NILAI MORAL DALAM NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) Oleh: Siti Nurfajriah (109013000007) PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 ABSTRAK Siti Nurfajriah, 109013000007, ―Nilai Moral dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah‖. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum. Nilai pendidikan dalam novel ini difokuskan pada pembahasan nilai moral. Selanjutnya pembentukan nilai moral para tokoh tersebut dikaitkan dengan latar belakang asal tempat yang terdapat dalam novel. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur yang membangun novel Orang Miskin Dilarang Sekolah, nilai pendidikan moral para tokoh, dan implikasi pembahasan novel ini terhadap pembelajaran di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah strukturalisme sastra. Hasil penelitian berupa struktur cerita tersusun secara padu dan logis karena setiap unsurnya saling berkaitan. Perjuangan tokoh utama dalam membantu teman-temannya untuk sekolah merupakan tema utama dalam cerita. Penokohan menurut fungsinya sebagai protagonis dan antagonis semakin memperjelas dan menghidupkan cerita. Bentuk alur maju dengan menggunakan sekuen dan hubungan kausalitas dapat mempermudah pembaca dalam memahami alur cerita. Pendeskripsian latar tempat semakin memperkuat alur dan penokohan. Pendeskripsian latar waktu menampilkan keadaan sosial pada saat itu. Penggunaan sudut pandang orang pertama membuat pembaca seolah merasakan dan terlibat langsung dalam cerita. Gaya bahasa yang digunakan semakin memperindah jalannya cerita, sehingga lebih menarik perhatian pembaca. Latar belakang masyarakat Jawa dalam cerita berkaitan dengan nilai moral, di antaranya nilai moral terhadap diri sendiri, nilai moral terhadap orang lain dan nilai moral terhadap Tuhan. Nilai moral tersebut tercermin melalui para tokoh sehingga terlihat bahwa pengarang ingin menunjukkan prinsip Jawa dalam karyanya. Analisis novel Orang Miskin Dilarang Sekolah dapat memenuhi kompetensi inti dalam kurikulum. Kegiatan menganalisis struktur novel dapat menambah pemahaman siswa terhadap cara menganalisis struktur novel serta meningkatkan keterampilan berbahasa. KataKunci: Nilai pendidikan moral, pendekatan struktural dan pragmatik, novel Orang Miskin Dilarang Sekolah i ABSTRACT SitiNurfajriah, 109013000007, "Moral Values in Orang Miskin Dilarang Sekolah novel by WiwidPrasetyo and its Implications toward Literature Learning at School". Indonesian Language and Literature Departement, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, State Islamic of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M.Hum. Educational value in this novel focused on the discussion of moral values. The formation of these values in the characters is associated with the social and cultural setting of the novel, which is Semarang, Central Java. This research aims to describe the structure of Orang Miskin Dilarang Sekolah novel, moral education value of the characters, and implication of this discussion for literature learning at school. The method used is structural and pragmatic approach. The result of the structure analysis are coherent and logical because every element are related. Struggle of the main character to help his friends in school is a major theme in the story. The characterizations according to the function as protagonist and antagonist were articulated and make the story. Vivid progressive plot desain by using the sequence and causality relationship make the reader easier in understanding the storyline. Description of the background further strengthen the plot and characterization. Description of the social background display state at the time. The use of first-person perspective makes the reader feel as if directly involved in the story. Style of language used increasingly beautify the course of the story, attract more the reader’s attention. Background of Javanese society in the story related to moral values, which are the moral values to one self, the moral values to other people, and the moral values to God, reflected by the charactersso it looks that the author wants to show the principle of Java in his work. Analysis of Orang Miskin Dilarang Sekolah novel can fulfill the main competence of curriculum. Structure analysis of the novel can increase student’s knowledge of how to analyze the structure of novel and improve their language skill. Keywords: Moral education values, pragmatic and structural approach, novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ii KAT`A PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt., yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga penulis diberi kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Nilai Moral dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah‖. Shalawat serta salam selalu penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam proses penulisan skripsi ini tentunya terdapat banyak halangan yang penulis hadapi. Namun, akhirnya penulis dapat menyelesaikan dengan baik berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Dra. Nurlena Rifa’i, M.A.,Ph. D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan; 2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan selama penulisan skripsi ini; 3. Rosida Erowati, M. Hum., dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran. Ilmu pengetahuan dan wawasan yang beliau berikan sangat bermanfaat bagi penulis; 4. Dra. Siti Sahara, dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan; 5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasannya kepada penulis selama perkuliahan berlangsung; 6. Orang tua tercinta (Bapak H. Syaiful Azhar dan Ibu Hj. Siti Sumairoh) yang senantiasa mendoakan serta memberikan motivasi selama penulisan skripsi ini; iii 7. Suami tercinta (Anton Firdaus, S.H) yang senantiasa mendoakan, memberikan motivasi, serta bantuan waktu dan tenaga dalam proses penulisan skripsi ini; 8. Sahabat-sahabatku tersayang: Fina Wardatul Ummah, Ria Fidiyanti, Windy Nurseptiani dan Ila Nurlaila, terima kasih atas doa, motivasi dan waktu luangnya dalam berbagi suka dan duka; 9. Seluruh mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, angkatan 2009, terima kasih atas doa dan dukungannya; 10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas doa dan dukungannya. Semoga semua bantuan doa, motivasi, serta bimbingan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah Swt. Selain itu, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak agar dapat membantu meningkatkan mutu pembelajaran dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Jakarta, Maret 2014 Penulis iv DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................... i ABSTRACT……………………………………………………………………….. ii KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii DAFTAR ISI............................................................................................................ v DAFTAR DIAGRAM ............................................................................................. vii DAFTAR TABEL ................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah....................................................................... ........ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................ ........ 3 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. ........ 3 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... ........ 3 E. Metodologi Penelitian ................................................................................... 4 BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................. 10 A. Pengertian Novel ........................................................................................... 10 B. Strukturalisme Sastra dan Pendekatan Pragmatik......................................... 11 C. Hakikat Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra.............................................. 19 D. Hakikat Moral ............................................................................................... 20 1. Pengertian Moral ..................................................................................... 20 2. Wujud Penyampaian Moral ..................................................................... 24 E. Etika Jawa ..................................................................................................... 25 F. Hakikat Pembelajaran Sastra......................................................................... 29 G. Penelitian yang Relevan ................................................................................ 30 v BAB III PROFIL PENGARANG DAN HASIL ANALISIS ............................... 34 A. Biografi Wiwid Prasetyo............................................................................... 34 B. Karya-karyaWiwid Prasetyo ......................................................................... 35 C. Sinopsis Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah.......................................... 37 D. Struktur Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah .......................................... 39 1. Tema .................................................................................................. 39 2. Tokoh dan Penokohan ....................................................................... 44 3. Latar ................................................................................................... 75 4. Alur .................................................................................................... 78 5. Sudut Pandang ................................................................................... 85 6. Gaya Bahasa ...................................................................................... 86 E. Analisis Nilai Moral Tokoh dengan Pendekatan Pragmatik ......................... 89 1. Nilai Moral terhadap Diri Sendiri...................................................... 91 2. Nilai Moral terhadap Orang Lain ...................................................... 96 3. Nilai Moral terhadap Tuhan .............................................................. 98 F. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah...102 BAB IV PENUTUP .......................................................................................................... 104 A. Simpulan ....................................................................................................... 104 B. Saran .............................................................................................................. 105 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1 : Sekuen Lampiran 2 : RPP Lampiran 3 : Silabus Lampiran 4 : Bahan Materi Ajar Lampirab 5 : Cover Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Lampiran 6 : Wawancara antara Penulis dengan Wiwid Prasetyo PROFIL PENULIS vi 107 DAFTAR DIAGRAM DIAGRAM HALAMAN 4.1 Diagram mengenai skema aktan ........................................................................ 44 vii DAFTAR TABEL TABEL HALAMAN 4.1 Tabel mengenai hubungan kausalitas alur ........................................................ ..81 viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja juga bersifat imajinatif. Jadi, dalam karya sastra khususnya dalam novel, tidak hanya berupa kisah yang diambil dari kehidupan nyata sehari-hari, melainkan diambil dari imajinasi atau daya khayal seseorang. Perkembangan novel di Indonesia berkembang cukup pesat, terbukti dengan hadirnya berbagai macam novel yang telah diterbitkan, sehingga bentuk dan isi novel tersebut beragam. Pada dasarnya, novel selalu hadir sebagai sebuah gambaran atau cerminan kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupannya. Novel juga merupakan gambaran lingkungan masyarakat yang hidup di suatu masa dan suatu tempat. Tokoh dan peristiwa yang disajikan dalam novel merupakan pantulan realitas yang ditampilkan oleh pengarang dari suatu keadaan tertentu. Sebuah karya satra, termasuk novel biasanya menggambarkan kehidupan pada saat karya sastra itu ditulis. Karya sastra seperti novel selalu menghadirkan berbagai macam nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai pendidikan seperti nilai moral, sosial, budaya, dan religi yang patut untuk diteladani. Oleh karena itu, novel sebagai karya sastra merupakan salah satu jenis dari bacaan masyarakat, turut memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan pola pikir masyarakat pembacanya. Novel sebagai salah satu media alternatif bacaan pun harus mampu memberikan hal-hal positif yang ada di dalamnya. Dengan begitu, pembaca pun diharapkan mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang ada dalam novel dengan kehidupan sehari-hari. 1 2 Akan tetapi, jika diamati bagaimana keadaan nyata dunia pendidikan dewasa ini, tampak adanya gejala-gejala yang menunjukkan rendahnya kualitas moral seseorang. Hal tersebut dapat dilihat dari moral seorang anak terhadap orang tua seperti melawan dan menentang mereka, maraknya perilaku seks, mewabahnya penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya. Masalah tersebut tentu memerlukan solusi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan, bertugas memberikan pembelajaran moral kepada siswanya. Pembelajaran moral ini dapat dilakukan dengan memberikan pembinaan dalam pembelajaran karya sastra. Pada hakikatnya, karya sastra berupa buku-buku yang berisi cerita yang baik turut memberikan pengaruh dalam pembentukan watak siswa. Maka dari itu, apa yang tertulis dalam karya sastra khususnya novel, merupakan observasi yang tajam dari pengarang terhadap realitas yang terjadi disekelilingnya. Membaca karya sastra memungkinkan seseorang mendapatkan masukan tentang nilainilai kehidupan positif yang patut diteladani, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun Tuhan. Dari pemaparan di atas, diharapkan dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah turut berpengaruh dalam pembentukan watak siswa. Dengan kata lain, tiap kegiatan menyiratkan upaya pendidikan yang bertujuan membina watak siswa. Begitu juga dengan pengajaran sastra, diharapkan mampu menghasilkan manusia-manusia yang berpotensi dan mampu menjadi pribadi yang baik. Hal inilah yang membuat penulis ingin menjabarkan nilai-nilai pendidikan berupa nilai moral yang ada dalam cerita, dan nilai moral tersebut akan dikaitakan dengan keadaan asli dalam latar cerita, baik yang berkaitan dengan adat, budaya, dan lain sebagainya. Nilai moral novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo ini bernafaskan persahabatan dan pendidikan di Indonesia. Cerita dalam novel ini menegaskan bahwa keadaan ekonomi bukanlah menjadi hambatan seseorang dalam meraih cita-citanya. Kemiskinan merupakan penyakit sosial yang berada dalam ruang lingkup 3 materi. Tokoh-tokoh yang ada dalam cerita selalu menjaga nilai moral dalam kehidupan. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka peneliti akan mengangkat permasalahan tersebut dalam judul skripsi ―Nilai Moral dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah‖. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur yang membangun novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo? 2. Bagaimanakah nilai moral yang tergambar dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo? 3. Bagaimanakah implikasi pembahasan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah? C. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan struktur yang membangun novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo. 2. Memaparkan nilai moral yang tergambar dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo. 3. Mendeskripsikan implikasi pembahasan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis a. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang sastra Indonesia, khususnya bagi pembaca dan pecinta karya sastra. 4 b. Sebagai acuan bahan dalam pembelajaran khususnya bidang Sastra Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai edukasi terutama nilai moral yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. 2. Manfaat Praktis a. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan referensi dalam memilih sumber pembelajaran khususnya dalam bidang sastra. b. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan tambahan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran sastra serta melengkapi sarana dan prasarana sebagai penunjang dalam proses kegiatan belajar dan mengajar untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. c. Bagi peserta, didik penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam mengapresiasi sastra khususnya memahami dan mengamalkan nilai-nilai edukasi yang terkandung di dalamnya. d. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai sastra sehingga dapat berpengaruh pada perkembangan pemahaman peneliti tentang sastra. E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang mendorong metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan. Ratna mengatakan bahwa suatu objek penelitian bukanlah gejala sosial sebagai bentuk substansif, melainkan makna-makna terkandung di balik tindakan, yang justru mendorong timbulnya gejala yang 5 sosial tersebut. Dalam hubungan inilah metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman. Ciri-ciri terpenting dari metode kualitatif, sebagai berikut:1 a. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural. b. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah. c. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya. d. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka. e. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing. Rancangan penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena data yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa kutipan-kutipan yang diperoleh dari novel. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis data-data tertulis berupa kata-kata, kalimat, paragraf, atau wacana yang terdapat pada novel OMDS karya Wiwid Prasetyo agar diperoleh nilai-nilai edukasi. Dalam penelitian ini, untuk mengkaji novel OMDS karya Wiwid Prasetyo, peneliti mulai menganalisis karya sastra itu sendiri. Analisis ini dilakukan untuk mencari unsur-unsur yang membangun karya sastra itu. Unsur instrinsik yang dianalisis meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang dengan mendeskripsikan nilai-nilai moral yang digambarkan melalui alur cerita dan tokoh-tokoh di dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo. 1Nyoman Kutha Ratna, S.U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 47. 6 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Pengkajian jenis ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang diteliti dan untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal, keadaan, fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi data tersebut. 3. Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis konten. Analisis konten yaitu metode penelitian untuk menghasilkan deskripsi yang objektif dan sistematik mengenai isi. 4. Sumber Data Sumber data untuk penelitian ini terdapat sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber data primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel OMDS karya Wiwid Prasetyo yang diterbitkan oleh Diva Press, Cetakan X: Januari 2012, dengan tebal 450 halaman. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku dan artikel yang terkait dengan teori sastra, nilai pendidikan moral, dan implikasi dalam pembelajaran sastra. 5. Teknik Pengumpulan Data Agar memperoleh data yang sesuai dengan tema penelitian, diperlukan suatu teknik atau metode pengumpulan data yang sesuai dengan objek penelitian. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, teknik catat, dan teknik simak. Pengumpulan data dalam penelitian ini berasal dari data yang bersumber 7 dari novel OMDS karya Wiwid Prasetyo berupa kata-kata atau verbal data. Adapun langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut. a. Teknik Pustaka, peneliti mengumpulkan berbagai pustaka yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian. b. Teknik Catat (hand writing), yaitu peneliti membaca novel OMDS karya Wiwid Prasetyo secara keseluruhan untuk mendapatkan pemahaman tentang analisis melalui dialog dan narasi yang merupakan wujud reaksi terhadap tokoh-tokoh, lingkungan, serta terhadap diri sendiri. Kemudian dicatat sesuai dengan data yang diperukan dalam penelitian. c. Teknik Simak, yaitu peneliti mengaitkan berbagai data yang terkumpul untuk diklasifikasi sehingga memudahkan penyajian. 6. Validitas Data Menurut Moleong, bahwa validitas adalah keabsahan data. Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada dasarnya, selain digunakan untuk menyanggah balik apa yang dituduhkan kepada penelitian kualitatif yang mengatakan tidak ilmiah, keabsahan data juga merupakan unsur yang tidak dapat terpisahkan dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif. 2 Data yang telah berhasil digali kemudian dikumpulkann dan dicatat dalam kegiatan penelitian. Oleh karena itu, guna menjamin validasi data dalam penelitian ini, maka digunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Triangulasi yang digunakan adalah teknik triangulasi teori. Teknik tersebut dapat dilakukan dengan menyertakan usaha pencarian cara lainnya untuk mengorganisasikan data yang barangkali mengarahkan pada upaya penemuan penelitian lainnya. 3 2 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 320. 3 Ibid, h. 332. 8 7. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan model heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya yang berfungsi untuk memperjelas arti apabila perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya diberikan tanda kurung. Begitu juga struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif) apabila perlu susunannya dibalik utnuk memperjelas arti, sedangkan Hermeneutik pembacaan ulang setelah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastranya.4 Langkah awal dalam penelitian ini adalah pembacaan heuristik yaitu peneliti menginterpretasikan teks novel OMDS karya Wiwid Prasetyo untuk menemukan unsur-unsur instrinsik dan nilai-nilai moral dalam novel. Unsur-unsur yang dianalisis di dalam novel ini meliputi tema, alur, latar, penokohan, dan sudut pandang. Langkah kedua, peneliti melakukan pembacaan hermeneutik yaitu dengan menafsirkan makna peristiwa atau kejadian yang terdapat dalam teks novel OMDS karya Wiwid Prasetyo, sehingga dapat menemukan nilai-nilai edukasi yang terdapat dalam novel. 8. Prosedur Penelitian a. Pembacaan Data Pembacaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah heuristik dan hermeuneutik. b. Reduksi Data Pada langkah ini data yang sudah diperoleh kemudian dicatat dalam uraian terperinci. Dari data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis. Dalam hal ini berkaitan dengan analisis struktur dan nilai moral dalam novel OMDS 4Jabrohim, Teori Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 126. 9 karya Wiwid Prasetyo. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah yang menjadi data dalam penelitian ini. c. Penyajian Hasil Identifikasi dan Klasifikasi Data Pada langkah ini, data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang analisis struktur dan nilai moral dalam novel. BAB II LANDASAN TEORI A.Pengertian Novel Menurut Nurgiyantoro, novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat: cerpen: Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel,1 sedangkan menurut Wellek dan Warren, novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Romansa, yang ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah, menggambarkan apa yang tidak pernah terjadidan tidak mungkin terjadi.2 Berdasarkan segi panjangnya cerita, tentulah novel berkisah mengenai kehidupan manusia dalam skala yang lebih luas, dibandingkan cerpen yang hanya mengisahkan seseorang yang mengalami satu peristiwa dalam satu waktu tertentu. Novel dapat dikatakan sebagai kisah sejarah hidup seseorang. Seperti yang dikatakan oleh Wellek dan Warren bahwa novel dianggap sebagai dokumen atau berupa kasus sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis sangat meyakinkan), sebagai sejarah kehidupan seseorang dan zamannya.3 Sebagian besar orang membaca sebuah novel hanya ingin menikmati cerita yang disajikan oleh pengarang. Pembaca hanya akan mendapatkan kesan secara umum dan bagian cerita tertentu yang menarik. Membaca sebuah novel yang terlalu panjang yang dapat diselesaikan setelah berulang kali membaca dan setiap kali membaca hanya dapat menyelesaikan beberapa episode akan memaksa pembaca untuk mengingat kembali cerita yang telah dibaca sebelumnya. Hal ini menyebabkan pemahaman keseluruhan cerita dari episode ke episode berikutnya akan terputus. 1Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 9. 2 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 282. 3Ibid, h. 276 10 11 Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah cerita fiktif yang berusaha menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata, tetapi sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang adalah realitas atau fenomena yang dilihat dan dirasakan. B. Strukturalisme Sastra dan Pendekatan Pragmatik Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural. Menurut Ratna, struktur berasal dari kata structural (bahasa latin) yang berarti bentuk atau bangunan. Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur untuk menganalisis sebuah karya sastra, sehingga harus dipertahankan unsurunsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Struktur yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam dunia sastra yaitu tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.4 Menurut Nurgiyantoro, sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.5 Analisis struktural karya sastra yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah coba dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Sedangkan Mahayana mengatakan bahwa 4 Nyoman Kutha Ratna,Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 91—94. 5Nurgiyantoro, op.cit., h. 36. 12 pendekatan yang ditawarkan oleh strukturalisme sangat efektif dan praktis karena peneliti cukup memahami teksnya saja tanpa harus mengaitkan teks dengan segala konteks yang lain sehingga peneliti dapat memfokuskan pikiran hanya pada teks .6 Pendapat lain dikemukakan oleh Jabrohim bahwa analisis struktural (yang murni), unsur-unsur pembangun yang disebutkan di atas itulah yang dikaji dan diteliti. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah pemahaman dan pengkajian unsur struktur harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan unsur itu. 7 Seperti halnya dalam karya fiksi, kita tidak mungkin dapat ―merebut makna‖ tokoh dan penokohan tanpa kita mengetahui apa pengertian tokoh, bentuk-bentuk watak dalam segala situasi, dan sebagainya mengenai tokoh. Demikian juga mengenai alur, latar, tema, dan yang lainnya. Akan tetapi, penting juga diperhatikan mengenai makna-makna bagian atau unsur itu dalam keseluruhan, dan sebaliknya. Dalam menganalisis novel Orang Miskin Dilarang Sekolah, peneliti menggunakan pendekatan struktural yang menitikberatkan pada kajian intrinsik sebuah novel. Menurut Natawidjaja, intrinsik adalah unsur-unsur rohaniah yang harus diangkat dari isi karya sastra itu mengenai tema dan arti yang tersirat di dalamnya.8 Berikut adalah penjelasan masing-masing mengenai unsur pembangun (intrinsik) sebuah karya sastra: 1. Tema Menurut Siswanto adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan kaya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.9 Tema digolongkan menjadi 6Maman S, Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1007), h. ix. 7 Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia),h. 58. 8P. Suparman Natawidjaja, Apresiasi Sastra dan Budaya,(Jakarta: PT Intermasa, 1982), h. 102. 9 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.161. 13 beberapa kategori yang berbeda. Namun, dalam penelitian ini, untuk pembahasan tema hanya akan menggunakan tema menurut cakupannya. Berdasarkan cakupannya, tema dibedakan menjadi dua yaitu tema mayor (tema utama) dan tema minor (tema tambahan). Menurut Nurgiyantoro, tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu, sedangkan tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagianbagian tertentu cerita, atau dapat didefinisikan sebagai makna bagian atau makna tambahan.10 2. Latar Abrams dalam Nurgiyantoro menjelaskan bahwa latar cerita (setting) disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Nurgiyantoro juga memaparkan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. 11 Dalam karya fiksi, latar dibedakan menjadi dua, yaitu latar tipikal dan latar netral. Menurut Sayuti, latar netral adalah latar yang hanya latar, tidak memiliki kaitan yang fungsional dengan elemen fiksi lainnya. Pengarang tidak memiliki motivasi untuk memilih kualitas tertentu untuk membuat pelukisannya tentang waktu atau tempat menjadi khas atau tipikal.12 Sedangkan menurut Nurgiyantoro, latar tipikal memiliki sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesan kepada pembaca bahwa karya itu bersifat realistis, terlihat sungguh-sungguh diangkat dari latar faktual.13 10 Nurgiyantoro, op.cit., h. 82—83. Ibid h. 217. 12 Suminto A. Sayuti, Apresiasi Prosa Fiksi, (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 121. 13 Nurgiyantoro, op.cit., h. 220—222. 11 14 3. Alur Alur oleh Stanton dalam buku karya Susanto, dipandang sebagai tulang punggung sebuah cerita, sebab alur bersifat mampu menjelaskan dirinya sendiri daripada unsur-unsur yang lain. Alur atau plot menurutnya harus memiliki bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Alur harus mampu memberikan kejutan kepada pembacanya dengan berbagai ketegangan yang dibangunnya. Alur merupakan satu mata rangkai sebuah peristiwa yang dihubungkan dengan sebab dan akibat.14 Alur tidak hanya dimaknai hanya sekedar penyajian rangkaian peristiwa dalam cerita, tetapi tahapan pertiwa dalam alur memiliki hubungan sebab akibat, sedangkan pengaluran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pengarang dalam mengolah peristiwa sehingga membentuk rangkaian peristiwa yang dapat tersusun dengan baik dan berkaitan satu dengan yang lain. Sementara itu, Nurgiyantoro menjelaskan isi dari tahapan-tahapan alur yaitu tahap awal yaitu tahap pengenalan yang pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya, berupa pengenalan latar atau tokoh. Tahap tengah cerita yang disebut juga pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya menjadi semakin meningkat, semakin menuju klimaks. Tahap akhir cerita atau disebut juga tahap penyelesaian yang menampilkan peristiwa tertentu sebagai tanda akibat klimaks, pada tahap ini dijelaskan bagaimana akhir dari sebuah cerita.15 4. Tokoh dan Penokohan Menurut Siswanto, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.16Sedangkan menurut Abrams dalam bukunya “A Glossary Of Literary Terms” mengatakan bahwa penokohan atau karakter adalah “ The persons, in a dramatic or narrative 14 Nurgiyantoro, op.cit. h. 142—145 Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2012), h. 131. 15 16Siswanto, op.cit.,h.142. 15 work, endowed with moral and dispositional qualities that are expressed in what they say the dialogue and what they do the action”.― Karakter adalah tokoh yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau dramatis, yang ditakdirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.17 Pengelompokan tokoh dibedakan menjadi beberapa jenis. Salah satunya berdasarkan fungsi tokoh yaitu Tokoh protagonis adalah tokoh utama yang merupakan sentral cerita, keberadaan tokoh tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika hendak mencapai tujuan.18Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan munculnya suatu konflik atau dan dapat menimbulkan antipati pada pembacanya. Penokohan memiliki pengertian lebih luas dari ―tokoh‖ sebab penokohan mencakup bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.19 Teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dimiliki oleh A.J Greimas dengan menggunakan teori aktan. Analisis struktur aktan akan lebih mengeksploitasi eksistensi tokoh dan keterlibatannya dalam berbagai peristiwa, sehingga lebih terlihat keterlibatan antara masing-masing tokoh. Dalam buku Ratna yang berjudul Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, Greimas mengisahkan hubungan-hubungan yang dapat terjadi antara pelaku (aktan) dalam sebuah cerita.20 Dengan terlihatnya hubungan-hubungan antara pelaku atau tokoh, akan lebih memperjelas mengenai fungsi dari masing-masing tokoh tersebut sehingga memudahkan pembaca dalam memahami cerita. 17M.H Abrams, A Glossary Of Literary Terms, (New York: Cornell University, 1981), h. 69. 18Delfiana Sandi, Tokoh dan Penokohan Teater, artikel ini diunduh pada 10 November 2013, Pukul 19.30, dari http://dsandi-go.blogspot.com/2012/10tokoh-dan-penokohanteater.html?m=1 19Nurgiyantoro, op.cit., h. 166. 20 Nyoman Kutha Ratna, S.U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 140. 16 5. Sudut Pandang Menurut Minderop, pada hakikatnya merupakan strategi, teknik atau siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang disalurkan melalui sudut pandang.21 Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita. Sudut pandang dibedakan menjadi beberapa bagian, namun dalam analisis ini menggunakan sudut pandang orang pertama ―aku-an‖. Minderope menjelaskan bahwa pencerita ―aku-an‖ tokoh utama digunakan apabila pencerita merupakan salah satu tokoh utama dalam ceritera yang dalam bercerita mengacu kepada dirinya sendiri dengan menggunakan kata ―aku‖.22 Dengan menggunakan sudut pandang tokoh utama ―aku-an‖ maka kita sebagai pembaca akan lebih mudah memahami isi cerita berdasarkan pandangan si tokoh utama ―aku-an‖ tersebut yang memiliki peranan penting dalam cerita, dan tentunya tokoh utama ―aku-an‖ ini mengalami peristiwa dan konflik secara langsung dalam cerita. 6. Gaya Bahasa Aminuddin dalam Siswanto mengatakan bahwa gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan indah dan harmonis melalui media bahasa serta mampu menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.23 Menurut Keraf, jenis-jenis gaya bahasa dapat dibedakan sebagai berikut; (1) berdasarkan bahasa terdiri dari segi non bahasa berupa gaya bahasa berdasarkan pengarang, masa, medium, subyek, tempat, hadirin, tujuan, sedangkan jika dari segi bahasa terdiri atas gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dan nada yang terdapat dalam wacana; (2) gaya bahasa berdasarkan 21Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 88. 22 Ibid., h. 94. 23Siswanto, op.cit.,h.158. 17 pilihan kata terdiri atas gaya bahasa resmi, tak resmi, dan percakapan; (3) berdasarkan nada, yaitu gaya bahasa sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah; (4) berdasarkan struktur kalimat terdiri dari klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi; (5) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna terdiri atas gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.24 Jadi, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang menggunakan bahasa melalui karya yang dihasilkan. Semakin khas gaya bahasa yang digunakan pengarang, maka karakter pengarang karya sastra tersebut pun akan semakin terlihat. Gaya bahasa yang digunakan peneliti adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu gaya bahasa kiasan. Pendekatan selanjutnya yang digunakan penulis adalah pendekatan pragmatik. Dalam pendekatan pragmatik, peran pembaca sangat diperlukan karena peran pembaca tersebut dapat menentukan dan menilai layak atau tidaknya sebuah karya sastra, seperti yang dijelaskan oleh Semi yaitu pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberi kesenangan dan faedah bagi pembacanya. Dengan demikian, pendekatan ini menggabungkan antara unsur pelipur lara dan unsur didaktis.25 Ratna mengatakan bahwa pendekatan pragmatik memiliki hubungan dengan sosiologi atau kemasyarakatan karena pragmatik membicarakan mengenai masyarakat sebagai pembaca dan terkait tanggapan-tanggapan dari masyarakat sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan oleh para penikmatnya.26 Pendapat lain dikemukakan oleh Yudiono bahwa makna yang terdapat di dalam karya sastra dapat ditentukan oleh pembaca karena karya sastra sebagai seni dapat dipandang berhasil apabila dapat membuat pembaca 24 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Jakarta, 1985), h. 115— 129 25Atar 26 Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa Bandung, 1984), h. 44. Ratna, op.cit., h. 71—72. 18 merasa senang dan terhibur serta dapat memberikan pembelajaran atau nilai pendidikan yang dapat diterapkan si pembaca. 27 Menurut Pradotokusumo, pendekatan pragmatik menitikberatkan kajiannya terhadap pembaca, pembaca yang menilai, menafsirkan, memahami, dan menikmati karya sastra, karena setiap pembaca memiliki pengalaman selaku manusia budaya dan seterusnya.28 Dalam novel OMDS, Wiwid Prasetyo mengangkat suatu cerita berdasarkan tujuan yang akan disampaikan kepada pembaca. Mempelajari sastra mau tidak mau harus mengetahui apa tujuan sastra bagi para penikmatnya, dengan mengetahui tujuan yang ada, paling tidak kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia. Menurut pendapat Teeuw, ciri khas dari pendekatan pragmatik adalah pergeseran minat dari karya sastra sebagai struktur ke arah pembaca, dengan menekankan peranan pembaca sebagai pemberi makna pada karya sastra itu. Pembaca dipandangnya sebagai penyingkap struktur karya sastra secara cukup mutlak. Tekanan pada pembaca sebagai pemberi makna berarti bahwa karya sastra dalam visi ini tidak mempunyai makna langgeng dan mantap, pemahaman danpenilaiannya terus tergeser dengan munculnya kalangan atau angkatan pembaca baru. 29 Jika ditinjau menggunakan pendekatan pragmatik, maka novel OMDS ini akan memiliki citra yang berbeda-beda dari tiap-tiap pembaca. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pandangan antara pembaca satu dan pembaca lain, ada kalanya pembaca memandang dari sudut estetika. Para pembaca yang memandang novel OMDS dari sudut pandang ini akan mengutarakan pendapatnya secara objektif dan mengacu pada interpretasinya sendiri sehingga terkadang akan muncul pendapat bahwa novel ini adalah suatu karya satra yang indah, dilihat dari struktur penyampaian atau penulisannya. Pendekatan pragmatik mengungkapkan tujuan dan fungsi sastra terhadap keberadaan masyarakat dengan menghadirkan nilai pendidikan sehingga dapat 27Yudiono KS,Telaah Kritik Sastra,(Bandung: Angkasa Bandung, 1986), h. 31. Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, (Jakarta: Gramed, 2005), h. 80. 29 A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 61. 28 19 dijadikan teladan untuk masyarakat. Dikatakan demikian karena kehadiran sastra dalam masyarakat dipandang mempunyai tujuan. Adapun aspek pragmatik yang akan dikaji dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo adalah nilai moral, karena moral merupakan salah satu aspek pragmatik yang selalu memberikan pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. C. Hakikat Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra Nilai berhubungan erat dengan kegiatan manusia dalam menjalani kehidupan. Setiadi menjelaskan bahwa menilai berarti menimbang kegiatan manusia dengan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil suatu keputusan. 30 Nilai merupakan sesuatu yang sangat dihargai, selalu dijunjung tinggi, serta manusia dapat merasakan kepuasan dengan nilai. Nilai jika dihayati akan berpengaruh pada cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindak seseorang dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal ini berarti bahwa dengan adanya berbagai wawasan yang dikandung dalam karya sastra, khususnya novel akan mengandung berbagai macam nilai kehidupan yang akan sangat bermanfaat bagi pembaca. Setiap karya sastra khususnya novel pasti mengandung pesan yang ingin disampaikan, pesan tersebut mengandung nilai-nilai kehidupan berupa nilai pendidikan, karena novel tidak hanya menghibur, melainkan sebagai sarana menyampaikan nilai pendidikan. Pendidikan menurut Sabri bahwa istilah pendidikan dapat diartikan sebagai proses atau suatu kegiatan yang mendidik. Hal tersebut dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang memberikan uraian yang lengkap, sistematis, dan metodis mengenai masalah-masalah yang ada kaitannya dengan proses pendidikan atau mendidik.31 Pendidikan tidak hanya dapat diperoleh melalui suatu lembaga formal, melainkan melalui sarana novel juga dapat menanamkan nilai pendidikan. Sejalan dengan yang dijelaskan oleh Idi, bahwa ada keterkaitan yang sangat kuat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat, karena pendidikan merupakan bagian dari 30Elly 31M. M, Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 114. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 1. 20 kehidupan yang dituntut mampu mengikuti perkembangan yang ada di dalamnya.32 Manfaat yang dapat diambil dari karya sastra diantaranya adalah agar mendapat nilai estetik. Menurut Ratna dalam bukunya yang berjudul Estetika Sastra dan Budaya, estetik dalam bahasa Inggris menjadi aesthetics atau esthetics (studi tentang keindahan). Dalam bahasa Indonesia menjadi estetikus, estetik dan estetika, yang masing-masing berarti orang yang ahli dalam bidang keindahan, bersifat indah, dan ilmu atau filsafat tentang keindahan atau keindahan itu sendiri.33 Manfaat lain dari karya sastra yaitu mendapatkan manfaat praktis. Maksud dari manfaat praktis yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.34 Nilai praktis dalam novel OMDS terlihat dari nilai moral yang disampaikan dalam novel tersebut yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, nilai pendidikan yang dikaji dalam novel ini akan ditekankan terkait dengan nilai moral yang terkandung dalam novel OMDS. D. Hakikat Moral 1. Pengertian Moral Menurut Bertens, moral atau moralitas berasal dari kata sifat latin moralis mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya saja terlihat lebih abstrak. Misalnya kita berbicara mengenai ―moralitas suatu perbuatan‖, artinya kita berbicara mengenai baik atau buruknya suatu perbuatan, yang berarti moralitas merupakan sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik atau buruk.35 32 Abdullah Idi, Sosiologi Pedidikan, Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 59. 33 Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 3—4. 34Aristha serenade, Unsur dan Nilai Sastra, artikel ini diunduh pada 10 November 2013, Pukul 20.00, dari http://aristhaserenade.blogspot.com/p/unsur-dan-nilai-sastra.html 35 K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan kesebelas, 2011), h. 7 21 Setiap perbuatan manusia pasti berkaitan dengan baik dan buruk, akan tetapi tidak semua, yang berarti ada juga beberapa perbuatan yang netral dari segi etis. Misalnya, sesuatu yang baik akan selalu diawali atau menggunakan tangan kanan atau kaki kanan, namun seseorang yang tebiasa memakai sepatu diawali dengan kaki kiri karena sudah menjadi kebiasaan, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang tidak baik atau melanggar moral, akan tetapi hal tersebut dapat dikatakan amoral. Berbeda dengan seorang kepala rumah tangga yang lebih dulu membelanjakan uangnya untuk kepentingan sendiri seperti main judi, dan lain sebagainya, dan sisa uang tersebut barulah ia serahkan untuk keperluan keluarga, maka tindakan tersebut termasuk tindakan immoral. Seperti yang dijelaskan oleh Bertens bahwa perbuatan yang bersifat amoral tidak memiliki relevansi yang etis, tidak berhubungan dengan konteks moral atau di luar suasana etis, sedangkan immoral bertentangan dengan moral baik, yang berarti tindakan atau perbuatan yang dinilai buruk.36 Jadi, jelas terlihat bagaimana perbedaan antara amoral dan immoral yang sering disalahartikan. Suseno memaparkan bahwa moral mengacu pada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia, sebagai tolak ukur untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan manusia sebagai manusia, bukan sebagai pelaku peran yang tertentu atau terbatas.37 Zubair menjelaskan bahwa istilah etika berasal dari kata Yunani ―Ethos‖ yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata Latin ―Mos‖ yang dalam bentuk jamaknya ―Mores‖ yang berarti juga adat atau cara hidup. 38 Moral atau etika merupakan aspek yang berkaitan dengan perbuatan atau kelakuan yang pada dasarnya merupakan pencerminan akhlak atau budi pekerti. 36Ibid, h. 8 Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 19 38Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 15. 37Franz Moral, 22 Sedangkan secara umum menurut Nurgiyantoro, moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang akan disampaikan kepada pembaca.39 Nilai moral yang terdapat dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika mengenai baik atau buruk suatu perbuatan, patut untuk ditiru ataukah sebaliknya sehingga dapat tercipta suatu hubungan antarmanusia yang baik dalam bermasyarakat. Semi menyatakan bahwa moral dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep tentang kehidupan yang disanjungtinggi oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Ukuran moral dalam masyarakat juga mengalami perubahan menurut gerak pertumbuhan masyarakat yang bersangkutan.40 Moral memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Seseorang harus mampu memiliki kesadaran moral, karena kesadaran moral timbul dari diri sendiri ketika berhadapan dengan baik dan buruk dalam hidupnya. Dengan adanya kesadaran moral, maka seseorang akan mampu memberi penilaian terhadap suatu perbuatan termasuk pada perbuatan yang baik atau yang buruk. Setelah timbul kesadaran moral, maka manusia akan mampu mengontrol tentang hal baik yang harus ia lakukan dan hal buruk yang tidak pantas dilakukan. Singkatnya, semua nilai yang mendukung harkat manusia adalah nilai moral atau etis. 39Nurgiyantoro, 40Semi, op.cit., h. 320. op.cit., h. 49. 23 Ciri-ciri dari manusia yang memiliki kesadaran moral adalah ia akan selalu berpegang teguh pada nilai-nilai yang diyakini sekalipun tidak ada orang lain yang melihatnya karena kesadaran ini lahir dari dalam dirinya sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun. Moral berarti etika, etika memiliki pengertian yang sama dengan moral. Mengacu pada penjelasan dari Setiadi yang mengatakan bahwa kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi orang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.41 Pendapat lain yang dikemukakan oleh Salam, bahwa etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. 42Hal tersebut merupakan sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia. Menurut hukum etika, suatu perbuatan itu dinilai pada tiga tingkat: (1) semasih belum lahir jadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam kata hati, niat; (2) sesudahnya, sudah berupa perbuatan nyata = pekerti; (3) akibat atau hasil dari perbuatan itu = baik atau tidak baik. Apa yang masih berupa kata hati atau niat itu, dalam bahasa falsafah ataupun psikologi, biasa disebut karsa atau kehendak, kemauan, will. Isi dari karsa atau kemauan itulah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Langkah-langkah yang ditempuh oleh perbuatan itulah yang dinilai.43 Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan yang lainnya kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang sama yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia untuk selanjutnya ditentukan posisinya baik atau buruk. 41Setiadi, op.cit., h. 108. Burhanuddin Salam, Etika Sosial (Asas Moral dalam Kehidupan Manusia), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 1. 43 Burhanuddin Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 4—5. 42 24 Dalam karya sastra, moral merupakan inti yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca dengan menampilkan makna yang terkandung di dalamnya. Moral dalam karya sastra dianggap sebagai pesan atau amanat, seperti yang tergambar melalui salah satu unsur pembangun novel, yaitu tokoh dan penokohan, dalam unsur tersebut akan menampilkan beberapa moral tentang baik dan buruk suatu perbuatan, dan pembaca harus pandai membedakan antara moral baik dan buruk. Moral dalam karya sastra merupakan pandangan hidup seorang pengarang tentang baik dan buruk suatu perbuatan, dengan maksud sebagai sarana yang berhubungan dengan ajaran moral dan bersifat praktis yang ditambilkan melalui cerita. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat untuk menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila, sehingga di dalam masyarakat sangat mengutamakan nilai akhlak atau tingkah laku. Tingkah laku tersebut yang akan menentukan kedudukan seseorang di dalam masyarakat. 2. Wujud Penyampaian Moral Menurut Nurgiyantoro, wujud dari penyampaian moral secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu mencakup hubungan manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain (orang lain), dan manusia dengan Tuhan.44 Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Hubungan manusia dengan diri sendiri Persoalan manusia dengan diri sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat intensitasnya.Persoalan tersebut dapat berhubungan dengan persoalan eksistensi diri, harga diri, rasa percaya diri, takut, rindu dendam, kesepian, kebimbangan, dan persoalan-persoalan lain yang lebih berhubungan dengan diri individu itu sendiri. 44Nurgiyantoro, op.cit., h. 323-324 25 b. Hubungan manusia dengan manusia lain (orang lain) Dalam kehidupan ini, mansusia pun sering berhubungan dengan manusia lain. Permasalahan ini biasanya berhubungan dengan permasalahan persahabatan, misalnya kesetiaan dan penghianatan, permasalahan keluarga, misalnya hubungan antara suami dan istri, anak dengan orang tua, permasalahan antara atasan dengan bawahan, dan permasalahan-permasalahan lain yang berkaitan dengan interaksi manusia dalam kehidupan. c. Hubungan manusia dengan Tuhan Permasalahan lain yang sering dialami manusia dalam kehidupan adalah permasalahan antara dirinya dengan Tuhannya. Permasalahan ini berhubungan dengan aspek ketuhanan, misalnya permasalahan yang berkaitan dengan ketaatan dalam menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis ingin menjadikan ketiga wujud penyampaian pesan moral di atas sebagai landasan dalam menganalisis nilai moral dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dalam proses analisis dapat mempermudah penulis dalam menentukan nilai moral yang ada dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah sehingga batasan analisisnya pun akan semakin jelas. E. Etika Jawa Budaya Jawa memiliki ciri khas dalam kemampuan menerima berbagai macam kebudayaan yang datang dari dalam maupun luar, tetapi masih tetap mempertahankan keasliannya. Hal itu dikarenakan pola kehidupan masyarakat Jawa telah diatur dalam nilai dan norma sebagai tuntutan bagaimana orang Jawa menjalani kehidupannya. Menurut Suseno, etika merupakan keseluruhan norma 26 dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.45 Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika Jawa merupakan keseluruhan norma yang mengikat atau mengatur bagaimana seorang manusia harus bersikap, bertindak, dan bertutur dalam kehidupan masyarakat sehingga diketahui baik buruknya terhadap apa yang telah dilakukannya, hal itu berlaku untuk seluruh anggota masyarakat Jawa baik itu dari kalangan atas (Wong Gedhe) atau kalangan bawah (Wong Cilik). Adapun etika atau moral yang dimaksud di antaranya: 1. Nrimo Nrimo berarti menerima atau ikhlas terhadap apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan kepada manusia, tanpa adanya protes atau pemberontakan. Nrimo merupakan salah satu sikap Jawa yang paling sering disalah-pahami sebagai bentuk kesediaan seseorang untuk menelan segala-galanya secara apatis. Sebenarnya nrimo itu merupakan salah satu sikap hidup yang positif.46 Jadi, pengertian di atas dapat dipahami bahwa sikap nrimo sering disalahartikan dengan sikap yang pasrah dalam arti masyarakat Jawa tidak mau berusaha merubah nasib. Namun, dibalik sikapnya yang nrimo, masyarakat Jawa terkenal dengan sikapnya yang pekerja keras. Apabila ia telah memiliki pekerjaan, maka ia akan tekun mengerjakannya walaupun pekerjaan yang mereka miliki relatif rendah. 2. Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe Sepi ing pamrih berarti suatu kerelaan untuk tidak lagi mengejar kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi, sedangkan rame ing gawe berupa memenuhi suatu kewajiban maisng-masing individu.47 Dapat dikatakan bahwa sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe memiliki pengertian bahwa apabila melakukan suatu perbuatan atau suatu kewajiban harus 45Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984) h. 6 46Ibid., h. 143 47 Ibid., h. 150 27 didasari rasa ikhlas dengan tidak mementingkan urusan pribadi atau dalam bentuk mengharapkan imbalan dari apa yang telah dilakukan, akan tetapi lebih mengutamakan kepentingan orang lain. 3. Prinsip Hormat atau mundhuk-mundhuk Prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjuk kan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai derajat dan kedudukannya.48 Tentu saja prinsip-prinsip demikian beranjak ke arah pemudaran, apalagi setelah orang mengerti bahwa setiap orang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama, kemudian timbul pemberontakan untuk apa prinsip hormat itu dilakukan. Dalam masyarakat jawa kesatuan hendaknya diakui oleh oleh semua dengan membawa diri sesuai tuntutan tata krama sosial, sehingga mereka yang berkedudukan lebih tinggi atau tua harus dihormati dan sebaliknya yang lebih tinggi mampu mengayomi. Oleh karenanya orang jawa mengatur hal tersebut dalam etikanya, dalam bahasa jawa tidak mungkin untuk menyapa atau bercakap-cakap dengan orang lain tanpa menaksir kedudukan sosial jika dibandingkan dengan dirinya, sehingga dalam bahasa jawa terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika, yaitu terdapat bahasa kromo untuk mengungkapkan sikap hormat dan bahasa ngoko untuk mengungkapkan sikap keakraban. 4. Percaya terhadap Hal Gaib Agama Islam yang berkembang di masyarakat Jawa terkenal sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu juga jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna di negara Indonesia. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun 48 Ibid., h. 60 28 terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegangan ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam. Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal dengan agama Jawi atau Islam Kejawen. Koentjaraningrat mengatakan bahwa sebagian besar pemeluk agama Jawi tidak sepenuhnya menjalankan agamanya sesuai dengan syariat agama Islam.49 Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilakuperilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam. Seperti yang dikemukakan oleh Suseno bahwa keagamaan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan terhadap berbagai macam roh yang tidak kelihatan, dan dapat menimbulkan bahaya atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau kita kurang hati-hati. Orang Kejawen akan melindungi diri mereka dari gangguan dengan memberi sesajen dan meminta bantuan seorang dukun.50 49 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi: Pokok-pokok Etnografi II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) h. 194 50 Suseno, op.cit. h. 15 29 F. Hakikat Pembelajaran Sastra Pembelajaran mengenai analisis novel yang dibahas di sekolah sangat membantu siswa dalam memperdalam ilmu sastra. Tujuan pembelajaran tersebut dijabarkan ke dalam empat kompetensi, yaitu kompetensi menyimak, kompetensi berbicara, kompetensi membaca, dan kompetensi menulis sastra. Kompetensi menyimak meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kompetensi berbicara meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan konteks lingkungan dan budaya. Kompetensi membaca meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis karya sastra. Kompetensi menulis meliputi kemampuan mengapresisasikan karya sastra dalam bentuk sastra tulis yang kreatif dalam bentuk menulis kritik dan esai sastra berdasarkan jenis sastra yang telah dibaca. Menurut Rahmanto, manfaat dari pembelajaran sastra bagi siswa di sekolah yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan watak.51 Dari pemaparan di atas, dijelaskan bahwa dalam pembelajaran sastra diharapkan agar siswa mampu mengapresiasi karya sastra dengan baik dan mampu mengembangkan kepekaan siswa dalam memahami karya sastra, baik dari segi nilai positif yang terdapat dalam karya sastra maupun hal menarik lainnya yang terdapat di luar karya sastra itu sendiri. Selain itu, pembelajaran sastra bagi siswa diharapkan dapat mengembangkan cipta dan rasa yang memiliki ruang lingkup luas terhadap kehidupan sehari-hari, sehingga berpengaruh terhadap pembentukan watak siswa tersebut. Pokok materi pembelajaran sastra di sekolah terdapat dalam pelajaran bahasa Indonesia. Salah satu kompetensi dasar dalam pembelajaran sastra adalah menentukan unsur intrinsik dalam novel. Dalam menentukan unsur intrinsik novel, siswa diarahkan untuk membaca dan menganalisis novel, sehingga dapat membantu siswa dalam mengembangkan pola pikir. Selain itu, alur dalam novel yang dianalisis juga dapat menambah wawasan siswa karena novel biasanya 51 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16. 30 menceritakan tentang kehidupan bermasyarakat. Penelitian yang difokuskan pada nilai moral diharapkan dapat memberikan contoh yang baik untuk siswa sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dapat berpengaruh terhadap pembentukan watak siswa sehingga dapat meningkatkan moralitas remaja yang sedang mengalami penurunan. G. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian karya ilmiah. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian terhadap karya lain yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang relevan dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet, atau yang lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah: Penelitian Antik Setiyorina, mahasiswi Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret, dalam skripsinya yang berjudul ―Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Gaya Bahasa). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo; (2) lapisan sosial yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo; (3) pemanfaatan gaya bahasa dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo; dan (4) makna gaya bahasa yang terdapat dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo. Pada novel Orang Miskin Dilarang Sekolah digunakan beberapa gaya bahasa, yakni gaya bahasa yang paling dominan adalah simile karena kalimat-kalimatnya banyak ditemukan penggunaan kata tugas (seperti dan bagai). Pemaknaan gaya bahasa dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Pemaknaan pada gaya bahasa ditujukan untuk membantu pemabaca dalam menafsirkan nilai-nilai yang diungkapkan pengarang dalam novel ―Orang Miskin Dilarang Sekolah‖. Penelitian Fitri Wulandari, K 1207018, mahasiswi Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret, dalam skripsinya yang berjudul ―Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid 31 Prasetyo (Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan‖. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; (2) persamaan dan perbedaan struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; (3) kajian intertekstualitas antara novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; dan (4) nilai pendidikan novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Hasil temuan penelitian dengan kajian intertekstualitas menunjukkan bahwa kedua novel tersebut: (1) struktur kedua novel terdiri atas tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat; (2) persamaan struktur kedua novel tersebut berupa tema. Kedua novel mempunyai tema yang sama yakni pendidikan. Amanat, kedua novel mengamanatkan untuk berani bercita-cita dan berusaha keras mewujudkan citacita tersebut. Terkait dengan alur, kedua novel menggunakan alur maju. Penokohan dalam kedua novel memiliki persamaan yakni pada teknik karakterisasi. Baik itu Laskar Pelangi maupun Orang Miskin Dilarang Sekolah karakter tokoh tidak selalu digambarkan secara gamblang dan terperinci tetapi dapat diketahui dari dialog antartokoh dan deskripsi pengarang secara langsung. Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis kelamin yang sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak tokoh utama yaitu berkemauan keras. Perbedaan kedua novel terletak pada sudut pandang. Laskar pelangi menggunakan sudut pandang persona pertama ―Aku‖, sedangkan Orang Miskin Dilarang Sekolah menggunakan sudut pandang campuran. Latar cerita dalam novel Laskar Pelangi di Pulau Belitong, Sumatera Selatan, sedangkan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah berlatar di Semarang, Jawa Tengah; (3) dari hasil kajian intertekstualitas dapat disimpulkan bahwa novel Laskar Pelangi merupakan hipogram, sedangkan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah merupakan teks transformasi; dan (4) nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah yaitu: nilai pendidikan religius, sosial, moral, dan kebudayaan. Penelitian Aryani, IndahDwi. 1506500600, 2010, mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Pancasakti Tegal, dalam skripsinya yang berjudul ―Aspek Sosial dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya 32 Wiwid Prasetyo dan Implikasinya bagi Pembelajaran Sastra di SMP‖.Aspek sosial yang dikaji dalam skripsi ini hanya dibatasi pada interaksi sosial, stratifikasi sosial, tindakan sosial, perilaku menyimpang, dan problem-problem sosial.Hal tersebut karena dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah banyak membasa mengenai kegigihan dalam mencapai sebuah mimpi dan cita-cita banyak menemui kesulitan, tetapi tetap dilalui demi tercapainya cita-cita tersebut.Penelitian ini mengkaji aspek sosial dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo. Permasalah penelitian ini adalah (1) Aspek-aspek sosial apa saja yang menonjol dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo? (2) Bagaimanakah implikasi aspek sosial dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo bagi pembelajaran sastra di SMP? Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat dapat menambah dan memperkaya khasanah penelitian Sastra Indonesia khususnya dalam hal studi analisis novel tentang struktur satra dan aspek sosial. Manfaat secara praktis, dapat memberi masukan kepada guru bahasa Indonesia dalam mengajar teori sastra dan membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan dalam memahami sebuah novel. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan menggunakan metode analisis deskriptif, sumber datanya adalah novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo, data penelitiannya berupa keseluruhan teks dalam novel tersebut. Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa (1) novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo merupakan novel yang mengungkapkan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat seperti interaksi sosial, stratifikasi sosial, tindakan sosial, perilaku menyimpang, masalah kemiskinan, kriminalitas, dan lingkungan hidup. (2) struktur yang terdapat dalam novel ini meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar, serta tema. Novel ini banyak mengandung nilai-nilai sosial sehingga novel tersebut sangat baik untuk dijadikan sebagai bahan pelajaran di SMP.Implikasi bagi pembelajaran sastra di sekolah adalah memberikan manfaat bagi siswa agar tidak takut untuk bermimpi, sebab orang yang tidak memiliki mimpi berarti tidak memiliki cita-cita, sesama manusia dilarang membeda-bedakan antara orang kaya dengan orang miskin. 33 Dari beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas, peneliti tidak menemukan penelitian yang khusus mengenai analisis nilai moral dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengkaji mengenai analisis struktur yang membangun novel (tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa). Peneliti juga akan mendeskripsikan mengenai nilai moral yang terkandung dalam novel, serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. BAB III PROFIL WIWID PRASETYO DAN HASIL ANALISIS A. Biografi Wiwid Prasetyo Wiwid Prasetyo kerap juga menulis dengan nama Prasmoedya Tohari, lahir pada 9 November 1981 di Semarang. Alumnus Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, tahun 2005 ini sehari-harinya aktif di Majalah FURQON, PESANTrend, Si Dul (majalah anak-anak), serta tabloid Info Plus Semarang, baik selaku redaktur maupun reporter. Selain itu, ia juga peduli terhadap dunia pendidikan, terbukti masih menjadi pengajar di Bimbingan Belajar Smart Kids Semarang. Ia membuktikan seorang penulis yang pekerja keras, terbukti kurang lebih sekitar 2 tahun saja sudah menghasilkan lebih dari 25 judul buku baik fiksi maupun non fiksi. Berdasarkan pengalaman hidupnya dan kejadian sehari-hari yang dialaminya, maka dari tangannya lahirlah karyakarya buah dari perenungannya selama ini dalam dunia yang digelutinya: pendidikan dan sejarah. Terakhir ia memenangi 10 besar lomba cerpen Galaksi Cinta Diva Press dari 3529 naskah yang masuk.1 Di sela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya dalam bentuk buku. Beberapa karyanya yang sudah terbit adalah Orang Miskin Dilarang Sekolah (DIVA Press, 200), Sup Tujuh Samudra (Bersama Badiatul Rozikin, DIVA Press, 2009), Chicken Soup Asma‟ ul Husna (Garailmu, 2009), dan Miskin Kok Mau Sekolah…?! (DIVA Press, 2009), Idolaku Ya Rasulullah S aw…! (DIVA Press, 2009), Demi Cintaku pada-Mu (DIVA Press, 2009), Aha, Aku Berhasil Kalahkan Harry Potter (DIVA Press, 2010), The Chronicle of Kartini (DIVA Press, 2010), dan Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu (DIVA Press, 2010). Citacitanya Wiwid sederhana, yakni menjadi seorang pendidik plus penulis di 1 Wiwid Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, (Jogjakarta: DivaPress, 2012), h. 449. 34 35 tengah kesibukannya sebagai redaktur di Majalah FURQON, PESANTrend, Si Dul, dan Tabloid Inflo Plus, alumnus Fakultas Dakwah UIN Walisongo Semarang tersebut masih menyempatkan diri menjadi tentor di Bimbingan Belajar Smart Kids (Anak Cerdas).2 Menurut Wiwid Prasetyo, sektor pendidikan dan jagat kepenulisan merupakan dua matra yang saling berkelindan. Pendidikan tanpa keterampilan menulis niscaya menjadikan materi pembelajaran hilang tanpa bekas. Sebaliknya, sekedar paham tulis-menulis tanpa memiliki jiwa kependidikan menyebabkan proses pembelajaran tak memperoleh saluran yang tepat. Bagi Wiwid Prasetyo, dunia pendidikan dan dunia kepenulisan adalah dua dunia yang saling melengkapi. Pendidikan tanpa keahlian menulis hanya akan menjadikan materi pendidikan hilang tak berbekas, sementara hanya paham dunia kepenulisan tanpa mempunyai jiwa pendidik menyebabkan pendidikan itu tak mempunyai salurannya yang tepat. Maka dari itu, ia berusaha menyatukan keduanya. Ia punya mimpi seandainya seorang pendidik memiliki keahlian menulis, maka generasi muda kita tidak akan terseret dalam jurang degradasi moral yang teramat dalam, karena pengaruh tulisan akan membekas dalam jiwa anak-anak yang pada fitrahnya selalu condong pada kebaikan.3 B. Karya-karya Wiwid Prasetyo Penulis mendapatkan karya-karya dari Wiwid Prasetyo melalui wawancara dengan beliau, hal tersebut dapat dilihat melalui percakapan antara penulis dengan pengarang novel yang terdapat dalam lampiran. Berikut ini adalah karya-karya Wiwid Prasetyo: 1. Novel Pendidikan a. Orang Miskin Dilarang Sekolah (cetakan ke 13) Diva Press Yogya sekaligus karya perdananya, novel perdananya ini sekaligus juga diterjemahkan berbahasa Malaysia dengan judul yang sama. 2 Wiwid Prasetoyo, diunduh pada 29 April 2014, Pukul 06.00, dari http://blogdivapress.com/dvp/2010/06/01/wiwid-prasetyo/ 3Prasetyo, op.cit., h. 450 36 b. Miskin kok Mau Sekolah, Sekolah dari Hongkong, Diva Press Yogya 2010. c. Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu, Diva Press Yogya 2010. d. Sekolah Ayo Sekolah, Diva Press Yogya 2010. e. Orang Cacat Dilarang Sekolah, Diva Press Yogya 2010. 2. Karya Religi a. Demi Cintaku Pada-Mu (Novel religi) Diva Press Yogya 2010. b. Hati yang Bercahaya, (novel religi) revisi dari novel Demi Cintaku Padamu, Diva Press Yogya 2011. c. Saat Langit Bercumbu dengan Bumi (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012. d. Khidir (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012. e. Mata Moses (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012. f. Senyum Tuhan di Barcelona (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012. g. 99 Hari di Perancis (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012. 3. Karya Non Fiksi a. Mental Kepepet for Succes (Buku Motivasi) Real Books Yogya 2011. b. The Chicken Soup of Asmaul Husna, Diva Press Yogya 2010. c. Mengapa Rezekiku Melimpah Setelah Menikah? Real Books Yogya 2011. d. 100 Kecerdasan Setan, Diva Press Yogya 2011. e. Bismillah, Saya Mantap Menikah, Real Books 2013. f. Kaya Raya Modal Iman, Real Books 2013. 4. Karya Anak a. Dongeng 30 Mancanegara 2009, Diva Press Yogya 2010. b. Sup Tujuh Samudera 2010, Diva Press Yogya 2010. c. Aha, Aku Bunuh Harry Potter 2010, Diva Press Yogya 2010. d. Siapakah Allah ya? 2011, Diva Press Yogya 2010. e. Idolaku Rasulullah SAW 2010, Diva Press Yogya 2010. 37 5. Novel Sejarah a. The Chronicle of Kartini, Diva Press Yogya 2011. b. Cheng Ho Laksamana Muslim dari Negeri Seberang, Diva Press Yogya 2011. c. Ibrahim Rindu Allah, Diva Press Yogya 2011. d. Kilat Mata Ksatria Allah, Diva Press 2012. e. Dan, Lilinpun Dipadamkannya (biografi Umar bin Abdul Aziz) Real Books, Yogya 2012. C. Sinopsis Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Novel ini menceritakan seorang anak kelas dua SD bernama Faisal Ridowi dalam berjuang mengajak ketiga temannya yaitu Pepeng, Pambudi dan Yudi untuk bersekolah dan mengajar menjadi guru cilik di sekolah gratis untuk belajar membaca bagi warga yang buta aksara. Tetapi perjuangannya tidak semudah yang mereka bayangkan. Lika-liku dan halang rintangan yang mereka hadapi untuk bisa mencicipi bangku sekolah yang menurut sebagian besar warga kampong hanya menghabiskan uang saja, lebih baik mereka membantu kedua orang tua untuk mencari nafkah untuk melanjutkan kehidupan. Karena kehidupan mereka berada dibawah garis kemiskinan. Untuk makan sehari saja mereka kekurangan, apalagi harus membiayai sekolah. Sedangkan pekerjaan kedua orangtua mereka hanyalah seorang pemerah susu sapi, pembersih kandang, dan memberi makan ternak-ternak milik orang paling kaya di desa mereka. Mereka adalah Pambudi, Pepeng, dan Yudi. Ketiga anak alam ini yang belum pernah memakan bangku sekolahan karena ketidakadaan biaya. Namun, Faisal yang merupakan teman ketiga anak alam itu mencoba mempengaruhi teman-temannya untuk mengikuti jejaknya, yaitu bersekolah. Awalnya mereka tidak mau, namun setelah dibujuk dan mereka sadar ingin sekolah, akhirnya mereka bertiga sepakat untuk bersekolah, meskipun harus bekerja keras untuk membantu membiayai sekolah. Sampai berjualan pisang goreng di kelas, berjualan koran, kuli angkut kelapa dari dini hari sampai 38 waktu sekolah tiba. Sebelumnya mereka bertiga meremehkan sekolah. Namun setelah mereka bertemu bu Mutia yang seorang guru kelas 1 SD mereka, baru sadar bahwa belajar itu penting, karena tanpa ilmu mereka bisa mudah ditipu oleh orang yang lebih pintar. Di sekolah, salah satu dari anak alam ini menemukan sosok yang sangat dikaguminya. Kania, gadis kecil yang cantik dan pemberani itu ditaksir oleh Pambudi. Mereka mengira Kania merupakan anak orang berada, karena cantik, bersih dan pandai. Namun setelah diselidiki oleh Pambudi, kehidupannya sama dengan keluarganya dan juga teman-temannya. hanya karena cita-cita, semangat dan keyakinan bisa membuat dia berjalan dan terus melangkah dari kerasnya kehidupan saat ini. Dan itu membuat Pambudi semakin jatuh hati kepada Kania. Karena selain sebagai wanita yang hebat, Kania juga sosok yang dikaguminya. Karena dengan berilmu, kita bisa menakklukkan rintangan kehidupan dengan ilmu. Seperti saat Faisal bercita-cita untuk menciptakan kampungnya agar warganya tidak terus diperbudak oleh Yok Bek selama hidup mereka. Warga Kampung Genteng harus berubah. Ketika Pambudi, Yudi dan Pepeng telah menikmati indahnya bangku sekolah, tiba-tiba mereka disuruh berhenti sekolah oleh orang tua mereka. Orang tua mereka telah dihasut oleh Yok Bek untuk menyuruh mereka berhenti dari sekolah, karena Yok Bek takut jika anak-anak itu akan menjadi pintar dan mengambil alih usahanya dan akan sulit membodohi mereka. Setelah mereka berhenti, mereka kembali disemangati oleh Faisal hingga mereka berhasil kembali ke sekolah. Penerimaan penghargaan berprestasi pun diselenggarakan di SD Kartini, tempat Faisal dan kawan-kawan bersekolah. Hari yang begitu bersejarah bagi Faisal dan Kania karena mereka mendapatkan penghargaan atas prestasi mereka dan terpilih sebagai perwakilan untuk mengikuti Olimpiade Eksakta, Begitu juga dengan Pambudi, Yudi dan Pepeng yang akhirnya naik kelas, dan akhirnya para warga Kampung Genteng pun menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Bahkan, Pak Cokro, yang dulunya sebagai dukun, kini mengubah tempat prakteknya menjadi Taman Baca bagi penduduk Kampung Genteng. 39 D. Struktur Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah 1. Tema Tema merupakan gagasan inti dari suatu teks yang menggambarkan apa yang ingin dikomunikasikan oleh seorang penulis kepada pembaca melalui tulisannya dalam melihat atau memandang suatu peristiwa. Tema dalam suatu karya fiksi atau novel merupakan gagasan sentral yang menjadi dasar penulisan sebuah karya. Jenis tema yang akan dibahas oleh peneliti adalah jenis tema menurut cakupannya. Adapun jenis tema menurut cakupannya dibagi menjadi dua, yaitu tema mayor adalah tema yang mencakup keseluruhan cerita. Sedangkan tema minor adalah tema tambahan yang hanya terdapat di bagian-bagian tertentu saja, tidak seperti tema mayor yang mencakup keseluruhan cerita. a. Tema Mayor Tema mayor dalam novel OMDS adalah semangat juang demi mengenyam pendidikan. Tema tersebut jelas tergambar dari perjalanan hidup anak-anak dengan tekad yang kuat untuk memperoleh pendidikan yang layak walaupun terbentur faktor ekonomi. Hampir seluruh bab pada novel OMDS membahas tentang perjuangan anak-anak tersebut untuk merasakan bangku sekolah. Perjuangan tokoh sentral yang bernama Faisal untuk dapat membujuk teman-temannya sangat berat. Terdapat berbagai macam rintangan yang harus ia hadapi demi sahabatnya agar memperoleh pendidikan. Perjuangannyalah yang menjadi tema mayor dalam novel ini. Nah, itulah maksudku, aku hanya ingin kalian bisa terus semangat sekolah demi masa depan kalian. Itu semua demi kalian sendiri, bukan demi Kania atau demi aku, aku ingin melihat kalian sukses.4 Kutipan tersebut menjelaskan tentang usaha Faisal membujuk temannya untuk terus tetap semangat sekolah. Bukanlah hal yang mudah bagi Faisal untuk membujuk Pambudi, Pepeng, dan Yudi 4 Ibid, h. 194. 40 untuk sekolah karena mereka benar-benar tidak tahu harus mendapatkan biaya dari mana, maka mereka putuskan untuk tidak bersekolah. Seharusnya peranan orang tua lah yang paling utama dalam mendukung pendidikan anak-anak akan tetapi dukungan itu justru tidak didapatkan bagi ketiga anak alam tersebut, dukungan dan motivasi tersebut justru diberikan oleh Faisal. Pendidikan merupakan hal terpenting bagi kehidupan, karena dengan pendidikan akan mengangkat martabat seseorang di masyarakat. b. Tema Minor Sedangkan tema minor atau tema tambahan yang terdapat dalam novel OMDS di antaranya yaitu : 1). Kemiskinan Kemiskinan erat sekali hubungannya dengan keputusasaan. Itulah yang menjadi penyebab utama anak-anak alam seperti Pambudi, Pepeng, dan Yudi merasa putus asa dan memiliki harapan kecil untuk bisa merasakan pendidikan. Setiap kali niat itu muncul, namun kemiskinan yang menghancurkan niat dan harapan terbesar mereka. Seperti dalam kutipan berikut : Ketiganya terdiam, meresapi kebenaran dari setiap kata yang keluar. Dari aspek manapun, mereka tak akan membantah kata-kataku sebab aku mencoba melecutkan semangat dari dalam, mencoba berempati tentang nasib yang tak kunjung berubah, tentang kemiskinan yang akrab dengan kehidupan mereka, dan jalan satu-satunya untuk mengatasi itu, apalagi kalau bukan sekolah?5 Dari kutipan di atas, dapat kita lihat bahwa bagaimana kemiskinan begitu mencekik leher mereka dan merantai semua mimpi mereka. Namun, itu tak menjadi halangan terbesar bagi mereka, karena sahabat mereka yang bernama Faisal terus berusaha mendukung mereka dan memberi pengertian bagaimana 5 Ibid., h. 71. 41 pentingnya sebuah pendidikan bagi masa depan mereka. Kemiskinan bukanlah suatu yang terjadi dengan sendirinya dan terlepas dari aspek lainnya. Akan tetapi, kemiskinan terjadi karena hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia, yakni aspek sosial dan ekonomi. Aspek sosial ekonomi terkait dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang tidak merata seperti perbedaan suku bangsa, etnis, ras atau golongan dan lain sebagainya, sehingga terbentuklah kelompok bagi yang tidak mampu dan dikatakan miskin dibanding masyarakat sekitarnya. Seperti yang terdapat dalam novel OMDS ini, karena terdapat perbedaan suku bangsa, yakni warga Cina yang berkehidupan layak dan cukup yang tinggal di daerah Gedong Sapi, maka warga Gedong Sapi semakin merasakan kemiskinan yang mereka hadapi. Tolak ukur utama suatu masyarakat dikatakan kurang mampu apabila kebutuhan relatif per keluarga telah mencapai kebutuhan minimal yang harus dipenuhi dalam sebuah keluarga dan dikarenakan faktor pekerjaan yang dimiliki oleh kepala keluarga tidak sesuai dengan jumlah hasil yang mereka butuhkan, karena pekerjaan yang mereka miliki sebanding dengan faktor pendidikan minim yang mereka miliki, yang mengakibatkan hasil dari pekerjaan yang mereka jalani tidak mencukupi kehidupan seharihari. Hal tersebut telah digambarkan pengarang melalui tokoh Giatno (ayah Yudi), Samijan (ayah Pambudi), Sukisno (ayah Pepeng), yang bekerja hanya sebagai buruh yang sehari-harinya membersihkan kandang yang dipenuhi kotoran, membersihkan sapi, dan membajak tanah pupuk dengan cangkulnya. Sepagi itu, mereka telah melakoni hidup dengan susah payah, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Tetapi mereka sama sekali tak mengeluh dengan nasib mereka yang selalu di bawah. Kebodohannya membuat pola pikirnya begitu pendek, setiap kali 42 mereka menemui kesusahan, dianggapnya itu sebagai takdir dari Yang Di Atas.6 Dari kutipan di atas, semakin memperjelas bahwa pengarang ingin menyampaikan bahwa pendidikan yang rendah sangat erat hubungannya dengan kemiskinan. Pengarang ingin menyadarkan pembaca akan pentingnya pendidikan, agar dapat mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik. Apabila kita memiliki pendidikan dan mementingkan pendidikan, maka kita akan merasakan kenikmatan dari pendidikan yang kita miliki, seperti pekerjaan yang pantas dan layak sesuai dengan pendidikan yang kita miliki, dan sebaliknya. Dengan pendidikan yang rendah, mampu mengubah pola pikir manusia dengan menganggap bahwa pendidikan tidaklah penting. 2). Kesenjangan Sosial Kesenjangan sosial adalah suatu keadaan ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat. Faktor yang menyebabkan munculnya kesenjangan sosial yaitu adanya perbedaan strata atau kedudukan, seperti kaya atau miskin, pintar atau bodoh dan lain sebagainya. Individu-individu yang menjadi anggota kelompok di dalam masyarakat pada dasarnya bervariasi baik dari segi umur maupun tingkat sosial ekonominya. Kesenjangan sosial yang terdapat dalam novel OMDS ini diakibatkan oleh faktor kemiskinan di daerah Kampung Genteng, Semarang. Daerah tersebut merupakan daerah terpencil sehingga perhatian pemerintah tidak merata terhadap keadaan dan penduduk sekitar kampung Genteng, terutama dalam hal pendidikan. Kesenjangan ini juga digambarkan oleh pengarang melalui keadaan pada saat murid Sekolah Dasar yang berasal dari kalangan atas menginjak-nginjak harga diri ketiga anak alam yang dikenal sebagai anak-anak kampung yang miskin. 6 Ibid., h. 135. 43 Perbedaan status sosial antara si kaya dan si miskin ini ditunjukkan oleh pengarang sebagai salah satu kesenjangan sosial yang terjadi pada saat itu. Ah, masa bodoh. Anak-anak kampung itu membuat selera belajarku turun, mataku seperti mengganjal sesuatu, hidungku seperti tidak bebas menghirup udara di kelas ini, ada bau-bau yang bikin aku sesak napas, telingaku juga nggak terbiasa mendengar bunyi-bunyi asing yang membuatku harus menutupnya. Dan semua itu disebabkan oleh kedatangan anak-anak kampung itu, anak-anak sok pintar dan tukang cari perhatian. (h. 326)7 Adanya diskriminasi terhadap anak-anak miskin yang dimunculkan dalam novel ini turut menjadi tema minor. Diskriminasi merupakan pembedaan perlakuan terhadap sesama warga, baik berdasarkan warna kulit, golongan, suku, bangsa, ekonomi, agama dan lain sebagainya yang menyebabkan perbedaan perlakuan itu timbul. Diskriminasi yang terlihat dalam novel adalah di kalangan anak-anak yang membedakan antara si kaya dan si miskin. Rena, kita semua sama. Di kelas ini kita semua samasama menjadi murid Bu Mutia. Tak ada kaya dan miskin karena kita semua sedang menuntut ilmu. Apa kau masih ingat kata-kata Bu Mutia, Ren?8 Perbedaan tersebut muncul ketika suatu kelompok antara kaya dan miskin bersatu. Dari kutipan tersebut juga sangat terlihat perbedaan ketika Rena membedakan ketiga temannya yang berasal dari kalangan bawah. Dari peristiwa tersebut juga dapat kita ambil pelajaran bahwa dalam menuntut ilmu sesungguhnya tidak memandang antara si kaya dan si miskin. Menuntut ilmu dapat dinikmati baik dari golongan msyarakat rendah ataupun kalangan atas sekalipun. Beberapa tema kemiskinan tersebut merupakan 7 8 Ibid., h. 326. Prasetyo, Loc.cit. 44 salah satu yang mampu menghidupkan alur, karena tema kemiskinan maupun kesenjangan sosial yang ada merupakan bagian konflik dalam cerita ini. Penyebab adanya deskriminasi dan kesenjangan sosial dari tema di atas bersinggungan dengan alur cerita yang membuat pembaca semakin terbawa dalam cerita karena kuatnya keterkaitan antara tema dengan alur cerita. 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan akan dikaji dalam analisis ini menggunakan teori dari tokoh bernama Algirdas Julien Greimas (A.J Greimas). Teori yang digunakan adalah teori aktan atau yang lebih dikenal dengan skema aktan. Dalam buku yang berjudul ―Tata Sastra‖, Todorov mengatakan bahwa sebelum A.J Greimas mengemukakan teori aktan, Propp telah memperkenalkan unsur naratif terkecil yang sifatnya tetap dalam sebuah karya sastra sebagai sebuah fungsi.9 Di bawah ini adalah diagram mengenai skema aktan menurut Ratna:10 Penerima Pengirim Subjek Penentang Objek Pendukung ggg Diagram 3.1 Pengirim adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan berfungsi sebagai penggerak cerita. Objek adalah seseorang atau sesuatu yang diingini atau dicari oleh subjek. Penerima adalah seseorang 9 Tzevetan Todorov, Tata Sastra, (Jakarta: Djambatan,1985), h. 48. Nyoman Kutha Ratna, S.U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 140. 10 45 atau sesuatu yang menerima objek hasil buruan subjek. Penolong adalah seseorang atau sesuatu yang membantu atau mempermudah usaha subjek dalam mencari objek. Subjek adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi oleh pengirim untuk mendapatkan objek. Penentang adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha subjek dalam mencari atau mendapatkan objek. Untuk lebih jelasnya, berikut penggambaran para tokoh melalui struktur skema aktan: a. Subjek Terdapat beberapa subjek dalam novel OMDS yaitu Faisal dan ketiga anak alam (Pambudi, Yudi dan Pepeng). Faisal sebagai subjek untuk mendapatkan objek yaitu agar teman-temannya dapat bersekolah. Nah, itulah maksudku, aku hanya ingin kalian bisa terus semangat sekolah demi masa depan kalian. Itu semua demi kalian sendiri, bukan demi Kania atau demi aku, aku ingin melihat kalian sukses.11 Selanjutnya yaitu tokoh Pambudi, Yudi dan Pepeng yang bertugas sebagai subjek untuk mendapatkan objek yaitu cita-citanya untuk dapat bersekolah. Mereka adalah anak-anak miskin yang memiliki tekad kuat untuk bersekolah dan memperbaiki hidup. Maka, sekolah adalah objek mereka. Seperti dalam kutipan: Dengar teman-teman, mulai sekarang kita harus berpikir bagaimana untuk tidak menggantungkan orang tua kita untuk membiayai sekolah.12 Dari kutipan di atas, terlihat bagaimana subjek sangat menginginkan objeknya yaitu bersekolah, mereka sangat bertekad untuk sekolah dan berusaha tidak merepotkan orangtua mereka masingmasing. 11 12 Prasetyo, Loc.cit. Ibid., h. 298. 46 b. Objek Objek yang diinginkan oleh subjek (Faisal) adalah Ketiga temannya yaitu Pambudi, Yudi dan Pepeng, maka ia berusaha melakukan apapun agar temannya dapat sekolah. Ia sangat berambisi untuk menyekolahkan ketiga temannya. Seperti yang terdapat dalam kutipan: Meskipun dengan resiko terburuk memberanikan diri untuk menaruh nyawaku di ujung tanduk, semua itu demi temantemanku, anak-anak alam yang entah bagaimana nasibnya seandainya Yok Bek dibunuh, mereka akan sulit bekerja, mereka juga akan sulit sekolah.13 Jelas terlihat bagaimana Faisal sebagai subjek sangat menginginkan objeknya agar dapat bersekolah sehingga ia berani mempertaruhkan nyawanya demi ketiga temannya. Objek lainnya yang diinginkan oleh subjek (Pambudi, Yudi dan Pepeng) adalah mencapai cita-cita mereka untuk sekolah. Mereka melakukan apapun agar bisa bersekolah. Kita akan membuat tas sendiri dari karung gandum, sedangkan untuk seragamnya kita bisa beli dari penjual rombeng di sudut Pasar Langgar.14 Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana kesungguhan mereka untuk mendapatkan objek walaupun kemiskinan yang mereka alami, tetapi itu tak menjadikannya sebagai kendala terbesar yang dapat menghalangi niatnya untuk mendapatkan objek yang diinginkannya. Objek lainnya yang diinginkan oleh subjek (Pambudi, Yudi dan Pepeng) adalah mendapatkan cinta Kania. Mereka telah menaruh hati pada gadis kecil itu ketika pertama kali masuk sekolah. Seperti dalam kutipan di bawah ini: Mereka bertiga akhirnya sepakat untuk merebut hati Kania, gadis kecil berkepang dua itu membuat ketiganya kerap kali salah 13 14 Ibid., h. 154. Ibid., h. 82. 47 tingkah melulu. Sekolah menjadi sangat mengasyikkan jika kita bertemu dengan teman yang kita cintai...15 c. Pengirim Salah satu yang menjadi pengirim dan penggerak dalam cerita adalah rasa simpat dan empati Faisal karena kemiskinan yang dialami oleh ketiga temannya yang tidak bersekolah dan menginginkan agar temannya bisa sekolah. Ah, mengapa persoalan sedemikian pelik? Bukankah aku hanya ingin mengajak mereka sekolah? Belum juga kuutarakan maksudku, mereka telah meneror tekadku, untuk membiarkan mereka teronggok dalam kebodohan dan kemiskinan.16 Rasa empati yang dimiliki Faisal memberikan karsa kepada subjek untuk mencapai objek yang diinginkan dan menjadi penggerak jalannya cerita. d. Penerima Penerima dalam cerita adalah Keluarga dari Pambudi, Yudi dan Pepeng. Mereka berperan sebagai penerima, karena mereka menerima hasil setelah anak-anak mereka bersekolah. Hasil yang mereka terima adalah rasa bangga para orang tua kepada anak-anak karena mereka bersekolah. Aku yang melihatinya dari celah-celah gorden diam-diam hanya bisa tersenyum simpul, kebanggaan ayah untuk menerima rapor yang ke sekian kali untukku dimaknai seperti main ke rumah pacar semasa dulu. 17 e. Pembantu Salah satu yang menjadi pembantu dalam mempermudah subjek untuk mendapatkan objek yaitu Kepala Sekolah, Pak Zainal. Ia yang 15 Ibid., h. 112. Ibid., h. 65. 17 Ibid., h. 418. 16 48 membantu Pambudi, Yudi dan Pepeng dengan menerima mereka di sekolah serta meringankan biaya buku dan lain sebagainya. Baiklah, Kalian bertiga akan kuterima di kelas satu, tapi ingat jangan pernah merasa minder dengan teman-teman kalian yang rata-rata tinggi badannya di bawah kalian, kalau bisa lindungilah mereka. Mari kuantar...!18 Pembantu selanjutnya dalam cerita yaitu Bu Mutia. Ia adalah seorang guru yang selalu membantu Pambudi, Yudi dan Pepeng dengan menyemangati mereka, terlebih ketika mereka harus dihina oleh teman lainnya karena kemiskinan yang mereka alami. Meskipun Yudi begitu, tapi kalian nggak boleh mengucilkan Yudi, bagaimanapun juga Yudi itu teman kalian. Di kelas ini, tidak ada perbedaan, meskipun kalian anaknya pengusaha, anaknya artis, atau anaknya dokter, tetapi kalau sudah ada di kelas ini, semua status itu hilang, kedudukan kalian sama, kalian murid-murid Ibu yang punya hak dan kewajiban yang sama untuk terus menuntut ilmu.19 f. Penentang Penentang yang berusaha menghalangi usaha subjek adalah Yok Bek. Ia berusaha menggagalkan usaha yang dilakukan subjek dengan cara menghasut ayah dari Pambudi, Yudi dan Pepeng. Ia menghasut ayah mereka agar memberhentikan anak-anaknya dari sekolah karena itu mengganggu pekerjaannya sebagai pekerja di tempat Yok Bek. Coba dekati anak kalian, dan bicarakan baik-baik, sebaiknya sekolahnya tak usah diteruskan, nanti saja kalau sepulang anakku dari Australia untuk meninjau peternakan sapi di sana, biarlah aku omong-omong dengannya untuk memikirkan nasib pendidikan anak-anak kalian.20 Penentang lainnya yaitu orang tua dari Pambudi, Yudi dan Pepeng. Mereka tidak pernah berusaha bahkan berniat menyekolahkan anakanak mereka, sehingga mereka membiarkan anak-anak mereka bekerja 18 Ibid., h. 92. Ibid., h. 265. 20 Ibid., h. 140. 19 49 menjadi tulang punggung keluarga tanpa memikirkan nasib masa depan mereka. Orang tua kita tak pernah berpikir untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tiap kali aku mencoba menyampaikan keinginanku untuk sekolah, selalu tak kesampaian...21 Ketika ketiga anak alam itu mulai bersekolah karena tekadnya dan karena bantuan dari Faisal, akhirnya mereka bersekolah. Namun, tibatiba mereka disuruh berhenti sekolah oleh orang tua mereka yang telah terkena hasutan Yok Bek. Maka, penentang kedua selain Yok Bek adalah orang tua ketiga anak alam tersebut. Begini lho Pam, kalau kupikir daripada menghabiskan banyak biaya dan hasilnya hanya seperti itu, lebih baik kau berhenti saja dari sekolah itu, aku sekolahkan ke tempat yang lebih baik.22 Orang tua ketiga anak alam itu mencoba membujuk anak-anak mereka agar mereka berhenti sekolah, dan karena mereka anak yang penurut, maka mereka pun berenti dari sekolah. Selain dari skema aktan di atas, maka akan lebih diperjelas kembali melalui pembahasan di bawah ini mengenai tokoh dan penokohan yang ada dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo. a. Tokoh Protagonis Berikut ini adalah beberapa tokoh protagonis yang terdapat dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo. 1). Faisal Tokoh Faisal merupakan tokoh sentral dalam novel ini. Tokoh Faisal berperan sebagai pencerita sehingga ia selalu muncul dari awal hingga akhir cerita. Faisal digambarkan oleh pengarang secara analitik sebagai seorang anak kecil yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Hal itu dapat dibuktikan melalui kutipan berikut: 21 22 Ibid., h. 65—66. Ibid., h. 148. 50 ―Aku baru kelas dua, ―kataku. Kemudian Ki Hajar memandang Yudi, Pambudi dan Pepeng yang hanya tersenyum-senyum karena malu.23 Melalui penggambaran fisik yang disampaikan pengarang secara analitik tersebut telah memberikan bayangan kepada pembaca bahwasanya anak yang masih duduk di bangku SD ini biasanya bertubuh kecil. Namun, tubuhnya yang kecil ini memiliki sifat pemberani. Sikap pemberaninya ditunjukkan ketika terjadi konflik antara warga Gedong Sapi dengan Yok Bek. Dengan keberaniannya, Faisal berusaha mendamaikan keduanya, meski ia tahu bahwa risikonya sangat besar, bisa saja ia yang diserang oleh warga. Perlakuannya tersebut merupakan salah satu upaya Faisal untuk mengaktualisasikan dirinya terhadap masyarakat bahwa ia bukanlah anak kecil yang selalu diremehkan warga. Meskipun dengan resiko terburuk memberanikan diri untuk menaruh nyawaku di ujung tanduk, semua itu demi teman-temanku, anak-anak alam yang entah bagaimana nasibnya seandainya Yok Bek dibunuh, mereka akan sulit bekerja, mereka juga akan sulit sekolah.24 Akan tetapi, sifat pemberani yang dimiliki Faisal merupakan paradoks yang coba dihadirkan oleh pengarang. Anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar ini telah berani membela teman-temannya dari amukan warga yang jelas mereka telah dewasa dan dipastikan berbadan besar. Selain itu, secara dramatik Faisal digambarkan sebagai seorang anak yang berkemauan keras dan pantang menyerah dalam memperoleh pendidikan, serta gigih dalam memberikan motivasi kepada 23 Ibid., h. 47. Loc.cit. 24Prasetyo, 51 teman-temannya untuk menyadarkan akan pentingnya pendidikan dalam kehidupan. Nah, itulah maksudku, aku hanya ingin kalian bisa terus semangat sekolah demi masa depan kalian. Itu semua demi kalian sendiri, bukan demi Kania atau demi aku, aku ingin melihat kalian sukses.25 Faisal adalah seorang tenaga pengajar pembantu di kampungnya. Hal itu merupakan bukti bahwa ia begitu peduli terhadap pendidikan di kampungnya. Ia mengajarkan dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Sikap ikhlasnya ia tunjukkan ketika panitia Dinas hendak memberikan sepucuk amplop yang sudah dipastikan isinya adalah uang, namun, Faisal berusaha menolaknya. Empat orang panitia dari Dinas menyalamiku sambil tangannya menempelkan sepucuk amplop. Naluriku mengatakan isinya uang, dan aku mencoba menolaknya. Bagaimanapun juga pahala lebih berarti daripada sekadar uang. Aku tak mau niat tulusku dilumuri oleh pujian manusia yang berupa materi ataupun ucapan sanjungan.26 Sikap ini sangat terpuji. Pada zaman sekarang tak jarang orang mengharapkan imbalan ketika berbuat sesuatu untuk masyarakat, tetapi Faisal memberikan contoh yang sangat baik, bagaimana ia mau membantu dengan ikhlas. Karakter tokoh protagonis ini ditampilkan ideal oleh pengarang sehingga perlu dipertimbangkan ulang kemungkinan terjadinya intelektualisasi pada tokoh ini. Toh ia baru kelas dua SD, akan tetapi memiliki perkembangan karakter seperti orang yang lebih dewasa. 25 Prasetyo, Loc.cit. 26 Ibid., h. 210. 52 2). Pambudi Sebelum pengarang memperkenalkan tokoh Pambudi secara lebih jauh, ia menggambarkan tokoh Pambudi secara analitik melalui penggambaran fisik yaitu seorang anak yang bergigi kelinci. Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut: Si gigi kelinci Pambudi mencoba berfikir bagaimana cara untuk mengalahkan Mat Karmin, tanpa seorang pun dari kami yang merasa terbebani.27 Pambudi hidup dari keluarga tidak mampu sehingga ia hanya mampu bekerja sebagai pengangkut rumput untuk makan sapi. Pekerjaan itu ia lakukan untuk meringankan beban orang tuanya. Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk melanjutkan sekolah karena ia menyadari kemiskinan yang dialami. Namun, kelebihan yang dimiliki Pambudi adalah sifatnya yang bijak sehingga menjadikan Pambudi seorang pemimpin di antara teman-temannya. Sekarang, kami telah mengangkat Pambudi secara resmi menjadi pemimpin kami. Yudi menerangkan padaku.28 Secara dramatik, pengarang memunculkan penokohan Pambudi dengan karakter sosok yang agresif, terbukti dengan keagresifannya ketika menyatakan cinta kepada Kania. Tanpa rasa malu dan kesadaran diri bahwa ia adalah murid baru, ia tetap mengejar cinta Kania. Tapi aku sungguh-sungguh Kan, sejak aku lihat kamu pertama kali, sejak kau membelaku matimatian dari Rena, sungguh mati aku langsung terpikat sama kamu.29 27 Ibid., h. 8. Ibid., h. 64. 29 Ibid., h. 120. 28 53 Sama halnya dengan tokoh Faisal yang digambarkan pengarang secara berlebihan (tidak wajar), tokoh Pambudi pun terkesan tak lazim, karena sifatnya yang agresif tersebut tidak sesuai dengan keadaan anak SD seusianya. Dalam hal ini, pengarang terlalu lepas dalam menghadirkan watak pelaku cerita tanpa memikirkan logis atau tidaknya karakter tersebut. Selain itu, Pambudi adalah anak yang sangat kreatif dan mempunyai ide yang cemerlang. Ketika ia dan kedua temannya sedang pusing memikirkan perlengkapan sekolah seperti tas, sepatu dan buku-buku yang tentunya membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit, Pambudi mengeluarkan ide kreatif untuk membuat sendiri perlengkapan tersebut tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Kita akan membuat tas sendiri dari karung gandum, sedangkan untuk seragamnya kita bisa beli dari penjual rombeng di sudut Pasar Langgar.30 Dari kutipan di atas, pengarang mendeskripsikan mengenai kemiskinan yang mereka alami. Ketidakmerataan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan ini bisa diukur melalui tempat tinggal, dan terutama menurut status sosial ekonomi seseorang.31 Pemimpin anak-anak alam ini juga ternyata memiliki perasaan yang sangat peka, ia mudah sekali terharu sehingga ia mengeluarkan air mata ketika Faisal menanyakan kepadanya mengapa ia dan kedua temannya memutuskan berhenti sekolah. Tak ada jawaban, tetapi meledaklah tangis Pambudi, tangis yang haru-biru dan memecah langit. Yudi dan Prasetyo, Loc.cit. Ivonie Trinurjayanti, Implementasi Teori-Teori Pendidikan dalam Praktek Pendidikan di Indonesia,artikel ini diunduh pada 11 November 2013, Pukul 10.00, dari http://copetalammanusiaberpendidikan.blogspot.com/2013/01implementasi-teori-teoripendidikan.html?m=1 30 31 54 Pepeng tak kuasa untuk menghentikan uraian air mata yang deras di sudut matanya. Ia mengguncangguncangkan tubuh Pambudi. Si pemimpin anak-anak alam itu tak terlihat seperti sosok yang pantas disegani karena tangisan Pambudi menyebabkan hancurnya citra Pambudi.32 Sikap Pambudi tersebut mengesankan sebuah paradoks, karena seharusnya seorang yang telah dinobatkan sebagai pemimpin berjiwa kuat dan tegar, namun tidak demikian dengan pemimpin anak alam ini. Di awal cerita, ia dikenal sebagai pemimpin anak alam yang bijaksana dan dewasa, namun di akhir cerita telah terjadi sebuah paradoks, ketika ketegarannya sebagai seorang pemimpin luntur begitu saja tatkala ia menangisi keadaannya yang terpaksa harus berhenti sekolah karena perintah orangtua. Hal ini menunjukkan masih adanya kelemahan pada karakterisasi tokoh Pambudi, di mana ia ditampilkan sangat dewasa untuk ukuran anak seusianya, namun juga kekanakan dan rapuh saat menghadapi keadaan dirinya sendiri. 3). Pepeng Anak yang memiliki keinginan sekolah ini hanya mampu menggigit jari karena ia hanya bekerja membantu ayahnya sebagai pengangkut kelapa dari pelabuhan ke pasar-pasar malam dengan menggunakan becak sejauh 25 kilo. Ya... memang, aku juga tidak terima, Tiap malam tak pernah tidur hanya demi sesuap nasi, mengayuh becak sepanjang 25 kilo, apalagi dibebani dengan berkilo-kilo kelapa, betisku sampai bertelur.33 Pepeng adalah anak yang pendiam dan pemalu. Hal itu dijelaskan oleh pengarang ketika Pepeng hendak mengutarakan niatnya yang ingin sekolah kepada orang tuanya. Sifatnya 32 33 Prasetyo, Op.cit., h. 191. Prasetyo, Loc.cit. 55 tersebut disampaikan pengarang dengan cara analitik seperti dalam kutipan berikut: Suaranya hanya tercekat ditenggorokan. Ia tak sampai hati meyampaikan keinginan yang akan berguna utuk dirinya sendiri, tetapi karena sudah kesepakatan yang tak mungkin diingkari, Pepeng pun terpaksa memberanikan diri dan perasaan tak karuan.34 Sikap pendiam dan pemalu Pepeng tersebut dikarenakan ia tak tega jika ia harus mengutarakan maksudnya untuk bersekolah. Ia tak tega jika tak membantu meringankan beban orang tuanya dalam mencari nafkah, seperti yang jelas tergambar dalam kutipan di atas. Pendidikan merupakan hak seorang anak dalam menjalani kehidupan sedangkan orang tua berkewajiban memenuhi hak tersebut. Akan tetapi, dalam novel ini dikisahkan bahwa ayah dari Pambudi, Yudi dan Pepeng ini seolah tidak merasakan adanya tanggung jawab sebagai orang tua. Mereka tak memikirkan nasib pendidikan dan masa depan anak-anak mereka. Hal tersebut dikarenakan faktor ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka sehingga dalam novel ini terkesan tidak mempedulikan pendidikan anak-anak mereka. 4). Yudi Yudi yang albino seorang penjual pisang goreng keliling kampung. Kelainan yang ada pada dirinya membuatnya menjadi tak percaya diri. Kulitnya yang albino membuatnya merasa bahwa dirinya bukan manusia normal. Hal itu membuatnya minder dan tak ingin bersekolah karena hanya akan menjadi bahan ejekan teman-temannya. Mengenai penggambaran fisiknya tersebut, pengarang telah menyampaikan kepada pembaca secara analitik seperti dalam kutipan di bawah ini: 34 Ibid., h. 78. 56 Sedangkan Yudi albino, tahi lalatnya serasa hampir copot karena tubuhnya terguncang-guncang akibat saking kuatnya tawa yang ia keluarkan.35 Namun, rasa tak percaya dirinya ia buang jauh-jauh demi membantu perekonomian keluarga. Sifatnya yang penyabar ketika ia diledeki oleh temannya tak membuat ia lantas berhenti bekerja menjajakan pisang gorengnya walaupun sesungguhnya merasa sakit hati. Aku sendiri setiap sore harus berkeliling kampung menjual pisang goreng ke rumah-rumah di Kampung Genteng, tetapi bukan pembeli yang aku dapat, melainkan ejekan dari orang-orang kampung yang melihat kulitku seperti sapi, mereka meneriakiku: „Bule kampung... Bule kampung...‟ Dalam keadaan seperti ini, apa aku harus sekolah Sal? Kali ini Yudi yang bicara.36 Dari kutipan di atas, Yudi digambarkan merasa minder dengan kekurangan fisiknya dan ia berusaha mengubah warna kulitnya menjadi kecoklatan dengan cara berjemur di bawah terik matahari. Kadang ia berdo‟ a agar k ulitnya berubah kecoklatan. Berikut ini merupakan kutipan bahwa Yudi memiliki krisis kepercayaan diri dan berusaha menyemangati dirinya sendiri. ―Yudi, kamu bisa Yud, kamu ganteng kulitmu seperti bule, kamu harus percaya diri, penampilanmu ini yang terbaik, teman-temanmu pasti kalah,‖ Yudi terus saja menyemangati dirinya dalam hati.37 Yudi berbisik dalam hatinya bahwa kekurangan yang ia miiki harus ia jadikan kelebihan meskipun ia diejek oleh temannya. Kemiskinan yang ia alami mengharuskan dirinya berjualan pisang goreng keliling kampung dan berjualan di 35 Ibid., h. 27. Prasetyo, Loc.cit. 37 Ibid., h. 114. 36 ia 57 sekolah tempat ia belajar, sehingga ia menjadi bulan-bulanan ejekan temannya yang berstatus sosial lebih tinggi. Tema minor berupa diskriminasi dan adanya kesenjangan sosial jelas tergambar melalui tokoh Yudi. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa kemiskinan kerap membuat anak-anak di negeri ini merasa tertekan dan mempengaruhi psikologi mereka sehingga menjadi salah satu alasan atau pemicu seseorang melakukan tindakan kriminal. Namun, tidak untuk anak-anak miskin seperti Pambudi, Yudi dan Pepeng. Mungkin saja mereka merasa tertekan dengan keadaan sekeliling mereka terutama di sekolah, tetapi mereka tetap tak mempedulikannya. 5). Pak Zainal Pak Zainal adalah Kepala Sekolah di SD Kartini. Sikapnya yang bijaksana dan tegas membuat para murid sangat kagum kepadanya. Ia selalu mengutamakan siswa yang tidak mampu untuk tetap memperoleh pendidikan. Perwatakan Pak Zainal dalam cerita disampaikan secara analitik oleh pengarang melalui kutipan berikut: Sebagai seorang kepala sekolah, ibarat direktur perusahaan, ia harus lebih bijak mengambil keputusan. Memang hal yang tidak mudah, ia harus mempertimbangkan hati nurani dan perasaannya sebagai referensinya untuk mendasari setiap keputusan.38 Secara dramatik, pengarang menyampaikan perwatakan tokoh Pak Zainal yang bijaksana dan penuh perhatian melalui dialog antara dirinya dengan Faisal ketika Faisal meminta Pak Zainal agar mau menerima ketiga temannya untuk bersekolah. Seperti terlihat dalam kutipan berikut: 38 Ibid., h. 85. 58 ―Kalau boleh Pak, aku titip ketiga temanku yang akan bersekolah di sini, hanya saja mereka orang tidak mampu‖. ―Boleh… boleh…., asalkan mereka memang berniat untuk sekolah‖.39 Dari kutipan di atas, dapat kita simpulkan bahwa watak Pak Zainal benar-benar berjiwa besar. Ia selalu membantu orang-orang yang tidak mampu untuk tetap memperoleh pendidikan. Ia lebih mengutamakan niat dan kesungguhan siswanya yang benar-benar bertekad untuk sekolah. Sangat berbeda dengan keadaan masa kini yang lebih mementingkan uang dibanding nasib anak-anak yang tidak mampu. Selain itu, Pak Zainal memiliki perasaan yang sangat peka dan rasa simpati yang tinggi. Ia sempat terharu dan menangis ketika ketiga anak alam menghadapnya dengan berseragam lusuh, hanya memakai sendal jepit dan memakai tas yang terbuat dari karung gandum. Hal itu disampaikan pengarang secara analitik. Tiba-tiba, setitik air mata menetes di pipinya, ia pasti terharu dan batu di dalam hatinya akan pecah mendengar cerita sedih mereka.40 Pandangan yang pertama muncul dalam benak seseorang mengenai Kepala Sekolah adalah seorang yang dewasa, bijaksana dan tegar. Namun tidak demikian dengan Pak Zainal. Ia memang Kepala Sekolah, tetapi ia tak dapat menyembunyikan rasa harunya sehingga membuatnya menangis di depan salah satu muridnya. Sikap dari tokoh Pak Zainal ini sangat pantas untuk dijadikan teladan bagi pembaca, khususnya bagi kepala sekolah di lembaga lainnya, agar dapat dijadikan cerminan bahwa bagi kalangan yang memiliki ekonomi rendah 39 Prasetyo, Loc.cit. Loc.cit. 40Prasetyo, 59 tetap layak mendapatkan pendidikan dan diharapkan dapat mencontoh sikap Pak Zainal agar pendidikan di dunia khususnya di Indonesia merata, dan orang-orang dari kalangan bawah tetap mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan. Kehadiran tokoh Pak Zainal sekaligus merupakan kritik sosial bagi masyarakat Indonesia. 6). Bu Mutia Bu Mutia adalah sosok guru yang disenangi semua murid, karena sosoknya yang bijak dan perangainya yang lemah lembut. Ia merasa bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak didiknya terutama dalam berakhlak. Maka ketika seluruh anak sibuk mencemooh Pambudi, Yudi, dan Pepeng, bu Mutia memberikan nasihat bagaimana berakhlak terhadap sesama. Meskipun Yudi begitu, tapi kalian nggak boleh mengucilkan Yudi, bagaimanapun juga Yudi itu teman kalian. Di kelas ini, tidak ada perbedaan, meskipun Kalian anaknya pengusaha, anaknya artis, atau anaknya dokter, tetapi kalau sudah ada di kelas ini, semua status itu hilang, kedudukan Kalian sama, Kalian murid-murid Ibu yang punya hak dan kewajiban yang sama untuk terus menuntut ilmu.41 Kutipan tersebut merupakan bukti adanya kesenjangan sosial dalam cerita. Kesenjangan sosial tersebut tergambar begitu jelas antara si kaya dan si miskin, perbedaan tersebut ditonjolkan oleh pengarang melalui tokoh ketiga anak alam ketika berada di kelas dan mendapat hinaan dari temannya yang kaya. Kesenjangan sosial seperti tergambar di atas pun seringkali kita jumpai di kehidupan nyata. Bahwa antara si kaya dan si miskin seolah terdapat jarak yang sangat jauh sehingga interaksi sosial dalam bermasyarakat pun tidak berjalan 41 Prasetyo, Loc.cit. 60 sebagaimana mestinya. Pengarang menggambarkan sifat Bu Mutia sebagai seorang yang penyayang dan lemah lembut. Hal tersebut disampaikan langsung oleh pengarang melalui kutipan berikut: Ibu guruku, Ibu Mutia, di kelas satu adalah sosok ibu yang tak pernah tergantikan. Beliau adalah sosok penyayang dan lemah lembut. Selama empat puluh tahun mengabdi, sejak sekolah ini dibangun di masa awal kemerdekaan, sudah berapa ribu murid yang diajarkannya membaca. Aku bisa membaca karena Bu Mutia. Aku benar-benar bangga Bu Mutia.42 Selain itu, bu Mutia juga merupakan guru yang tegas terhadap anak didiknya. Hal tersebut terbukti ketika bu Mutia memarahi salah satu murid yang sedang asik dengan khayalannya bermain video game ketika kegiatan belajar berlangsung. ―Kau pikir ini sekolah bapak moyangmu apa? Aku tahu, kau anak bodoh, tapi setidaknya bersikaplah yang baik agar Ibu bisa simpati padamu.‖ Walaupun sosoknya lembut, Bu Mutia bisa keras juga, khususnya untuk anak yang tak bisa diatur.43 Sosok Bu Mutia yang lemah lembut dan tegas membuat ia disegani oleh semua muridnya. Sebagai seorang guru baik, ia memegang teguh prinsip dan mengutamakan akhlak. Saat ini, uang adalah alat mujarab untuk memperlancar semua perkara, tetapi tidak untuk bu Mutia. Bu Mutia tidak menerima suap dari salah seorang wali murid yang meminta agar anaknya dinaikkan kelas. ―Apa tidak ada toleransi sedikitpun…?‖ kata perempuan itu sambil membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas lima 42 43 Ibid., h. 89. Ibid., h. 283. 61 puluh ribuan, disorongkan pelan-pelan ke arah Bu Mutia, tanpa diketahui oleh orang tua murid yang lain.44 Sikap Bu Mutia dalam kutipan di atas, seolah menjadi sebuah kritik sosial yang sering terjadi bahwa masih banyak di negara ini yang menganggap uang adalah segalanya dan mampu menghalalkan segala cara hanya demi uang. Tidak hanya orang biasa saja yang melakukan praktik suap tersebut, bahkan orangorang yang berkedudukan tinggi dalam sistem pemerintahan negara pun masih banyak yang melakukan hal tersebut. Suap menyuap ini rupanya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia, tak ayal jika banyak warga Indonesia yang mencontoh praktik ini, karena para pejabat dan anggota parlemen pun banyak melakukan praktek haram ini. Maka dari itu, sikap yang dihadirkan pengarang melalui tokoh Bu Mutia ini sekaligus menjadi teguran keras untuk masyarakat sekitar. 7). Kania Kania merupakan sosok yang digambarkan secara fisik cantik, tubuhnya mungil, kulitnya bersih, rambutnya lurus dan suka dikepang dua. Seperti dalam kutipan yang digambarkan secara analitik: Tanpa sadar, mereka menoleh ke arah Kania. Wow, gadis yang cantik, cerdas, dan lihat.... kepang dua dengan pita merah hati itu terukir manis di rambutnya yang hitam. Suatu kesempurnaan yang tiada bandingannya. Kania.... selain cantik, tetapi juga berhati emas, dan satu lagi ia berani menantang arus di tengah dominasi suara-suara minor tentang anak-anak alam.45 Dari awal kemunculan tokoh Kania, pengarang memunculkan sosok Kania sebagai sosok yang seakan-akan 44 45 Ibid., h. 407—408. Ibid., h. 97. 62 tepat berada di antara teman-temannya yang berasal dari kalangan atas, karena cara berpakaiannya yang rapi, juga sebagai anak yang cerdas. Namun, pengarang memberikan kejutan kepada pembaca ketika di tengah cerita, pengarang menjelaskan bahwa sebenarnya sosok Kania adalah sosok yang sederhana yang tak berbeda keadaannya dengan ketiga anak alam itu. Hal ini menarik karena pengarang memberikan gambaran tokoh Kania yang sesuai stereotip anak orang kaya di satu sisi, namun di sisi lain ia menampilkan Kania secara kebalikan. Hal ini menimbulkan paradoks. Seperti kemarin-kemarin, setiap ada temannya yang singgah entah itu akan belajar kelompok atau minta diajari pelajaran matematika, mereka akan kaget dan tak percaya dengan keadaan Kania, maksud utama teman-teman Kania ke rumahnya jadi lupa jika melihat keadaan Kania di rumahnya. Kania yang di sekolah memakai seragam yang putih rapi disetrika, di rumahnya hanya memakai baju sederhana dengan warna yang pudar serta gambar bunga yang layu melekat di bajunya.46 Kania berusaha mencoba keluar dari jerat kemiskinan dengan mengutamakan pendidikan. Kania adalah salah satu murid terpandai di kelas satu SD Kartini. Kania berjiwa baik, Meskipun ia murid cerdas, namun ia tidak sombong kepada temannya. Kania adalah malaikat bagi Pambudi, Yudi dan Pepeng ketika mereka pertama kali memasuki kelas, ketika mereka dihina oleh anak-anak kaya seperti Rena dan Guruh, Kanialah yang membela ketiga anak alam itu. ―Aku tak membela siapa -siapa, aku hanya membela kebenaran. Sudahlah omongan anak-anak jangan 46 Ibid., h. 293. 63 dimasukkan ke hati ya, anak-anak kalau bercanda memang suka kelewatan‖.47 Sosok Kania yang baik hati tersebut telah membuat ketiga anak alam itu menaruh hati padanya. Selain digambarkan sebagai sosok yang baik hati, Kania juga digambarkan kreatif yang memotivasi Pambudi ketika ia menyatakan cinta kepada Kania dan Kania pun memberinya syarat sebagai motivasi Pambudi dalam belajar. ―Terserah kau, itu hakmu, tetapi sebaiknya kau urungkan perasaanmu itu, sebab aku nggak bisa membalas cintamu, lagian aku nggak suka sama orang bodoh, kalau kau suka sama aku, kamu harus tahu diri, belajar yang betul, dan yang penting kau harus bisa membaca, menulis, dan berhitung‖.48 Kata-kata Kania tersebut merupakan motivasi untuk Pambudi bahwa jika ia ingin mendapatkan hati Kania maka ia harus pandai membaca, menulis, dan berhitung. Di dalam proses belajar, tidak hanya niat yang diperlukan, tetapi juga motivasi berupa cinta. Kania memberikan motivasi positif kepada Pambudi. Kania adalah anak yang cerdas, bahkan dapat dikatakan sebagai anak yang jenius. Sekolah Kartini punya aset mahal yang harus dipertahankan, dialah Kania, anak kelas satu yang punya banyak keistimewaan. Kami, para guru sudah membulatkan keputusan kalau Kania ini tak hanya pintar, ia jenius, ia melampaui zamannya, seharusnya ia dilahirkan enam atau tujuh tahun sebelumnya karena kulihat ia punya kemampuan melebihi anak-anak seusianya.49 Kecerdasan yang dimiliki oleh Kania sangat jarang dimiliki oleh anak seuasianya, sehingga ia menjadi aset untuk 47 Prasetyo, Loc.cit. Prasetyo, Loc.cit. 49 Ibid., h. 443. 48 64 sekolahnya. Kania adalah anak yang berasal dari kalangan bawah sama seperti ketiga anak alam, seorang anak yang dapat dikatakan miskin, sangat terbatas dalam fasilitas yang dapat menunjang kecerdasannya, namun tak menghalanginya untuk menjadi anak yang cerdas. b. Tokoh Antagonis Tokoh antagonis adalah tokoh yang bertentangan dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis ini selalu menghalangi dan melawan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh protagonis, serta menyebabkan terjadinya konflik sehingga cerita menjadi lebih hidup. Adapun tokoh antagonis tersebut di antaranya : 1) Rena Rena adalah teman ketiga anak alam yang bersekolah di SD Kartini. Rena tidak seperti teman lainnya yang mau menerima kehadiran ketiga anak alam di kelas mereka. Rena selalu memandang rendah Pambudi, Yudi dan Pepeng. Sejak pertama kali ketiga anak alam itu menginjakkan kaki di kelas, Rena lah yang paling semangat menghina anak Gedong Sapi tersebut. ―Ooo, jadi kalian anak pembantu? Wah, kebanyakan murid-murid di sini meskipun bukan dari orang kaya, tetapi kita bukan anak seorang pembantu seperti kalian‖.50 Dari kutipan di atas, jelas terlihat sifat angkuh yang dimiliki Rena. Ia tidak ingin bergaul dengan Pambudi, Yudi dan Pepeng. Ia hanya ingin berteman dengan anak yang sebanding dengannya. Hal tersebut memperjelas adanya kesenjangan sosial dalam bergaul. Kesenjangan sosial tersebut tidak menimbulkan tekanan batin bagi ketiga anak alam itu. Sikap Rena yang lain 50 Ibid., h. 96. 65 yang tak pantas dicontoh yaitu ketika ia mencontek pada saat ujian berlangsung. Sikap yang dilakukan Rena jelas merupakan contoh yang sangat tidak baik. Hingga tiba-tiba Bu Mutia menangkap gerakan yang aneh dari Rena, ia tampak menggeser lembar jawabannya ke sebelah kanan sedikit, tetapi pandangannya selalu tertuju ke tengah. Bu Mutia mendongak sedikit dan melhat sebuah tisu kecil berada di atas meja. Bu Mutia curiga, tak biasabiasanya tisu dibentangkan begitu rupa, dan Rena, anak penggemar cerita silat itu terus saja memandang tisu di depannya seperti mengeja aksara yang ada.51 Selain digambarkan sebagai tokoh antagonis, pengarang juga membuat tokoh Rena sebagai tokoh bulat. Tokoh bulat yaitu tokoh yang memiliki watak berubah-ubah. Pengarang membuat perwatakan Rena sebagai tokoh yang memiliki watak berubah-ubah, mulai dari tokoh yang berwatak jahat, lalu baik, lalu jahat kembali, begitu seterusnya hingga ia benar-benar tersadar. Penggambaran tokoh Rena tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut. ― Iya, tapi yang jelas orang miskin seperti kalian tidak pantas sek olah di sini,‖ sambil berkata begitu Rena tengah asyik membolak-balik cersil Kho Ping Hoo-nya......52 Pengarang memperkenalkan watak Rena pada pembaca diawali dengan wataknya yang sombong ketika Pambudi, Yudi dan Pepeng mulai bersekolah dan bergabung di kelas Rena. Namun, pada bagian selanjutnya pengarang mengubah watak Rena menjadi watak yang mudah tersentuh hatinya dan seolah mulai menyadari kesalahannya, seperti pada kutipan berikut: 51 Ibid., h. 379. Loc.cit. 52Prasetyo, 66 Yudi tersenyum penuh kemenangan, Pepeng celingukan memperhatikan teman-temannya yang tertunduk dengan segebung rasa bersalah yang menghimpit dadanya. Rena, Wisnu, Fajar, Guruh, dan semua murid kelas 1-2 diam tak bergerak, hanya sesekali tubuh mereka yang terguncang-guncang, gemetar menahan kesedihan, mereka menjelma menjadi batu, menangis karena airmata kedukaan itu sumpyug meruah melalui sudut kecil di kelopak matanya.53 Penggambaran tokoh Rena yang pada awalnya sombong tiba-tiba berubah menjadi tokoh yang menyadari kesalahannya ketika bu Mutia menasehatinya karena ia dan teman-temannya menghina Pambudi, Yudi dan Pepeng. Tak lama tokoh Rena dengan watak baiknya yang mau mengakui kesalahan ternyata pada bagian tengah pengarang mulai memunculkan kembali watak semula Rena yaitu watak sombong. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: ―Ah, masa bodoh. Anak -anak kampung itu membuat selera belajarku turun, mataku seperti mengganjal sesuatu, hidungku seperti tidak bebas menghirup udara di kelas ini, ada bau-bau yang bikin aku sesak napas, telingaku juga nggak terbiasa mendengar bunyi-bunyi asing yang membuatku harus menutupnya. Dan itu semua disebabkan oleh kedatangan anak-anak kampung itu, anak-anak sok pintar dan tukang cari perhatian‖.54 Tidak lama setelah Rena dengan watak sombongnya dihadirkan oleh pengarang, lalu Rena kembali tersadar akan kesalahannya dan kembali menangis, sama seperti pada bagianbagian sebelumnya. Aneh, Rena memang aneh, sehabis memaki ia menangis, sehabis ia menang melawan Kania dan anak-anak alam itu seharusnya ia bergembira, tetapi 53 54 Ibid., h. 266. Prasetyo, Loc.cit. 67 ia justru menangis tak pantas, menangis seperti anak kecil yang cengeng.55 Rena kembali mengakui kesalahannya dan menangis karena telah disadarkan oleh tokoh Kania. Setelah pengarang membuat pembaca merasa lega karena tokoh Rena yang berubah menjadi baik, ternyata justru tokoh Rena kembali dihadirkan dengan watak angkuhnya. ―Teman? Ih amit -amit deh, punya teman seperti kamu.‖ Rena kemudian membalikkan badan dan segera menutup pintu. Lantas, membantingnya keras-keras‖.56 Sosok Rena juga digambarkan sebagai seorang yang pemalas, seperti terlihat pada kutipan: ―Itu karena kau malas, tidak punya niat, padahal belajar menghafal dengan menulis itu lebih cepat masuknya daripada belajar seperti orang kerasukan setan yang bicaranya ngelantur tak karuan‖.57 Penggambaran watak Rena yang berubah-ubah mampu membuat pengarang. pembaca merasa dimainkan perasaannya oleh Selain itu tokoh bulat (kompleks) sering memberikan kejutan-kejutan karena muncul watak yang tak terduga secara mendadak, sehingga dapat memberikan suasana cerita menjadi terpengaruh karenanya. 2) Pak Cokro Pak Cokro adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat Kampung Genteng sebagai orang pintar atau dukun. Pak Cokro merupakan provokator dalam penyerangan yang menghancurkan Gedong Sapi. Pak Cokro lah yang menghasut dan membohongi pemuda-pemuda pengangguran dan bodoh untuk mau mengikuti 55 Ibid., h. 327. Ibid., h. 343. 57 Ibid., h. 382. 56 68 perintahnya menghancurkan Gedong Sapi. Pak Cokro memiliki sifat penghasut. Hal itu disampaikan pengarang secara analitik dalam kutipan berikut: Mereka yang sama-sama berdiri dihadapanku kini adalah segerombolan anak muda yang tak tahu apaapa, tetapi diprovokasi oleh Pak Cokro untuk menyerang Gedong Sapi, terbukti mereka seperti kerbau dicocok hidungnya yang menurut saja apa yang dikatakan dukun itu.58 Ia adalah seorang dukun yang selalu mengaitkan segala peristiwa yang terjadi dengan hal-hal gaib. Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia sudah tersohor sebagai tabib pengobatan. Ia seringkali mengobati pasien dengan air yang disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia berkumur-kumur dengan air kembang setaman, dirapalkan mantra, barulah molekul-molekul air berubah.59 Sejak zaman dahulu hingga saat inipun masih banyak orang yang mempercayai dukun, terlebih mereka yang tinggal di tanah Jawa dengan tradisi yang sangat kental, salah satunya ialah mempercayai dukun sehingga dalam cerita ini pengarang mencoba menghadirkan tradisi tersebut. Dengan profesinya sebagai tabib yang disegani masyarakat, membuat ia haus sanjungan dan bersifat sombong. Namanya akan semakin membumbung, sepertinya kepalanya mendadak membesar. Ya, meskipun Pak Cokro sudah dibilang bisa membaca, namun itu tak merubah sifatnya yang gandrung sanjungan, gila hormat, karena ia punya kemampuan baru yang jarang dimiliki oleh orang-orang tua di Kampung Genteng.60 58 59 Ibid., h. 159. Ibid., h. 160. 60 Ibid., h. 217. 69 Sifat haus akan sanjungan seseorang memang bukanlah hal yang aneh dalam kehidupan bermasyarakat. Masih banyak di sekitar kita orang-orang yang menginginkan dirinya dipandang dalam masyarakat dan menjadikannya pribadi yang sombong. 3) Mat Karmin Mat Karmin secara fisik digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya bongsor, jakun dan bulu sudah tumbuh yang menandakan ia sudah dewasa. Wajahnya tirus dengan tonjolan tulang pipi dan geraham yang bergemelutukan. Penggambaran fisiknya tersebut disampaikan pengarang secara analitik. Perhatikan kutipan berikut: Seorang laki-laki yang dilihat dari wajahnya, usianya tak lagi muda, sekitar 30-an tahun lebih, senyum-senyum sendiri sambil tertidur di rumput perdu, tubuhnya terguncang-guncang oleh tawa yang tak bisa ditahan dari diafragma perutnya.61 Selain itu, Mat Karmin adalah seorang pebisnis mainan anak yang ulung. Ia selalu tahu kegemaran anak-anak dan musim yang sedang digemari oleh anak-anak. Mat Karmin hidup sebatangkara semenjak orang tua angkatnya meninggal ketika ia masih kanak-kanak. Ia diwarisi sebuah rumah oleh orang tua angkatnya, sehingga ia lebih suka menyendiri dalam rumah. Masa kanak-kanakanya telah direnggut kesendiriannya sehingga ia menjadi pribadi yang pendiam. Karena ia akhirnya hidup sebatangkara, Mat Karmin hanya berteman dalam kesunyian. Tiga tahun pertama dihabiskan hidupnya sendirian, ia menjadi manusia kamar, pribadi introvert yang tak mengenal dunia luar selain kamarnya.62 61 62 Ibid., h. 227. Ibid., h. 55. oleh 70 Masa kanak-kanak adalah masa yang harus dinikmati dengan suka cita. Masa itulah mereka akan menghabiskan waktu hanya dengan bermain. Namun tidak untuk Mat Karmin, lelaki penyendiri ini lebih suka menikmati masa kecilnya dengan mengurung diri di kamar, karena hal itu membuatnya merasa damai. Ia hanya mengharapkan belas kasihan dari para tetangganya yang seringkali memberinya makan. Akibat dari perbuatannya yang mengungkung diri dalam kamar selama bertahun-tahun, membuatnya kesulitan berbicara karena ia sama sekali tidak melakukan komunikasi dengan siapapun. Efek yang sangat buruk pun terjadi pada pribadi Mat Karmin. Ketika ia tumbuh dewasa, ia justru tertarik dengan dunia anak-anak yang selama ini tak ia temui dalam masa kecilnya. Ia lebih akrab dengan anak-anak kecil dibanding bergaul dengan anak sesusianya. Masyarakat menganggap Mat Karmin tak pantas bermain dengan anak-anak, karena fisiknya menunjukkan ia telah menjadi pribadi yang dewasa. Bagiku, Mat Karmin hanyalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, masa kecilnya terlihat kurang bahagia, dibandingkan aku maupun anak Gedong Sapi.63 Melalui tokoh Mat Karmin ini timbullah paradoks, karena melalui fisiknya yang besar serta berumur 30-an, merupakan suatu tanda bahwa seseorang telah dewasa. Namun, tidak demikian dengan Mat Karmin, ia justru seolah seperti anak kecil dan bergaul dengan anak kecil, karena masa kecilnya dulu kurang bahagia. Mat Karmin juga seorang yang licik dan mau menang sendiri. Seperti tergambar dalam kutipan di bawah ini: Tapi, Mat Karmin tak peduli, ia terus berusaha merampas kepemilikan kami, kadang mengutus anak 63 Ibid., h. 56. 71 seusia SMP untuk merebut kembali layang-layang yang telah kami miliki, kadang ia juga perampas itu sendiri. Mat Karmin memang licik, dan ingin untung dua kali.64 Sifat liciknya tersebut juga menghadirkan paradoks bagi pembaca, karena Mat Karmin seharusnya mampu mengayomi anak-anak di bawah umurnya, bukannya bersikap jahat atau licik. Akibat latar belakang kehidupannya yang penyendiri dan sering bergaul dengan anak-anak kecil, belakangan diketahui bahwa ia ternyata seorang pedofil. Semiun menjelaskan bahwa pedophilia berasal dari kata pais, paios = anak; phileo = mencintai. Pedophlia berarti penyimpangan seksual di mana orang dewasa baik pria maupun wanita mencari kepuasan seksual dengan anak-anak kecil, dan sebagian pelakunya adalah seorang pria.65 Seperti yang dilakukan oleh tokoh Mat Karmin. Laboratorium forensik kepolisian berhasil mengungkap satu kejahatan kriminal yang dilakukan oleh seorang pedophilis. Mat Karmin begitu mengagetkan karena lelaki pendiam itu punya kecenderungan aneh. Ia tidak normal karena menyukai anak-anak kecil untuk dijadikan objek birahinya.66 Kutipan di atas memberikan kejelasan mengenai perilaku Mat Karmin yang aneh, di satu sisi Mat Karmin seorang yang pendiam, namun di sisi lain ia menyimpan perilaku menyimpang yang sangat merugikan orang lain, terlebih pada anak-anak kecil yang tak berdosa. 4) Yok Bek Yok Bek adalah seorang peternak sapi yang ulet. Ia pemasok susu sapi terkenal se-Jawa Tengah. Ayah dari 64 Prasetyo, Loc.cit. Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 2, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 49. 66 Prasetyo, Op.cit., h. 235. 65 72 Pambudi, Yudi, dan Pepeng sudah lama bekerja pada Yok Bek. Yok Bek memiliki watak pemarah dan berlaku sewenangwenang. Tak jarang ia memaki ketiga ayah anak alam itu, walaupun hanya karena masalah sepele. Kadang Yok Bek — perempuan Cina itu —berdiri dan berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak.67 Perempuan uzur dengan kulit tangan yang mulai keriput ini digambarkan oleh pengarang sebagai sosok yang berkedok baik. Padahal, Yok Bek adalah keturunan Cina yang ingin menghancurkan Gedong Sapi dan ingin menghancurkan generasi penerus bangsa. Ia hanya menginginkan lahan di Gedong Sapi untuk tempat peternakan sapinya. Namun, peternakan Sapi milik Yok Bek justru membuat warga merasa jengah karena bau kotoran sapi, dan sama sekali tak membawa untung bagi warga. Perhatikan kutipan di bawah ini: ―Tetapi, selama ratusan tahun di Kampung Genteng, apa yang bisa Engkoh lakukan untuk warga? Nggak ada kan? Apa Engkoh pernah menyumbangkan susu-susu sapi Engkoh untuk perbaikan gizi sehari saja, agar anak-anak kampung bisa jadi pintar?‖.68 Sifat pelit yang dimiliki Yok Bek serta peternakan sapi yang merugikan warga membuatnya akan segera diusir dari Kampung. Sifat pelitnya tersebut merupakan paradoks bagi warga Kampung Genteng, seharusnya seseorang yang memiliki tingkat ekonomi tinggi harus pintar berbagi dengan sesama, bukan justru mengabaikan mereka yang tidak mampu. Sifat jahat Yok Bek nampak jelas terlihat ketika Pambudi, Yudi dan 67 68 Ibid., h. 17. Ibid., h. 125. 73 Pepeng yang tak lain anak dari orang-orang yang bekerja pada Yok Bek mulai bersekolah. Ia tampak geram melihat anak-anak itu mengenyam pendidikan. ―Ah, sialan, rupanya anak -anak itu sekarang sudah sekolah, gawat, benar-benar gawat, kalau mereka sekolah, kemudian menjadi pintar...‖.69 Dari kutipan di atas terlihat bagaimana Yok Bek merasa cemas karena anak-anak Gedong Sapi menjadi penerus bangsa. Ia menginginkan anak-anak Gedong Sapi tetap buta akan pendidikan. Orang-orang seperti Yok Bek adalah penjajah ekonomi bangsa Indonesia. Ia menginginkan usaha di tanah Indonesia, karena Indonesia memiliki lahan yang kaya dan luas, namun mereka tidak menginginkan warga Indonesia berjaya dan turut menikmati hasil. ―Tidak! Hanya saja kau harus tahu tabiat orang orang semacam dia itu tidak suka kalau ada pribadi yang pintar, biar bisa dibodohi terus‖.70 Perkara itulah yang membuat Yok Bek merasa takut dengan bersekolahnya ketiga anak alam, sehingga Yok Bek menghasut ayah dari ketiga anak alam itu agar menghentikan sekolah anak-anak mereka. Seperti yang dikatakan Yok Bek pada kutipan berikut : ―Coba dekati anak kalian, dan bicarakan baik -baik, sebaiknya sekolahnya tak usah diteruskan, nanti saja kalau sepulang anakku dari Australia untuk meninjau peternakan sapi di sana, biarlah aku omong-omong dengannya untuk memikirkan nasib pendidikan anak-anak kalian‖.71 69 Ibid., h. 128. Ibid., h. 133. 71 Prasetyo, Loc.cit. 70 74 Sikap Yok Bek yang coba menghasut ketiga ayah anak alam tersebut telah meracuni pikiran mereka yang memang ayah ketiga anak alam tersebut mudah sekali terpancing oleh Yok Bek, karena pendidikan mereka yang rendah tersebut. Demikianlah penjelasan mengenai tokoh dan penokohan dalam novel OMDS. Dapat disimpulkan bahwa tokoh protagonis dalam cerita di antaranya adalah Faisal yang merupakan tokoh sentral, selanjutnya Pambudi, Yudi, Pepeng, Pak Zainal, Bu Mutia, dan Kania. Mereka merupakan tokoh yang kehadirannya memberikan nilai positif melalui karakter yang mereka miliki. Adapun tokoh antagonis dalam cerita di antaranya Rena, Pak Cokro, Mat Karmin, dan Yok Bek. Mereka adalah tokoh-tokoh yang ditampilkan dengan menonjolkan karakter sebagai penentang dari tokoh protagonis. Dari penjelasan mengenai tokoh dan penokohan, dapat diketahui bahwa tokoh protagonis seperti Faisal, Pambudi, Yudi, dan Pepeng telah meraih kesuksesan karena kesungguhan mereka, sedangkan tokoh antagonis seperti Rena, Mat Karmin, Yok Bek, telah menerima balasan dari perbuatan mereka yang tidak baik. Pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa seseorang yang bersikap baik akan memperoleh kebahagiaan, begitupun sebaliknya. Maka dari itu, watak yang ditampilkan para tokoh dapat diharapkan menjadi pelajaran bagi pembaca. Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, terdapat beberapa tokoh lainnya yang memang tidak ditampilkan dalam analisis karena kehadiran tokoh tersebut hanya sebagai pendukung jalannya cerita dan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap penceritaan. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya: Guruh, Kharisma, Kiai Khadis, Ustadz Muhsin, Koh A Kiong, Bang Ujai, dan Minto. 75 3. Latar Latar yang tergambar dalam novel ini mengacu pada tempat dan waktu yang terdapat dalam novel. Latar seolah memberikan gambaran jelas sehingga memberikan kesan realistis kepada pembaca. a. Latar tempat Latar tempat mengacu pada tempat atau letak geografis yang terdapat dalam cerita. Adapun latar tempat utama dalam novel ini yaitu di Semarang yang merupakan ibu kota Jawa Tengah dan masih sangat kental dengan nuansa Tionghoa, karena sejak zaman dahulu hingga saat ini masih banyak terdapat Tionghoa yang menetap di Semarang. Di daerah ini terdapat daerah khusus untuk Tionghoa yang disebut kampung pecinan.72 Hal tersebut terbukti dari puluhan bangunan klenteng, rumah ibadah Tionghoa serta rumah-rumah khas Tionghoa dengan arsitektur khas bangunan kota lama. Seperti rumah seorang Tionghoa yang ada dalam novel bernama Yok Bek, seorang keturunan Tionghoa, seolah menunjukkan bahwa memang latar tempat dalam novel terdapat pada aslinya. Seperti dalam kutipan berikut: Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama Kota Semarang yang berasitektur campuran Italia dan Cina itu berdiri megah, berseberangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh, pengap, kotor, dan sempit.73 Kutipan di atas memberikan bukti bahwa hingga saat ini masih ada Tionghoa yang menetap di Semarang dengan bukti sejarah berupa bangunan rumah khas kota lama Semarang. Rumah Yok Bek yang megah serta perkampungan kaum Tionghoa yang tinggi tersebut seolah menjadi pembatas hubungan sosial antara 72Sejarah Semarang, diunduh pada 1 Desember 2013, Pukul 15.00, dari http://sejarahsemarang.wordpress.com/tionghoa/ 73 Prasetyo, Op.cit, h. 18. 76 Tionghoa yang menutup diri dengan warga pribumi. Keadaan tersebut semakin memperjelas kesenjangan sosial yang terjadi. Orang-orang Cina memang sengaja menjaga jarak dengan kami, orang Jawa. Budaya mereka sangat tertutup, terhalang oleh tembok-tembok tinggi, ghettoghetto yang sengaja dibangun untuk menutup diri dari dunia luar.74 Latar yang digunakan dalam novel ini merupakan latar tipikal, karena daerah Kampung Genteng, Semarang lebih sering dimunculkan disertai dengan penjelasan mengenai kekhasan kota Semarang. Seperti kutipan berikut: Kampung Genteng, itulah asal mula nama kampungku, entah dari mana nama itu berasal, konon menurut ayahku, kampungku itu pemasok genteng yang tiada duanya di Semarang.75 Latar tempat yang terletak di Semarang ini semakin memperkuat karakter masing-masing tokoh. Latar Semarang yang dahulunya identik dengan Islam Kejawen, tetap tergambar dalam cerita yang ada dalam novel OMDS, sehingga membentuk karakter tokoh. Kepercayaan masyarakat Islam Kejawen ini mengakibatkan masyarakat sebagian Semarang percaya dengan kemampuan dukun. Dari penjelasan tersebut, dapat terlihat bagaimana keterkaitan antara latar Semarang dengan karakter tokoh yang tidak dapat dipisahkan. b. Latar Waktu Latar waktu dalam novel ini tidak dijelaskan secara langsung oleh pengarang. Namun, dikaitkan dengan masa reformasi dan dapat diperkirakan yaitu setelah reformasi, cerita ini terjadi pada tahun 2000-an. Latar waktu selebihnya dijelaskan melalui 74 75 Ibid., h. 19. Ibid, h. 11. 77 pergantian waktu seperti pagi, siang, sore dan malam. Sejak zaman dahulu, kota Semarang memang dikenal sebagai kota pecinan, yaitu kota yang banyak dihuni oleh warga Tionghoa. Hingga kisaran sampai tahun 2000, masih ada warga Tionghoa yang mendiami kota Semarang. Seperti yang terdapat dalam novel, Yok Bek tinggal di Semarang sejak tahun 1990-an, sebelum reformasi sampai setelah reformasi (1998), karena setelah itu warga asli kota Semarang mulai menunjukkan sikap berani melawan kepada Tionghoa setelah sebagian Tionghoa mulai pergi dari kota Semarang. Yok Bek merasa terusik dengan tidur siangnya akibat polah anak-anak alam yang cekikikan dalam bekerja membantu ayah mereka di dalam kandang sapi. Matanya tak juga terpejam, pikirannya masih melayang kemana-mana memikirkan nasib kehidupannya yang sungguh tragis. Tempat usahanya beternak sapi mulai diganggu warga, mereka mulai berani menganggapnya bukan tokoh penting dalam Kampung Genteng setelah reformasi 1998.76 Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa sebelum reformasi, warga Semarang seolah digambarkan sebagai warga yang takut pada Tionghoa, yang menguasai perekonomian warga pribumi. Namun setelah reformasi pada tahun 1998, warga Semarang mulai berani berontak dan tersadar bahwa mereka hanya diperbudak dan menjadi kaki tangan Tionghoa, khususnya Yok Bek seperti dalam cerita. Hal tersebut terlihat melalui kutipan berikut: ―Mau beritahu gimana, mereka adalah orang -orang terpelajar yang belajar dari sejarah, orang-orang Cina yang sepertinya bersahabat itu sebetulnya adalah penjajah ekonomi. Bukannya mau ngritik nih Koh, mungkin sejarah Koh Yok Bek berakhir sampai di sini. Engkoh harus puas, sudah lama 76 Ibid., h. 123. 78 sekali Engkoh hidup dan berbaur di kampung ini tanpa pernah terganggu...‖77 Hal tersebut merupakan puncak permasalahan yang dialami antara warga pribumi dengan Yok Bek. Bukti lainnya yang menunjukkan bahwa latar waktu terjadi kisaran tahun 2000an adalah dengan adanya alat elektronik seperti video game, karena pada tahun 2000an telah terjadi kemajuan yang sangat pesat, khususnya dibidang elektronik. 4. Alur Alur digunakan untuk menunjukkan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan secara logis dan disebabkan oleh suatu tindakan. Dalam hal ini, alur akan mengarah pada sekuen (urutan tekstual) dan hubungan sebab akibat (urutan logis). Urutan tekstual adalah urutan cerita berdasarkan analisis sekuen seperti yang ditampilkan dalam urutan satuan teks. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Todorov bahwa karya sastra di masa lalu disusun sesuai dengan urutan logis atau yang biasa disebut dengan hubungan sebab akibat (kausalitas) kausalitas sangat erat hubungannya dengan tempo (waktu).78 Maka penulis menganalisis alur beradasarkan teori Todorov. Berdasarkan jumlah sekuennya maka novel OMDS memiliki 36 sekuen yang telah terlampir. Adapun analisis alur dalam novel ini terdapat tiga tahapan, yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Tahapan awal alur dalam novel ini yaitu diawali dengan tahap pengenalan. Tahap perkenalan dibagian awal ini terlihat mulai dari sekuen 1—10. Pada sekuen 1 pengarang mengantarkan pembaca untuk mengenali bagaimana suasana dalam cerita yang digambarkan dengan suasana kampung yang dipenuhi dengan keceriaan anak-anak dalam bermain layang-layang. Pada sekuen 1(a)— 10, pengarang mulai memperkenalkan 77 78 Ibid., h. 126. Todorov, Op.Cit. h. 41 79 para tokoh di antaranya toko Faisal, Pambudi, Yudi, Pepeng, Candil, Ki Hajar Ladunni, dan Mat Karmin. Tokoh-tokoh ini muncul pada tahapan awal. Pengarang mendeskripsikan Faisal sebagai seorang anak kelas dua Sekolah Dasar yang sangat peduli terhadap pendidikan teman-temannya. Tokoh Pambudi, Yudi dan Pepeng merupakan teman-teman Faisal yang dikenal dengan anak alam karena mereka tidak memperoleh pendidikan dan hanya bekerja membantu ekonomi keluarga. Kehidupan miskin yang dialami ketiga anak itu yang menyebabkan mereka merasa tidak mungkin untuk dapat bersekolah. Selanjutnya pengarang menghadirkan tokoh Candil dan Ki Hajar Ladunni, Candil merupakan anak Ki Hajar Ladunni, seorang pakar pembuat layang-layang. Candil anak yang cerdas meskipun ia tinggal di hutan daerah pedalaman. Pada bagian awal ini juga terdapat pengenalan tentang latar terjadinya cerita dalam novel ini, yaitu di Gedong Sapi, Kampung Genteng, Semarang. Selanjutnya pada bagian tengah alur terdapat pemunculan konflik, peningkatan konflik, dan klimaks atau puncak permasalahan. Awal munculnya konflik terjadi justru ketika Pambudi, Yudi dan Pepeng mulai pertama kali sekolah. Ketika mereka mulai bersekolah, mulailah muncul konflik yaitu konflik batin yang dialami ketiga anak alam tersebut yakni berupa hinaan dari teman-teman sekelasnya yang merasa lebih kaya dibanding mereka, sebagaimana pada sekuen 12. Namun, hinaan yang mereka terima tidak menjadikan mereka putus asa. Justru mereka menjadikan itu sebagai tantangan dan mereka akan membuktikan bahwa mereka juga layak untuk sekolah di tempat yang sama. Terlebih ketika mereka bertemu seorang murid cantik bernama Kania, mereka terpana oleh kecantikan gadis tersebut ketika Kania membela mereka dari hinaan teman lainnya (sekuen 13). Bagian tengah alur yang berisi peningkatan konflik yaitu ketika warga Kampung Genteng mulai emosi karena peternakan milik Yok Bek tak menguntungkan warga dengan bau kotoran sapi dari peternakan miliknya dan warga tak pernah mendapatkan sumbangan susu sekedar 80 untuk perbaikan gizi anak-anak mereka (sekuen 14). Selanjutnya pada sekuen 15 terlihat Yok Bek mulai gelisah ketika mendengar anak-anak alam mulai bersekolah. Ia takut jika anak-anak itu sekolah maka mereka akan menjadi pintar dan mengambil alih usahanya, ia berharap agar orangorang Kampung Genteng tetap bodoh karena akan lebih mudah baginya untuk membodohi warga pribumi. Konflik pun mencapai klimaks ketika Yok Bek menghasut ayah Pambudi, Yudi dan Pepeng agar menghentikan sekolah anak-anaknya dan menuyuruh anak-anak itu membantu bekerja di peternakan Yok Bek (sekuen 16). Ia mengumbar janji pada ketiga ayah anak alam itu dengan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang lebih bagus jika anakanak mereka bersedia berhenti dari sekolah dan kembali mengabdi pada Yok Bek. Pada sekuen 17 akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng berhenti dari sekolah dan kembali bekerja membantu ayah mereka. Puncak masalah yang lainnya yaitu ketika emosi warga sudah tak terbendung lagi sehingga warga membakar habis rumah Yok Bek (sekuen 18). Akibat dari kejadian tersebut, akhirnya ayah ketiga anak alam itu pun berhenti dari pekerjaannya sebagai peternak di peternakan milik Yok Bek, dan anakanak alam itu pun entah bagaimana nasibnya semenjak putus sekolah sehingga Faisal pun kehilangan kabar mereka (sekuen 24). Klimaks dalam cerita semakin diperkuat dengan adanya konflik di Kampung Genteng yaitu seorang warga bernama Mat Karmin yang telah menyodomi anakanak kecil Kampung Genteng karena ia memiliki penyakit pedophilia (sekuen 29-a). Kejadian itu membuat warga menjadi murka dan melaporkan tindakan kejamnya ke polisi dan warga pun berasumsi bahwa tindakan kriminal Mat Karmin akibat dari ia bisa membaca dan memanfaatkan itu untuk mengelabui anak-anak (sekuen 30-c). Faisal pun menjadi takut dan gelisah kalau ia akan menjadi sasaran warga karena ia juga terlibat dalam membantu Mat Karmin belajar membaca. Tahapan akhir alur dalam novel yaitu tahap penyelesaian. Peristiwa yang mulai menunjukkan pada tahap penyelesaian konflik terlihat pada 81 sekuen 31 yaitu ketika Pambudi, Yudi dan Pepeng kembali ke sekolah. Mereka kembali ke sekolah karena mereka terus diberi motivasi oleh Faisal tentang pentingnya sekolah, dan demi Kania tentunya, gadis kecil yang mereka sukai sejak awal masuk sekolah. Cerita dalam novel juga diakhiri dengan adanya Ujian Akhir Semester (sekuen 34). Dilanjutkan dengan pembagian rapor. Pada bagian pembagian rapor, pengarang telah menyampaikan pesan secara tersirat bahwa bagi mereka yang sungguhsungguh dalam belajar maka akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Seperti Rena, anak orang kaya yang ketahuan mencontek pada saat ulangan akhirnya tidak naik kelas (sekuen 35.b) sedangkan Pambudi, Yudi dan Pepeng yang merupakan anak-anak alam yang miskin namun karena kesungguhannya akhirnya mereka pun naik kelas dengan nilai memuaskan, begitu pula dengan Faisal dan Kania (sekuen 36). Dari penjelasan mengenai penahapan alur di atas, maka alur dalam novel merupakan alur maju karena ceritanya bergerak maju mulai dari perjuangan Faisal mengajak temannya sekolah hingga ia dan temantemannya berhasil dalam pendidikan dan naik kelas. Untuk memperkuat mengenai alur, maka selain adanya alur tekstual berupa sekuen, alur juga harus memiliki urutan logis yang berdasarkan pada hubungan sebab akibat (kausalitas). Berdasarkan analisis urutan logis ini dapat diketahui apakah antara satuan-satuan naratif teks novel OMDS ini memiliki hubungan logis atau tidak. Berikut ini hubungan sebab akibat urutan alur dalam novel berdasarkan sekuen. Tabel 3.1 Hubungan Kausalitas Alur No 1. Sebab Akibat Sekuen 10: Sekuen 11: Faisal membujuk Pambudi, Yudi Pambudi, Yudi dan Pepeng dan Pepeng untuk sekolah dan akhirnya sekolah dengan 82 membicarakan hal ini kepada peralatan sekolah seadanya. orang tua mereka masing-masing. 2. Sekuen 12: Sekuen 12 (a): Ketika mulai memasuki sekolah, Mereka dibela oleh gadis Pambudi, cantik bernama Kania. Yudi dan Pepeng mendapat hinaan dari teman sekelasnya bernama Rena karena status sosialnya yang jauh lebih tinggi dibanding mereka. 3. Sekuen 14: Sekuen 18: Peternakan sapi milik Yok Bek Warga emosi dan rumah Yok tak sedikitpun menguntungkan Bek dibakar oleh warga karena warga, justru merugikan dengan sudah tidak tahan lagi dengan bau kotoran sapi dan tidak pernah peternakan milik Yok Bek. menyumbangkan susu sekedar untuk perbaikan gizi anak-anak mereka. 4 Sekuen 15: Sekuen 16: Yok Bek mulai gelisah karena Yok Bek menghasut ayah dari Pambudi, Yudi dan Pepeng akan Pambudi, Yudi dan Pepeng bersekolah, karena ia takut jika agar mereka memberhentikan anak-anak alam itu sekolah akan anak-anak mereka dari sekolah mengambil alih usahanya. dan lebih baik bekerja pada Yok Bek. 5. Sekuen 16: Sekuen 17: Yok Bek menghasut agar anak- Pambudi, Yudi dan Pepeng pun anak alam itu berhenti sekolah terpaksa harus berhenti sekolah 83 karena perintah orang tua mereka dan kembali bekerja membantu ayah mereka. 6. Sekuen 19: Sekuen 20: Faisal menahan warga agar tak Faisal dituduh amnesia karena membakar rumah Yok Bek. terkena pukulan warga padahal ia merasa baik-baik saja. 7. 8. Sekuen 17: Sekuen 24: Semenjak ayah mereka terkena Faisal mencari ketiga anak hasutan Yok Bek, Pambudi, Yudi alam itu karena semenjak dan Pepeng pun berhenti sekolah mereka dan menghilang dari Faisal. mereka tak lagi ada kabar. Sekuen 23: Sekuen 26: Faisal mengajar di kampungnya Faisal dihina oleh muridnya karena yang memang rata-rata usianya Diknas mengadakan sekolah gratis untuk buta aksara. jauh berhenti lebih sekolah, dewasa dan berbadan besar, mereka tak percaya bahwa Faisal lah yang akan mengajar mereka membaca dan menulis. 9. Sekuen 28: Semenjak Sekuen 29(a): mengikuti sekolah Panji disodomi oleh Mat gratis, Mat Karmin bisa membaca Karmin karena Mat Karmin dan seorang pedophilia. membuat buku permainan anak-anak. tentang Sekuen 30(c): Warga menyimpulkan bahwa 84 ulah Mat Karmin itu diakibatkan adanya sekolah gratis dan akhirnya ia bisa baca sehingga sebagai menjadikan kesempatan itu emas untuk bertindak kriminal. 10. Sekuen 34(a): Sekuen 35(b): Ketika Ujian Akhir Semester, Rena tidak naik kelas. Rena ketahuan mencontek. 11. Sekuen 31: Sekuen 36: Karena usaha Faisal membujuk Pambudi, Yudi, Pepeng, Faisal temannya serta Kania berhasil naik kelas. dan karena kesungguhan mereka, akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng kembali ke sekolah. Dari tabel hubungan kausalitas alur di atas dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang terjadi dalam cerita saling berkaitan dan memiliki hubungan sebab akibat. Hubungan kausalitas alur di atas menunjukkan perjuangan Faisal dalam membantu ketiga temannya bersekolah meskipun banyak cobaan yang menghalangi usahanya seperti Yok Bek yang menghasut orang tua mereka sehingga mereka diperintahkan untuk berhenti sekolah, hal tersebut terlihat pada sekuen 16. Namun, usaha Faisal pun berhasil ketika Yok Bek mulai diusir warga dan Pambudi, Yudi serta Pepeng kembali sekolah. Alur yang digunakan merupakan alur maju karena peristiwa yang terjadi disusun secara beruntutan mulai dari usaha Faisal, dilanjutkan dengan cobaan dalam membujuk temannya hingga akhirnya merekapun bersekolah dan naik kelas. 85 5. Sudut Pandang Sudut Pandang cerita mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan pada novel OMDS yaitu pesona atau gaya ―aku‖, pengarang atau narator berada di dalam cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut dirinya ―aku‖. Faisal merupakan pencerita tokoh ―aku‖ dalam novel. Dengan menggunakan sudut pandang ―aku‖ membuat pembaca merasa dekat dan berada dalam cerita, karena pembaca mudah meresapi cerita tersebut. Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut. Setelah pulang dari sekolah tadi, aku mampir dulu ke pengepul barang-barang bekas, aku mengatakan ingin mencari kertas minyak, maka pemulung yang berjenggot lebat, bermuka seperti jelaga lampu minyak itu menyodorkan beberapa tumpukan kertas, dan aku disuruh mencarinya sendiri.79 Sudut pandang pesona ―aku‖ ini banyak menyebutkan tokoh utama yang mengemukakan gagasan utama cerita melalui tokoh pengarang menuangkan kehidupan Faisal, masyarakat Gedong Sapi sebagai masyarakat yang miskin. Perasaan batin kehidupan orang miskin terhadap mimpi dan cita-cita. Hal ini banyak dituangkan melalui tokoh dari sahabat Faisal. Sudut pandang ―aku‖ melalui tokoh utama bernama Faisal banyak memberikan amanat dan pesan, amanat yang disampaikan Faisal mengenai pentingnya pendidikan selalu disampaikan kepada temannya, sehingga temannya merasa termotivasi. Sudut pandang ―aku‖ ini semakin memperkuat penokohan Faisal. Sudut pandang tersebut membuat tokoh 79 Ibid., h. 13. Faisal terlihat semakin 86 menunjukkan eksistensinya sebagai tokoh utama yang mengetahui setiap jalannya cerita karena Faisal merupakan pencerita atau narator, sehingga perjuangan dan niatnya untuk membantu pendidikan teman-temannya semakin terlihat melalui sudut pandang ini. 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa merupakan cara khas pengungkapan seorang pengarang dalam karyanya. Adapun gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam novel OMDS mampu menimbulkan suasana yang beragam, simpatik, objektif, harapan, dan cita-cita. Gaya bahasa yang terdapat di dalam novel di antaranya gaya bahasa metafora. Keraf memaparkan bahwa metafora merupakan majas perbandingan yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang singkat dan padat dengan tidak menggunakan kata seperti, bak, bagaikan, dan sebagainya.80 Pengarang lebih sering menggunakan metafora dalam setiap bab atau setiap cerita dengan harapan agar mampu memberikan kesan indah sehingga menarik perhatian pembaca dalam memahami jalannya cerita hingga akhir. Salah satu kutipan yang menunjukkan penggunaan majas metafora dapat dilihat pada kutipan berikut: ―Sekolah itu benteng moral, seperti halnya ajaran Islam untuk mengerem dorongan bawah sadar mereka yang bisa tak terkekang‖.81 Kutipan di atas merupakan salah satu cara pengarang dalam menggunakan gaya bahasa. Majas metafora dalam kutipan di atas dapat dilihat pada kalimat sekolah itu benteng moral. Dalam kalimat tersebut terdapat perbandingan antara dua benda yakni sekolah dan benteng, sekolah dalam kutipan tersebut diibaratkan seperti sebuah benteng besar yang mampu membentuk moral seseorang agar dapat menunjukkan eksistensi di dalam kehidupan. Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa,(Jakarta: PT Gramedia, 1985), h. 139. Prasetyo,Op.cit, h. 68. 80Gorys 81 87 Adapun fungsi dari majas metafora tersebut adalah untuk menyampaikan pesan kepada pembaca dengan menggunakan persuasi atau berupa ajakan dan nasihat. Oleh karena itu, pengarang selalu berusaha bersikap komunikatif terhadap pembaca. Kutipan di atas merupakan salah satu cara pengarang menyampaikan pesan kepada pembaca. Dalam setiap adegan cerita, pengarang berusaha menampilkan ajakan atau nasihat yang disesuaikan dengan apa yang terjadi dalam cerita sehingga cerita yang berjalan tetap meninggalkan pesan yang dapat memotivasi pembaca. Seperti pada kutipan di atas, majas metafora tersebut secara tersirat telah mengajak pembaca agar mengutamakan pendidikan, karena dengan memiliki pendidikan maka seseorang akan mampu mengendalikan dirinya dalam bersikap. Seperti yang telah dijelaskan di atas, gaya bahasa berfungsi untuk menciptakan suasana persuasi, sehingga gaya bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat bagi setiap adegan dan gaya bahasa tersebut tepat digunakan pada persoalan yang tengah dibicarakan dalam cerita. Gaya bahasa persuasi yang digunakan sangat menarik dengan pemilihan kata yang mudah dipahami dan meninggalkan pesan yang mendalam. Gaya bahasa dapat digunakan untuk menandai karakter tokoh, sehingga terdapat keterkaitan yang erat antara gaya bahasa dengan karakter yang ditimbulkan oleh tokoh. Secara implisit, gaya bahasa mampu menggambarkan karakter setiap tokoh. Perhatikan kutipan berikut: Bulu mata lentik Bu Mutia berkedip-kedip seperti magnet burung merak yang menarik. Aku hanya bisa terduduk beku dan menyimak kata-kata Bu Mutia dengan saksama. Kalau menulis itu adalah upaya kita agar tetap kekal abadi, orang yang gemar menulis haruslah bisa membaca, sedangkan ilmu membaca diperoleh dari sekolah. Berarti kawan-kawanku itu harus bisa membaca alias sekolah, agar tak menghilang dari pusaran sejarah.82 Kutipan di atas memperlihatkan gaya bahasa yang menimbulkan karakter dari tokoh Bu Mutia. Dapat kita lihat bahwa kutipan tersebut 82 Ibid., h. 62. 88 secara tersirat menunjukkan bahwa tokoh Bu Mutia adalah seorang wanita yang cantik, digambarkan melalui kalimat bulu mata lentik Bu Mutia berkedip-kedip seperti magnet burung merak yang menarik. Melalui pendeskripsian tersebut maka pembaca dapat memahami gambaran fisik tokoh, dan dapat disimpulkan pula bahwa Bu Mutia adalah sosok yang sangat mementingkan pendidikan, seorang yang dewasa dan bijak. Selain menggunakan gaya bahasa metafora, dalam novel ini pengarang juga menggunakan diksi dengan beberapa dialek regional sesuai dengan latar tempat pengarang yaitu Jawa. Dialek regional adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif dan didasarkan pada wilayah atau area tertentu dari tempat tinggal penutur tersebut.83 Maka dari itu, pengarang dalam novel ini menyelipkan bahasa Jawa dalam karyanya sesuai dengan dialek yang ia miliki. Seperti yang terdapat pada kutipan berikut: Karisma segera melepaskan bajunya, tubuhnya sudah gatal untuk segera tersentuh air, air yang kimplah-kimplah dan berwarna putih keperakan itu rata dengan bibir kolam, sementara itu Pepeng dan Yudi agak malas-malasan.84 Dari kutipan di atas, terdapat kata kimplah-kimplah yang sulit dipahami maknanya. Selain kata tersebut terdapat kata lainnya yaitu seperti kata mlithit, mlungkret, wales, kepis, ndhepipis, tengen, mlanjer, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kosa kata Jawa tersebut tidak diberi pengertian tentang arti yang sebenarnya, pengarang tidak memberi penjelasan arti dari bahasa Jawa yang ia gunakan sehingga membuat pembaca merasa bingung dan mengalami kesulitan. Hal yang sering menjadi permasalahan adalah mengenai ketepatan pemilihan kata, mengenai kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca. Maka seorang penulis harus cermat memilih 83 Abdul Chaer, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), h. 84 Prasetyo, Op.cit., h. 275. 63. 89 kata-kata agar pembaca dapat memahami maksud yang ingin disampaikan seorang penulis. Seperti halnya pengarang dalam novel OMDS, ia menggunakan kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca umum, sehingga dialek dan susasana lokal tersebut tidak sampai kepada pembaca. E. Analisis Nilai Moral Tokoh dengan Pendekatan Pragmatik Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pembahasan, bahwa pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan kajiannya terhadap peran pembaca, dan pendekatan pragmatik tersebut berkaitan dengan nilai moral. Berkaitan dengan tujuan dari pendekatan pragmatik yang berfungsi terhadap keberadaan masyarakat maka hadirlah nilai pendidikan sehingga dapat dijadikan teladan untuk masyarakat. Adapun nilai moral tersebut tergambar dalam novel OMDS karya Wiwid Prasetyo. Nilai moral berkaitan dengan tingkah laku atau karakter seseorang sekalipun perilaku tersebut dibentuk oleh lingkungan sekitar. Nilai moral yang akan dibahas dalam analisis ini akan dikaitkan dengan latar belakang asal tempat yang terjadi dalam novel berupa sejarah, budaya dan tradisi atau fenomena sosial yang terjadi pada saat itu, dengan adanya hal tersebut akan membentuk beberapa nilai moral yang dimiliki para tokoh dalam novel. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Widagdho yang mengatakan bahwa penyebab manusia berbudaya adalah karena faktor etika dan estetika. Etika yakni pembentukan kepribadian atau tingkah laku melalui budayanya.85 Salah satu yang akan dibahas peneliti adalah faktor etika atau moral. Asal tempat yang digunakan pengarang dalam novel OMDS ini adalah di kota Semarang. Dalam analisis, peneliti akan membagi nilai moral para tokoh tersebut ke dalam tiga aspek, yaitu nilai moral terhadap diri sendiri, nilai moral terhadap orang lain (lingkungan) dan nilai moral terhadap Tuhan. Sebelum menganalisis nilai moral yang dilihat dari latar belakang asal tempat, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai latar Semarang seperti berikut: 85 Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 28. 90 Ada beberapa pendapat yang menjelaskan asal-usul nama ―Semarang‖. Menurut C. Kejjerkeker dan D. Van Hinloopen Leberton dalam buku Kasmadi dan Wiyono mengatakan bahwa nama ―Semarang‖ berasal dari kata-kata asemarang, karena di daerah tersebut banyak ditanam pohon asam yang letaknya jarang-jarang (bahasa Jawa: arang-arang), sehingga terbentuklah nama ―Semarang‖. Pendapat lain dikemukakan oleh J. Hageman Jon, bahawa nama ―Semarang‖ berasal dari kata ―sama-perang‖, karena telah terjadi peperangan antara dua orang putra mahkota kerajaan Pejajaran yang terjadi di daerah Tugu di sebelah barat Semarang, sehingga terbentuklah nama ―Semarang‖.86 Di daerah Semarang hingga saat ini terkenal dengan banyaknya warga Tionghoa yang menetap di sana sehingga terdapat sebuah perkampungan yang dinamai kampung Pecinan. Berikut ini akan dikisahkan oleh Kasmadi dan Wiyono terkait permulaan terjadinya pemukiman orang-orang Tionghoa di Semarang: Kira-kira lima ratus lima puluh tahun lalu, Kaisar Bing Sing Tjouw dari Dinasti Ming mengirimkan suatu armada yang besar untuk mengunjungi negara-negara di Laut Selatan dengan tugas untuk mencari cap kerajaan ajaib yang telah hilang. Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang Kebiri besar yang bernama Sam Po. Ketika armada ini sedang berlayar di muka pantai utara Jawa, seseorang yang memegang jabatan kedua setelah Sam Po, yaitu Ong King Hong menderita sakit keras. Oleh karena itu, Sam Po memerintahkan kepada armada untuk mendarat di pantai yang sekarang menjadi pelabuhan Semarang. Ia menemukan sebuah gua kecil di lereng suatu bukit, tidak jauh dari pantai dan ia pun beristirahat, dan para pengikutnya membangun sebuah rumah kecil untuk Ong King Hong. Sam Po telah membuat obat-obatan, dan kesehatan Ong King Hong berangsur-angsur membaik. Setelah sepuluh hari tinggal di tempat itu, Sam Po memutuskan untuk meneruskan perjalanan, sedangkan Ong King Hong tetap tinggal do tempat itu dan diberi sebuah kapal, sepuluh orang anak buah, dan perbekalan yang cukup. 86Hartono Kasmadi, Wiyono, Sejarah Sosial Kota Semarang, (1900-1950), (Jakarta: Depdikbud, 1985), h. 28—29. 91 Bahkan setelah Ong King Hong sembuh, ia tidak kembali ke Cina, melainkan tetap tinggal di tempat itu sambil menggunakan kapalnya untuk berdagang di sepanjang pantai utara pulau Jawa, pengikut-pengikutnya telah memperistri wanita-wanita Indonesia, dan pemukiman kecil tersebut telah berkembang menjadi makmur hingga saat ini.87 Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip Jawa yang mereka anut, baik dari segi moral, adat atau tradisi dan lainnya. Berikut ini pembahasan mengenai nilai moral berdasarkan aspeknya masingmasing: 1. Nilai moral terhadap diri sendiri a. Menerima segala apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan Nilai moral terkait dengan sikap menerima segala apa yang sudah ditakdirkan Tuhan tergambar melalui tokoh dari ayah ketiga anak alam yang memiliki sifat nrimo. Hal ini sesuai dengan karakter asli orang Semarang, Jawa Tengah. Semarang adalah bagian dari Jawa Tengah. Di kalangan masyarakat, tercipta stereotip tentang perangai orang Jawa yang begitu halus, sopan dan pasrah menjalani hidup atau nrimo. Karakter dari ayah ketiga anak alam yang nrimo, menerima keadaan begitu saja terlihat dari pekerjaan mereka sebagai budak dari Yok Bek. Mereka tidak mau berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik, dan mereka tidak ingin mencari masalah dengan Yok Bek jika mereka berhenti bekerja, maka dari itu mereka pasrah dengan pekerjaan yang mereka miliki. ...Anehnya, ditindas sedemikian rupa seperti sapi perah yang kerap mereka kerjai setiap hari, mereka sama sekali tak pernah memberontak, mereka bahkan sudah tak terpikir untuk mencari pekerjaan lain selain pekerjaannya sekarang.88 Ibid, h. 77—78. 87 88 Prasetyo, Loc.cit. 92 Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa karakter ayah ketiga anak alam itu benar-benar pasrah dengan keadaan, tidak terbesit dalam pikiran mereka untuk mencari pekerjaan yang lebih baik walaupun mereka ditindas. Mereka menyadari akan kemampuan mereka sehingga mereka tidak memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Ketika semua orang berusaha mencari pekerjaan yang lebih layak untuk dirinya dan keluarganya, mereka justru tak berniat sedikitpun untuk mengubah hidup mereka. Demikianlah profil mengenai orang Semarang dengan karakter nrimo. Bersinggungan dengan sikap nrimo, maka masyarakat semarang lebih terlihat bahagia dan seolah tidak memiliki beban sekalipun mereka mengalami perekonomian yang sulit. Seperti yang tergambar dalam novel melalui tokoh Pambudi, Yudi dan Pepeng, walaupun status ekonomi mereka rendah sehingga mengakibatkan mereka tidak bersekolah dan mereka sendiri yang harus bekerja membantu perekonomian keluarga, namun mereka tetap terlihat bahagia layaknya seorang anak yang menikmati masa kecilnya dan tidak menjadikan kemiskinan sebagai beban. Perhatikanlah kutipan berikut: Sesampai di sana, aku melihat teman-teman tak membawa perbekalan lengkap seperti itu, mereka tak punya barangbarang bawaan seperti punyaku, mereka tak punya tas karena tidak sekolah, tak punya jaket karena tak punya uang untuk membeli jaket, bahkan ketika musim hujan tiba, mereka justru hujan-hujanan keliling Kampung Genteng dengan meneror orang-orang kampung dengan candaan mereka yang kelewat batas, berteriak-teriak seperti orang gila, berada di bawah kerpus rumah yang airnya terus mengalir ke bawah, mereka bayangkan diri mereka berada di bawah air terjun.89 Dari kutipan di atas, dapat terlihat bagaimana ketiga anak alam itu begitu bahagia menjalani kehidupan dan sangat menikmati masa kecilnya seolah mereka tidak memiliki beban khususnya masalah 89 Ibid., h. 31. 93 ekonomi yang sangat jauh dari kata berkecukupan. Namun, sangat berbeda dengan Faisal, ia berasal dari keluarga yang berkecukupan dan anak rumahan yang justru tidak menemukan masa kecilnya seperti ketiga temannya tersebut. b. Pekerja keras atau giat bekerja Walaupun masyarakat Jawa, khususnya warga Semarang memiliki sifat nrimo terhadap keadaan, namun ternyata masyarakat Jawa atau warga Semarang khususnya terkenal dengan sifatnya yang pekerja keras. Jika mereka telah memiliki pekerjaan maka mereka akan tekun dan giat dengan pekerjaan yang digelutinya, walaupun pekerjaan mereka masih relatif rendah dibanding kota besar lainnya seperti Jakarta. Seperti yang dialami ayah dari Pambudi, Yudi dan Pepeng, ayah ketiga anak alam itu hanya bekerja sebagai peternak sapi pada seorang warga berkebangsaan Cina bernama Yok Bek, namun mereka giat bekerja dan patuh pada majikannya. Sepagi itu, mereka telah melakoni hidup dengan susah payah, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, tetapi mereka sama sekali tak mengeluh dengan nasib mereka yang selalu di bawah.90 Sikap tersebut melahirkan prinsip nrima ing pandum yakni menerima segala yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Namun demikian, tidak berarti nrima ing pandum ini diisi dengan bermalasmalasan, tanpa mau berusaha. Hal itu dibuktikan dengan ketekunan dan kesungguhan mereka dalam bekerja. Sikap pekerja keras yang dimiliki masyarakat Jawa telah melekat dan menjadi prinsip hidup mereka. Walaupun sikap nrimo sering disalahartikan oleh kebanyakan orang yang menganggap hanya bermalas-malasan, namun masyarakat Jawa menyeimbangkan persepsi tersebut dengan bekerja keras, karena 90 Prasetyo Loc.cit. 94 sikap pekerja keras tersebut merupakan salah satu prinsip dari masyarakat Jawa. c. Jujur dan Urip Samadya Masyarakat Jawa dapat mengukur sejauh mana kemampuan yang mereka miliki dan tidak memaksakan kehendak, istilah tersebut dikenal dengan istilah urip samadya. Sikap urip samadya menjauhkan seseorang dari perbuatan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Hal tersebut merupakan sebuah prinsip yang harus dipegang teguh oleh masyarakat Jawa. Berdampingan dengan sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh, hal tersebut tercermin dalam ungkapan Jawa jujur bakal mujur yang berarti orang jujur akan beruntung. Masyarakat Jawa memiliki keyakinan yang kuat bahwa siapa saja yang bersikap jujur maka ia akan memperoleh keberuntungan. Maka dari itu, banyak dari masyarakat Jawa yang menerapkan prinsip tersebut karena mereka ingin mendapatkan keberuntungan dalam hidup. Pengarang novel OMDS ini banyak sekali menerapkan prinsip Jawa dalam kepribadian masing-masing tokoh. Salah satu tokoh yang memegang prinsip urip samdadya dan jujur ini bisa dilihat dari penokohan Bu Mutia, seorang guru yang sangat jujur dan menjauhkan diri dari perbuatan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang ia inginkan. Hal tersebut tergambar ketika salah satu wali murid mengeluarkan uang suap agar anaknya naik kelas, namun ia menolaknya demi prinsip yang ia pegang teguh. ―Apa tidak ada toleransi sedikitpun…?‖ kata perempuan itu sambil membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas lima puluh ribuan, disorongkan pelan-pelan ke arah Bu Mutia, tanpa diketahui oleh orang tua murid yang lain.91 91Prasetyo, Loc.cit. 95 Prinsip tersebut jika tidak dilandasi sikap ikhlas maka akan melahirkan sikap pamrih. Tokoh bu Mutia dalam cerita mencoba memegang teguh janjinya sebagai guru untuk tidak melakukan praktek suap seperti terlihat dalam kutipan. Sikap jujur dan tidak mencoba menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi tersebut sepantasnya dijadikan contoh untuk masyarakat saat ini. Namun, pada kenyataannya masih banyak sekali saat ini yang memakmurkan praktek tersebut. d. Sepi ing pamrih, rame ing gawe Sikap dasar dari mayarakat Jawa menandai watak yang luhur adalah kebebasan dari pamrih, sepi ing pamrih. Manusia telah memiliki sikap sepi ing pamrih apabila mereka sebagai manusia telah memegang teguh prinsip tepa slira, yakni sikap toleransi dan peduli terhadap sesama. Manusia itu sepi ing pamrih apabila ia tidak lagi perlu gelisah terhadap dirinya sendiri, dengan arti lain bahwa ia mampu mengontrol hawa nafsu terhadap sesuatu dan ingin memilikinya dengan sikap pamrih tersebut. Masyarakat Jawa memegang teguh prinsip tersebut bahwa dalam melakukan apapun harus dilandasi rasa ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sekalipun mereka seorang pekerja keras namun mereka ikhlas, maka lahirlah prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe. Seperti tergambar melalui tokoh Faisal, sekalipun ia sebagai tenaga pengajar pembantu di kampungnya, namun ia tidak mengharapkan imbalan apapun karena ia memiliki jiwa toleransi yang tinggi. Empat orang panitia dari Dinas menyalamiku sambil tangannya menempelkan sepucuk amplop. Naluriku mengatakan isinya uang, dan aku mencoba menolaknya. Bagaimanapun juga pahala lebih berarti daripada sekadar uang. Aku tak mau niat tulusku dilumuri oleh pujian manusia yang berupa materi ataupun ucapan sanjungan.92 92 Prasetyo, Loc.cit. 96 Sikap Sepi ing pamrih akan telah dilandasi rasa ikhlas, sehingga sikap tersebut akan melahirkan jiwa sosial yang sangat tinggi baik terhadap orang lain mapun terhadap lingkungan sekitar. Melalui tokoh Faisal tersebut, jelas terlihat ketika Faisal berusaha menolak amplop tersebut yang sudah dipastika isinya adalah uang. Namun, Faisal sangat ikhlas membantu mengajar tanpa mengharapkan apapun. Prinsip masyarakat Jawa tersebut tercermin melalui tokoh Faisal. Apabila seseorang telah memegang tegug prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe maka orang tersebut tidak lagi mengejar kepentingankepentingan individualnya tanpa memperhatikan keselarasan keseluruhan. Ia telah berada di tempat yang tepat dalam kosmos. Sikap tersebut muncul tidak lain hanyalah sebagai wujud memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai sesama manusia. 2. Nilai moral terhadap orang lain a. Sopan santun atau mundhuk-mundhuk Adat istiadat atau kebiasaan yang menjadi latar novel ini yaitu adat istiadat masyarakat Jawa (Semarang). Adat istiadat adalah perilaku turun temurun dari generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat intergrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakatnya. Masyarakat Jawa dikenal dengan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adab kesopanan, budi pekerti yang luhur, bertutur dan bertingkah laku yang halus, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Perhatikan kutipan di bawah ini: Ketika aku berpapasan dengan murid-muridku yang ratarata sudah beruban dan berjenggot, mereka kemudian memperlihatkan sikapnya yang mundhuk-mundhuk dengan badan mencoba dibungkukkan sedikit sambil melewatiku. Ayah menasehatiku untuk jangan suka diperlakukan oleh murid-muridku dengan cara yang aneh seperti itu. Kata ayah, kita ini manusia dan punya kedudukan sama di mata Tuhan, hanya ketakwaan yang akan membedakannya.93 93 Ibid., h. 415. 97 Kutipan di atas memberikan pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya kaum muda menghormati yang tua. Kutipan tersebut juga memberikan informasi mengenai adat istiadat orang Jawa. Meskipun yang muda lebih berilmu, tetapi tetap harus menghormati yang lebih tua. Seperti yang dinasihatkan ayah Faisal kepada Faisal agar jangan suka diperlakukan mundhuk-mundhuk oleh muridnya yang lebih tua, karena sikap mundhuk-mundhuk layaknya hanya diterapkan dari yang muda kepada yang tua. Jika dilihat dari sisi kebudayaan, maka setiap kelompok sosial tertentu memiliki kebudayaan tertentu pula. Sikap mundhuk-mundhuk dalam masyarakat Jawa sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan. Tidak hanya sikap mundhukmundhuk ketika berjalan seperti dalam cerita, tetapi sikap mundhukmundhuk diterapkan pula melalui tutur bicara. Apabila seorang yang lebih muda berbicara dengan yang lebih tua, maka yang lebih muda harus menggunakan bahasa Jawa yang lebih halus. b. Jiwa sosial terhadap sesama Jiwa sosial yang digambarkan dalam cerita disampaikan melalui tokoh Faisal yang memiliki jiwa peduli terhadap lingkungannya. Ia membantu mengajar warga kampung untuk dapat membaca dan menulis. Hal ini terkait dengan sikap rukun yang dimiliki masyarakat Jawa. Dengan adanya sikap rukun dan peduli terhadap sesama, maka akan menjaga ketentraman dan hubungan baik antar sesama. Seperti tokoh Faisal seperti kutipan berikut: Aku memenuhi janjiku untuk jadi tentor bagi orang-orang tua yang tak pernah sekolah sehingga sulit membaca. Maka, sore ini aku sudah mengayuh sepedaku ke kelurahan, kira-kira dua kilometer dari tempat tinggalku.94 Masyarakat Jawa memegang teguh bahwa rukun merupakan sebuah kondisi untuk mempertahankan kondisi masyarakat yang harmonis, tentram, aman, dan tanpa perselisihan. Masyarakat jawa 94 Ibid., h. 205. 98 berusaha sebisa mungkin menjaga kerukunan dalam lingkungannya, setiap individu harus selalu berusaha mementingkan sosial yang lebih luas dan bukan pribadinya sendiri. Kerukunan dengan alam dan lingkungan masyarakat oleh masyarakat Jawa dipandang mampu membawa ketenteraman, kenyamanan, dan kedamaian hidup. Dengan demikian akan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama dalam dinamika hidup sehari-hari. 3. Nilai moral terhadap Tuhan Nilai moral terhadap Tuhan yang tercermin dalam novel ini yaitu percaya terhadap kekuatan luar biasa selain diri sendiri. Cerita dalam novel OMDS ini mengambil latar tempat di Semarang, Jawa Tengah. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya ini bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang masih bertentangan. Masyarakat Jawa yang tidak memegang ajaran Islam dengan kuat akan lebih menjaga warisan leluhur mereka dengan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran yang seharusnya mereka anut. Dengan demikian, kebudayaan yang diangkat dalam novel ini pun merupakan kebudayaan masyarakat Jawa yakni budaya atau yang dikenal dengan Islam Kejawen. Masyarakat Jawa di Semarang yang menganut Islam Kejawen dikenal sangat kental dengan dunia mistik atau kebatinan, seperti adanya semedi, kemenyan, sesajen, kondangan, ruwatan, juga dukun. Sebagian masyarakat Jawa kuno atau Jawa masih sangat kental melakukan adat ini, seperti masih sangat percaya terhadap dukun, yang diyakini sebagai ―orang pintar‖ yang dipercaya menjadi perantara antara manusia dengan alam gaib. Dukun sering dimintai pertolongan, entah untuk pengobatan, ataupun 99 mengusir roh halus. Namun, tetap ada dua kubu, yang percaya dan tidak percaya dengan hal-hal semacam ini. Penggambaran mengenai kepercayaan warga terhadap dukun tercermin melalui tokoh ayah Faisal yang mempercayai Pak Cokro sebagai dukun yang mampu mengobati anaknya yang dituduh amnesia. Seperti kutipan berikut: ―Sal, nanti malam Pak Cokro akan datang untuk mengobatimu.‖ Kata kata ayah seperti pertanda agar aku segera keluar dari tempat ini, apapun risikonya.95 Pak Cokro selalu menjadi orang pertama yang dianggap mampu mengobati segala macam penyakit. Salah satu kebudayaan masyarakat Jawa yaitu kepercayaan masyarakat warga Semarang terhadap sesepuh atau dukun yang bernama Pak Cokro tersebut sudah menjadi tradisi dan mengakar di kalangan masyarakat. Berikut adalah penggambaran mengenai sosok Pak Cokro: Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia sudah tersohor sebagai tabib pengobatan. Ia seringkali mengobati pasien dengan air yang disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia berkumur-kumur dengan air kembang setaman, dirapalkan mantra, barulah molekul-molekul air berubah.96 Dari kutipan tersebut dapat kita lihat bahwa memang masyarakat Semarang dalam novel masih mempercayai dukun sebagai orang pertama yang dapat menolong mereka. Hal tersebut menjadi sebuah tradisi. Dukun yang dipercayai masyarakat pun selalu mengaitkan dengan hal-hal gaib seperti mempercayai adanya kekuatan yang datang dari makhluk halus. Pak Cokro mengatakan semua ini atas bisikan gaib dari penunggu Kampung Genteng, genderuwo yang menghuni di pohon munggur di dekat lapangan yang di sebelahnya ada kamar mandi terbuka dan biasa digunakan untuk mandi para tukang becak.97 95 Ibid., h. 173. Prasetyo, Loc.cit.. 97 Prasetyo, Loc.cit. 96 100 Pak Cokro yang dikenal sebagai seorang dukun tersebut mendapatkan ilmunya bukan dari proses belajar seperti umumnya dilakukan semua orang, melainkan melalui proses bertapa atau semedi di hari tertentu. Tetapi, bukan itu yang membuatnya hebat, konon Pak Cokro mewarisi ilmunya setelah bertapa di Gunung Srandil dan Kemukus. Hanya dengan bertapa, tanpa perlu susah payah belajar seperti anak sekolah, konon ia sudah mendapat ilmu yang selama ini dicarinya....98 Selain dengan semedi, mereka pun mempercayai bahwa ritual yang digunakan masyarakat selalu diperkuat dengan menyuguhkan berbagai macam sesajen yang diserahkan kepada makhluk gaib. Seperti pada kutipan berikut: Setelah semedinya di malam satu Suro, lelaki yang pernah nikah sekali dengan penjual jamu gendong, kemudian bercerai ini mendapat wangsit untuk membebaskan Kampung Genteng dari bau Gedong Sapi, sebab genderuwo yang beranak-pinak di pohon munggur itu konon juga terganggu baunya, mereka yang biasanya makan kemenyan yang berbau wangi, kini malah makan bau busuk.99 Kutipan-kutipan tersebut semakin memperkuat keterkaitan antara kenyataan sebenarnya masyarakat Jawa dengan cerita yang ada dalam novel yaitu mengenai adanya tradisi mistik pada masyarakat Jawa. Maka dari itu Pak Cokro menjadi satu-satunya warga Kampung yang diagungagungkan oleh penduduk sehingga menjadikan ia seorang yang besar kepala. Namanya akan semakin membumbung, sepertinya kepalanya mendadak membesar. Ya, meskipun Pak Cokro sudah dibilang bisa membaca, namun itu tak merubah sifatnya yang gandrung sanjungan, gila hormat, karena ia punya kemampuan baru yang jarang dimiliki oleh orang-orang tua di Kampung Genteng.100 98 Prasetyo, Loc.cit. Prasetyo, Loc.cit. 100 Prasetyo, Loc.cit. 99 101 Faktor utama yang menyebabkan tokoh Pak Cokro menjadi seorang yang sombong dan besar kepala adalah karena ia menjadi satu-satunya orang yang memiliki ilmu kebatinan sehingga ia disegani oleh masyarakat dan menjadikannya haus akan sanjungan. Cerminan nilai moral terhadap Tuhan seperti terlihat di atas merupakan tradisi yang dipegang oleh masyarakat Islam Kejawen. Mereka mengaku Islam dan percaya akan adanya Tuhan, tetapi mereka lebih mempercayai hal gaib dan mistik dibanding mempercayai Tuhan mereka sendiri, dengan kata lain bahwa mereka lebih memegang teguh tradisi yang telah turun temurun sehingga mereka mengabaikan kepercayaan terhadap Tuhan. Masyarakat islam kejawen menyimpulkan bahwa mereka yang tidak menyukai hal-hal klenik dianggap tidak setia pada tradisi mereka yang telah lama turun temurun semenjak nenek moyang mereka. Hal tersebut tergambar pula melalui salah satu kutipan dalam cerita, perhatikan kutipan berikut: Siapa yang tak percaya dengan berita ini dianggap aneh, maka orangorang terpelajar dan terdidik yang tak menyukai hal-hal klenik dianggap tak setia pada tradisi, dituduh kebarat-baratan, dan anti pada adat istiadat nenek moyang. Banyak yang tak tahan berada di Kampung Genteng ini kemudian pindah ke lingkungan yang lebih beradab, jauh dari klenik dan syirik.101 Dari beberapa nilai moral yang telah dibahas, maka dapat kita ketahui bahwa keterkaitan antara kehidupan masyarakat Jawa pada aslinya dengan kehidupan yang terdapat dalam novel telah melahirkan dan membentuk beberapa nilai moral. Novel karya Wiwid Prasetyo ini secara tersirat menghadirkan beberapa etika Jawa dalam cerita bersinggungan dengan latar cerita yaitu di Semarang, Jawa Tengah dan terlebih pengarang merupakan seseorang yang berasal dari Semarang, sehingga beliau tidak melepaskan prinsip-prinsip jawa dalam karyanya. 101 Ibid., h. 161. 102 F. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Berkaitan dengan karya seni yang lain, karya sastra juga banyak dikaitkan dengan bidang ilmu pengetahuan yang lain, di antaranya kita akan menemui unsur-unsur baik dari ilmu filsafat, ilmu kemasyarakatan, ilmu psikologi, sains, ekologi, hukum, tradisi, dan lain sebagainya. Dengan demikian, sastra telah mampu mencakup seluruh alam kehidupan yang lebih luas dan lebih kompleks. Implikasi secara teoritis, bahwa dengan banyaknya penelitian sastra dengan berbagai pendekatan, kajian sastra dengan menggunakan pendekatan struktural ini dapat memperdalam masalah mengenai analisis telaah sastra. Dilanjutkan dengan pendekatan pragmatik mengenai nilai pendidikan positif diharapkan dapat menjadi acuan bagi siswa agar dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Implikasi secara praktis, bahwa hasil penelitian ini memiliki keterlibatan yang erat dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yakni pembelajaran teori dan apresiasi novel di kelas XII SMA yang mengandung Standar Kompetensi berupa memahami pembacaan novel. Media yang digunakan berupa novel yang akan dianalisis. Hakikat dalam sebuah pembelajaran sastra di sekolah merupakan sebuah apresiasi sastra, karena dalam apresiasi sastra siswa akan melakukan aktivitas membaca, menulis, mendengarkan, memahami, serta merespon karya sastra tersebut. Melalui apresiasi sastra, siswa diharapkan mampu memberikan penghargaan terhadap karya sastra. Hal tersebut dapat dicapai melalui pembelajaran yang intens antara siswa dengan karya sastra dengan didasari rasa suka terhadap karya sastra sehingga siswa dapat merasakan kenikmatan akan maknanya. Hal inilah yang menjadi tujuan akhir dalam pembelajaran sastra di sekolah. Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah merupakan sebuah novel yang relevan untuk dijadikan sebagai materi pelajaran karena tema yang diangkat dalam novel tersebut sangat dekat dengan dunia siswa yakni masalah pendidikan. 103 Tokoh-tokoh yang dimunculkan pun berupa anak-anak sekolah layaknya para siswa sehingga mereka seolah ikut terlibat dalam cerita. Pembahasan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ini yang berkaitan analisis terhadap struktur novel dapat dijadikan bahan ajar serta dapat memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai analisis struktur novel secara lebih mendalam. Siswa diharapkan mampu berpikir kritis dalam menganalisis struktur sebuah novel, karena siswa harus mampu mencari keterkaitan antarunsur dalam novel agar setiap unsur yang telah dianalisis tersebut dapat diterima secara logis. Secara khusus, analisis mengenai nilai pendidikan moral dapat menambah wawasan siswa terhadap nilai moral mana saja yang pantas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena dalam setiap karya sastra khususnya novel pasti memiliki nilai-nilai kehidupan. Nilai moral juga diharapkan mampu menjadi bahan perenungan dalam menjalani kehidupan. Sebuah novel akan bernilai baik dan bermanfaat apabila ia mampu menjadi pencerah bagi pembacanya. Dalam kata lain, novel dapat dijadikan bahan introspeksi diri sesuai dengan apa yang diharapkan pengarang terhadap karyanya. Berkaitan dengan kegiatan menganalisi struktur novel, maka siswa akan mempraktikkan beberapa keterampilan berbahasa yakni menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Sebelum menganalisis struktur novel, siwa diharuskan memperhatikan penjelasan dari guru yang berkaitan dengan cara dan langkahlangkah dalam menanalisis struktur novel. Selanjutnya siswa diminta untuk membaca terlebih dahulu novel yang akan dianalisis, setelah membaca maka siswa langsung mengidentifikasi struktur yang ada dalam novel. Kegiatan menganalisis novel tersebut merupakan latihan dan pembelajaran bagi siswa dalam meningkatkan keterampilan berbahasa. Implikasi pembahasan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah terhadap pembelajaran sastra, secara lebih jelas dapat dilihat dalam Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terdapat dalam lampiran. BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan analisis terhadap novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Struktur cerita dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ini saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Tema dalam novel yaitu perjuangan seorang tokoh bernama Faisal, meskipun terdapat hambatan dalam usahanya namun akhirnya ia mampu membantu ketiga temannya untuk bersekolah. Penggolongan tokoh dan penokohan berupa protagonis dan antagonis membuat cerita menjadi lebih menarik. Penggambaran mengenai latar tempat yang terletak di Semarang semakin memperkuat karakter yang dimiliki para tokoh dalam cerita. Adapun latar waktu yang terjadi dalam cerita kisaran tahun 2000-an setelah reformasi, karena latar waktu tersebut berkaitan dengan adanya Tionghoa yang masih menetap di Semarang. Sedangkan bentuk alur maju dengan menggunakan sekuen dan hubungan kausalitas semakin mempermudah pembaca untuk terus mengikuti cerita dari peristiwa satu menuju peristiwa lainnya. Sudut pandang yang digunakan yaitu sudut pandang orang pertama ―aku - an‖ yang diperankan oleh tokoh Faisal sebagai pencerita. Gaya bahasa yang digunakan dalam semakin menambah kesan indah bagi pembaca. Gaya bahasa tersebut adalah metafora yang bertujuan untuk memberi nasihat, gaya bahasa lain yaitu pengarang menggunakan bahasa Jawa sebagai dialek regional. 2. Nilai moral dari para tokoh selalu berkaitan dengan latar belakang kota Semarang baik dari keadaan lingkungan sosial, adat ataupun tradisi kota tersebut, sehingga terbentuklah karakter para tokoh. Karakter atau nilai moral tersebut terbentuk baik untuk diri sendiri, orang lain, maupun Tuhan. Nilai moral terhadap diri sendiri berupa sikap mudah menerima 104 105 segala sesuatu yang sudah ditakdirkan Tuhan, giat bekeja untuk kehidupan, sepi ing pamrih rame ing gawe, menerapkan sikap jujur dalam diri sendiri karena hal tersebut merupakan prinsip bagi masyarakat Jawa. Selanjutnya yaitu nilai moral terhadap oranglain yaitu terlihat dari masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi adab sopan santun terhadap sesama, hal tersebut dikenal dengan istilah mundhuk-mundhuk, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap sesama, selanjutnya yang terakhir yaitu nilai moral terhadap Tuhan yang digambarkan melalui adat masyarakat Jawa yang masih mempercayai mitos gaib tentang dukun, karena mereka masih menganut Islam Kejawen. 3. Pembahasan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah ini dapat memenuhi Kompetensi Dasar dalam kurikulum. Nilai moral yang disampaikan pengarang melalui tokoh berupa cerminan moral masyarakat Jawa berkaitan dengan latar tempat yang ada dalam novel tersebut. Selanjutnya, KD yang berkaitan dengan materi pokok bahasan sastra yaitu memahami pembacaan novel, menemukan unsur intrinsik novel, dan menemukan nilai moral dalam novel. KD tersebut terdapat pada kelas XII SMA semester I. Kegiatan menganalisis struktur novel ini dapat menambah pemahaman siswa terhadap teori analisis struktur novel secara lebih mendalam dan logis. B. Saran 1. Pembelajaran mengenai cara mengenalisis struktur atau unsur-unsur intrinsik novel sebaiknya dilakukan secara mendalam dan harus saling memiliki keterkaitan yang erat, karena analisis unsur intrinsik merupakan sebuah dasar pijakan dalam apresiasi sastra. 2. Melalui pembelajaran sastra diharapkan agar dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta segala hal positif yang terdapat dalam karya sastra dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 106 3. Pembelajaran sastra diharapkan mampu menumbuhkan moral yang baik agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Serta melatih siswa agar berpikir kritis dan logis serta meningkatkan keterampilan berbahasa. DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. A Glossary Of Literary Terms. New York: Cornell University. 1981 Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011 Chaer, Abdul. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2010 Idi, Abdullah. Sosiologi Pedidikan, Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2011 Jabrohim. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012 . Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia. 2001 Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia. 1985 Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi: Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta. 2005 KS. Yudiono. Telaah Kritik Sastra. Bandung: Angkasa Bandung. 1986 Mahayana, Maman S. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007 Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2005 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011 Natawidjaja, Suparman. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta: PT Intermasa. 1982 107 108 Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005 Pradotokusumo, Partini Sardjono. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005 Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007 . Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007 Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988 Sabri, Alisuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2005 Salam, Burhanuddin. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2000 . Etika Sosial (Asas Moral dalam Kehidupan Manusia). Jakarta: PT Rineka Cipta. 2002 Sayuti, Suminto A. Apresisasi Prosa Fiksi. Jakarta: Depdikbud. 1996 Semi, Atar. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa Bandung. 1984 Semiun, Yustinus. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2006 Setiadi, Elly M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana. 2008 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008. Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2012 Suseno, Magnis Franz. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia. 1991. 109 . Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. 1987 Teeuw, A. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia. 1983 Todorov, Tzvetan. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan. 1985 Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1993 Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008 Wiyono, Kasmadi Hartono. Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950). Jakarta: Depdikbud. 1985 Zubair, Charris Achmad. Kuliah Etika. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1995 Prasetyo, Wiwid. http://blogdivapress.com/dvp/2010/06/01/wiwid-prasetyo/, diakses pada tanggal 29 April 2014 Sandi, Delfiana. ―Tokoh dan Penokohan Teater‖. http://dsandi- go.blogspot.com/2012/10tokoh-dan-penokohan-teater.html?m=1, diakses pada tanggal 10 November 2013 Sejarah Semarang, http://sejarahsemarang.wordpress.com/tionghoa/, diakses pada tanggal 1 Desember 2013 Serenade, Aristha. ―Unsur dan Nilai Sastra‖. http://aristhaserenade.blogspot.com/p/unsur-dan-nilai-sastra.html?m=1, diakses pada tanggal 10 November 2013 Trinurjayanti, Ivonie. ―Implementasi Teori Pendidikan dalam Praktek Pendidikan di Indonesia‖. http://copetalammanusiaberpendidikan.blogspot.com/2013/01implementas i-teori-teori-pendidikan.html?m=1, diakses pada tanggal 11 November 2013 Lampiran 1 Sekuen (Rangkaian Peristiwa) Novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” 1. Pengarang mendeskripsikan keadaan suasana yang terdapat dalam novel. a. Faisal dan teman-temannya bermain layang-layang. b. Faisal dan teman-temannya dimarahi oleh Koh A Kiong karena laayangannya tersangkut di kabel listrik yang mengakibatkan listrik di kapung menjadi padam. c. Faisal dan teman-temannya sepakat untuk membuat layang-layang. 2. Faisal mendapatkan buku tentang cara membuat layang-layang. 3. Faisal menemui Pambudi, Yudi dan Pepeng di rumah Yok Bek untuk memberitahukan buku yang ia dapat. a. Faisal memberikan buku itu kepada Pambudi, Yudi dan Pepeng, namun mereka tidak bisa membaca. 4. Faisal dan ketiga temannya berencana untuk menemui orang yang membuat buku tentang cara membuat layang-layang. 5. Faisal dan ketiga temannya pergi ke tempat Ki Hajar Ladunni yang terletak di Gogik, Ungaran. 6. Faisal dan ketiga temannya telah tiba di Gogik, Ungaran. a. Faisal bertemu dengan Ki Hajar Ladunni dan Candil (anak Ki Hajar Ladunni) b. Faisal dan ketiga temannya belajar tentang cara membuat layanglayang dengan Ki Hajar Ladunni. 7. Faisal dan temannya kembali ke kampung mereka dan menantang Mat Karmin untuk beradu layang-layang. 8. Faisal menemui ketiga temannya dan mengajak mereka agar mau bersekolah. 9. Pambudi, Yudi dan Pepeng merasa putus asa untuk dapat sekolah. 10. Faisal terus berusaha membujuk ketiga temannya hingga akhirnya mereka bertekad untuk sekolah dan membicarakan hal ini kepada orangtua mereka masing-masing. 11. Akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng pun sekolah dengan perlengkapan seadanya dan atas bantuan Faisal sehingga mereka diterima sekolah dan mendapat keringanan biaya. 12. Pambudi, Yudi dan Pepeng dihina oleh teman sekelas mereka yang bernama Rena, salah satu murid yang status sosialnya jauh lebih tinggi. a. Mereka di bela oleh Kania, murid terpandai di kelas. 13. Kania telah menjadi pujaan hati Pambudi, Yudi dan Pepeng serta menjadi motivasi mereka untuk belajar membaca dan menulis. 14. Warga Kampung Genteng mulai emosi karena peternakan sapi Yok Bek hanya merugikan warga. 15. Yok Bek mulai gelisah dan marah karena mendengar kabar bahwa Pambudi, Yudi dan Pepeng sudah mulai bersekolah. 16. Yok Bek menghasut ayah Pambudi, Yudi dan Pepeng agar mereka menyuruh anak-anak mereka untuk berhenti sekolah. 17. Akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng pun terpaksa harus berhenti sekolah. 18. Konflik antara peternakan Yok Bek dengan warga Kampung Genteng pun semakin meningkat dengan dibakarnya rumah Yok Bek. 19. Faisal mencoba menahan warga agar tidak membakar rumah Yok Bek dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. 20. Akibat Faisal menahan amukan warga, ia pun dituduh amnesia karena terkena pukulan warga, padahal ia sehat-sehat saja. 21. Seorang dukun bernama Pak Cokro mencoba mengobati Faisal. 22. Faisal berpura-pura kesurupan dengan menjadi seorang jin belanda penghuni Kampung Genteng untuk mengelabui Pak Cokro dan mengajaknya untuk belajar. 23. Faisal menjadi tenaga pengajar di kampungnya. 24. Faisal mencari Pambudi, Yudi dan Pepeng yang tak ada kabar semenjak berhenti sekolah. 25. Faisal berhasil menemukan ketiga temannya. a. Faisal kembali memberikan semangat kepada teman-temannya agar tetap melanjutkan sekolah. 26. Ketika Faisal mulai mengajar di Kampungnya, ia dihina oleh muridmuridnya yang memang rata-rata sudah dewasa dan buta aksara. a. Faisal mendapatkan amplop dari panitia Dinas namun ia menolaknya, ia mengajar dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun. b. akhirnya Faisal menerima amplop itu karena dipaksa oleh panitia Dinas. 27. Salah satu murid Faisal bernama Pak Cokro telah berhasil membaca dan berhenti menjadi dukun, dan mewariskan ilmunya kepada para pasiennya. 28. Murid Faisal yang lain bernama Mat Karmin, ia pun bisa membaca dan memanfaatkan kepintarannya membaca dengan menulis buku tentang permainan anak-anak. 29. Anak-anak pun beramai-ramai datang ke rumah Mat Karmin. a. Salah satu anak bernama Panji, telah disodomi oleh Mat Karmin karena ternyata ia seorang Pedophilia. b. Panji trauma dan kabur dari kampungnya. 30. Keesokan harinya Warga Kampung Genteng pun gempar karena mereka kehilangan anak-anak mereka setelah bermain-main di rumah Mat Karmin. a. Mat Karmin di tangkap oleh polisi. b. Rumah Mat Karmin dihancurkan warga. c. Warga menyimpulakan bahwa ulah Mat Karmin itu akibat ia bisa membaca. 31. Pambudi, Yudi dan Pepeng pun kembali melanjutkan sekolah mereka karena mereka bersungguh-sungguh untuk meraih cita-cita mereka. a. Mereka kembali mendapat hinaan ketika hari pertama memasuki kelas. 32. Kania mengajak Pambudi bermain ke rumahnya yang ternyata ia juga merupakan anak dari kalangan bawah, sama seperti Pambudi, Yudi dan Pepeng. 33. Pisang goreng yang dijual Yudi mulai laku keras, sehingga ia memiliki ikon sendiri untuk Pisang Goreng jualannya. 34. Ujian akhir semester telah dimulai a. Rena si anak kaya yang sombong ketahuan mencontek saat ulangan. 35. Pembagian rapor a. Kania si gadis cerdas mendapatkan peringkat pertama. b. Rena yang sombong dan ketahuan mencontek akhirnya tidak naik kelas. c. Orang tua Rena mencoba menyuap Bu Mutia agar anaknya bisa dinaikkan kelas. 36. Akhirnya Pambudi, Yudi dan Pepeng serta Faisal pun naik kelas. Lampiran 2 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) BERKARAKTER Satuan Pendidikan : SMA Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : XII/I Aspek Pembelajaran : Mendengarkan Standar Kompetensi : Memahami Pembacaan Novel Kompetensi Dasar : Menanggapi pembacaan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan Menemukan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam novel Menemukan nilai-nilai positif dalam novel Indikator : Siswa mampu menanggapi pembacaan dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan Siswa mampu menemukan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam novel Siswa mampu menemukan nilai-nilai positif dalam novel Alokasi Waktu : 2x45 menit (1 kali pertemuan) A. Tujuan pembelajaran Adapun tujuan dari pembelajaran ini diharapkan agar siswa dapat: Menanggapi pembacaan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan Menemukan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam novel Menemukan nilai-nilai positif dalam novel Karakter siswa yang diharapkan: Patuh terhadap orang tua Hormat dan peduli terhadap orang lain Bekerja keras, jujur, dan bertanggung jawab Taat kepada Tuhan B. Materi Pokok Pembelajaran Pembacaan novel Menjelaskan unsur intrinsik novel Menjelaskan tentang nilai-nilai positif dalam novel C. Metode Pembelajaran Unjuk kerja Diskusi Demonstrasi Penugasan D. Kegiatan Pembelajaran 1. Kegiatan awal Apersepsi: a. Guru mengucapkan salam b. Guru mengondisikan kelas c. Guru memulai kegiatan pembelajaran dengan bertanya jawab tentang sebuah novel. Motivasi: a. Guru menjelaskan secara singkat materi pokok yang akan disampaikan. b. Guru menjelaskan secara singkat tujuan dari pembelajaran. 2. Kegiatan Inti Eksplorasi: a. Guru mampu menjelaskan tentang pembacaan novel, unsurunsur instrinsik dalam novel, serta nilai-nilai moral yang ada dalam novel. b. Guru menggunakan sumber belajar berupa modul pelajaran Bahasa Indonesia yang dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran. c. Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antara siswa dengan guru maupun antara siswa dengan siswa yang lain. Elaborasi: a. Guru memfasilitasi siswa melalui tanya jawab dan diskusi untuk menyampaikan pendapat masing-masing. b. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat menemukan unsur-unsur intrinsik dan nilai-nilai moral dari novel yang dibacakan. c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanggapi dan memberikan komentar terhadap jawaban dari siswa lain terkait unsur intrinsik dan nilai moral. Konfirmasi: a. Menyimpulkan hal-hal yang belum diketahui. b. Menjelaskan hal-hal yang belum diketahui. c. Guru memberikan umpan balik yang positif dalam bentuk lisan, tulisan, maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa. 3. Kegiatan Akhir a. Guru dan siswa secara bersama membuat kesimpulan tentang materi yang telah dipelajari. b. Guru merefleksi materi yang disampaikan untuk kehidupan sehari-hari. c. Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. E. Sumber Belajar a. Pustaka rujukan dengan menggunakan buku Bahasa Indonesia untuk SMA kelas XII. b. Teks novel c. Media visual (Power Point) F. Instrumen Penilaian Indikator Pencapaian Siswa dapat Bentuk Contoh Penilaian Instrumen Instrumen Lisan Tulisan menceritakan kembali Teknik novel Lembar Penilaian Bacalah dan ceritakan kembali novel Orang Miskin Dilarang secara lisan dengan Sekolah karya Wiwid gaya Prasetyo dengan gaya penceritaan sendiri. penceritaan sendiri. Siswa Tentukanlah unsur menentukan unsur intrinsik yang intrinsik terdapat dalam novel. dapat dalam Tentukanlah novel. Siswa mampu menentukan nilai moral dalam novel. Siswa mampu nilai moral yang terdapat dalam novel. Presentasikanlah hasil yang telah dibuat mempresentasikan mengenai unsur intrinsik dan intrinsik dan nilai nilai moral. moral di dalam novel yang telah dibaca. unsur Rubrik Penilaian Pembacaan Penggalan Novel Nama Siswa : Kelas/No. Absen : Tanggal Penilaian : Kompetensi Dasar : Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel No Aspek Penilaian Deskripsi Kelengkapan dalam menyebutkan unsur intrinsik 1. yang ada dalam penggalan novel: - Semua unsur dalam penggalan novel a. Sangat lengkap (90 – 100) b. Lengkap (80 – 89) - Kurang satu atau dua unsur c. Kurang lengkap (70 – 79) - Kurang dua unsur d. Tidak lengkap (0 – 69) - Kurang tiga unsur Kejelasan bahasa yang digunakan: a. Sangat jelas (90 – 100) 2. b. Jelas (80 – 89) - Kalimat jelas, runtut, dan pilihan diksi tepat - Kalimat jelas, tidak runtut, dan pilihan diksi c. Kurang jelas (70 – 79) tepat d. Tidak jelas (0 – 69) - Kalimat tidak jelas, tidak runtut, dan pilihan diksi tepat - Kalimat tidak jelas, runtut, dan pilihan diksi tidak tepat Keruntutan dalam penceritaan: 3. a. Sangat baik (90 – 100) - Runtut, kohesi, dan koherensi b. Baik (80 – 89) - Runtut, kohesi, dan tidak koherensi Skor c. Cukup baik (70 – 79) - Tidak runtut, kohesi, dan koherensi d. Kurang baik (0 – 69) - Tidak runtut, tidak kohesi dan koherensi Total Skor Keterangan: Penilaian dilakukan dengan cara membagi jumlah skor dengan 3 aspek yang dinilai. Jakarta, Maret 2014 Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Lampiran 3 SILABUS Satuan Pendidikan : SMA Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas : XII Semester :1 Standar Kompetensi : Mendengarkan Kompetensi Dasar 5. Memahami Pembacaan Novel Materi Kegiatan Pembelajaran Pembelajaran Indikator Penilaian Alokasi Sumber/Bahan/ Alat Waktu 5.1Menanggapi Penggalan novel Menanggapi segi pembacaan penggalan novel vokal dari segi vokal, Intonasi intonasi, Penghayatan dan penghayatan. Mendengarkan Menanggapi pembacaan pembacaan Tugas individu penggalan novel penggalan novel Tugas Menanggapi dari segi vokal, intonasi, pembacaan penggalan Jenis Tagihan: novel dari segi vokal, dan penghayatan kelompok Ulangan Praktik 4 Buku novel Media setempat Buku penunjang intonasi, dan Bentuk penghayatan Instrumen: Performansi Format pengamatan 5.2Menjelaskan Penggalan novel Menjelaskan Menjelaskan Jenis Tagihan: unsur-unsur unsur-unsur Tugas individu pembangun sastra intrinsik dalam Tugas pembacaan (tema, latar, penggalan novel penggalan novel. penokohan, alur, yang dibacakan Ulangan teman Praktik unsur-unsur intrinsik dari pesan, dan sudut pandang) kelompok Jenis Instrumen: Mendiskusikan Uraian bebas unsur-unsur Pilihan ganda intrinsik penggalan Jawaban novel. singkat 4 Buku novel Media setempat Buku penunjang Lampiran 4 Bahan Materi Ajar A. Pengertian Novel Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambarangambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut. B. UnsurIntrinsik Novel Unsur-unsur intrinsik novel yaitu unsur yang membangun karya sastra dari dalam, di antaranya, tema, penokohan, alur, sudut pandang, gaya bahasa, latar atau seting. Berikut ini penjelasan masing-masing unsur. a. Tema Tema adalah pokok permasalahan yang ada dalam sebuah cerita. b. Penokohan Penokohan adalah pemberian watak atau karakter pada masing-masing pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku bias diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal. c. Alur Alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk jalannya cerita. Alur dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung. d. Sudut pandang Menurut Minderop, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik atau siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang disalurkan melalui sudut pandang. e. Gaya bahasa Gaya bahasa adalah alat utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika. Macam-macamgaya bahasa: f. Latar atau setting Latar atau setting adalah penggambaran terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita meliputi tempat, waktu, social budaya, dan keadaan lingkungan. C. PengertianNilai Moral Dalamhubungandengan orang lain, baiksecaralangsungmaupuntidaklangsungsetiaptindakanmanusiaselaludinilaiolehman usiaatauindividu yang lain. Penilaiantersebutmeliputibenarsalahataubaikburuknyamanusiadalambersikapataupun bertingkahlaku. Jadinilai moral merupakankaidahdanpengertian yang menentukanhalhalyang dianggapbaikatauburuk, sertamenerangkanapa yang seharusnyadansebaiknyadilakukanmanusiaterhadapmanusialainnya. Dari pengertiantersebut, kehidupandalammasyarakatsenantiasaterikatolehsesuatuatauaturanhidup yang harusdipatuhiataudijunjungtinggi.Dengan lain, kata manusiadalamhidupnyaselaludibatasiolehadanyanorma-norma, baiknormaterhadapdirisendiri, terhadapTuhan. orang lain ataupunlingkungan, dan moral D. Tips Pembacaan Novel Di dalammembacakansebuah novel, diperlukan tips agar pendengardapatmemahamiapa yang kitasampaikan. Tips tersebut di antaranya: a) Pembaca yang membacakan novel perlumenghidupkanwatak- wataktokohdalamceritaitudengansuasana, mimik, dangerak yang sesuai. b) Pembaca yang menyatakanbacaanitudengansuara- suarakhasuntukmembedakanwatakataukarakterdarimasing-masingtokoh. c Pembacaperlumemilikikecepatanpandang yang tinggisertaarahpandangan yang luasdanmenyerah. d) Pembacaharusdapatmengelompokkan kata-kata denganbaikdantepat agar jelasmaknanyabagiparapendengar. Apabilapembacamampumeggunakan tips makapembacatersebutdapatdikatakansebagaipembaca tersebut, yang baik, karenamampumenghidupkanceritasehinggamudahdipahamiolehpendengar. D. TanggapanPembacaan Novel Tanggapanyang harusdiberikansetelahpembacaan novel memilikibeberapahal yang harusdiperhatikan.Tanggapantersebutharusberdasarkanhal-halberikut: a Vokal: apakahvokalpembaca novel jelasterdengarolehpendengar yang berada paling belakang. b. Intonasi: intonsimemilikiperanpentingdalampembacaan karenadenganpembacaanintonasi novel yang tepatakanmemperjelasinformasikepadapendengarnya. c. Penghayatan: penghayatandalampembacaan noveldapatdiartikanpenyatuandiriataupengalamanbatinterhadaptema yang diangkatdalam novel tersebut. Penghayatanterhadap novel membutuhkanpemahamansecarautuh, artinyaapakahpembacasudahmampumengangkatpermasalahan tersebutpadasaatiamembaca. novel Lampiran 5 Cover Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo Lampiran 6 Wawancara antara Penulis dengan Pengarang Novel (Wiwid Prasetyo) Percakapan dimulai 25 September 2013 25/09/2013 14:44 Fajriah selamat siang, apa benar dengan Mas Wiwid? 25/09/2013 14:45 Wiwid Prasetiyo ya benar 25/09/2013 14:48 Fajriah maaf mas mengganggu, saya sudah menghubungi no mas Wiwid yang tercantum d info FB, tp tidak bisa dihubungi. saya Fajriah, mahasiswi UIN Jakarta. saya membutuhkan informasi mengenai novel orang miskin dilarang sekolah. saya sangat membutuhkan info tersebut untuk bahan skripsi saya. bisa saya tanya-tanya sedikit kepada Mas Wiwid? 25/09/2013 14:49 Wiwid Prasetiyo ya silakan, tapi semampu saya ya? 3 Oktober 2013 03/10/2013 11:10 Fajriah Assalamu'alaikum mas Wiwid. Saya butuh biografi lengkap mas Wiwid. mengenai pendidikan dan perjalanan hidup mas Wiwid. trmakasih. 7 Oktober 2013 07/10/2013 13:01 Wiwid Prasetiyo Wiwid Prasetiyo adalah nama asli sekaligus nama penanya, Ia membuktikan seorang penulis yang pekerja keras, terbukti kurang lebih sekitar 2 tahun saja sudah menghasilkan lebih dari 25 judul buku baik fiksi maupun non fiksi. Berdasarkan pengalaman hidupnya dan kejadian sehari-hari yang dialaminya, maka dari tangannya lahirlah karya-karya buah dari perenungannya selama ini dalam dunia yang digelutinya pendidikan dan sejarah. Penulis yang lahir di Semarang, 9 November 1981, adalah alumnus IAIN Walisongo tahun 2005 ini telah menghasilkan beberapa buah karya sederhana dari tangan dinginnya. Terakhir Ia memenangi 10 besar lomba cerpen Galaksi Cinta Diva Press dari 3529 naskah yang masuk Novel Pendidikan 1. Orang Miskin Dilarang Sekolah ( cetakan ke 13) Diva Press Yogya sekaligus karya perdananya, novel perdananya ini sekaligus juga diterjemahkan berbahasa Malaysia dengan judul yang sama 2. Miskin kok Mau Sekolah, Sekolah dari Hongkong, Diva Press Yogya 2010 3. Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu, Diva Press Yogya 2010 4. Sekolah Ayo Sekolah, Diva Press Yogya 2010 5. Orang Cacat Dilarang Sekolah, Diva Press Yogya 2010 Karya Religi 6. Demi Cintaku Pada-Mu (Novel religi) Diva Press Yogya 2010 7. Hati yang Bercahaya, (novel religi) revisi dari novel Demi Cintaku Padamu, Diva Press Yogya 2011 8. Saat Langit Bercumbu dengan Bumi (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012 9. Khidir (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012 10. Mata Moses (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012 11. Senyum Tuhan di Barcelona (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012 12. 99 Hari di Perancis (Novel Religi) Diva Press Yogya 2012 Karya Non Fiksi 13. Mental Kepepet for Succes (Buku Motivasi) Real Books Yogya 2011 14. The Chicken Soup of Asmaul Husna Diva Press Yogya 2010 15. Mengapa Rezekiku Melimpah Setelah Menikah? Real Books Yogya 2011 16. 100 Kecerdasan Setan, Diva Press Yogya 2011 17. Bismillah, Saya Mantap Menikah, Real Books 2013 18. Kaya Raya Modal Iman, Real Books 2013 Karya Anak 19. Dongeng 30 Mancanegara 2009, Diva Press Yogya 2010 20. Sup Tujuh Samudera 2010, Diva Press Yogya 2010 21. Aha, Aku Bunuh Harry Potter 2010, Diva Press Yogya 2010 22. Siapakah Allah ya? 2011, Diva Press Yogya 2010 23. Idolaku Rasulullah SAW 2010, Diva Press Yogya 2010 Novel Sejarah 24. The Chronicle of Kartini, Diva Press Yogya 2011 25. Cheng Ho Laksamana Muslim dari Negeri Seberang, Diva Press Yogya 2011 26. Ibrahim Rindu Allah, Diva Press Yogya 2011 27. Kilat Mata Ksatria Allah, Diva Press 2012 28. Dan, Lilinpun Dipadamkannya (biografi Umar bin Abdul Aziz) Real Books, Yogya 2012 Akan terbit 29. Si Pitung (Novel) 30. Trilogi Novel Perempuan Bahu Laweyan (Novel) 31. 30 Seni Membahagiakan Istri (motivasi) diterbitkan oleh Real Books Yogya (Motivasi) 32. 30 Seni Membahagiakan Suami (motivasi) diterbitkan oleh Real Books Yogya (Motivasi) 33. Rekishi—Impian Bunuh Diri Tanpa Rasa Sakit (Novel) 34. Chicken Soup of Asmaur Rasul (Cerita Motivasi) 35. Sunan Pandanaran (Novel) 36. Dampo Awang (Novel) 37. Ki Ageng Selo (Novel) 38. Joko Tarub (Novel) 07/10/2013 13:21 Fajriah Trimksih bnyak mas Wiwid... Sangat membantu. 07/10/2013 13:22 Wiwid Prasetiyo Ya sama-sama, baru sempat hari ini jawabnya PROFIL PENULIS Siti Nurfajriah, lahir di Bekasi pada tanggal 01 April 1991. Anak pertama dari tiga bersaudara ini menuntaskan pendidikan Taman Pendidikan Anakanak (TPA) di TPA Az-Zahra. Setelah lulus, ia melanjutkan Setiadarama Sekolah 02 Dasar Tambun. (SD) di SDN Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di SMP Islam Terpadu Ar-Raudhah. Pendidikan pada jenjang Sekolah Menengah Atas telah ditempuhnya di MAN Babakan Ciwaringin Cirebon dan menjadi santriwati di pondok pesantren As-Sa’adah. Setelah lulus pada tahun 2009, ia melanjutkan pendidikannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, padajurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Berbagai prestosi telah diraihnya seperti: Juara II lomba Mutsabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) ketika di SMP dan juara III lomba pidato ketika di pondok pesantren. Pengalaman organisasi yang pernah ia geluti selama menempuh pendidikan di antaranya sebagai salah satu anggota OSIS dan kemudian menjadi ketua bidang kerohanian ketika di SMP, dilanjutkan semasa kuliah mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan HMJ di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama kuliah ia aktif mengajar di SMP IT ArRaudhah. Alasan yang mendasari keinginannya menjadi guru adalah karena rasa cintanya kepada dunia pendidikan dan dunia anak-anak. Oleh karena itu, ia memilih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, ia merasa sangat beruntung telah menempuh pendidikan hingga jenjang pendidikan strata 1 (S-1) sehingga ia mendapatkan wawasan dan pengalaman yang bermanfaat serta ia berharap dapat menjadi tenaga pendidik yang bermanfaat bagi masyarakat.