KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGELOLA GUDANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM RESI GUDANG1 Oleh: Sri Kuswinarni2 Siti Zulaekhah3 Bayu Akhmad Faisal4 Sahda Sabila Wardhana5 Fakultas Hukum Universitas Pekalongan e_mail : [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan menganalisis kedudukan dan tanggung jawab hukum Pengelola Gudang menurut Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang. Untuk mengungkap tujuan penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum doktrinal dengan rancangan penelitian yang mencakup : pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dengan berbasis pada data sekunder yang dicari melalui metode penelusuran pustaka dan inventarisasi perundang-undangan untuk data yang berupa bahan hukum. Analisi menggunakan model Miles dan Huberman yang pada prinsipnya mencakup 3 (tiga) tahapan kegiatan yakni reduksi data, display data, dan verifikasi/penarikan kesimpulan. Penelitian ini menghasilkan : Pertama, Pengelola Gudang merupakan satu bagian dalam Sistem Resi Gudang sehingga memiliki keterkaitan hubungan hukum dalam sistem tersebut. Kedua, tanggung jawab hukum Pengelola Gudang mencakup pertanggungjawaban terkait kepailitan dan pertanggungjawaban terkait kelalaian terhadap barang yang dititipkan kepadanya. Batasan Harta atau budel pailit Pengeleola Gudang tergantung dari status gudang tersebut. Apabila gudang dimiliki sendiri oleh pengelola gudang, maka harta kekayaannya mencakup tanah, bangunan, dan peralatan yang dimilikinya. Sedangkan apabila gudang bukan milik Pengelola Gudang, maka harta kekayaan tidak termasuk didalamnya. 1 Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian kami yang berjudul :”Kedudukan dan Tanggung Jawab Hukum Pengelola Gudang Menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang” dan penelitian ini dibiayai oleh Fakultas Hukum Universitas Pekalongan 2 Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Pekalongan dengan kompetensi keilmuan Hukum Jaminan dan Hukum Kontrak 3 Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Pekalongan dengan kompetensi keilmuan Hukum Perusahaan 4 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pekalongan 5 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pekalongan 8 Kata kunci : Sistem Resi Gudang, Pengelola Gudang, Lembaga Jaminan Resi Gudang. PENDAHULUAN Perkembangan ekonomi yang sangat pesat mencipatakan peluang bisnis baru dalam berbagai bidang. Hal tersebut secara serta merta mendorong lahirnya kegiatan-kegiatan dan kelembagaan-kelembagaan serta perangkat yang baru pula. Sarana pendanaan yang harus disertai dengan jaminan sebagai ikatan kepercayaan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi tersebut. Sejak zaman penjajahan Belanda, di Indonesia sebenarnya telah tersedia sistem jaminan kebendaan diantaranya hypotheek untuk benda tetap (tanah) dan kapal laut dengan berat diatas 20 m3 sebagaimana diatur dalam pasal 314 KUHD, Kapal-kapal Indonesia yang isi 20 kotornya berukuran paling sedikit dapat dibukukan dalam register kapal menurut peraturan, yang akan diberikan dengan ordonansi tersendiri. Namun, sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria berikut peraturan pelaksanaannya, ketentuan tentang hypotheek tidak lagi berlaku untuk objek jaminan berupa tanah dan diganti dengan lembaga jamainan Hak Tanggungan. Senyampang dengan jaminan dengan obyek benda-benda tidak bergerak sebagaiman telah dibahas sebelumnya, Indonesia juga telah memiliki perangkat pengaturan dengan objek jaminan benda bergerak berupa lembaga jaminan pegadaian dan lembaga jaminan fidusia. Pada lembaga jaminan pegadaian, debitur saat mebutuhkan pendanaan menitipkan barang jaminannya pada kreditur (lembaga pegadaian) untuk jangka waktu tertentu sebagamana disebutkan dalam perjanjian.Sebaliknya, pada lembaga jaminan Fidusia, saat debitur membutuhkan dana, benda yang menjadi obyek jaminan tetap berada pada tangan debitur. Perkembangan lembaga jaminan fidusia tersebut disebabkan kegiatan bisnis secara empiris membutuhkan keleluasaan berupa ketersediaan dana serta keleluasaan penguasaan benda obyek jaminan yang tetap berada di tangan debitor sehingga kredit sebagai modal tersedia tanpa harus melepaskan benda-benda tersebut sebagaimana diatur diatur dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Fidusia. 9 Meski sudah sedemikian leluasa dengan lengkapnya perangkat hukum tetnang lembaga-lembaga jaminan tersebut, Pemerintah Indonesia memandang perlunya lembaga jaminan baru yang menyesuaikan terkait ciri khusus Indonesia sebagai negara agraris yakni lembaga jaminan dengan sistem resi gudang.Tersedianya hasil panen yang sangat melimpah dan berpotensi menggerakkan roda perdagangan, diperlukan tersedianya sebuah sistem yang mampu menjamin kelancaran produksi dan distribusi hasil panen tersebut. Kelancaran produksi memerlukan jaminan ketersediaan pendanaan yang memadai sedangkan kelancaran distribusi bisnis tersebut membutuhkan tempat untuk penyimpanan sementara komoditas. Tingginya kemungkinan ketidakpastian dalam kegiatan pertanian, terutama saat menghadapi masa panen yang pada umumnya terjadi secara serentak untuk komoditas tertentu, baik menyangkut waktu masa panen maupun panen atas komoditas pertanian sejenis secara bersamaan, memerlukan ruangan penyimpanan secara khusus dan sistem pendanaan secara leluasa. Menanggapi perkembangan tersebut, Pemerintah menerbitkan Undang-undang no. 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011. Sebagai sebuah sistem, resi gudang melibatkan pengelola gudang yang harus berbadan hukum perseroan terbatas, kreditor sebagai penyedia dana(lembaga perbankan), pengelola lelang serta debitur itu sendiri. Berdarkan data di surat kabar6 warehouse (gudang) merupakan daftar investasi yang diminati pihak asing. Hal ini menunjukkan, minat investor bidang pergudangan sangat prospektif, sementara pada sisi lain Indonesia sangat membutuhkan Gudang sebagai tempat penyimpanan barang komoditas pertaninan. Sepanjang pengetahuan peneliti, gudang digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang dagangan sejak beroperasinya VOC ( Verenigde Oost Indische Compagnie) di Indonesia. Sejarah menyebutkan, pada tanggal 30 Mei tahun 1619 Jon Peterszoon Coen melakukan penyerangan t erhadap Banten, memukul mundur tentara Banten. Batavia sebagai pusat Militer dan administrasi yang relative aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang.7 6 7 Harian Nasional Kompas, tahun 2013 himse89.blogspot.com/2011/05/sejarah VOC-di-Ind.html 10 Seiring berkembangnya waktu, terutama terkait dengan bidang pertanian yang usahanya sangat dipengaruhi oleh masa panen disamping terbatasnya akses dan jaminan kredit, gudang memiliki fungsi yang sangat setrategis. Oleh karena penelitian ini bermaksud menganalisis tanggung jawab dan kedudukan hukum pengelola gudang menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang. METODE PENELITIAN Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitihan doktrinal atu penelitian yuridis normatif yang difokuskan pada penelahaan data sekunder saja. Data tersebut diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis. Pertama, bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang berupa Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang penyerahan benda tetap dan benda bergerak serta perjanjian kredit, Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 tentang Jaminan dengan Sistem Resi Gudang, Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Bahan hukum sekunder berupa pendapat/analisis para ahli hukum terhadap sistem resi gudang yang berlaku di Indonesia, Naskah Akademik Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang serta hasil-hasil penelitian tentang resi gudang yang telah dilakukan sebelumnya. Analisa data menggunakan metode analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis, selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Dalam analisis data menggunakan model Miles dan Huberman yang secara singkat terdiri atas tiga tahapan: Pertama reduksi data, yang merujuk pada proses pemilihan, pemokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian “data mentah” yang terjadi dalam catatan lapangan tim peneliti. Kedua display atau model data yakni sekumpulan informasi yang tersusun 11 dan membolehkan pendeskripsian kesimpulan dan pengambilan tindakan. Ketiga penarikan/ verifikasi kesimpulan yang dengan sendirinya sudah dimulai sejak permulaan pengumpulan data awal sebagai proses untuk memutuskan apakah “makna” sesuatu, mencatat keteraturan, penjelasan, pola-pola, konfigurasi yang mungkin, alur kausal, dan proposisi-proposisi. HASIL PENELITIHAN DAN PEMBAHASAN Dalam hasil dan pembahasan penelitihan ini bisa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Pertama mengenai Kontruksi Yuridis Jaminan Kebendaan dengan Sistem Resi Gudang dalam Hukum Positif di Indonesia. Kedua mengenai Kedudukan Hukum Pengelola Gudang dalam Sistem Resi Gudang dan ketiga mengenai Tanggung jawab Hukum Pengelola Gudang. Dasar hukum dalam Sistem Resi Gudang Penggunaan Resi Gudang sebagai jaminan kredit pertama kali diatur dalam UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang beserta peraturan pelaksanaannya. Undang-undang tersebut secara pokok berisi 8 (delapan) Bab yang dijabarkan dalam 46 pasal. Melalui UU No. 9 Tahun 2011, ketentuan sebelumnya diubah dengan revisi beberapa Bab dan Pasal. Revisi yang mendasar diantaranya adalah adanya penambahan 2 (angka) yakni angka 14 dan 15 tentang pengaturan lembaga jaminan yang merupakan upaya antisipatif/preventif apabila pengelola gudang mengalami kegagalan, kelalaian atau ketidakmampuannya dalam mengelola gudang. Penambahan tersebut dipertegas dengan penambahan Bab IVA yang dirinci dalam 9 (Sembilan) pasal. Alasan yang mendasar atas perubahan tersebut berdasarkan penjelasan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 adalah adanya beberapa kelemahan yang menghambat perkembangan Resi Gudang diantaranya adalah tidak tersedianya mekanisme jaminan yang relatif terjangkau bagi pelaku usaha apabila Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan (mishandling) sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya mengembalikan barang yang disimpan di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam Resi Gudang. Pengaturan Lembaga Jaminan Resi Gudang juga dimaksudkan agar biaya penjaminan relatif terjangkau serta adanya kewajiban Pengelola Gudang 12 untuk menjadi anggota Lembaga Jaminan Resi Gudang dan membayar sejumlah uang (iuran) ke Lembaga Jamainan Resi Gudang. Pembentukan Lembaga Jaminan Resi Gudang bertujuan untuk membangun kepercayaan pelaku usaha (Pemegang Resi Gudang, Bank, dan Pengelola Gudang) terhadap integritas Sistem Resi Gudang. Peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP Nomor 36 Tahun 2007), Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag Nomer 26 Tahun 2007), dan berbagai Peraturan Kepala Bappeti juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/PBI/6/2007 tentang Perubahan Kedua Atas PBI Nomor 7/2/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Umum yang berlaku mulai tanggal 2 April 2007. Dalam ringkasan PBI 9/2007 disebutkan bahwa penambahan jenis agunan dapat menjadi faktor pengurang PPA (Penyisihan Penghapusan Aktiva). Mesin yang merupakan kesatuan dengan tanah diikat dengan Hak Tanggungan, sedangkan Resi Gudang diikat dengan Hak Jaminan Atas Resi Gudang.8 PBI 9/2007 menjadi dasar untuk menggunakan Resi Gudang sebagai agunan kredit baru selain tanah, rumah, dan aset lainnya. Petani dapat mengajukan permohonan kredit modal kerja kepada lembaga perbankan dengan dokumen resi gudang yang dimilikinya. Agunan Resi Gudang yang berupa gabah, beras, jagung dan rumput laut bisa langsung dijual dalam waktu singkat dibandingkan agunan yang berupa rumah atau tanah yang membutuhkan proses lama untuk menjualnya. Agunan Resi Gudang juga lebih tegas aturan hukumnya dalam penjualan agunan macet atas kekuasaan kreditor (penerima hak jaminan) tanpa melalui fiat/penetapan Pengadilan (Parate Executie). Sebelum pengaturan Resi Gudang sebagai salah satu sistem jaminan kebendaan secara tegas diatur dalam hukum positif Indonesia, Pemerintah Belanda jauh-jauh sudah mengakomodir perkembangan tersebut dalam konteks yang lain, yakni kualifikasinya sebagai surat berharga. Menurut HMN Purwosoetjipto9, terdapat salah satu jenis surat berharga bejenis Ceel yang artinya surat bukti penyimpanan barang-barang dalam gudang yang bisa diperjualbelikan. Namun 8 9 Iswi Hariyani dan R. Serfianto,2010, hlm. 60 HMN Purwosotjipto,2007, Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Jakarta : Djambatan 13 demikian, peredaran dan keberadaan ceel masih terbatas pada perbuatan hukum jual beli dan belum meluas pada pembebanan surat berharga tersebut sebagai jaminan utang. Kedudukan Hukum Pengelola Gudang dalam Sistem Resi Gudang diatur dalam Pasal 23 menyebutkan bahwa Pengelola Gudang harus berbadan usaha berbadan hukum. Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 mengatur Pengelola Gudang secara sangat terbatas. Pengaturan tersebut mendapatkan pengkhususan dan pengaturan lebih lanjut dalam pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2007 yang menyebutkan, Pengelola Gudang harus berbentuk badan usaha berbadan hukum yang bergerak khusus di bidang jasa pengelolaan gudang dan telah mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawas. Baik Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah, keduanya tidak memberikan pembatasan tentang jenis/kualifikasi badan hukum Pengelola Gudang, dengan demikian maka Pengelola Gudang bisa berbadan hukum Perseroan Terbatas, Persero maupun Perum bahkan Koperasi. Penegasan kewajiban bentuk badan usaha Pengelola Gudang yang diharuskan Berbadan Hukum sesuai dengan maksud diaturnya Resi Gudang sebagai salah satu lembaga Jaminan Kebendaan baru di Indonesia dan melengkapi lembaga jaminan yang sudah ada sebelumnya. Penjelasan pasal 12 ayat (1) merupakan rasionalitas yuridis yang sangat kuat terhadap keberadaan lembagan Jaminan Kebendaan baru dengan menggunakan Resi Gudang yang menyebutkan bahwa berdasarkan lembaga jaminan kebendaan yang sudah ada ( Hak Tanggungan, Gadai, dan Fidusia) maupun karena sifatnya, Resi Gudang tidak dapat dijadikan obyek yang dapat dibebani oleh satu diantara bentuk jaminan tersebut. Undang-undang ini juga dimaksudkan untuk menampung kebutuhan Pemegang Resi Gudang atas ketersediaan dana melalui lembaga jaminan tanpa harus mengubah bangunan hukum mengenai lembaga-lembaga jaminan yang sudah ada. Lembaga Pengelola Gudang hanyalah salah satu dari banyak pihak yang terlibat dalam Sistem Resi Gudang disamping pihak lainnya yang mencakup lembaga keuangan (bank/non bank), Pusat Registrasi Resi Gudang, Badan Pengawas Sistem Resi Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, serta Lembaga Jaminan Resi Gudang. 14 Secera skematis, kedudukan hukum Pengelola Gudang dalam Kelembagaan Sistem Resi Gudang tertuang dalam gambar 1 berikut : Menteri Perindustrian dan Perdagangan Lembaga Jaminan Resi Gudang Pengelola Gudang Badan Pengawas Sistem Resi Gudang Lembaga Penilaian Kesesuaia n Pusat Registrasi Lembaga Keuangan Bank Penerima Hak Jaminan Lembaga Keuangan Bukan Bank Hasil panen dititipkan pada Pengelola Gudang untuk disimpan dalam gudang, apabila pemiliki barang menghendaki untuk membebani barang-barang yang disimpannya untuk dijadikan jaminan utang. Sebagaimana ketentuan dasar dalam hukum jaminan, apabila pemilik barang memenuhi prestasi sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan, maka hubungan hukum utang-piutang sudah selesai secara hukum. Perjanjian utang-piutang merupakan perjanjian asesoir bahwa apabila perjanjian pokoknya telah terpenuhi, maka perjanjian jaminan sebagai perjanjian ikutan demi hukum menjadi berakhir. Namun, apabila debitur mengalami wanprestasi (ingkar janji), maka terdapat dua kemungkinan terhadap cara pemenuhan prestasi karena ingkar janji tersebut. Adapun kedua cara tersebut mencakup : penjualan secara langsung maupun melalui lelang umum berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan persetujuan Badan Pengawas. Mengacu pada pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2011, yang dimaksud dengan Lelang Umum apabila debitur (pemilik barang) yang dititipkan di gudang ingkar janji, adalah penjualan barang di muka umum yang dilaksanakan pada waktu dan tempat tertentu yang harus didahului dengan pengumuman lelang melalui cara 15 Pedagang Berjangka penawaran terbuka atau secara lisan dengan harga makin naik makin naik atau makin menurun atau dengan cara penawaran tertulis dalam amplop tertutup. Tanggung Jawab Hukum Pengelola Gudang Terkait dengan Kepailitan Salah satu hal yang perlu kita garisbawahi dari pengaturan lembaga jaminan dengan Sistem Resi Gudang sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 adalah bahwa salah satu kunci dalam Sistem Resi Gudang adalah kelayakan gudang (Warehouse Ability) dengan harapan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan para petani serta menetapkan strategi jadwal tanam dan pemasarannya. Sebagai dasar perikatan antara pengelola dengan pemegang resi gudang/pemilik barang yang disimpan (inventori), pengelola gudang diwajibkan untuk membuat perjanjian pengelolaan barang secara tertulis dengan pemilik barang atau kuasanya. Perjanjian tersebut sekurang-kurangnya memuat : identitas para pihak, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu penyimpanan, serta deskripsi barang. Tanggung jawab utama pengelola gudang adalah melaksanakan pengelolaan gudang dengan baik dan menyerahkan semua barang yang dititipkannya sesuai dengan jumlah dan mutu yang tercantum dalam Resi Gudang kepada pemiliknya sebagaimana diatur dalam pasal 27. Menurut pasal tersebut, pengelola gudang bertanggung jawab atas kesalahan penulisan keterangan dalam Resi Gudang serta bertanggung jawab atas kehilangan dan/atau kerugian barang yang disebabkan oleh kelalaiannya dalam menyimpan dan menyerahkan barang. Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 9 tahun 2006, besarnya resiko yang mungkin dialami oleh Pengelola Gudang diatasi dengan pengaturan mekanisme jaminan yang relatif terjangkau yang dimaksudkan agar apabila suatu saat Pengelola Gudang mengalami pailit atau melakukan kelalaian dalam pengelolaan (mishandling) sehingga tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan barang yang disimpan di gudang sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang tertera dalam Resi Gudang. Kepailitan dan kelalaian Pengelola Gudang dalam melaksanakan prestasinya yang diatur dalam Undang-Undang tersebut merupakan ius constituendum yang lebih bersifat antisipatif dan memberikan perlindungan serta jaminan hukum kepada pemegang resi gudang. 16 Kemungkinan kepailitan sebagai salah satu sebab tidak dilaksanakannya prestasi oleh Pengelola Gudang perlu mendapakan pengkajian yang lebih dalam terutama kaitannya kewajiban bahwa pengelola gudang harus berbadan usaha berbadan hukum serta batasan harta kekayaan yang dimilikinya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, kepailitan hanya bisa dijatuhkan terhadap badan usaha yang berbadan hukum secara kelembagaan. Secara teoritis, badan hukum merupakan salah satu subyek hukum yang diakui dalam lalu lintas hukum. Subyek hukum terbagi atas subyek hukum dalam artian orang (natuurlijk person) dan subyek hukum yang terjadi karena hukum (rechtspersoon). Untuk menganalisis lebih dalam tentang Badan Hukum, perlu ditelaah lebih mendalam tentang syarat-syarat Badan Hukum menurut beberapa ahli hukum. Perseroan Terbatas merupakan salah satu kemungkinan pilihan badan hukum Pengelola Gudang, yang sudah memenuhi syarat bagi suatu subyek hukum yang dapat memiliki hak dan kewajiban sendiri dan dikehendaki oleh pembentuk undang-undang untuk bertindak sebagai subyek hukum. Adapun unsur-unsur tersebut mencakup10 : (HMN. Purwosutjipto, 2008 : 90) 1) Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pesero (pemegang saham), dengan tujuan untum membantuk sejumlah dana sebagai jaminan dari semua perikatan perseroan. 2) Adanya pesero (pemegang saham) yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi perseroan yang berwenang mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris, berhak menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan menjalankan perusahaan,, menetapkan hal-hal yang belum ditetapkan dalam anggaran dasar dan lain-lain. 3) Adanya pengurus (direksi) dan komisaris yang merupakan satu kesatuan pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan dan tanggung jawabnya terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan anggaran dasar dan/atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 10 H.M.N., 2008, Hukuam Dagang tentang Bentuk-bentuk Perusahaan, Jakarta : Djambatan, hlm.90 17 Sedangkan menurut Molengraaff dalam R. Soekardono11 ( 1981 :192) menyatakan bahwa istilah-istilah Badan Hukum (rechtspersoon) atau kedudukan sebagai badan hukum (rechtspersoonlijkheid) sebagai demikian memiliki hak hidup, hak diakui (recht van bestaan). Molengraaff mensyaratkan bahwa badan hukum : “Dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas nama suatu perkumpulan, semuanya anggota bersama terikat atau semua bersama mendapatkan hak atas yang diperolehkan atas nama perkumpulan. Jadinya dengan cara bersama-sama tentunya sebagai kesatuan didapatkan hak-hak atau kewajiban-kewajiban perseroan para anggota itu”. Sebagai sebuah badan hukum, PT memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan persero masing-masing. a. Perlindungan terhadap Kekayaan dan Modal Perseroan Terbatas Perlu dikaji secara khusus bahwa kekayaan PT berbeda dengan modal dasar PT. Menurut Soekardono kekayaan perseroan berbeda dengan modal perseroan. Modal perseroan menunjukkan berapakah maksimal menurut akta perseroan harus disetor oleh para pemegang saham bersama. Penyetoran ini biasanya tidak sekaligus dikerjakan. Menurut pasal 51 KUHD, PT tidak dapat dimulai bekerja (sebagai badan hukum dalam dunia perusahaan) sebelum minimal 10 % dari modal perseroan sungguh telah disetor. Ketentuan tersebut telah diperbarui melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 yang kini telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tlah mengatur batasan angka penyetoran modal oleh masing-masing pemegang saham. Menurut pasal 26, pada saat pendirian, sekurang-kurangnya 25 % dari Modal Dasar harus sudah ditempatkan. Dari angka tersebut, 50 %nya harus disetor (dibayar) sesuai dengan jumlah nominal pada masing-masing lembar saham yang dikeluarkan. Seluruh saham yang telah dikeluarkan PT pada saat pengesahan PT sebagai badan hukum harus disetor penuh 11 R. Soekardono, 1981, Hukum Dagang : Jilid I (bagian kedua), Cetakan keempat, Jakarta : PT. Rajawali Pers , hlm. 192 18 dengan bukti penyetoran yang sah, sedangkan pengeluaran saham setelah PT mendapatkan status badan hukum, harus disetor penuh. Undang-undang tersebut mengatur bahwa PT baru dapat menjalankan sebagai badan hukum apabila saham-saham yang telah diterbitkan dibayar lunas oleh para pemegangnya pada saat pengesahannya sebagai badan hukum. Ketentuan tersebut berbeda dengan aturan dalam KUHD yang hanya menentukan modal dasar 10 % untuk bisa memulai menjadi badan hokum Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 sebagai undang-undang yang terbaru lebih tegas dalam mengatur tentang modal dasar perseroan. Ketegasan tersebut terlihat dari adanya peraturan bahwa setiap saham yang dikeluarkan harus disetor penuh oleh para pemegangnya. Bisa dikatakan bahwa modal yang ditempatkan harus sama dengan modal yang disetor sehingga para pemegang saham tidak memiliki utang kepada perseroan. Tidak seperti undang-undangan sebelumnya (KUHD maupun Undang-undang Nomor 1 tahun 1995), Undang-undang ini hanya memperbolehkan perseroan menerbitkan saham atas nama dan tidak memperkenankan lagi penerbitan saham atas tunjuk (saham blanko). Meskipun larangan tersebut hanya tersirat dalam pasal 48 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 yang menegaskan bahwa saham perseoran diterbitkan atas nama pemiliknya. Penjelasan pasal tersebut mempertegas bahwa Perseroan hanya diperkenankan menerbitkan saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak diperkenankan menerbitkan saham atas tunjuk. Pengaturan ini merupakan bukti perlindungan hukum terhadap Perseroan Terbatas yang merupakan persekutuan modal. Berapa besar kekayaan PT, dapat diketahui dari pembukuan secara nyata, berapakah yang sudah disetor. Penghitungan berapakah jumlah penagihan PT terhadap pemegang-pemegang saham yang belum penuh penyetorannya dan lainlain penagihan misalnya kepada pihak ketiga, benda bergerak dan tetap yang dimiliki perseroan. Jumlah aktiva tersebut harus dikurangi dengan hutang-hutang perseroan. Dengan demikian, pengertian modal perseroan adalah sesuatu yang tetap sebagaimana disebutkan dalam akta perseroan dan hanya dapat diubah oleh rapat umum pemegang saham, perubahan mana masih memerlukan juga pemberian pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM sebelum berlaku. Sebaliknya dan 19 dengan sendirinya, kekayaan PT merupakan sesuatu yang mungkin tiap hari berubah (mutasi-mutasi dalam aktiva dan pasiva). Upaya perlindungan terhadap kekayaan PT juga diatur secara tegas, baik dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 maupun Undang-undang Nomor 40 tahun 2007. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 pasal 37 menyebutkan, perlindungan modal dan kekayaan PT dilakukan dengan cara pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan pembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan. Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh Perseroan sendiri dan/atau Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak melebihi 10 % (sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dalam Perseroan , kecuali diatur lain dalam peraturan perundangundangan di bidang Pasar Modal. Pasal tersebut menyempurkan ketentuan dalam pasal 30 Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 yang mengatur bahwa pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan Perseroan untuk melindungi modal dan kekayaan PT dengan syarat dibayar dengan laba bersih sepanjang tidak menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Jumlah nominal seluruh saham yang dimiliki bersama dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham yang dipegang, tidak melebihi dari 10 % (sepuluh persen) modal yang ditempatkan. Perolehan saham, baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan tersebut batal demi hukum dan pembayaran yang telah diterima oleh pemegang saham harus dikembalikan kepada Perseroan. Untuk mempermudah pembedaan, ditampilkan dalam tabel 1 sebagai berikut : 20 UNSUR-UNSUR YANG MEMBEDAKAN Sumber keuangan untuk membeli kembali saham oleh Perseroan Akibat pembelian kembali saham oleh Perseroan UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 Laba bersih Perseroan UNDANGUNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 Tidak ada pembatasan Tidak menyebabkan kekayaan bersih Perseroan ditambah cadangan yang diwajibkan tidak menjadi lebih kecil dari modal yang ditempatkan Struktur kepemilikan Perseroan dan anak saham bersama dan perusahaan pembebanan saham Pembebanan saham Gadai Saham Tidak menyebabkan kekayaan bersih Perseroan ditambah cadangan yang diwajibkan tidak menjadi lebih kecil dari modal yang ditempatkan Perseroan dan/atau Perseroan lain Gadai dan Fidusia atas Saham Paling lama 3 (tiga) tahun Batas penguasaan saham yang telah dibeli kembali Tabel 1 : Perbedaan prinsip perlindungan terhadap modal dan kekayaan Perseroan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 dan Undangundang Nomor 40 tahun 2007. Terdapat setidak-tidaknya 3 (tiga) perbedaan mendasar tentang perlindungan modal dan kekayaan Perseroan. Pertama, Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 membatasi sumber uang dengan apa pembelian kembali saham dilakukan. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tidak melakukan pembatasan dengan uang apa pembelian kembali saham dilakukan. Tidak adanya pembatasan sumber keuangan menruut peneliti karena penekanan dari kedua undang-undang tersebut adalah lebih pada akibat dari pembelian kembali saham oleh Perseroan dengan ketentuan bahwa sumber uang untuk membali kembali saham secara otomatis berasal dari laba bersih yang dimiliki perseroan sehingga kata-kata laba bersih tidak lagi disebut dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007. Kedua, struktur kepemilikan saham bersama dan pembebanan saham yang tidak boleh melebihi dari modal yang ditempatkan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 membatasi bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan bersama adalah kepemilikian antara induk perusahaan dengan anak perusahaan, sementara Undang21 undang Nomor 40 tahun 2007 yang dimaksud struktur kepemilikan bersama adalah antara Perseroan dan/atau Perseroan lain. Dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, undang-undang ini memperluas pembatasan tentang kepemilian atau penguasaan bersama atas saham karena sangat berbeda lingkup antara Perseroan dengan anak perusahaan dan Perseroan dan/atau Perseroan lain. Perseroan lain mencakup baik anak perusahan maupun perseroan diluar perseroan yang bersangkutan, anak perusahaan maupun kemungkinan perseroan lainnya yang berkaitan. sedangkan pembebanannya hanya dimungkinkan melalui lembaga gadai. Hal tersebut masuk akal karena Undang-udang tentang Fidusia baru terbit pada tahun 1999 melalui Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. pembebanan dengan menggunakan lembaga fidusia. Pengaturan prinsip perlindungan terhadap modal dan kekayaan perseroan yang sangat ketat merupakan konsekuensi dari penegasan bahwa Perseroan Terbatas merupakan Persekutuan Modal sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007. Sebagai persekutuan modal, Perseroan Terbatas memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan uang kreditur perseroan tersebut. Bukti perlindungan hukum terhadap kreditur terlihat dari adanya ketentuan bahwa pada saat pendirian, sekurang-kurangnya 25% dari modal dasar (jumlah keseluruhan modal dasar minimal Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)) harus ditempatkan dan disetor penuh.Ketentuan ini sekaligus menegaskan tidak adanya kemungkinan para pemegang saham untuk membeli saham dari perseroan dengan cara mengangsur. Modal yang ditempatkan (getsplaatst kapitaal) menurut Soekardono adalah modal yang disanggupi akan dimasukkan kedalam Perseroan oleh para pesero sedangkan modal yang sungguh telah dimasukkan disebut sebagai modal yang disetor (gestort kapitaal). Modal yang disetor inilah yang riil merupakan jaminan bagi para kreditur PT .12. Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilihan hukum Pengelola Gudang secara yuridis sudah sangat protektif terhadap kemungkinan terjadinya wanprestasi, terutama yang disebabkan karena kepailitan. Kepailitan sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2004 baru bisa diajukan baik oleh kreditur 12 Ibid, hlm. 167 22 maupun debitur, kalao debitur memiliki sekurang-kurang 1 (satu) utang yang telah jatuh tempo dan belum dibayar. Menyambung ketentuan tersebut dan mengkaitkan prinsip yuridis perlindungan terhadap modal dan kekayaan perseroan, terhadap pengelola gudang sebagaimana diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2007 juga diberikan pembatasan tentang kewajiban pengelola gudang untuk mempertahankan kekayaan bersih minimal. Menurut ketentuan tersebut, Pengelola Gudang wajib mempertahankan kekayaan bersih minimal sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pengawas. Ketentuan angka kuantitas minimal atas kekayaan bersih pengelola gudang identik dengan pembatasan yang dilakukan undang-undang Perseroan Terbatas terhadap kekayaan bersih yang harus dimiiki perseroan. Senyampang dengan hal tersebut, pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebenarnya telah mengatur ketentuan umum tentang kedudukan harta kekayaan debitur dimana semua benda bergerak dan tidak bergerak dari debitur baik yang sudah ada. maupun yang masih akan ada, semuanya menjadi tanggungan bagi perutangan-perutangan pribadi debitur. Segala kebendaan siberutang baik bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Kebendaan yang dimiliki perseroan dalam hal ini kekayaan bersih perseroan meliputi tanah, bangunan dan peralatan dengan catatan apabila pengelola gudang adalah pemilik gudang yang bersangkutan. Apabila gudang bukan pemilik gudang, kekayaan bersih hanya mencakup kekayaan perusahaan. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu dicermati. Lingkup kekayaan bersih yang sangat tergantung dari status gudang yang dikuasai oleh Pengelola Gudang apakah gudang milik sendiri atau gudang tersebut milik pihak lain (pengelola gudang hanya berstatus menyewa). Ketentuan tersebut selaras dengan isi pasal 39 ayat (3) huruf c dimana salah satu syarat pengelola gudang adalah memiliki dan/atau menguasai paling sedikit 1 (satu) gudang yang telah memperoleh persetujuan Badan Pengawas. Limitasi ini menimbulkan sebuah pertanyaan apakah tidak dimungkinkan bahwa pengelola gudang memiliki kekayaan berupa tanah, bangunan, dan peralatan ? Bagaimana kedudukan/status hukum harta kekayaan tersebut apabila pengelola gudang benar-benar memilikinya selama menjalankan usahanya di bidang pergudangan? Kedua kemungkinan 23 tersebut berdampak pada pembedaan tanggung jawab hukum pengelola gudang terhadap pemilik barang atas barang yang dititipkannya. Mengacu pada kenyataan tersebut, maka pengelola gudang belum tentu berkedudukan sebagai pemilik gudang sehingga penekanan pertanggungjawaban hubungan hukum dalam Sistem Resi Gudang pada Pengelola Gudang dan bukan pada pemilik gudang mendapatkan rasionalitas dari peraturan perundang-undangan tentang Sistem Resi gudang. b. Kepailitan Perseroan Terbatas Kepailitan terkait dengan ketidakmampuan subyek hukum untuk melakukan kewenangan-kewenangan hukum. Apabila yang mengalami pailit adalah subyek hukum dalam artian orang (natuurlijk person), ia kehilangan penguasaan dan pengurusan atas kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan. Akibat hukum kepailitan ini mulai berlaku sejak hari keadaan pailit diucapkan. Mulai hari itulah pengusaan dan pengurusan atas budel pailit diserahkan dan dijalankan oleh Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) yang berkedudukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang mengucapkan putusan pailit. Keudukan weeskamer sekarang sudah digantikan oleh Kurator sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran -Utang. c. Kepailitan Pengelola Gudang dan Tanggung Jawab Hukumnya Terkait dengan kemungkinan kepailitan tersebut yang mungkin dialami oleh Pengelola Gudang, terdapat 2 (dua) ketentuan yang berbeda tentang harta kekayaan Pengelola Gudang sebagaimana telah teranalisis diatas. Budel pailit dengan demikian pun terbedakan antara gudang yang dimiliki oleh pengelola gudang sendiri atau gudang yang hanya dikuasainya saja ( hanya menyewa) dari pemilik gudang/pihak lain. terdapat perbedaan pengaturan Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang, perlindungan hukum bagi para pemegang Resi Gudang dilengkapi dengan adanya Lembaga Jaminan Resi Gudang dalam sistem Resi Gudang yang akan menjamin benda/harta milik pemegang Resi Gudang yang dititipkan dalam gudang apabila pengelola gudang melakukan kelalaian atau pailit. 24 Penegasan persekutuan modal pada Badan Hukum Perseroan Terbatas Lepasnya pertanggungjawaban terbatas pada Direksi dan Komisaris apabila perseroan paalit dan disebabkan karena kesalahannya Larangan penerbitan saham atas tunjuk untuk modal dasar perseroan Konstruksi yuridis mekanisme jaminan keberlangsunga n PT sebagai Badan Hukum Perlindungan terhadap Modal dan Kekayaan Perseroan Terbatas Lepasnya pertanggungjawaban terbatas pada pemegang saham apabila terjadi percampuran harta pribadi dengan harta perseroan Tidak dimungkinnya penyetoran saham dengan cara mengangsur Gambar 2. Konstruksi yuridis jaminan keberlangsungan PT sebagai Badan Hukum menurut Undang –undang Nomor 40 tahun 2007 Secara khusus, perlindungan prefentif pengelola gudang dilarang untuk dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung oleh orang perseorangan yang pernah dinyatakan pailit atau menjadi direkturdasarkan putusan pengadr atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir, pernah dihukum berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki ekuatan hukumtetap karena melakukan tindak pidana di bidang ekonomi atau keuangan yang ancaman hukumannya diatas 5 (lima) tahun, terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang Sistem Resi Gudang, tidak memiliki akhlak dan moral yang baik dan/atau tidak memiliki pengetahuan di bidang Sistem Resi Gudang. Kecuali 2 (dua) poin terakhir, uraian larangan tersebut sama persis dengan persyaratan seseroang yang akan mengajukan/mencalonkan diri menjadi Direksi atau Komisaris suatu Badan Hukum Perseroan Terbatas. Namun, secara hakiki keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Undang-undang Perseroan Terbatas menegaskannya sebagai syarat untuk menjadi Direksi dan Komisaris yang penekanan utama terbebasnya calon posisi eksekutif perseroan dari perbuatan tercela dalam bidang keungan, baik terkait dengan pailit maupun terkait dengan perbuatan pidana dengan batasan masa hukuman tertentu. Ketentuan yuridis Sistem Resi Gudang terkait dengan pengendalian yang hanya dibatasi pada orang 25 perseorangan dengan rincian sebagaimana telah disebut diatas. Tidak demikian dengan penetapan syarat untuk menjadi pengelola gudang yang hanya diukur pada kemampuan teknis operasional pengelolaan gudang sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2007 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah dirubah dengan Undangundang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang. Apabila Perseroan Terbatas dipilih oleh Pengelola Gudang sebagai Badan Hukum operasionalnya, maka ketentuan tentang syarat untuk bisa diangkat menjadi Direksi dan Komisaris Perseroan Terbatas juga berlaku untuk Pengelola Gudang yang berbadan hukum Perseroan Terbatas dengan kekhususan persyaratan kemampuan teknis kepengelolaan pergudangan. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007 sebagai Lex generalis dari persyaratan Badan Hukum sebagai Pengelola Gudang terlekat upaya preventif secara kelembagaan mulai dari penegasan institusi perseroan sebagai persekutuan modal sampai dengan sifat pertanggungjawaban atas peristiwa kepailitan yang dialami perusahaan. Upaya preventif yang berlaku untuk pengelola gudang secara khusus dan disebutkan dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2007 keberadaan dan keberlangsungan usaha pengelola gudang tidak hanya diatur dari dalam institusi Pengelola Gudang itu sendiri akan tetapi juga oleh Badan Pengawas selaku pemberi ijin Pengelola Gudang Tanggung Jawab Terkait dengan Kelalaian atas Barang yang Dititipakan diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 menyebutkan apabila kehilangan dan/aatau kerugian barang terjadi akibat kelalaian Pengelola Gudang dalam melakukan penyimpanan dan penyerahan barang yang mengakibatkankerugian bagi pemegang Resi Gudang , Pengelola Gudang wajib membayar ganti kerugian. Dalam penjelasannya juga menyebutkan Pengelola Gudang bertanggungjawab atas kehilangan dan/ atau kerugian barang yang disebabkan oleh kelalaiannya dalam menyimpan dan menyerahkan barang. Undang-undang Nomer 9 Thun 2006 maupun Undang-undang Nomor 9 Tahun 2011 tidak memperinci lebih lanjut mengenai Pengelola Gudang yang melakukan kelalaian dalam penyimpanan dan penyerahan barang yang mengakibatkan kerugian pemilikbarang. Namun dari Pasal 27 ayat (2) dan 26 penjelasannya pasal tersebut mengenai penyimpanan dan penyerahan barang bisa dilihat dalam Pasal 1694 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Penitipan Barang” yang menyebutkan: Penitipan terjadi apabila seorang menerima sesuatu barang dari seoramg lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud aslnya. Penitipan dalam resi gudang ini menurut pasal 1695 KUH Perdata termasuk penitipan barang sejati secara “sukarela”. Sebagaimana pengelola gudang selakupenerima titipan mempunyai kewajiban-kewajibqn yang diatur dalam pasal 1706, 1707, 1714 dan 1715 KUH Perdata: a. Merawat barang seperti memelihara barang miliknya sendiri b. Kewajiban itu lebih keras/berhati-hati, apabila seperti pasal 1707 KUH Perdata: 1) Sipenerima titipan telah menawarkan dirinya untukmenyimpan barangnya 2) Jika ia telah minta diperjanjikan suatu upah untuk menyimpannya 3) Jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan sienerima titipan 4) Jika telah diperjanjian bahwa sipenerima titipan akan menanggung segala macam kelalaian. c. Diwajibkan mengembalikan seperti pada waktu barang itu dititipkan, dan apabila barang itu mengalami kemunduran maka yang bertanggung adalah sipenitip. KESIMPULAN 1. Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 tidak memberikan pembatasan tentang jenis badan hukum yang harus dipilih pengelola gudang sebagai badan hukum. 2. Terdapat dua kemungkinan status gudang yakni gudang bisa dimiliki sendiri oleh pengelola atau pengelola menyewa dari pihak ketiga dengan tanggung jawab ang berbeda-beda. 27 DAFTAR KEPUSTAKAAN A. Buku Johnny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitihan Hukum Normatif. Malang : Bayumedia L.J. Van Apeldoorn. 2001. Pengantar Ilmu Hukum.Cetakan ke-29. Jakarta : Pradnya Paramita Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Cetakan ke-2, Surabaya : Kencana Rony Hanitiyo Sumitro. 1990. Penelitian Hukum dan Jurimetri. Cetakan ke-4. Jakarta : Ghalia Indonesia R. Soekardono,1981, Hukum Dagang Indonesia: Jilid I (bagian kedua), Cetakan keempat, Jakarta : PT. Rajawali Pers Soerjono Soekanto.2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-PRESS Sudikno Mertokusumo.2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cetakan ke-2. Yogyakarta : Liberty Salim HS.2004.Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada -----------------, 2001, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika Purwakhid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perkatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-undang), Mandar Maju Komariyah, 2001, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiyah Malang H.M.N. Purwosutjipto, 2000, Pengertian Pokok Hukum Dagang 7 : Hukum Surat Berharga, Cetakan kelima, Jakarta : Djambatan ---------------------------,2007, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 : Bentuk-bentuk Perusahaan, Cetakan kesebelas, Jakarta : Djambatan B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, R. Subekti dan Tjitrosudibio Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 9 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang C. Hasil Penelitihan/Publikasi Ilmiah Ashari, 18 Oktober 2012, Potensi dan Kendala Sistem Resi Gudang (SRG) untuk mendukung Pembiayaan Usaha Pertanian di Indonesia (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) diakses dari Pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE 29 No. 2, Desember 2011 28 Irma Devita, 29 April 2012, Sistem Resi Gudang Sebagai Alternatif Hak Jaminan diakses dari Irmadevita.com/2012/Sistem-resi-gudang-Sebagai-alternatif-hak jaminan Fadhil Hasan, 2008, Potensi Penerapan Sistem Resi Gudang di Indonesia, Bank Indonesia cabang Propinsi Sumatera Utara, 2007, Sistem Resi Gudang dan Peranan Perbankan Menurut Undang-undang ( laporan Perkembangan 29