"Pengaruh Servant Leadership (Kepemimpinan Melayani) terhadap

advertisement
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1 Kepemimpinan
Kekristenan
Menurut
George
Dalam
Barna
Konteks
sebagaimana
dikutip
dalam Alex (2011) mengatakan ; a chirstiani leader as
someone who is called by God to lead with christlike
character an effectively, motivates, mobilizes resources
and direct people toward fulfillment of a jointly embraced
vision for God.
Menurut Robert Clinton (1989) dalam
tulisan Eddie Gibbs (2005) berpendapat tugas utama
pemimpin adalah mempengaruhi umat Allah untuk
melaksanakan rencana Allah. Demikian juga Henry dan
Richard Blackaby dalam tulisan Eddie Gibbs (2005)
mengatakan kemepmimpinan bahwa kemepimpinan
kristen
bukan
panggilan.
suatu
Dimana
pekerjaan
pemimpin
tetapi
menggerakan
sebuah
orang-
orang berdasarkan agenda Allah.
Menggerakan orang lain menurut Walter Wright
(2004)
seorang
pemimpin
yang
masuk
ke
dalam
hubungan dengan orang lain untuk mempengaruhi.
Melalui perilaku, nilai-nilai, atau sikap pemimpin akan
menyarankan bahwa semua orang Kristen mampu
melakukannya. Atau lebih tepatnya bahwa semua
orang kristen seharusnya menjalankan kepemimpinan,
dan berusaha membuat sebuah perbedaan dalam
kehidupan sekitar. Perbedaan rumusan kepemimpinan
secara
terletak
umum
pada
dan
kepemimpinan
metode,
jabatan
kristen,
atau
bukan
kedudukan
melainkan pada panggilan nilai dari filosofinya.
Pola kepemimpinan kristen yang diangap efektif
dan efisien bukankah harus mendayagunakan pola
servant
leadership
(kepemimpinan
melayani).
Pola
kepemimpinan seperti Yesus bukanlah perkara yang
mudah tetapi sekaligus juga bukan sesuatu yang sulit
untuk dilakukan. Modalnya cuma satu yakni hati.
Yesus mengajarkan servant leadership (kepemimpinan
melayani), pada intinya, terpusat pada apa yang ada di
dalam hati seorang pemimpin. Hati akan menentukan
apa
yang
terlihat
keluar
(www.sabda.org/lead/kepemimpinanYesus).
2.2 Servant
Leadership
(Kepemimpinan
Melayani)
Beberapa literature menyebutkan dan mengakui
tokoh
pertama
yang
menekuni
gagasan
Servant
leadership secara serius yaitu Robert K Greenleaf.
Gagasan mengenai servant leadership (kepemimpinan
melayani) ini sebenarnya telah menjadi perhatian sejak
tahun
1960.
Konsep
servant
leadership
terutama
berasal dari pengalaman Greenleaf bekerja di sebuah
perusahaan besar (AT & T). Walaupun demikian
kristalisasi ide ini terjadi setelah Greenleaf membaca
novel singkat berjudul "Journey to the East' yang ditulis
oleh Hermann Hesse, yang menceritakan panggilan
sekelompok orang spiritual. Greenleaf mendefinisikan
Servant leadership “If one is a servant, either leader of
follower,
one
is
always
searching,
listening,
and
expecting that a better wheel for these times is in the
making.” Pada tahun 1970, Greenleaf menerbitkan
sebuah esay berjudul The Servant as Leader : yang
menerangkan bahwa servant leadership (kepemimpinan
melayani)
adalah
orang
yang
mula-mula
menjadi
pelayan, dalam pernyataannya Greenleaf mengatakan “
Servant leadership (kepemimpinan melayani) dimulai
dengan
perasaan
alami
bahwa
orang
lain
ingin
melayani lebih dulu, kemudian pilihan sadar membawa
orang untuk berkeinginan memimpin. Lebih lanjut
menurut Greenleaf kepemimpinan yang secara alami
adalah orang yang mengerti bahwa memimpin itu
adalah
menjadi
pelayan
terlebih
dahulu
yang
menempatkan kepentingan orang lain sebagai prioritas
tertinggi. Servant leadership (kepemimpinan melayani)
ini dimulai dari kesadaran seorang pemimpin sebagai
pelayan yang muncul dari prinsip yang dianut oleh
pemimpin, nilai-nilai dan kepercayaan.
Melalui tulisan Greenleaf
Servant leadership
dipandang sebagai salah satu pelopor revolusi baru
dalam pemikiran kepemimpinan, khususnya servant
leadership
leadership
(kepemimpinan
(kepemimpinan
melayani).
melayani)
Servant
memberikan
filosofi baru dalam konsep kepemimpinan. Penelitian
Laub (1999) menyatakan pandangan dari Greenleaf
tentang
konsep
Servant
leadership
mempengaruhi
beberapa kepemimpinan dari komunitas Kristen yang
paling menonjol yakni : Steven Covey, John Gardner,
Peter Senge, M. Scott Peck (Spears) and Margaret
Wheatley. Dijelaskan tulisannya berpendapat bahwa
servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah
suatu cara dalam memimpin dan mengelola organisasi
yang lebih baik. Tulisan Greenleaf dengan judul Servant
leadership telah membantu dimulainya gerakan dan
pandangannya
yang
telah
memberi
dampak
yang
mendalam dan mengembangkan banyak orang. Ide
mengenai
Servant
leadership,
yang
dicetuskan
Greenleaf sejak tahun 1970, telah berlangsung selama
40 tahun dan telah menciptakan perubahan bagi
organisasi di seluruh dunia (Spears: 2004).
Jadi servant leadership (kepemimpinan melayani)
muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin timbul
dari
nilai-nilai dan kepercayaan (Greenleaf: 1977).
Melayani
pihak
menfasilitasi
lain
berarti
bahwannya
di
atau
mana
pemimpin
anggotanya
untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Di sisi lain Senjaya
(1997) mengutip tulisan Covey yang mengatakan bahwa
servant leadership (kepemimpinan melayani) sematamata bukan hanya melayani untuk mendapatkan hasil,
tetapi
perilaku
untuk
melayani
adalah
hasilnya.
Pemimpin haruslah mengetahui bahwa tugas dan
kewajiban utama dari pemimpin adalah melayani
kebutuhan dan kepentingan dari pihak lain, Akuchie
dalam tulisan Laub (2004). Selanjutnya dijelaskan
bahwa,
bagaimanapun
juga
melayani
pihak
lain
merupakan kepercayaan yang diberikan oleh organisasi
kepada pemimpin atau memberikan pelayanan kepada
pihak lain merupakan ide, realisasi dan aktualisasi dari
melayani
pihak
lain.
Dalam
hal
ini
merupakan
panggilan tertinggi dari kepemimpinan yang dapat
melayani sebagai fungsi penting di dalam memimpin
pihak lain. Tulisan Greenleaf, fokus pada perilaku dari
servant
leadership
(kepemimpinan
perilaku
kepemiminannya
pengikut
atau
anggota
telah
(Smith,
melayani)
dan
mempengaruhi
Montagno
dan
Kuzmenko:
servant
2004).
Selanjutnya
leadership
dijelaskan
(kepemimpinan
bahwa,
melayani)
memandang kepemimpinan bukan posisi atau status,
tetapi sebagai kesempatan untuk melayani sebagai
bentuk dalam mengembangkan orang lain dengan
sepenuhnya.
Namun
mengutip
bahwa
tulisan
pendapat
Spears
Greenleaf
kepamimpinan
(2010)
sebagaimana
(1977)
melayani,
menyatakan
pelayan
sebagai
pemimpin yang dimulai dengan perasaan alami ingin
melayani yang menjadi faktor utama. Dan menurut
Millard (1995) mengutip pendapat yang dikemukakan
oleh
Laub
(1999)
menunjukan
bahwa
servant
leadership (kepemimpinan melayani) bukanlah sebagai
gaya kepemimpinan tetapi sebagai, suatu falsafa dan
pendekatan kepemiminan melalui cara hidup dan cara
berpikir.
Untuk
itu
orientasi
servant
leadership
(kepemimpinan melayani) akan tercemin dari dimensi
iman
Kristen
yang
berhubungan
dengan,
sikap
kerendahan hati dan pelayanan kepada Tuhan bahwa
kekuatan kepemimpinan selalu di bawah pengawasan
Allah, (Irving: 2004). Sejalan dengan itu Menurut
Senjaya (1997) mengutip tulisan dari Steven Covey yang
berpendapat,
servant
leadership
(kepemimpinan
melayani)
muncul
dari
prinsip
yang
dianut
oleh
pemimpin melalui nilai-nilai dan kepercayaan. Servant
leadership (kepemimpinan melayani) adalah seseorang
yang memiliki perasaan secara alami dengan kerelaan
hati,
ingin
melayani
lebih
dulu,
menciptakan
perubahan dan dapat memberdayakan anggota dalam
organisasi, dan itu terwujud dari sikap dan nilai-nilai
kepercayaan.
Konsep
servant
(kepemimpinan
melayani)
lebih
kepentingan
dari
bawahannya
leadership
mengutamakan
tidak
sekedar
itu
namun, pemimpin dituntut melakukan tugas tanggung
jawab dalam sikap, tutur kata, perilaku memberikan
nilai yang baik dan dapat di teladani oleh anggota
organisasi.
Blanchard dan Hodges (2006) menulis bahwa
menjadi seorang servant leadership (kepemimpinan
melayani) bagi orang Kristen bukan lagi merupakan
pilihan tapi merupakan mandat yang diperintahkan
Tuhan
sendiri.
Secara
sempurna
Tuhan
telah
menggambarkan ajaran-Nya sendiri dengan teladan; ”
Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk
dilayani, melainkan melayani. Tetapi aku ada di
tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk 22:27).
Sanders (1974) dalam tulisan Oktavian (2004) menulis
bahwa setiap kali seseorang akan mulai mempelajari
kepemimpinan rohani, perlu agar prinsip ilahi yang
utama ini dipahami dengan jelas dan dipegang dengan
teguh. Kebesaran sejati, kepemimpinan sejati dicapai
bukan dengan cara menurunkan orang-orang untuk
melayani, melainkan dengan memberikan diri sendiri
untuk melayani orang lain tanpa memperdulikan diri
sendiri.
Dijelaskan
lebih
lanjut
bahwa,
pemimpin
rohani yang sejati senantiasa lebih memperhatikan
pelayanan
yang
dilakukannya
untuk
Tuhan
dan
sesamanya, daripada memikirkan keuntungan dan
kesenangan yang diperolehnya dalam hidup. Dan Yesus
adalah pemimpin sejati bagi orang percaya orang-orang
yang mengenal Yesus. Tulisan Robert Kysar (2003)
mengalegorikan Yesus sebagai Gembala Baik (Yohanes
pasal 10 ayat 11-17). Dalam penjelasannya Yesus amat
memperhatikan orang-orang percaya kepunyaan-Nya
sehingga Yesus bersedia mengorbankan hidup-Nya bagi
mereka. Gemabala baik akan melindungi orang-orang
kepunyaan-Nya,
sekalipun
itu
berarti
Ia
harus
mengorbankan dan menyerahkan hidup-Nya (Kysar:
2003).
Salah satu sifat kepemimpinan rohani dalam
melakukan
pekerjaannya
dilakukan
secara
efektif
dengan menggunakan hati seorang gembala. Pemimpin
harus
menunjukan
satu
contoh
yang layak
bagi
kawanan dombanya. ”Hendaklah kamu menjadi teladan
bagi kawanan domba itu”. Jadilah teladan bagi anggota
yang di pimpinnya dalam perkataan, tingkah laku,
kasih, kesetiaan, dan dalam kesucian. Tidak hanya itu
saja bahwa seorang pemimpin harus diliputi sifat
rendah hati, disini lebih rendah hati dalam hubungan
dengan orang lain. Dijelaskan bahwa, bersikap rendah
diri
terhadap
(Oktavian:
disiplin
2004).
Allah
atau
Penjelasan
dari
ajaran
Allah
beberapa
ahli
mengenai Servant leadership menjadi patokan bagi
setiap pemimpin lebih khusus menjadi ciri, sikap atau
pola hidup bagi setiap pemimpin.
2.3
Karakteristik
beberapa Ahli
2.3.1 Karakteristik
Spears
Servant
leadership
menurut
Servant
leadership
Menurut
Dalam tulisan Spears (2004) diungkapkan bahwa
setelah
beberapa
Greenleaf
tahun
dengan
karakteristik
seksama,
yang
pengembangan
mempelajari
Spears
dianggap
servant
leadership
tulisan
asli
menyusun
penting
untuk
(kepemimpinan
melayani). Menurut tulisan Spears ada 10 karakteristik
servant leadership (kepemimpinan melayani) yaitu:
mendengar,
empati,
menyembuhkan,
memiliki
kesadaran, persuasi, konseptualisasi, melihat ke masa
depan,
mempercayakan
komitmen
terhadap
pengaturan,
pengembangan
memiliki
manusia,
dan
membangun komunitas (Spears: 2004). Berikut ini
adalah
penjelasan
mengenai
masing-masing
karakteristik tersebut.
(1)
Mendengarkan
(kepemimpinan
(Listening)
melayani)
servant
bersedia
leadership
mendengarkan
keinginan orang lain atau kelompoknya. Secara terbuka
dan membantu merefleksikan keinginan tersebut secara
periodik.
(2)
Empati
(kepemimpinan
(Empathy)
melayani)
servant leadership
berusaha
mengerti
dan
memahami kekhususan dan keunikan orang lain,
mengenal
dan
menerima orang
lain apa
adanya,
memiliki asumsi bahwa orang yang bekerja sama
dengannya
mempunyai
Menyembuhkan
itikad
(Healing)
yang
servant
baik.
(3)
leadership
(kepemimpinan melayani) memiliki kemampuan untuk
menyembuhkan orang lain maupun dirinya sendiri dari
perasaan kehilangan semangat akibat perasaan sakit
hati
atau
masalah
emosi
lainnya.
(4)
Kesadaran
(Awareness), Seorang Pemimpin melayani memiliki
kesadaran yang tinggi terhadap masalah etika dan nilai.
la mampu membantu orang lain memahami masalahmasalah etika dan nilai-nilai, memandang banyak hal
secara integral atau menyeluruh, menyadarkan dan
mengubah orang lain dengan memberikan alasan yang
rasional. (5) Persuasi (Persuasion). Servant leadership
(kepemimpinan
melayani)
mengutamakan
dan
mengandalkan diri pada persuasi (pembujukan), bukan
pada
posisi
berusaha
atau
kekuasaannya.
meyakinkan
orang
Pemimpin
lain,
serta
akan
mampu
membangun kesepakatan didalam kelompoknya. (6)
Konseptualisasi (Conceptualization). Servant leadership
(kepemimpinan melayani) memiliki kemampuan untuk
menyusun atau membuat suatu tujuan yang hebat
atau besar, bukan hanya berfokus pada kegiatan rutin
harian, namun juga jangka panjang. (7) Melihat ke
masa
depan
(kepemimpinan
(Foresight).
melayani)
Servant
berfokus
leadership
pada
tujuan
memiliki kemampuan melihat kebutuhan pada masa
yang akan datang. Pemimpin belajar dari masa lalu,
memahami kenyataan atau keadaan saat ini, dan
akibat dari suatu keputusan terhadap masa yang akan
datang.
Pemimpin
yang
memiliki
intuisi
atau
kemampuan memprediksi hal-hal yang dibutuhkan
untuk masa yang akan datang. (8) Mempercayakan
(Stewardship),
“holding
didefinisikan
something
in
trust
stewardship
for
another”,
sebagai
yaitu
mempercayakan sesuatu kepada orang lain. Seorang
Pemimpin
Pelayan
menganggap
komitmen
untuk
melayani kebutuhan orang lain adalah hal yang utama,
dan ia percaya bahwa bawahannya juga
mau dan
mampu melayani orang lain dengan baik. (9) Komitmen
terhadap pengembangan manusia (Commitment to the
growth of people). Servant leadership (kepemimpinan
melayani)
memiliki
tanggung-jawabnya
komitmen
untuk
dan
memahami
mengembangkan
semua
individu atau anggota yang ada di dalam organisasi.
(10)
Membangun
komunitas
(Building
community).
Servant leadership (kepemimpinan melayani) terjadinya
pergeseran dari komunitas lokal kepada lembagalembaga atau organisasi, telah menyadarkan Servant
leadership
(kepemimpinan
melayani)
untuk
membangun komunitas diantara orang-orang yang
bekerja dalam suatu lembaga tertentu. Komunitas sejati
dapat diciptakan diantara orang-orang yang bekerja
pada suatu organisasi atau lembaga demi kebaikan
bersama.
Kesepuluh karakteristik dari servant leadership
(kepemimpinan
terpisah
satu
melayani)
dengan
tersebut
yang
tidaklah
lainnya,
saling
tetapi
keseluruhannya menunjukkan suatu kesatuan yang
saling
mendukung,
dan
konsep
ini
baik
untuk
dilakukan oleh pemimpin yang merasa terpanggil dan
bersedia untuk memenuhinya (Spears: 2004); (Calvin et
al 2009 ) serta (Marianti: 2011)
2.3.2 Karakteristik
Patterson
Dalam
Servant
tulisan
mengembangkan
leadership
Patterson
teori
(kepemimpinan
(2003)
servant
melayani)
Menurut
telah
leadership
dimana
Patterson
menciptakan sebuah landasan yang lebih pada spesifik
dengan
mendefenisikan
servant
leadership
nilai-nilai
(kepemimpinan
yang
ada
melayani).
pada
Dan
didasarkan pada nilai-nilai yang Patterson sebutkan
komponen
”constructs”
(kepemimpinan
Russel
dari
melayani).
(2004),
servant
servant
Menurut
leadership
leadership
Patterson
dan
(kepemimpinan
melayani), yang mana adalah terfokus pada pengikut,
menjelaskan perilaku tersebut. Menurut Whetstone
(2001) dalam tulisan Patterson (2003) kebajikan atau
moral yang menunjuka kepada karakteristik kualitatif
yang
merupakan
bagian
dari
karakter
seseorang,
sesuatu yang bersifat internal yang lebih tertuju pada
spiritual.
Kualitas
ini
mencirikan
servant
leadership
(kepemimpinan melayani), yang dipandu oleh kebijakan
didalamnya,
selanjutnya
disebut
”constructs”.
Konstruksi ini berbudi luhur yang mendefenisikan
keepmimpinan melayani tersebut, membentuk sikap,
karakteristik, dan perilaku setiap orang. Jadi intinya
menurut Patterson servant leadership (kepemimpinan
melayani)
ialah
seseorang
yang
melayani
dengan
berfokus pada pengikut, dimana para pengikut menjadi
perhatian
utama
dan
masalah
selanjutnya.
Konstruksi
(kepemimpinan
melayani)
organisasi
servant
adalah
adalah
leadership
kebajikan,
yang
didefinisikan sebagai kualitas moral yang baik dalam
diri seseorang, atau secara umum sebagai kualitas
kebaikan atau keunggulan moral.
Patterson
(2003)
melihat
Servant
leadership
(kepemimpinan melayani) adalah suatu teori mengenai
kebajikan atau kesalehan (Virtuous Theory). Kebajikan
atau kesalehan adalah karakteristik kualitatif yang
merupakan bagian dari karakter seseorang, sesuatu
yang ada di dalam diri seseorang yang bersifat internal,
atau yang lebih ditekankan disini yakni bersifat spritual
atau rohaniah atau batiniah. Teori Kebijakan atau
Kesalehan
(Virtue
Theory)
menunjukan
ide
dalam
melakukan hal-hal yang tepat dengan fokus pada
karakter
moral,
dan
mencari
hal-hal
yang
tepat
dilakukan dalam situasi tertentu. Kesalehan atau
kebajikan
berharga
bagi
kepemimpinan
karena
berfokus
pada
kebaikan
bersama,
bukan
pada
maksimal keuntungan, karena itu mendapat tempat
dalam kepemimpinan.
Model teoritis yang dibuat oleh Patterson (2003)
mengenai servant leadership (kepemimpinan melayani),
terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan,
yaitu: (1) Kasih yang murni atau Agape (Agape Love),
menurut Patterson merupakan landasan hubungnan
kepemimpinan dan pengikut adalah Kasih Agape.
Menurut Dennis dan Bocarnea (2006) kasih agape
artinya
mengasihi
dalam
arti
sosial
atau
moral.
Menurutnya Kasih ini menyebabkan pemimpin untuk
menggap setiap orang tidak hanya sebagai alat untuk
mencapai
antara
tujuan,
tetapi
kebutuhan
dan
sebagai
orang
keinginan.
pelengkap
Lebih
lanjut
menurutnya ”lakukan kepada orang lain seperti yang
anda
inginkan
kepada
orang
tersebut
lakukan
kepadamu” terapkan untuk semua. Servant leadership
(kepemimpinan melayani) benar-benar peduli untuk
orang lain dan tertarik dalam kehidupan pengikutnya.
(2) Kerendahan Hati (Humility), menurut Sandage dan
Wiens (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea
(2006) berpendapat bahwa kemampuan untuk menjaga
sebuah sebuah prestsi dan talenta dalam prespektif. Ini
berarti berlatih penerimaan diri, tetapi selanjutnya
meliputi praktek kerendahan hati yang sejati, yang
berarti
tidak
menjadi
berfokus
pada
diri
sendiri
melainkan berfokus pada orang lain. Swindoll (1981)
dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat
bahwa kerendahan pelayan tidak boleh disamakan
dengan
miskin
harga
diri,
melainkan
bahwa
kerendahan hati adalah sejalan dengan ego yang sehat.
Dengan kata lain, kerendahan hati bukan berarti
memiliki rendahnya pandangan terhadap diri sendiri
atau nilai diri seseorang, melainkan berarti melihat
sesorang tidak lebih baik atau buru daripada yang
lainnya. Servant leadership (kepemimpinan melayani)
melihat kerendahan hati sebagai cerminan akurat dari
penilain diri dan karena itu, memelihara fokus pada
rendah diri (Tangney: 2000).
(3) Mengutamakan orang lain (altruism), tulisan Kaplan
(2000) menyatakan bahwa altruism adalah membantu
orang lain tanpa pamrih, yang melibatkan pengorbanan
pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi.
sementara Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip
tulisan
Eisenberg
(1986)
mendefenisikan
perilaku
altruistik sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan
untuk menguntungkan pihak lain dan tidak dimotivasi
oleh harapan eksternal yakni penerimaan imbalan atau
pahala. Bagi Johnson (2001) dalam tulisan Dennis dan
Bocarnea (2006) yang berpendapat bahwa altruism
merupakan perspektif etika. Menerapkan teori kognisi
sosial untuk menjelaskan altruism, yang berfokus pada
faktor-faktor identitas, persepi diri, cara pandangan,
dan empati. Lebih lanjut Monroe (1994) mengutip
pendapat yang dikemukakan oleh Dennis dan Bocarnea
(2006)
mendefenisikannya
sebagai
perilaku
yang
dimaksukan untuk mendatangkan keuntungan yang
lain, bahkan melakukannya mungkin beresiko atau
memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang
lain.
(4) Visi (Vision), Blanchard (2000) mendefinisikan visi
sebagai ”Gambaran masa depan yang menghasilkan
gairah”, selanjutnya dijelaskan bahwa visi diperlukan
untuk kepemimpinan yang baik. Demikian Laub (1999)
menemukan bahwa visi bersama membangun orang
lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan
orang lain (melayani mereka). Menurut Dennis dan
Bocarnea (2006) berpendapat bahwa servant leadership
(kepemimpinan melayani) harus bermimpi sambil tetap
berada di masa lalu dan fokus pada masa depan,
karena ini memungkinkan pemimpin untuk mengambil
keuntungan dari peluang masa kini. Berkaitan visi dan
kerendahan hati Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip
pendapat
yang
dikemukakan
oleh
Buchan
(2002)
menyatakan bahwa kepemimpinan yang melayani tidak
mementingkan
diri
sendiri,
memungkinkan
ego
pemimpin dengan mendapatkan cara kemampuannya
dalam membayangkan masa depan organisasi.
(5) Percaya (Trust), kepercayaan adalah karakteristik
penting
dari
servant
leadership
(kepemimpinan
melayani). Model tersebut kebenaran servant leadership
(kepemimpinan
melayani)
dalam
cara
melatih,
memberdayakan dan mempengaruhi. Kepercayaan ini
ada sebagai elemen dasar untuk suatu kepemimpinan
sejati. Menurut Russell (2001) dalam tulisan Dennis
dan Bocarnea (2006) dinyatakan bahwa nilai-nilai
integritas
dan
kejujuran
interpersonal,
organisasi
membangun
dan
kepercayaan
menyebabkan
kredibilitas; kepercayaan ini sangat penting dalam
servant leadership (kepemimpinan melayani), dan selalu
hadir sebagai faktor penting yang merupakan pusat
kepemimpinan. Selain itu Melrose (1998) sebagaimana
dikutip
dalam
Dennis
dan
Bocarnea
(2006)
menyatakan bahwa para pemimpin melakukan apa
yang
dikatakan,
Keterbukaan
yang
seorang
menimbulkan
pemimpin
kepercayaan.
untuk
menerima
masukan dari orang lain meningkatkan kepercayaan
pada seorang pemimpin. Pengikut lebih cenderung
mengikuti pemimpin dengan perilaku yang konsisten,
dapat dipercaya dan dapat langsung terhubung dengan
aspirasi pengikutnya.
(6) Pemberdayanaan (Empowerment), Pemberdayaan
adalah mempercayakan kekuasaan kepada orang lain,
dan untuk servant leadership (kepemimpinan melayani)
menyangkut mendengarkan secara efektif, membuat
orang merasa penting, menempatkan penekanan pada
kerja sama tim, menghargai cinta dan kesetaraan
(Russell dan Stone, 2002). Covey (2002) berpendapat
bahwa pemimpin berfungsi sebagai contoh untuk
memberdayakan
orang
lain
dan
untuk
menilai
perbedaan pengikutnya. Mcgee-Cooper dan Trammell
(2002)
sebagaimana
Bocarnea
(2006)
dikutip
dalam
berpendapat
bahwa
Dennis
dan
memahami
asumsi dasar dan latar belakang informasi tentang isuisu
penting
pemberdayakan
masyarakat
untuk
menemukan makna lebih dalam pekerjaan dan untuk
berpartisipasi
lebih
lengkap
dalam
pengambilan
keputusan yang efektif. Bass (1990) sebagaimana
dikutip
dalam
mengemukakan
pembagian
Dennis
dan
bahwa
pemberdayaan
kekuasaan
dengan
Bocarnea
pengikut
(2006)
adalah
dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan.
(7) Pelayanan (Service). Tindakan melayani meliputi
misi tanggung jawab kepada orang lain (Dennis dan
Bocarnea:
2006).
pelayanan
Pemimpin
adalah
pusat
(kepemimpinan melayani).
memahami
servant
bahwa
leadership
Model servant leadership
(kepemimpinan melayani), melayani sesamanya dalam
perilaku, sikap, dan nilai-nilai. Menurut Block (1993)
sebagaimana
dikutip
dalam
tulisan
Dennis
dan
Bocarnea (2006), pelayanan adalah segalanya. Orangorang bertanggung jawab kepada siapa yang dilayani
apakah itu bawahan atau pengikutnya. Greenleaf
(1996) mengemukakan bahwa bagi para pemimpin
untuk
melayani
orang
lain,
harus
memiliki
rasa
tanggungjawab.
Patterson
(2003)
menjadikan
kasih
sebagai
karakteristik dari Servant leadership (kepemimpinan
melayani) yang paling mendasar atau utama, dan
diakhiri dengan pelayanan (Patterson: 2003). Model
yang dibuat Patterson, sesuai dengan ajaran Yesus,
yaitu hukum yang kedua, yang sama pentingnya
dengan
hukum
yang
sesama
manusia.
terutama,
Sebagai
orang
adalah
mengasihi
yang
mengasihi
sesama manusia dengan baik dan penuh kasih. Dalam
kerangka karakteristik ini diawali dengan Kasih sebagai
karakteristik dasar servant leadership (kepemimpinan
melayani),
dan
diakhiri
dengan
motivasi
untuk
melayani sesama, sebagai akibat yang timbul dari sikap
mengasihi tersebut.
Patterson memakai
teori Maslow bahwa, salah
satu kebutuhan manusia adalah dikasihi atau dicintai.
Kasih dapat memberikan dorongan yang kuat pada diri
sesorang
leadership
untuk
berbuat
sesuatu.
(kepemimpinan
Jadi
melayani)
servant
juga
perlu
memimpin bahwahannya dengan Kasih atau cinta.
Menurut Rome sebagaimana dikutip dalam tulisan
Anne dan Deprez (2008) Kasih atau cinta sejati (Real
Love) adalah memperhatikan kebahagiaan orang lain
tanpa memikirkan apa yang akan didapatkan untuk
diri sendiri, sedangkan kasih atau cinta yang palsu
(Imitation Love), adalah mencari pujian, kekuasaan,
kesenanagan, dan keamanan pribadi atau diri sendiri.
Sebetulnya dasar dari konsep servant leadership
(kepemimpinan melayani), adalah konsep kasih atau
cinta
kepada
sesama,
khususnya
kepada
para
bawahannya. Hal ini perlu ditumbuhkan pada para
pemimpin,
agar
seorang
pemimpin
menumbuhkan
potensi yang ada pada bawahannya dengan lebih baik
lagi, yaitu dengan mengasihi, mengembangkan dan
melayani bawahan-nya, serta mengajar bawahannya
untuk
kembali
mengasihi
orang
lain
dan
mau
mengembangkan serta melayani orang lain dengan
lebih baik lagi.
Karakteristi servant leadership dari Spears dan
Patterson dapat disumpulkan melalui tabel berikut ini.
Karakteristik servant leadership (kepemimpinan
melayani))
Spear (2004)
Patterson (2003)
Nilai dasar dari karakteristik servant leadership
(kepemimpinan melayani)
” kasih” diantara lain :
Mendengarkan, Empati,
Kerendahan hati,
menyembuhkan, dan
mengutamakan
kesadaran
orang lain, pelayanan
Tindakan dari karakteristik servant leadership
(kepemimpinan melayani)
Persuasasi,
Memiliki Visi,
konseptualisasi, Visi,
pemberdayaan, dan
mempercayakan,
percaya
komitmen, dan
membangun komunitas
2.4
Nilai-nilai Kristiani Dalam Teori
leadership (kepemimpinan melayani)
Walaupun
konsep
servant
Servant
leadership
(kepemimpinan melayani) merupakan sesuatu yang
baru dalam teori kepemimpinan, namun sebenarnya
hal ini bukanlah suatu ide yang benar-benar baru
karena ide ini sebenarnya sudah lama ada. Sebetulnya
yang
mula-mula
menggunakan
istilah
ini
adalah
seorang pemimpin besar agama Kristen yakni Yesus.
Servant leadership (kepemimpinan melayani) diajarkan
oleh Yesus lebih dari 2000 tahun lalu melalui ajaran
maupun
telada
perbuatan-Nya.
Sebenarnya
Yesus
adalah pemimpin sejati bagi orang-orang percaya, hal
ini tercatat dalam Alkitab (kitab suci agama Kristen),
yaitu pada Kitab Inji (Perjanjian Baru), Matius 20 ayat
28 dan Markus pasal 10 ayat 45 (Russel dan College:
2003). Dimana tertulis bahwa : ”Anak manusia datang,
bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”.
Yesus melakukan pelayanan-Nya yaitu keinginan untuk
melayani sesama menusia. Hal ini sesuai dengan
dimensi servant leadership (kepemimpinan melayani)
yang dinyatakan Barbout dan Wheeler sebagaimana
dikutip dalam tulisan Maria (2011) yakni mengenai
Panggilan (Calling) berarti keinginan alami yang ada
dalam diri indivudu untuk melayani sesama manusia
dan kesedian mengorbankan kepentingan pribadinya
untuk memberikan manfaat atau keuntungan kepada
orang lain.
Servant leadership (kepemimpinan melayani) juga
dilakukan oleh Yesus dengan teladan kepada para
murid-Nya,
yaitu
dengan
membasuh
kaki
para
murid-Nya satu persatu (Yohanes pasal 13), padahal
Yesus merupakan pemimpin dari para murid. Dalam
tradisi
membasuh
kaki
biasanya
dilakukan
oleh
seorang pelayan atau seorang yang dianggap tingkat
atau pangkatnya paling rendah diantara orang yang
hadir. Namun dalam kenyataannya, Yesus secara sadar
dan tanpa diminta tiba-tiba melakukannya. Disinilah
Yesus memberikan teladan kepada para murid-Nya
mengenai sikap seorang pemimpin yang melayani
(Russel,et al., 2003).
Pada
Kitab
Injil
Yohanes
13
ayat
14-15,
dinyatakan bahwa sesudah Yesus membasuh satu
persatu
kaki
murid-murid-Nya
(12
orang),
Yesus
berkata kepada murid-muridNya (Russel,et al., 2003)
”jadi sekarang, karena Aku yang adalah Tuhan
dan Gurumu, telah mmbasuh kakimu, maka
kamupun wajib saling membasuh kakimu. Aku
tela memberikan suatu teladan kepada kamu,
supaya kamu juga berbuat sama seperti yang
telah Aku perbuat kepadamu”.
Sebagai
servant
leadership
(kepemimpinan
melayani), Yesus memberikan keteladanan dalam sifat
maupun perilaku, yaitu sifat rendah hati (humillity),
sesuai
dengan
dimensi
servant
leadership
(kepemimpinan melayani) pendapat (Patterson: 2003),
dimensi
yang
lain
dari
servant
leadership
(kepemimpinan melayani) disebutkan oleh Russel dan
Stone
(Patterson:
2003)
yakni
perilaku
(modeling) sesuai dengan teladan Yesus.
teladan
Yesus juga mengajarkan bahwa hukum yang
terutama ada dua hal (Matius 22 ayat 37-39; Markus
12 ayat 30-31; dan Lukas 10 ayat 27) yaitu:
”Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu dan dengan segenap
kekuatanmu. Itulah hukum yang terutama dan
yang pertama. Dan hukum yang kedua yang
sama itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri”.
Dalam ungkapan ayat ini Yesus bemaksud bahwa
kedua hukum ini sama pentingnya, yaitu hukum yang
sama pentingnya dengan hukum yang pertama , karena
mengasihi Allah berarti menuruti perintah Allah, yaitu
mengsihi sesam manusia. Hal ini sesuai dengan yang
tertulis dalam Kitab Injil, di mana diungkapkan :
”Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan
menuruti
segala
perintah
Ku”
(Yohanes 14 ayat 15).
”Barangsiapa memegang perintah Ku dan
melakukannya dilah yang mengasihi Aku”
(Yohanes 14 ayat 21).
Hal ini berrti bahwa orang yang mengasihi
Tuhan, juga wajib mengasihi sesamanya. Untuk itu
Patterson
(2003)
menjadikan
”Kasih”
sebagai
karakteristik dari servant leadership (kepemimpinan
melayani), hal ini berarti (Yohanes pasal 14, ayat 15 &
ayat 21) dalam penelitiannya menekankan melihat
bahwa
orang
yang
mengasihi
Tuhan,
juga
wajib
mengasihi sesamanya. Lebih lanjut ”Kasih” sebagai
karakteristik dari servant leadership (kepemimpinan
melayani) yang mendasar atau paling utama, dan
diakhiri dengan ”Pelayanan” (Patterson: 2003). Jadi dari
dimensi-dimensi tersebut Patterson menjadikan model
yang sesuai dengan nila-nilai yang diajarkan oleh Yesus
(nilai-nilai Kristiani), yaitu hukum yang terutama
adalah mengasihi sesama manusia. Terkandung dalam
nilai-nilai kecerdasan spritual yang oleh Suyanto (2005)
sebagimana dikutip dalam Maria (2006) menyebutkan
seperti
:
kebenaran,
kepedulian,
kejujuran,
kerjasama,
kesederhanaan,
kebebasan,
pengertian,
tanggung jawab, tenggangrasa, integritas, rasa percaya,
kerendahan
hati,
keseimbangan.
kesetiaan,
Kepemimpinan
keadilan,
bukanlah
dan
posisi,
melainkan kombinasi antara karakter dan semua yang
dilakukan atau kemampuan.
2.5 Motivasi Pelayanan
2.5.1 Makna Pelayanan menurut Alkitab
Secara
etimologi,
kata
”pelayanan”
memiliki
makna yang amat kompleks. Istilah pelayanan yang
dipakai
gereja
dapat
diterima
dalam
kehidupan
bergereja. Kata pelayanan digunakan oleh perjanjian
baru dalam bahasa yunani ada empat macam kata
yang digunakan yakni ; diakoneo, douleo, leitourgeo,
dan latreuo.
Diakone (diakonia)
secara
harafia
istilah
ini
digunakan untuk menyediakan makanan di meja untuk
majikan. Namun di Lukas 22: 26 & 27 memberi arti
baru bahwa diakone, yaitu melayani orang yang justru
lebih rendah kedudukannya. Lebih lanjut dijelaskan 1
Petrus 4: 10 memberikan pemaknaan bahwa, kata
diakone berarti menggunakan karisma yang dimiliki
untuk melayani kepentingan dan kebaikan orang lain
(Andar
Ismail,
2012).
Diakone
digunakan
untuk
pemaknaan pelayanan gereja, (Patison: 1998). Douleo
(dulos = budak) dalam artian melayani sebagai hamba.
Berarti sama sekali tidak memiliki kepentingan sendiri.
Dijelaskan
dalam
suatu
pernyataan
yang
tajam
diperlihatkan di (Filipi 2:5-7). Diartikan bahwa Yesus
yang walaupun mempunyai rupa Allah namun, telah
mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang
budak atau menjadi sama dengan manusia. Yesus mau
merendahkan diri-Nya dan menjadi sama dengan
manusia.
Leitourgeo diartikan bekerja untuk kepentingan
orang banyak atau kepentingan umum, sebgai lawan
dari bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Untuk itu
seluruh kehidupan ini patut menjadi pribadi yang lebih
rendah diri (filipi 2), dengan demikian membawa orang
percaya
menjadi
murid
Tuhan.
Latreuo
dalam
perjanjian baru (Matius 4:10; Kisah Para Rasul 7:7)
kata digunakan dalam arti menyembah atau beribadah
pada Tuhan. Penggunaan yang mencolok terdapat
(Roma 12: 1) di mana Paulus berpesan supaya agar
setiap
orang
dapat
mempersembahkan
tubuhnya
kepada Tuhan sebagai persembahan yang berkenan
kepada-Nya.
Berbagai kata yang digunakan oleh gereja dengan
arti pelayanan, mengabdi atau menghamba kepada
Tuhan dan bukan kepada orang lain. Pola hidup yang
bukan lagi hidup untuk diri sendiri melainkan hidup
untuk Tuhan dan untuk orang lain. Dorongan untuk
melayani Tuhan dan orang lain darinya adalah karena
Yesus sendiri sudah melayani kita. Tujuan hidup-Nya
bukanlah untuk mendapatkan pelayanan, melainkan
untuk memberi pelayanan. Isi hidup-Nya bukanlah
dilayani, melainkan melayani.
Menurut
Calvin
sebagaimana
dikutip
dalam
tulisan dalam Ismail (2012) melihat bahwa setiap
pelayanan adalah penetapan dan panggilan dari Allah.
Dalam bukunya, institutio pengajaran agam kristen,
menulis bahwa, Tuhan menetapkan tugas-tugas bagi
setiap
orang
yang
menurut
jalan
hidupnya
masing-masing. Dan masing-masing jalan hidup itu
dinamakan-Nya
panggilan.
Pengakuan
bahwa
pelayanan adalah panggilan dari Tuhan mengandung
beberapa implikasi. Calvin menulis, setiap orang diberi
jalan oleh Tuhan jalan hidup sendiri-sendiri artinya,
Tuhan
menempatkan
setiap
orang
pada
suatu
tanggung jawab tertentu. Artinya setiap pribadi harus
setia,
berakar
dan
bertumbuh
dalam
setiap
panggilannya.
Calvin juga menulis tidak sembrono, melampaui
batas, melebih panggilannya, artinya setiap pribadi
tahu
betul
apa
deskripsi
dan
defenisi
tugasnya.
Selanjutnya Calvin berpendapat bahwa setiap pribadi
mengaku pelayanan sebagai panggilan dan penugasan
dari Tuhan. Dengan demikian pimpinan dan kekuatan
untuk pelayanan itu, bagi setiap orang kesusahan,
kesulitan dan beban-beban berat lainnya akan lebih
ringan bila Tuhan menjadi pembimbing bagi semua
proses
pelayanan.
Yang
terpenting
panggilan
itu
dijalankan dengan taat dan sukacita. Kepelbagaian
panggilan bukanlah soal tinggi dan rendah, melainkan
soal
saling
membutuhkan
sebagai mitra Allah.
dan
saling
melengkapi
2.5.2 Definisi Motivasi Pelayanan
Secara umum motivasi diartikan sebagai faktor
yang timbul dalam diri seseorang, sehingga hal itu
mendorong dan menggerakkannya untuk melakukan
sesuatu perbuatan atau tindakan, untuk mencapai
satu
tujuan
tertentu.
Kini
dan
Hobson
(2002)
berpendapat motivasi sebagai suatu kesatuan proses
yang membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara
perilaku kearah pencapaian tujuan. Dalam penelitian
Lucia (2009), motivasi berfungsi sebagai pendorong
timbulnya
suatu
tindakan.
Pengarah
yakni
mengarahkan perbuatan dalam pencapaian tujuan
yang
diinginkan.
Dan
sebagai
penggerak
yakni
menentukan semangat seseorang untuk menyelesaikan
tugas dan tanggung jawabnya.
Berdasarkan paparan pengertian pelayanan dan
motivasi dapat disimpulkan bahwa, motivasi pelayanan
merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri
induvidu secara internal, untuk melakukan panggilan
pelayanan
demi
melayani
pelayanan-Nya.
Hal
ini
dilakukan atas dasar pengakuan Tuhan Yesus lebih
dulu melayani kita dan merendahkan diri-Nya menjadi
sama dengan manusia. Dengan demikian Tuhan Yesus
menempatkan
bertanggung
masing-masing
jawab
dalam
pribadi
pelayanannya.
untuk
Dalam
dorongan pribadi itulah sesorang mampu setia, berakar
dan
bertumbuh sesuai
dengan
amanat-Nya.
Agar
mampu mengarahkan setiap pribadi hidup dalam kasih
Yesus Kristus. Berarti lebih mengorbankan kepentingan
pribadi dan mengutamakan kepentingan pelayanan.
Menurut
penelitian
pelayanan
memiliki
perkataan
tidak
perbuatan.
Tulus
sikap
hanya
Hendaklah
yang
(2011)
tercermin
perkataan
engkau
motivasi
tetapi
menjadi
oleh
juga
teladan
(1 Timotius 4:12). Teladan yang mampu menunjukan
perbuatan kasih terhadap orang lain, karena pelayanan
yang berkualitas serta hidup yang menghadirkan dan
berpadanan dengan Injil Kristus. Selain itu menurut
(Sitompul: 20011) menambahkan proses keteladanan
dapat diwujudkan melalui, mengahargai waktu, dengan
bijak memanfaatkan waktu yang ada demi melakukan
pelayanan tanpa mengorbankan orang lain.
2.5.3 Karakteristik dalam mengembangkan Motivasi
Karakteristik individu untuk mengembangkan
motivasi seperti dikemukakan McClelland sebagaimana
dikutip dalam Mangkunegara (2005) adalah sebagai
berikut : (1) memiliki tingkat tanggung jawab individu
yang tinggi, (2) berani mengambil resiko, (3) memiliki
tujuan yang realistik, (4) memiliki rencana kerja yang
menyeluruh
dan
berjuang
untuk
merealisasikan
tujuan, (5) memanfaatkan umpan balik yang dilakukan,
dan (6) mempunyai peluang untuk merealisasikan
rencana yang telah diprogramkan. Bahwa karakteritik
ini dibutuhkan agar setiap individu memiliki hubungan
baik dan dapat membangun relasi denga semua orang.
Artinya relasi dengan yang menjadi patner individu
bekerja tapi juga orang yang dilayaninya.
2.6 Komitmen Pelayanan
Dalam tulisan Bobby (2008) melihat komitmen
yang diartikannya pada nats alkitab (Kolose 3: 23-24)
dan
(1
Korintus
15:58).
Untuk
itu
menurutnya
komitmen adalah janji setia, tekad atau ketetapan yang
kuat untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan
tanggung jawab. Artinya komitmen akan membuat
suatu
janji
tanggung
dapat
jawab
dipercaya
dan
tekad
karena
untuk
adanya
rasa
melakukannya.
Menurutnya dalam arti yang luas, komitmen menunjuk
pada
adanya
tekad
untuk
setia
pada
sesuatu
(organisasi, perusahaan atau juga gereja dsb).
Tetapi Sutisna (2009), berpendapat bahwa secara
sederhana melihat komitmen ini berarti perjanjian
untuk melakukan sesuatu baik dengan diri sendiri,
orang lain, atau juga suatu organisasi (gereja), maupun
dengan Tuhan. Komitmen juga dapat diartikan sebagai
pernyataan kehendak atau janji untuk dengan setia
melakukan sesuatu yang telah diputuskan. Dengan
demikian
berkomitmen
jelas
membutuhkan
pengorbanan dan pengabdian. Dalam pengertian ini
menurutnya Rasul Paulus adalah contoh yang paling
sederhana untuk menjadi teladan dan panutan dalam
pelayanannya. Lebih lanjut dijelaskan mengacu pada
Rasul Paulus maka komitmen dalam pelayanan adalah
suatu
keharusan
atau
wajib
hukumnya
karena
sejatinya, (1) komitmen adalah dasar bagi seseorang
untuk terlibat dalam pelayanan dan (2) kesetiaan
seseorang dalam pelayanan tergantung bagaimana
orang tersebut memegang komitmennya di hadapan
Allah.
Menurut Barna (2010) yang menyatakan bahwa
komitmen merupakan kebergantungan setiap manusia
kepada Allah, dikarenakan manusia harus bersandar
sepenuhnya pada firman dan penyertaan-Nya. Lebih
lanjut
dijelaskan
bahwa,
komitmen
merupakan
kebulatan hati mengabdikan diri untuk melayani-Nya,
dengan
segenap
hati,
pikiran,
kekuatan,
demi
kecintaannya terhadap pelayanan. Sedangkan menurut
Sitompul (2011) pelayanan bukan untuk melayani
Tuhan, melainkan melayani sesama manusia karena
Tuhan telah menugaskan manusia. Sikap menerima
tugas
berarti
bertanggung
jawab,
yakin
menjalankannya sesuai dengan perintah atau petunjuk
disampaikan.
Dapat
disimpulkan
komitmen
pelayanan
mengandung unsur janji, kesetiaan, bahwa apa yang
diputuskan itu merupakan tekat atau kebulatan hati
seseorang dalam melakukan pelayanan. Hal lain yang
perlu diperhatikan bertanggung jawab kepada apa yang
lakukan,
berpadanan
dengan
apa
yang
dikehendaki-Nya.
2.7
Komponen Dan Tiga Aspek Terdapat Dalam
Komitmen
Menurut
Steer
(1985)
menyatakan
bahwa
komitmen terhadap organisasi memiliki dua komponen
yaitu
sikap
dan
kehendak
untuk
berperilaku.
Komponen sikap mencakup: (a) identifikasi dengan
organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi; (b)
keterlibatan
dalam
peran
dan
tanggung
jawab
pekerjaan dalam organisasi; dan (c) kehangatan, dan
loyalitas
termaksud
terhadap
kehendak
organisasi.
untuk
sedangkan
berperilaku
yang
adalah
kesediaan untuk menampilkan usaha, yang meliput :
(1) kesediaan untuk bekerja melebihi yang diharapkan
agar organisasi dapat maju, sehingga individu akan
ikut memperhatikan nasib organisasi; dan (2) adanya
keinginan untuk tetap berada dalam organisasi, yaitu
individu hanya memiliki sedikit alasan untuk keluar
dari organisasi dan berkeinginan untuk bergabung
dengan organisasi dalam waktu yang lama.
Selanjutnya Mowday,et al., dalam tulisan Lucia,
(2009) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek utama
dari komitmen organisasi yaitu :
(1) Identifikasi dimaksudkan, terwujud dalam bentuk
kepercayaan anggota terhadap organisasi. identifikasi
mencakup kepercayaan yang penuh atas nilai-nilai dan
tujuan organisasi yang membuat anggota dengan rela
menyumbangkan
sesuatu
bagi
tercapainya
tujuan
organisasi karena anggota menerima tujuan organisasi
yang
dipercayai
telah
disusun
demi
memenuhi
kebutuhan pribadi anggota organisasi. Hal ini terlihat
dari sikap menyetujui kebijakan-kebijakan organisasi,
serta adanya kebanggaan menjadi bagian organisasi. (2)
Keterlibatan,
dalam
keterlibatan
aktivitas-aktivitas
atau
partisipasi
organisasi.
anggota
adanya
keterlibatan menyebabkan anggota akan mau dan
senang bekerja sama dengan teman kerja dalam
melakukan
tugas.
Keterlibatan
yang
tinggi
menyebabkan tingkat kehadiran yang semakin tinggi
juga. (3) Loyalitas bahwa, individu dengan komitmen
organisasi yang tinggi merasakan adanya rasa adanya
rasa setia dan memiliki organisasi. Loyalitas terhadap
organisasi memiliki makna kesediaan individu untuk
melanggengkan hubungan dengan organisasi, perlu
pengorbanan kepentingan pribadinya tanpa apapun.
Hal
ini
berarti
adanya
kesediaan
anggota
untuk
mempertahankan dan memelihara keanggotaan dalam
organisasi.
2.8 Pengembangan Hipotesis
2.8.1 Pengaruh
Servant
leadership
(kepemimpinan melayani) terhadap Motivasi
Pelayanan.
Menurut Anoggara (2001) berpendapat bahwa
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
seseorang
bekerja adalah faktor motivasi. Dalam artian dengan
memotivasi
bawahan,
maka
pemimpin
dapat
membimbing dan mendorong anggotanya untuk bekerja
lebih
baik.
Tugas
seorang
pemimpin
meliputi
memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang
menyenangkan
(Yulk: 2010).
dalam
melaksanakan
pekerjaan
Hasil
penelitian
mengenai
kepemimpinan
berpengaruh terhadap motivasi. Dilakukan oleh, Bront
Kark,et
al.,
(2007);
Mengemukakan
bahwa
Anderson,et
al.,
kepemimpinan
(2009).
mempunyai
pengaruh dan memainkan peran penting terhadap
motivasi diri dari pengikutnya. Begitupun dengan
penelitian
Smith,
Monlango,
Kuzmenko
(2004)
menunjukan bahwa, servant leadership (kepemimpinan
melayani) diarahkan untuk memotivasi pertumbuhan
pribadi
pengikut
atau
anggotanya.
selanjutnya
menurut
Patterson
leadership
(kepemimpinan
Pendapat
(2003)
servant
melayani)
dengan
menanamkan nilai cinta-kasih terhadap pengikutnya,
maka
akan
berpengaruh
terhadap
motivasi
yang
muncul dalam diri pengikutnya untuk melayani.
Diduga
kuat
bahwa
servant
leadership
(kepemimpinan melayani) itu juga merupakan sebagai
salah satu bagian dari kepmimpinan, yang dapat
memotivasi para penatua dan diaken dalam melakukan
pelayanannya.
Berdasarkan
uraian
di
atas
maka
hipotesis satu yang dikemukakan adalah;
H1 : Servant leadership (kepemimpinan melayani)
berpengaruh
signifikan
terhadap
pelayanan dari Majelis Jemaat.
motivasi
2.8.2 Pengaruh
Motivasi
Komitmen Pelayanan
pelayanan
terhadap
Menurut Siagian (2007) bahwa motivasi adalah
daya
pendorong
yang
mengakibatkan
seseorang
anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan
kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan,
tenaga
dan
waktunya.
Untuk
menyelenggarakan
berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan
menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian
tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditentukan.
Namun
menurut
McNeese–Smith,
et
al.,
(1995)
menyatakan bahwa, dengan motivasi yang tinggi akan
menciptakan sebuah komitmen terhadap apa yang
menjadi
tanggung
jawabnya
dalam
menyelesaikan
setiap pekerjaan atau tugas.
Pendapat ini didukung oleh beberapa penelitian
antara lain, Jae (2000) serta Burton, et al., (2002) hasil
menunjukan
bahwa
terdapat
motivasi
anggota
organisasi berpengaruh signifikan terhadap komitmen
organisasi. Pendapat selanjutnya penelitian Bard (2006)
sebagimana
mengutip
Furthermore,
Ganesan
and
Weitz, berpendapat bahwa ada hubungan positif antara
motivasi dan komitmen yang lebih terikat dengan
induvidu yang timbul dari dalam dirinya.
Motivasi pelayanan merupakan proses melayani
tanpa pamrih dengan resiko yang harus diterima.
Akibat dari berkomitmen dalam pelayanan terkadang
menimbulkan perasaan bersalah atau rasa berdosa
karena lalai dalam melakukan tugas pelayanan pada
diri
individu
yang
melayani.
Motivasi
pelayanan
merupakan sebuah panggilan atau kerja rohani atau
spiritual yang dapat membuat induvidu berkomitmen.
Berbeda dengan motivasi kerja dimana ada aturanaturan kerja organisasi atau perusahaan, ada sangsisangsi yang akan membuat anggota organisasi harus
berkomitmen. Selain itu, ada pula perlakuan-perlakuan
atas peraturan yang dibuat oleh organisasi salah satu
contoh yakni, kenaikan gaji atau gaji dipotong akibat
tidak masuk kerja atau terkenal sanksi-sanksi mental.
Tetapi berbeda dengan gereja, tidak ada yang
memuat peraturan (sanksi-sanksi dll), yang mengikat
individu dalam melakukan pelayanan. Harus dipahami
bahwa motivasi pelayanan berarti melayani karena
terpanggil
atau
melakukan
pertanggung
jawaban
imannya kepada Tuhan. Agar hidup yang di jalani lebih
baik dan mampu membangun relasi dengan sesama
dan juga dengan Tuhan. Jika motivasi pelayanan tinggi,
maka
akan
memiliki
kesadaran
tentang
sebuah
panggilan untuk melayani, yang diduga akan berakibat
mempunyai komitmen yang tinggi pula.
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis kedua yang
dikemukakan adalah ;
H2
:
Motivasi
terhadap
pelayanan
komitmen
berpengaruh
pelayanan
signifikan
dari
Majelis
jemaat
2.8.3 Peranan Motivasi sebagai variabel pemediasi
antara
Servant
leadership
(kepemimpinan melayani) dan komitmen.
Motivasi pelayanan setiap individu harus jelas
dan tidak bisa diukur dengan materi, karena motivasi
pelayanan
merupakan
pengabdian
individu.
Ini
merupakan arti pentingnya variabel motivasi pelayanan
sebagai faktor pemediasi. Bahwa kepemimpinan secara
umum akan mempengaruhi komitmen, namun akan
mempengaruhi
motivasi
motivasi.
pelayanan
Konteks
lebih
banyak
dalam
gereja,
muncul
dari
kesadaran induvidu secara internal. Sebab hal ini akan
meningkatkan kehidupan rohani seseorang sebagai
wujud
suatu
panggilan
yakni
melayani.
Dengan
demikian, motivasi pelayanan yang seperti itu akan
menjadi
perantara
pengaruh
antara
gaya
kepemimpinan pendeta terhadap komitmen pelayanan
individu.
Jadi yang terpenting
dalam konteks ini adalah
motivasi pelayanan harus ada dulu, baik dari dalam
diri
individu
maupun
termotivasi
oleh
servant
leadership (kepemimpinan melayani) pendeta. Jadi
motivasi pelayanan akan lebih kuat karena, motivasi
pelayanan lebih memberi diri melayani dengan setia
tanpa
harus
memikirkan
resiko
apa
yang
akan
diterima. Hal tersebut akan berbeda bila, individu tidak
bisa
berkomitmen
kalau
tidak
memiliki
motivasi
pelayanan yang muncul dari pemahaman yang baik.
Diduga kuat bahwa servant leadership (kepemimpinan
melayani) terhadap komitmen tidak berpengaruh secara
langsung namun harus melalui motivasi pelayanan.
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis ketiga yang
dikemukakan adalah:
H3 : Peranan Motivasi pelayanan sebagai variabel
mediasi
antara
(kepemimpinan
pelayanan.
Servant
melayani)
dan
leadership
komitmen
2.9 Model Penelitian
Gambar 2.1
Kerangka Model Penelitian
Download