PESAN MORAL KELAHIRAN DASAMUKA VERSI SERAT PURWAKANDHA BRANTAKUSUMAN Luwiyanto PBSD, FKIP, Universitas Widya Dharma Klaten Abstract Dasamuka figure in the world of puppet plays an important role. Dasamuka is the antagonist in the story of Ramayana. Dasamuka birth myth described in Serat Purwakandha Brantakusuman version. The process of birth is described in unique and humane, meaning acceptable reason. He was born not because of feelings of affection and love from both parents. The seeds were then grown into Dasamuka figure originated from rape Resi Angsarwa to Goddess Sukengsi. It was a heartache Goddess Sukengsi. Pregnancy is not desired. Background events accompanying that later resulted in the state (physical and mental) Dasamuka. The moral of message that can be understood that that love is necessary keiklasan between the two sides that later can lower good offspring. Keywords: Serat Purwakandha Brantakusuman, Dasamuka, birth, moral message Abstrak Tokoh Dasamuka dalam jagat pewayangan memegang peran penting. Dasamuka merupakan tokoh antagonis dalam cerita Ramayana. Mitos kelahiran Dasamuka dijelaskan dalam serat Purwakandha versi Brantakusuman. Proses kelahirannya dijelaskan secara unik dan manusiawi, maksudnya dapat diterima secara nalar. Ia dilahirkan bukan karena perasaan kasih sayang serta cinta dari kedua orang tuanya. Benih yang kemudian tumbuh menjadi tokoh Dasamuka berawal dari pemerkosaan Resi Angsarwa kepada Dewi Sukengsi. Hal itu menjadi kepedihan hati Dewi Sukengsi. Kehamilannya tidak dikehendaki. Latar belakang peristiwa penyerta itulah kemudian berakibat pada keadaan (fisik dan mental) Dasamuka. Pesan moral yang dapat dimengerti dari cerita itu bahwa cinta itu perlu keiklasan di antara kedua belah pihak supaya kelak dapat menurunkan keturunan yang baik. Kata kunci: Serat Purwakandha Brantakusuman, Dasamuka, kelahiran, pesan moral A. PENDAHULUAN 5. Latar Belakang Kelahiran merupakan peristiwa yang pasti dialami oleh setiap manusia. Kelahiran sering dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang menyertainya. Munculnya berbagai tafsiran antara peristiwa kelahiran, misalnya: hari, tanggal, tahun, pasaran, weton, dan hal-hal lain yang kadang-kadang dihubungkan dengan si bayi,baik tentang karakter, nasib, masa depan, bentuk fisik, jodoh, rezeki, kematian dan sebagainya. Orang Jawa hingga sekarang masih banyak yang mempercayaainya. Hal itu tidak hanya berlaku pada manusia saja ternyata dalam dunia pewayangan, peristiwa kelahiran seorang tokoh menjadi masalah menarik dikaji. Keterkaitan kelahiran seorang tokoh dengan jalan hidup tokoh tersebut menjadi sebuah mitas yang kadang-kadang dipercayainya. Dalam cerita-cerita lama hal ini sering ditemukan bahkan mitos tersebut sering dimanfaatkan sebagai alat pelegitimasian kekuasaan seorang tokoh, misalnya kelahiran Sultan Agung diawali dengan peristiwasi nyidham bader bang asisik PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” 131 kencana (Luwiyanto: 2013). Seh Jangkung lahir dikaitkan dengan peristiwa iket wulung dan cundrik (Luwiyanto: 1996) dan sebagainya. Dalam naskah serat Purwakandha Brantakusuman juga diceritakan kelahiran tokoh-tokoh utama yang biasa disebut dalam kisah Ramayana yaitu Dasamuka, Kumbakarna, Gunawan Wibisana, dan Sarpakenaka. Cerita kelahiran keempat tokoh tersebut mempunyai versi yang berbeda dengan cerita yang tersebar dalam masyarakat, baik dalam lisan maupun tertulis. Dalam pagelaran wayang purwa, cerita kelahiran tokoh sering dipentaskan, misalnya: Lahiripun Dewi Sinta, Palasara Lahir, Lahiripun Pandu, Arjuna Lahir, dsb akan tetapi lakon wayang tentang kelahiran Dasamuka dan saudara-saudaranya jarang dijumpai. Yang ada justru lakon Pejahipun Dasamuka dan Pejahipun Kumbakarna (Tim Filsafat UGM, 2013:50-54). Tokoh sebesar Dasamuka tetapi cerita kelahirannya luput dari perhatian para dalang, mengapa? 6. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat diketahui bahwa pembicaraan tentang kelahiran tokoh dalam pewayangan meliputi beberapa aspek, yaitu: a. Deskripsi cerita yang melatarbelakangi kelahiran Dasamuka b. Mitos pemberian nama Dasamuka c. Pesan moral 7. Studi Kepustakaan Sepengetahuan penulis sampai sekarang penelitian tentang teks Purwakandha Brantakusuman baru ada satu kajian yang dikerjakan oleh Manu J. Widyoseputra. Artikelnya diberi judul “Serat Purwakandha: Sebuah Teks Babad dari Kraton Yogyakarta”.Dalam artikel ini Serat Purwakandha ditempatkan sebagai karya historis yang khas dalam kraton Yogyakarta. Apa yang termuat dalam serat Purwakandha dipandang sebagai memori sejarah kraton Yogyakarta. Serat Purwakandha sebagai legitimasi religius dan dikotomi antara aktivitas religius dan peng-ide-an religius (Widyaseputra, 1998:27-29). Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa teks Serat Purwakandha Brantakusuman pada hakikatnya adalah produk karya sastra. Kajian sastra terhadap teks ini tentu akan menarik perhatian. Di samping itu, bila dilihat isinya, teks ini berisi beraneka ragam cerita, mulai dari cerita para dewa, mitos gunung, binatang, tumbuhan, cerita Ramayana, hingga cerita para raja Jawa. Teks Serat Purwakandha Brantakusuman ini masih tersimpan dalam bentuk naskah tulisan tangan, tulisan Jawa, berbentuk tembang macapat, dan berbahasa Jawa Baru. Naskah ini termasuk naskah besar, merupakan salah satu sumber cerita wayang purwa setelah teks Pustaka Raja Purwa. Deskripsi naskah Purwakandha Brantakusuman ini dapat dijelaskan sebagai berikut: panjang naskah 33 cm ,lebar naskah 21 cm, tebal 856 halaman. Teks ini terbentuk dari 168 pupuh dan 4.535 bait (Luwiyanto, 2009). Mengingat masih berupa naskah dan tersimpan secara perorangan maka diyakini bahwa isi teks ini tidak banyak diketahui masyarakat. Salah satu penggalan cerita yang menarik untuk dikaji adalah kelahiran tokoh Dasamuka dan saudarasaudaranya. Cerita ini menjadi menarik karena yang terceritakan sangat berbeda dengan cerita yang dipahami oleh masyarakat. 132 PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” B. PEMBAHASAN 1. Sinopsis Cerita Kelahiran Dasamuka dan Saudaranya Penggalan cerita tentang kelahiran Dasamuka dan saudaranya ini tertulis pada teks Purwakandha Brantakusuman pupuh 39 Sinom bait 1-36. Raja Sumali mempunyai seorang anak wanita, cantik jelita, bernama Sukengsi. Dalam perjalanannya akan bertapa mereka berdua bertemu dengan sahabatnya, Resi Angsarwa. Resi Angsarwa mempunyai seorang anak lakilaki, tampan rupawan, bernama Bisawarna. Pertemuan itu berakhir dengan menjodohkan kedua anaknya. Sukengsi dijodohkan dengan Bisarwarna. Raja Sumali lalu menitipkan Sukengsi untuk sementara kepada Angsarwa karena ia mau melanjutkan perjalanan ke pertapaan. Angsarwa segera menyuruh Bisawarna agar segera mandi di telaga Dirda selanjutnya berbusana yang bagus. Ketika Bisawarna pergi ke telaga, tinggallah Angsarwa bersama Sukengsi. Mereka berdua. Saat itu tanpa terkira oleh Sukengsi, Angsarwa, calon mertuanya, jatuh cinta pada Sukengsi. Sukengsi menolaknya tetapi Angsarwa terus merayu dan mengejar Sukengsi agar bersedia melayani nafsunya. Akhirnya Sukengsi tertangkap ditarik rambutnya lalu ditiduri sembari diciumi hingga sepuluh kali. Sukengsi menjadi tak berdaya hingga akhirnya dapat disetubuhi oleh Angsarwa. Sukengsi hamil selanjutnya lahirlah seorang bayi yang berwajah raksasa. Bayi itu diberi nama Dasamuka. Dasamuka ini kalau marah akan berubah berwajah sepuluh. Angsarwa ingin bersenggama dengan Sukengsi tetapi Sukengsi tetap menolaknya. Angsarwa terus memaksanya, hingga lari ke sana-ke mari tetapi akhirnya dapat ditangkap lalu ditiduri. Sukengsi meronta-ronta sembari menjewer telinga Angsarwa hingga telinganya menjadi lebar. Sukengsi marah besar, matanya membelalak. Sementara Angsarwa sembari menahan kesakitan sambil menggeram seperti suara raksasa. Sukengsi berhasil disetubuhi oleh Angsarwa, selanjutnya hamil. Sembilan bulan berikutnya Sukengsi melahirkan seorang anak berupa raksasa yang bertelinga lebar. Anak tersebut diberi nama Kumbakarna. Belum puas atas kejadian sebelumnya, Angsarwa ingin mengulangi lagi perbuatannya terhadap Sukengsi. Ketika itu timbul rasa rindu kepada Bisawarna, kekasihnya yang telah dijodohkan dengannya. Sukengsi berdandan indah, kuku jarinya dibersihkan dan dilancipi lalu diarangi (baca pitek) sehingga terlihat indah.Tiba-tiba Angsarwa mendekatinya ingin mendekap Sukengsi. Sukengsi marah lalu meninjunya hingga Angsarwa terjatuh. Angsarwa tetap mendesak dan akhirnya menindihinya. Sukengsi maronta-ronta sembari mencakarcakar mata dan wajah Angsarwa. Apa daya akhirnya Sukengsi hamil lagi. Setelah sampai waktunya Sukengsi melahirkan seorang bayi wanita berwujud raksasa wanita lalu diberi nama Sarpakenaka. Diceritakan bahwa Bisawarna belum bisa menemukan telaga Dirda. Atas petunjuk gaib Bisawarna dimohon segera pulang. Begitu sampai di rumah Bisawarna marah besar ketika melihat Sukengsi, kekasihnya, duduk di atas pangkuan Angsarwa, ayahnya. Bisawarna mengumpat-umpat kepada ayahnya dan Sukengsi. Sukengsi juga kecewa dan marah kepada Angsarwa. Angsarwa diusir dan ketiga anaknya disuruh membawanya. Angsarwa bersama ketiga anaknya, Dasamuka, Kumbakarna, dan Sarpakenaka, pergi menuju ke pertapaan yang dihuni istrinya, Dyah Suwarti. Dyah Suwarti merasa senang dan kangen yang telah PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” 133 lama ditinggalkan suaminya. Mereka berdua bercumbu memadu kasih lalu bertapa seraya memohon kepada Batara Guru agar dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan, berwatak mulia, pandai, dan perwira. Permohonan mereka dikabulkan. Tak lama Dyah Suwarti hamil selanjutnya melahirkan seorang anak laki-laki yang berparas tampan, diberi nama Gunawan Wibisana. 2. Peristiwa Penyerta Kelahiran Tokoh Dalam pandangan orang Jawa, dipercayai bahwa peristiwa-peristiwa penyerta atas kelahiran seseorang akan berkaitan dengan kondisi bayinya. Peristiwa itu bisa saat persetubuhan kedua orang tuanya dan pada masa kehamilan. Oleh karena itu bagi orang Jawa pada masamasa itu kedua orangnya akan berhati-hati dalam bertutur dan bertingkah laku, lebih-lebih sejak mereka bersetubuh hingga usia kehamilan empat bulan. Tidak jarang para orang tua pada masa itu tidak berani, misalnya membunuh binatang, mancing, menguliti binatang, dan sebagainya. Berhubungan badan di waktu yang tidak tepat akan membuat anak mereka menjadi jahat (Nanda, 2010:57) dan sebaliknya apabila pada saat kedua orang tuanya ketika memadu kasih itu dengan niat yang suci, niat yang iklas, saiing mencintai, serta diperbanyak berdoa maka kebaikan itu dipercayai akan meitis pada bayi yang lahir. a. Kelahiran Dasamuka Kelahiran Dasamuka didahului dengan peristiwa-peristiwa yang tidak baik. Ia lahir bukan didasari oleh perasaan cinta yang tulus di antara kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya pada saat itu bukan sebagai suami istri yang resmi. Dewi Sukengsi, ibunya, tidak mencintai Resi Angsarwa, ayahnya. Dewi Sukengsi sebenarnya mencintai Raden Bisawarna, anak Resi Angsarwa, hasil perjodohan dan kesepakatan kedua orangnya, yaitu Resi Angsarwa dengan Resi Sumali. Niat jahat Resi Angsarwa sudah terlihat sejak pertama kali bertemu dengan Dewi Sukengsi. Ia berpura-pura menjodohkan Dewi Sukengsi dengan Bisawarna, anaknya, pada hal sebenarnya ia mencintai Dewi Sukengsi. Di sinilah kemudian Resi Angsarwa membuat siasat untuk menjauhkan Bisawarna dari Sukengsi. Dalam rangka pertemuannya, Bisawarna disuruh mandi di telaga Dirda lalu memakai pakaian yang idah dan wewangian, seperti tertulis dalam kutipan berikut ini.. Begawan Sarwa ngandika, [207] lah ta kulup den aglis, sirama telaga Dirdeku, ing mengko yen wis siram, geganda anuli panggiha sang bagus, wus amit dyan Bisawarna, nembah sarya ngusap weni (38.55.a-g). Pada hal tidak jelas ke mana letak telaga itu yang akhirnya benar-benar Bisawarna tidak mendapat hasil, tidak dapat menemukan telaga Dirda: Bisawarna catur warti, datan amanggih talaga (38.15b-c). Pada saat ditinggal oleh Bisawarna dan Resi Sumali, mereka hidup berduaan dalam satu rumah. Dari sinilah timbul niat jahat Resi Angsarwa untuk memaksakan kehendak memperkosa Dewi Sukengsi. Dewi Sukengsi dipaksa melayani nafsu Angsarwa. Dewi Sukengsi menolak keras serta menghindar dari kejaran Angsarwa. Ia lari seraya menangis. Namun demikian akhirnya Sukengsi berhasil ditangkap oleh Angsarwa. Badannya ditindihinya supaya didak dapat bergerak.Oleh karena Sukengsi terus meronta –ronta maka Angsarwa menampar muka Sukengsi hingga sepuluh kali. Lihat kutipan berikut ini. 134 PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” Sukengsi lumayu medal, lawange kabeh den kunci, Sukengsi wangsul karuna, Angsarwa kebat nututi, Sukengsi sarya nangis, ngalor ngidul den beburu, Sukengsi dipun candhak, kalenggak dipun ebyuki, den jaguri mukanira ping sadasa (39.4 a-i) Tidak hanya itu saja, Sukengsi terus berusaha melepas dekapan Angsarwa dengan cara apa saja supaya terlepas. Uraian tentang apa yang dilakukan terhadap Angsarwa seperi terlukis dalam kutipan di bawah ini. Sukengsi amancal-mancal, pinipit suku sang yogi, wus kawingkis ingkang sinjang, nyakar garut angidoni, klumut muka sang resi, dharindhi-[208)l ing sosotipun (39.5a-f). Sudah menjadi takdir, Sukengsi berhasil disetubuhi oleh Angsarwa, selanjutnya hamil: wus karsaning jawata, tumurun wiji tan becik (39.5g-h). Setelah sembilan bulan lahirlah seorang anak laki-laki berwajah raksasa, selanjutnya anak ini kalau sedang marah maka wajahnya menjadi sepuluh muka: nut kedhep wawrate dewi, sangang candra lek sasi, yata lair putranipun, lanang muka danawa, ujaring kandha sepalih, yen akrudha medal sirahe sedaya (39.6d-i). Anak tersebut diberi nama Dasamuka yang kelak menjadi panglima perang: kang putra dipun wastani, akekasih Dasamuka surenglaga (39.7h-i). b. Kelahiran Kumbakarna Selang beberapa waktu, Angsarwa ingin memadu kasih lagi dengan Sukengsi tetapi Sukengsi tetap tidak mau. Angsarwa terus merayunya namun tidak berhasil. Sukengsi menghindar dan lari. Angsarwa terus mengejarnya, yang akhirnya Sukengsi dapat ditangkap lalu supaya tidak banyak berontak lalu tubuhnya ditindihinya. Seraya berontak ingin melepaskan dekapannya, Sukengsi berhasil menjewer telinga Angsarwa hingga telinganya menjadi besar. Kocapa malih Angsarwa, arsa mangresmeni malih, kang garwa megsih tan arsa, Angsarwa anyereng malih, angungrum ngarih-arih, dewi Sukengsi lumayu, den buru wus kacandhak, kang garwa dipun tumpangi, sampun carem jinewer karnane amba (39.9 a-i) Kemarahan Sukengsi kala itu ditunjukkan dengan keadaan matanya membelalak sembari mengeraskan tarikan telinga Angsarwa. Angsarwa menahan sakitnya hingga merintih, menggeram-geram seperti raungan raksasa:Gero mantheleng sang retna, Angsarwa apringispringis, gereng-gereng kaya buta,..(39.10a-c) Apa daya seorang wanita seorang wanita, akhirnya Sukengsi tak berdaya dan berhasil disetubuhinya. Sukengsi hamil, selanjutnya setelah sampai pada waktunya lahirlah seorang anak laki-laki menyerupai bayi raksasa yang telinganya lebar. Bayi itu diberi nama Kumbakarna: den wawrat wau Sukengsi, dhateng eleke lair, putrane lanang lie diyu, sarta kupinge [209] amba, winastanan ingkang siwi, sinung tengran iya raden Kumbakarna (39.10d-i) PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” 135 c. Kelahiran Sarpakenaka Dua peristiwa kehamilan yang akhirnya melahirkan dua anak yang kurang dikehendaki tersebut, Sukengsi masih berharap berjodoh dengan kekasihnya yaitu Raden Bisawarna. Kedatangannya sangat dinanti-nanti: enget dyah dewi Sukengsi, dhateng raden Bisawarna, anenggih pacangan uni, anulya mundur aglis, sang retna sare amujung, nganti-anti kang sinom, kapan baya rawuh gusti (39.12b-h) Harapan itu telah memberi hasrat untuk mempercantik diri dengan berhias diri, berdandan cantik, kuku-kukunya dirawat, dilancipi, serta dihiasi sehingga terlihat indah. Lah iya bilahi sira, Angsarwa sapisan iki, Sukengsi anulya dandan, kenakane den lungidi, sarta dipun awisi, manisnya pucuking kuk (39.12d-g). Lamunan pikiran yang bergejolak dalam pikiran Sukengsi hilang seketika tatkala secara tiba-tiba Angsarwa mendekatinya. Gejolak birahi Angsarwa kembali membara ingin menyetubuhi Sukengsi. Sukengsi tidak mau kejadian seperti yang lalu terjadi lagi. Sukengsi marah besar terhadap Angsarwa. Saat mendekatinya, Angsarwa dipukul dadanya hingga terjatuh dan badannya merobohi Sukengsi. Sukengsi sampai jatuh terkapar karena tak mampu menahannya. Angsarwa semakin menindihi tubuh Sukengsi hingga ia menjerit-jerit. Wajah Angsarwa dicakar-cakar oleh Sukengsi hingga matanya membelalak kesakitan dan nafas Angsarwa terengah-engah, selanjutnya lihat kutipan ini. Ginoco jajaning Sarwa, rencem Angsarwa ngebyuki, Sukengsi tiba kalumah, Angsarwa tandya anitih, Sukengsi jerit-jerit, den cangkerem netranipun, muka kinaruwesan, eca ngantuk kempaskempis, tan rinasa Sukengsi anulya wawrat (39.13a-i) d. Kelahiran Gunawan Wibisana Kegagalan menemukan telaga Dirda serta atas petunjuk secara gaib dari Hyang Pramesthi agar supaya Raden Bisawarna segera kembali pulang ke rumah. Begitu terkejutnya ketika Bisawarna sampai di rumah melihat kekasihnya, Sukengsi, sedang duduk di atas pangkuan Angsarwa, ayahnya. Bisawarna kecewa lalu segera pergi meninggalkan rumahnya: Bisawarna ningali, ariyak ing ngarsanipun, kalepat nuli kesah (39.16e-g).Sukengsi mencegahnya. Bisawarna marah besar dan mengumpat-umpat Sukengsi terlebih lagi kepada ayahnya. Angsarwa diusirnya. Seraya membawa ketiga anaknya, ia pergi kembali menemui istrinya, Dewi Suwarti, yang dulu ditinggal di pertapaan. Pertemuan Angsarwa dengan Dewi Suwarti bagaikan mempelai baru yang sedang mabuk asmara. Mereka saling merindukan. Cinta yang tulus kembali bersemi di antara mereka berdua. Angsarwa dan Dewi Suwarti berdoa dan memohon kepada Hyang Pramesthi agar dikaruniai seorang anak yang sangat tampan: yoga kang bagus utami (39.30b). Permohonan mereka dikabulkan, tak lama kemudian istrinya hamil. Setelah sembilan bulan lahirlah seorang anak laki-laki yang sangat tampan yang diberi nama Gunawan Wibisana. 3. Penamaan tokoh dan peristiwa penyertanya Nama Dasamuka terbentuk dari dua kata, yaitu dasa ‘sepuluh’ dan muka atau mukha ‘wajah’ atau ‘kepala’ (Zoetmulder, 2006; Poerwadarminta, 1939). Kata dasamuka berarti 136 PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” ‘sepuluh wajah’ atau ‘sepuluh kepala’. Dalam teks dijelaskan bahwa sejak kecil. Dasamuka ini kalau sedang marah maka wajahnya berubah menjadi sepuluh wajah atau kepalanya menjadi sepuluh kepala: yen akrudha medal sirahe sadaya (39.6i). Angka sepuluh ini dapat dikaitkan dengan peristiwa sebelumnya, yaitu pada saat Sukengsi menolak melayani nafsu Angsarwa. Oleh karena Sukengsi terus meronta-ronta maka hal itu membuat kejengkelan Angsarwa. Angsarwa lalu memukul (njagur) kepala Sukengsi sampai sepuluh kali. Mitos tokoh Dasamuka juga dijelaskan dalam teks Purwakandha. Dasamuka itu sebenarnya merupakan titisan dari raja Maliawan. Hal itu dapat diketahui dari cerita bahwa ketika Maliawan ingin merebut Dewi Sri dari Dewa Wisnu. Ia ingin menikahi Dewi Sri, akhirnya terjadilah perang antara Dewa Wisnu dengan Raja MaliawanMaliawan akhirnya dapat dibunuh oleh Dewa Wisnu (38.1-43). Sepeninggal Maliawan terdengar suara gaib bahwa kelak ia akan menitis ke diri Dasamuka di Ngkagale dan akan membalas sakit hatinya: nulya Wisnu myarsa swara, ya Wisnu ngong males jurit, besuk ngong nitis Ngalengka, yen ana ran Dasamuka ya mami, poma den yitna ing ripu, ingsun malesi pejah (38.44a-d) Di cerita lain dalam teks Purwakandha juga diceritakan bahwa Raden Maliawan itu sebenarnya adalah titisan dari Raja Watugunung di Kerajaan Medangkamulan. Raja Subana wus pejah, tilar putra priya kalih dadya ji, raja Sumali kang sepuh, Maliawan taruna, pan sayegti titise sang Watugunung, kalangkung teguh digdaya, prakosa gagah prajurit. (38.2a-g) Apabila mau ditelusuri lebih jauh, maka Raja Watugunung itu adalah titisan dari Hyang Pramesthi. Hal ini dijelaskan secara panjang lebar dalam teks. Hyang Pramesthi disebut juga Dewa Siwa. Ujaring kanda ingkang sepalih, resi Gana murca aneng garba, dyah Sinta awawrat mangke, satengah kandha nutur, Sinta wawrat lan Yyang Pramesthi, karana usul esah, rehning Yyang Guru (23.44a-f). …kang putra dipun wastani, Watugunung panengran,… (23.45h-i) Berdasarkan penjelasan tersebut reinkarnasi Dewa Siwa hingga Dasamuka dapat dibuat bagan sebagai berikut. Dewa Siwa Raja Watugunung Raden Maliawan Dasamuka Dengan demikian ketokohan Dasamuka mempunyai mitos yang luar biasa yaitu sebagai reinkarnasi dari Dewa Siwa. Dari Dewa Siwa menitis ke Raja Watugunung. Dari Watugunung lalu menitis ke Raden Maliawan, yang selanjutnya dari Raden Maliawan menitis ke Dasamuka. Nama Kumbakarna terbentuk dari dua kata, yaitu kumba ‘bejana’ dan karna ‘telinga’(Zoetmulder, 2006; Poerwadarminta, 1939). K ata kumbakarna berarti ‘telinga sebesar bejana’. Dalam teks dijelaskan bahwa Kumbakarna itu adalah seorang raksasa yang mempunyai telinga lebar, seluas sebuah bejana. Apabila dikaitkan deng peristiwa sebelumnya, bahwa pada saat Sukengsi dipaksa melayani Angsarwa, Sukengsi meronta-ronta seraya menjewer telinga Angsarwa hingga panjang/lebar: sampun carem jinewer karnane amba (39.9i). PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” 137 Nama Sarpakenaka terbentuk dari dua kata, yaitu sarpa ‘ular’ dan kenaka ‘kuku’ (Zoetmulder, 2006; Poerwadarminta, 1939) Sarpakenaka berarti ‘ular berkuku’. Nama itu bila dikaitkan dengan cerita dalam teks rupaya ada hubungannya. Tatkala Sukengsi sedang istirahat sembari tiduran membujur merindukan kekasihnya, Raden Bisawarna: sang retna sare amujung , nganti-anti kang sinom (39.11f-g), ia lalu berdandan indah seraya melancipkan kukukukunya dan dihiasinya supaya terlihat rapi serta indah: Sukegsi anulya dandan, kenakane den lungiti, sarta dipun awisi, manisnya pucuking kuku (39.12c-f). Posisi tidur membujur berhias indah serta berkuku tajam indah mengisyaratkan pada seekor naga yang mempunyai sisik-sisik yang indah dan berkuku tajam. Nama Gunawan Wibisana terbentuk dari dua kata, yaitu gunawan ‘sangat pandai’ dan wibisana ’sangat hebat’, ‘luar biasa’. Kata gunawan wibisana berarti ‘mempuyai kepandaian yang luar biasa’(Zoetmulder, 2006). Hal yang menarik atas kelahiran tokoh Gunawan Wibisana ini berbeda dengan tiga saudaranya (Dasamuka, Kumbakarna, dan Sarpakenaka). Ketiga saudaranya dilahirkan bukan berdasarkan pada cinta yang tulus tetapi dengan paksaan disertai penderitaan secara fisik maupun mental. Akan tetapi kelahiran Gunawan Wibisana diawali dengan keiklasan cinta, percintaan yang tulus karena keduanya saling mencintai, yaitu antara Angsarwa dan Dewi Suwarti, karena lama tidak ketemu: lami pan datan kepanggih, akangen marang ing sira, kang garwa nampani angling (39.26b-c). Di samping itu, mereka berdua meniatkan diri mumuja semedi seraya memohon kepada Batara Guru agar dikaruniai seorang anak yang tampan, berwatak mulia, cerdas dan bijaksana serta perwira: daweg muja semedi, meminta bathara Guru, ulun minta atmaja, priya kang bagus utami, kang prawira trus tingal sidik kang sabda (39.26e-i). lan den saget budi arja (39.27a). 4. Pesan Moral Berdasarkan keterangan di atas pelajaran yang dapat diambil dari cerita tersebut adalah bahwa tidak baik berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan di suatu tempat seperti Resi Angsarwa dengan Dewi Sukengsi. Cinta itu perlu keiklasan di antara kedua belah pihak, cinta Resi Angsarwa bertepuk sebelah tangan dengan Dewi Sukengsi sehingga berakibat pada pemaksanaan kehendak serta penganiayaan cinta.Apabila sebuah cinta yang merupakan niat suci itu sudah teraniaya maka bisa berakibat pada keturunan yang dihasilkannya. C. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat diperoleh simpulan bahwa mitos kelahiran Dasamuka dalam serat Purwakandha versi Brantakusuman adalah unik. Proses kelahirannya dijelaskan secara unik dan manusiawi, maksudnya dapat diterima secara nalar. Ia dilahirkan bukan karena perasaan kasih sayang serta cinta dari kedua orang tuanya. Benih yang kemudian tumbuh menjadi tokoh Dasamuka berawal dari pemerkosaan Resi Angsarwa kepada Dewi Sukengsi. Hal itu menjadi kepedihan hati Dewi Sukengsi. Kehamilannya tidak dikehendaki. Latar belakang peristiwa penyerta itulah kemudian berakibat pada keadaan (fisik dan mental) Dasamuka. Pesan moral yang dapat dimengerti dari cerita itu adalah bahwa tidak baik berduaduaan antara laki-laki dan perempuan di suatu tempat.Cinta itu perlu keiklasan di antara kedua belah pihak. 138 PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” D. SARAN/REKOMENDASI Bedasarkan hasil pembahasan di atas maka yang perlu ditindaklanjuti dari penelitian awal ini adalah sebagai berikut: 1. Mengingat teks ini masih menggunakan bahasa Jawa dan berhuruf Jawa maka perlu diupayakan diterbitkan dalam bentuk tulisan Latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar mudah dipahami oleh masyarakat yang tidak berbahasa ibu bahasa Jawa. 2. Menerbitkan teks serat Purwakandha Brantakusuman ini agar dapat dijadikan bahan bacaan, bahan pertimbangan, dan referensi bagi masyarakat pecinta wayang purwa. 3. Menelusuri bentuk variasi cerita mitos wayang purwa yang berkembang di masyarakat, baik yang masih tersimpan dalam bentuk tulis maupun lisan. DAFTAR PUSTAKA Brantakusuman. Tanpa Tahun. “Serat Purwakandha” Naskah Tulisan Tangan. Koleksi Pribadi. Yogyakarta. Luwiyanto. 1996. “Serat Seh Jangkung: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Tinjauan Struktur dan Makna”. Tesis S2 UGM Yogyakarta. ----------2009. “Transliterasi Serat Purwakandha Brantakusuman”. ----------2013. “Babad Jalasutra: Analisis Semiotik” Magistra. No 85 TH XXV September 2013. ISSN 0215-9511. Nanda, M.H.2010. Ensiklopedi Wayang. Yogyakarta: Absolut. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: B.Wolters Uitgevers Maatschappij N.V. Groningen. Tim Filsafat UGM, 2013, “Wayang Purwa: Sejarah, Epistemologi, dan Modul Pembelajarannya”. Naskah tak terpublikasi. Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Widyoseputro, Manu J. 1998. “Serat Purwakandha: Teks Babad dari Kraton Yogyakarta” Makalah Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara II di UI Depok. Zoetmulder, P.J. 2006. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Terjemahan Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial” 139