etika bisnis periklanan: pelanggaran pedoman etis

advertisement
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
ETIKA BISNIS PERIKLANAN: PELANGGARAN
PEDOMAN ETIS DALAM IKLAN TELEVISI 2012
Fitri Adona
Dosen Politeknik Negeri Padang
Jurusan Administrasi Niaga
email: [email protected]
ABSTRACT
This study attempts to highlight how the producers advertise their products to reach a
certain position in competition with other manufacturers. In addition, this study also
aimed to see how the producers to eliminate the negative effects of bias due to the
communication between producers and consumers through advertising. The study
design was a multi case study, because the subjects in the study more than one, as well
as the background or data storage. This study proved that in 2012 almost all the
television stations that the object of this research violates ethical guidelines in
advertising. Most violations in the form of dishonest sales offers, harassing competitors,
and the blurring of fact. The dominant TV station in violation of business ethics and
advertising are the station SCTV and MNCTV station. Final proposition of this study
are: advertising business ethics violation is determined by the advertising industry, life
events and industry competition, and a television cameraman or the advertising
industry, as well as other forces or view specific concepts (which in this case is
understood as an ideology)! "
Keywords: advertising, business ethics, advertising effectiveness
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Sistem penyiaran televisi yang tersentralisasi dinilai kurang bermanfaat bagi
masyarakat daerah. Puluhan triliun rupiah belanja iklan televisi setiap tahun hanya
terserap di Jakarta. Pengusaha atau politisi daerah yang ingin beriklan di daerah harus
bertransaksi dengan televisi swasta Jakarta. Disisi lain, perkembangan bisnis
pertelevisian di nusantara justru sebagian dianggap sebagai ancaman pengalihan
anggaran iklan radio ke televisi, atau pemecahan anggaran periklanan tevisi swasta
nasional ke televisi lokal. Hal ini ditenggarai menciptakan dampak buruk dengan
bermunculannya iklan yang bebas sensor akibat ketatnya persaingan.
Kenyataan itu juga diperkuat dengan adanya rencana akuisisi Indosiar dan
SCTV, hadirnya Kompas TV, kasus Radio Kordova di Sumatera Utara, serta
munculnya Peraturan Menteri (Permen) No. 22 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Televisi Digital Teresterial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air)
dan Permen No. 23 Tahun 2011 tentang Rencana Induk (masterplan) Frekuensi Radio
untuk keperluan Televisi Siaan Digital Teresterial Pada Pita Frekuensi radio 478-694
MHz yang dikritisi Komisi Penyiaran Indonesia.
Sampai Desember 2011 jumlah pemohon izin radio dan televisi, baik lembaga
penyiaran swasta (LPS), lembaga penyiaran komunitas (LPK), lembaga penyiaran
publik (LPP), dan lembaga penyiaran berlangganan (LPB) di seluruh provinsi Indonesia
mencapai 3.166 pemohon dengan pertambahan jumlah pemohon pada 2011 saja
ISSN 1858–3717
44
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
sebanyak 499 pemohon. Sementara lembaga penyiaran televisi yang tercatat di Komisi
Penyiaran Indonesia mencapai 371 stasiun dengan rincian stasiun TV swasta 279
stasiun, stasiun TV publik 7, stasiun TV komunitas 4 dan stasiun TV berlangganan 81
stasiun (KPI, 2011).
Sementara, Nielsen Media Research (NMR) pada 2011 menunjukkan bahwa
selama kuartal pertama 2011 trend belanja iklan mencapai Rp. 15,6 Triliun atau tumbuh
20 Persen dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Data belanja iklan kotor
yang dipantau Nielsen pada 24 stasiun televisi, 95 surat kabar serta 165 majalah dan
tabloid selama kuartal pertama 2011 menunjukkan bahwa media televisi masih
mendominasi pangsa iklan. “Televisi masih mendominasi dengan meraup 62 persen dari
total belanja iklan kuartal pertama. Belanja iklan di televisi meningkat 21% dari periode
yang sama tahun lalu (Priyambodo, 2011).
Sesuai medianya, iklan televisi adalah pesan yang ditayangkan melalui televisi
dan disampaikan dalam bentuk audio, visual dan gerak. Bentuk tersebut pada dasarnya
merupakan sejumlah tanda yang berfungsi menyampaikan sejumlah pesan (Kasiyan,
2001 dalam Widyatama, 2007: 44). Kehadiran iklan tidak akan menjadi persoalan
ketika iklan tersebut mampu memerankan peran esensialnya serta tidak menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya dan
keagamaan. Namun berbagai bentuk pengelabuan produsen melalui iklan dapat dilihat
dalam berbagai bentuk, yaitu: 1) Pernyataan yang salah (false statement), 2) Pernyataan
yang menyesatkan (mislead), dan 3) Iklan yang berlebihan (puffery), serta 4) Pemakaian
tiruan (mock ups) (Rajagukguk, 1993: 19 dalam Hartono, 2000:65-66).
Penelitian Fitri (2007) tentang Kekerasan Simbolik Dalam Iklan Televisi:
Analisis Perusahaan Indonesia menyimpulkan bahwa kekerasan bahasa iklan berkaitan
dengan cara ucapan, kata-kata, dan ungkapan simbolik iklan melegitimasi berbagai
bentuk kekerasan dalam kehidupan sosial. Hal yang dikatakan dalam iklan merupakan
bentuk kekejaman atau kekerasan ucapan dan ekspresi bahasa yang dapat dilakukan
oleh siapa saja, baik penguasa maupun orang yang dikuasai, bergantung pada konteks
dan situasi komunikasi yang terjadi.
Selain itu, keangkuhan, kecongkakan atau ketidakpedulian pada sebuah citra
atau tanda juga merupakan kekerasan simbolik. Misalnya dalam kasus amatan,
visualisasi ”orang yang terkapar dihujani uang” (iklan Esia); ’mobil mewah yang
tersangkut di atap rumah” (BRI); ”mobil mewah yang dikendarai teman sebaya” (Honda
Jazz) bagi kalangan remaja, dan pernyataan ”semakin mahal dan lebih indah dari
berlian” (iklan perumahan Mediterania) potensial menjadi citra atau simbol jahat, ketika
tampil dalam konteks masyarakat dengan tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi.
Analisis multi kasusnya membuktikan, bahwa beberapa iklan melakukan
edukasi pasar dan pendekatan emotical branding agar tidak diklaim melakukan
pemaksaan dan kekerasan. Namun emotional branding itu pun dinilai mempraktikkan
kekerasan simbolik, membuat konsumen tidak berdaya menolak tawaran, rayuan dan
pernyataan faktual pemasar dan penjual, terutama konsumen yang mempunyai “peer
pressure” atau kainginan untuk mencapai status sosial tinggi (Fitri, 2008).
Upaya meningkatkan emotional branding (Fitri, 2008) dikhawatirkan
menghilangkan kepekaan terhadap tindak kekerasan simbolik, karena konsumen
dikondisikan secara tidak sadar menerima pesan dari penggunaan seluruh elemen merk
yang mencakup penggunaan warna, bentuk, dan tampilan untuk berhubungan dengan
pelanggan. Kekerasan simbolik: kekerasan yang lemah lembut, tidak tampak, tidak
diakui sebagai kekerasan, dipilih sebagaimana juga diberikan, kekerasan yang
didasarkan pada rasa percaya diri, loyalitas personal, kesediaan menerima, pemberian,
utang (budi), pengakuan, kesasalehan; yang semuanya diterima sebagai penghormatan
ISSN 1858–3717
45
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
etis. Kekerasan simbolik ini dipandang wajar karena dilegitimasi oleh praktik
emotional branding dengan alasan kepekaan terhadap emosi dan perasaan konsumen.
Inilah dampak yang harus diperhitungkan dan menuntut tanggung jawab sosial
perusahaan dan biro iklan serta unsur yang mendukungnya.
Studi kasus yang menganalisis iklan televisi dalam tahapan: reality,
representative dan ideologi ini menghasilkan proposisi akhir: “Kekerasan simbolik
ditentukan oleh industri periklanan, peristiwa kehidupan dan persaingan industri, dan
kamerawan televisi atau industri periklanan, serta kekuatan lain berupa pandangan
atau konsep tertentu (yang dalam hal ini dipahami sebagai ideologi)!”
Kecenderungan
konsumen dewasa ini menggeser “keinginan” menjadi
“kebutuhan”, dan memenuhi kebutuhan berderajat lebih tinggi yang sifatnya opsional
menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi. Contohnya, aneka ragam iklan, promosi,
kredit, hadiah dan potongan harga mampu membuat pasangan suami istri pekerja
berpenghasilan kurang dari Rp. 4 juta/bulan menyatakan keinginan mencicil mobil
sebagai kebutuhan hidup minimum yang penting, padahal pembelian mobil bagi mereka
adalah kebutuhan kesejahteraan hidup yang bisa ditunda.
Citra perusahaan Indonesia yang dominan terpublikasi adalah dari segi
keberhasilan keuangan, tanggung jawab sosial, dan keberhasilan riset. Kestabilitasan
perusahaan hampir tidak terpublikasi. Publisitas negatif pernah dialami oleh perusahaan
besar, seperti Nokia, Yamaha, Indomie dan Axe, masing-masing dengan kasus yang
berbeda. Esia dalam kasus materi iklan yang frontal; meski sempat dibantah hanya
mengkomparasi fakta dan tidak menyulitkan konsumen; Yamaha juga mendiskreditkan
pesaingnya melalui perang iklan yang merendahkan pesaing; Indomie juga terlibat
kasus perang mie instant antara Indomie (Indofood) dan Mie Sedaap (Wings Group)
yang menjurus iklan yang tidak sehat, karena memberikan fitur-fitur tambahan yang
sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan konsumen, dan lain-lain strategi kontra-produktif
yang malah memperbesar cost dalam berbisnis tanpa mampu memaksimalkan output
berupa grouwth, revenues, dan profit; dalam kasus lain, Nokia Inc. menyangkal telah
melanggar hak paten pembuat cip Amerika Serikat, Qualcomm Inc, Nokia sedang
bersengketa masalah legalitas setelah perjanjian hak paten teknologi habis. Qualcomm
menuntut Nokia di Jerman dan Amerika Serikat atas pelanggaran beberapa hak paten
teknologi GSM.
Pada 28 Desember 2011 badan regulator Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
menegur semua stasiun televisi untuk memperbaiki adegan dalam tayangan iklan “Mie
Sedaap”. Iklan tersebut menayangkan adegan seorang guru yang memegang sebuah
produk mie dan di kepalanya bertengger seekor ayam. Menurut KPI, tayangan iklan
tersebut tidak memperhatikan norma dan nilai yang berlaku dalam lingkungan sekolah,
memperolok tenaga pendidik (guru) dan merendahkan sekolah sebagai lembaga
pendidikan.
_________________________________________________________________
Sumber: poskota.co.id
__________________________________________________________________________
Gambar 1.1 Tayangan Iklan yang Melanggar di Stasiun Televisi Jakarta
ISSN 1858–3717
46
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
Di sisi lain, lirik vulgar dalam lagu ‘Hamil Duluan’ yang dinyanyikan oleh Tutty
Wibowo, mengundang kontroversi di tengah masyarakat. Lagu yang laris setelah dilypsinc oleh kelompok penyanyi perempuan Shinta–Jojo_yang populer dengan lagu
‘Keong Racun’ ini,_ditolak penanyangan video klipnya oleh sejumlah televisi swasta.
Sebagian liriknya yang melanggar norma kesopanan itu berbunyi: "awalnya ku ciumciuman/ akhirnya aku peluk-pelukan/ kuhamil duluan/ sudah tiga bulan/ gara-gara
tidurnya berduaan ...". Meskipun kata penyanyinya, lagu itu dimaksudkan membawa
pesan positif agar anak muda tidak berdua-duaan di tempat gelap, namun karena lagu
itu dinyanyikan secara ceria_karena musik yang mengiringinya juga energik dan
progresif_lagu dan penyanyinya justru dinilai tidak menghargai norma dalam
masyarakat.
Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini mencoba menyoroti bagaimana
produsen mengiklankan produknya untuk meraih posisi tertentu dalam kompetisi
dengan produsen lainnya di satu sisi, serta bagaimana mengeliminasi dampak-dampak
negatif sebagai akibat dari bias komunikasi produsen dengan konsumen melalui iklan.
1.2 Landasan Teori
1.2.1 Iklan
Iklan ialah pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang
sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh
pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat
(Etika Pariwara Indonesia, 2007); iklan adalah semua bentuk penyajian non personal
dan promosi ide-ide, barang atau jasa yang dilakukan oleh sponsor tertentu (American
Marketing Association dalam Kotler, 1994: 596 dalam Hartono, 2000:66); dan iklan
juga mengarahkan seseorang untuk membeli (Jefkins, 1982: 111 dalam Hartono,
2000:65-66). Pengertian iklan tersebut dipakai sebagai dasar analisis penelitian ini.
Dengan demikian iklan dapat dibatasi sebagai bentuk-bentuk komunikasi non-personal
untuk menyampaikan pesan yang menawarkan suatu produk barang/ jasa yang
ditujukan kepada masyarakat melalui suatu media. Dengan kata lain, iklan merupakan
salah satu sarana penghubung (connecting tool) antara produsen dan konsumen.
Sebagai salah satu bentuk komunikasi, maka target iklan adalah membuat
penerima pesan yang dimaksud menjadi tahu akan produk dan produsen dalam konteks
pembentukan citra positif. Iklan juga merupakan alat pemasaran sehingga tugas
utamanya adalah memasarkan produk. Agar pesan yang terkirim berhasil menjangkau
jumlah penduduk (target audience) secara maksimal, maka digunakan saluran berupa
berbagai media yang menjadi penghubung masyarakat.
Dalam pemasaran modern, perusahaan tidak sekedar memasarkan produk yang
berkualitas dan menetapkan harga yang menarik bagi konsumen, tetapi juga harus
mampu berkomunikasi dengan mereka atau berperan sebagai komunikator dan
promotor. Karena iklan tak terpisahkan dari serangkaian proses sebelum suatu produk
sampai ke tangan konsumen, maka perusahaan modern harus mampu mengelola sistem
komunikasi pemasaran yang kompleks: yang melibatkan perantaranya dengan
konsumen dan masyarakat luas; agen perantara berkomunikasi dengan perantaranya dan
masyarakat luas; konsumen berkomunikasi dengan sesama mereka dan masyarakat; dan
setiap kelompok berkomunikasi secara timbal balik dengan kelompok lain.
Dalam bauran komunikasi, iklan adalah bagian dari empat alat penting
pemasaran atau bauran promosi (promotional mix advertising, direct maraketing, sales
promotion, public relations, publicity, personal selling) yang digunakan oleh
perusahaan untuk melancarkan komunikasi informatif dan persuasif terhadap pembeli
dan masyarakat yang ditargetkan: sedangkan bauran promosi adalah bagian dari bauran
ISSN 1858–3717
47
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
pemasaran (marketing mix, product, price, promotion and place). Jadi, iklan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari bauran pemasaran.
Rhenald mengibaratkan iklan sebagai salah satu dari empat buah roda mobil
Ketiga roda lainnya adalah produk, harga dan jalur distribusi. Jika salah satu roda
tersebut kempes, maka ketiga roda lainnya kehilangan fungsinya sebagai penggerak
strategi pemasaran (1995: 9-10 dalam Hartono, 2000:67). Tugas periklanan mengacu
pada program pemasaran produk tertentu. Keberhasilannya sangat tergantung pada
kepiawaian dalam menata dan mengendalikan faktor kunci berupa kemampuan
menciptakan produk yang baik, menyusun harga yang pantas, menempatkan produk
yang sesuai dan tepat menjangkau konsumen, serta mempromosikan produk dengan
baik dalam program pemasaran.
Di sisi lain, promosi adalah salah satu faktor pemasaran yang bertugas
menyampaikan atau mengkomunikasikan tentang suatu produk, apakah sekedar untuk
memberikan informasi, mengubah sikap ataupun mendorong untuk bertindak dalam
rangka mencapai tujuan pemasaran, yang bukan sekedar penjualan. Karena promosi
merupakan salah satu faktor penentu dalam program pemasaran, maka keberhasilan
program pemasaran merupakan salah satu acuan dalam menentukan efektifitas suatu
program promosi. Salah satu bentuk promosi tersebut adalah iklan. Iklan akan menjadi
aktivitas yang tidak berguna, bahkan kontra produktif jika konsumen menemukan
bahwa produk yang dibeli mereka ternyata tidak berkualitas, harganya tidak
proporsional, dan sebagainya.
Dilihat dari tujuannya, Jackson dan Musselman mengungkapkan tiga tujuan
utama periklanan yang dikenal sebagai (3R): (1) Retain: mempertahankan pelanggan
‘loyal’, mengimbau pelanggan sekarang untuk meningkatkan pembelian mereka; (2)
Retrieve: menarik kembali pelanggan yang ‘hilang’, memperlmabat arus pelanggan
yang sekarang menjauh dari merk yang disenangi; dan (3) Recruit: merekrut pelanggan
‘baru’, meningkatkan arus pelanggan ke arah produk yang diiklankan, mengganti
pelanggan yang pindah ke pesaing serta secara umum untuk memperluas pasar secara
keseluruhan (dalam Hartono, 2000:69).
Jika dilihat dari pesan yang disampaikan, Colley (dalam Kotler, 1994: 629)
mengelompokkan tujuan dari iklan dalam tiga macam, yaitu: (1) Memberi informasi, (2)
Membujuk; dan Mengingatkan. Sebagai alat pemberi informasi, iklan berperan untuk
memberitahu pasar tentang produk baru, menganjurkan cara penggunaan baru bagi
suatu produk, memberitahu pasar tentang perubahan harga, menjelaskan cara kerja
suatu produk, menjelaskan jasa-jasa pelayanan yang tersedia, mengoreksi kesan yang
salah untuk mengurangi ketakutan konsumen, dan membangun citra perusahaan. Iklan
pada kelompok ini disebut informative advertising karena tujuan utamanya memberi
informasi. Oleh karena itu, jenis ini digunakan untuk menyampaikan informasi/
menerangkan produk. Biasanya digunakan dalam tahap rintisan suatu produk untuk
menciptakan permintaan pokok atas kategori produk tertentu.
Dalam peran sebagai pembujuk (persuasi) iklan berfungsi membangun pilihan
merk, menganjurkan berpindah ke merk tertentu, mengubah persepsi konsumen tentang
atribut produk, membujuk konsumen untuk membeli sekarang, dan membujuk
konsumen untuk menerima ajakan produsen. Iklan persuasi (persuasive advertising)
mempunyai arti penting untuk menciptakan permintaan selektif akan merk tertentu.
Dalam beberapa kasus, beberapa iklan persuasi berubah menjadi iklan perbandingan
(comparative advertising) yang berusaha menciptakan superioritas salah satu merk
dibanding merk yang lain dengan produk yang sama.
Sebagai alat pengingat, iklan berperan untuk mengingatkan konsumen bahwa
produk mungkin dibutuhkan dalam waktu dekat; dimana tempat membelinya;
ISSN 1858–3717
48
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
mengingatkan saat pasaran sepi, serta menjaga kesadaran konsumen terhadap produk
tersebut. Iklan pengingat (reminder advertising) penting dalam tahap dewasa suatu
produk untuk menjaga agar konsumen selalu ingat akan produk tersebut. Serupa dengan
iklan bertujuan ini adalah iklan pemantapan (reinforcement advertising) yang berusaha
meyakinkan pembeli bahwa mereka melakukan pemilihan yang tepat.
1.2.2 Pesan Iklan
Jika beberapa penjelasan tadi mengarahkan bahwa secara esensial iklan
mempunyai dua peran utama sebagai pemberi informasi dan sebagai alat pembentuk
pendapat umum (public opinion) (Lihat Coley dalam Kotler 1994: 629 dan Sonny,
1995: 144 dalam Hartono, 2000: 69), maka Nelson (1983) lebih melihat iklan sebagai
pemberi informasi, bahkan secara lugas ia mengatakan “semua iklan adalah informasi”.
Stressing-nya adalah bahwa iklan berfungsi untuk membeberkan dan menggambarkan
seluruh kenyataan yang serinci mungkin tentang suatu produk. Sasaran iklan adalah
agar konsumen dapat mengetahui dengan baik produk itu, sehingga akhirnya
memutuskan untuk membeli.
Pendapat Nelson itu didukung oleh Ogilvy (1983) yang menyatakan bahwa agar
berhasil mengiklankan dan menjual produk, berilah fakta kepada konsumen. Produk
yang baik dapat dipasarkan dengan iklan yang jujur. Memberikan fakta dan mengatakan
yang benar tentang sebuah produk, tidak berarti bahwa iklan perlu mengatakan semua
hal tentang produk itu, termasuk segala sesuatu yang jelek (dalam Hartono, 2000:70).
Berbeda dengan fungsi iklan sebagai pemberi informasi, iklan sebagai
pembentuk pendapat umum dilihat sebagai suatu cara untuk mempengaruhi pendapat
umum tentang sebuah produk. Sebagai pembentuk pendapat umum, iklan tidak
sepenuhnya bermaksud untuk membuat konsumen bertindak sebagaimana yang
diharapkan, namun sebatas untuk menciptakan keinginan dan kebutuhan. Fungsinya
mirip dengan fungsi iklan sebagai pemberi informasi, hanya saja informasi tersebut
dikemas sedemikian rupa sehingga menciptakan kebutuhan dan keinginan konsumen
untuk membeli produk yang diiklankan.
Stanley (1983) mengungkapkan dua model persuasi berkaitan dengan corak
persuasif dari iklan: (1) persuasi yang tetap menghargai otonomi dan kebebasan
individu dalam membeli sebuah produk (persuasi rasional); dan (2) persuasi yang tidak
banyak menghiraukan otonomi atau kebebasan individu (persuasi non rasional).
Persuasi dianggap rasional sejauh daya persuasinya terletak dalam isi argumen, bukan
pada cara penyajian atau penyampaian argumen itu. Persuasi rasional bersifat
impersonal. Artinya, iklan itu tidak memanipulasi atau memanfaatkan kelemahan
psikologis manusia untuk menambah efek yang memukau konsumen, melainkan
memberikan argumen atau pertimbangan rasional mengenai produk yang ditawarkan.
Jadi, persuasi rasional tetap menghargai kebebasan dan otonomi konsumen karena yang
dikatakan iklan hanyalah keaadaan objektif dan membiarkan konsumen menilai dan
memutuskan sendiri untuk membeli atau tidak. Persuasi rasional bahkan terbuka
terhadap kritik dan penolakan dari konsumen (Hartono, 2000: 70).
Sebaliknya, persuasi non rasional umumnya hanya memanfaatkan kelemahan
psikologis manusia untuk membuat konsumen tertarik membeli sebuah produk. Daya
persuasinya tidak terletak pada isi argumen yang bersifat rasional, melainkan pada cara
yang ditampilkan yang justru bersifat manipulatif. Dalam persuasi non rasional,
kebebasan atau otonomi manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga konsumen
tidak bisa lagi memilih secara rasional (objektif) melainkan terpaksa mengikuti atau
terbawa oleh kehendak iklan.
ISSN 1858–3717
49
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
Iklan tidak hanya alat untuk kepentingan produsen untuk membujuk konsumen
untuk mengkonsumsi produk atau jasa tertentu namun juga sebagai alat bagi konsumen
untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya dari suatu produk. Konsumen
mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan atau jasa yang akan dibelinya (the right to informed)
sebagaimana disuarakan Kennedy di depan Kongres tentang hak-hak konsumen yang
harus dijunjung tinggi produsen pada 15 Maret 1962 (Jackson & Musselman, 1992: 34
dalam Hartono, 2000: 71). Itu semua dikarenakan iklan berperan sebagai media
komunikasi untuk melanggengkan interaksi produsen-konsumen dalam jangka panjang
(long live interaction).
Dalam interaksi jangka panjang tersebut diperlukan kesadaran produsen untuk
jeli menangkap kemungkinan munculnya bias komunikasi, baik itu miss
communication, miss information, ataupun miss perception. Jika bias komunikasi
sampai terjadi maka produsenlah yang mendapat dampak negatif terberat. Konsumen
tidak sekedar meninggalkan produk tersebut, namun juga memberitahu konsumen
lainnya tentang masalah ketidaksukaan mereka atau kekurangan produk tersebut. Jika
dampak iklan sudah meresahkan masyarakat, reaksi yang muncul tidak sekedar
embargo massal untuk menggunakan produk tersebut tetapi bisa sampai pada tuntutan
tanggung jawab produsen secara legal.
Jika iklan memerankan diri sebagai alat propaganda perusahaan, berarti iklan
sengaja menggunakan usulan, imbauan emosional yang tidak relevan, dan bukti-bukti
palsu untuk mengelakkan proses pengambilan keputusan konsumen yang rasional. Hal
ini sangat berbahaya bagi perusahaan karena menurut Johansen (1990:127) ada tiga
alasan mengapa propaganda menjadi sesuatu yang sangat berbahaya dan
menghancurkan.
1. Propoganda adalah proses pembenaran diri dimana keadaan deskriptif tentang apa
berkembang menjadi suatu pemberian nilai tentang apa yang seharusnya.
2. Karena propaganda berfokus pada kesegeraan dan kekinian, ia menghancurkan
pengertian sejarah (kelangsungan generasi) dan pengertian filsafat (pencerminan
kritis tentang pengalaman) yang diperlukan bagi eksistensi moral
3. Karena propaganda melemahkan kekuatan kita dalam mengambil keputusan secara
sadar dan karena ia memaksakan situasi maka ia menghancurkan jenis-jenis
komunikasi timbal balik, bijaksana, antarpersona (partisipasi timbal balik,
pertemuan, dialog) yang diperlukan untuk membangun eksistensi etika (Hartono,
2000: 72).
1.2.3 Etika Bisnis Periklanan
Etika adalah standar moral yang mengatur perilaku yang mencakup: bagaimana
kita bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak. Pada dasarnya etika merupakan
dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab; antara tujuan yang hendak dicapai
dengan cara untuk mencapainya. Iklan berkaitan dengan penilaian perilaku: benar atau
tidak benar, baik atau tidak baik, pantas atau tidak pantas, berguna atau tidak berguna,
dan harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Penegakan etika dalam konteks
periklanan menjadi penting dikarenakan perlunya norma untuk mengeliminasi dampak
negatif dari aktivitas periklanan dan sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan
pengiklan.
Bertens (1993: 12-13 dalam Hartono, 2000: 72) membedakan kata “etika” dalam
tiga pengertian:
1. Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dipakai oleh seseorang atau suatu
kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya
ISSN 1858–3717
50
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
2. Etika dimaksudkan sebagai kumpulan prinsip dan nilai moral yang mengatur
perilaku suatu kelompok , khususnya suatu profesi atau sering disebut dengan kode
etik.
3. Etika mempunyai arti ilmu, di sini etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk; tentang yang dilakukan manusia dan yang tidak boleh
dilakukan mereka. Dalam artian ini etika disebut sebagai filsafat moral.
Persoalan etika tidaklah sederhana karena dalam praktiknya tidak ada etika
yang mutlak. Secara teoritis ada etika yang bersifat universal namun sistemnya tidak
bisa diterima secara universal, sehingga secara de facto tidak ada etika universal. Etika
terikat pada budaya (culture-bound) yang berkembang secara inheren dalam budaya
berbentuk filsafat atau pandangan hidup masyarakat. Sistem etika direkonstruksi bukan
bawaan dan dipelajari oleh setiap generasi. Individu mengembangkan dan menetapkan
etika melalui typications yang berasal dari stock of preconstituted knowledge mereka
untuk mencapai individu-individu, motif-motif, tujuan-tujuan dan pola-pola tindakan
(Hartono, 2000: 73).
Dalam konteks bisnis, iklan berkaitan dengan prinsip etika bisnis, khususnya
prinsip kejujuran dan otonomi. Artinya, iklan dituntut untuk selalu mengatakan hal yang
benar kepada konsumen tentang produk sambil membiarkan konsumen bebas
menentukan tindakan untuk membeli atau tidak membeli produk tersebut. Iklan sering
dianggap sebagai salah satu tolok ukur bisnis yang etis atau tidak, karena iklan
langsung menyangkut konsumen sekaligus persoalan penerapan prinsip kejujuran dan
otonomi konsumen. Iklan ikut menentukan penilaian nasyarakat mengenai baikburuknya kegiatan bisnis.
Sayangnya, karena kecenderungan terlalu besar untuk menarik konsumen agar
membeli barang produksi tertentu dengan memberi kesan dan pesan yang berlebihan
tanpa terlalu memperhatikan aspek kejujuran dan otonomi konsumen, iklan sering
menyebabkan citra bisnis tercemar sebagai kegiatan tipu-menipu (Sonny, 1995: 142143 dalam Hartono, 2000: 73).
Federasi Periklanan Amerika (The American Advertising Federation) berhasil
merumuskan Prinsip-prinsip Periklanan Bisnis Amerika (Advertising Principles of
American Business) yang secara garis besar berisi hal-hal sebaagai berikut.
1. Periklanan harus mengatakaan yang sebenarnya, dan sebaiknya menyatakan fakta
yang signifikan, tidak mencantumkan hal-hal yang menyesatkan masyarakat.
2. Klaim periklanan harus didukung oleh bukti yang dimiliki oleh pengiklan atau agen
periklanan, sebelum membuat klaim tersebut.
3. Pengiklan harus menahan diri dari membuat pernyataan yang salah, menyesatkan
atau tidak mendukung tentang pesaing atau tentang produk atau jasa pesaing
4. Pengiklan tidak boleh menawarkan produk atau jasa yang dijual, kecuali jika
penawaran tersebut merupakan usaha yang jujur untuk menjual produk atau jasa
yang diiklankan dan bukan alat untuk mengalihkan konsumen ke barang-barang
atau jasa lain, yang biasanya berharga lebih tinggi
5. Periklanan tentang jaminan dan garansi harus jelas
6. Periklanan harus menghindari klaim harga yang salah atau menyesatkan atau klaim
penghematan yang tidak menawarkan penghematan yang bisa dibuktikan.
7. Periklanan harus bebas dari pernyataan, ilustrasi, atau implikasi yang menghina cita
rasa yang baik atau kesopanan masyarakat.
Hal itu didasarkan atas keinginan untuk berperilaku secara etis dalam beriklan
agar tidak merugikan masyarakat atau perusahaan pesaingnya. Hal yang sama dilakukan
oleh Masyarakat Periklanan Indonesia dengan jalan menyusun Etika Pariwara
ISSN 1858–3717
51
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
Indonesia. Sikap pengelola dalam membuat komitmen dan menegaskan beberapa isu
penting periklanan tercakup dalam hal berikut:
1. swakrama, sebagai sikap dasar industri periklanan yang dianut secara
universal
2. menempatkan etika dalam struktur nilai moral yang saling dukung dengan
ketentuan perundang-undangan sebagai struktur nilai hukum
3. membantu khalayak memperoleh informasi sebanyak dan sebaik mungkin,
dengan mendorong digencarkannya iklan-iklan persaingan, meskipun dengan
syarat-syarat tertentu,
4. mengukuhkan paham kesetaraan jender, bukan sekadar persamaan hak,
perlindungan, ataupun pemberdayaan terhadap perempuan
5. perlindungan terhadap hak-hak dasar anak
6. menutup ruang gerak bagi eksploitasi dan pemanfaatan pornografi dalam
periklanan
7. membuka diri bagi kemungkinan terus berkembangnya isi, ragam, pemeran, dan
wahana periklanan
8. dukungan bagi segala upaya yang sah dan wajar untuk dapat meningkatkan belanja
per kapita periklanan nasional, dengan membuka peluang bagi beberapa
institusi tertentu untuk beriklan secara penuh ataupun terbatas.
Walaupun bukan hal yang mudah untuk dapat memformulasikan secara eksplisit
tentang perilaku etis dalam beriklan, paling tidak ada tiga prinsip dasar Johansen yang
mendukung pedoman etis dalam beriklan, yaitu:
1. Tanggung jawab utama untuk periklanan yang dapat dipercaya dan tidak menipu
terletak pada pengiklan. Pengiklan harus siap untuk membuktikan setiap klaim dan
menampilkan bukti dengan segera kepada media periklanan atau the better business
bureau.
2. Iklan-iklan yang tidak benar, menyesatkan, menipu, curang, menyepelekan para
pesaing atau tidak jujur menawarkan penjualan, tidak boleh digunakan.
3. Suatu iklan secara menyeluruh dapat menyesatkan, walaupun setiap kalimat secara
terpisah yang dipertimbangkan benar sewcara harfiah. Salah penggambaran
mungkin dihasilkan tidak hanya dari pernyataan langsung, tetapi dengan
menghilangkan atau mengaburkan fakta bahan (Hartono: 2000: 74).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika (ethics) adalah keyakinan
mengenai tindakan yang benar dan yang salah, dan tindakan yang baik dan yang buruk
yang mempengaruhi hal lainnya. Perilaku etis (ethical behaviour) adalah perilaku yang
mencerminkan norma-norma sosial yang diterima secara umum sehubungan dengan
tindakan-tindakan yang bermanfaat dan berbahaya atau perilaku yang mempengaruhi
hubungan internal dan eksternal. Selanjutnya, etika bisnis merupakan pembuatan
keputusan yang mempengaruhi pihak lainnya, baik perorangan maupun organisasi
(Griffin dan Ebert, 1996: 118-119). Etika periklanan adalah etika yang dituntut kepada
produsen untuk menggunakan format standar dalam memberikan informasi bahanbahan yang terkandung dalam kemasan produk .
1.2.3 Efektifitas Bisnis Periklanan
Manfaat iklan terbesar adalah membawa pesan yang ingin disampaikan oleh
produsen kepada khalayak ramai. Iklan menjangkau berbagai daerah yang sulit
dijangkau secara fisik oleh produsen melalui siaran televisi atau radio. Bagi produsen
yang dapat memanfaatkan kreativitas iklan, strategi iklan yang tepat dapat menjadikan
biaya operasional yang secara nominal besar menjadi murah.
ISSN 1858–3717
52
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
Salah satu pertimbangan dalam mengukur efektifitas iklan adalah
mengaitkannya dengan tujuan promosi yang akan dicapai. Rossister dan Percy (1987
dalam Hartono, 2000: 74) mengklasifikasikan tujuan promosi ke dalam lima tingkatan:
1. Category need: menumbuhkan persepsi pembeli terhadap suatu kebutuhan
2. Brand awarness: memperkenalkan dan memberi pemahaman tentang suatu
produk kepada konsumen
3. Brand attitude: mendorong pemilihan terhadap suatu produk
4. Brand purchase intention: memberikan ‘instruksi’ agar konsumen tergerak dan
bertindak atau membeli suatu produk
5. Puchase fasilitation: upaya mendukung kelemahan faktor pemasaran lainnya
Bagi konsumen, manfaat terbesar yang diharapkan dari iklan adalah: untuk
memperoleh
informasi yang selengkap-lengkapnya mengenai suatu produk;
memperluas alternatif bagi konsumen; mengetahui adanya berbagai produk, yang pada
gilirannya menimbulkan pilihan.
Menurut Hartono, berbagai sudut pandang yang muncul dalam menilai
efektifitas suatu iklan sebetulnya dapat diklasifikasikan dalam dua sudut pandang:
1. Dampak program pemasaran, yakni berkaitan dengan penjualan suatu
produk tertentu
2. Dilihat dari dampak yang timbul dalam masyarakat luas, dalam arti opini,
bahkan mungkin tindakan
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran mendalam tentang etika bisnis
perusahaan pemasang iklan di TV dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dari
latar yang alami (natural setting) tayangan iklan televisi sebagai sumber data langsung.
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripsikan data secara
menyeluruh dan utuh mengenai etika bisnis dalam tayangan iklan pada lembaga
penyiaran televisi.
Rancangan penelitian ini adalah studi multi kasus, karena subjek yang diteliti
lebih dari satu, begitu juga dengan latar atau tempat penyimpanan datanya. Sesuai
dengan pernyataan Bogdan dalam Arif (2009: 43) menyatakan penelitian dengan subjek
yang lebih dari satu menggunakan jenis studi multikasus (1998: 62). Studi multikasus
berusaha mengkaji
beberapa subjek tertentu dan memperbandingkan atau
mempertentangkannya. Perbandingan tersebut mencakup persamaan dan perbedaan.
Aturan umumnya, subjek yang diperbandingkan harus harus sejenis dan sebanding
(Wahab, 1999: 92 dalam Arif, 2009:43). Setiap tempat bisa menjadi subjek studi kasus
individual dan secara keseluruhan penelitian tersebut menggunakan desain multikasus
(Yin, 2008: 54).
Sehubungan dengan itu peneliti mengambil subjek Stasiun TV yang sama-sama
berjenis swasta dari lembaga penyiaran TV di Jakarta. Kesepuluh stasiun TV tersebut
bersiaran secara nasional dengan hanya menggunakan stasiun relay/ transmitter di setiap
daerah, termasuk ke Sumatera Barat. Lembaga penyiaran TV yang menjadi objek
penelitian ini adalah: ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, MNC TV, RCTI, SCTV,
Trans 7, Trans TV, dan TV One. Kesepuluh TV tersebut dinilai memiliki jaringan ke
daerah.
Kasus yang diteliti adalah iklan TV pada lembaga penyiaran TV swasta Jakarta
yang memiliki latar dan segmen berbeda selama 2012. Rancangan studi multikasus
dilakukan sebagai upaya pertanggungjawaban ilmiah berkenaan dengan kaitan logis
antara fokus penelitian, pengumpulan data yang relevan, dan analisis data hasil
penelitian. Penerapan rancangan studi multi kasus dimulai dari kasus tunggal (sebagai
ISSN 1858–3717
53
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
kasus pertama) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan pada kasus kedua. Kasus berupa
konsep yang diteliti dalam penelitian ini adalah konten atau substansi dari iklan yang
dianggap melakukan pelanggaran terhadap etika bisnis dalam proses bekerjanya
produksi dan reproduksi realitas televisi melalui:
1. tahap pertama adalah ”reality” yang berwujud penampilan, pakaian, make up,
lingkungan, perilaku, gaya bicara, gerak-gerik, ekspresi, suara dan sebagainya.
2. tahap kedua representation teve menggunakan kamera, penyinaran, editing, musik,
suara untuk membuat ”cerita” yang berbentuk narasi, konflik, action, dialog,
setting, casting, dan sebagainya.
3. dan tahap ketiga disebut ideologi yang merupakan organisasi dari kode-kode
ideologi secara koheren dan dapat diterima; individualisme, ras, materialisme,
kapitalisme, dan sebagainya (1987)
Mengingat penelitian ini menggunakan rancangan studi multikasus, maka dalam
menganalisis data dilakukan dua tahap: yaitu: 1) analisis data kasus individu
(individual case), dan 2) analisis data lintas kasus (cross case analysis (73. Robert K.
Yin, “Case Study Reserach and Methods”, diterjemahkan oleh M. Djauzi Mudzakir,
Studi Kasus: Desain dan Metode, hlm. 61).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Selain mengacu pada perilaku etis beriklan sesuai tiga prinsip dasar Johansen
dan metode analisis deskriptif kualitatif, penelitian ini juga didasarkan pada bahasan
atas ketentuan-ketentuan yuridis: UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika No. 25/PER/M.KOMINFO/5/2007 Tentang
Penggunaan Sumber Daya Dalam Negeri Untuk Produk Iklan yang Disiarkan Melalui
Lembaga Periklanan, Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 02/P/KPI/12/2009
tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 03/
KPI/12/2009 Tentang Standar Program Siaran, dan Etika Pariwara Indonesia (EPI)
Tahun 2005.
Selain peraturan utama tersebut digunakan sejumlah peraturan yang dapat
dikatakan sebagai peraturan tambahan yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut
hal-hal yang tidak diatur secara jelas dalam peraturan utama tadi. Peraturan tersebut
adalah sebagai berikut: UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU
No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Peraturan Pemerintah No. 69
Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 386/Men.Kes/SK/IV/1994 Tentang Pedoman Periklanan Bebas,
Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga,
Makanan-Minuman.
Pelanggaran Pedoman Etis 1
Hasil penelitian membuktikan bahwa tiga prinsip dasar Johansen yang
mendukung pedoman etis dalam beriklan masih belum dijalankan sepenuhnya oleh
pengiklan di sepuluh stasiun TV swasta Jakarta yang bersiaran nasional. Itu terbukti dari
segi tanggung jawab utama perusahaan yang dapat dipercaya dan tidak menipu, siap
untuk membuktikan setiap klaim dan menampilkan bukti dengan segera kepada media
periklanan atau the better business bureau masih terdapat sepanjang tahun 2012.
Kasusnya mencapai 4 kasus (penggunaan kata-kata superlatif “paling”, “nomor satu”,
ISSN 1858–3717
54
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
“top”, dan awalan “ter-“); penggunaan kata “100%”, “murni”, dan “asli”; penggunaan
kata-kata “satu-satunya”; dan pencantuman kata diskon/ pelanggaran peraturan
pemerintah). Semua itu dibuktikan dalam Tabel 3.1.
Awal tahun, iklan Kartu AS di SCTV, iklan Suzuki Nex di RCTI, iklan BSI di
Trans TV teridentifikasi menggunakan kata-kata superlatif “paling”, “nomor satu”,
“top”, dan awalan “ter-“. Beberapa iklan menggunakan persentase untuk
mengungkapkan kelebihan produknya dengan tanda “%” padahal kebenarannya belum
dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari lembaga otoritas terkait atau sumber
outentik. Di samping itu ada pula yang yang menggunakan kata “asli” bahkan iklan
Teh Rio menggunakan kalimat: “Kualitas dunia teh asli!”. Beberapa iklan nekad
mencantumkan kata-kata “satu-satunya” seperti Larutan Penyegar yang ditayangkan
Indosiar dan Mie Sedap yang ditayangkan SCTV.
Tabel 3.1 Pelanggaran Pedoman Etis 1
No.
1.
2.
Deskripsi Pelanggaran
Penggunaan
Kata-kata
Superlatif
“paling”,
“Nomor satu”, “Top”,
dan Awalan “Ter-“
Penggunaan
Kata
“100%”,
3
Penggunaan kata “murni”
4
Penggunaan kata “asli”
5
Penggunaan
kata-kata
“satu-satunya”.
6
Pencantuman Kata
Diskon/ Pelanggaran
Peraturan Pemerintah
Iklan
Kartu AS
Suzuki Nex
BSI
Stasiun TV
SCTV
RCTI
Trans TV
Nutrisari
Jus Sayuran Typco
Indosat
Teh Gelas
Ladaku
Juice Buavita
Teh Rio
Teh Botol Sosro
Trans TV
SCTV
SCTV
Larutan Penyegar
Mie Sedap
Kartu Facebook
Bank Danamon
Chang Jiang pada
Hongkong TCM
Cang Jiang Clinic
TCM
Klinik Tong Fang
Klinik Tong Fang
P-King TCM
Tay San TCM
Tefaron
Waktu Tayang
Februari 2012
Trans TV
RCTI
Indosiar
Trans TV
Juni 2012
Indosiar
SCTV
Trans TV
MNC
semua stasiun
semua stasiun
semua stasiun
Juni 2012
26 April 2012
18 Juni 2012
8 Juli 2012 di
semua stasiun
RCTI & TV One
semua stasiun
Metro TV & Trans 7
semua stasiun.
31 Mei 2012
8 Juli 2012
31 Mei 2012
8 Juli 2012
18 Juni 2012
Februari 2012
__________________________________________________________________
Keterangan: gambar-gambar iklan Tong Fang yang diparodikan oleh pengguna jejaring
sosial, facebook dan tweeter (igcomputer.com, unikanehdidunia.blogspot.com).
___________________________________________________________________
Gambar 3.1 Parodi Tayangan Iklan Klinik Tong Fang
ISSN 1858–3717
55
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
Rayuan kata diskon atau potongan harga umumnya didominasi oleh iklan obatobatan atau klinik dari luar negeri, seperti Chang Jiang, Hongkong TCM, Cang Jiang
Clinic TCM pada 8 Juli 2012 yang ditayangkan di semua stasiun. Klinik Tong Fang
paling populer pada 2012. Iklan klinik Tog Fang adalah salah satu contoh upaya
kembali ke masa lalu (pastiche) yaitu kembali kepada berbagai sumber masa lalu
(genus) meski masa lalu itu kini, menjadi milik siapa saja (promiscuity) bukan hanya
milik pewarisnya.
“Dulu saya menderita diabetes yang parah, namun setelah berobat ke klinik
Tong Fang, penyaklt saya tidak kambuh lagi…Terimakasih Tong Fang…”
Demikian cuplikan testimoni iklan klinik kesehatan Tong Fang yang
menerapkan metode pengobatan Cina. Klinik Tong Fang tersebut menyedot perhatian,
karena begitu sering muncul di televisi dan dianggap melanggar Etika Pariwara
Indonesia serta ditegur oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia
sempat resah dan DPR pun sempat memanggil pengelolanya karena iklan tersebut
dicurigai melakukan praktik kebohongan.
Sebelum 2012, ungkapan superlatif paling menonjol ditayangkan oleh iklan
perumahan mewah Mediterania membenarkan ketidaksamaan sosial dengan membagi
ke dalam istilah “unggul” dan “lebih rendah” yang disesuaikan dengan “mahal” dan
“murah” atau “kaya” dan “miskin”. Perhatikan makna tersirat dari kata yang dicetak
tebal yang dinyatakan oleh presenternya.
“Terletak di kawasan 800 ha, Bukit Golf Mediterania di Kawasan Kapuk, tidak
diragukan lagi, semakin mahal” [makna pertentangannya: semakin murah]
dan lebih indah [makna pertentangannya lebih buruk].
Makna yang dituju dari kata yang dicetak tebal “semakin mahal” dan “semakin
indah” itu tentulah area bukit golf di kawasan perumahan Kawasan Kapuk yang secara
tidak langsung juga menyatakan kondisi yang serupa dengan lapangan golfnya. Jika
perumahan di Kawasan Kapuk itu semakin mahal dan indah, itu dibuktikan dari
visualisasinya yang seperti istana, perumahan yang dijadikan pembandingnya tentulah
perumahan yang murah, dan buruk, yang bisa terendam banjir, misalnya. Ironisnya,
iklan tersebut muncul di saat sebagian besar masyarakat menunggu informasi tentang
akibat banjir yang menghanyutkan anak kecil dan menewaskan orang dewasa di
beberapa daerah di Tanah Air. Indonesia menjelang penghujung tahun mengalami
musim hujan lebat yang serempak di beberapa provinsi (Adona, 2007).
Pelanggaran Pedoman Etis 2
Selanjutnya iklan-iklan yang termasuk kategori tidak benar, menyesatkan,
menipu, curang, menyepelekan para pesaing atau tidak jujur menawarkan penjualan
mencapai 6 kasus (membanding-bandingkan; merendahkan produk pesaing;
penggunaan kata-kata “gratis”; pencantuman harga; penggunaan kata dan logo halal;
dan pelanggaran jam tayang). Perhatikan Tabel 4.1.
Iklan Kartu AS, Suzuki Nex, dan BSI teridentifikasi menggunakan kata-kata
superlatif “paling”, “nomor satu”, “top”, dan awalan “ter-“. Iklan Minuman Jus Sayuran
Typco, Kartu Indosat, dan Nutrisari menggunakan kata atau kalimat tertentu dan tanda
“%” untuk menggambarkan kelebihan tertentu dari produknya, namun kebenarannya
belum dapat dipastikan dengan bukti pernyataan tertulis atau pengakuan dari otoritas
terkait atau sumber yang outentik. Iklan Teh Gelas, Ladaku menggunakan kata
“murni”, sementara Minuman Juice Buavita, Teh Rio, dan Teh Botol Sosro
menggunakan kata “asli”, bahkan iklan Teh Rio nekad menggunakan kalimat: “Kualitas
dunia teh asli!”. Iklan Larutan Penyegar, Mie Sedaap, Kartu Facebook (Telkomsel), dan
Bank Danamon secara gamblang menggunakan kata-kata “satu-satunya”.
ISSN 1858–3717
56
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
Iklan obat-obatan atau klinik dari luar dominan menayangkan kata diskon atau
potongan harga, seperti Chang Jiang, Hongkong TCM, Cang Jiang Clinic TCM, Klinik
Tong Fang, P-King TCM, Tay San TCM, dan Tefaron. Sebagian iklan tersebut
menampilkan adegan adegan testimonial pasien dan pemberian harga khusus jika pasien
berobat di klinik tersebut. Hal ini tidak diperbolehkan dalam Peraturan Menteri No.
1787 Tahun 2010 Tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan.
Tabel 4.1 Pelanggaran Pedoman Etis 2
No.
1
2
3
4
5
6
Deskripsi Pelanggaran
Membandingbandingkan
Merendahkan Produk
Pesaing
Penggunaan Kata-kata
“Gratis”
Pencantuman Harga
Penggunaan Kata dan
Logo Halal
Pelanggaran
Jam
Tayang
Iklan
Kispray Conditioner
Stasiun TV
SCTV
Waktu Tayang
Februari 2012
Dove
SCTV
Dettol
Lifeboy
Dove Facial Wash
Rexona
Iklan 3
Kartu AS Versi Sule
Kartu AS
IM3
Kartu
Facebook
(Telkomsel)
AXIS
TV One
MNC TV
MNC TV
MNC TV
SCTV
Trans TV
Global TV
SCTV
Global TV
14 Juli 2012 jam
07.23 WIB
Juli 2012
*
*
*
*
*
ANTV & Trans 7
*
Kartu IM3 Versi Raisa
IM3 Versi “Loe Gue
End”
XL Versi Nina Bobo
Fair & Lovely
Multivitamin Versi
Shiren Sungkar
SGM Bunda
Lifeboy Bodywash
Baru
Molto Ultra
Top
Coffee
Versi
Nikita Willy
Iklan Close Up Deep
Action Baru
Neo Hemaviton
Woman Choice
Neo Hemaviton
Woman Choice
RCTI
Indosiar
Februari 2012
September 2012
Juni 2012
SCTV
MNC TV
*
MNC TV
MNC TV
*
*
MNC TV
*
*
RCTI
September 2012
semua stasiun
semua stasiun
semua stasiun
semua stasiun
13 Agustus 2012
10 Juli 2012
*
*
Keterangan: * = sporadis
Upaya merendahkan produk pesaing masih terdapat pada tayangan iklan 3 yang
menggambarkan produk dengan warna kuning Indosat dan biru untuk XL sebagai
sindiran untuk mendapatkan fasilitas harus memenuhi ketentuan yang berlaku terhadap
produk tersebut. Iklan Kartu AS Versi Sule baju putih freezer merendahkan produk
pesaing dengan menggunakan warna serta visualisasi wanita warna hijau di dalam
freezer.
Pada 2008, Adona pernah membahas masalah perang tarif di kalangan iklan
telepon seluler. Ia mengutip pernyataan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI) dan Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) yang minta agar iklan
ISSN 1858–3717
57
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
telepon seluler Esia milik PT Bakrie Telecom Tbk. direvisi. Pasalnya, iklan itu dinilai
kurang etis dan mendiskreditkan operator lain. Anggota BRTI, Heru Sutadi mengatakan
operator sebaiknya tidak membuat materi iklan yang frontal sebab dampaknya dapat
memicu operator lain untuk berbuat hal yang sama sehingga bisa menghambat
pembukaan interkoneksi karena ada operator yang sakit hati. Berikut adalah iklan
telepon seluler Mentari yang perang tarif saat itu dengan XL.
______________________________________________________________________
Perang Tarif Iklan Seluler Mentari
Narasi Pelelangan Harga Pulsa Telepon
Versus XL
Seluler Mentari:
“Hah, sepuluh? Penawaran lebih murah dari
sepuluh?” “Tiga? Ya tiga satu kali” “Satu?
Ya, satu, satu kali; satu dua kali”. “0
(kosong)? Ngobrol sepuasnya”. “Emang ada
yang lebih murah dari 0 rupiah? Ayo itung
lagi!”
Seperti sedang adu mulut, tantangan
terbuka itu langsung ditanggapi XL lebih
vulgar lagi:
“Tong kosong nyaring bunyinya. Hati-hati
janji Si Nol!
Sumber : Foto Liyen Zerwen
______________________________________________________________________
Pelanggaran Pedoman Etis 3
Sementara itu, iklan yang termasuk dapat menyesatkan atau salah penggambaran
yang mungkin dihasilkan dari pernyataan langsung, penghilangkan atau pengaburan
fakta mencapai 6 kasus juga (penggunaan bahasa asing dan model asing; penggunaan
tenaga profesional; tayangan seks/ pornografi; tayangan yang tidak pantas/ melanggar
norma kesopanan; tayangan kekerasan; dan tayangan berbahaya). Tabel berikut
membuktikannya.
Sepanjang 2012, iklan Ponds White Beauty Aquaproff, Magnum, YOUC1000
kemasan 1000 mg versi Manny Pacquiao melakukan pelanggaran
dengan
mengggunakan bahasa asing. Susu Bayi Nestle Lactogen 3 menggunakan soundtrack
bahasa asing “baby (cover version), begitu juga dengan Silver Queen, Delipo dan
Glacelde Pucele. Di sisi lain, alasan pemaksaan penggunaan sumberdaya dalam negeri
tanpa melakukan “assessment” menyeluruh terhadap semua pemangku kepentingan
(stakeholders) industri iklan dinilai perusahaan pengiklan berakibat meningkatnya biaya
dan masa pembuatan iklan, pengalihan biaya iklan dari TV ke media lain, kenaikan
harga produk, dan menurunnya daya saing regional/global.
Iklan sabun Lifeboy, Scotts Emulsion Versi Media Facts, dan Pepsodent Sensitif
Expert masih berusaha melakukan pengelabuan dengan menggunakan aktor yang
memainkan peran sebagai tenaga kesehatan, lengkap dengan atribut dan seragam
formalnya untuk menunjukkan kalau produk yang diiklankan tersebut dapat dipercaya.
Beberapa siaran iklan masih saja menayangkan seks/ pornografi. Khusus
pariwara Sani Musik menayangkan lagu berjudul "Hamil Duluan" yang bermuatan seks
secara eksplisit dengan lirik yang peredarannya dilarang pada tahun sebelumnya:
"awalnya ku cium-ciuman/ akhirnya aku peluk-pelukan/ kuhamil duluan/ sudah
tiga bulan/ gara-gara tidurnya berduaan ...".
ISSN 1858–3717
58
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
Axe (Versi Kencan dengan Bidadari) menayangkan adegan seorang pria yang
seolah-olah telah melakukan hubungan intim dengan seorang bidadari. Bukrim Gel
menayangkan adegan seksual, tidak mengindahkan norma kesopanan dan kesusilaan,
serta perlindungan terhadap anak dan remaja. French Fries French Fries menayangkan
adegan seorang wanita berbaju merah yang cukup terbuka di bagian dada sehingga
belahan dadanya terlihat jelas. Mesin Cuci Sharp Dolphin Wave menampilkan adegan
mengeksploitasi bokong secara close up dan dua orang model melakukan gerakan tubuh
atau tarian erotis.
Shimizu menayangkan seorang model perempuan yang
mengeksploitasi tubuh bagian dada dengan cara menggoyang-goyangkan bagian dada
(payudara) dan menampilkan toko obat kuat dan narasi tentang percakapan yang
menyinggung aktivitas seksual.
Tira Jeans (Versi Kegiatan di Kamar Kecil) menampilkan adegan seorang pria
yang mungkin salah masuk ke kamar kecil wanita. Tiba-tiba seorang wanita membuka
pintu toilet itu untuk memanfaatkan kamar toilet itu juga. Wanita kaget, namun ia
segera memberikan kode dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya agar pria tersebut
diam dan wanita itu ikut masuk ke dalam kamar toilet itu. Iklan ditutup dengan
mencantumkan tulisan: "guess what happens next".
Always On (Versi Perempuan) tidak memperhatikan ketentuan tentang
perlindungan kepada anak-anak dan remaja serta norma kesopanan. Nutrilon Royal
menampilkan adegan ciuman yang tidak mengindahkan larangan atas adegan seksual
serta perlindungan terhadap anak. Sensitife Compact menayangkan seorang wanita
yang duduk di atas kloset sambil memperagakan alat tes kehamilan. Standard Chartered
menayangkan seorang laki-laki dewasa yang berciuman bibir dengan anak perempuan.
Air Asia (Versi Cuti) menayangkan adegan seorang pria yang marah karena
mesin fotokopi kantor tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ia menendang mesin
tersebut sampai rusak. Gery Chocolatos menayangkan adegan seorang anak di dalam
kulkas dan berkata: "Makan chocolatos, Kak. Katanya kalau masuk dalam kulkas lebih
enak", sedangkan Jagoan Neon menayangkan adegan empat orang anak yang bersepeda
melompati jurang. Lebih berbahaya lagi, Susu Bonetto menayangkan seorang anak
dengan kaki terikat dan tangan memegang benda berbentuk segitiga ditarik berlawanan
arah dengan tali oleh dua kelompok anak, dan anak tersebut terjatuh.
Khusus untuk iklan Ponds, Wulandari, dkk menyatakan bahwa secara eksplisit
wanita berwajah Indo (keturunan Indonesia-Eropa) sebagai model iklan merupakan
wanita ideal yang dikonstruksi oleh iklan Ponds. Konstruksi tersebut memberikan
dampak psikologis bagi setiap wanita dan akan menjadi budaya masyarakat. Dampak
psikologis itu adalah wanita merasa kurang percaya diri akan dirinya sendiri dan
berkeinginan untuk memutihkan kulit serta berpenampilan menarik seperti model iklan
Ponds. Konstruksi yang dibuat iklan Ponds itu akan menjadi mitos (suatu anggapan
yang dibenarkan oleh sekelompok masyarakat). Apa yang menjadi standar kecantikan
dan penampilan pada benak wanita saat ini merupakan akibat adanya mitos kecantikan
yang dibawa oleh suatu iklan yang telah menjadi budaya masyarakat (2006: 240).
Efektivitas untuk sebagian iklan yang ditayangkan selama tahun 2012 dinilai
masih kurang efektif karena masyarakat dan konsumen dirugikan. Dengan adanya
instruksi dari badan regulator untuk mengubah tayangan iklan sesuai aduan masyarakat
berarti perusahaan pun dirugikan karena harus mengulang produksi iklan yang direvisi.
Kasus ulang produksi terdapat pada iklan Bukrim dan penyensoran berlaku untuk
videoklip “Hamil Duluan” dari Sani Musik.
Sekaitan dengan kemunculan respon, opini seseorang yang muncul sebagai hasil
interpretasi pesan iklan akan berkembang menjadi opini umum (public opinion) dalam
masyarakat. Kemampuan mengendalikan opini adalah salah satu ukuran efektifitas
ISSN 1858–3717
59
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
iklan. Bukan tidak mungkin, suatu iklan justru menimbulkan adanya opini yang
melenceng dari tujuan yang diharapkan perusahaan, seperti yang dialami oleh iklan
yang termasuk Melanggar Pedoman Etis 3. Di sinilah diperlukan kehati-hatian
pengiklan untuk mengirim pesan yang proporsional, baik dalam dimensi bisnis ataupun
etis agar mampu menimbulkan reaksi positif dari publik.
Tabel 3.1 Pelanggaran Pedoman Etis 3
No.
Deskripsi
Pelanggaran
Penggunaan Bahasa
Asing dan Model
Asing
Penggunaan Tenaga
Profesional
Tayangan
Pornografi
Seks/
Iklan
SCTV
Metro TV
*
Magnum
YOUC1000 kemasan 1000 mg
versi Manny Pacquiao
Susu Bayi Nestle Lactogen 3
Silver Queen
Delipo
Glacelde Pucele
Lifeboy
Scotts Emulsion Versi Media
Facts
Pepsodent Sensitif Expert
Sani Musik
Axe (Versi Kencan dengan
Bidadari)
Axe (Versi Kencan dengan
Bidadari)
TV One
SCTV
Februari 20112
*
French Fries
Mesin Cuci Sharp Dolphin
Wave
Shimizu
yang
Pantas/
Norma
Tayangan
Kekerasan
Tayangan
Berbahaya
Waktu Tayang
Ponds White Beauty
Aquaproff
Bukrim Gel
Tayangan
Tidak
Melanggar
Kesopanan
Stasiun TV
SCTV
Juni 2012
*
MNC TV
MNC TV
Juli 2012
*
*
MNC TV
ANTV
semua stasiun
*
11 Januari 2012
25 Juni 2012
Trans TV
Global TV
Indosiar
SCTV
TV One
Trans 7
semua stasiun
semua stasiun
Trans 7 & RCTI
semua stasiun
pada 16, 17, 20 Juli
2012, 13 Agustus
2012
26 April 2012
24 Juli 2012
13 Oktober 2012
16 Agustus 2012
RCTI
16 Agustus 2012
Tira Jeans (Versi Kasus di
Kamar Kecil)
Always On (Versi Perempuan)
Nutrilon Royal
Sensitife Compact
Standard Chartered
semua stasiun
27 Juli 2012
semua stasiun
semua stasiun
semua stasiun
semua stasiun
9 Agustus 2012
20 April 2012
1 Agustus 2012
1 Agustus 2012
Air Asia (Versi Cuti)
semua stasiun
17 Januari 2012
Gery Chocolatos
Jagoan Neon
Jagoan Neon
Susu Bonetto
ANTV
Global TV
Indosiar,
MNC TV
RCTI
semua stasiun
31 Mei 2012
31 Mei 2012
1-2 September
2012
5 Januari 2012
Keterangan: * = sporadis
ISSN 1858–3717
60
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
4. PENUTUP
4. 1 Simpulan
Praktik periklanan masih saja melanggar etika bisnis periklanan. Kenyataan ini
makin memperkuat kecenderungan sebagian masyarakat Indonesia yang sudah sampai
kepada dunia hiperrealitas: kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan, dan
kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang
informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Jika hal itu dibawa ke
dalam konteks tayangan iklan televisi, pemirsa tidak dapat lagi membedakan antara
kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas.
Konsumen dan produsen belum bergeser dari peka harga ke peka nilai. Itu
tercermin dari praktik perang harga dan diskon dalam tayangan iklan.
Di sisi lain, banyak pemasang iklan (advertiser) ataupun agensi periklanan yang
masih menggunakan sumberdaya dan fasilitas asing dengan pertimbangan biaya yang
lebih kompetitif dan/atau kualitas hasil yang lebih baik. Pihak terkait perlu mensiati
masalah ini supaya tidak berlarut.
Iklan yang baik adalah yang bisa memberikan manfaat, bukan saja bagi
produsen tapi juga pada audien dan yang terpenting tidak menimbulkan demonstration
effect dan konsumtivisme masyarakat. Dalam hal ini, konsumen membeli produk atas
dasar pertimbangan kebutuhan dan hal itu ditunjang oleh kejujuran informasi yang
merupakan syarat mutlak suatu iklan.
Iklan yang baik juga harus mempunyai visi ke depan yang berkaitan dengan
tanggung jawab sosial, terutama terhadap masalah-masalah lingkungan, kemiskinan,
dan moralitas masyarakat. Kenyataannya, sebagian pengiklan bukannya menyisipkan
pesan-pesan sosial dan moral dalam iklan produknya, malahan melukai rasa susila
masyarakat dengan justru menonjolkkan muatan seks dan pornografi.
Iklan yang mengumbar diskon membuktikan bahwa sebagian pengiklan belum
sepenuhnya mampu mengikuti peraturan yang diterapkan pemerintah serta
pertimbangan social effect yang bakal terjadi. Iklan yang berbau pornografi, rasialisme,
sadisme, melecehkan ‘sesuatu’ atau mengarahkan masyarakat pada konsumtivisme dan
kecemburuan sosial belum sepenuhnya dapat dihindarkan pada tahun 2012.
Penelitian ini berhasil menemukan proposisinya, yakni: pelanggaran etika bisnis
periklanan ditentukan oleh industri periklanan, peristiwa kehidupan dan persaingan
industri, dan kamerawan televisi atau industri periklanan, serta kekuatan lain
pandangan atau konsep tertentu (yang dalam hal ini dipahami sebagai ideologi)!”
4.2 Saran
Meskipun sebagian konsumen Indonesia hidup dalam dunia hiperrealitas, namun
keberadaan lembaga regulator yang kompeten dan pengawasan dari instansi terkait dan
masyarakat akan membuat mereka menjadi pintar: menghargai nilai, harga, kualitas,
layanan, kecepatan, dan proses produksi. Perusahaan pengiklan juga dituntut untuk
tidak gegabah beranggapan bahwa slogan atau janji kosong akan membujuk konsumen
untuk membeli produk yang ditawarkan. Konsumen membutuhkan semua informasi dan
kejujuran produsen dan pengiklan.
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, David A and Myers, John G., 1982. Advertising Management. Mc-Graw-Hill,
Inc
Abdul W, 1999. Menulis Karya Ilmiah. Surabaya: Airlangga University Press.
Arif, M. J. 2009. Kinerja Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Dalam Membina
Peningkatan Profesionalisme Guru Pada Lembaga Pendidikan Islam (Studi Multi
ISSN 1858–3717
61
Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012
Kasus di SDI Surya Buana dan SD Insan Amanah Malang. (Tesis UIN, Malang).
http://lib.uin-malang.ac.id/., 7 September 2012
Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. 1982. Qualitative Research for Education: An
Introduction to Theory and Methodes, Needham Heights, MA: Allyn Bacon, Inc.).
Dewan Periklanan Indonesia. 2007. Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.
Terbitan Khusus, Dewan Periklanan Indonesia, Jakarta
Fitri A., 2007. Kekerasan Simbolik Dalam Iklan Televisi: Analisis Citra Perusahaan
Indonesia, Laporan Penelitian Hibah Riset Fundamental, Dirjen Dikti.
______., 2008. Kekerasan Dalam Emotional Branding: Analisis Citra Perusahaan
Indonesia, Laporan Penelitian Hibah Riset Fundamental, Dirjen Dikti.
Griffin, Ricky W. dan Ebert, Ronald J. Bisnis (terj. Edina Cahyaningsih Tarmidzi).
Jakarta: Prenhallindo
Hartono., 2000. Moralitas Iklan: Menghindari Keterjebakan Produsen dari Praktik
Periklanan, Jurnal Siasat Bisnis. No. 5 Vol. 1 Th. 2000: 65-77. Yogyakarta:
Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia.
Jefkins, F. F., 1982. Introduction to Marketing, Advertising, and Public Relations.
London: Macmillan Press Ltd.
Komisi Penyiaran Indonesia, 2011. Laporan Tahunan Lembaga Negara Independen,
Terbitan Khusus.
Kotler, P., 1994. Marketing Management: Analysis, Planning, and Control. PrenticeHall Inc.
Priyambodo, RH. 2011. Belanja Iklan Tumbuh 20%. http://www.antaranews.com. 11
Desember 2011
Rajagukguk, E., 1993. Hukum Bisnis yang Dicita-citakan Dalam Hubungannya dengan
Etika Bisnis. dalam Usahawan No.7 Th. XXII. Agustus 1993: 18-24.
Rendra W., 2007. Bias Gender Dalam Iklan Televisi, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 5,
No. 1, Januari-April 2007.
Rhenald K., 1995. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Sonny A. K dan Imam R. H., 1995. Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis Sebagai
Profesi Luhur. Yogyakarta: Kanisius.
Steiner, G. A., and John F. S., 1994. Business, Government, and Society: A Managerial
Perspective. USA: Mc.GrawHill.
Tri W., dkk. 2006. Representasi Kecantikan Wanita Dalam Iklan, Jurnal Ilmu
Komunikasi, Vol. 4, No. 3, September-Desember 2006. Yogyakarta: UPN
Veteran.
Yin, R. K., 2000, Studi Kasus: Desain dan Metode (terj. M. Jauzi Mudzakir). PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta
ISSN 1858–3717
62
Download