BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif (Notoatmodjo, 2007). 2.1.2 Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmodjo, (2007) dalam domain kognitif, pengetahuan mempunyai 6 tingkat, yakni: 1. Tahu (know) Tahu merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesfik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu ‘tahu’ ini adalah merupakan tingkat 7 Universitas Sumatera Utara pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemapuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 8 Universitas Sumatera Utara 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteriakriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmojo, 2007). 2.1.3 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal. Pengetahuan internal berasal dari dalam diri manusia sedangkan faktor eksternal adalah dorongan yang berasal dari luar berupa tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan. Pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, fasilitas, penghasilan, dan sosial budaya (Notoadmodjo, 2003). Menurut Mubarak, (2007) ada tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu : a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. 9 Universitas Sumatera Utara b. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. c. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis dan mental taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa. d. Minat Sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu, minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih dalam. e. Pengalaman Adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap objek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang membekas dalam emosi sehingga menimbulkan sikap positif. f. Kebudayaan Kebudayaan lingkungan sekitar, apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin 10 Universitas Sumatera Utara masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan. g. Informasi Kemudahan memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. 2.2 Diabetes Melitus 2.2.1 Pengertian Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Ini disebabkan karena penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya komplikasi mikrovaskuler, makrovaskuler, dan neuropati (Sukandar, 2008). Insulin dalam tubuh dibutuhkan untuk memfasilitasi masuknya glukosa dalam sel agar dapat digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan sel. Berkurang atau tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di dalam darah dan menimbulkan peningkatan gula darah, sementara sel menjadi kekurangan glukosa yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi sel (Tarwoto, 2012). 2.2.2 Epidemiologi Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada 11 Universitas Sumatera Utara tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 8,2 juta penyandang diabetes pada daerah urban dan 5,5 juta penyandang diabetes pada daerah rural dan diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun, maka diperkirakan prevalensi DM pada daerah urban terdapat 12 juta penyandang diabetes dan 8,1 juta di daerah rural dan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RisKesda) 2013, Prevalensi DM di Indonesia yang terdiagnosis dokter atau gejala adalah 2,1%, dan yang paling tinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur (3,3%) dan untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebesar 2,6%. 2.2.3 Klasifikasi Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2010 dibagi dalam 4 jenis yaitu (Ndraha, 2014): 1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Diabetes Melitus Tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis. 12 Universitas Sumatera Utara 2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi. 3. Diabetes Melitus Tipe Lain DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 2.1. 4. Diabetes Melitus Gestasional DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan 13 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2010. No. Tipe Diabetes Melitus Diabetes melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defesiensi insulin absolute) I. A. Melalui proses imunologik B. Idiopati Diabetes melitus tipe 2 (bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin disertai defesiensi II. insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin) Diabetes melitus tipe lain A. Defek genetik fungsi sel beta B. Defek genetik kerja insulin C. Penyakit eksokrin pankreas D. Endrokinopati III. E. Karena obat/zat kimia F. Infeksi G. Imunologi H. Sindroma genetik lain Diabetes Kehamilan Atau Diabetes Gestasional, (diabetes melitus yang muncul pada masa IV. kehamilan, umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM tipe 2 Sumber : Ndraha, S. 2014 2.2.4 Faktor Risiko Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya sepatutnya memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi. Beberapa faktor 14 Universitas Sumatera Utara risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat dilihat pada tabel 2.2 (DepKes RI, 2005). Tabel 2.2 Faktor Risiko Untuk Diabetes Tipe 2. Riwayat Diabetes dalam keluarga Diabetes Gestasional Melahirkan bayi dengan berat badan > 4 kg Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome) IFG (Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired glucose tolerance) Obesitas >120% berat badan ideal Umur 20-59 tahun : 8,7% > 65 tahun : 18% Etnik/Ras Hipertensi >140/90mmHg Faktor-faktor Kurang olah raga Lain Pola makan rendah serat Menurut Suyono, (2009) Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia akan terus meningkat dikarenakan beberapa faktor antara lain : 1. Faktor keturunan (genetik) 2. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2) a. Pola gaya hidup dan pola makan yang salah b. Makan berlebihan c. Kurang olah raga 3. Faktor demografi a. Jumlah penduduk meningkat b. Urbanisasi 4. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi 2.2.5 Diagnosa Diagnosis klinis DM umumnya ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat 15 Universitas Sumatera Utara dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM (DepKes RI, 2005). Tabel 2.3 Kriteria Penegakan Diagnosis. Glukosa Plasma Puasa Normal Pra-diabetes IFG atau IGT Diabetes < 100 mg/dL 100 – 125 mg/dL – ≥ 126 mg/dL Glukosa Plasma 2 jam setelah makan < 140 mg/dL – 140 – 199 mg/dL ≥ 200 mg/dL Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM adalah (Perkeni, 2006): 1. Didahului dengan adanya keluhan keluhan khas yang dirasakan dan dilanjutkan dengan pemeriksaan glukosa darah. 2. Pemeriksaan glukosa darah menunjukkan hasil: pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (sudah cukup menegakkan diagnosis), pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl (patokan diagnosis DM). Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis DM. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat 1. pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir Atau Gejala klasik DM + 2. Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L) 3. TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa yang dilarutkan dalam air. 16 Universitas Sumatera Utara Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (≥ 200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (≥ 126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan ≥ 200 mg/dL (DepKes RI, 2005). 2.2.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Penatalaksanaan diabetes melitus didasarkan pada rencana diet, latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik, agen-agen hipoglikemik oral, terapi insulin, pengawasan glukosa dirumah, dan pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pasien-pasien dengan gejala diabetes melitus tipe 2 dini, dapat mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjurkan (Price, 2005). Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu: 1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal. 2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. 17 Universitas Sumatera Utara Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (DepKes RI, 2005). Dalam penatalaksanaan DM menurut Perkeni, (2011) ada 4 pilar utama penatalaksanaan diabetes melitus yaitu: 1. Edukasi. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus. 2. Terapi Nutrisi Medis Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada 18 Universitas Sumatera Utara mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal kabohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu: Kabohidrat 60-70%, Protein 10-15%, Lemak 20-25 %. 3. Latihan jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur. (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan. Tabel 2.5 Aktivitas Fisik Harian. Kurangi Aktivitas Hindari aktivitas sedenter Persering Aktivitas Mengikuti olahraga rekreasi dan beraktivitas fisik tinggi pada waktu liburan Aktivitas Harian Kebiasaan bergaya hidup sehat Misalnya, menonton televisi, menggunakan internet, main game komputer Misalnya, jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda, sepak bola Misalnya, berjalan kaki ke pasar ( tidak menggunakan mobil), menggunakan tangga (tidak menggunakan lift), menemui rekan kerja (tidak hanya melalui telepon internal), jalan dari tempat parkir 19 Universitas Sumatera Utara 4. Terapi Farmakologis Terapi dan pengelolaan farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis diabetes melitus dapat berupa Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan terapi Insulin. 2.2.7 Terapi Farmakologis Diabetes Melitus 1. Obat Hipoglikemik Oral Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan yaitu: a. Pemicu Sekresi Insulin 1. Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. 2. Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. 20 Universitas Sumatera Utara b. Penambah sensitivitas terhadap insulin 1. Tiazolidindion Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. c. Penghambat glukoneogenesis 1. Metformin Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. d. Penghambat Alfa Glukosidase (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. 21 Universitas Sumatera Utara Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. e. DPP-IV inhibitor Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon. 2. Terapi Insulin Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel ß pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh 22 Universitas Sumatera Utara kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya (Depkes RI 2005). Insulin berperan penting dalam pengendalian metabolisme dalam tubuh. Pada DM Tipe I, sel-sel ß langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi obat antidiabetes oral. Penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin, apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin (Depkes RI 2005). 2.2.8 Komplikasi Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah (Waspadji, 2006): a. Retinopati Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan berespon dengan meningkatnya 23 Universitas Sumatera Utara ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang selanjutnya akan terbentuk neovaskularisasi pembuluh darah yang menyebabkan glaukoma (kebutaan). b. Nefropati Hal-hal yang dapat terjadi antara lain: peningkatan tekanan glomerular dan disertai meningkatnya matriks ekstraseluler akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal yang akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi glomerulosklerosis. perubahan Gejala-gejala selanjutnya yang yang akan mengarah timbul dimulai terjadinya dengan mikroalbuminuria dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal. c. Neuropati Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa hilangnya sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. d. Penyakit jantung koroner Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian menjadi penyakit jantung koroner. 24 Universitas Sumatera Utara e. Penyakit pembuluh darah perifer Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah ke kaki. 2.3 Peranan HbA1C Dalam Menilai Keberhasilan Terapi Pada Pengelolaan Diabetes Melitus Hemoglobin A1C (HbA1C) telah digunakan secara luas sebagai indikator kontrol glikemik, karena mencerminkan konsentrasi glukosa darah 1-2 bulan sebelum pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum pengambilan sampel darah. Telah diketahui bahwa kadar rata-rata glukosa darah 1-2 bulan sebelumnya merupakan kontributor utama konsentrasi HbA1C. Kontribusi bulanan rata-rata glukosa darah terhadap HbA1C adalah: 50% dari 30 hari terakhir, 25% dari 30 dan 60 hari sebelumnya dan 25% selama 60-120 hari sebelumnya (Rahayu, 2014). Hemoglobin A1C merupakan alat pemantauan yang penting dalam penatalaksanaan pasien DM. Pada tahun 2010 American Diabetes Association (ADA) memasukkan kadar HbA1C dalam kriteria diagnosis diabetes. Pemeriksaan HbA1C memiliki kelebihan dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa puasa dan tes toleransi glukosa 2 jam. Manfaat HbA1C, selama ini lebih banyak dikenal untuk menilai kualitas pengendalian glikemik jangka panjang dan menilai efektivitas terapi serta keberhasilan terapi, namun beberapa studi terbaru mendukung pemanfaatan HbA1C yang lebih luas, bukan hanya untuk pemantauan, tetapi juga bermanfaat dalam diagnosis ataupun skrining diabetes melitus tipe 2 (Rahayu, 2014). 25 Universitas Sumatera Utara Pengukuran HbA1C penting untuk kontrol jangka panjang status glikemi pada pasien diabetes. Hubungan antara A1C dan glukosa plasma adalah kompleks. Kadar HbA1C lebih tinggi didapatkan pada individu yang memiliki kadar glukosa darah tinggi sejak lama, seperti pada diabetes melitus. Banyak penelitian menunjukkan bahwa A1C adalah indeks rata-rata kadar glukosa selama beberapa minggu sampai bulan sebelumnya. Dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa puasa dan tes toleransi glukosa 2 jam, HbA1C memiliki kelebihan yaitu dapat digunakan untuk petunjuk terapi dan penyesuaian terapi serta dapat digunakan untuk penilaian kontrol glikemik (Rahayu, 2014). 2.4 Hubungan Pengetahuan Tentang Penyakit dan Obat Terhadap Kepatuhan Serta Pencapaian Target Terapi Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan. Teori adopsi perilaku tersebut terdiri dari 5 tahap yaitu awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang), trial (mulai mencoba) dan adoption. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi melalui proses seperti ini didasari pengetahuan maka perilaku tersebut akan bertahan lama (long lasting). Berdasarkan teori diatas, pengetahuan pasien baik tentang penyakit DM dan obat antidiabetes akan mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan yang baik mendukung pasien dalam melakukan kontrol gula darah dengan patuh. Kepatuhan pasien yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang perilaku tersebut tidak dapat menjamin bahwa pasien akan mematuhi seterusnya. Kepatuhan pasien tentu akan mempengaruhi pada 26 Universitas Sumatera Utara kondisi kesehatannya, jika pasien tidak patuh maka akan berdampak buruk bagi kesehatan, contohnya dapat menimbulkan komplikasi yang serius. Namun hal tersebut dapat dicegah bila pasien mematuhi diet, olah raga dan terapi. Pengetahuan penderita akan penyakit DM juga menjadi penting, mengingat tidak sedikit penderita DM yang kurang memiliki pememahaman tentang penyakit DM. Akibat dari ketidakpahaman akan penyakit DM, banyak penderita DM yang tidak patuh serta mengalami komplikasi dan mengakibatkan penyakitnya bertambah parah. Keberhasilan suatu pengobatan sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita DM untuk menjaga kesehatannya. Dengan kepatuhan yang baik, pengobatan yang sedang dijalankan dapat terlaksana secara optimal dan kualitas kesehatan bisa tetap dirasakan. Sebab apabila penderita DM tidak mempunyai kesadaran diri untuk bersikap patuh maka hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan yang berakibat pada menurunya kesehatan dan dapat berdampak pada komplikasi penyakit DM dan bisa berujung pada kematian (Saifunurmazah, 2013). 2.5 Gambaran Tingkat Pengetahuan Pasien DM di Indonesia Tingginya jumlah penderita DM dikarenakan tingkat pengetahuan yang rendah dan kesadaran untuk melakukan deteksi dini penyakit DM yang kurang (Sudoyo, 2006). Pengetahuan yang baik terhadap penyakit dan obat sangat penting bagi penderita DM, karena secara umum berhubungan dengan outcome terapi dan berperan dalam mengurangi terjadinya komplikasi serta untuk mencegah penderita DM dari mortalitas dan morbiditas penyakit DM (Nita, dkk., 2012). 27 Universitas Sumatera Utara Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit DM di Indonesia masih belum sampai pada tingkat yang memuaskan, sebagian besar masih berada pada kategori cukup atau sedang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Malini, (2010) dan Hoong, (2010) di RSUP.H. Adam Malik Medan, dimana tingkat pengetahuan penderita DM yang ditelitinya masih berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 52,5% (52 orang) dan 48% (36 orang). Penelitian lain juga dilakukan oleh Dewi, (2014) di RS dan Klinik Gotong Royong Surabaya, dimana 73% penderita DM yang ditelitinya memiliki tingkat pengetahuan cukup tentang penyakit DM. Selain itu hasil penelitian Phitri, (2013) di RSUD AM. Parikesit Kalimantan Timur juga menunjukkan hasil yang sama dimana, pengetahuan responden tentang DM sebagian besar kurang yaitu sebanyak 24 responden (44,4%). 28 Universitas Sumatera Utara