BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1 Kepemimpinan Kekristenan Menurut George Dalam Barna Konteks sebagaimana dikutip dalam Alex (2011) mengatakan ; a chirstiani leader as someone who is called by God to lead with christlike character an effectively, motivates, mobilizes resources and direct people toward fulfillment of a jointly embraced vision for God. Menurut Robert Clinton (1989) dalam tulisan Eddie Gibbs (2005) berpendapat tugas utama pemimpin adalah mempengaruhi umat Allah untuk melaksanakan rencana Allah. Demikian juga Henry dan Richard Blackaby dalam tulisan Eddie Gibbs (2005) mengatakan kemepmimpinan bahwa kemepimpinan kristen bukan panggilan. suatu Dimana pekerjaan pemimpin tetapi menggerakan sebuah orang- orang berdasarkan agenda Allah. Menggerakan orang lain menurut Walter Wright (2004) seorang pemimpin yang masuk ke dalam hubungan dengan orang lain untuk mempengaruhi. Melalui perilaku, nilai-nilai, atau sikap pemimpin akan menyarankan bahwa semua orang Kristen mampu melakukannya. Atau lebih tepatnya bahwa semua orang kristen seharusnya menjalankan kepemimpinan, dan berusaha membuat sebuah perbedaan dalam kehidupan sekitar. Perbedaan rumusan kepemimpinan secara terletak umum pada dan kepemimpinan metode, jabatan kristen, atau bukan kedudukan melainkan pada panggilan nilai dari filosofinya. Pola kepemimpinan kristen yang diangap efektif dan efisien bukankah harus mendayagunakan pola servant leadership (kepemimpinan melayani). Pola kepemimpinan seperti Yesus bukanlah perkara yang mudah tetapi sekaligus juga bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Modalnya cuma satu yakni hati. Yesus mengajarkan servant leadership (kepemimpinan melayani), pada intinya, terpusat pada apa yang ada di dalam hati seorang pemimpin. Hati akan menentukan apa yang terlihat keluar (www.sabda.org/lead/kepemimpinanYesus). 2.2 Servant Leadership (Kepemimpinan Melayani) Beberapa literature menyebutkan dan mengakui tokoh pertama yang menekuni gagasan Servant leadership secara serius yaitu Robert K Greenleaf. Gagasan mengenai servant leadership (kepemimpinan melayani) ini sebenarnya telah menjadi perhatian sejak tahun 1960. Konsep servant leadership terutama berasal dari pengalaman Greenleaf bekerja di sebuah perusahaan besar (AT & T). Walaupun demikian kristalisasi ide ini terjadi setelah Greenleaf membaca novel singkat berjudul "Journey to the East' yang ditulis oleh Hermann Hesse, yang menceritakan panggilan sekelompok orang spiritual. Greenleaf mendefinisikan Servant leadership “If one is a servant, either leader of follower, one is always searching, listening, and expecting that a better wheel for these times is in the making.” Pada tahun 1970, Greenleaf menerbitkan sebuah esay berjudul The Servant as Leader : yang menerangkan bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah orang yang mula-mula menjadi pelayan, dalam pernyataannya Greenleaf mengatakan “ Servant leadership (kepemimpinan melayani) dimulai dengan perasaan alami bahwa orang lain ingin melayani lebih dulu, kemudian pilihan sadar membawa orang untuk berkeinginan memimpin. Lebih lanjut menurut Greenleaf kepemimpinan yang secara alami adalah orang yang mengerti bahwa memimpin itu adalah menjadi pelayan terlebih dahulu yang menempatkan kepentingan orang lain sebagai prioritas tertinggi. Servant leadership (kepemimpinan melayani) ini dimulai dari kesadaran seorang pemimpin sebagai pelayan yang muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin, nilai-nilai dan kepercayaan. Melalui tulisan Greenleaf Servant leadership dipandang sebagai salah satu pelopor revolusi baru dalam pemikiran kepemimpinan, khususnya servant leadership leadership (kepemimpinan (kepemimpinan melayani). melayani) Servant memberikan filosofi baru dalam konsep kepemimpinan. Penelitian Laub (1999) menyatakan pandangan dari Greenleaf tentang konsep Servant leadership mempengaruhi beberapa kepemimpinan dari komunitas Kristen yang paling menonjol yakni : Steven Covey, John Gardner, Peter Senge, M. Scott Peck (Spears) and Margaret Wheatley. Dijelaskan tulisannya berpendapat bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah suatu cara dalam memimpin dan mengelola organisasi yang lebih baik. Tulisan Greenleaf dengan judul Servant leadership telah membantu dimulainya gerakan dan pandangannya yang telah memberi dampak yang mendalam dan mengembangkan banyak orang. Ide mengenai Servant leadership, yang dicetuskan Greenleaf sejak tahun 1970, telah berlangsung selama 40 tahun dan telah menciptakan perubahan bagi organisasi di seluruh dunia (Spears: 2004). Jadi servant leadership (kepemimpinan melayani) muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin timbul dari nilai-nilai dan kepercayaan (Greenleaf: 1977). Melayani pihak menfasilitasi lain berarti bahwannya di atau mana pemimpin anggotanya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Di sisi lain Senjaya (1997) mengutip tulisan Covey yang mengatakan bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) sematamata bukan hanya melayani untuk mendapatkan hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya. Pemimpin haruslah mengetahui bahwa tugas dan kewajiban utama dari pemimpin adalah melayani kebutuhan dan kepentingan dari pihak lain, Akuchie dalam tulisan Laub (2004). Selanjutnya dijelaskan bahwa, bagaimanapun juga melayani pihak lain merupakan kepercayaan yang diberikan oleh organisasi kepada pemimpin atau memberikan pelayanan kepada pihak lain merupakan ide, realisasi dan aktualisasi dari melayani pihak lain. Dalam hal ini merupakan panggilan tertinggi dari kepemimpinan yang dapat melayani sebagai fungsi penting di dalam memimpin pihak lain. Tulisan Greenleaf, fokus pada perilaku dari servant leadership (kepemimpinan perilaku kepemiminannya pengikut atau anggota telah (Smith, melayani) dan mempengaruhi Montagno dan Kuzmenko: servant 2004). Selanjutnya leadership dijelaskan (kepemimpinan bahwa, melayani) memandang kepemimpinan bukan posisi atau status, tetapi sebagai kesempatan untuk melayani sebagai bentuk dalam mengembangkan orang lain dengan sepenuhnya. Namun mengutip bahwa tulisan pendapat Spears Greenleaf kepamimpinan (2010) sebagaimana (1977) melayani, menyatakan pelayan sebagai pemimpin yang dimulai dengan perasaan alami ingin melayani yang menjadi faktor utama. Dan menurut Millard (1995) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Laub (1999) menunjukan bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) bukanlah sebagai gaya kepemimpinan tetapi sebagai, suatu falsafa dan pendekatan kepemiminan melalui cara hidup dan cara berpikir. Untuk itu orientasi servant leadership (kepemimpinan melayani) akan tercemin dari dimensi iman Kristen yang berhubungan dengan, sikap kerendahan hati dan pelayanan kepada Tuhan bahwa kekuatan kepemimpinan selalu di bawah pengawasan Allah, (Irving: 2004). Sejalan dengan itu Menurut Senjaya (1997) mengutip tulisan dari Steven Covey yang berpendapat, servant leadership (kepemimpinan melayani) muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin melalui nilai-nilai dan kepercayaan. Servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah seseorang yang memiliki perasaan secara alami dengan kerelaan hati, ingin melayani lebih dulu, menciptakan perubahan dan dapat memberdayakan anggota dalam organisasi, dan itu terwujud dari sikap dan nilai-nilai kepercayaan. Konsep servant (kepemimpinan melayani) lebih kepentingan dari bawahannya leadership mengutamakan tidak sekedar itu namun, pemimpin dituntut melakukan tugas tanggung jawab dalam sikap, tutur kata, perilaku memberikan nilai yang baik dan dapat di teladani oleh anggota organisasi. Blanchard dan Hodges (2006) menulis bahwa menjadi seorang servant leadership (kepemimpinan melayani) bagi orang Kristen bukan lagi merupakan pilihan tapi merupakan mandat yang diperintahkan Tuhan sendiri. Secara sempurna Tuhan telah menggambarkan ajaran-Nya sendiri dengan teladan; ” Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan melayani. Tetapi aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk 22:27). Sanders (1974) dalam tulisan Oktavian (2004) menulis bahwa setiap kali seseorang akan mulai mempelajari kepemimpinan rohani, perlu agar prinsip ilahi yang utama ini dipahami dengan jelas dan dipegang dengan teguh. Kebesaran sejati, kepemimpinan sejati dicapai bukan dengan cara menurunkan orang-orang untuk melayani, melainkan dengan memberikan diri sendiri untuk melayani orang lain tanpa memperdulikan diri sendiri. Dijelaskan lebih lanjut bahwa, pemimpin rohani yang sejati senantiasa lebih memperhatikan pelayanan yang dilakukannya untuk Tuhan dan sesamanya, daripada memikirkan keuntungan dan kesenangan yang diperolehnya dalam hidup. Dan Yesus adalah pemimpin sejati bagi orang percaya orang-orang yang mengenal Yesus. Tulisan Robert Kysar (2003) mengalegorikan Yesus sebagai Gembala Baik (Yohanes pasal 10 ayat 11-17). Dalam penjelasannya Yesus amat memperhatikan orang-orang percaya kepunyaan-Nya sehingga Yesus bersedia mengorbankan hidup-Nya bagi mereka. Gemabala baik akan melindungi orang-orang kepunyaan-Nya, sekalipun itu berarti Ia harus mengorbankan dan menyerahkan hidup-Nya (Kysar: 2003). Salah satu sifat kepemimpinan rohani dalam melakukan pekerjaannya dilakukan secara efektif dengan menggunakan hati seorang gembala. Pemimpin harus menunjukan satu contoh yang layak bagi kawanan dombanya. ”Hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu”. Jadilah teladan bagi anggota yang di pimpinnya dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan, dan dalam kesucian. Tidak hanya itu saja bahwa seorang pemimpin harus diliputi sifat rendah hati, disini lebih rendah hati dalam hubungan dengan orang lain. Dijelaskan bahwa, bersikap rendah diri terhadap (Oktavian: disiplin 2004). Allah atau Penjelasan dari ajaran Allah beberapa ahli mengenai Servant leadership menjadi patokan bagi setiap pemimpin lebih khusus menjadi ciri, sikap atau pola hidup bagi setiap pemimpin. 2.3 Karakteristik beberapa Ahli 2.3.1 Karakteristik Spears Servant leadership menurut Servant leadership Menurut Dalam tulisan Spears (2004) diungkapkan bahwa setelah beberapa Greenleaf tahun dengan karakteristik seksama, yang pengembangan mempelajari Spears dianggap servant leadership tulisan asli menyusun penting untuk (kepemimpinan melayani). Menurut tulisan Spears ada 10 karakteristik servant leadership (kepemimpinan melayani) yaitu: mendengar, empati, menyembuhkan, memiliki kesadaran, persuasi, konseptualisasi, melihat ke masa depan, mempercayakan komitmen terhadap pengaturan, pengembangan memiliki manusia, dan membangun komunitas (Spears: 2004). Berikut ini adalah penjelasan mengenai masing-masing karakteristik tersebut. (1) Mendengarkan (kepemimpinan (Listening) melayani) servant bersedia leadership mendengarkan keinginan orang lain atau kelompoknya. Secara terbuka dan membantu merefleksikan keinginan tersebut secara periodik. (2) Empati (kepemimpinan (Empathy) melayani) servant leadership berusaha mengerti dan memahami kekhususan dan keunikan orang lain, mengenal dan menerima orang lain apa adanya, memiliki asumsi bahwa orang yang bekerja sama dengannya mempunyai Menyembuhkan itikad (Healing) yang servant baik. (3) leadership (kepemimpinan melayani) memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang lain maupun dirinya sendiri dari perasaan kehilangan semangat akibat perasaan sakit hati atau masalah emosi lainnya. (4) Kesadaran (Awareness), Seorang Pemimpin melayani memiliki kesadaran yang tinggi terhadap masalah etika dan nilai. la mampu membantu orang lain memahami masalahmasalah etika dan nilai-nilai, memandang banyak hal secara integral atau menyeluruh, menyadarkan dan mengubah orang lain dengan memberikan alasan yang rasional. (5) Persuasi (Persuasion). Servant leadership (kepemimpinan melayani) mengutamakan dan mengandalkan diri pada persuasi (pembujukan), bukan pada posisi berusaha atau kekuasaannya. meyakinkan orang Pemimpin lain, serta akan mampu membangun kesepakatan didalam kelompoknya. (6) Konseptualisasi (Conceptualization). Servant leadership (kepemimpinan melayani) memiliki kemampuan untuk menyusun atau membuat suatu tujuan yang hebat atau besar, bukan hanya berfokus pada kegiatan rutin harian, namun juga jangka panjang. (7) Melihat ke masa depan (kepemimpinan (Foresight). melayani) Servant berfokus leadership pada tujuan memiliki kemampuan melihat kebutuhan pada masa yang akan datang. Pemimpin belajar dari masa lalu, memahami kenyataan atau keadaan saat ini, dan akibat dari suatu keputusan terhadap masa yang akan datang. Pemimpin yang memiliki intuisi atau kemampuan memprediksi hal-hal yang dibutuhkan untuk masa yang akan datang. (8) Mempercayakan (Stewardship), “holding didefinisikan something in trust stewardship for another”, sebagai yaitu mempercayakan sesuatu kepada orang lain. Seorang Pemimpin Pelayan menganggap komitmen untuk melayani kebutuhan orang lain adalah hal yang utama, dan ia percaya bahwa bawahannya juga mau dan mampu melayani orang lain dengan baik. (9) Komitmen terhadap pengembangan manusia (Commitment to the growth of people). Servant leadership (kepemimpinan melayani) memiliki tanggung-jawabnya komitmen untuk dan memahami mengembangkan semua individu atau anggota yang ada di dalam organisasi. (10) Membangun komunitas (Building community). Servant leadership (kepemimpinan melayani) terjadinya pergeseran dari komunitas lokal kepada lembagalembaga atau organisasi, telah menyadarkan Servant leadership (kepemimpinan melayani) untuk membangun komunitas diantara orang-orang yang bekerja dalam suatu lembaga tertentu. Komunitas sejati dapat diciptakan diantara orang-orang yang bekerja pada suatu organisasi atau lembaga demi kebaikan bersama. Kesepuluh karakteristik dari servant leadership (kepemimpinan terpisah satu melayani) dengan tersebut yang tidaklah lainnya, saling tetapi keseluruhannya menunjukkan suatu kesatuan yang saling mendukung, dan konsep ini baik untuk dilakukan oleh pemimpin yang merasa terpanggil dan bersedia untuk memenuhinya (Spears: 2004); (Calvin et al 2009 ) serta (Marianti: 2011) 2.3.2 Karakteristik Patterson Dalam Servant tulisan mengembangkan leadership Patterson teori (kepemimpinan (2003) servant melayani) Menurut telah leadership dimana Patterson menciptakan sebuah landasan yang lebih pada spesifik dengan mendefenisikan servant leadership nilai-nilai (kepemimpinan yang ada melayani). pada Dan didasarkan pada nilai-nilai yang Patterson sebutkan komponen ”constructs” (kepemimpinan Russel dari melayani). (2004), servant servant Menurut leadership leadership Patterson dan (kepemimpinan melayani), yang mana adalah terfokus pada pengikut, menjelaskan perilaku tersebut. Menurut Whetstone (2001) dalam tulisan Patterson (2003) kebajikan atau moral yang menunjuka kepada karakteristik kualitatif yang merupakan bagian dari karakter seseorang, sesuatu yang bersifat internal yang lebih tertuju pada spiritual. Kualitas ini mencirikan servant leadership (kepemimpinan melayani), yang dipandu oleh kebijakan didalamnya, selanjutnya disebut ”constructs”. Konstruksi ini berbudi luhur yang mendefenisikan keepmimpinan melayani tersebut, membentuk sikap, karakteristik, dan perilaku setiap orang. Jadi intinya menurut Patterson servant leadership (kepemimpinan melayani) ialah seseorang yang melayani dengan berfokus pada pengikut, dimana para pengikut menjadi perhatian utama dan masalah selanjutnya. Konstruksi (kepemimpinan melayani) organisasi servant adalah adalah leadership kebajikan, yang didefinisikan sebagai kualitas moral yang baik dalam diri seseorang, atau secara umum sebagai kualitas kebaikan atau keunggulan moral. Patterson (2003) melihat Servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah suatu teori mengenai kebajikan atau kesalehan (Virtuous Theory). Kebajikan atau kesalehan adalah karakteristik kualitatif yang merupakan bagian dari karakter seseorang, sesuatu yang ada di dalam diri seseorang yang bersifat internal, atau yang lebih ditekankan disini yakni bersifat spritual atau rohaniah atau batiniah. Teori Kebijakan atau Kesalehan (Virtue Theory) menunjukan ide dalam melakukan hal-hal yang tepat dengan fokus pada karakter moral, dan mencari hal-hal yang tepat dilakukan dalam situasi tertentu. Kesalehan atau kebajikan berharga bagi kepemimpinan karena berfokus pada kebaikan bersama, bukan pada maksimal keuntungan, karena itu mendapat tempat dalam kepemimpinan. Model teoritis yang dibuat oleh Patterson (2003) mengenai servant leadership (kepemimpinan melayani), terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan, yaitu: (1) Kasih yang murni atau Agape (Agape Love), menurut Patterson merupakan landasan hubungnan kepemimpinan dan pengikut adalah Kasih Agape. Menurut Dennis dan Bocarnea (2006) kasih agape artinya mengasihi dalam arti sosial atau moral. Menurutnya Kasih ini menyebabkan pemimpin untuk menggap setiap orang tidak hanya sebagai alat untuk mencapai antara tujuan, tetapi kebutuhan dan sebagai orang keinginan. pelengkap Lebih lanjut menurutnya ”lakukan kepada orang lain seperti yang anda inginkan kepada orang tersebut lakukan kepadamu” terapkan untuk semua. Servant leadership (kepemimpinan melayani) benar-benar peduli untuk orang lain dan tertarik dalam kehidupan pengikutnya. (2) Kerendahan Hati (Humility), menurut Sandage dan Wiens (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kemampuan untuk menjaga sebuah sebuah prestsi dan talenta dalam prespektif. Ini berarti berlatih penerimaan diri, tetapi selanjutnya meliputi praktek kerendahan hati yang sejati, yang berarti tidak menjadi berfokus pada diri sendiri melainkan berfokus pada orang lain. Swindoll (1981) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kerendahan pelayan tidak boleh disamakan dengan miskin harga diri, melainkan bahwa kerendahan hati adalah sejalan dengan ego yang sehat. Dengan kata lain, kerendahan hati bukan berarti memiliki rendahnya pandangan terhadap diri sendiri atau nilai diri seseorang, melainkan berarti melihat sesorang tidak lebih baik atau buru daripada yang lainnya. Servant leadership (kepemimpinan melayani) melihat kerendahan hati sebagai cerminan akurat dari penilain diri dan karena itu, memelihara fokus pada rendah diri (Tangney: 2000). (3) Mengutamakan orang lain (altruism), tulisan Kaplan (2000) menyatakan bahwa altruism adalah membantu orang lain tanpa pamrih, yang melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi. sementara Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip tulisan Eisenberg (1986) mendefenisikan perilaku altruistik sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain dan tidak dimotivasi oleh harapan eksternal yakni penerimaan imbalan atau pahala. Bagi Johnson (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) yang berpendapat bahwa altruism merupakan perspektif etika. Menerapkan teori kognisi sosial untuk menjelaskan altruism, yang berfokus pada faktor-faktor identitas, persepi diri, cara pandangan, dan empati. Lebih lanjut Monroe (1994) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Dennis dan Bocarnea (2006) mendefenisikannya sebagai perilaku yang dimaksukan untuk mendatangkan keuntungan yang lain, bahkan melakukannya mungkin beresiko atau memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain. (4) Visi (Vision), Blanchard (2000) mendefinisikan visi sebagai ”Gambaran masa depan yang menghasilkan gairah”, selanjutnya dijelaskan bahwa visi diperlukan untuk kepemimpinan yang baik. Demikian Laub (1999) menemukan bahwa visi bersama membangun orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan orang lain (melayani mereka). Menurut Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) harus bermimpi sambil tetap berada di masa lalu dan fokus pada masa depan, karena ini memungkinkan pemimpin untuk mengambil keuntungan dari peluang masa kini. Berkaitan visi dan kerendahan hati Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Buchan (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan yang melayani tidak mementingkan diri sendiri, memungkinkan ego pemimpin dengan mendapatkan cara kemampuannya dalam membayangkan masa depan organisasi. (5) Percaya (Trust), kepercayaan adalah karakteristik penting dari servant leadership (kepemimpinan melayani). Model tersebut kebenaran servant leadership (kepemimpinan melayani) dalam cara melatih, memberdayakan dan mempengaruhi. Kepercayaan ini ada sebagai elemen dasar untuk suatu kepemimpinan sejati. Menurut Russell (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) dinyatakan bahwa nilai-nilai integritas dan kejujuran interpersonal, organisasi membangun dan kepercayaan menyebabkan kredibilitas; kepercayaan ini sangat penting dalam servant leadership (kepemimpinan melayani), dan selalu hadir sebagai faktor penting yang merupakan pusat kepemimpinan. Selain itu Melrose (1998) sebagaimana dikutip dalam Dennis dan Bocarnea (2006) menyatakan bahwa para pemimpin melakukan apa yang dikatakan, Keterbukaan yang seorang menimbulkan pemimpin kepercayaan. untuk menerima masukan dari orang lain meningkatkan kepercayaan pada seorang pemimpin. Pengikut lebih cenderung mengikuti pemimpin dengan perilaku yang konsisten, dapat dipercaya dan dapat langsung terhubung dengan aspirasi pengikutnya. (6) Pemberdayanaan (Empowerment), Pemberdayaan adalah mempercayakan kekuasaan kepada orang lain, dan untuk servant leadership (kepemimpinan melayani) menyangkut mendengarkan secara efektif, membuat orang merasa penting, menempatkan penekanan pada kerja sama tim, menghargai cinta dan kesetaraan (Russell dan Stone, 2002). Covey (2002) berpendapat bahwa pemimpin berfungsi sebagai contoh untuk memberdayakan orang lain dan untuk menilai perbedaan pengikutnya. Mcgee-Cooper dan Trammell (2002) sebagaimana Bocarnea (2006) dikutip dalam berpendapat bahwa Dennis dan memahami asumsi dasar dan latar belakang informasi tentang isuisu penting pemberdayakan masyarakat untuk menemukan makna lebih dalam pekerjaan dan untuk berpartisipasi lebih lengkap dalam pengambilan keputusan yang efektif. Bass (1990) sebagaimana dikutip dalam mengemukakan pembagian Dennis dan bahwa pemberdayaan kekuasaan dengan Bocarnea pengikut (2006) adalah dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. (7) Pelayanan (Service). Tindakan melayani meliputi misi tanggung jawab kepada orang lain (Dennis dan Bocarnea: 2006). pelayanan Pemimpin adalah pusat (kepemimpinan melayani). memahami servant bahwa leadership Model servant leadership (kepemimpinan melayani), melayani sesamanya dalam perilaku, sikap, dan nilai-nilai. Menurut Block (1993) sebagaimana dikutip dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006), pelayanan adalah segalanya. Orangorang bertanggung jawab kepada siapa yang dilayani apakah itu bawahan atau pengikutnya. Greenleaf (1996) mengemukakan bahwa bagi para pemimpin untuk melayani orang lain, harus memiliki rasa tanggungjawab. Patterson (2003) menjadikan kasih sebagai karakteristik dari Servant leadership (kepemimpinan melayani) yang paling mendasar atau utama, dan diakhiri dengan pelayanan (Patterson: 2003). Model yang dibuat Patterson, sesuai dengan ajaran Yesus, yaitu hukum yang kedua, yang sama pentingnya dengan hukum yang sesama manusia. terutama, Sebagai orang adalah mengasihi yang mengasihi sesama manusia dengan baik dan penuh kasih. Dalam kerangka karakteristik ini diawali dengan Kasih sebagai karakteristik dasar servant leadership (kepemimpinan melayani), dan diakhiri dengan motivasi untuk melayani sesama, sebagai akibat yang timbul dari sikap mengasihi tersebut. Patterson memakai teori Maslow bahwa, salah satu kebutuhan manusia adalah dikasihi atau dicintai. Kasih dapat memberikan dorongan yang kuat pada diri sesorang leadership untuk berbuat sesuatu. (kepemimpinan Jadi melayani) servant juga perlu memimpin bahwahannya dengan Kasih atau cinta. Menurut Rome sebagaimana dikutip dalam tulisan Anne dan Deprez (2008) Kasih atau cinta sejati (Real Love) adalah memperhatikan kebahagiaan orang lain tanpa memikirkan apa yang akan didapatkan untuk diri sendiri, sedangkan kasih atau cinta yang palsu (Imitation Love), adalah mencari pujian, kekuasaan, kesenanagan, dan keamanan pribadi atau diri sendiri. Sebetulnya dasar dari konsep servant leadership (kepemimpinan melayani), adalah konsep kasih atau cinta kepada sesama, khususnya kepada para bawahannya. Hal ini perlu ditumbuhkan pada para pemimpin, agar seorang pemimpin menumbuhkan potensi yang ada pada bawahannya dengan lebih baik lagi, yaitu dengan mengasihi, mengembangkan dan melayani bawahan-nya, serta mengajar bawahannya untuk kembali mengasihi orang lain dan mau mengembangkan serta melayani orang lain dengan lebih baik lagi. Karakteristi servant leadership dari Spears dan Patterson dapat disumpulkan melalui tabel berikut ini. Karakteristik servant leadership (kepemimpinan melayani)) Spear (2004) Patterson (2003) Nilai dasar dari karakteristik servant leadership (kepemimpinan melayani) ” kasih” diantara lain : Mendengarkan, Empati, Kerendahan hati, menyembuhkan, dan mengutamakan kesadaran orang lain, pelayanan Tindakan dari karakteristik servant leadership (kepemimpinan melayani) Persuasasi, Memiliki Visi, konseptualisasi, Visi, pemberdayaan, dan mempercayakan, percaya komitmen, dan membangun komunitas 2.4 Nilai-nilai Kristiani Dalam Teori leadership (kepemimpinan melayani) Walaupun konsep servant Servant leadership (kepemimpinan melayani) merupakan sesuatu yang baru dalam teori kepemimpinan, namun sebenarnya hal ini bukanlah suatu ide yang benar-benar baru karena ide ini sebenarnya sudah lama ada. Sebetulnya yang mula-mula menggunakan istilah ini adalah seorang pemimpin besar agama Kristen yakni Yesus. Servant leadership (kepemimpinan melayani) diajarkan oleh Yesus lebih dari 2000 tahun lalu melalui ajaran maupun telada perbuatan-Nya. Sebenarnya Yesus adalah pemimpin sejati bagi orang-orang percaya, hal ini tercatat dalam Alkitab (kitab suci agama Kristen), yaitu pada Kitab Inji (Perjanjian Baru), Matius 20 ayat 28 dan Markus pasal 10 ayat 45 (Russel dan College: 2003). Dimana tertulis bahwa : ”Anak manusia datang, bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”. Yesus melakukan pelayanan-Nya yaitu keinginan untuk melayani sesama menusia. Hal ini sesuai dengan dimensi servant leadership (kepemimpinan melayani) yang dinyatakan Barbout dan Wheeler sebagaimana dikutip dalam tulisan Maria (2011) yakni mengenai Panggilan (Calling) berarti keinginan alami yang ada dalam diri indivudu untuk melayani sesama manusia dan kesedian mengorbankan kepentingan pribadinya untuk memberikan manfaat atau keuntungan kepada orang lain. Servant leadership (kepemimpinan melayani) juga dilakukan oleh Yesus dengan teladan kepada para murid-Nya, yaitu dengan membasuh kaki para murid-Nya satu persatu (Yohanes pasal 13), padahal Yesus merupakan pemimpin dari para murid. Dalam tradisi membasuh kaki biasanya dilakukan oleh seorang pelayan atau seorang yang dianggap tingkat atau pangkatnya paling rendah diantara orang yang hadir. Namun dalam kenyataannya, Yesus secara sadar dan tanpa diminta tiba-tiba melakukannya. Disinilah Yesus memberikan teladan kepada para murid-Nya mengenai sikap seorang pemimpin yang melayani (Russel,et al., 2003). Pada Kitab Injil Yohanes 13 ayat 14-15, dinyatakan bahwa sesudah Yesus membasuh satu persatu kaki murid-murid-Nya (12 orang), Yesus berkata kepada murid-muridNya (Russel,et al., 2003) ”jadi sekarang, karena Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, telah mmbasuh kakimu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu. Aku tela memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Aku perbuat kepadamu”. Sebagai servant leadership (kepemimpinan melayani), Yesus memberikan keteladanan dalam sifat maupun perilaku, yaitu sifat rendah hati (humillity), sesuai dengan dimensi servant leadership (kepemimpinan melayani) pendapat (Patterson: 2003), dimensi yang lain dari servant leadership (kepemimpinan melayani) disebutkan oleh Russel dan Stone (Patterson: 2003) yakni perilaku (modeling) sesuai dengan teladan Yesus. teladan Yesus juga mengajarkan bahwa hukum yang terutama ada dua hal (Matius 22 ayat 37-39; Markus 12 ayat 30-31; dan Lukas 10 ayat 27) yaitu: ”Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Dalam ungkapan ayat ini Yesus bemaksud bahwa kedua hukum ini sama pentingnya, yaitu hukum yang sama pentingnya dengan hukum yang pertama , karena mengasihi Allah berarti menuruti perintah Allah, yaitu mengsihi sesam manusia. Hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam Kitab Injil, di mana diungkapkan : ”Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah Ku” (Yohanes 14 ayat 15). ”Barangsiapa memegang perintah Ku dan melakukannya dilah yang mengasihi Aku” (Yohanes 14 ayat 21). Hal ini berrti bahwa orang yang mengasihi Tuhan, juga wajib mengasihi sesamanya. Untuk itu Patterson (2003) menjadikan ”Kasih” sebagai karakteristik dari servant leadership (kepemimpinan melayani), hal ini berarti (Yohanes pasal 14, ayat 15 & ayat 21) dalam penelitiannya menekankan melihat bahwa orang yang mengasihi Tuhan, juga wajib mengasihi sesamanya. Lebih lanjut ”Kasih” sebagai karakteristik dari servant leadership (kepemimpinan melayani) yang mendasar atau paling utama, dan diakhiri dengan ”Pelayanan” (Patterson: 2003). Jadi dari dimensi-dimensi tersebut Patterson menjadikan model yang sesuai dengan nila-nilai yang diajarkan oleh Yesus (nilai-nilai Kristiani), yaitu hukum yang terutama adalah mengasihi sesama manusia. Terkandung dalam nilai-nilai kecerdasan spritual yang oleh Suyanto (2005) sebagimana dikutip dalam Maria (2006) menyebutkan seperti : kebenaran, kepedulian, kejujuran, kerjasama, kesederhanaan, kebebasan, pengertian, tanggung jawab, tenggangrasa, integritas, rasa percaya, kerendahan hati, keseimbangan. kesetiaan, Kepemimpinan keadilan, bukanlah dan posisi, melainkan kombinasi antara karakter dan semua yang dilakukan atau kemampuan. 2.5 Motivasi Pelayanan 2.5.1 Makna Pelayanan menurut Alkitab Secara etimologi, kata ”pelayanan” memiliki makna yang amat kompleks. Istilah pelayanan yang dipakai gereja dapat diterima dalam kehidupan bergereja. Kata pelayanan digunakan oleh perjanjian baru dalam bahasa yunani ada empat macam kata yang digunakan yakni ; diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Diakone (diakonia) secara harafia istilah ini digunakan untuk menyediakan makanan di meja untuk majikan. Namun di Lukas 22: 26 & 27 memberi arti baru bahwa diakone, yaitu melayani orang yang justru lebih rendah kedudukannya. Lebih lanjut dijelaskan 1 Petrus 4: 10 memberikan pemaknaan bahwa, kata diakone berarti menggunakan karisma yang dimiliki untuk melayani kepentingan dan kebaikan orang lain (Andar Ismail, 2012). Diakone digunakan untuk pemaknaan pelayanan gereja, (Patison: 1998). Douleo (dulos = budak) dalam artian melayani sebagai hamba. Berarti sama sekali tidak memiliki kepentingan sendiri. Dijelaskan dalam suatu pernyataan yang tajam diperlihatkan di (Filipi 2:5-7). Diartikan bahwa Yesus yang walaupun mempunyai rupa Allah namun, telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang budak atau menjadi sama dengan manusia. Yesus mau merendahkan diri-Nya dan menjadi sama dengan manusia. Leitourgeo diartikan bekerja untuk kepentingan orang banyak atau kepentingan umum, sebgai lawan dari bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Untuk itu seluruh kehidupan ini patut menjadi pribadi yang lebih rendah diri (filipi 2), dengan demikian membawa orang percaya menjadi murid Tuhan. Latreuo dalam perjanjian baru (Matius 4:10; Kisah Para Rasul 7:7) kata digunakan dalam arti menyembah atau beribadah pada Tuhan. Penggunaan yang mencolok terdapat (Roma 12: 1) di mana Paulus berpesan supaya agar setiap orang dapat mempersembahkan tubuhnya kepada Tuhan sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya. Berbagai kata yang digunakan oleh gereja dengan arti pelayanan, mengabdi atau menghamba kepada Tuhan dan bukan kepada orang lain. Pola hidup yang bukan lagi hidup untuk diri sendiri melainkan hidup untuk Tuhan dan untuk orang lain. Dorongan untuk melayani Tuhan dan orang lain darinya adalah karena Yesus sendiri sudah melayani kita. Tujuan hidup-Nya bukanlah untuk mendapatkan pelayanan, melainkan untuk memberi pelayanan. Isi hidup-Nya bukanlah dilayani, melainkan melayani. Menurut Calvin sebagaimana dikutip dalam tulisan dalam Ismail (2012) melihat bahwa setiap pelayanan adalah penetapan dan panggilan dari Allah. Dalam bukunya, institutio pengajaran agam kristen, menulis bahwa, Tuhan menetapkan tugas-tugas bagi setiap orang yang menurut jalan hidupnya masing-masing. Dan masing-masing jalan hidup itu dinamakan-Nya panggilan. Pengakuan bahwa pelayanan adalah panggilan dari Tuhan mengandung beberapa implikasi. Calvin menulis, setiap orang diberi jalan oleh Tuhan jalan hidup sendiri-sendiri artinya, Tuhan menempatkan setiap orang pada suatu tanggung jawab tertentu. Artinya setiap pribadi harus setia, berakar dan bertumbuh dalam setiap panggilannya. Calvin juga menulis tidak sembrono, melampaui batas, melebih panggilannya, artinya setiap pribadi tahu betul apa deskripsi dan defenisi tugasnya. Selanjutnya Calvin berpendapat bahwa setiap pribadi mengaku pelayanan sebagai panggilan dan penugasan dari Tuhan. Dengan demikian pimpinan dan kekuatan untuk pelayanan itu, bagi setiap orang kesusahan, kesulitan dan beban-beban berat lainnya akan lebih ringan bila Tuhan menjadi pembimbing bagi semua proses pelayanan. Yang terpenting panggilan itu dijalankan dengan taat dan sukacita. Kepelbagaian panggilan bukanlah soal tinggi dan rendah, melainkan soal saling membutuhkan sebagai mitra Allah. dan saling melengkapi 2.5.2 Definisi Motivasi Pelayanan Secara umum motivasi diartikan sebagai faktor yang timbul dalam diri seseorang, sehingga hal itu mendorong dan menggerakkannya untuk melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan, untuk mencapai satu tujuan tertentu. Kini dan Hobson (2002) berpendapat motivasi sebagai suatu kesatuan proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku kearah pencapaian tujuan. Dalam penelitian Lucia (2009), motivasi berfungsi sebagai pendorong timbulnya suatu tindakan. Pengarah yakni mengarahkan perbuatan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan. Dan sebagai penggerak yakni menentukan semangat seseorang untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Berdasarkan paparan pengertian pelayanan dan motivasi dapat disimpulkan bahwa, motivasi pelayanan merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri induvidu secara internal, untuk melakukan panggilan pelayanan demi melayani pelayanan-Nya. Hal ini dilakukan atas dasar pengakuan Tuhan Yesus lebih dulu melayani kita dan merendahkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia. Dengan demikian Tuhan Yesus menempatkan bertanggung masing-masing jawab dalam pribadi pelayanannya. untuk Dalam dorongan pribadi itulah sesorang mampu setia, berakar dan bertumbuh sesuai dengan amanat-Nya. Agar mampu mengarahkan setiap pribadi hidup dalam kasih Yesus Kristus. Berarti lebih mengorbankan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan pelayanan. Menurut penelitian pelayanan memiliki perkataan tidak perbuatan. Tulus sikap hanya Hendaklah yang (2011) tercermin perkataan engkau motivasi tetapi menjadi oleh juga teladan (1 Timotius 4:12). Teladan yang mampu menunjukan perbuatan kasih terhadap orang lain, karena pelayanan yang berkualitas serta hidup yang menghadirkan dan berpadanan dengan Injil Kristus. Selain itu menurut (Sitompul: 20011) menambahkan proses keteladanan dapat diwujudkan melalui, mengahargai waktu, dengan bijak memanfaatkan waktu yang ada demi melakukan pelayanan tanpa mengorbankan orang lain. 2.5.3 Karakteristik dalam mengembangkan Motivasi Karakteristik individu untuk mengembangkan motivasi seperti dikemukakan McClelland sebagaimana dikutip dalam Mangkunegara (2005) adalah sebagai berikut : (1) memiliki tingkat tanggung jawab individu yang tinggi, (2) berani mengambil resiko, (3) memiliki tujuan yang realistik, (4) memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasikan tujuan, (5) memanfaatkan umpan balik yang dilakukan, dan (6) mempunyai peluang untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan. Bahwa karakteritik ini dibutuhkan agar setiap individu memiliki hubungan baik dan dapat membangun relasi denga semua orang. Artinya relasi dengan yang menjadi patner individu bekerja tapi juga orang yang dilayaninya. 2.6 Komitmen Pelayanan Dalam tulisan Bobby (2008) melihat komitmen yang diartikannya pada nats alkitab (Kolose 3: 23-24) dan (1 Korintus 15:58). Untuk itu menurutnya komitmen adalah janji setia, tekad atau ketetapan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan tanggung jawab. Artinya komitmen akan membuat suatu janji tanggung dapat jawab dipercaya dan tekad karena untuk adanya rasa melakukannya. Menurutnya dalam arti yang luas, komitmen menunjuk pada adanya tekad untuk setia pada sesuatu (organisasi, perusahaan atau juga gereja dsb). Tetapi Sutisna (2009), berpendapat bahwa secara sederhana melihat komitmen ini berarti perjanjian untuk melakukan sesuatu baik dengan diri sendiri, orang lain, atau juga suatu organisasi (gereja), maupun dengan Tuhan. Komitmen juga dapat diartikan sebagai pernyataan kehendak atau janji untuk dengan setia melakukan sesuatu yang telah diputuskan. Dengan demikian berkomitmen jelas membutuhkan pengorbanan dan pengabdian. Dalam pengertian ini menurutnya Rasul Paulus adalah contoh yang paling sederhana untuk menjadi teladan dan panutan dalam pelayanannya. Lebih lanjut dijelaskan mengacu pada Rasul Paulus maka komitmen dalam pelayanan adalah suatu keharusan atau wajib hukumnya karena sejatinya, (1) komitmen adalah dasar bagi seseorang untuk terlibat dalam pelayanan dan (2) kesetiaan seseorang dalam pelayanan tergantung bagaimana orang tersebut memegang komitmennya di hadapan Allah. Menurut Barna (2010) yang menyatakan bahwa komitmen merupakan kebergantungan setiap manusia kepada Allah, dikarenakan manusia harus bersandar sepenuhnya pada firman dan penyertaan-Nya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, komitmen merupakan kebulatan hati mengabdikan diri untuk melayani-Nya, dengan segenap hati, pikiran, kekuatan, demi kecintaannya terhadap pelayanan. Sedangkan menurut Sitompul (2011) pelayanan bukan untuk melayani Tuhan, melainkan melayani sesama manusia karena Tuhan telah menugaskan manusia. Sikap menerima tugas berarti bertanggung jawab, yakin menjalankannya sesuai dengan perintah atau petunjuk disampaikan. Dapat disimpulkan komitmen pelayanan mengandung unsur janji, kesetiaan, bahwa apa yang diputuskan itu merupakan tekat atau kebulatan hati seseorang dalam melakukan pelayanan. Hal lain yang perlu diperhatikan bertanggung jawab kepada apa yang lakukan, berpadanan dengan apa yang dikehendaki-Nya. 2.7 Komponen Dan Tiga Aspek Terdapat Dalam Komitmen Menurut Steer (1985) menyatakan bahwa komitmen terhadap organisasi memiliki dua komponen yaitu sikap dan kehendak untuk berperilaku. Komponen sikap mencakup: (a) identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi; (b) keterlibatan dalam peran dan tanggung jawab pekerjaan dalam organisasi; dan (c) kehangatan, dan loyalitas termaksud terhadap kehendak organisasi. untuk sedangkan berperilaku yang adalah kesediaan untuk menampilkan usaha, yang meliput : (1) kesediaan untuk bekerja melebihi yang diharapkan agar organisasi dapat maju, sehingga individu akan ikut memperhatikan nasib organisasi; dan (2) adanya keinginan untuk tetap berada dalam organisasi, yaitu individu hanya memiliki sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi dalam waktu yang lama. Selanjutnya Mowday,et al., dalam tulisan Lucia, (2009) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek utama dari komitmen organisasi yaitu : (1) Identifikasi dimaksudkan, terwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap organisasi. identifikasi mencakup kepercayaan yang penuh atas nilai-nilai dan tujuan organisasi yang membuat anggota dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi karena anggota menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi anggota organisasi. Hal ini terlihat dari sikap menyetujui kebijakan-kebijakan organisasi, serta adanya kebanggaan menjadi bagian organisasi. (2) Keterlibatan, dalam keterlibatan aktivitas-aktivitas atau partisipasi organisasi. anggota adanya keterlibatan menyebabkan anggota akan mau dan senang bekerja sama dengan teman kerja dalam melakukan tugas. Keterlibatan yang tinggi menyebabkan tingkat kehadiran yang semakin tinggi juga. (3) Loyalitas bahwa, individu dengan komitmen organisasi yang tinggi merasakan adanya rasa adanya rasa setia dan memiliki organisasi. Loyalitas terhadap organisasi memiliki makna kesediaan individu untuk melanggengkan hubungan dengan organisasi, perlu pengorbanan kepentingan pribadinya tanpa apapun. Hal ini berarti adanya kesediaan anggota untuk mempertahankan dan memelihara keanggotaan dalam organisasi. 2.8 Pengembangan Hipotesis 2.8.1 Pengaruh Servant leadership (kepemimpinan melayani) terhadap Motivasi Pelayanan. Menurut Anoggara (2001) berpendapat bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang bekerja adalah faktor motivasi. Dalam artian dengan memotivasi bawahan, maka pemimpin dapat membimbing dan mendorong anggotanya untuk bekerja lebih baik. Tugas seorang pemimpin meliputi memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang menyenangkan (Yulk: 2010). dalam melaksanakan pekerjaan Hasil penelitian mengenai kepemimpinan berpengaruh terhadap motivasi. Dilakukan oleh, Bront Kark,et al., (2007); Mengemukakan bahwa Anderson,et al., kepemimpinan (2009). mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dari pengikutnya. Begitupun dengan penelitian Smith, Monlango, Kuzmenko (2004) menunjukan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan pribadi pengikut atau anggotanya. selanjutnya menurut Patterson leadership (kepemimpinan Pendapat (2003) servant melayani) dengan menanamkan nilai cinta-kasih terhadap pengikutnya, maka akan berpengaruh terhadap motivasi yang muncul dalam diri pengikutnya untuk melayani. Diduga kuat bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) itu juga merupakan sebagai salah satu bagian dari kepmimpinan, yang dapat memotivasi para penatua dan diaken dalam melakukan pelayanannya. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis satu yang dikemukakan adalah; H1 : Servant leadership (kepemimpinan melayani) berpengaruh signifikan terhadap pelayanan dari Majelis Jemaat. motivasi 2.8.2 Pengaruh Motivasi Komitmen Pelayanan pelayanan terhadap Menurut Siagian (2007) bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya. Untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditentukan. Namun menurut McNeese–Smith, et al., (1995) menyatakan bahwa, dengan motivasi yang tinggi akan menciptakan sebuah komitmen terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam menyelesaikan setiap pekerjaan atau tugas. Pendapat ini didukung oleh beberapa penelitian antara lain, Jae (2000) serta Burton, et al., (2002) hasil menunjukan bahwa terdapat motivasi anggota organisasi berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi. Pendapat selanjutnya penelitian Bard (2006) sebagimana mengutip Furthermore, Ganesan and Weitz, berpendapat bahwa ada hubungan positif antara motivasi dan komitmen yang lebih terikat dengan induvidu yang timbul dari dalam dirinya. Motivasi pelayanan merupakan proses melayani tanpa pamrih dengan resiko yang harus diterima. Akibat dari berkomitmen dalam pelayanan terkadang menimbulkan perasaan bersalah atau rasa berdosa karena lalai dalam melakukan tugas pelayanan pada diri individu yang melayani. Motivasi pelayanan merupakan sebuah panggilan atau kerja rohani atau spiritual yang dapat membuat induvidu berkomitmen. Berbeda dengan motivasi kerja dimana ada aturanaturan kerja organisasi atau perusahaan, ada sangsisangsi yang akan membuat anggota organisasi harus berkomitmen. Selain itu, ada pula perlakuan-perlakuan atas peraturan yang dibuat oleh organisasi salah satu contoh yakni, kenaikan gaji atau gaji dipotong akibat tidak masuk kerja atau terkenal sanksi-sanksi mental. Tetapi berbeda dengan gereja, tidak ada yang memuat peraturan (sanksi-sanksi dll), yang mengikat individu dalam melakukan pelayanan. Harus dipahami bahwa motivasi pelayanan berarti melayani karena terpanggil atau melakukan pertanggung jawaban imannya kepada Tuhan. Agar hidup yang di jalani lebih baik dan mampu membangun relasi dengan sesama dan juga dengan Tuhan. Jika motivasi pelayanan tinggi, maka akan memiliki kesadaran tentang sebuah panggilan untuk melayani, yang diduga akan berakibat mempunyai komitmen yang tinggi pula. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis kedua yang dikemukakan adalah ; H2 : Motivasi terhadap pelayanan komitmen berpengaruh pelayanan signifikan dari Majelis jemaat 2.8.3 Peranan Motivasi sebagai variabel pemediasi antara Servant leadership (kepemimpinan melayani) dan komitmen. Motivasi pelayanan setiap individu harus jelas dan tidak bisa diukur dengan materi, karena motivasi pelayanan merupakan pengabdian individu. Ini merupakan arti pentingnya variabel motivasi pelayanan sebagai faktor pemediasi. Bahwa kepemimpinan secara umum akan mempengaruhi komitmen, namun akan mempengaruhi motivasi motivasi. pelayanan Konteks lebih banyak dalam gereja, muncul dari kesadaran induvidu secara internal. Sebab hal ini akan meningkatkan kehidupan rohani seseorang sebagai wujud suatu panggilan yakni melayani. Dengan demikian, motivasi pelayanan yang seperti itu akan menjadi perantara pengaruh antara gaya kepemimpinan pendeta terhadap komitmen pelayanan individu. Jadi yang terpenting dalam konteks ini adalah motivasi pelayanan harus ada dulu, baik dari dalam diri individu maupun termotivasi oleh servant leadership (kepemimpinan melayani) pendeta. Jadi motivasi pelayanan akan lebih kuat karena, motivasi pelayanan lebih memberi diri melayani dengan setia tanpa harus memikirkan resiko apa yang akan diterima. Hal tersebut akan berbeda bila, individu tidak bisa berkomitmen kalau tidak memiliki motivasi pelayanan yang muncul dari pemahaman yang baik. Diduga kuat bahwa servant leadership (kepemimpinan melayani) terhadap komitmen tidak berpengaruh secara langsung namun harus melalui motivasi pelayanan. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis ketiga yang dikemukakan adalah: H3 : Peranan Motivasi pelayanan sebagai variabel mediasi antara (kepemimpinan pelayanan. Servant melayani) dan leadership komitmen 2.9 Model Penelitian Gambar 2.1 Kerangka Model Penelitian