9 II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pewilayahan Hidroklimat dan Daerah Aliran Sungai Wilayah adalah bagian daerah tertentu di permukaan bumi yang mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya hubungan khusus antara kompleks lahan, air udara, flora,fauna, dan manusia. Hidroklimat adalah salah satu cabang ilmu lintas disiplin yang mempelajari tentang proses-proses hidrologi di atmosfer, kemudian dikembangkan dengan penerapan teknologi sebagai pemanfatan sumberdaya air di hidrosfer maupun di litosfer. Pewilayahan hidroklimat adalah usaha/pendekatan untuk pemetaan pembagian secara proporsional proses-proses siklus hidrologi secara spasial dan bereferensi permukaan bumi. Siklus hidrologi dapat digambarkan sebagai proses sirkulasi air dari lahan, tanaman, sungai, danau, laut serta badan air lainnya yang ada di permukaan bumi menuju atmosfer akibat penguapan serta turunnya kembali air tersebut baik dalam bentuk hujan, salju dan lainnya yang terus berulang (Waston dan Burnett, 1995). Sebagai ilustrasi untuk memahami siklus hidrologi di alam disajikan pada Gambar 2. Infiltrasi adalah peristiwa masuknya air hujan ke dalam tanah secara vertikal (Baver et al., 1972; Arsyad, 2006). Menurut Crawford dan Linsley (1966) infiltrasi dibedakan menjadi infiltrasi langsung dan infiltrasi tertunda. Infiltrasi langsung adalah bagian curah hujan yang diasumsikan akan masuk dan mengisi daerah simpanan bawah permukaan dan simpanan air bawah tanah, sedangkan infiltrasi tertunda adalah bagian lain curah hujan yang akan mengisi simpanan permukaan dan terdistribusi sebagai aliran permukaan, setelah air memenuhi kapasitas infiltrasi, maka penambahan air berikutnya dipergunakan untuk mengisi depresi di permukaan tanah (depression storage), sebelum air tersebut mengalir di atas permukaan tanah. Limpasan permukaan (overland flow) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah sebelum mencapai saluran atau sungai (Linsley et al., 1982; Chow et al., 1988). Limpasan permukaan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi air dibandingkan dengan aliran bawah permukaan (sub surface flow) dan aliran dasar (ground water flow) (Chow, 1964). 10 SIK L U S H ID R O L O G I PA D A S U A T U D A ER A H A L IR A N S U N G A I A w an e v a p o tr a n s p ir a s i H uja n e v a p o ra s i In f iltra s i Ali ra n Pe r m uk aan In fil tra si P e r k o la s i P er m uk aa n Air Tana h Pe rk ola s i B a s e flo w Aliran Baw ah Pe rm uk aan Gambar 2 Skema Siklus Hidrologi DAS (Neitsch et al., 2001) Aliran bawah permukaan adalah air yang masuk ke dalam tanah tetapi tidak dapat masuk cukup dalam karena adanya lapisan kedap air. Air tersebut mengalir di bawah tanah kemudian keluar pada suatu tempat di bagian yang lebih rendah atau masuk ke sungai dan umumnya air tersebut jernih (Arsyad, 2006). Aliran bawah permukaan tersebut disuplai melalui infiltrasi yang tertunda di daerah aliran bawah permukaan karena pengaruh sifat-sifat tanah. Bagian air yang masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi langsung dan infiltrasi tertunda akan mengisi simpanan daerah bawah permukaan atau simpanan air bawah tanah melalui perkolasi. Aliran air bawah tanah adalah air yang masuk dan terperkolasi jauh ke dalam tanah menjadi air bawah tanah (Arsyad, 2006). Air tersebut mengalir di dalam tanah dengan sangat lambat masuk ke sungai. Umumnya air tersebut dapat mencapai saluran setelah beberapa hari, bahkan sampai beberapa bulan (Ward, 1975). Aliran sungai adalah total volume air yang tertampung dan mengalir dalam saluran atau sungai-sungai. hasil akhir dari respons DAS terhadap masukan curah hujan dan unsur cuaca untuk suatu jangka waktu tertentu dapat ditunjukkan oleh hidrograf aliran sungainya, dalam kajian hidrologi dinilai sangat 11 penting sebagai penyedia informasi mengenai berbagai proses aliran (Wilson, 1970; Boughton dan Freebairn, 1985). Komponen hidrograf meliputi; 1). Aliran langsung, 2). Aliran bawah permukaan, 3). Aliran air bawah tanah, dan 4). Curah hujan yang langsung jatuh di atas sungai (Chow, 1964). Komponen curah hujan yang jatuh di atas sungai, pada umumnya relatif kecil sehingga dapat diabaikan. Evapotranspirasi merupakan gabungan dari dua istilah yaitu evaporasi dan transpirasi. Evaporasi diartikan sebagai peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan permukaan badan air ke udara, sedangkan transpirasi diartikan sebagai peristiwa penguapan yang berasal dari tanaman (Schwab et al., 1981). Thornthwaite (1948), membedakan evapotranspirasi menjadi evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi aktual yang terjadi dalam keadaan kandungan air tanah terbatas, sedangkan evapotranspirasi potensial adalah jumlah air yang diuapkan dalam jangka waktu tertentu oleh tumbuhan yang tumbuh aktif dan menutup secara sempurna permukaan tanah dalam keadaan persediaan air cukup, ditambah dengan air yang menguap langsung dari permukaan tanah di bawahnya. Ketika kandungan air tanah cukup dan pertumbuhan tanaman tidak tertekan, evaporasi akan mencapai maksimum, keadaan tersebut merupakan tingkat potensial dari penguapan untuk nilai unsur-unsur iklim pada waktu tersebut. Daerah aliran sungai (DAS) diartikan sebagai hamparan lahan yang dibatasi oleh pemisah topografi dan yang menampung serta mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai-sungai utama (Tim IPB, 1978). Menurut Soerjono (1978) daerah aliran sungai merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen unsur, di mana unsur-unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air, dan manusia dengan segala upaya yang dilakukannya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1977 tentang DAS, bahwa daerah aliran sungai adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber lainnya. Pengertian tersebut dapat disederhanakan bahwa DAS adalah suatu hamparan lahan yang dibatasi oleh topografi secara alami yang berfungsi untuk menerima dan menampung air hujan, serta mengalirkannya yang disertai oleh sedimen dan unsur hara hingga keluar melalui suatu titik (out let). 12 Lahan adalah suatu wilayah permukaan bumi mencakup semua komponen biosfir yang dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfir, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa yang lalu dan sekarang, yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang. Kegiatan atau usaha manusia memanfaatkan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik material dan spiritual atau keduanya secara tetap dan berkala disebut penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan merupakan ekosistem karena mencerminkan adanya hubungan interaksi antara unsur-unsur pembentuknya yang menghasilkan suatu keseimbangan ekologis tertentu. Sumberdaya lahan mencakup komponen biosfir seperti; tanah, air, udara, vegetasi, satwa dan mungkin bangunan yang terdapat di atasnya akibat dari campur tangan manusia. 2.2 Penerapan Sistem Informasi Geografi (GIS) dan Remote Sensing (RS) dalam Pewilayahan Hidroklimat Chakraborty et al. (2003) telah menggunakan teknologi remote sensing dan GIS untuk karakterisasi dan evaluasi perubahan penggunaan/tutupan lahan, serta mempelajari prilaku respon hidrologi DAS Birantiya Kalan, India antara tahun 1988 hingga 1996. Pengurangan vegetasi penutup tanah yang dominan sebesar 43% menjadi 34% dari keseluruhan areal DAS. Meningkatnya luas tanah terbuka tanpa vegetasi (bera) dari 9% menjadi 20%. Vegetasi (tumbuhan perdu) meningkat dari 34% menjadi 68% dan Semak belukar menurun dari 62% menjadi 27%. Kondisi tersebut dapat meningkatkan limpasan permukaan langsung yang terjadi antara 15% hingga 20% (50 mm hingga 70 mm) dari curah hujan yang lebih dari 100 mm. Melesse and Graham (2003) mengembangkan model distribusi spasial berbasis GIS untuk mempelajari respons hujan-limpasan permukaan di sub DAS Etonia Creeks, sungai St Johns, Florida. Meningkatnya pengembangan wilayah perkotaan pada tahun 1995, menunjukkan aliran puncak naik sebesar 6,5% dan waktu untuk mencapai puncak menurun sebesar 10%. Pada tahun 2000 perluasan pembangunan wilayah perkotaan meningkatkan aliran puncak sebesar 16% dan menurunkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai aliran puncak sebesar 18%. 13 Pada tahun 2000 telah dikembangkan model SWAT yang diintegrasikan ke dalam format GIS untuk mempelajari respons hidrologi DAS dalam skala yang luas (Luzio et al., 2003). Santhy et al. (2005) menerapkan model SWAT untuk optimasi pengelolaan irigasi pertanian. hasil simulasi model menunjukkan bahwa rata-rata evapotranspirasi tanaman dan kebutuhan air irigasi masing-masing adalah 1280 mm dan 780 mm (tanaman tebu), 530 mm dan 390 mm (tanaman jagung). Dalam hal ini tanaman tebu dan jagung berpotensi menyimpan air masing-masing 6% dan 7% dari total kebutuhan air. Secara umum bahwa simulasi model SWAT dari berbagai tanaman mampu menghasilkan simpanan air (menghemat air) sebesar 15% hingga 20% dari total kebutuhan air. Nyarko (2000) mengembangkan model rasional dalam format GIS untuk memprediksi resiko banjir di Greater Accra, Ghana yang luasnya kurang lebih 786,59 Km2. hasil prediksi debit aliran rata-rata di sub DAS Sakumo pada tiga tempat yang berbeda berturut-turut adalah; 155 m3.dt-1 bagian hulu, 1.825 m3.dt-1 bagian tengah, dan 1.271 m3.dt-1 bagian hilir. Secara umum bahwa pada intensitas hujan yang sama yaitu 140 mm.jam-1 belum menyebabkan banjir untuk seluruh areal yang berbeda. Areal yang memiliki resiko banjir tinggi adalah berkisar 35,66% dari luas areal penelitian, sedangkan yang beresiko banjir rendah berkisar 26,85%. Areal yang memiliki kesamaan banjir secara periodik pada musim hujan adalah pada ketinggian (elevasi) di bawah 350 m dpl. 2.3 Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan dan Respons Hidrologi DAS Sumberdaya lahan saat ini kondisinya berada dalam keadaan kritis akibat dari pertambahan jumlah penduduk yang tinggi dan kegiatan sosial ekonomi. Saat ini paling tidak ada sekitar 16% lahan yang sesuai untuk pertanian telah terdegradasi dan angka tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat terus (UNEP and FAO, 1999). Menurut Martin (1997) bahwa perubahan penggunaan lahan merupakan pertambahan suatu penggunaan lahan yang diikuti oleh berkurangnya penggunaan lahan lain dari waktu ke waktu. Perubahan penggunaan lahan di daerah pedesaan (rural) terjadi dari lahan hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman. Sedangkan di daerah pinggiran kota (sub urban) dan perkotaan (urban) terjadi dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman dan industri. Perubahan penggunaan lahan tersebut dapat berdampak kepada keseimbangan hidrologi DAS, yaitu terhadap ancaman banjir dan kekeringan (Agus et al., 2004). 14 Beberapa hasil penelitian yang dilakukan secara intensif di beberapa negara, menunjukkan bahwa pengurangan jumlah dan komposisi vegetasi berpengaruh terhadap perilaku aliran air. Aliran air tahunan meningkat apabila vegetasi dihilangkan atau dikurangi dalam jumlah cukup besar. Secara umum kenaikan aliran air tersebut disebabkan oleh penurunan penguapan air oleh vegetasi (transpirasi), sehingga aliran permukaan maupun air tanah menjadi lebih besar (Bosch dan Hewlett, 1982; hamilton dan King, 1992; Bruijnzeel, 1990; Malmer, 1992). Perbedaan respons antara beberapa sub DAS di dalam suatu DAS, ditentukan oleh sifat tangkapan air seperti geologi, topografi, tanah dan karakteristik vegetasi dari pada input meteorologi. Pada tangkapan air besar terdapat variasi ruang (spatial) dan waktu (temporal) yang lebih nyata dalam hal keadaan meteorologi (curah hujan, penyinaran matahari dan angin). Oleh karena itu sifat hidrologi seperti debit air akan berbeda antara DAS besar dan DAS kecil (Agus et al., 2004). Sebagai akibat dari penggundulan hutan, maka tanggap lahan terhadap hujan akan berubah, tergantung pada sistem penebangan hutan, iklim wilayah, kondisi geologi dan curah hujan. Satu faktor paling penting yang akan berubah ketika terjadi penggundulan hutan dan gangguan terhadap tanah adalah menurunnya kemampuan tanah menyerap air karena penurunan kapasitas infiltrasi tanah. Alihguna hutan tropis menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah pengambilan air oleh pepohonan karena faktor-faktor berikut (Purwanto dan Ruijter, 2004) : (1) tersingkapnya permukaan tanah yang gundul terhadap pukulan butir-butir air hujan secara langsung; (2) menurunnya transpirasi karena tanaman pertanian tidak mempunyai tajuk secara terus-menerus; (3) pemadatan tanah lapisan atas; dan (4) lenyapnya aktivitas fauna tanah secara perlahan-lahan. Salah satu akibat dari perubahan penggunaan lahan hutan ke penggunaan pertanian adalah meningkatnya jumlah aliran tahunan yang keluar dari DAS tersebut. Kejadian ini merupakan konsekuensi sederhana dari keseimbangan air; jika evaporasi dari air yag diintersepsi dan transpirasi oleh tanaman berkurang, maka air yang mengalir sebagai aliran sungai menjadi lebih banyak, apalagi setelah kapasitas penyimpanan air oleh tanah tidak mampu menampung lagi. Total hasil air di suatu DAS meningkat secara nyata pada pertanian lahan kering (sekitar 150 – 450 mm.th-1, tergantung curah hujan) dibandingkan dengan hutan alami. Namun demikian peningkatan hasil air lebih banyak berupa 15 peningkatan debit puncak dibanding dengan peningkatan aliran dasar. hal ini menunjukkan adanya potensi peningkatan frekuensi dan intensitas banjir pada daerah hilir (Purwanto dan Ruijter, 2004). Pada hutan alami yang belum terganggu, umumnya aliran sungai di musim kemarau (baseflow) dapat dipertahankan pada tingkat tertentu. Aliran ini diperoleh pada musim hujan ketika tersedia cukup air yang mampu menginfiltrasi melalui tanah hutan yang mempunyai permeabilitas tinggi dan menembus tanah lapisan bawah. Penurunan kapasitas infiltrasi menyebabkan tanah menjadi cepat jenuh oleh air hujan sehingga memaksa air untuk mengalir di permukaan tanah. Tutupan lahan oleh pohon dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi aliran air. Tutupan pohon tersebut dapat berupa hutan alami, pohon sebagai tanaman pagar atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman industri). Van Noordwijk et al. (2004) tutupan pohon ini mempengaruhi aliran air dalam berbagai tahapan yakni : (1) Intersepsi ; selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah; (2) Perlindungan agregat tanah ; vegetasi dan lapisan serasah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung butir-butir hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah sehingga terjadi pemadatan tanah (clogging) ; (3) Infiltrasi ; Proses infiltrasi tergantung dari struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah; dan (4) Drainase lansekap ; Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya aliran cepat. Perubahan lahan hutan alam menjadi perkebunan coklat di daerah batas hutan Taman Nasional Lore Lindu menurunkankan intersepsi hujan dari 30,5% menjadi 9,8% dari hujan total 637,2 mm dengan 42 kejadian hujan (Anwar, 2003). Gintings (1981), melaporkan hasil penelitiannya bahwa perubahan hutan alam menjadi perkebunan kopi di Lampung Utara meningkatkan limpasan permukaan dari 104,75 m3.Ha-1 menjadi 633,37 m3.Ha-1 atau sebesar enam kali lipat dari kondisi semula. Luas hutan di sub DAS Cilalawi hanya menempati luasan 93 ha 1,55% dari wilayah sub DAS. Persentase atau penggunaan lahan yang tertinggi adalah sawah mencapai 2.143 ha atau 35%, kebun campuran dan pemukiman 16 yaitu 21% dan 18%. Berdasarkan hasil analisis lahan sawah menurun sekitar 489,76 ha atau 8%. Peningkatan luas areal pemukiman 360 ha menjadi 1.112 ha atau meningkat 12%. Perubahan tersebut berdampak pada aliran puncak yaitu 163 m3.dt-1 dari curah hujan 148 mm. Sedangkan curah hujan 83 mm menghasilkan aliran puncak 115 m3.dt-1 (Salwati, 2004). 2.4 Model Analisis Hidrologi Analisis hidrologi dapat digunakan untuk berbagai kepentingan seperti kepentingan perencanaan fasilitas drainase dan irigasi, perencanaan pertanian, pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan sebagainya. Untuk keperluan analisis tersebut, maka digunakan data aliran sungai dan data iklim. Dalam kaitan ini diperlukan pemahaman yang baik tentang DAS sebagai suatu sistem (Harto, 1993). Linsley et al. (1982) mengemukakan bahwa model hidrologi dipakai untuk memberikan gambaran matematis yang relatif kompleks bagi siklus hidrologi. harto (1993) mengemukakan bahwa dalam pengertian umum model hidrologi adalah suatu sajian sederhana (simple representation) dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Pemilihan model untuk diterapkan pada suatu DAS harus disesuaikan dengan kondisi DAS dan ketersediaan data. Struktur model yang sederhana dan tidak terlalu banyak membutuhkan parameter, merupakan bahan pertimbangan dalam pemilihan model. Pertimbangan lainnya adalah model yang siap dipakai dan mudah diterapkan adalah suatu faktor penting dalam menetapkan model yang akan digunakan dalam suatu DAS (Suprayogi, 2003). haan et al. (1982) mengemukakan bahwa pemilihan suatu model didasarkan pada ketepatan pendugaan (accuracy of prediction), kesederhanaan model (simplicity of the model), konsistensi pendugaan parameter (consistency of parameter estimates) dan sensitivitas model terhadap perubahan. Soil and Water Assessment Tools (SWAT) merupakan model hidrologi yang berbasis proses fisika (physically based model) yang memerlukan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi, dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di suatu DAS. Proses-prose fisika yang berhubungan dengan pergerakan air, sedimentasi, pertumbuhan tanaman, siklus hara dan sebagainya secara langsung dapat dimodelkan oleh SWAT. Proses dan fenomena yang terjadi di suatu DAS yang dimodelkan oleh SWAT didasarkan pada prinsip neraca air (Neitsch et al., 2001). SWAT merupakan model hidrologi 17 berskala DAS yang dikembangkan oleh Jeff Arnold dari Agricultural Research Service (ARS) USDA pada awal tahun 1990. SWAT dikembangkan untuk memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air, sedimentasi, pestisida, dan kimia hasil pertanian. SWAT dibangun dari gabungan beberapa model yang dikembangkan oleh ARS, seperti; Simulator for Water Resources in Rural Basins (SWRRB) (Williams et al., 1985; Arnold et al., 1990), Chemicals, Limpasan permukaan, and Erosion from Agricultural Management Systems (CREAMS) (Knisel, 1980), Groundwater Loading Effacts on Agricultural Management Systems (GLEAMS) (Leonard et al., 1987), dan ErosionProductivity Impact Calculator (EPIC) (Williams et al., 1984). Deskripsi file input SWAT disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Deskripsi file input dan fungsinya dalam analisis hidrologi Nama file Fungsi FIG Mendefinisikan jaringan hidrologi DAS CIO Mengontrol file input dan output COD Menentukan waktu simulasi BSN Mengontrol parameter tingkat DAS PCP File data curah hujan harian TMP File data temperature maksimum dan minimum harian SLR File data radiasi matahari harian HMD Filedata kelembaban udara harian CROP URBAN File parameter tumbuh tanaman File data lahan terbangun SUB Mengontrol parameter di tingkat sub DAS WGN File data statistik generatot iklim RTE File parameter gerakan air dan sediment HRU Mengontrol parameter tingkan HRU MGT File skenario pengelolaan dan penutupan lahan SOL File karakteristik tanah GW File air bawah tanah # Sumber: Neitsch et al. (2001) 18 2.5 Analisis Kebutuhan Air Tanaman Air merupakan sumberdaya utama selama siklus hidup tanaman, mulai dari fase perkecambahan hingga fase panen. Tanpa air tanaman tidak akan mampu tumbuh, dan defisit air akan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal (Fitter dan hay, 1998). Menurut Gardner et al. (1991) pentingnya peranan air dan tingginya kebutuhan air bagi kelangsungan hidup tanaman, maka tanaman memerlukan air bervariasi menurut masing-masing fase pertumbuhannya. Ketika air menjadi faktor pembatas, maka laju pertumbuhan tanaman akan menurun dan pada akhirnya dapat berakibat menurunkan hasil panen. Besar atau kecilnya penggunaan/pengambilan air oleh tanaman antara lain dipengaruhi oleh; berat massa tanaman (biomassa), diameter batang, diameter pembuluh, panjang elemen pembuluh dan tinggi tanaman (February et al., 1995). Untuk tanaman muda kebutuhan air relatif rendah kemudian meningkat secara bertahap hingga kanopi telah menutupi permukaan tanah secara sempurna, dan selanjutnya menurun menjelang pemasakan (Clements, 1980). Air merupakan senyawa utama penyusun protoplasma, sebagai pelarut, dan media pengangkut hara mineral yang diserap oleh akar dari tanah. Air juga berperan sebagai media bagi berlangsungnya reaksi-reaksi metabolisme, bahan baku proses fotosintesis dan mengatur turgiditas sel tumbuhan (Prawiranata et al., 1992). Kebutuhan air bagi tanaman (crop water requirement) dapat dihitung dari konsumsi air oleh tanaman (water use) yang didefinisikan sebagai jumlah air yang hilang dari areal yang bevegetasi per satuan waktu yang digunakan untuk proses evapotranspirasi (Murdiyarso, 1991). Selain itu karakteristik tanaman seperti jenis, pertumbuhan dan fase perkembangan tanaman juga berpengaruh terhadap jumlah air yang dibutuhkan tanaman (Baharsyah, 1991; Allen et al., 1998). Air tersedia adalah air yang dapat diserap oleh akar tanaman dari dalam tanah. Jumlah air yang tersedia bagi tanaman berkisar antara titik layu permanen dan kapasitas lapang. Titik layu permanen adalah batas minimal nilai tersebut akar tanaman tidak mampu menyerap air dari dalam tanah. Kapasitas lapang adalah jumlah air maksimum yang tetap tersimpan dalam tanah yang tidak mengalir ke bawah karena gaya gravitasi (Gardner et al., 1991; Soepardi, 1983). Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas yang menentukan jenis dan sebaran tanaman serta periode masa tanam. Setiap jenis tanaman dan 19 sistem usahatani membutuhkan air yang bervariasi menurut sifat genetis dan faktor lingkungan. Ketersediaan air tanah akan menentukan status air tanaman dan penting dalam proses absorbsi CO2 (Chang, 1968; Sumayao et al., 1977; Jansen, 1991; Grant et al., 1993; Koesmaryono, 1999). Model kebutuhan air dikembangkan dari persamaan matematis dalam menghitung kebutuhan air tanaman (KAT). Doorenbos and Pruitt (1977), mengemukakan bakwa kebutuhan air tanaman setara dengan evapotranspirasi tanaman (ETc) yang dipengaruhi oleh evapotranspirasi aktual (ETo) dan koefisien tanaman yang dipengaruhi oleh jenis tanaman dan tahap pertumbuhan. Kebutuhan air bagi tanaman yang besarnya sebanding dengan proses penyerapan air oleh akar tanaman dari dalam tanah untuk kebutuhan metabolisme, kemudian diuapkan kembali dari dalam tanaman disebut sebagai evapotranspirasi (Kodoatie et al. 2008). Hatmoko et al. (1993) melakukan studi kebutuhan air di Daerah Pengaliran Sungai (DPS) Bengawan Solo bahwa proporsi kebutuhan air irigasi pertanian mencapai 97% dan kebutuhan domestik mencapai 3%. Sugiarto (1995) melaporkan hasil penelitiannya di DAS Citarum Hulu bahwa kebutuhan air irigasi pertanian mencapai 724 juta m3.th-1 (67%), kebutuhan air rumah tangga dengan jumlah penduduk 3.821 juta jiwa mencapai 321 juta m3.th-1 setara dengan 7 m3.dt-1 (21%), dan kebutuhan air industri mencapai 131 juta m3.th-1 (12% dari total kebutuhan air sebesar 1.086,5 juta m3.th-1).