Pembuktian dalam Transaksi Elektronik di Indonesia dan Singapura

advertisement
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pembuktian
Bukti, pembuktian, atau membuktikan dalam hukum Belanda disebut “bewijs”
dan dalam Hukum Inggris disebut proof dan evidence. Menurut Prof. Dr. R.M.
Soedikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai arti yuridis. Dalam ilmu hukum
tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi
setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi
merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam
arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang
memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak
menuju pada kebenaran mutlak. Hal ini terlihat karena adanya kemungkinan bahwa
pengakuan, kesaksian, atau surat-surat yang tidak benar atau dipalsukan. Maka dalam
hal ini dimungkinkan adanya bukti dari lawan.1
Pengertian mengenai Pembuktian juga dikemukakan oleh R.Soebekti,
pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan.2 Penulis berpendapat yang di maksud
dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata
1
Ahmad Ali. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2013, hal. 16.
2
R.Soebekti, Hukum Pembuktian, Pradnyparamita, Jakarta, 1978, Hal. 35.
15
16
maupun pidana, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan
dengan prosedur khusus, untuk mengetahui suatu fakta atau pernyataan, khususnya
fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan
dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan.
Menurut asas hukum acara perdata, hakim dianggap mengetahui akan
hukumnya, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis dan hakimlah
yang bertugas menerapkan hukum perdata (materil) terhadap perkara yang diperiksa
dan diputuskannya. Pasal 1865 B.W. mengatakan bahwa: barang siapa mengajukan
peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan
peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna
pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.
Ini berarti bahwa penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian.
Terutama penggugat
wajib membuktikan gugatannya, dan tergugat
wajib
membuktikan sangkalannya. 3
Dengan pembuktian dalam proses perdata, bertujuan untuk menyelesaikan
persengketaan para pihak yang berperkara, dengan jalan seadil-adilnya, dengan
member kepastian hukum baik bagi para pihak yang berperkara maupun masyaralat
pada umumnya.4
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Jika majelis
hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan
3
Ibid
Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Hukum Perdata, Kencana Prenandamedia,
Jakarta, hal., 59.
4
17
dijatuhkan kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan
kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.5
Mencari kebenaran materil itu tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia
menurut undang-undang sangat relatif. Bagi majelis hakim harus benar-benar sadar
dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan
selama pemeriksaan persidangan.6 Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur
dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh mansia yang pada dasarnya mempunyai
sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja
terjadi beberapa orang akan berbeda-beda.
Oleh karena itulah, dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling
dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami
peristiwa tersebut. Di usahakanlah memperoleh pengakuan terdakwa tersebut dalam
pemeriksaan, yang akan menentramkan hati hakim yang meyakini ditemukannya
kebenaran materil itu.
Dalam alasan mencari kebenaran materil itulah maka asas akusator (accusatoir)
yang memandang terdakwa sebagai pihak sama dengan dalam perkara perdata,
ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor (inquisitoir) yang memandang
terdakwa sebagai objek pemeriksaan bahkan kadangkala dipakai alat penyiksa untuk
memperoleh
pengakuan
terdakwa.
Pihak-pihak
yang
berperkaralah
yang
berkewajiban membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya. Pihak-pihak
5
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta, hal.,253.
6
Ibid.
18
yang berperkara di pengadilan tidak perlu memberitahukan dan membuktikan
peraturan hukumnya.
2.2 Teori-Teori Pembuktian
Dalam sistem atau teori pembuktian secara umum terbagi atas:
A.
Teori Berdasar Undang-Undang Secara Positif (Positif Wttelijke Beweijs
Theorie)
Teori ini hanya didasarkan pada undang-undang, artinya jika sesuatu perbuatan
terbukti sesuai dengan alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, maka
keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Sistem pembuktian ini disebut juga
pembuktian formal (formale bewijstheori). Menurut Simons, bahwa sistem atau teori
pembuktian berdasar undang-undang secara positif bertujuan untuk menyingkirkan
semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut
pembuktian yang keras. 7
Menurut Wirjono Prodjodikoro teori ini sudah selayaknya tidak dianut lagi din
Indonesia, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selaian dengan cara
menyatakan keyakinannya tengang suatu kebenaran. Keyakinan seorang hakim yang
jujur dan berpengalaman mungkin sekali sesuai dengan keyakinan masyarakat. 8
7
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia,
1983, hal 229.
8
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung,
1983, hal 111.
19
B.
Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction
Intivie)
Perlu disadari bahwa alat bukti pengakuan seorang terdakwa tidak harus
membuktikan kebenaran kesalahan terdakwa, sehingga pengakuan itu kadang-kadang
tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim sendiri untuk memutuskan kesalahan
atau tidaknya terdakwa.
Menurutu teori ini, tidak dibutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian, dan
menyerahkan segala sesuatunya pada kebijaksanaan dan pendapat hakim, yang
bersifat perseorangan.9 Keberatan terhadap teori ini ialah, bahwa terkandung di
dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketepatan kesan-kesan
perseoranagan belaka dari seorang hakim. Pengawasan terhadap putusan-putusan
hakim seperti ini sukar untuk dilakukan, karena badan pengawas tidak tahu apa yang
menjadi pertimbangan hakim yang menghasilkan pendapat terhadap suatu putusan.
C.
Teori Pembuktian Bebas
Menurut teori ini, bahwa alat-alat dan cara pembuktian tidak ditentukan atau
terikat dalam undang-undang. Namun teori ini mengakui adanya alat-alat dan cara
pembuktian, tetapi hakim dapat menentukan alat-alat dan cara pembuktian sendiri
yang tidak diatur dalam undang-undang. Salah satu penganut teori ini adalah Culp
Davis, menurutnya sebaiknya hakim dalam setiap langkahnya menggunakan hasil
9
Yahyah Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2001, hal., 256
20
pendidikan dan pengalamannya sendiri dan tidak dibatasi oleh pemikiran-pemikiran
yang mengikat misalnya ketentuan mengenai beban pembuktian.10
Teori ini menginginkan hakim sama sekali tidak diikat dengan hukum positif
tertulis dalam hal pembuktin, tetapi penilaian pebuktian diserahkan kepada hakim.11
Adapun perbedaan antara teori ini dengan teori pembuktian berdasar keyakinan
hakim yaitu pada teori pembuktian bebas hakim mengakui adanya alat dan cara
pembuktian yang diatur dalam undang-undang. Sedangkan teori berdasar keyakinan
hakim tidak mengakui adanya alat dan cara pembuktian menurut undang-undang.
Selain perbedaan ada juga persamaannya yaitu sama-sama berdasarkan keyakinan
hakim.
D.
Teori Pembuktian Bedasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (La
Conviction Raisonnee)
Teori ini disebut juga teori pembuktian bebas, karena hakim bebas untuk
menyebutkan alaasan-alasan keyakinannya12. Sistem ini dibagi lagi menjadi dua arah
yaitu pertama pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis. Kedua
pembuktian
berdasarkan
undang-undang
secara
negatif
(negatief
wettelike
bewijstheorie).
Persamaan antara keduannya adalah sama-sama berdasar pada keyakinan
hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim
10
Culp Davis, A System Judicial Notice Vase on Fairness and Convinience, Little Brown
Company, Boston, 1946, hal., 79.
11
Ibid.
12
Ibid.
21
bahwa ia bersalah. Sedangkan perbedaan antara keduanya yaitu pembuktian berdasar
keyakinan hakim atas alasan yang logis berpangkal tolak pada keyakinan hakim,
tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis dan tidak
berdasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu
pengetahuan hakim sendiri menurut pilihannya sendiri tentang pembuktian mana
yang ia gunakan.
Pembuktian berdasar undang-undang secara negatif berpangkal tolak pada
aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam undang-undang dan
harus diikuti oleh keyakinan hakim. 13
1.3
Analisis Perbandingan Hukum Pembuktian Dalam Kepustakaan di
Singapura dengan Kepustakaan Tentang Hukum Pembuktian di Indonesia
1.3.1 Pembuktian di Singapura
Singapura adalah negara dengan sistem common law. Sistem pembuktian
Singapura dijadikan pokok bahasan dalam skripsi ini, mengingat Singapura adalah
negara kecil dan merupakan salah satu negara maju, tidak saja di Asia melainkan juga
di dunia, yang memiliki sistem hukum modern sama seperti Indonesia. Sistem hukum
di Singapura tidak dapat dipisahkan dari tradisi common law Inggris, demikian pula
halnya negara-negara tetangga sekitarnya seperti India, Malaysia, Brunei dan
Myanmar.
13
Andi Sofyan, H. Abd. Azis, Hukum Acara Pidana, Makassar, Kencana Prenada Media
Group, 2014, hal., 236.
22
Sekalipun menganut common law, sumber hukum di Singapura khususnya
hukum pembuktian antara lain terdapat dalam The Supreme Court of Judicature Act
(undang-undang tentang beracara di Supreme Court), Singapore Court Practice
Tahun 2003, Rules of Court (Amandemen ke 2) Tahun 1999, Electronic Transaction
Act Tahun 1998 dan 2010, Civil Procedure Rules yang diatur dalam Civil Prosedure
Act Tahun 1997, Civil Evidence Act Tahun 1995 yang dilengkapi dengan Evidence
Act (Amandemen) Tahun 1996 dan the Evidence Regulation Tahun 2005.
Dalam proses pembuktian di pengadilan, Hakim dan Jaksa di Singapura
tergantung pada pokok perkara atau substansi yang akan dibuktikan di pengadilan.
Dengan demikian setiap hal yang disampaikan dalam pembuktian di pengadilan dapat
dikelompokkan ke dalam macam-macam bukti sesuai dengan kelompok namanya.
Pada prinsipnya penamaan terhadap kelompok bukti tersebut adalah testimony (bukti
kesaksian), hearsay evidence (bukti kesaksian berdasarkan hasil pendengaran),
documentary evidence (bukti surat), real evidence (benda sebagai bukti), dan
circumstantial evidence (bukti yang tidak langsung).
Testimony, adalah pernyataan langsung dari saksi yang disampaikan di muka
persidangan dan menyampaikan keterangan sebagai bukti tentang kebenaran dari apa
yang dituntut. Kesaksian secara langsung (direct testimony) adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan pernyataan saksi yang menjelaskan kenyataan apa
yang ia rasakan, fakta-fakta yang relevan atau peristiwa yang terjadi.
Dengan kata lain, kesaksian yang berhubungan dengan fakta-fakta yang
dimiliki oleh saksi atau tuntutan perseorangan atau hal-hal yang diketahui pertama
23
kalinya (first hand knowledge). Lawan dari kesaksian secara langsung adalah
kesaksian tidak langsung yang diperoleh dari hasil pendengaran (hearsay).
Hearsay evidence, dalam bahasa yang umum hearsay digunakan untuk
menggambarkan pernyataan, kabar angin biasa yang belum tentu benar. Dalam
hukum pembuktian, kata hearsay digunakan dalam pengertian yang luas, yaitu dapat
diartikan sebagai setiap pernyataan, selain yang disampaikan oleh saksi dengan cara
menyampaikan kesaksiannya di persidangan, berdasarkan hasil pendengaran dari
pihak lain, baik di bawah sumpah atau janji dan dapat disampaikan secara lisan,
tertulis atau dengan tanda dan isyarat, yang disampaikan untuk membuktikan
kebenaran pokok perkara.
Documentary evidence adalah pembuktian dengan surat/dokumen yang terdiri
dari surat-surat yang dibuat untuk pemeriksaan di persidangan. Suatu surat/dokumen,
yang dimaksudkan sebagai bukti, memiliki tidak hanya satu pengertian, yaitu tidak
saja hanya berarti sebagai surat/dokumen dalam bentuk tertulis, tetapi juga suatu peta,
suatu rencana, grafik, gambar, foto, disk, tape, video tape, film dan klise (negatives
film). Surat dapat dibuat untuk menunjukkan muatan isinya, keberadaannya, atau
bentuk fisiknya. Isi dari bukti surat dapat diterima sebagai pembuktian suatu
kebenaran, atau untuk maksud lainnya seperti misalnya untuk membuktikan suatu
surat atau untuk menunjukkan apa pikiran penulis surat tersebut.
Real evidence, biasanya berbentuk benda atau barang yang dijadikan bukti
dalam pemeriksaan di pengadilan, yang dapat digunakan untuk membuktikan baik
secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, untuk menjelaskan ciri-ciri
seorang anak melalui warna kulit atau warna rambut merupakan bukti langsung,
24
sedangkan bukti tak langsung adalah bahwa seseorang yang memiliki karakter yang
sama dengan anak itu adalah ayahnya. Macam-macam real evidence adalah sebagai
berikut: Material objects (benda/barang); the appearance of persons and animal
(orang atau binatang); the demeanour of witnesses (sikap/tingkah laku saksi);
documents (surat-surat); tape recordings (tape perekam) dan pictorial evidence
seperti photographs (foto), x-rays (sinar x), dan motion picture (film); views
(pendapat/pandangan) dan demonstration (demonstrasi) yang disebut juga dengan
demonstrative evidence seperti misalnya peta, diagram atau model.
Circumstantial evidence yaitu bukti tidak langsung yang dapat dibentuk
berdasarkan bukti kesaksian, bukti surat atau bukti barang/benda (real evidence).
Beberapa contoh dari bukti tidak langsung ini adalah: motive (alasan/sebab seseorang
melakukan suatu perbuatan), plans and`preparatory acts (rencana dan persiapan
suatu perbuatan), capacity (kapasitas untuk melakukan suatu perbuatan), opportunity
(kesempatan), identity (identitas).14
2.3.1.2 Hasil Penelitian Pembuktian dalam Yurisprudensi Singapura Chwee Kin
Keong dan Lainnya v Digilandmall.com Pte Ltd [2004] 2 SLR 594;
[2004] SGHC 71.
Pada awalnya Samuel Teo, seorang karyawan DIL Digilandmall.com, secara
tidak sengaja menguggah (upload) isi dari template pelatihan karyawan ke situs
perdagangan Digiland yang dioperasikan oleh DIL. Ketidaksengajaan tersebut
mengakibatkan terunggahnya informasi yang keliru mengenai printer laser, "HPC
14
Graham C Lilly, An Introduction to the Law of Evidence, West Publishing CO, St. Paul,
Minn, Virginia, 1996, hlm., 592.
25
9660A Color LaserJet 4600" yang djual oleh DIL. Harga printer laser, "HPC 9660A
Color LaserJet 4600" yang sebenarnya $ 3,448 terganti menjadi $66. Dengan harga
yang sangat murah, memancing keinginan banyak orang untuk membeli printer
tersebut, salah satunya Chwee Kin Keong (Penggugat).
Setelah mengetahui tentang harga tersebut penggugat menghubungi lima puluh
empat temannya melalui e-mail (surat elektronik) agar segera mengecek dan membeli
printer laser itu. Dari komunikasi antara penggugat dan teman-temannya diketahui
bahwa penggugat telah mengetahui bahwa ada kesalahan dari DIL dalam
mencantumkan harga barang. Oleh karena itu penggugat menyarankan temantemannya membeli printer tersebut sebelum pihak DIL menyadari kesalahnnya.
Penggugat dan lima temannya memesan lebih dari 1000 unit printer dengan
menggunakan
akun
mereka
masing-masing
yang
sudah
terdaftar
di
Digilandmall.com. Setelah pemesanan dilakukan, penggugat dan teman-temannya
mendapat pesan elektronik otomatis dari Digilandmall.com yang menyatakan pesanan
mereka berhasil. Salah seorang teman tergugat telah membayar melalui kartu kredit
dan printer yang ia pesan tinggal menunggu untuk dikirim.
Pihak DIL akhirnya menyadari kesalahan harga tersebut pada saat ada seorang
pelanggan bertanya kepada mereka melalui telepon mengenai harga printer laser
"HPC 9660A Color LaserJet 4600" yang tercantum di website dengan harga yang
sangat murah. Setelah mengetahui telah terjadi kekeliruan informasi harga, DIL
kemudian membatalkan semua pembelian dan pemesanan untuk barang "HPC 9660A
26
Color LaserJet 4600”. Karena merasa dirugikan, penggugat meminta ganti rugi
materiil dan imateriil kepada tergugat karena pembatalan pembelian sepihak.15
Menurut penggugat berdasarkan Pasal 15 (1) Electronic Transaction Act 2010,
pesan otomatis diakui keabsahannya selama pesan tersebut telah masuk dan dapat
diakses oleh penerima pesan. Dengan kata lain, pesan otomatis yang dikirim
Digilandmall.com berisi pernyataan bahwa pesanan tergugat telah berhasil, wajib
diakui dan Digilandmall.com dianggap tahu mengenai harga yang tercantum di
websitenya.
Dalam kasus itu Hakim mengacu pada Yurisprudensi Pengadilan Tinggi
Aircharter World Pte Ltd v Kontena Nasional Bhd [1999] 3 SLR 1 di [30] dan [31],
dan Projection Pte Ltd v The Tai Ping Insurance Co Ltd[2001] 2 SLR 399 di [15].
Menurut Hakim, dalam kasus ini terjadi kesalahan oleh salah satu pihak dan pihak
yang lain seharusnya atau wajib mengetahui. Penggugat secara sadar mengetahui
bahwa ada kekeliruan dalam deskripsi harga printer di website Digilandmall.com, dan
kemudian memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Hakim juga mengacu pada Yurisprudensi Ho Seng Lee Construction Pte Ltd v
Nian Chuan Construction Pte Ltd [2001] 4 SLR 407 di [84], dan kemudian hakim
berpendapat bahwa kesalahan sepihak ini tidak dapat di kategorikan penipuan atau
kelalaian untuk melaksanakan kontrak. Yang menjadi masalah adalah ketidaktahuan
tergugat mengenai kekeliruannya dan karena ada program pesan otomatis yang
dikirim kepada pembeli yang menyatakan pemesanan berhasil. Untuk membuktikan
15
Yurisprudensi Singapura Chwee Kin Keong dan Lainnya v Digilandmall.com Pte Ltd
[2004] 2 SLR 594; [2004] SGHC 71.
27
apakah tergugat bersalah atau tidak, Hakim mendasarkan keyakinannya pada Teori
Pembuktian Bebas.
Artinya, alat-alat dan cara pembuktian tidak terikat atau ditentukan dalam
undang-undang, namun teori pembuktian bebas mengakui adanya alat-alat bukti
dengan cara pembuktian dan hakim dapat menentukan alat bukti mana yang
ditentukan oleh undang-undang dan mana yang tidak.16 Berdasarkan alat bukti dan
keyakinan hakim, hakim memutuskan untuk membatalkan kontrak jual beli
elektronik melalui website Digilandmall.com dan pesan elektronik otomatis, karena
terbukti bahwa tergugat melakukan kesalahan yang tidak disengaja, tidak berniat
menipu dan tidak adanya kesepakatan antara penggugat dan tergugat selaku penjual
dan pembeli mengenai harga yang tercantum dalam website.
2.3.2 Pembuktian di Indonesia
Sistem hukum Indonesia baik dalam hukum materiil yang bersumber pada
Burgerlijke Wetboek (BW) maupun hukum formal yang bersumber pada het Herziene
Indische Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesten (RBg), menganut sistem
hukum civil law yang berlaku di negara-negara Eropa Kontinental. Berlakunya sistem
civil law di Indonesia disebabkan adanya asas konkordansi, karena Indonesia pernah
dijajah oleh Belanda dalam kurun waktu yang sangat lama.
Untuk membuktikan dan mengungkap kasus Perdata dan Pidana, para penegak
hukum berpedoman pada KUHAP. Membuktikan berarti memberi kepastian kepada
16
Op.cit.
28
hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Adapun enam butir pokok yang
menjadi alat ukur dalam teori pembuktian, dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Dasar Pembuktian
Yang dimaksud dengan Dasar Pembuktian adalah dasar-dasar yang
dipergunakan untuk mendapatkan suatu kebenaran atas fakta-fakta. Dengan
kata lain dasar pembuktian itu adalah isi/materi dari alat bukti itu sendiri.
Dapatlah dikatakan bahwa jikalau alat bukti itu adalah wadahnya, maka dasar
pembuktian adalah isi dari wadah tersebut.
2.
Alat Bukti
Milton C. Jacobs mengartikan alat bukti sebagai “Evidence is the medium
of proof, proof is the effect of evedince”.17 Kemudian Prof. Dr. R.M. Soedikno
Mertokusumo, S.H. menyatakan bahwa, apakah sesuatu itu merupakan alat
bukti, atau tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi atau diajukan dalam
persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak ditetapkan oleh kenyataan
apakah sesuatu itu diajukan dalam persidangan atau tidak.18
Jadi dapat disimpulkan alat bukti adalah alat-alat yang dipergunakan untuk
menggambarkan atau menerangkan suatu keadaan atau peristiwa pidana
berdasarkan fakta-fakta yang terjadi diwaktu yang lampau guna keperluan
proses pidana dan perdata.
Milton C. Jacobs, “Civil Trial Evidence”. Second Edition, New York, 1949, hlm., 1.
R.M. Soedikno Mertokusumo, Kuliah Hukum Acara Perdata Program S-II Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, 1982.
17
18
29
Matrix 8: Perbandingan Alat Bukti dalam KUHPerdata dan KUHPidana
Alat Bukti Hukum Acara Perdata
(Pasal 164 HIR, 1866 BW)
1.
2.
3.
4.
5.
Alat Bukti Hukum Acara Pidana
Pasal 184 KUHAP
1.
2.
3.
4.
5.
Tulisan/Surat
Saksi-saksi
Persangkaan
Pengakuan
Sumpah
1.Keterangan Saksi
2.Keterangan Ahli
3.Surat
4.Petunjuk
5.Keterangan Terdakwa
Sumber: KUHPerdata dan KUHPidana
3.
Penguraian Alat Pembuktian
Penguraian Pembuktian adalah cara-cara yang dipergunakan untuk
menguraikan suatu peristiwa atau keadaan berdasarkan penggunaan alat bukti
yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Penguraian Pembuktian
memegang peranan yang sangat penting didalam pemeriksaan perkara di
pengadilan,
karena
berdasarkan
bukti-buktilah
Hakim
menetapkan
keyakinannya.
4.
Kekuatan Pembuktian
Yang dimaksud Kekuatan Pembuktian disini adalah kekuatan pembuktian
dari masing-masing alat bukti. Dalam perkara pidana biasanya kekuatan
pembuktian terletak pada fakta-fakta, dimana pembuktiannya didasarkan atas
kebenaran dari fakta-fakta yang telah teruji kebenarannya oleh Hakim.
5.
Beban pembuktian adalah pembebanan dari hakim kepada para pihak yang
berperkara untuk:
a.
Mengajukan alat bukti sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku
30
b.
Membutikan kebenaran fakta yang dikemukakannya berdasarkan alat bukti
yang diajukan sehingga, hakim yakin akan kebenaran fakta yang
dikemukakan.19
6.
Prinsip bukti minimum pada pembuktian artinya prinsip yang mengatur batas
yang harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan terdakwa.20 Dengan kata
lain, asas minimum pembuktian adalah prinsip yang menjadi pedoman dalam
menilai cukup atau tidaknya alat bukti yang membuktikan salah tidaknya
terdakwa.
Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, para pelaku kejahatan
menggunakan modus operandi dan teknologi yang canggih sehingga dalam proses
beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu
kejahatan.21 Teknik atau prosedur khusus tersebut dilakukan melalui proses
pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu selain berpedoman pada KUHAP,
pemerintah juga memberlakukan UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai
dasar dalam proses pembuktian kasus dengan menggunakan teknologi.
Dengan di berlakukannya kedua Undang-Undang tersebut maka secara otomatis
terjadi penambahan alat bukti konvensional yang diatur dalam KUHAP. Alat bukti
19
Wiwi Heryani, Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta, Kencana, 2013, hal., 107.
Op.Cit hal. 22.
21
Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006,
20
hal.3.
31
yang ditambahkan adalah alat bukti yang berkaitan dengan kejahatan menggunakana
teknologi.
Dalam pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan
dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara
pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak
penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim
sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian.
Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan
bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit
harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: "Barang siapa
mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan
membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwaperistiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwaperistiwa itu".
Pembuktian menurut KUHAP, menganut sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu sistem pembuktian yang
merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim (conviction in time) dengan
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (berdasarkan alat-alat bukti
yang ditentukan di dalam undang-undang).22 Kedua sistem ini saling bertolak
belakang secara ekstrim. Dimana kedua sistem ini dikenal dengan sistem pembuktian
22
Achmad Ali, Op.Cit, hal,. 87.
32
secara negatif dengan memadukan antara keyakinan hakim dengan undang-undang
secara positif.
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau
tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat
mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil
membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan
ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya,
untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan,
maka tidak perlu dibuktikan lagi. Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan
antara lain :
1. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
2. hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
3. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire
feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh
hakim.
2.3.2.1 Hasil Penelitian Pembuktian dalam Putusan Pidana No. Nomor: 133
Pid.B/2012 PN. Pwk
Para pihak dalam kasus ini adalah PT. Telkomsel melawan Ahmad Hanafi.
Kasus ini bermula ketika Ahmad Hanafi sebagai terdakwa diajak oleh temannya
33
Fachrizal Ahmad Sumardjo (terdakwa dalam penuntutan yang terpisah) untuk
mencoba membobol (Penetration Test) server PT. Telkomsel. Terdakwa bertugas
untuk memilah data-data yang biasa dipergunakan dan dimanfaatkan untuk mencari
internet gratis, mencari perintah untuk pengisian pulsa dan menjual pulsa. Terdakwa
selanjutnya diberi akses berupa internet gratis melalui VPN (Virtual Private Network)
yang langsung menuju ke server OVO milik PT. Telkomsel.
Kemudian Fachrizal Ahmad Sumardjo menemukan URL (Uniform Resource
Locator) recharge untuk pengisian pulsa secara illegal melalui server Telkomsel.
URL itu digunakan oleh terdakwa untuk masuk ke jaringan internal PT. Telkomsel
dan terdakwa dapat melakukan koneksi ke seluruh server milik PT. Telkomsel.
Terdakwa masuk ke beberapa server PT. Telkomsel untuk dapat terhubung pada
server regae dan URP (Universal Recharge Platform) dan berhasil melakukan
pengisian pulsa milik PT. Telkomsel tanpa harus melakukan pembayaran.
Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi PT.
Telkomsel, sehingga berdasarkan bukti-bukti, keterangan saksi dan saksi ahli maka
Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melanggar Pasal 51 ayat (2), Pasal
36, Pasal 30 ayat (1), (2) , (3), Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) b UU RI Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 3 UU RI Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
dan Pasal 55 KUHPidana serta pasal 197 Undang-undang Republik Indonesia.23
Dalam proses pembuktian di persidangan kasus PT. Telkomsel melawan
Ahmad Hanafi, pertimbangan Majelis Hakim didasarkan pada Teori Pembuktian
23
Putusan Pengadilan No. Nomor: 133 Pidana. B / 2012 PN. Pwk.
34
Berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (negatief wettelike bewijstheorie).
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan pada
aturan-aturan pembuktian yang telah ditetapkan secara limitatif dalam undangundang, tetapi harus diikuti dengan keyakinan hakim. 24
Kejahatan yang dilakukan terdakwa dikategorikan sebagai cyber crime. Dengan
demikian pertimbangan majelis hakim mengenai alat bukti didasarkan pada Pasal 5
UU ITE Tahun 2008, oleh karena itu alat bukti dalam kasus ini yaitu data dan
informasi elektronik atau dokumen elektronik pada sistem elektronik pihak lain yang
dalam hal ini merupakan milik PT.Telkomsel sah sebagai alat bukti dalam
persidangan.
Sejalan dengan itu, dalam Pasal 183 KUHAP juga dinyatakan bahwa Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
2.3.2.2 Pembuktian dalam Putusan Perdata No. 298 / Per.G /2012/PN.
Jkt. Sel
Para pihak dalam kasus ini adalah PT. PACIFIC ROYALE AIRWAYS
melawan 1 CSDS AIRCRAFT SALES AND LEASING INC. yang berkedudukan di
Indonesia, berdasarkan Letter of Intent tertanggal 08 November 2011, Penggugat
berniat untuk menyewa pesawat udara Airbus A320-214 msn/nomor seri pabrik:
2529, 2619, 2654 dan 2668 (empat pesawat udara) yang ditujukan kepada CSDS
24
Andi Sofyan, H. Abd.Azis, Hukum Acara Pidana, Makassar, KencanaPrenadamedia
Group, 2014, hlm. 236.
35
Aircraft Sales and Leasing Inc. (Tergugat). Setelah sepakat mengenai jumlah down
payment penyewaan pesawat tersebut, penggugat mentransfer uang tersebut ke
rekening atas nama tergugat.
Kemudian Tergugat menyodorkan Escrow Agreement tanpa tanggal, bulan dan
tahun yang telah ditanda tanganinya tersebut kepada Penggugat. Dalam dunia
penerbangan
internasional
untuk
sewa
menyewa
pesawat
udara
biasanya
menggunakan atau memakai Nomor Rekening Agen Penampung (dalam hal ini
IATS) tersebut, persyaratannya sangat ketat yang nantinya para pihak yang terkait
dalam sewa menyewa pesawat udara tidak ada yang dirugikan. Penggugat menanda
tangani Escrow Agreement, karena merasa yakin diikutsertakannya pihak IATS
dalam proses sewa menyewa pesawat udara tersebut, kemudian penggugat
menstransfer uang Refundable Deposit sebesar USD 1,340,000.- ke nomor rekening
penampung.
Namun setelah pembayaran dan hingga batas waktu penyerahan pesawat telah
lewat, tergugat tidak juga menyerahkan pesawat yang telah disepakati dengan alasan
bahwa pesawat tersebut baru akan dibeli dan masih di bawah kekuasaan penjual yaitu
Air Berlin 4. LeaseLux S.a.r.I.25
Dalam memutus kasus ini pertimbangan hukum Majelis Hakim didasarkan pada
Teori Pembuktian Positif. Dalam pembuktian kasus perdata hakim hanya mencara
kebenaran formal. Sehingga berdasarkan alat bukti berupa e-mail (surat elektronik)
antara penggugat dan tergugat yang berisi kesepakatan sewa menyewa pesawat, harga
sewa pesawat, tanggal penyerahan pesawat, keberatan penguggat mengenai kelalaian
25
Putusan Perdata No. 298 / Perdata. G / 2012 / PN.Jkt. Sel.
36
tergugat dalam pelaksanaan perjanjian, serta bukti transfer penggugat kepada nomor
rekening atas nama penggugat dan atas nama Agen Penampung (IATS) dari BCA
diakui keabsahannya sesuai dengan ketentuan alat bukti dalam Pasal 5 UU ITE Tahun
2008.
2.3.2.3 Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang Nomor. 15/G/2010
/PTUN KPG
Dalam putusan ini Talul Ludofikus dan Leonard Saka menggugat Ketua Komisi
Pemilihan Umum (KPPU) Kabupaten Timor Tengah Utara melalui Mahkamah
Agung, dengan objek sengketa yaitu, pertama Keputusan Komisi Pemilihan Umum
(KPPU) Kabupaten Timor Tengah Utara Nomor: 18 Tahun 2010 tanggal 23 Agustus
2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
sebagai Peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten Timor Tengah Utara Tahun 2010. Objek sengketa kedua adalah
Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPPU) Kabupaten Timor Tengah Utara Nomor
19 Tahun 2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara
Tahun 2010.
Isi dari kedua Keputusan KPPU tersebut yaitu menggugurkan pasangan Talul
Ludofikus dan Leonard Saka sebagai Calon Peserta Pemilihan Calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara Tahun 2010. Alasannya
karena pasangan calon kepala daerah tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan
KKPU, dalam hal ini tidak memenuhi ketentuan untuk Surat Pernyataan Kesepakatan
37
Antara Partai Politik Peserta Pemilihan Dalam Pencalonan Pasangan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah. Surat pernyataan seharusnya di tanda tangani langsung
oleh Felix Leba sebagai Ketua Partai Penegak Demokrasi Indonesia (perwakilan
partai-partai pendukung).
Namun yang menjadi masalah adalah berdasarkan keterangan saksi dan alat
bukti berupa rekaman pembicaraan melalui telepon seluler diketahui bahwa, tanda
tangan pada Surat Pernyataan Kesepakatan Antara Partai Politik Peserta Pemilihan
Dalam Pencalonan Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tanda tangan
Felix Saba menggunakan tanda tangan scan atau Tanda Tangan Elektronik.26
Tanda tangan scan diartikan sama dengan tanda tangan elektronik yang mana
tanda tangan
elektronik sesuai dengan pasal 1 ayat (12) UU ITE tahun 2008
menyatakan, Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi
elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentik. Kemudian
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a UU ITE tahun 2008 menyatakan: Tanda tangan
elektronik memiliki kekuatan hukum tetap dan akibat hukum sah selama memenuhi
persyaratan sebagai berikut: data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya
kepada penanda tangan.
Majelis Hakim berpendapat, jika dihubungkan antara keterangan saksi dan alat
bukti dengan ketentuan mengenai tanda tangan elektronik menurut UU ITE tahun
2008, maka tanda tangan scan yang digunakan dalam Surat Dukungan Suara bukan
atas kepentingan pribadi (Felix Saba) melainkan untuk 1.989 suara yang mendukung
26
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang Nomor.15/G/2010/PTUN KPG.
38
salah satu pasangan calon. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 (1) huruf a
UU ITE 2008.
Oleh karena bukti surat ditanda tangani menggunakan scan maka terhadap bukti
tersebut adalah dinyatakan tidak sah. Dengan demikian tidak memenuhi ketentuan
pasal 15 (1) dan ayat 2 huruf (a) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13
Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Majelis Hakim berkesimpulan, karena
tanda tangan dari Ketua Parta Penegak Demokrasi (PPDI) atas nama Felix Leba
dinyatakan tidak sah maka, suara dukungan dari PPDI sejumlah 1.989 suara untuk
bakal pasangan calon juga dinyatakan tidak sah. Karena jika suara tidak sah tersebut
dikurangi dengan suara yang sah maka hasilnya 14.730 suara. Dengan jumlah suara
yang demikian, penggugat (bakal calon wakil kepala daerah) tidak memenuhi syarat
15% dari total suara sah Pemilu tahun 2009 sejumlah 106.944 yaitu 16.041 suara.
Berdasarkan pertimbangan dan putusan Majelis Hakim sistem pembuktian
dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah Sistem Pembuktian menurut undangundang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori). Sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yang berbunyi sebagai berikut :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim
39
yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut UndangUndang.
2.4
Pembuktian dalam Perundang-Undangan
2.4.1 Pembuktian Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi
Perubahan Iingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi
yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar,
melahirkan Iingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang
dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi
informasi. Oleh karena itu UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan UU 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi tidak dapat dipisahkan.
Sebagai contoh hasil konvergensi antara telekomunikasi dan teknologi
informasi yaitu pada saat ini jasa telekomunikasi dengan mudah dapat merambah ke
penyelenggaraan jasa lain yang berhubungan dengan dan teknologi informasi.
Sementara itu, sebaliknya, jasa teknologi informasi juga sudah dapat menunjang
penyelenggaraan telekomunikasi.
Undang-Undang ini menjadi penting karena, dalam pasal Pasal 42 (2) diatur
secara jelas mengenai alat bukti elektronik yang sah dan diakui di pengadilan. Seperti
yang diketahui KUHAP juga telah terlebih dahulu mengatur mengenai alat bukti
untuk mengungkap suatu peristiwa hukum. Dalam pasal 1 (1) UU 36 Tahun 1999
Telekomunikasi diartikan sebagai setiap pemancaran, pengiriman, dan atau
penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar,
40
suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik
lainnya.
27
Kemudian alat bukti elektronik yang di atur UU Telekomunikasi 1999
adalah dalam pasal Pasal 42 (2) di nyatakan bahwa, Rekaman informasi yang dikirim
dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan
informasi yang diperlukan untuk proses peradilan pidana.28
2.4.2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
Pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah
perlu
mendukung pengembangan
Teknologi
Informasi
melalui
infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi
dilakukan
secara
aman
untuk
mencegah penyalahgunaannya dengan
memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal-hal
tersebut merupakan alasan diberlakukannya UU ITE tahun 2008 di Indonesia.
Dalam pasal 1 (1) Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol,
27
28
Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 1 (1).
Ibid.
41
atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya. Kemudian pasal 1 (2) Transaksi Elektronik diartikan
sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan
Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Untuk tindak pidana terdapat dalam Bab VII Pasal 27-37. Tindak pidana atau
Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang ini berkaitan dengan informasi
elektronik adalah mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat diaksesnya
informasi elektronik yang muatannya berisi melanggar kesusilaan, muatan perjudian,
penghinaan atau pencemaran nama baik atau pemerasan dan/atau pengancaman.
Muatan yang berisi melanggar kesusilaan di antaranya adalah penayangan gambargambar porno dalam situs-situs internet maupun di telepon seluler.29 Kemudian untuk
sengketa perdata diatur dalam BAB V Pasal 17-22. Dalam hukum perdata dan bisnis
yang diatur dalam UU ITE didasarkan pada transaksi elektronik dan kontrak
elektronik.
Undang-undang ini pun menjadi menarik karena dilihat dari segi alat bukti, ada
alat bukti baru yang disahkan oleh pemerintah. Alat-alat bukti ini diatur Pasal 5 UU
ITE Tahun 2008, dinyatakan bahwa alat bukti informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Padahal tindak kejahatan yang melanggar hukum pidana dan hukum perdata jelas
jauh berbeda. Namun untuk pengelompokan tindak kejahatan terdapat pemisahan
antara pidana dan perdata dalam UU ITE Tahun 2008.
29
Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (Studi Kasus: Prita
Mulyasari),Rineka Cipta, 2009, Jakarta. Hal 135.
42
Pembuktian perkara tindak pidana teknologi informasi di pengadilan
didasarkan pada Pasal 183 KUHAP. Selain itu sebagai penganut sistem civil law,
peraturan yang berlaku di Indonesia bersumber dari Undang-Undang. Oleh karena itu
dalam proses pembuktian, pertimbangan hakim didasarkan pada peraturan mengenai
alat bukti dan cara pembuktian yang diatur dalam undang-undang dan keyakinan
hakim itu sendiri. Pembuktian seperti ini disebut dengan Teori Pembuktian
berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif. Hal yang secara umum sudah diketahui
tidak perlu dibuktikan dan termasuk pula alat bukti lain berupa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
2.4.3 Pembuktian dalam Electronic Transaction Act (ETA) 2010 Singapore
Singapura mempunyai misi untuk menjadi pusat kegiatan perdagangan
elektronik internasional, di mana transaksi perdagangan yang elektronik dari daerah
dan di seluruh bumi diproses. The Electronic Transactions Act telah diberlakukan
pada tanggal 10 Juli 1998 yang kemudian mengalami perubahan pada tahun 2010,
untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi
perdagangan elektronik di Singapura yang memungkinkan bagi Menteri Komunikasi
Informasi dan Kesenian untuk membuat peraturan mengenai perijinan dan peraturan
otoritas sertifikasi di Singapura.
Tujuan dibuatnya ETA pertama memudahkan komunikasi elektronik atas arsip
elektronik yang penting. Kedua memudahkan perdagangan elektronik, yaitu
menghapuskan penghambat perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan dan
43
persyaratan tanda tangan, dan untuk mendorong pengembangan dari undang-undang
dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin perdagangan
elektronik. Ketiga memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang dokumen
pemerintah dan perusahaan menurut undang-undang, dan untuk mendukung
penyerahan yang efisien pada kantor pemerintah atas bantuan arsip elektronik yang
penting. Keempat meminimalkan timbulnya arsip elektronik yang sama (double),
perubahan yang tidak disengaja dan disengaja tentang arsip, dan penipuan dalam
perdagangan elektronik. Kelima membantu menuju keseragaman aturan, peraturan
dan
mengenai
pengesahan
dan
integritas
dari
arsip
elektronik.
Keenam
mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan dari arsip elektronik dan
perdagangan elektronik, dan untuk membantu perkembangan dan pengembangan dari
perdagangan elektronik melalui penggunaan tanda tangan elektronik untuk menjamin
keaslian dan integritas surat menyurat yang menggunakan media elektronik.30
Dalam ETA 2010, transaksi elektronik diartikan sebagai data, teks, gambar,
suara, kode, program komputer, software dan database dikomunikasikan, diterima
atau disimpan secara elektronik dalam suatu sistem informasi atau untuk transmisi
dari satu sistem informasi lain serta berkaitan dengan teknologi yang menggunakan
listrik, berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu,
berhubungan dengan penomoran atau digital, maknit, nirkabel atautanpa kawat,
kemampuan optik, dan elektromagnetik. Dengan demikian segala hal yang dihasilkan
melalui sistem elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah di persidangan.
30
Electonic Transaction Act Singapore 2010 Pasal 3.
44
Namun sebagai negara dengan sistem hukum common law, Singapura
menerapkan Teori Pembuktian Bebas. Dalam proses pembuktian dalam persidangan
khususnya kasus yang melanggar ETA 2010. Berdasarkan teori tersebut hakim
mengakui adanya alat bukti dan cara pembuktian yang diatur dalam undang-undang,
namun kesimpulan dari kasus tersebut
tetap dilandaskan pada keyakinan hakim
apakah ia akan menggunakan alat bukti menurut undang-undang atau alat bukti lain
yang menurut hakim dapat lebih mengungkapkan kebenaran dari sebuah peristiwa.
2.5
Perbandingan Transaksi Elektronik Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Electronic Transaction Act
2010 Singapura
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan
hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial,
ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Perubahan itulah
yang mengharuskan Indonesia dan Singapura memberlakukan undang-undang
mengenai transaksi elektronik. Walaupun sama-sama mempunyai peraturan mengenai
transaksi elektronik, terdapat perbedaan dan persamaan antara UU Telekomunikasi
1999, UU ITE 2008, dan ETA 2010 yang pertama ditinjau dari latar belakang di
buatnya undang-undang ini.
UU Telekomunikasi 1999 dan UU ITE 2008 diberlakukan karena hukum harus
mengikuti perkembangan zaman yang semakin canggih dan maraknya kasus cyber
45
crime karena kurangnya ketegasan hukum serta lemahnya kontrol terhadap
penggunaan ITE. Alasan lainnya adalah untuk menjamin kepastian hukum khusunya
tanda tangan elektronik dan penggunaan arsip elektronik.
Sedangkan latar belakang Singapura dalam pembuatan ETA 2010 adalah selain
untuk kepastian hukum juga untuk keperluan akan perdagangan elektronik.
Pemerintah Singapura ingin agar pembentukan undang-undang ini dapat memenuhi
keperluan perdagangan elektronik yang akan membantu perekonomian negara. Maka
dari itu, dampak perekonomian akibat penggunaan ITE di Singapura menjadi relatif
lebih tinggi. ETA 2010 ini juga untuk keperluan transaksi perdagangan elektronik.
UU ini memungkinkan untuk membuat peraturan mengenai perizinan dan peraturan
otoritas sertifikasi Singapura.
Perbedaan kedua tampak pada pembuktian menurut UU Telekomunikasi 1999,
UU ITE 2008 dan ETA 2010, yang menjadi Issue dalam skripsi ini. Berdasarkan asas
pembagian beban pembuktian yang diterapkan di Indonesia, pada prinsipnya sesuai
dengan Pasal 15 UU Telekomunikasi 1999 dan Pasal 7 UU ITE 2008, penggugatlah
yang pertama-tama harus dibebani pembuktian oleh hakim baru kemudian diberikan
kesempatan pada tergugat untuk melakukan pembuktian balik.
Pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa masih harus dinilai,
yang berwenang menilai pembuktian adalah hakim.
Pada umumnya sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim
bebas untuk menilai kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti. Dalam hal ini,
pembentuk undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu
46
(misalnya alat bukti surat), sehingga hakim tidak bebas menilainya. Alat bukti surat
mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim maupun para pihak.
Sedangkan pada pembuktian di Singapura hakim diberikan kebebasan untuk
menilai pembuktian suatu alat bukti, misalnya keterangan saksi mempunyai kekuatan
pembuktian
yang
bebas,
artinya
diserahkan
pada
hakim
untuk
menilai
pembuktiannya, hakim boleh terikat atau tidak pada keterangan yang diberikan oleh
saksi. Hal ini jelas dinyatakan dalam Pasal 19 ETA 2010, bahwa setiap proses yang
melibatkan catatan elektronik dianggap ada kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Perbedaan ketiga mengenai waktu berlakunya kontrak. Mengingat dalam kasus
ITE waktu berlakunya kontrak merupakan hal yang sangat penting dan salah satu
faktor utama untuk menentukan dan membuktikan telah terjadi pelanggaran
menggunakan teknologi. Selain itu ketiga peraturan ini sama-sama mengatur
mengenai kontrak elektronik maka penulis berpendapat hal ini perlu dibandingkan.
Pasal 13 (2) ETA 2010 secara jelas merumuskan bahwa kontrak elektronik
dinyatakan diterima pada saat kontrak tersebut bisa di unduh oleh penerimanya.
Sedangkan menurut UU Telekomunikasi 1999 dan UU ITE 2008, waktu
berlakunya kontrak pada saat kontrak elektronik diterima oleh penerima dan ada
pernyataan serta persetujuan bahwa kontrak tersebut telah diterima.
Perbedaan keempat adalah dalam UU ITE 2008 tidak ada pemisahan untuk
pembuktian dalam hal ini tindak pidana dan sengketa perdata. Namun UU ITE 2008
secara jelas menngelompokan tindakan mana yang termasuk pidana dan tindakan
yang termasuk perdata. Apabila dibandingkan dengan ETA 2010, undang-undang ini
sangat tertuju pada peraturan untuk perdagangan elektronik dan kontrak elektronik.
47
Dengan kata lain, ETA 2010 secara rinci mengatur tentang hubungan
keperdataan dalam kontrak dan tanda tangan elektronik. Untuk tindakan yang
tergolong tindak pidana berkaitan dengan transaksi atau sistem elektronik diatur
secara terpisah dalam undang-undang yang lain.
Selain perbedaan ada juga persamaan dari ketiga peraturan ini,yaitu terletak
pada alat bukti. Adapun persamaan tersebut dapat di lihat pada Pasal 42 (2) UU
Telekomunikasi 1999, Pasal 5 UU ITE 2008, dan Pasal 6 ETA 2010 ditentukan
bahwa siapapun, termasuk pengadilan, tidak boleh menolak efek hukum, validitas
hukum, dan pelaksanaan hukum hanya karena hal tersebut merupakan data
elektronik. Disamping itu, pengadilan tidak boleh pula menolak efek hukum dari
sebuah dokumen jika para pihak memang tidak mungkin mendapatkan naskah asli
dari dokumen yang dijadikan alat bukti dalam kasus ITE.
2.6
Perbandingan Pembuktian dalam Putusan Pengadilan Mengenai ITE di
Indonesia dan Yurisprudensi di Singapura
Sistem common law Singapura mempunyai karakteristik doktrin judicial
precedent (stare decicis). Menurut doktrin tersebut, hukum dibentuk oleh hakim
melalui penerapan prinsip-prinsip hukum terhadap fakta-fakta atau peristiwaperistiwa dalam kasus-kasus yang terjadi. Dalam hal ini, hakim-hakim hanya
diharuskan untuk menerapkan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang
dapat diterima dalam menjatuhkan putusan (the ratio decidendi) pada pengadilan
yang lebih tinggi dalam hirarkhi yang sama.
48
Oleh karena itu, di Singapura the ratio decidendi dapat ditemukan dalam
putusan-putusan hakim pada pengadilan Singapura untuk tingkat banding yang
langsung mengikat, baik pada Singapore High Court (Pengadilan Tinggi/pengadilan
tingkat Banding), the District Court (Pengadilan Distrik) dan The Magistrate’s Court
(Pengadilan Magistrat).
Sedangkan jika dibandingkan dengan Indonesia yang menganut sistem Civil
Law, hakim memiliki peranan besar dalam mengarahkan dan memutus perkara.
Selain itu hakim aktif dalam menemukan fakta dan menilai alat bukti. Hakim juga
diberi keluasaan untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani keputusankeputusan hakim terdahulu sebagai dasar dari putusannya.
Kemudian dilihat dari Sistem Pembuktian, terdapat perbedaan antara
Yurisprudensi Singapura dan Putusan Pengadilan Indonesia. Indonesia menganut
sistem Pembuktian pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Artinya Hakim
hanya dapat menjatuhkan hukuman, apabila sedikit-dikitnya jumlah alat bukti yang
telah ditentukan adalah undang-undang ada, ditambah dengan keyakinan hakim akan
kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya.
Untuk dapat menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah terdapat
minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang
mengatur secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal tersebut
diatas, juga mengisyaratkan bahwa KUHAP juga menganut prinsip Batas Minimum
Pembuktian yang mengatur batas tentang keharusan yang dipenuhi dalam
membuktikan kesalahan terdakwa. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika
hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa, maka harus diputus bebas. Dalam
49
sistem ini bukan undang-undang yang berkuasa melainkan hakim, tetapi kekuasaan
itu dibatasi oleh undang-undang.
Oleh karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan
didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Keyakinan hakim yang
akan terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu
keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa
terdakwa terbukti bersalah.
Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP
tersebut dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara
pidana yang menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini
berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti
yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Sedangkan kata “meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti
yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan hakim.
Kemudian jika dibandingkan dengan Yurispridensi Singapura mengenai ITE,
hakim memutus perkara Chwee Kin Keong dan Lainnya v Digilandmall.com Pte Ltd
[2004] 2 SLR 594; [2004] SGHC 71 berdasarkan Teori Pembuktian Bebas. Hal
tersebut dapat di simpulkan karena, walaupun dalam Pasal 6 ETA 2010 sudah ada
pengaturan mengenai alat bukti yang sah, namun Majelis Hakim tidak membatasi jika
ada alat bukti lain dari kedua pihak yang bersengketa yang dapat membuktikan
kebenaran dari kasus tersebut.
Sistem pembuktian dalam hukum Singapura dengan sistem hukum common law
bersifat terbuka. Artinya untuk membuktikan kebenaran peristiwa di persidangan
50
tidak terikat pada alat bukti yang telah ditentukan secara limitatif dalam undangundang, melainkan para pihak diperkenankan mengajukan segala hal yang dapat
dijadikan alat bukti sebagai bukti ke pengadilan.
Dalam menentukan macam-macam dan banyaknya alat-alat bukti yang
dipandang cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa, hakim mempunyai
keleluasaan yang penuh. Ia bebas untuk menetapkan apakah alat yang diajukan para
pihak dapat dijadikan alat bukti atau tidak. Adapun peraturan yang mengikat kepada
Hakim adalah bahwa dalam keputusannya ia harus menyebutkan pula alasan-alasan
dari putusanya tersebut. Sistem ini menganggap atau mengakui juga adanya alat-alat
bukti tertentu, akan tetapi alat-alat bukti ini tidak ditetapkan dalam undang-undang
seperti sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif dan sistem
pembuktian menurut undang-undang yang negatif.
Selain mengenai penerapan teori atau sistem pembuktian, perbedaan lainnya
juga terlihat dalam Beban Pembuktian. Untuk beban pembuktian di Indonesia majelis
hakim cenderung mewajibkan beban pembuktian pada penggugat.
Sama halnya
dengan putusan Pidana No. Nomor: 133 Pidana. B/2012 PN. Pwk, Putusan Perdata
No. 298/ Perdata. G/2012 / PN.Jkt. Sel, dan PTUN yang dibebani untuk
membuktikan fakta dari masing-masing peristiwa adalah penggugat. Sesuai dengan
Pasal 1865 KUHPerdata: barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang
mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk
menyangkal hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.
Berbeda dengan Singapura, pada Yurispridensi Chwee Kin Keong dan Lainnya
v Digilandmall.com Pte Ltd [2004] 2 SLR 594; [2004] SGHC 71 beban pembuktian
51
dibebankan kepada kedua pihak baik penggugat maupun tergugat. Jadi tidak selalu di
bebankan kepada penggugat, atau selalu kedua pihak, atau selalu dibebankan kepada
tergugat. Dalam beberapa Yurisprudensi ada kalanya tergugat yang di bebankan
pembuktian dalam hal jika ia menyangkal gugatan. Di sisi lain penggugat tidak
diwajibkan membuktikan kebenaran dari sangkalan tergugat.
Perbedaan juga tampak pada alat bukti. Melalui Putusan-putusan Pengadilan
yang telah di jelaskan pada sub bagian 2.3.2.1 sampai sub bagian 2.3.2.3, majelis
hakim hanya menerima alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang dalam
kasus ITE.
Jika dibandingkan dengan Hukum Singapura dalam hal ini ETA 2010 dan UU
Telekomunikasi 1999 erta UU ITE 2008 telah mengakui alat bukti elektronik
merupakan alat bukti yang sah, namun pada Yurisprudensi Singapura Hakim tidak
membatasi alat bukti seperti yang diatur dalam perundang-undangan. Hakim
menerima alat bukti lain yang diajukan oleh pihak penggugat dan tergugat selama alat
bukti tersebut dapat mengungkap fakta dari kasus tersebut.
Download