Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman Dan

advertisement
Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman
Dan Relevansinya Terhadap Kesehatan Mental Manusia
Oleh : Raudatun Istiani37
Abstrak
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang begitu pesat, bukan hanya di
bidang teknologi, informasi, kedokteran, pertanian, akan tetapi juga di bidang psikologi dan
konseling seperti konsep tentang kecerdasan manusia dan kesehatan mental manusia.
Kesehatan emosi sangat berpengaruh bagi kesehatan mental, seorang yang belum memiliki
kecerdasan emosi biasanya akan mudah mengalami gangguan kejiwaan, dan mudah larut
dalam kesedihan jika mengalami kegagalan. Apabila muncul perilaku-perilaku negatif yang
disebabkan oleh kurangnya kecerdasan emosi akan merugikan bagi orang lain yang berada
di sekitarnya. Oleh karena itu, kecerdasan emosi sangat diperlukan bagi setiap orang,
karena dengan kecerdasan emosi orang akan memiliki rasa introspeksi yang tinggi,
sehingga manusia tidak akan mudah marah, egois, tidak mudah putus asa, dan selalu
memiliki rasa lapang dada dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Dalam kesehatan
mental kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Sifat ini pula
yang menjadikan manusia sehat mentalnya.
Kata Kunci : Kecerdasan emosi, kesehatan mental.
37 Penulis adalah mahasiswa S-1 jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) semester 2 kelas (C)
Fakultas Dakwah IAIN Mataram.
al-Tazkiah, Vol.2 No.1, 2013: 17-32
A. Pendahuluan
Konsep kecerdasan manusia, jika dilihat dari sejarah perkembangannya pada
mulanya lahir akibat adanya berbagai tes mental yang dilakukan oleh berbagai psikolog
untuk menilai manusia ke dalam berbagai tingkat kecerdasan. Kecerdasan manusia tersebut
diistilahkan dengan kecerdasan intelektual (intelligence quotient) dan untuk mengetahui
tingkat kecerdasan tersebut bisa dilakukan dengan sebuah tes yang dikenal dengan nama tes
IQ. Tes IQ adalah cara yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya angka yang
dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang . Jadi menurut
teori ini, semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya.38
Seiring dengan perkembangannya, tes inteligensi yang muncul pada awal abad ke20 yang dipelopori oleh Alferd Binet,39 ternyata tes inteligensi memiliki kekurangan atau
kelemahan. Kekurangan itulah yang melatarbelakangi munculnya teori baru dan sebagai
alat untuk menyerang teori tersebut. Teori baru ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman
yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence). Menurut Daniel
Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih.40
Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa kecerdasan
kognitif (IQ) bukanlah ukuran kecerdasan (intelligence) yang sebenarnya, ternyata emosilah
parameter yang paling menentukan dalam kehidupan manusia. Menurut Daniel Goleman
(IQ) hanya mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80
% lainnya
diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.41 Ungkapan Goleman ini seolah menjadi
jawaban bagi situasi ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah masyarakat, di mana ada orangorang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik
dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.
Manusia secara alamiah merindukan kehidupan yang tenang dan sehat baik jasmani
maupun rohani. Kesehatan yang bukan menyangkut badan saja, tetapi juga kesehatan
mental. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin maju
berakibat pada semakin kompleksnya gaya hidup manusia. Banyak orang terpukau dengan
modernisasi, manusia menyangka dengan modernisasi itu serta merta akan membawa
38 Sukamto, Sejarah Perkembangan Tes Inteligensi Suatu Sarana Pengungkap Psikologis (Yogyakarta:
Lembaga Penelitian Universitas Cokroaminoto, 1984), 15.
39 Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1966), 51.
40 John Gottman, Jon De Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), 2.
41 Maurice J. Elias, dkk., Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ (Bandung: Kaifa, 2000), 11.
18
Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman ……. (Raudatun Istiani)
kepada kesejahteraan. Banyak orang yang lupa bahwa dibalik modernisasi yang serba
gemerlap dan memukau itu ada gejala yang dinamakan ketidaksehatan mental.42
Kebahagian manusia tidak tergantung pada fisik melainkan pada faktor pertumbuhan
emosinya. Karena emosi sebagai tenaga-tenaga penggerak dalam hidup yang menyebabkan
manusia berkembang maju dan mundur ke belakang.43 Tidak seorang pun yang tidak
menginginkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya, setiap orang akan berusaha
mencarinya, meskipun tidak semua dapat mencapai yang diinginkannya itu. Bermacam
sebab dan rintangan yang mungkin terjadi, sehingga banyak orang yang mengalami
kegelisahan, kecemasan, ketidakpuasan dan emosi yang berlebih-lebihan. Dapat dikatakan,
semakin maju orang atau masyarakat, semakin banyak pula komplikasi
hidup yang
dialaminya. Persaingan, perlombaan, dan pertentangan akibat kebutuhan dan keinginan
yang harus tetap dipenuhi menjadikan orang sulit untuk memperoleh mental yang sehat.44
Pada persoalan ini, maka sangat krusial konsep Daniel Goleman diangkat sebagai
solusi karena pada dasarnya konsep-konsep Daniel Goleman mencoba melihat aspek afeksi
manusia khususnya pada perasaan atau emosi manusia. Dan konsep-konsep yang ditawarkan
Daniel Goleman akan mengantarkan manusia untuk memperoleh
mental yang sehat
(kesehatan mental) karena perasaan dapat mempengaruhi kesehatan mental, jadi perasaan
yang ditempatkan pada tempatnya akan memperoleh mental yang sehat.45
B. Biografi Singkat Daniel Goleman
Daniel Goleman dilahirkan di Stockton California dan saat ini tinggal di Berkshires
Massachusetts bersama istrinya, Tara Bennet, serta kedua anaknya Fay Goleman dan
Irving Goleman. Daniel Goleman menyelesaikan pendidikan strata satunya (graduate
education) di Harvard University dan mendapat beasiswa dengan predikat Magna Cumlaude.
Adapun strata dua (MA) dan strata tiga (Ph.D) dalam bidang Psikologi Klinik dan
Perkembangan Pribadi (Clinical Psychology dan Personality Development) diraih di Universitas
Harvard, dan saat ini Daniel Goleman menjadi dosen di almamaternya.
Ahmad Mubarok, Solusi Krisis Kerohanian Manusia Modern (Jakarta: Paramadina, 1999), 13-14.
Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik (Bandung: Rosdakarya, 2001), 234.
44 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ (Jakarta:
Arga, 2002), 44.
45 Laurence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional Inteligensi pada Anak (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997), 5.
42
43
19
al-Tazkiah, Vol.2 No.1, 2013: 17-32
Kegigihan berkarier dalam bidang keilmuan menjadikan Daniel Goleman
sebagai
penasehat internasional dan menjadi dosen di berbagai pertemuan-pertemuan bisnis dunia
dan kelompok-kelompok profesional di kampus-kampus ilmiah (perguruan tinggi). Daniel
Goleman juga menjadi pendiri Emotional Intelligence Services (pelayanan intelligensi
emosional) serta pendiri Collaborative for Social and Emotional Learning (Kolaborasi Pelajaran
Sosial dan Emosional)
pada The Yale University Child and Studies Center sekarang
menjadi The University Ilionis di Chicago yang bertujuan untuk memperkenalkan pelajaranpelajaran literasi emosional di sekolah-sekolah dan salah satu tanda keberhasilan usahanya
yaitu adanya ribuan sekolah di seluruh dunia mengimplementasikan program ini.
Di antara karya intelektualnya yaitu Emotional Intelligence dan Working With
Emotional Intelligence merupakan karya monumental Dainel Goleman. Kedua buku ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku Daniel Goleman beredar dan tersebar luas
di berbagai negara baik di negara barat maupun negara timur. Dan buku sensasionalnya
yang berjudul Emotional Intelligence yang diterbitkan pada tahun 1995 merupakan salah satu
buku “best seller” dan sudah diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa, di Eropa, Asia, dan di
Amerika terkopi lebih dari lima ribu kopian.
C. Konsep Kecerdasan Emosi dalam Pandangan Daniel Goleman
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Akar kata emosi adalah:
“menggerakkan, bergerak”
movere
kata kerja bahasa Latin
ditambah awalan
“e”
untuk memberi arti “bergerak
menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak
dalam emosi. Semua emosi, pada dasarnya adalah
yang berarti
merupakan hal mutlak
dorongan untuk bertindak,
rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsurangsur (evolusi), dan emosi juga sebagai perasaan dan fikiran-fikiran khas, suatu
keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Emosi dapat dikelompokkan pada rasa amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta,
terkejut, jengkel dan malu.46
Kecerdasan emosi adalah kemampuan memahami perasaan
diri sendiri,
kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
dan
46
20
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam
Daniel Goleman, Emotional Intelligence terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 7.
Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman ……. (Raudatun Istiani)
hubungan dengan orang lain.47 Adapun dalam buku yang lain Daniel Goleman
mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri sendiri
dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebihlebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari
stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa.48 Dengan
demikian yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang untuk memahami serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan
kejernihan berfikir otak rasional, tetapi mampu menampilkan beberapa kecakapan,
baik kecakapan pribadi maupun kecakapan antar pribadi.
2. Unsur-Unsur Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman
a. Kesadaran Diri
Kesadaran diri menurut Daniel Goleman memang penting apabila seseorang
ceroboh, tidak memperhatikan dirinya secara akurat, maka hal itu akan merugikan
dirinya dan berdampak negatif bagi oarang lain. Oleh sebab itu, manusia harus
pandai-pandai mencari tahu siapa dirinya. Kesadaran diri juga tidak lepas dari rasa
percaya diri. Percaya diri memberikan asuransi mutlak untuk terus maju. Walaupun
demikian, percaya diri bukan berarti nekad. Menurut Daniel Goleman rasa percaya
diri erat kaitannya dengan “efektivitas diri”, penilaian positif tentang kemampuan
kerja diri sendiri. Efektifitas diri cenderung pada keyakinan seseorang mengenai apa
yang ia kerjakan dengan menggunakan keterampilan yang ia miliki.49
Menurut Daniel Goleman kesadaran seseorang terhadap titik lemah serta
kemampuan pribadi seseorang juga merupakan bagian dari kesadaran diri. Adapun
ciri orang yang mampu mengukur diri secara akurat adalah:
1) Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.
2) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.
3) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru,
mau terus belajar dan mengembangkan diri sendiri.
4) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan
perspektif yang luas.50
47 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi terj. Alex Tri Kantjono, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), 512.
48 Daniel Goleman, Emotional., 45.
49
50
Daniel Goleman, Kecerdasan., 110-111.
Ibid., 97.
21
al-Tazkiah, Vol.2 No.1, 2013: 17-32
b. Pengaturan Diri
Menurut Daniel Goleman pengaturan diri adalah pengelolaan impuls dan
perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut
sophrosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan
kebijaksanaan yang terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page
Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.51
Menurut Daniel Goleman, lima kemampuan pengaturan diri yang
umumnya dimiliki oleh staf performer adalah pengendalian diri, dapat dipercaya,
kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.52
1) Pengendalian diri yaitu mengelola dan menjaga agar emosi dan impuls yang
merusak tetap terkendali.
2) Dapat dipercaya yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas.
3) Kehati-hatian, yaitu dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam
memenuhi kewajiban.
4) Adaptabilitas, yaitu keluwesan dalam menanggapi perubahan dan tantangan.
5) Inovasi, yaitu bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan dan pendekatanpendekatan baru, serta informasi terkini.53
c. Motivasi
Menurut Daniel Goleman motivasi adalah bagaimana menggunakan
hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran,
membantu untuk mengambil inisiatif untuk bertindak secara efektif, dan untuk
bertahan menghadapi kegagalan atau frustasi.54 Menata emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting yang berkaitan dengan memberi
perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri, dan berkreasi. Adapun
selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme.55
Menurut Daniel Goleman, ada empat kemampuan motivasi yang harus
dimiliki, yaitu:
Ibid., 111-112.
Ibid., 77.
53 Ibid., 97-151.
54 Ibid., 514.
55 Ibid., 123.
51
52
22
Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman ……. (Raudatun Istiani)
1) Dorongan prestasi yaitu dorongan untuk meningkatkan atau memenuhi
standar keunggulan.
2)
Komitmen, yaitu menyelaraskan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
3)
Inisiatif (initiative), yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
4) Optimisme, yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada
halangan dan kegagalan.56
d. Empati
Menurut Daniel Goleman, empati adalah memahami perasaan dan masalah
orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan
perasaan orang mengenai berbagai hal.57 Tingkat empati tiap individu berbedabeda. Menurut Daniel Goleman, pada tingkat yang paling rendah, empati
mempersyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain, pada tataran yang
lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindra sekaligus menanggapi
kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Di
antara tingkat empati yang paling tinggi adalah menghayati masalah
atau
kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang.58 Adapun kunci
untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal
seperti ekspresi wajah, gerak-gerik dan nada bicara. Hal ini terbukti dalam tes
terhadap lebih dari tujuh ribu orang di Amerika Serikat serta delapan belas
negara lainnya. Dari hasil tes ini diketahui bahwa orang yang mampu membaca
pesan orang lain dari isyarat nonverbal ternyata lebih pandai menyesuaikan diri
secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka
dibandingkan dengan orang yang tidak mampu membaca isyarat nonverbal.59
Menurut Daniel Goleman, ada lima kemampuan empati, yaitu :
1) Memahami orang lain, yaitu mengindera perasaan-perasaan orang lain, serta
mewujudkan minat-minat aktif terhadap kepentingan-kepentingan mereka.
2) Mengembangkan orang lain yaitu mengindera kebutuhan orang lain untuk
berkembang dan meningkatkan kemampuan mereka.
Ibid., 181-196.
Daniel Goleman, Emotional., 428.
58 Ibid., 215.
59 Ibid., 136.
56
57
23
al-Tazkiah, Vol.2 No.1, 2013: 17-32
3) Orientasi pelayanan
yaitu mengantisipasi, mengakui, dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
4) Memanfaatkan keragaman yaitu menumbuhkan kesempatan (peluang) melalui
pergaulan dengan bermacam-macam orang.
5) Kesadaran politik yaitu mampu membaca kecenderungan sosial dan politik
yang sedang berkembang.60
e. Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani
emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat
membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan
keterampilan
menyelesaikan
untuk
mempengaruhi
perselisihan
untuk
dan
memimpin,
bekerjasama
dalam
bermusyawarah,
tim.
Dalam
memanifestasikan kemampuan ini dimulai dengan mengelola emosi sendiri yang
pada akhirnya manusia harus mampu menangani emosi orang lain. Menurut
Goleman, menangani emosi orang lain adalah seni yang mantap untuk menjalin
hubungan, membutuhkan kematangan dua keterampilan emosional lain, yaitu
manajemen diri dan empati. Dengan landasan keduanya, keterampilan
berhubungan dengan orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial
yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tidak
dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial
atau berulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya
keterampilan-keterampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang otaknya
encer pun gagal dalam membina hubungannya.61
Secara lebih luas, Daniel Goleman menjelaskan bahwa keterampilan sosial,
yang makna intinya adalah seni menangani emosi orang lain, merupakan dasar
bagi beberapa kecakapan seperti:
1) Pengaruh yaitu terampil menggunakan perangkat persuasi secara efektif.
2) Komunikasi, yaitu mendengarkan serta terbuka dan mengirimkan pesan serta
meyakinkan.
3) Manajemen konflik, yaitu merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan.
60
61
24
Daniel Goleman, Kecerdasan., 219.
Daniel Goleman, Emotional., 158-159.
Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman ……. (Raudatun Istiani)
4) Kepemimpinan, yaitu mengilhami dan membimbing individu atau kelompok.
5) Katalisator perubahan, yaitu mengawali atau mengelola perubahan.
6) Membangun hubungan, yaitu menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
7) Kolaborasi dan kooperasi, yaitu kerja sama dengan orang lain demi tujuan
bersama.
8) Kemampuan tim, yaitu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan
tujuan bersama.62
Seluruh ciri-ciri manusia yang memiliki EQ tinggi sebagaimana dirumuskan
Daniel Goleman merupakan ciri yang harus dimiliki oleh para star performer, tetapi juga
dapat diterapkan pada segala aktivitas termasuk dalam konseling, terapi, dan
berdakwah. Dalam hal ini Goleman menyatakan bahwa aturan kerja ini telah berubah,
manusia dinilai berdasarkan tolak ukur baru, tidak hanya berdasarkan tingkat
kepandaian, atau berdasarkan pelatihan dan pengalaman, tetapi juga berdasarkan sikap
baik mengelola diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain. Aturan hampir tidak
berhubungan dengan yang dahulu dianggap penting saat menuntut ilmu. Kemampuan
akademik hampir tidak berkaitan dengan standar ini. Alat ukur baru ini sudah dengan
teknik yang memadai untuk mengerjakan tugas-tugas, namun berbeda dengan yang
lama, alat ukur baru ini memusatkan perhatian pada kualitas pribadi. Hal ini dapat
dilihat dengan adanya ciri-ciri EQ yang dikemukan Daniel Goleman, seperti kesadaran
diri, pengaturan diri, dan motivasi dibandingkan dengan kecakapan sosial (empati dan
keterampilan sosial).
D. Tinjauan Mengenai Kesehatan Mental
Kesehatan berasal dari kata “sehat” yang berarti dalam keadaan fisik yang baik,
bebas dari sakit.63 Adapun “mental” adalah kepribadian yang merupakan kebulatan dinamik
dari seseorang yang tercermin dalam cita-cita, sikap, dan perbuatan.64 Mental adalah semua
unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap, dan perasaan yang dalam keseluruhan atau
Daniel Goleman, Kecerdasan., 171-350.
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press,
1991), 1350.
64 Mushal dkk., Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Bandung: Al-Ma’arif, 1979), 86.
62
63
25
al-Tazkiah, Vol.2 No.1, 2013: 17-32
kebulatannya akan menentukan tingkah laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan
perasaan, mengecewakan, atau yang menggembirakan dan menyenangkan.65
Jadi, kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problemproblem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
dirinya. Fungsi-fungsi jiwa seperti fikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan
hidup, harus dapat saling membantu dan bekerja sama satu sama lain, sehingga dapat
dikatakan adanya keharmonisan, yang menjauhkan orang dari perasaan ragu dan bimbang,
serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan (konflik). Dengan demikian, perubahanperubahan tidak akan menyebabkan kegelisahan dan kegoncangan jiwa. Kesehatan yang
penulis maksud di sini adalah terwujudnya keserasian antara fungsi kejiwaan serta
terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungan yang
didasarkan pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta diarahkan untuk
mencapai kehidupan yang bermakna, bahagia dunia dan akhirat.
Zakiah Daradjat mengatakan bahwa apabila kesehatan mental terganggu dapat
menyebabkan orang tidak mampu menggunakan kecerdasannya. Keabnormalan emosi dan
tindakan
juga
dapat disebabkan oleh terganggunya kesehatan mental. Pada keadaan
tertentu terganggunya kesehatan mental dapat menyebabkan orang tidak mampu
menggunakan kecerdasannya.66
E. Pengaruh Kesehatan Mental dalam Hidup Manusia
Cara menentukan pengaruh mental tidak mudah, karena mental tidak dapat dilihat,
diraba atau diukur secara langsung. Manusia hanya dapat melihat bekasnya dalam sikap,
tindakan, cara menghadapi persoalan, dan akhlak. Oleh ahli jiwa dikatakan bahwa pengaruh
mental itu dapat dilihat pada perasaan, pikiran, kelakuan, dan kesehatan.
1. Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Perasaan
Pengaruh kesehatan mental terhadap perasaan akan terlihat dari cara orang
menghadapi kehidupan ini. Misalnya ada orang yang menghadapinya dengan kecemasan
dan ketakutan. Banyak hal-hal kecil yang mencemaskannya, kadang-kadang hal remeh, yang
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 33.
Yatim Badri dkk., Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 Tahun Prof .Dr.
Zakiah Daradjat (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 4.
65
66
26
Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman ……. (Raudatun Istiani)
oleh orang lain tidak dirasakan berat, akan tetapi bagi dirinya hal itu sudah sangat berat
sehingga menyebabkannya gelisah, tidak bisa tidur, dan hilang nafsu makan.
Mereka
sendiri tidak mengerti dan tidak dapat menahan atau mengatasi kecemasannya. Inilah yang
dalam istilah kesehatan mental dinamakan anxiety dan phobia atau takut yang tidak pada
tempatnya.67
Jadi di antara gangguan
perasaan yang disebabkan oleh terganggunya
kesehatan mental adalah rasa cemas (gelisah), iri hati, sedih, merasa rendah diri, pemarah,
dan ragu (bimbang).68
2. Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Pikiran
Di antara masalah yang sering menggelisahkan orang tua, adalah menurunnya
kecerdasan dan kemampuan anaknya dalam pelajaran atau semangat belajarnya menurun,
jadi pelupa, dan tidak sanggup memusatkan perhatian.69 Mengenai pengaruh kesehatan
mental atas pikiran, memang besar sekali. Di antara gejala yang bisa dilihat yaitu sering
lupa, tidak bisa mengkonsentrasikan pikiran tentang sesuatu hal yang penting, kemampuan
berfikir menurun, sehingga merasa seolah-olah tidak lagi cerdas, pikirannya tidak bisa
digunakan, kelemahan dalam bertindak, lesu, malas, tidak bersemangat kurang inisiatif, dan
mudah terpengaruh oleh kritikan-kritikan orang lain, sehingga mudah meninggalkan
rencana baik yang telah dibuatnya hanya karena kritikan orang lain. Semuanya itu bukanlah
suatu sifat yang datang tiba-tiba dan dapat diubah dengan nasehat dan teguran saja, akan
tetapi telah masuk terjalin ke dalam pribadinya yang tumbuh sejak kecil.70
3. Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Kelakuan
Ketidaktentraman hati, atau kurang sehatnya mental, sangat mempengaruhi
kelakuan dan tindakan seseorang, seperti nakal, pendusta, menganiaya diri sendiri atau
orang lain, menyakiti
badan orang atau hatinya dan berbagai kelakuan menyimpang
lainnya.71
4. Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Kesehatan Badan
Di antara masalah yang banyak terjadi dalam masyarakat maju adalah adanya
kontradiksi yang tidak mudah dimengerti yaitu masalah kesehatan. Kalau pada masa dahulu,
penyakit dan bahaya yang sangat mencemaskan orang adalah penyakit menular dan
Zakiah Daradjat, Pembinaan Jiwa atau Mental (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 8.
Kartini Kartono, Hygiene Mental (Bandung: Mandar Maju, 2000), 3.
69 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
67
68
132.
70
71
Komarudin Hidayat, Menyinari Relung-Relung Ruhani (Bandung: Hikmah, 2002), 173.
Zakiah Daradjat, Pembinaan., 10.
27
al-Tazkiah, Vol.2 No.1, 2013: 17-32
penyakit-penyakit yang mudah menyerang.
Penyakit-penyakit tersebut dapat diatasi
dengan obat-obatan dan cara-cara pencegahan yang ditemukan para ahli. Akan tetapi, pada
masyarakat maju telah timbul suatu penyakit
yang lebih berbahaya dan sangat
menegangkan yaitu penyakit gelisah, cemas, dan berbagai penyakit yang tidak dapat
diobati oleh ahli-ahli kedokteran. Karena penyakit itu timbul bukan karena kekurangan
pemeliharaan kesehatan atau kebersihan akan tetapi karena kehilangan ketenangan jiwa.72
F. Ciri-ciri Manusia yang Sehat dan Kurang Sehat Mentalnya
1. Ciri Manusia yang Sehat Mentalnya
Orang yang sehat mentalnya adalah orang-orang yang mampu merasakan
kebahagian dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat merasa bahwa dirinya
berguna, berharga dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal
mungkin, yang membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Di samping itu,
ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas (dengan dirinya, orang lain, dan suasana
sekitar). Orang-orang inilah yang terhindar dari kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap
terpelihara moralnya.73
Maka orang yang sehat mentalnya, tidak akan merasa ambisius, sombong, rendah
diri dan apatis, tapi ia adalah wajar, menghargai orang lain, merasa percaya kepada diri
sendiri dan selalu gesit. Setiap tindak dan tingkah lakunya, ditunjukkan untuk mencari
kebahagiaan bersama, bukan kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang
dimilikinya digunakan untuk
kemanfaatan dan kebahagiaan bersama. Kekayaan dan
kekuasaan yang ada padanya, bukan untuk bermegah-megahaan dan mencari kesenangan
diri sendiri, tanpa mengindahkan orang lain, akan tetapi digunakannya untuk menolong
orang yang miskin dan melindungi orang yang lemah. Seandainya semua orang sehat
mentalnya, tidak akan ada penipuan, penyelewengan, pemerasan, pertentangan dan
perkelahian dalam masyarakat, karena mereka menginginkan dan mengusahakan semua
orang dapat merasakan kebahagiaan, aman tentram, saling mencintai dan tolong-menolong.
2.
Manusia yang Kurang Sehat Mentalnya
Manusia yang kurang sehat ini sangat luas, mulai dari yang seringan-ringannya
sampai kepada yang seberat-beratnya. Dari orang yang merasa terganggu ketentraman
72
73
28
Ibid., 12
Ahmad Syafi’i Mufid, Dzikir Sebagai Pembina Kesehatan Jiwa (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), 30.
Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman ……. (Raudatun Istiani)
batinnya, sampai kepada orang yang sakit jiwa. Gejala yang umum, yang tergolong kepada
yang kurang sehat dapat dilihat dalam beberapa segi antara lain pada:
a. Perasaan : Yaitu perasaan terganggu, tidak tenteram, rasa gelisah, tidak tentu yang
digelisahkan, tapi tidak bisa pula mengatasinya (anxiety); rasa takut yang tidak masuk
akal atau tidak jelas yang ditakuti itu apa (phobi), rasa iri, rasa sedih, sombong, suka
bergantung kepada orang lain, tidak mau bertanggung jawab, dan sebagainya.
b. Pikiran : Gangguan terhadap kesehatan mental, dapat pula mempengaruhi pikiran,
misalnya anak-anak menjadi bodoh di sekolah, pemalas, pelupa, suka bolos, tidak bisa
konsentrasi, dan sebagainya. Demikian pula orang dewasa mungkin merasa bahwa
kecerdasannya telah merosot, ia merasa bahwa kurang mampu melanjutkan sesuatu yang
telah direncanakannya baik-baik, mudah dipengaruhi orang, menjadi pemalas, apatis, dan
sebagainya.
c. Kelakuan : Pada umumnya kelakuan-kelakuan yang tidak baik seperti kenakalan, keras
kepala, suka berdusta, menipu, menyeleweng, mencuri, menyiksa orang, membunuh, dan
merampok, yang menyebabkan orang lain menderita dan teraniaya haknya
d. Kesehatan : Jasmani dapat terganggu bukan karena adanya penyakit yang betul-betul
mengenai jasmani itu, akan tetapi rasanya sakit, akibat jiwa tidak tenteram, penyakit
yang seperti ini disebut psychosomatic. Di antara gejala penyakit ini yang sering terjadi
seperti sakit kepala, merasa lemas, letih, sering masuk angin, susah nafas, sering pingsan,
bahkan sampai sakit yang lebih berat, lumpuh sebagian anggota jasmani, kelu lidah saat
bercerita, dan tidak bisa melihat (buta) yang terpenting adalah penyakit jasmani itu
tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama sekali.74
G. Syarat-syarat yang Diperlukan dalam Pembangunan Mental
1. Pendidikan.
Pendidikan yang dimulai dari rumah tangga, dilanjutkan di sekolah, dan juga dalam
masyarakat. Pembangunan mental, mulai sejak anak lahir, di mana semua pengalaman yang
dilaluinya mulai lahir sampai mencapai usia dewasa (21 tahun), menjadi bahan dalam
pembinaan mentalnya. Maka syarat-syarat yang diperlukan, dalam pendidikan baik di
rumah, sekolah maupun masyarakat ialah kebutuhan-kebutuhan pokoknya harus terjamin,
74
Zakiah Daradjat, Pendidikan., 39-42.
29
al-Tazkiah, Vol.2 No.1, 2013: 17-32
baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan psikis dan sosial. Di mana harus terjamin makan
minum yang cukup memenuhi syarat kesehatan untuk pertumbuhannya di rumah, sekolah
dan masyarakat, maka anak-anak itu harus merasa disayangi oleh ibu-bapak, guru, dan
kawan-kawannya, merasa aman, merasa bahwa ia dihargai, merasa bebas, merasa sukses,
kebutuhannya untuk mengetahui harus dapat terpenuhi.
2. Pembinaan Moral
Pembinaan moral harus dilakukan sejak kecil, sesuai dengan umurnya. Karena setiap
anak dilahirkan belum mengerti mana yang benar mana yang salah dan belum tahu batasbatas atau ketentuan-ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Pendidikan
moral harus dilakukan pada permulaan di rumah dengan latihan terhadap tindakan-tindakan
yang dipandang baik menurut ukuran-ukuran lingkungan tempat ia hidup. Setelah anak
terbiasa bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh aturan-aturan moral, serta
kecerdasan dalam kematangan berfikir telah terjadi, barulah pengertian-pengertian yang
abstrak diajarkan. Pendidikan moral yang paling baik terdapat dalam agama. Maka
pendidikan agama yang mengandung nilai-nilai moral, perlu dilaksanakan sejak anak lahir
(di rumah), sampai duduk di bangku sekolah dan dalam lingkungan masyarakat tempat ia
hidup.
3. Pembinaan Jiwa Taqwa
Jika menginginkan anak-anak dan generasi yang akan datang hidup bahagia, tolongmenolong, jujur, benar dan adil, maka mau tidak mau, penanaman jiwa taqwa perlu sejak
kecil. Karena kepribadian (mental) yang unsur-unsurnya terdiri dari antara lain keyakinan
beragama, maka dengan sendirinya keyakinan itu akan dapat mengendalikan kelakuan,
tindakan dan sikap dalam hidup. Karena mental sehat yang penuh dengan keyakinan
beragama itulah yang menjadi polisi, pengawas dari segala tindakan. Jika setiap orang
mempunyai keyakinan beragama, dan menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak
perlu ada polisi dalam masyarakat karena setiap orang tidak mau melanggar laranganlarangan agama karena merasa bahwa Tuhan Maha Melihat dan selanjutnya masyarakat
adil makmur akan tercipta, karena semua potensi manusia (man power) dapat digunakan dan
dikerahkan untuk dirinya sendiri. Pembangunan mental tak mungkin tanpa menanamkan
jiwa agama pada tiap-tiap orang. Karena agamalah yang memberikan nilai-nilai yang
dipatuhi dengan suka rela, tanpa adanya paksaan dari luar atau polisi yang mengawasi atau
mengontrolnya. Karena setiap kali terpikir atau tertarik hatinya kepada hal-hal yang tidak
dibenarkan oleh agamanya, taqwanya akan menjaga dan menahan dirinya dari kemungkinan
30
Konsep Kecerdasan Emosi Daniel Goleman ……. (Raudatun Istiani)
jatuh kepada perbuatan-perbuatan yang kurang baik itu. Mental yang sehat ialah yang iman
dan taqwa kepada Allah SWT, dan mental yang beginilah yang akan membawa perbaikan
hidup dalam masyarakat dan bangsa. Taqwa dan iman sama pentingnya dalam kesehatan
mental, fungsi iman dalam kesehatan mental adalah menciptakan rasa aman tentram, yang
ditanamkan sejak kecil. Obyek keimanan yang tidak akan berubah manfaatnya dan
ditentukan oleh agama. Dalam agama Islam, terkenal enam macam pokok keimanan (arkanul
iman). Semuanya mempunyai fungsi yang menetukan dalam kesehatan mental seseorang.75
H. Simpulan
Sesungguhnya kesehatan mental, ketentraman jiwa, atau kecerdasan emosi tidak
banyak tergantung oleh faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, akan
tetapi lebih tergantung pada cara dan sikap dalam menghadapi faktor-faktor tersebut.
Padahal dari generasi ke generasi
manusia semakin cerdas akan tetapi keterampilan
emosional dan sosialnya merosot tajam. Hal ini pula yang melemahkan kecerdasan emosi.
Akibatnya, muncul patologi sosial yang ada dalam berbagai bentuk penyakit kejiwaan.
Seperti krisis kepercayaan, ketidakjujuran, kebosanan, malasuai, dan kejenuhan hidup
sehingga munculnya penyakit-penyakit kejiwaan yang berdampak negatif pula pada tata
kehidupan pribadi dan sosial yang mengakibatkan ketidaksehatan mental. Adapun yang
menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup di antaranya adalah kesehatan mental dan
kecerdasan emosi, yaitu cara seseorang menanggapi suatu persoalan dan kemampuannya
untuk menyesuaikan diri. Kesehatan mental dan kecerdasan emosi pula yang menentukan
orang mempunyai kegairahan hidup atau bersikap pasif. Orang yang sehat mentalnya tidak
akan lekas merasa putus asa, pesimis, dan apatis karena dia dapat menghadapi semua
rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang dan wajar, serta menerima kegagalan
itu sebagai suatu pelajaran yang akan membawa sukses nantinya.
75
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1982), 13-14.
31
al-Tazkiah, Vol.2 No.1, 2013: 17-32
Daftar Pustaka
Ahmad Mubarok. 1999. Solusi Krisis Kerohanian Manusia Modern. Jakarta: Paramadina.
Ahmad Syafi’i Mufid. 1984. Dzikir sebagai Pembina Kesehatan Jiwa. Surabaya: Bina Ilmu.
Ary Ginanjar Agustian. 2002. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ. Jakarta: Arga.
Daniel Goleman. 2002. Emotional Intelligence. terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Daniel Goleman. 2003. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. terj. Alex Tri
Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hanna Djumhana Bastaman. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Jalaluddin Rakhmat. 2001. Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik. Bandung: Rosdakarya.
John Gottman and Jon De Claire. 1990. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartini Kartono. 2000. Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju.
Komarudin Hidayat. 2002. Menyinari Relung-Relung Ruhani. Bandung: Hikmah.
Laurence E. Shapiro. 1997. Mengajarkan Emosional Inteligensi pada Anak. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Maurice J. Elias, dkk. 2000. Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ. Bandung: Kaifa.
Mushal dkk. 1979. Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan. Bandung: Al-Ma’arif.
Peter Salim dan Yenny Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern
English Press.
Saifuddin Azwar. 1966. Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukamto. 1984. Sejarah Perkembangan Tes Inteligensi Suatu Sarana Pengungkap Psikologis.
Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Cokroaminoto.
Yatim Badri dkk. 1999. Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70
Tahun Prof .Dr. Zakiah Daradjat. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Zakiah Daradjat. 1974. Pembinaan Jiwa atau Mental. Jakarta: Bulan Bintang.
Zakiah Daradjat. 1975. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental. Jakarta: Bulan Bintang.
Zakiah Daradjat. 1982. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.
32
Download