nilai moral dalam novel orang miskin dilarang

advertisement
NILAI MORAL DALAM NOVEL
ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH
KARYA WIWID PRASETYO DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh:
Siti Nurfajriah
(109013000007)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ABSTRAK
Siti Nurfajriah, 109013000007, ―Nilai Moral dalam Novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah‖. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum.
Nilai pendidikan dalam novel ini difokuskan pada pembahasan nilai moral.
Selanjutnya pembentukan nilai moral para tokoh tersebut dikaitkan dengan latar
belakang asal tempat yang terdapat dalam novel. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan struktur yang membangun novel Orang Miskin Dilarang
Sekolah, nilai pendidikan moral para tokoh, dan implikasi pembahasan novel ini
terhadap pembelajaran di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah strukturalisme sastra.
Hasil penelitian berupa struktur cerita tersusun secara padu dan logis karena
setiap unsurnya saling berkaitan. Perjuangan tokoh utama dalam membantu
teman-temannya untuk sekolah merupakan tema utama dalam cerita. Penokohan
menurut fungsinya sebagai protagonis dan antagonis semakin memperjelas dan
menghidupkan cerita. Bentuk alur maju dengan menggunakan sekuen dan
hubungan kausalitas dapat mempermudah pembaca dalam memahami alur cerita.
Pendeskripsian latar tempat semakin memperkuat alur dan penokohan.
Pendeskripsian latar waktu menampilkan keadaan sosial pada saat itu.
Penggunaan sudut pandang orang pertama membuat pembaca seolah merasakan
dan terlibat langsung dalam cerita. Gaya bahasa yang digunakan semakin
memperindah jalannya cerita, sehingga lebih menarik perhatian pembaca. Latar
belakang masyarakat Jawa dalam cerita berkaitan dengan nilai moral, di antaranya
nilai moral terhadap diri sendiri, nilai moral terhadap orang lain dan nilai moral
terhadap Tuhan. Nilai moral tersebut tercermin melalui para tokoh sehingga
terlihat bahwa pengarang ingin menunjukkan prinsip Jawa dalam
karyanya.
Analisis novel Orang Miskin Dilarang Sekolah dapat memenuhi kompetensi inti
dalam kurikulum. Kegiatan menganalisis struktur novel dapat menambah
pemahaman siswa terhadap cara menganalisis struktur novel serta meningkatkan
keterampilan berbahasa.
KataKunci: Nilai pendidikan moral, pendekatan struktural dan pragmatik, novel
Orang Miskin Dilarang Sekolah
i
ABSTRACT
SitiNurfajriah, 109013000007, "Moral Values in Orang Miskin Dilarang Sekolah
novel by WiwidPrasetyo and its Implications toward Literature Learning at
School". Indonesian Language and Literature Departement, Faculty of Tarbiyah
and Teaching Science, State Islamic of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor:
Rosida Erowati, M.Hum.
Educational value in this novel focused on the discussion of moral values.
The formation of these values in the characters is associated with the social and
cultural setting of the novel, which is Semarang, Central Java. This research aims
to describe the structure of Orang Miskin Dilarang Sekolah novel, moral
education value of the characters, and implication of this discussion for literature
learning at school. The method used is structural and pragmatic approach.
The result of the structure analysis are coherent and logical because every
element are related. Struggle of the main character to help his friends in school is
a major theme in the story. The characterizations according to the function as
protagonist and antagonist were articulated and make the story. Vivid progressive
plot desain by using the sequence and causality relationship make the reader
easier in understanding the storyline. Description of the background further
strengthen the plot and characterization. Description of the social background
display state at the time. The use of first-person perspective makes the reader feel
as if directly involved in the story. Style of language used increasingly beautify
the course of the story, attract more the reader’s attention. Background of
Javanese society in the story related to moral values, which are the moral values to
one self, the moral values to other people, and the moral values to God, reflected
by the charactersso it looks that the author wants to show the principle of Java in
his work. Analysis of Orang Miskin Dilarang Sekolah novel can fulfill the main
competence of curriculum. Structure analysis of the novel can increase student’s
knowledge of how to analyze the structure of novel and improve their language
skill.
Keywords: Moral education values, pragmatic and structural approach, novel
Orang Miskin Dilarang Sekolah
ii
KAT`A PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt., yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga penulis diberi kemudahan
dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Nilai Moral dalam
Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah‖. Shalawat serta
salam selalu penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam proses penulisan skripsi ini tentunya terdapat banyak halangan yang
penulis hadapi. Namun, akhirnya penulis dapat menyelesaikan dengan baik berkat
dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dra. Nurlena Rifa’i, M.A.,Ph. D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan;
2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan kemudahan selama penulisan skripsi ini;
3. Rosida Erowati, M. Hum., dosen pembimbing yang telah membimbing
penulis dengan penuh kesabaran. Ilmu pengetahuan dan wawasan yang
beliau berikan sangat bermanfaat bagi penulis;
4. Dra. Siti Sahara, dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan
bimbingan selama perkuliahan;
5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dan wawasannya kepada penulis selama
perkuliahan berlangsung;
6. Orang tua tercinta (Bapak H. Syaiful Azhar dan Ibu Hj. Siti Sumairoh)
yang senantiasa mendoakan serta memberikan motivasi selama penulisan
skripsi ini;
iii
7. Suami tercinta (Anton Firdaus, S.H) yang senantiasa mendoakan,
memberikan motivasi, serta bantuan waktu dan tenaga dalam proses
penulisan skripsi ini;
8. Sahabat-sahabatku tersayang: Fina Wardatul Ummah, Ria Fidiyanti,
Windy Nurseptiani dan Ila Nurlaila, terima kasih atas doa, motivasi dan
waktu luangnya dalam berbagi suka dan duka;
9. Seluruh mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
angkatan 2009, terima kasih atas doa dan dukungannya;
10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas
doa dan dukungannya.
Semoga semua bantuan doa, motivasi, serta bimbingan yang telah
diberikan mendapatkan balasan dari Allah Swt. Selain itu, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak agar dapat
membantu meningkatkan mutu pembelajaran dan pengajaran bahasa
dan
sastra Indonesia.
Jakarta, Maret 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...............................................................................................................
i
ABSTRACT……………………………………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR .............................................................................................
iii
DAFTAR ISI............................................................................................................
v
DAFTAR DIAGRAM .............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... ........ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ ........ 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. ........ 3
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... ........ 3
E. Metodologi Penelitian ................................................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................
10
A. Pengertian Novel ........................................................................................... 10
B. Strukturalisme Sastra dan Pendekatan Pragmatik......................................... 11
C. Hakikat Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra.............................................. 19
D. Hakikat Moral ............................................................................................... 20
1. Pengertian Moral ..................................................................................... 20
2. Wujud Penyampaian Moral ..................................................................... 24
E. Etika Jawa ..................................................................................................... 25
F. Hakikat Pembelajaran Sastra......................................................................... 29
G. Penelitian yang Relevan ................................................................................ 30
v
BAB III PROFIL PENGARANG DAN HASIL ANALISIS ............................... 34
A. Biografi Wiwid Prasetyo............................................................................... 34
B. Karya-karyaWiwid Prasetyo ......................................................................... 35
C. Sinopsis Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah.......................................... 37
D. Struktur Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah .......................................... 39
1. Tema .................................................................................................. 39
2. Tokoh dan Penokohan ....................................................................... 44
3. Latar ................................................................................................... 75
4. Alur .................................................................................................... 78
5. Sudut Pandang ................................................................................... 85
6. Gaya Bahasa ...................................................................................... 86
E. Analisis Nilai Moral Tokoh dengan Pendekatan Pragmatik ......................... 89
1. Nilai Moral terhadap Diri Sendiri...................................................... 91
2. Nilai Moral terhadap Orang Lain ...................................................... 96
3. Nilai Moral terhadap Tuhan .............................................................. 98
F. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah...102
BAB IV PENUTUP ..........................................................................................................
104
A. Simpulan ....................................................................................................... 104
B. Saran .............................................................................................................. 105
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Sekuen
Lampiran 2 : RPP
Lampiran 3 : Silabus
Lampiran 4 : Bahan Materi Ajar
Lampirab 5 : Cover Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah
Lampiran 6 : Wawancara antara Penulis dengan Wiwid Prasetyo
PROFIL PENULIS
vi
107
DAFTAR DIAGRAM
DIAGRAM
HALAMAN
4.1 Diagram mengenai skema aktan ........................................................................ 44
vii
DAFTAR TABEL
TABEL
HALAMAN
4.1 Tabel mengenai hubungan kausalitas alur ........................................................ ..81
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi
model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui
unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut
pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja juga bersifat imajinatif.
Jadi, dalam karya sastra khususnya dalam novel, tidak hanya berupa kisah yang
diambil dari kehidupan nyata sehari-hari, melainkan diambil dari imajinasi atau
daya khayal seseorang.
Perkembangan novel di Indonesia berkembang cukup pesat, terbukti
dengan hadirnya berbagai macam novel yang telah diterbitkan, sehingga
bentuk dan isi novel tersebut beragam. Pada dasarnya, novel selalu hadir
sebagai sebuah gambaran atau cerminan kehidupan manusia dalam mengarungi
kehidupannya. Novel juga merupakan gambaran lingkungan masyarakat yang
hidup di suatu masa dan suatu tempat. Tokoh dan peristiwa yang disajikan
dalam novel merupakan pantulan realitas yang ditampilkan oleh pengarang dari
suatu keadaan tertentu.
Sebuah karya satra, termasuk novel biasanya menggambarkan kehidupan
pada saat karya sastra itu ditulis. Karya sastra seperti novel selalu
menghadirkan berbagai macam nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai pendidikan
seperti nilai moral, sosial, budaya, dan religi yang patut untuk diteladani. Oleh
karena itu, novel sebagai karya sastra merupakan salah satu jenis dari bacaan
masyarakat, turut memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan pola
pikir masyarakat pembacanya. Novel sebagai salah satu media alternatif bacaan
pun harus mampu memberikan hal-hal positif yang ada di dalamnya. Dengan
begitu, pembaca pun diharapkan mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang ada
dalam novel dengan kehidupan sehari-hari.
1
2
Akan tetapi, jika diamati bagaimana keadaan nyata dunia pendidikan
dewasa ini, tampak adanya gejala-gejala yang menunjukkan rendahnya kualitas
moral seseorang. Hal tersebut dapat dilihat dari moral seorang anak terhadap
orang tua seperti melawan dan menentang mereka, maraknya perilaku seks,
mewabahnya penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya.
Masalah tersebut tentu memerlukan solusi.
Sekolah
sebagai
lembaga
pendidikan,
bertugas
memberikan
pembelajaran moral kepada siswanya. Pembelajaran moral ini dapat dilakukan
dengan memberikan pembinaan dalam pembelajaran karya sastra. Pada
hakikatnya, karya sastra berupa buku-buku yang berisi cerita yang baik turut
memberikan pengaruh dalam pembentukan watak siswa. Maka dari itu, apa
yang tertulis dalam karya sastra khususnya novel, merupakan observasi yang
tajam dari pengarang terhadap realitas yang terjadi disekelilingnya. Membaca
karya sastra memungkinkan seseorang mendapatkan masukan tentang nilainilai kehidupan positif yang patut diteladani, baik terhadap diri sendiri, orang
lain, maupun Tuhan.
Dari pemaparan di atas, diharapkan dengan adanya pembelajaran sastra
di sekolah turut berpengaruh dalam pembentukan watak siswa. Dengan kata
lain, tiap kegiatan menyiratkan upaya pendidikan yang bertujuan membina
watak siswa. Begitu juga dengan pengajaran sastra, diharapkan mampu
menghasilkan manusia-manusia yang berpotensi dan mampu menjadi pribadi
yang baik.
Hal inilah yang membuat penulis ingin menjabarkan nilai-nilai
pendidikan berupa nilai moral yang ada dalam cerita, dan nilai moral tersebut
akan dikaitakan dengan keadaan asli dalam latar cerita, baik yang berkaitan
dengan adat, budaya, dan lain sebagainya. Nilai moral novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo ini bernafaskan persahabatan dan
pendidikan di Indonesia. Cerita dalam novel ini menegaskan bahwa keadaan
ekonomi bukanlah menjadi hambatan seseorang dalam meraih cita-citanya.
Kemiskinan merupakan penyakit sosial yang berada dalam ruang lingkup
3
materi. Tokoh-tokoh yang ada dalam cerita selalu menjaga nilai moral dalam
kehidupan.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka peneliti
akan mengangkat permasalahan tersebut dalam judul skripsi ―Nilai Moral
dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah‖.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka didapatkan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah struktur yang membangun novel Orang Miskin Dilarang
Sekolah Karya Wiwid Prasetyo?
2. Bagaimanakah nilai moral yang tergambar dalam novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo?
3. Bagaimanakah implikasi pembahasan novel Orang Miskin Dilarang
Sekolah terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan struktur yang membangun novel Orang Miskin Dilarang
Sekolah karya Wiwid Prasetyo.
2. Memaparkan nilai moral yang tergambar dalam novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo.
3. Mendeskripsikan implikasi pembahasan novel Orang Miskin Dilarang
Sekolah terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memperluas
khasanah
ilmu
pengetahuan terutama di bidang sastra Indonesia, khususnya bagi
pembaca dan pecinta karya sastra.
4
b. Sebagai acuan bahan dalam pembelajaran khususnya bidang Sastra
Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai edukasi
terutama nilai moral yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
tambahan referensi dalam memilih sumber pembelajaran khususnya
dalam bidang sastra.
b. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
masukan dan tambahan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran
sastra serta melengkapi sarana dan prasarana sebagai penunjang dalam
proses kegiatan belajar dan mengajar untuk menghasilkan lulusan
yang berkualitas.
c. Bagi peserta, didik penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dalam mengapresiasi sastra khususnya memahami dan
mengamalkan nilai-nilai edukasi yang terkandung di dalamnya.
d. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan mengenai
sastra sehingga
dapat
berpengaruh pada
perkembangan pemahaman peneliti tentang sastra.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam
hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang
mendorong metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab
penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang
relevan.
Ratna mengatakan bahwa suatu objek penelitian bukanlah gejala
sosial
sebagai
bentuk
substansif,
melainkan
makna-makna
terkandung di balik tindakan, yang justru mendorong timbulnya gejala
yang
5
sosial tersebut. Dalam hubungan inilah metode kualitatif dianggap persis
sama dengan metode pemahaman. Ciri-ciri terpenting dari metode
kualitatif, sebagai berikut:1
a. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan
hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.
b. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian
sehingga makna selalu berubah.
c. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek
peneliti sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi langsung
di antaranya.
d. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian
bersifat terbuka.
e. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya
masing-masing.
Rancangan penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini
karena data yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa kutipan-kutipan
yang diperoleh dari novel. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
secara sistematis data-data tertulis berupa kata-kata, kalimat, paragraf, atau
wacana yang terdapat pada novel
OMDS karya Wiwid Prasetyo agar
diperoleh nilai-nilai edukasi.
Dalam penelitian ini, untuk mengkaji novel OMDS karya Wiwid
Prasetyo, peneliti mulai menganalisis karya sastra itu sendiri. Analisis ini
dilakukan untuk mencari unsur-unsur yang membangun karya sastra itu.
Unsur instrinsik yang dianalisis meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan
sudut
pandang
dengan
mendeskripsikan
nilai-nilai
moral
yang
digambarkan melalui alur cerita dan tokoh-tokoh di dalam novel OMDS
karya Wiwid Prasetyo.
1Nyoman
Kutha Ratna, S.U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 47.
6
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Pengkajian jenis ini bertujuan untuk menjelaskan
berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang diteliti dan untuk
menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal, keadaan, fenomena,
dan tidak terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan
interpretasi data tersebut.
3. Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis konten.
Analisis konten yaitu metode penelitian untuk menghasilkan deskripsi
yang objektif dan sistematik mengenai isi.
4. Sumber Data
Sumber data untuk penelitian ini terdapat sumber data primer dan
sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel OMDS karya
Wiwid Prasetyo yang diterbitkan oleh Diva Press, Cetakan X: Januari
2012, dengan tebal 450 halaman.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa
buku dan artikel yang terkait dengan teori sastra, nilai pendidikan
moral, dan implikasi dalam pembelajaran sastra.
5. Teknik Pengumpulan Data
Agar memperoleh data yang sesuai dengan tema penelitian,
diperlukan suatu teknik atau metode pengumpulan data yang sesuai
dengan objek penelitian. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, teknik catat, dan teknik simak.
Pengumpulan data dalam penelitian ini berasal dari data yang bersumber
7
dari novel OMDS karya Wiwid Prasetyo berupa kata-kata atau verbal data.
Adapun langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut.
a. Teknik
Pustaka, peneliti mengumpulkan berbagai pustaka yang
terkait dengan pembahasan dalam penelitian.
b. Teknik Catat (hand writing), yaitu peneliti membaca novel OMDS
karya Wiwid Prasetyo secara keseluruhan untuk mendapatkan
pemahaman tentang analisis
melalui
dialog dan
narasi
yang
merupakan wujud reaksi terhadap tokoh-tokoh, lingkungan, serta
terhadap diri sendiri. Kemudian dicatat sesuai dengan data yang
diperukan dalam penelitian.
c. Teknik Simak, yaitu peneliti mengaitkan berbagai data yang
terkumpul untuk diklasifikasi sehingga memudahkan penyajian.
6. Validitas Data
Menurut Moleong, bahwa validitas adalah keabsahan data.
Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada dasarnya, selain digunakan
untuk menyanggah balik apa yang dituduhkan kepada penelitian kualitatif
yang mengatakan tidak ilmiah, keabsahan data juga merupakan unsur yang
tidak dapat terpisahkan dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif. 2
Data yang telah berhasil digali kemudian dikumpulkann dan dicatat
dalam kegiatan penelitian. Oleh karena itu, guna menjamin validasi data
dalam penelitian ini, maka digunakan triangulasi. Triangulasi adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.
Triangulasi yang digunakan adalah teknik triangulasi teori. Teknik
tersebut dapat dilakukan dengan menyertakan usaha pencarian cara lainnya
untuk mengorganisasikan data yang barangkali mengarahkan pada upaya
penemuan penelitian lainnya. 3
2 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011), h. 320.
3 Ibid, h. 332.
8
7. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pembacaan
semiotik yang terdiri atas pembacaan model heuristik dan hermeneutik.
Pembacaan
heuristik
adalah
pembacaan
berdasarkan
struktur
kebahasaannya yang berfungsi untuk memperjelas arti apabila perlu diberi
sisipan kata atau sinonim kata-katanya diberikan tanda kurung. Begitu juga
struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata
bahasa normatif) apabila perlu susunannya dibalik utnuk memperjelas arti,
sedangkan Hermeneutik pembacaan ulang setelah pembacaan heuristik
dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastranya.4
Langkah awal dalam penelitian ini adalah pembacaan heuristik yaitu
peneliti menginterpretasikan teks novel OMDS karya Wiwid Prasetyo
untuk menemukan unsur-unsur instrinsik dan nilai-nilai moral dalam
novel. Unsur-unsur yang dianalisis di dalam novel ini meliputi tema, alur,
latar, penokohan, dan sudut pandang. Langkah kedua, peneliti melakukan
pembacaan hermeneutik yaitu dengan menafsirkan makna peristiwa atau
kejadian yang terdapat dalam teks novel OMDS karya Wiwid Prasetyo,
sehingga dapat menemukan nilai-nilai edukasi yang terdapat dalam novel.
8. Prosedur Penelitian
a. Pembacaan Data
Pembacaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah heuristik
dan hermeuneutik.
b. Reduksi Data
Pada langkah ini data yang sudah diperoleh kemudian dicatat dalam
uraian terperinci. Dari data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian
dilakukan penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data
yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis. Dalam hal ini
berkaitan dengan analisis struktur dan nilai moral dalam novel OMDS
4Jabrohim,
Teori Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 126.
9
karya Wiwid Prasetyo. Informasi-informasi yang mengacu pada
permasalahan itulah yang menjadi data dalam penelitian ini.
c. Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data
Pada langkah ini, data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara
teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut
kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang analisis
struktur dan nilai moral dalam novel.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Pengertian Novel
Menurut Nurgiyantoro, novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat:
cerpen: Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus
disebut fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel,1
sedangkan menurut Wellek dan Warren, novel adalah gambaran dari kehidupan
dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Romansa, yang
ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah, menggambarkan apa yang tidak
pernah terjadidan tidak mungkin terjadi.2
Berdasarkan segi panjangnya cerita, tentulah novel berkisah mengenai
kehidupan manusia dalam skala yang lebih luas, dibandingkan cerpen yang hanya
mengisahkan seseorang yang mengalami satu peristiwa dalam satu waktu tertentu.
Novel dapat dikatakan sebagai kisah sejarah hidup seseorang. Seperti yang
dikatakan oleh Wellek dan Warren bahwa novel dianggap sebagai dokumen atau
berupa kasus sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis sangat meyakinkan),
sebagai sejarah kehidupan seseorang dan zamannya.3
Sebagian besar orang membaca sebuah novel hanya ingin menikmati
cerita yang disajikan oleh pengarang. Pembaca hanya akan mendapatkan
kesan secara umum dan bagian cerita tertentu yang menarik. Membaca
sebuah novel yang terlalu panjang yang dapat diselesaikan setelah berulang kali
membaca dan setiap kali membaca hanya dapat menyelesaikan beberapa episode
akan memaksa pembaca untuk mengingat kembali cerita yang telah dibaca
sebelumnya. Hal ini menyebabkan pemahaman keseluruhan cerita dari episode ke
episode berikutnya akan terputus.
1Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), h. 9.
2 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1993), h. 282.
3Ibid, h. 276
10
11
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel adalah
sebuah
cerita
fiktif
yang
berusaha menggambarkan
atau melukiskan
kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya
sebagai cerita khayalan semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh
pengarang adalah realitas atau fenomena yang dilihat dan dirasakan.
B. Strukturalisme Sastra dan Pendekatan Pragmatik
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
struktural. Menurut Ratna, struktur berasal dari kata structural (bahasa latin) yang
berarti bentuk atau bangunan. Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur
untuk menganalisis sebuah karya sastra, sehingga harus dipertahankan unsurunsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Struktur yang membangun
sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam dunia sastra yaitu tema, alur,
penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.4
Menurut Nurgiyantoro, sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum
strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh
berbagai unsur (pembangun)nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat
diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian
yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang
indah.5
Analisis struktural karya sastra yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan
antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan
dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah coba dijelaskan bagaimana
fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan
bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah
totalitas kemaknaan yang padu. Sedangkan Mahayana mengatakan bahwa
4 Nyoman Kutha Ratna,Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 91—94.
5Nurgiyantoro, op.cit., h. 36.
12
pendekatan yang ditawarkan oleh strukturalisme sangat efektif dan praktis karena
peneliti cukup memahami teksnya saja tanpa harus mengaitkan teks dengan segala
konteks yang lain sehingga peneliti dapat memfokuskan pikiran hanya pada teks .6
Pendapat lain dikemukakan oleh Jabrohim bahwa analisis struktural (yang
murni), unsur-unsur pembangun yang disebutkan di atas itulah yang dikaji dan
diteliti. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah pemahaman dan
pengkajian unsur struktur harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam
tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan
unsur itu. 7
Seperti halnya dalam karya fiksi, kita tidak mungkin dapat ―merebut
makna‖ tokoh dan penokohan tanpa kita mengetahui apa pengertian tokoh,
bentuk-bentuk watak dalam segala situasi, dan sebagainya mengenai tokoh.
Demikian juga mengenai alur, latar, tema, dan yang lainnya. Akan tetapi, penting
juga diperhatikan mengenai makna-makna bagian atau unsur itu dalam
keseluruhan, dan sebaliknya.
Dalam menganalisis novel Orang Miskin Dilarang Sekolah, peneliti
menggunakan pendekatan struktural yang menitikberatkan pada kajian intrinsik
sebuah novel. Menurut Natawidjaja, intrinsik adalah unsur-unsur rohaniah yang
harus diangkat dari isi karya sastra itu mengenai tema dan arti yang tersirat di
dalamnya.8 Berikut adalah penjelasan masing-masing mengenai unsur pembangun
(intrinsik) sebuah karya sastra:
1. Tema
Menurut Siswanto adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan kaya rekaan yang
diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan
pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.9 Tema digolongkan menjadi
6Maman
S, Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1007), h. ix.
7 Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia),h.
58.
8P. Suparman Natawidjaja, Apresiasi Sastra dan Budaya,(Jakarta: PT Intermasa, 1982), h.
102.
9 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.161.
13
beberapa kategori yang berbeda. Namun, dalam penelitian ini, untuk
pembahasan tema hanya akan menggunakan tema menurut cakupannya.
Berdasarkan cakupannya, tema dibedakan menjadi dua yaitu tema mayor (tema
utama) dan tema minor (tema tambahan). Menurut Nurgiyantoro, tema mayor
adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya
itu, sedangkan tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagianbagian tertentu cerita, atau dapat didefinisikan sebagai makna bagian atau
makna tambahan.10
2. Latar
Abrams dalam Nurgiyantoro menjelaskan bahwa latar cerita (setting)
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan. Nurgiyantoro juga memaparkan bahwa latar memberikan
pijakan cerita secara konkret dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan
realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sungguh-sungguh ada dan terjadi. 11
Dalam karya fiksi, latar dibedakan menjadi dua, yaitu latar tipikal dan latar
netral. Menurut Sayuti, latar netral adalah latar yang hanya latar, tidak
memiliki kaitan yang fungsional dengan elemen fiksi lainnya. Pengarang tidak
memiliki
motivasi
untuk
memilih
kualitas
tertentu
untuk
membuat
pelukisannya tentang waktu atau tempat menjadi khas atau tipikal.12 Sedangkan
menurut Nurgiyantoro, latar tipikal memiliki sifat khas latar tertentu, baik yang
menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Hal tersebut dimaksudkan
untuk memberikan kesan kepada pembaca bahwa karya itu bersifat realistis,
terlihat sungguh-sungguh diangkat dari latar faktual.13
10
Nurgiyantoro, op.cit., h. 82—83.
Ibid h. 217.
12 Suminto A. Sayuti, Apresiasi Prosa Fiksi, (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 121.
13
Nurgiyantoro, op.cit., h. 220—222.
11
14
3. Alur
Alur oleh Stanton dalam buku karya Susanto, dipandang sebagai tulang
punggung sebuah cerita, sebab alur bersifat mampu menjelaskan dirinya sendiri
daripada unsur-unsur yang lain. Alur atau plot menurutnya harus memiliki
bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Alur harus mampu memberikan
kejutan kepada pembacanya dengan berbagai ketegangan yang dibangunnya.
Alur merupakan satu mata rangkai sebuah peristiwa yang dihubungkan dengan
sebab dan akibat.14 Alur tidak hanya dimaknai hanya sekedar penyajian
rangkaian peristiwa dalam cerita, tetapi tahapan pertiwa dalam alur memiliki
hubungan sebab akibat, sedangkan pengaluran merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh pengarang dalam mengolah peristiwa sehingga membentuk
rangkaian peristiwa yang dapat tersusun dengan baik dan berkaitan satu dengan
yang lain.
Sementara itu, Nurgiyantoro menjelaskan isi dari tahapan-tahapan alur
yaitu tahap awal yaitu tahap pengenalan yang pada umumnya berisi sejumlah
informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan
pada tahap-tahap berikutnya, berupa pengenalan latar atau tokoh. Tahap tengah
cerita yang disebut juga pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik
yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya menjadi semakin
meningkat, semakin menuju klimaks. Tahap akhir cerita atau disebut juga
tahap penyelesaian yang menampilkan peristiwa tertentu sebagai tanda akibat
klimaks, pada tahap ini dijelaskan bagaimana akhir dari sebuah cerita.15
4. Tokoh dan Penokohan
Menurut Siswanto, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam
cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara
sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.16Sedangkan menurut
Abrams dalam bukunya “A Glossary Of Literary Terms” mengatakan bahwa
penokohan atau karakter adalah “ The persons, in a dramatic or narrative
14
Nurgiyantoro,
op.cit. h. 142—145
Dwi
Susanto, Pengantar
Teori Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2012), h. 131.
15
16Siswanto,
op.cit.,h.142.
15
work, endowed with moral and dispositional qualities that are expressed in
what they say the dialogue and what they do the action”.― Karakter adalah
tokoh yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau dramatis, yang
ditakdirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.17
Pengelompokan tokoh dibedakan menjadi beberapa jenis. Salah satunya
berdasarkan fungsi tokoh yaitu Tokoh protagonis adalah tokoh utama yang
merupakan sentral cerita, keberadaan tokoh tersebut untuk mencapai tujuan
yang diinginkan dan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika
hendak mencapai tujuan.18Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang
menyebabkan munculnya suatu konflik atau dan dapat menimbulkan antipati
pada pembacanya. Penokohan memiliki pengertian lebih luas dari ―tokoh‖
sebab
penokohan
mencakup
bagaimana
perwatakan
dan
bagaimana
penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.19 Teori yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dimiliki oleh A.J Greimas
dengan menggunakan teori aktan. Analisis struktur aktan akan lebih
mengeksploitasi eksistensi tokoh dan keterlibatannya dalam berbagai peristiwa,
sehingga lebih terlihat keterlibatan antara masing-masing tokoh. Dalam buku
Ratna yang berjudul Teori, Metode dan
Teknik Penelitian Sastra, Greimas
mengisahkan hubungan-hubungan yang dapat terjadi antara pelaku (aktan)
dalam sebuah cerita.20 Dengan terlihatnya hubungan-hubungan antara pelaku
atau tokoh, akan lebih memperjelas mengenai fungsi dari masing-masing tokoh
tersebut sehingga memudahkan pembaca dalam memahami cerita.
17M.H
Abrams, A Glossary Of Literary Terms, (New York: Cornell University, 1981), h.
69.
18Delfiana
Sandi, Tokoh dan Penokohan Teater, artikel ini diunduh pada 10 November
2013, Pukul 19.30, dari http://dsandi-go.blogspot.com/2012/10tokoh-dan-penokohanteater.html?m=1
19Nurgiyantoro, op.cit., h. 166.
20 Nyoman Kutha Ratna, S.U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 140.
16
5. Sudut Pandang
Menurut Minderop, pada hakikatnya merupakan strategi, teknik atau siasat
yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya untuk
menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang
disalurkan melalui sudut pandang.21 Segala sesuatu yang dikemukakan dalam
karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya
terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan
lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita.
Sudut pandang dibedakan menjadi beberapa bagian, namun dalam analisis
ini menggunakan sudut pandang orang pertama ―aku-an‖. Minderope
menjelaskan bahwa pencerita ―aku-an‖ tokoh utama digunakan apabila
pencerita merupakan salah satu tokoh utama dalam ceritera yang dalam
bercerita mengacu kepada dirinya sendiri dengan menggunakan kata ―aku‖.22
Dengan menggunakan sudut pandang tokoh utama ―aku-an‖ maka kita sebagai
pembaca akan lebih mudah memahami isi cerita berdasarkan pandangan si
tokoh utama ―aku-an‖ tersebut yang memiliki peranan penting dalam cerita,
dan tentunya tokoh utama ―aku-an‖ ini mengalami peristiwa dan konflik secara
langsung dalam cerita.
6. Gaya Bahasa
Aminuddin dalam Siswanto mengatakan bahwa gaya bahasa adalah cara
seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan indah dan harmonis
melalui media bahasa serta mampu menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca.23 Menurut Keraf, jenis-jenis gaya bahasa dapat dibedakan sebagai
berikut; (1) berdasarkan bahasa terdiri dari segi non bahasa berupa gaya bahasa
berdasarkan pengarang, masa, medium, subyek, tempat, hadirin, tujuan,
sedangkan jika dari segi bahasa terdiri atas gaya bahasa berdasarkan pilihan
kata dan nada yang terdapat dalam wacana; (2) gaya bahasa berdasarkan
21Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 88.
22 Ibid., h. 94.
23Siswanto, op.cit.,h.158.
17
pilihan kata terdiri atas gaya bahasa resmi, tak resmi, dan percakapan; (3)
berdasarkan nada, yaitu gaya bahasa sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan
gaya menengah; (4) berdasarkan struktur kalimat terdiri dari klimaks,
antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi; (5) gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya makna terdiri atas gaya bahasa retoris dan gaya bahasa
kiasan.24
Jadi, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang
menggunakan bahasa melalui karya yang dihasilkan. Semakin khas gaya
bahasa yang digunakan pengarang, maka karakter pengarang karya sastra
tersebut pun akan semakin terlihat. Gaya bahasa yang digunakan peneliti
adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu gaya bahasa
kiasan.
Pendekatan selanjutnya yang digunakan penulis adalah pendekatan
pragmatik. Dalam pendekatan pragmatik, peran pembaca sangat diperlukan
karena peran pembaca tersebut dapat menentukan dan menilai layak atau
tidaknya sebuah karya sastra, seperti yang dijelaskan oleh Semi yaitu
pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang
dapat memberi kesenangan dan faedah bagi pembacanya. Dengan demikian,
pendekatan ini menggabungkan antara unsur pelipur lara dan unsur didaktis.25
Ratna mengatakan bahwa pendekatan pragmatik memiliki hubungan
dengan sosiologi atau kemasyarakatan karena pragmatik membicarakan
mengenai masyarakat sebagai pembaca dan terkait tanggapan-tanggapan dari
masyarakat sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan oleh para
penikmatnya.26 Pendapat lain dikemukakan oleh Yudiono bahwa makna yang
terdapat di dalam karya sastra dapat ditentukan oleh pembaca karena karya
sastra sebagai seni dapat dipandang berhasil apabila dapat membuat pembaca
24
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Jakarta, 1985), h. 115—
129
25Atar
26
Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa Bandung, 1984), h. 44.
Ratna, op.cit., h. 71—72.
18
merasa senang dan terhibur serta dapat memberikan pembelajaran atau nilai
pendidikan yang dapat diterapkan si pembaca. 27
Menurut
Pradotokusumo,
pendekatan
pragmatik
menitikberatkan
kajiannya terhadap pembaca, pembaca yang menilai, menafsirkan, memahami,
dan menikmati karya sastra, karena setiap pembaca memiliki pengalaman
selaku manusia budaya dan seterusnya.28 Dalam novel OMDS, Wiwid Prasetyo
mengangkat suatu cerita berdasarkan tujuan yang akan disampaikan kepada
pembaca. Mempelajari sastra mau tidak mau harus mengetahui apa tujuan
sastra bagi para penikmatnya, dengan mengetahui tujuan yang ada, paling tidak
kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk
kemaslahatan manusia.
Menurut pendapat Teeuw, ciri khas dari pendekatan pragmatik adalah
pergeseran minat dari karya sastra sebagai struktur ke arah pembaca, dengan
menekankan peranan pembaca sebagai pemberi makna pada karya sastra itu.
Pembaca dipandangnya sebagai penyingkap struktur karya sastra secara cukup
mutlak. Tekanan pada pembaca sebagai pemberi makna berarti bahwa karya
sastra dalam visi ini tidak mempunyai makna langgeng dan mantap,
pemahaman danpenilaiannya terus tergeser dengan munculnya kalangan atau
angkatan pembaca baru. 29
Jika ditinjau menggunakan pendekatan pragmatik, maka novel OMDS ini
akan memiliki citra yang berbeda-beda dari tiap-tiap pembaca. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan pandangan antara pembaca satu dan pembaca
lain, ada kalanya pembaca memandang dari sudut estetika. Para pembaca yang
memandang novel OMDS dari sudut pandang ini akan mengutarakan
pendapatnya secara objektif dan mengacu pada interpretasinya sendiri sehingga
terkadang akan muncul pendapat bahwa novel ini adalah suatu karya satra yang
indah, dilihat dari struktur penyampaian atau penulisannya.
Pendekatan pragmatik mengungkapkan tujuan dan fungsi sastra terhadap
keberadaan masyarakat dengan menghadirkan nilai pendidikan sehingga dapat
27Yudiono
KS,Telaah Kritik Sastra,(Bandung: Angkasa Bandung, 1986), h. 31.
Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, (Jakarta: Gramed, 2005), h. 80.
29 A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 61.
28
19
dijadikan teladan untuk masyarakat. Dikatakan demikian karena kehadiran
sastra dalam masyarakat dipandang mempunyai tujuan. Adapun aspek
pragmatik yang akan dikaji dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo adalah
nilai moral, karena moral merupakan salah satu aspek pragmatik yang selalu
memberikan pesan kepada pembaca untuk berbuat baik.
C. Hakikat Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra
Nilai berhubungan erat dengan kegiatan manusia dalam menjalani
kehidupan. Setiadi menjelaskan bahwa menilai berarti menimbang kegiatan
manusia dengan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang
selanjutnya diambil suatu keputusan. 30
Nilai merupakan sesuatu yang sangat dihargai, selalu dijunjung tinggi, serta
manusia dapat merasakan kepuasan dengan nilai. Nilai jika dihayati akan
berpengaruh pada cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak seseorang
dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal ini berarti bahwa dengan adanya berbagai
wawasan yang dikandung dalam karya sastra, khususnya novel akan mengandung
berbagai macam nilai kehidupan yang akan sangat bermanfaat bagi pembaca.
Setiap karya sastra khususnya novel pasti mengandung pesan yang ingin
disampaikan, pesan tersebut mengandung nilai-nilai kehidupan berupa nilai
pendidikan, karena novel tidak hanya menghibur, melainkan sebagai sarana
menyampaikan nilai pendidikan. Pendidikan menurut Sabri bahwa istilah
pendidikan dapat diartikan sebagai proses atau suatu kegiatan yang mendidik. Hal
tersebut dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang memberikan uraian yang
lengkap, sistematis, dan metodis mengenai masalah-masalah yang ada kaitannya
dengan proses pendidikan atau mendidik.31
Pendidikan tidak hanya dapat diperoleh melalui suatu lembaga formal,
melainkan melalui sarana novel juga dapat menanamkan nilai pendidikan. Sejalan
dengan yang dijelaskan oleh Idi, bahwa ada keterkaitan yang sangat kuat antara
sekolah, keluarga, dan masyarakat, karena pendidikan merupakan bagian dari
30Elly
31M.
M, Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 114.
Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 1.
20
kehidupan yang dituntut mampu mengikuti perkembangan yang ada di
dalamnya.32
Manfaat yang dapat diambil dari karya sastra diantaranya adalah agar
mendapat nilai estetik. Menurut Ratna dalam bukunya yang berjudul Estetika
Sastra dan Budaya, estetik dalam bahasa Inggris menjadi aesthetics atau esthetics
(studi tentang keindahan). Dalam bahasa Indonesia menjadi estetikus, estetik dan
estetika, yang masing-masing berarti orang yang ahli dalam bidang keindahan,
bersifat indah, dan ilmu atau filsafat tentang keindahan atau keindahan itu
sendiri.33
Manfaat lain dari karya sastra yaitu mendapatkan manfaat praktis. Maksud
dari manfaat praktis yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang
dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.34 Nilai praktis dalam novel
OMDS terlihat dari nilai moral yang disampaikan dalam novel tersebut yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, nilai pendidikan yang
dikaji dalam novel ini akan ditekankan terkait dengan nilai moral yang terkandung
dalam novel OMDS.
D. Hakikat Moral
1. Pengertian Moral
Menurut Bertens, moral atau moralitas berasal dari kata sifat latin
moralis mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya
saja terlihat lebih abstrak. Misalnya kita berbicara mengenai ―moralitas
suatu perbuatan‖, artinya kita berbicara mengenai baik atau buruknya
suatu perbuatan, yang berarti moralitas merupakan sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik atau buruk.35
32
Abdullah Idi, Sosiologi Pedidikan, Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2011), h. 59.
33 Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), h. 3—4.
34Aristha serenade, Unsur dan Nilai Sastra, artikel ini diunduh pada 10 November 2013,
Pukul 20.00, dari http://aristhaserenade.blogspot.com/p/unsur-dan-nilai-sastra.html
35 K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan kesebelas, 2011), h.
7
21
Setiap perbuatan manusia pasti berkaitan dengan baik dan buruk,
akan tetapi tidak semua, yang berarti ada juga beberapa perbuatan yang
netral dari segi etis. Misalnya, sesuatu yang baik akan selalu diawali atau
menggunakan tangan kanan atau kaki kanan, namun seseorang yang
tebiasa memakai sepatu diawali dengan kaki kiri karena sudah menjadi
kebiasaan, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang
tidak baik atau melanggar moral, akan tetapi hal tersebut dapat dikatakan
amoral. Berbeda dengan seorang kepala rumah tangga yang lebih dulu
membelanjakan uangnya untuk kepentingan sendiri seperti main judi, dan
lain sebagainya,
dan sisa uang tersebut barulah ia serahkan untuk
keperluan keluarga, maka tindakan tersebut termasuk tindakan immoral.
Seperti yang dijelaskan oleh Bertens bahwa perbuatan yang bersifat
amoral tidak memiliki relevansi yang etis, tidak berhubungan dengan
konteks moral atau di luar suasana etis, sedangkan immoral bertentangan
dengan moral baik, yang berarti tindakan atau perbuatan yang dinilai
buruk.36 Jadi, jelas terlihat bagaimana perbedaan antara amoral dan
immoral yang sering disalahartikan.
Suseno memaparkan bahwa moral mengacu pada baik buruknya
perbuatan manusia sebagai manusia, sebagai tolak ukur untuk menentukan
baik atau buruknya suatu tindakan manusia sebagai manusia, bukan
sebagai pelaku peran yang tertentu atau terbatas.37
Zubair menjelaskan bahwa istilah etika berasal dari kata Yunani
―Ethos‖ yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan
moral yang berasal dari kata Latin ―Mos‖ yang dalam bentuk jamaknya
―Mores‖ yang berarti juga adat atau cara hidup.
38
Moral atau etika
merupakan aspek yang berkaitan dengan perbuatan atau kelakuan yang
pada dasarnya merupakan pencerminan akhlak atau budi pekerti.
36Ibid,
h. 8
Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah
Pokok Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 19
38Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 15.
37Franz
Moral,
22
Sedangkan secara umum menurut Nurgiyantoro, moral menyaran pada
pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral dalam karya sastra
biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan,
pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang akan
disampaikan kepada pembaca.39
Nilai moral yang terdapat dalam karya sastra bertujuan untuk
mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika mengenai baik atau
buruk suatu perbuatan, patut untuk ditiru ataukah sebaliknya sehingga
dapat
tercipta
suatu
hubungan
antarmanusia
yang
baik
dalam
bermasyarakat.
Semi menyatakan bahwa moral dalam hal ini diartikan sebagai suatu
norma, suatu konsep tentang kehidupan yang disanjungtinggi oleh
sebagian besar masyarakat tersebut. Ukuran moral dalam masyarakat juga
mengalami perubahan menurut gerak pertumbuhan masyarakat yang
bersangkutan.40 Moral memberi manusia aturan atau petunjuk konkret
tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam
hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari
perilaku-perilaku yang tidak baik.
Seseorang harus mampu memiliki kesadaran moral, karena
kesadaran moral timbul dari diri sendiri ketika berhadapan dengan baik
dan buruk dalam hidupnya. Dengan adanya kesadaran moral, maka
seseorang akan mampu memberi penilaian terhadap suatu perbuatan
termasuk pada perbuatan yang baik atau yang buruk. Setelah timbul
kesadaran moral, maka manusia akan mampu mengontrol tentang hal baik
yang harus ia lakukan dan hal buruk yang tidak pantas dilakukan.
Singkatnya, semua nilai yang mendukung harkat manusia adalah nilai
moral atau etis.
39Nurgiyantoro,
40Semi,
op.cit., h. 320.
op.cit., h. 49.
23
Ciri-ciri dari manusia yang memiliki kesadaran moral adalah ia akan
selalu berpegang teguh pada nilai-nilai yang diyakini sekalipun tidak ada
orang lain yang melihatnya karena kesadaran ini lahir dari dalam dirinya
sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun.
Moral berarti etika, etika memiliki pengertian yang sama dengan
moral. Mengacu pada penjelasan dari Setiadi yang mengatakan bahwa kata
etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan bagi orang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya.41
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Salam, bahwa etika merupakan
cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang
menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. 42Hal tersebut merupakan
sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai
manusia.
Menurut hukum etika, suatu perbuatan itu dinilai pada tiga tingkat: (1)
semasih belum lahir jadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam kata
hati, niat; (2) sesudahnya, sudah berupa perbuatan nyata = pekerti; (3)
akibat atau hasil dari perbuatan itu = baik atau tidak baik. Apa yang masih
berupa kata hati atau niat itu, dalam bahasa falsafah ataupun psikologi,
biasa disebut karsa atau kehendak, kemauan, will. Isi dari karsa atau
kemauan itulah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Langkah-langkah
yang ditempuh oleh perbuatan itulah yang dinilai.43
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan
yang lainnya kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral
memiliki obyek yang sama yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan
manusia untuk selanjutnya ditentukan posisinya baik atau buruk.
41Setiadi,
op.cit., h. 108.
Burhanuddin Salam, Etika Sosial (Asas Moral dalam Kehidupan Manusia), (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2002), h. 1.
43 Burhanuddin Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000), h. 4—5.
42
24
Dalam karya sastra, moral merupakan inti yang ingin disampaikan
oleh pengarang kepada pembaca dengan menampilkan makna yang
terkandung di dalamnya. Moral dalam karya sastra dianggap sebagai pesan
atau amanat, seperti yang tergambar melalui salah satu unsur pembangun
novel, yaitu tokoh dan penokohan, dalam unsur tersebut akan
menampilkan beberapa moral tentang baik dan buruk suatu perbuatan, dan
pembaca harus pandai membedakan antara moral baik dan buruk. Moral
dalam karya sastra merupakan pandangan hidup seorang pengarang
tentang baik dan buruk suatu perbuatan, dengan maksud sebagai sarana
yang berhubungan dengan ajaran moral dan bersifat praktis yang
ditambilkan melalui cerita.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral
menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat untuk
menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila, sehingga di dalam
masyarakat sangat mengutamakan nilai akhlak atau tingkah laku. Tingkah
laku tersebut yang akan menentukan kedudukan seseorang di dalam
masyarakat.
2. Wujud Penyampaian Moral
Menurut Nurgiyantoro, wujud dari penyampaian moral secara umum
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu mencakup hubungan
manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain (orang lain),
dan manusia dengan Tuhan.44 Adapun penjelasannya adalah sebagai
berikut:
a. Hubungan manusia dengan diri sendiri
Persoalan manusia dengan diri sendiri dapat bermacam-macam
jenis dan tingkat intensitasnya.Persoalan tersebut dapat berhubungan
dengan persoalan eksistensi diri, harga diri, rasa percaya diri, takut,
rindu dendam, kesepian, kebimbangan, dan persoalan-persoalan lain
yang lebih berhubungan dengan diri individu itu sendiri.
44Nurgiyantoro,
op.cit., h. 323-324
25
b. Hubungan manusia dengan manusia lain (orang lain)
Dalam kehidupan ini, mansusia pun sering berhubungan dengan
manusia lain. Permasalahan ini biasanya berhubungan dengan
permasalahan persahabatan, misalnya kesetiaan dan penghianatan,
permasalahan keluarga, misalnya hubungan antara suami dan istri, anak
dengan orang tua, permasalahan antara atasan dengan bawahan, dan
permasalahan-permasalahan lain yang berkaitan dengan interaksi
manusia dalam kehidupan.
c. Hubungan manusia dengan Tuhan
Permasalahan lain yang sering dialami manusia dalam kehidupan
adalah permasalahan antara dirinya dengan Tuhannya. Permasalahan ini
berhubungan dengan aspek ketuhanan, misalnya permasalahan yang
berkaitan dengan ketaatan dalam menjalankan perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya.
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis ingin menjadikan ketiga
wujud penyampaian pesan moral di atas sebagai landasan dalam
menganalisis nilai moral dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah.
Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dalam proses analisis dapat
mempermudah penulis dalam menentukan nilai moral yang ada dalam
novel Orang Miskin Dilarang Sekolah sehingga batasan analisisnya pun
akan semakin jelas.
E. Etika Jawa
Budaya Jawa memiliki ciri khas dalam kemampuan menerima berbagai
macam kebudayaan yang datang dari dalam maupun luar, tetapi masih tetap
mempertahankan keasliannya. Hal itu dikarenakan pola kehidupan masyarakat
Jawa telah diatur dalam nilai dan norma sebagai tuntutan bagaimana orang Jawa
menjalani kehidupannya. Menurut Suseno, etika merupakan keseluruhan norma
26
dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk
mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.45
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika Jawa merupakan
keseluruhan norma yang mengikat atau mengatur bagaimana seorang manusia
harus bersikap, bertindak, dan bertutur dalam kehidupan masyarakat sehingga
diketahui baik buruknya terhadap apa yang telah dilakukannya, hal itu berlaku
untuk seluruh anggota masyarakat Jawa baik itu dari kalangan atas (Wong Gedhe)
atau kalangan bawah (Wong Cilik). Adapun etika atau moral yang dimaksud di
antaranya:
1. Nrimo
Nrimo berarti menerima atau ikhlas terhadap apa yang sudah
ditakdirkan oleh Tuhan kepada manusia, tanpa adanya protes atau
pemberontakan. Nrimo merupakan salah satu sikap Jawa yang paling
sering disalah-pahami sebagai bentuk kesediaan seseorang untuk menelan
segala-galanya secara apatis. Sebenarnya nrimo itu merupakan salah satu
sikap hidup yang positif.46
Jadi, pengertian di atas dapat dipahami bahwa sikap nrimo sering
disalahartikan dengan sikap yang pasrah dalam arti masyarakat Jawa tidak
mau berusaha merubah nasib. Namun, dibalik sikapnya yang nrimo,
masyarakat Jawa terkenal dengan sikapnya yang pekerja keras. Apabila ia
telah memiliki pekerjaan, maka ia akan tekun mengerjakannya walaupun
pekerjaan yang mereka miliki relatif rendah.
2. Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe
Sepi ing pamrih berarti suatu kerelaan untuk tidak lagi mengejar
kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi, sedangkan rame ing gawe
berupa memenuhi suatu kewajiban maisng-masing individu.47 Dapat
dikatakan bahwa sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe memiliki pengertian
bahwa apabila melakukan suatu perbuatan atau suatu kewajiban harus
45Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984) h. 6
46Ibid., h. 143
47 Ibid., h. 150
27
didasari rasa ikhlas dengan tidak mementingkan urusan pribadi atau dalam
bentuk mengharapkan imbalan dari apa yang telah dilakukan, akan tetapi
lebih mengutamakan kepentingan orang lain.
3. Prinsip Hormat atau mundhuk-mundhuk
Prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan
membawa diri selalu harus menunjuk kan sikap hormat terhadap orang
lain, sesuai derajat dan kedudukannya.48 Tentu saja prinsip-prinsip
demikian beranjak ke arah pemudaran, apalagi setelah orang mengerti
bahwa setiap orang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama,
kemudian timbul pemberontakan untuk apa prinsip hormat itu dilakukan.
Dalam masyarakat jawa kesatuan hendaknya diakui oleh oleh semua
dengan membawa diri sesuai tuntutan tata krama sosial, sehingga mereka
yang berkedudukan lebih tinggi atau tua harus dihormati dan sebaliknya
yang lebih tinggi mampu mengayomi. Oleh karenanya orang jawa
mengatur hal tersebut dalam etikanya, dalam bahasa jawa tidak mungkin
untuk menyapa atau bercakap-cakap dengan orang lain tanpa menaksir
kedudukan sosial jika dibandingkan dengan dirinya, sehingga dalam
bahasa jawa terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan
dan gramatika, yaitu terdapat bahasa kromo untuk mengungkapkan sikap
hormat dan bahasa ngoko untuk mengungkapkan sikap keakraban.
4. Percaya terhadap Hal Gaib
Agama Islam yang berkembang di masyarakat Jawa terkenal sangat
kental dengan tradisi dan budayanya. Nama-nama Jawa juga sangat akrab
di telinga bangsa Indonesia, begitu juga jargon atau istilah-istilah Jawa.
Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi
warna di negara Indonesia.
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang
belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun
48
Ibid., h. 60
28
terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan
terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak
juga yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang
memegangan ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan
memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus
berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak
memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga
warisan leluhur mereka dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama
yang kemudian dikenal dengan agama Jawi atau Islam Kejawen.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa sebagian besar pemeluk agama Jawi
tidak sepenuhnya menjalankan agamanya sesuai dengan syariat agama
Islam.49 Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat muslim,
namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya
aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen.
Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai budaya yang bertentangan
dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilakuperilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Seperti yang dikemukakan oleh Suseno bahwa keagamaan orang Jawa
Kejawen ditentukan oleh kepercayaan terhadap berbagai macam roh yang
tidak kelihatan, dan dapat menimbulkan bahaya atau penyakit apabila
mereka dibuat marah atau kita kurang hati-hati. Orang Kejawen akan
melindungi diri mereka dari gangguan dengan memberi sesajen dan
meminta bantuan seorang dukun.50
49 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi: Pokok-pokok Etnografi II, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2005) h. 194
50 Suseno, op.cit. h. 15
29
F. Hakikat Pembelajaran Sastra
Pembelajaran mengenai analisis novel yang dibahas di sekolah sangat
membantu siswa dalam memperdalam ilmu sastra. Tujuan pembelajaran tersebut
dijabarkan ke dalam empat kompetensi, yaitu kompetensi menyimak, kompetensi
berbicara, kompetensi membaca, dan kompetensi menulis sastra. Kompetensi
menyimak meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi
ragam karya sastra sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kompetensi
berbicara meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra
sesuai dengan konteks lingkungan dan budaya. Kompetensi membaca meliputi
kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis karya sastra. Kompetensi
menulis meliputi kemampuan mengapresisasikan karya sastra dalam bentuk sastra
tulis yang kreatif dalam bentuk menulis kritik dan esai sastra berdasarkan jenis
sastra yang telah dibaca. Menurut Rahmanto, manfaat dari pembelajaran sastra
bagi siswa di sekolah yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan
pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan
watak.51
Dari pemaparan di atas, dijelaskan bahwa dalam pembelajaran sastra
diharapkan agar siswa mampu mengapresiasi karya sastra dengan baik dan
mampu mengembangkan kepekaan siswa dalam memahami karya sastra, baik dari
segi nilai positif yang terdapat dalam karya sastra maupun hal menarik lainnya
yang terdapat di luar karya sastra itu sendiri. Selain itu, pembelajaran sastra bagi
siswa diharapkan dapat mengembangkan cipta dan rasa yang memiliki ruang
lingkup luas terhadap kehidupan sehari-hari, sehingga berpengaruh terhadap
pembentukan watak siswa tersebut.
Pokok materi pembelajaran sastra di sekolah terdapat dalam pelajaran
bahasa Indonesia. Salah satu kompetensi dasar dalam pembelajaran sastra adalah
menentukan unsur intrinsik dalam novel. Dalam menentukan unsur intrinsik
novel, siswa diarahkan untuk membaca dan menganalisis novel, sehingga dapat
membantu siswa dalam mengembangkan pola pikir. Selain itu, alur dalam novel
yang dianalisis juga dapat menambah wawasan siswa karena novel biasanya
51
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.
30
menceritakan tentang kehidupan bermasyarakat. Penelitian yang difokuskan pada
nilai moral diharapkan dapat memberikan contoh yang baik untuk siswa sehingga
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat berpengaruh terhadap
pembentukan watak siswa sehingga dapat meningkatkan moralitas remaja yang
sedang mengalami penurunan.
G. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian karya ilmiah.
Penelitian yang dimaksud adalah penelitian terhadap karya lain yang relevan
dengan penelitian ini. Penelitian yang relevan dapat bersumber dari makalah,
skripsi, jurnal, internet, atau yang lainnya yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:
Penelitian Antik Setiyorina, mahasiswi Fakultas Sastra, Universitas Sebelas
Maret, dalam skripsinya yang berjudul ―Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah
Karya Wiwid Prasetyo (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Gaya Bahasa). Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) unsur intrinsik yang terdapat dalam
novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo; (2) lapisan sosial
yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid
Prasetyo; (3) pemanfaatan gaya bahasa dalam novel Orang Miskin Dilarang
Sekolah karya Wiwid Prasetyo; dan (4) makna gaya bahasa yang terdapat dalam
novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo. Pada novel Orang
Miskin Dilarang Sekolah digunakan beberapa gaya bahasa, yakni gaya bahasa
yang paling dominan adalah simile karena kalimat-kalimatnya banyak ditemukan
penggunaan kata tugas (seperti dan bagai). Pemaknaan gaya bahasa dapat
ditentukan berdasarkan konteksnya. Pemaknaan pada gaya bahasa ditujukan untuk
membantu pemabaca dalam menafsirkan nilai-nilai yang diungkapkan pengarang
dalam novel ―Orang Miskin Dilarang Sekolah‖.
Penelitian Fitri Wulandari, K 1207018, mahasiswi Fakultas Sastra,
Universitas Sebelas Maret, dalam skripsinya yang berjudul ―Novel Laskar
Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid
31
Prasetyo (Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan‖. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin
Dilarang Sekolah; (2) persamaan dan perbedaan struktur novel Laskar Pelangi dan
Orang Miskin Dilarang Sekolah; (3) kajian intertekstualitas antara novel Laskar
Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; dan (4) nilai pendidikan novel
Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Hasil temuan penelitian
dengan kajian intertekstualitas menunjukkan bahwa kedua novel tersebut: (1)
struktur kedua novel terdiri atas tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan
amanat; (2) persamaan struktur kedua novel tersebut berupa tema. Kedua novel
mempunyai tema yang sama yakni pendidikan. Amanat, kedua novel
mengamanatkan untuk berani bercita-cita dan berusaha keras mewujudkan citacita tersebut. Terkait dengan alur, kedua novel menggunakan alur maju.
Penokohan dalam kedua novel memiliki persamaan yakni pada teknik
karakterisasi. Baik itu Laskar Pelangi maupun Orang Miskin Dilarang Sekolah
karakter tokoh tidak selalu digambarkan secara gamblang dan terperinci tetapi
dapat diketahui dari dialog antartokoh dan deskripsi pengarang secara langsung.
Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis kelamin yang
sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak tokoh
utama yaitu berkemauan keras. Perbedaan kedua novel terletak pada sudut
pandang. Laskar pelangi menggunakan sudut pandang persona pertama ―Aku‖,
sedangkan Orang Miskin Dilarang Sekolah menggunakan sudut pandang
campuran. Latar cerita dalam novel Laskar Pelangi di Pulau Belitong, Sumatera
Selatan, sedangkan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah berlatar di Semarang,
Jawa Tengah; (3) dari hasil kajian intertekstualitas dapat disimpulkan bahwa
novel Laskar Pelangi merupakan hipogram, sedangkan novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah merupakan teks transformasi; dan (4) nilai pendidikan yang
terkandung di dalam novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah
yaitu: nilai pendidikan religius, sosial, moral, dan kebudayaan.
Penelitian Aryani, IndahDwi. 1506500600, 2010, mahasiswi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Pancasakti Tegal, dalam skripsinya
yang berjudul ―Aspek Sosial dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya
32
Wiwid Prasetyo dan Implikasinya bagi Pembelajaran Sastra di SMP‖.Aspek sosial
yang dikaji dalam skripsi ini hanya dibatasi pada interaksi sosial, stratifikasi
sosial, tindakan sosial, perilaku menyimpang, dan problem-problem sosial.Hal
tersebut karena dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah banyak membasa
mengenai kegigihan dalam mencapai sebuah mimpi dan cita-cita banyak menemui
kesulitan, tetapi tetap dilalui demi tercapainya cita-cita tersebut.Penelitian ini
mengkaji aspek sosial dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid
Prasetyo. Permasalah penelitian ini adalah (1) Aspek-aspek sosial apa saja yang
menonjol dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo?
(2) Bagaimanakah implikasi aspek sosial dalam novel Orang Miskin Dilarang
Sekolah karya Wiwid Prasetyo bagi pembelajaran sastra di SMP? Secara teoritis,
penelitian ini bermanfaat dapat menambah dan memperkaya khasanah penelitian
Sastra Indonesia khususnya dalam hal studi analisis novel tentang struktur satra
dan aspek sosial. Manfaat secara praktis, dapat memberi masukan kepada guru
bahasa Indonesia dalam mengajar teori sastra dan membantu siswa untuk
meningkatkan kemampuan dalam memahami sebuah novel. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dan menggunakan metode analisis deskriptif,
sumber datanya adalah novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid
Prasetyo, data penelitiannya berupa keseluruhan teks dalam novel tersebut.
Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa (1) novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo merupakan novel yang mengungkapkan
masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat seperti interaksi sosial,
stratifikasi sosial, tindakan sosial, perilaku menyimpang, masalah kemiskinan,
kriminalitas, dan lingkungan hidup. (2) struktur yang terdapat dalam novel ini
meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar, serta tema. Novel ini banyak
mengandung nilai-nilai sosial sehingga novel tersebut sangat baik untuk dijadikan
sebagai bahan pelajaran di SMP.Implikasi bagi pembelajaran sastra di sekolah
adalah memberikan manfaat bagi siswa agar tidak takut untuk bermimpi, sebab
orang yang tidak memiliki mimpi berarti tidak memiliki cita-cita, sesama manusia
dilarang membeda-bedakan antara orang kaya dengan orang miskin.
33
Dari beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas, peneliti tidak
menemukan penelitian yang khusus mengenai analisis nilai moral dalam novel
Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo dan implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Dalam penelitian ini,
peneliti akan mengkaji mengenai analisis struktur yang membangun novel (tema,
tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa). Peneliti juga
akan mendeskripsikan mengenai nilai moral yang terkandung dalam novel, serta
implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
BAB III
PROFIL WIWID PRASETYO
DAN HASIL ANALISIS
A. Biografi Wiwid Prasetyo
Wiwid Prasetyo kerap juga menulis dengan nama Prasmoedya Tohari,
lahir pada 9 November 1981 di Semarang. Alumnus Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo, Semarang, tahun 2005 ini sehari-harinya aktif di Majalah
FURQON, PESANTrend, Si Dul (majalah anak-anak), serta tabloid Info Plus
Semarang, baik selaku redaktur maupun reporter. Selain itu, ia juga peduli
terhadap dunia pendidikan, terbukti masih menjadi pengajar di Bimbingan
Belajar Smart Kids Semarang. Ia membuktikan seorang penulis yang pekerja
keras, terbukti kurang lebih sekitar 2 tahun saja sudah menghasilkan lebih dari
25 judul buku baik fiksi maupun non fiksi. Berdasarkan pengalaman hidupnya
dan kejadian sehari-hari yang dialaminya, maka dari tangannya lahirlah karyakarya buah dari perenungannya selama ini dalam dunia yang digelutinya:
pendidikan dan sejarah. Terakhir ia memenangi 10 besar lomba cerpen Galaksi
Cinta Diva Press dari 3529 naskah yang masuk.1
Di sela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri untuk menulis
beberapa karya dalam bentuk buku. Beberapa karyanya yang sudah terbit
adalah Orang Miskin Dilarang Sekolah (DIVA Press, 200), Sup Tujuh
Samudra (Bersama Badiatul Rozikin, DIVA Press, 2009), Chicken Soup
Asma‟ ul Husna (Garailmu, 2009), dan Miskin Kok Mau Sekolah…?! (DIVA
Press, 2009), Idolaku Ya Rasulullah S aw…! (DIVA Press, 2009), Demi
Cintaku pada-Mu (DIVA Press, 2009), Aha, Aku Berhasil Kalahkan Harry
Potter (DIVA Press, 2010), The Chronicle of Kartini (DIVA Press, 2010), dan
Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu (DIVA Press, 2010). Citacitanya Wiwid sederhana, yakni menjadi seorang pendidik plus penulis di
1
Wiwid Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, (Jogjakarta: DivaPress, 2012), h. 449.
34
35
tengah kesibukannya sebagai redaktur di Majalah FURQON, PESANTrend, Si
Dul, dan Tabloid Inflo Plus, alumnus Fakultas Dakwah UIN Walisongo
Semarang tersebut masih menyempatkan diri menjadi tentor di Bimbingan
Belajar Smart Kids (Anak Cerdas).2
Menurut Wiwid Prasetyo, sektor pendidikan dan jagat kepenulisan
merupakan dua matra yang saling berkelindan. Pendidikan tanpa keterampilan
menulis niscaya menjadikan materi pembelajaran hilang tanpa bekas.
Sebaliknya, sekedar paham tulis-menulis tanpa memiliki jiwa kependidikan
menyebabkan proses pembelajaran tak memperoleh saluran yang tepat. Bagi
Wiwid Prasetyo, dunia pendidikan dan dunia kepenulisan adalah dua dunia
yang saling melengkapi. Pendidikan tanpa keahlian menulis hanya akan
menjadikan materi pendidikan hilang tak berbekas, sementara hanya paham
dunia kepenulisan tanpa mempunyai jiwa pendidik menyebabkan pendidikan
itu tak mempunyai salurannya yang tepat. Maka dari itu, ia berusaha
menyatukan keduanya. Ia punya mimpi seandainya seorang pendidik memiliki
keahlian menulis, maka generasi muda kita tidak akan terseret dalam jurang
degradasi moral yang teramat dalam, karena pengaruh tulisan akan membekas
dalam jiwa anak-anak yang pada fitrahnya selalu condong pada kebaikan.3
B. Karya-karya Wiwid Prasetyo
Penulis mendapatkan karya-karya dari Wiwid Prasetyo melalui
wawancara dengan beliau, hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan
antara penulis dengan pengarang novel yang terdapat dalam lampiran. Berikut
ini adalah karya-karya Wiwid Prasetyo:
1. Novel Pendidikan
a. Orang Miskin Dilarang Sekolah (cetakan ke 13) Diva Press Yogya
sekaligus karya perdananya, novel perdananya ini sekaligus juga
diterjemahkan berbahasa Malaysia dengan judul yang sama.
2 Wiwid Prasetoyo, diunduh pada 29 April 2014, Pukul 06.00, dari
http://blogdivapress.com/dvp/2010/06/01/wiwid-prasetyo/
3Prasetyo, op.cit., h. 450
36
b. Miskin kok Mau Sekolah, Sekolah dari Hongkong, Diva Press Yogya
2010.
c. Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu, Diva Press Yogya
2010.
d. Sekolah Ayo Sekolah, Diva Press Yogya 2010.
e. Orang Cacat Dilarang Sekolah, Diva Press Yogya 2010.
2. Karya Religi
a. Demi Cintaku Pada-Mu (Novel religi) Diva Press Yogya 2010.
b. Hati yang Bercahaya, (novel religi) revisi dari novel Demi Cintaku
Padamu, Diva Press Yogya 2011.
c. Saat Langit Bercumbu dengan Bumi (Novel Religi) Diva Press Yogya
2012.
d. Khidir (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012.
e. Mata Moses (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012.
f. Senyum Tuhan di Barcelona (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012.
g. 99 Hari di Perancis (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012.
3. Karya Non Fiksi
a. Mental Kepepet for Succes (Buku Motivasi) Real Books Yogya 2011.
b. The Chicken Soup of Asmaul Husna, Diva Press Yogya 2010.
c. Mengapa Rezekiku Melimpah Setelah Menikah? Real Books Yogya
2011.
d. 100 Kecerdasan Setan, Diva Press Yogya 2011.
e. Bismillah, Saya Mantap Menikah, Real Books 2013.
f. Kaya Raya Modal Iman, Real Books 2013.
4. Karya Anak
a. Dongeng 30 Mancanegara 2009, Diva Press Yogya 2010.
b. Sup Tujuh Samudera 2010, Diva Press Yogya 2010.
c. Aha, Aku Bunuh Harry Potter 2010, Diva Press Yogya 2010.
d. Siapakah Allah ya? 2011, Diva Press Yogya 2010.
e. Idolaku Rasulullah SAW 2010, Diva Press Yogya 2010.
37
5. Novel Sejarah
a. The Chronicle of Kartini, Diva Press Yogya 2011.
b. Cheng Ho Laksamana Muslim dari Negeri Seberang, Diva Press
Yogya 2011.
c. Ibrahim Rindu Allah, Diva Press Yogya 2011.
d. Kilat Mata Ksatria Allah, Diva Press 2012.
e. Dan, Lilinpun Dipadamkannya (biografi Umar bin Abdul Aziz) Real
Books, Yogya 2012.
C. Sinopsis Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah
Novel ini menceritakan seorang anak kelas dua SD bernama Faisal
Ridowi dalam berjuang mengajak ketiga temannya yaitu Pepeng, Pambudi dan
Yudi untuk bersekolah dan mengajar menjadi guru cilik di sekolah gratis untuk
belajar membaca bagi warga yang buta aksara. Tetapi perjuangannya tidak
semudah yang mereka bayangkan.
Lika-liku dan halang rintangan yang mereka hadapi untuk bisa mencicipi
bangku sekolah yang menurut sebagian besar warga kampong hanya
menghabiskan uang saja, lebih baik mereka membantu kedua orang tua untuk
mencari nafkah untuk melanjutkan kehidupan. Karena kehidupan mereka
berada dibawah garis kemiskinan. Untuk makan sehari saja mereka
kekurangan, apalagi harus membiayai sekolah. Sedangkan pekerjaan kedua
orangtua mereka hanyalah seorang pemerah susu sapi, pembersih kandang, dan
memberi makan ternak-ternak milik orang paling kaya di desa mereka. Mereka
adalah Pambudi, Pepeng, dan Yudi. Ketiga anak alam ini yang belum pernah
memakan bangku sekolahan karena ketidakadaan biaya.
Namun, Faisal yang merupakan teman ketiga anak alam itu mencoba
mempengaruhi teman-temannya untuk mengikuti jejaknya, yaitu bersekolah.
Awalnya mereka tidak mau, namun setelah dibujuk dan mereka sadar ingin
sekolah, akhirnya mereka bertiga sepakat untuk bersekolah, meskipun harus
bekerja keras untuk membantu membiayai sekolah. Sampai berjualan pisang
goreng di kelas, berjualan koran, kuli angkut kelapa dari dini hari sampai
38
waktu sekolah tiba. Sebelumnya mereka bertiga meremehkan sekolah. Namun
setelah mereka bertemu bu Mutia yang seorang guru kelas 1 SD mereka, baru
sadar bahwa belajar itu penting, karena tanpa ilmu mereka bisa mudah ditipu
oleh orang yang lebih pintar.
Di sekolah, salah satu dari anak alam ini menemukan sosok yang sangat
dikaguminya. Kania, gadis kecil yang cantik dan pemberani itu ditaksir oleh
Pambudi. Mereka mengira Kania merupakan anak orang berada, karena cantik,
bersih dan pandai. Namun setelah diselidiki oleh Pambudi, kehidupannya sama
dengan keluarganya dan juga teman-temannya. hanya karena cita-cita,
semangat dan keyakinan bisa membuat dia berjalan dan terus melangkah dari
kerasnya kehidupan saat ini. Dan itu membuat Pambudi semakin jatuh hati
kepada Kania. Karena selain sebagai wanita yang hebat, Kania juga sosok yang
dikaguminya. Karena dengan berilmu, kita bisa menakklukkan rintangan
kehidupan dengan ilmu. Seperti saat Faisal bercita-cita untuk menciptakan
kampungnya agar warganya tidak terus diperbudak oleh Yok Bek selama hidup
mereka. Warga Kampung Genteng harus berubah.
Ketika Pambudi, Yudi dan Pepeng telah menikmati indahnya bangku
sekolah, tiba-tiba mereka disuruh berhenti sekolah oleh orang tua mereka.
Orang tua mereka telah dihasut oleh Yok Bek untuk menyuruh mereka berhenti
dari sekolah, karena Yok Bek takut jika anak-anak itu akan menjadi pintar dan
mengambil alih usahanya dan akan sulit membodohi mereka. Setelah mereka
berhenti, mereka kembali disemangati oleh Faisal hingga mereka berhasil
kembali ke sekolah.
Penerimaan penghargaan berprestasi pun diselenggarakan di SD Kartini,
tempat Faisal dan kawan-kawan bersekolah. Hari yang begitu bersejarah bagi
Faisal dan Kania karena mereka mendapatkan penghargaan atas prestasi
mereka dan terpilih sebagai perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Eksakta,
Begitu juga dengan Pambudi, Yudi dan Pepeng yang akhirnya naik kelas, dan
akhirnya para warga Kampung Genteng pun menjadi sadar akan pentingnya
pendidikan. Bahkan, Pak Cokro, yang dulunya sebagai dukun, kini mengubah
tempat prakteknya menjadi Taman Baca bagi penduduk Kampung Genteng.
39
D. Struktur Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah
1. Tema
Tema merupakan gagasan inti dari suatu teks yang menggambarkan
apa yang ingin dikomunikasikan oleh seorang penulis kepada pembaca
melalui tulisannya dalam melihat atau memandang suatu peristiwa. Tema
dalam suatu karya fiksi atau novel merupakan gagasan sentral yang
menjadi dasar penulisan sebuah karya. Jenis tema yang akan dibahas oleh
peneliti adalah jenis tema menurut cakupannya. Adapun jenis tema
menurut cakupannya dibagi menjadi dua, yaitu tema mayor adalah tema
yang mencakup keseluruhan cerita. Sedangkan tema minor adalah tema
tambahan yang hanya terdapat di bagian-bagian tertentu saja, tidak seperti
tema mayor yang mencakup keseluruhan cerita.
a. Tema Mayor
Tema mayor dalam novel OMDS adalah semangat juang demi
mengenyam pendidikan. Tema tersebut jelas tergambar dari
perjalanan hidup anak-anak dengan tekad yang kuat untuk
memperoleh pendidikan yang layak walaupun terbentur faktor
ekonomi. Hampir seluruh bab pada novel OMDS membahas tentang
perjuangan anak-anak tersebut untuk merasakan bangku sekolah.
Perjuangan tokoh sentral yang bernama Faisal untuk dapat membujuk
teman-temannya sangat berat. Terdapat berbagai macam rintangan
yang harus ia hadapi demi sahabatnya agar memperoleh pendidikan.
Perjuangannyalah yang menjadi tema mayor dalam novel ini.
Nah, itulah maksudku, aku hanya ingin kalian bisa terus
semangat sekolah demi masa depan kalian. Itu semua
demi kalian sendiri, bukan demi Kania atau demi aku, aku
ingin melihat kalian sukses.4
Kutipan tersebut menjelaskan tentang usaha Faisal membujuk
temannya untuk terus tetap semangat sekolah. Bukanlah hal yang
mudah bagi Faisal untuk membujuk Pambudi, Pepeng, dan Yudi
4
Ibid, h. 194.
40
untuk sekolah karena mereka benar-benar tidak tahu harus
mendapatkan biaya dari mana, maka mereka putuskan untuk tidak
bersekolah. Seharusnya peranan orang tua lah yang paling utama
dalam mendukung pendidikan anak-anak akan tetapi dukungan itu
justru tidak didapatkan bagi ketiga anak alam tersebut, dukungan dan
motivasi tersebut justru diberikan oleh Faisal. Pendidikan merupakan
hal terpenting bagi kehidupan, karena dengan pendidikan akan
mengangkat martabat seseorang di masyarakat.
b. Tema Minor
Sedangkan tema minor atau tema tambahan yang terdapat dalam
novel OMDS di antaranya yaitu :
1). Kemiskinan
Kemiskinan erat sekali hubungannya dengan keputusasaan.
Itulah yang menjadi penyebab utama anak-anak alam seperti
Pambudi, Pepeng, dan Yudi merasa putus asa dan memiliki
harapan kecil untuk bisa merasakan pendidikan. Setiap kali niat itu
muncul, namun kemiskinan yang menghancurkan niat dan harapan
terbesar mereka. Seperti dalam kutipan berikut :
Ketiganya terdiam, meresapi kebenaran dari setiap kata
yang keluar. Dari aspek manapun, mereka tak akan
membantah kata-kataku
sebab aku mencoba
melecutkan semangat dari dalam, mencoba berempati
tentang nasib yang tak kunjung berubah, tentang
kemiskinan yang akrab dengan kehidupan mereka, dan
jalan satu-satunya untuk mengatasi itu, apalagi kalau
bukan sekolah?5
Dari kutipan di atas, dapat kita lihat bahwa bagaimana
kemiskinan begitu mencekik leher mereka dan merantai semua
mimpi mereka. Namun, itu tak menjadi halangan terbesar bagi
mereka, karena sahabat mereka yang
bernama Faisal terus
berusaha mendukung mereka dan memberi pengertian bagaimana
5
Ibid., h. 71.
41
pentingnya
sebuah
pendidikan
bagi
masa
depan
mereka.
Kemiskinan bukanlah suatu yang terjadi dengan sendirinya dan
terlepas dari aspek lainnya. Akan tetapi, kemiskinan terjadi karena
hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan
manusia, yakni aspek sosial dan ekonomi. Aspek sosial ekonomi
terkait dengan keadaan sosial ekonomi
masyarakat yang tidak
merata seperti perbedaan suku bangsa, etnis, ras atau golongan dan
lain sebagainya, sehingga terbentuklah kelompok bagi yang tidak
mampu dan dikatakan miskin dibanding masyarakat sekitarnya.
Seperti yang terdapat dalam novel OMDS ini, karena terdapat
perbedaan suku bangsa, yakni warga Cina yang berkehidupan layak
dan cukup yang tinggal di daerah Gedong Sapi, maka warga
Gedong Sapi semakin merasakan kemiskinan yang mereka hadapi.
Tolak ukur utama suatu masyarakat dikatakan kurang mampu
apabila kebutuhan relatif per keluarga telah mencapai kebutuhan
minimal yang harus dipenuhi dalam sebuah keluarga dan
dikarenakan faktor pekerjaan yang dimiliki oleh kepala keluarga
tidak sesuai dengan jumlah hasil yang mereka butuhkan, karena
pekerjaan yang mereka miliki sebanding dengan faktor pendidikan
minim yang mereka miliki, yang mengakibatkan hasil dari
pekerjaan yang mereka jalani tidak mencukupi kehidupan seharihari. Hal tersebut telah digambarkan pengarang melalui tokoh
Giatno (ayah Yudi), Samijan (ayah Pambudi), Sukisno (ayah
Pepeng), yang bekerja hanya sebagai buruh yang sehari-harinya
membersihkan kandang yang dipenuhi kotoran, membersihkan
sapi, dan membajak tanah pupuk dengan cangkulnya.
Sepagi itu, mereka telah melakoni hidup dengan susah
payah, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Tetapi
mereka sama sekali tak mengeluh dengan nasib
mereka yang selalu di bawah. Kebodohannya
membuat pola pikirnya begitu pendek, setiap kali
42
mereka menemui kesusahan, dianggapnya itu sebagai
takdir dari Yang Di Atas.6
Dari kutipan di atas, semakin memperjelas bahwa
pengarang ingin menyampaikan bahwa pendidikan yang rendah
sangat erat hubungannya dengan kemiskinan. Pengarang ingin
menyadarkan pembaca akan pentingnya pendidikan, agar dapat
mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik. Apabila kita
memiliki pendidikan dan mementingkan pendidikan, maka kita
akan merasakan kenikmatan dari pendidikan yang kita miliki,
seperti pekerjaan yang pantas dan layak sesuai dengan pendidikan
yang kita miliki, dan sebaliknya. Dengan pendidikan yang rendah,
mampu mengubah pola pikir manusia dengan menganggap bahwa
pendidikan tidaklah penting.
2). Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial adalah suatu keadaan ketidakseimbangan
sosial yang ada di masyarakat. Faktor yang menyebabkan
munculnya kesenjangan sosial yaitu adanya perbedaan strata atau
kedudukan, seperti kaya atau miskin, pintar atau bodoh dan lain
sebagainya. Individu-individu yang menjadi anggota kelompok di
dalam masyarakat pada dasarnya bervariasi baik dari segi umur
maupun tingkat sosial ekonominya. Kesenjangan sosial yang
terdapat dalam novel OMDS ini diakibatkan oleh faktor kemiskinan
di daerah Kampung Genteng, Semarang. Daerah tersebut
merupakan daerah terpencil sehingga perhatian pemerintah tidak
merata terhadap keadaan dan penduduk sekitar kampung Genteng,
terutama dalam hal pendidikan. Kesenjangan ini juga digambarkan
oleh pengarang melalui keadaan pada saat murid Sekolah Dasar
yang berasal dari kalangan atas menginjak-nginjak harga diri ketiga
anak alam yang dikenal sebagai anak-anak kampung yang miskin.
6
Ibid., h. 135.
43
Perbedaan status sosial antara si kaya dan si miskin ini ditunjukkan
oleh pengarang sebagai salah satu kesenjangan sosial yang terjadi
pada saat itu.
Ah, masa bodoh. Anak-anak kampung itu membuat
selera belajarku turun, mataku seperti mengganjal
sesuatu, hidungku seperti tidak bebas menghirup udara
di kelas ini, ada bau-bau yang bikin aku sesak napas,
telingaku juga nggak terbiasa mendengar bunyi-bunyi
asing yang membuatku harus menutupnya. Dan semua
itu disebabkan oleh kedatangan anak-anak kampung
itu, anak-anak sok pintar dan tukang cari perhatian. (h.
326)7
Adanya diskriminasi terhadap anak-anak miskin yang
dimunculkan dalam novel ini turut menjadi tema minor.
Diskriminasi merupakan pembedaan perlakuan terhadap sesama
warga, baik berdasarkan warna kulit, golongan, suku, bangsa,
ekonomi, agama dan lain sebagainya yang menyebabkan perbedaan
perlakuan itu timbul. Diskriminasi yang terlihat dalam novel adalah
di kalangan anak-anak yang membedakan antara si kaya dan si
miskin.
Rena, kita semua sama. Di kelas ini kita semua samasama menjadi murid Bu Mutia. Tak ada kaya dan
miskin karena kita semua sedang menuntut ilmu. Apa
kau masih ingat kata-kata Bu Mutia, Ren?8
Perbedaan tersebut muncul ketika suatu kelompok antara
kaya dan miskin bersatu. Dari kutipan tersebut juga sangat terlihat
perbedaan ketika Rena membedakan ketiga temannya yang berasal
dari kalangan bawah. Dari peristiwa tersebut juga dapat kita ambil
pelajaran bahwa dalam menuntut ilmu sesungguhnya tidak
memandang antara si kaya dan si miskin. Menuntut ilmu dapat
dinikmati baik dari golongan msyarakat rendah ataupun kalangan
atas sekalipun. Beberapa tema kemiskinan tersebut merupakan
7
8
Ibid., h. 326.
Prasetyo, Loc.cit.
44
salah satu yang mampu menghidupkan alur, karena tema
kemiskinan maupun kesenjangan sosial yang ada merupakan
bagian konflik dalam cerita ini. Penyebab adanya deskriminasi dan
kesenjangan sosial dari tema di atas bersinggungan dengan alur
cerita yang membuat pembaca semakin terbawa dalam cerita
karena kuatnya keterkaitan antara tema dengan alur cerita.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan akan dikaji dalam analisis ini menggunakan
teori dari tokoh bernama Algirdas Julien Greimas (A.J Greimas). Teori
yang digunakan adalah teori aktan atau yang lebih dikenal dengan skema
aktan. Dalam buku yang berjudul ―Tata Sastra‖, Todorov mengatakan
bahwa sebelum A.J Greimas mengemukakan teori aktan, Propp telah
memperkenalkan unsur naratif terkecil yang sifatnya tetap dalam sebuah
karya sastra sebagai sebuah fungsi.9 Di bawah ini adalah diagram
mengenai skema aktan menurut Ratna:10
Penerima
Pengirim
Subjek
Penentang
Objek
Pendukung
ggg
Diagram 3.1
Pengirim adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide
dan berfungsi sebagai penggerak cerita. Objek adalah seseorang atau
sesuatu yang diingini atau dicari oleh subjek. Penerima adalah seseorang
9
Tzevetan Todorov, Tata Sastra, (Jakarta: Djambatan,1985), h. 48.
Nyoman Kutha Ratna, S.U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 140.
10
45
atau sesuatu yang menerima objek hasil buruan subjek. Penolong adalah
seseorang atau sesuatu yang membantu atau mempermudah usaha subjek
dalam mencari objek. Subjek adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi
oleh pengirim untuk mendapatkan objek. Penentang adalah seseorang atau
sesuatu yang menghalangi usaha subjek dalam mencari atau mendapatkan
objek. Untuk lebih jelasnya, berikut penggambaran para tokoh melalui
struktur skema aktan:
a. Subjek
Terdapat beberapa subjek dalam novel OMDS yaitu Faisal dan
ketiga anak alam (Pambudi, Yudi dan Pepeng). Faisal sebagai subjek
untuk mendapatkan objek yaitu agar teman-temannya dapat bersekolah.
Nah, itulah maksudku, aku hanya ingin kalian bisa terus
semangat sekolah demi masa depan kalian. Itu semua demi
kalian sendiri, bukan demi Kania atau demi aku, aku ingin
melihat kalian sukses.11
Selanjutnya yaitu tokoh Pambudi, Yudi dan Pepeng yang bertugas
sebagai subjek untuk mendapatkan objek yaitu cita-citanya untuk dapat
bersekolah. Mereka adalah anak-anak miskin yang memiliki tekad kuat
untuk bersekolah dan memperbaiki hidup. Maka, sekolah adalah objek
mereka. Seperti dalam kutipan:
Dengar teman-teman, mulai sekarang kita harus berpikir bagaimana
untuk tidak menggantungkan orang tua kita untuk membiayai
sekolah.12
Dari
kutipan
di
atas,
terlihat
bagaimana
subjek
sangat
menginginkan objeknya yaitu bersekolah, mereka sangat bertekad untuk
sekolah dan berusaha tidak merepotkan orangtua mereka masingmasing.
11
12
Prasetyo, Loc.cit.
Ibid., h. 298.
46
b. Objek
Objek yang diinginkan oleh subjek (Faisal) adalah Ketiga
temannya yaitu Pambudi, Yudi dan Pepeng, maka ia berusaha
melakukan apapun agar temannya dapat sekolah. Ia sangat berambisi
untuk menyekolahkan ketiga temannya. Seperti yang terdapat dalam
kutipan:
Meskipun dengan resiko terburuk memberanikan diri untuk
menaruh nyawaku di ujung tanduk, semua itu demi temantemanku, anak-anak alam yang entah bagaimana nasibnya
seandainya Yok Bek dibunuh, mereka akan sulit bekerja,
mereka juga akan sulit sekolah.13
Jelas terlihat bagaimana Faisal sebagai subjek sangat menginginkan
objeknya agar dapat bersekolah sehingga ia berani mempertaruhkan
nyawanya demi ketiga temannya. Objek lainnya yang diinginkan oleh
subjek (Pambudi, Yudi dan Pepeng) adalah mencapai cita-cita mereka
untuk sekolah. Mereka melakukan apapun agar bisa bersekolah.
Kita akan membuat tas sendiri dari karung gandum,
sedangkan untuk seragamnya kita bisa beli dari penjual
rombeng di sudut Pasar Langgar.14
Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana kesungguhan mereka
untuk mendapatkan objek walaupun kemiskinan yang mereka alami,
tetapi itu tak menjadikannya sebagai kendala terbesar yang dapat
menghalangi niatnya untuk mendapatkan objek yang diinginkannya.
Objek lainnya yang diinginkan oleh subjek (Pambudi, Yudi dan
Pepeng) adalah mendapatkan cinta Kania. Mereka telah menaruh hati
pada gadis kecil itu ketika pertama kali masuk sekolah. Seperti dalam
kutipan di bawah ini:
Mereka bertiga akhirnya sepakat untuk merebut hati Kania, gadis
kecil berkepang dua itu membuat ketiganya kerap kali salah
13
14
Ibid., h. 154.
Ibid., h. 82.
47
tingkah melulu. Sekolah menjadi sangat mengasyikkan jika kita
bertemu dengan teman yang kita cintai...15
c. Pengirim
Salah satu yang menjadi pengirim dan penggerak dalam cerita
adalah rasa simpat dan empati Faisal karena kemiskinan yang dialami
oleh ketiga temannya yang tidak bersekolah dan menginginkan agar
temannya bisa sekolah.
Ah, mengapa persoalan sedemikian pelik? Bukankah aku
hanya ingin mengajak mereka sekolah? Belum juga
kuutarakan maksudku, mereka telah meneror tekadku, untuk
membiarkan mereka teronggok dalam kebodohan dan
kemiskinan.16
Rasa empati yang dimiliki Faisal memberikan karsa kepada subjek
untuk mencapai objek yang diinginkan dan menjadi penggerak jalannya
cerita.
d. Penerima
Penerima dalam cerita adalah Keluarga dari Pambudi, Yudi dan
Pepeng. Mereka berperan sebagai penerima, karena mereka menerima
hasil setelah anak-anak mereka bersekolah. Hasil yang mereka terima
adalah rasa bangga para orang tua kepada anak-anak karena mereka
bersekolah.
Aku yang melihatinya dari celah-celah gorden diam-diam hanya
bisa tersenyum simpul, kebanggaan ayah untuk menerima rapor
yang ke sekian kali untukku dimaknai seperti main ke rumah pacar
semasa dulu. 17
e. Pembantu
Salah satu yang menjadi pembantu dalam mempermudah subjek
untuk mendapatkan objek yaitu Kepala Sekolah, Pak Zainal. Ia yang
15
Ibid., h. 112.
Ibid., h. 65.
17 Ibid., h. 418.
16
48
membantu Pambudi, Yudi dan Pepeng dengan menerima mereka di
sekolah serta meringankan biaya buku dan lain sebagainya.
Baiklah, Kalian bertiga akan kuterima di kelas satu, tapi
ingat jangan pernah merasa minder dengan teman-teman
kalian yang rata-rata tinggi badannya di bawah kalian, kalau
bisa lindungilah mereka. Mari kuantar...!18
Pembantu selanjutnya dalam cerita yaitu Bu Mutia. Ia adalah
seorang guru yang selalu membantu Pambudi, Yudi dan Pepeng dengan
menyemangati mereka, terlebih ketika mereka harus dihina oleh teman
lainnya karena kemiskinan yang mereka alami.
Meskipun Yudi begitu, tapi kalian nggak boleh mengucilkan Yudi,
bagaimanapun juga Yudi itu teman kalian. Di kelas ini, tidak ada
perbedaan, meskipun kalian anaknya pengusaha, anaknya artis,
atau anaknya dokter, tetapi kalau sudah ada di kelas ini, semua
status itu hilang, kedudukan kalian sama, kalian murid-murid Ibu
yang punya hak dan kewajiban yang sama untuk terus menuntut
ilmu.19
f. Penentang
Penentang yang berusaha menghalangi usaha subjek adalah Yok
Bek. Ia berusaha menggagalkan usaha yang dilakukan subjek dengan
cara menghasut ayah dari Pambudi, Yudi dan Pepeng. Ia menghasut
ayah mereka agar memberhentikan anak-anaknya dari sekolah karena
itu mengganggu pekerjaannya sebagai pekerja di tempat Yok Bek.
Coba dekati anak kalian, dan bicarakan baik-baik, sebaiknya
sekolahnya tak usah diteruskan, nanti saja kalau sepulang
anakku dari Australia untuk meninjau peternakan sapi di
sana, biarlah aku omong-omong
dengannya untuk
memikirkan nasib pendidikan anak-anak kalian.20
Penentang lainnya yaitu orang tua dari Pambudi, Yudi dan Pepeng.
Mereka tidak pernah berusaha bahkan berniat menyekolahkan anakanak mereka, sehingga mereka membiarkan anak-anak mereka bekerja
18
Ibid., h. 92.
Ibid., h. 265.
20 Ibid., h. 140.
19
49
menjadi tulang punggung keluarga tanpa memikirkan nasib masa depan
mereka.
Orang tua kita tak pernah berpikir untuk menyekolahkan
anak-anaknya. Tiap kali aku mencoba menyampaikan
keinginanku untuk sekolah, selalu tak kesampaian...21
Ketika ketiga anak alam itu mulai bersekolah karena tekadnya dan
karena bantuan dari Faisal, akhirnya mereka bersekolah. Namun, tibatiba mereka disuruh berhenti sekolah oleh orang tua mereka yang telah
terkena hasutan Yok Bek. Maka, penentang kedua selain Yok Bek
adalah orang tua ketiga anak alam tersebut.
Begini lho Pam, kalau kupikir daripada menghabiskan banyak
biaya dan hasilnya hanya seperti itu, lebih baik kau berhenti saja
dari sekolah itu, aku sekolahkan ke tempat yang lebih baik.22
Orang tua ketiga anak alam itu mencoba membujuk anak-anak
mereka agar mereka berhenti sekolah, dan karena mereka anak yang
penurut, maka mereka pun berenti dari sekolah.
Selain dari skema aktan di atas, maka akan lebih diperjelas kembali
melalui pembahasan di bawah ini mengenai tokoh dan penokohan yang
ada dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo.
a. Tokoh Protagonis
Berikut ini adalah beberapa tokoh protagonis yang terdapat
dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo.
1). Faisal
Tokoh Faisal merupakan tokoh sentral dalam novel ini.
Tokoh Faisal berperan sebagai pencerita sehingga ia selalu
muncul dari awal hingga akhir cerita. Faisal digambarkan oleh
pengarang secara analitik sebagai seorang anak kecil yang masih
duduk di bangku Sekolah Dasar. Hal itu dapat dibuktikan
melalui kutipan berikut:
21
22
Ibid., h. 65—66.
Ibid., h. 148.
50
―Aku baru kelas dua, ―kataku. Kemudian Ki Hajar
memandang Yudi, Pambudi dan Pepeng yang hanya
tersenyum-senyum karena malu.23
Melalui penggambaran fisik yang disampaikan pengarang
secara analitik tersebut telah memberikan bayangan kepada
pembaca bahwasanya anak yang masih duduk di bangku SD ini
biasanya bertubuh kecil. Namun, tubuhnya yang kecil ini
memiliki sifat pemberani. Sikap pemberaninya ditunjukkan
ketika terjadi konflik antara warga Gedong Sapi dengan Yok
Bek. Dengan keberaniannya, Faisal berusaha mendamaikan
keduanya, meski ia tahu bahwa risikonya sangat besar, bisa saja
ia yang diserang oleh warga. Perlakuannya tersebut merupakan
salah satu upaya Faisal untuk mengaktualisasikan dirinya
terhadap masyarakat bahwa ia bukanlah anak kecil yang selalu
diremehkan warga.
Meskipun dengan resiko terburuk memberanikan
diri untuk menaruh nyawaku di ujung tanduk, semua
itu demi teman-temanku, anak-anak alam yang entah
bagaimana nasibnya seandainya Yok Bek dibunuh,
mereka akan sulit bekerja, mereka juga akan sulit
sekolah.24
Akan tetapi, sifat pemberani yang dimiliki Faisal
merupakan paradoks yang coba dihadirkan oleh pengarang.
Anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar ini telah
berani membela teman-temannya dari amukan warga yang jelas
mereka telah dewasa dan dipastikan berbadan besar. Selain itu,
secara dramatik Faisal digambarkan sebagai seorang anak yang
berkemauan keras dan pantang menyerah dalam memperoleh
pendidikan, serta gigih dalam memberikan motivasi kepada
23
Ibid., h. 47.
Loc.cit.
24Prasetyo,
51
teman-temannya
untuk
menyadarkan
akan
pentingnya
pendidikan dalam kehidupan.
Nah, itulah maksudku, aku hanya ingin kalian bisa
terus semangat sekolah demi masa depan kalian. Itu
semua demi kalian sendiri, bukan demi Kania atau
demi aku, aku ingin melihat kalian sukses.25
Faisal adalah seorang tenaga pengajar pembantu di
kampungnya. Hal itu merupakan bukti bahwa ia begitu peduli
terhadap pendidikan di kampungnya. Ia mengajarkan dengan
ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Sikap ikhlasnya ia
tunjukkan ketika panitia Dinas hendak memberikan sepucuk
amplop yang sudah dipastikan isinya adalah uang, namun, Faisal
berusaha menolaknya.
Empat orang panitia dari Dinas menyalamiku sambil
tangannya menempelkan sepucuk amplop. Naluriku
mengatakan isinya uang, dan aku mencoba
menolaknya. Bagaimanapun juga pahala lebih
berarti daripada sekadar uang. Aku tak mau niat
tulusku dilumuri oleh pujian manusia yang berupa
materi ataupun ucapan sanjungan.26
Sikap ini sangat terpuji. Pada zaman sekarang tak jarang
orang mengharapkan imbalan ketika berbuat sesuatu untuk
masyarakat, tetapi Faisal memberikan contoh yang sangat baik,
bagaimana ia mau membantu dengan ikhlas.
Karakter tokoh protagonis ini ditampilkan ideal oleh
pengarang sehingga perlu dipertimbangkan ulang kemungkinan
terjadinya intelektualisasi pada tokoh ini. Toh ia baru kelas dua
SD, akan tetapi memiliki perkembangan karakter seperti orang
yang lebih dewasa.
25
Prasetyo, Loc.cit.
26
Ibid., h. 210.
52
2). Pambudi
Sebelum pengarang memperkenalkan tokoh Pambudi
secara lebih jauh, ia menggambarkan tokoh Pambudi secara
analitik melalui penggambaran fisik yaitu seorang anak yang
bergigi kelinci. Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Hal
itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Si gigi kelinci Pambudi mencoba berfikir bagaimana
cara untuk mengalahkan Mat Karmin, tanpa seorang
pun dari kami yang merasa terbebani.27
Pambudi hidup dari keluarga tidak mampu sehingga ia
hanya mampu bekerja sebagai pengangkut rumput untuk makan
sapi. Pekerjaan itu ia lakukan untuk meringankan beban orang
tuanya. Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melanjutkan
sekolah karena ia menyadari kemiskinan yang dialami. Namun,
kelebihan yang dimiliki Pambudi adalah sifatnya yang bijak
sehingga menjadikan Pambudi seorang pemimpin di antara
teman-temannya.
Sekarang, kami telah mengangkat Pambudi secara
resmi menjadi pemimpin kami. Yudi menerangkan
padaku.28
Secara dramatik, pengarang memunculkan penokohan
Pambudi dengan karakter sosok yang agresif, terbukti dengan
keagresifannya ketika menyatakan cinta kepada Kania. Tanpa
rasa malu dan kesadaran diri bahwa ia adalah murid baru, ia
tetap mengejar cinta Kania.
Tapi aku sungguh-sungguh Kan, sejak aku lihat
kamu pertama kali, sejak kau membelaku matimatian dari Rena, sungguh mati aku langsung
terpikat sama kamu.29
27
Ibid., h. 8.
Ibid., h. 64.
29 Ibid., h. 120.
28
53
Sama halnya dengan tokoh Faisal yang digambarkan
pengarang secara berlebihan (tidak wajar), tokoh Pambudi pun
terkesan tak lazim, karena sifatnya yang agresif tersebut tidak
sesuai dengan keadaan anak SD seusianya. Dalam hal ini,
pengarang terlalu lepas dalam menghadirkan watak pelaku cerita
tanpa memikirkan logis atau tidaknya karakter tersebut.
Selain itu, Pambudi adalah anak yang sangat kreatif dan
mempunyai ide yang cemerlang. Ketika ia dan kedua temannya
sedang pusing memikirkan perlengkapan sekolah seperti tas,
sepatu dan buku-buku yang tentunya membutuhkan biaya yang
tidaklah sedikit, Pambudi mengeluarkan ide kreatif untuk
membuat
sendiri
perlengkapan
tersebut
tanpa
harus
mengeluarkan biaya besar.
Kita akan membuat tas sendiri dari karung gandum,
sedangkan untuk seragamnya kita bisa beli dari
penjual rombeng di sudut Pasar Langgar.30
Dari
kutipan
di
atas,
pengarang
mendeskripsikan
mengenai kemiskinan yang mereka alami. Ketidakmerataan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan ini bisa diukur
melalui tempat tinggal, dan terutama menurut status sosial
ekonomi seseorang.31 Pemimpin anak-anak alam ini juga
ternyata memiliki perasaan yang sangat peka, ia mudah sekali
terharu sehingga ia mengeluarkan air mata ketika Faisal
menanyakan kepadanya mengapa ia dan kedua temannya
memutuskan berhenti sekolah.
Tak ada jawaban, tetapi meledaklah tangis Pambudi,
tangis yang haru-biru dan memecah langit. Yudi dan
Prasetyo, Loc.cit.
Ivonie Trinurjayanti, Implementasi Teori-Teori Pendidikan dalam Praktek Pendidikan
di Indonesia,artikel ini diunduh pada 11 November 2013, Pukul 10.00, dari
http://copetalammanusiaberpendidikan.blogspot.com/2013/01implementasi-teori-teoripendidikan.html?m=1
30
31
54
Pepeng tak kuasa untuk menghentikan uraian air
mata yang deras di sudut matanya. Ia mengguncangguncangkan tubuh Pambudi. Si pemimpin anak-anak
alam itu tak terlihat seperti sosok yang pantas
disegani karena tangisan Pambudi menyebabkan
hancurnya citra Pambudi.32
Sikap Pambudi tersebut mengesankan sebuah paradoks,
karena seharusnya seorang yang telah dinobatkan sebagai
pemimpin berjiwa kuat dan tegar, namun tidak demikian dengan
pemimpin anak alam ini. Di awal cerita, ia dikenal sebagai
pemimpin anak alam yang bijaksana dan dewasa, namun di
akhir cerita telah terjadi sebuah paradoks, ketika ketegarannya
sebagai seorang pemimpin luntur begitu saja tatkala ia
menangisi keadaannya yang terpaksa harus berhenti sekolah
karena perintah orangtua.
Hal ini menunjukkan masih adanya kelemahan pada
karakterisasi tokoh Pambudi, di mana ia ditampilkan sangat
dewasa untuk ukuran anak seusianya, namun juga kekanakan
dan rapuh saat menghadapi keadaan dirinya sendiri.
3). Pepeng
Anak yang memiliki keinginan sekolah ini hanya mampu
menggigit jari karena ia hanya bekerja membantu ayahnya
sebagai pengangkut kelapa dari pelabuhan ke pasar-pasar malam
dengan menggunakan becak sejauh 25 kilo.
Ya... memang, aku juga tidak terima, Tiap malam
tak pernah tidur hanya demi sesuap nasi, mengayuh
becak sepanjang 25 kilo, apalagi dibebani dengan
berkilo-kilo kelapa, betisku sampai bertelur.33
Pepeng adalah anak yang pendiam dan pemalu. Hal itu
dijelaskan oleh pengarang ketika Pepeng hendak mengutarakan
niatnya yang ingin sekolah kepada orang tuanya. Sifatnya
32
33
Prasetyo, Op.cit., h. 191.
Prasetyo, Loc.cit.
55
tersebut disampaikan pengarang dengan cara analitik seperti
dalam kutipan berikut:
Suaranya hanya tercekat ditenggorokan. Ia tak
sampai hati meyampaikan keinginan yang akan
berguna utuk dirinya sendiri, tetapi karena sudah
kesepakatan yang tak mungkin diingkari, Pepeng
pun terpaksa memberanikan diri dan perasaan tak
karuan.34
Sikap pendiam dan pemalu Pepeng tersebut dikarenakan ia
tak tega jika ia harus mengutarakan maksudnya untuk
bersekolah. Ia tak tega jika tak membantu meringankan beban
orang tuanya dalam mencari nafkah, seperti yang jelas
tergambar dalam kutipan di atas. Pendidikan merupakan hak
seorang anak dalam menjalani kehidupan sedangkan orang tua
berkewajiban memenuhi hak tersebut. Akan tetapi, dalam novel
ini dikisahkan bahwa ayah dari Pambudi, Yudi dan Pepeng ini
seolah tidak merasakan adanya tanggung jawab sebagai orang
tua. Mereka tak memikirkan nasib pendidikan dan masa depan
anak-anak mereka. Hal tersebut dikarenakan faktor ekonomi
yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah anak-anak
mereka sehingga dalam novel ini terkesan tidak mempedulikan
pendidikan anak-anak mereka.
4). Yudi
Yudi yang albino seorang penjual pisang goreng keliling
kampung. Kelainan yang ada pada dirinya membuatnya menjadi
tak percaya diri. Kulitnya yang albino membuatnya merasa
bahwa dirinya bukan manusia normal. Hal itu membuatnya
minder dan tak ingin bersekolah karena hanya akan menjadi
bahan
ejekan
teman-temannya.
Mengenai
penggambaran
fisiknya tersebut, pengarang telah menyampaikan kepada
pembaca secara analitik seperti dalam kutipan di bawah ini:
34
Ibid., h. 78.
56
Sedangkan Yudi albino, tahi lalatnya serasa hampir
copot karena tubuhnya terguncang-guncang akibat
saking kuatnya tawa yang ia keluarkan.35
Namun, rasa tak percaya dirinya ia buang jauh-jauh demi
membantu perekonomian keluarga. Sifatnya yang penyabar
ketika ia diledeki oleh temannya tak membuat ia lantas berhenti
bekerja
menjajakan
pisang
gorengnya
walaupun
sesungguhnya merasa sakit hati.
Aku sendiri setiap sore harus berkeliling kampung
menjual pisang goreng ke rumah-rumah di
Kampung Genteng, tetapi bukan pembeli yang aku
dapat, melainkan ejekan dari orang-orang kampung
yang melihat kulitku seperti sapi, mereka
meneriakiku: „Bule kampung... Bule kampung...‟
Dalam keadaan seperti ini, apa aku harus sekolah
Sal? Kali ini Yudi yang bicara.36
Dari kutipan di atas, Yudi digambarkan merasa minder
dengan kekurangan fisiknya dan ia berusaha mengubah warna
kulitnya menjadi kecoklatan dengan cara berjemur di bawah
terik matahari. Kadang ia berdo‟ a agar k ulitnya berubah
kecoklatan. Berikut ini merupakan kutipan bahwa Yudi
memiliki krisis kepercayaan diri dan berusaha menyemangati
dirinya sendiri.
―Yudi, kamu bisa Yud, kamu ganteng kulitmu
seperti bule, kamu harus percaya diri, penampilanmu
ini yang terbaik, teman-temanmu pasti kalah,‖ Yudi
terus saja menyemangati dirinya dalam hati.37
Yudi berbisik dalam hatinya bahwa kekurangan yang ia
miiki harus ia jadikan kelebihan meskipun ia diejek oleh
temannya. Kemiskinan yang ia alami mengharuskan dirinya
berjualan pisang goreng keliling kampung dan berjualan di
35
Ibid., h. 27.
Prasetyo, Loc.cit.
37 Ibid., h. 114.
36
ia
57
sekolah tempat ia belajar, sehingga ia menjadi bulan-bulanan
ejekan temannya yang berstatus sosial lebih tinggi. Tema minor
berupa diskriminasi dan adanya kesenjangan sosial jelas
tergambar melalui tokoh Yudi. Seperti yang kita ketahui
bersama, bahwa kemiskinan kerap membuat anak-anak di negeri
ini merasa tertekan dan mempengaruhi psikologi mereka
sehingga menjadi salah satu alasan atau pemicu seseorang
melakukan tindakan kriminal. Namun, tidak untuk anak-anak
miskin seperti Pambudi, Yudi dan Pepeng.
Mungkin saja
mereka merasa tertekan dengan keadaan sekeliling mereka
terutama di sekolah, tetapi mereka tetap tak mempedulikannya.
5). Pak Zainal
Pak Zainal adalah Kepala Sekolah di SD Kartini. Sikapnya
yang bijaksana dan tegas membuat para murid sangat kagum
kepadanya. Ia selalu mengutamakan siswa yang tidak mampu
untuk tetap memperoleh pendidikan. Perwatakan Pak Zainal
dalam cerita disampaikan secara analitik oleh pengarang melalui
kutipan berikut:
Sebagai seorang kepala sekolah, ibarat direktur
perusahaan, ia harus lebih bijak mengambil
keputusan. Memang hal yang tidak mudah, ia harus
mempertimbangkan hati nurani dan perasaannya
sebagai referensinya untuk
mendasari setiap
keputusan.38
Secara dramatik, pengarang menyampaikan perwatakan
tokoh Pak Zainal yang bijaksana dan penuh perhatian melalui
dialog antara dirinya dengan Faisal ketika Faisal meminta Pak
Zainal agar mau menerima ketiga temannya untuk bersekolah.
Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
38
Ibid., h. 85.
58
―Kalau boleh Pak, aku titip ketiga temanku yang
akan bersekolah di sini, hanya saja mereka orang
tidak mampu‖.
―Boleh… boleh…., asalkan mereka memang berniat
untuk sekolah‖.39
Dari kutipan di atas, dapat kita simpulkan bahwa watak
Pak Zainal benar-benar berjiwa besar. Ia selalu membantu
orang-orang yang tidak mampu untuk tetap memperoleh
pendidikan. Ia lebih mengutamakan niat dan kesungguhan
siswanya yang benar-benar bertekad untuk sekolah. Sangat
berbeda dengan keadaan masa kini yang lebih mementingkan
uang dibanding nasib anak-anak yang tidak mampu. Selain itu,
Pak Zainal memiliki perasaan yang sangat peka dan rasa simpati
yang tinggi. Ia sempat terharu dan menangis ketika ketiga anak
alam menghadapnya dengan berseragam lusuh, hanya memakai
sendal jepit dan memakai tas yang terbuat dari karung gandum.
Hal itu disampaikan pengarang secara analitik.
Tiba-tiba, setitik air mata menetes di pipinya, ia
pasti terharu dan batu di dalam hatinya akan pecah
mendengar cerita sedih mereka.40
Pandangan yang pertama muncul dalam benak seseorang
mengenai Kepala Sekolah adalah seorang yang dewasa,
bijaksana dan tegar. Namun tidak demikian dengan Pak Zainal.
Ia
memang
Kepala
Sekolah,
tetapi
ia
tak
dapat
menyembunyikan rasa harunya sehingga membuatnya menangis
di depan salah satu muridnya. Sikap dari tokoh Pak Zainal ini
sangat pantas untuk dijadikan teladan bagi pembaca, khususnya
bagi kepala sekolah di lembaga lainnya, agar dapat dijadikan
cerminan bahwa bagi kalangan yang memiliki ekonomi rendah
39
Prasetyo, Loc.cit.
Loc.cit.
40Prasetyo,
59
tetap layak mendapatkan pendidikan dan diharapkan dapat
mencontoh sikap Pak Zainal agar pendidikan di dunia
khususnya di Indonesia merata, dan orang-orang dari kalangan
bawah
tetap
mendapatkan
haknya
untuk
memperoleh
pendidikan. Kehadiran tokoh Pak Zainal sekaligus merupakan
kritik sosial bagi masyarakat Indonesia.
6). Bu Mutia
Bu Mutia adalah sosok guru yang disenangi semua murid,
karena sosoknya yang bijak dan perangainya yang lemah
lembut.
Ia
merasa
bertanggung jawab
penuh
terhadap
pendidikan anak didiknya terutama dalam berakhlak. Maka
ketika seluruh anak sibuk mencemooh Pambudi, Yudi, dan
Pepeng, bu Mutia memberikan nasihat bagaimana berakhlak
terhadap sesama.
Meskipun Yudi begitu, tapi kalian nggak boleh
mengucilkan Yudi, bagaimanapun juga Yudi itu
teman kalian. Di kelas ini, tidak ada perbedaan,
meskipun Kalian anaknya pengusaha, anaknya artis,
atau anaknya dokter, tetapi kalau sudah ada di kelas
ini, semua status itu hilang, kedudukan Kalian sama,
Kalian murid-murid Ibu yang punya hak dan
kewajiban yang sama untuk terus menuntut ilmu.41
Kutipan tersebut merupakan bukti adanya kesenjangan
sosial dalam cerita. Kesenjangan sosial tersebut tergambar
begitu jelas antara si kaya dan si miskin, perbedaan tersebut
ditonjolkan oleh pengarang melalui tokoh ketiga anak alam
ketika berada di kelas dan mendapat hinaan dari temannya yang
kaya. Kesenjangan sosial seperti tergambar di atas pun
seringkali kita jumpai di kehidupan nyata. Bahwa antara si kaya
dan si miskin seolah terdapat jarak yang sangat jauh sehingga
interaksi sosial dalam bermasyarakat pun tidak berjalan
41
Prasetyo, Loc.cit.
60
sebagaimana mestinya. Pengarang menggambarkan sifat Bu
Mutia sebagai seorang yang penyayang dan lemah lembut. Hal
tersebut disampaikan langsung oleh pengarang melalui kutipan
berikut:
Ibu guruku, Ibu Mutia, di kelas satu adalah sosok ibu
yang tak pernah tergantikan. Beliau adalah sosok
penyayang dan lemah lembut. Selama empat puluh
tahun mengabdi, sejak sekolah ini dibangun di masa
awal kemerdekaan, sudah berapa ribu murid yang
diajarkannya membaca. Aku bisa membaca karena
Bu Mutia. Aku benar-benar bangga Bu Mutia.42
Selain itu, bu Mutia juga merupakan guru yang tegas
terhadap anak didiknya. Hal tersebut terbukti ketika bu Mutia
memarahi salah satu murid yang sedang asik dengan
khayalannya bermain video game ketika kegiatan belajar
berlangsung.
―Kau pikir ini sekolah bapak moyangmu apa? Aku
tahu, kau anak bodoh, tapi setidaknya bersikaplah
yang baik agar Ibu bisa simpati padamu.‖ Walaupun
sosoknya lembut, Bu Mutia bisa keras juga,
khususnya untuk anak yang tak bisa diatur.43
Sosok Bu Mutia yang lemah lembut dan tegas membuat ia
disegani oleh semua muridnya. Sebagai seorang guru baik, ia
memegang teguh prinsip dan mengutamakan akhlak. Saat ini,
uang adalah alat mujarab untuk memperlancar semua perkara,
tetapi tidak untuk bu Mutia. Bu Mutia tidak menerima suap dari
salah seorang wali murid yang meminta agar anaknya dinaikkan
kelas.
―Apa tidak ada toleransi sedikitpun…?‖ kata
perempuan itu sambil membuka dompetnya dan
mengeluarkan beberapa lembar uang kertas lima
42
43
Ibid., h. 89.
Ibid., h. 283.
61
puluh ribuan, disorongkan pelan-pelan ke arah Bu
Mutia, tanpa diketahui oleh orang tua murid yang
lain.44
Sikap Bu Mutia dalam kutipan di atas, seolah menjadi
sebuah kritik sosial yang sering terjadi bahwa masih banyak di
negara ini yang menganggap uang adalah segalanya dan mampu
menghalalkan segala cara hanya demi uang. Tidak hanya orang
biasa saja yang melakukan praktik suap tersebut, bahkan orangorang yang berkedudukan tinggi dalam sistem pemerintahan
negara pun masih banyak yang melakukan hal tersebut. Suap
menyuap ini rupanya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat
Indonesia, tak ayal jika banyak warga Indonesia yang
mencontoh praktik ini, karena para pejabat dan anggota
parlemen pun banyak melakukan praktek haram ini. Maka dari
itu, sikap yang dihadirkan pengarang melalui tokoh Bu Mutia ini
sekaligus menjadi teguran keras untuk masyarakat sekitar.
7). Kania
Kania merupakan sosok yang digambarkan secara fisik
cantik, tubuhnya mungil, kulitnya bersih, rambutnya lurus dan
suka dikepang dua. Seperti dalam kutipan yang digambarkan
secara analitik:
Tanpa sadar, mereka menoleh ke arah Kania. Wow,
gadis yang cantik, cerdas, dan lihat.... kepang dua
dengan pita merah hati itu terukir manis di
rambutnya yang hitam. Suatu kesempurnaan yang
tiada bandingannya. Kania.... selain cantik, tetapi
juga berhati emas, dan satu lagi ia berani menantang
arus di tengah dominasi suara-suara minor tentang
anak-anak alam.45
Dari
awal
kemunculan
tokoh
Kania,
pengarang
memunculkan sosok Kania sebagai sosok yang seakan-akan
44
45
Ibid., h. 407—408.
Ibid., h. 97.
62
tepat berada di antara teman-temannya yang berasal dari
kalangan atas, karena cara berpakaiannya yang rapi, juga
sebagai anak yang cerdas. Namun, pengarang memberikan
kejutan kepada pembaca ketika di tengah cerita, pengarang
menjelaskan bahwa sebenarnya sosok Kania adalah sosok yang
sederhana yang tak berbeda keadaannya dengan ketiga anak
alam itu. Hal ini menarik karena pengarang memberikan
gambaran tokoh Kania yang sesuai stereotip anak orang kaya di
satu sisi, namun di sisi lain ia menampilkan Kania secara
kebalikan. Hal ini menimbulkan paradoks.
Seperti kemarin-kemarin, setiap ada temannya yang
singgah entah itu akan belajar kelompok atau minta
diajari pelajaran matematika, mereka akan kaget dan
tak percaya dengan keadaan Kania, maksud utama
teman-teman Kania ke rumahnya jadi lupa jika
melihat keadaan Kania di rumahnya. Kania yang di
sekolah memakai seragam yang putih rapi disetrika,
di rumahnya hanya memakai baju sederhana dengan
warna yang pudar serta gambar bunga yang layu
melekat di bajunya.46
Kania berusaha mencoba keluar dari jerat kemiskinan
dengan mengutamakan pendidikan. Kania adalah salah satu
murid terpandai di kelas satu SD Kartini. Kania berjiwa baik,
Meskipun ia murid cerdas, namun ia tidak sombong kepada
temannya. Kania adalah malaikat bagi Pambudi, Yudi dan
Pepeng ketika mereka pertama kali memasuki kelas, ketika
mereka dihina oleh anak-anak kaya seperti Rena dan Guruh,
Kanialah yang membela ketiga anak alam itu.
―Aku tak membela siapa -siapa, aku hanya membela
kebenaran. Sudahlah omongan anak-anak jangan
46
Ibid., h. 293.
63
dimasukkan ke hati ya, anak-anak kalau bercanda
memang suka kelewatan‖.47
Sosok Kania yang baik hati tersebut telah membuat ketiga
anak alam itu menaruh hati padanya. Selain digambarkan
sebagai sosok yang baik hati, Kania juga digambarkan kreatif
yang memotivasi Pambudi ketika ia menyatakan cinta kepada
Kania dan Kania pun memberinya syarat sebagai motivasi
Pambudi dalam belajar.
―Terserah kau, itu hakmu, tetapi sebaiknya kau
urungkan perasaanmu itu, sebab aku nggak bisa
membalas cintamu, lagian aku nggak suka sama
orang bodoh, kalau kau suka sama aku, kamu harus
tahu diri, belajar yang betul, dan yang penting kau
harus bisa membaca, menulis, dan berhitung‖.48
Kata-kata Kania tersebut merupakan motivasi untuk
Pambudi bahwa jika ia ingin mendapatkan hati Kania maka ia
harus pandai membaca, menulis, dan berhitung. Di dalam proses
belajar, tidak hanya niat yang diperlukan, tetapi juga motivasi
berupa cinta. Kania memberikan motivasi positif kepada
Pambudi. Kania adalah anak yang cerdas, bahkan dapat
dikatakan sebagai anak yang jenius.
Sekolah Kartini punya aset mahal yang harus
dipertahankan, dialah Kania, anak kelas satu yang
punya banyak keistimewaan. Kami, para guru sudah
membulatkan keputusan kalau Kania ini tak hanya
pintar, ia jenius, ia melampaui zamannya,
seharusnya ia dilahirkan enam atau tujuh tahun
sebelumnya karena kulihat ia punya kemampuan
melebihi anak-anak seusianya.49
Kecerdasan yang dimiliki oleh Kania sangat jarang
dimiliki oleh anak seuasianya, sehingga ia menjadi aset untuk
47
Prasetyo, Loc.cit.
Prasetyo, Loc.cit.
49 Ibid., h. 443.
48
64
sekolahnya. Kania adalah anak yang berasal dari kalangan
bawah sama seperti ketiga anak alam, seorang anak yang dapat
dikatakan miskin, sangat terbatas dalam fasilitas yang dapat
menunjang kecerdasannya, namun tak menghalanginya untuk
menjadi anak yang cerdas.
b. Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis adalah tokoh yang bertentangan dengan
tokoh protagonis, tokoh antagonis ini selalu menghalangi dan
melawan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh protagonis, serta
menyebabkan terjadinya konflik sehingga cerita menjadi lebih
hidup. Adapun tokoh antagonis tersebut di antaranya :
1) Rena
Rena adalah teman ketiga anak alam yang bersekolah di
SD Kartini. Rena tidak seperti teman lainnya yang mau
menerima kehadiran ketiga anak alam di kelas mereka. Rena
selalu memandang rendah Pambudi, Yudi dan Pepeng. Sejak
pertama kali ketiga anak alam itu menginjakkan kaki di kelas,
Rena lah yang paling semangat menghina anak Gedong Sapi
tersebut.
―Ooo, jadi kalian anak pembantu? Wah, kebanyakan
murid-murid di sini meskipun bukan dari orang
kaya, tetapi kita bukan anak seorang pembantu
seperti kalian‖.50
Dari kutipan di atas, jelas terlihat sifat angkuh yang
dimiliki Rena. Ia tidak ingin bergaul dengan Pambudi, Yudi dan
Pepeng. Ia hanya ingin berteman dengan anak yang sebanding
dengannya. Hal tersebut memperjelas adanya kesenjangan sosial
dalam bergaul. Kesenjangan sosial tersebut tidak menimbulkan
tekanan batin bagi ketiga anak alam itu. Sikap Rena yang lain
50
Ibid., h. 96.
65
yang tak pantas dicontoh yaitu ketika ia mencontek pada saat
ujian berlangsung. Sikap yang dilakukan Rena jelas merupakan
contoh yang sangat tidak baik.
Hingga tiba-tiba Bu Mutia menangkap gerakan yang
aneh dari Rena, ia tampak menggeser lembar
jawabannya ke sebelah kanan sedikit, tetapi
pandangannya selalu tertuju ke tengah. Bu Mutia
mendongak sedikit dan melhat sebuah tisu kecil
berada di atas meja. Bu Mutia curiga, tak biasabiasanya tisu dibentangkan begitu rupa, dan Rena,
anak penggemar cerita silat itu
terus saja
memandang tisu di depannya seperti mengeja aksara
yang ada.51
Selain digambarkan sebagai tokoh antagonis, pengarang
juga membuat tokoh Rena sebagai tokoh bulat. Tokoh bulat
yaitu tokoh yang memiliki watak berubah-ubah. Pengarang
membuat perwatakan Rena sebagai tokoh yang memiliki watak
berubah-ubah, mulai dari tokoh yang berwatak jahat, lalu baik,
lalu jahat kembali, begitu seterusnya hingga ia benar-benar
tersadar. Penggambaran tokoh Rena tersebut dapat kita lihat
pada kutipan berikut.
― Iya, tapi yang jelas orang miskin seperti kalian
tidak pantas sek olah di sini,‖ sambil berkata begitu
Rena tengah asyik membolak-balik cersil Kho Ping
Hoo-nya......52
Pengarang memperkenalkan watak Rena pada pembaca
diawali dengan wataknya yang sombong ketika Pambudi, Yudi
dan Pepeng mulai bersekolah dan bergabung di kelas Rena.
Namun, pada bagian selanjutnya pengarang mengubah watak
Rena menjadi watak yang mudah tersentuh hatinya dan seolah
mulai menyadari kesalahannya, seperti pada kutipan berikut:
51
Ibid., h. 379.
Loc.cit.
52Prasetyo,
66
Yudi tersenyum penuh kemenangan, Pepeng
celingukan memperhatikan teman-temannya yang
tertunduk dengan segebung rasa bersalah yang
menghimpit dadanya. Rena, Wisnu, Fajar, Guruh,
dan semua murid kelas 1-2 diam tak bergerak, hanya
sesekali tubuh mereka yang terguncang-guncang,
gemetar menahan kesedihan, mereka menjelma
menjadi batu, menangis karena airmata kedukaan itu
sumpyug meruah melalui sudut kecil di kelopak
matanya.53
Penggambaran tokoh Rena yang pada awalnya sombong
tiba-tiba berubah menjadi tokoh yang menyadari kesalahannya
ketika bu Mutia menasehatinya karena ia dan teman-temannya
menghina Pambudi, Yudi dan Pepeng. Tak lama tokoh Rena
dengan watak baiknya yang mau mengakui kesalahan ternyata
pada bagian tengah pengarang mulai memunculkan kembali
watak semula Rena yaitu watak sombong. Dapat dilihat pada
kutipan di bawah ini:
―Ah, masa bodoh. Anak -anak kampung itu membuat
selera belajarku turun, mataku seperti mengganjal
sesuatu, hidungku seperti tidak bebas menghirup
udara di kelas ini, ada bau-bau yang bikin aku sesak
napas, telingaku juga nggak terbiasa mendengar
bunyi-bunyi asing yang membuatku harus
menutupnya. Dan itu semua disebabkan oleh
kedatangan anak-anak kampung itu, anak-anak sok
pintar dan tukang cari perhatian‖.54
Tidak lama setelah Rena dengan watak sombongnya
dihadirkan oleh pengarang, lalu Rena kembali tersadar akan
kesalahannya dan kembali menangis, sama seperti pada bagianbagian sebelumnya.
Aneh, Rena memang aneh, sehabis memaki ia
menangis, sehabis ia menang melawan Kania dan
anak-anak alam itu seharusnya ia bergembira, tetapi
53
54
Ibid., h. 266.
Prasetyo, Loc.cit.
67
ia justru menangis tak pantas, menangis seperti anak
kecil yang cengeng.55
Rena kembali mengakui kesalahannya dan menangis
karena telah disadarkan oleh tokoh Kania. Setelah pengarang
membuat pembaca merasa lega karena tokoh Rena yang berubah
menjadi baik, ternyata justru tokoh Rena kembali dihadirkan
dengan watak angkuhnya.
―Teman? Ih amit -amit deh, punya teman seperti
kamu.‖ Rena kemudian membalikkan badan dan
segera menutup pintu. Lantas, membantingnya
keras-keras‖.56
Sosok Rena juga digambarkan sebagai seorang yang
pemalas, seperti terlihat pada kutipan:
―Itu karena kau malas, tidak punya niat, padahal
belajar menghafal dengan menulis itu lebih cepat
masuknya daripada belajar seperti orang kerasukan
setan yang bicaranya ngelantur tak karuan‖.57
Penggambaran watak Rena yang berubah-ubah mampu
membuat
pengarang.
pembaca merasa dimainkan perasaannya oleh
Selain
itu
tokoh
bulat
(kompleks)
sering
memberikan kejutan-kejutan karena muncul watak yang tak
terduga secara mendadak, sehingga dapat memberikan suasana
cerita menjadi terpengaruh karenanya.
2) Pak Cokro
Pak Cokro adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat
Kampung Genteng sebagai orang pintar atau dukun. Pak Cokro
merupakan provokator dalam penyerangan yang menghancurkan
Gedong Sapi. Pak Cokro lah yang menghasut dan membohongi
pemuda-pemuda pengangguran dan bodoh untuk mau mengikuti
55
Ibid., h. 327.
Ibid., h. 343.
57 Ibid., h. 382.
56
68
perintahnya menghancurkan Gedong Sapi. Pak Cokro memiliki
sifat penghasut. Hal itu disampaikan pengarang secara analitik
dalam kutipan berikut:
Mereka yang sama-sama berdiri dihadapanku kini
adalah segerombolan anak muda yang tak tahu apaapa, tetapi diprovokasi oleh Pak Cokro untuk
menyerang Gedong Sapi, terbukti mereka seperti
kerbau dicocok hidungnya yang menurut saja apa
yang dikatakan dukun itu.58
Ia adalah seorang dukun yang selalu mengaitkan segala
peristiwa yang terjadi dengan hal-hal gaib.
Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia
sudah tersohor sebagai tabib pengobatan. Ia
seringkali mengobati pasien dengan air yang
disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia
berkumur-kumur dengan air kembang setaman,
dirapalkan mantra, barulah molekul-molekul air
berubah.59
Sejak zaman dahulu hingga saat inipun masih banyak
orang yang mempercayai dukun, terlebih mereka yang tinggal di
tanah Jawa dengan tradisi yang sangat kental, salah satunya
ialah mempercayai dukun sehingga dalam cerita ini pengarang
mencoba menghadirkan tradisi tersebut. Dengan profesinya
sebagai tabib yang disegani masyarakat, membuat ia haus
sanjungan dan bersifat sombong.
Namanya akan semakin membumbung, sepertinya
kepalanya mendadak membesar. Ya, meskipun Pak
Cokro sudah dibilang bisa membaca, namun itu tak
merubah sifatnya yang gandrung sanjungan, gila
hormat, karena ia punya kemampuan baru yang
jarang dimiliki oleh orang-orang tua di Kampung
Genteng.60
58
59
Ibid., h. 159.
Ibid., h. 160.
60 Ibid., h. 217.
69
Sifat haus akan sanjungan seseorang memang bukanlah
hal yang aneh dalam kehidupan bermasyarakat. Masih banyak di
sekitar kita orang-orang yang menginginkan dirinya dipandang
dalam masyarakat dan menjadikannya pribadi yang sombong.
3) Mat Karmin
Mat Karmin secara fisik digambarkan sebagai seorang
laki-laki yang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya bongsor, jakun
dan bulu sudah tumbuh yang menandakan ia sudah dewasa.
Wajahnya tirus dengan tonjolan tulang pipi dan geraham yang
bergemelutukan. Penggambaran fisiknya tersebut disampaikan
pengarang secara analitik. Perhatikan kutipan berikut:
Seorang laki-laki yang dilihat dari wajahnya,
usianya tak lagi muda, sekitar 30-an tahun lebih,
senyum-senyum sendiri sambil tertidur di rumput
perdu, tubuhnya terguncang-guncang oleh tawa yang
tak bisa ditahan dari diafragma perutnya.61
Selain itu, Mat Karmin adalah seorang pebisnis mainan
anak yang ulung. Ia selalu tahu kegemaran anak-anak dan
musim yang sedang digemari oleh anak-anak. Mat Karmin
hidup sebatangkara semenjak orang tua angkatnya meninggal
ketika ia masih kanak-kanak. Ia diwarisi sebuah rumah oleh
orang tua angkatnya, sehingga ia lebih suka menyendiri dalam
rumah.
Masa
kanak-kanakanya
telah
direnggut
kesendiriannya sehingga ia menjadi pribadi yang pendiam.
Karena ia akhirnya hidup sebatangkara, Mat Karmin
hanya berteman dalam kesunyian. Tiga tahun
pertama dihabiskan hidupnya sendirian, ia menjadi
manusia kamar, pribadi introvert yang tak mengenal
dunia luar selain kamarnya.62
61
62
Ibid., h. 227.
Ibid., h. 55.
oleh
70
Masa kanak-kanak adalah masa yang harus dinikmati
dengan suka cita. Masa itulah mereka akan menghabiskan waktu
hanya dengan bermain. Namun tidak untuk Mat Karmin, lelaki
penyendiri ini lebih suka menikmati masa kecilnya dengan
mengurung diri di kamar, karena hal itu membuatnya merasa
damai. Ia hanya mengharapkan belas kasihan dari para
tetangganya yang seringkali memberinya makan. Akibat dari
perbuatannya yang mengungkung diri dalam kamar selama
bertahun-tahun, membuatnya kesulitan berbicara karena ia sama
sekali tidak melakukan komunikasi dengan siapapun. Efek yang
sangat buruk pun terjadi pada pribadi Mat Karmin. Ketika ia
tumbuh dewasa, ia justru tertarik dengan dunia anak-anak yang
selama ini tak ia temui dalam masa kecilnya. Ia lebih akrab
dengan anak-anak kecil dibanding bergaul dengan anak
sesusianya. Masyarakat menganggap Mat Karmin tak pantas
bermain dengan anak-anak, karena fisiknya menunjukkan ia
telah menjadi pribadi yang dewasa.
Bagiku, Mat Karmin hanyalah anak kecil yang
terperangkap dalam tubuh orang dewasa, masa
kecilnya terlihat kurang bahagia, dibandingkan aku
maupun anak Gedong Sapi.63
Melalui tokoh Mat Karmin ini timbullah paradoks, karena
melalui fisiknya yang besar serta berumur 30-an, merupakan
suatu tanda bahwa seseorang telah dewasa. Namun, tidak
demikian dengan Mat Karmin, ia justru seolah seperti anak kecil
dan bergaul dengan anak kecil, karena masa kecilnya dulu
kurang bahagia. Mat Karmin juga seorang yang licik dan mau
menang sendiri. Seperti tergambar dalam kutipan di bawah ini:
Tapi, Mat Karmin tak peduli, ia terus berusaha
merampas kepemilikan kami, kadang mengutus anak
63
Ibid., h. 56.
71
seusia SMP untuk merebut kembali layang-layang
yang telah kami miliki, kadang ia juga perampas itu
sendiri. Mat Karmin memang licik, dan ingin untung
dua kali.64
Sifat liciknya tersebut juga menghadirkan paradoks bagi
pembaca, karena Mat Karmin seharusnya mampu mengayomi
anak-anak di bawah umurnya, bukannya bersikap jahat atau
licik. Akibat latar belakang kehidupannya yang penyendiri dan
sering bergaul dengan anak-anak kecil, belakangan diketahui
bahwa ia ternyata seorang pedofil. Semiun menjelaskan bahwa
pedophilia berasal dari kata pais, paios = anak; phileo =
mencintai. Pedophlia berarti penyimpangan seksual di mana
orang dewasa baik pria maupun wanita mencari kepuasan
seksual dengan anak-anak kecil, dan sebagian pelakunya adalah
seorang pria.65 Seperti yang dilakukan oleh tokoh Mat Karmin.
Laboratorium forensik kepolisian berhasil
mengungkap satu kejahatan kriminal yang dilakukan
oleh seorang
pedophilis. Mat Karmin begitu
mengagetkan karena lelaki pendiam itu punya
kecenderungan aneh. Ia tidak normal karena
menyukai anak-anak kecil untuk dijadikan objek
birahinya.66
Kutipan di atas memberikan kejelasan mengenai perilaku
Mat Karmin yang aneh, di satu sisi Mat Karmin seorang yang
pendiam, namun di sisi lain ia menyimpan perilaku menyimpang
yang sangat merugikan orang lain, terlebih pada anak-anak kecil
yang tak berdosa.
4) Yok Bek
Yok Bek adalah seorang peternak sapi yang ulet. Ia
pemasok susu sapi terkenal se-Jawa Tengah. Ayah dari
64
Prasetyo, Loc.cit.
Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 2, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 49.
66 Prasetyo, Op.cit., h. 235.
65
72
Pambudi, Yudi, dan Pepeng sudah lama bekerja pada Yok Bek.
Yok Bek memiliki watak pemarah dan berlaku sewenangwenang. Tak jarang ia memaki ketiga ayah anak alam itu,
walaupun hanya karena masalah sepele.
Kadang Yok Bek — perempuan Cina itu —berdiri dan
berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya,
dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan
kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku
tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak.67
Perempuan uzur dengan kulit tangan yang mulai keriput
ini digambarkan oleh pengarang sebagai sosok yang berkedok
baik. Padahal, Yok Bek adalah keturunan Cina yang ingin
menghancurkan Gedong Sapi dan ingin menghancurkan
generasi penerus bangsa. Ia hanya menginginkan lahan di
Gedong Sapi untuk tempat peternakan sapinya. Namun,
peternakan Sapi milik Yok Bek justru membuat warga merasa
jengah karena bau kotoran sapi, dan sama sekali tak membawa
untung bagi warga. Perhatikan kutipan di bawah ini:
―Tetapi, selama ratusan tahun di Kampung Genteng,
apa yang bisa Engkoh lakukan untuk warga? Nggak
ada kan? Apa Engkoh pernah menyumbangkan
susu-susu sapi Engkoh untuk perbaikan gizi sehari
saja, agar anak-anak kampung bisa jadi pintar?‖.68
Sifat pelit yang dimiliki Yok Bek serta peternakan sapi
yang merugikan warga membuatnya akan segera diusir dari
Kampung. Sifat pelitnya tersebut merupakan paradoks bagi
warga Kampung Genteng, seharusnya seseorang yang memiliki
tingkat ekonomi tinggi harus pintar berbagi dengan sesama,
bukan justru mengabaikan mereka yang tidak mampu. Sifat
jahat Yok Bek nampak jelas terlihat ketika Pambudi, Yudi dan
67
68
Ibid., h. 17.
Ibid., h. 125.
73
Pepeng yang tak lain anak dari orang-orang yang bekerja pada
Yok Bek mulai bersekolah. Ia tampak geram melihat anak-anak
itu mengenyam pendidikan.
―Ah, sialan, rupanya anak -anak itu sekarang sudah
sekolah, gawat, benar-benar gawat, kalau mereka
sekolah, kemudian menjadi pintar...‖.69
Dari kutipan di atas terlihat bagaimana Yok Bek merasa
cemas karena anak-anak Gedong Sapi menjadi penerus bangsa.
Ia menginginkan anak-anak Gedong Sapi tetap buta akan
pendidikan. Orang-orang seperti Yok Bek adalah penjajah
ekonomi bangsa Indonesia. Ia menginginkan usaha di tanah
Indonesia, karena Indonesia memiliki lahan yang kaya dan luas,
namun mereka tidak menginginkan warga Indonesia berjaya dan
turut menikmati hasil.
―Tidak! Hanya saja kau harus tahu tabiat orang orang semacam dia itu tidak suka kalau ada pribadi
yang pintar, biar bisa dibodohi terus‖.70
Perkara itulah yang membuat Yok Bek merasa takut
dengan bersekolahnya ketiga anak alam, sehingga Yok Bek
menghasut ayah dari ketiga anak alam itu agar menghentikan
sekolah anak-anak mereka. Seperti yang dikatakan Yok Bek
pada kutipan berikut :
―Coba dekati anak kalian, dan bicarakan baik -baik,
sebaiknya sekolahnya tak usah diteruskan, nanti saja
kalau sepulang anakku dari Australia untuk
meninjau peternakan sapi di sana, biarlah aku
omong-omong dengannya untuk memikirkan nasib
pendidikan anak-anak kalian‖.71
69
Ibid., h. 128.
Ibid., h. 133.
71 Prasetyo, Loc.cit.
70
74
Sikap Yok Bek yang coba menghasut ketiga ayah anak
alam tersebut telah meracuni pikiran mereka yang memang ayah
ketiga anak alam tersebut mudah sekali terpancing oleh Yok
Bek, karena pendidikan mereka yang rendah tersebut.
Demikianlah penjelasan mengenai tokoh dan penokohan
dalam novel OMDS. Dapat disimpulkan bahwa tokoh protagonis
dalam cerita di antaranya adalah Faisal yang merupakan tokoh
sentral, selanjutnya Pambudi, Yudi, Pepeng, Pak Zainal, Bu
Mutia, dan Kania. Mereka merupakan tokoh yang kehadirannya
memberikan nilai positif melalui karakter yang mereka miliki.
Adapun tokoh antagonis dalam cerita di antaranya Rena, Pak
Cokro, Mat Karmin, dan Yok Bek. Mereka adalah tokoh-tokoh
yang ditampilkan dengan menonjolkan karakter sebagai
penentang dari tokoh protagonis.
Dari penjelasan mengenai tokoh dan penokohan, dapat
diketahui bahwa tokoh protagonis seperti Faisal, Pambudi, Yudi,
dan Pepeng telah meraih kesuksesan karena kesungguhan
mereka, sedangkan tokoh antagonis seperti Rena, Mat Karmin,
Yok Bek, telah menerima balasan dari perbuatan mereka yang
tidak baik. Pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa
seseorang yang bersikap baik akan memperoleh kebahagiaan,
begitupun sebaliknya. Maka dari itu, watak yang ditampilkan
para tokoh dapat diharapkan menjadi pelajaran bagi pembaca.
Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, terdapat
beberapa tokoh lainnya yang memang tidak ditampilkan dalam
analisis karena kehadiran tokoh tersebut hanya sebagai
pendukung jalannya cerita dan tidak memiliki pengaruh yang
besar terhadap penceritaan. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya:
Guruh, Kharisma, Kiai Khadis, Ustadz Muhsin, Koh A Kiong,
Bang Ujai, dan Minto.
75
3. Latar
Latar yang tergambar dalam novel ini mengacu pada tempat dan
waktu yang terdapat dalam novel. Latar seolah memberikan gambaran
jelas sehingga memberikan kesan realistis kepada pembaca.
a. Latar tempat
Latar tempat mengacu pada tempat atau letak geografis
yang terdapat dalam cerita. Adapun latar tempat utama dalam novel
ini yaitu di Semarang yang merupakan ibu kota Jawa Tengah dan
masih sangat kental dengan nuansa Tionghoa, karena sejak zaman
dahulu hingga saat ini masih banyak terdapat Tionghoa yang
menetap di Semarang. Di daerah ini terdapat daerah khusus untuk
Tionghoa yang disebut kampung pecinan.72 Hal tersebut terbukti
dari puluhan bangunan klenteng, rumah ibadah Tionghoa serta
rumah-rumah khas Tionghoa dengan arsitektur khas bangunan kota
lama. Seperti rumah seorang Tionghoa yang ada dalam novel
bernama
Yok
Bek,
seorang
keturunan
Tionghoa,
seolah
menunjukkan bahwa memang latar tempat dalam novel terdapat
pada aslinya. Seperti dalam kutipan berikut:
Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama Kota
Semarang yang berasitektur campuran Italia dan Cina
itu berdiri megah, berseberangan dengan rumah ketiga
temanku yang teramat kumuh, pengap, kotor, dan
sempit.73
Kutipan di atas memberikan bukti bahwa hingga saat ini
masih ada Tionghoa yang menetap di Semarang dengan bukti
sejarah berupa bangunan rumah khas kota lama Semarang. Rumah
Yok Bek yang megah serta perkampungan kaum Tionghoa yang
tinggi tersebut seolah menjadi pembatas hubungan sosial antara
72Sejarah
Semarang, diunduh pada 1 Desember 2013, Pukul 15.00, dari
http://sejarahsemarang.wordpress.com/tionghoa/
73 Prasetyo, Op.cit, h. 18.
76
Tionghoa yang menutup diri dengan warga pribumi. Keadaan
tersebut semakin memperjelas kesenjangan sosial yang terjadi.
Orang-orang Cina memang sengaja menjaga jarak
dengan kami, orang Jawa. Budaya mereka sangat
tertutup, terhalang oleh tembok-tembok tinggi, ghettoghetto yang sengaja dibangun untuk menutup diri dari
dunia luar.74
Latar yang digunakan dalam novel ini merupakan latar
tipikal, karena daerah Kampung Genteng, Semarang lebih sering
dimunculkan disertai dengan penjelasan mengenai kekhasan kota
Semarang. Seperti kutipan berikut:
Kampung Genteng, itulah asal mula nama kampungku, entah
dari mana nama itu berasal, konon menurut ayahku,
kampungku itu pemasok genteng yang tiada duanya di
Semarang.75
Latar tempat yang terletak di Semarang ini semakin
memperkuat karakter masing-masing tokoh. Latar Semarang yang
dahulunya identik dengan Islam Kejawen, tetap tergambar dalam
cerita yang ada dalam novel OMDS, sehingga membentuk karakter
tokoh. Kepercayaan masyarakat Islam Kejawen ini mengakibatkan
masyarakat sebagian Semarang percaya dengan kemampuan
dukun. Dari penjelasan tersebut, dapat terlihat bagaimana
keterkaitan antara latar Semarang dengan karakter tokoh yang tidak
dapat dipisahkan.
b. Latar Waktu
Latar waktu dalam novel ini tidak dijelaskan secara langsung
oleh pengarang. Namun, dikaitkan dengan masa reformasi dan
dapat diperkirakan yaitu setelah reformasi, cerita ini terjadi pada
tahun 2000-an. Latar waktu selebihnya dijelaskan melalui
74
75
Ibid., h. 19.
Ibid, h. 11.
77
pergantian waktu seperti pagi, siang, sore dan malam. Sejak zaman
dahulu, kota Semarang memang dikenal sebagai kota pecinan, yaitu
kota yang banyak dihuni oleh warga Tionghoa. Hingga kisaran
sampai tahun 2000, masih ada warga Tionghoa yang mendiami
kota Semarang. Seperti yang terdapat dalam novel, Yok Bek
tinggal di Semarang sejak tahun 1990-an, sebelum reformasi
sampai setelah reformasi (1998), karena setelah itu warga asli kota
Semarang mulai menunjukkan sikap berani melawan kepada
Tionghoa setelah sebagian Tionghoa mulai pergi dari kota
Semarang.
Yok Bek merasa terusik dengan tidur siangnya akibat
polah anak-anak alam yang cekikikan dalam bekerja
membantu ayah mereka di dalam kandang sapi.
Matanya tak juga terpejam, pikirannya masih melayang
kemana-mana memikirkan nasib kehidupannya yang
sungguh tragis. Tempat usahanya beternak sapi mulai
diganggu warga, mereka mulai berani menganggapnya
bukan tokoh penting dalam Kampung Genteng setelah
reformasi 1998.76
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa sebelum reformasi,
warga Semarang seolah digambarkan sebagai warga yang takut
pada Tionghoa, yang menguasai perekonomian warga pribumi.
Namun setelah reformasi pada tahun 1998, warga Semarang mulai
berani berontak dan tersadar bahwa mereka hanya diperbudak dan
menjadi kaki tangan Tionghoa, khususnya Yok Bek seperti dalam
cerita. Hal tersebut terlihat melalui kutipan berikut:
―Mau beritahu gimana, mereka adalah orang -orang terpelajar
yang belajar dari sejarah, orang-orang Cina yang sepertinya
bersahabat itu sebetulnya adalah penjajah ekonomi.
Bukannya mau ngritik nih Koh, mungkin sejarah Koh Yok
Bek berakhir sampai di sini. Engkoh harus puas, sudah lama
76
Ibid., h. 123.
78
sekali Engkoh hidup dan berbaur di kampung ini tanpa
pernah terganggu...‖77
Hal tersebut merupakan puncak permasalahan yang dialami
antara warga pribumi dengan Yok Bek. Bukti lainnya yang
menunjukkan bahwa latar waktu terjadi kisaran tahun 2000an
adalah dengan adanya alat elektronik seperti video game, karena
pada tahun 2000an telah terjadi kemajuan yang sangat pesat,
khususnya dibidang elektronik.
4. Alur
Alur digunakan untuk menunjukkan serangkaian peristiwa yang
saling berkaitan secara logis dan disebabkan oleh suatu tindakan. Dalam
hal ini, alur akan mengarah pada sekuen (urutan tekstual) dan hubungan
sebab akibat (urutan logis). Urutan tekstual adalah urutan cerita
berdasarkan analisis sekuen seperti yang ditampilkan dalam urutan satuan
teks. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Todorov bahwa karya sastra
di masa lalu disusun sesuai dengan urutan logis atau yang biasa disebut
dengan hubungan sebab akibat (kausalitas) kausalitas sangat erat
hubungannya dengan tempo (waktu).78 Maka penulis menganalisis alur
beradasarkan teori Todorov. Berdasarkan jumlah sekuennya maka novel
OMDS memiliki 36 sekuen yang telah terlampir. Adapun analisis alur
dalam novel ini terdapat tiga tahapan, yaitu tahap awal, tahap tengah, dan
tahap akhir.
Tahapan awal alur dalam novel ini yaitu diawali dengan tahap
pengenalan. Tahap perkenalan dibagian awal ini terlihat mulai dari sekuen
1—10. Pada sekuen 1 pengarang mengantarkan pembaca untuk mengenali
bagaimana suasana dalam cerita yang digambarkan dengan suasana
kampung yang dipenuhi dengan keceriaan anak-anak dalam bermain
layang-layang. Pada sekuen 1(a)— 10, pengarang mulai memperkenalkan
77
78
Ibid., h. 126.
Todorov, Op.Cit. h. 41
79
para tokoh di antaranya toko Faisal, Pambudi, Yudi, Pepeng, Candil, Ki
Hajar Ladunni, dan Mat Karmin. Tokoh-tokoh ini muncul pada tahapan
awal. Pengarang mendeskripsikan Faisal sebagai seorang anak kelas dua
Sekolah Dasar yang sangat peduli terhadap pendidikan teman-temannya.
Tokoh Pambudi, Yudi dan Pepeng merupakan teman-teman Faisal yang
dikenal dengan anak alam karena mereka tidak memperoleh pendidikan
dan hanya bekerja membantu ekonomi keluarga. Kehidupan miskin yang
dialami ketiga anak itu yang menyebabkan mereka merasa tidak mungkin
untuk dapat bersekolah. Selanjutnya pengarang menghadirkan tokoh
Candil dan Ki Hajar Ladunni, Candil merupakan anak Ki Hajar Ladunni,
seorang pakar pembuat layang-layang. Candil anak yang cerdas meskipun
ia tinggal di hutan daerah pedalaman. Pada bagian awal ini juga terdapat
pengenalan tentang latar terjadinya cerita dalam novel ini, yaitu di Gedong
Sapi, Kampung Genteng, Semarang.
Selanjutnya pada bagian tengah alur terdapat pemunculan konflik,
peningkatan konflik, dan klimaks atau puncak permasalahan. Awal
munculnya konflik terjadi justru ketika Pambudi, Yudi dan Pepeng mulai
pertama kali sekolah. Ketika mereka mulai bersekolah, mulailah muncul
konflik yaitu konflik batin yang dialami ketiga anak alam tersebut yakni
berupa hinaan dari teman-teman sekelasnya yang merasa lebih kaya
dibanding mereka, sebagaimana pada sekuen 12. Namun, hinaan yang
mereka terima tidak menjadikan mereka putus asa. Justru mereka
menjadikan itu sebagai tantangan dan mereka akan membuktikan bahwa
mereka juga layak untuk sekolah di tempat yang sama. Terlebih ketika
mereka bertemu seorang murid cantik bernama Kania, mereka terpana oleh
kecantikan gadis tersebut ketika Kania membela mereka dari hinaan teman
lainnya (sekuen 13).
Bagian tengah alur yang berisi peningkatan konflik yaitu ketika
warga Kampung Genteng mulai emosi karena peternakan milik Yok Bek
tak menguntungkan warga dengan bau kotoran sapi dari peternakan
miliknya dan warga tak pernah mendapatkan sumbangan susu sekedar
80
untuk perbaikan gizi anak-anak mereka (sekuen 14). Selanjutnya pada
sekuen 15 terlihat Yok Bek mulai gelisah ketika mendengar anak-anak
alam mulai bersekolah. Ia takut jika anak-anak itu sekolah maka mereka
akan menjadi pintar dan mengambil alih usahanya, ia berharap agar orangorang Kampung Genteng tetap bodoh karena akan lebih mudah baginya
untuk membodohi warga pribumi.
Konflik pun mencapai klimaks ketika Yok Bek menghasut ayah
Pambudi, Yudi dan Pepeng agar menghentikan sekolah anak-anaknya dan
menuyuruh anak-anak itu membantu bekerja di peternakan Yok Bek
(sekuen 16). Ia mengumbar janji pada ketiga ayah anak alam itu dengan
menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang lebih bagus jika anakanak mereka bersedia berhenti dari sekolah dan kembali mengabdi pada
Yok Bek. Pada sekuen 17 akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng berhenti
dari sekolah dan kembali bekerja membantu ayah mereka. Puncak masalah
yang lainnya yaitu ketika emosi warga sudah tak terbendung lagi sehingga
warga membakar habis rumah Yok Bek (sekuen 18). Akibat dari kejadian
tersebut, akhirnya ayah ketiga anak alam itu pun berhenti dari
pekerjaannya sebagai peternak di peternakan milik Yok Bek, dan anakanak alam itu pun entah bagaimana nasibnya semenjak putus sekolah
sehingga Faisal pun kehilangan kabar mereka (sekuen 24). Klimaks dalam
cerita semakin diperkuat dengan adanya konflik di Kampung Genteng
yaitu seorang warga bernama Mat Karmin yang telah menyodomi anakanak kecil Kampung Genteng karena ia memiliki penyakit pedophilia
(sekuen 29-a). Kejadian itu membuat warga menjadi murka dan
melaporkan tindakan kejamnya ke polisi dan warga pun berasumsi bahwa
tindakan kriminal Mat Karmin akibat dari ia bisa membaca dan
memanfaatkan itu untuk mengelabui anak-anak (sekuen 30-c). Faisal pun
menjadi takut dan gelisah kalau ia akan menjadi sasaran warga karena ia
juga terlibat dalam membantu Mat Karmin belajar membaca.
Tahapan akhir alur dalam novel yaitu tahap penyelesaian. Peristiwa
yang mulai menunjukkan pada tahap penyelesaian konflik terlihat pada
81
sekuen 31 yaitu ketika Pambudi, Yudi dan Pepeng kembali ke sekolah.
Mereka kembali ke sekolah karena mereka terus diberi motivasi oleh
Faisal tentang pentingnya sekolah, dan demi Kania tentunya, gadis kecil
yang mereka sukai sejak awal masuk sekolah. Cerita dalam novel juga
diakhiri dengan adanya Ujian Akhir Semester (sekuen 34). Dilanjutkan
dengan pembagian rapor. Pada bagian pembagian rapor, pengarang telah
menyampaikan pesan secara tersirat bahwa bagi mereka yang sungguhsungguh dalam belajar maka akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Seperti Rena, anak orang kaya yang ketahuan mencontek pada saat
ulangan akhirnya tidak naik kelas (sekuen 35.b) sedangkan Pambudi, Yudi
dan Pepeng yang merupakan anak-anak alam yang miskin namun karena
kesungguhannya
akhirnya
mereka pun naik kelas dengan nilai
memuaskan, begitu pula dengan Faisal dan Kania (sekuen 36).
Dari penjelasan mengenai penahapan alur di atas, maka alur dalam
novel merupakan alur maju karena ceritanya bergerak maju mulai dari
perjuangan Faisal mengajak temannya sekolah hingga ia dan temantemannya berhasil dalam pendidikan dan naik kelas. Untuk memperkuat
mengenai alur, maka selain adanya alur tekstual berupa sekuen, alur juga
harus memiliki urutan logis yang berdasarkan pada hubungan sebab akibat
(kausalitas). Berdasarkan analisis urutan logis ini dapat diketahui apakah
antara satuan-satuan naratif teks novel OMDS ini memiliki hubungan
logis atau tidak. Berikut ini hubungan sebab akibat urutan alur dalam novel
berdasarkan sekuen.
Tabel 3.1
Hubungan Kausalitas Alur
No
1.
Sebab
Akibat
Sekuen 10:
Sekuen 11:
Faisal membujuk Pambudi, Yudi
Pambudi, Yudi dan Pepeng
dan Pepeng untuk sekolah dan
akhirnya
sekolah
dengan
82
membicarakan hal ini kepada
peralatan sekolah seadanya.
orang tua mereka masing-masing.
2.
Sekuen 12:
Sekuen 12 (a):
Ketika mulai memasuki sekolah,
Mereka dibela oleh gadis
Pambudi,
cantik bernama Kania.
Yudi
dan
Pepeng
mendapat hinaan dari teman
sekelasnya bernama Rena karena
status sosialnya yang jauh lebih
tinggi dibanding mereka.
3.
Sekuen 14:
Sekuen 18:
Peternakan sapi milik Yok Bek
Warga emosi dan rumah Yok
tak sedikitpun menguntungkan
Bek dibakar oleh warga karena
warga, justru merugikan dengan
sudah tidak tahan lagi dengan
bau kotoran sapi dan tidak pernah
peternakan milik Yok Bek.
menyumbangkan susu sekedar
untuk perbaikan gizi anak-anak
mereka.
4
Sekuen 15:
Sekuen 16:
Yok Bek mulai gelisah karena
Yok Bek menghasut ayah dari
Pambudi, Yudi dan Pepeng akan
Pambudi, Yudi dan Pepeng
bersekolah, karena ia takut jika
agar mereka memberhentikan
anak-anak alam itu sekolah akan
anak-anak mereka dari sekolah
mengambil alih usahanya.
dan lebih baik bekerja pada
Yok Bek.
5.
Sekuen 16:
Sekuen 17:
Yok Bek menghasut agar anak-
Pambudi, Yudi dan Pepeng pun
anak alam itu berhenti sekolah
terpaksa harus berhenti sekolah
83
karena perintah orang tua
mereka dan kembali bekerja
membantu ayah mereka.
6.
Sekuen 19:
Sekuen 20:
Faisal menahan warga agar tak
Faisal dituduh amnesia karena
membakar rumah Yok Bek.
terkena pukulan warga padahal
ia merasa baik-baik saja.
7.
8.
Sekuen 17:
Sekuen 24:
Semenjak ayah mereka terkena
Faisal mencari ketiga anak
hasutan Yok Bek, Pambudi, Yudi
alam itu karena semenjak
dan Pepeng pun berhenti sekolah
mereka
dan menghilang dari Faisal.
mereka tak lagi ada kabar.
Sekuen 23:
Sekuen 26:
Faisal mengajar di kampungnya
Faisal dihina oleh muridnya
karena
yang memang rata-rata usianya
Diknas
mengadakan
sekolah gratis untuk buta aksara.
jauh
berhenti
lebih
sekolah,
dewasa
dan
berbadan besar, mereka tak
percaya bahwa Faisal lah yang
akan
mengajar
mereka
membaca dan menulis.
9.
Sekuen 28:
Semenjak
Sekuen 29(a):
mengikuti
sekolah
Panji
disodomi
oleh Mat
gratis, Mat Karmin bisa membaca
Karmin karena Mat Karmin
dan
seorang pedophilia.
membuat
buku
permainan anak-anak.
tentang
Sekuen 30(c):
Warga menyimpulkan bahwa
84
ulah
Mat
Karmin
itu
diakibatkan adanya sekolah
gratis dan akhirnya ia bisa baca
sehingga
sebagai
menjadikan
kesempatan
itu
emas
untuk bertindak kriminal.
10. Sekuen 34(a):
Sekuen 35(b):
Ketika Ujian Akhir Semester,
Rena tidak naik kelas.
Rena ketahuan mencontek.
11. Sekuen 31:
Sekuen 36:
Karena usaha Faisal membujuk
Pambudi, Yudi, Pepeng, Faisal
temannya
serta Kania berhasil naik kelas.
dan
karena
kesungguhan mereka, akhirnya
Pambudi,
Yudi
dan
Pepeng
kembali ke sekolah.
Dari tabel hubungan kausalitas alur di atas dapat disimpulkan bahwa
peristiwa yang terjadi dalam cerita saling berkaitan dan memiliki
hubungan sebab akibat. Hubungan kausalitas alur di atas menunjukkan
perjuangan Faisal dalam membantu ketiga temannya bersekolah meskipun
banyak cobaan yang menghalangi usahanya seperti Yok Bek yang
menghasut orang tua mereka sehingga mereka diperintahkan untuk
berhenti sekolah, hal tersebut terlihat pada sekuen 16. Namun, usaha Faisal
pun berhasil ketika Yok Bek mulai diusir warga dan Pambudi, Yudi serta
Pepeng kembali sekolah. Alur yang digunakan merupakan alur maju
karena peristiwa yang terjadi disusun secara beruntutan mulai dari usaha
Faisal, dilanjutkan dengan cobaan dalam membujuk temannya hingga
akhirnya merekapun bersekolah dan naik kelas.
85
5. Sudut Pandang
Sudut Pandang cerita mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan.
Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan tokoh, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada
pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan
gagasan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan pada novel OMDS yaitu
pesona atau gaya ―aku‖, pengarang atau narator berada di dalam cerita.
Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut dirinya
―aku‖. Faisal merupakan pencerita tokoh ―aku‖ dalam novel. Dengan
menggunakan sudut pandang ―aku‖ membuat pembaca merasa dekat dan
berada dalam cerita, karena pembaca mudah meresapi cerita tersebut.
Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut.
Setelah pulang dari sekolah tadi, aku mampir dulu ke pengepul
barang-barang bekas, aku mengatakan ingin mencari kertas
minyak, maka pemulung yang berjenggot lebat, bermuka
seperti jelaga lampu minyak itu menyodorkan beberapa
tumpukan kertas, dan aku disuruh mencarinya sendiri.79
Sudut pandang pesona ―aku‖ ini banyak menyebutkan tokoh utama
yang mengemukakan gagasan utama cerita melalui tokoh
pengarang
menuangkan
kehidupan
Faisal,
masyarakat Gedong
Sapi sebagai masyarakat yang miskin. Perasaan batin kehidupan orang
miskin terhadap mimpi dan cita-cita. Hal ini banyak dituangkan melalui
tokoh dari sahabat Faisal. Sudut pandang ―aku‖ melalui tokoh utama
bernama Faisal banyak memberikan
amanat dan pesan, amanat yang
disampaikan Faisal mengenai pentingnya pendidikan selalu disampaikan
kepada temannya, sehingga temannya merasa termotivasi.
Sudut pandang ―aku‖ ini semakin memperkuat penokohan Faisal.
Sudut pandang tersebut membuat tokoh
79
Ibid., h. 13.
Faisal terlihat semakin
86
menunjukkan eksistensinya sebagai tokoh utama yang mengetahui setiap
jalannya cerita karena Faisal merupakan pencerita atau narator, sehingga
perjuangan dan niatnya untuk membantu pendidikan teman-temannya
semakin terlihat melalui sudut pandang ini.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan cara khas pengungkapan seorang pengarang
dalam karyanya. Adapun gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam
novel OMDS mampu menimbulkan suasana yang beragam, simpatik,
objektif, harapan, dan cita-cita.
Gaya bahasa yang terdapat di dalam novel di antaranya gaya bahasa
metafora. Keraf memaparkan bahwa metafora
merupakan majas
perbandingan yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk
yang singkat dan padat dengan tidak menggunakan kata seperti, bak,
bagaikan, dan sebagainya.80 Pengarang lebih sering menggunakan
metafora dalam setiap bab atau setiap cerita dengan harapan agar mampu
memberikan kesan indah sehingga menarik perhatian pembaca dalam
memahami jalannya cerita hingga akhir. Salah satu kutipan yang
menunjukkan penggunaan majas metafora dapat dilihat pada kutipan
berikut:
―Sekolah itu benteng moral, seperti halnya ajaran Islam untuk
mengerem dorongan bawah sadar mereka yang bisa tak terkekang‖.81
Kutipan di atas merupakan salah satu cara pengarang dalam
menggunakan gaya bahasa. Majas metafora dalam kutipan di atas dapat
dilihat pada kalimat sekolah itu benteng moral. Dalam kalimat tersebut
terdapat perbandingan antara dua benda yakni sekolah dan benteng,
sekolah dalam kutipan tersebut diibaratkan seperti sebuah benteng besar
yang mampu membentuk moral seseorang agar dapat menunjukkan
eksistensi di dalam kehidupan.
Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa,(Jakarta: PT Gramedia, 1985), h. 139.
Prasetyo,Op.cit, h. 68.
80Gorys
81
87
Adapun fungsi dari majas metafora tersebut adalah untuk
menyampaikan pesan kepada pembaca dengan menggunakan persuasi atau
berupa ajakan dan nasihat. Oleh karena itu, pengarang selalu berusaha
bersikap komunikatif terhadap pembaca. Kutipan di atas merupakan salah
satu cara pengarang menyampaikan pesan kepada pembaca. Dalam setiap
adegan cerita, pengarang berusaha menampilkan ajakan atau nasihat yang
disesuaikan dengan apa yang terjadi dalam cerita sehingga cerita yang
berjalan tetap meninggalkan pesan yang dapat memotivasi pembaca.
Seperti pada kutipan di atas, majas metafora tersebut secara tersirat telah
mengajak pembaca agar mengutamakan pendidikan, karena dengan
memiliki pendidikan maka seseorang akan mampu mengendalikan dirinya
dalam bersikap.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, gaya bahasa berfungsi untuk
menciptakan suasana persuasi, sehingga gaya bahasa dapat menimbulkan
suasana yang tepat bagi setiap adegan dan gaya bahasa tersebut tepat
digunakan pada persoalan yang tengah dibicarakan dalam cerita. Gaya
bahasa persuasi yang digunakan sangat menarik dengan pemilihan kata
yang mudah dipahami dan meninggalkan pesan yang mendalam.
Gaya bahasa dapat digunakan untuk menandai karakter tokoh,
sehingga terdapat keterkaitan yang erat antara gaya bahasa dengan
karakter yang ditimbulkan oleh tokoh. Secara implisit, gaya bahasa
mampu menggambarkan karakter setiap tokoh. Perhatikan kutipan berikut:
Bulu mata lentik Bu Mutia berkedip-kedip seperti magnet burung
merak yang menarik. Aku hanya bisa terduduk beku dan menyimak
kata-kata Bu Mutia dengan saksama. Kalau menulis itu adalah upaya
kita agar tetap kekal abadi, orang yang gemar menulis haruslah bisa
membaca, sedangkan ilmu membaca diperoleh dari sekolah. Berarti
kawan-kawanku itu harus bisa membaca alias sekolah, agar tak
menghilang dari pusaran sejarah.82
Kutipan di atas memperlihatkan gaya bahasa yang menimbulkan
karakter dari tokoh Bu Mutia. Dapat kita lihat bahwa kutipan tersebut
82
Ibid., h. 62.
88
secara tersirat menunjukkan bahwa tokoh Bu Mutia adalah seorang wanita
yang cantik, digambarkan melalui kalimat bulu mata lentik Bu Mutia
berkedip-kedip seperti magnet burung merak yang menarik. Melalui
pendeskripsian tersebut maka pembaca dapat memahami gambaran fisik
tokoh, dan dapat disimpulkan pula bahwa Bu Mutia adalah sosok yang
sangat mementingkan pendidikan, seorang yang dewasa dan bijak.
Selain menggunakan gaya bahasa metafora, dalam novel ini
pengarang juga menggunakan diksi dengan beberapa dialek regional
sesuai dengan latar tempat pengarang yaitu Jawa. Dialek regional adalah
variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif dan
didasarkan pada wilayah atau area tertentu dari tempat tinggal penutur
tersebut.83 Maka dari itu, pengarang dalam novel ini menyelipkan bahasa
Jawa dalam karyanya sesuai dengan dialek yang ia miliki. Seperti yang
terdapat pada kutipan berikut:
Karisma segera melepaskan bajunya, tubuhnya sudah gatal untuk
segera tersentuh air, air yang kimplah-kimplah dan berwarna putih
keperakan itu rata dengan bibir kolam, sementara itu Pepeng dan
Yudi agak malas-malasan.84
Dari kutipan di atas, terdapat kata kimplah-kimplah yang sulit
dipahami maknanya. Selain kata tersebut terdapat kata lainnya yaitu
seperti kata mlithit, mlungkret, wales, kepis, ndhepipis, tengen, mlanjer,
dan masih banyak lagi yang lainnya. Kosa kata Jawa tersebut tidak diberi
pengertian tentang arti yang sebenarnya, pengarang tidak memberi
penjelasan arti dari bahasa Jawa yang ia gunakan sehingga membuat
pembaca merasa bingung dan mengalami kesulitan. Hal yang sering
menjadi permasalahan adalah mengenai ketepatan pemilihan kata,
mengenai kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang
tepat pada imajinasi pembaca. Maka seorang penulis harus cermat memilih
83
Abdul Chaer, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), h.
84
Prasetyo, Op.cit., h. 275.
63.
89
kata-kata agar pembaca dapat memahami maksud yang ingin disampaikan
seorang penulis. Seperti halnya pengarang dalam novel OMDS, ia
menggunakan kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca umum,
sehingga dialek dan susasana lokal tersebut tidak sampai kepada pembaca.
E. Analisis Nilai Moral Tokoh dengan Pendekatan Pragmatik
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pembahasan, bahwa
pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan kajiannya
terhadap peran pembaca, dan pendekatan pragmatik tersebut berkaitan dengan
nilai moral. Berkaitan dengan tujuan dari pendekatan pragmatik yang berfungsi
terhadap keberadaan masyarakat maka hadirlah nilai pendidikan sehingga
dapat dijadikan teladan untuk masyarakat. Adapun nilai moral tersebut
tergambar dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo.
Nilai moral berkaitan dengan tingkah laku atau karakter seseorang
sekalipun perilaku tersebut dibentuk oleh lingkungan sekitar. Nilai moral yang
akan dibahas dalam analisis ini akan dikaitkan dengan latar belakang asal
tempat yang terjadi dalam novel berupa sejarah, budaya dan tradisi atau
fenomena sosial yang terjadi pada saat itu, dengan adanya hal tersebut akan
membentuk beberapa nilai moral yang dimiliki para tokoh dalam novel. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Widagdho yang mengatakan bahwa penyebab
manusia berbudaya adalah karena faktor etika dan estetika. Etika yakni
pembentukan kepribadian atau tingkah laku melalui budayanya.85 Salah satu
yang akan dibahas peneliti adalah faktor etika atau moral. Asal tempat yang
digunakan pengarang dalam novel OMDS ini adalah di kota Semarang. Dalam
analisis, peneliti akan membagi nilai moral para tokoh tersebut ke dalam tiga
aspek, yaitu nilai moral terhadap diri sendiri, nilai moral terhadap orang lain
(lingkungan) dan nilai moral terhadap Tuhan.
Sebelum menganalisis nilai
moral yang dilihat dari latar belakang asal tempat, maka terlebih dahulu akan
dibahas mengenai latar Semarang seperti berikut:
85
Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 28.
90
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan asal-usul nama ―Semarang‖.
Menurut C. Kejjerkeker dan D. Van Hinloopen Leberton dalam buku Kasmadi
dan Wiyono mengatakan bahwa nama ―Semarang‖ berasal dari kata-kata asemarang, karena di daerah tersebut banyak ditanam pohon asam yang letaknya
jarang-jarang (bahasa Jawa: arang-arang), sehingga terbentuklah nama
―Semarang‖. Pendapat lain dikemukakan oleh J. Hageman Jon, bahawa nama
―Semarang‖ berasal dari kata ―sama-perang‖, karena telah terjadi peperangan
antara dua orang putra mahkota kerajaan Pejajaran yang terjadi di daerah Tugu
di sebelah barat Semarang, sehingga terbentuklah nama ―Semarang‖.86
Di daerah Semarang hingga saat ini terkenal dengan banyaknya warga
Tionghoa yang menetap di sana sehingga terdapat sebuah perkampungan yang
dinamai kampung Pecinan. Berikut ini akan dikisahkan oleh Kasmadi dan
Wiyono terkait permulaan terjadinya pemukiman orang-orang Tionghoa di
Semarang:
Kira-kira lima ratus lima puluh tahun lalu, Kaisar Bing Sing Tjouw
dari Dinasti Ming mengirimkan suatu armada yang besar untuk mengunjungi
negara-negara di Laut Selatan dengan tugas untuk mencari cap kerajaan ajaib
yang telah hilang. Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang Kebiri besar yang
bernama Sam Po. Ketika armada ini sedang berlayar di muka pantai utara
Jawa, seseorang yang memegang jabatan kedua setelah Sam Po, yaitu Ong
King Hong menderita sakit keras. Oleh karena itu, Sam Po memerintahkan
kepada armada untuk mendarat di pantai yang sekarang menjadi pelabuhan
Semarang. Ia menemukan sebuah gua kecil di lereng suatu bukit, tidak jauh
dari pantai dan ia pun beristirahat, dan para pengikutnya membangun sebuah
rumah kecil untuk Ong King Hong. Sam Po telah membuat obat-obatan, dan
kesehatan Ong King Hong berangsur-angsur membaik.
Setelah sepuluh hari tinggal di tempat itu, Sam Po memutuskan untuk
meneruskan perjalanan, sedangkan Ong King Hong tetap tinggal do tempat itu
dan diberi sebuah kapal, sepuluh orang anak buah, dan perbekalan yang cukup.
86Hartono Kasmadi, Wiyono, Sejarah Sosial Kota Semarang, (1900-1950), (Jakarta:
Depdikbud, 1985), h. 28—29.
91
Bahkan setelah Ong King Hong sembuh, ia tidak kembali ke Cina, melainkan
tetap tinggal di tempat itu sambil menggunakan kapalnya untuk berdagang di
sepanjang pantai utara pulau Jawa, pengikut-pengikutnya telah memperistri
wanita-wanita Indonesia, dan pemukiman kecil tersebut telah berkembang
menjadi makmur hingga saat ini.87
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip
Jawa yang mereka anut, baik dari segi moral, adat atau tradisi dan lainnya.
Berikut ini pembahasan mengenai nilai moral berdasarkan aspeknya masingmasing:
1. Nilai moral terhadap diri sendiri
a. Menerima segala apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan
Nilai moral terkait dengan sikap menerima segala apa yang
sudah ditakdirkan Tuhan tergambar melalui tokoh dari ayah ketiga
anak alam yang memiliki sifat nrimo. Hal ini sesuai dengan karakter
asli orang Semarang, Jawa Tengah. Semarang adalah bagian dari Jawa
Tengah. Di kalangan masyarakat, tercipta stereotip tentang perangai
orang Jawa yang begitu halus, sopan dan pasrah menjalani hidup atau
nrimo. Karakter dari ayah ketiga anak alam yang nrimo, menerima
keadaan begitu saja terlihat dari pekerjaan mereka sebagai budak dari
Yok Bek. Mereka tidak mau berusaha mencari pekerjaan yang lebih
baik, dan mereka tidak ingin mencari masalah dengan Yok Bek jika
mereka berhenti bekerja, maka dari itu mereka pasrah dengan
pekerjaan yang mereka miliki.
...Anehnya, ditindas sedemikian rupa seperti sapi perah
yang kerap mereka kerjai setiap hari, mereka sama sekali
tak pernah memberontak, mereka bahkan sudah tak
terpikir untuk mencari pekerjaan lain selain pekerjaannya
sekarang.88
Ibid, h. 77—78.
87
88
Prasetyo, Loc.cit.
92
Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa karakter ayah ketiga
anak alam itu benar-benar pasrah dengan keadaan, tidak terbesit dalam
pikiran mereka untuk mencari pekerjaan yang lebih baik walaupun
mereka ditindas. Mereka menyadari akan kemampuan mereka
sehingga mereka tidak memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu
yang tidak mungkin diraihnya. Ketika semua orang berusaha mencari
pekerjaan yang lebih layak untuk dirinya dan keluarganya, mereka
justru tak berniat sedikitpun untuk mengubah hidup mereka.
Demikianlah profil mengenai orang Semarang dengan karakter nrimo.
Bersinggungan dengan sikap nrimo, maka masyarakat semarang
lebih terlihat bahagia dan seolah tidak memiliki beban sekalipun
mereka mengalami perekonomian yang sulit. Seperti yang tergambar
dalam novel melalui tokoh Pambudi, Yudi dan Pepeng, walaupun
status ekonomi mereka rendah sehingga mengakibatkan mereka tidak
bersekolah dan mereka sendiri yang harus bekerja membantu
perekonomian keluarga, namun mereka tetap terlihat bahagia layaknya
seorang anak yang menikmati masa kecilnya dan tidak menjadikan
kemiskinan sebagai beban. Perhatikanlah kutipan berikut:
Sesampai di sana, aku melihat teman-teman tak membawa
perbekalan lengkap seperti itu, mereka tak punya barangbarang bawaan seperti punyaku, mereka tak punya tas
karena tidak sekolah, tak punya jaket karena tak punya
uang untuk membeli jaket, bahkan ketika musim hujan
tiba, mereka justru hujan-hujanan keliling Kampung
Genteng dengan meneror orang-orang kampung dengan
candaan mereka yang kelewat batas, berteriak-teriak
seperti orang gila, berada di bawah kerpus rumah yang
airnya terus mengalir ke bawah, mereka bayangkan diri
mereka berada di bawah air terjun.89
Dari kutipan di atas, dapat terlihat bagaimana ketiga anak alam
itu begitu bahagia menjalani kehidupan dan sangat menikmati masa
kecilnya seolah mereka tidak memiliki beban khususnya masalah
89
Ibid., h. 31.
93
ekonomi yang sangat jauh dari kata berkecukupan. Namun, sangat
berbeda dengan Faisal, ia berasal dari keluarga yang berkecukupan
dan anak rumahan yang justru tidak menemukan masa kecilnya seperti
ketiga temannya tersebut.
b. Pekerja keras atau giat bekerja
Walaupun masyarakat Jawa, khususnya warga Semarang
memiliki sifat nrimo terhadap keadaan, namun ternyata masyarakat
Jawa atau warga Semarang khususnya terkenal dengan sifatnya yang
pekerja keras. Jika mereka telah memiliki pekerjaan maka mereka
akan tekun dan giat dengan pekerjaan yang digelutinya, walaupun
pekerjaan mereka masih relatif rendah dibanding kota besar lainnya
seperti Jakarta. Seperti yang dialami ayah dari Pambudi, Yudi dan
Pepeng, ayah ketiga anak alam itu hanya bekerja sebagai peternak sapi
pada seorang warga berkebangsaan Cina bernama Yok Bek, namun
mereka giat bekerja dan patuh pada majikannya.
Sepagi itu, mereka telah melakoni hidup dengan susah
payah, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, tetapi mereka
sama sekali tak mengeluh dengan nasib mereka yang
selalu di bawah.90
Sikap tersebut melahirkan prinsip nrima ing pandum yakni
menerima segala yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Namun
demikian, tidak berarti nrima ing pandum ini diisi dengan bermalasmalasan, tanpa mau berusaha. Hal itu dibuktikan dengan ketekunan
dan kesungguhan mereka dalam bekerja. Sikap pekerja keras yang
dimiliki masyarakat Jawa telah melekat dan menjadi prinsip hidup
mereka. Walaupun sikap nrimo sering disalahartikan oleh kebanyakan
orang yang menganggap hanya bermalas-malasan, namun masyarakat
Jawa menyeimbangkan persepsi tersebut dengan bekerja keras, karena
90
Prasetyo Loc.cit.
94
sikap pekerja keras tersebut merupakan salah satu prinsip dari
masyarakat Jawa.
c. Jujur dan Urip Samadya
Masyarakat Jawa dapat mengukur sejauh mana kemampuan
yang mereka miliki dan tidak memaksakan kehendak, istilah tersebut
dikenal dengan istilah urip samadya. Sikap urip samadya menjauhkan
seseorang dari perbuatan yang menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan yang diinginkannya. Hal tersebut merupakan sebuah
prinsip
yang harus
dipegang teguh
oleh
masyarakat
Jawa.
Berdampingan dengan sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang
teguh, hal tersebut tercermin dalam ungkapan Jawa jujur bakal mujur
yang berarti orang jujur akan beruntung. Masyarakat Jawa memiliki
keyakinan yang kuat bahwa siapa saja yang bersikap jujur maka ia
akan memperoleh keberuntungan. Maka dari itu, banyak dari
masyarakat Jawa yang menerapkan prinsip tersebut karena mereka
ingin mendapatkan keberuntungan dalam hidup.
Pengarang novel OMDS ini banyak sekali menerapkan prinsip
Jawa dalam kepribadian masing-masing tokoh. Salah satu tokoh yang
memegang prinsip urip samdadya dan jujur ini bisa dilihat dari
penokohan Bu Mutia, seorang guru yang sangat jujur dan menjauhkan
diri dari perbuatan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang
ia inginkan. Hal tersebut tergambar ketika salah satu wali murid
mengeluarkan uang suap agar anaknya naik kelas, namun ia
menolaknya demi prinsip yang ia pegang teguh.
―Apa tidak ada toleransi sedikitpun…?‖ kata perempuan
itu sambil membuka dompetnya dan mengeluarkan
beberapa lembar uang kertas lima
puluh ribuan,
disorongkan pelan-pelan ke arah Bu Mutia, tanpa
diketahui oleh orang tua murid yang lain.91
91Prasetyo,
Loc.cit.
95
Prinsip tersebut jika tidak dilandasi sikap ikhlas maka
akan melahirkan sikap pamrih. Tokoh bu Mutia dalam cerita
mencoba memegang teguh janjinya sebagai guru untuk tidak
melakukan praktek suap seperti terlihat dalam kutipan. Sikap
jujur dan tidak mencoba menghalalkan segala cara untuk
kepentingan pribadi tersebut sepantasnya dijadikan contoh untuk
masyarakat saat ini. Namun, pada kenyataannya masih banyak
sekali saat ini yang memakmurkan praktek tersebut.
d. Sepi ing pamrih, rame ing gawe
Sikap dasar dari mayarakat Jawa menandai watak yang luhur
adalah kebebasan dari pamrih, sepi ing pamrih. Manusia telah
memiliki sikap sepi ing pamrih apabila mereka sebagai manusia telah
memegang teguh prinsip tepa slira, yakni sikap toleransi dan peduli
terhadap sesama. Manusia itu sepi ing pamrih apabila ia tidak lagi
perlu gelisah terhadap dirinya sendiri, dengan arti lain bahwa ia
mampu mengontrol hawa nafsu terhadap sesuatu dan ingin
memilikinya dengan sikap pamrih tersebut. Masyarakat Jawa
memegang teguh prinsip tersebut bahwa dalam melakukan apapun
harus dilandasi rasa ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Sekalipun mereka seorang pekerja keras namun mereka ikhlas, maka
lahirlah prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe. Seperti tergambar
melalui tokoh Faisal, sekalipun ia sebagai tenaga pengajar pembantu
di kampungnya, namun ia tidak mengharapkan imbalan apapun karena
ia memiliki jiwa toleransi yang tinggi.
Empat orang panitia dari Dinas menyalamiku sambil tangannya
menempelkan sepucuk amplop. Naluriku mengatakan isinya
uang, dan aku mencoba menolaknya. Bagaimanapun juga pahala
lebih berarti daripada sekadar uang. Aku tak mau niat tulusku
dilumuri oleh pujian manusia yang berupa materi ataupun
ucapan sanjungan.92
92
Prasetyo, Loc.cit.
96
Sikap Sepi ing pamrih akan telah dilandasi rasa ikhlas, sehingga
sikap tersebut akan melahirkan jiwa sosial yang sangat tinggi baik
terhadap orang lain mapun terhadap lingkungan sekitar. Melalui tokoh
Faisal tersebut, jelas terlihat ketika Faisal berusaha menolak amplop
tersebut yang sudah dipastika isinya adalah uang. Namun, Faisal
sangat ikhlas membantu mengajar tanpa mengharapkan apapun.
Prinsip masyarakat Jawa tersebut tercermin melalui tokoh Faisal.
Apabila seseorang telah memegang tegug prinsip sepi ing pamrih,
rame ing gawe maka orang tersebut tidak lagi mengejar kepentingankepentingan
individualnya
tanpa
memperhatikan
keselarasan
keseluruhan. Ia telah berada di tempat yang tepat dalam kosmos.
Sikap tersebut muncul tidak lain hanyalah sebagai wujud memenuhi
kewajiban-kewajiban sebagai sesama manusia.
2. Nilai moral terhadap orang lain
a. Sopan santun atau mundhuk-mundhuk
Adat istiadat atau kebiasaan yang menjadi latar novel ini yaitu
adat istiadat masyarakat Jawa (Semarang). Adat istiadat adalah perilaku
turun temurun dari generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat
intergrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakatnya. Masyarakat
Jawa dikenal dengan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adab
kesopanan, budi pekerti yang luhur, bertutur dan bertingkah laku yang
halus, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Perhatikan
kutipan di bawah ini:
Ketika aku berpapasan dengan murid-muridku yang ratarata sudah beruban dan berjenggot, mereka kemudian
memperlihatkan sikapnya yang mundhuk-mundhuk dengan
badan mencoba dibungkukkan sedikit sambil melewatiku.
Ayah menasehatiku untuk jangan suka diperlakukan oleh
murid-muridku dengan cara yang aneh seperti itu. Kata
ayah, kita ini manusia dan punya kedudukan sama di mata
Tuhan, hanya ketakwaan yang akan membedakannya.93
93
Ibid., h. 415.
97
Kutipan di atas memberikan pelajaran penting tentang
bagaimana seharusnya kaum muda menghormati yang tua. Kutipan
tersebut juga memberikan informasi mengenai adat istiadat orang Jawa.
Meskipun yang muda lebih berilmu, tetapi tetap harus menghormati
yang lebih tua. Seperti yang dinasihatkan ayah Faisal kepada Faisal
agar jangan suka diperlakukan mundhuk-mundhuk oleh muridnya yang
lebih tua, karena sikap mundhuk-mundhuk layaknya hanya diterapkan
dari yang muda kepada yang tua. Jika dilihat dari sisi kebudayaan,
maka setiap kelompok sosial tertentu memiliki kebudayaan tertentu
pula. Sikap mundhuk-mundhuk dalam masyarakat Jawa sangat
dijunjung tinggi dalam kehidupan. Tidak hanya sikap mundhukmundhuk ketika berjalan seperti dalam cerita, tetapi sikap mundhukmundhuk diterapkan pula melalui tutur bicara. Apabila seorang yang
lebih muda berbicara dengan yang lebih tua, maka yang lebih muda
harus menggunakan bahasa Jawa yang lebih halus.
b. Jiwa sosial terhadap sesama
Jiwa sosial yang digambarkan dalam cerita disampaikan melalui
tokoh Faisal yang memiliki jiwa peduli terhadap lingkungannya. Ia
membantu mengajar warga kampung untuk dapat membaca dan
menulis. Hal ini terkait dengan sikap rukun yang dimiliki masyarakat
Jawa. Dengan adanya sikap rukun dan peduli terhadap sesama, maka
akan menjaga ketentraman dan hubungan baik antar sesama. Seperti
tokoh Faisal seperti kutipan berikut:
Aku memenuhi janjiku untuk jadi tentor bagi orang-orang tua
yang tak pernah sekolah sehingga sulit membaca. Maka, sore ini
aku sudah mengayuh sepedaku ke kelurahan, kira-kira dua
kilometer dari tempat tinggalku.94
Masyarakat Jawa memegang teguh bahwa rukun merupakan
sebuah kondisi untuk mempertahankan kondisi masyarakat yang
harmonis, tentram, aman, dan tanpa perselisihan. Masyarakat jawa
94
Ibid., h. 205.
98
berusaha sebisa mungkin menjaga kerukunan dalam lingkungannya,
setiap individu harus selalu berusaha mementingkan sosial yang lebih
luas dan bukan pribadinya sendiri. Kerukunan dengan alam dan
lingkungan masyarakat oleh masyarakat Jawa dipandang mampu
membawa ketenteraman, kenyamanan, dan kedamaian hidup. Dengan
demikian akan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama dalam
dinamika hidup sehari-hari.
3. Nilai moral terhadap Tuhan
Nilai moral terhadap Tuhan yang tercermin dalam novel ini yaitu
percaya terhadap kekuatan luar biasa selain diri sendiri. Cerita dalam novel
OMDS ini mengambil latar tempat di Semarang, Jawa Tengah. Masyarakat
Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa
meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi
dan budaya ini bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan
terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak
juga yang masih bertentangan. Masyarakat Jawa yang tidak memegang
ajaran Islam dengan kuat akan lebih menjaga warisan leluhur mereka
dengan mempraktikannya
dalam kehidupan
sehari-hari, meskipun
bertentangan dengan ajaran yang seharusnya mereka anut. Dengan
demikian, kebudayaan yang diangkat dalam novel ini pun merupakan
kebudayaan masyarakat Jawa yakni budaya atau yang dikenal dengan
Islam Kejawen.
Masyarakat Jawa di Semarang yang menganut Islam Kejawen dikenal
sangat kental dengan dunia mistik atau kebatinan, seperti adanya semedi,
kemenyan, sesajen, kondangan, ruwatan, juga dukun. Sebagian masyarakat
Jawa kuno atau Jawa masih sangat kental melakukan adat ini, seperti
masih sangat percaya terhadap dukun, yang diyakini sebagai ―orang
pintar‖ yang dipercaya menjadi perantara antara manusia dengan alam
gaib. Dukun sering dimintai pertolongan, entah untuk pengobatan, ataupun
99
mengusir roh halus. Namun, tetap ada dua kubu, yang percaya dan tidak
percaya
dengan
hal-hal
semacam
ini.
Penggambaran
mengenai
kepercayaan warga terhadap dukun tercermin melalui tokoh ayah Faisal
yang mempercayai Pak Cokro sebagai dukun yang mampu mengobati
anaknya yang dituduh amnesia. Seperti kutipan berikut:
―Sal, nanti malam Pak Cokro akan datang untuk mengobatimu.‖ Kata kata ayah seperti pertanda agar aku segera keluar dari tempat ini,
apapun risikonya.95
Pak Cokro selalu menjadi orang pertama yang dianggap mampu
mengobati segala macam penyakit. Salah satu kebudayaan masyarakat
Jawa yaitu kepercayaan masyarakat warga Semarang terhadap sesepuh
atau dukun yang bernama Pak Cokro tersebut sudah menjadi tradisi dan
mengakar di kalangan masyarakat. Berikut adalah penggambaran
mengenai sosok Pak Cokro:
Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia sudah tersohor
sebagai tabib pengobatan. Ia seringkali mengobati pasien
dengan air yang disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia
berkumur-kumur dengan air kembang setaman, dirapalkan
mantra, barulah molekul-molekul air berubah.96
Dari kutipan tersebut dapat kita lihat bahwa memang masyarakat
Semarang dalam novel masih mempercayai dukun sebagai orang pertama
yang dapat menolong mereka. Hal tersebut menjadi sebuah tradisi. Dukun
yang dipercayai masyarakat pun selalu mengaitkan dengan hal-hal gaib
seperti mempercayai adanya kekuatan yang datang dari makhluk halus.
Pak Cokro mengatakan semua ini atas bisikan gaib dari
penunggu Kampung Genteng, genderuwo yang menghuni di
pohon munggur di dekat lapangan yang di sebelahnya ada kamar
mandi terbuka dan biasa digunakan untuk mandi para tukang
becak.97
95
Ibid., h. 173.
Prasetyo, Loc.cit..
97 Prasetyo, Loc.cit.
96
100
Pak Cokro yang dikenal sebagai seorang dukun tersebut mendapatkan
ilmunya bukan dari proses belajar seperti umumnya dilakukan semua
orang, melainkan melalui proses bertapa atau semedi di hari tertentu.
Tetapi, bukan itu yang membuatnya hebat, konon Pak Cokro
mewarisi ilmunya setelah bertapa di Gunung Srandil dan
Kemukus. Hanya dengan bertapa, tanpa perlu susah payah
belajar seperti anak sekolah, konon ia sudah mendapat ilmu
yang selama ini dicarinya....98
Selain dengan semedi, mereka pun mempercayai bahwa ritual
yang digunakan masyarakat selalu diperkuat dengan menyuguhkan
berbagai macam sesajen yang diserahkan kepada makhluk gaib.
Seperti pada kutipan berikut:
Setelah semedinya di malam satu Suro, lelaki yang pernah nikah
sekali dengan penjual jamu gendong, kemudian bercerai ini
mendapat wangsit untuk membebaskan Kampung Genteng dari
bau Gedong Sapi, sebab genderuwo yang beranak-pinak di
pohon munggur itu konon juga terganggu baunya, mereka yang
biasanya makan kemenyan yang berbau wangi, kini malah
makan bau busuk.99
Kutipan-kutipan tersebut semakin memperkuat keterkaitan antara
kenyataan sebenarnya masyarakat Jawa dengan cerita yang ada dalam
novel yaitu mengenai adanya tradisi mistik pada masyarakat Jawa. Maka
dari itu Pak Cokro menjadi satu-satunya warga Kampung yang diagungagungkan oleh penduduk sehingga menjadikan ia seorang yang besar
kepala.
Namanya akan semakin membumbung, sepertinya kepalanya
mendadak membesar. Ya, meskipun Pak Cokro sudah dibilang
bisa membaca, namun itu tak merubah sifatnya yang gandrung
sanjungan, gila hormat, karena ia punya kemampuan baru yang
jarang dimiliki oleh orang-orang tua di Kampung Genteng.100
98
Prasetyo, Loc.cit.
Prasetyo, Loc.cit.
100 Prasetyo, Loc.cit.
99
101
Faktor utama yang menyebabkan tokoh Pak Cokro menjadi seorang
yang sombong dan besar kepala adalah karena ia menjadi satu-satunya
orang yang memiliki ilmu kebatinan sehingga ia disegani oleh masyarakat
dan menjadikannya haus akan sanjungan. Cerminan nilai moral terhadap
Tuhan seperti terlihat di atas merupakan tradisi yang dipegang oleh
masyarakat Islam Kejawen. Mereka mengaku Islam dan percaya akan
adanya Tuhan, tetapi mereka lebih mempercayai hal gaib dan mistik
dibanding mempercayai Tuhan mereka sendiri, dengan kata lain bahwa
mereka lebih memegang teguh tradisi yang telah turun temurun sehingga
mereka mengabaikan kepercayaan terhadap Tuhan. Masyarakat islam
kejawen menyimpulkan bahwa mereka yang tidak menyukai hal-hal klenik
dianggap tidak setia pada tradisi mereka yang telah lama turun temurun
semenjak nenek moyang mereka. Hal tersebut tergambar pula melalui
salah satu kutipan dalam cerita, perhatikan kutipan berikut:
Siapa yang tak percaya dengan berita ini dianggap aneh, maka orangorang terpelajar dan terdidik yang tak menyukai hal-hal klenik
dianggap tak setia pada tradisi, dituduh kebarat-baratan, dan anti pada
adat istiadat nenek moyang. Banyak yang tak tahan berada di
Kampung Genteng ini kemudian pindah ke lingkungan yang lebih
beradab, jauh dari klenik dan syirik.101
Dari beberapa nilai moral yang telah dibahas, maka dapat kita ketahui
bahwa keterkaitan antara kehidupan masyarakat Jawa pada aslinya dengan
kehidupan yang terdapat dalam novel telah melahirkan dan membentuk
beberapa nilai moral. Novel karya Wiwid Prasetyo ini secara tersirat
menghadirkan beberapa etika Jawa dalam cerita bersinggungan dengan
latar cerita yaitu di Semarang, Jawa Tengah dan terlebih pengarang
merupakan seseorang yang berasal dari Semarang, sehingga beliau tidak
melepaskan prinsip-prinsip jawa dalam karyanya.
101
Ibid., h. 161.
102
F. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Berkaitan dengan karya seni yang lain, karya sastra juga banyak
dikaitkan dengan bidang ilmu pengetahuan yang lain, di antaranya kita akan
menemui unsur-unsur baik dari ilmu filsafat, ilmu kemasyarakatan, ilmu
psikologi, sains, ekologi, hukum, tradisi, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
sastra telah mampu mencakup seluruh alam kehidupan yang lebih luas dan lebih
kompleks.
Implikasi secara teoritis, bahwa dengan banyaknya penelitian sastra
dengan berbagai pendekatan, kajian sastra dengan menggunakan pendekatan
struktural ini dapat memperdalam masalah mengenai analisis telaah sastra.
Dilanjutkan dengan pendekatan pragmatik mengenai nilai pendidikan positif
diharapkan dapat menjadi acuan bagi siswa agar dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Implikasi secara praktis, bahwa hasil penelitian ini memiliki
keterlibatan yang erat dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yakni
pembelajaran teori dan apresiasi novel di kelas XII SMA yang mengandung
Standar Kompetensi berupa memahami pembacaan novel. Media yang digunakan
berupa novel yang akan dianalisis.
Hakikat dalam sebuah pembelajaran sastra di sekolah merupakan
sebuah apresiasi sastra, karena dalam apresiasi sastra siswa akan melakukan
aktivitas membaca, menulis, mendengarkan, memahami, serta merespon karya
sastra tersebut. Melalui apresiasi sastra, siswa diharapkan mampu memberikan
penghargaan terhadap karya sastra. Hal tersebut dapat dicapai melalui
pembelajaran yang intens antara siswa dengan karya sastra dengan didasari rasa
suka terhadap karya sastra sehingga siswa dapat merasakan kenikmatan akan
maknanya. Hal inilah yang menjadi tujuan akhir dalam pembelajaran sastra di
sekolah.
Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah merupakan sebuah novel yang
relevan untuk dijadikan sebagai materi pelajaran karena tema yang diangkat
dalam novel tersebut sangat dekat dengan dunia siswa yakni masalah pendidikan.
103
Tokoh-tokoh yang dimunculkan pun berupa anak-anak sekolah layaknya para
siswa sehingga mereka seolah ikut terlibat dalam cerita.
Pembahasan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ini yang berkaitan
analisis terhadap struktur novel dapat dijadikan bahan ajar serta dapat
memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai analisis struktur novel secara
lebih mendalam. Siswa diharapkan mampu berpikir kritis dalam menganalisis
struktur sebuah novel, karena siswa harus mampu mencari keterkaitan antarunsur
dalam novel agar setiap unsur yang telah dianalisis tersebut dapat diterima secara
logis.
Secara khusus, analisis mengenai nilai pendidikan moral dapat
menambah wawasan siswa terhadap nilai moral mana saja yang pantas diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, karena dalam setiap karya sastra khususnya novel
pasti memiliki nilai-nilai kehidupan. Nilai moral juga diharapkan mampu menjadi
bahan perenungan dalam menjalani kehidupan. Sebuah novel akan bernilai baik
dan bermanfaat apabila ia mampu menjadi pencerah bagi pembacanya. Dalam
kata lain, novel dapat dijadikan bahan introspeksi diri sesuai dengan apa yang
diharapkan pengarang terhadap karyanya.
Berkaitan dengan kegiatan menganalisi struktur novel, maka siswa akan
mempraktikkan beberapa keterampilan berbahasa yakni menyimak, membaca,
menulis, dan berbicara. Sebelum menganalisis struktur novel, siwa diharuskan
memperhatikan penjelasan dari guru yang berkaitan dengan cara dan langkahlangkah dalam menanalisis struktur novel. Selanjutnya siswa diminta untuk
membaca terlebih dahulu novel yang akan dianalisis, setelah membaca maka
siswa langsung mengidentifikasi struktur yang ada dalam novel. Kegiatan
menganalisis novel tersebut merupakan latihan dan pembelajaran bagi siswa
dalam meningkatkan keterampilan berbahasa. Implikasi pembahasan novel Orang
Miskin Dilarang Sekolah terhadap pembelajaran sastra, secara lebih jelas dapat
dilihat dalam Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terdapat
dalam lampiran.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis terhadap novel Orang Miskin Dilarang Sekolah
karya Wiwid Prasetyo, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Struktur cerita dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ini saling
memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Tema dalam novel yaitu
perjuangan seorang tokoh bernama Faisal, meskipun terdapat hambatan
dalam usahanya namun akhirnya ia mampu membantu ketiga temannya
untuk bersekolah. Penggolongan tokoh dan penokohan berupa protagonis
dan antagonis membuat cerita menjadi lebih menarik. Penggambaran
mengenai latar tempat yang terletak di Semarang semakin memperkuat
karakter yang dimiliki para tokoh dalam cerita. Adapun latar waktu yang
terjadi dalam cerita kisaran tahun 2000-an setelah reformasi, karena latar
waktu tersebut berkaitan dengan adanya Tionghoa yang masih menetap
di Semarang. Sedangkan bentuk alur maju dengan menggunakan sekuen
dan hubungan kausalitas semakin mempermudah pembaca untuk terus
mengikuti cerita dari peristiwa satu menuju peristiwa lainnya. Sudut
pandang yang digunakan yaitu sudut pandang orang pertama ―aku - an‖
yang diperankan oleh tokoh Faisal sebagai pencerita. Gaya bahasa yang
digunakan dalam semakin menambah kesan indah bagi pembaca. Gaya
bahasa tersebut adalah metafora yang bertujuan untuk memberi nasihat,
gaya bahasa lain yaitu pengarang menggunakan bahasa Jawa sebagai
dialek regional.
2. Nilai moral dari para tokoh selalu berkaitan dengan latar belakang kota
Semarang baik dari keadaan lingkungan sosial, adat ataupun tradisi kota
tersebut, sehingga terbentuklah karakter para tokoh. Karakter atau nilai
moral tersebut terbentuk baik untuk diri sendiri, orang lain, maupun
Tuhan. Nilai moral terhadap diri sendiri berupa sikap mudah menerima
104
105
segala sesuatu yang sudah ditakdirkan Tuhan, giat bekeja untuk
kehidupan, sepi ing pamrih rame ing gawe, menerapkan sikap jujur
dalam diri sendiri karena hal tersebut merupakan prinsip bagi masyarakat
Jawa. Selanjutnya yaitu nilai moral terhadap oranglain yaitu terlihat dari
masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi adab sopan santun terhadap
sesama, hal tersebut dikenal dengan istilah mundhuk-mundhuk, dan
memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap sesama, selanjutnya yang
terakhir yaitu nilai moral terhadap Tuhan yang digambarkan melalui adat
masyarakat Jawa yang masih mempercayai mitos gaib tentang dukun,
karena mereka masih menganut Islam Kejawen.
3. Pembahasan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ini dapat memenuhi
Kompetensi Dasar dalam kurikulum. Nilai moral yang disampaikan
pengarang melalui tokoh berupa cerminan moral masyarakat Jawa
berkaitan dengan latar tempat yang ada dalam novel tersebut.
Selanjutnya, KD yang berkaitan dengan materi pokok bahasan sastra
yaitu memahami pembacaan novel, menemukan unsur intrinsik novel,
dan menemukan nilai moral dalam novel. KD tersebut terdapat pada
kelas XII SMA semester I. Kegiatan menganalisis struktur novel ini
dapat menambah pemahaman siswa terhadap teori analisis struktur novel
secara lebih mendalam dan logis.
B. Saran
1. Pembelajaran mengenai cara mengenalisis struktur atau unsur-unsur
intrinsik novel sebaiknya dilakukan secara mendalam dan harus saling
memiliki keterkaitan yang erat, karena analisis unsur intrinsik merupakan
sebuah dasar pijakan dalam apresiasi sastra.
2. Melalui pembelajaran sastra diharapkan agar dapat menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan serta segala hal positif yang terdapat dalam karya
sastra dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
106
3. Pembelajaran sastra diharapkan mampu menumbuhkan moral yang baik
agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Serta melatih siswa
agar berpikir kritis dan logis serta meningkatkan keterampilan berbahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. A Glossary Of Literary Terms. New York: Cornell University.
1981
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011
Chaer, Abdul. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2010
Idi, Abdullah. Sosiologi Pedidikan, Individu, Masyarakat, dan Pendidikan.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2011
Jabrohim. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012
. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia.
2001
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia. 1985
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi: Pokok-pokok Etnografi. Jakarta:
Rineka Cipta. 2005
KS. Yudiono. Telaah Kritik Sastra. Bandung: Angkasa Bandung. 1986
Mahayana, Maman S. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2007
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia 2005
Moleong, Lexy J.
Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2011
Natawidjaja, Suparman. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta: PT Intermasa.
1982
107
108
Nurgiyantoro, Burhan.
Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2005
Pradotokusumo, Partini Sardjono. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 2005
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007
. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2007
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988
Sabri, Alisuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2005
Salam, Burhanuddin. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: PT
Rineka Cipta. 2000
. Etika Sosial (Asas Moral dalam Kehidupan Manusia).
Jakarta: PT Rineka Cipta. 2002
Sayuti, Suminto A. Apresisasi Prosa Fiksi. Jakarta: Depdikbud. 1996
Semi, Atar. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa Bandung. 1984
Semiun, Yustinus. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2006
Setiadi, Elly M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana. 2008
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2012
Suseno, Magnis Franz. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia. 1991.
109
.
Etika
Dasar:
Masalah-Masalah
Pokok
Filsafat
Moral.
Yogyakarta: Kanisius. 1987
Teeuw, A. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia. 1983
Todorov, Tzvetan. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan. 1985
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. 1993
Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008
Wiyono, Kasmadi Hartono. Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950). Jakarta:
Depdikbud. 1985
Zubair, Charris Achmad. Kuliah Etika. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1995
Prasetyo,
Wiwid.
http://blogdivapress.com/dvp/2010/06/01/wiwid-prasetyo/,
diakses pada tanggal 29 April 2014
Sandi,
Delfiana.
―Tokoh
dan
Penokohan
Teater‖.
http://dsandi-
go.blogspot.com/2012/10tokoh-dan-penokohan-teater.html?m=1,
diakses
pada tanggal 10 November 2013
Sejarah Semarang, http://sejarahsemarang.wordpress.com/tionghoa/, diakses pada
tanggal 1 Desember 2013
Serenade,
Aristha.
―Unsur
dan
Nilai
Sastra‖.
http://aristhaserenade.blogspot.com/p/unsur-dan-nilai-sastra.html?m=1,
diakses pada tanggal 10 November 2013
Trinurjayanti, Ivonie. ―Implementasi Teori Pendidikan dalam Praktek Pendidikan
di
Indonesia‖.
http://copetalammanusiaberpendidikan.blogspot.com/2013/01implementas
i-teori-teori-pendidikan.html?m=1, diakses pada tanggal 11 November
2013
Lampiran 1
Sekuen (Rangkaian Peristiwa) Novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah”
1. Pengarang mendeskripsikan keadaan suasana yang terdapat dalam novel.
a. Faisal dan teman-temannya bermain layang-layang.
b. Faisal dan teman-temannya dimarahi oleh Koh A Kiong karena
laayangannya tersangkut di kabel listrik yang mengakibatkan listrik di
kapung menjadi padam.
c. Faisal dan teman-temannya sepakat untuk membuat layang-layang.
2. Faisal mendapatkan buku tentang cara membuat layang-layang.
3. Faisal menemui Pambudi, Yudi dan Pepeng di rumah Yok Bek untuk
memberitahukan buku yang ia dapat.
a. Faisal memberikan buku itu kepada Pambudi, Yudi dan Pepeng, namun
mereka tidak bisa membaca.
4. Faisal dan ketiga temannya berencana untuk menemui orang yang
membuat buku tentang cara membuat layang-layang.
5. Faisal dan ketiga temannya pergi ke tempat Ki Hajar Ladunni yang
terletak di Gogik, Ungaran.
6. Faisal dan ketiga temannya telah tiba di Gogik, Ungaran.
a. Faisal bertemu dengan Ki Hajar Ladunni dan Candil (anak Ki Hajar
Ladunni)
b. Faisal dan ketiga temannya belajar tentang cara membuat layanglayang dengan Ki Hajar Ladunni.
7. Faisal dan temannya kembali ke kampung mereka dan menantang Mat
Karmin untuk beradu layang-layang.
8. Faisal menemui ketiga temannya dan mengajak mereka agar mau
bersekolah.
9. Pambudi, Yudi dan Pepeng merasa putus asa untuk dapat sekolah.
10. Faisal terus berusaha membujuk ketiga temannya hingga akhirnya mereka
bertekad untuk sekolah dan membicarakan hal ini kepada orangtua mereka
masing-masing.
11. Akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng pun sekolah dengan perlengkapan
seadanya dan atas bantuan Faisal sehingga mereka diterima sekolah dan
mendapat keringanan biaya.
12. Pambudi, Yudi dan Pepeng dihina oleh teman sekelas mereka yang
bernama Rena, salah satu murid yang status sosialnya jauh lebih tinggi.
a. Mereka di bela oleh Kania, murid terpandai di kelas.
13. Kania telah menjadi pujaan hati Pambudi, Yudi dan Pepeng serta menjadi
motivasi mereka untuk belajar membaca dan menulis.
14. Warga Kampung Genteng mulai emosi karena peternakan sapi Yok Bek
hanya merugikan warga.
15. Yok Bek mulai gelisah dan marah karena mendengar kabar bahwa
Pambudi, Yudi dan Pepeng sudah mulai bersekolah.
16. Yok Bek menghasut ayah Pambudi, Yudi dan Pepeng agar mereka
menyuruh anak-anak mereka untuk berhenti sekolah.
17. Akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng pun terpaksa harus berhenti sekolah.
18. Konflik antara peternakan Yok Bek dengan warga Kampung Genteng pun
semakin meningkat dengan dibakarnya rumah Yok Bek.
19. Faisal mencoba menahan warga agar tidak membakar rumah Yok Bek
dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
20. Akibat Faisal menahan amukan warga, ia pun dituduh amnesia karena
terkena pukulan warga, padahal ia sehat-sehat saja.
21. Seorang dukun bernama Pak Cokro mencoba mengobati Faisal.
22. Faisal berpura-pura kesurupan dengan menjadi seorang jin belanda
penghuni Kampung Genteng untuk mengelabui Pak Cokro dan
mengajaknya untuk belajar.
23. Faisal menjadi tenaga pengajar di kampungnya.
24. Faisal mencari Pambudi, Yudi dan Pepeng yang tak ada kabar semenjak
berhenti sekolah.
25. Faisal berhasil menemukan ketiga temannya.
a. Faisal kembali memberikan semangat kepada teman-temannya agar
tetap melanjutkan sekolah.
26. Ketika Faisal mulai mengajar di Kampungnya, ia dihina oleh muridmuridnya yang memang rata-rata sudah dewasa dan buta aksara.
a. Faisal mendapatkan amplop dari panitia Dinas namun ia menolaknya,
ia mengajar dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun.
b. akhirnya Faisal menerima amplop itu karena dipaksa oleh panitia
Dinas.
27. Salah satu murid Faisal bernama Pak Cokro telah berhasil membaca dan
berhenti menjadi dukun, dan mewariskan ilmunya kepada para pasiennya.
28. Murid Faisal yang lain bernama Mat Karmin, ia pun bisa membaca dan
memanfaatkan kepintarannya membaca dengan
menulis buku tentang
permainan anak-anak.
29. Anak-anak pun beramai-ramai datang ke rumah Mat Karmin.
a. Salah satu anak bernama Panji, telah disodomi oleh Mat Karmin
karena ternyata ia seorang Pedophilia.
b. Panji trauma dan kabur dari kampungnya.
30. Keesokan harinya Warga Kampung Genteng pun gempar karena mereka
kehilangan anak-anak mereka setelah bermain-main di rumah Mat
Karmin.
a. Mat Karmin di tangkap oleh polisi.
b. Rumah Mat Karmin dihancurkan warga.
c. Warga menyimpulakan bahwa ulah Mat Karmin itu akibat ia bisa
membaca.
31. Pambudi, Yudi dan Pepeng pun kembali melanjutkan sekolah mereka
karena mereka bersungguh-sungguh untuk meraih cita-cita mereka.
a. Mereka kembali mendapat hinaan ketika hari pertama memasuki kelas.
32. Kania mengajak Pambudi bermain ke rumahnya yang ternyata ia juga
merupakan anak dari kalangan bawah, sama seperti Pambudi, Yudi dan
Pepeng.
33. Pisang goreng yang dijual Yudi mulai laku keras, sehingga ia memiliki
ikon sendiri untuk Pisang Goreng jualannya.
34. Ujian akhir semester telah dimulai
a. Rena si anak kaya yang sombong ketahuan mencontek saat ulangan.
35. Pembagian rapor
a. Kania si gadis cerdas mendapatkan peringkat pertama.
b. Rena yang sombong dan ketahuan mencontek akhirnya tidak naik
kelas.
c. Orang tua Rena mencoba menyuap Bu Mutia agar anaknya bisa
dinaikkan kelas.
36. Akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng serta Faisal pun naik kelas.
Lampiran 2
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
BERKARAKTER
Satuan Pendidikan
: SMA
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
: XII/I
Aspek Pembelajaran : Mendengarkan
Standar Kompetensi : Memahami Pembacaan Novel
Kompetensi Dasar
:

Menanggapi pembacaan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan

Menemukan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam novel

Menemukan nilai-nilai positif dalam novel
Indikator

:
Siswa mampu menanggapi pembacaan dari segi vokal, intonasi, dan
penghayatan

Siswa mampu menemukan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang
ada dalam novel

Siswa mampu menemukan nilai-nilai positif dalam novel
Alokasi Waktu
: 2x45 menit (1 kali pertemuan)
A. Tujuan pembelajaran
Adapun tujuan dari pembelajaran ini diharapkan agar siswa dapat:
 Menanggapi pembacaan novel dari segi vokal, intonasi, dan
penghayatan
 Menemukan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam
novel
 Menemukan nilai-nilai positif dalam novel
Karakter siswa yang diharapkan:

Patuh terhadap orang tua

Hormat dan peduli terhadap orang lain

Bekerja keras, jujur, dan bertanggung jawab

Taat kepada Tuhan
B. Materi Pokok Pembelajaran

Pembacaan novel

Menjelaskan unsur intrinsik novel

Menjelaskan tentang nilai-nilai positif dalam novel
C. Metode Pembelajaran

Unjuk kerja

Diskusi

Demonstrasi

Penugasan
D. Kegiatan Pembelajaran
1. Kegiatan awal
Apersepsi:
a.
Guru mengucapkan salam
b.
Guru mengondisikan kelas
c.
Guru memulai kegiatan pembelajaran dengan bertanya jawab
tentang sebuah novel.
Motivasi:
a. Guru
menjelaskan secara singkat materi pokok yang akan
disampaikan.
b. Guru menjelaskan secara singkat tujuan dari pembelajaran.
2. Kegiatan Inti
Eksplorasi:
a. Guru mampu menjelaskan tentang pembacaan novel, unsurunsur instrinsik dalam novel, serta nilai-nilai moral yang ada
dalam novel.
b. Guru menggunakan sumber belajar berupa modul pelajaran
Bahasa Indonesia yang dapat membantu siswa dalam
memahami materi pelajaran.
c. Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antara siswa dengan
guru maupun antara siswa dengan siswa yang lain.
Elaborasi:
a. Guru memfasilitasi siswa melalui tanya jawab dan diskusi
untuk menyampaikan pendapat masing-masing.
b. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat
menemukan unsur-unsur intrinsik dan nilai-nilai moral dari
novel yang dibacakan.
c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanggapi
dan memberikan komentar terhadap jawaban dari siswa lain
terkait unsur intrinsik dan nilai moral.
Konfirmasi:
a. Menyimpulkan hal-hal yang belum diketahui.
b. Menjelaskan hal-hal yang belum diketahui.
c. Guru memberikan umpan balik
yang positif dalam bentuk
lisan, tulisan, maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa.
3. Kegiatan Akhir
a. Guru dan siswa secara bersama membuat kesimpulan tentang
materi yang telah dipelajari.
b. Guru merefleksi materi yang disampaikan untuk kehidupan
sehari-hari.
c. Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan
berikutnya.
E. Sumber Belajar
a. Pustaka rujukan dengan menggunakan buku Bahasa Indonesia untuk
SMA kelas XII.
b. Teks novel
c. Media visual (Power Point)
F. Instrumen Penilaian
Indikator
Pencapaian
 Siswa
dapat
Bentuk
Contoh
Penilaian
Instrumen
Instrumen
 Lisan
 Tulisan
menceritakan
kembali
Teknik
novel
 Lembar
Penilaian
 Bacalah dan ceritakan
kembali novel Orang
Miskin
Dilarang
secara lisan dengan
Sekolah karya Wiwid
gaya
Prasetyo dengan gaya
penceritaan
sendiri.
penceritaan sendiri.
 Siswa
 Tentukanlah
unsur
menentukan unsur
intrinsik
yang
intrinsik
terdapat dalam novel.
dapat
dalam
 Tentukanlah
novel.
 Siswa
mampu
menentukan nilai
moral dalam novel.
 Siswa
mampu
nilai
moral yang terdapat
dalam novel.
 Presentasikanlah hasil
yang
telah
dibuat
mempresentasikan
mengenai
unsur intrinsik dan
intrinsik dan nilai
nilai
moral.
moral
di
dalam novel yang
telah dibaca.
unsur
Rubrik Penilaian Pembacaan Penggalan Novel
Nama Siswa
:
Kelas/No. Absen
:
Tanggal Penilaian
:
Kompetensi Dasar
: Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan
penggalan novel
No
Aspek Penilaian
Deskripsi
Kelengkapan dalam
menyebutkan unsur intrinsik
1.
yang ada dalam penggalan
novel:
- Semua unsur dalam penggalan novel
a. Sangat lengkap (90 – 100)
b. Lengkap (80 – 89)
- Kurang satu atau dua unsur
c. Kurang lengkap (70 – 79)
- Kurang dua unsur
d. Tidak lengkap (0 – 69)
- Kurang tiga unsur
Kejelasan bahasa yang
digunakan:
a. Sangat jelas (90 – 100)
2. b. Jelas (80 – 89)
- Kalimat jelas, runtut, dan pilihan diksi tepat
- Kalimat jelas, tidak runtut, dan pilihan diksi
c. Kurang jelas (70 – 79)
tepat
d. Tidak jelas (0 – 69)
- Kalimat tidak jelas, tidak runtut, dan pilihan
diksi tepat
- Kalimat tidak jelas, runtut, dan pilihan diksi
tidak tepat
Keruntutan dalam
penceritaan:
3.
a. Sangat baik (90 – 100)
- Runtut, kohesi, dan koherensi
b. Baik (80 – 89)
- Runtut, kohesi, dan tidak koherensi
Skor
c. Cukup baik (70 – 79)
- Tidak runtut, kohesi, dan koherensi
d. Kurang baik (0 – 69)
- Tidak runtut, tidak kohesi dan koherensi
Total Skor
Keterangan:
Penilaian dilakukan dengan cara membagi jumlah skor dengan 3 aspek yang
dinilai.
Jakarta, Maret 2014
Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Lampiran 3
SILABUS
Satuan Pendidikan
: SMA
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas
: XII
Semester
:1
Standar Kompetensi : Mendengarkan
Kompetensi Dasar
5. Memahami Pembacaan Novel
Materi
Kegiatan
Pembelajaran
Pembelajaran
Indikator
Penilaian
Alokasi
Sumber/Bahan/
Alat
Waktu
5.1Menanggapi
Penggalan novel
 Menanggapi segi
pembacaan
penggalan novel
vokal
dari segi vokal,
 Intonasi
intonasi,
 Penghayatan
dan
penghayatan.
 Mendengarkan
 Menanggapi
pembacaan
pembacaan
 Tugas individu
penggalan novel
penggalan novel
 Tugas
 Menanggapi
dari segi vokal,
intonasi,
pembacaan
penggalan
Jenis Tagihan:
novel
dari segi vokal,
dan
penghayatan
kelompok
 Ulangan
 Praktik
4
 Buku novel
 Media
setempat
 Buku
penunjang
intonasi,
dan
Bentuk
penghayatan
Instrumen:
 Performansi
 Format
pengamatan
5.2Menjelaskan
Penggalan novel
 Menjelaskan
 Menjelaskan
Jenis Tagihan:
unsur-unsur
unsur-unsur
 Tugas individu
pembangun sastra
intrinsik dalam
 Tugas
pembacaan
(tema,
latar,
penggalan novel
penggalan novel.
penokohan,
alur,
yang dibacakan
 Ulangan
teman
 Praktik
unsur-unsur
intrinsik
dari
pesan, dan sudut
pandang)
kelompok
Jenis Instrumen:
 Mendiskusikan
 Uraian bebas
unsur-unsur
 Pilihan ganda
intrinsik penggalan
 Jawaban
novel.
singkat
4
 Buku novel
 Media
setempat
 Buku
penunjang
Lampiran 4
Bahan Materi Ajar
A. Pengertian Novel
Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Novel merupakan
cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan
ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang
berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambarangambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.
B. UnsurIntrinsik Novel
Unsur-unsur intrinsik novel yaitu unsur yang membangun karya sastra dari
dalam, di antaranya, tema, penokohan, alur, sudut pandang, gaya bahasa, latar atau
seting. Berikut ini penjelasan masing-masing unsur.
a. Tema
Tema adalah pokok permasalahan yang ada dalam sebuah cerita.
b. Penokohan
Penokohan adalah pemberian watak atau karakter pada masing-masing
pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku bias diketahui karakternya dari cara
bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal.
c.
Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk jalannya cerita.
Alur dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila
peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju
alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada
kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung.
d. Sudut pandang
Menurut Minderop, sudut pandang pada hakikatnya merupakan
strategi, teknik atau siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup
dan tafsirannya terhadap kehidupan yang disalurkan melalui sudut
pandang.
e. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah alat utama pengarang untuk melukiskan,
menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika.
Macam-macamgaya bahasa:
f. Latar atau setting
Latar atau setting adalah penggambaran terjadinya peristiwa dalam
sebuah cerita meliputi tempat, waktu, social budaya, dan keadaan
lingkungan.
C. PengertianNilai Moral
Dalamhubungandengan
orang
lain,
baiksecaralangsungmaupuntidaklangsungsetiaptindakanmanusiaselaludinilaiolehman
usiaatauindividu
yang
lain.
Penilaiantersebutmeliputibenarsalahataubaikburuknyamanusiadalambersikapataupun
bertingkahlaku. Jadinilai moral merupakankaidahdanpengertian yang menentukanhalhalyang
dianggapbaikatauburuk,
sertamenerangkanapa
yang
seharusnyadansebaiknyadilakukanmanusiaterhadapmanusialainnya.
Dari
pengertiantersebut,
kehidupandalammasyarakatsenantiasaterikatolehsesuatuatauaturanhidup
yang
harusdipatuhiataudijunjungtinggi.Dengan
lain,
kata
manusiadalamhidupnyaselaludibatasiolehadanyanorma-norma,
baiknormaterhadapdirisendiri,
terhadapTuhan.
orang
lain
ataupunlingkungan,
dan
moral
D. Tips Pembacaan Novel
Di
dalammembacakansebuah
novel,
diperlukan
tips
agar
pendengardapatmemahamiapa yang kitasampaikan. Tips tersebut di antaranya:
a) Pembaca
yang
membacakan
novel
perlumenghidupkanwatak-
wataktokohdalamceritaitudengansuasana, mimik, dangerak yang sesuai.
b) Pembaca
yang
menyatakanbacaanitudengansuara-
suarakhasuntukmembedakanwatakataukarakterdarimasing-masingtokoh.
c Pembacaperlumemilikikecepatanpandang yang tinggisertaarahpandangan
yang luasdanmenyerah.
d) Pembacaharusdapatmengelompokkan kata-kata denganbaikdantepat agar
jelasmaknanyabagiparapendengar.
Apabilapembacamampumeggunakan
tips
makapembacatersebutdapatdikatakansebagaipembaca
tersebut,
yang
baik,
karenamampumenghidupkanceritasehinggamudahdipahamiolehpendengar.
D. TanggapanPembacaan Novel
Tanggapanyang harusdiberikansetelahpembacaan novel memilikibeberapahal
yang harusdiperhatikan.Tanggapantersebutharusberdasarkanhal-halberikut:
a
Vokal: apakahvokalpembaca novel jelasterdengarolehpendengar yang
berada paling belakang.
b. Intonasi:
intonsimemilikiperanpentingdalampembacaan
karenadenganpembacaanintonasi
novel
yang
tepatakanmemperjelasinformasikepadapendengarnya.
c. Penghayatan:
penghayatandalampembacaan
noveldapatdiartikanpenyatuandiriataupengalamanbatinterhadaptema
yang
diangkatdalam
novel
tersebut.
Penghayatanterhadap
novel
membutuhkanpemahamansecarautuh,
artinyaapakahpembacasudahmampumengangkatpermasalahan
tersebutpadasaatiamembaca.
novel
Lampiran 5
Cover Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah
Karya Wiwid Prasetyo
Lampiran 6
Wawancara antara Penulis dengan Pengarang Novel
(Wiwid Prasetyo)

Percakapan dimulai 25 September 2013

25/09/2013 14:44
Fajriah
selamat siang, apa benar dengan Mas Wiwid?

25/09/2013 14:45
Wiwid Prasetiyo
ya benar

25/09/2013 14:48
Fajriah
maaf mas mengganggu, saya sudah menghubungi no mas Wiwid yang tercantum d info
FB, tp tidak bisa dihubungi. saya Fajriah, mahasiswi UIN Jakarta. saya membutuhkan
informasi mengenai novel orang miskin dilarang sekolah. saya sangat membutuhkan info
tersebut untuk bahan skripsi saya. bisa saya tanya-tanya sedikit kepada Mas Wiwid?

25/09/2013 14:49
Wiwid Prasetiyo
ya silakan, tapi semampu saya ya?

3 Oktober 2013

03/10/2013 11:10
Fajriah
Assalamu'alaikum mas Wiwid. Saya butuh biografi lengkap mas Wiwid. mengenai
pendidikan dan perjalanan hidup mas Wiwid. trmakasih.
 7 Oktober 2013

07/10/2013 13:01
Wiwid Prasetiyo
Wiwid Prasetiyo adalah nama asli sekaligus nama penanya, Ia membuktikan seorang
penulis yang pekerja keras, terbukti kurang lebih sekitar 2 tahun saja sudah
menghasilkan lebih dari 25 judul buku baik fiksi maupun non fiksi. Berdasarkan
pengalaman hidupnya dan kejadian sehari-hari yang dialaminya, maka dari tangannya
lahirlah karya-karya buah dari perenungannya selama ini dalam dunia yang digelutinya
pendidikan dan sejarah. Penulis yang lahir di Semarang, 9 November 1981, adalah
alumnus IAIN Walisongo tahun 2005 ini telah menghasilkan beberapa buah karya
sederhana dari tangan dinginnya. Terakhir Ia memenangi 10 besar lomba cerpen Galaksi
Cinta Diva Press dari 3529 naskah yang masuk
Novel Pendidikan 1. Orang Miskin Dilarang Sekolah ( cetakan ke 13) Diva Press Yogya
sekaligus karya perdananya, novel perdananya ini sekaligus juga diterjemahkan
berbahasa Malaysia dengan judul yang sama 2. Miskin kok Mau Sekolah, Sekolah dari
Hongkong, Diva Press Yogya 2010 3. Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu,
Diva Press Yogya 2010 4. Sekolah Ayo Sekolah, Diva Press Yogya 2010 5. Orang Cacat
Dilarang Sekolah, Diva Press Yogya 2010
Karya Religi 6. Demi Cintaku Pada-Mu (Novel religi) Diva Press Yogya 2010 7. Hati yang
Bercahaya, (novel religi) revisi dari novel Demi Cintaku Padamu, Diva Press Yogya 2011
8. Saat Langit Bercumbu dengan Bumi (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012 9. Khidir
(Novel Religi) Diva Press Yogya 2012 10. Mata Moses (Novel Religi) Diva Press Yogya
2012 11. Senyum Tuhan di Barcelona (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012 12. 99 Hari
di Perancis (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012
Karya Non Fiksi 13. Mental Kepepet for Succes (Buku Motivasi) Real Books Yogya 2011
14. The Chicken Soup of Asmaul Husna Diva Press Yogya 2010 15. Mengapa Rezekiku
Melimpah Setelah Menikah? Real Books Yogya 2011 16. 100 Kecerdasan Setan, Diva
Press Yogya 2011 17. Bismillah, Saya Mantap Menikah, Real Books 2013 18. Kaya Raya
Modal Iman, Real Books 2013
Karya Anak 19. Dongeng 30 Mancanegara 2009, Diva Press Yogya 2010 20. Sup Tujuh
Samudera 2010, Diva Press Yogya 2010 21. Aha, Aku Bunuh Harry Potter 2010, Diva
Press Yogya 2010 22. Siapakah Allah ya? 2011, Diva Press Yogya 2010 23. Idolaku
Rasulullah SAW 2010, Diva Press Yogya 2010
Novel Sejarah 24. The Chronicle of Kartini, Diva Press Yogya 2011 25. Cheng Ho
Laksamana Muslim dari Negeri Seberang, Diva Press Yogya 2011 26. Ibrahim Rindu
Allah, Diva Press Yogya 2011 27. Kilat Mata Ksatria Allah, Diva Press 2012 28. Dan,
Lilinpun Dipadamkannya (biografi Umar bin Abdul Aziz) Real Books, Yogya 2012
Akan terbit 29. Si Pitung (Novel) 30. Trilogi Novel Perempuan Bahu Laweyan (Novel) 31.
30 Seni Membahagiakan Istri (motivasi) diterbitkan oleh Real Books Yogya (Motivasi) 32.
30 Seni Membahagiakan Suami (motivasi) diterbitkan oleh Real Books Yogya (Motivasi)
33. Rekishi—Impian Bunuh Diri Tanpa Rasa Sakit (Novel) 34. Chicken Soup of Asmaur
Rasul (Cerita Motivasi) 35. Sunan Pandanaran (Novel) 36. Dampo Awang (Novel) 37. Ki
Ageng Selo (Novel) 38. Joko Tarub (Novel)

07/10/2013 13:21
Fajriah
Trimksih bnyak mas Wiwid...
Sangat membantu.

07/10/2013 13:22
Wiwid Prasetiyo
Ya sama-sama, baru sempat hari ini jawabnya
PROFIL PENULIS
Siti Nurfajriah, lahir di Bekasi pada tanggal 01
April 1991. Anak pertama dari tiga bersaudara ini
menuntaskan pendidikan Taman Pendidikan Anakanak (TPA) di TPA Az-Zahra. Setelah lulus, ia
melanjutkan
Setiadarama
Sekolah
02
Dasar
Tambun.
(SD)
di
SDN
Kemudian
ia
melanjutkan pendidikannya di SMP Islam Terpadu
Ar-Raudhah. Pendidikan pada jenjang Sekolah
Menengah Atas telah ditempuhnya di MAN Babakan Ciwaringin Cirebon dan
menjadi santriwati di pondok pesantren As-Sa’adah. Setelah lulus pada tahun
2009, ia melanjutkan pendidikannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
padajurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Berbagai prestosi telah diraihnya seperti: Juara II lomba Mutsabaqoh
Tilawatil Qur’an (MTQ) ketika di SMP dan juara III lomba pidato ketika di
pondok pesantren. Pengalaman organisasi yang pernah ia geluti selama
menempuh pendidikan di antaranya sebagai salah satu anggota OSIS dan
kemudian menjadi ketua bidang kerohanian ketika di SMP, dilanjutkan semasa
kuliah mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan HMJ di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama kuliah ia aktif mengajar di SMP IT ArRaudhah.
Alasan yang mendasari keinginannya menjadi guru adalah karena rasa
cintanya kepada dunia pendidikan dan dunia anak-anak. Oleh karena itu, ia
memilih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain itu, ia merasa sangat beruntung telah menempuh
pendidikan hingga jenjang pendidikan strata 1 (S-1) sehingga ia mendapatkan
wawasan dan pengalaman yang bermanfaat serta ia berharap dapat menjadi tenaga
pendidik yang bermanfaat bagi masyarakat.
Download