
222,932
208,723
237,626
210,854
219,792
20 Kayu, barang dari kayu, dan anyaman
347,962
312,193
299,278
279,622
241,226
21 Kertas dan barang dari kertas
117,871
119,469
126,430
134,305
126,883
50,735
49,371
65,561
58,519
59,065
4,162
5,203
5,853
9,018
6,727
24 Kimia dan barang-barang dari bahan kimia
204,234
208,621
208,406
213,095
199,990
25 Karet dan barang-barang dari plastik
339,546
334,345
348,405
343,155
360,181
26 Barang galian selain logam
165,352
165,056
190,630
177,304
176,459
129 925
59,044
56,411
65,069
64,233
64,099
51 881
126,523
123,349
111,388
129,577
147,330
66 899
77,268
78,847
106,321
83,714
87,192
2,619
3,698
1,477
3,427
3,009
31 Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya
77,233
81,251
79,996
82,764
77,094
32 Radio, televisi, dan peralatan komunikasi
133,082
139,715
141,672
147,283
117,274
33 Peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik, dan jam
13,784
17,521
20,275
23,412
25,071
34 Kendaraan bermotor
72,585
72,382
86,066
79,216
86,928
58 864
35 Alat angkutan lainnya
61,969
58,923
72,474
85,925
91,136
80 795
263,008
260,766
325,362
326,785
313,656
3,036
2,743
5,950
8,496
7,071
22 Penerbitan, percetakan, dan reproduksi
23 Batu bara, minyak dan gas bumi, dan bahan bakar dari nuklir
27 Logam dasar
28 Barang-barang dari logam dan peralatannya
29 Mesin dan perlengkapannya
30 Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data
36 Furniture dan industri pengolahan lainnya
37 Daur ulang
Jumlah
2009 e)
834 305
450 917
366 441
384 101
185 108
269 604
112 909
43 621
3 665
157 811
526 199
61 905
9 814
63 886
182 031
21 020
338 503
5 439
4,324,979 4,226,572 4,755,703 4,624,937 4,457,932 4 405 643
Sumber : BPS
Jumlah angkatan kerja di Indonesia
pada Agustus 2010 mencapai 116,5 juta
orang, bertambah sekitar 530 ribu orang
dibanding angkatan kerja Februari 2010
yang sebesar 116,0 juta orang atau
bertambah 2,7 juta orang dibanding Agustus
2009 yang sebesar 113,8 juta orang.
Jumlah penduduk yang bekerja di
Indonesia pada Agustus 2010 mencapai
108,2 juta orang, bertambah sekitar 800 ribu
orang dibanding keadaan pada Februari
2010 yang sebesar 107,4 juta orang atau
bertambah 3,3 juta orang dibanding keadaan
Agustus 2009 yang sebesar 104,9 juta orang.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai
7,14
persen,
mengalami
penurunan
dibanding TPT Februari 2010 yang sebesar
7,41 persen dan TPT Agustus 2009 yang
sebesar 7,87 persen.
Setahun
terakhir
(Agustus
2009―Agustus 2010), hampir semua sektor
mengalami kenaikan jumlah pekerja, kecuali
Sektor Pertanian dan Sektor Transportasi,
Pergudangan dan Komunikasi, masingmasing mengalami penurunan jumlah
pekerja sekitar 117 ribu orang (0,28 persen)
dan 500 ribu orang (8,16 persen). Sektor
Pertanian,
Perdagangan,
Jasa
Kemasyarakatan dan Sektor Industri secara
berurutan menjadi penyumbang terbesar
penyerapan tenaga kerja pada bulan Agustus
2010.
Pada Agustus 2010, jumlah penduduk
yang bekerja sebagai buruh/karyawan
sebesar 32,5 juta orang (30,05 persen),
berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar
21,7 juta orang (20,04 persen) dan berusaha
sendiri sejumlah 21,0 juta orang (19,44
persen).
Berdasarkan jumlah jam kerja pada
Agustus 2010, sebesar 74,9 juta orang
(69,25 persen) bekerja diatas 35 jam per
minggu, sedangkan pekerja dengan jumlah
jam kerja kurang dari 8 jam hanya sekitar
1,2 juta orang (1,11 persen).
Pada Agustus 2010, pekerja pada
jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap
mendominasi yaitu sekitar 54,5 juta orang
(50,38 persen), sedangkan pekerja dengan
pendidikan Diploma sekitar 3,0 juta orang
(2,79 persen) dan pekerja dengan pendidikan
Sarjana hanya sebesar 5,2 juta orang (4,85
persen). (Sumber BPS 2010)
2.
Link and Match dan Kewirausahaan
Sampai saat ini dinilai belum terjadi
atau belum sepenuhnya terjadi link and
match (keterkaitan dan kecocokan) antara
dunia pendidikan dengan dunia usaha.
Dengan kata lain belum terjadi sinkronisasi
antara lembaga penyelenggara pendidikan
dengan perkembangan lapangan pekerjaan.
Dampaknya adalah banyak lulusannya yang
kemudian tidak terserap oleh pasar kerja,
sehingga
menimbulkan atau bahkan
menambah tingginya tingkat pengangguran.
Lembaga penyelenggara pendidikan pada
umumnya lebih terfokus pada lulusan
berkualitas, namun kurang memperhatikan
kebutuhan pasar itu sendiri.
Melihat keadaan ini memang sangat
diperlukan perencanaan yang matang dan
juga analisis kebutuhan peluang-peluang
kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan
besar kebutuhannya. Analisis tersebut
kemudian disinkronkan dengan pendidikan.
Sebagai contoh adalah ketika Sarjana
Ekonomi sudah begitu banyak namun
kesempatan kerja untuk lulusannya tidak
berubah, maka institusi pendidikan perlu
mengurangi kuota mahasiswa dalam jurusan
Ekonomi tersebut. Sebaliknya, ketika sarjana
komputer/multimedia yang akan banyak
dibutuhkan, maka institusi pendidikan perlu
menambah kuota mahasiswa dalam jurusan
tersebut. Dengan demikian, terciptalah link
and match antara pendidikan dan
ketenagakerjaan, yang selanjutnya dapat
menghindar dari pemborosan sumber daya
pendidikan.
Penanggulangan yang lain untuk
mengurangi pengangguran adalah dengan
menanamkan,
mensosialisasikan,
dan
mendukung kewirausahaan. Namun, seperti
tercatat dalam Sensus Ketenagakerjaan
Nasional 2007, hanya 5 persen dari jumlah
angkatan kerja Indonesia yang berminat
pada kewirausahaan. Selebihnya lebih
memilih menjadi karyawan maupun pegawai
yang bekerja dengan mendapatkan gaji atau
upah.
Sebagaimana
diketahui
bahwa
kewirausahaan
tak
diragukan
lagi
merupakan salah satu solusi terbaik dalam
menghadapi pengangguran dimasa seperti
sekarang ini. Selain menciptakan pekerjaan
bagi diri sendiri, kewirausahaan juga
membuka kesempatan kerja bagi orang lain.
Namun kewirausahaan sangat membutuhkan
dukungan dari pemerintah, termasuk
dukungan modal, sarana dan prasarana.
Selain itu, kewirausahaan biasanya
tumbuh dan berkembang diantara mereka
yang memiliki keluarga dan lingkungan
yang sudah melakukan kegiatan wirausaha.
Dengan demikian wirausaha sudah menjadi
budaya mereka sejak kanak-kanak. Untuk
kelompok ini, pemerintah tidak perlu
menumbuhkan budaya wirausaha lagi. Bagi
mereka, yang penting pemerintah dapat
memberikan iklim usaha yang sehat.
Oleh karena itu, instansi terkait perlu
menumbuhkan
kelembagaan
budaya
wirausaha melalui usaha-usaha pendidikan
dan kegiatan-kegiatan lainnya, menciptakan
iklim usaha yang kondusif, kepastian usaha,
stabilitas ekonomi dan politik sehingga
dapat
menarik
dan
menggiatkan
kewirausahaan yang selanjutnya membuka
lapangan pekerjaan yang lebih besar.
Lapangan pekerjaan inilah yang sangat
dibutuhkan
dalam
meminimalisir
pengangguran, baik yang terdidik maupun
yang tidak terdidik.
Manajemen ketenagakerjaan memang
bukan hal yang mudah. Namun apabila
didukung oleh perencanaan pendidikan dan
analisis kesempatan kerja yang akurat, serta
iklim yang kondusif bagi wirausahawan,
tentu pengurangan tingkat pengangguran
akan dapat terealisasi.
3. Kebijakan Pemerintah di Bidang
Pendidikan
dalam
Menghadapi
Pengangguran
Adanya
mismatch
antara
yang
dihasilkan oleh lembaga pendidikan dengan
kebutuhan pasar tenaga kerja menjadi
perhatian serius pemerintah saat ini.
Keseriusan tersebut tercermin dalam
program unggulan 100 hari Kabinet
Indonesia Bersatu jilid 2. Pada program 100
hari, khususnya program pendidikan, akan
dirumuskan mekanisme, policy, dan action
plan dalam menangani mismatch tersebut.
Dalam rangka meningkatan kualitas
terhadap lulusan SMK, Depdiknas akan
memperbanyak simulasi-simulasi industri di
masing-masing SMK. Simulasi industri
dimaksud ditujukan agar para siswa SMK
mendapatkan pengetahuan tentang budaya
kerja, kondisi riil di industri, dan penguasaan
teknologi.
Pengembangan pola kemitraan juga
akan dilakukan sebagai rencana aksi
pemerintah. Kemitraan tersebut akan dijalin
antara SMK, pendidikan tinggi vokasi, dan
pelatihan keterampilan dengan dunia
industri, termasuk industri kreatif. Hal ini
dilakukan dalam rangka memperkuat
intermediasi dan kesempatan pemagangan
serta kesesuaian pendidikan/ pelatihan
dengan dunia kerja.
Upaya yang direncanakan dalam
Program Aksi 100 hari lainnya dalam bidang
pendidikan adalah:
Pertama:
peningkatan
pelayanan
pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu dan
terjangkau. Konsep Pendidikan Dasar 9
tahun sesuai dengan konsep Pendidikan
Dasar 9 tahun yang tertera pada UU
Sisdiknas 2003, yakni dimaksudkan untuk
memberikan peluang kepada siswa yang
tidak dapat meneruskan pendidikan ke
jenjang pendidikan menengah (SLTA).
Disamping itu, untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja kasar/teknisi yang banyak
dibutuhkan pada saat itu, yang dengan
pendidikan 6 tahun dianggap tidak memadai.
Pendidikan dasar 9 tahun juga merupakan
pondasi dari kualitas pendidikan. Dengan
demikian, masyarakat haruslah mendapat
kemudahan dalam mengakses pendidikan 9
tahun dengan mutu yang baik dan biaya
seminimal mungkin.
Kedua: peningkatan profesionalisme
dan pemerataan distribusi guru. Seperti
diketahui, guru merupakan pangkal dari
keberhasilan
pendidikan.
Dengan
meningkatkan profesionalisme guru berarti
akan memperbaiki kualitas pendidikan di
Indonesia. Hal inilah yang kemudian
membuahkan SDM-SDM yang bermutu dan
kemudian dapat bersaing dengan SDM luar
negeri. Dengan demikian akan terbuka
kesempatan kerja yang lebih luas karena tak
hanya terbatas di dalam negeri saja.
Ketiga: peningkatan daya saing
pendidikan tinggi. Rencana aksi dari
program ini adalah dengan memberikan
beasiswa PTN untuk 20.000 siswa
SMA/SMK berprestasi dan kurang mampu.
Selain
itu,
dengan
mengembangkan
kewirausahaan, termasuk technopreneur
(enterpreneur di bidang IT) bagi dosen dan
mahasiswa melalui kerjasama antar institusi
pendidikan dengan dunia usaha. Perlu pula
diketahui bahwa pada akhir-akhir ini
memang banyak perguruan tinggi yang telah
memasukkan mata kuliah kewirausahaan
sebagai mata kuliah wajib.
Melalui berbagai upaya sebagaimana
diuraikan diatas, diharapkan akan tercipta
link and match antara pendidikan dan
ketenagakerjaan yang dibutuhkan pasar
tenaga kerja, serta selanjutnya dapat
menurunkan tingkat pengangguran ke level
yang terendah
IV. PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan isi penulisan yang telah
disampaikan pada bahasan sebelumnya
didapatkanlah beberapa simpulan sebagai
berikut:
a. Peningkatan mutu dan kualitas
pendidikan dengan tenaga kerja yang
dihasilkan merupakan dua hal yang
mempunyai hubungan sangat erat, baik
dimasa lampau maupun dimasa yang
akan datang.
b. Sudah seharusnya dunia pendidikan
mampu menyediakan kebutuhan tenaga
kerja terampil dan siap pakai untuk
mengurangi
tingkat
pegangguran
dikalangan berpendidikan.
c. Link and Match yang baik antara dunia
pendidikan
dan
ketenagakerjaan
diharapkan
mampu
menurunkan
tingkat pengangguran secara signifikan.
d. Tingkat keberhasilan dunia pendidikan
dalam menghasilkan tenaga kerja yang
potensial mempunyai kaitan yang
sangat erat dengan adanya proses
pembelajaran yang baik dan guru yang
professional.
2.
a.
b.
Saran/Rekomendasi
Saran atau rekomendasi dari hasil
penulisan makalah ini adalah :
Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) harus membantu dunia
pendidikan
dengan
memberikan
pengarahan dan sosialisasi akan
pentingnya
perubahan
kurikulum
berbasis kompetensi dalam rangka
mempersiapkan lulusan yang potensial
kala memasuki dunia kerja dan dunia
industry (DUDI).
Dunia pendidikan harus secara rutin
dan
berkelanjutan
memperbaiki
kurikulum
pendidikannya
agar
c.
senantiasa dapat memenuhi kebutuhan
akan tenaga kerja ahli sesuai
bidangnya.
Pengembangan Sekolah Menengah
Kejuruan
yang
dicanangkan
pemerintah harus terus dilaksanakan
karena diharapkan dapat menyediakan
lulusan yang potensial dan tidak asing
dalam melakukan pekerjaannya saat
lulus dan tidak terpaku pada mencari
pekerjaan
namun
juga
dapat
menciptakan
lapangan
pekerjaan
sendiri dalam bentuk wirausaha.
REFERENSI:
Buku:
Danim, Sudarwan. 2010. Kepemimpinan
Pendidikan. Kepemimpinan Jenius
(IQ+EQ), Etika, Perilaku Motivasional,
dan Mitos. Bandung: Alfabeta
Hasibuan, Lias. 2010. Kurikulum dan
Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Gaung
Persada Pers.
Handoko, Hani, T. 1989. Manajemen.
Yogyakarta: BPFE.
Ni.am,
Asrorun.
2006.
Membangun
Profesionalitas Guru. Jakarta : eLSAS.
Purwanto, Ngalim. 1984. Psikologi
Pendidikan. Bandung: CV. Remaja
Karya.
Rosyada,Dede. 2004. Paradigma Pendidikan
Demokratis: Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.
Sukardjo, M dan Ukim Komarudin. 2009.
Landasan Pendidikan. Konsep dan
Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers.
Sukmadinata, Nana S dkk. 2006.
Pengendalian Mutu Pendidikan
Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip
dan Instrumen). Bandung: Refika
Aditama.
Simanjutak, Payaman. 2006. Pengantar
Ekonomi Surnber Daya Manusia.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Tim
Harris, Ben, C., Kemmeth E. Mc. Intyre, C.,
Littleton, Jr., Daniel, F. Long. 1979.
Personnel administration in education:
Leadership for instructional
improvement. Boston: Allyn
Bacon,Inc.
Herbert, T., Tbeodore. 1981. Dimensions of
organizational behavior. New York:
Mc. Millan Publishing, Co. Inc.
Hennerson, M.E., Morris, L.L., & Fotz,
Gibson, C.T., 1978. How to measure
attitude. London: Sage Publication
Beiurley-Hill.
Hamalik, Oemar. 2006. Pendidikan Guru
Berdasarkan Pendekatan Kompetensi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Kunandar.
2007.
Guru
Profesional:Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidkan Dan Sukses
Dalam Sertifikasi Guru Jakarta: Raja
Grafindo persada.
Mitchell, R., Terence & Larson, Jr. Jemas.
R. 1987. People in organization: An
introduction to organizational behavior.
New York: Mc.Graw-Hill, Inc.
Redaksi Nuansa Aulia. 2008.
Himpunan
Peraturan
Perundangundangan Republik Indonesia Tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Bandung: Nuansa Aulia.
Jurnal :
Pigay, Natalis. 2008. Otonomi Pendidikan
Dalam Konteks Ketenagakerjaan.
Jurnal Ketenagakerjaan. Volume 3 No.
1. Januari-Juni 2008.
Purba, Saut. 1993. Hubungan Tingkat
Pendidikan
dengan
performansi
mengajar guru STM Negeri Kotamadya
Medan. Malang: Program Pasca
Sarjana IKIP.
Sudianto, Mungit. 2006. Optimalisasi
Pembelajaran Muatan Lokal Dan
Relevansinya
Dengan
Kebutuhan
Lapangan Kerja Pada Pendidikan Dasar
9 Tahun. Surabaya: Jurnal Pendidikan
Dasar Vol.7, No.2, 2006: 109-113.
Surjiman.
1980.
Peningkatan
Mutu
Pendidikan
kejuruan
melalui
pembinaan jiwa wiraswasta.Analisis
Pendidikan tahun I nomor 2. Jakarta:
Depdikbud
Turin, La Ode. 2008. Hubungan Tingkat
Pendidikan Pengalaman Penataran Dan
Motivasi Kerja Dengan Performansi
Mengajar Guru-Guru Smu Negeri 3
Kendari Sulawesi Tenggara.
Download