bab i pendahuluan - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kopi merupakan komoditas ekspor terpenting kedua dalam perdagangan global,
setelah minyak bumi (Gregory dan Featherstone, 2008; ICO, 2010; Amsalu dan
Ludi, 2010). Kopi adalah komoditas pertanian yang diperdagangkan paling meluas
di dunia, sebagian besar dikelola petani skala kecil dengan peran wanita yang
signifikan (ITC, 2011).
Kopi dihasilkan oleh lebih dari 70 negara sedang
berkembang dimana 45 negara diantaranya memasok 97% produksi kopi dunia.
Kopi merupakan komoditas penting sebagai agent of development yang
memberikan pendapatan, dan karena proses produksi dan panennya adalah padat
tenaga kerja, mampu menjadi sumber kesempatan kerja yang penting di perdesaan,
baik untuk tenaga kerja laki-laki maupun perempuan (ICO, 2009; Marsh, 2005;
Roldán-Pérez et al., 2009).
Pada tahun 2010, Indonesia menjadi negara produsen kopi utama ketiga di dunia
setelah Brazil dan Vietnam, sementara pada posisi keempat adalah negara Kolombia.
Keempat negara ini menghasilkan 63,48% produksi kopi dunia (ICO, 2012).
Produksi kopi di 14 negara penghasil terbesar disajikan pada Tabel 1. Produksi kopi
Indonesia dan Vietnam masih dominan kopi robusta; sementara produsen terbesar
(Brazil) dan urutan keempat (Kolombia) lebih dominan menghasilkan kopi arabika.
Kopi merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang mempunyai
kontribusi yang cukup nyata dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penghasil
devisa, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan
lapangan kerja dan pengembangan wilayah.
Pemerintah telah menetapkan
komoditas utama yang menjadi prioritas pengembangan dalam beberapa tahun ke
depan, lima di antaranya adalah komoditas pertanian. Satu di antara komoditas
pertanian tersebut adalah kopi, sedangkan empat lainnya adalah kakao, karet, kelapa
1
Universitas Sumatera Utara
sawit, dan udang (Soemarno et al., 2009). Kopi merupakan komoditas unggulan
nasional (Kementerian Pertanian RI, 2009) dan Indonesia mempunyai keunggulan
komparatif dan kompetitif dalam memproduksi kopi, yang berarti mempunyai
peluang untuk meningkatkan luas kebun, produksi, dan ekspor kopi (Susila, 1999).
Tabel 1. Negara produsen kopi dunia dan jenis kopi yang dihasilkan tahun 2010
No.
Negara
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Brazil
Vietnam
Indonesia
Kolombia
Ethiopia
India
Meksiko
Honduras
Peru
Guatemala
Uganda
El Salvador
Nicaragua
Costa Rica
Lainnya *)
Dunia
Produksi
ton
2.885.700
1.168.020
547.740
511.380
450.000
301.980
291.000
259.560
238.560
237.000
197.400
111.540
108.240
95.280
650.160
8.053.560
%
35,83
14,50
6,80
6,35
5,59
3,75
3,61
3,22
2,96
2,94
2,45
1,38
1,34
1,18
8,07
100
Jenis kopi
Arabika > Robusta
Robusta > Arabika
Robusta > Arabika
Arabika
Arabika > Robusta
Arabika
Arabika
Arabika
Arabika > Robusta
Arabika
Robusta > Arabika
Robusta
Arabika
Arabika
Robusta/Arabika
Keterangan: > berarti lebih banyak, *) lebih dari 50 negara
Sumber: ICO (2012), http://www.ico.org
Pada tingkat nasional, Provinsi Sumatera Utara berada pada posisi keempat
dalam produksi total kopi arabika dan robusta. Produksi total Sumatera Utara pada
tahun 2010 mencapai 55 ribu ton.
Produsen kopi terbesar di Indonesia adalah
Provinsi Lampung (145 ribu ton), disusul Sumatera Selatan (138 ribu ton) dan
Bengkulu (hampir 56 ribu ton). Dari sisi produktivitas, Provinsi Sumatera Utara
dengan produktivitas 1.022 kg/ha/tahun, menempati posisi kedua setelah NAD
dengan produktivitas sebesar 1.158 kg/ha/tahun. Secara nasional, produktivitas kopi
di Indonesia adalah 780 kg/ha/tahun dalam bentuk kopi biji (Tabel 2).
2
Universitas Sumatera Utara
3
Tabel 2. Luas kebun, produksi dan produktivitas kopi perkebunan rakyat
(arabika dan robusta) di Indonesia menurut provinsi tahun 2010
No.
Provinsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Lampung
Sumatera Selatan
Bengkulu
Sumatera Utara
NAD
Sulawesi Selatan
Jawa Timur
Sumatera Barat
NTT
Jawa Tengah
Bali
Lainnya
Indonesia
Produksi
ton
%
145.025 22,04
138.385 21,03
55.845
8,49
55.119
8,38
47.739
7,26
35.545
5,40
31.436
4,78
29.899
4,54
20.173
3,07
16.225
2,47
14.360
2,18
68.158 10,00
657.909
100
Luas areal (Ha)
TM
Total
144.854
162.342
212.325
256.138
74.886
91.434
53.958
80.106
41.222
90.942
48.405
70.764
37.196
53.906
30.540
38.865
38.343
71.528
27.324
35.612
26.166
33.061
108.727
136.871
843.946 1.162.810
Produktivitas
(kg/ha/thn)
1.001
652
746
1.022
1.158
734
845
979
526
594
549
627
780
Keterangan: produksi dan produktivitas dalam wujud kopi biji (green coffee)
Sumber: Ditjen Perkebunan (2011)
Keunggulan Sumatera Utara adalah sebagai produsen kopi arabika terbesar di
Indonesia (Tabel 3). Produksi tahun 2010 mencapai 46.814 ton dengan pertumbuhan
4,59% per tahun periode 2006-2010. Jumlah produksi ini memberikan kontribusi
33,20% dalam produksi kopi arabika nasional.
Tabel 3. Perkembangan produksi kopi arabika di Indonesia tahun 2006-2012 (ton)
Provinsi
2006
2007
2008
2009
2010
20111
20122
Sumatera Utara
38.524
40.964
45.744
45.483
46.657
46.814
46.896
NAD
27.420
27.420
40.707
41.592
39.457
39.712
39.719
Sulawesi Selatan
17.044
17.853
17.606
16.964
21.798
21.792
21.798
Sumatera Barat
14.019
14.397
15.870
15.873
14.788
14.915
14.915
NTT
4.098
4.651
5.129
5.154
4.878
4.882
4.893
Bali
2.678
3.295
3.136
3.475
3.254
3.364
3.369
Jawa Timur
1.869
1.869
2.145
2.294
2.485
2.931
2.935
Sulawesi Barat
5.080
4.450
4.450
4.359
2.162
2.172
2.179
Bengkulu
2.830
696
849
2.260
1.733
1.297
1.302
Jawa Tengah
973
1.319
1.320
1.392
1.485
846
972
Papua
2.451
2.451
2.664
2.335
1.360
1.360
1.360
Lainnya
912
961
528
526
455
455
444
Indonesia
117.898 120.326 140.148 141.707 140.512 140.540 140.782
Keterangan: Produksi dan produktivitas dalam wujud kopi biji (green coffee)
1
angka sementara, 2angka estimasi, 3r = tingkat pertumbuhan 2006-2010 (% per tahun)
r3
4,59
9,79
5,38
1,15
4,01
4,16
6,76
-29,49
16,68
9,44
-25,93
-23,15
10,31
Sumber: Ditjen Perkebunan (2012)
Universitas Sumatera Utara
4
Posisi kedua sebagai produsen kopi arabika ditempati oleh Provinsi NAD dengan
produksi 39.457 ton dengan tingkat pertumbuhan 9,79% per tahun pada periode
2006-2010.
Posisi ketiga sampai lima besar adalah Provinsi Sulawesi Selatan,
Sumatera Barat, dan NTT (Ditjen Perkebunan, 2012). Provinsi lainnya, Bali, Jawa
Timur, Sulawesi Barat, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Papua, walaupun memberikan
produksi yang relatif kecil namun merupakan wilayah penghasil kopi arabika penting
karena keunikan masing-masing wilayah.
Kabupaten penghasil kopi arabika yang utama di Sumatera Utara adalah
Kabupaten Dairi, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, Humbang Hasundutan, Toba
Samosir, Samosir, dan Pakpak Bharat. Tabel 4 menyajikan kabupaten penghasil
kopi arabika di Sumatera Utara.
Kopi arabika dari Sumatera Utara telah lama
dikenal dan memiliki reputasi global dengan nama Mandheling Coffee dan Lintong
Coffee.
Tabel 4. Produksi, luas kebun, dan produktivitas kopi arabika
di Sumatera Utara menurut kabupaten tahun 2010
No.
Kabupaten
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Dairi
Tapanuli Utara
Simalungun
Karo
Humbahas
Tobasa
Samosir
Pakpak Bharat
Deli Serdang
Madina
Jumlah
Produksi
ton
%
10.031 21,74
9.130 19,79
7.245 15,70
6.448 13,98
5.496 11,91
3.383
7,33
2.573
5,58
1.151
2,49
678
1,47
346
0,75
46.135
100
Luas (Ha)
TM
Total
7.902
10.339
8.662
13.571
4.830
7.245
4.381
6.448
6.972
11.238
1.841
2.357
2.506
3.893
1.164
1.371
669
867
496
1.695
38.927
55.449
Produktivitas
(kg/ha/thn)
1,269
1,054
1,500
1,472
788
1,838
1,027
989
1,013
698
1,185
Keterangan: tidak diperoleh informasi tentang wujud produksi dan produktivitas
Sumber: Sumatera Utara Dalam Angka 2011 (data diolah)
Pengembangan kopi arabika di Kabupaten Simalungun memberikan kontribusi
bagi produksi kopi Sumatera Utara hingga dikenal sebagai wilayah penghasil utama
kopi arabika spesialti di Indonesia. Ekspor kopi arabika dari Sumatera bagian Utara
Universitas Sumatera Utara
5
memperoleh harga premium sebesar 30% dari kopi sejenis di Indonesia.
Karena
memiliki karakter yang unik, kopi arabika dari NAD dan Sumatera Utara merupakan
kopi arabika spesialti yang memiliki permintaan yang tinggi dari pembeli kopi
spesialti (Ottaway, 2007).
Mandheling adalah suatu sebutan untuk Mandailing pada saat penjajahan
Belanda, yang merupakan istilah untuk kelompok etnik, bukan istilah untuk wilayah
(Sweet Maria, 2011).
Asal usul kopi dengan sebutan Mandheling merupakan
wilayah geografis di dataran tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara, dengan elevasi
1.000 sampai 1.600 m di atas permukaan laut (dpl), jenis tanahnya vulkanik subur,
iklim basah, dan dekat dengan garis khatulistiwa. Prakiraan produksi sekitar 10.000
sampai 15.000 ton kopi biji per tahun yang diolah dengan metode pengolahan basah
(wet-hulled arabica). Kopi arabika dari wilayah Simalungun termasuk ke dalam
kelompok Mandheling Coffee (Mawardi, 2008b), dan Mandheling Coffee
merupakan kopi spesialti atau specialty coffee (Mawardi, 2007; Mawardi, 2009;
Wahyudi dan Misnawi, 2007).
Sementara Lintong Coffee merupakan sebutan dagang bagi kopi yang awalnya
berasal dari Lintong Ni Huta di Humbang Hasundutan. Wilayah geografisnya di
dataran tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara, terutama di sekitar Danau Toba dengan
kondisi: elevasi 1.300 sampai 1.600 m dpl, jenis tanah vulkanik subur, iklim basah,
dan juga dekat dengan garis khatulistiwa. Prakiraan produksi sekitar 5.000 sampai
10.000 ton kopi biji per tahun yang diolah dengan metode pengolahan basah. Kopi
jenis ini berasal dari wilayah Toba (Mawardi, 2008b).
Kabupaten Simalungun merupakan penghasil kopi arabika ketiga terbesar di
Sumatera Utara, setelah Kabupaten Dairi dan Tapanuli Utara (BPS, 2011), dan
menjadi salah satu wilayah penting penghasil kopi arabika spesialti di Sumatera
Utara. Saat ini, komoditas kopi arabika menjadi sumber pendapatan yang penting
bagi petani di wilayah dataran tinggi Kabupaten Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
6
Meskipun posisi Simalungun berada pada peringkat ketiga dalam produksi total,
pemilihan Kabupaten Simalungun sebagai lokasi penelitian didasarkan pada dua
landasan pemikiran. Kopi arabika dari Kabupaten Simalungun merupakan salah satu
jenis kopi spesialti dalam kelompok Mandheling Coffee (Wahyudi dan Misnawi,
2007) namun masih relatif kurang dikenal sebagai komoditas khas wilayah (regional
brand) sebagaimana kopi sejenis di Sumatera Utara seperti kopi Lintong atau kopi
Sidikalang. Kajian mengenai regional brand antara lain dilakukan oleh Neilson
(2011) untuk kopi Toraja dan kopi Kintamani. Selain itu, kopi arabika spesialti dari
Simalungun masih sedikit yang memeroleh pengakuan sertifikasi bila dibandingkan
dengan kopi dari Kabupaten Dairi dan Tapanuli Utara.
Tanaman kopi arabika Sigarar utang mulai ditanam secara meluas sejak 10-15
tahun yang lalu, dan perkembangannya merupakan fenomena yang menarik untuk
dikaji. Sejak dikembangkan 15 tahun yang lalu; beberapa masalah dan potensi
pengembangan kopi arabika spesialti perlu mendapat kajian. Masalah dan potensi
pengembangannya menunjukkan pentingnya penelitian tentang produksi kopi
arabika dengan beberapa dasar pemikiran.
Pertama, kopi arabika merupakan komoditas unggulan Kabupaten Simalungun
(Dinas Perkebunan Kabupaten Simalungun, 2007) namun produktivitasnya masih
relatif rendah, yaitu hanya 50-65% dari potensi produksi. Artinya, terdapat kesenjangan antara produksi aktual dan produksi potensial sebesar 35-50%. Diskin (1997)
menggunakan kesenjangan (gap) antara produksi aktual dan produksi potensial
sebagai salah satu indikator kinerja produktivitas pertanian. Indikator kesenjangan
ini kemudian digunakan dalam beberapa kajian empiris. Di dataran tinggi Gayo
(Karim, 2012), produktivitas kopi arabika di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo
Lues masih rendah dibandingkan dengan potensi produksi yang dapat mencapai
1,50–2,00 ton/ha/tahun. Produktivitas kopi arabika dapat mencapai 60% dari potensi
produksinya. Menurut Atekan et al. (2005), produktivitas kopi di Papua jauh lebih
rendah dibandingkan dengan potensi hasil yaitu 1,50–2,00 ton/ha/tahun, dimana
Universitas Sumatera Utara
7
salah satu faktor penyebabnya adalah tehnik budidaya masih sederhana tanpa
pemupukan. Winarsih (1985) menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian di
berbagai negara penghasil kopi menunjukkan bahwa produktivitas kopi per unit luas
tanah lebih rendah dari nilai potensinya.
Pengembangan kopi arabika di Kabupaten Simalungun dihadapkan pada masalah
produktivitas yang rendah, kualitas produk yang rendah, keterbatasan akses terhadap
penetrasi pasar, infrastruktur, dan regulasi (USAID-AMARTA, 2010).
Secara
nasional, kendala komoditas kopi di Indonesia adalah produktivitas dan kualitas
yang masih rendah (Ibrahim dan Zailani, 2010).
Karim (2012) menyatakan bahwa penyebab rendahnya produksi kopi adalah
belum ditanam pada kelas kesesuaian lahan yang tepat, ditanam pada lahan dengan
kemiringan lebih dari 15% tanpa diikuti tindakan konservasi lahan, tingkat
kesuburan tanah yang rendah, varietas yang sangat variatif, pengendalian hama dan
penyakit serta pengelolaan naungan belum optimal.
Produktivitas dan kualitas
citarasa kopi arabika organik yang masih rendah dari dataran tinggi Gayo
disebabkan oleh pemeliharaan belum optimal, kesuburan tanah menurun, kapasitas
sumberdaya manusia kurang, kelembagaan petani lemah, kopi sudah tua, dan
varietas bercampur dalam hamparan dataran tinggi.
Tabel 5 menunjukkan bahwa produktivitas kopi arabika di Kabupaten
Simalungun selama 13 tahun terakhir adalah 1.300 kg/ha/tahun. Sementara produksi
potensial kopi arabika yang ditanam petani di Kabupaten Simalungun (varietas
Sigarar Utang) dapat mencapai 1.500 kg kopi biji/ha/tahun untuk populasi tanaman
1.600 pohon/ha (Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 205 Tahun 2005) dan
2.000-2.500 kg/ha/ tahun untuk populasi tanaman 2.000 pohon/ha (Mawardi et al.,
2008). Kopi arabika Sigarar Utang dilepas sebagai varietas unggul oleh Menteri
Pertanian RI tahun 2005 (Lampiran 1).
Kopi arabika spesialti di Kabupaten Simalungun dihasilkan di sembilan
kecamatan utama sentra produksi yaitu Kecamatan Silimakuta, Pamatang
Universitas Sumatera Utara
8
Silimahuta, Purba, Dolok Pardamean, Raya, Sidamanik, Pamatang Sidamanik, Dolok
Silou, dan Girsang Sipangan Bolon. Sembilan kecamatan tersebut berada di wilayah
dataran tinggi dan menghasilkan sekitar 85% produksi kopi arabika Kabupaten
Simalungun.
Tabel 5. Perkembangan luas kebun, produksi, produktivitas dan jumlah petani pada
perkebunan kopi arabika di Kabupaten Simalungun, 1999-2010
Luas (ha)
Produksi Produktivitas Jumlah RT
(ton)
(kg/ha/tahun)
Petani
TBM
TM
TTM
Jumlah
1.
1999
340
3.110
930
4.380
3.134
776
12.896
2.
2000
766
3.966
17
4.749
3.877
978
12.970
3.
2001
1.143
1.148
2.291
1.151
1.003
11.735
4.
2002
1.752
1.379
3.131
1.387
1.006
13.182
5.
2003
2.144
1.731
3.875
2.492
1.440
14.109
6.
2004
1.548
2.395
3.943
3.562
1.487
14.171
7.
2005
1.378
2.850
4.228
4.227
1.483
14.244
8.
2006
1.827
3.442
5.269
5.148
1.433
15.229
9.
2007
1.870
3.889
5.759
5.818
1.496
15.360
10.
2008
1.915
4.321
6.236
6.460
1.495
15.939
11.
2009
1.847
4.830
6.677
7.245
1.500
16.323
12.
2010
1.385
5.384
6.769
7.077
1.314
16.416
13.
2011
1.211
5.656
200
7.067
8.487
1.501
16.984
r
20,01
11,60
7,00
15,50
5,82
2,35
Keterangan: TBM = tanaman belum menghasilkan, TM = tanaman menghasilkan, TTM = tanaman
tidak menghasilkan, RT = rumah tangga, r = pertumbuhan (% per tahun)
No.
Tahun
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Simalungun 1998-2010 (diolah)
Kedua, luas areal dan produksi kopi dari Simalungun selama ini didominasi oleh
kopi robusta, maka sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan luas areal dan
produksi kopi arabika yang relatif cepat. Pada tahun 2010, luas areal (6.769 ha) dan
produksi (7.077 ton) kopi arabika telah melampaui luas areal (2.831 ha) dan produksi
(2.359 ton) kopi robusta. Perkembangan luas areal tanaman kopi arabika kurun
waktu 1998-2010 mencapai 7% per tahun, sementara perkembangan produksi cukup
mengesankan yaitu 15,5% per tahun (Dinas Perkebunan Kabupaten Simalungun,
2011).
Ketiga, pengelolaan kebun kopi arabika di Sumatera Utara seluruhnya dalam
bentuk perkebunan rakyat, berbeda dengan tanaman perkebunan lainnya seperti
Universitas Sumatera Utara
9
kelapa sawit dan karet yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan besar negara
(PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS). Dengan demikian, setiap upaya untuk
meningkatkan produksi kopi arabika diharapkan berdampak langsung bagi wilayah
dan masyarakat.
Jumlah petani yang mengelola kebun kopi arabika di Kabupaten
Simalungun mencapai 16.416 rumah tangga. Dengan menggunakan data jumlah
anggota keluarga rata-rata sebanyak 4,08 orang (BPS Kabupaten Simalungun, 2010),
maka jumlah petani yang mengelola usahatani kopi arabika mencapai 67 ribu jiwa.
Arifin (2011) menyatakan bahwa usahatani kopi di Indonesia melibatkan petani kopi
rakyat dengan jumlah banyak, dan berkontribusi pada ekonomi rumah tangga.
Keempat, agropedoklimat wilayah Kabupaten Simalungun sesuai untuk kopi
arabika. Agropedoklimat adalah kesesuaian teknis komoditi tertentu terhadap sifat
fisik, kimia tanah dan iklim setempat, termasuk temperatur, curah hujan, jumlah hari
hujan, intensitas cahaya, dan faktor lingkungan lainnya (Kementerian Pertanian RI,
2010). Kopi arabika Sigarar Utang sesuai ditanam pada kondisi lingkungan wilayah
Sumatera Utara, terutama bila ditanam pada ketinggian tempat di atas 1.000 m dpl,
tipe iklim A, B atau C (menurut klasifikasi Schmidt & Ferguson) dengan pola
sebaran hujan merata sepanjang tahun (Kepmentan RI 205/2005). Kondisi iklim di
Kabupaten Simalungun sangat sesuai untuk tanaman kopi dengan curah hujan merata
sepanjang tahun dengan rata-rata 306 mm/bulan dan kelembaban udara rata-rata
86%.
Selain itu, sembilan kecamatan sentra produksi kopi arabika yang telah
dikemukakan sebelumnya pada umumnya berada pada ketinggian di atas 1.000 m
dpl (BPS Kabupaten Simalungun, 2010).
Kelima, komoditas kopi ditetapkan oleh Kementerian Pertanian RI sebagai
komoditas prioritas dalam Program Revitalisasi Perkebunan (PRP) di Indonesia
mulai tahun 2011. Menurut Wahyudi et al. (2006), program perluasan areal kopi
arabika diprioritaskan ke Provinsi Sumatera Utara, kemudian NAD, Sumatera Barat,
Bengkulu, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Komponen utama PRP meliputi perluasan, peremajaan, dan rehabilitasi perkebunan.
Universitas Sumatera Utara
10
Tahun
2012,
Direktorat
Jenderal
Perkebunan
Kementerian
Pertanian
RI
melaksanakan Program Intensifikasi Tanaman Kopi dimana untuk Sumatera Utara
dimulai di Kabupaten Simalungun yang meliputi 11 kecamatan penghasil kopi
arabika dengan luas 1.000 ha (Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2012).
Keenam, potensi lahan kering di Kabupaten Simalungun masih terbuka luas
untuk pengembangan kopi arabika spesialti.
Luas lahan kering dan kebun di
sembilan kecamatan produsen kopi arabika disajikan pada Tabel 6. Kementerian
Pertanian RI (2010) merekomendasikan penggunaan kopi arabika varietas Sigarar
Utang dalam program perluasan areal kopi arabika di Indonesia. Rekomendasi ini
didasarkan pada beberapa keunggulan kopi Sigarar Utang, yaitu: (1)
sudah
mendapat SK Menteri Pertanian, (2) umur panen pendek, hanya sekitar 18 bulan
setelah tanam, (3) tanaman kecil atau kate (dwarf coffee), memungkinkan ditanam
dengan populasi banyak, (4) produktivitas relatif tinggi, dan (5) dapat ditanam mulai
ketinggian 700 m di atas permukaan laut.
Ketujuh, hasil kajian empiris terdahulu (Wollni dan Brümmer, 2009; Doutriaux
et al., 2008; Poudel et al., 2011; Poudel et al., 2010; Nchare, 2007; Saliu et al., 2010;
Mauro, 2010; van der Vossen, 2005; Safa, 2005; Suwarno et al., 2005) telah
menganalisis pengaruh faktor sosial ekonomi dan ekologi terhadap produksi kopi.
Sebagai komoditas penting bagi petani dan komoditas ekspor penghasil devisa bagi
negara,
keberlanjutan produksi kopi menjadi tuntutan pasar global. Karena itu,
pengaruh faktor sosial ekonomi dan ekologi terhadap produksi kopi arabika spesialti
di Kabupaten Simalungun merupakan penelitian yang perlu dilakukan.
Kopi arabika dari Kabupaten Simalungun menjadi lebih penting didasarkan pada
minat lembaga internasional dalam pelatihan, riset dan pengembangan kopi arabika
di wilayah ini. IFC-Bank Dunia melakukan survai dan pelatihan di tingkat kelompok
tani kopi di Simalungun. IFC-Bank Dunia bahkan membangun Pusat Pelatihan
Petani Kopi Sumatera (Farmer Training Center, FTC) di Tigaraja, Kecamatan
Pamatang Silimahuta, Kabupaten Simalungun.
Setelah di Afrika Selatan, IFC
Universitas Sumatera Utara
11
memilih Indonesia untuk proyek percontohan dan wilayah yang dipilih adalah
Sumatera Utara karena potensi produksi kopi masih sangat besar (IFC, 2010).
Tabel 6. Luas areal dan potensi yang dimiliki kelompok tani
untuk pertanian lahan kering tahun 2010
Luas areal atau potensi (ha)
Lahan kering
Kebun
Jumlah
1. Silimakuta
189
8.446
8.635
2. Pamatang Silimahuta
89
5.366
5.455
3. Purba
417
18.048
18.465
4. Dolok Pardamean
8.290
381
8.671
5. Sidamanik
523
5.168
5.691
6. Pamatang Sidamanik
264
6.259
6.523
7. Raya
3.585
13.811
17.396
8. Dolok Silou
1.269
18.975
20.244
9. Girsang Sipangan Bolon
1.552
2.085
3.637
Jumlah
16.178
78.539
94.717
Sumber: BPS Kabupaten Simalungun, 2011
No. Kecamatan
Selain masalah produktivitas yang masih relatif rendah sebagaimana diuraikan di
atas, kopi arabika spesialti Kabupaten Simalungun juga dihadapkan pada masalah
kualitas produk yang relatif rendah (USAID-AMARTA, 2010). Secara umum, kopi
arabika Simalungun termasuk kopi spesialti (Mawardi, 2007; Mawardi, 2009;
Wahyudi dan Misnawi, 2007) karena kondisi iklim dan jenis tanah, ketinggian
tempat, varietas kopi, dan cara pengolahan basah yang unik (Marsh, 2005).
Rhinehart (2009) menyatakan bahwa kopi spesialti dihasilkan dari iklim-mikro
geografis khusus yang menghasilkan biji kopi dengan profil citarasa unik.
Kementerian Pertanian RI (2010a) mendefinisikan kopi spesialti sebagai kopi yang
mempunyai cita rasa yang khas, tumbuh pada daerah yang khas dan sudah dikenal
oleh masyarakat internasional.
Pengakuan pasar internasional secara formal atas produk kopi berkualitas tinggi
dilakukan melalui program sertifikasi. Kopi dengan kategori spesialti ditetapkan
melalui standar tertentu. Dengan adanya sertifikasi konsumen akan yakin bahwa
kopi yang dikonsumsi telah diproduksi sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan, sehingga konsumen bersedia membayar lebih mahal dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
12
peduli terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Program sertifikasi
produk kopi antara lain adalah Organic, Fairtrade, Utz Certified, Rainforest Alliance,
C.A.F.É. Practices, Common Code for the Coffee Community (4C), Bird Friendly,
dan Indikasi Geografis (Mawardi, 2008b).
Berdasarkan informasi, hanya sebagian kecil kopi arabika spesialti Simalungun
yang memperoleh sertifikasi. Kelompok Karya Bakti di Kecamatan Sidamanik dan
Pamatang Sidamanik memperoleh sertifikat C.A.F.É. Practices (Zaenudin, 9 Juni
2011, komunikasi pribadi). Informasi yang sama diperoleh berdasarkan komunikasi
pribadi pada tanggal 1 Juli 2011 dengan Edwin Saragih (konsultan IFC-Bank Dunia)
yang sedang menangani pengembangan kopi arabika di Sumatera Utara. Berdasarkan
informasi yang diperoleh pada kunjungan Tim IFC ke kelompok tani Gapermas di
Kecamatan Pamatang Sidamanik tanggal 14 Oktober 2011, IFC sedang
mendampingi petani kopi arabika spesialti di lokasi tersebut dalam rangka persiapan
program sertifikasi Utz Certified dan Rainforest Alliance.
Dari aspek sertifikasi kopi, penelitian ini ingin membandingkan kinerja usahatani
antara kopi arabika sertifikat dan kopi arabika spesialti non-sertifikat. Tujuan yang
ingin dicapai adalah untuk mengetahui apakah petani memeroleh manfaat yang lebih
baik dari sertifikasi kopi. Hasil kajian ini diharapkan bermanfaat untuk rekomendasi
perluasan wilayah usahatani kopi arabika spesialti yang perlu diikutsertakan dalam
program sertifikasi melalui pola kemitraan multipihak. Sebagai rujukan, penelitian
komparatif antara kinerja sosial ekonomi kopi spesialti organik dan kopi
konvensional dilakukan di Nepal (Poudel et al., 2011), perbandingan kinerja sosial
ekonomi usahatani kopi antar-wilayah dilakukan di Vietnam (Doutriaux et al., 2008),
dan perbandingan pertumbuhan dan produksi kopi antara kopi berpelindung dan kopi
tanpa pelindung di Ethiopia (Bote dan Struik, 2011).
Dari aspek tata guna lahan, salah satu masalah yang dihadapi dalam
pengembang-an
kopi
arabika
spesialti
di
Kabupaten
Simalungun
adalah
ketidaksesuaian tata guna lahan sebagian lokasi usahatani kopi arabika dengan pola
Universitas Sumatera Utara
13
ruang wilayah setelah terbit-nya Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor
SK.44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi
Sumatera Utara Seluas 3.742.120 Hektar tanggal 16 Pebruari 2005 (selanjutnya
disebut SK 44/2005). Keputusan ini mengakibatkan kawasan hutan Sumatera Utara,
termasuk Kabupaten Simalungun, semakin luas. Akibatnya, sebagian permukiman
penduduk dan lahan usahatani kopi arabika di wilayah dataran tinggi Kabupaten
Simalungun masuk ke dalam kawasan hutan.
Akibat lokasi lahan usahatani kopi arabika rakyat masuk dalam kawasan hutan
maka petani tidak dapat mengurus sertifikat hak milik (SHM) atas lahan tersebut.
Hal ini menjadi kendala serius bagi petani dalam merespon program revitalisasi
perkebunan yang memasukkan tanaman kopi sebagai komoditas prioritas sejak tahun
2011.
Para petani kopi tidak dapat mengajukan usulan skim kredit revitalisasi
perkebunan untuk komoditas kopi karena tidak memiliki sertifikat hak milik (SHM)
atas lahannya sebagai agunan kredit ke pihak perbankan.
Berdasarkan pemikiran bahwa sebagian lahan usahatani kopi arabika spesialti
masuk dalam kawasan hutan, ingin dikaji secara deskriptif mengenai kesesuaian tata
guna lahan usahatani kopi arabika berdasarkan RTRW Kabupaten Simalungun dan
SK 44/2005. Hasil kajian ini diharapkan dapat mendorong pemerintah pusat untuk
mempercepat revisi SK 44/2005 dan selanjutnya memacu pemerintah daerah untuk
merevisi RTRW Kabupaten Simalungun untuk mendukung pengembangan kopi
arabika spesialti.
Sebagai komoditas andalan dan komoditas penting dalam perdagangan global,
pengembangan kopi arabika spesialti selayaknya memperoleh dukungan kebijakan
dan program dari pemerintah daerah.
Penelitian Winoto dan Siregar (2008)
menyimpulkan perlunya kebijakan pertanian dan pedesaan yang komprehensif untuk
mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Efektifitas kebijakan tersebut tergantung
pada keterpaduan terobosan program terutama untuk meningkatkan produktivitas,
pengembangan infrastruktur dan sosial ekonomi kelembagaan pedesaan. Heimlich
Universitas Sumatera Utara
14
(2003) menyatakan bahwa program pemerintah di bidang pertanian dan usahatani
memengaruhi produktivitas melalui alokasi sumberdaya. Selain itu, pengembangan
infrastruktur memengaruhi produktivitas pertanian melalui investasi dalam
transportasi publik. Pengalaman di beberapa negara produsen kopi menunjukkan
adanya kebijakan dan program yang berpihak pada petani kopi.
Negara Brazil merupakan produsen terbesar kopi yang menghasilkan sekitar 35%
dari produksi total kopi dunia. Kebijakan dan program yang ditempuh sejak tahun
1990-an antara lain adalah penanaman kopi di wilayah-wilayah tidak berisiko frost,
menerapkan teknologi baru seperti pertanaman dengan kerapatan tinggi, mengembangkan sistem panen mekanis, investasi dalam teknik pengolahan, pengembangan
kopi spesialti dan memperluas program sertifikasi kopi. Upaya-upaya tersebut telah
membantu meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya produksi (Promar
International, 2001).
Kebijakan yang ditempuh negara Vietnam dalam pengembangan kopi ditujukan
untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing kopi mereka di pasar internasional.
Roldán-Pérez et al. (2009) mendeskripsikan serangkaian kebijakan dan program
Pemerintah Vietnam dalam pengembangan kopi di wilayah dataran tinggi di negara
tersebut. Kebijakan yang ditempuh antara lain adalah: (1) promosi peningkatan
konsumsi kopi dalam negeri, (2) peningkatan daya saing sektor kopi, (3) peningkatan
investasi transportasi, reservoar dan sistem kanal irigasi kebun kopi, (4) intensifikasi
kebun kopi, (5) peralatan pengolah, serta (6) reformasi kebijakan pertanahan di
wilayah dataran tinggi (Doutriaux et al., 2008).
Di negara Kolombia, kebijakan yang ditempuh berkaitan langsung pada petani
kopi. Di negara ini ditempuh kebijakan harga melalui Kontrak Proteksi Harga
dengan menetapkan jaminan harga tetap untuk petani kopi (Roldán-Pérez et al.,
2009). Program pengembangan kopi di wilayah sentra produksi difokuskan pada:
(1) peremajaan tanaman, perbaikan varietas, dan kualitas kopi, (2) teknologi
produksi hijau: kopi organik dan kopi berpelindung, (3) teknologi pengolahan ramah
Universitas Sumatera Utara
15
lingkung-an, (4) teknik promosi kualitas kopi, dan (5) kebijakan terkait Indikasi
Geografi (Giugale et al., 2003).
Kajian yang dilakukan Tiwari (2010) di Nepal menunjukkan bahwa akibat
kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan dalam program promosi
kopi mengakibatkan kualitas kopi Nepal berada di bawah standar internasional,
padahal 65% produksi kopi Nepal ditujukan untuk pasar ekspor. Karanja dan Nyoro
(2002) melakukan kajian tentang reformasi kebijakan pengembangan kopi di Kenya.
Kebijakan diarahkan untuk memperbaiki insentif petani dan merespon sejumlah
program pengembangan industri kopi. Program pengembangan kopi antara lain
diarahkan untuk intensifikasi di wilayah berpotensi tinggi, introduksi varietas kopi
dengan produksi dan kualitas tinggi, restrukturisasi kelembagaan, pemasaran
strategik, modernisasi pasar lelang, dan peningkatan kapasitas pengolahan.
Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini ingin menganalisis kebijakan dan
program pengembangan kopi spesialti di Kabupaten Simalungun. Aspek kebijakan
dilihat dari dokumen perencanaan daerah yaitu Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD), sementara aspek program dilihat dari Renstra, Renja,
dan realisasi program SKPD, yaitu DPKS, Badan Pelaksanan Penyuluhan dan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan. Analisis kebijakan dan program ditujukan untuk
memeroleh kebijakan dan program yang diharapkan melalui metode analisis
kebutuhan (need assessment).
Penelitian ini juga melakukan kajian tentang peran kopi arabika spesialti dalam
pengembangan ekonomi lokal. Indikator yang digunakan dalam kajian PEL adalah
pendapatan, kesempatan kerja, dan peningkatan aktivitas ekonomi wilayah.
Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa tujuan utama pengembangan ekonomi
lokal (PEL) adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja lokal (Supriana dan
Nasution, 2010; Chmura dan Orozobekov, 2009; Weisbrod et al., 2004; James et al.,
2002). Pada gilirannya, peningkatan kesempatan kerja lokal akan meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat wilayah tersebut.
Thirtle et al. (2001)
Universitas Sumatera Utara
16
menyimpulkan bahwa variabel produktivitas pertanian memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Terdapat hubungan yang kuat antara
produktivitas pertanian dan kemiskinan. Sementara kebijakan PEL juga bertujuan
untuk mengurangi kemiskinan masyarakat lokal (Rodriguez-Poso, 2001; Joseph,
2002; Alburquerque, 2004). Dengan terminologi yang hampir sama, PEL bertujuan
untuk memberdayakan masyarakat miskin yang termajinalkan (UN-Habitat, 2009;
Joseph, 2002) atau meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal (Bartik, 2003;
Blakely, 1994) atau perbaikan kualitas hidup penduduk lokal (Bank Dunia, 2011)
atau peningkatan pendapatan masyarakat (James et al., 2002).
Dunia (2010), Rustiadi et al. (2009), dan
ILO (2010), Bank
Chmura dan Orozobekov
(2009)
menyebutkan tujuan PEL antara lain adalah mencapai partumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan peningkatan kesempatan kerja.
Berdasarkan latar belakang, kajian empiris terdahulu, masalah dan potensi
pengembangan kopi arabika spesialti di Kabupaten Simalungun, muncul beberapa
pertanyaan mendasar yang perlu memperoleh jawaban. Mengapa produktivitas kopi
arabika spesiati di Kabupaten Simalungun masih relatif rendah?
Bagaimana
pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap produksi kopi arabika? Berkaitan dengan
produksi kopi berkelanjutan, apakah faktor ekologi berperan dalam peningkatan
produksi? Apakah kopi arabika spesialti bersertifikat menunjuukan kinerja yang
lebih baik daripada kopi arabika non-sertifikat? Apakah pengembangan kopi arabika
spesialti selama ini didukung oleh kebijakan dan program yang memadai di tingkat
pemerintah daerah?
Akhirnya, bagaimana peran kopi arabika spesialti dalam
pengembangan ekonomi lokal?
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan penelitian yang diajukan adalah
“Bagaimana pengaruh faktor sosial ekonomi dan ekologi terhadap produksi kopi
arabika dan bagaimana perannya dalam pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten
Simalungun”. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian faktor sosial
ekonomi dan ekologi yang memengaruhi produksi kopi arabika serta kajian
Universitas Sumatera Utara
17
pengembangan ekonomi lokal (PEL) berbasis agribisnis kopi arabika spesialti di
Kabupaten Simalungun.
1.2. Perumusan Masalah
Penelitian
ini
hendak
menjawab
tiga
pertanyaan mendasar mengenai
permasalahan umum berikut: (1) Bagaimana kinerja ekonomi usahatani arabika saat
ini (existing conditions), (2) Bagaimana kinerja produksi dipengaruhi oleh faktor
sosial ekonomi dan ekologi?, dan (3) Apa yang sebaiknya dilakukan agar kinerja
ekonomi dan ekologi semakin baik (expecting conditions)? Ketiga pertannyaan ini
sejalan dengan pemikiran Rustiadi et al. (2009) yang menyatakan bahwa ilmu
wilayah bukan hanya menjawab pertanyaan: mengapa kondisi wilayah seperti saat
ini; tetapi juga menjawab pertanyaan bagaimana wilayah dibangun, yang memasuki
aspek kebijakan (policy).
Secara lebih operasional, penelitian ini ingin menjawab permasalahan bagaimana
pengaruh faktor sosial ekonomi dan ekologi terhadap produksi kopi arabika di
Kabupaten Simalungun.
Permasalahan penelitian diawali dengan pertanyaan,
mengapa setelah 10-15 tahun pengembangan kopi arabika spesialti (varietas Sigarar
Utang) di
Kabupaten Simalungun, produktivitasnya
dibandingkan dengan potensi produksinya.
masih relatif rendah
Selanjutnya, apakah produksi kopi
berkelanjutan melalui praktik pertanian yang baik oleh petani dapat mendukung
peningkatan produksi kopi arabika?
Dari sisi kebijakan dan program, masalah penelitian ini dirangkai dengan
pertanyaan (1) bagaimana kesesuaian pola ruang usahatani kopi arabika spesialti
dikaitkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Simalungun
Tahun 2011-2031 dan SK 44/2005; (2) bagaimana dukungan kebijakan dan program
dalam pengembangan kopi arabika spesialti di Kabupaten Simalungun; dan (3)
bagaimana peran kopi arabika spesialti dalam pengembangan ekonomi lokal (PEL)
di Kabupaten Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
18
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini hendak dijawab
dengan melakukan pengamatan dan pengukuran pada variabel-variabel operasional
dari faktor sosial ekonomi dan ekologi. Dengan demikian, fokus utama perumusan
masalah dan pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut:
(1) Bagaimana pengaruh faktor sosial ekonomi petani terhadap produksi kopi
arabika spesialti?
(2) Bagaimana pengaruh faktor ekologi terhadap produksi kopi arabika spesialti?
(3) Bagaimana pengaruh faktor sosial ekonomi dan faktor ekologi secara bersama
terhadap produksi kopi arabika spesialti?
(4) Apakah kinerja ekonomi usahatani kopi arabika spesialti bersertifikat lebih baik
daripada usahatani kopi arabika spesialti non-sertifikat?
(5) Apakah tata guna lahan untuk aktivitas usahatani kopi arabika spesialti yang ada
saat ini (existing) sesuai dengan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)?
(6) Apakah pengembangan kopi arabika spesialti didukung kebijakan dan program
yang memadai di tingkat pemerintah daerah?
(7) Bagaimana peran komoditas kopi arabika spesialti dalam pengembangan
ekonomi lokal (PEL) di Kabupaten Simalungun.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menggali sejauhmana pengaruh faktor
sosial ekonomi dan ekologi terhadap produksi kopi arabika spesialti dan bagaimana
perannya dalam pengembangan ekonomi lokal (PEL) di Kabupaten Simalungun.
Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah:
(1) Untuk menganalisis pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap produksi kopi
arabika spesialti.
(2) Untuk menganalisisi pengaruh faktor ekologi terhadap produksi kopi arabika
spesialti.
Universitas Sumatera Utara
19
(3) Untuk menganalisis pengaruh faktor sosial ekonomi dan faktor ekologi secara
serempak terhadap produksi kopi arabika spesialti.
(4) Untuk menganalisis kinerja usahatani kopi arabika spesialti bersertifikat
dibandingkan dengan usahatani kopi arabika spesialti non-sertifikat.
(5) Untuk menganalisis pola ruang dan tata guna lahan usahatani kopi arabika
spesialti.
(6) Untuk menganalisis dukungan kebijakan dan program pengembangan kopi
arabika spesialti.
(7) Untuk
menganalisis
peran
komoditas
kopi
arabika
spesialti
dalam
pengembangan ekonomi lokal (PEL) di Kabupaten Simalungun.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat teoritis untuk pengembangan ilmu
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi teori penentu
produksi kopi arabika spesialti. Sumbangan penelitian ini dalam temuan teoritis
terkait dengan penambahan variabel (peran perempuan dan pemanfataan lahan) dan
modifikasi beberapa variabel dari penelitian sebelumnya, yaitu jumlah tanaman kopi,
masa produktif (modifikasi dari umur tanaman), dan likuiditas petani (modifikasi
dari akses kredit).
Dasar pemikiran untuk melakukan modifikasi variabel-variabel di atas adalah
sebagai berikut.
Variabel jumlah tanaman kopi dapat dikombinasikan dengan
variabel luas lahan karena kondisi usahatani kopi arabika spesialti di Kabupaten
Simalungun memiliki variasi dalam jarak tanam.
Sebagai tanaman berpotensi
produksi tinggi (high yield variety), tanaman kopi Sigarar Utang membutuhkan
perawatan yang intensif dengan masukan input (terutama pupuk) yang tepat dosis
dan tepat waktu. Karena itu, variabel likuiditas petani dinilai lebih mencerminkan
peluang bagi petani untuk dapat melakukan investasi untuk usahatani kopi arabika
Universitas Sumatera Utara
20
spesialti. Landasan logis memasukkan variabel ini adalah karena kredit untuk kopi
arabika belum dapat diakses oleh petani.
1.4.2. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan yang
berarti bagi pengembangan agribisnis kopi arabika spesialti di Kabupaten
Simalungun. Kajian pengaruh faktor sosial ekonomi dan ekologi yang dipadukan
dengan analisis kebutuhan kebijakan dan program serta pengembangan ekonomi
lokal
menghasilkan
rekomendasi
kebijakan
sebagai
bahan
perencanaan
pengembangan komoditas kopi arabika spesialti yang lebih komprehensif.
Rekomendasi
kebijakan
akan
disampaikan
kepada
Pemerintah
Kabupaten
Simalungun sebagai model pengem-bangan ekonomi lokal (PEL) berbasis agribisnis
kopi arabika spesialti di wilayah dataran tinggi Kabupaten Simalungun dengan nama
Simalungun Mountain Coffee (SMC).
1.5. Novelty
Kebaruan yang muncul dalam penelitian ini adalah: (1) merupakan penelitian
survai lapang pertama dengan jumlah sampel besar untuk komoditas kopi arabika
spesialti di Kabupaten Simalungun, bahkan di Sumatera Utara. Selain itu, penelitian
ini melakukan sintesis faktor sosial ekonomi, ekologi, tata guna lahan, dukungan
kebijakan dan program dalam kaitannya dengan produksi kopi arabika spesialti
dalam kerangka pengembangan ekonomi lokal (PEL). Kebaruan lainnya adalah (2)
penambahan dan modifikasi beberapa variabel ekonomi dari kajian empiris
sebelumnya, dan (3) manfaat praktis berupa model pengembangan ekonomi lokal
(PEL) berbasis agribisnis kopi arabika spesialti di wilayah dataran tinggi Kabupaten
Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
Download