perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kewajiban negara adalah melindungi, memajukan, dan mensejahterakan warga negara. Tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajiban negara menciptakan suatu bentuk kepentingan yang disebut kepentingan negara (state interest). Kepentingan negara menjadi mekanisme bagi pemerintah untuk dapat menjalankan kebijakan politiknya (political goods). Sukses tidaknya negara dalam menjalankan kepentingan akan memberikan implikasi terhadap kedaulatan serta indikasi kesuksesan negara. Suatu negara dinyatakan gagal bila mereka tidak mampu menjalankan fungsi tersebut (Donald W. Potter, 2004: 2). Ini menandakan kemampuan negara dalam menjalankan kebijakan politiknya berbanding lurus dengan kedaulatan negara tersebut. Setiap negara memiliki prinsip yang teguh menjaga kedaulatan masingmasing, dan oleh sebab itulah setiap negara di dunia akan selalu memaksa untuk melaksanakan kepentingannya masing-masing meskipun di dalam tingkatan internasional. Dilema konsepsi kedaulatan ini membuat lahirnya prinsip equality didalam hukum internasional yang mengatakan setiap negara diberlakukan sederajat di tingkat internasional dan antar negara wajib untuk menghormati kedaulatan negara masing-masing. Oleh karena itu, pemahaman kedaulatan dalam konteks ini hanya dibatasi pada komponen internal, yakni hubungan antara negara dan warga negaranya. Namun, apabila negara tersebut gagal dalam menjalankan tanggung jawabnya mempergunakan kedaulatan, maka masyarakat internasional memiliki peranan untuk turut terlibat membantu negara tersebut menegakan kedaulatannya. Keterlibatan negara lain berarti adalah masuknya pula kepentingan negara lain. Kepentingan antar banyak negara yang kian berseberangan di dunia internasional kerap memunculkan commit to user 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id adanya konflik kepentingan (conflict of interest). Quincy Wright (Sayidiman Suryohadiprojo, 1981: 1) mengemukakan pergesekan kepentingan antar pemerintah negara sebagai salah satu penyebab perang. Dalam hal ini sejalan dengan perkembangan zaman, maka kepentingan rakyat jugamengikat sehingga timbul berbagai macam kepentingan yang nantinya akanmenyebabkan perselisihanperselisihan. Perang merupakan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa internasional yaitu dengan jalan kekerasan. Perang merupakan tingkat tertinggi dari konflik antara dua pihak atau lebih, yang mana interaksinya telah berlangsung sejak munculnya peradaban manusia hingga sekarang ini (Daniel S. Papp, 1988: 503). Quincy Wright (Quincy Wright, 1942: 11) merumuskan perang sebagai“a conduct of organized armed conflict among non-state armed group and states”, yakni suatu pelaksanaan terorganisir atas perselisihan bersenjata antar kelompok sosial dan antar negara. Meskipun demikian, perang di era modern telah memiliki banyak perubahan signifikan dari stigma lama perang yang menimbulkan banyak korban jiwa. Terbentuknya Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan instrumen untuk mencegah jatuhnya korban jiwa maupun kerugian yang tidak berlebihan. Keberadaan HHI merupakan upaya penyeimbangan antara kebutuhan-kebutuhan militer dan keperluan akan penghormatan terhadap hakikat kemanusiaan (Umesh Kadam, 2006: 1). Seiring perkembangan jaman, teknologi dan peralatan perang telah berkembang pesat mulai dari mayoritas peralatan yang dulunya berfokus di darat dan laut, kini hingga perkembangan di peralatan perang udara. Instrumen utama HHI terdapat di Konvensi Wina dan Den Haag serta protokol-protokol tambahannya yang mengatur lebih lanjut tentang perlindungan dalam perang dan tata cara berperang. Meskipun demikian, didalam instrumen HHI saat ini minim adanya pengaturan yang spesifik terhadap penggunaan peralatan perang udara maupun perang di udara. Hague Rules of Air Warfare di tahun 1923 memberikan beberapa regulasi terkait penggunaan pesawat dalam konflik bersenjata. commit to user 2 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Meskipun Hague Rules of Air Warfare 1923 yang bersifat non-binding memiliki dampak yang besar terhadap perkembangan hukum kebiasaan internasional, strategi penggunaan teknologi misil dan udara telah berkembang pesat sejak masa itu. Dengan nilai keuntungan militer yang sangat besar, cruise missile dapat dikatakan sebagai jenis amunisi udara yang efektif. Dewasa ini, senjata yang dianggap ideal oleh negara-negara maupun kelompok bersenjata untuk diadaptasikan dengan strategi peperangan adalah peluru kendali jelajah (cruise missile) (Jeff Kueter dan Howard Kleinberg, 2007: 2). Cruise missile merupakan senjata yang mudah disembunyikan, adaptif, dapat diandalkan, dan biaya nya relatif murah. Sebuah misil dapat membawa berbagai jenis hulu ledak dengan kemampuan untuk menyerang langsung pusat penduduk, markas militer, dan unit militer. Jarak terjauh yang dapat ditempuh cruise missile adalah 2,200 mil untuk jenis AS-15 Kent milik Rusia (Duncan Lennox, 2004: 196). Daya jangkau yang jauh membuat cruise missile menjadi peralatan tempur yang dapat ditembakan dari luar wilayah berlangsungnya konflik bersenjata. Kemampuan jenis misil ini untuk menghasilkan dampak yang besar membuatnya memenuhi kriteria salah satu karakteristik perang era modern yakni adanya mass principle. Prinsip ini mengarahkan penggunaan kekuatan tempur yang besar terhadap suatu target tertentu untuk mendapatkan hasil yang mutlak (Barry R. Schneider dkk., 1998: 7). Dengan mengarahkan kekuatan tempur yang besar terhadap suatu target dalam satu waktu, maka hasil mutlak yang diperoleh akan memberikan keuntungan militer besar yang bahkan memungkinkan untuk dapat memenangkan perang ataupun konflik bersenjata. Contoh secara praktek, mass principle diterapkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1998 dengan menembakan cruise missile terhadap kamp pelatihan tentara Afghanistan, Zhawar Kili al-Badr (Steve Coll, 2005: 410). Tujuan penyerangan kamp tentara itu adalah untuk menghabisi pemimpin-pemimpin militer Afghanistan. Penyerangan ini diharapkan mampu menghentikan konflik bersenjata sebelum menjadi lebih panjang. Dengan commit to user 3 demikian, efektivitas serangan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mempergunakan misil berteknologi tinggi, salah satunya cruise missile, menjadi bagian dari strategi militer dewasa ini. Ada 75 negara di dunia yang memiliki cruise missile. Banyak pakar memprediksi bahwa penambahan jumlah cruise missile baik darat dan kapal akan meningkat tajam baik peningkatan dalam aspek jarak maupun teknologi. (http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RS21252.pdf). Meskipun demikian, tidak adanya instrument hukum yang meregulasi perang di udara membuat perkembangan dan penggunaan cruise missile hanyalah didasarkan pada military advantage yang bisa didapat sebuah negara.Hal ini mengakibatkan rentannya penyalahgunaan senjata dan pelanggaran prinsip-prinsip umum hukum internasional dalam konflik bersenjata.Dalam prakteknya penggunaan senjata telah berkembang hingga tahap ketika sebuah senjata dapat ditembakan bahkan dari luar wilayah terjadinya konflik bersenjata sebagai transboundary weapon (senjata lintas batas negara). Dalam penggunaan cruise missile, justru senjata umumnya ditembakan dari tempat yang jauh dan bahkan dapat dilakukan diluar wilayah teritorial negara tempat terjadinya konflik bersenjata (Jeff Kueter dan Howard Kleinberg, 2007: 25). Oleh karena itu dapat disimpulkancruise missile merupakan salah satu jenis transboundary weapon. Penggunaan lintas batas negara menimbulkan kerentanan akan adanya pihak ketiga selain pihak dalam konflik bersenjata yang menjadi terlibat dalam konflik. Didalam sebuah konflik bersenjata, selain pihak yang bersengketa, dikenal pula sebutan pihak netral.Pihak netral adalah negara yang bertindak netral terhadap keberadaan konflik bersenjata. Negara memiliki kebebasan untuk menentukan sikap termasuk untuk bertindak netral terhadap konflik bersenjata yang terjadi diluar wilayahnya (Georg Schwarzenberger, 1976: 144). Status netralitas dari suatu negara (state neutrality) akan berimplikasi terhadap hak dan kewajiban negara tersebut didalam konflik bersenjata. Hak dan kewajiban negara netral (neutral state) terdapat dalam Paris Declaration 1856, Hague Convention V 1907 on the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in Case of War on Land, Hague Convention XIII commit to user 4 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1907 on the Rights and Duties of Neutral Powers in Naval War, Geneva Convention 1949, dan Additional Protocol I 1977. Prinsip utama dalam state neutrality adalah inviolability terhadap wilayah teritorial negara netral. Dengan demikian,pihak yang bersengketa tidakdiperbolehkan melakukan tindakan permusuhan dalam bentuk apapun di wilayah teritorial negara netral (https://www.icrc.org/eng/assets/files/other/law8_final.pdf). Besarnya ancaman akibat proliferasi cruise missile yang tidak disertai dengan regulasi terhadap perang misil dan udara menciptakan ketidakpastian status hukum,dapat tidaknya pengaturan dalam Konvensi Den Haag tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral diaplikasikan terhadap cruise missile yang ditembakan melewati wilayah teritorialnegara netral serta tindakan apa yang dapat diambil oleh negara netral. Praktik penggunaan cruise missile yang diluncurkan lintas batas negara pernah terjadi pada 17 Oktober 2015 oleh Angkatan Laut Rusia menuju sasaran militer pemberontak di Suriah (http://orientalreview.org/2015/10/06/Rusian-operation-hmeymim-in-syria-fuzesactivated/). Cruise missile diluncurkan melewati Iran dan Irak sebagai negara netral. Negara netral yang dimaksud dalam penelitian ini ialah negara yang bertindak netral terhadap keberadaan konflik bersenjata dan wilayahnya dilewati oleh cruise missile. Meskipun negara netral tidak terlibat langsung dalam konflik bersenjata, namun akibat ruang udara nya menjadi jalur luncur cruise missile, terdapat kemungkinan adanya kerugian jika tidak terdapat presisi ataupun peluncuran yang tidak mencapai sasaran militer sesuai yang direncanakan pihak peluncur. Sesuai UN World Summit tahun 2005, dihasilkan sebuah kesepahaman bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya dari empat kejahatan bagi umat manusia, yakni genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan kemanusiaan(http://www.r2pasiapacific.org/docs/Outreach Advocacy/R2P_basic_information_english.pdf). commit to user 5 Tanggung jawab ini and disebut perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id responsibility to protect dan dilaksanakan oleh negara dengan mempergunakan kedaulatan didalam wilayahnya. Penggunaan prinsip responsibility to protect (R2P) didasarkan pada prinsip terdasar hukum internasional yakni kemanusiaan. Tindakan yang diambil bukan untuk keuntungan salah satu pihak, melainkan atas nama dunia internasional. Prinsip ini berupaya menekankan kepentingan negara dalam kedaulatannya untuk melindungi warga negaranya perlu untuk ditegakkan. Apabila negara gagal secara tunggal dalam melindungi, maka akan berlaku kewajiban untuk melindungi lintas batas yang melibatkan negara lain.Ruang udara sebagai media peluncuran cruise missile merupakan teritorial dari negara netral. Oleh karena itu, tindakan maupun sikap yang diambil oleh negara netral akan berdampak terhadap keberlangsungan konflik serta keamanan negaranya. Dengan demikian, apabila terdapat pelanggaran HAM berat akibat peluncuran cruise missile lintas batas negara. Maka negara netral memiliki tanggung jawab dan kemampuan untuk bertindak. Berdasarkan uraian latar belakangtersebut maka penulis menyusun Penulisan Hukum dengan judul “Penggunaan Prinsip Responsibility to Protect oleh Neutral State terhadap Cruise Missile sebagai Interstate Weapon Menurut Hukum Humaniter Internasional” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di muka, permasalahan penulisan hukum ini ialah sebagai berikut. 1. Bagaimana legitimasi penggunaan cruise missile yang melewati teritorialnegara netraldalam konflik bersenjata? 2. Apakah penggunan prinsip responsibility to protect oleh negara netralterhadap cruise missile sebagai interstate weapon dapat dibenarkan berdasarkan hukum humaniter internasional? commit to user 6 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id C. Tujuan Penelitian Penelitian harus memiliki tujuan yang jelas sehingga mampu memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Ada dua macam tujuan yang dikenal dalam penelitian, yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif.Tujuan objektif merupakan tujuan yang berasal dari penelitian itu sendiri, sedangkan tujuan subjektif berasal dari penulis. Adapun tujuan objektif dan subjektif dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Tujuan Objektif Tujuan objektif dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengkaji legitimasi penggunaan cruise missile yang melewati teritorialnegara netraldalam konflik bersenjata; b. Untuk mengkaji penggunan prinsip responsibility to protect oleh negara netralterhadap cruise missile sebagai interstate weapon dapat dibenarkan berdasarkan hukum humaniter internasional. 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah: a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulisan di bidang hukum humaniter internasional terutama mengenai legitimasi penggunaan cruise missile yang melewati teritorialnegara netraldalam konflik bersenjata dan penggunan prinsip responsibility to protect oleh negara netralterhadap cruise missile sebagai interstate weapon dapat dibenarkan berdasarkan hukum humaniter internasional; b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana hukum pada bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. commit to user 7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id D. Manfaat Penelitian Penelitian dapat memberikan manfaat bagi pengetahuan terutama ilmu hukum baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yaitu manfaat penulisan hukum ini yang berkaitan dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari tulisan ini adalah sebagai berikut. a. Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta Hukum Humaniter Internasional pada khususnya. b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur mengenai bagaimana legitimasi penggunaan cruise missile yang melewati teritorialnegara netraldalam konflik bersenjata dan apakah penggunan prinsip responsibility to protect oleh negara netralterhadap cruise missile sebagai interstate weapon dapat dibenarkan berdasarkan hukum humaniter internasional, serta dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitianpenelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penulis ini sebagai berikut. a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif danmemadai commit to user 8 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum khususnya Hukum Humaniter Internasional (HHI). E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum (legal research) adalah suatu proses untuk menemukan kebenaran koherensi, yaitu menemukan apakah aturan hukum yang ada sudah sesuai dengan norma hukum, apakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum dan apakah tindakan seseorang sudah sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 47). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Ciri-ciri dari penelitian hukum normatif adalah berawal dari adanya kesenjangan dalam norma atau asas hukum, tidak menggunakan hipotesis, menggunakan data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan peneliti harus terlebih dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006 : 26). Penelitian ini mengkaji permasalahan hukum internasional, terdapat dua aspek yang harus dipahami dalam mengkaji permasalahan hukum internasional, yaitu tipe (jenis) hukum yang akan diteliti dan bahan-bahan hukumnya (Marci Hoffman and Mary Rumsey, 2007 : 1). Pemahaman tersebut digunakan untuk mempermudah peneliti menjawab permasalahan hukum yang diteliti. Konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian hukum memainkan peran yang sangat commit to user 9 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006 : 28). 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini adalah deskriptif analitis, metode penelitian ini dipergunakan untuk membuat uraian secara jelas, sistematis, nyata dan tegas yang kemudian untuk mendapatkan fakta-fakta yang diinginkan (Sugiyono, 2010 : 105). Fakta tersebut diuraikan guna membuktikan bagaimana legitimasi penggunaan cruise missile yang melewati teritorialnegara netraldalam konflik bersenjata dan apakah penggunan prinsip responsibility to protect oleh negara netralterhadap cruise missile sebagai interstate weapon dapat dibenarkan berdasarkan hukum humaniter internasional. 3. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah (dengan interpretasi) materi muatan semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 133). Pendekatan perundang-undangan ini digunakan untuk mengkaji legitimasi penggunaan cruise missile yang melewati teritorialnegara netraldalam konflik bersenjata. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan begitu penelitian akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian dan konsep-konsepbaru yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pedoman dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dapat digunakan sebagai pedoman bagi peneliti untuk membangun suatu argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 177). Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji apakah penggunan prinsip commit to user 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id responsibility to protect oleh negara netralterhadap cruise missile sebagai interstate weapon dapat dibenarkan berdasarkan hukum humaniter internasional. 4. Jenis dan Sumber Penelitian Untuk menjawab isu hukum diperlukan sumber-sumber penelitian.Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif, yang artinya mempunyai otoritas.Bahan hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentarkomentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 181). Bahan hukum primer akan menjadi dasar dari jawaban atas rumusan masalah yang penulis paparkan, kemudian bahan hukum sekunder akan melengkapi dan memperkuat jawaban yang dipaparkan oleh penulis dalam tulisan ini. Bahan hukum primer yang penulis gunakan, yaitu : a. United Nations Charter 1945 b. Universal Declaration of Human Rights 1948 c. International Covenant on Civil and Political Rights 1966 d. Hague Convention V of 1907 for the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in Case of War on Land. e. Hague Convention XIII of 1907 for the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in Case of War on Sea. f. Geneva Convention I of 1949 for the Amelioration of the Condition of the Wounded in Armies in the Field g. Geneva Convention II of 1949 for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. h. Geneva Convention III of 1949 for the Treatment of Prisoners of War. commit to user 11 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id i. Geneva Convention IV of 1949 for the Protection of Civilian Persons in Time of War. j. Additional Protocol I 1977 k. Convention on the Prohibition or Restrictions on the use of Certain Conventional Weapons which Weapons which may be deemed do be excessively injurious or to have indiscrimate effects (1980 Convention Weapons Convention). l. Rules of Air Warfare 1923 m. HPCR Manual Law Applicable on Air and Missile Warfare Bahan hukum sekunder yang akan dipergunakan penulis adalah bukubuku, jurnal, dan teks mengenai Hukum Internasional, khususnya terkait dengan Hukum Humaniter Internasional, Prinsip Responsibility to Protect, Cruise Missile, Prinsip Netralitas Negara, serta Black Law’s Dictionary. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Studi kepustakaan (library research) adalah penelitian yang datanya diambil terutama atau seluruhnya dari kepustakaan (buku, dokumen, artikel, laporan, koran dan lain-lain sebagainya) (Irawan Soehartono, 2000 : 65). Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder kemudian diinventarisir dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar pertimbangan untuk menjawab permasalahan hukum yang sedang dihadapi (F. Sugeng Istanto, 2007 : 56). Dalam hal ini penulis menganalisis tentang bagaimana legitimasi penggunaan cruise missile yang melewati teritorialnegara netraldalam konflik bersenjata dan apakah penggunan prinsip responsibility to protect oleh negara netralterhadap cruise missile sebagai interstate weapon dapat dibenarkan berdasarkan hukum humaniter internasional. commit to user 12 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode deduksi. Menurut F.Sugeng Istanto, metode deduksi adalah suatu cara mengungkap kebenaran dengan mengukur sesuai atau tidaknya antara suatu spesies dengan genusnya (F.Sugeng Istanto, 2007 : 36). Metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian premis minor. Penggunaan metode deduksi ini adalah berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor, setelah itu dapat ditarik kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 89). Premis mayor dalam penulisan ini adalahfakta hukum adanya proliferasi cruise missile yang tidak diimbangi dengan keberadaan konvensi yang mengatur penggunaannya dalam kondisi konflik bersenjata dan premis minornya adalahketentuan hukum internasional, yaitu : prinsip responsibility to protect, Hague Convention V 1907. Silogisme dari penelitian ini adalah penggunaan cruise missile yang memiliki tingkat proliferasi tinggi tidak dibarengi dengan pengaturan spesifik dalam hukum humaniter internasional rentan menimbulkan penggunaan yang excessivesehingga menurut prinsip responsibility to protect adalah benar jika negara ketiga harus membantu mencegah pelanggaran berat. Dalam kaitannya dengan Hague Convention V 1907, cruise missile sebagai interstate weapon yang tidak memiliki pengaturan spesifik dalam hukum humaniter internasional akan memiliki potensi merusak kedaulatan dan peran negara netraldalam konflik bersenjata. Berdasarkan ketentuan tersebut akan dibahas legitimasi penggunaan cruise missile yang melewati teritorialnegara netraldalam konflik bersenjata serta pembenaran penggunan prinsip responsibility to protect oleh negara netralterhadap cruise missile sebagai interstate weapon berdasarkan hukum humaniter internasional. commit to user 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi, penulisan hukum ini dibagi menjadi empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, hasil penelitian dan pembahasan, serta penutup dengan menggunakan sistematika sebagai berikut. BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini, penulis menjelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, penulis menjelaskan dua sub bab yaitu mengenai kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori menjelaskan mengenai tinjauan tentangHukum Humaniter Internasional, tinjauan tentang prinsip Responsibility to Protect, tinjauan tentang Cruise Missile, tinjauan tentang Negara Netral. Kerangka pemikiran menjelaskan hubungan dari konflik bersenjata terkait cruise missile sebagai interstate weaponhingga responsibility to protect sebagai langkah pencegah terjadinya pelanggaran berat (grave breach). BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, penulis membahas legitimasi penggunaan cruise missile sebagai interstate weapon dan pembenaran penggunaan prinsip responsibility to protect oleh negara netral terhadap cruise missile sebagai interstate weapon menurut hukum humaniter internasional. BAB IV SIMPULAN Bab ini merupakan simpulan yang berisi jawaban perumusan masalah. DAFTAR PUSTAKA commit to user 14