Penyimpangan Fungsi Media Massa “Obor Rakyat” Sebagai Alat

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Media Massa dan Komunikasi Politik
Media adalah bentuk jamak dari medium yang berarti tengah atau perantara. Massa
berasal dari bahasa Inggris yaitu mass yang berarti kelompok atau kumpulan. Dengan
demikian, pengertian media massa adalah perantara atau alat-alat yang digunakan oleh massa
dalam hubungannya satu sama lain (Soehadi, 1978:38). Media massa sendiri merupakan
“kependekan” dari media komunikasi massa. Media massa lahir untuk menjembatani
komunikasi antar massa. Massa adalah masyarakat luas yang heterogin, tetapi saling
bergantung satu sama lain. Ketergantungan antar massa menjadi penyebab lahirnya media
yang mampu menyalurkan hasrat, gagasan dan kepentingan masing-masing agar diketahui
dan dipahami oleh orang lain (Pareno, 2005:7). Berdasarkan pemahaman mengenai media
massa ini, maka dapat diartikan secara garis besar bahwa media massa merupakan alat
(perantara) yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada massa, dengan tujuan untuk
mengubah sikap, pendapat dan perilaku.
Menurut McQuail (1987) komunikasi politik adalah sebuah studi yang interdisipinari
yang dibangun atas berbagai macam disiplin ilmu, terutama dalam hubungannya antara
proses komunikasi dan proses politik. Secara sederhana, komunikasi politik (political
communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor
politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah.
Hubungan antara media dan politik adalah hubungan yang saling membutuhkan. Media
massa, baik cetak maupun elektronik merupakan sumber informasi bagi khalayak. Media
massa digunakan sebagai sarana komunikasi politik. Para Pelaku politik menggunakan media
massa sebagai sarana untuk menyampaikan visi misi dari suatu partai atau calon pemimpin
yang sedang melakukan pencitraan. Para pelaku politik tersebut cenderung ingin
menunjukkan citra baik dirinya.
Salah satu unsur dalam komunikasi politik adalah media atau saluran. Media ialah alat
atau sarana yang digunakan oleh para komunikator dalam menyampikan pesan-pesan
politiknya. Misalnya melalui media cetak, elektronik, media format kecil maupun media luar
11
ruang. Media massa diakui memiliki kekuatan yang positif dalam pembangunan bangsa. Itu
sebabnya para politikus banyak memanfaatkan media massa untuk berbagai tujuan politik.
Oleh penguasa, media juga digunakan untuk membangun kultur politik yang stabil dan
heterogen. Tercapainya kinerja stabilitas politik sangan bergantung pada peran media massa
(Shoelhi, 2012:128).
Media massa merupakan elemen penting dalam politik, dan diistilahkan sebagai pilar
keempat demokrasi. Oleh karena itu media massa memiliki peran strategis dalam setiap
penyelenggaraan Pilpres. Komunikasi politik dapat dipahami dengan berbagai sudut
pandang. McQuail: “All processes of information (including fact, opinion, beliefs,etc.)
transmission, exchange and search engaged in by participants in the course of
institutionalized political activities”(semua proses penyampaian informasi – termasuk fakta,
pendapat pendapat, keyakinan-keyakinan dan seterusnya, pertukaran dan pencarian tentang
itu semua yang dilakukan oleh pers partisipan dalam konteks kegiatan politik yang lebih
bersifat melembaga). Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi
politik menandai keberadaan dan aktualisasi lembaga-lembaga politik. yang sekaligus
merupakan fungsi dari sistem politik (Pawito, 2009: 2).
Dye dan Zeigler mengemukakan adanya empat fungsi media massa dalam komunikasi
politik, yaitu (Pawito, 2009: 13):
(1) Pemberitaan (newsmaking) Fungsi pemberitaan ini terutama pada aktivitas pokok
media, yaitu mengamati realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat, kemudian
melaporkannya. Interpretasi (interpretation) Fungsi interpretasi berkenaan dengan
peran media massa sebagai penafsir atas realitas dalam wujud informasi terhadap
publik. Sebagai sumber informasi media harus sesuai dengan fakta dan akurat.
Selain itu sumber yang jelas juga menjadi unsur utama dalam kelengkapan sebuah
berita.
(2) Sosialisasi (socialization) Seperti fungsi transmisi warisan sosial yang
diungkapkan oleh Lasswell, hakekat dari fungsi sosialisasi adalah pendidikan bagi
masyarakat luas mengenai, nilai, keyakinan, sikap dan perilaku, dan berkaitan
dengan sistem politik, termasuk didalamnya nilai-nilai yang mendasar seperti
12
kerukunan, patriotisme dan demokrasi. Dalam hal politik, partai politik
merupakan salah satu saluran politik selain media massa
(3) Persuasi (persuasion) Media massa berperan penting, terutama ketika kampanye
Pilpres diselenggarakan. Media massa menyediakan tempat bagi penyampai
pesan, yaitu partai politik ataupun kandidat Capres-Cawapres, untuk melakukan
propaganda. Pembentukan citra melalui media ini dimaksudkan untuk
meningkatkan popularitas dan dukungan masyarakat terhadap partai atau kandidat
Capres-Cawapres tertentu.
(4) Fungsi agenda setting, berdasarkan teori penentuan agenda menyatakan bahwa
media massa merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media
massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam
agenda publik. Dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada
isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Dalam agenda setting, sebuah
media memiliki tanggung jawab sosial. Pentingnya subyektivitas menjadi
landasan bertindak sebuah media massa. Karena media massa bukan hanya
menampilkan berita yang aktual dan faktual saja, namun harus mengarah pada
nilai-nilai tanggung jawab sosial.
Dalam konteks Pemilu, media massa harus dapat melakukan berbagai hal, seperti
menginformasikan kepada publik secara jujur, akurat, dan adil mengenai pilihan-pilihan
politis yang ada, meyakinkan kepada publik bahwa pemilihan umum merupakan momentum
yang sangat penting untuk secara bersama-sama menentukan arah dan masa depan bangsa,
segera memberikan penonjolan terhadap gagasan-gagasan solusif ketika ada gelagat konflik.
Untuk lebih memahami posisi tertentu, kita harus mengetahui fungsi, peranan,karekteristik
dari media massa. Fungsi media massa ialah tugas khusus yang dibebankan pada media
massa (Pareno, 2005:7).
2.2 Media Massa dan Propaganda
Mengingat propaganda merupakan kegiatan komunikasi untuk mempengaruhi massa.
Media juga memiliki peran dalam kegiatan propaganda. Dalam hal ini pemilihan media perlu
disesuaikan dengan target massa yang hendak dituju oleh propagandis (Shoelhi, 2012:117).
13
Sebelum lebih jauh membahas tentang peran media massa dalam kegiatan propaganda
nampaknya perlu mengetahu definisi propaganda.
Ada banyak ahli yang mendefinisikan propaganda, untuk mendapatkan kejelasan
mengenai pengertian tersebut kita perlu merujuk interpretasi Harold D Laswell. Menurut
Laswell ‘propaganda in broadest sense is the technique of influencing human action by the
manipulation of representations’ jadi propaganda dalam arti yang luas adalah teknik untuk
mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasi representasinya (representasi dalam
hal ini dapat berarti kegiatan atau bicara untuk suatu kelompok). Jacques Ellul
mendefinisikan propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok
terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan
massa yang terdiri atas individu-individu yang dipersatukan secara psikologis dan
tergabungkan di dalam suatu kumpulan atau organisasi (Shoelhi, 2012:37).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa propaganda adalah suatu bentuk komunikasi
yang menyampaikan kebenaran menurut sang propagandis dengan cara memanipulasi
representasi untuk mempengaruhi masyarakat atau massa. Pesan dirangkai tanpa
mempertimbangkan benar atau salah, disebarkan dengan metode dan teknik tertentu. Dalam
hal ini propaganda seolah memiliki konotasi yang negatif, meskipun sebenarnya tidak selalu
negatif.
Menurut Comstock, sebagai saluran dalam propaganda, media massa memiliki fungsi
pengaruh sosial. Melalui media massa, khalayak mempelajari apa yang terjadi dan akan
mempengaruhi opini yang berkembang dalam masyarakat. Mengingat fungsi media massa
dan perubahan perilaku khalayak yang terkena terpaan media massa, tidak jarang media
massa digunakan sebagai saluran yang tepat bagi kegiatan propaganda. Oleh karena itu tidak
mengeherankan, propaganda melalui media massa sejauh ini merupakan strategi yang paling
dipilih dalam aktivitas politik (Shoelhi, 2012:118-119).
Kegiatan propaganda kerap kali melibatkan peran media massa karena media massa
memiliki kelebihan dalam menampilkan daya pengaruh yang kuat dan jangkuan siaran yang
luas. Kedua hal ini sangat penting bagi kegiatan propaganda, khususnya propaganda politik.
Peran media massa yang sedemikian ini terbukti dalam sepanjang sejarah. Menurut catatan
14
sejarah, media massa Jerman pada era Nazi cukup penting peranannya dalam membantu
propaganda yang dilancarkan Adolf Hitler.
Media massa yang memiliki perjalanan sejarah paling lama adalah surat kabar/pers.
Mengingat media cetak yang satu ini tercatat sebagai media tertua di dunia.1 Oleh karena itu
peran pers/surat kabar dalam propaganda juga sudah terjadi sejak lama. Hal ini diawali pada
tahun 1923, pada saat itu hampir seluruh media massa Jerman memberitakan menghilangnya
Swastika dari ruang publik. Dalam perang dunia II Hitler melakukan kebohongan dan
menyebarkan ideologi Nazi (fasisme) untuk memperluas pengaruh dan kekuasaanya.
Beberapa tahun kemudian Hitler kerap muncul dalam rapat umum, menjawab berbagai
permasalahan yang terjadi. Sehingga, dia memperoleh dukungan luas dan membawanya pada
puncak kekuasaan. Hitler kembali menyusun organisasi yang rapi dan strategi yang baik di
bidang propaganda. Pada tahun 1935, Jerman memiliki 4.500 surat kabar. Hampir seluruhnya
ikut berperan dalam menyukseskan agenda-agenda propaganda Hitler. Sejak saat itulah
istilah propaganda mendapat reaksi negatif di Negara-negara demokrasi karena dengan
propaganda Nazi, banyak korban jiwa yang ditimbulkan. Semua Negara demokrasi yang
dipelopori oleh Amerika Serikat, sangat anti terhadap kegiatan propaganda. Dalam hal itu
Indonesia termasuk sekutu Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda, melawan fasisme Jerman
dan Jepang (Arifin, 2011 : 133).
2.3 Cakupan, Metode dan Teknik Propaganda
Propaganda dapat dipejari dari berbagai aspek komunikasi. Jenis propaganda cukup
banyak, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. William E. Daugherty dan Morris
Janowitz seperti dikutip Onong Uchjana Effendi (1994), menyatakan bahwa propaganda
dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Menurut Robert Cole dijelaskan bahwa
propaganda dapat dipejari dengan memperhatikan aspek sumbernya, metodenya, sistemnya,
sifatnya, jenis kegiatannya, bentuk komunikasi yang dipilihnya, dan wilayahnya (Shoelhi,
2012:42).
1
http://id.scribd.com/doc/233064104/Sejarah-Perkembangan-Media-Massa-Dunia Diunduh pada tanggal
14/08/2014 pukul 15.49
15
Berikut ini adalah jenis propaganda menurut sumbernya yang dijelaskan (Liliweri,
2011:797)
(1) Propaganda putih, yaitu propaganda yang berasal dari sumber yang dapat diidentifikasi,
sumbernya jelas dan terbuka, sehingga setiap orang dapat mengetahui kredibilitas sumber
propaganda.
(2) Propaganda hitam, adalah propaganda yang bersumber dari pihak lawan. Pada umumnya
pihak lawan selalu mengajukan pesan-pesan yang berlawanan atau menantang pesanpesan dari propagandis. Dalam kampanye, jenis propaganda hitam, selalu disebut black
campaign, yakni penyebarluasan pesan untuk merendahkan sumber propaganda, dengan
demikian audiens diajak untuk tidak perlu percaya kepada pihak propagandis.
(3) Propaganda abu-abu, adalah propaganda yang sumbernya dapat diidentifikasi, namun
keberadaan propagandis itu dinilai “pura-pura”. Artinya, kadang-kadang propagandis ini
menamakan diri mereka sebagai sumber yang netral padahal dia berasal dari lingkungan
pihak lawan. (Wikipedia article is reprinted here under the terms of the GNU Free
Documentation License, 1995-2010, by Charles’ George Orwell Links).
Selanjutnya, menurut bentuk komunikasi massa, propaganda dibedakan menjadi dua
yaitu propaganda vertikal dan agitatif. Propaganda vertikal adalah propaganda yang
dilancarkan dengan menggunakan berbagai macam sarana media massa. Propaganda ini
lazim juga disebut sebagai propaganda fasilitatif yang menimbulkan dampak hierarkis dari
pemimpin pendapat hingga masyarakat awam. Jenis propaganda ini paling banyak
digunakan, baik di bidang sosial, politik maupun ekonomi. Propaganda agitatif adalah
propaganda yang dilancarakan dengan menggunakan berbagai alat komunikasi massa untuk
mengacaukan kepentingan umum., kemudian memaksa massa mengikuti kepentingan
tertentu dengan menampilkan ancaman, kemudian membangkitkan ketakutan dan kebencian
sehingga target propaganda memberikan pengorbanan yang sebesar-besarnya untuk
mencapai suatu tujuan atau mewujudkan cita-cita (Shoelhi, 2012:45)..
Setiap kegiatan propaganda terutama dalam dunia politik pasti memiliki fungsi dan
tujuan. Hitler menjelaskan fungsi propaganda sebagai berikut. Pertama, untuk menarik
perhatian massa terhadap fakta, proses, kepentingan dan sebagainya yang kita cipatakan dan
mengandung nilai yang berarti. Kedua, untuk mengantarkanm informasi yang mampu
16
membangkitkan dan mendorong semangat yang mengendur. Ketiga, untuk mengarahkan
opini publik internasional agar selaras dengan pikiran propagandis. Keempat, untuk
menyampikan kebenaran propagandis kepada massa dan membentuk visi massa. Kelima,
untuk melayani hak kita sendiri. Keenam, untuk mempengaruhi sikap dan tindakan massa
terhadap suatu idea tau kondisi tertentu. Lebih lanjut, Hitler menjelaskan bahwa didalam
propaganda tidak boleh ada pesan ilmiah. Propaganda harus menarik perhatian massa
sehingga pesannya bisa ditanamkan pada pandangan dan perasaan mereka. Propaganda tidak
akan dapat menjangkau massa yang luas, bahkan akan kehilangan efektivitasnya jika berisi
banyak peringatan atau instruksi ilmiah (Shoelhi, 2012:49).
Liliweri (2011) menyebutkan ada tiga tujuan propaganda. Pertama tujuan dari
propaganda
adalah
mempengaruhi
opini
publik.
Propaganda
tidak
saja
sekadar
mengkomunikasikan fakta-fakta kepada publik, namun juga fakta-fakta yang dapat
mempengaruhi publik terhadap isu tertentu. Hal ini sebenarnya sesuai dengan tujuan utama
dari propaganda adalah mengubah pendapat umum tentang suatu isu yang akan diikuti oleh
tindakan yang sesuai dengan pendapat tersebut. Perubahan pendapat tersebut bisa positif dan
negatif.
Tujuan yang kedua adalah memanipulasi emosi, Bagi para propagandis tujuan dari
propaganda adalah “memanipulasi” emosi target audiens dari perasaan suka ke perasaan
tidak suka, dari perasaan cinta ke perasaan benci, dari perasaan saying ke perasaan marah
atau sebaliknya. Melalui teknik propaganda, para propagandis memanipulasi kata, suara,
simbol pesan nonverbal agar dapat membangkitkan emosi audiens. Ketiga menggalang
dukungan atau penolakan. Sasaran utama dari kegiatan propaganda adalah mengubah sikap
dan perilaku audiens untuk mendukung atau menolak suatu isu tertentu. Tujuan propaganda
ini ialah mengubah posisi suatu sikap dan perilaku seseorang ke suatu posisi sikap yang lain.
Kebanyakan orang menggunakan propaganda ini untuk menggalang dukungan, menerima
atau menolak sesuatu isu.
Propaganda memiliki beberapa karateristik utama menurut Liliweri (2011) yaitu :
(1) Pernyataan bohong, merupakan konstruksi ungkapan pesan yang disusun secara sengaja
untuk menyebarkan informasi palsu. Meskipun ada banyak argument bahwa propaganda
tidak dapat direduksi menjadi soal berbohong semata-mata, namun, “berbohong” adalah
elemen utama dalam proporsi yang tinggi dari propaganda. Ini sekaligus berarti bahwa
17
kebenaran dari suatu informasi merupakan standar utama dari “propaganda” yang dapat
dinilai sebagai kekurangan dan keburukan.
(2) Strategi selektif, propaganda sering melakukan seleksi atas pesan-pesan yang akan
disebarkan kepada audiens. Mereka secara sengaja atau seolah melakukan kelalaian
dalam menyampaikan pesan kepada publik. Informasi yang bersumber dari fakta asli dan
data yang valid dimanipulasi atau sebagiannya disimpan dan selebihnya yang kurang
penting atau bahkan informasi palsu dipublikasikan kepada public.
(3) Berlebihan, kadang-kadang propaganda juga diarahkan untuk menyatakan suatu konsep
isu secara berlebihan. Umumnya pernyataan pesan dalam bentuk tertulis (kata-kata atau
gambar), juga pesan yang tidak tertulis dibesar-besarkan sehingga pesan tersebut
mengalami distorsi.
(4) Eksplisit atau Emplisit, keduanya adalah sifat propaganda yang mempengaruhi struktur
pesan. Tujuannya untuk memenuhi standar kekuatan persuasif maupun syarat-syarat
normatif suatu argumen yang bersifat faktual.
Metode persuasif adalah salah satu metode yang ada dalam kegiatan propaganda.
Menurut Shoelhi (2012) propaganda dilancarkan dengan memperhatikan seni membujuk
massa sehingga dalam diri mereka timbul kemauan secara sukarela dan seketika bersedia
bertindak sesuai dengan keinginan sang propagandis. Mengingat propaganda lebih
merupakan seni komunikasi persuasif, dalam melancarkan kegiatan propaganda seorang
propagandis selalu memperhitungkan unsur emosi sebagai penguat daya tarik, berupaya
menimbulkan pencitraan, memperhatikan aspek-aspek teknik penataan pesan, dan melakukan
pendekatan yang tepat melalui perencanaan dan penahapan yang semestinya dalam
komunikasi persuasif.
Untuk mencapai sasaran dan tujuannya, propaganda seperti halnya komunikasi, sangat
membutuhkan teknik. Hal ini berkaitan dengan objek sasaran yang dituju. Seni propaganda
pada hakikatnya adalah seni permainan kata-kata sejumlah pakar dan penulis buku
propaganda seperti Adolf Hitler dalam bukunya The Fine Art of Propaganda mengakui
keniscayaan penggunaan pendekatan tertentu dalam propaganda. Michael Combs dan Dan
Nimmo, Alfred MeClung Lee dan Elizabeth Briant Lee, dan begitu juga Institute of
Propaganda Analisis (IPA) mengakui keampuhan teknik propaganda. Mereka sependapat
18
bahwa sembilan teknik yang dapat dipergunakan untuk menyusun propaganda. Baik dalam
praktek perancangan maupun analisis propaganda, pendekatan tersebut selalu dikaitkan
Arifin (2011). Kesembilan teknik tersebut adalah
(1) Name Calling (memberikan julukan) adalah propaganda dengan memberikan sebuah ide
atau label yang buruk. Tujuannya adalah agar orang menolak dan menyangsikan ide
tertentu tanpa mengoreksinya/memeriksanya terlebih dahulu. Salah satu ciri yang melekat
pada teknik ini adalah propagandis menggunakan sebutan-sebutan yang buruk pada
lawan yang dituju. Ini dimaksudkan untuk menjatuhkan atau menurunkan derajat
seseorang atau sekelompok tertentu.
(2) Glittering Generality (kemilau generalitas) adalah mengasosiasikan sesuatu dengan suatu
“kata bijak” yang digunakan untuk membuat kita menerima dan menyetujui hal itu tanpa
memeriksanya terlebih dahulu. Propaganda yang dimaksud disini adalah propaganda
yang menggunakan kata-kata luar biasa, sehingga tanpa sadar orang mengikutinya.
(3) Transfer (pengalihan) meliputi kekuasaan, sanksi dan pengaruh sesuatu yang lebih
dihormati serta dipuja dari hal lain agar membuat “sesuatu” lebih bisa diterima. Teknik
propaganda transfer bisa digunakan dengan memakai pengaruh seseorang atau tokoh
yang paling dikagumi dan berwibawa dalam lingkungan tertentu.
(4) Testimony (kesaksian) berisi perkataan manusia yang dihormati atau dibenci bahwa ide,
program, produk adalah baik atau buruk. Maksudnya dalam teknik propaganda ini
memakai nama orang-orang terkenal, meskipun sebenarnya tidak ada hubungngannya.
(5) Plain Folk (rakyat biasa) adalah propaganda dengan menggunakan cara memberi
identifikasi terhadap suatu ide. Teknik ini mengidentikkan yang dipropagandakan milik
atau mengabdi pada komunikan. Misalnya dengan kata-kata milik rakyat atau dari rakyat.
Cara ini sering dipakai oleh para politisi untuk mempengaruhi orang banyak.
(6) Card Stacking (menimbang-nimbang kartu untuk digunakan) meliputi seleksi dan
kegunaan fakta atau kepalsuan, ilustrasi atau kebingungan dan masuk akal atau tidak
masuk akal suatu pernyataan agar memberikan kemungkinan terburuk atau terbaik untuk
suatu gagasan, program, manusia dan barang. Teknik propaganda yang hanya
menonjolkan hal-hal atau segi baiknya saja, sehingga publik hanya melihat satu sisi saja.
(7) Frustration Scapegot (menutupi frustrasi atau kambing hitam), Salah satu cara mudah
untuk menciptakan kebencian atau menyalurkan frustrasi adalah menciptakan kambing
19
hitam. Contoh populer propaganda yang diciptakan Hitler bahwa timbulnya berbagai
masalah dalam negeri dan luar negeri Jerman disebabkan perilaku Zionis Yahudi.
(8) Bandwagon Technique, Teknik ini dilakukan dengan menggembar-gemborkan sukses
yang dicapai oleh seseorang, suatu lembaga atau suatu organisasi. Dalam bidang
ekonomi, teknik propaganda ini digunakan untuk menarik minat pembeli akan suatu
produk tertentu yang laku keras di pasaran.
(9) Fear Arousing (membangkitkan ketakutan), cara propaganda untuk mendapatkan
dukungan dari target massa dengan menimbulkan emosi negatif, khususnya ketakutan.
Tidak semua teknik propaganda bisa digunakan pada waktu yang sama. Pemilihan teknik
bergantung pada kasus-kasus yang tengah dihadapi. Untuk menentukan satu teknik yang
tepat, proses pemilihan teknik perlu ditempuh sehingga teknik propaganda bisa dikerahkan
secara tepat sasaran. Menurut Arifin (2011) beberapa teknik propaganda yang telah
dijabarkan oleh beberapa ahli menjadi alasan bahwa propaganda politik dipandang sebagai
kegiatan komunikasi politik yang berbahaya bagi kemanusiaan. Itulah sebabnya di negaranegara demokrasi kegiatan propaganda politik sangat tidak disukai, bahkan ditolak.
2.4 Teori Analisis Fungsional Media
Teori ini pada dasarnya coba ingin melihat dan mengenal pasti fungsi media.
Pendekatan analisis fungsional mempunyai kaitan dengan kekuasaan dan informasi. Ini
bermakna bahwa media mempunyai hubungan dengan kuasa politik dan ekonomi. Individu
atau mereka yang memiliki kuasa politik, bermakna boleh mengawal media. Justru fungsi
media sebagai penyampai informasi sering menjadi persoalan (Mahbob, 2004:117).
Apabila berbicara mengenai analisis fungsional kuasa memainkan peranan yang
signifikan. Kuasa selalu merujuk kepada orang yang memiliki kuasa tersebut yaitu
pemimpin. Pemimpin dalam konteks ini hanya dibatasi kepada pemimpin politik (elit
politik). Dengan begitu kuasa telah membagi masyarakat ke dalam dua kelompok yaitu
golongan memimpin dan dipimpin. Golongan yang dipimpin ini terdiri dari individu atau
sebagian kecil manusia yang disebut sebagai elit, dan golongan yang dipimpin ini disebut
sebagai massa.
20
Golongan massa ini dilihat oleh Lippmann sebagai bewildered herd, manakala
Chomsky melihat golongan elit sebagai specialized class of responsible men (Mahbob,
2004:118). Jadi bisa dikatakan Lippmann melihat massa ini sebagai sekelompok orang yang
mengalami kebingungan. Sedangkan Chomsky melihat golongan elit ini merasa
bertanggungjawab terhadap kebingungan tersebut. Sehingga pada akhirnya para elit politik
mengambil peran dan mengontrol media.
Hubungan antara analisis fungsional dan sistem politik lebih melihat kepada
bagaimana kandungan media dipersepsikan oleh masyarakat, kumpulan dan individu sebagai
functional dan dysfunctional. Analisis fungsional telah diterima secara luas oleh kebanyakan
pengkaji komunikasi massa sekitar tahun 1950 dan 1960an (Mahbob, 2004:119). Fungsi
media yang secara nyata dan tersembunyi telah diselidiki. Namun justru functional dan
dysfunctional inilah yang menjadi kelemahan dalam teori ini.
Dalam negara yang mengamalkan sistem autokrasi,2 elit politik akan memainkan
peranan utama dalam mengawal dan menetapkan fungsi media. Justru elit politik memainkan
peran yang cukup signifikan dalam menentukan informasi yang diperlukan dan tidak
diperlukan oleh massa. Ia juga boleh dikaitkan dengan teori propaganda dan teori penetapan
agenda karena informasi yang disalurkan media bertujuan untuk mempengaruhi pemikiran
massa. Tujuan ini selalu mempunyai agenda tertentu.
Bagi negara yang mengamalkan sistem demokrasi, kebebasan sering disebut-sebut dan
menjadi sebagian dari hak asasi manusia, namun kebebasan media masih lagi dipersoalkan.
Media masih dikawal oleh segelintir individu yang disebut sebagai elit dan merekalah yang
membentuk pemikiran masyarakat. Dalam teori ini golongan massa dianggap masa bodoh
dan tidak tahu. Justru berita dan informasi telah dibuat sedemikian rupa dengan menetapkan
agenda tersendiri dalam membentuk pemikiran massa. Dengan begitu elit adalah golongan
minoritas yang membentuk dan mempengaruhi pemikiran massa. Oleh golongan minoritas
ini media diakui sebagai alat untuk menjalankan fungsi. Dalam hal ini strategi elit politik
menggunakan media sebagai alat propaganda. Di dunia politik propaganda menjadi fungsi
utama mengapa media digunakan. Menurut Chomsky, propaganda di pemerintahan modern
2
autokrasi/au·to·kra·si/ n Pol (bentuk) pemerintahan dng kekuasaan mutlak pd diri seseorang; kediktatoran,
sumber http://kbbi.web.id/autokrasi, diunduh pada tanggal 14 April 2015, pukul 04.42 WIB.
21
yang pertama ialah ketika di bawah kepemimpinan Woodrow Wilson (Mahbob, 2004:123).
Dimana pada saat itu rakyat melihat penakhulkan yang dilakukan oleh Jerman sebagai satu
tindakan yang jahat. Kebebasan media digunakan sebagai strategi untuk membuat khalayak
menjadi bingung.
Tokoh-tokoh yang tertarik dengan teori ini adalah ahli-ahli teori demokratik seperti
Walter Lippmann. Dengan melihat kepada fungsi media, maka analisis fungsional penting
dilakukan untuk mengkaji media di negara demokrasi. Sejauh mana media boleh
menjalankan fungsinya dengan bebas dan dalam masa yang sama menjaga sistem sosial agar
terus seimbang. Menurut Curran, fungsi media adalah memberi informasi kepada masyarakat
bukan memberi kesan atau mempengaruhi khalayak (Mahbob, 2004:125). Namun terdapat
dua pandangan tentang hal ini. Menurut tradisi sejarah, media massa telah mengubah
masyarakat melalui masa dan tempat. Sedangkan kajian tradisi politik melihat, walaupun
media tidak mengubah pemikiran kebanyakan khalayak namun media telah mengubah proses
politik. Media telah mengubah pemikiran dan mempengaruhi khalayak dalam menentukan
calon politik. Melakukan aksi manipulasi gambar, citra, suara, dan nilai isu sedang bergulir.
Utamanya sebuah media harus meningkatkan fungsi masyarakat. Fungsi media dari
pandangan liberal functionalist telah diuraikan dan fungsi tersebut dapat berkembang dari
masa ke masa. Media diperbolehkan memberi informasi kepada khalayak, menjadi tempat
diskusi untuk pembahasan umum, dan menjadi jembatan bagi pemerintah dan rakyat. Karena
media bertugas mengawasi pemerintah ketika terjadi penyalahgunaan kuasa. Pandangan
liberal functionalist tentang fungsi media tidak disetujui oleh darical functionalist. Golongan
radikal melihat fungsi media dominan dan berkuasa untuk mempengaruhi khalayak. Media
menetapkan isu dan agenda yang bertujuan untuk mempengaruhi dan mengubah perilaku
khalayak.
Kajian mengenai fungsi media telah diteruskan oleh Harold Laswell pada tahun 1948.
Lasswell menguraikan tiga fungsi media dalam esessinya yaitu pengawasan, perhubungan
dan trasmisi. Melalui fungsi sosial ini, media membolehkan masyarakat mengawasi apa yang
berlaku dalam konteks paparan yang dibuat oleh media tentang kedudukan nilai masyarakat.
Dalam politik biasanya media melaporkan suatu berita sebagai peristiwa yang
22
berkesinambungan, yang diambil daripada konteks yang luas tetapi tidak memberi
keterangan lebih lanjut (Mahbob, 2004: 126).
2.5 Teori Propaganda Harold Lasswell
Ketika desertasi doktoral Harold Lasswell yang mengangkat konsep “propaganda” di
dalam Perang Dunia pertama diterbitkan menjadi sebuah buku di tahun 1972, salah seorang
pengamat menjuluki buku tersebut sebagai “buku Machiavellian yang harus segera
dimusnahkan (Dulles, 1928:107). Reaksi si pengamat mengindikasikan adanya ketakukan
akan adanya teknik propaganda yang dapat dilihat dalam Perang Dunia I. Sesungguhnya
Harold Lasswell adalah ilmuwan politik-; “Who says what, to whom, to which channel and
with what effect.” Inilah yang akan selalu diingat sebagai suatu model teori komunikasi yang
linier, yang ia temukan dari hasil pengamatan dan praktek yang ia lakukan sepanjang masa
perang dunia pertama dan kedua.
Harold Lasswell menulis disertasinya yang berjudul “Propaganda Technique in the
World War,” yang menyebutkan sejumlah program propaganda yang bervariasi mulai dari
konsep sebagai strategi komunikasi politik, psikologi audiens, dan manipulasi simbol yang
diambil dari teknis propaganda yang dilakukan oleh Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika.
Teori propaganda Lasswell memadukan ide-ide dari aliran behaviourisme dan freudianisme
menjadi sebuah visi media yang sangat pesimis dan berperan dalam membentuk tatanan
sosial modern. Dalam pandangan Lasswell kekuatan propaganda bukanlah hasil dari
substansi, isi atau satuan pesan secara spesifik, tetapi karena pemikiran masyarakat umum
yang sangat mudah dipengaruhi. Pengukuran Lasswell menggunakan teori psikolgi bahwa
tekanan ekonomi serta peningkatan
konflik politik menyebabkan tekanan mental yang
meluas, dan hal ini membuat banyak orang dengan mudahnya melakukan propaganda kasar
(Baran & Davis, 2010:104). Ketika konflik meningkat, seperti yang terjadi di massa depresi
Jerman, keseluruhan Negara dapat menjadi tidak seimbang secara psikologis dan sangat
mudah termanipulasi.
Kegiatan poropaganda tidak terlepas dari peran seorang propagandis. Lasswell
menggambarkan tugas seorang propagandis dalam menyusun strategi propaganda. Seorang
propagandis dapat dikatakan sebagai seseorang yang berfokus untuk melipatgandakan
23
stimulasi-stimulasi yang diperhitungkan mampu menarik minat masyatakat, serta
meniadakan rangsangan yang dianggap tidak mampu menarik minat mereka (Lasswell,
1972:620). Dengan kata lain, Lasswell berpendapat bahwa propaganda lebih dari sekedar
pemanfaatan media untuk membohongi publik agar dapat mengontrol mereka untuk
sementara waktu. Di dalam sebuah media propagandis berperan sangat penting untuk
merancang ide berkaitan dengan isu yang akan ditampilkan .
Secara perlahan masyarakat dipersiapkan untuk bisa menerima ide dan tindakan yang
berbeda. Ide dan tindakan disini yang dimaksud adalah isu baru yang diciptakan untuk
mempengaruhi pikiran masyarakat. Ide tersebut diubah menjadi simbol-simbol
yang
kemudian dikemas di dalam sebuah media. Dalam pandangan Lasswell simbol disini tidak
hanya dibatasi pada sebuah gambar namun bisa berupa lisan, tulisan, maupun musik serta
sejumlah sarana lain bersifat tidak terbatas (Lasswell, 1972:631). Simbol tersebut diciptakan
agar masyarakat secara bertahap mempelajari emosi-emosi spesifik seperti cinta atau benci
melalui simbol tersebut. Ketika seseorang mendengar atau melihat sebuah isu baru yang
muncul ditengah masyarakat, secara perlahan mereka akan mempelajari. Akan ada dua
kemungkinan yang terjadi masyakarat menerima atau menolak isu yang diciptkan oleh
propagandis. Saat penanaman isu baru ini ternyata berhasil dan diterima di masyarakat maka
mereka (propagandis) telah berhasil mencipatakan apa yang disebut Lasswell sebagai ‘simbol
utama atau simbol kolektif’. Simbol kolektif yang dipadukan dengan dengan emosi yang kuat
dan memiliki kekuatan untuk menstimulasi tindakan massa dalam skala besar saat digunakan
secara luas ((Baran & Davis, 2010:105).
Lasswell mengungkapkan bahwa pergerakan sosial yang sukses akan menciptakan
kekuatan yang mampu menyebarluaskan simbol utama melalui berbagai media. Kekuatan
untuk menyampaikan propaganda melalui media massa dipegang oleh kaum elite yang baru,
teknokrat ilmiah adalah seorang elit terdidik yang berbasis pada pengetahuan ilmu sosial
yang bertanggung jawab melindungi masyarakat yang rentan dengan bahaya yang
ditimbulkan dari kegiatan propaganda. Teknorat ilmiah yang berjanji menggunakan
pengetahuannya untuk kebaikan bukan kejahatan, memelihara demokrasi bukan malah
menghancurkannya (Baran & Davis, 2010:106). Namun melihat kondisi politik yang terjadi
saat ini terutama di Indonesia, justru tokoh propagandis berasal dari kaum teknorat ilmiah.
24
Tentunya seorang propagandis adalah mereka yang memiliki banyak pengetahuan dan
pengalaman di dunia politik. Lasswell dalam teorinya berargumen bahwa satu-satunya
harapan yang tersisa bagi masyarakat adalah usaha dari peneliti sosial untuk menggunakan
propaganda demi tujuan kebaikan bukan kejahatan.
2.6 Teori Propaganda Walter Lippmann
Walter Lippmann, seorang intelektual Amerika, penulis, dan pemenang dua kali Pulitzer
yang melahirkan salah satu karya tentang penggunaan media massa di Amerika. Lippmann
membandingkan massa ke dalam “monster besar” dan “ternak yang bingung” yang harus
dibimbing oleh pemerintah yang mengatur. Dia menggambarkan para elit yang berkuasa sebagai
“kelas khusus yang kepentingannya melampaui lokal”. Kelas ini terdiri dari ahli, spesialis dan
birokrat. Menurut Lippmann, para pakar yang sering disebut sebagai elit yang menjadi mesin
pengetahuan yang sebenarnya menjadi cacat utama dari sebuah demokrasi. Demokrasi yang ideal
tentunya tidak mungkin menginjak-injak dan menakuti “ternak yang bingung”. Para warga yang
dikatakan seperti “Ternak yang bingung” memiliki fungsi untuk menjadi “penonton yang
tertarik” tetapi bukan peserta. Partisipasipan adalah tugas dari “orang yang bertanggung jawab”,
yang bukan warga biasa.
Media massa dan propaganda adalah alat yang harus digunakan oleh elit untuk mengatur
masyarakat tanpa paksaan fisik. Salah satu konsep penting yang disampaikan oleh Lippmann
adalah “pembuatan persetujuan”. Singkatnya, manipulasi opini publik untuk menerima agenda
elite. Ini adalah pendapat Lippmann bahwa masyarakat umum tidak memenuhi syarat untuk
menentukan isu-isu penting. Oleh karena itu penting bagi elit untuk memutuskan dan kemudian
menjual keputusan-keputusan kepada massa. Tekhnik memanipulasi berita melalui pemilihan
kata-kata ataupun pemelintiran fakta banyak digunakan untuk meyakinkan masyarakat3.
Lippman mengemukakan tesisnya soal propaganda : “Bila sekelompok orang dapat
menahan khalayak untuk mendapatkan akses mereka terhadap berita, dan bisa memunculkan
berita tentang peristiwa yang mereka kehendaki, pastilah di situ ada propaganda”. Lebih lanjut ia
mengatakan: “Untuk menghasilkan suatu propaganda, haruslah ada hambatan antara publik
dengan peristiwa yang terjadi (Simpson, 1994: 18). Buat Lippman, komunikasi massa adalah
3
https://narratur.wordpress.com/2009/08/28/teori-opini-umum-walter-lippman/ Diunduh pada tanggal 16 April
2015, pukul 07.34 WIB.
25
sumber utama dari krisis dunia modern dan komunikasi adalah instrumen yang diperlukan untuk
mengelola apapun secara elitis.
Salah satu fungsi media menurut Lippmann adalah menjaga kestabilan pemerintahan
dengan membiarkan struktur yang sudah ada tetap berjalan sebagaimana mestinya.
“Kesimpulan saya ialah bahwa opini umum harus diberikan kepada pers jika ingin
sehat, tidak oleh pers seperti halnya sekarang. Tugas memberikan informasi opini umum
tersebut saya pahami pertama-tama sebagai tugas ilmu politik yang menduduki
tempatnya sebagai perumus, pendahulu keputusan nyata, bukannya pembela, kritikus,
atau reporter sesudah keputusan diambil. Saya melihat tanda-tanda bahwa pemerintah
maupun industri telah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengabdi kepada
kepentingan umum (Lippman,1995:28)”.
Dalam pandangan di atas, jelas bahwa perspektif komunikasi yang digunakan adalah
perspektif satu arah. Komunikasi bukan merupakan sebuah proses negosiasi gagasan melalui
simbol-simbol, melainkan proses penyamaan persepsi komunikan oleh komunikator.
Komunikasi dipandang sebagai sarana mendominasi. Pandangan ini sejalan dengan rekannya
yang juga punya andil dalam kebijakan propaganda pemerintah AS semasa Perang Dunia I
Harold Laswell. The Magic Bullet Theory, yang diciptakannya punya asumsi yang sama.
Komunikan dipandang sebagai objek pasif yang menerima semua pesan komunikasi.
26
Download